Pencarian

Darah Menggenang Di Candi 1

Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa Bagian 1


DARAH MENGGENANG DI
CANDI LAKSA Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Darah Menggenang di Candi Laksa
128 hal ; 12 x 18 cm
ABU KEISEl http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Gunung Waru tampak indah tersiram cahaya
matahari pagi yang mengintip dari lekukan
puncaknya yang selalu terselimut kabut tebal.
Suasananya begitu tenang dan anggun. Namun di
balik itu semua, tersimpan keangkuhan yang
mengandung lingkaran misteri di dalamnya.
Kabut tebal yang menyelimuti puncaknya, bagai
selubung misteri yang selalu menantang untuk
disingkap. Dan sampai kini, belum ada seorang
pun yang berhasil menyingkapnya.
Namun ketenangan dan keanggunan Gunung
Waru mendadak saja pecah oleh ledakan dahsyat
menggelegar, hingga menggetarkan seluruh
permukaan gunung itu hingga ke kaki yang
terdapat beberapa perkampungan. Di sebelah
Barat lereng gunung itu, terlihat jamur raksasa yang dibentuk dari debu dan
bebatuan yang membumbung tinggi ke angkasa.
Belum lagi lenyap ledakan dahsyat tadi, tiba-
tiba menyusul suara gemuruh dari batuan yang
menggelinding menuruni lereng. Getaran semakin terasa, seakan-akan Gunung Waru
ini mengamuk. Pohon-pohon bertumbangan
tergulung longsoran batu besar dan kecil.
Kemurkaan alam yang semula tenang, ternyata
diakibatkan oleh dua orang manusia yang tengah berlaga di tepi jurang Lereng
Gunung Waru sebelah Barat "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Blanr! Ledakan-ledakan dahsyat terus terdengar
ditingkahi teriakan-teriakan keras dari dua orang yang tengah bertarung. Mereka
menggunakan ilmu-ilmu dahsyat, sehingga menghancurkan
seluruh alam di sekitarnya. Entah apa yang
menyebabkan mereka bertarung begitu dahsyat
Yang jelas, mereka sudah bertarung cukup lama.
Terlihat dari simbahan keringat dan kotornya
pakaian yang dikenakan.
Tidak jauh dari tempat pertarungan, terlihat
empat orang wanita muda berwajah cantik tengah mengawasi jalannya pertarungan
Masing-masing menyandang sebilah pedang di pinggang
Potongan dan bentuk pakaian yang dikenakan
sama persis. Hanya warna saja yang membuat
mereka tampil berbeda. Pandangan mereka tidak
berkedip ke arah salah seorang yang sedang
bertarung. Dia seorang wanita, mengenakan baju warna merah menyala. Potongan
pakaiannya sa-ma persis dengan empat wanita muda tadi.
Sedangkan lawannya memakai jubah putih.
Dia seorang laki-laki muda berwajah cukup
tampan. Kini masing-masing telah menggunakan
pedang yang berkelebatan cepat mengincar tubuh satu sama lain.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja wanita berbaju merah
melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, cepat dimasukkan
pedang ke dalam warangkanya di pinggang. Lalu
dengan tubuh sedikit membungkuk, kedua
tangannya bergerak cepat Seketika terlihat benda-benda berwarna Jingga
bertebaran mengarah ke
laki-laki muda berjubah putih.
"Yeah! Hiyaaa...!"
"Hup! Hiyaaat..!"
Pemuda berjubah putih itu berjumpalitan
sambil cepat mengecutkan pedangnya, berusaha
menghindari serbuan benda-benda berbentuk
bunga berwarna Jingga itu. Bunga-bunga
anggrek berwarna Jingga itu bertebaran bagai
hujan, dan seperti tak pernah habis. Tampak
wanita berbaju merah ketat itu berputar cepat sambil terus melontarkan anggrek-
anggrek Jingganya. Dan tiba-tiba saja....
"Hiyaaat..!"
Wanita berbaju merah itu melentingkan
tubuhnya ke udara sambil tidak henti-hentinya
melontarkan anggrek-anggrek Jingganya.
Bagaikan kilat, dicabut pedangnya, langsung
dibabatkan ke kepala pemuda berjubah putih itu.
Cras! "Aaa...!" satu jeritan panjang melengking terdengar menyayat
Tampak pemuda berbaju putih panjang itu
limbung sambil memegangi kepalanya. Darah
terlihat merembes keluar dari sela-sela jari
tangannya. Tebasan pedang wanita cantik berbaju merah tepat membelah kepala
pemuda berjubah
putih itu. Dan sebelum pemuda itu ambruk ke
tanah, sekali lagi wanita berbaju merah itu
membabatkan pedangnya. Kali ini langsung
membelah dada. Seketika darah muncrat keluar
deras dari dada yang terbelah lebar.
"Hup!"
