Cakar Harimau 1
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau Bagian 1
CAKAR HARIMAU Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari pener-bit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Cakar Harimau 128 hal ; 12 x 18 cm
1 Dua ekor kuda berjalan perlahan menuruni le-
reng sebuah gunung yang berdiri megah dan angkuh
menantang langit cerah yang membiru. Hari ini me-
mang seluruh alam diliputi kecerahan. Langit tampak bening, tanpa awan sedikit
pun menggumpal. Matahari bersinar terang, namun tak begitu terik Memang saat itu
angin bertiup kencang seperti mengusir udara panas jauh-jauh. Dua ekor kuda itu
terus bergerak perlahan. Penunggangnya yang terdiri dari dua orang gadis
berparas cantik, terlihat lelah sekali.
"Berapa jauh lagi Desa Malanapa, Kak?" tanya seorang gadis yang mengenakan baju
warna biru mu-da.
"Di kaki Gunung Parang ini," sahut gadis satunya lagi yang mengenakan baju warna
merah. "Kau sudah lelah, Suci?"
"Sedikit," sahut gadis berbaju biru muda yang dipanggil Suci. "Kak Intan
sendiri...?"
Gadis berbaju merah hanya tersenyum saja,
tanpa menjawab sedikit pun. Langkah kaki kudanya
dihentikan, tepat di tepi sebuah sungai kecil yang mengalir menghadang
melingkari gunung ini. Gerakannya indah dan ringan sekali saat turun dari
punggung kudanya. Suci mengikuti. Mereka sama-sama
menghempaskan diri, duduk di tepi sungai.
Untuk beberapa saat mereka tidak ada yang
membuka suara. Sama-sama diam memandangi kuda
yang tengah mereguk sejuknya air sungai, Memang sejak kemarin kuda-kuda mereka
tidak menemukan air.
Dan mereka sendiri sebenarnya sudah terlalu lelah, la-par, dan haus sekali.
Keadaan ini bisa terlihat dari
raut wajah dan sorot mata mereka yang redup.
"Aku heran, Kak..," ujar Suci dengan nada suara terputus dan agak mengeluh.
"Heran kenapa?"
tanya Intan. "Mengapa kita yang diberi tugas begini"
Mengapa bukan Kakang Seta atau Kakang Darmasaka
saja, Kak.." Mereka kan kepandaiannya lebih tinggi dari kita," ungkap Suci,
mengemukakan isi hatinya.
"Yang jelas, Eyang Purata tidak akan salah, sahut Intan. "Ah, sudahlah....
Kenapa harus memper-soalkan itu sih...?"
"Bukannya begitu, Kak. Aku yakin ada sesuatu
dengan tugas ini."
"Maksudmu..." Aku kok tidak mengerti, Suci."
"Eyang Purata pasti punya maksud tertentu
yang tidak kita ketahui, Kak. Aku yakin itu," mantap sekali suara Suci.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Suci Walaupun Eyang Purata punya maksud
tertentu, tidak
mungkin akan mencelakakan murid-muridnya sendiri.
Aku yakin, seandainya perasaanmu itu benar, pasti
ada baiknya untukmu dan untukku."
"Tapi, Kak..."
"Ah..., sudahlah. Hilangkan saja sangkaan bu-
ruk di kepalamu itu," potong Intan cepat.
Suci jadi diam membisu, namun masih tetap
yakin kalau tugas yang diberikan gurunya mempunyai tujuan tertentu yang tidak
diketahui secara pasti.
Keyakinannya itu semakin menebal saat mereka sudah semakin dekat dengan Desa
Malanapa yang terletak di kaki gunung Parang ini.
Suci memang mengakui kebenaran kata-kata
kakak seperguruannya ini. Yang pasti, meskipun
Eyang Purata mempunyai tujuan tertentu, tidak akan mungkin mencelakakan muridnya
sendiri. Terlebih la-
gi, sampai mengorbankan nya. Kecurigaan Suci mun-
cul ketika kemarin secara tiba-tiba saja mereka dis-erang oleh empat orang yang
tidak mau menunjukkan
wajahnya. Empat orang itu meminta sesuatu yang sama
sekali tidak diketahui kedua gadis ini. Kemudian mereka langsung menyerang
setelah Intan mengatakan
tidak memiliki yang diinginkan. Namun mereka seketi-ka itu Juga pergi, sebelum
kedua gadis ini memberi serangan balasan yang berarti. Sejak kejadian kemarin
itu, benak Suci jadi dipenuhi berbagai macam pikiran dan dugaan yang sukar
dijawab dengan cepat.
Sedangkan setiap kali hal itu dibicarakannya,
Intan seperti tidak ingin persoalan itu diperpanjang la-gi. Suci memang tidak
bisa menyalahkan. Dan itu memang sudah watak Intan, yang tidak pernah mau men
perpanjang setiap persoalan. Apalagi memikirkannya, sehingga membuat kepala jadi
berdenyut. "Sudah cukup, ayo jalan lagi," ajak Intan seraya bangkit berdiri.
Dengan malas, Suci ikut bangkit berdiri. Saat
itu matahari memang sudah agak condong ke Barat.
Dan tentu saja mereka tidak ingin bermalam lagi di tengah hutan. Sebelum
matahari benar-benar tenggelam nanti, mereka harus sudah sampai di Desa Mala-
napa yang menjadi tujuan kedua gadis ini.
*** Saat matahari tenggelam di balik peraduannya,
Intan dan Suci sudah sampai di Desa Malanapa. Mere-ka turun dari kuda, lalu
berjalan kaki sambil menuntun kuda masing-masing. Dua gadis itu berjalan
perlahan-lahan sambil melihat-lihat suasana di desa yang
tidak begitu besar ini. Rumah-rumah yang berdiri di sepanjang jalan tanah yang
berdebu ini, sebagian sudah menyalakan pelita. Memang suasana petang ini
sudah mulai gelap. Dan pasti, sebentar lagi malam
akan datang menyelimuti maya pada.
"Apakah kita langsung ke rumah kepala desa
saja, Kak?" tanya Suci.
"Nanti saja. Yang penting, sekarang kita cari penginapan dulu," sahut Intan.
"Apa ada penginapan yang baik di desa ini?"
"Mudah-mudahan saja ada," Suci tidak bertanya lagi.
Gadis itu yakin kalau di
desa yang kecil ini, tidak ada penginapan yang
baik. Kalaupun ada, pasti hanya sebuah penginapan
kecil yang kumuh dan tidak sedap dipandang. Namun
Suci harus bisa memaklumi. Dalam keadaan seperti
ini, tidur di dalam kamar rumah penginapan masih lebih baik, daripada tidur di
alam terbuka. Kedua gadis itu terus saja berjalan perlahan-
lahan menyusuri jalan tanah berdebu. Sementara,
keadaan sudah semakin gelap saja. Di langit sana, bulan mulai menampakkan
sebagian wajahnya yang ber-
sinar lembut. Cahayanya yang redup dan samar-
samar, seakan enggan menyinari bumi ini. Kedua gadis itu berhenti melangkah di
depan sebuah rumah yang
cukup besar. Tampak di bagian depan rumah itu dipenuhi
orang-orang yang sedang menikmati makanan dan mi-
numan. Sebentar Intan memandang pada Suci.
"Kedai inilah yang terbaik di Desa Malanapa,"
jelas Intan. Terus, untuk menginapnya?" tanya Suci.
"Ada.... Kedai ini juga merangkap menyewakan kamar untuk bermalam," jelas Intan
kembali. "Kelihatannya kedai ini ramai sekali, Kak," kata Suci yang sejak tadi
memperhatikan bagian dalam kedai di depannya.
"Kedai Ki Karta memang selalu ramai." "Apa masakannya enak, Kak?" tanya Suci
lagi. "Bisa kau coba nanti."
Suci hanya tersenyum saja. Gadis itu tahu ka-
lau Intan mendesaknya untuk memasuki kedai Ki Kar-
ta. Dan hal itu tidak bisa ditolaknya lagi. Tak be-
rapa kemudian kedua gadis itu sudah melangkah me-
masuki kedai yang selalu ramai.
Seorang laki-laki berusia setengah baya, me-
nyongsong kedua gadis itu. Dengan sikap ramah, di-
persilakannya kedua gadis itu duduk di tempat yang kebetulan kosong. Meskipun
kedai ini kelihatannya
ramai, tapi masih ada be berapa meja yang belum terisi. Suci merasa kalau kedai
ini cukup besar dan bersih.
"Minta makanannya saja, Ki," Intan memesan.
"Tidak pakai arak?" laki-laki tua yang dikenal bernama Ki Karta itu menawarkan.
"Tidak, air biasa saja," tolak Intan.
"Baiklah, Den Ayu. Sebentar disiapkan."
Ki Karta meninggalkan kedua gadis itu. Seben-
tar laki-laki tua itu berbicara dengan salah seorang pelayan kedai ini, kemudian
sudah kembali sibuk me-
nyambut tamu yang baru masuk lagi. Kali ini tamunya adalah seorang pemuda
berpakaian yang sangat lain
dengan orang-orang yang berada di kedai ini.
Seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya
dari kulit harimau. Sikapnya terlihat agak dingin. Sorot matanya memancar cukup
tajam, namun tercermin
suatu kelembutan dan ketegasan pribadinya. Dia tidak
banyak bicara, dan hanya memesan se guci arak ma-
nis saja. Ki Karta tetap melayaninya dengan senyuman ramah di bibir.
"Ki...." Intan melambaikan tangannya memanggil pemilik kedai itu.
Ki Karta bergegas menghampiri. "Ada apa, Den
Ayu?" tanya Ki Karta setelah berada di dekat Intan.
"Masih ada kamar kosong?" tanya Intan. "Masih ada, perlu berapa kamar?" "Satu
saja, Dan kalau bisa, yang menghadap langsung ke jalan."
"Ah, kebetulan sekali. Tinggal satu yang menghadap ke jalan, Den Ayu."
"Kalau begitu, siapkan saja, Ki. Selesai makan, kami berdua langsung ingin
istirahat" "Baik, Den Ayu."
Baru saja Intan akan membuka mulut, menda-
dak saja terdengar bentakan keras dari belakangnya.
"Ki Karta, sini...!"
Laki-laki tua itu bergegas menghampiri orang
yang memanggil dengan suara keras menggelegar ba-
gaikan guntur. Sedangkan Intan hanya melirik sedikit saja. Tampak Ki Karta agak
terbungkuk di depan sebuah meja yang tepat di belakang Intan. Dan di sana, duduk
seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Namun wajah yang kasar
dan penuh brewok,
membuatnya kelihatan lebih tua dari usia yang sebenarnya. "Beri aku arak lagi,"
pinta laki-laki berwajah penuh brewok itu. Suaranya terdengar berat dan kasar
sekali. "Tapi, Den Basra.... Raden sudah terlalu banyak minum...," kata Ki Karta
dengan sikap takut-takut. "Sejak kapan kau berani membantah, heh..."!"
bentak pemuda yang dipanggil Basra itu.
Dengan sikap kasar sekali, Basra menarik baju
Karta, hingga jadi limbung. Hampir saja dia terjatuh kalau tidak cepat-cepat
menekan bibir meja hingga ter-tahan. "Iya.... Iya, Den. Sebentar disediakan,"
kata Karta tergagap. "Huh!"
Basra menghentakkan tangannya yang men-
cengkeram baju laki-laki tua pemilik kedai ini. Hampir saja Ki Karta menabrak
Intan. Untung, gadis itu cepat-cepat menahannya. Namun Intan masih tetap saja
du- duk kursinya. "Oh.... Terima kasih, Den Ayu," ucap Ki Karta.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Intan. "Tidak," sahut Ki Karta. "Ki Karta,
sini...!" kembali Basra memanggil dengan suara keras menggelegar.
Ki Karta akan menghampiri, tapi Intan sudah
keburu mencegah dengan mencekal tangan Ki Karta.
Bahkan dengan halus sekali, Intan meminta Ki Karta tetap melayaninya. Dan ini
membuat laki-laki tua jadi kebingungan. Dia tidak tahu, yang mana harus dida-
hulukan. "Jangan hiraukan, Ki," tegas Intan. Ki Karta semakin kebingungan. Wajahnya
seketika memucat
begitu melihat Basra bangkit berdiri dan
menghampiri. Laki-laki berwajah kasar itu
menggeser gagang goloknya yang terselip di pinggangnya. Kemudian langkahnya
berhenti di depan meja
yang ditempati Intan.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Basra tertawa terbahak-bahak.
"Hm...," Intan hanya menggumam pelan saja.
Sedangkan Ki Karta semakin kelihatan pucat dan ge-
metar. Kakinya bergeser, dan berdiri di belakang Intan.
Tapi mendadak saja Basra mengibaskan tangannya ke
arah laki-laki tua itu, melewati kepala Intan. Namun....
Bet! "Heh..."!" Basra terkejut bukan main. Buru-buru tangannya ditarik kembali,
begitu tiba-tiba sekali Intan mengebutkan tangan untuk menyampok kibasan
tangan Basra. Kebutan tangan gadis itu demikian cepat. Walaupun Basra sudah
bergegas menarik, namun
ujung jari tangannya masih juga terkena kebutan tangan gadis itu. Dan hal ini
membuatnya semakin terkejut saja, karena mendadak jari-jari tangannya seperti
tersengat ribuan kala berbisa. Nyeri dan menggetarkan sekali! "Hih...!"
Basra melompat mundur satu tindak. Matanya
tajam memandangi Intan, seakan-akan tidak percaya
dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Jari-jari tangannya masih
bergetar, dan sedikit terasa nyeri.
Memang sukar baginya untuk percaya. Ternyata gadis muda dan cantik seperti ini
memiliki kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Rupanya kau ingin unjuk kebolehan di sini..."
desis Basra dingin.
"Maaf, aku tidak ingin mengotori tanganku," balas Intan kalem.
"Setan...!" geram Basra langsung memerah wajahnya. Kata-kata Intan yang
terdengar kalem itu, namun sangat menusuk perasaan. Basra merasa kalau
kata-kata itu sangat merendahkan dan mengejeknya.
Dan baginya, itu merupakan tantangan yang dilontarkan halus, tapi nyata sekali.
Pantang bagi Basra mendapatkan hinaan seperti ini. Apalagi datangnya dari
seorang gadis cantik yang kelihatannya lemah.
Bet! Mendadak saja Basra mengebutkan tangan kiri
ke arah muka Intan. Kebutan yang cepat dan menda-
dak itu, sempat membuat Intan sedikit terperangah.
Namun dengan sedikit menarik kepalanya, kebutan
tangan yang dilancarkan Basra bisa dielakkan. Ujung jari tangan laki-laki
berwajah kasar penuh brewok itu hanya lewat sedikit saja di depan muka Intan.
"Edan...!" geram Basra.
Kemarahan laki-laki kasar itu semakin me-
muncak karena dua kali dibuat terpana oleh tindakan Intan yang kalem dan manis
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali. Kejadian itu membuat pengunjung kedai jadi tertarik. Mereka semua
memperhatikan, seakan-akan sedang disuguhi satu
tontonan menarik. Beberapa orang mulai melontarkan kata-kata yang membuat
telinga Basra jadi memerah
panas. "Bedebah...!" desis Basra geram.
"Yeaaah...!"
Dengan hati panas diliputi kemarahan dan pe-
rasaan malu, Basra langsung menyerang gadis itu. Di lontarkannya dua pukulan
sekaligus, disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Namun tanpa di
duga sama sekali, Intan hanya meliukkan tubuhnya
saja. Bahkan tanpa memindah duduknya sedikit pun.
Dua pukulan bertenaga dalam cukup tinggi yang dilepaskan Basra tidak mengenai
sasaran sama sekali.
Kembali terdengar suara-suara usil mengejek
Basra. Dan ini membuatnya semakin geram saja. Dia
benar-benar marah, karena merasa sudah dipermain-
kan dan dipermalukan seorang gadis cantik yang le-
mah ini. Sambil menggereng marah, kembali dilancarkannya serangan-serangan yang
cepat dan beruntun.
Beberapa serangan laki-laki brewok itu masih
bisa di hadapi Intan tanpa beranjak dari kursinya.
Namun ketika Basra mencabut golok dan langsung di-
kibaskan ke arah leher yang putih jenjang itu, Intan tidak lagi berdiam di
kursinya. Tepat ketika baru berhasil mengelakkan tebasan golok yang mengarah ke
leh-er, bagaikan kilat tubuhnya melenting tinggi ke udara.
Sambil berputaran ke belakang, Intan meng-
hentakkan kakinya ke arah dada laki-laki bersenjata golok itu. Serangan yang
dilancarkan gadis itu, membuat Basra terperangah tidak menyangka. Laki-laki
kasar itu tidak dapat lagi menghindari tendangan yang cepat dan tidak terduga.
Sehingga.... "Yeaaah...!"
Diegkh! "Akh...!" pekik Basra keras.
Tendangan yang dilancarkan Intan, tepat
menghantam dada laki-laki bersenjata golok itu, akibatnya Basra terpental sejauh
dua batang tombak ke belakang. Keras sekali tubuhnya terbanting, menghantam
sebuah meja hingga hancur berantakan. Dan pada baru saja bangkit berdiri, Intan
sudah kembali melompat menerjangnya. Lagi-lagi gadis itu melontarkan tendangan
keras menggeledek.
"Hiyaaa...!"
"Hah..."!"
Basra hanya bisa terperangah dengan mulut
terbuka. Dan dia tidak bisa lagi melakukan sesuatu, karena tendangan keras Intan
sudah kembali mendarat telak di dadanya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki berotot
itu kembali terpental ke belakang deras sekali.
Brak! Dinding bagian depan kedai ini jebol terlanda
tubuh yang tinggi besar dan berotot itu. Basra jatuh bergulingan di luar kedai
setelah tubuhnya menghan-
tam dinding yang terbuat dari belahan papan, hingga berantakan.
Sedangkan Intan sudah kembali menghampiri
mejanya. Namun sebelum sempat duduk, tiba-tiba terdengar tawa mengikik, disertai
kata-kata bernada kering dan mengejek. Intan tidak jadi duduk di tempatnya
semula. Gadis itu hanya menggumam kecil, sambil
mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Hm...."
Tatapan mata gadis itu tertuju pada seorang
perempuan tua yang mengenakan jubah warna biru te-
rang. Perempuan tua itu duduk tepat di dekat jendela.
Tidak jauh dari perempuan tua itu, duduk seorang
pemuda berwajah tampan yang mengenakan baju kulit
harimau. Pemuda itu kelihatannya tidak Mempeduli-
kan sama sekali dengan suasana yang mulai memanas
di dalam kedai ini.
"Setan Kobra Betina...," desis Intan, mengenali perempuan tua yang duduk sekitar
tiga batang tombak di hadapannya.
Dan pandangan Intan beralih pada pemuda
berbaju kulit harimau. Pada saat yang sama, pemuda itu mengarahkan pandangannya
kepada gadis ini. Dan untuk beberapa saat pandangan mereka bertemu pada
satu titik. Entah kenapa, tiba-tiba saja Intan merasakan darahnya berdesir
mengalir cepat. Bahkan jan-
tungnya berdetak kencang tidak seperti biasanya. Bu-ru-buru pandangannya
dialihkan ke arah perempuan
tua berjubah biru terang.
"Hm...," lagi-lagi Intan menggumam kecil.
*** 2 "He he he.... Jurus 'Tendangan Halilintar' mu cukup dahsyat juga. Tapi rasanya
tidak berarti jika di-ikutsertakan dalam perlombaan di Gunung Parang!"
nada suara Si Setan Kobra Betina terdengar kering
bergetar. Intan tidak mempedulikan, lalu duduk di tem-
pat nya semula. Diraihnya gelas yang terbuat dari
bambu yang dihaluskan, lalu diteguknya air bening di dalamnya. Namun sebelum air
di dalam gelas itu habis, mendadak saja gelas itu pecah. Seketika airnya tumpah
membasahi baju gadis ini.
"Bedebah...!" desis Intan geram.
Gadis itu langsung menatap si Setan Kobra Be-
tina kemudian memandangi pecahan gelas yang terge-
letak di atas meja di depannya. Di antara kepingan pecahan gelas bambu itu,
tergeletak serpihan kulit kayu.
Intan kembali menatap perempuan tua berjubah biru
yang duduk tidak seberapa jauh di depannya. Tampak kulit kayu sudut meja di
depan si Setan Kobra Betina terkelupas.
"Aku tidak mempunyai urusan denganmu, Se-
tan Kobra Betina," tegas Intan dingin menggetarkan.
"Kehadiranmu di sini menjadi urusanku, In-
tan." sahut Setan Kobra Betina, tidak kalah dingin.
"Aku disini hanya sekadar lewat, dan tidak pernah mengganggu segala macam
urusanmu. Jangan
mencari gara-gara tanpa alasan, Setan Kobra Betina,"
semakin dingin nada suara Intan.
Gadis itu tahu, kalau Setan Kobra Betina bu-
kanlah tandingannya. Mereka pernah bentrok sekali, dan Intan hampir saja tewas
kalau tidak segera dis-
elamatkan Eyang Purata yang kini menjadi gurunya.
Sejak itulah dia tinggal di padepokan milik Eyang Purata. Dan sekarang, dia
bertemu lagi dengan perem-
puan tua itu. Yang pasti, Setan Kobra Betina tidak akan melupakan pertarungannya
dengan Intan. "Siapa dia, Kak Intan?" tanya Suci yang sejak tadi diam saja memperhatikan.
"Hm...," Intan hanya menggumam saja tanpa menjawab sedikit pun pertanyaan adik
seperguruannya itu. Sedangkan pandangan Intan tetap tertuju pada perempuan tua
berjubah biru di depannya, dan hanya terhalang beberapa meja dan kursi yang
sudah diting-galkan pengunjung kedai ini. Dan sejak pertarungan yang singkat
tadi, sebagian pengunjung kedai sudah berhamburan ke luar. Kini tinggal beberapa
orang saja yang tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Sementara tak satu pun
pelayan kedai ini yang terlihat. Ki Karta sendiri sudah menghilang entah ke
mana. Suasana di dalam kedai yang besar ini semakin bertambah panas dan
menegangkan sekali.
"Aku ingin menyelesaikan persoalan lama di antara kita di sini, Intan. Aku
yakin, kau sudah bertambah maju sekarang," tegas si Setan Kobra Betina langsung
mengajukan tantangan.
