Pencarian

Misteri Si Cadar Berdarah 1

Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah Bagian 1


MISTERI SI CADAR
BERDARAH Oleh Sandro S. Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Misteri Si Cadar Berdarah
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Siapakah sebenarnya Sugangga" Mengapa
ia dendam pada Jaka Ndableg si Pedang Siluman
Darah" Untuk lebih jelasnya, akan saya ku-
paskan ceritanya mengenai kedua orang tua Su-
gangga yang sudah diketahui adalah orang yang
bersekutu dengan Iblis Buto Ijo, dengan adanya
timbal balik antara keduanya. Kita ikuti kejadian
dua puluh tahun yang silam, di mana Sugangga
dan adiknya yang masih kecil hidup dengan kea-
daan ekonomi yang serba kekurangan.
Kedua orang tua Sugangga dan Suganti
adalah seorang petani miskin yang hidupnya dari
hasil buruh, mencangkul, membajak, atau me-
nuai pada para petani kaya. Dengan bekerja se-
perti itu, mereka berusaha menghidupi rumah
tangganya. Memang pertama-tama mereka hidup
berdua, kerepotan belum nampak terasa. Ya, hi-
dup di desa masih merupakan hidup gotong
royong, di mana satu sama lainnya mau mengerti
dan bantu membantu.
Ayah Sugangga yang bernama Prikadayu
dan ibunya bernama Dripadini, adalah dua orang
asing dari India yang sengaja datang ke tanah
Jawa untuk mengadu nasib. Namun rupanya ke-
beruntungan belum berada di pihak mereka, se-
hingga mereka menerima kegetiran yang selalu
menyelimuti. Tadinya mereka menganggap bahwa
India sudah tak mampu memberikan arti bagi diri
mereka, namun kenyataannya lain. Seperti pepa-
tah, lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada mengharap hujan uang di
negeri orang. Dengan segala ketabahan yang ada di hati
suami istri itu, mereka terus menghadapi hidup-
hidup pahit mereka dengan segala kepasrahan
pada Yang Wenang. Kepahitan itu, sepertinya tak
mau membebaskan mereka secepatnya, sampai
anak mereka yang pertama lelaki lahir. Mereka
beri nama Sugangga. Dengan kelahiran anak yang
pertama, kehidupan mereka nampak makin nes-
tapa saja. Hasil buruh mereka, kini harus dima-
kan oleh tiga mulut. Namun begitu, mereka suami
istri tak pernah mengeluh, atau pun merasakan
kepedihan yang kentara. Dipendamnya segala ke-
pedihan hidup yang terulas oleh senyum mereka.
Tiga tahun setelah kelahiran anak pertama,
lahir kembali anak yang kedua seorang wanita.
Anak tersebut diberi nama Suganti. Makin seng-
sara saja kehidupan keluarga itu dengan kehadi-
ran anak yang kedua. Tapi seperti semula, mere-
ka nampaknya tidak mengeluh atau putus asa.
Kehidupan mereka terus berlanjut, sampai
akhirnya kedua anak mereka tumbuh menjadi
anak-anak yang lucu. Lajimnya seorang anak le-
laki, Sugangga pun pengin berkumpul-kumpul
dengan anak-anak sebayanya untuk bermain.
Namun sepertinya mereka mengucilkan diri Su-
gangga, bahkan sering kali mereka memperolok-
olok Sugangga. "Gangga, pergilah kau. Kami tidak ingin
berteman dengaamu."
"Kau anak orang kere, Gangga. Maka se-
pantasnya kau pun mencari teman orang kere pu-
la." "Atau lebih baik kau carilah para penge-
mis." Seketika semua anak-anak itu tertawa bergelak-gelak, menjadikan Sugangga
marah bukan kepalang merasa dirinya dihina. Dengan kebera-
nian yang berlebihan, Sugangga pun balik mem-
bentak mereka: "Kalian bangsat! Kalian jangan mentang-mentang kaya!"
"Hai, mengapa engkau marah, Gangga?"
Purwanta, anak yang paling besar tersenyum si-
nis ke arah Sugangga. "Kalau kau merasa anak
kere, mengapa engkau mesti marah-marah"!"
"Bangsat!" Sugangga beringas.
"Hua, ha, ha...! Lihat, Kawan-kawan! Lucu
bukan" Ternyata anak seorang kere bisa juga
membentak marah," Purwanta berolok-olok. "Rupanya anak ini perlu dihajar adat,
Kawan-kawan."
"Huh.... Jangan kira aku takut pada kalian!
Kalian keroyok pun, aku tak akan mundur!" Su-
gangga menantang.
"Sudah. Pur. Kasih dia bogem mentahmu!"
teman-teman Purwanta memberi semangat.
"Beres! Ini lihat...!"
Purwanta yang besar itu segera berkelebat
menyerang pada Sugangga. Tapi dengan cepat
Sugangga berkelit, lalu dengan cepat pula Su-
gangga yang sudah marah diejek begitu rupa ba-
las menyerang. Perkelahian dua anak itu tak da-
pat dihindarkan. Namun walau Purwanta berba-
dan besar, rupanya gerakan Purwanta sangat
lamban, beda dengan gerakan Sugangga. Dalam
sekejap saja, Sugangga dapat mendesak Purwan-
ta. "Bug...!" pukulan Sugangga telak masuk ke perut Purwanta yang seketika itu
terhuyung-huyung ke belakang menyeringai. Rupanya Su-
gangga tidak mau membiarkan Purwanta dapat
mengatasi keadaan dirinya, kembali dengan cepat
Sugangga memekik dan hantaman pukulan telak
di muka Purwanta. Tak ayal, menjeritlah Purwan-
ta saat itu juga. Darah meleleh dari hidungnya,
terhantam telak oleh pukulan tangan Sugangga.
"Wah, anak kere itu dapat mengalahkan
Purwanta!" pekik teman-teman Purwanta kaget.
Dan dengan segera, keberanian mereka pun le-
nyap. Mereka segera berlalu pergi meninggalkan
Purwanta yang masih menggerung-gerung kesaki-
tan, ditunggui oleh Sugangga yang menyeringai
dengan sinis. "Masihkah engkau mampu menghinaku"!"
"Bangsat! Akan aku adukan dirimu pada
ayahku, biar ayahmu tidak dapat lagi bekerja!"
rungut Purwanta sengit. Dengan terhuyung-
huyung Purwanta segera hendak pergi mening-
galkan Sugangga, manakala terdengar suara
ayahnya membentak Sugangga.
"Anak kurang ajar! Kau telah berani me-
nyakiti anakku!"
"Aku tidak bersalah!" balik Sugangga mengelak tuduhan.
"Huh...!" Orang tua itu dengan tanpa mengenal ampun menghantamkan tamparan
tangan- nya ke arah muka Sugangga.
"Plak...!"
"Awas kau! Kalau engkau berani lagi pada
anakku, ayahmulah yang akan mendapat akibat-
nya!" Sugangga tak dapat lagi melawan, pipinya terasa sakit. Rona merah
menggambar telapak
tangan, menggurat di pipi kirinya, terasa sakit
dan perih. Tapi sakit di pipinya tidaklah seberapa, yang lebih sakit adalah hati
Sugangga. Hatinya
menjerit merasa dihina habis-habisan.
"Inikah hakekat anak kere"! Inikah...!" pekik hati Sugangga penuh kemarahan yang
me- luap-luap. "Yang Widi tidak adil! Yang Widi ternyata tidak menghiraukan nasib
keluargaku!"
Orang tua Purwanta tidak hiraukan lagi
Sugangga yang menggeloprok di tanah, dengan
hati yang menjerit sakit. Ia segera bergegas men-
gajak anaknya pulang, setelah terlebih dahulu
menyibirkan bibir sinis ke arah Sugangga yang
masih meringis kesakitan.
* * * "Kenapa dengan pipimu, Gangga?" tanya
Prikadayu demi melihat pipi anaknya memerah.
"Kau habis berkelahi lagi?"
Sugangga tak menjawab, dia hanya diam
saja. Hal ini menjadikan ayahnya Prikadayu ke-
rutkan kening. Ia tahu kalau Sugangga habis ber-
kelahi atau dianiaya oleh ayah si anak. Namun
sejauh ini Sugangga tak pernah mengadukan ma-
salahnya pada dirinya. Sepertinya Sugangga tidak
menghendaki ayahnya harus menanggung beban
penderitaan yang kian bertambah berat.
"Kenapa, Anakku?" kembali Prikadayu ber-
tanya. "Kau habis dianiaya oleh ayah anak yang berkelahi denganmu, bukan?"
"Be-benar, Ayah."
"Kau yang salah?"
Sugangga gelengkan kepala.
"Siapa yang salah, Gangga"!" nada suara
ayahnya makin meninggi. "Jawab, Gangga! Jan-
gan kau seperti kerbo!"
"Mereka mengejekku, Ayah!" Sugangga ak-
hirnya membuka mulut menjawab. "Mereka
menghina kita."
"Hanya itu..."!"
"Lebih dari itu, Ayah"!"
"Apa, Gangga...?"
Sugangga sesaat terdiam. Sebenarnya ia ti-
dak ingin memperpanjang masalah, sebab ia tahu
ayahnya pasti akan makin sedih bila ia menceri-
takan semua kejadian yang telah ia alami. Namun
bila hal ini harus ia pendam, rasa-rasanya Su-
gangga kecil itu tidak sanggup untuk terus larut
dalam kepahitannya. Kepahitan seorang bocah
yang hanya karena status sosialnya saja mesti
menghadapi ketimpangan sosial lainnya.
"Kenapa diam, Gangga?"
"Mereka melarang Gangga ikut main. Me-
reka mengatakan bahwa Gangga adalah keturu-
nan orang kere, sehingga tidak diperkenankan
bermain dengan mereka."