Wanita berbaju merah itu melompat ke
belakan sambil menyarungkan pedangnya
kembali ke pinggang. Tampak pemuda berjubah
putih terhuyung-huyung limbung, lalu ambruk
menggelepar di tanah. Sebentar tubuhnya masih
menggelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi.
"Ha ha ha...!" wanita berbaju merah itu tertawa terbahak-bahak.
Tawa wanita berbaju merah itu disambung
empat wanita cantik yang sejak tadi berdiri saja menyaksikan pertarungan
dahsyat. Kini terdengar tawa-tawa lepas berderai menggema ke seluruh
Lereng Gunung Waru. Suara-suara tawa yang
membuat bulu kuduk terbangun bila
mendengarnya. ,
*** Sementara itu jauh di Kaki Gunung Waru,
terdapat sebuah desa kecil. Hampir seluruh
penduduknya disibuki oleh adanya tanah longsor yang datang dari lereng. Mereka
bisa bernapas lega, karena longsoran tanah dan bebatuan itu
tidak mencapai desa, karena terhalang lebatnya hutan. Tapi kejadian itu cukup
membuat seluruh penduduk Desa Coket diliputi tanda tanya besar, karena belum
pernah kejadian seperti ini dialami sebelumnya.
Berbagai macam dugaan dan pertanyaan
seketika timbul. Hal itu juga merisaukan kepala desa dan pemuka-pemuka Desa
Coket yang saat
ini berkumpul di rumah kepala desa. Ada sekitar delapan orang memadati ruangan
yang tidak terlalu besar. Ki Sampar, Kepala Desa Coket
tampak lebih banyak diam dengan wajah datar
tanpa cahaya. "Sebaiknya kita periksa, apa sebab-sebab
terjadinya longsor tadi," usul seorang laki-laki setengah
baya yang berkumis tebal, sehingga
penampilannya kelihatan angker. Orang sering memanggilnya, Ki Jalak.
"Aku rasa peristiwa ini tidak perlu dibesar-be-sarkan. Ini hanya kejadian alam
biasa," sergah seorang tua berusia sekitar delapan puluh tahun.
Dia mengenakan baju putih panjang dan berikat
kepala putih. Seluruh penduduk desa
mengenalnya sebagai Ki Dampil.
'Tapi kejadian ini belum pernah terjadi, Ki,"
potong seorang lagi yang duduk di samping Ki
Jalak. "Tidak ada seorang pun yang bisa menduga
kejadian alam," kata Ki Dampil bijaksana. "Untuk apa diributkan" Sebaiknya kita
tentramkan saja penduduk yang resah."
"Sebaiknya kita serahkan saja pada Ki Sampar untuk memutuskannya," celetuk salah
seorang seraya melirik kepala desa.
Semua yang berada di ruangan itu langsung
memandang Kepala Desa Coket yang sejak tadi
hanya diam saja tak bersuara sedikit pun juga.
Sementara Ki Sampar sendiri masih terdiam.
Pandangannya terarah ke luar jendela, menatap
Puncak Gunung Waru yang lalu diselimuti kabut
tebal. "Ki Sampar, apa yang harus kita lakukan
sekarang?" tanya Ki Jalak.
"Hhh...!" Ki Sampar hanya menarik napas panjang.
Kepala Desa Coket itu memandangi wajah-
wajah yang mengharapkan keputusannya.
Wajah-wajah resah diliputi tanda tanya besar
karena peristiwa tanah longsor yang belum
pernah terjadi di desa ini. Kembali ditariknya napas panjang dan dihembuskannya
kuat-kuat. Belum juga Ki Sampar membuka mulut
mendadak saja terdengar suara mendesing yang
sangat halus. Kepala desa itu langsung
mengegoskan kepalanya, dan dengan cepat
mengibaskan tangan ke samping.
Tap! Semua orang yang berada dalam ruangan itu
terkejut karena tiba-tiba saja Ki Sampar
menangkap sebuah benda berbentuk bunga
anggrek berwarna jingga. Baik Ki Sampar
maupun yang lainnya bergegas bangkit dan
melangkah ke luar. Tapi mereka jadi kecewa
karena tidak mendapat apa-apa, selain para
penduduk yang panik akibat terjadi tanah longsor di Lereng Gunung Waru.
"Apa itu, Ki?" tanya Ki Jalak yang berada di samping Ki Sampar.
Ki Sampar tidak menjawab. Diserahkannya
bunga anggrek jingga yang ditangkapnya barusan.
Ki Jalak menerima bunga itu, dan
memperhatikan dengan seksama. Kemudian
bunga berwarna jingga itu berpindah dari tangan yang satu ke tangan lainnya, dan
terakhir ke tangan Ki Dampil. Tujuh orang yang
mendampingi Ki Sampar saling berpandangan
satu sama lain. Mereka kemudian menatap Ki
Sampar seakan meminta penjelasan tentang
bunga anggrek jingga ini.