Intan tidak menjawab. Dan sebenarnya, tan-
tangan ini ingin dihindarinya. Tapi, perempuan tua itu sepertinya mengetahui
jalan pikiran Intan. Maka, tantangan itu segera diungkapkan secara langsung,
tanpa basa basi lagi. Intan melirik sedikit pada Suci yang saat tengah
memandanginya. Gadis itu tahu kalau Su-ci meminta penjelasan tentang kejadian
semua ini. Ta-pi saat ini, memang tidak ada waktu untuk bisa menjelaskan.
"Bersiaplah, Intan. Hiyaaa....!"
Si Setan Kobra Betina seketika mengebutkan
tongkatnya yang berbentuk seekor ular kobra hitam
yang mengembangkan leher ke arah gadis berbaju me-
rah yang duduk di depannya.
Slap! "Uts!"
Bergegas Intan memiringkan tubuh ke kanan
ketika dari mulut tongkat berbentuk ular kobra, meluncur seberkas sinar merah
berbentuk bulat sebesar mata kucing. Cepat sekali sinar merah itu meluruk, namun
hanya lewat sedikit di samping tubuh Intan.
Saat itu juga terdengar ledakan keras menggelegar ketika sinar merah bulat
sebesar mata kucing itu menghantam dinding kedai di belakang gadis ini.
"Hm..," Intan menggumam kecil.
Dalam hatinya, diakui kalau serangan yang di-
lancarkan si Setan Kobra Betina itu sangat dahsyat Bi-sa dibayangkan kalau sinar
merah itu mengenai tubuh manusia, pasti hancur berkeping-keping seperti dinding
kedai di belakang Intan itu. Dan di saat gadis ini sedang diam dengan otak
berputar keras, si Setan Kobra Betina sudah kembali melancarkan serangan.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Beberapa kali perempuan tua berjubah biru itu
mengebutkan tongkatnya ke depan. Maka sinar-sinar
merah bulat sebesar mata kucing berdesiran deras ke arah Intan. Serangan yang
beruntun ini tidak mungkin lagi dihadapi dengan hanya duduk sambil mengelakkan
tubuhnya. Seketika Intan bergegas melentingkan tubuhnya ke udara. Kemudian gadis
itu berputaran beberapa kali, menghindari serangan-serangan yang
dahsyat itu. "Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras, Intan meluruk deras ke
arah si Setan Kobra Betina. Itu dilakukannya ketika telah berhasil mengelakkan
semua sinar-sinar merah
yang keluar dari ujung tongkat perempuan tua berjubah biru itu. Begitu cepatnya
Intan meluruk sambil melontarkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi, sehingga
membuat si Setan Kobra Betina terperangah
sesaat. Memang sungguh tidak disangka kalau Intan
bisa meluruk begitu deras, selagi berada di udara.
"Hiyaaa...!"
Buru-buru perempuan tua berjubah biru itu
melompat ke samping sambil mengibaskan tongkat,
menghadang arus terjangan gadis itu. Dan tak dapat di hindarkan lagi ketika satu
pukulan yang dilancarkan Intan, menghantam kepala tongkat yang berbentuk
ular kobra itu.
Blarrr! Ledakan keras terdengar menggelegar meme-
kakkan telinga, begitu pukulan Intan menghantam kepala tongkat si Setan Kobra
Betina. Tampak Intan
memutar tubuhnya ke belakang beberapa kali, lalu
manis sekali mendarat di permukaan sebuah meja.
Sedangkan si Setan Kobra Betina terdorong sekitar tiga langkah belakang.
"Edan...!" desis si Setan Kobra Betina.
"Ugh...!" Intan mengeluh kecil sambil menghembuskan napas panjang.
"Kau telah memperoleh kemajuan yang pesat
Intan. Bagus...! Aku senang bila kau bisa menghadapi-ku lebih dari lima jurus,"
puji Setan Kobra Betina.
"Hm...," Intan hanya menggumam kecil saja.
Pada saat itu si Setan Kobra Betina sudah
kembali melancarkan serangan. Tongkatnya berkelebat cepat mengincar tubuh Intan
yang paling mematikan.
Serangan-serangan yang cepat dan beruntun itu, sempat membuat Intan kelabakan
menghindari. Namun
pada serangan berikut, tepatnya saat si Setan Kobra Betina menusukkan ujung
tongkat ke arah dada, Intan tak mungkin lagi berkelit. Jalan satu-satunya yang
harus dilakukan adalah melompat ke belakang. Maka...
"Hiyaaa...!"
Brak! Tubuh yang ramping itu menabrak dinding ke-
dai yang terbuat dari belahan papan. Akibatnya dinding itu hancur berkeping-
keping, dan tubuh melesat hingga keluar dari dalam kedai. Pada saat yang
bersamaan, si Setan Kobra Betina sudah melesat mengejar.
Dia melompat ke atas untuk menjebol atap kedai ini.
Tubuhnya langsung meluruk ke halaman, tempat In-
tan berada di sana.
*** Pertarungan terus berlanjut di depan halaman
ke dai Ki Karta. Jurus demi jurus berlalu cepat Lima jurus yang dijanjikan si
Setan Kobra Betina, sudah ter-lewati. Namun demikian perempuan tua itu belum
juga mampu mengalahkan Intan. Bahkan mendesak saja
belum bisa. Intan ternyata masih cukup tangguh me-
layani beberapa jurus lagi. Sampai-sampai si Setan Kobra betina tertegun melihat
kemajuan pesat yang di-capai gadis itu.
Sementara itu Suci sudah keluar dari kedai.
Gadis itu ingin sekali membantu Intan, tapi hati kecil-nya tidak mengizinkan.
Lebih-lebih dia tidak tahu
permasalahan nya. Memang sedikit sudah bisa ditangkap kalau antara Intan dan
perempuan tua itu ada
persoalan lama, dan kebetulan bertemu di kedai ini.
Persoalan yang tidak diketahui itulah yang membuat Suci tidak bisa berbuat apa-
apa, kecuali hatinya jadi penonton. Sedangkan pertarungan itu terus berlangsung
sengit. "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja tubuh Setan Kobra Betina me-
lenting ke udara sambil berteriak nyaring. Dan secepat itu tongkatnya dikebutkan
ke arah kepala Intan. Seketika itu juga kepala tongkat yang berbentuk ular kobra
memancarkan cahaya merah bagai terbakar.
"Oh..."!" Intan terkejut setengah mati.
Buru-buru gadis itu melompat ke samping,
langsung menjatuhkan tubuh ke tanah. Beberapa kali dia bergulingan, mencoba
keluar dari naungan cahaya merah yang semakin lama semakin menyebar.
"Ha ha ha...!" Setan Kobra Betina tertawa terbahak-bahak.
Perempuan tua berjubah biru itu kini sudah te-
gak dengan angkuhnya di tengah-tengah halaman de-
pan kedai. Tangan kanannya agak bergetar memegangi tongkat yang terus
memancarkan sinar merah. Pada
saat itu, seekor burung lewat di atas kepalanya. Maka mendadak saja burung itu
memekik keras langsung jatuh menggelepar di dekat kaki si Setan Kobra Betina.
"Ha ha ha...!"
Sementara Intan terus cepat bergulingan, tidak
terkena cahaya merah yang semakin meluas. Namun
gerakannya memang kalah cepat bila di banding pe-
nyebaran cahaya itu. Hingga....
"Aaakh...!" mendadak saja Intan menjerit melengking tinggi.
Dan selagi tubuh gadis itu menggelepar, men-
dadak sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar-
nya. Begitu cepatnya, tahu-tahu Intan sudah lenyap
dari pandangan.
"Heh.?" Setan Kobra Betina terkejut setengah mati. Begitu tongkat di tangan
kanannya terhentak, cahaya merah itu seketika lenyap. Matanya nyalang
beredar berkeliling, tapi tidak lagi terlihat Intan di sekitar tempat ini. Dan
pandangannya langsung tertuju
pada Suci, gadis yang datang ke desa ini bersama-
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama Intan. Dan Suci sendiri juga terkejut melihat ada bayangan berkelebat cepat
menyambarnya. "Grrrrr! Kau temannya. Maka, kau juga harus
mampus, Bocah...!" geram Setan Kobra Betina. Perempuan tua ini mengalihkan
kemarahannya Suci. Gera-
mannya memang perlahan, namun terdengar jelas se-
kali. Tentu saja Suci terperangah setengah mati. Disadari kalau kemampuan yang
dimilikinya tidak akan
sanggup menghadapi perempuan tua ini. Dari perta-
rungannya dengan Intan saja, Suci sudah bisa mengukur kemampuan diri sendiri.
kepandaiannya tidak se-banding dengan kepandaian yang dimiliki perempuan
tua ini. "Hiyaaa..!"
Tiba-tiba saja si Setan Kobra Betina melompat
cepat bagai kilat menerjang Suci. Begitu cepatnya, sehingga membuat gadis itu
terhenyak, langsung mem-
belalak lebar. Tapi dia cepat tersadar, dan buru-buru melompat ke samping.
"Hup...!"
Namun gerakan gadis itu memang kalah cepat
dibanding serangan yang dilancarkan si Setan Kobra Betina. Terlebih lagi Suci
sempat terperangah tadi.
Akibatnya, satu pukulan keras yang dilepaskan pe-
rempuan tua itu masih sempat menyerempet bahu ki-
rinya. "Akh...!" Suci terpekik kaget.
Gadis itu jatuh bergulingan di tanah beberapa
kali. Ketika mencoba bangkit berdiri, namun bahu kirinya terasa sakit sekali.
Seakan-akan, tulang-tulang bahu kirinya berpatahan terserempet pukulan yang
dilepaskan perempuan tua itu. Dan sebelum Suci bisa
berdiri tegak, kembali si Setan Kobra Betina sudah cepat melompat menerjang.
"Oh...," Suci hanya bisa terhenyak.
Gadis itu benar-benar tidak bisa lagi melaku-
kan sesuatu. Maka, telak sekali pukulan keras yang di lepaskan si Setan Kobra
Betina menghantam dadanya.
Begitu kerasnya, sehingga gadis, itu harus menjerit keras, tepat saat tubuhnya
terpental jauh ke belakang.
Keras sekali gadis itu jatuh menghantam tanah.
"Hoaghk..!"
Suci memuntahkan darah kental begitu men-
coba bangkit berdiri. Dia sendiri tidak tahu, apakah sudah mati atau masih
hidup. Yang jelas, saat itu si Setan Kobra Betina sudah kembali melompat hendak
menyerangnya. Kali ini tongkatnya yang sudah ber-
warna merah bagai terbakar, terayun ke arahnya. Dan Suci tidak mungkin akan bisa
menghindar dari serangan! "Mampus kau, Bocah! Hiyaaa...!"
"Mati aku...," desah Suci seraya memejamkan matanya sedikit.
Wut! Slap! Tepat ketika si Setan Kobra Betina mengayun-
kan tongkat ke kepala Suci, mendadak saja sebuah
bayangan kembali berkelebat cepat menyambar gadis
itu. Si Setan Kobra Betina terkejut setengah mati, dan tidak bisa menarik
pukulan tongkatnya lagi.
Glaaar...! Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat
begitu tongkat berbentuk ular kobra itu menghantam tanah. Seketika tanah tempat
Suci berada tadi, ter-bongkar. Kepulan debu seketika tercipta, dan langsung
membumbung tinggi ke angkasa.
"Setan keparat...!" geram Setan Kobra Betina berteriak keras.
Dua kali lawannya lenyap disambar bayangan-
bayangan yang bergerak begitu cepat tanpa dapat di ketahui. Meskipun sempat
melihat bayangan itu, tapi Setan Kobra Betina tidak bisa mengetahui jelas. Yang
pasti, dua _bayangan itu berbeda.
*** Ke mana sebenarnya Intan dan Suci berada..."
Malam sudah begitu jauh merambat, menyeli-
muti sekitar Gunung Parang. Malam ini terasa begitu pekat. Tak sedikit pun ada
cahaya menerangi. Langit tampak kelam, tanpa cahaya bintang maupun bulan
yang menerangi. Begitu pekatnya, sehingga Gunung
Parang terlihat bagai sosok raksasa yang berdiri angkuh menentang langit yang
menghitam pekat.
Di bagian lain lereng Gunung Parang, terlihat
orang tengah duduk bersila saling berhadapan. Yang seorang tengah merentangkan
tangan ke depan, sehingga kedua telapaknya menempel di dada orang
yang di depannya. Mereka sama-sama memejamkan
mata, dengan napas teratur dan perlahan sekali. Hampir tidak terdengar teriakan
nafasnya. "Huh...!"
Bersamaan dengan terdengarnya hembusan na-
fas panjang, kedua telapak tangan itu terlepas dari da-da. Dan salah seorang
langsung jatuh terkulai, meng-
geletak di tanah. Seorang lagi menggerak-gerakkan
tangannya sebentar, lalu membetulkan letak orang
yang kini tergeletak di tanah. Dibaringkannya tubuh itu di dekat bakaran api
unggun. "Kau akan sembuh kembali. Besok saat fajar ti-ba, kau pasti sudah segar," kata
laki-laki muda yang mengenakan baju kulit harimau.
Kemudian laki-laki muda itu duduk bersila di
samping sosok tubuh ramping yang terbaring di dekat api. Terlihat jelas, kalau
tarikan nafasnya begitu ringan dan teratur. Sebentar dipandanginya tubuh ramping
di sampingnya, kemudian nafasnya ditarik dalam dan dihembuskan kuat-kuat.
"Hhh...!" kembali pemuda itu menghembuskan napas panjang.
Setelah menarik napas dalam-dalam, kemudian
matanya dipejamkan perlahan-lahan. Sebentar kemu-
dian jalan nafasnya diatur agar lebih teratur lagi. Kedua telapak tangannya
berada di atas lutut yang me-nekuk. Namun tak lama melakukan semadi, telinganya
mendengar rintihan lirih. Kembali matanya dibuka,
langsung menatap sosok tubuh ramping yang terbar-
ing di sampingnya.
Tampak orang yang terbaring itu mulai meng-
gerakkan kepalanya sambil memperdengarkan rintihan kecil. Sebentar kemudian
matanya terbuka, lalu men-gerjap beberapa kali. Hatinya agak terkejut begitu
melihat di sampingnya duduk seorang laki-laki yang tidak dikenal sama sekali.
Dia mencoba bangkit, namun pemuda berbaju kulit harimau itu sudah mencegah, agar
tetap berbaring.
"Kau masih lemah, jangan bangkit dulu," lembut sekali suara pemuda itu.
"Siapa kau" Mengapa aku berada di tempat
ini?" tanya gadis yang mengenakan baju biru muda itu.
"Aku Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri.
"Aku...."
"Aku tahu siapa dirimu. istirahat saja dulu. Lu-ka dalammu belum sembuh benar."
potong pemuda yang mengaku bernama Bayu.
Dan memang, dia bernama Bayu yang lebih di-
kenal bergelar Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan gadis berbaju biru muda itu
adalah Suci, yang hampir saja tewas di tangan Setan Kobra Betina. Gadis itu.
coba untuk mengingat-ingat, apa yang telah terjadi pa-da dirinya.
Dia bisa mengingat sedikit, tapi terus menghi-
lang dan tidak tahu lagi. Suci masih sadar saat dirinya jatuh pingsan begitu
tongkat si Setan Kobra Betina terarah ke kepalanya. Namun gadis itu tidak tahu,
apakah tongkat itu sempat menghantam kepalanya atau
tidak. Dan sama sekali tidak diketahuinya kalau Pendekar Pulau Neraka ini yang
menyambarnya, sebelum
ujung tongkat berbentuk seekor ular kobra itu menghantam kepalanya.
"Apa yang terjadi padaku...?" tanya Suci dengan suara lemah.
"Kau terluka dalam cukup parah, Suci," jelas Bayu. "Kau bertarung dengan
perempuan tua yang mengaku bernama Setan Kobra Betina."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Suci lagi.
"Aku berada di kedai itu, sehingga melihat semua kejadiannya," jawab Bayu sambil
tersenyum. Suci menghembuskan napas panjang. Dia kini
ingat. Jadi, pemuda berbaju kulit harimau inilah yang duduk tidak jauh dari
perempuan tua berjubah biru
yang dikenal bernama Setan Kobra Betina. Perempuan
tua itu pulalah yang telah memisahkannya dari kakak seperguruannya. Kembali Suci
memandang pemuda
tampan yang tetap duduk bersila di sampingnya.
Dan Suci tidak bertanya, dari mana pemuda
yang tidak pernah dikenal sebelumnya ini mengetahui tentang dirinya. Yang jelas,
pasti pemuda berbaju kulit harimau ini bisa mendengar kalau Intan menyebut
namanya. "Apakah kau juga yang menolong Kak Intan?"
tanya Suci begitu teringat kalau Intan juga menghilang begitu saja.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya.
"Lalu, siapa yang membawa Kak Intan?"
"Aku tidak tahu. Mungkin guru kalian, atau ju-ga kakak-kakak seperguruanmu,"
sahut Bayu lagi.
"Kau tahu tentang kami...?" Suci tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya lagi.
Bayu hanya tersenyum saja.
"Sebaiknya kau tidur saja, Suci. Tubuhmu per-
lu istirahat sepanjang malam ini," saran Bayu.
"Aku tidak bisa tidur," Suci menolak.
"Kenapa?"
"Aku harus tahu, apakah Kak Intan selamat
atau tidak."
"Tidak mungkin mengetahui malam ini juga,
Suci. Sudah terlalu larut, dan keadaanmu juga tidak memungkinkan untuk
berjalan."
Suci mencoba menggerakkan tubuhnya. Tapi
baru sedikit saja bergerak, seluruh rongga dadanya sudah terasa nyeri dan
nafasnya menjadi sesak. Gadis itu mencoba mengatur nafasnya, kemudian memandang
Bayu yang hanya tersenyum saja memperhati-
kan. "Kenapa kau tersenyum...?" tegur Suci merasa
tidak suka dipandangi seperti orang tidak punya daya sama sekali.
"Kau terlalu keras, Suci. Sebaiknya sadarilah keadaan dirimu," sahut Bayu kalem.
"Kau pasti senang melihatku begini," dengus Suci memberengut.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja.
Dalam hati Pendekar Pulau Neraka tersenyum geli melihat sikap gadis ini. Begitu
manja dan mudah sekali tersinggung. Juga sangat keras kepala, tidak bisa
menyadari keadaan dirinya yang tidak memungkinkan
melakukan sesuatu.
"Aku berterima kasih karena kau telah menye-
lamatkan nyawaku malam ini.. Tapi itu bukan berarti bisa seenaknya memerintah.
Akan kubayar semua hu-tang ini," tegas Suci lagi.
"Terserahlah," sambut Bayu tersenyum.
"Hutang ini akan kubayar."
Lagi-lagi Bayu hanya tersenyum saja. Kemu-
dian duduknya bergeser agak menjauh. Dan kini Pen-
dekar Pulau Neraka memejamkan matanya kembali.
Sebentar ditarik napas panjang-panjang, kemudian diatur dengan baik sekali. Bayu
memang melakukan
semadi, untuk memulihkan kondisi tubuhnya yang
terkuras karena menyembuhkan luka dalam yang di-
derita Suci tadi.
Sementara itu Suci hanya memandangi saja.
Beberapa kali napas panjang dihembuskan dengan ke-
pala menggeleng kecil. Entah kenapa, terasa sukar
baginya untuk memejamkan mata. Bahkan un-
tuk mengalihkan pandangan saja sulit sekali.
"Uh! Kenapa aku ini...?" dengus Suci dalam ha-ti.
*** 3 Suci mengayunkan kakinya perlahan-lahan di
samping Pendekar Pulau Neraka. Sejak pagi tadi, mereka berjalan. Namun sampai
saat ini, belum ada seorang pun yang membuka suara. Beberapa kali gadis
itu menghembuskan napas panjang seraya melirik pe-
muda berbaju kulit harimau di sampingnya. Entah apa yang ada di dalam
pikirannya. Sedangkan Bayu sendiri terus saja mengayunkan kakinya perlahan-
lahan. Mereka menembus hutan yang tidak begitu le-
bat di lereng Gunung Parang. Suci tahu, kalau sekarang ini arah yang dituju
adalah Desa Malanapa.
"Seharusnya kau tidak perlu mengikutiku terus Kakang," kata Suci yang sudah
membiasakan dengan memanggil kakang pada Pendekar Pulau Neraka.
"Tujuanku memang ke sana. Dan kau sendiri
hendak ke desa itu juga. Jadi, tidak ada salahnya jika kita berjalan sama-sama,"
sahut Bayu kalem.
"Kau ada urusan di sana, Kakang?" tanya Suci ingin tahu.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum
saja menjawab pertanyaan gadis itu.
"Kau sendiri...?" Bayu malah balik bertanya.
"Hanya sekadar lewat saja," sahut Suci, seenaknya.
"Bukan karena perintah gurumu?" Suci tersentak kaget mendengar pertanyaan
Pendekar Pulau Ne-
raka itu. Bahkan sampai berhenti melangkah, lalu menatap Bayu dalam-dalam. Entah
dari mana datangnya, di hati gadis ini mulai terselip rasa curiga. Pemuda
berbaju kulit harimau ini baru dikenalnya tidak begitu lama, tapi mengapa sudah
bisa menebak maksudnya"
Dan dia tidak tahu, siapa sebenarnya Bayu. Tapi kata-
kata dan pertanyaan yang selalu di lontarkannya, me-nandakan kalau dia sudah
mengenal banyak tentang
diri Suci. Dan ini membuat gadis itu jadi curiga.
"Siapa kau sebenarnya, Kakang?" tanya Suci, agak dalam nada suaranya.
"Namaku Bayu, dan hanya seorang pengembara
biasa saja. Dan...."
"Cukup...!" sentak Suci agak keras. Bayu mengangkat alisnya sedikit.
Dipandanginya gadis ini dalam-dalam. Pada saat yang sama, Suci juga tengah
memandang tajam padanya. Untuk beberapa saat la-
manya mereka hanya diam saling melemparkan pan-
dangan yang penuh arti. Entah kenapa, Suci merasa-
kan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Rasanya tidak sanggup lagi menatap bola mata pemu-
da itu.. Namun hatinya terus dikuatkan dan terus menatap tajam.