"Ooh...." mengeluh panjang Prikadayu demi mendengar penuturan anaknya. Hatinya
seakan remuk, hancur tertimpa badai hidup yang pahit,
yang kini tengah mereka hadapi. "Mengapa semua harus diri anakku yang menerima"
Mengapa?" hati Prikadayu menanya bimbang. "Mengapa Yang Widi terus menerus memberikan be-
ban padaku"
Sampai kapan hal ini akan bertengger di kehidu-
panku, juga kehidupan anak-anak-ku?"
Tak terasa, air mata Prikadayu seketika
meleleh, deras membasahi pipinya. Hal ini menja-
dikan Sugangga seketika sedih, sedih melihat
ayahnya menangis karena dirinya. Ya, kalau di-
rinya tidak mengadu, Sugangga kira ayahnya tak
akan menangis. Tetapi rupanya ayahnya telah
melihat apa yang tergurat di pipi kirinya, yang
mau tak mau harus menjadi bukti.
"Kenapa ayah menangis?"
"Ayah sedih, Anakku."
"Ayah... Gangga merasa bersalah telah
membuat hati ayah sedih. Gangga mohon maaf,
Ayah." Dengan menangis Sugangga memeluk kaki
ayahnya, menjadikan Prikadayu makin membesar
tangisnya. Dari dapur seorang wanita yang tak lain
Dripadini nongol, demi mendengar tangis suami
dan anaknya. Dripadini yang telah tahu apa se-
benarnya yang telah terjadi, nampak turut mele-
lehkan air mata. Dihampirinya kedua suami dan
anaknya, lalu dengan suara tersendat karena
tangis ia pun berkata: "Gangga, makanya kau
janganlah main. Bukankah di rumah kau pun
dapat main dengan adikmu" Kasihan adikmu, dia
tidak ada yang menjaganya."
Tengah ketiga anak beranak bertangisan,
terdengar suara bayi menangis. Bayi yang tidak
lain anak mereka, seakan turut serta merasakan
kepedihan yang diderita oleh kedua orang tuanya,
juga kakaknya. "Oa! Oaaa...!"
"Anakmu menangis, Bu," Prikadayu me-
nyadarkan istrinya, yang dengan segera mening-
galkan mereka kembali menuju kamar di mana
bayi itu berada.
"Oa.... Oaaa...!"
"Cup, cup, Manis.... Cup," Dripadini segera mengangkat tubuh kecil bayinya.
Ditimangnya dengan penuh kasih sayang, lalu diajaknya bayi
tersebut ke luar.
* * * "Sampurasun...!" terdengar suara seorang wanita menyapa.


Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rampes!" sahut Prikadayu yang tersentak dari lamunannya, yang terbang
memikirkan keberadaan rumah tangganya. "Siapa Ni Sanak
adanya" Masuklah...!"
"Aku, Prikadayu."
Berbareng dengan habisnya suara nenek-
nenek menyahut, seorang nenek tua renta keriput
dengan rambut seluruhnya telah memutih berja-
lan masuk tertatih-tatih.
Prikadayu yang merasa belum mengenal
siapa adanya sang nenek, nampak kerutkan ken-
ing dengan hati diliputi ribuan pertanyaan men-
genai siapa adanya si nenek. "Ah, siapakah
adanya nenek ini" Rasa-rasanya aku belum per-
nah sekali pun menjumpai, apalagi mengenalnya,"
gumam hati Prikadayu. "Tapi, mengapa nenek ini telah mengenal namaku" Atau
barangkali aku yang lupa?"
"Siapakah yang datang, Kakang"!" terden-
gar suara istrinya yang di dapur berseru.
Prikadayu hendak berkata, sehingga mu-
lutnya telah menganga, manakala si nenek telah
mendahului menjawabnya: "Aku Padini!"
Dripadini yang merasa belum mengenal
benar suara si nenek segera keluar dari dapur
menuju ke luar di mana suaminya tengah duduk.
Mata Dripadini seketika menyipit, merasa ia be-
lum pernah mengenal adanya si nenek. "Siapakah engkau adanya, Nek?" tanya
Dripadini. "Sepertinya kami belum pernah mengenalmu. Atau ba-
rangkali kami yang telah bingung akibat kemiski-
nan yang kami hadapi ini?"
"Untuk hal itulah aku datang ke mari," si nenek bagaikan tak hiraukan pertanyaan
kedua suami istri itu menjawab. "Aku datang atas perintah Sinuhun Raja Bergola. Aku
diutus oleh Sinu-
hun untuk menolong kalian dari kemelaratan
yang menjadikan kalian dihina oleh orang-orang
lain." Makin tidak mengerti saja suami istri tersebut mendengar penuturan si
nenek. Mereka be-
lum mengenal siapa Sinuhun yang dikatakan oleh
si nenek. Dan karena mereka menganggap Sinu-
hun itu hanya raja mereka, mereka pun berkata.
"Apakah Gusti Raja menyuruhmu untuk
datang ke mari?"
"Bukan! Bukan Gusti Raja Wangsa Dewa."
"Lalu..."!" kedua suami istri itu belalakkan mata kaget demi mendengar ucapan si
nenek. "Kalau bukan Gusti Raja Wangsa Dewa, apakah
ada raja lagi di sini" Kau jangan membuat kami
bertambah pusing, Nek?" Prikadayu bertanya
dengan bingung.
"He, he, he...! Bukankah aku telah menga-
takannya pada kalian" Yang menyuruhku ke mari
adalah Sinuhun Raja Bergola, yang menetap di
Gunung Kawi."
"Ah...!" Prikadayu memekik kaget. "Maksudmu kami menyupang?"
"Benar!"
"Tidak! Sekali lagi tidak!"
"Pikirkan yang baik, Prikadayu," si nenek berkata. "Pikirkan sebelum akhirnya
engkau menyesal. Kalian bukankah enggan untuk terkurung
dalam kemiskinan?"
"Ya!"
"Nah, mengapa engkau mesti menolak,
Dayu" Mengapa?"
"Aku tak ingin semua jadi korban."
"Hi, hi, hi...!" si nenek tertawa cekikikan.
"Gampang, Dayu. Gampang!"
"Ah...!" Prikadayu kembali melenguh, se-
pertinya tidak percaya dengan apa yang dikata-
kan oleh si nenek. "Kau tentunya ingin membuatku bertambah pusing saja, Nek?"
"Huh.... Apa untungnya aku membuatmu
pusing, Dayu!" si nenek merengut kesal. "Kalau aku hendak membuat pusing,
semestinya aku tak
hiraukan kemiskinanmu. Semestinya aku biarkan
kalian terkubang dalam kemiskinan yang akan
membayangi hidup kalian."
Si nenek mendengus, matanya memandang
penuh kekecewaan pada kedua suami istri itu.
Prikadayu dan istrinya hanya terdiam, tiada gai-
rah lagi untuk berkata-kata. Hal itu menjadikan
nenek utusan Sinuhun Raja Bergola nampak mu-
rung, lalu dengan suara berat si nenek pun ber-
kata: "Kalau kalian tak mau, tak apalah!"
Si nenek hendak berlalu pergi, manakala
terdengar suara seorang anak kecil memekik ber-
seru: "Nenek, tunggu!"
Si nenek urungkan niatnya pergi, lalu
membalikkan tubuhnya menghadap pada seorang
bocah yang telah berdiri dekat dengan kedua
orang tuanya seraya bertanya: "Ada apa, Bocah?"
"Nek, benarkah engkau dapat membantu
kami kaya?" bocah kecil yang tidak lain Sugangga bertanya kembali, menjadikan si
nenek tergelak tawa mengekeh mendengar pertanyaan polos si
bocah. "He, he, he...! Kau anak pintar, Bocah. Siapa namamu?"
"Namaku Sugangga, Nek."
"We, we, we...! Nama yang mampu mengin-
gatkan kedua orang tuamu pada tempat kelahiran
mereka. Bukan begitu, Prikadayu?"
"Ah...!" Prikadayu tersentak, kaget demi mendengar ucapan si nenek yang mampu
mene-bak asal muasalnya, padahal dirinya telah selama
hampir sepuluh tahun di tanah Jawa Dwipa.
"Memang benar apa yang engkau kata, Nek."
Si nenek tertawa gelak, lalu katanya: "Anak
kecil, kalau aku benar dapat membantu kalian
kaya, kalian apa mau?"
Sugangga yang memang berantusias ingin
menjadi anak seorang kaya nampak terkejut. Ha-
tinya seketika bergumam senang, dengan impian-
impian indah. Impian seorang bocah yang sehari-
harinya telah mendapatkan kesengsaraan, luka
hati, serta cemooh dan ejekan dari rekan-
rekannya. Diliriknya kedua orang tuanya, seperti
memberikan dorongan agar kedua orang tuanya
mau menerima tawanan sang nenek.
"Kenapa ayah dan ibu menolak?"
"Ah...!" Prikadayu melenguh demi menden-
gar pertanyaan anaknya. "Kau belum mengerti,
Anakku." "Tapi bukankah kita ingin kaya, Ayah" Ka-
lau memang nenek ini dapat membantu, mengapa
ayah menolaknya" Terimalah, Ayah...! Biar kita
tidak diinjak-injak oleh teman-teman."
Prikadayu terdiam tanpa kata. Matanya
memandang kosong ke muka, sepertinya tiada
gairah untuk menikmati alam ciptaan Yang Widi.
Hatinya bertanya-tanya bimbang untuk memilih.
Sungguh pun demikian, Prikadayu masih membe-
ratkan ajaran agamanya. "Bagaimana kalau Yang
Widi mengutuk" Oh..., Apakah aku harus terbe-
lenggu dalam ketidak-pastian hidup" Tidak! Aku
tidak akan selamanya mau begini."
