Pencarian

Cakar Harimau 2

Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau Bagian 2


Setelah melewati lima buah batu yang cukup
besar, Pendekar Pulau Neraka baru berhenti. Bibirnya menyunggingkan senyum saat
melihat genangan air di antara bebatuan. Genangan air itu bagai sebuah kolam.
Airnya begitu jernih. Suara gemericik dari air yang mengalir di antara sela-sela
bebatuan semakin membuat orang ingin segera mandi saja rasanya. Saat Bayu
membasuh mukanya dengan air itu, Suci tiba di sampingnya.
"Wah..., jernih sekali...," desah Suci kagum.
"Mau mandi?" tanya Bayu seraya berpaling.
"Asal kau jauh-jauh dari sini," sahut Suci.
"Kenapa" Malu...?" goda Bayu.
"Huuuh..., maumu," cibir Suci.
Bayu tertawa saja melihat gadis itu memberen-
gut. Tapi kakinya diayunkan juga, menjauhi kolam ba-tu itu. Sedangkan Suci hanya
memandanginya saja.
Gadis itu memang ingin menyegarkan tubuhnya yang
penat. Apalagi sejak pagi tadi belum tersentuh air sedikit pun.
"Heh...! Kenapa berhenti di situ...?" seru Suci melihat Bayu berhenti tidak jauh
dari kolam batu ini.
"Mandi saja, aku tidak mungkin mengganggu-
mu. sahut Bayu kalem.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak peduli pada
gadis yang mendelik berang saat di liriknya. Bahkan malah menghenyakkan tubuhnya
di atas batu yang
agak datar dan rendah. Sedikit dilirik Suci kembali yang masih saja berdiri di
bibir kolam. "Awas ular...!" teriak Bayu tiba-tiba.
"Maria..."!" sentak Suci terkejut.
Begitu terkejutnya, sampai-sampai dia terlom-
pat dan tidak sadar kalau tengah berdiri di tepi kolam.
Dan gadis itu terpekik begitu terjatuh ke tengah kolam.
Sedangkan Bayu hanya tertawa terbahak-bahak meli-
hat gadis itu basah kuyup di tengah kolam.
"Monyet! Tidak lucu...!" Suci memberengut kes-al.
Tiba-tiba terlintas di benaknya untuk memba-
las. "Akh! Toloong...!" mendadak saja Suci menjerit kencang sambil menggapai-gapai.
"Tipuan mu tidak manjur, Suci...!" seru Bayu kembali tertawa.
"Kunyuk!" Suci menggerutu.
"Kolam itu dangkal. Jadi tidak mungkin akan
tenggelam," kata Bayu lagi.
Suci hanya bisa menggerutu dalam hati. Perla-
han tubuhnya menepi, dan berlindung di balik sebuah batu yang cukup besar dan
menjorok ke dalam kolam
ini. Di sana bajunya dibuka. Tapi baru saja membuka bagian atas, tangannya
berhenti melepaskan baju.
"Hhh...! Kolam ini jernih sekali. Pasti dia bisa melihat dengan jelas. Huh!
Dasar buaya...!" dengus Suci. Kembali tubuhnya ditutup, dan bajunya tidak jadi
dibuka. Namun sebentar dia tertegun. Dan....
"Masa bodoh, ah! Kalau ingin macam-macam,
tidak peduli kepandaiannya tinggi."
Suci kembali melepaskan seluruh bajunya tan-
pa ragu-ragu lagi, kemudian meletakkannya di atas ba-tu. Dengan gerakan lincah
dan lembut sekali, gadis itu berenang bagaikan seekor ikan yang gembira bisa
bertemu air lagi. Sedangkan Bayu sama sekali tidak
mempedulikan, tapi malah duduk dengan sikap ber-
semadi. Suci yang iseng melirik, jadi tertegun.
"Sial...!" dengus gadis itu dalam hati. "Rupanya dia termasuk Laki-laki yang
tidak peduli terhadap perempuan. Tapi..., biarlah, itu lebih baik lagi. Jadi,
aku tidak perlu khawatir karena dia tak akan berbuat macam-macam."
Suci benar-benar menikmati sejuknya air da-
lam kolam batu ini. Namun sama sekali tidak disadari kalau di dalam sikap
bersemadinya, sebenarnya Bayu tidak bersemadi. Kelopak matanya memang terlihat
terpejam, tapi perhatiannya tidak lepas pada gadis itu.
Bahkan dari tempatnya duduk, Bayu bisa melihat jelas lekuk-lekuk tubuh Suci yang
begitu indah berbalut kulit putih mulus, tanpa cacat sedikit pun.
"Cantik dan menggairahkan sekali gadis ini...,"
gumam Bayu dalam hati.
*** Malam sudah menyelimuti seluruh permukaan
Gunung Parang. Malam itu, bulan bersinar penuh.
Langit tampak bening tanpa awan sedikit pun meng-
gantung di sana. Keindahan malam ini semakin sema-
rak oleh cahaya bintang bergemerlapan yang menghia-si angkasa luas tak bertepi
ini! Malam semakin terasa indah dengan adanya kemerlip cahaya api dari ranting-
ranting kering di antara bebatuan yang tersusun melingkar bagai sebuah cincin.
Di dalam siraman api itu, duduk bersila Pende-
kar Pulau Neraka. Sedangkan Suci berada agak Jauh
di depannya. Hanya seonggok api unggun yang mem-
batasi mereka berdua. Sejak melihat Suci mandi sore tadi, Bayu tidak pernah
melewatkan kesempatan untuk memandangnya di kala lengah. Dan sama sekali
Suci tidak menyadari pada sikap Bayu yang selalu
mencuri-curi pandang.
"Matamu, Kakang...!" sentak Suci tiba-tiba.
Ditegur demikian, Bayu hanya tersenyum saja.
Gadis itu akhirnya tahu juga kalau pemuda di depannya selalu mencuri-curi
pandang. Dan dia merasa jengah juga. Dan Suci merasa jengah dipandangi terus
menerus. Maka wajahnya segera dipalingkan untuk
menyembunyikan semburat merah yang merona di wa-
jahnya. "Kau cantik, Suci," ujar Bayu lembut.
"Huh! Mulai...," dengus Suci dalam hati.
Tapi memang tidak bisa dipungkiri kalau pujian
itu sempat merobek hatinya, dan membuatnya sema-
kin tidak sanggup memandang pemuda itu. Suci sen-
diri tidak mengerti, kenapa darahnya berdesir begitu cepat. Rasanya ingin sekali
mendengar pujian itu seka-
li lagi. Bahkan seratus kali pun dia akan senang mendengarnya. Namun Bayu tidak
mengucapkan lagi.
"Berapa usia mu, Suci?" tanya Bayu, lebih lembut lagi suaranya.
"Sem..., eh! Sembilan belas," sahut Suci jadi tergagap.
Gadis Itu memaki dirinya sendiri di dalam hati.
Suci tidak mengerti, kenapa hatinya jadi tidak menentu begini. Beberapa kali
pemuda itu dilirik. Dan setiap kali lirikannya bertemu pandangan Bayu, langsung
darahnya berdesir kencang. Bahkan jantungnya berdetak tidak beraturan.
Suci semakin tidak menentu saat melihat Bayu
bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Dan ti-
dak bisa dicegah lagi keringat yang mendadak saja
mengalir deras, begitu Bayu duduk di sampingnya. Begitu dekat, sehingga hampir
tidak ada jarak.
"Suci...."
"Oh...!"
Suci tersentak ketika Bayu menyentuh lembut
punggung tangannya. Seluruh tubuhnya menggeletar
saat jari-jari tangannya digenggam dan diremas dengan hangat sekali. Sungguh
gadis itu tidak sanggup la-gi menarik tangannya. Bahkan untuk menolak pun ti-
dak kuasa. Keringat semakin deras bercucuran di sekujur
tubuhnya. Nafasnya serasa terhenti saat Bayu me-
rengkuh nya ke dalam pelukan. Lembut sekali Pendekar Pulau Neraka mengangkat
wajah Suci, sehingga
gadis itu terpaksa memandang seraut wajah tampan
yang begitu dekat. Desah napas Bayu yang hangat
menerpa lembut wajah Suci. Mau tak mau gadis sema-
kin terperangkap ke dalam gelombang samudra yang
belum pernah dirasakan seumur hidupnya.
Suci tak sanggup lagi membuka matanya, keti-
ka Bayu mendekatkan wajahnya. Dan mendadak saja
tubuhnya menggigil begitu satu kecupan terasa lembut menyentuh bibirnya. Saat
itu juga, Suci merasakan
seakan-akan tubuhnya ringan, bagai melayang di angkasa. "Suci..., kau sakit..?"
tanya Bayu lembut.
"Oh, tid..., tidak...," sahut Suci gugup.
Buru-buru wajahnya yang memerah disembu-
nyikan. Kecupan Bayu yang begitu lembut, masih tera-sa membekas di bibirnya,
Untuk pertama kali ini gadis itu merasakan kecupan seorang laki-laki di
bibirnya. Dia sendiri tidak tahu, kenapa begitu pasrah pada pemuda tampan berbaju kulit
harimau ini. "Kau belum pernah, Suci...?" tanya Bayu menebak. Suci tidak bisa menjawab. Ada
perasaan malu, takut, dan keinginan yang besar mendesak dirinya.
Tapi semua itu hanya ada dalam hati. Perasaannya itu tidak bisa dikeluarkan
melalui kata-kata. Lidahnya terasa kelu, sukar sekali diajak bicara.
Melihat Suci yang begitu kaku dan tubuhnya
gemetar, Bayu merasa tidak tega juga. Perlahan pelukannya dilepaskan, dan
duduknya digeser. Sedangkan Suci hanya diam saja. Ingin sekali rasanya sepanjang
malam ini berada dalam pelukan Pendekar Pulau Neraka. Tapi Suci tidak bisa
meminta. Dia hanya bisa di-am dengan hati terus berkecamuk.
*** Sejak malam itu, Suci jadi jauh berubah. Si-
kapnya selalu kelihatan kaku, dan tidak pernah lagi mau memandang Bayu. Masih
terbayang dan terasa je-
las kecupan Pendekar Pulau Neraka di bibirnya. Wa-
laupun hanya sekali dan tipis, namun sangat membe-
kas di hati gadis ini. Kecupan pertama yang dirasakan dari seorang pemuda.
Sampai mereka tiba di Puncak Gunung Parang,
Suci masih saja diam. Dia baru bicara kalau Bayu
tanya. Itu pun hanya sesekali saja, dan jawabannya pendek-pendek. Dan gadis itu
tak pernah memandang
pemuda itu. Sikap Suci yang jauh berubah ini sangat terasa sekali bagi Bayu,
namun didiamkan saja. Bayu tahu kalau Suci belum pernah dicium, dan semalam
merupakan pengalaman pertamanya. Jadi, bisa dimak-
lumi kalau gadis ini bersikap lain.