"Aku tidak percaya jika kau hanya kebetulan
saja menolongku," tegas Suci. Jelas sekali kalau nada suara gadis itu mengandung
kecurigaan. "Kenapa kau berkata seperti itu, Suci?" kata lembut suara Bayu.
"Kau sepertinya mengetahui banyak tentang di-
ri ku. Bahkan sepertinya juga tahu tentang Eyang Purata." "Mungkin kau tidak
percaya. Tapi aku memang benar-benar tidak tahu tentang dirimu. Apalagi orang
yang kau sebutkan tadi, Suci."
"Tapi, kenapa kau bertanya seperti itu?" desak Suci tetap curiga.
"Hanya menebak saja. Dan yang pasti, kau
memiliki seorang guru, yang memberi tugas kepada-
mu." sahut Bayu, tetap kalem suaranya.
"Aku tidak percaya dengan jawabanmu, Ka-
kang, dengus Suci.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Pende-
kar Pulau Neraka kembali mengayunkan kakinya. Se-
bentar Suci masih diam memandangi pemuda berbaju
kulit harimau itu. Setelah Bayu berjalan sejauh dua batang tombak, gadis itu
baru melangkah menyusul.
Ayunan kakinya lebar-lebar dan cepat, sehingga sebentar saja sudah berada di
samping Pendekar Pulau Neraka lagi.
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wus! "Awas...!" seru Bayu tiba-tiba.
Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka mendo-
rong tubuh Suci, hingga terpental ke samping dan jatuh bergulingan di tanah.
Sedangkan Bayu sendiri
langsung melentingkan tubuh ke udara. Dan seketika tangan kirinya bergerak cepat
mengibas ke bawah, tepat di saat sebatang ranting kering meluncur cepat bagai
anak panah yang dilepaskan dari busur. Tap!
Manis sekali Pendekar Pulau Neraka menang-
kap sebatang ranting kering sepanjang tiga jengkal yang meluncur deras ke
arahnya. Kemudian setelah
memutar tubuhnya sekali di udara, kakinya mendarat ringan di tanah, tanpa
menimbulkan suara sedikit
pun. Pada saat yang sama, Suci sudah bisa berdiri
kembali. "Apa yang kau lakukan, Kakang..."!" sentak Suci, tidak menerima perlakuan Bayu
tadi. "Ada yang menyambut kita, Suci," sahut Bayu tanpa berpaling sedikit pun juga.
Pendekar Pulau Neraka segera menyodorkan
ranting kering yang berhasil ditangkapnya tadi. Sebentar Suci memandangi,
kemudian mengambil batang
ranting kering sepanjang. tiga jengkal itu. Langsung gadis itu memandang
Pendekar Pulau Neraka yang
tengah memusatkan pandangan dan pendengarannya
ke sekeliling tempat ini,
Perlahan Suci mendekati pemuda berbaju kulit
harimau itu, lalu berdiri di sampingnya. Gadis itu juga ikut mengedarkan
pandangannya berkeliling. Namun,
sebentar kemudian malah menatap dalam-dalam wa-
jah tampan di sampingnya. Ada sedikit getaran menye-linap di hati gadis itu,
saat ini Suci merasakan kalau di dalam hatinya tengah terjadi pertentangan
hebat. Dan dia sendiri tidak tahu, pertentangan apa yang terjadi dalam dirinya.
"Tampaknya ada yang tidak menyukai kedatan-
gan kita kembali ke Desa Malanapa, Suci. Entah untuk mencegahmu, atau mencegah
ku ke sana," jelas Bayu pelan, setengah bergumam suaranya.
Suci tidak menyahuti. Dia diam saja dan kem-
bali mengedarkan pandangannya berkeliling. Saat itu juga benaknya langsung
berputar. Kedatangannya ke
wilayah Gunung Parang ini memang karena tugas gu-
runya, Eyang Purata. Tapi dia tidak begitu jelas maksud gurunya yang sebenarnya.
Walaupun sebagian su-
dah diketahui meski tidak jelas.
"Ayo, kita jalan lagi," ajak Bayu.
"He he he..., tidak perlu bersusah payah ke Malanapa, Pendekar Pulau Neraka...!"
"Heh..."!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara keras
menggema. Bukan hanya Bayu yang terkejut. Suci pun ikut
tersentak kaget mendengarnya. Pandangan mereka be-
redar ke sekeliling, dan tidak jadi melanjutkan perjalanan. Namun tidak ada
seorang pun di tempat ini, kecuali mereka berdua. Sedangkan suara itu demikian
jelas terdengar, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Sementara itu Suci sudah menggeser pedang-
nya yang tergantung di pinggang. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya bergumam
pelan. Dan sebelum
mulutnya terbuka, mendadak saja sebuah bayangan
hitam berkelebat di depannya. Dan tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri
seorang laki-laki tua berjubah hitam. Sebatang tongkat hitam tak beraturan
bentuknya, tergenggam di tangan kanan. Sebentar Bayu
memandangi orang tua berjubah hitam itu, kemudian
melirik Suci yang berdiri di samping kanannya.
Kembali ditatapnya orang tua berjubah hitam
yang berdiri di depan. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, seakan-akan tengah
menyelidik dan mengukur kepandaian orang tua itu. Pada saat yang sama, orang tua
berjubah hitam itu juga memandang Pendekar Pulau Neraka. Seakan-akan, dia juga
sedang mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda berba-ju kulit harimau
itu. "Kau memang cukup tangguh, Pendekar Pulau
Neraka. Tapi sebaiknya cepat tinggalkan wilayah Gunung Parang ini," dingin
sekali nada suara laki-laki tua berjubah hitam itu.
"Hm.... Siapa kau, Orang Tua" Bagaimana kau
tahu tentang diriku?" tanya Bayu kalem, meskipun sempat terkejut karena orang
tua berjubah hitam itu mengetahui julukannya.
*** Satu julukan yang bisa membuat orang gemeta-
ran bila mendengarnya. Terlebih lagi, sikap, dan sepak terjang Pendekar Pulau
Neraka memang sukar digo-longkan. Pendekar itu bisa bertindak lebih kejam dari-
pada seorang tokoh hitam. Tapi, dia juga bisa lembut dan berhati emas bagai
seorang pendekar sejati.
Meskipun Bayu jarang sekali memberi ampun pada se-
tiap lawannya, tapi semua yang dilakukannya berda-
sarkan alasan yang tepat. Pendekar Pulau Neraka tidak akan menewaskan lawannya,
kalau tidak terpaksa sekali. "He he he...," orang tua berjubah hitam itu hanya
terkekeh saja menjawab pertanyaan Pendekar
Pulau Neraka. "Kau kenal dia, Suci?" tanya Bayu pada Suci yang sudah berada di sampingnya
lagi. "Tidak," sahut Suci sambil tetap memandangi laki-laki tua di depannya.
"Hm...," lagi-lagi Bayu bergumam pelan.
Kembali dipandanginya laki-laki tua ini. Tapi,
laki-laki tua itu sudah menyerangnya. Dan Bayu yakin kalau serangan itu bukan
hanya sekadar main-main.
Yang jelas, pasti mempunyai alasan kuat. Terlebih lagi tadi sudah meminta
Pendekar Pulau Neraka untuk segera meninggalkan Gunung Parang ini.
"Kenapa kau meminta ku meninggalkan tempat
ini, Orang Tua?" tanya Bayu lagi. Dari nada suaranya yang tenang, Pendekar Pulau
Neraka masih mencoba
menekan kesabarannya.
"Karena kau tidak ada urusan di sini, Pendekar Pulau Neraka," sahut orang tua
itu tegas. "Barangkali penyerangan mu tadi sudah mem-
beri satu persoalan padaku," tandas Bayu.
"Kau memang keras kepala sekali, Pendekar
Pulau Neraka. Mungkin memang harus digunakan ca-
ra lain untuk memaksamu keluar wilayah ini," semakin dingin nada suara orang tua
ini. "Cara apa yang akan kau gunakan...?"
Laki-laki tua berjubah hitam itu tidak menja-
wab. Pertanyaan Bayu barusan, sudah jelas maksud-
nya. Tantangan. Laki-laki tua itu menghentakkan
tongkatnya sedikit ke tanah. Meskipun kelihatannya hanya sedikit saja ujung
tongkatnya dipukulkan ke tanah, namun Bayu dan Suci merasakan kalau tanah
yang] dipijak agak bergetar.
"Hm...," lagi-lagi Bayu menggumam pelan.
Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa ber-
pikir panjang, laki-laki tua itu sudah memutar tongkatnya di depan dada.
Putarannya demikian cepat, sehingga yang terlihat hanya lingkaran hitam
kecoklatan. Bahkan juga menimbulkan suara angin yang menderu-
deru bagai hendak terjadi badai saja.
Wut! Mendadak saja laki-laki tua berjubah hitam itu
mengebutkan tongkatnya ke depan. Seketika itu juga berhembus angin kencang,
disertai memancarnya seberkas sinar kilat yang mengarah ke tubuh Pendekar Pulau
Neraka. "Uts...!"
Cepat sekali Bayu mendorong tubuh Suci, se-
hingga untuk kedua kalinya gadis itu terhuyung. Dan pada saat yang sama,
Pendekar Pulau Neraka melompat ke samping, Cahaya kilat yang keluar dari ujung
tongkat berbentuk tak beraturan itu lewat sedikit saja di samping tubuh Bayu.
Glarr! Ledakan keras terdengar saat ujung kilat itu
menghantam pohon yang tadi tepat di belakang Pendekar Pulau Neraka. Bayu sempat
sedikit menoleh, begi-tu kakinya mendarat lagi. Dalam hatinya, Pendekar
Pulau Neraka mengagumi kehebatan laki-laki tua berjubah hitam itu. Sungguh
dahsyat serangannya baru-
san. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau ujung tong-
kat itu mengenai dirinya.
"Itu baru permulaan, Pendekar Pulau Neraka,"
tegas laki-laki tua ini. "Dan sebaiknya jangan memaksa ku untuk memperingatkan
kedua kalinya."
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Orang
Tua?" tanya Bayu agak jengkel juga jadinya.
"He he he..." lagi-lagi orang tua berjubah hitam itu hanya terkekeh saja
menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka.
Orang tua itu masih tetap merentangkan tong-
katnya lurus ke depan, terarah langsung ke dada Pendekar Pulau Neraka. Sementara
tatapan matanya de-
mikian tajam, menusuk langsung ke bola mata pemu-
da berbaju kulit harimau di depannya. Untuk waktu
yang agak lama, mereka hanya berdiam diri sambil saling menatap tajam.
Sepertinya mereka sedang mengu-
kur kepandaian masing-masing.
*** "Sebenarnya aku tidak ingin bersikap keras
denganmu, Pendekar Pulau Neraka. Tapi tampaknya
kau memaksaku untuk melakukan kekerasan," terdengar dingin sekali suara orang
tua berjubah hitam itu.
"Aneh...! Semua pembicaraanmu tidak bisa ku
mengerti," desis Bayu pelan.
"Memang seharusnya kau tidak perlu mengerti,
Pendekar Pulau Neraka. Jika tidak segera enyah dari sini, aku yang akan
membantumu pergi," semakin dingin suara orang tua itu.
Belum juga Bayu sempat membuka mulut,
mendadak saja orang tua itu memutar tongkatnya ce-
pat bagai kilat. Lalu kembali berteriak nyaring melengking dia melompat cepat
menerjang Pendekar Pu-
lau Neraka. "Hiyaaa...!"
"Heh..."!
Hup!" Bergegas Bayu melompat ke samping sambil
memiringkan tubuhnya. Maka sabetan tongkat orang
tua itu tidak berhasil mendapatkan sasaran. Namun
tanpa diduga sama sekali, tubuhnya bisa memutar selagi kakinya belum juga
menjejak tanah. Secepat itu pula tongkatnya dikibaskan ke arah Pendekar Pulau
Neraka. Bet! Kali ini Bayu tidak sempat lagi menghindar dari
kebutan tongkat hitam yang tak beraturan bentuknya itu. Dengan cepat tangannya
diangkat Lalu sambil
mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf sempurna, Pendekar Pulau
Neraka membenturkan
pergelangan tangan kanannya dengan tongkat hitam
orang tua itu. Trang!
Bunga api memercik begitu Cakra Maut yang
menempel di pergelangan tangan Bayu membentur
tongkat hitam orang tua itu. Tampak masing-masing
terpental ke belakang sejauh lima langkah. Orang tua berjubah hitam itu
kelihatan terkejut saat seluruh jari-jari tangannya terasa menegang kaku.
Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga dalam Pendekar Pulau Neraka mampu
mengimbangi kekuatan tenaga da-
lamnya. Sedangkan Bayu sendiri sempat meringis. Dia juga terkejut begitu
merasakan kekuatan tenaga dalam orang tua berjubah hitam itu demikian dahsyat.
Tulang pergelangan tangannya seperti remuk. Sebentar
senjata andalannya yang selalu melekat kuat di pergelangan tangan kanan
diperiksa. Sepertinya tak ada sa-tu goresan sedikit pun pada Cakra Maut
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat orang tua berjubah hitam itu
kembali melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
serangannya begitu dahsyat, sehingga ayunan tong-
katnya saja sukar diikuti pandangan mata biasa. Namun Bayu yang sudah siap sejak
tadi, manis sekali
menghindari serangan yang dilancarkan orang tua ini.
Bagai seekor burung sri gunting, Pendekar Pu-
lau Neraka berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindari serangan
yang dilancarkan
orang tua berjubah hitam itu. Beberapa kali tebasan ataupun tusukan tongkat
hitam itu terpaksa harus di-tangkis. Beberapa kali pula terdengar ledakan keras,
percikan bunga api setiap kali tongkat hitam berbenturan dengan Cakra Maut yang
berada di pergelangan
Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan terus berjalan sengit. Jurus demi
jurus berlalu, saling berganti dengan cepat. Tanpa terasa mereka sama-sama sudah
menghabiskan lebih
dua puluh jurus. Namun pertarungan belum juga be-
rakhir. Bahkan belum ada tanda-tanda yang terdesak.
Sementara Suci yang menyaksikan pertarungan ting-
kat tinggi itu seketika kepalanya terasa pening dan matanya berkunang-kunang,
karena mengikuti setiap
gerakan yang dilakukan dua orang yang bertarung itu.
"Oh..."!"
Tiba-tiba Suci menutup mulutnya ketika meli-
hat orang tua berjubah hitam itu menyodokkan tong-
kat ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Itu terjadi tepat saat pemuda berbaju
kulit harimau itu baru menangkis satu tendangan menggeledek yang dilepaskan
orang tua itu. Bet! Cepat sekali Bayu mengebutkan tangan kanan-
nya ke depan dada untuk menyampok sodokan tong-
kat hitam yang tak beraturan bentuknya itu. Satu benturan keras bertenaga dalam
tinggi pun tak terelakkan.
Ledakan keras seketika terdengar menggelegar bagai guntur membelah angkasa.
Bunga api memercik menyebar ke segala arah.
Tampak orang tua berjubah hitam itu terpental
balik ke belakang sejauh dua batang tombak. Sedangkan Bayu melentingkan tubuhnya
ke udara, dan seke-
tika itu juga mengibaskan tangan kanan ke depan
sambil memutar tubuh di udara.
Wus! Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan
yang selalu menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika
melesat cepat ke arah orang tua berjubah hitam. Begitu cepatnya melesat, hingga
membuat orang tua itu terperangah sejenak. Namun
cepat sekali tongkatnya dikebutkan, menyampok sen-
jata maut Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Bet! "Heh..."!"
*** Bukan main terkejutnya orang tua berjubah hi-
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tam itu, ketika Cakra Maut yang meluncur deras itu tiba-tiba saja meliuk
menghindari tebasan tongkatnya.
Belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak Cakra
Maut bersegi enam itu sudah meluruk deras ke arah
kepala orang tua berjubah hitam itu.
"Ih...! Uts!"
Buru-buru kepalanya di egoskan ke samping.
Dan begitu Cakra Maut lewat ke samping kanan. Langsung tubuhnya diputar dan
tongkatnya dikibaskan,
menghajar Cakra Maut yang saat itu sudah kembali
berputar berbalik hendak menyerang kembali.
Bet! Tring! "Ikh...!"
Orang tua berjubah hitam itu terkejut setengah
mati ketika tongkatnya berbenturan dengan senjata
cakra perak yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka.
Cepat dia melompat mundur, lalu tubuhnya memutar
menghadap kembali pada Pendekar Pulau Neraka. Pa-
da saat yang sama, Bayu menghentakkan tangan ka-
nan ke atas kepalanya. Maka Cakra Maut membalik,
langsung menempel di pergelangan tangan kanannya.
Tap! "Cakra Maut...," desis laki-laki tua itu seakan-akan tidak percaya dengan apa
yang baru saja terjadi.
Hampir saja orang tua berjubah hitam itu tewas
oleh senjata Pendekar Pulau Neraka yang begitu dahsyat dan tak ada bandingnya
saat ini. Sama sekali pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka tidak
diperhatikannya. Sedangkan matanya memandang
Bayu seperti melihat hantu saja. Sedangkan yang dipandang hanya berdiri tegak,
membalas dengan tata-
pan tajam menusuk.
"Ada hubungan apa kau dengan Gardika si Ca-
kra Maut?" tanya orang tua berjubah hitam itu.
"Dari mana kau tahu tentang Eyang Gardika"
Bayu malah batik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka terkejut juga menden-
gar pertanyaan orang tua berjubah hitam ini. Pandan-
gan matanya semakin tajam dan penuh kecurigaan.
Dia teringat gurunya, si Cakra Maut. Dalam sisa-sisa hidupnya, Eyang Gardika
harus sengsara dengan kedua kaki buntung dan buta. Semua itu akibat ulah
musuh-musuhnya. Dan Bayu harus mencari mereka
yang telah membuntungi dan membutakan gurunya
itu. Sedangkan di depannya kini berdiri seorang la-
ki-laki tua yang mengenal gurunya. Tentu saja setelah Pendekar Pulau Neraka
menggunakan senjata andalan
yang diperoleh dari gurunya. Bayu mencoba mengin-
gat-ingat nama-nama yang telah diberikan gurunya.
Nama-nama orang yang telah membuat si Cakra Maut
cacat seumur hidup.
"Hm...," terdengar gumaman kecil dari bibir Pendekar Pulau Neraka.
Ingatan Pendekar Pulau Neraka langsung teri-
kat pada kata-kata gurunya, tentang nama-nama to-
koh yang harus dihadapinya. Salah satu ciri-ciri orang yang disebutkan Eyang
Gardika kini ada di depannya.
Memang, sebelumnya Bayu tidak mengenal orang itu.
Namun begitu Orang berjubah hitam itu menyebut
nama Eyang Gardika, maka ingatannya langsung tera-
rah ke situ. *** 4 "Dari mana senjata itu kau dapatkan, Pendekar Pulau Neraka?" tanya orang tua
berjubah hitam dingin.
"Ini senjataku. Kapan dan dari mana ku peroleh bukan urusanmu, Iblis Tongkat
Hitam," sahut Bayu ti-
dak kalah dinginnya.
"Heh...."! Kau tahu julukanku...?" orang tua berjubah hitam itu terkejut
mendengar julukannya
disebut Pendekar Pulau Neraka. Padahal sama sekali namanya tidak pernah
disebutkan tadi.
Bayu hanya tersenyum sinis saja. Sedangkan
kakinya bergeser sedikit ke kanan dan kedua tangannya terlipat di depan dada.
Sementara, sorot matanya tetap tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua
berjubah hitam yang dikenali berjuluk Iblis Tongkat Hitam. Bayu bisa
mengenalinya, setelah mengin-
gat-ingat nama-nama yang diberikan gurunya. Juga,
ciri-ciri serta jurus-jurus yang dimilikinya.
Dan semua itu ada pada diri laki-laki tua ber-
jubah hitam ini, sehingga Bayu tidak ragu-ragu lagi.
Laki-laki tua ini adalah salah seorang tokoh persilatan yang mengeroyok si Cakra
Maut sampai kedua kakinya buntung dan sepasang matanya buta.
"Asal tahu saja, Iblis Tongkat Hitam. Pemilik pertama senjata ini, meminta ku
untuk membalaskan
perlakuan orang-orang yang telah membuat sengsara
selama hidupnya," tandas Bayu lagi, dengan suara yang tetap dingin.
"Hm.... Siapa sebenarnya kau, Pendekar Pulau
Neraka?" tanya Iblis Tongkat Hitam mendesis.
"Aku hanya anak kemarin sore yang mencari
manusia-manusia bejat sepertimu," sahut Bayu, semakin dingin nada suaranya.
"Bersiaplah untuk mati, Iblis Tongkat Hitam...."
Setelah berkata demikian, Bayu langsung berte-
riak keras menggelegar. Sebentar tangannya bergerak-gerak di depan dada,
kemudian cepat sekali tubuhnya melompat menerjang laki-laki tua berjubah hitam
itu. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar
Pulau Neraka, sehingga membuat si Iblis Tongkat Hitam jadi terperangah sejenak.
"Uts...!?"
Buru-buru Iblis Tongkat Hitam mengegoskan
tubuhnya, menghindari satu pukulan menggeledek
mengandung tenaga dalam tinggi yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka- Tapi sebelum tubuhnya sem-
pat ditarik kembali, Bayu sudah memberi lagi satu serangan cepat dan dahsyat
Terpaksa si Iblis Tongkat Hitam melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari
serangan yang begitu cepat dan dahsyat
"Hiyaaa...!"
Melihat lawannya meleset ke udara, maka Bayu
cepat menggenjot tubuhnya hingga melesat bagai kilat ke udara menyusul laki-laki
tua berjubah hitam itu.
Saat itu juga dilontarkannya beberapa pukulan beruntun yang disertai pengerahan
tenaga dalam yang su-
dah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Uts! Hup...!"
Beberapa kali Bayu melepaskan pukulan keras
menggeledek, tapi si Iblis Tongkat Hitam masih mampu menghindarinya.
Kelihatannya, laki-laki tua itu begitu kewalahan, bahkan hampir-hampir pukulan
terakhir yang dilepaskan Bayu mengenai dadanya. Untung
tongkatnya cepat dikibaskan untuk melindungi da-
danya dari pukulan Pendekar Pulau Neraka.