Belum juga ada yang melontarkan
pertanyaan, Ki Sampar sudah melangkah ke
samping rumahnya. Sementara tujuh orang
pemuka desa itu jadi bertanya-tanya terhadap
sikap kepala desa itu yang terasa aneh. Dan
mendadak saja semuanya dikejutkan suara
ringkik kuda, lalu terlihat Ki Sampar memacu
cepat kudanya. "Ki...!" teriak Ki Jalak memanggil.
Tapi Ki Sampar tidak mempedulikan, dan
terus memacu cepat kudanya membelah jalan
berdebu. Orang-orang yang memadati jalan,
langsung menyingkir. Sementara tujuh orang di
depan rumah kepala desa itu hanya bisa
bertanya-tanya sambil saling melemparkan
pandang. "Kenapa kalian diam saja" Ayo, ambil kuda.
Kejar Ki Sampar!" sentak Ki Dampil ketika tersadar.
Tanpa banyak berbicara, mereka bergegas
mengambil kuda masing-masing yang tertambat
di bawah pohon, di samping rumah ini. Sebentar saja tujuh ekor kuda sudah
berpacu cepat mengejar Ki Sampar yang sudah jauh memacu
cepat kudanya. Penduduk desa yang sedang
diliputi kepanikan, jadi bengong melihat kepala desa mereka beserta pemuka-
pemuka desa lainnya berkuda dengan cepat menuju Lereng
Gunung Waru. *** Tak ada seorang pun yang membuka suara
begitu sampai di Lereng Gunung Waru. Keadaan
permukaannya begitu berantakan, seperti baru
saja diamuk ribuan gajah murka. Batu-batu
bertebaran di mana-mana. Pepohonan besar dan
kecil bertumbangan saling tumpang tindih.
Delapan orang dari Desa Coket turun dari
punggung kuda masing-masing.
Mereka tidak ingin mengambil resiko
tergelincir karena terlalu sulit melalui jalan yang berantakan dengan pepohonan
tumpang tindih tak beraturan. Belum lagi batu-batu yang
sewaktu-waktu mungkin akan menggelinding. Ki
Sampar berjalan paling depan. Mereka semua
meninggalkan kuda di tempat yang aman.
"Ki, ke sini...!" tiba-tiba salah seorang berteriak.
Semua orang yang bergerak menyebar,


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung menoleh ke arah suara tadi. Tampak
salah seorang dari mereka yang kelihatan paling muda, berdiri tegak di samping
sesosok tubuh berlumuran darah yang tergolek di atas batu
besar. Mereka bergegas menghampiri.
"Santika...," desis Ki Sampar begitu dekat Kepala desa itu langsung menghambur
dan memeluk tubuh tak bernyawa lagi Sementara,
yang lainnya hanya bisa menarik napas panjang
dan berat sambil menundukkan wajah. Ki
Sampar mengangkat kepalanya, memandangi
para pembantunya yang hanya diam dengan
kepala tertunduk.
"Inilah yang kucemaskan sejak tadi...," suara Ki Sampar terdengar lirih dan agak
tersendat Tak ada yang membuka suara. Mereka
semua tahu, kalau pemuda berbaju putih yang
berada di pelukan Ki Sampar itu adalah Santika.
Putra tunggal Ki Sampar itu baru saja
menyelesaikan pelajarannya di sebuah padepokan yang terletak di sebelah Timur
Kaki Gunung Waru ini. Baru dua pekan Santika berada di desa
kelahirannya, dan sekarang tergolek berlumuran darah tak bernyawa lagi.
Dua orang langsung bergerak maju, lalu
mengangkat tubuh Santika. Ki Sampar bangkit
berdiri. Ditariknya napas panjang, mencoba
meredakan gejolak yang menggelegak dalam
dada. Entah apa yang ada di dalam hati kepala
desa itu. Yang jelas, kematian Santika sangat
memukul perasaannya. Dia tidak mampu lagi
berkata-kata. Sementara tiga orang menggotong
Santika menuruni lereng. Dua orang lagi mengi-
kuti dari belakang. Tinggal Ki Jalak dan Ki Dampil yang masih menemani kepala
desa itu. "Ki Sampar...," panggil Ki Dampil pelan.
Ki Sampar memutar tubuhnya menghadap
dua orang pembantunya yang setia menemani. Dia mendesah panjang dan terasa
begitu berat Dipandanginya Ki Dampil dan Ki Jalak bergantian, seakan-akan mencari kekuatan
pada dua orang di depannya ini.
"Sebaiknya kita cepat mengurus jasad
Santika, Ki," usul Ki Dampil pelan.
"Yaaah...," desah Ki Sampar lirih.
Ketiga orang itu mengayunkan kakinya
pelahan menuruni lereng, menyusul lima orang
lainnya yang sudah lebih dahulu berjalan membawa jasad Santika. Tampak Ki Sampar
begitu terpukul menghadapi kenyataan pahit ini.