"Tidak ada seorang pun di sini," gumam Bayu seperti berbicara pada dirinya
sendiri. "Hhh...," Suci hanya menghembuskan nafasnya saja. Di Puncak Gunung Parang ini
memang tidak ada seorang pun yang terlihat selain mereka berdua.
Keadaannya begitu sunyi. Bahkan suara binatang pun tidak terdengar sama sekali.
Hanya hembusan angin
saja yang terdengar mengusik telinga. Mereka mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Tanpa disadari
Suci menatap Pendekar Pulau Neraka yang berdiri
sampingnya. Pada saat yang bersamaan, Bayu juga
menatap padanya.
Buru-buru Suci memalingkan wajah, meman-
dang ke arah lain. Entah kenapa, mendadak saja wa-
jahnya menyemburat merah jambu. Saat itu juga jan-
tungnya terasa berdetak keras, dan keringat mulai merembes di lehernya yang
putih jenjang. "Kau sakit, Suci?" tanya Bayu berpura-pura.
Padahal Pendekar Pulau Neraka tahu, apa yang
dirasakan gadis itu saat ini. Yang jelas, hanya Suci
sendiri yang bisa merasakannya. Pertanyaan Bayu terasa sukar dijawab. Dan gadis
itu hanya menggelengkan kepala saja.
Bayu mengambil tangan gadis itu dan meng-
genggamnya. Agak terkejut juga pemuda itu ketika merasakan tangan Suci begitu
dingin, bagai mayat. Keringat semakin deras mengucur. Sedangkan gadis itu tidak
tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Untuk
melepaskan genggaman tangan Bayu saja, terasa sulit.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kita lakukan
di sini," desah Bayu mencoba mengusir kekakuan yang terjadi di antara mereka
berdua. Juga segera dile-paskannya genggaman tangan pada gadis itu.
"Yaaah..,, aku juga tidak tahu," sahut Suci mendesah. Pelan sekali suaranya,
hampir tidak terdengar. "Sayang, Ki Gandul tidak mengatakan dengan jelas," kata
Bayu lagi. "Eyang Purata memang tidak mengatakan apa-
apa dalam suratnya, Kakang. Aku juga tidak tahu
maksudnya menyuruhku datang ke sini," sambut Suci, masih pelan suaranya.
Bayu terdiam merenung. Dirasakan ada suatu
maksud tertentu dari Eyang Purata. Rasanya memang
tidak mungkin seorang guru menyuruh muridnya tan-
pa ada maksud tertentu. Tapi apa..." Belum lagi Bayu bisa menjawab semua
pertanyaan yang berkecamuk di
dalam hati, mendadak saja....
Slap! "Suci, awas...!
Hup!" Sambil berseru keras, Bayu melompat seraya
menyambar pinggang gadis di sampingnya. Cepat se-
kali gerakan Pendekar Pulau Neraka, hingga Suci tidak
sempat menyadari. Tahu-tahu tubuhnya sudah bergu-
lingan di dalam pelukan Bayu, di atas tanah berumput agak basah.
Dan sebelum Suci bisa menyadari apa yang ba-
ru saja terjadi, Pendekar Pulau Neraka sudah mele-
paskan pelukannya. Bagai kilat, pemuda berbaju kulit harimau itu melesat ke
atas, lalu berputaran beberapa kali udara. Pada saat yang bersamaan, Suci
melihat berapa batang anak panah meluncur deras ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Namun dengan gerakan manis
dan cepat sekali, semua panah yang meluncur itu ron-tok di tengah jalan.
"Hup!"
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Bayu
menjejakkan kakinya di tanah. Ada sekitar tujuh batang anak panah tergenggam di
tangannya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, secepat itu pula panah-panah yang
berhasil ditangkapnya dilontarkan.
"Hiyaaa...!"
Wut...! Panah-panah itu meluncur deras ke arah ka-
nan. Dan sesaat kemudian, terdengar teriakan-
teriakan keras melengking tinggi, itu pun masih dis-usul bermunculannya tubuh-
tubuh tertancap anak
panah. Saat itu Suci sudah berdiri, dan sempat terkejut melihat lima orang sudah
tergeletak tak bernyawa lagi dengan tubuh tertembus anak panah. Mereka semua
membawa kantung panah dari kulit dan sebatang
busur yang cukup besar ukurannya.
"Hm.... Rupanya kedatangan kita sudah di-
tunggu, Suci," gumam Bayu pelan.
Lagi-lagi Suci hanya menghembuskan napas
saja. "Hik hik hik..!" tiba-tiba saja terdengar tawa
mengirik. Belum lagi suara itu lenyap dari pendengaran,
mendadak saja dari arah kanan berkelebat cepat se-
buah bayangan biru ke arah Suci. Begitu cepatnya
berkelebat, sehingga Suci hanya bisa terpaku bengong.
Namun sebelum bayangan itu bisa menyambar tubuh
Suci, bagaikan kilat Pendekar Pulau Neraka mengi-
baskan tangan kanannya.
"Yeaaah,..!"
Wus! *** 6

Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Secercah cahaya keperakan meluncur deras
bagai kilat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Namun bayangan biru
itu lebih cepat lagi bergerak, melenting ke atas. Cahaya keperakan itu lewat di
bawah bayangan biru yang berputaran cepat di udara.
"Hap!"
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas
kepala. Seketika itu juga Cakra Maut yang dilontarkannya, berputar balik dengan
kecepatan tinggi.
Tap! Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan
itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Pada saat yang
sama bayangan biru itu sudah mendarat sekitar tiga tombak di depan Suci.
Bayu melompat ke samping gadis itu.
"Setan Kobra Betina...," desis Bayu mengenali perempuan tua yang mengenakan
jubah warna biru di
depannya. Bayangan biru yang menyerang Suci tadi, me-
mang seorang perempuan tua berjubah biru yang di-
kenal berjuluk Setan Kobra Betina. Dia berdiri tegak dengan tongkat ular kobra
tergenggam erat di tangan kanan. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung
ke bola mata Pendekar Pulau Neraka. Sama seka-li seorang gadis di samping pemuda
berbaju dari kulit harimau itu tidak dianggapnya.
"Seharusnya aku sudah tahu kalau kau yang
menolong bocah ingusan itu...," desis Setan Kobra Betina, dingin nada suaranya.
"Aku tidak ada urusan denganmu, Perempuan
Tua!" bentak Suci gusar dipanggil bocah ingusan.
"Sungguh memalukan! Secantik apa pun, tetap
saja kau seorang pencuri busuk!" tetap dingin nada suara si Setan Kobra Betina.
"Kurang ajar...!" desis Suci geram.
Hampir saja pedangnya dicabut kalau saja
Bayu tidak cepat mencekal pergelangan tangan gadis itu. Terpaksa Suci harus
menahan kesabarannya. Tu-duhan secara langsung dan terbuka itu, membuatnya
merasa terhina. Tarikan nafasnya langsung tersengal, dan seluruh wajahnya
memerah menahan geram.
"Bertahun-tahun kau tenggelam, bersembunyi
di balik punggung si Sumpit Sakti. Orang lain memang bisa kau kelabuhi. Tapi
jangan harap bisa mengelabui ku, Cakar Harimau," nada suara si Setan Kobra
Betina tetap terdengar mendesis dan dingin sekali.
"Cakar Harimau..." Siapa itu" Aku tidak men-
gerti maksudmu?" kata Suci bingung.
"Hik hik hik.., jangan berpura-pura bodoh, Cakar Harimau. Tujuh belas tahun kau
menghilang, tapi wajahmu tetap saja seperti dulu. Ah..., sudahlah. Lebih
baik serahkan saja benda itu padaku, dan urusan ini tidak akan ku perpanjang."
"Kau bicara semakin ngawur saja, Perempuan
Tua!" desis Suci semakin tidak mengerti perkataan Setan Kobra Betina.
"Tidak perlu lagi berpura-pura, Cakar Harimau.
Kau datang ke sini, untuk apa lagi kalau bukan mengambil benda itu, heh...?"
"Aku...," suara Suci terhenti.
Suci benar-benar tidak mengerti semua yang
dikatakan Setan Kobra Betina ini. Sedangkan Bayu
hanya diam saja mendengarkan. Sebentar dipandang-
nya Suci, dan sebentar kemudian beralih pada perempuan tua berjubah biru di
depannya. Pendekar Pulau Neraka juga tidak tahu, apa yang sedang diributkan
kedua wanita ini.
"Sudah cukup lama aku bersabar, Cakar Hari-
mau. Dan aku tidak bisa lagi bersabar," tegas Setan Kobra Betina. Nada suaranya
jelas terdengar mengandung ancaman.
"Aku tidak kenal dengan mu. Dan aku tidak ta-
hu, apa yang kau, bicarakan, Perempuan Tua. Jadi
apa maumu sekarang...?" Suci juga sudah tidak bisa menahan kesabarannya.
"Kau benar-benar bocah keras kepala!" Setan Kobra Betina gusar. "Jangan katakan
aku kejam, kalau kau mampus di tanganku, Bocah!"
"Bukan kau yang menentukan mati dan hidup
Setan Kobra Betina!" desis Suci dingin.
"Phuih! Lepas kepalamu..! Hiyaaat...!"
Mendadak saja si Setan Kobra Betina melompat
cepat bagai kilat menerjang Suci sambil mengibaskan tongkatnya. Kibasan itu
demikian kuat, dan sudah
pasti mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Ini
di buktikan oleh suara angin yang menderu bagai terjadi badai topan.
Sesaat Suci terperangah melihat serangan pe-
rempuan tua berjubah biru itu ternyata demikian cepat dan dahsyat sekali. Buru-
buru gadis itu melompat ke samping menghindari terjangan si Setan Kobra Betina.
Namun dia jadi terkejut, karena tongkat perempuan tua itu mendadak saja bisa
berputar cepat, begitu tebasannya dapat dielakkan.
Bet! "Ikh...!"
Trang! "Heh..."!"
*** Untuk kedua kalinya Setan Kobra Betina terke-
jut, begitu tongkatnya hampir saja menyambar kepala Suci. Betapa tidak..."
Ternyata tongkatnya mendadak saja berbalik dan terasa seperti menghantam
sebongkah batu karang yang keras. Cepat dia melompat
mundur ke belakang, lalu berputaran dua kali sebelum kakinya menjejak tanah.
Lagi-lagi perempuan tua itu mendesis geram melihat Bayu sudah berada di samping
Suci. "Keparat..!" geram Setan Kobra Betina.
"Dia bukan lawanmu, Setan Kobra Betina," kata Bayu dingin.
"Phuih! Kau benar-benar tidak bisa diberi ke-
longgaran, Pendekar Pulau Neraka!"