Trak! Bayu sengaja tidak menarik pulang pukulan-
nya, sehingga menghantam tongkat hitam yang menyi-
lang di depan dada. Seketika satu ledakan keras pecah menggelegar. Bersamaan
dengan itu, tampak kedua
orang yang bertarung di udara itu terpental ke belakang. Mereka sama-sama
berputaran di udara, kemu-
dian meluruk turun. Hampir bersamaan kaki mereka
menjejak tanah, dan sama-sama langsung terhuyung.
"Hup!" Bayu cepat menggerak-gerakkan tangannya, sambil mengatur pernafasannya.
Sedangkan si Iblis Tongkat Hitam cepat memu-
tar tongkatnya, kemudian keras sekali menghentakkan ujungnya ke tanah. Untuk
beberapa saat mereka terdiam berdiri tegak, dengan mata saling menyorot tajam.
"Kau menggunakan jurus-jurus milik si Cakra Maut. Apakah kau muridnya, Pendekar
Pulau Neraka?"
si Iblis Tongkat Hitam ingin tahu, setelah mengetahui jurus-jurus yang
dikeluarkan Pendekar Pulau Neraka.
"Benar! Dan aku akan membalas perlakuanmu
pada guruku," sahut Bayu dingin menggetarkan.
"Ha ha ha.!" tiba-tiba saja si Iblis Tongkat Hitam tertawa terbahak-bahak.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil saja.
Tatapan mata Pendekar Pulau Neraka tidak
berkedip sedikit pun, dan tajam sekali. Sementara si Iblis Tongkat Hitam terus
tertawa terbahak-bahak dengan suara keras sekali. Akibatnya, membuat telinga
orang yang berada di sekitarnya terasa sakit, seperti akan pecah.
"Si Cakra Maut sendiri tidak sanggup menan-
dingi ku, Bocah. Aku khawatir kau akan bernasib sa-ma dengannya," ejek si Iblis
Tongkat Hitam. "Kau bisa mengalahkannya karena main ke-
royok, Iblis Tongkat Hitam," desis Bayu.
"Phuih! Tanpa mereka pun, aku mampu mengi-
rimnya ke neraka, Bocah!"
"Dan sekarang kau yang akan kukirim ke nera-
ka, iblis!"
"Setan...! Kau murid si Cakra Maut, maka tidak
pantas rasanya hidup lebih lama lagi.!
Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, si Iblis Tongkat Hitam melompat
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tongkat hitam
yang tidak beraturan bentuknya itu berkelebat cepat mengurung ruang gerak pemuda
berbaju kulit harimau. Namun Bayu yang sudah siap dan sudah menge-
tahui laki-laki tua ini sebenarnya, tidak lagi bertindak tanggung-tanggung.
Segera dikerahkannya jurus-jurus yang dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam
yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Setan alas...!" desis si Iblis Tongkat Hitam geram. Betapa tidak..." Sungguh
sama sekali tidak disangka kalau jurus-jurus si Cakra Maut yang dimain-
kan Pendekar Pulau Neraka lebih dahsyat dari pemi-
liknya sendiri. Bahkan beberapa kali laki-laki tua itu terpaksa harus
berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan balasan yang dilancarkan
Bayu. *** "Hiyaaa....!"
Tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring melengk-
ing tinggi. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya me-
lenting sambil mengebutkan tangan kanannya. Bagai-
kan kilat. Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka melesat cepat
"Ufs!"
Cepat sekali si Iblis Tongkat Hitam meliukkan
tubuhnya, menghindari terjangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Tapi belum
juga posisi tubuhnya bi-sa dikembalikan, mendadak saja Bayu sudah meluruk
deras ke arahnya sambil melontarkan dua terjangan
menggeledek secara beruntun.
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya si Iblis Tongkat Hitam,
mendapatkan serangan yang demikian cepat beruntun.
Bergegas laki-laki tua itu melompat ke belakang. Namun satu tendangan yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka tidak bisa dihindari lagi.
Begkh...! "Akh...!" Iblis Tongkat Hitam memekik keras.
Tendangan Pendekar Pulau Neraka tepat
menghantam dada Iblis Tongkat Hitam yang lowong,
Begitu kerasnya tendangan itu, sehingga membuat tubuhnya terpental ke belakang
sejauh tiga batang tombak
Bruk! Keras sekali Iblis Tongkat Hitam jatuh tersuruk
di tanah, namun cepat bangkit kembali, meskipun
sempoyongan. Dan sebelum keadaan tubuhnya sempat
dikuasai, Bayu sudah kembali melompat menyerang.
Du pukulan keras dilontarkan dengan cepat. Hal ini membuat si Iblis Tongkat
Hitam terperangah beberapa saat. "Hup!"
Bergegas tubuhnya melenting ke udara, dan
berputaran beberapa kali. Manis sekali laki-laki tua itu mendarat di atas cabang
sebuah pohon yang cukup
tinggi. Sedangkan Bayu sudah berdiri tegak bertolak pinggang.
"Turun kau...!" bentak Bayu menggelegar suaranya. "Kuakui, kau memang lebih
hebat dari gurumu, Pendekar Pulau Neraka," puji si Iblis Tongkat Hitam agak
terengah suaranya.
"Terima kasih. Tapi aku tidak butuh pujian.
Pembalasan tetap berlangsung, Iblis Tongkat Hitam,"
sambut Bayu dingin.
"Sayang sekali, aku ada keperluan lain yang lebih penting. Maaf..."
"Hei...!"
Tapi Bayu tidak mungkin bisa mengejar orang
tua berjubah hitam yang sudah melesat cepat sekali.
Dalam sekejap saja, Iblis Tongkat Hitam itu sudah
menghilang dari pandangan mata. Dan Bayu hanya
menggerutu. Satu orang yang harus ditemui kini le-
nyap lagi, sebelum sakit hati gurunya terbalaskan.
Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya
mendengar suara gemerisik ayunan langkah yang ha-
lus. Ternyata dia adalah Suci yang tengah menghampi-ri pemuda berbaju dari kulit
harimau itu. Gadis itu berhenti melangkah setelah tinggal tiga tindak lagi di
depan Pendekar Pulau Neraka.
"Kau sudah tahu siapa aku, Suci. Sebaiknya
kau pergi saja," kata Bayu sebelum Suci sempat membuka suara.
"Guruku sering menceritakan tentang dirimu,
kang. Maaf, kalau sikapku selama ini tidak menye-
nangkan hatimu," lembut sekali suara Suci, nadanya terdengar menyesal atas
sikapnya selama ini pada
Bayu. "Lupakan saja," desah Bayu seraya mengayunkan kakinya.
"Kakang, tunggu...!" seru Suci seraya bergegas mengejar.
Gadis itu mensejajarkan langkahnya di samp-
ing Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu sendiri
terus berjalan tanpa berpaling sedikit pun. Disadari kalau selama ini sepak
terjangnya sudah menjadi buah bibir tokoh-tokoh rimba persilatan. Jadi, tidak
heran jika guru gadis ini sudah mendengar dan mengetahui
namanya. Dan memang hal itu yang tidak diinginkan
Bayu. Mulai disadari kalau di sekitar Gunung Parang ini terdapat musuh-musuh
gurunya. Sedangkan dirinya sendiri masih memiliki kewajiban darma bakti pada
gurunya, meskipun terkadang sangat bertentan-gan dengan hati nuraninya sendiri.
Tapi demi semua itu, Bayu harus menjalankan amanat terakhir yang di-embannya.
Sakit hati Eyang Gardika harus diba-
laskan, pada orang-orang yang telah membuatnya ca-
cat. Dan Pendekar Pulau Neraka tidak ingin ada orang lain yang terlibat dalam
urusan pribadinya.
"Kenapa kau terus mengikuti ku, Suci?" tanya Bayu seraya menoleh sedikit pada
gadis yang berjalan di sampingnya.
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ingin minta bantuanmu," sahut Suci langsung. "Bantuan apa?" tanya Bayu.
"Mencari Kak Intan."
Bayu menghentikan ayunan langkahnya. Dita-
tapnya gadis itu dalam-dalam.
"Kenapa kau berubah begitu cepat, Suci?"
tanya Bayu ingin tahu.
Suci tidak menjawab, tapi malah tersenyum.
Gadis itu kembali mengayunkan kakinya setelah ber-
henti sebentar. Dan Bayu hanya memandangi gadis itu beberapa saat, kemudian
melangkah lagi. Ayunan kaki nya disejajarkan di samping gadis ini.
Mereka terus berjalan menuju Desa Malanapa.
Tak ada lagi yang berbicara. Masing-masing sibuk berbicara dalam hatinya
sendiri-sendiri. Beberapa kali Suci mencuri pandang pada pemuda tampan berbaju
harimau di sampingnya. Di dalam hatinya, Suci tak bi-sa lagi membantah kalau
hatinya tertarik setelah men-
getahui pemuda ini sebenarnya. Dia sudah sering
mendengar tentang Pendekar Pulau Neraka. Dan seka-
rang, pendekar yang selalu menjadi buah bibir berjalan di sampingnya. Ada
sedikit kebanggaan terselip di hatinya, karena bisa berjalan bersama seorang
pendekar digdaya yang disegani lawan maupun kawan.
*** Memang tidak mudah mencari seseorang yang
tidak diketahui di mana adanya. Sudah tiga hari Bayu dan Suci menjelajahi Desa
Malanapa dan sekitar Gunung Parang, tapi tidak juga bisa menemukan Intan.
Kakak seperguruan Suci ini lenyap entah ke
mana, setelah bertarung dengan seorang perempuan
tua yang mengaku berjuluk Setan Kobra Betina.
Sedangkan perempuan tua itu sendiri seperti
menghilang ditelan bumi saja. Tidak ada lagi kabar be-ritanya di sekitar Gunung
Parang ini. Bukan hanya di Desa Malanapa. Bahkan desa-desa lain yang berada di
sekitar Gunung Parang, sudah dimasuki Bayu dan Su-ci Tapi, mereka tetap belum
menemukan jejak Intan
saat ini. "Ke mana lagi harus mencari kakak sepergu-
ruan mu, Suci?" tanya Bayu, saat mereka baru saja meninggalkan sebuah desa yang
berada di sebelah Se-latan kaki Gunung Parang.
"Hhh...!" Suci hanya menghembuskan nafasnya saja, seraya mengangkat bahu tinggi-
tinggi. Gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana lagi harus
mencari Intan. Tiga hari bukanlah waktu yang sedikit Dan mereka sudah
menjelajahi daerah yang luas,
meskipun belum sampai keluar dari wilayah Gunung
Parang. "Tidak ada lagi perkampungan di sekitar Gu-
nung Parang ini, Suci. Dan itu tadi desa terakhir. Tapi di sana juga tidak ada
tanda-tandanya," sambung Bayu seraya melemparkan sebuah kerikil ke dalam
sungai yang mengalir di depannya.
"Kita belum mencari ke puncak gunung, Ka-
kang," tegas Suci mengingatkan."
"Tidak ada apa-apa di sana, Suci," sahut Bayu.
"Tapi kudengar, orang-orang persilatan saat ini tengah menuju ke sana.
Barangkali saja di sana kita bisa bertemu Kak Intan. Atau paling tidak, bisa
menemukan petunjuk," Suci beralasan.
Bayu menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat. Bukan hanya Suci saja
yang tahu. Pendekar Pulau Neraka pun tahu kalau
orang-orang persilatan kini tengah menuju Puncak
Gunung Parang. Dan Bayu pun tahu, untuk apa to-
koh-tokoh persilatan itu menuju ke sana. Sedangkan dirinya sendiri sebenarnya
memang ingin ke sana, tapi yang pasti dengan tujuan yang berbeda dari mereka
semua. "Atau sebaiknya kita kembali lagi ke Desa Malanapa, Kakang," usul Suci
lagi. "Untuk apa?" tanya Bayu.
"Aku ada titipan yang harus disampaikan pada
kepala desa," jawab Suci.
"Kenapa tidak dari kemarin kau berikan?"
"Aku baru ingat sekarang."
Sambil menghembuskan napas panjang, Pen-
dekar Pulau Neraka bangkit berdiri. Saat itu Suci sudah berdiri lebih dahulu.
Tanpa mengeluarkan satu kata pun mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Hanya saja mereka berjalan tidak terburu-buru.
"Pesan apa yang ingin kau sampaikan, Suci?"
tanya Bayu. "Eyang Purata hanya menitipkan bingkisan sa-
ja. Aku tidak tahu, apa isinya," sahut Suci. "Penting?"
"Kelihatannya begitu. Soalnya Eyang Purata
minta agar aku hati-hati menjaganya. Dan lagi, hanya Ki Gandul saja yang boleh
menerimanya."
"Kalau memang penting, seharusnya jangan di-
lalaikan, Suci. Kita bisa mencari kakakmu, setelah pe-san gurumu disampaikan,"
nada suara Bayu terdengar seperti menyesali Suci yang telah melalaikan tugas
utama gurunya. "Aku lupa, Kakang. Aku begitu khawatir pada
Kak Intan," Suci mencoba membela diri.
"Aku bisa mengerti, Suci, Sebaiknya untuk saat ini, kau lupakan dulu masalah
kakakmu. Nanti setelah titipan gurumu kau berikan pada Ki Gandul, baru seluruh
perhatianmu bisa dipusatkan pada kakakmu."
"Baiklah," sahut Suci mendesah.
Bayu tidak berkata-kata lagi. Mereka terus ber-
jalan dengan bibir terkatup rapat Kedua orang itu sengaja memilih jalan yang
biasa dilalui orang. Padahal bisa saja mereka merambah hutan, memotong jalan
agar lebih cepat sampai. Tapi entah kenapa, baik Bayu maupun Suci malah memilih
jalan biasa, yang meng-hubungkan desa yang satu dengan desa lainnya.
*** 5 Bayu duduk bersila di samping Suci. Di depan
mereka bersila seorang laki-laki bertubuh gemuk berusia sekitar lima puluh
tahun. Pakaiannya putih bersih,
dan terlihat perlente sekali. Rambutnya berkilat, terta-ta rapi. Sebaris kumis
tipis menghiasi bibirnya. Laki-laki setengah baya inilah yang mengepalai Desa
Malanapa. Dan biasanya, dipanggil dengan nama Gandul.
"Jadi, kau yang bernama Suci...,?" tanya Ki Gandul seraya menatap Suci, seakan-
akan ingin me-mastikan kalau gadis di depannya ini memang berna-
ma Suci. "Benar," sahut Suci.
"Dan kau, Anak Muda?" Ki Gandul beralih menatap Pendekar Pulau Neraka.
"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan namanya.
"Kau juga dari Padepokan Sokalima?"
"Bukan, aku hanya seorang pengembara," jelas Bayu. Ki Gandul mengangguk-
anggukkan kepalanya.
Kembali ditatapnya Suci yang selalu diam, dan baru bicara kalau ditanya. Suasana
di ruangan depan rumah kepala desa ini pun menjadi sunyi. Pandangan Ki Gandul
kembali beralih pada gulungan daun lontar
dan kotak kayu kecil yang berada di tangannya. Ba-
rang-barang itu titipan dari Eyang Purata.
"Eyang Purata mengatakan kalau kau akan da-
tang bersama Intan. Bagaimana kau bisa berpisah
dengan kakak seperguruanmu, Suci?" Ki Gandul meminta penjelasan.
Tanpa diminta dua kali, Suci menceritakan se-
mua kejadian yang dialami. Dari peristiwa di kedai Ki Karta sampai Intan lenyap
disambar sebuah bayangan yang tidak ketahui siapa orangnya. Sedangkan dirinya
sendiri sampai saat ini masih bisa bernapas. Itu pun karena ditolong Pendekar
Pulau Neraka, yang kini duduk di samping kanannya.
Ki Gandul mendengarkan penuh perhatian se-
mua kisah yang dituturkan Suci. Sesekali dia bergumam dengan kepala terangguk-
angguk. Laki-laki se-
tengah baya itu masih terdiam, meskipun Suci sudah menyelesaikan ceritanya.
"Tidak kuduga kalau hal ini sudah menyebar
begitu luas, sehingga orang-orang persilatan datang ke Gunung Parang," ujar Ki
Gandul setengah bergumam, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.
Sebentar laki-laki setengah baya itu menarik
napas panjang, dan dihembuskannya perlahan-lahan.
Pandangannya beralih dari Suci ke Pendekar Pulau Neraka secara bergantian.
Beberapa kali napas panjang di hembuskan, dan terasa berat sekali. Sedangkan
baik Suci maupun Bayu hanya diam saja menunggu.
"Apa yang dikatakan Eyang Purata di dalam su-
ratnya, Ki?" tanya Suci ingin tahu.
Gadis itu jadi penasaran, dan ingin tahu isi su-
rat yang diberikan gurunya pada kepala desa ini. Terlebih lagi setelah melihat
sikap Ki Gandul yang sepertinya tengah menanggung beban berat, setelah mene-
rima surat dari Eyang Purata. Laki-laki setengah baya itu kembali menarik napas
dalam-dalam dan meng-hembuskannya kuat-kuat Sepertinya dia begitu berat
mengatakan isi surat ini pada Suci.
"Apa gurumu tidak mengatakannya, Suci?" Ki Gandul malah balik bertanya.
"Tidak," sahut Suci seraya menggelengkan kepalanya.
"Kau diperintahkan ke Puncak Gunung Parang,
Suci," jelas Ki Gandul, suaranya terdengar berat sekali.
"Ke Puncak Gunung Parang.." Untuk apa...?"
Suci bertanya seperti untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak bisa mengatakannya. Hanya, Eyang
Purata meminta agar aku menyertaimu ke sana," sahut
Ki Gandul "Tapi sayang, kakak seperguruanmu telah hilang." "Apakah ada
hubungannya dengan Kak Intan, Ki?" tanya Suci menduga-duga.
Ki Gandul tidak langsung menjawab, namun
kembali menarik napas dalam-dalam dan menghem-
buskannya kuat-kuat. Pandangannya kembali tertuju
pada Bayu yang sejak tadi hanya diam saja, sementara Suci sudah mulai banyak
bertanya. Pendekar Pulau
Neraka merasa kalau ini bukan urusannya. Makanya,
dia memilih diam mendengarkan daripada ikut cam-
pur. Memang dirinya sendiri tidak mengerti, apa yang dibicarakan kepala desa ini
dengan Suci. "Kau sudah menyelamatkan nyawa Suci. Jadi,
aku percaya kalau kau juga bisa melindunginya, Anak Muda," kata Ki Gandul pelan.
"Hanya kebetulan saja, Ki," sahut Bayu merendah. "Aku tahu siapa itu Setan Kobra
Betina. Kepandaiannya sangat tinggi, dan sukar dicari tandingannya. Kau bisa
menyelamatkan dirimu dari seran-
gannya, sekaligus menyelamatkan Suci. Itu berarti kepandaian mu tinggi, Anak
Muda. Jadi rasanya aku tidak ragu-ragu lagi member! kepercayaan padamu un-
tuk mendampingi Suci ke Puncak Gunung Parang,"
lembut dan cukup berwibawa nada suara Ki Gandul.
Bayu melirik gadis yang duduk di sampingnya.
Pada saat yang hampir bersamaan, gadis itu juga melirik Pendekar Pulau Neraka.
Sesaat dua pasang mata
beradu pada satu titik, kemudian sama-sama menga-
lihkan pandangannya pada Ki Gandul.
"Kapan kau akan berangkat, Sua?" tanya Ki Gandul.
Suci tidak segera menjawab. Kembali di liriknya
sedikit pemuda berbaju kulit harimau yang duduk di sampingnya.
"Secepatnya, Ki," sahut Suci.
"Memang sebaiknya begitu, Suci Lebih cepat,
lebih baik lagi. Maaf, aku tidak bisa mendampingimu ke sana. Banyak yang harus
kukerjakan di sini"
"Tidak mengapa, Ki" Suci mencoba tersenyum memaklumi.
Kalau mau jujur, Suci memang lebih suka jika
kepergiannya ke Puncak Gunung Parang ditemani
Pendekar Pulau Neraka. Bukan hanya karena pemuda
ini tampan, tapi kepandaiannya yang tinggi sangat
menarik perhatiannya. Dan gadis itu sudah menyaksikan. kehebatan Pendekar Pulau
Neraka saat bertarung dengan laki-laki tua berjuluk Iblis Tongkat Hitam.
*** Siang itu juga Suci berangkat ke Gunung Pa-
rang, ditemani Pendekar Pulau Neraka. Ki Gandul tak lupa memberi mereka kuda,
agar perjalanan lebih cepat dan mudah. Namun sampai di lereng Gunung Pa-
rang, mereka terpaksa meninggalkan kuda-kuda itu.
Pepohonan di lereng gunung ini begitu lebat, dan sukar sekali dilalui dengan
kuda. "Sepertinya kita harus bermalam di sini, Ka-
kang," kata Suci sambil menyibakkan gerumbul semak di depannya.
"Kurang cocok bermalam di sini, Suci," sahut Bayu seraya memandang ke
sekelilingnya. "Apa ada tempat yang lebih baik lagi daripada ini?" tanya Suci seraya
menghentikan langkahnya.
"Mungkin agak ke atas lagi," sahut Bayu terus saja melangkah.
Suci terpaksa mengayunkan kakinya kembali.
Padahal, keadaannya sudah begitu lelah, sete-
lah satu harian berjalan mendaki lereng gunung yang lebat dan seperti tidak
pernah terjamah manusia ini.
Keringat sudah mengucur deras, membasahi sekujur
tubuh dan wajahnya.
Namun gadis itu agak heran juga ketika melihat
Bayu seperti tidak kelihatan lelah sedikit pun. Bahkan sama sekali tidak ada
keringat menetes di tubuhnya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu terus berjalan dengan ayunan langkah yang
mantap. Pendekar Pulau Ne-
raka seperti tidak mendapatkan kesukaran melintasi hutan yang begini lebat,
dengan pepohonannya yang
rapat bagai kaki-kaki raksasa menghadang.
Pendekar Pulau Neraka baru berhenti setelah
sampai di tempat yang agak lapang. Pepohonan di sini tidak begitu rapat, karena
banyak batu besar maupun kecil tersebar. Sebentar Bayu mengedarkan pandangannya
berkeliling dari atas sebongkah batu yang cukup besar. Kemudian dengan gerakan
ringan sekali, dia melompat ke atas batu lainnya.