Putra satu-satunya tewas dengan tragis sekali, tanpa diketahui penyebabnya.
Kematian Santika
tepat waktunya dengan terjadinya tanah longsor, sehingga membuat kepanikan
seluruh penduduk
Desa Coket. Sedangkan di dalam benak Ki Dampil dan Ki
Jalak, terbetik satu pertanyaan yang sangat
menggangu. Mereka tidak tahu, untuk apa
Santika berada di lereng gunung ini" Mungkinkah Santika tewas terkena longsoran"
Tapi rasanya tidak mungkin. Mereka tahu kalau Santika
memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bukan suatu hal yang sulit bagi orang
berkepandaian tinggi untuk menghindari tanah longsor, bagaimanapun
dahsyatnya. Tapi mereka mendapatkan Santika tewas di
antara reruntuhan longsoran tanah dan
bebatuan. Kepalan pecah, dan dadanya terbelah
sangat lebar. Tubuh anak muda itu ditemukan
tergeletak di atas sebongkah batu besar.
Sedangkan sebelah kakinya terhimpit sebatang
pohon. Melihat keadaan Santika yang demikian,
memang kemungkinan besar terkena longsoran.
Tapi, apa hubungannya dengan anggrek Jingga"
Ki Sampar langsung ke lereng gunung ini begitu menerima bunga anggrek Jingga
yang dilemparkan orang tidak dikenal, Inilah yang
membuat Ki Dampil dan Ki Jalak jadi bertanya-
tanya. *** Kematian Santika merubah wajah Desa Coket
yang semula selalu cerah, mendadak terselimut
duka mendalam. Siapa yang tidak kenal Santika"
Semua penduduk Desa Coket mengenal pemuda
itu. Bukan saja sebagai putra kepala desa, tapi sebagai putra Desa Coket satu-
satunya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Namun kini pemuda yang menjadi kebanggaan,
seluruh penduduk desa itu telah tiada. Dia tewas tepat saat terjadinya longsor di Lereng
Gunung Waru. Kematian Santika juga terdengar sampai ke
Pade-l?kan Sangga Langit, tempat pemuda itu
mempelajari ilmu olah kanuragan. Eyang
Palandara yang menjadi ketua sekaligus Guru
Besar Padepokan Sangga Langit menyempatkan
diri datang bersama enam orang muridnya ke
Desa Coket. Dia begitu menyesalkan kematian
Santika, karena pemuda itu salah seorang murid kesayangan yang memiliki bakat
luar biasa dalam ilmu olah kanuragan.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Ki Sampar"v tanya Eyang Palandara ingin tahu.
"Entahlah.... Aku sendiri tidak habis mengerti, Eyang," jawab Ki Sampar lirih.
"Rasanya tidak mungkin kalau Santika tewas hanya karena longsoran," tegas Eyang
Palandara setengah bergumam.
"Kami mendapatkannya sudah tewas di
antara reruntuhan longsoran, Eyang," celetuk Ki Jalak.
"Hm..., apakah Santika memang selalu ke
Lereng Gunung Waru?" tanya Eyang Palandara lagi.
Laki-laki tua yang selalu mengenakan jubah
dan ikat kepala putih itu, tidak percaya kalau Santika tewasnya karena tertimpa
longsoran. Eyang Palandara tahu betul kalau muridnya itu
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Bahkan ilmu-ilmu yang diturunkannya
nyaris dikuasai
sempurna. Sukar dipercaya kalau Santika tidak
bisa selamat dari longsoran. Apalagi, longsoran itu tidak terlalu besar.
'Tidak, Eyang," sahut Ki Sampar. Eyang
Palandara memandang setiap orang yang ada di
ruangan depan rumah Ki Sampar ini. Jawaban Ki
Sampar barusan membuatnya jadi berpikir lain.
Dia tahu betul watak Santika. Pemuda itu tidak akan pergi ke tempat yang belum
pernah dikunjungi jika tidak ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Eyang, kami mengetahui Santika ada di
lereng setelah menerima sekuntum bunga
anggrek Jingga, sesaat setelah terjadi longsoran di lereng itu," jelas Ki
Dampil. "Benar, Eyang. Bahkan kami semua heran,
karena Ki Sampar tiba-tiba saja mengambil kuda dan menuju lereng itu," sambung
Ki Jalak. "Hm.". Benar itu, Ki Sampar?" Eyang Palandara menatap Ki Sampar dalam-dalam.
"Benar, Eyang," sahut Ki Sampar pelahan.
"Jadi sebelumnya kau tahu kalau Santika ada di Lereng Gunung Waru?" Eyang
Palandara ingin ketegasan.
"Tidak! Tapi..., entahlah! Tiba-tiba saja aku mempunyai
perasaan tidak enak," jawab Ki Sampar.