Setelah berkata demikian, Setan Kobra Betina
menghentakkan tongkatnya ke depan. Dan seketika itu juga, dari ujung tongkat
yang berbentuk kepala ular kobra itu meluncur seberkas sinar merah. Sinar merah
itu meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagai seekor burung camar menyambar ikan di
laut, Bayu melesat cepat ke angkasa, lalu secepat itu pula meluruk deras ke arah
kepala si Setan Kobra Betina. Sinar merah itu lewat di bawah tubuhnya.
"Monyet! Hup...!"
Gerakan Pendekar Pulau Neraka memang
sungguh mengejutkan. Hal ini membuat si Setan Ko-
bra Betina terpaksa melentingkan tubuh ke belakang, lalu berputaran tiga kali di
udara. Dan begitu kakinya mendarat di tanah, dengan cepat tongkatnya dikebutkan
ke arah dada Pendekar Pulau Neraka.
Bet! Bayu yang masih berada di udara, seketika
menghentakkan tangan kanan untuk menangkis teba-
san tongkat ular kobra hitam itu. Tak pelak lagi, benturan keras terjadi hingga
menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.
Kedua orang itu sama-sama melompat ke bela-
kang beberapa tindak. Dan begitu menjejakkan ka-
kinya di tanah, seketika itu juga mereka sama-sama melompat saling menyerang.
Begitu cepatnya gerakan mereka, sampai-sampai Suci yang menyaksikan pertarungan
itu tidak bisa mengikuti. Padahal matanya telah dipentang lebar-lebar.
Glarrr! Terdengar ledakan keras menggelegar begitu te-
lapak tangan Bayu dan tongkat si Setan Kobra Betina berbenturan keras di udara.
Tampak mereka berpentalan ke belakang, dan sama-sama mendarat di tanah.
"Ugkh...!" Setan Kobra Betina mengeluh pendek sambil terhuyung-huyung.
Sedangkan Bayu masih tetap berdiri tegak den-
gan tenang. Pendekar Pulau Neraka seperti memberi
kesempatan pada perempuan tua itu untuk mengenda-
likan keseimbangan tubuhnya kembali.
"Keparat..!" geram Setan Kobra Betina.
Sebentar tongkatnya digerak-gerakkan di depan
dada. Tatapan matanya begitu tajam menusuk lang-
sung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka di depan-
nya. Beberapa kali perempuan tua itu beradu kekua-
tan tenaga dalam dengan pemuda berbaju kulit hari-
mau itu. Dan beberapa kali pula tenaga dalamnya terasa masih kalah satu tingkat
dibanding pemuda itu.
"Kau memang tangguh, Pendekar Pulau Neraka.
Tapi coba tahan jurus 'Naga Melibat Gunung'...," desis Setan Kobra Betina
dingin. Setelah berkata demikian Setan, Kobra Betina
menghentakkan tongkatnya ke tanah. Ujung tongkat
itu terbenam sedalam satu jengkal ke dalam tanah. La-lu, tongkatnya dilepaskan
dari genggaman. Sebentar dia diam, memusatkan perhatiannya untuk mengerahkan
jurus andalan. Bet! Bet! Cepat sekali tangannya digerak-gerakkan di de-
pan dada. Kemudian kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, lalu
perlahan ditarik sampai sejajar dengan dada. Sementara itu Bayu masih tetap
berdiri tenang. Diperhatikannya setiap gerakan yang dilakukan perempuan tua
berjubah biru itu dengan cer-
mat tanpa berkedip.
"Hep!"
Bayu cepat mendorong tangan ke depan. Jari-
jari tangannya terkembang lebar, tepat ketika si Setan Kobra Betina menyambar
tongkatnya sendiri. Perempuan tua itu langsung melompat cepat menyerang
Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat.!"
"Hup! Yeaaah."
Glarrr! Ledakan keras menggelegar terjadi ketika tela-
pak tangan Pendekar Pulau Neraka kembali berbentu-
ran dengan tongkat si Setan Kobra Betina. Ledakan keras itu disertai percikan
bunga api ke segala penjuru mata angin. Tampak mereka berpentalan di udara, dan
berputaran beberapa kali sebelum jatuh menghantam
bumi. "Ugkh! Hoeghk..!"
Setan Kobra Betina memuntahkan darah segar
begitu tubuhnya keras sekali menghantam tanah. Se-
dangkan Pendekar Pulau Neraka hanya terhuyung se-
bentar, lalu cepat menguasai keseimbangan tubuhnya kembali.
"Kau.... Dari mana kau peroleh jurus 'Kelelawar Maut...?" agak terbata suara
Setan Kobra Betina.
"Guruku," sahut Bayu kalem.
Pendekar Pulau Neraka tadi memang menggu-
nakan jurus andalan 'Kelelawar Maut, yang jarang sekali digunakan. Bayu
sebenarnya terkejut juga men-
dengar pertanyaan perempuan tua itu. Penggunaan jurus itu bisa dihitung dengan
jari, sejak meninggalkan Pulau Neraka. Tapi anehnya, perempuan tua ini sudah
mengenalinya. "Siapa gurumu?" tanya Setan Kobra Betina seraya bangkit berdiri.
"Untuk apa kau tahu guruku?" Bayu balik bertanya. Perempuan tua berjubah biru
itu menatap Bayu dalam-dalam. Tatapan matanya tertumbuk pada
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Dia seper-
ti tidak percaya melihat senjata Cakra Maut menempel di pergelangan tangan
pemuda berbaju kulit harimau itu. Kemudian kembali dipandanginya Pendekar Pulau
Neraka. Sungguh tidak diperhatikannya pergelangan
tangan Bayu. Dan benar-benar tidak disadarinya kalau beberapa kali tadi sempat
berhadapan dengan senjata maut itu.
"Ada hubungan apa kau dengan si Cakra
Maut?" tanya Setan Kobra Betina.
"Dia guruku," sahut Bayu tidak bisa lagi menyembunyikan kerahasiaan gurunya.
"Kau jangan coba-coba membohongi ku, Anak
Muda. Cakra Maut sudah mati dua puluh lima tahun
yang lalu. Dan lagi, tidak mungkin dia memiliki murid!" Setan Kobra Betina tidak
percaya. "Dari mana kau tahu tentang guruku?" Bayu malah balik bertanya.
Ada nada kecurigaan di dalam suara Pendekar
Pulau Neraka. Kini tatapan matanya begitu tajam menusuk. Seakan-akan tengah
menyelidiki, siapa sebe-
narnya perempuan tua berjubah biru ini. Dicobanya
untuk mengingat-ingat musuh-musuh gurunya yang
masih hidup. Sedangkan Setan Kobra Betina masih belum percaya kalau Pendekar
Pulau Neraka adalah mu-
rid tunggal si Cakra Maut, yang diketahui semua orang rimba persilatan sudah
tewas dua puluh lima tahun
yang lalu. "Hm.... Kau pasti si Setan Kobra dari Gua Ular,"
Bayu agak mendesis suaranya.
"Benar. Aku memang Setan Kobra dari Gua
Ular," si Setan Kobra Betina mengakui.
"Kalau begitu kau harus mati!" semakin dingin nada suara Bayu.
"Tapi aku tidak akan membunuhmu begitu sa-
ja, Setan Kobra. Harus kau rasakan dulu, bagaimana tersiksanya hidup tanpa mata
dan kedua kaki, seperti yang dialami si Cakra Maut!"
"Heh...! Siapa kau sebenarnya, Anak Muda..."!"
Setan Kobra Betina terkejut bukan main.
"Aku murid tunggal si Cakra Maut. Dan aku
akan menuntut balas dari perbuatan manusia-
manusia bejat sepertimu!" dingin sekali jawaban Bayu.
Dan sebelum si Setan Kobra Betina bisa mem-
buka mulutnya, Bayu sudah melompat menerjang
dengan kecepatan tinggi. Begitu cepatnya, sehingga membuat perempuan tua itu
sejenak terperangah.
Namun cepat-cepat tubuhnya bergerak, berkelit menghindari serangan yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka.
*** Pertarungan itu terus berjalan sengit masing-
masing mengeluarkan jurus-jurus dahsyat, sehingga
tempat pertarungan jadi porak poranda. Pohon-pohon bertumbangan saling tumpang
tindih. Batu-batu pecah berhamburan, terkena pukulan-pukulan yang tidak
mengenai sasaran, Sementara Suci hanya bisa me-
nyaksikan saja dengan perasaan takjub.
Sama sekali gadis itu tidak bisa melakukan se-
suatu. Disadari kalau pertarungan itu sangat dahsyat dan berbahaya. Juga
disadari kalau kemampuan yang
dimilikinya tidak akan mungkin bisa menghentikan
pertarungan itu. Jadi, yang bisa dilakukan hanyalah diam dan menyaksikan saja.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring.
Dan mendadak, tangan kanannya mengibas ke
depan dengan cepat sekali. Begitu Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan
tangan kanannya mele-
sat ke arah si Setan Kobra Betina, secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka
melompat menerjang sambil
melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam
sempurna. "Uts!"
Setan Kobra Betina buru-buru mengebutkan
tongkatnya, menyampok senjata maut Pendekar Pulau
Neraka. Tring! Dentingan keras terdengar, begitu dua senjata
beradu keras di udara. Bunga api seketika memercik, menyebar ke segala penjuru.
Dan sebelum si Setan
Kobra Betina bisa menarik kembali tongkatnya, men-


Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dadak saja pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau
Neraka datang. Tentu saja hal itu mengejutkan perempuan tua itu. Begitu cepatnya
serangan itu datang, sehingga si Setan Kobra Betina tidak sempat lagi berkelit
menghindar. Bugkh! "Akh...!" Setan Kobra Betina memekik melengking tinggi.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka yang mengan-
dung pengerahan tenaga dalam sempurna itu tak da-
pat lagi dihindari. Akibatnya, pukulan Bayu telak
menghantam dada perempuan tua itu.
Bruk! Keras sekali tubuh tua berjubah biru itu jatuh
terjengkang di tanah. Dan sebelum si Setan Kobra Betina sempat melakukan
sesuatu, Bayu sudah kembali
melancarkan serangan dahsyat luar biasa.
"Hiyaaat...!"
Bres! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi, mengi-
ringi kematian si Setan Kobra Betina. Sungguh dah-
syat sekali sodokan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka yang mendarat telak di
dada perempuan tua itu.
Tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau itu melesak masuk ke dalam dada. Dan
begitu ditarik keluar, darah langsung memuncrat deras sekali.
Bayu melompat mundur dua tindak. Tangan
kanannya yang berlumur darah diangkat ke atas kepa-la. Maka Cakra Maut yang
masih melayang kembali
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Ne-
raka. Tatapan matanya tidak berkedip dan sangat tajam menusuk langsung pada
tubuh perempuan tua
yang tergeletak tak bernyawa lagi.
"Aku terpaksa membunuhmu, Setan Kobra Be-
tina," desah Bayu pelan.
Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya
ketika mendengar langkah kaki yang cepat mengham-
piri. Dia sedikit tersenyum melihat Suci setengah berlari menghampirinya.
"Kau tidak apa-apa, Kakang...?" tanya Suci begitu dekat di depan Bayu.
"Tidak," sahut Bayu seraya memberikan senyum. Suci memandangi tubuh Setan Kobra
Betina yang tergeletak tak bernyawa lagi. Darah masih mengalir dari dada yang berlubang
sebesar kepalan tangan.
Kemudian kembali ditatapnya pemuda tampan berbaju
kulit harimau di depannya.
Untuk beberapa saat lamanya mereka saling
berpandangan saja tanpa berkata apa-apa. Perlahan
Bayu menghembuskan napas panjang, kemudian ber-
balik dan mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Suci memandangi pemuda berbaju
kulit harimau itu, lalu
ikut melangkah. Ayunan kakinya disejajarkan di samping Pendekar Pulau Neraka.
Belum juga ada yang bica-ra. Sementara matahari sudah begitu condong ke Ba-
rat Dan itu berarti hampir satu harian Bayu bertarung dengan si Setan Kobra
Betina. *** Sudah tiga hari Bayu dan Suci berada di Pun-
cak Gunung Parang. Namun selama itu, mereka tidak
mengetahui apa yang harus diperbuat di tempat sunyi dan selalu berkabut ini. Dan
selama tiga hari pula, mereka terpaksa harus berhadapan dengan beberapa to-
koh rimba persilatan.
Yang membuat Bayu tidak habis mengerti, me-
reka semua selalu memanggil Suci dengan julukan si Cakar Harimau. Bahkan mereka
selalu menuduh gadis
ini mencuri sebuah benda. Beberapa kali Bayu mendesak, namun Suci tetap tidak
merasa kalau dirinya
adalah si Cakar Harimau. Gadis itu juga tidak tahu, benda yang dimaksudkan
mereka. "Suci. Aku yakin kejadian ini ada sangkut
pautnya dengan masa lalu mu," tebak Bayu ketika malam itu mereka tengah duduk
berdua menghadapi
seonggok api unggun.
"Maksudmu?" tanya Suci tidak mengerti. "Seharusnya kau sudah tahu, Suci. Mereka
semua menuduh mu sebagai si Cakar Harimau," sahut Bayu.
"Tapi aku bukan si Cakar Harimau. Lagi pula
aku tidak tahu, benda apa yang diinginkan itu," Suci tetap pada pendiriannya.
"Barangkali orang tuamu, Suci. Atau mungkin
juga sanak keluargamu."
"Aku tidak tahu. Sejak kecil aku berada di padepokan, bersama Eyang Purata. Jadi
aku tidak tahu, siapa orang tuaku," sahut Suci.
"Kau tidak pernah bertanya tentang orang tua-
mu pada Eyang Purata, Suci?" tanya Bayu.
Suci hanya menggelengkan kepalanya saja. Ter-
lihat dalam keremangan cahaya api unggun, ada ke-
senduan dalam sorot matanya. Gadis itu memang ti-
dak pernah mengetahui, siapa dan di mana orang tuanya. Bahkan selama ini tidak
pernah peduli, dan selalu menganggap Eyang Purata adalah orang tua satu-satunya.
Dan kini baru disadari kalau asal-usul lelu-hur memang sangat perlu untuk
diketahui. "Apakah aku harus menanyakan hal ini pada
Eyang Purata, Kakang?" tanya Suci, seperti untuk dirinya sendiri.
Bayu hanya tersenyum saja. Dan sebelum Pen-
dekar Pulau Neraka menjawab pertanyaan gadis ini,
mendadak saja mereka dikejutkan sebuah suara berat, dan berwibawa sekali.
"Tidak perlu bertanya, Suci...."
Bayu dan Suci sama-sama menoleh ke arah da-
tangnya suara itu. Mereka benar-benar terkejut. Karena tanpa diketahui sama
sekali, tahu-tahu di tempat ini sudah ada seorang laki-laki tua berjubah putih.
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka. Dia yang tingkat kepandaiannya sudah hampir
mencapai tahap kesempurnaan, sama sekali tidak mengetahui kedatangan
orang tua ini. "Eyang...," desis Suci.
Gadis itu buru-buru bangkit berdiri dan meng-
hampiri laki-laki tua berjubah putih itu, kemudian ber-
lutut di depannya. Kepalanya tertunduk dalam, den-
gan sikap begitu hormat. Sedangkan Bayu yang sudah berdiri, hanya memandangi
saja. Tanpa dijelaskan
pun, Pendekar Pulau Neraka tahu kalau laki-laki tua ini adalah Eyang Purata. Dan
sudah bisa ditebak kalau kepandaian laki-laki tua ini tidak bisa dibuat main-
main. Itu sudah terbukti dengan kemunculannya yang tidak diketahui sama sekali.
"Bangkitlah, Anakku," ujar Eyang Purata. Begitu dalam dan berwibawa sekali
suaranya. Suci memberi sembah dengan merapatkan ke-
dua tangannya di depan hidung, kemudian perlahan-
lahan bangkit berdiri. Gadis itu melangkah ke belakang dua tindak. Dia masih
menundukkan kepalanya,
seakan-akan tidak sanggup membalas tatapan mata
laki-laki tua ini.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Eyang Purata seraya menatap Pendekar Pulau Neraka.
"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan diri.
"Beberapa kali Kakang Bayu menyelamatkan
diriku, Eyang," selak Suci memberi tahu, tanpa menunggu ditanya lagi.
Eyang Purata seperti tidak mendengarkan kata-
kata Suci, dan tetap saja menatap Bayu. Sinar ma-
tanya seakan-akan sedang menyelidiki pemuda berba-
ju kulit harimau ini. Sedangkan Bayu hanya sambil la-lu membalas tatapan itu.
Tapi dia sendiri sebenarnya seperti tengah terpesona oleh penampilan laki-laki
tua berjubah putih ini.
Sinar mata Eyang Purata memang terlihat ta-
jam. Namun di dalamnya tersimpan satu kelembutan
dan keteduhan jiwa. Bayu merasakan sepertinya ten-
gah berhadapan dengan sosok dewa yang turun ke
maya pada. Dari sorot mata dan sikapnya saja, Bayu
sudah bisa menilai kalau orang tua berjubah putih itu memiliki kepandaian yang
sukar diukur. "Apakah kau yang berjuluk Pendekar Pulau Ne-
raka, Anak Muda?" tanya Eyang Purata menebak.
"Benar," sahut Bayu agak terkejut mendengar pertanyaan itu.
Eyang Purata mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Tatapan matanya masih tetap tajam, mengarah langsung ke bola mata
Pendekar Pulau Neraka.
"Dari mana kau tahu julukanku?" tanya Bayu ingin tahu.
"Di dunia ini hanya satu pendekar muda yang
mengenakan baju kulit harimau, dengan senjata se-
buah cakra di pergelangan tangannya," sahut Eyang Purata. "Hm..., dari mana kau
peroleh senjata itu, Anak Muda?" Bayu tidak segera menjawab. Dalam hatinya
terbesit satu kecurigaan pada laki-laki tua ini. Entah kenapa, dia selalu
menaruh curiga pada orang yang
mengenal senjatanya.
"Aku kenal pemilik Cakra Maut. Di mana dia
sekarang berada?"
Bayu tetap saja diam. Perasaannya semakin cu-
riga terhadap laki-laki tua berjubah putih ini. Sedangkan Suci hanya
memperhatikan saja. Dia tidak men-
gerti semua pembicaraan kedua laki-laki ini.
"Aku sering mendengar sepak terjang mu. Pen-
dekar Pulau Neraka. Aku tahu, kau berada di sini untuk mencari orang-orang yang
telah mencelakakan Cakra Maut. Memang, kebanyakan dari mereka tengah
berkumpul di sekitar Gunung Parang ini. Dan kau telah menewaskan beberapa di
antaranya," kata Eyang Purata lagi.
Bayu semakin terpana mendengarnya. Sungguh
tidak disangka kalau laki-laki tua ini tahu maksud kedatangannya ke Gunung
Parang ini. "Tapi kau tidak perlu curiga padaku, Anak mu-
da. Meskipun jalan yang ditempuh si Cakra Maut bertentangan denganku, tapi aku
tidak pernah melakukan perbuatan keji seperti itu. Perbuatan mereka memang patut
mendapat ganjaran. Dan kau sebagai pemegang
senjata Cakra Maut sudah sepantasnya menuntut ba-
las. Aku yakin, kau adalah pewaris tunggal Cakra
Maut. Entah bagaimana caranya kau bisa memiliki
senjata itu," kata Eyang Purata panjang lebar.
"Tampaknya kau tahu banyak tentang diriku
dan si Cakra Maut, Eyang," ujar Bayu, agak bergumam suaranya. "Dari mana kau
tahu semua itu?"
Eyang Purata hanya tertawa saja mendengar
pertanyaan Bayu barusan. Begitu lepas suara tawanya, namun terdengar sangat
dalam dan penuh kewiba-waan. Sedangkan Bayu hanya bergumam kecil. Ingin
diketahuinya, dari mana laki-laki tua ini bisa tahu begitu banyak tentang diri
dan gurunya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara di sekitar
Puncak Gunung Parang ini semakin terasa dingin. Kini di dekat api unggun itu
duduk berkeliling tiga orang yang tengah menghangatkan diri.
*** 7 Malam terus merambat semakin larut Untuk
malam ini, Bayu dan Suci merasakan ketegangan agak berkurang. Tidak seperti
malam-malam sebelumnya,
yang selalu dihantui ketegangan dan ketidaktenangan.
Kemunculan Eyang Purata, seakan-akan membawa
kedamaian tersendiri yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata. Bukan hanya Bayu yang bisa merasakan-
nya. Bahkan Suci pun merasa hari ini begitu damai.
Kemunculan gurunya itu mempunyai arti khusus, dan
hanya dirinya yang bisa merasakan.
"Eyang, ada sesuatu yang ingin kutanyakan,"
kata Suci saat keadaan sudah terasa lebih tenang, dan tidak lagi menegang
seperti tadi. "Kau pasti ingin menanyakan tentang Cakar
Harimau, bukan...?" tebak Eyang Purata langsung.
Suci hanya diam saja. Memang itu yang hendak
ditanyakannya. Dan itu memang anjuran Bayu, sebe-
lum laki-laki tua berjubah putih ini muncul. Dan sebenarnya bukan hanya itu
saja. Terlalu banyak yang ingin ditanyakan gadis ini.
"Waktu itu kau memang masih terlalu kecil un-
tuk mengetahui semuanya, Suci. Jadi, terpaksa ku ra-hasiakan tentang dirimu,"
Eyang Purata mulai membuka riwayat muridnya ini.