Tiga Ksatria Bertopeng 1 Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Istana Pulau Es 7
CAKAR HARIMAU Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari pener-bit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Cakar Harimau 128 hal ; 12 x 18 cm
1 Dua ekor kuda berjalan perlahan menuruni le-
reng sebuah gunung yang berdiri megah dan angkuh
menantang langit cerah yang membiru. Hari ini me-
mang seluruh alam diliputi kecerahan. Langit tampak bening, tanpa awan sedikit
pun menggumpal. Matahari bersinar terang, namun tak begitu terik Memang saat itu
angin bertiup kencang seperti mengusir udara panas jauh-jauh. Dua ekor kuda itu
terus bergerak perlahan. Penunggangnya yang terdiri dari dua orang gadis
berparas cantik, terlihat lelah sekali.
"Berapa jauh lagi Desa Malanapa, Kak?" tanya seorang gadis yang mengenakan baju
warna biru mu-da.
"Di kaki Gunung Parang ini," sahut gadis satunya lagi yang mengenakan baju warna
merah. "Kau sudah lelah, Suci?"
"Sedikit," sahut gadis berbaju biru muda yang dipanggil Suci. "Kak Intan
sendiri...?"
Gadis berbaju merah hanya tersenyum saja,
tanpa menjawab sedikit pun. Langkah kaki kudanya
dihentikan, tepat di tepi sebuah sungai kecil yang mengalir menghadang
melingkari gunung ini. Gerakannya indah dan ringan sekali saat turun dari
punggung kudanya. Suci mengikuti. Mereka sama-sama
menghempaskan diri, duduk di tepi sungai.
Untuk beberapa saat mereka tidak ada yang
membuka suara. Sama-sama diam memandangi kuda
yang tengah mereguk sejuknya air sungai, Memang sejak kemarin kuda-kuda mereka
tidak menemukan air.
Dan mereka sendiri sebenarnya sudah terlalu lelah, la-par, dan haus sekali.
Keadaan ini bisa terlihat dari
raut wajah dan sorot mata mereka yang redup.
"Aku heran, Kak..," ujar Suci dengan nada suara terputus dan agak mengeluh.
"Heran kenapa?"
tanya Intan. "Mengapa kita yang diberi tugas begini"
Mengapa bukan Kakang Seta atau Kakang Darmasaka
saja, Kak.." Mereka kan kepandaiannya lebih tinggi dari kita," ungkap Suci,
mengemukakan isi hatinya.
"Yang jelas, Eyang Purata tidak akan salah, sahut Intan. "Ah, sudahlah....
Kenapa harus memper-soalkan itu sih...?"
"Bukannya begitu, Kak. Aku yakin ada sesuatu
dengan tugas ini."
"Maksudmu..." Aku kok tidak mengerti, Suci."
"Eyang Purata pasti punya maksud tertentu
yang tidak kita ketahui, Kak. Aku yakin itu," mantap sekali suara Suci.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Suci Walaupun Eyang Purata punya maksud
tertentu, tidak
mungkin akan mencelakakan murid-muridnya sendiri.
Aku yakin, seandainya perasaanmu itu benar, pasti
ada baiknya untukmu dan untukku."
"Tapi, Kak..."
"Ah..., sudahlah. Hilangkan saja sangkaan bu-
ruk di kepalamu itu," potong Intan cepat.
Suci jadi diam membisu, namun masih tetap
yakin kalau tugas yang diberikan gurunya mempunyai tujuan tertentu yang tidak
diketahui secara pasti.
Keyakinannya itu semakin menebal saat mereka sudah semakin dekat dengan Desa
Malanapa yang terletak di kaki gunung Parang ini.
Suci memang mengakui kebenaran kata-kata
kakak seperguruannya ini. Yang pasti, meskipun
Eyang Purata mempunyai tujuan tertentu, tidak akan mungkin mencelakakan muridnya
sendiri. Terlebih la-
gi, sampai mengorbankan nya. Kecurigaan Suci mun-
cul ketika kemarin secara tiba-tiba saja mereka dis-erang oleh empat orang yang
tidak mau menunjukkan
wajahnya. Empat orang itu meminta sesuatu yang sama
sekali tidak diketahui kedua gadis ini. Kemudian mereka langsung menyerang
setelah Intan mengatakan
tidak memiliki yang diinginkan. Namun mereka seketi-ka itu Juga pergi, sebelum
kedua gadis ini memberi serangan balasan yang berarti. Sejak kejadian kemarin
itu, benak Suci jadi dipenuhi berbagai macam pikiran dan dugaan yang sukar
dijawab dengan cepat.
Sedangkan setiap kali hal itu dibicarakannya,
Intan seperti tidak ingin persoalan itu diperpanjang la-gi. Suci memang tidak
bisa menyalahkan. Dan itu memang sudah watak Intan, yang tidak pernah mau men
perpanjang setiap persoalan. Apalagi memikirkannya, sehingga membuat kepala jadi
berdenyut. "Sudah cukup, ayo jalan lagi," ajak Intan seraya bangkit berdiri.
Dengan malas, Suci ikut bangkit berdiri. Saat
itu matahari memang sudah agak condong ke Barat.
Dan tentu saja mereka tidak ingin bermalam lagi di tengah hutan. Sebelum
matahari benar-benar tenggelam nanti, mereka harus sudah sampai di Desa Mala-
napa yang menjadi tujuan kedua gadis ini.
*** Saat matahari tenggelam di balik peraduannya,
Intan dan Suci sudah sampai di Desa Malanapa. Mere-ka turun dari kuda, lalu
berjalan kaki sambil menuntun kuda masing-masing. Dua gadis itu berjalan
perlahan-lahan sambil melihat-lihat suasana di desa yang
tidak begitu besar ini. Rumah-rumah yang berdiri di sepanjang jalan tanah yang
berdebu ini, sebagian sudah menyalakan pelita. Memang suasana petang ini
sudah mulai gelap. Dan pasti, sebentar lagi malam
akan datang menyelimuti maya pada.
"Apakah kita langsung ke rumah kepala desa
saja, Kak?" tanya Suci.
"Nanti saja. Yang penting, sekarang kita cari penginapan dulu," sahut Intan.
"Apa ada penginapan yang baik di desa ini?"
"Mudah-mudahan saja ada," Suci tidak bertanya lagi.
Gadis itu yakin kalau di
desa yang kecil ini, tidak ada penginapan yang
baik. Kalaupun ada, pasti hanya sebuah penginapan
kecil yang kumuh dan tidak sedap dipandang. Namun
Suci harus bisa memaklumi. Dalam keadaan seperti
ini, tidur di dalam kamar rumah penginapan masih lebih baik, daripada tidur di
alam terbuka. Kedua gadis itu terus saja berjalan perlahan-
lahan menyusuri jalan tanah berdebu. Sementara,
keadaan sudah semakin gelap saja. Di langit sana, bulan mulai menampakkan
sebagian wajahnya yang ber-
sinar lembut. Cahayanya yang redup dan samar-
samar, seakan enggan menyinari bumi ini. Kedua gadis itu berhenti melangkah di
depan sebuah rumah yang
cukup besar. Tampak di bagian depan rumah itu dipenuhi
orang-orang yang sedang menikmati makanan dan mi-
numan. Sebentar Intan memandang pada Suci.
"Kedai inilah yang terbaik di Desa Malanapa,"
jelas Intan. Terus, untuk menginapnya?" tanya Suci.
"Ada.... Kedai ini juga merangkap menyewakan kamar untuk bermalam," jelas Intan
kembali. "Kelihatannya kedai ini ramai sekali, Kak," kata Suci yang sejak tadi
memperhatikan bagian dalam kedai di depannya.
"Kedai Ki Karta memang selalu ramai." "Apa masakannya enak, Kak?" tanya Suci
lagi. "Bisa kau coba nanti."
Suci hanya tersenyum saja. Gadis itu tahu ka-
lau Intan mendesaknya untuk memasuki kedai Ki Kar-
ta. Dan hal itu tidak bisa ditolaknya lagi. Tak be-
rapa kemudian kedua gadis itu sudah melangkah me-
masuki kedai yang selalu ramai.
Seorang laki-laki berusia setengah baya, me-
nyongsong kedua gadis itu. Dengan sikap ramah, di-
persilakannya kedua gadis itu duduk di tempat yang kebetulan kosong. Meskipun
kedai ini kelihatannya
ramai, tapi masih ada be berapa meja yang belum terisi. Suci merasa kalau kedai
ini cukup besar dan bersih.
"Minta makanannya saja, Ki," Intan memesan.
"Tidak pakai arak?" laki-laki tua yang dikenal bernama Ki Karta itu menawarkan.
"Tidak, air biasa saja," tolak Intan.
"Baiklah, Den Ayu. Sebentar disiapkan."
Ki Karta meninggalkan kedua gadis itu. Seben-
tar laki-laki tua itu berbicara dengan salah seorang pelayan kedai ini, kemudian
sudah kembali sibuk me-
nyambut tamu yang baru masuk lagi. Kali ini tamunya adalah seorang pemuda
berpakaian yang sangat lain
dengan orang-orang yang berada di kedai ini.
Seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya
dari kulit harimau. Sikapnya terlihat agak dingin. Sorot matanya memancar cukup
tajam, namun tercermin
suatu kelembutan dan ketegasan pribadinya. Dia tidak
banyak bicara, dan hanya memesan se guci arak ma-
nis saja. Ki Karta tetap melayaninya dengan senyuman ramah di bibir.
"Ki...." Intan melambaikan tangannya memanggil pemilik kedai itu.
Ki Karta bergegas menghampiri. "Ada apa, Den
Ayu?" tanya Ki Karta setelah berada di dekat Intan.
"Masih ada kamar kosong?" tanya Intan. "Masih ada, perlu berapa kamar?" "Satu
saja, Dan kalau bisa, yang menghadap langsung ke jalan."
"Ah, kebetulan sekali. Tinggal satu yang menghadap ke jalan, Den Ayu."
"Kalau begitu, siapkan saja, Ki. Selesai makan, kami berdua langsung ingin
istirahat" "Baik, Den Ayu."
Baru saja Intan akan membuka mulut, menda-
dak saja terdengar bentakan keras dari belakangnya.
"Ki Karta, sini...!"
Laki-laki tua itu bergegas menghampiri orang
yang memanggil dengan suara keras menggelegar ba-
gaikan guntur. Sedangkan Intan hanya melirik sedikit saja. Tampak Ki Karta agak
terbungkuk di depan sebuah meja yang tepat di belakang Intan. Dan di sana, duduk
seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Namun wajah yang kasar
dan penuh brewok,
membuatnya kelihatan lebih tua dari usia yang sebenarnya. "Beri aku arak lagi,"
pinta laki-laki berwajah penuh brewok itu. Suaranya terdengar berat dan kasar
sekali. "Tapi, Den Basra.... Raden sudah terlalu banyak minum...," kata Ki Karta
dengan sikap takut-takut. "Sejak kapan kau berani membantah, heh..."!"
bentak pemuda yang dipanggil Basra itu.
Dengan sikap kasar sekali, Basra menarik baju
Karta, hingga jadi limbung. Hampir saja dia terjatuh kalau tidak cepat-cepat
menekan bibir meja hingga ter-tahan. "Iya.... Iya, Den. Sebentar disediakan,"
kata Karta tergagap. "Huh!"
Basra menghentakkan tangannya yang men-
cengkeram baju laki-laki tua pemilik kedai ini. Hampir saja Ki Karta menabrak
Intan. Untung, gadis itu cepat-cepat menahannya. Namun Intan masih tetap saja
du- duk kursinya. "Oh.... Terima kasih, Den Ayu," ucap Ki Karta.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Intan. "Tidak," sahut Ki Karta. "Ki Karta,
sini...!" kembali Basra memanggil dengan suara keras menggelegar.
Ki Karta akan menghampiri, tapi Intan sudah
keburu mencegah dengan mencekal tangan Ki Karta.
Bahkan dengan halus sekali, Intan meminta Ki Karta tetap melayaninya. Dan ini
membuat laki-laki tua jadi kebingungan. Dia tidak tahu, yang mana harus dida-
hulukan. "Jangan hiraukan, Ki," tegas Intan. Ki Karta semakin kebingungan. Wajahnya
seketika memucat
begitu melihat Basra bangkit berdiri dan
menghampiri. Laki-laki berwajah kasar itu
menggeser gagang goloknya yang terselip di pinggangnya. Kemudian langkahnya
berhenti di depan meja
yang ditempati Intan.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Basra tertawa terbahak-bahak.
"Hm...," Intan hanya menggumam pelan saja.
Sedangkan Ki Karta semakin kelihatan pucat dan ge-
metar. Kakinya bergeser, dan berdiri di belakang Intan.
Tapi mendadak saja Basra mengibaskan tangannya ke
arah laki-laki tua itu, melewati kepala Intan. Namun....
Bet! "Heh..."!" Basra terkejut bukan main. Buru-buru tangannya ditarik kembali,
begitu tiba-tiba sekali Intan mengebutkan tangan untuk menyampok kibasan
tangan Basra. Kebutan tangan gadis itu demikian cepat. Walaupun Basra sudah
bergegas menarik, namun
ujung jari tangannya masih juga terkena kebutan tangan gadis itu. Dan hal ini
membuatnya semakin terkejut saja, karena mendadak jari-jari tangannya seperti
tersengat ribuan kala berbisa. Nyeri dan menggetarkan sekali! "Hih...!"
Basra melompat mundur satu tindak. Matanya
tajam memandangi Intan, seakan-akan tidak percaya
dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Jari-jari tangannya masih
bergetar, dan sedikit terasa nyeri.
Memang sukar baginya untuk percaya. Ternyata gadis muda dan cantik seperti ini
memiliki kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Rupanya kau ingin unjuk kebolehan di sini..."
desis Basra dingin.
"Maaf, aku tidak ingin mengotori tanganku," balas Intan kalem.
"Setan...!" geram Basra langsung memerah wajahnya. Kata-kata Intan yang
terdengar kalem itu, namun sangat menusuk perasaan. Basra merasa kalau
kata-kata itu sangat merendahkan dan mengejeknya.
Dan baginya, itu merupakan tantangan yang dilontarkan halus, tapi nyata sekali.
Pantang bagi Basra mendapatkan hinaan seperti ini. Apalagi datangnya dari
seorang gadis cantik yang kelihatannya lemah.
Bet! Mendadak saja Basra mengebutkan tangan kiri
ke arah muka Intan. Kebutan yang cepat dan menda-
dak itu, sempat membuat Intan sedikit terperangah.
Namun dengan sedikit menarik kepalanya, kebutan
tangan yang dilancarkan Basra bisa dielakkan. Ujung jari tangan laki-laki
berwajah kasar penuh brewok itu hanya lewat sedikit saja di depan muka Intan.
"Edan...!" geram Basra.
Kemarahan laki-laki kasar itu semakin me-
muncak karena dua kali dibuat terpana oleh tindakan Intan yang kalem dan manis
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali. Kejadian itu membuat pengunjung kedai jadi tertarik. Mereka semua
memperhatikan, seakan-akan sedang disuguhi satu
tontonan menarik. Beberapa orang mulai melontarkan kata-kata yang membuat
telinga Basra jadi memerah
panas. "Bedebah...!" desis Basra geram.
"Yeaaah...!"
Dengan hati panas diliputi kemarahan dan pe-
rasaan malu, Basra langsung menyerang gadis itu. Di lontarkannya dua pukulan
sekaligus, disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Namun tanpa di
duga sama sekali, Intan hanya meliukkan tubuhnya
saja. Bahkan tanpa memindah duduknya sedikit pun.
Dua pukulan bertenaga dalam cukup tinggi yang dilepaskan Basra tidak mengenai
sasaran sama sekali.
Kembali terdengar suara-suara usil mengejek
Basra. Dan ini membuatnya semakin geram saja. Dia
benar-benar marah, karena merasa sudah dipermain-
kan dan dipermalukan seorang gadis cantik yang le-
mah ini. Sambil menggereng marah, kembali dilancarkannya serangan-serangan yang
cepat dan beruntun.
Beberapa serangan laki-laki brewok itu masih
bisa di hadapi Intan tanpa beranjak dari kursinya.
Namun ketika Basra mencabut golok dan langsung di-
kibaskan ke arah leher yang putih jenjang itu, Intan tidak lagi berdiam di
kursinya. Tepat ketika baru berhasil mengelakkan tebasan golok yang mengarah ke
leh-er, bagaikan kilat tubuhnya melenting tinggi ke udara.
Sambil berputaran ke belakang, Intan meng-
hentakkan kakinya ke arah dada laki-laki bersenjata golok itu. Serangan yang
dilancarkan gadis itu, membuat Basra terperangah tidak menyangka. Laki-laki
kasar itu tidak dapat lagi menghindari tendangan yang cepat dan tidak terduga.
Sehingga.... "Yeaaah...!"
Diegkh! "Akh...!" pekik Basra keras.
Tendangan yang dilancarkan Intan, tepat
menghantam dada laki-laki bersenjata golok itu, akibatnya Basra terpental sejauh
dua batang tombak ke belakang. Keras sekali tubuhnya terbanting, menghantam
sebuah meja hingga hancur berantakan. Dan pada baru saja bangkit berdiri, Intan
sudah kembali melompat menerjangnya. Lagi-lagi gadis itu melontarkan tendangan
keras menggeledek.
"Hiyaaa...!"
"Hah..."!"
Basra hanya bisa terperangah dengan mulut
terbuka. Dan dia tidak bisa lagi melakukan sesuatu, karena tendangan keras Intan
sudah kembali mendarat telak di dadanya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki berotot
itu kembali terpental ke belakang deras sekali.
Brak! Dinding bagian depan kedai ini jebol terlanda
tubuh yang tinggi besar dan berotot itu. Basra jatuh bergulingan di luar kedai
setelah tubuhnya menghan-
tam dinding yang terbuat dari belahan papan, hingga berantakan.
Sedangkan Intan sudah kembali menghampiri
mejanya. Namun sebelum sempat duduk, tiba-tiba terdengar tawa mengikik, disertai
kata-kata bernada kering dan mengejek. Intan tidak jadi duduk di tempatnya
semula. Gadis itu hanya menggumam kecil, sambil
mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Hm...."
Tatapan mata gadis itu tertuju pada seorang
perempuan tua yang mengenakan jubah warna biru te-
rang. Perempuan tua itu duduk tepat di dekat jendela.
Tidak jauh dari perempuan tua itu, duduk seorang
pemuda berwajah tampan yang mengenakan baju kulit
harimau. Pemuda itu kelihatannya tidak Mempeduli-
kan sama sekali dengan suasana yang mulai memanas
di dalam kedai ini.
"Setan Kobra Betina...," desis Intan, mengenali perempuan tua yang duduk sekitar
tiga batang tombak di hadapannya.
Dan pandangan Intan beralih pada pemuda
berbaju kulit harimau. Pada saat yang sama, pemuda itu mengarahkan pandangannya
kepada gadis ini. Dan untuk beberapa saat pandangan mereka bertemu pada
satu titik. Entah kenapa, tiba-tiba saja Intan merasakan darahnya berdesir
mengalir cepat. Bahkan jan-
tungnya berdetak kencang tidak seperti biasanya. Bu-ru-buru pandangannya
dialihkan ke arah perempuan
tua berjubah biru terang.
"Hm...," lagi-lagi Intan menggumam kecil.
*** 2 "He he he.... Jurus 'Tendangan Halilintar' mu cukup dahsyat juga. Tapi rasanya
tidak berarti jika di-ikutsertakan dalam perlombaan di Gunung Parang!"
nada suara Si Setan Kobra Betina terdengar kering
bergetar. Intan tidak mempedulikan, lalu duduk di tem-
pat nya semula. Diraihnya gelas yang terbuat dari
bambu yang dihaluskan, lalu diteguknya air bening di dalamnya. Namun sebelum air
di dalam gelas itu habis, mendadak saja gelas itu pecah. Seketika airnya tumpah
membasahi baju gadis ini.
"Bedebah...!" desis Intan geram.
Gadis itu langsung menatap si Setan Kobra Be-
tina kemudian memandangi pecahan gelas yang terge-
letak di atas meja di depannya. Di antara kepingan pecahan gelas bambu itu,
tergeletak serpihan kulit kayu.
Intan kembali menatap perempuan tua berjubah biru
yang duduk tidak seberapa jauh di depannya. Tampak kulit kayu sudut meja di
depan si Setan Kobra Betina terkelupas.
"Aku tidak mempunyai urusan denganmu, Se-
tan Kobra Betina," tegas Intan dingin menggetarkan.
"Kehadiranmu di sini menjadi urusanku, In-
tan." sahut Setan Kobra Betina, tidak kalah dingin.
"Aku disini hanya sekadar lewat, dan tidak pernah mengganggu segala macam
urusanmu. Jangan
mencari gara-gara tanpa alasan, Setan Kobra Betina,"
semakin dingin nada suara Intan.
Gadis itu tahu, kalau Setan Kobra Betina bu-
kanlah tandingannya. Mereka pernah bentrok sekali, dan Intan hampir saja tewas
kalau tidak segera dis-
elamatkan Eyang Purata yang kini menjadi gurunya.
Sejak itulah dia tinggal di padepokan milik Eyang Purata. Dan sekarang, dia
bertemu lagi dengan perem-
puan tua itu. Yang pasti, Setan Kobra Betina tidak akan melupakan pertarungannya
dengan Intan. "Siapa dia, Kak Intan?" tanya Suci yang sejak tadi diam saja memperhatikan.
"Hm...," Intan hanya menggumam saja tanpa menjawab sedikit pun pertanyaan adik
seperguruannya itu. Sedangkan pandangan Intan tetap tertuju pada perempuan tua
berjubah biru di depannya, dan hanya terhalang beberapa meja dan kursi yang
sudah diting-galkan pengunjung kedai ini. Dan sejak pertarungan yang singkat
tadi, sebagian pengunjung kedai sudah berhamburan ke luar. Kini tinggal beberapa
orang saja yang tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Sementara tak satu pun
pelayan kedai ini yang terlihat. Ki Karta sendiri sudah menghilang entah ke
mana. Suasana di dalam kedai yang besar ini semakin bertambah panas dan
menegangkan sekali.
"Aku ingin menyelesaikan persoalan lama di antara kita di sini, Intan. Aku
yakin, kau sudah bertambah maju sekarang," tegas si Setan Kobra Betina langsung
mengajukan tantangan.