Eyang Palandara menatap Ki Sampar
semakin dalam. Sedangkan yang ditatap hanya tertunduk
saja tak sedikit pun mengangkat kepala. Ketua
Padepokan Sangga Langit itu merasakan kalau kepala desa di depannya itu menyimpan sesuatu
yang tidak ingin diungkapkan.
"Anggrek Jingga...,",desis Eyang Palandara.
Beberapa saat lamanya di ruangan yang tidak terlalu besar itu sunyi. Tak ada
seorang pun yang meml buka suara. Sementara Ki Sampar tetap
tertunduk dalam. Bukan hanya Eyang Palandara
yang tidak percaya terhadap semua jawaban Ki
Sampar, tapi pemuka-pemuka Desa Coket juga
tampaknya seperti tidak puas. Mereka tahu kalau sejak terjadinya longsor di
lereng gunung, sikap Ki Sampar sudah terlihat aneh. Bahkan dia cepat
pergi begitu menerima sekuntum bunga anggrek
yang dilemparkan orang tidak dikenal.
Mereka semua tidak mau mempercayai, tapi
tidak bisa mendesak Ki Sampar untuk
mengatakan yang sebenarnya. Kepala desa itu
sedang diliputi duka yang mendalam akibat
kematian putra tunggalnya, dan kini hidupnya
sebatang kara. Istrinya sudah meninggal berapa tahun yang lalu, dan sekarang
anak tunggalnya
menyusul. Sukar untuk dilukiskan, bagaimana
perasaan Ki Sampar saat ini.
Merasa tidak mungkin bisa mendesak Ki
Sampar untuk berterus terang, Eyang Palandara dan enam orang muridnya mohon
diri. Mereka kembali ke Padepokan Sangga Langit di Kaki
Gunung Waru sebelah timur. Ki Dampil dan beberapa pemuda desa lainnya Ikut
mengantarkan mereka sampai ke batas desa.
Ki Dampil dan empat orang pemuka desa
baru berbalik setelah rombongan Eyang
Palandara tidak terlihat lagi. Tapi belum juga bergerak, mendadak beberapa bunga
anggrek berwarna Jingga meluruk deras ke mereka.
"Awas...!" teriak Ki Dampil.
Laki-laki tua itu cepat melompat dan
berputaran di udara. Empat orang pemuka desa lainnya ikut berlompatan
menghindari terjangan bunga-bunga anggrek tapi malang, dua di
antaranya terhantam bunga-bunga anggrek
Jingga itu. Jeritan melengking terdengar menyayat saling susul.
"Hi hi hi...!"
"Heh!" Ki Dampil tersentak kaget.
Orang tua itu tidak sempat lagi
memperhatikan dua orang pemuka desa yang
tewas tertembus bunga anggrek Jingga.
Sedangkan dua orang lagi bergegas mendekati Ki Dampil, tepat ketika empat orang
wanita muda berwajah cantik muncul tiba-tiba.
"Siapa kalian"!" bentak Ki Dampil.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami, orang tua ceriwis!" sahut gadis yang memakai
baju biru. Suaranya terdengar dalam, mengandung
ketegasan berbau kekejaman.
"Kalian pasti yang membunuh Santika!"
dengus Ki Dampil langsung menebak.
Empat orang gadis cantik itu hanya tertawa
saja. Sikap mereka begitu meremehkan. Sedikit
pun tidak memandang sebelah mata pada tiga
orang pemuka Desa Coket ini. Pelahan-lahan Ki
Dampil mencabut golok yang terselip di pinggang.
Sementara dua orang yang berada di sampingnya
langsung menggeser menjauh ke samping.
Mereka juga segera mencabut golok masing-
masing. "Untuk apa kalian mencabut golok" Kami
datang hanya ingin memberi peringatan. Jangan
sok usil mencampuri urusan orang lain!" tegas gadis yang berbaju merah.
"Katakan, apakah kalian yang membunuh
Santika"!" bentak Ki Dampil tidak menghiraukan ancaman gadis itu.
"Kalau iya, kau mau apa?"
"Iblis...! Kau harus menerima hukumannya!"
desis Ki Dampil menggeram.
"Ha ha ha...!"
Keempat gadis cantik itu tertawa terbahak-
bahak. Sementara Ki Dampil semakin geram saja
melihat tingkah gadis-gadis yang memuakkan ini.
Tanpa banyak bicara lagi, orang tua itu langsung melompat menerjang sambil
berteriak keras
menggelegar. "Hiyaaat..!"
Serangan Ki Dampil diikuti dua orang yang
menyertainya. Sedangkan gadis yang berbaju
merah langsung melompat mundur, dan tiga
gadis lainnya bergerak menyongsong serangan itu.
Sengaja mereka menghadapi satu lawan satu.
Pertarungan pun tak bisa dihindari lagi.