Suci hanya diam saja mendengarkan. Sedang-
kan Bayu juga diam membisu, sambil tidak lepas me-
mandangi laki-laki tua berjubah putih yang duduk
bersila di depannya. Hanya seonggok api unggun kecil yang membatasi mereka.
"Aku bertemu denganmu ketika kau masih be-
rusia sekitar dua tahun, Suci. Masih begitu polos dan lucu. Dosa besar jika anak
berumur dua tahun ku li-batkan dalam persoalan orang dewasa. Jadi, terpaksa aku
harus menunggu sampai kau benar-benar siap
untuk menghadapinya," sambung Eyang Purata.
Suci tetap diam membisu. Dicobanya untuk
mengingat-ingat ketika masih berusia sekitar satu atau
dua tahun. Tapi masa-masa seperti itu memang sukar bisa diulang dalam ingatannya
saat ini. Karena seta-hunya, tidak ada yang istimewa dalam dirinya pada
masa-masa itu. Selama hidupnya dalam padepokan,
memang tidak ada yang terlalu istimewa. Dan ini merupakan satu kekurangan yang
ada dalam dirinya. Tidak pernah mengingat apa pun yang telah terjadi di masa
lalu. "Teruskan, Eyang," pinta Suci melihat Eyang Purata diam saja.
"Tujuh belas tahun yang lalu, saat itu aku baru saja mendirikan padepokan. Dan
muridku baru tiga
orang. Kau datang diantar seorang perempuan muda
yang dalam keadaan luka parah. Dia hanya memberi-
kan beberapa potong kalimat dan sebuah benda pada-
ku," lanjut Eyang Purata.
"Benda..." Benda apa itu, Eyang?" tanya Suci.
"Sepotong Cakar Harimau," sahut Eyang Purata.
"Cakar Harimau..." Maksud, Eyang?" Suci benar-benar tidak mengerti.
"Kalau tidak ada halangan, besok kau akan
menerimanya dari Intan," sahut Eyang Purata.
"Intan..."!" Suci terkejut bukan main.
"Sekarang dia dalam perjalanan ke sini bersa-
ma Seta dan Darmasaka."
"Jadi...?"
"Aku yang membawanya pergi. Untung luka-
lukanya tidak terlalu parah," jelas Eyang Purata singkat.
"Oh...," Suci mendesah lega mendengar Intan selamat. "Bagaimana Eyang bisa
sampai dengan cepat?" "Aku memang mengikuti kalian," sahut Eyang
Purata. "Bersama Kakang Seta dan Kakang Darmasaka?" tanya Suci ingin ketegasan.
"Benar."
"Kenapa Eyang lakukan itu?"
"Hanya ingin menjaga keselamatan kalian. Te-
rutama sekali kau, Suci. Karena aku tahu, perjala-
nanmu akan mendapat rintangan yang tidak kecil. Sedangkan kemampuan yang kau
miliki masih kurang
sekali. Masih banyak yang harus kau pelajari. Dan semua itu tidak akan kau
dapatkan di padepokan. Den-
gan pengalaman seperti ini, kau bisa melihat bagaimana kehidupan dalam rimba


Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan," kembali Eyang Purata menjelaskan.
Suci hanya diam saja. Diliriknya Bayu yang
duduk di sampingnya. Pendekar Pulau Neraka juga
hanya diam mendengarkan. Gadis itu jadi teringat ka-ta-kata Bayu. Memang benar,
ternyata gurunya ini tidak akan mungkin melepaskannya begitu saja. Terle-
bih mencelakakan dirinya.
Seorang guru yang bijaksana, pasti akan men-
jaga dan membela muridnya. Hanya saja, Suci belum
begitu mengerti maksud Eyang Purata sebenarnya
yang menyuruhnya ke Puncak Gunung Parang ini. Dan
diyakini kalau ada satu maksud tersembunyi di balik semua ini.
"Eyang...," terdengar agak ragu-ragu suara Su-ci.
"Ada apa?" lembut sekali suara Eyang Purata, seperti orang tua terhadap anak
kesayangannya. "Boleh bertanya lagi..?" pinta Suci.
"Tanyakan saja semua yang ingin kau ketahui,
Suci." "Apa maksud Eyang menyuruh aku dan Kak Intan ke sini?" tanya Suci setelah
menarik napas dalam-
dalam. Eyang Purata tidak langsung menjawab, tapi
malah tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya
yang panjang dan sudah berwarna putih semua. Dili-
riknya sedikit Pendekar Pulau Neraka yang duduk di samping Suci. Lirikan yang
sedikit itu, dapat di tangkap Bayu, maka dia langsung bisa mengerti maksud-
nya. "Maaf, kalau boleh aku ingin berjalan-jalan sebentar," ujar Bayu seraya
bangkit berdiri.
Sebelum ada yang menyahut, Pendekar Pulau
Neraka sudah berjalan pergi. Sedangkan Eyang Purata hanya tersenyum saja
memandangi kepergian pemuda
berbaju kulit harimau itu. Dalam hati dikaguminya
daya tangkap Bayu yang begitu cepat bisa mengerti
maksudnya. Padahal, itu dilakukan hanya dengan se-
dikit lirikan mata saja. Bayu terus berjalan semakin jauh, dan akhirnya lenyap
ditelan kegelapan malam.
"Kenapa Eyang memintanya pergi?" tanya Suci yang rupanya juga melihat lirikan
laki-laki tua ini.
"Mungkin lebih enak jika hanya kau saja yang
mengetahui, Suci," sahut Eyang Purata.
Suci seperti tidak setuju pendapat gurunya ini,
tapi tidak ingin membantah lagi. Dia tahu, dan bisa menebak kalau Eyang Purata
pasti akan menyampai-kan suatu rahasia yang tidak boleh seorang pun
mengetahuinya. Dan ini yang membuatnya semakin di-
hinggapi perasaan penasaran ingin mengetahuinya.
Terlebih lagi, hal ini menyangkut dirinya. Dan me-
mang, pangkal persoalannya berasal dari dirinya.
*** Bayu mengayunkan kakinya perlahan, semakin
jauh meninggalkan Suci dan gurunya yang tengah du-
duk menghadapi seonggok api unggun. Pendekar Pu-
lau Neraka baru berhenti melangkah setelah diyakini kalau jaraknya dengan tempat
itu sudah cukup jauh.
Sebentar kepalanya berpaling ke belakang. Bibirnya tersenyum kala melihat dua
orang murid dan guru sedang asyik berbicara.
Pendekar Pulau Neraka itu cepat memutar tu-
buhnya ketika tiba-tiba saja terdengar suara ranting patah terinjak. Suara itu
memang kecil sekali, namun sangat jelas terdengar di telinga pemuda berbaju
kulit harimau itu. Sebentar Bayu terdiam sambil menajam-kan pendengarannya.
"Hm..., siapa lagi nyamuk kecil ini...," gumam Bayu dalam hari.
Pendekar Pulau Neraka menjentikkan ujung ja-
ri kakinya. Maka sebatang ranting kering terpental ke atas. Dan secepat kilat,
Pendekar Pulau Neraka menangkap ranting kering, dan secepat itu pula dihentakkan
ke arah kanan. Wut! Srak...! Bersamaan dengan amblasnya ranting itu ke
dalam semak, sebuah bayangan berkelebat keluar dari situ. Dan dalam waktu yang
hampir bersamaan, Bayu
melesat ke udara mengejar bayangan itu
"Yeaaah...!"
Bet! Satu pukulan dilepaskan Pendekar Pulau Nera-
ka, namun sama sekali tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Pukulan yang cepat
itu, tepat mengenai
bayangan yang berputaran di udara. Seketika suara
mengaduh kecil terdengar. Sedangkan bayangan itu
meluruk turun dengan derasnya.
"Hap...!"
Manis sekali kakinya mendarat di tanah. Saat
yang sama, Bayu juga menjejakkan kedua kakinya di
tanah. Kini di depan Pendekar Pulau Neraka sudah
berdiri seorang perempuan muda mengenakan baju
warna merah menyala. Wanita itu cantik sekali, se-
hingga Bayu sempat terpana memandang raut wajah-
nya. Tubuhnya yang ramping terbungkus baju ketat,
sehingga memetakan lekuk-lekuk menggairahkan.
"Siapa kau...?" tanya Bayu setelah bisa menghi-langkan keterpanaannya.
"Aku Rara Asih. Kedatanganku ke sini untuk
membalas kematian guruku!" sahut wanita muda itu tegas. "Gurumu..." Siapa
gurumu?" tanya Bayu dengan kening agak berkerut
"Setan Kobra Betina," sahut Rara Asih, agak ke-tus suaranya.
Kening Bayu semakin dalam berkerenyut. Di-
pandanginya gadis itu dalam-dalam. Seakan-akan sulit dipercaya kalau gadis
cantik yang mengaku bernama
Rara Asih ini adalah murid si Setan Kobra Betina. Namun dari senjata yang
terselip di pinggang yang ramping, Bayu harus percaya. Senjata itu berupa
tongkat pendek sepanjang lima jengkal, berbentuk seekor ular kobra hitam.
Ikat kepala yang dikenakan gadis itu juga ber-
bentuk seekor ular kobra. Untuk beberapa saat la-
manya, Bayu terdiam memandangi gadis cantik di de-
pannya. Meskipun dari senjata dan pakaiannya sudah
bisa dipastikan kalau gadis ini memang murid si Setan Kobra Betina, namun
tampaknya Bayu masih belum
bisa percaya penuh.
"Dari mana kau tahu kalau aku menewaskan si
Setan Kobra Betina?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka tahu betul, kalau perta-
rungannya dengan si Setan Kobra Betina hanya Suci
yang menyaksikan. Tidak ada seorang pun yang meli-
hat pertarungan itu, selain Suci. Dan sekarang ada seorang gadis cantik yang
mengaku murid si Setan
Kobra Betina. "Seluruh gunung ini sudah ku kuasai, Pende-
kar Pulau Neraka. Jadi aku bisa mengetahui semua
peristiwa yang terjadi di sini," sahut Rara Asih seraya tersenyum sinis.
Bayu ingin membuka mulut lagi, tapi cepat di
urungkannya. Pendekar Pulau Neraka hanya menggu-
mam perlahan. Pendengarannya yang tajam langsung
dapat mendengar kalau di sekitarnya ada beberapa
orang, dengan tarikan napas halus dan hampir tidak terdengar. Dihitungnya di
dalam hati, setelah disadari kalau tempat ini sudah terkepung.
"Gila..,! Banyak juga...," dengus Bayu dalam ha-ti.
"Kau tidak akan bisa lolos dari kematian, Pendekar Pulau Neraka. Semua tempat
sudah terkepung,
dan jangan harap bisa menembus kepungan anak
buah ku," dingin sekali nada suara Rara Asih.