Intan tidak menjawab. Dan sebenarnya, tan-
tangan ini ingin dihindarinya. Tapi, perempuan tua itu sepertinya mengetahui
jalan pikiran Intan. Maka, tantangan itu segera diungkapkan secara langsung,
tanpa basa basi lagi. Intan melirik sedikit pada Suci yang saat tengah
memandanginya. Gadis itu tahu kalau Su-ci meminta penjelasan tentang kejadian
semua ini. Ta-pi saat ini, memang tidak ada waktu untuk bisa menjelaskan.
"Bersiaplah, Intan. Hiyaaa....!"
Si Setan Kobra Betina seketika mengebutkan
tongkatnya yang berbentuk seekor ular kobra hitam
yang mengembangkan leher ke arah gadis berbaju me-
rah yang duduk di depannya.
Slap! "Uts!"
Bergegas Intan memiringkan tubuh ke kanan
ketika dari mulut tongkat berbentuk ular kobra, meluncur seberkas sinar merah
berbentuk bulat sebesar mata kucing. Cepat sekali sinar merah itu meluruk, namun
hanya lewat sedikit di samping tubuh Intan.
Saat itu juga terdengar ledakan keras menggelegar ketika sinar merah bulat
sebesar mata kucing itu menghantam dinding kedai di belakang gadis ini.
"Hm..," Intan menggumam kecil.
Dalam hatinya, diakui kalau serangan yang di-
lancarkan si Setan Kobra Betina itu sangat dahsyat Bi-sa dibayangkan kalau sinar
merah itu mengenai tubuh manusia, pasti hancur berkeping-keping seperti dinding
kedai di belakang Intan itu. Dan di saat gadis ini sedang diam dengan otak
berputar keras, si Setan Kobra Betina sudah kembali melancarkan serangan.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Beberapa kali perempuan tua berjubah biru itu
mengebutkan tongkatnya ke depan. Maka sinar-sinar
merah bulat sebesar mata kucing berdesiran deras ke arah Intan. Serangan yang
beruntun ini tidak mungkin lagi dihadapi dengan hanya duduk sambil mengelakkan
tubuhnya. Seketika Intan bergegas melentingkan tubuhnya ke udara. Kemudian gadis
itu berputaran beberapa kali, menghindari serangan-serangan yang
dahsyat itu. "Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras, Intan meluruk deras ke
arah si Setan Kobra Betina. Itu dilakukannya ketika telah berhasil mengelakkan
semua sinar-sinar merah
yang keluar dari ujung tongkat perempuan tua berjubah biru itu. Begitu cepatnya
Intan meluruk sambil melontarkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi, sehingga
membuat si Setan Kobra Betina terperangah
sesaat. Memang sungguh tidak disangka kalau Intan
bisa meluruk begitu deras, selagi berada di udara.
"Hiyaaa...!"
Buru-buru perempuan tua berjubah biru itu
melompat ke samping sambil mengibaskan tongkat,
menghadang arus terjangan gadis itu. Dan tak dapat di hindarkan lagi ketika satu
pukulan yang dilancarkan Intan, menghantam kepala tongkat yang berbentuk
ular kobra itu.
Blarrr! Ledakan keras terdengar menggelegar meme-
kakkan telinga, begitu pukulan Intan menghantam kepala tongkat si Setan Kobra
Betina. Tampak Intan
memutar tubuhnya ke belakang beberapa kali, lalu
manis sekali mendarat di permukaan sebuah meja.
Sedangkan si Setan Kobra Betina terdorong sekitar tiga langkah belakang.
"Edan...!" desis si Setan Kobra Betina.
"Ugh...!" Intan mengeluh kecil sambil menghembuskan napas panjang.
"Kau telah memperoleh kemajuan yang pesat
Intan. Bagus...! Aku senang bila kau bisa menghadapi-ku lebih dari lima jurus,"
puji Setan Kobra Betina.
"Hm...," Intan hanya menggumam kecil saja.
Pada saat itu si Setan Kobra Betina sudah
kembali melancarkan serangan. Tongkatnya berkelebat cepat mengincar tubuh Intan
yang paling mematikan.
Serangan-serangan yang cepat dan beruntun itu, sempat membuat Intan kelabakan
menghindari. Namun
pada serangan berikut, tepatnya saat si Setan Kobra Betina menusukkan ujung
tongkat ke arah dada, Intan tak mungkin lagi berkelit. Jalan satu-satunya yang
harus dilakukan adalah melompat ke belakang. Maka...
"Hiyaaa...!"
Brak! Tubuh yang ramping itu menabrak dinding ke-
dai yang terbuat dari belahan papan. Akibatnya dinding itu hancur berkeping-
keping, dan tubuh melesat hingga keluar dari dalam kedai. Pada saat yang
bersamaan, si Setan Kobra Betina sudah melesat mengejar.
Dia melompat ke atas untuk menjebol atap kedai ini.
Tubuhnya langsung meluruk ke halaman, tempat In-
tan berada di sana.
*** Pertarungan terus berlanjut di depan halaman
ke dai Ki Karta. Jurus demi jurus berlalu cepat Lima jurus yang dijanjikan si
Setan Kobra Betina, sudah ter-lewati. Namun demikian perempuan tua itu belum
juga mampu mengalahkan Intan. Bahkan mendesak saja
belum bisa. Intan ternyata masih cukup tangguh me-
layani beberapa jurus lagi. Sampai-sampai si Setan Kobra betina tertegun melihat
kemajuan pesat yang di-capai gadis itu.
Sementara itu Suci sudah keluar dari kedai.
Gadis itu ingin sekali membantu Intan, tapi hati kecil-nya tidak mengizinkan.
Lebih-lebih dia tidak tahu
permasalahan nya. Memang sedikit sudah bisa ditangkap kalau antara Intan dan
perempuan tua itu ada
persoalan lama, dan kebetulan bertemu di kedai ini.
Persoalan yang tidak diketahui itulah yang membuat Suci tidak bisa berbuat apa-
apa, kecuali hatinya jadi penonton. Sedangkan pertarungan itu terus berlangsung
sengit. "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja tubuh Setan Kobra Betina me-
lenting ke udara sambil berteriak nyaring. Dan secepat itu tongkatnya dikebutkan
ke arah kepala Intan. Seketika itu juga kepala tongkat yang berbentuk ular kobra
memancarkan cahaya merah bagai terbakar.
"Oh..."!" Intan terkejut setengah mati.
Buru-buru gadis itu melompat ke samping,
langsung menjatuhkan tubuh ke tanah. Beberapa kali dia bergulingan, mencoba
keluar dari naungan cahaya merah yang semakin lama semakin menyebar.
"Ha ha ha...!" Setan Kobra Betina tertawa terbahak-bahak.
Perempuan tua berjubah biru itu kini sudah te-
gak dengan angkuhnya di tengah-tengah halaman de-
pan kedai. Tangan kanannya agak bergetar memegangi tongkat yang terus
memancarkan sinar merah. Pada
saat itu, seekor burung lewat di atas kepalanya. Maka mendadak saja burung itu
memekik keras langsung jatuh menggelepar di dekat kaki si Setan Kobra Betina.
"Ha ha ha...!"
Sementara Intan terus cepat bergulingan, tidak
terkena cahaya merah yang semakin meluas. Namun
gerakannya memang kalah cepat bila di banding pe-
nyebaran cahaya itu. Hingga....
"Aaakh...!" mendadak saja Intan menjerit melengking tinggi.
Dan selagi tubuh gadis itu menggelepar, men-
dadak sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar-
nya. Begitu cepatnya, tahu-tahu Intan sudah lenyap
dari pandangan.
"Heh.?" Setan Kobra Betina terkejut setengah mati. Begitu tongkat di tangan
kanannya terhentak, cahaya merah itu seketika lenyap. Matanya nyalang
beredar berkeliling, tapi tidak lagi terlihat Intan di sekitar tempat ini. Dan
pandangannya langsung tertuju
pada Suci, gadis yang datang ke desa ini bersama-
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama Intan. Dan Suci sendiri juga terkejut melihat ada bayangan berkelebat cepat
menyambarnya. "Grrrrr! Kau temannya. Maka, kau juga harus
mampus, Bocah...!" geram Setan Kobra Betina. Perempuan tua ini mengalihkan
kemarahannya Suci. Gera-
mannya memang perlahan, namun terdengar jelas se-
kali. Tentu saja Suci terperangah setengah mati. Disadari kalau kemampuan yang
dimilikinya tidak akan
sanggup menghadapi perempuan tua ini. Dari perta-
rungannya dengan Intan saja, Suci sudah bisa mengukur kemampuan diri sendiri.
kepandaiannya tidak se-banding dengan kepandaian yang dimiliki perempuan
tua ini. "Hiyaaa..!"
Tiba-tiba saja si Setan Kobra Betina melompat
cepat bagai kilat menerjang Suci. Begitu cepatnya, sehingga membuat gadis itu
terhenyak, langsung mem-
belalak lebar. Tapi dia cepat tersadar, dan buru-buru melompat ke samping.
"Hup...!"
Namun gerakan gadis itu memang kalah cepat
dibanding serangan yang dilancarkan si Setan Kobra Betina. Terlebih lagi Suci
sempat terperangah tadi.
Akibatnya, satu pukulan keras yang dilepaskan pe-
rempuan tua itu masih sempat menyerempet bahu ki-
rinya. "Akh...!" Suci terpekik kaget.
Gadis itu jatuh bergulingan di tanah beberapa
kali. Ketika mencoba bangkit berdiri, namun bahu kirinya terasa sakit sekali.
Seakan-akan, tulang-tulang bahu kirinya berpatahan terserempet pukulan yang
dilepaskan perempuan tua itu. Dan sebelum Suci bisa
berdiri tegak, kembali si Setan Kobra Betina sudah cepat melompat menerjang.
"Oh...," Suci hanya bisa terhenyak.
Gadis itu benar-benar tidak bisa lagi melaku-
kan sesuatu. Maka, telak sekali pukulan keras yang di lepaskan si Setan Kobra
Betina menghantam dadanya.
Begitu kerasnya, sehingga gadis, itu harus menjerit keras, tepat saat tubuhnya
terpental jauh ke belakang.
Keras sekali gadis itu jatuh menghantam tanah.
"Hoaghk..!"
Suci memuntahkan darah kental begitu men-
coba bangkit berdiri. Dia sendiri tidak tahu, apakah sudah mati atau masih
hidup. Yang jelas, saat itu si Setan Kobra Betina sudah kembali melompat hendak
menyerangnya. Kali ini tongkatnya yang sudah ber-
warna merah bagai terbakar, terayun ke arahnya. Dan Suci tidak mungkin akan bisa
menghindar dari serangan! "Mampus kau, Bocah! Hiyaaa...!"
"Mati aku...," desah Suci seraya memejamkan matanya sedikit.
Wut! Slap! Tepat ketika si Setan Kobra Betina mengayun-
kan tongkat ke kepala Suci, mendadak saja sebuah
bayangan kembali berkelebat cepat menyambar gadis
itu. Si Setan Kobra Betina terkejut setengah mati, dan tidak bisa menarik
pukulan tongkatnya lagi.
Glaaar...! Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat
begitu tongkat berbentuk ular kobra itu menghantam tanah. Seketika tanah tempat
Suci berada tadi, ter-bongkar. Kepulan debu seketika tercipta, dan langsung
membumbung tinggi ke angkasa.
"Setan keparat...!" geram Setan Kobra Betina berteriak keras.
Dua kali lawannya lenyap disambar bayangan-
bayangan yang bergerak begitu cepat tanpa dapat di ketahui. Meskipun sempat
melihat bayangan itu, tapi Setan Kobra Betina tidak bisa mengetahui jelas. Yang
pasti, dua _bayangan itu berbeda.
*** Ke mana sebenarnya Intan dan Suci berada..."
Malam sudah begitu jauh merambat, menyeli-
muti sekitar Gunung Parang. Malam ini terasa begitu pekat. Tak sedikit pun ada
cahaya menerangi. Langit tampak kelam, tanpa cahaya bintang maupun bulan
yang menerangi. Begitu pekatnya, sehingga Gunung
Parang terlihat bagai sosok raksasa yang berdiri angkuh menentang langit yang
menghitam pekat.
Di bagian lain lereng Gunung Parang, terlihat
orang tengah duduk bersila saling berhadapan. Yang seorang tengah merentangkan
tangan ke depan, sehingga kedua telapaknya menempel di dada orang
yang di depannya. Mereka sama-sama memejamkan
mata, dengan napas teratur dan perlahan sekali. Hampir tidak terdengar teriakan
nafasnya. "Huh...!"
Bersamaan dengan terdengarnya hembusan na-
fas panjang, kedua telapak tangan itu terlepas dari da-da. Dan salah seorang
langsung jatuh terkulai, meng-
geletak di tanah. Seorang lagi menggerak-gerakkan
tangannya sebentar, lalu membetulkan letak orang
yang kini tergeletak di tanah. Dibaringkannya tubuh itu di dekat bakaran api
unggun. "Kau akan sembuh kembali. Besok saat fajar ti-ba, kau pasti sudah segar," kata
laki-laki muda yang mengenakan baju kulit harimau.
Kemudian laki-laki muda itu duduk bersila di
samping sosok tubuh ramping yang terbaring di dekat api. Terlihat jelas, kalau
tarikan nafasnya begitu ringan dan teratur. Sebentar dipandanginya tubuh ramping
di sampingnya, kemudian nafasnya ditarik dalam dan dihembuskan kuat-kuat.
"Hhh...!" kembali pemuda itu menghembuskan napas panjang.
Setelah menarik napas dalam-dalam, kemudian
matanya dipejamkan perlahan-lahan. Sebentar kemu-
dian jalan nafasnya diatur agar lebih teratur lagi. Kedua telapak tangannya
berada di atas lutut yang me-nekuk. Namun tak lama melakukan semadi, telinganya
mendengar rintihan lirih. Kembali matanya dibuka,
langsung menatap sosok tubuh ramping yang terbar-
ing di sampingnya.
Tampak orang yang terbaring itu mulai meng-
gerakkan kepalanya sambil memperdengarkan rintihan kecil. Sebentar kemudian
matanya terbuka, lalu men-gerjap beberapa kali. Hatinya agak terkejut begitu
melihat di sampingnya duduk seorang laki-laki yang tidak dikenal sama sekali.
Dia mencoba bangkit, namun pemuda berbaju kulit harimau itu sudah mencegah, agar
tetap berbaring.
"Kau masih lemah, jangan bangkit dulu," lembut sekali suara pemuda itu.
"Siapa kau" Mengapa aku berada di tempat
ini?" tanya gadis yang mengenakan baju biru muda itu.
"Aku Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri.
"Aku...."
"Aku tahu siapa dirimu. istirahat saja dulu. Lu-ka dalammu belum sembuh benar."
potong pemuda yang mengaku bernama Bayu.
Dan memang, dia bernama Bayu yang lebih di-
kenal bergelar Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan gadis berbaju biru muda itu
adalah Suci, yang hampir saja tewas di tangan Setan Kobra Betina. Gadis itu.
coba untuk mengingat-ingat, apa yang telah terjadi pa-da dirinya.
Dia bisa mengingat sedikit, tapi terus menghi-
lang dan tidak tahu lagi. Suci masih sadar saat dirinya jatuh pingsan begitu
tongkat si Setan Kobra Betina terarah ke kepalanya. Namun gadis itu tidak tahu,
apakah tongkat itu sempat menghantam kepalanya atau
tidak. Dan sama sekali tidak diketahuinya kalau Pendekar Pulau Neraka ini yang
menyambarnya, sebelum
ujung tongkat berbentuk seekor ular kobra itu menghantam kepalanya.
"Apa yang terjadi padaku...?" tanya Suci dengan suara lemah.
"Kau terluka dalam cukup parah, Suci," jelas Bayu. "Kau bertarung dengan
perempuan tua yang mengaku bernama Setan Kobra Betina."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Suci lagi.
"Aku berada di kedai itu, sehingga melihat semua kejadiannya," jawab Bayu sambil
tersenyum. Suci menghembuskan napas panjang. Dia kini
ingat. Jadi, pemuda berbaju kulit harimau inilah yang duduk tidak jauh dari
perempuan tua berjubah biru
yang dikenal bernama Setan Kobra Betina. Perempuan
tua itu pulalah yang telah memisahkannya dari kakak seperguruannya. Kembali Suci
memandang pemuda
tampan yang tetap duduk bersila di sampingnya.
Dan Suci tidak bertanya, dari mana pemuda
yang tidak pernah dikenal sebelumnya ini mengetahui tentang dirinya. Yang jelas,
pasti pemuda berbaju kulit harimau ini bisa mendengar kalau Intan menyebut
namanya. "Apakah kau juga yang menolong Kak Intan?"
tanya Suci begitu teringat kalau Intan juga menghilang begitu saja.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya.
"Lalu, siapa yang membawa Kak Intan?"
"Aku tidak tahu. Mungkin guru kalian, atau ju-ga kakak-kakak seperguruanmu,"
sahut Bayu lagi.
"Kau tahu tentang kami...?" Suci tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya lagi.
Bayu hanya tersenyum saja.
"Sebaiknya kau tidur saja, Suci. Tubuhmu per-
lu istirahat sepanjang malam ini," saran Bayu.
"Aku tidak bisa tidur," Suci menolak.
"Kenapa?"
"Aku harus tahu, apakah Kak Intan selamat
atau tidak."
"Tidak mungkin mengetahui malam ini juga,
Suci. Sudah terlalu larut, dan keadaanmu juga tidak memungkinkan untuk
berjalan."
Suci mencoba menggerakkan tubuhnya. Tapi
baru sedikit saja bergerak, seluruh rongga dadanya sudah terasa nyeri dan
nafasnya menjadi sesak. Gadis itu mencoba mengatur nafasnya, kemudian memandang
Bayu yang hanya tersenyum saja memperhati-
kan. "Kenapa kau tersenyum...?" tegur Suci merasa
tidak suka dipandangi seperti orang tidak punya daya sama sekali.
"Kau terlalu keras, Suci. Sebaiknya sadarilah keadaan dirimu," sahut Bayu kalem.
"Kau pasti senang melihatku begini," dengus Suci memberengut.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja.
Dalam hati Pendekar Pulau Neraka tersenyum geli melihat sikap gadis ini. Begitu
manja dan mudah sekali tersinggung. Juga sangat keras kepala, tidak bisa
menyadari keadaan dirinya yang tidak memungkinkan
melakukan sesuatu.
"Aku berterima kasih karena kau telah menye-
lamatkan nyawaku malam ini.. Tapi itu bukan berarti bisa seenaknya memerintah.
Akan kubayar semua hu-tang ini," tegas Suci lagi.
"Terserahlah," sambut Bayu tersenyum.
"Hutang ini akan kubayar."
Lagi-lagi Bayu hanya tersenyum saja. Kemu-
dian duduknya bergeser agak menjauh. Dan kini Pen-
dekar Pulau Neraka memejamkan matanya kembali.
Sebentar ditarik napas panjang-panjang, kemudian diatur dengan baik sekali. Bayu
memang melakukan
semadi, untuk memulihkan kondisi tubuhnya yang
terkuras karena menyembuhkan luka dalam yang di-
derita Suci tadi.
Sementara itu Suci hanya memandangi saja.
Beberapa kali napas panjang dihembuskan dengan ke-
pala menggeleng kecil. Entah kenapa, terasa sukar
baginya untuk memejamkan mata. Bahkan un-
tuk mengalihkan pandangan saja sulit sekali.
"Uh! Kenapa aku ini...?" dengus Suci dalam ha-ti.
*** 3 Suci mengayunkan kakinya perlahan-lahan di
samping Pendekar Pulau Neraka. Sejak pagi tadi, mereka berjalan. Namun sampai
saat ini, belum ada seorang pun yang membuka suara. Beberapa kali gadis
itu menghembuskan napas panjang seraya melirik pe-
muda berbaju kulit harimau di sampingnya. Entah apa yang ada di dalam
pikirannya. Sedangkan Bayu sendiri terus saja mengayunkan kakinya perlahan-
lahan. Mereka menembus hutan yang tidak begitu le-
bat di lereng Gunung Parang. Suci tahu, kalau sekarang ini arah yang dituju
adalah Desa Malanapa.
"Seharusnya kau tidak perlu mengikutiku terus Kakang," kata Suci yang sudah
membiasakan dengan memanggil kakang pada Pendekar Pulau Neraka.
"Tujuanku memang ke sana. Dan kau sendiri
hendak ke desa itu juga. Jadi, tidak ada salahnya jika kita berjalan sama-sama,"
sahut Bayu kalem.
"Kau ada urusan di sana, Kakang?" tanya Suci ingin tahu.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum
saja menjawab pertanyaan gadis itu.
"Kau sendiri...?" Bayu malah balik bertanya.
"Hanya sekadar lewat saja," sahut Suci, seenaknya.
"Bukan karena perintah gurumu?" Suci tersentak kaget mendengar pertanyaan
Pendekar Pulau Ne-
raka itu. Bahkan sampai berhenti melangkah, lalu menatap Bayu dalam-dalam. Entah
dari mana datangnya, di hati gadis ini mulai terselip rasa curiga. Pemuda
berbaju kulit harimau ini baru dikenalnya tidak begitu lama, tapi mengapa sudah
bisa menebak maksudnya"
Dan dia tidak tahu, siapa sebenarnya Bayu. Tapi kata-
kata dan pertanyaan yang selalu di lontarkannya, me-nandakan kalau dia sudah
mengenal banyak tentang
diri Suci. Dan ini membuat gadis itu jadi curiga.
"Siapa kau sebenarnya, Kakang?" tanya Suci, agak dalam nada suaranya.
"Namaku Bayu, dan hanya seorang pengembara
biasa saja. Dan...."
"Cukup...!" sentak Suci agak keras. Bayu mengangkat alisnya sedikit.
Dipandanginya gadis ini dalam-dalam. Pada saat yang sama, Suci juga tengah
memandang tajam padanya. Untuk beberapa saat la-
manya mereka hanya diam saling melemparkan pan-
dangan yang penuh arti. Entah kenapa, Suci merasa-
kan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Rasanya tidak sanggup lagi menatap bola mata pemu-
da itu.. Namun hatinya terus dikuatkan dan terus menatap tajam.