Namun gadis-gadis cantik itu rupanya memiliki
tingkat kepandaian yang cukup tinggi juga.
Buktinya mereka seperti bermain-main saja
melayani orang-orang tua Pemuka Desa Coket ini.
Namun setelah beberapa jurus berlangsung, baru gadis-gadis itu menunjukkan
kemampuan yang sesungguhnya. Dan, tiba-tiba saja terdengar suara jeritan melengking menyayat.
Tampak salah seorang pemuka desa
terhempas dan tergeletak di tanah. Darah mengucur deras
dari dadanya yang terbelah. Belum lagi lenyap jeritan panjang melengking tadi,
kembali menyusul
jeritan me- nyayat Tampak satu orang lagi menggelepar
bersim- bah darah. Ki Dampil yang menyadari kalau
gadis- gadis ini memiliki kepandaian jauh di atasnya, langsung
melompat mundur.
Tapi gadis berbaju hijau yang bertarung
dengannya tidak memberi kesempatan baginya
untuk melarikan diri. Cepat-cepat diterjangnya laki-laki tua itu sambil
dikebutkan pedangnya.
Terpaksa Ki Dampil harus kembali bertarung,
meskipun hatinya sudah tidak yakin akan dapat
mengungguli lawannya. Sementara ketiga gadis
lainnya hanya menyaksikan sambil tersenyum-
senyum. "Yeaaah...!"


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba saja gadis berbaju hijau itu berteriak lantang. Dan dengan satu
kecepatan bagai kilat, dilayangkan satu tendangan keras menggeledek.
Tendangan yang begitu cepat, tidak dapat
dihindari lagi, tepat menghantam dada Ki Dampil.
Akibatnya orang tua itu terpekik dan terpental ke belakang.
Keras sekali Ki Dampil terjatuh ke tanah.
Sebentar dia menggeliat, laki mencoba bangkit
berdiri. Namun belum juga mampu berdiri, gadis berbaju hijau sudah melompat
sambil menghunus pedangnya yang tajam berkilatan.
Teriakannya keras membuat jantung orang tua
itu bergetar. Ki Dampil tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dipejamkan matanya menerima saat-saat
kematian. Namun begitu ujung pedang gadis
berbaju hijau itu hampir memanggang leher Ki
Dampil, mendadak saja sebuah bayangan
berkelebat cepat menyambar tubuhnya.
Slap! *** 2 "Setan!" geram gadis berbaju hijau itu begitu ladangnya hanya menghunjam tanah
kosong. Sementara Ki Dampil entah berada di mana.
Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat dan
menyambar tubuh orang tua itu, sehingga
keempat gadis itu tidak bisa melihatnya. Bahkan tidak disadari sama sekali.
Ketiga gadis lain segera menghampiri gadis berbaju hijau yang
mengumpat dan memaki-maki sendirian.
"Ayo, cepat tinggalkan tempat ini sebelum ada yang datang," ajak gadis berbaju
merah. "Huh!" gadis berbaju hijau itu bersungut-sungut.
"Ayo, cepat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka
cepat berlompatan meninggalkan tempat itu dan
meninggalkan empat mayat bergelimpangan
berlumuran darah. Setelah empat gadis cantik itu tidak terlihat lagi, dari balik
sebuah pohon besar, keluar Ki Dampil bersama seorang pemuda
berwajah tampan mengenakan baju kulit
harimau. "Oh...," Ki Dampil mengeluh menyaksikan empat orang temannya tewas.
Orang tua itu memandangi empat sosok
tubuh tak bernyawa di depannya. Darah terus
mengucur keluar dari luka-luka di tubuh mereka.
Sementara di samping Ki Dampil berdiri seorang pemuda tampan berbaju kulit
harimau yang tadi
menolongnya. Dia hanya diam saja memandangi
empat sosok mayat yang masih mengucurkan
darah segar. Wajahnya begitu datar tanpa ada sinar sedikit pun.
"Anak muda. Terima kasih atas pertolongan sehingga nyawaku terselamatkan. Tapi
mereka., sungguh malang nasibnya...," ucap Ki Dampil seraya merayapi empat orang temannya
yang sudah menjadi mayat
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya diam
saja. Diayunkan kakinya mendekati salah satu
mayat, lalu dibungkukkan tubuhnya sedikit
Dengan dua jari, dicabutnya sekuntum bunga
anggrek yang tertancap di dada mayat itu.
Dipandanginya bunga anggrek Jingga itu. Ki
Dampil menghampiri. Laki-laki tua itu memungut anggrek Jingga yang tergeletak di
tanah. "Siapa mereka, Ki?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku tidak tahu siapa mereka," sahut Ki Dampil. Pemuda itu menatap Ki Dampil.
Digenggamnya bunga anggrek Jingga yang
berlumuran darah. Kemudian pandangannya
beralih ke arah empat gadis cantik tadi pergi. Dan tanpa berkata sesuatu, pemuda
itu cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah
lenyap dari pandangan.