"Memang benar apa yang dikatakan oleh
anakmu, Dayu," si nenek berkata: "Memang seha-rusnyalah kalian bergelimpang
harta, bukan ter-
belenggu oleh kemiskinan yang menjadikan diri
kalian dihina oleh yang kaya. Bagaimana, Dayu?"
"Terima saja, Ayah," desak Sugangga.
"Gangga ingin kita hidup berkecukupan. Gangga ingin dapat belajar bela diri
seperti teman-teman
yang lain. Bukankah dengan kekayaan kita dapat
menguasai segalanya, Ayah."
Hati Prikadayu bagaikan terhantam palu
besar, berguncang penuh ketidak-pastian hidup.
Desakan anaknya, tawaran si nenek utusan Si-
nuhan Raja Bergola, juga prinsip hidup sebagai
seorang manusia beragama. Apalagi dia adalah
pengikut sang Budha, yang harus selalu memi-
kirkan tindak dan tanduk tepo sliro kehidupan di-
rinya. "Baiklah aku menerima," akhirnya Prikadayu pun terseret oleh kemauan
anaknya, juga tuntutan kehidupan. "Katakan pada Sinuhun,
aku akan datang menuju ke sana esok hari."
Terkekeh si nenek utusan Sinuhun demi
mendengar ucapan Prikadayu, seperti tersenyum-
nya Sugangga yang membayangkan kelak dirinya
bukanlah anak orang kere, yang sepantasnya di-
hormati. "He, he, he...! Bagus! Bagus! Baiklah, aku
akan kembali menghadap Sinuhun untuk me-
nyampaikan berita ini."
Setelah habis berkata begitu, tiba-tiba tu-
buh si nenek lenyap. Hal ini menjadikan Prika-
dayu dan keluarganya tersentak kaget, heran ber-
campur rasa tidak mengerti. Dan hanya saling
pandang saja yang dapat mereka lakukan.
*** 2 Esok paginya Prikadayu pun memenuhi
apa yang telah dijanjikan pada nenek utusan Si-
nuhun. Ketika pagi masih buta, dan kokok ayam
jantan baru terdengar sekali-kali, Prikadayu me-
ninggalkan rumahnya dengan diantar anak dan
istrinya sampai ke pintu rumah.
"Aku berangkat dulu, Istriku," Prikadayu berkata, seakan ada rasa berat
menggayut di ke-lopak matanya. Tanpa terasa, air mata Prikadayu
menetes. Air mata pedih yang harus bertambah
pedih manakala mengingat bahwa dirinya akan
menyeleweng dari Sang Budha.
"Mengapa kakang menangis?" Dripadini
yang melihat lelehan air mata suaminya bertanya.
"Apakah kakang tidak meniat" Kalau kakang ti-
dak meniat untuk apa kakang mesti berangkat
menuju ke gunung Kawi?"
Prikadayu terdiam, tak mampu untuk ber-
kata-kata. Bayang-bayang kemiskinan telah men-
gusik hatinya, hati seorang suami sekaligus hati
seorang ayah. "Kalau aku tidak teguh, akan bagaimana nasib anak-anakku?" keluh
hati Prika- dayu. "Tidak, Istriku. Aku menangis karena aku harus lama meninggalkan kalian.
Meninggalkan beban di pundakmu untuk mengurus dan mem-
berikan makan anak-anak kita," Prikadayu akhirnya berkata menghibur sang istri.
"Aku berangkat, Istriku. Doakan aku dapat menghadapi sega-
lanya." "Doaku selalu menyertaimu, Kakang."
Lembut Dripadini mencium pipi suaminya,
menjadikan kesejukan tersendiri di hati Prika-
dayu. Hatinya seketika kembali menjerit gundah,
"Oh, sungguh dia istri yang baik dan bijaksana.
Walaupun dia anak orang berada, namun demi
cintanya padaku dia rela menderita. Kini tinggal
diriku sebagai seorang suami, mampu atau tidak
membalas kesetiaannya. Oh, Istriku. Semoga kita
akan selalu menyatu dalam kedamaian."
"Berangkatlah, Kakang," ucap Dripadini
penuh kasih. "Aku berangkat, Istriku."
Lemah lambaian tangan Prikadayu, sele-
mah langkahnya yang diliputi rasa gundah di ha-
tinya. Namun bila mengingat semua kepahitan
yang telah mendera rumah tangganya, Prikadayu
berusaha memantapkan langkah kakinya. Lang-
kah kakinya seakan ada yang menyeret menjadi-
kan Prikadayu bagaikan lari dan terbang. Kekua-
tan gaib telah membantunya berjalan, menjadi-
kan istrinya terbengong sendiri penuh ketidak-
mengertian. Dalam sekejap saja tubuh Prikadayu
telah lenyap di balik rimbunan hutan yang jauh di
depan rumahnya.
Prikadayu tersentak, kaget berbaur dengan
rasa ketidak-mengertian. Bagaimana mungkin di-
rinya yang tidak pernah belajar ilmu silat mampu
berlari bagaikan angin saja. Mukanya mengerut,
hatinya bertanya tak mengerti. "Hai, kekuatan apa yang telah mampu menyeret
diriku hingga mampu berlari secepat ini?"
Tak ada jawaban dari pertanyaan hatinya,
sepi. Ya, hutan yang ia lalui sungguh-sungguh
sepi. Hutan yang lebat, seakan memaparkan
keangkeran kini telah terjarah oleh dirinya. Prikadayu agak meragu, bimbang
harus berbuat ba-
gaimana. Bulu kuduknya seketika berdiri, mana-
kala dirinya makin masuk saja ke dalam hutan.
"Aum...! Aaauuummm...!" terdengar auman
raja hutan menggema, sepertinya raja hutan itu
mencium kedatangannya. Dan benar saja, tiba-
tiba manakala Prikadayu menyurut langkah see-
kor harimau berkelebat menghadangnya.
"Oh...!" tersentak mundur Prikadayu melihat harimau besar, tak seperti harimau
biasanya menghadang. "Raja hutan, kalau kau hendak
memangsaku, aku mohon jangan. Sungguh aku
kini tengah diliputi kepedihan, tegakah engkau
memangsa diriku?" Prikadayu mengiba.
Sorot mata harimau besar itu tajam, me-
mandang lekat-lekat pada Prikadayu yang nam-
pak pucat ketakutan. Perlahan harimau itu me-
langkah, mendekat ke arah Prikadayu berdiri
yang makin nampak pucat pasi saja.
"Aauummm...!" kembali harimau itu men-
gaum, melangkah terus menghampiri Prikadayu


Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah pasrah. Prikadayu tak dapat lagi me-
nahan tubuhnya, lututnya goyah hingga akhirnya
Prikadayu pun terkulai bersimpuh.
"Makanlah bila kau memang menginginkan
tubuhku." "Aauuummm...!" Harimau itu makin men-
dekat, dekat dan bertambah dekat. Sejauh itu
Prikadayu telah menyerahkan segalanya dengan
pasrah. Bila ternyata harimau besar itu hendak
memangsa dirinya, maka Prikadayu telah siap se-
gala-galanya. Namun ternyata harimau itu tidak
memangsanya, bahkan menjilati muka Prikadayu
yang seketika terkulai pingsan, saking takutnya.
Tengah harimau itu menyeret tubuh Prika-
dayu masuk lebih dalam menuju semak-semak,
tiba-tiba terdengar suara gelak tawa bergema.
"Hua, ha, ha...! Enak saja engkau hendak
menguasainya, Raja Poleng! Aku telah capai-capai
mengutus utusanku untuk mengajaknya, eh, kau
dengan seenaknya membawanya."
"Aum...! Siapa engkau, Manusia!"
"Aku, Raja Poleng!"
Bareng dengan suara jawaban serak dan
berat, sesosok bayangan tinggi besar berkelebat
menghadang harimau Siluman tersebut, yang ter-
sentak lepaskan tubuh Prikadayu. Kedua mahluk
siluman yang berbeda jenis itu saling pandang,
sepertinya hendak menunjukkan kemampuan
masing-masing. "Aumm...! Kau ternyata adanya!" Raja Po-
leng menggeram setelah tahu siapa adanya yang
datang. "Hem, apa yang menjadikan engkau men-
gatakan bahwa manusia ini adalah pengikutmu.
Dia aku temukan di hutan ini, maka dia aku ya-
kin hendak menuju ke tempatku."
"Wuah...! Kau enak saja ngomong!" bentak siluman yang berbentuk manusia besar
dengan mata besar sebesar piring kecil, serta lidah mele-
leh panjang berwarna merah menyala, semerah
matanya yang tajam memandang dengan bengis
ke arah Raja Poleng. "Kau ternyata siluman kurang ajar! Kau tidak mau mencari
mangsa sendiri.
Kau ternyata pengecut, yang maunya mengambil
mangsa orang lain, Poleng!"
"Aauummm! Kau berani berkata sembrono,
Bergola!" "Hua, ha, ha...! Kenapa tidak! Akulah Raja
Siluman yang paling sakti. Akulah yang mampu
memberikan pada umatku kelebihan-kelebihan,
tidak seperti dirimu."
"Sombong!" desis Raja Poleng marah mera-
sa direndahkan.
"Hua, ha, ha...! Cepatlah serahkan orang
itu padaku, Poleng! Jangan sampai aku marah!"
bentak Raja Bergola. "Cepat, Poleng! Waktuku sudah tak ada lagi! Sebentar lagi
hari menjelang pa-
gi!" "Aum...! Tidak bisa, Bergola! Orang ini ada-
lah hambaku!"