Bayu tersentak kaget Kembali dipandanginya
gadis itu dalam-dalam. Dia benar-benar terke-
jut, karena Rara Asih seperti bisa membaca pikirannya. Dan memang pada saat itu
Bayu tengah memikir-
kan cara untuk bisa terlepas dari tempat ini, setelah menyadari kalau seluruh
tempat ini sudah terkepung puluhan orang yang bersembunyi.
"Suiiit..!" tiba-tiba saja Rara Asih bersiul nyaring.
"Heh...!" Bayu kembali tersentak kaget Dan sebelum keterkejutan Pendekar Pulau
Neraka lenyap, mendadak saja dari empat arah berlompatan empat
orang berpakaian serba merah yang terdapat gambar
seekor ular kobra hitam di bagian punggungnya. Mere-ka semua menggenggam senjata
tongkat pendek ber-
bentuk ular, yang bagian ekornya runcing seperti mata tombak.
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Pulau Nera-
ka. Ha ha ha...!"
Begitu Rara Asih menghentakkan tangan ka-
nannya ke depan, seketika itu juga empat orang laki-laki muda yang mengepung
Bayu cepat berlompatan.
Mereka langsung menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
*** 8 Bayu tidak sempat lagi mencegah mereka. Ter-
paksa harus dilayaninya empat orang laki-laki muda yang menyerang secara
bergantian dengan kecepatan
tinggi dari empat jurusan. Dalam beberapa gebrak sa-ja, Bayu sudah bisa mengukur
tingkat kepandaian mereka. Namun Pendekar Pulau Neraka tidak mudah
mengambil kesempatan untuk memberi serangan bala-
san, yang bisa menghentikan perlawanan mereka.
Memang, empat orang berbaju merah itu selalu
menyerang cepat dan saling bergantian. Bayu sempat terpana juga menghadapi pola
serangan yang begitu
kompak dan beragam. Beberapa kali tubuhnya terpak-
sa dibanting ke tanah, atau berjumpalitan di udara menghindari serangan-serangan
yang datang cepat
dan beruntun itu.
"Phuih! Tenaga dalam mereka belum tinggi, tapi kerja sama serangannya sungguh
mengagumkan...,"
dengus Bayu dalam hati.
Meskipun agak kerepotan juga, namun Pende-
kar Pulau Neraka sempat memuji dalam hati. Kekagu-
mannya semakin bertambah, setelah keempat orang
lawannya kini menyerang dengan mempergunakan
senjata tongkat pendek berbentuk ular kobra hitam.
"Uts...!" tiba-tiba saja Bayu merundukkan kepala
nya ketika satu tebasan tongkat hitam me-
nyambar ke arah kepalanya.
Belum lagi pemuda berbaju kulit harimau itu
sempat menegakkan kepala kembali, mendadak saja
satu sodokan tongkat mengandung pengerahan tenaga
dalam cukup tinggi mengarah ke perutnya.
"Hih...!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk
menghindar. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kanannya,
menyampok sodokan
tongkat hitam dari arah depan. Tak pelak lagi, satu benturan keras terjadi.
Trak! Terdengar suara sesuatu yang patah. Tampak
orang berbaju serba merah di depan Bayu terhuyung-
huyung ke belakang. Bukan hanya dirinya yang terkejut Bahkan ketiga temannya
serta Rara Asih, terperan-jat bukan main melihat tongkat di tangan pemuda
berbaju merah itu patah jadi dua bagian.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan
yang hanya sedikit ini. Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melompat ke depan.
Langsung diterjangnya
pemuda berbaju merah yang masih terhuyung-huyung
akibat benturan senjata tongkat dengan pergelangan tangan Bayu. Dua pukulan
bertenaga dalam tinggi cepat dilepaskan Bayu.
"Hiya! Yeaaah...!"
Des! "Aaakh...!" orang berbaju merah itu menjerit melengking tinggi.
Keras sekali pukulan yang dilepaskan Pendekar
Pulau Neraka, sehingga membuat orang berbaju merah itu terpental jauh ke
belakang. Nyawanya langsung
melayang begitu tubuhnya mencium tanah. Bayu cepat memutar tubuhnya, memandangi
tiga orang lagi yang
terpana menyaksikan kecepatan gerak Pendekar Pulau Neraka barusan.
"Aku tidak punya urusan dengan kalian. Se-
baiknya cepat tinggalkan tempat ini, sebelum bernasib sama dengannya," Bayu
menunjuk orang yang tergeletak tak bernyawa lagi
"Ha ha ha...! Kau tidak bisa menggertak mere-
ka, Pendekar Pulau Neraka!" Rara Asih menyahut sambil tertawa terbahak-bahak.
Bayu mendengus kecil seraya melirik gadis can-
tik berbaju merah. Sementara itu, tiga orang laki-laki muda di depannya, hanya
saling berpandangan. Untuk beberapa saat, kesunyian yang menegangkan menyelimuti
mereka. "Kau jangan berbangga dulu, hanya karena bisa membunuh salah seorang dari
mereka, Pendekar Pulau Neraka. Lihatlah sekelilingmu...!"
Setelah, berkata demikian, Rara Asih bersiul
nyaring. Dan seketika itu juga, dan balik kegelapan
bermunculan orang-orang berbaju merah. Mereka ber-
senjatakan tongkat pendek berbentuk ular kobra hitam yang tergenggam di tangan.
Bayu yang sudah menduga, tidak terkejut lagi melihat kemunculan mereka.
Namun sungguh tidak disangka akan sebanyak
ini. Jumlah mereka begitu besar, bagai satu pasukan prajurit.
"Hm...!" gumam Bayu perlahan sambil mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Ha ha ha...!"
Pandangan Pendekar Pulau Neraka kemudian
tertumbuk pada gadis berbaju merah yang tertawa terbahak-bahak. Bayu hanya
mendengus dalam hati. Di-
akui kalau melihat keadaan ini, Rara Asih memang boleh merasa menang. jumlah
orang yang begitu besar, memang tidak mudah dilawan.
"Sebaiknya mohon ampun dulu pada roh guru-
ku, sebelum terbang ke akherat, Pendekar Pulau Neraka," dingin sekali suara Rara
Asih. "Aku tidak yakin orang-orangmu mampu mela-
kukannya, Rara Asih," sambut Bayu tidak kalah dinginnya. "Boleh dicoba.... Aku
ingin tahu, seberapa kuatnya dirimu menghadapi mereka."
Rara Asih menghentakkan tangannya ke depan.
Maka seketika itu juga, orang-orang berbaju merah
berlompatan sambil berteriak-teriak menyerang Pendekar Pulau Neraka. Saat itu
memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Bayu, kecuali harus menghadapi keroyokan
ini. "Yeaaah....!"
*** Pertarungan memang tidak mungkin lagi dihin-
dari. Teriakan-teriakan keras disertai denting senjata terdengar membahana,
memecah kesunyian malam.
Menghadapi keroyokan begird banyak, Bayu tidak
mungkin bisa melontarkan senjatanya. Dan yang pasti, tidak ada kesempatan
memusatkan perhatian untuk
mengendalikan senjata mautnya. Maka Pendekar Pu-
lau Neraka menggenggam Cakra Maut pada salah satu


Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujungnya. Jerit dan pekikan melengking tinggi terdengar
menyayat saling sambut. Dalam waktu yang tidak be-
rapa lama saja, sudah terlihat beberapa tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Darah menyembur
membasahi tanah berumput, bercampur keringat dan
embun. Meskipun sudah banyak yang bergelimpangan
tak bernyawa lagi, namun orang-orang berbaju merah itu tidak merasa gentar sama
sekali. Bahkan terus merangsek, dan semakin rapat mengepung Pendekar Pu-
lau Neraka. Akibatnya, ruang gerak pemuda berbaju
kulit harimau itu semakin mengecil.
"Waaa...!"
"Aaa...!"
Mendadak saja terdengar jeritan-jeritan pan-
jang melengking tinggi dari arah luar kepungan itu.
Dan terlihat tubuh-tubuh berbaju merah berpentalan di udara. Saat itu juga
orang-orang berbaju merah
yang terdapat gambar ular kobra di punggungnya, jadi terpecah perhatiannya.
Sedikit Bayu bisa menangkap ada dua orang
yang mengamuk, memporak-porandakan para penge-
royoknya ini. jerit dan pekik menyayat semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh
berbaju merah, semakin banyak berpentalan di udara, dengan darah menyembu-
rat keluar dari tubuh yang terluka.
"Suci...," desis Bayu begitu bisa melihat gadis berbaju biru muda mengamuk di
dekat seorang laki-laki berjubah putih.
Melihat Suci dan Eyang Purata membantu,
Pendekar Pulau Neraka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Sambil
berteriak menggelegar, dia melompat cepat bagaikan kilat sambil mengibaskan
tangannya beberapa kali.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Gerakan-gerakan yang dilakukan Bayu sung-
guh cepat luar biasa. Terlebih lagi, senjata Cakra Maut yang tergenggam di
tangan kanannya bagaikan senjata dewa yang murka melihat ketidakadilan di dunia
ini. Begitu cepatnya Pendekar Pulau Neraka memainkan
senjatanya, sehingga sukar dilihat mata biasa.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka melompat
cepat bagaikan kilat, sambil mengibaskan tangannya beberapa kali. Jerit dan
pekikan melengking tinggi terdengar beberapa kali saling susul dan menyayat
Tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu melu-
ruk deras ke arah Rara Asih yang tengah mengumpat
dan memaki, karena orang-orangnya berantakan tidak karuan. Gadis itu terkejut
bukan main. Sebab, mendadak saja Bayu meluruk deras kearahnya, sambil me-
lontarkan dua pukulan sekaligus.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rara Asih mengegoskan tubuhnya,
menghindari serangan yang dilancarkan Bayu. Begitu terlepas dari incaran maut
Pendekar Pulau Neraka,
dengan cepat Rara Asih melompat ke belakang sejauh dua batang tombak.
"Phuih!" Rara Asih menyemburkan ludahnya.
"Awas, Kakang...!" tiba-tiba saja ada seruan ke-
ras dari arah belakang.
"Uts! Yeaaah...!"
Bayu cepat memutar tubuhnya. Dan secepat itu
pula tangan kanannya yang menggenggam Cakra Maut
dikibaskan. Pada saat yang sama, satu orang anak
buah Rara Asih melompat hendak membokongnya.
Namun gerakannya kalah cepat sehingga....
Bret! "Aaakh...!" orang berbaju merah itu menjerit melengking tinggi.
Ujung Cakra Maut dalam genggaman tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka merobek dalam sekali
dada orang itu. Darah segar pun seketika muncrat. Sa-tu pukulan keras bertenaga
dalam sempurna, dile-
paskan Bayu, telak menghantam dada. Akibatnya,
orang itu terpental sejauh dua batang tombak. Hanya sebentar orang berbaju merah
itu menggeliat, kemudian diam tak bernyawa lagi.