"Heh..."' Ki Dampil terperanjat.
Tapi laki-laki tua itu tidak bisa berbuat apa-
apa lagi. Pemuda yang telah menyelamatkan
nyawanya lebih dulu lenyap bagaikan tertelan
bumi Ki Dampil hanya bisa memandangi arah
kepergian pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hhh..., kenapa aku tidak menanyakan
namanya tadi.." Siapa anak muda itu..?" desah Ki Dampil pelahan.
Sebentar orang tua itu masih berdiri dengan
benak bertanya-tanya. Kemudian diayunkan
kakinya cepat menuju Desa Coket kembali. Dia
harus mengabarkan tentang peristiwa ini pada
kepala desa, dan segera membawa penduduk
untuk mengurus mayat-mayat yang
bergelimpangan.
*** Malam sudah begitu larut Angin berhembus
kencang menyebarkan udara dingin yang
menggigilkan. Suasana seperti ini membuat
seluruh penduduk Desa Coket lebih senang
mengurung diri dalam kamar. Hanya ada
beberapa peronda malam saja yang terpaksa
menjalankan tugasnya, bergelut melawan
dinginnya udara malam ini
Hampir semua penduduk Desa Coket terlelap
dalam buaian mimpi. Tapi tidak demikian halnya di sebuah kedai minum. Meskipun
malam begitu kelam dan udara menggigilkan, namun
pengunjung setia kedai minum itu tidak
menghiraukannya. Terlebih lagi kedai ini juga
menyediakan wanita-wanita untuk menghibur
dan menghangatkan suasana. Kedai ini memang
letaknya agak jauh dari perumahan penduduk
lainnya. Bahkan bisa dikatakan menyendiri, dekat perbatasan desa. Tidak heran,
meskipun buka sampai jauh malam, tidak ada satu penduduk
pun yang merasa terganggu ketenangannya.
Tepat tengah malam, seekor kuda berjalan
pelan menuju kedai minum itu. Penunggangnya
seorang wanita berwajah cantik mengenakan baju ketat warna merah, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping. Dihentikan kudanya
tepai di depan kedai, lalu ditambatkannya.
Ayunan langkahnya tenang ketika memasuki
kedai. Beberapa pasang mata menatap liar tak
berkedip. Namun wanita itu tetap melangkah
tenang, dan duduk di bangku yang kosong
menghadapi sebuah meja bundar kecil. Seorang
pelayan wanita bertubuh gemuk menghampiri.
"Beri aku arak yang terbaik," pinta wanita itu sebelum pelayan wanita gemuk
menyapanya. "Berapa guci, Nisanak?" tanya wanita gemuk itu.
"Lima."
Saat itu terdengar tawa terbahak-bahak dari
arah samping kanan. Wanita berbaju merah itu
hanya melirik saja. Tampak dua orang laki-laki sedang tertawa sambil memandangi
dirinya. Beberapa laki-laki lain juga memandang ke
arahnya. Memang, semua pengunjung kedai ini
semuanya laki-laki, jadi terasa sangat aneh kalau ada seorang wanita masuk ke
dalam kedai ini.
Terlebih lagi di tengah malam buta seperti ini.
Wanita cantik berbaju merah itu tidak
mempedulikan ocehan-ocehan beberapa laki-laki
yang diselingi tawa lepas berderai Dia tahu, kalau ocehan itu tertuju padanya
dan sedikit pun tidak dipedulikan. Sementara pelayan wanita bertubuh gemuk sudah
pergi mengambil pesanan tamunya
ini. Pandangan wanita itu tertumbuk pada
seorang pengunjung kedai yang duduk agak
menyendiri di sudut. Seorang pemuda memakai
baju kulit harimau.
"Hm...," gumam wanita berbaju merah itu pelan.
Pelayan wanita gemuk datang lagi sambil
membawa lima guci arak yang dipesan wanita itu.
Saat pelayan itu selesai meletakkan guci-guci arak di atas meja dan ingin
kembali, wanita berbaju merah itu mencekal lengannya.
"Satu guci berikan pada orang yang di sudut itu," perintah wanita berbaju merah
itu. Tanpa menjawab sedikit pun, wanita bertubuh
gemuk itu mengambil satu guci arak dan
membawanya kepada pemuda yang duduk di
sudut. Diletakkannya guci arak itu di atas meja di depan pemuda itu.
"Maaf, aku tidak memesan arak lagi," tolak pemuda itu.
"Gadis itu yang memberikannya," jelas pelayan gemuk itu sambil menunjuk wanita
berbaju merah. Pemuda berbaju kulit harimau itu melirik
sedikit, dan keningnya agak berkerut. Sementara pelayan wanita gemuk sudah
meninggalkannya,
kembali sibuk melayani tamu-tamu lain. Tampak
wanita cantik itu mengangkat gelas bambunya
dan tersenyum pada pemuda di sudut.