"Hem, rupanya kau menginginkan perta-
rungan di antara kita, Poleng"!" menggeretak ma-
rah Raja Bergola merasa ditantang oleh Raja Po-
leng yang masih berusaha menghalangi Bergola
mengambil tubuh Prikadayu. "Kalau itu yang
engkau mau, jangan salahkan aku menindakmu."
"Jangan sesumbar, Bergola! Ayo kita bukti-
kan! Aum...!"
Raja Poleng dengan segera berkelebat me-
nyerang Raja Bergola, demi mempertahankan
mangsanya yang telah ia dapatkan. Menggeretak
marah Raja Bergola. Dan dengan cepat berkelebat
menghindar serangan tersebut. Pertarungan dua
raja siluman itu pun tak dapat dihindarkan. Hu-
tan di mana mereka bertarung seketika menggele-
gar bagaikan tak mampu menahan hantaman dan
jejakan tangan serta kaki mereka bila menyerang.
Pohon-pohon tumbang, terhantam dengan dah-
syat pukulan-pukulan dua raja siluman tersebut.
Jurus demi jurus terlalui oleh mereka den-
gan cepat, seakan mereka dengan sengaja meng-
hambur-hamburkan ilmu yang mereka miliki
dengan tujuan secepatnya mampu menjatuhkan
lawan. Tetapi nampaknya hal itu sangat susah
untuk mereka lakukan, sebab keduanya sama-
sama tangguh, sama-sama berilmu tinggi. Seran-
gan mereka membahana, mampu membuat seisi
hutan kalang kabut berlarian.
"Aum...! Mana buktinya, Bergola!" Raja Lo-reng berkata sombong.
"Heemm.... Jangan engkau bangga dulu! Ini
lihat!" Raja Bergola segera keluarkan ajian simpa-nannya, lalu dengan secepat
kilat dihantamkan
larikan sinar hijau itu ke arah Raja Poleng.
Raja Poleng tak mau mengalah begitu saja,
dia pun kiblatkan ajian yang telah tersalur dari
matanya memapaki larikan sinar hijau tersebut.
Maka saat itu juga, dua larik sinar hijau dan me-
rah menderu-deru dan...!
"Bletar! Duar...!"
Ledakan dahsyat menggema, berbareng
dengan bertemunya dua larikan sinar tersebut.
Raja Poleng terpental mencelat ke belakang, tak
percaya melihat kenyataan tersebut. Sementara
Raja Bergola nampak sunggingkan senyum, atau
lebih tepat dikatakan menyeringai.
"Baiklah! Aku mengalah!" Raja Poleng ak-
hirnya mengakui kekalahannya. Segera ditinggal-
kan tubuh Prikadayu, yang dengan segera diambil
oleh Raja Bergola. Setelah mengetahui bahwa Pri-
kadayu tak mengalami apa-apa. Raja Bergola pun
kembali berkelebat menghilang entah ke mana.
Hutan itu pun kembali sepi, senyap dengan ke-
misterian yang ada.
* * * Gunung Kawi nampak sepi dan hening,
dengan puncaknya yang tinggi menjulang. Seper-
tinya di situ tak ada kehidupan, yang ada hanya-
lah segala macam tetumbuhan dan hewan-hewan
penghuni hutan. Itu bila dilihat dari mata manu-
sia biasa, namun bila dilihat dengan mata batin,
niscaya kita akan melihat bahwa di Gunung Kawi
tersebut terdapat penghuni yang beraneka ragam
bentuknya. Dari bentuk manusia berkepala ular,
buaya, harimau, kera, sampai pada manusia ber-
kepala manusia yang menakutkan, yang biasa
disebut Buto. (Ini menurut cerita orang tua, lho.
Sedang pengarang sendiri sebenarnya tidak tahu
sama sekali. Mohon maklum adanya!) Di situlah
para manusia-manusia yang hendak mencari ke-
kayaan dengan jalan pintas datang, mengajukan
diri mereka untuk menjadi pengikut atau sering
dikatakan menghamba. Manusia-manusia itu ke-
lak akan menjadi hamba mereka.
Seperti terlihat pula di situ, nampak manu-
sia-manusia tengah bekerja dengan paksa. Tubuh
mereka bekerja bukan semestinya, tetapi bekerja
dengan segala apa yang ada. Tangan mereka di-
rantai, juga kakinya. Mereka hilir mudik dengan
memanggul batu sebesar gunung anakan, dari sa-
tu tempat ke tempat lainnya. (Nauzubilla mindza-
lik). Merekalah orang-orang syirik, menyekutukan
Tuhan yang telah memberikan apa yang baik buat
mereka, tetapi nampaknya mereka tak mau me-
nyadarinya. Dengan jalan pintas, yaitu bersekutu
dengan iblis mereka mencari kekayaan dan me-
numpuknya. Baru saja siksa alam gaib, sungguh men-
dera mereka, apalagi nanti siksa Tuhan. Memang
nampaknya mereka menyesali tindakan yang te-
lah dilakukan, tetapi untuk apa" Sesal kemudian
tak ada guna. Air mata mereka walau meleleh dan
membanjiri lereng gunung Kawi, namun Iblis
yang merasa telah memberikan segalanya pada
mereka tak mau perduli. Bagi Iblis, mereka tak
lebihnya budak untuk mengikuti kesesatannya,
syirik pada Allah S.W.T. Sang Maha Pencipta,
yang telah menjadikan mereka hidup.
Si nenek yang mendatangi rumah Prika-
dayu, kini bukan berupa manusia lagi, tetapi be-
rupa mahluk menyeramkan yang sering dikata-
kan Kalong Wewe. Buah dada si nenek tampak
menjurai, kuping panjang meninggi, mata lebar,
juga lidah merah mengurai ke luar dari mulutnya
ditambah lagi dengan taring-taring runcing. Ne-
nek itu tidak lain istri dari Raja Bergola, raja dari Buto yang menjadi penghuni
kerajaan Iblis Gunung Kawi di mana para manusia mendatanginya
guna mencari kekayaan.
"Weh, weh, weh...! Kenapa kakang Bergola
tak muncul-muncul?" Si nenek cemas, matanya
yang lebar memandang ke muka dengan pandan-
gan tajam. Dari kedua matanya seketika nampak
dua larik sinar putih, menembus kabut pengha-
lang sukma. Kabut itu memang pintu pemisah
antara alam manusia dengan alam siluman.
Sinar yang keluar dari sorot mata Wewe itu
terus melesat menuju ke bawah, di mana lereng
gunung Kawi menghampar dengan hutan belukar
tubuh menghijau. Nampak oleh si nenek Wewe itu
suaminya berlari-lari menggendong sesosok tu-
buh terkulai menuju ke arah situ.
"We, we, we. Ternyata kakang Bergola telah
menemukannya."
"Dinda, Wewe. Tolonglah aku ini!" seru Ra-ja Bergola yang tengah berlari-lari
menuju ke tempat di mana Wewe tersebut berdiri. Langkah-
nya bukan sekedar berlari, tetapi terbang. "Wah,
sungguh berat tubuh manusia ini, Dinda!"
"We, we, we. Ayo aku bantu, Kakang!"
Wewe itu segera berkelebat terbang menghampiri
suaminya, si Raja Bergola. Dan memang benar
apa yang dirasakan oleh suaminya. Tubuh orang
ini berat, bagaikan sebongkah gunung. "We, we, we! Sungguh kita beruntung,
Kakang." "Apa maksudmu, Dinda?" tanya Raja Ber-
gola tak mengerti.
"Ternyata kita mampu menaklukkan umat
Tuhan yang kokoh imannya, sehingga walau la-
hirnya menyanggupi, tetapi hatinya masih terpaut
pada asma Tuhan. We, we, we."
Dengan digotong oleh dua Iblis, tubuh Pri-
kadayu dibawa terbang menuju ke kerajaan di
mana mereka berkuasa. Sebuah kerajaan Iblis,
yang nampak megah terbangun oleh hasil kerja
para budak-budak pengikutnya.
* * * Sementara itu, di rumah Prikadayu nam-
pak istri dan kedua anaknya menunggu kedatan-
gan Prikadayu. Sudah seminggu lamanya Prika-
dayu menghilang, atau pergi meninggalkan mere-
ka untuk memenuhi panggilan Raja Bergola yang
dipanggil dengan sebutan Sinuhun. Dan sudah
seminggu pula Prikadayu tak ada kabar beri-
tanya, bagaikan hilang begitu saja. Sedangkan si
nenek yang dulu menawarkan segalanya juga tak
muncul batang hidungnya entah pergi ke mana.
Hal ini menjadikan cemas di hati Dripadini, gun-
dah karena memikirkan keberadaan suaminya,
juga anak-anaknya yang kini harus makan. Per-
sediaan beras dan lainnya, makin hari makin me-
nipis, bahkan esok mungkin sudah tak tersisa.
"Mengapa kakang Dayu tak kunjung da-
tang?" keluh Dripadini bingung. Bagaimana tidak, anaknya Sugangga saban hari
terus menanyakan
kedatangan sang ayah. "Apakah nenek itu tidak mendustai kami?"
Tengah Dripadini merenung sendiri, ter-
dengar anaknya yang bayi menjerit keras. Hal itu
menjadikan Dripadini seketika melompat bangun,
dan dengan segera berlari menuju ke dalam ka-
marnya, di mana sang bayi ia tidurkan. Mata Dri-
padini seketika membeliak, serta merta bagaikan
orang histeris Dripadini berteriak keras: "Ti-daaaakkk...!" Dripadini segera
menghambur ke bayinya yang tampak tangannya berdarah, putus
pergelangannya. Didekapnya tubuh sang bayi.
"Tidak! Tidak...!"
"Ibu...!" Sugangga yang melihat ibunya menangis turut menumpahkan tangisnya.