"Aku tidak percaya jika kau hanya kebetulan
saja menolongku," tegas Suci. Jelas sekali kalau nada suara gadis itu mengandung
kecurigaan. "Kenapa kau berkata seperti itu, Suci?" kata lembut suara Bayu.
"Kau sepertinya mengetahui banyak tentang di-
ri ku. Bahkan sepertinya juga tahu tentang Eyang Purata." "Mungkin kau tidak
percaya. Tapi aku memang benar-benar tidak tahu tentang dirimu. Apalagi orang
yang kau sebutkan tadi, Suci."
"Tapi, kenapa kau bertanya seperti itu?" desak Suci tetap curiga.
"Hanya menebak saja. Dan yang pasti, kau
memiliki seorang guru, yang memberi tugas kepada-
mu." sahut Bayu, tetap kalem suaranya.
"Aku tidak percaya dengan jawabanmu, Ka-
kang, dengus Suci.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Pende-
kar Pulau Neraka kembali mengayunkan kakinya. Se-
bentar Suci masih diam memandangi pemuda berbaju
kulit harimau itu. Setelah Bayu berjalan sejauh dua batang tombak, gadis itu
baru melangkah menyusul.
Ayunan kakinya lebar-lebar dan cepat, sehingga sebentar saja sudah berada di
samping Pendekar Pulau Neraka lagi.
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wus! "Awas...!" seru Bayu tiba-tiba.
Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka mendo-
rong tubuh Suci, hingga terpental ke samping dan jatuh bergulingan di tanah.
Sedangkan Bayu sendiri
langsung melentingkan tubuh ke udara. Dan seketika tangan kirinya bergerak cepat
mengibas ke bawah, tepat di saat sebatang ranting kering meluncur cepat bagai
anak panah yang dilepaskan dari busur. Tap!
Manis sekali Pendekar Pulau Neraka menang-
kap sebatang ranting kering sepanjang tiga jengkal yang meluncur deras ke
arahnya. Kemudian setelah
memutar tubuhnya sekali di udara, kakinya mendarat ringan di tanah, tanpa
menimbulkan suara sedikit
pun. Pada saat yang sama, Suci sudah bisa berdiri
kembali. "Apa yang kau lakukan, Kakang..."!" sentak Suci, tidak menerima perlakuan Bayu
tadi. "Ada yang menyambut kita, Suci," sahut Bayu tanpa berpaling sedikit pun juga.
Pendekar Pulau Neraka segera menyodorkan
ranting kering yang berhasil ditangkapnya tadi. Sebentar Suci memandangi,
kemudian mengambil batang
ranting kering sepanjang. tiga jengkal itu. Langsung gadis itu memandang
Pendekar Pulau Neraka yang
tengah memusatkan pandangan dan pendengarannya
ke sekeliling tempat ini,
Perlahan Suci mendekati pemuda berbaju kulit
harimau itu, lalu berdiri di sampingnya. Gadis itu juga ikut mengedarkan
pandangannya berkeliling. Namun,
sebentar kemudian malah menatap dalam-dalam wa-
jah tampan di sampingnya. Ada sedikit getaran menye-linap di hati gadis itu,
saat ini Suci merasakan kalau di dalam hatinya tengah terjadi pertentangan
hebat. Dan dia sendiri tidak tahu, pertentangan apa yang terjadi dalam dirinya.
"Tampaknya ada yang tidak menyukai kedatan-
gan kita kembali ke Desa Malanapa, Suci. Entah untuk mencegahmu, atau mencegah
ku ke sana," jelas Bayu pelan, setengah bergumam suaranya.
Suci tidak menyahuti. Dia diam saja dan kem-
bali mengedarkan pandangannya berkeliling. Saat itu juga benaknya langsung
berputar. Kedatangannya ke
wilayah Gunung Parang ini memang karena tugas gu-
runya, Eyang Purata. Tapi dia tidak begitu jelas maksud gurunya yang sebenarnya.
Walaupun sebagian su-
dah diketahui meski tidak jelas.
"Ayo, kita jalan lagi," ajak Bayu.
"He he he..., tidak perlu bersusah payah ke Malanapa, Pendekar Pulau Neraka...!"
"Heh..."!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara keras
menggema. Bukan hanya Bayu yang terkejut. Suci pun ikut
tersentak kaget mendengarnya. Pandangan mereka be-
redar ke sekeliling, dan tidak jadi melanjutkan perjalanan. Namun tidak ada
seorang pun di tempat ini, kecuali mereka berdua. Sedangkan suara itu demikian
jelas terdengar, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Sementara itu Suci sudah menggeser pedang-
nya yang tergantung di pinggang. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya bergumam
pelan. Dan sebelum
mulutnya terbuka, mendadak saja sebuah bayangan
hitam berkelebat di depannya. Dan tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri
seorang laki-laki tua berjubah hitam. Sebatang tongkat hitam tak beraturan
bentuknya, tergenggam di tangan kanan. Sebentar Bayu
memandangi orang tua berjubah hitam itu, kemudian
melirik Suci yang berdiri di samping kanannya.
Kembali ditatapnya orang tua berjubah hitam
yang berdiri di depan. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, seakan-akan tengah
menyelidik dan mengukur kepandaian orang tua itu. Pada saat yang sama, orang tua
berjubah hitam itu juga memandang Pendekar Pulau Neraka. Seakan-akan, dia juga
sedang mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda berba-ju kulit harimau
itu. "Kau memang cukup tangguh, Pendekar Pulau
Neraka. Tapi sebaiknya cepat tinggalkan wilayah Gunung Parang ini," dingin
sekali nada suara laki-laki tua berjubah hitam itu.
"Hm.... Siapa kau, Orang Tua" Bagaimana kau
tahu tentang diriku?" tanya Bayu kalem, meskipun sempat terkejut karena orang
tua berjubah hitam itu mengetahui julukannya.
*** Satu julukan yang bisa membuat orang gemeta-
ran bila mendengarnya. Terlebih lagi, sikap, dan sepak terjang Pendekar Pulau
Neraka memang sukar digo-longkan. Pendekar itu bisa bertindak lebih kejam dari-
pada seorang tokoh hitam. Tapi, dia juga bisa lembut dan berhati emas bagai
seorang pendekar sejati.
Meskipun Bayu jarang sekali memberi ampun pada se-
tiap lawannya, tapi semua yang dilakukannya berda-
sarkan alasan yang tepat. Pendekar Pulau Neraka tidak akan menewaskan lawannya,
kalau tidak terpaksa sekali. "He he he...," orang tua berjubah hitam itu hanya
terkekeh saja menjawab pertanyaan Pendekar
Pulau Neraka. "Kau kenal dia, Suci?" tanya Bayu pada Suci yang sudah berada di sampingnya
lagi. "Tidak," sahut Suci sambil tetap memandangi laki-laki tua di depannya.
"Hm...," lagi-lagi Bayu bergumam pelan.
Kembali dipandanginya laki-laki tua ini. Tapi,
laki-laki tua itu sudah menyerangnya. Dan Bayu yakin kalau serangan itu bukan
hanya sekadar main-main.
Yang jelas, pasti mempunyai alasan kuat. Terlebih lagi tadi sudah meminta
Pendekar Pulau Neraka untuk segera meninggalkan Gunung Parang ini.
"Kenapa kau meminta ku meninggalkan tempat
ini, Orang Tua?" tanya Bayu lagi. Dari nada suaranya yang tenang, Pendekar Pulau
Neraka masih mencoba
menekan kesabarannya.
"Karena kau tidak ada urusan di sini, Pendekar Pulau Neraka," sahut orang tua
itu tegas. "Barangkali penyerangan mu tadi sudah mem-
beri satu persoalan padaku," tandas Bayu.
"Kau memang keras kepala sekali, Pendekar
Pulau Neraka. Mungkin memang harus digunakan ca-
ra lain untuk memaksamu keluar wilayah ini," semakin dingin nada suara orang tua
ini. "Cara apa yang akan kau gunakan...?"
Laki-laki tua berjubah hitam itu tidak menja-
wab. Pertanyaan Bayu barusan, sudah jelas maksud-
nya. Tantangan. Laki-laki tua itu menghentakkan
tongkatnya sedikit ke tanah. Meskipun kelihatannya hanya sedikit saja ujung
tongkatnya dipukulkan ke tanah, namun Bayu dan Suci merasakan kalau tanah
yang] dipijak agak bergetar.
"Hm...," lagi-lagi Bayu menggumam pelan.
Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa ber-
pikir panjang, laki-laki tua itu sudah memutar tongkatnya di depan dada.
Putarannya demikian cepat, sehingga yang terlihat hanya lingkaran hitam
kecoklatan. Bahkan juga menimbulkan suara angin yang menderu-
deru bagai hendak terjadi badai saja.
Wut! Mendadak saja laki-laki tua berjubah hitam itu
mengebutkan tongkatnya ke depan. Seketika itu juga berhembus angin kencang,
disertai memancarnya seberkas sinar kilat yang mengarah ke tubuh Pendekar Pulau
Neraka. "Uts...!"
Cepat sekali Bayu mendorong tubuh Suci, se-
hingga untuk kedua kalinya gadis itu terhuyung. Dan pada saat yang sama,
Pendekar Pulau Neraka melompat ke samping, Cahaya kilat yang keluar dari ujung
tongkat berbentuk tak beraturan itu lewat sedikit saja di samping tubuh Bayu.
Glarr! Ledakan keras terdengar saat ujung kilat itu
menghantam pohon yang tadi tepat di belakang Pendekar Pulau Neraka. Bayu sempat
sedikit menoleh, begi-tu kakinya mendarat lagi. Dalam hatinya, Pendekar
Pulau Neraka mengagumi kehebatan laki-laki tua berjubah hitam itu. Sungguh
dahsyat serangannya baru-
san. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau ujung tong-
kat itu mengenai dirinya.
"Itu baru permulaan, Pendekar Pulau Neraka,"
tegas laki-laki tua ini. "Dan sebaiknya jangan memaksa ku untuk memperingatkan
kedua kalinya."
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Orang
Tua?" tanya Bayu agak jengkel juga jadinya.
"He he he..." lagi-lagi orang tua berjubah hitam itu hanya terkekeh saja
menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka.
Orang tua itu masih tetap merentangkan tong-
katnya lurus ke depan, terarah langsung ke dada Pendekar Pulau Neraka. Sementara
tatapan matanya de-
mikian tajam, menusuk langsung ke bola mata pemu-
da berbaju kulit harimau di depannya. Untuk waktu
yang agak lama, mereka hanya berdiam diri sambil saling menatap tajam.
Sepertinya mereka sedang mengu-
kur kepandaian masing-masing.
*** "Sebenarnya aku tidak ingin bersikap keras
denganmu, Pendekar Pulau Neraka. Tapi tampaknya
kau memaksaku untuk melakukan kekerasan," terdengar dingin sekali suara orang
tua berjubah hitam itu.
"Aneh...! Semua pembicaraanmu tidak bisa ku
mengerti," desis Bayu pelan.
"Memang seharusnya kau tidak perlu mengerti,
Pendekar Pulau Neraka. Jika tidak segera enyah dari sini, aku yang akan
membantumu pergi," semakin dingin suara orang tua itu.
Belum juga Bayu sempat membuka mulut,
mendadak saja orang tua itu memutar tongkatnya ce-
pat bagai kilat. Lalu kembali berteriak nyaring melengking dia melompat cepat
menerjang Pendekar Pu-
lau Neraka. "Hiyaaa...!"
"Heh..."!
Hup!" Bergegas Bayu melompat ke samping sambil
memiringkan tubuhnya. Maka sabetan tongkat orang
tua itu tidak berhasil mendapatkan sasaran. Namun
tanpa diduga sama sekali, tubuhnya bisa memutar selagi kakinya belum juga
menjejak tanah. Secepat itu pula tongkatnya dikibaskan ke arah Pendekar Pulau
Neraka. Bet! Kali ini Bayu tidak sempat lagi menghindar dari
kebutan tongkat hitam yang tak beraturan bentuknya itu. Dengan cepat tangannya
diangkat Lalu sambil
mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf sempurna, Pendekar Pulau
Neraka membenturkan
pergelangan tangan kanannya dengan tongkat hitam
orang tua itu. Trang!
Bunga api memercik begitu Cakra Maut yang
menempel di pergelangan tangan Bayu membentur
tongkat hitam orang tua itu. Tampak masing-masing
terpental ke belakang sejauh lima langkah. Orang tua berjubah hitam itu
kelihatan terkejut saat seluruh jari-jari tangannya terasa menegang kaku.
Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga dalam Pendekar Pulau Neraka mampu
mengimbangi kekuatan tenaga da-
lamnya. Sedangkan Bayu sendiri sempat meringis. Dia juga terkejut begitu
merasakan kekuatan tenaga dalam orang tua berjubah hitam itu demikian dahsyat.
Tulang pergelangan tangannya seperti remuk. Sebentar
senjata andalannya yang selalu melekat kuat di pergelangan tangan kanan
diperiksa. Sepertinya tak ada sa-tu goresan sedikit pun pada Cakra Maut
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat orang tua berjubah hitam itu
kembali melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
serangannya begitu dahsyat, sehingga ayunan tong-
katnya saja sukar diikuti pandangan mata biasa. Namun Bayu yang sudah siap sejak
tadi, manis sekali
menghindari serangan yang dilancarkan orang tua ini.
Bagai seekor burung sri gunting, Pendekar Pu-
lau Neraka berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindari serangan
yang dilancarkan
orang tua berjubah hitam itu. Beberapa kali tebasan ataupun tusukan tongkat
hitam itu terpaksa harus di-tangkis. Beberapa kali pula terdengar ledakan keras,
percikan bunga api setiap kali tongkat hitam berbenturan dengan Cakra Maut yang
berada di pergelangan
Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan terus berjalan sengit. Jurus demi
jurus berlalu, saling berganti dengan cepat. Tanpa terasa mereka sama-sama sudah
menghabiskan lebih
dua puluh jurus. Namun pertarungan belum juga be-
rakhir. Bahkan belum ada tanda-tanda yang terdesak.
Sementara Suci yang menyaksikan pertarungan ting-
kat tinggi itu seketika kepalanya terasa pening dan matanya berkunang-kunang,
karena mengikuti setiap
gerakan yang dilakukan dua orang yang bertarung itu.
"Oh..."!"
Tiba-tiba Suci menutup mulutnya ketika meli-
hat orang tua berjubah hitam itu menyodokkan tong-
kat ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Itu terjadi tepat saat pemuda berbaju
kulit harimau itu baru menangkis satu tendangan menggeledek yang dilepaskan
orang tua itu. Bet! Cepat sekali Bayu mengebutkan tangan kanan-
nya ke depan dada untuk menyampok sodokan tong-
kat hitam yang tak beraturan bentuknya itu. Satu benturan keras bertenaga dalam
tinggi pun tak terelakkan.
Ledakan keras seketika terdengar menggelegar bagai guntur membelah angkasa.
Bunga api memercik menyebar ke segala arah.
Tampak orang tua berjubah hitam itu terpental
balik ke belakang sejauh dua batang tombak. Sedangkan Bayu melentingkan tubuhnya
ke udara, dan seke-
tika itu juga mengibaskan tangan kanan ke depan
sambil memutar tubuh di udara.
Wus! Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan
yang selalu menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika
melesat cepat ke arah orang tua berjubah hitam. Begitu cepatnya melesat, hingga
membuat orang tua itu terperangah sejenak. Namun
cepat sekali tongkatnya dikebutkan, menyampok sen-
jata maut Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Bet! "Heh..."!"
*** Bukan main terkejutnya orang tua berjubah hi-
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tam itu, ketika Cakra Maut yang meluncur deras itu tiba-tiba saja meliuk
menghindari tebasan tongkatnya.
Belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak Cakra
Maut bersegi enam itu sudah meluruk deras ke arah
kepala orang tua berjubah hitam itu.
"Ih...! Uts!"
Buru-buru kepalanya di egoskan ke samping.
Dan begitu Cakra Maut lewat ke samping kanan. Langsung tubuhnya diputar dan
tongkatnya dikibaskan,
menghajar Cakra Maut yang saat itu sudah kembali
berputar berbalik hendak menyerang kembali.
Bet! Tring! "Ikh...!"
Orang tua berjubah hitam itu terkejut setengah
mati ketika tongkatnya berbenturan dengan senjata
cakra perak yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka.
Cepat dia melompat mundur, lalu tubuhnya memutar
menghadap kembali pada Pendekar Pulau Neraka. Pa-
da saat yang sama, Bayu menghentakkan tangan ka-
nan ke atas kepalanya. Maka Cakra Maut membalik,
langsung menempel di pergelangan tangan kanannya.
Tap! "Cakra Maut...," desis laki-laki tua itu seakan-akan tidak percaya dengan apa
yang baru saja terjadi.
Hampir saja orang tua berjubah hitam itu tewas
oleh senjata Pendekar Pulau Neraka yang begitu dahsyat dan tak ada bandingnya
saat ini. Sama sekali pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka tidak
diperhatikannya. Sedangkan matanya memandang
Bayu seperti melihat hantu saja. Sedangkan yang dipandang hanya berdiri tegak,
membalas dengan tata-
pan tajam menusuk.
"Ada hubungan apa kau dengan Gardika si Ca-
kra Maut?" tanya orang tua berjubah hitam itu.
"Dari mana kau tahu tentang Eyang Gardika"
Bayu malah batik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka terkejut juga menden-
gar pertanyaan orang tua berjubah hitam ini. Pandan-
gan matanya semakin tajam dan penuh kecurigaan.
Dia teringat gurunya, si Cakra Maut. Dalam sisa-sisa hidupnya, Eyang Gardika
harus sengsara dengan kedua kaki buntung dan buta. Semua itu akibat ulah
musuh-musuhnya. Dan Bayu harus mencari mereka
yang telah membuntungi dan membutakan gurunya
itu. Sedangkan di depannya kini berdiri seorang la-
ki-laki tua yang mengenal gurunya. Tentu saja setelah Pendekar Pulau Neraka
menggunakan senjata andalan
yang diperoleh dari gurunya. Bayu mencoba mengin-
gat-ingat nama-nama yang telah diberikan gurunya.
Nama-nama orang yang telah membuat si Cakra Maut
cacat seumur hidup.
"Hm...," terdengar gumaman kecil dari bibir Pendekar Pulau Neraka.
Ingatan Pendekar Pulau Neraka langsung teri-
kat pada kata-kata gurunya, tentang nama-nama to-
koh yang harus dihadapinya. Salah satu ciri-ciri orang yang disebutkan Eyang
Gardika kini ada di depannya.
Memang, sebelumnya Bayu tidak mengenal orang itu.
Namun begitu Orang berjubah hitam itu menyebut
nama Eyang Gardika, maka ingatannya langsung tera-
rah ke situ. *** 4 "Dari mana senjata itu kau dapatkan, Pendekar Pulau Neraka?" tanya orang tua
berjubah hitam dingin.
"Ini senjataku. Kapan dan dari mana ku peroleh bukan urusanmu, Iblis Tongkat
Hitam," sahut Bayu ti-
dak kalah dinginnya.
"Heh...."! Kau tahu julukanku...?" orang tua berjubah hitam itu terkejut
mendengar julukannya
disebut Pendekar Pulau Neraka. Padahal sama sekali namanya tidak pernah
disebutkan tadi.
Bayu hanya tersenyum sinis saja. Sedangkan
kakinya bergeser sedikit ke kanan dan kedua tangannya terlipat di depan dada.
Sementara, sorot matanya tetap tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua
berjubah hitam yang dikenali berjuluk Iblis Tongkat Hitam. Bayu bisa
mengenalinya, setelah mengin-
gat-ingat nama-nama yang diberikan gurunya. Juga,
ciri-ciri serta jurus-jurus yang dimilikinya.
Dan semua itu ada pada diri laki-laki tua ber-
jubah hitam ini, sehingga Bayu tidak ragu-ragu lagi.
Laki-laki tua ini adalah salah seorang tokoh persilatan yang mengeroyok si Cakra
Maut sampai kedua kakinya buntung dan sepasang matanya buta.
"Asal tahu saja, Iblis Tongkat Hitam. Pemilik pertama senjata ini, meminta ku
untuk membalaskan
perlakuan orang-orang yang telah membuat sengsara
selama hidupnya," tandas Bayu lagi, dengan suara yang tetap dingin.
"Hm.... Siapa sebenarnya kau, Pendekar Pulau
Neraka?" tanya Iblis Tongkat Hitam mendesis.
"Aku hanya anak kemarin sore yang mencari
manusia-manusia bejat sepertimu," sahut Bayu, semakin dingin nada suaranya.
"Bersiaplah untuk mati, Iblis Tongkat Hitam...."
Setelah berkata demikian, Bayu langsung berte-
riak keras menggelegar. Sebentar tangannya bergerak-gerak di depan dada,
kemudian cepat sekali tubuhnya melompat menerjang laki-laki tua berjubah hitam
itu. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar
Pulau Neraka, sehingga membuat si Iblis Tongkat Hitam jadi terperangah sejenak.
"Uts...!?"
Buru-buru Iblis Tongkat Hitam mengegoskan
tubuhnya, menghindari satu pukulan menggeledek
mengandung tenaga dalam tinggi yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka- Tapi sebelum tubuhnya sem-
pat ditarik kembali, Bayu sudah memberi lagi satu serangan cepat dan dahsyat
Terpaksa si Iblis Tongkat Hitam melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari
serangan yang begitu cepat dan dahsyat
"Hiyaaa...!"
Melihat lawannya meleset ke udara, maka Bayu
cepat menggenjot tubuhnya hingga melesat bagai kilat ke udara menyusul laki-laki
tua berjubah hitam itu.
Saat itu juga dilontarkannya beberapa pukulan beruntun yang disertai pengerahan
tenaga dalam yang su-
dah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Uts! Hup...!"
Beberapa kali Bayu melepaskan pukulan keras
menggeledek, tapi si Iblis Tongkat Hitam masih mampu menghindarinya.
Kelihatannya, laki-laki tua itu begitu kewalahan, bahkan hampir-hampir pukulan
terakhir yang dilepaskan Bayu mengenai dadanya. Untung
tongkatnya cepat dikibaskan untuk melindungi da-
danya dari pukulan Pendekar Pulau Neraka.