Bayu mengangkat tangannya pada Suci yang
telah memperingati dirinya. Dari gadis itu hanya membalas dengan senyuman saja,
karena harus sibuk
menghalau orang-orang berbaju merah yang sudah menye-
rang kembali dengan ganas sekali. Bayu memutar tu-
buhnya, kembali menghadap Rara Asih.
*** "Sebaiknya suruh mereka berhenti, Ni sanak.
Sebelum seluruh anak buahmu habis," kata Bayu memperingatkan.
"Aku punya orang-orang yang cukup untuk
menghancurkan kau dan kedua temanmu itu, Pende-
kar Pulau Neraka," desis Rara Asih dingin.
Rara Asih kembali bersiul nyaring melengking.
Bayu sempat terkejut Dan memang, dari balik pepohonan dan semak serta bebatuan
yang banyak terdapat
di tempat ini, bermunculan orang-orang berbaju serba merah. Jumlah mereka kini
tiga kali lipat dari yang pertama. Pendekar Pulau Neraka tidak menyangka kalau
gadis ini memiliki anak buah yang begitu besar jumlahnya.
Pada saat yang sama, orang-orang berbaju me-
rah yang tengah bertarung dengan Eyang Purata dan
Suci, berlompatan mundur. Guru dan murid itu bergegas menghampiri Bayu. Mereka
juga terkejut melihat di sekelilingnya sudah padat oleh orang-orang berbaju
merah. Tak ada lagi celah yang bisa digunakan untuk keluar dari tempat ini.
"Sebaiknya kalian menyerah saja, daripada
membuang tenaga percuma," tegas Rara Asih diikuti tawanya yang lepas berderai.
Gadis itu benar-benar sudah merasa yakin be-
rada di atas angin. Dengan jumlah anak buah yang lebih dari dua ratus orang,
memang tidak mungkin bisa dihadapi tiga orang saja. Meskipun tingkat kepandaian
Eyang Purata dan Pendekar Pulau Neraka tidak bisa
dikatakan rendah, namun kedua orang itu harus ber-
pikir keras juga.
"Maaf. Muridku telah menyeret mu ke dalam
persoalan ini, Anak Muda," ucap Eyang Purata perlahan. Bayu melirik sedikit pada
laki-laki tua berjubah putih yang kini sudah berdiri di samping kanannya.
Pendekar Pulau Neraka kemudian menatap Suci yang
berada di samping gurunya itu. Sedangkan gadis itu hanya diam saja, dan
sepertinya tidak bisa membalas tatapan Bayu Kembali Pendekar, Pulau Neraka me-
mandang Rara Asih.
"Sebenarnya aku sengaja mengutus Suci dan
Intan untuk memancing perempuan ini keluar. Ge-
rombolan mereka memang sudah lama meresahkan se-
luruh penduduk desa di sekitar Gunung Parang ini,
Anak Muda," jelas Eyang Purata.
Bayu hanya diam saja. Pandangannya beredar
ke sekeliling. Walaupun memiliki kepandaian yang
sangat tinggi, tapi tidak akan mungkin bisa menghadapi lawan begini banyak
jumlahnya. Pendekar Pulau Neraka berpaling menatap Eyang Purata.
"Perempuan ini tidak akan mati meskipun kau
menggunakan kesaktian yang tangguh sekalipun.
Hanya Cakar Harimau yang bisa menewaskannya," jelas Eyang Purata lagi.
"Kenapa?" tanya Bayu ingin tahu.
"Karena di dalam tubuhnya tersimpan Warang-
ka Cakar Harimau. Dulu dia pernah bertarung den-
ganku, lalu ku hujamkan Warangka Cakar Harimau
dalam tubuhnya. Dia memang tidak mati, tapi warang-ka itu akan melumpuhkannya."
Bayu mengerutkan keningnya sedikit.
"Bagaimana itu bisa terjadi?" tanya Bayu.
"Cukup...!" tiba-tiba Rara Asih membentak keras.
Eyang Purata yang hendak menjawab, jadi
mengurungkan niatnya. Dia dan Bayu langsung mena-
tap wanita cantik berbaju merah menyala itu. Pada
saat itu, pagi sudah datang menjelang. Di ufuk sebelah Timur, cahaya matahari
menyemburat merah, menan-dakan sebentar lagi seluruh Puncak Gunung Parang
ini akan tersiram oleh cahayanya yang menyengat.
"Apa yang harus kita lakukan, Eyang?" tanya Suci yang sejak tadi diam saja.
Eyang Purata tidak langsung menjawab, tapi
melirik Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan yang dilirik hanya diam saja. Bayu
seperti tidak mengetahui, kalau orang tua itu meminta pendapat padanya. Padahal
pemuda itu tidak tahu, apa yang harus dilakukannya saat ini.
"Eyang Purata! Kau yang menanam Warangka
Cakar Harimau di tubuhku. Dan sekarang aku ingin
agar cakar itu diserahkan padaku," bentak Rara Asih.
"Benda itu tidak ada padaku," sahut Eyang Purata. "Kau pikir aku bodoh, heh..."!
Bertahun-tahun benda itu kau simpan. Maka, sekaranglah saatnya aku meminta benda
itu, karena warangkanya sudah me-nyatu dalam diriku!" dingin sekali suara Rara
Asih. "Kau akan lumpuh oleh benda itu, Rara Asih,"
ujar Eyang Purata.
"Ha ha ha...! Kau memang orang tua bodoh!
Bertahun-tahun aku terus mencoba mengendalikan
Warangka Cakar Harimau. Dan sekarang aku sudah
berhasil menjinakkannya."
"Bagaimana kau bisa melakukannya...?" tanya Eyang Purata agak terkejut juga.
"Dengan ini," sahut Rara Asih seraya menunjukkan kalung yang melingkar di
lehernya. "Taring Harimau...," desis Eyang Purata terbe-liak. "Aku tahu kau mengubur mayat
si Cakar Harimau yang kau bunuh di Puncak Gunung Parang ini.
Dan kau merasa terusik begitu aku bisa menguasai seluruh wilayah gunung ini,
Eyang Purata. Lalu kau pe-ralat muridmu sendiri dengan menyebarkan berita bohong
kalau murid dungu mu itu adalah si Cakar Harimau. Tapi jangan harap bisa
mengelabui aku, Eyang
Purata. Kau memang boleh berbangga bisa mengelabui guru ku si Setan Kobra Betina
tapi tidak terhadapku.
Hhh! Aku tidak punya waktu banyak untuk mu. Se-
baiknya, serahkan saja-Cakar Harimau itu padaku!"
"Sudah kukatakan, benda itu tidak ada pada-
ku!" bentak Eyang Purata.
"Kau memang harus mampus, Orang Tua...! Se-
rang...!" Maka, seketika orang-orang berbaju merah segera menyerang Eyang
Purata. Bagaikan kilat, laki-laki tua berjubah putih itu
melompat, mencoba menghadang orang-orang berbaju
merah yang hendak menyerangnya. Namun demikian,
Rara Asih masih juga mengibaskan tangan kirinya.
Slap! Beberapa buah benda halus seperti jarum ber-
warna merah, meluncur deras ke arah Eyang Purata.
Serangan dengan cara membokong ini membuat laki-
laki tua itu terkejut Cepat tubuhnya diputar, menghindari jarum-jarum merah yang
sangat halus itu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berjumpalitan di udara, Eyang Purata
mengebutkan kedua tangannya. Dicobanya untuk
menghalau jarum-jarum merah itu. Sementara Suci
juga sudah sibuk menghadapi sekitar dua puluh orang berpakaian serba merah yang
bersenjatakan tongkat
pendek berbentuk ular kobra hitam.
"Curang...!" geram Eyang Purata begitu bisa terlepas dari serbuan jarum-jarum
merah mengandung
racun yang dilepaskan Rara Asih. "Mampus kau, Perempuan Iblis! Hiyaaat..!"
Eyang Purata langsung meluruk deras menye-
rang Rara Asih. Namun sebelum sampai pada wanita
cantik itu, orang-orang berbaju merah yang memang
sudah siap sejak tadi segera berlompatan mengha-
dang. Hal ini membuat Eyang Purata semakin geram
saja. Segera dikerahkannya jurus-jurus ampuh dan
dahsyat untuk menghalau orang-orang berbaju merah
yang sema banyak meluruk ke arahnya.
"Setan keparat..! Hiyaaat..!"
Bagaikan seekor banteng yang terluka, Eyang
Purata mengamuk, dengan hati dihinggapi kemarahan
yang amat sangat. Laki-laki tua itu benar-benar marah, karena Rara Asih telah
membongkar rahasia yang telah ditutup rapat-rapat selama beberapa tahun ini.
Sebuah rahasia yang mengatakan kalau Suci adalah si Cakar Harimau. Padahal,
tokoh itu telah lama mati.
Sementara itu, Bayu yang menyaksikan kecu-
rangan dan ketidakadilan dari cara pertarungan ini, tidak bisa tinggal diam
begitu saja. Namun sebelum
pendekar muda ini dapat bergerak, orang-orang berba-ju merah sudah lebih dahulu
berlompatan merangsek.
"Hiyaaa...!"
Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pende-
kar Pulau Neraka. Mau tak mau Bayu harus menguras
tenaga juga, menghadapi orang-orang yang sepertinya tidak mengenal rasa jera dan
takut ini. Melihat mereka bersungguh-sungguh hendak membunuhnya, Bayu tidak bisa
lagi bermain-main. Maka dikerahkannya ju-
rus-jurus ampuh dan dahsyat. Setiap pukulan dan
tendangan yang dilontarkan, mengandung kekuatan
tenaga dalam sempurna.
Kembali Puncak Gunung Parang ini dipecahkan
jerit dan pekik pertempuran yang berbaur dengan jeritan menyayat. Dentingan
senjata beradu, mewarnai
pagi yang seharusnya indah untuk dinikmati.
Satu pertarungan yang tidak seimbang sama sekali.
Tiga orang harus menghadapi ratusan orang bersenja-
ta tongkat pendek.
"Ha ha ha...!"
*** Suara tawa Rara Asih mendadak terhenti ketika
tiba-tiba saja orang-orangnya terlihat jadi kalang kabut. Dia mendengus geram
begitu menyaksikan dari
arah bagian luar, anak buahnya berhamburan seperti daun tertiup angin.
"Keparat..!" desis Rara Asih geram.
Keadaan yang kacau ini, rupanya juga diketa-
hui Pendekar Pulau Neraka. Dan pemuda berbaju kulit harimau ini bisa menarik
napas lega, melihat orang-orang berpakaian prajurit memporak-porandakan anak
buah Rara Asih.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak mempedulikan dari mana para pra-
jurit itu datang. Yang penting, dia punya kesempatan baik untuk bisa mendekati
perempuan cantik berhati iblis itu. Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Pulau
Neraka bisa mencapai tempat Rara Asih berdiri.
"Sudah saatnya kau berhadapan denganku, Ra-
ra Asih," desis Bayu.