"Ibu... kenapa adik begitu, Bu" Kenapa... hu, hu, hu...!"
Dripadini tak dapat menjawab segala per-
tanyaan anaknya. Ia sendiri dalam ketidak-
mengertian, mengapa bayinya tiba-tiba menjerit
lalu anggota tubuhnya putung dengan sendirinya.
Belum juga hilang kaget Dripadini, tiba-tiba kepa-
la si bayi lepas dan menggelinding dari lehernya.
Makin menjeritlah Dripadini sekencang-
kencangnya, tak hiraukan apa yang terjadi.
"Tidaaaak...! Tidaaak...!"
"Ibu...! Hu, hu, hu.... Ibu! Kenapa ini, Bu"
Kenapa?" Sugangga sesenggukan makin keras
menjerit, melihat kepala adiknya menggelinding,
lepas dari pangkal lehernya. Mata bayi itu mende-
lik, sepertinya menyumpah serapah pada mereka.
Berbareng dengan keadaan bayi itu, di Gu-


Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nung Kawi nampak Prikadayu tengah menyembe-
lih seekor anak domba kecil, Prikadayu tak tahu
siapa sebenarnya yang ia sembelih, yang nam-
paknya hanyalah seekor anak domba.
"Hari ini kau akan makan lezat, Dayu," si nenek Wewe itu berkata. Si nenek itu
kembali tampak oleh Prikadayu seorang manusia biasa,
bukan seorang Wewe yang menakutkan.
"Ya, begitulah," jawab Prikadayu tenang.
Dilamusnya tubuh domba itu di atas pembaka-
ran, yang membara dan dengan seketika me-
manggang tubuh domba kecil tersebut.
Si nenek Wewe sunggingkan senyum, sea-
kan ia telah mendapat kemenangan. Dari dalam
istana seorang lelaki tampan keluar, diiringi para dayang yang cantik jelita
menemui Prikadayu. Ra-ja itu begitu muda dan tampan di hadapan Prika-
dayu, yang tak tahu siapa adanya lelaki muda
tampan yang menjadi raja tersebut. Kalau saja
mata batin Prikadayu mampu melihat, sudah pas-
ti Prikadayu akan bergidig melihat siapa adanya
sang Raja. Wajah sang Raja sesungguhnya sangat
menyeramkan, dengan mata besar merah, lidah
menjulur panjang, serta taring runcing. Sang Raja
berjalan mendekati Prikadayu yang tengah me-
manggang anak domba yang telah disembelihnya,
dan bertanya. "Sudah matangkah, Dayu?"
"Sebentar lagi, Baginda," jawab Prikadayu tanpa palingkan muka, asyik memanggang
anak domba tersebut. Tersenyum menyeringai melihat
Prikadayu dengan tenang dan asyiknya memang-
gang tubuh anak bayinya. "Dia belum tahu siapa yang dia panggang. He, he,
he...!" Raja Bergola terkekeh dalam hati.
Prikadayu tak hiraukan senyum sang raja
dan nenek Wewe karena ia tidak melihatnya. Ia
tengah asyik dan tenang memanggang domba
yang nampak lezat. Tak lama kemudian Prika-
dayu telah selesai membakarnya, dan berkata:
"Sudah, Baginda. Anak domba ini sudah masak,
apakah baginda akan mencicipinya?"
"Makanlah olehmu dulu, Dayu." Raja tam-
pan itu berkata. "Nanti biarlah sisanya untuk kami." Prikadayu tercengang, sebab
ia merasa ba-ru kali ini ada raja yang sebaik raja tampan ini.
Biasanya raja tak akan mau memakan sisa ra-
kyatnya, tetapi raja tampan bernama Sinuhun ini
mau menerima bahkan menyuruhnya untuk
mencicipi daging domba yang dibakarnya.
"Ah...!" Prikadayu tersentak. "Sungguhkah Sinuhun tidak tengah bercanda?"
"Tidak, Dayu. Aku tidak bercanda."
"Oh, sungguh mulia hati Sinuhun, yang
mau menerima sisa makan hamba yang orang
kere ini."
Sinuhun geleng-geleng kepala, tersenyum
manis, sepertinya mengijinkan bahwa Prikadayu
memang boleh mendahuluinya makan. Keduanya
sesaat saling pandang, lalu sang Sinuhun terse-
nyum kembali sembari berkata. "Kau kali ini
miskin, tapi nanti kau akan kaya raya dan sakti,
Dayu. Nah, makanlah. Setelah kau makan, kau
pulanglah, sebab anak dan istrimu tengah me-
nanti. Buka tikar di mana kau tidur, di sana kau
akan menemukan uang emas yang jumlahnya
banyak." "Ooh...." Prikadayu mendesah, seakan tak percaya pada apa yang didengar.
"Benarkah itu semua, Sinuhun?"
"Aku tidak bercanda, Dayu."
"Ooh, sungguh mulia hati Sinuhun."
Setelah berkata begitu, dengan lahap Pri-
kadayu memakan daging anak domba. Perutnya
yang sudah tiga hari tidak diisi karena harus ber-
tapa sangat menghendaki makan. Tak berapa la-
ma saja, daging domba kecil itu pun tinggal tiga
perempatnya saja. Prikadayu terus menyantap,
tak hiraukan pada kedua orang yang melihatnya
dengan gelengkan kepala. Dua orang yang tak
lain nenek Wewe dan Raja Bergola tersenyum-
senyum senang, karena telah ada budaknya lagi.
Makin banyak ia mendapatkan budak, makin mu-
lialah hidupnya sebagai Raja Iblis Bergola.
"Sudah kenyang, Dayu?" kembali Raja Ber-
gola bertanya. "Sudah, Sinuhun," jawab Prikadayu.
"Nini, tolong kau ambilkan sekarung kecil
oleh-oleh untuknya."
"Daulat, Sinuhun." Nini Wewe menjura, la-
lu bergegas tinggalkan Rajanya yang masih berdiri
ditemani para dayang berbincang-bincang dengan
Prikadayu. Tak lama kemudian nini Wewe kemba-
li muncul dengan sekandi penuh oleh-oleh buat
Prikadayu. "Ini untukmu, Dayu."
"Ini belum seberapa, Dayu," Raja Bergola menambahkan. "Kelak bila masanya tiba,
yaitu setiap bulan purnama dan kau telah menyetorkan
tumbal, maka sepuluh karung ini kau akan da-
patkan." "Jadi...!" Prikadayu tersendat, tak mampu teruskan ucapan.
"Ya! Kau setiap bulan purnama harus me-
nunjukkan pada orang utusanku siapa yang eng-
kau berikan mangsa."
"Bagaimana, Dayu?" si nenek menanya.
"Ingat, Dayu. Kau telah menjadi hambaku,
hamba Raja Bergola." Tiba-tiba Raja Bergola berubah pada bentuk semula, begitu
juga dengan si nenek. Bentuk mereka sangat menakutkan, men-
jadikan Prikadayu tersurut mundur. "Inilah kami, Dayu. Bila kau melanggar
perjanjian, maka kaulah yang akan kami mangsa. Dan lihatlah oleh-
mu, bahwa yang kau makan bukanlah domba, te-
tapi anakmu sendiri. Hua, ha, ha...!"
Prikadayu tengokkan matanya pada pera-
pian di mana tubuh domba masih menggelan-
tung. Dan benar, ternyata bukannya domba yang
dipanggangnya, melainkan tubuh bayi berusia se-
tahun. Dan manakala Prikadayu menatap kepala
domba, tersentaklah ia. Tenaganya bagai hilang,
lemas tiada daya untuk berdiri. Mata bayi itu
mendelik, seakan mengutuki perbuatannya. Per-
buatan seorang ayah yang telah tega membunuh
anaknya sendiri demi kepuasan batinnya.
"Pantas waktu aku sembelih ia menjerit.
Ayah!" mengeluh hati Prikadayu. "Oh, sungguh aku telah berdosa."
"Dayu! Jangan kau katakan dosa! Kau tak
lazim berkata begitu. Kau kini telah menjadi
hambaku, maka kau tak pantas mengeluh dan
menyebut dosa."
"Prikadayu, pulanglah. Anggap saja semu-
anya hanya mimpimu. Ingat, Dayu. Setiap malam
purnama kau harus menyetor padaku korban!"
Raja Bergola berkata, namun tidak segalak nenek
Wewe. Nada katanya seakan memberikan hara-
pan pada Prikadayu, yang tak tahu bahwa itulah
taktik Iblis untuk mampu menjeratnya.
Dengan diantar oleh Raja Bergola dan ne-
nek Wewe menuju pintu penyekat alam Prikadayu
pun pulang dengan membawa sekandi buah tan-
gan yang dikata oleh sang Raja Kunir. Prikadayu
terus berjalan dengan pikiran kosong tak berisi,
hilang bagaikan melayang terbang setelah tahu
bahwa anaknyalah yang telah dimakan olehnya
sendiri. "Oh, kini aku telah menjadi sekutu Iblis,"
Prikadayu mengeluh, namun segera hatinya kem-
bali berkata. "Tidak! Segalanya telah terjadi, tak pantas aku menyesalinya."
Semangatnya kembali muncul, dan bagai-
kan seorang yang baru mudik dari kota dengan
membawa hasil banyak, Prikadayu berlari-lari
menuruni lereng gunung Kawi menerobos hutan
untuk kembali ke rumahnya dengan harapan itu
semua hanyalah mimpi. *** 3
Harapan Prikadayu semoga apa yang telah
terjadi pada dirinya hanyalah mimpi, ternyata tak
tercapai. Semua adalah kenyataan, kenyataan
yang makin mengkoyak-koyak hatinya. Hati seo-
rang ayah yang telah tega-teganya memangsa
anaknya sendiri.