Trak! Bayu sengaja tidak menarik pulang pukulan-
nya, sehingga menghantam tongkat hitam yang menyi-
lang di depan dada. Seketika satu ledakan keras pecah menggelegar. Bersamaan
dengan itu, tampak kedua
orang yang bertarung di udara itu terpental ke belakang. Mereka sama-sama
berputaran di udara, kemu-
dian meluruk turun. Hampir bersamaan kaki mereka
menjejak tanah, dan sama-sama langsung terhuyung.
"Hup!" Bayu cepat menggerak-gerakkan tangannya, sambil mengatur pernafasannya.
Sedangkan si Iblis Tongkat Hitam cepat memu-
tar tongkatnya, kemudian keras sekali menghentakkan ujungnya ke tanah. Untuk
beberapa saat mereka terdiam berdiri tegak, dengan mata saling menyorot tajam.
"Kau menggunakan jurus-jurus milik si Cakra Maut. Apakah kau muridnya, Pendekar
Pulau Neraka?"
si Iblis Tongkat Hitam ingin tahu, setelah mengetahui jurus-jurus yang
dikeluarkan Pendekar Pulau Neraka.
"Benar! Dan aku akan membalas perlakuanmu
pada guruku," sahut Bayu dingin menggetarkan.
"Ha ha ha.!" tiba-tiba saja si Iblis Tongkat Hitam tertawa terbahak-bahak.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil saja.
Tatapan mata Pendekar Pulau Neraka tidak
berkedip sedikit pun, dan tajam sekali. Sementara si Iblis Tongkat Hitam terus
tertawa terbahak-bahak dengan suara keras sekali. Akibatnya, membuat telinga
orang yang berada di sekitarnya terasa sakit, seperti akan pecah.
"Si Cakra Maut sendiri tidak sanggup menan-
dingi ku, Bocah. Aku khawatir kau akan bernasib sa-ma dengannya," ejek si Iblis
Tongkat Hitam. "Kau bisa mengalahkannya karena main ke-
royok, Iblis Tongkat Hitam," desis Bayu.
"Phuih! Tanpa mereka pun, aku mampu mengi-
rimnya ke neraka, Bocah!"
"Dan sekarang kau yang akan kukirim ke nera-
ka, iblis!"
"Setan...! Kau murid si Cakra Maut, maka tidak
pantas rasanya hidup lebih lama lagi.!
Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, si Iblis Tongkat Hitam melompat
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tongkat hitam
yang tidak beraturan bentuknya itu berkelebat cepat mengurung ruang gerak pemuda
berbaju kulit harimau. Namun Bayu yang sudah siap dan sudah menge-
tahui laki-laki tua ini sebenarnya, tidak lagi bertindak tanggung-tanggung.
Segera dikerahkannya jurus-jurus yang dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam
yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Setan alas...!" desis si Iblis Tongkat Hitam geram. Betapa tidak..." Sungguh
sama sekali tidak disangka kalau jurus-jurus si Cakra Maut yang dimain-
kan Pendekar Pulau Neraka lebih dahsyat dari pemi-
liknya sendiri. Bahkan beberapa kali laki-laki tua itu terpaksa harus
berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan balasan yang dilancarkan
Bayu. *** "Hiyaaa....!"
Tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring melengk-
ing tinggi. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya me-
lenting sambil mengebutkan tangan kanannya. Bagai-
kan kilat. Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka melesat cepat
"Ufs!"
Cepat sekali si Iblis Tongkat Hitam meliukkan
tubuhnya, menghindari terjangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Tapi belum
juga posisi tubuhnya bi-sa dikembalikan, mendadak saja Bayu sudah meluruk
deras ke arahnya sambil melontarkan dua terjangan
menggeledek secara beruntun.
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya si Iblis Tongkat Hitam,
mendapatkan serangan yang demikian cepat beruntun.
Bergegas laki-laki tua itu melompat ke belakang. Namun satu tendangan yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka tidak bisa dihindari lagi.
Begkh...! "Akh...!" Iblis Tongkat Hitam memekik keras.
Tendangan Pendekar Pulau Neraka tepat
menghantam dada Iblis Tongkat Hitam yang lowong,
Begitu kerasnya tendangan itu, sehingga membuat tubuhnya terpental ke belakang
sejauh tiga batang tombak
Bruk! Keras sekali Iblis Tongkat Hitam jatuh tersuruk
di tanah, namun cepat bangkit kembali, meskipun
sempoyongan. Dan sebelum keadaan tubuhnya sempat
dikuasai, Bayu sudah kembali melompat menyerang.
Du pukulan keras dilontarkan dengan cepat. Hal ini membuat si Iblis Tongkat
Hitam terperangah beberapa saat. "Hup!"
Bergegas tubuhnya melenting ke udara, dan
berputaran beberapa kali. Manis sekali laki-laki tua itu mendarat di atas cabang
sebuah pohon yang cukup
tinggi. Sedangkan Bayu sudah berdiri tegak bertolak pinggang.
"Turun kau...!" bentak Bayu menggelegar suaranya. "Kuakui, kau memang lebih
hebat dari gurumu, Pendekar Pulau Neraka," puji si Iblis Tongkat Hitam agak
terengah suaranya.
"Terima kasih. Tapi aku tidak butuh pujian.
Pembalasan tetap berlangsung, Iblis Tongkat Hitam,"
sambut Bayu dingin.
"Sayang sekali, aku ada keperluan lain yang lebih penting. Maaf..."
"Hei...!"
Tapi Bayu tidak mungkin bisa mengejar orang
tua berjubah hitam yang sudah melesat cepat sekali.
Dalam sekejap saja, Iblis Tongkat Hitam itu sudah
menghilang dari pandangan mata. Dan Bayu hanya
menggerutu. Satu orang yang harus ditemui kini le-
nyap lagi, sebelum sakit hati gurunya terbalaskan.
Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya
mendengar suara gemerisik ayunan langkah yang ha-
lus. Ternyata dia adalah Suci yang tengah menghampi-ri pemuda berbaju dari kulit
harimau itu. Gadis itu berhenti melangkah setelah tinggal tiga tindak lagi di
depan Pendekar Pulau Neraka.
"Kau sudah tahu siapa aku, Suci. Sebaiknya
kau pergi saja," kata Bayu sebelum Suci sempat membuka suara.
"Guruku sering menceritakan tentang dirimu,
kang. Maaf, kalau sikapku selama ini tidak menye-
nangkan hatimu," lembut sekali suara Suci, nadanya terdengar menyesal atas
sikapnya selama ini pada
Bayu. "Lupakan saja," desah Bayu seraya mengayunkan kakinya.
"Kakang, tunggu...!" seru Suci seraya bergegas mengejar.
Gadis itu mensejajarkan langkahnya di samp-
ing Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu sendiri
terus berjalan tanpa berpaling sedikit pun. Disadari kalau selama ini sepak
terjangnya sudah menjadi buah bibir tokoh-tokoh rimba persilatan. Jadi, tidak
heran jika guru gadis ini sudah mendengar dan mengetahui
namanya. Dan memang hal itu yang tidak diinginkan
Bayu. Mulai disadari kalau di sekitar Gunung Parang ini terdapat musuh-musuh
gurunya. Sedangkan dirinya sendiri masih memiliki kewajiban darma bakti pada
gurunya, meskipun terkadang sangat bertentan-gan dengan hati nuraninya sendiri.
Tapi demi semua itu, Bayu harus menjalankan amanat terakhir yang di-embannya.
Sakit hati Eyang Gardika harus diba-
laskan, pada orang-orang yang telah membuatnya ca-
cat. Dan Pendekar Pulau Neraka tidak ingin ada orang lain yang terlibat dalam
urusan pribadinya.
"Kenapa kau terus mengikuti ku, Suci?" tanya Bayu seraya menoleh sedikit pada
gadis yang berjalan di sampingnya.
Pendekar Pulau Neraka 21 Cakar Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ingin minta bantuanmu," sahut Suci langsung. "Bantuan apa?" tanya Bayu.
"Mencari Kak Intan."
Bayu menghentikan ayunan langkahnya. Dita-
tapnya gadis itu dalam-dalam.
"Kenapa kau berubah begitu cepat, Suci?"
tanya Bayu ingin tahu.
Suci tidak menjawab, tapi malah tersenyum.
Gadis itu kembali mengayunkan kakinya setelah ber-
henti sebentar. Dan Bayu hanya memandangi gadis itu beberapa saat, kemudian
melangkah lagi. Ayunan kaki nya disejajarkan di samping gadis ini.
Mereka terus berjalan menuju Desa Malanapa.
Tak ada lagi yang berbicara. Masing-masing sibuk berbicara dalam hatinya
sendiri-sendiri. Beberapa kali Suci mencuri pandang pada pemuda tampan berbaju
harimau di sampingnya. Di dalam hatinya, Suci tak bi-sa lagi membantah kalau
hatinya tertarik setelah men-
getahui pemuda ini sebenarnya. Dia sudah sering
mendengar tentang Pendekar Pulau Neraka. Dan seka-
rang, pendekar yang selalu menjadi buah bibir berjalan di sampingnya. Ada
sedikit kebanggaan terselip di hatinya, karena bisa berjalan bersama seorang
pendekar digdaya yang disegani lawan maupun kawan.
*** Memang tidak mudah mencari seseorang yang
tidak diketahui di mana adanya. Sudah tiga hari Bayu dan Suci menjelajahi Desa
Malanapa dan sekitar Gunung Parang, tapi tidak juga bisa menemukan Intan.
Kakak seperguruan Suci ini lenyap entah ke
mana, setelah bertarung dengan seorang perempuan
tua yang mengaku berjuluk Setan Kobra Betina.
Sedangkan perempuan tua itu sendiri seperti
menghilang ditelan bumi saja. Tidak ada lagi kabar be-ritanya di sekitar Gunung
Parang ini. Bukan hanya di Desa Malanapa. Bahkan desa-desa lain yang berada di
sekitar Gunung Parang, sudah dimasuki Bayu dan Su-ci Tapi, mereka tetap belum
menemukan jejak Intan
saat ini. "Ke mana lagi harus mencari kakak sepergu-
ruan mu, Suci?" tanya Bayu, saat mereka baru saja meninggalkan sebuah desa yang
berada di sebelah Se-latan kaki Gunung Parang.
"Hhh...!" Suci hanya menghembuskan nafasnya saja, seraya mengangkat bahu tinggi-
tinggi. Gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana lagi harus
mencari Intan. Tiga hari bukanlah waktu yang sedikit Dan mereka sudah
menjelajahi daerah yang luas,
meskipun belum sampai keluar dari wilayah Gunung
Parang. "Tidak ada lagi perkampungan di sekitar Gu-
nung Parang ini, Suci. Dan itu tadi desa terakhir. Tapi di sana juga tidak ada
tanda-tandanya," sambung Bayu seraya melemparkan sebuah kerikil ke dalam
sungai yang mengalir di depannya.
"Kita belum mencari ke puncak gunung, Ka-
kang," tegas Suci mengingatkan."
"Tidak ada apa-apa di sana, Suci," sahut Bayu.
"Tapi kudengar, orang-orang persilatan saat ini tengah menuju ke sana.
Barangkali saja di sana kita bisa bertemu Kak Intan. Atau paling tidak, bisa
menemukan petunjuk," Suci beralasan.
Bayu menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat. Bukan hanya Suci saja
yang tahu. Pendekar Pulau Neraka pun tahu kalau
orang-orang persilatan kini tengah menuju Puncak
Gunung Parang. Dan Bayu pun tahu, untuk apa to-
koh-tokoh persilatan itu menuju ke sana. Sedangkan dirinya sendiri sebenarnya
memang ingin ke sana, tapi yang pasti dengan tujuan yang berbeda dari mereka
semua. "Atau sebaiknya kita kembali lagi ke Desa Malanapa, Kakang," usul Suci
lagi. "Untuk apa?" tanya Bayu.
"Aku ada titipan yang harus disampaikan pada
kepala desa," jawab Suci.
"Kenapa tidak dari kemarin kau berikan?"
"Aku baru ingat sekarang."
Sambil menghembuskan napas panjang, Pen-
dekar Pulau Neraka bangkit berdiri. Saat itu Suci sudah berdiri lebih dahulu.
Tanpa mengeluarkan satu kata pun mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Hanya saja mereka berjalan tidak terburu-buru.
"Pesan apa yang ingin kau sampaikan, Suci?"
tanya Bayu. "Eyang Purata hanya menitipkan bingkisan sa-
ja. Aku tidak tahu, apa isinya," sahut Suci. "Penting?"
"Kelihatannya begitu. Soalnya Eyang Purata
minta agar aku hati-hati menjaganya. Dan lagi, hanya Ki Gandul saja yang boleh
menerimanya."
"Kalau memang penting, seharusnya jangan di-
lalaikan, Suci. Kita bisa mencari kakakmu, setelah pe-san gurumu disampaikan,"
nada suara Bayu terdengar seperti menyesali Suci yang telah melalaikan tugas
utama gurunya. "Aku lupa, Kakang. Aku begitu khawatir pada
Kak Intan," Suci mencoba membela diri.
"Aku bisa mengerti, Suci, Sebaiknya untuk saat ini, kau lupakan dulu masalah
kakakmu. Nanti setelah titipan gurumu kau berikan pada Ki Gandul, baru seluruh
perhatianmu bisa dipusatkan pada kakakmu."
"Baiklah," sahut Suci mendesah.
Bayu tidak berkata-kata lagi. Mereka terus ber-
jalan dengan bibir terkatup rapat Kedua orang itu sengaja memilih jalan yang
biasa dilalui orang. Padahal bisa saja mereka merambah hutan, memotong jalan
agar lebih cepat sampai. Tapi entah kenapa, baik Bayu maupun Suci malah memilih
jalan biasa, yang meng-hubungkan desa yang satu dengan desa lainnya.
*** 5 Bayu duduk bersila di samping Suci. Di depan
mereka bersila seorang laki-laki bertubuh gemuk berusia sekitar lima puluh
tahun. Pakaiannya putih bersih,
dan terlihat perlente sekali. Rambutnya berkilat, terta-ta rapi. Sebaris kumis
tipis menghiasi bibirnya. Laki-laki setengah baya inilah yang mengepalai Desa
Malanapa. Dan biasanya, dipanggil dengan nama Gandul.
"Jadi, kau yang bernama Suci...,?" tanya Ki Gandul seraya menatap Suci, seakan-
akan ingin me-mastikan kalau gadis di depannya ini memang berna-
ma Suci. "Benar," sahut Suci.
"Dan kau, Anak Muda?" Ki Gandul beralih menatap Pendekar Pulau Neraka.
"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan namanya.
"Kau juga dari Padepokan Sokalima?"
"Bukan, aku hanya seorang pengembara," jelas Bayu. Ki Gandul mengangguk-
anggukkan kepalanya.
Kembali ditatapnya Suci yang selalu diam, dan baru bicara kalau ditanya. Suasana
di ruangan depan rumah kepala desa ini pun menjadi sunyi. Pandangan Ki Gandul
kembali beralih pada gulungan daun lontar
dan kotak kayu kecil yang berada di tangannya. Ba-
rang-barang itu titipan dari Eyang Purata.
"Eyang Purata mengatakan kalau kau akan da-
tang bersama Intan. Bagaimana kau bisa berpisah
dengan kakak seperguruanmu, Suci?" Ki Gandul meminta penjelasan.
Tanpa diminta dua kali, Suci menceritakan se-
mua kejadian yang dialami. Dari peristiwa di kedai Ki Karta sampai Intan lenyap
disambar sebuah bayangan yang tidak ketahui siapa orangnya. Sedangkan dirinya
sendiri sampai saat ini masih bisa bernapas. Itu pun karena ditolong Pendekar
Pulau Neraka, yang kini duduk di samping kanannya.
Ki Gandul mendengarkan penuh perhatian se-
mua kisah yang dituturkan Suci. Sesekali dia bergumam dengan kepala terangguk-
angguk. Laki-laki se-
tengah baya itu masih terdiam, meskipun Suci sudah menyelesaikan ceritanya.
"Tidak kuduga kalau hal ini sudah menyebar
begitu luas, sehingga orang-orang persilatan datang ke Gunung Parang," ujar Ki
Gandul setengah bergumam, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.
Sebentar laki-laki setengah baya itu menarik
napas panjang, dan dihembuskannya perlahan-lahan.
Pandangannya beralih dari Suci ke Pendekar Pulau Neraka secara bergantian.
Beberapa kali napas panjang di hembuskan, dan terasa berat sekali. Sedangkan
baik Suci maupun Bayu hanya diam saja menunggu.
"Apa yang dikatakan Eyang Purata di dalam su-
ratnya, Ki?" tanya Suci ingin tahu.
Gadis itu jadi penasaran, dan ingin tahu isi su-
rat yang diberikan gurunya pada kepala desa ini. Terlebih lagi setelah melihat
sikap Ki Gandul yang sepertinya tengah menanggung beban berat, setelah mene-
rima surat dari Eyang Purata. Laki-laki setengah baya itu kembali menarik napas
dalam-dalam dan meng-hembuskannya kuat-kuat Sepertinya dia begitu berat
mengatakan isi surat ini pada Suci.
"Apa gurumu tidak mengatakannya, Suci?" Ki Gandul malah balik bertanya.
"Tidak," sahut Suci seraya menggelengkan kepalanya.
"Kau diperintahkan ke Puncak Gunung Parang,
Suci," jelas Ki Gandul, suaranya terdengar berat sekali.
"Ke Puncak Gunung Parang.." Untuk apa...?"
Suci bertanya seperti untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak bisa mengatakannya. Hanya, Eyang
Purata meminta agar aku menyertaimu ke sana," sahut
Ki Gandul "Tapi sayang, kakak seperguruanmu telah hilang." "Apakah ada
hubungannya dengan Kak Intan, Ki?" tanya Suci menduga-duga.
Ki Gandul tidak langsung menjawab, namun
kembali menarik napas dalam-dalam dan menghem-
buskannya kuat-kuat. Pandangannya kembali tertuju
pada Bayu yang sejak tadi hanya diam saja, sementara Suci sudah mulai banyak
bertanya. Pendekar Pulau
Neraka merasa kalau ini bukan urusannya. Makanya,
dia memilih diam mendengarkan daripada ikut cam-
pur. Memang dirinya sendiri tidak mengerti, apa yang dibicarakan kepala desa ini
dengan Suci. "Kau sudah menyelamatkan nyawa Suci. Jadi,
aku percaya kalau kau juga bisa melindunginya, Anak Muda," kata Ki Gandul pelan.
"Hanya kebetulan saja, Ki," sahut Bayu merendah. "Aku tahu siapa itu Setan Kobra
Betina. Kepandaiannya sangat tinggi, dan sukar dicari tandingannya. Kau bisa
menyelamatkan dirimu dari seran-
gannya, sekaligus menyelamatkan Suci. Itu berarti kepandaian mu tinggi, Anak
Muda. Jadi rasanya aku tidak ragu-ragu lagi member! kepercayaan padamu un-
tuk mendampingi Suci ke Puncak Gunung Parang,"
lembut dan cukup berwibawa nada suara Ki Gandul.
Bayu melirik gadis yang duduk di sampingnya.
Pada saat yang hampir bersamaan, gadis itu juga melirik Pendekar Pulau Neraka.
Sesaat dua pasang mata
beradu pada satu titik, kemudian sama-sama menga-
lihkan pandangannya pada Ki Gandul.
"Kapan kau akan berangkat, Sua?" tanya Ki Gandul.
Suci tidak segera menjawab. Kembali di liriknya
sedikit pemuda berbaju kulit harimau yang duduk di sampingnya.
"Secepatnya, Ki," sahut Suci.
"Memang sebaiknya begitu, Suci Lebih cepat,
lebih baik lagi. Maaf, aku tidak bisa mendampingimu ke sana. Banyak yang harus
kukerjakan di sini"
"Tidak mengapa, Ki" Suci mencoba tersenyum memaklumi.
Kalau mau jujur, Suci memang lebih suka jika
kepergiannya ke Puncak Gunung Parang ditemani
Pendekar Pulau Neraka. Bukan hanya karena pemuda
ini tampan, tapi kepandaiannya yang tinggi sangat
menarik perhatiannya. Dan gadis itu sudah menyaksikan. kehebatan Pendekar Pulau
Neraka saat bertarung dengan laki-laki tua berjuluk Iblis Tongkat Hitam.
*** Siang itu juga Suci berangkat ke Gunung Pa-
rang, ditemani Pendekar Pulau Neraka. Ki Gandul tak lupa memberi mereka kuda,
agar perjalanan lebih cepat dan mudah. Namun sampai di lereng Gunung Pa-
rang, mereka terpaksa meninggalkan kuda-kuda itu.
Pepohonan di lereng gunung ini begitu lebat, dan sukar sekali dilalui dengan
kuda. "Sepertinya kita harus bermalam di sini, Ka-
kang," kata Suci sambil menyibakkan gerumbul semak di depannya.
"Kurang cocok bermalam di sini, Suci," sahut Bayu seraya memandang ke
sekelilingnya. "Apa ada tempat yang lebih baik lagi daripada ini?" tanya Suci seraya
menghentikan langkahnya.
"Mungkin agak ke atas lagi," sahut Bayu terus saja melangkah.
Suci terpaksa mengayunkan kakinya kembali.
Padahal, keadaannya sudah begitu lelah, sete-
lah satu harian berjalan mendaki lereng gunung yang lebat dan seperti tidak
pernah terjamah manusia ini.
Keringat sudah mengucur deras, membasahi sekujur
tubuh dan wajahnya.
Namun gadis itu agak heran juga ketika melihat
Bayu seperti tidak kelihatan lelah sedikit pun. Bahkan sama sekali tidak ada
keringat menetes di tubuhnya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu terus berjalan dengan ayunan langkah yang
mantap. Pendekar Pulau Ne-
raka seperti tidak mendapatkan kesukaran melintasi hutan yang begini lebat,
dengan pepohonannya yang
rapat bagai kaki-kaki raksasa menghadang.
Pendekar Pulau Neraka baru berhenti setelah
sampai di tempat yang agak lapang. Pepohonan di sini tidak begitu rapat, karena
banyak batu besar maupun kecil tersebar. Sebentar Bayu mengedarkan pandangannya
berkeliling dari atas sebongkah batu yang cukup besar. Kemudian dengan gerakan
ringan sekali, dia melompat ke atas batu lainnya.
Tiga Ksatria Bertopeng 1 Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Istana Pulau Es 7