"Phuih!" Rara Asih menyemburkan ludahnya.
Mendadak saja wanita itu bergerak cepat, dan
tahu-tahu sudah memberi satu serangan kilat terha-
dap Pendekar Pulau Neraka. Sejenak Bayu terperan-
gah, namun cepat dia berkelit untuk menghindari serangan yang dilancarkan wanita
cantik berbaju merah ini.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"


Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemarahan Rara Asih semakin memuncak ma-
nakala sempat melihat orang-orangnya semakin beran-
takan tidak beraturan lagi. Bahkan kini dari segala arah, bermunculan orang-
orang berpakaian seragam
prajurit yang langsung menyerang dan memporak-
porandakan anak buahnya.
"Yeaaah...!"
Mendadak saja Bayu berteriak keras sambil
memberi satu pukulan keras menggeledek ke arah da-
da. Begitu cepatnya pukulan yang dilontarkan, sehingga membuat Rara Asih tidak
sempat lagi menghindar.
Dan pukulan pemuda berbaju kulit harimau itu tepat menghantam dadanya.
Deghk! "Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Pendekar, Pulau Nera-
ka tatkala pukulannya tepat mengenai dada Rara Asih.
Tangannya terasa seperti memukul segumpal karet
yang kenyal, sehingga berbalik.
"Ha ha ha...!" Rara Asih tertawa terbahak-bahak. Bayu langsung teringat kata-
kata Eyang Pura-ta. Gadis ini memang sukar dikalahkan, kecuali dengan Cakar
Harimau. Teringat hal itu, Bayu ingin mencoba kekebalan gadis ini. Segera
tubuhnya dimiringkan dan agak membungkuk sedikit Lalu sambil berte-
riak keras, tangan kanannya mengibas ke depan.
Cakra Maut yang sudah menempel kembali di
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka, seketika melesat cepat bagaikan
kilat menerjang Rara Asih. Namun gadis itu menyambutnya dengan senyuman, dan
sedikit pun tidak mencoba menghindar. Se-
hingga telak sekali Cakra Maut menghantam dadanya.
Namun apa yang terjadi..."
"Edan...!" dengus Bayu hampir tidak percaya.
Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka terpen-
tal balik begitu menghantam dada Rara Asih, lalu
kembali menempel di pergelangan tangan pemiliknya.
Sejenak Bayu tertegun melihat wanita itu masih berdiri tegar. Padahal tadi jelas
sekali kalau dadanya tersam-bar Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka.
"Dia bukan lawanmu, Kisanak..."
Pendekar Pulau Neraka terkejut ketika tiba-tiba
terdengar suara halus dari arah belakang. Dia memang sedang tertegun pada
kekebalan Rara Asih sehingga
sampai tidak menyadari kalau ada seorang gadis lain berdiri di belakangnya.
Gadis itu berparas cantik, mengenakan baju warna merah muda. Dia melangkah
maju melewati Pendekar Pulau Neraka.
"Kau akan mampus dengan ini...!" dengus gadis itu seraya mengeluarkan sebuah
benda berbentuk sebuah kaki seekor harimau, dari balik lipatan bajunya.
"Heh..."!" Rara Asih tampak terkejut.
Begitu terkejutnya, hingga sampai terlompat
dua tindak ke belakang. Rara Asih seperti tidak percaya melihat benda yang
tergenggam di tangan gadis di depannya. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu,
gadis itu sudah melompat menyerangnya dengan
kecepatan yang cukup tinggi.
Namun Rara Asih bukanlah wanita kosong
yang mudah menyerah begitu saja. Dengan satu gera-
kan ringan dan cepat, serangan itu bisa dielakkan.
Bahkan mampu memberi serangan balasan yang tidak
kalah dahsyatnya. Sementara Bayu jadi bengong dan
hanya menyaksikan saja. Dia pernah melihat gadis itu.
Kini Bayu ingat, kalau pernah melihatnya di kedai Ki Karta. "Aku yakin, dia
pasti Intan..." gumam Bayu dalam hati.
Dan dugaan Pendekar Pulau Neraka memang
tepat Gadis itu memang Intan, yang baru saja sampai ke Puncak Gunung Parang ini
bersama Seta dan Darmasaka. Dan kini, dua pemuda itu langsung terjun dalam
kancah pertempuran. Sedangkan Intan sendiri,
menghadapi Rara Asih.
"Yeaaah...!"
Mendadak saja Rara Asih cepat memutar tu-
buhnya. Begitu cepatnya, sehingga Intan tidak sempat menyadari apa yang
dilakukan wanita itu. Dan tahu-tahu.... "Akh..." Intan memekik keras. Bayu yang
sejak tadi selalu memperhatikan, jadi terkejut juga melihat Rara Asih berhasil
mendaratkan satu pukulan keras ke dada Intan. Akibatnya, gadis itu terhuyung ke
belakang. Cakar Harimau yang berada di dalam gengga-
man tangannya, terpental ke udara.
"Hiyaaa...!"
Bergegas Bayu melentingkan tubuhnya, menge-
jar benda yang bisa dijadikan senjata maut itu. Cepat sekali lesatan Pendekar
Pulau Neraka. Dan sebelum
Rara Asih maupun Intan menyadari, Bayu sudah ber-
hasil menangkap Cakar Harimau. Pendekar Pulau Ne-
raka kembali meluruk cepat ke bawah.
"Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu se-
gera menyerang Rara Asih. Hal ini membuat wanita itu terkejut setengah mati.
Cepat-cepat wanita itu melompat mundur, menghindari serangan yang dilancarkan
Bayu Namun Pendekar Pulau Neraka tidak memberi
kesempatan lagi, dan terus mencecar dengan jurus-
jurus yang dahsyat dan berbahaya.
Sementara Bayu kini tengah bertarung dengan
Rara Asih, di tempat lain pun pertarungan juga masih terus berlangsung. Tampak
Eyang Purata, Suci, Seta
dan Darmasaka bahu membahu bersama prajurit un-
tuk menghancurkan anak buah Rara Asih. Dan tam-
paknya, prajurit itu berasal dari Kerajaan Galagong.
Lalu bagaimana para prajurit itu bisa datang ke
Puncak Gunung Parang" Ini berkat Ki Gandul, Kepala Desa Malanapa.
Laki-laki gendut itu, begitu mendapat surat da-
ri Eyang Purata yang dititipkan pada Suci, segera pergi ke Kerajaan Galagong.
Memang, Desa Malanapa masih
termasuk dalam wilayah Kerajaan Galagong.
Ki Gandul sengaja tidak menceritakan seluruh
isi surat kepada Suci, agar tugas yang diemban gadis itu tidak berantakan di
tengah jalan. Tugas itu adalah memancing keluar Rara Asih dan gerombolannya dari
tempat persembunyian mereka di Gunung Parang.
Dan pada kenyataannya, gerombolan itu telah
keluar. Bahkan sekarang, boleh dibilang hampir terdesak. Terlihat jelas kalau
orang-orang berbaju merah itu semakin terdesak saja. Bahkan tidak sedikit yang
me-larikan diri, mencari selamat, dan tidak sedikit pula yang tewas berlumuran
darah. "Jebol...!" tiba-tiba Bayu berseru keras.
Seketika itu juga, Pendekar Pulau Neraka
memberi satu sodokan tangan kiri ke arah dada Rara Asih. Tapi manis sekali gadis
itu berhasil menghindarinya. Namun tanpa diduga sama sekali, Bayu meng-
hentak kan tangan kanannya tanpa menarik pulang
tangan kiri. "Uts...!"
Rara Asih terkejut bukan main Buru-buru tu-
buhnya diegoskan ketika Cakra Maut melesat cepat
bagaikan kilat mengincar tubuhnya. Namun begitu
senjata itu lewat, tanpa diduga sama sekali Bayu sudah mengibaskan kembali
tangan kanan yang meng-
genggam Cakar Harimau.
"Yeaaah...!"
"Ikh...!"
Bret! Rara Asih hanya bisa mendelik, dan tak sempat
lagi menghindar. Wanita cantik itu memekik agak ter-tahan ketika ujung Cakar
Harimau menyobek bahu
kanannya. Dan sebelum sempat disadari apa yang terjadi, Bayu sudah kembali
menyodokkan Cakar Hari-
mau tepat ke arah dada.
Begitu cepatnya sodokan yang dilakukan Pen-
dekar Pulau Neraka. Dan itu membuat Rara Asih tidak sempat lagi berkelit
menghindar. Dan....
Bres! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi mengi-
ringi kematian wanita cantik itu. Cakar Harimau terbenam dalam di dada. Darah
langsung merembes de-
ras sekali. Bayu melepaskan genggamannya pada Ca-
kar Harimau itu, begitu tubuh Rata Asih ambruk ke
tanah. "Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengedarkan
pandangannya berkeliling. Senyumnya sedikit ter-
sungging ketika melihat anak buah Rara Asih mulai
berlarian begitu mengetahui pemimpinnya tewas. Na-
mun para prajurit Kerajaan Galagong tidak membiar-
kannya begitu saja. Sebagian langsung mengejar, dan sebagian lagi tetap tinggal.
Eyang Purata, Seta dan Darmasaka bergegas
menghampiri Intan. Orang tua itu membungkuk den-
gan merapatkan kedua tangan di depan dada, diikuti Seta dan Darmasaka.
Suci yang melihat guru dan kakak-kakak se-
perguruannya bersikap begitu, jadi keheranan.
"Suci, beri hormat pada Gusti Ayu," perintah Eyang Purata.
"Gusti Ayu...?" Suci tidak mengerti.
"Ah, sudahlah. Tidak perlu bersikap demikian.
Sebaiknya kita kembali saja ke padepokan. Biarkan
prajurit-prajurit yang mengurus mereka," ujar Intan seraya tersenyum.
Mereka kemudian melangkah pergi. Suci tetap
ingin meminta penjelasan tentang diri Intan. Dengan singkat Eyang Purata
menjelaskan kalau Intan adalah putri bungsu dari Raja Kerajaan Galagong yang
menuntut ilmu padanya.
Dan sebenarnya, Intan memang telah disela-
matkan Eyang Purata. Gadis itu dititipkan pada Ki
Gandul Dia ditunggui oleh Seta dan Darmasaka di rumah kepala desa itu Dan
ternyata bingkisan yang diberikan pada Ki Gandul itu berisi Cakar Harimau. Pusa-
ka itu rencananya memang akan digunakan untuk
menghabisi riwayat Rara Asih.
Sementara itu Bayu memandangi mereka se-
bentar seraya tersenyum tipis. Kemudian dengan cepat melesat pergi. Begitu cepat
dan sempurnanya ilmu me-ringankan tubuh yang dimiliki. Sehingga dalam sekejap
saja bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka su-
dah lenyap seperti ditelan bumi.
SELESAI E-Book by Abu Keisel Raja Silat 28 Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 10
^