Baru saja Prikadayu sampai di halaman
rumahnya, seketika disambut jerit tangis istrinya.
Prikadayu yang telah tahu apa yang terjadi hanya
mampu diam, diam tak dapat berkata-kata. Ha-
tinya bagai teriris-iris, perih. Namun segalanya
sudah menjadi bubur, tak mungkin harus dikem-
balikan menjadi beras.
"Anak kita, Kakang! Anak kita...!" istrinya memekik.
"Sudahlah, Dinda. Segalanya telah terjadi."
"Kakang! Apa maksudmu!" Dripadini mena-
tap lekat tak mengerti, "Kenapa kakang sepertinya tak hiraukannya. Kenapa,
Kakang"! Kenapa semuanya bisa begitu. Hu, hu, hu...!"
Prikadayu tertunduk diam, melangkah
dengan kaki terseret menggandeng tangan sang
istri dengan pundak masih menggendong seka-
rung kecil sesuatu yang katanya kunir. Dilempar-
kannya kunir itu ke pojok ruangan, yang seketika
menjadikan mata kedua suami istri itu membela-
lakkan mata. Suara dalam karung itu bukanlah
suara kunir tetapi suara benda padat.
"Trang...!"
"Heh, mengapa kunir bunyinya begitu?"
Prikadayu terheran-heran sendiri, memandang
pada karung kecil di sudut ruangan rumahnya.
"Apakah aku tak salah dengar, Dinda?"
Dripadini yang juga mendengar suara lain
dari dalam karung tersebut pun hanya mampu
gelengkan kepala. Matanya memandang tak per-
caya pada karung yang kini tergeletak. Sesaat
kemudian matanya beralih memandang pada su-
aminya yang juga memandang ke arahnya dengan
pandangan penuh pertanyaan.
"Cobalah kakang periksa isinya," Dripadini menyarankan.
"Ah, tak salahkah aku mendengar?" kem-
bali Prikadayu terlolong-lolong. Dengan segera
Prikadayu kembali hampiri karung yang telah ia
bawa. "Cobalah aku lihat."
Dengan tangan gemetar Prikadayu mem-
buka tali ikatan karung. Seketika matanya melo-
tot, tak percaya pada apa yang dilihatnya di da-
lam karung tersebut. Hal itu menjadikan istrinya
yang melihat seketika bertanya. "Kenapa, Kakang, sepertinya engkau terkejut?"
"Emas, Dinda! Emas!" Prikadayu bersorak
girang, lupa pada kesedihan yang seharusnya ia
alami. Matanya mendelik, dan tangannya segera
meraup emas dalam karung. "Lihat! Lihat, Dinda!"
Membeliak mata Dripadini, manakala sua-
minya mengangkat emas yang tak terkira ba-
nyaknya yang ditunjukkan ke arahnya. Bagaikan
lupa pada keadaannya, seketika Dripadini berseru
girang dan melompat memeluk suaminya seraya
berkata: "Kakang, kita menjadi orang kaya. Kita akan kaya, Kakang!"
Diguncang-guncangkan tubuh Prikadayu,
yang nampak hanya terpaku diam bagaikan orang
linglung. Mata Prikadayu memandang kosong, se-
pertinya tengah memikirkan sesuatu. Hal itu
menjadikan Dripadini hentikan guncangan tan-
gannya, lalu dengan rasa tidak mengerti bertanya:
"Kenapa kakang terbengong" Apakah...?"
"Tidak, Dinda. Kakang tengah bingung."
"Bingung..." Bingung kenapa, Kakang?"
"Apakah kita akan hidup kaya dengan ber-
gelimpangan nyawa?"
"Maksud kakang?" Dripadini masih belum
mengerti, matanya memandang penuh tanda
tanya pada sang suami yang hanya terbengong
kosong. "Kenapa, Kakang?"
"Sesuai dengan perjanjian antara aku dan
Raja Bergola, maka aku setiap bulan purnama
harus menunjukkan padanya siapa yang bakal
aku korbankan sebagai wadal."
Kini Dripadini yang terdiam. Matanya me-
natap kosong, sehingga kebisuan yang ada seke-
tika menyelimuti mereka. Kebisuan dengan segala
hati yang gundah, hati yang bingung harus ber-
buat apa untuk nanti manakala bulan purnama
datang. "Bagaimana kalau kita tumbalkan tetangga
kita, Kakang?"
"Ah...!" tersentak kaget Prikadayu mendengar saran istrinya, yang dirasakan
sangat tidak masuk di akal. "Bagaimana mungkin orang yang
tidak berdosa harus kita korbankan, Dinda?"
"Kita beri saja mereka uang dan perhiasan,
Kakang." "Apakah mereka tak curiga?" tanya Prika-
dayu bimbang. "Biar saja mereka curiga. Bukankah tak
ada bukti bahwa kita yang telah melakukannya?"
"Benar juga ucapanmu, Dinda."
"Nah, kini kita telah menjadi orang kaya,
maka apa pun akan dapat kita perbuat. Kini me-
reka yang dulu menghina kita akan membuka
mata. Hi, hi, hi...,!" Dripadini tertawa, seakan ke-bahagiaan telah terukir di
pelupuk matanya. Lupa
akan kepedihan yang dialami, lupa akan bayinya
yang telah menjadi korban.


Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * Sejak kejadian itu, maka keadaan ekonomi
Prikadayu mulai meningkat. Bahkan tidak tang-
gung-tanggung, Prikadayu yang dulunya miskin
dan hanya menjadi seorang buruh tani, seketika
berubah menjadi Tuan Tanah yang kaya raya.
Hingga dalam pergaulan hidup pun keluarga Pri-
kadayu yang dulu dikucilkan, kini diterima bah-
kan didekati oleh orang-orang yang pekerjaan-nya
hanya menjilat.
Sugangga sebagai anak yang tinggal satu-
satunya, sangat disayang dan dimanjakan. Segala
apa saja yang dimintanya, selalu dengan cepat di-
kabulkan. Dan sejak saat itu pula, Sugangga ti-
dak pernah lagi dikucilkan atau dihina oleh rekan
sepermainannya. Semua menghormatinya, semua
seakan ingin menunjukkan darma bakti pada ju-
ragan baru yang tidak pelit, yang selalu siap
memberikan pertolongan moril bagi orang yang
membutuhkannya.
"Gangga, ayah minta kau jangan nakal.
Tunjukkan bahwa kita ini orang baik, yang selalu
mengerti akan apa artinya kasih sayang," Ayahnya memberi saran. "Jangan karena
dulu mana- kala kita miskin mereka membenci kita, lalu sete-
lah kita kaya berbalik membenci mereka."
Sugangga terdiam, menurut dan menden-
garkan segala petuah ayahnya. Sebenarnya seba-
gai seorang anak, Sugangga ingin melakukan apa
yang pernah dilakukan oleh anak-anak padanya,
tetapi karena kebijaksanaan ayahnya yang mela-
rang dirinya sombong menjadikan Sugangga
mampu melupakan segala kejadian yang telah di-
alaminya manakala dirinya masih menjadi anak
orang tak punya.
"Seperti Sang Budha, ia tak pernah mem-
balas pada orang yang membencinya dengan ber-
balik membenci, tetapi Sang Budha malah men-
gasihinya. Dan ternyata hasilnya sungguh sangat
baik. Orang-orang yang dulu membencinya, seke-
tika menjadi pengikut-pengikut Sang Budha. De-
mikian juga dengan kita sebagai umatnya, kita
harus mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh
Sang Budha."
"Benar, Ayah. Sungguh luhur budi pekerti
Sang Budha."
"Itulah, Gangga. Sang Budha sesakit apa
pun, tak mau membalas dengan menyakiti. Sang
Budha terus berusaha menyadarkan musuhnya
dengan jalan pendekatan. Dan bila jalan tersebut
tanpa hasil, Sang Budha segera meminta petun-
juk pada Yang Widi bagaimana cara yang paling
baik." "Dia juga katanya sangat tekun beribadat, Ayah?" "Ya! Dia memang sangat
tekun beribadat."
"Kalau begitu Gangga pun ingin berguru,
Ayah." Prikadayu terdiam mendengar permintaan anaknya. Bukannya ia tidak
mengijinkan anaknya berguru, tetapi ia sungguh sangat berat bila
harus berpisah dengan anak satu-satunya. Anak-
nya kini tak ada lagi, tinggal Sugangga. Anaknya
yang satu, telah menjadi korbannya sendiri, seba-
gai wadal bagi apa yang kini mereka peroleh.
"Kenapa ayah terdiam" Apakah ayah tidak
mengijinkan Gangga berguru?"
"Bukan itu, Anakku." Prikadayu mencoba
menarik napas, terasa sesak. Bayang-bayang hi-
dup menyelinap, masuk mencerca jiwa dan ha-
tinya. Bayang-bayang bagaimana kalau anaknya
akan dididik keras oleh sang guru, padahal ia
sendiri tak pernah melakukannya. Dan untuk apa
kekayaan ini, bila sang anak harus pergi mening-
galkan dirinya" Prikadayu kembali diam, sulit un-
tuk mengatakannya pada sang anak. Bila ia mela-
rang, berarti ia tidak menyukai dan tidak me-
nyayangi anaknya. Tetapi bila tidak dilarang, jelas ia harus berpisah dengan
anak satu-satunya.
"Kenapa, Ayah?" Sugangga terus mende-
sak, sepertinya ingin mendengar kepastian dari
ayahnya. "Apakah memang ayah memberatkan-
nya?" "Memang itulah, Anakku," Prikadayu akhirnya berkata, sebab ucapan tanya
anaknya memang tujuan ucapannya. "Ayah sangat berat
bila harus berpisah denganmu, juga ibumu ten-
tunya begitu pula."
"Ah, bukankah Gangga kini sudah dewasa,
Ayah?" "Ayah mengerti, Nak. Ayah tahu kau telah dewasa. Tapi bukan kedewasaanmu
yang ayah pikirkan. Ayah memikirkan bagaimana nanti ayah
dan ibumu sepi, tiada anak lagi."
"Namun jika Gangga tak berguru, apa ja-
dinya Gangga setelah besar nanti?" Gangga tercenung, melamunkan bagaimana jika
ia tak dapat menguasai ilmu bela diri. Bayangannya tertum-
pah pada orang-orang persilatan yang sangat
agung, ke mana-mana membawa pedang yang
tergantung di pundaknya. Tidak seperti orang
yang tak dapat berbuat apa-apa, badan mereka
nampak tegar, berisi dengan otot-otot yang me-
nunjukkan latihan yang keras.
"Apa tujuanmu belajar silat, Anakku?"
"Untuk membela ayah dan ibu," jawab
Gangga pendek. "Hanya itu...?" Ayahnya kerutkan kening.
"Ya, hanya itu. Kenapa, Ayah?"
"Tidak apa. Kau memang anak yang baik.
Baiklah, ayah akan mencoba mencarikan guru
untukmu. Guru itu akan ayah suruh mengajari-
mu. Ayah juga akan membuatkan padepokan
yang tak jauh dari tempat ini."
"Oh, terimakasih, Ayah." Sugangga berso-
rak gembira. Bayangannya untuk menjadi orang
persilatan kini makin nampak menebal dan nyata.
"Hore...! Aku akan menjadi seorang pendekar
yang mampu membela kedua orang tuaku. Siapa
saja yang berani melawan, atau menyakiti kedua
orang tuaku, maka dia akan menghadapi Pende-
kar Sugangga. Hiat. Hiat! Hiat... hiat...!"
Sugangga dengan disaksikan oleh ayahnya
yang tersenyum-senyum berkelebat-kelebat me-
mainkan jurus-jurus silat. Tubuhnya melompat
ke sana ke mari, sepertinya Sugangga tengah be-
nar-benar melakukan latihan silat. Ibunya yang
mendengar seruan-seruan anaknya, seketika ber-
lari ke luar. Sang ibu tersenyum senang, demi
melihat anaknya bergaya
"Inilah jurus Kera Memetik Mangga wak
Sueb. Hiat...!"
Tubuh Sugangga bergerak cepat, lalu den-
gan kilat buah apel yang ada di depan meja ayah-
nya langsung dicomotnya. Dan dengan rakus di-
gragotinya buah apel tersebut, tak pelak lagi se-
mua yang melihatnya tertawa bergelak-gelak. Dan
makin kencang saja gelak tawa mereka, manakala
Sugangga nampak keseratan.
* * * Seperti permintaan yang lainnya, permin-
taan Sugangga kali ini pun segera dituruti oleh
ayahnya. Esok paginya sang ayah mencari guru
yang dianggapnya mampu mendidik anaknya,
agar kelak dapat menjadi seorang pendekar ber-
budi, tidak seperti dirinya yang telah bersekutu
dengan Iblis. Setiap pelosok pedukuan dijelajahi oleh
anak buahnya atau para centeng guna menda-
patkan seorang guru yang mau mengajari anak-
nya di rumah, atau paling tidak dekat dengan
rumahnya. Tapi sampai sekian lama para centeng
yang mencari tidak menemukan adanya seorang
guru yang mau mendidik muridnya di rumah
atau dekat dengan kediaman sang murid. Me-
mang aneh-aneh saja permintaan Juragan Prika-
dayu, hampir menyerupai jaman modern saja.
Permintaan Prikadayu memang menyerupai cara
jaman sekarang, sistim Privat.
"Bagaimana, Karsan" Apakah kau telah
menemukannya?"
"Waduh, Juragan. Telah seluruh pelosok
wilayah gunung Kawi dan sekelilingnya hamba je-
lajahi, ternyata tak ada seorang guru pun yang
mau." Prikadayu termenung, memang dugaannya
benar adanya. Mana ada seorang guru mau da-
tang ke tempat muridnya" Namun sebagai seo-
rang ayah yang ingin memanjakan anaknya, jelas
ia tidak mau putus asa. Kegagalan boleh beru-
lang, toh akhirnya keberhasilan akan didapat ju-
ga. Begitulah prinsip hidup Prikadayu, seluruh
prinsip yang didasari oleh pengalaman sendiri.
Dulu juga dirinya gagal melulu, sampai orang
mengejek dan menghinanya, tetapi kini berhasil
menjadi orang yang kaya raya.
"Karsan, besok kau sebar pengumuman di
seantero wilayah ini. Aku yakin, nanti pun baka-
lan ada seorang pendekar yang mau menerima
tawaranku."
"Baik, Juragan. Besok akan aku laksana-
kan." "Sekarang kau berikan ilmu yang kau miliki pada anakku, kelak siapa tahu
dapat dijadikan
dasar." "Baik, Juragan," Karsan segera bangkit dari duduknya, menjura hormat dan
kemudian berlalu
pergi untuk menemui anak juragannya.
Sepeninggalan Karsan ketua centengnya,
Prikadayu kembali tercenung diam. Pikirannya
berkecamuk seribu macam persoalan yang harus
ia hadapi. "Ah, bukankah esok lusa bulan pur-
nama?" keluh hati Prikadayu, manakala mengin-
gat bahwa lusa adalah bulan purnama, di mana
ia harus memberikan wadal untuk Rajanya. "Ke-
napa aku terlalai semuanya" Sungguh sangat ber-
bahaya bila aku benar-benar lalai."
"Dinda...!" Prikadayu berseru memanggil is-
trinya. "Ya...! Ada apa, Kanda?" Istrinya segera bergegas menuju ke arah di mana
suaminya berada. Tampak suaminya tengah duduk di kur-
sinya, memandang ke depan di mana jalanan ke-
cil yang biasanya dipakai untuk latihan menung-
gang kuda anaknya terhampar. Juga lapangan
luas di sebelah jalan, semua adalah milik mereka.
"Kanda memanggil dinda?"
"Benar," jawab Prikadayu.
"Ada gerangan apakah, Kanda?"
"Kau ingat lusa hari apa?" tanya Prikadayu kemudian.
"Hari Rabu, Kanda. Ada apakah?"
"Besok bulan purnama, Dinda."
Tersentak Dripadini mendengar ucapan
suaminya. Ya, besok hari Rabu, bulan purnama
tiba di mana mereka harus menyiapkan korban
untuk wadalnya. Belum juga hilang rasa kaget
Dripadini, kembali suaminya berkata memecah-
kan keheningan.
"Siapakah yang menurut dinda bakal kor-
ban?" Kembali Dripadini hanya mampu terbisu, tiada kata yang menjawabnya.
Hatinya bimbang
untuk menentukan korban yang bakal untuk di-
jadikan wadal bagi Raja Bergola, yang telah mem-
berikan pada mereka segalanya. Dan mereka ma-
sih ingat benar apa yang mereka katakan bersa-
ma, bahwa mereka akan selalu menjaga keraha-
siaan segalanya.
"Kalau sampai lusa tak ada korban, maka
kitalah yang akan menjadi korbannya, Dinda."
Tak dapat Dripadini menjawab. Bibirnya
terasa kelu. Memang banyak orang yang telah
mendapatkan harta pemberiannya, tapi apakah
mereka layak" Kedua suami istri itu terdiam bisu,
sulit untuk menemukan siapakah yang bakal me-
reka jadikan korban.
"Bagaimana kalau keluarga Panidi, Kan-
da?" "Alasanmu, Dinda?"
"Mereka keluarga tak mampu. Apakah ti-
dak sebaiknya mereka kita tolong, lalu dengan
demikian kita mudah mengambil salah satu kor-
ban di keluarga mereka?"
"Tepat! Aku akan ke sana untuk pura-pura
membantu mereka."
Kedua suami istri itu segera memper-
siapkan apa saja yang akan mereka berikan bagi
keluarga Panidi. Beras, sayur mayur, uang, per-
hiasan dan macam-macam benda berharga lain-
nya. Setelah semuanya dirasa cukup, kedua su-
ami istri itu pun dengan menunggang kereta me-
nuju ke kediaman Panidi.
* * * Jeritan tangis bocah kecil yang kelaparan
memecahkan keheningan sore itu. Suara tangisan
sang bocah-bocah kecil itu terdengar dari sebuah
rumah gubug, yang jauh letaknya dari rumah-
rumah penduduk lainnya.
Dari kejauhan, tampak kereta dengan dua
ekor kuda penariknya berjalan menuju ke arah di
mana rumah tersebut berada. Dan memang be-
nar, kereta yang ditumpangi oleh Prikadayu dan
istrinya memang menuju ke rumah tersebut. Pri-


Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kadayu segera hentikan kereta kudanya, manaka-
la telah sampai di rumah Panidi.
"Sampurasun..."!" sapa keduanya.
"Rampes...! Eh, Juragan dan nyonya, tum-
ben datang berkunjung ke mari. Ada gerangan
apakah?" tanya Ki Panidi yang menyambut jura-
gannya dengan ramah. "Kalau mengenai sawah,
wah, semuanya beres, Juragan."
"Jangan kau pikirkan mengenai sawah.
Aku datang ke mari hanya merasa ikut prihatin
melihat keadaan keluargamu. Untuk itu, aku se-
bagai juraganmu ingin sekali memberikan ban-
tuan untukmu."
"Wah, dengan saya bekerja pada juragan
saja, saya sudah merasa dibantu, Juragan."
"Jangan kau menolak rejeki, Panidi. Aku
ingin membantumu dengan tulus. Terimalah se-
muanya, anggap saja sebagai ikatan persauda-
raanku dengan keluargamu."
"Benar, Panidi. Suamiku ingin menolongmu
dan sekaligus menjadikan dirimu saudara. Bukan
begitu, Kakang?" Dripadini menambahkan, yang
dengan segera diangguki oleh sang suami dengan
tersenyum. Walau entah apa arti senyumnya itu.
"Waduh.... Bagaimana ini" Aku telah mere-
potkan juragan berdua saja," Panidi masih berusaha menolaknya.
"Jangan takut, Panidi. Aku benar-benar tu-
lus. Ambillah olehmu apa yang ada di belakang
kereta itu. Dan jadilah kita saudara, apakah kau
tidak mau?" tanya Prikadayu.
"Ambillah, Panidi," Dripadini ikut menimpali. Dengan terlebih dahulu mengundang
anak- anaknya, Panidi pun segera membongkar isi kere-
ta. Betapa berbunga-bunga hati Panidi beserta
keluarganya, manakala melihat begitu banyaknya
pemberian dari juragannya. Mereka beranggapan
bahwa juragannya sungguh orang yang baik budi,
yang mengerti akan penderitaan yang dialami oleh
para buruhnya. Mereka tak tahu, apa yang sebe-
narnya tersirat dari kebaikan tersebut.
Sebuah bencana yang akan melanda ke-
luarga mereka lusa. Dengan senyum senang, ke-
dua suami istri Dripadini pun segera kembali me-
nuju ke rumahnya.
* * * Esok lusanya, gegerlah seketika tentang
kematian anak Ki Panidi yang sulung. Kematian-
nya begitu tragis, lidahnya melet dengan mata
melotot. Semua orang tak mengerti, semua orang
hanya mengira bahwa kematian anak Ki Panidi
semata-mata kena setan dekat rumah mereka.
Memang benar dugaan semua orang, tetapi setan
yang membunuh anak Ki Panidi bukanlah setan
sembarangan. Setan pembunuh anak Ki Panidi
yang sebenarnya tidak mati, adalah setan peliha-
raan Prikadayu, juragan mereka.
Mendengar kematian anak Ki Panidi, Pri-
kadayu dan istrinya pun segera datang untuk
menyatakan bela sungkawa. Wajah mereka seper-
tinya sedih, namun di hati mereka tersirat keba-
hagiaan yang teramat sangat. Sebab dengan wad-
al tersebut, harta mereka akan bertambah ba-
nyak, menumpuk tanpa sepengetahuan orang
lain. Ki Panidi yang tak mengerti segalanya,
hanya mampu menangisi kematian anaknya.
Bahkan Ki Panidi tidak segan-segan menceritakan
apa yang telah menimpa anaknya, yang hanya di-
angguki oleh kedua juragannya dengan pura-pura
turut berlinang air mata. Setelah usai berjalan segalanya, kembali semuanya
diam, tak mengerti
apa sebenarnya yang terjadi. Semua tak tahu,
semua tak menyadari bahwa bisa saja mereka
pun menjadi korbannya.
Bulan purnama kembali datang, dan kor-
ban pun seketika menggema. Paginya ditemukan
hal kematian yang serupa, sepertinya kematian
itu satu arah dan satu pelaku. Tapi siapa" Begitu-
lah pertanyaan yang ada di hati mereka.
* * * Bulan berganti, menjadikan tahun. Sepu-
luh tahun sudah desa di lereng gunung Kawi ter-
cekam oleh kematian-kematian yang misterius.
Kematian yang sama persis, tak ada bedanya. Pa-
dahal kalau memang kematian kodrat Tuhan, je-
las akan berbeda-beda. Semua mati setelah men-
dapatkan hadiah dari Juragan Prikadayu, juragan
yang mereka anggap mempunyai rasa kemanu-
siaan yang tinggi. Hingga karena itulah, mereka
tak ada yang berani menuduh. Mereka tak ada
yang mencurigai bahwa segalanya berada di tan-
gan Prikadayu. Malam itu bulan kembali bersinar dengan
terang, menandakan bahwa bulan saat itu bulan
purnama. Lolongan anjing liar menggema, menja-
dikan rasa takut yang teramat sangat bagi pen-
dengarnya. Malam yang kelam itu, seketika terpecah
oleh suara jeritan dari seseorang. Suara jeritan itu melengking, sepertinya
orang tersebut tengah di-landa ketakutan yang teramat sangat. Jaka Ndab-
leg yang sudah sedari siang berada di desa itu da-
lam perjalanannya mencari kebenaran berita ten-
tang kematian yang sangat misterius, segera ber-
kelebat menuju ke arah datangnya suara terse-
but. "Tidaaak...! Jangan! Pergi! Aku tak mau!
Aku tak mau...!"
.Jaka Ndableg terus berlari dengan cepat-
nya. Dipakainya ajian Angin Puyuhnya, maka da-
lam sekejap saja tubuhnya bagaikan terbang, ber-
lari menuju ke asal suara tersebut.
"Tidak! Jangan takut-takuti aku! Jangan...!
Pergi!" Orang itu masih menjerit-jerit, menjadikan Jaka dengan segera dapat
menemukan di rumah
mana adanya suara tersebut. Jaka tersentak di-
am, manakala terdengar suara berat berkata
membalas teriakan orang tadi.
"Hua, ha, ha...! Kau telah dijadikan wadal,
maka kau harus mau menjadi budakku!"
"Tidak mau! Siapa kau, Setan!"
"Aku Raja Bergola! Aku akan mengambil
sukmamu, yang telah dijadikan wadal oleh Jura-
ganmu, Prikadayu. Bukankah engkau telah men-
dapatkan harta dari Juraganmu?"
"Tidak! Kalau engkau ingin mengambil har-
ta itu. Harta itu masih aku simpan, belum aku
makan!" memekik orang tersebut, takut melihat tampang Raja Bergola. Wajah Raja
Bergola yang menyeramkan, dengan lidah menjulur panjang
serta mata lebar merah terus memandang ke arah
orang tersebut.
"Wuut...!"
"Tidak...!"
Tangan Raja Bergola bergerak hendak me-
nangkap tubuh orang tersebut. Namun belum ju-
ga tangan besar berwarna hijau itu menangkap
orang tersebut, tiba-tiba sebuah bayangan berke-
lebat menghantamkan pukulannya.
"Wuss...! Duar!"
Ledakan akibat pukulan yang dilontarkan
oleh Jaka, seketika menyentakkan Raja Bergola.
Mata Raja Bergola menyala merah, marah demi
mendapatkan seorang manusia telah berani ku-
rang ajar padanya dan telah menghalangi niatnya.
"Siapa kau, manusia!"
"Tak penting namaku untukmu!" jawab Ja-
ka terus. "Yang pasti, aku akan menghalangi tindakanmu. Kau terlalu telengas,
Bergola! Kau telah
membuat kepanikan warga desa ini!"
Terbelalak mata Raja Bergola demi men-
dengar pemuda di hadapannya tahu namanya.
Matanya yang merah besar, menyala bagaikan
memendam api. "Siapa kau, Bocah!"
"Jangan kau tanya siapa aku! Yang pasti,
kau harus musnah dan minggat dari muka bumi
ini!" "Sombong!" menggeretak marah Raja Bergola, demi mendengar ucapan Jaka
Ndableg. "Apakah kau belum tahu siapa aku, Anak mu-
da"!" "Aku tahu siapa adanya kamu! Kau adalah Raja Iblis yang berusaha
mencengkeramkan ku-ku-kukumu di bumi, dan mengajak pada manu-
sia untuk mengabdi pada kerajaanmu. Huh,
sungguh kau Iblis yang harus dibasmi, Bergola!"
"Huah...! Jangan kau bermimpi, Anak mu-
da!" "Terserah kau saja! Yang pasti, kau mau minggat atau aku yang akan membuat
kau minggat dari bumi ini!" Jaka nampak tenang, mengan-cam pada Raja Bergola
yang masih memandang
ke arahnya dengan nada jengkel. "Katakan pada-ku, siapa yang telah menyuruhmu,
Bergola!" "Aku disuruh oleh Ki Prikadayu!"
"Nah, menyingkirlah, atau dengan terpaksa
aku akan membuat kau minggat dari muka bumi
ini. Hah"!"
"Sombong kau, Anak muda!" Raja Bergola
nampak marah dan gusar, merasa Jaka telah me-
remehkannya. "Aku Raja Bergola tak akan mun-
dur menghadapi manusia. Jangankan dirimu, Bo-
cah! Terimalah kematianmu. Hiat...!"
"Wuut...!"
Jaka segera melompat mundur, hindari sa-
betan tangan Bergola yang berusaha menghantam
tubuhnya. Bukanlah Jaka Ndableg kalau harus
mengakui kalah dengan Iblis. Nama Jaka Ndableg
atau Pendekar Pedang Siluman Darah sudah
kondang, manalah mungkin dirinya harus takluk
dengan bangsa Iblis, siluman dan segalanya. Le-
bih baik dirinya mati, daripada harus menjadi
budak Iblis. "Remuk tubuhmu, Bocah!"
"Tidak kena, Oom!" Jaka segera mengelak
sambil mengejek.
"Lebur. Hiat...!"
"Wuusss...!"
Jaka tersentak manakala melihat gulungan
asap tebal hitam keluar dari tangan Raja Bergola.
Dengan segera Jaka hentakan tubuh, mencelat ke
atas hingga serangan itu melesat terus ke arah bi-
lik rumah. "Duar...!"
"Bedebah! Di mana kau, Bocah!" rungut
Raja Bergola marah, manakala melihat Jaka telah
hilang dari tempat tersebut.
Kesatria Baju Putih 11 Golok Sakti Karya Chin Yung Dendam Manusia Kelelawar 2
^