Diteguknya sedikit arak di dalam gelas yang
terbuat dari bambu halus.
Saat itu seorang laki-laki berwajah kasar
penuh brewok menghampiri gadis berbaju merah
itu. Tubuhnya agak limbung saat berjalan,
sehingga guci arak yang dibawanya terguncang-
guncang. Suara tawa terkekeh terdengar
sumbang di telinga. Dia berdiri di seberang meja wanita berbaju merah itu.
"He he he.... Nisanak, aku mengundangmu
datang ke mejaku. Biar aku yang bayar semua
minuman di sini. He he he...," suara laki-laki berwajah kasar terdengar serak
karena kebanyakan arak.
'Terima kasih. Aku biasa minum sendiri,"
tolak wanita itu halus.
"Nisanak, tidak ada seorang pun yang bisa menolak undangan Kebo Rimang!" sentak
laki-laki itu. "Cocok sekali," ringan sekali wanita itu berkata.
"Heh! Apanya yang cocok...?"
"Sesuai dengan namamu. Kau memang mirip
kerbau!" Seketika suara tawa meledak di kedai ini.
Sedangkan laki-laki yang mengaku bernama Kebo
Rimang itu jadi memerah wajahnya. Dia memang
seperti kerbau. Wajahnya kasar penuh brewok,
dan tubuhnya tinggi besar dengan dada berbulu
lebat. Sebuah gagang golok menyembul keluar
dari pinggang. "Keparat1 Kau berani menghinaku, Cah
Ayu..."!' geram Kebo Rimang, meluap amarahnya.
Digebrakkan kepalan tangannya yang besar
ke meja, sehingga seketika itu juga meja di depan gadis berbaju merah itu hancur
berantakan. Tapi gadis itu kelihatan tenang saja, sedikit pun tidak mempedulikan
meja di depannya yang hancur
berantakan. "Malam ini kau harus ikut denganku!"
Kebo Rimbang menjulurkan tangannya ke
wajah gadis itu. Tapi mendadak saja gadis itu
mengibaskan tangannya. Dan....
Plak! "Akh...!" Kebo Rimang terpekik keras.
Tubuh yang besar itu terpental ke belakang,
menabrak sebuah meja hingga hancur
berantakan. Se-mua pengunjung kedai jadi
terkejut Sungguh tidak di-sangka kalau gadis
yang kelihatan lemah, ternyata
mampu membuat Kebo Rimang yang bertubuh
besar itu terjungkal.
"Keparat...!" Kebo Rimang menggeram marah.
Cepat-cepat laki-laki kasar itu bangkit berdiri, langsung mencabut goloknya.
Sambil menggerung keras, dia melompat seraya
membabatkan goloknya ke arah gadis berbaju
merah itu. Cepat sekali gerakannya, dan semua
pengunjung kedai menahan napas, tapi yang
terjadi sungguh di luar dugaan. Gadis itu tetap duduk tenang di kursi.
Entah bagaimana kejadiannya, tangannya
hanya digerakkan sedikit sambil tubuhnya ditarik ke belakang. Dan tahu-tahu,
Kebo Rimang menjerit melengking tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Tampak
goloknya sendiri
menancap dalam di dada yang berbulu tebal.
Kebo Rimang jatuh menggelepar, langsung
mengerang meregang nyawa. Tak berapa lama
kemudian, dia diam tak bergerak-gerak lagi, tewas tertancap goloknya sendiri.
Melihat kejadian itu, sebagian pengunjung
kedai langsung berlarian ke luar. Tapi bagi mereka yang mempunyai nyali cukup
besar, tetap bertahan di tempatnya. Terutama empat orang
laki-laki yang tadi duduk satu meja dengan Kebo Rimang. Mereka langsung
berlompatan sambil
rnencabut golok masing-masing.
"Perempuan keparat...!"
Tanpa banyak bicara lagi, keempat laki-laki
langsung menyerang. Golok mereka mengibas ke
arah wanita berbaju merah itu. Tapi mendadak
saja waniita itu melesat ke atas, dan tahu-tahu sudah duduk kembali di kursi
lain. Laki-laki bersenjata golok itu jadi kelabakan, karena orang yang diserang
tahu-tahu sudah berpindah tempat tanpa diketahui gerakannya. Dan sebelum
disadari apa yang terjadi, wanita berbaju merah itu cepat mengibaskan tangannya.
Terlihat kilatan cahaya Jingga berkelebat menerjang empat laki-laki itu.
Seketika terdengar jeritan-jeritan
melengking, disusul ambruknya keempat laki-laki itu Hanya sebentar mereka
menggelepar, kemudian diam tidak berkutik lagi.
"Anggrek Jingga...," terdengar desisan tertahan.
Desisan yang begitu pelan, rupanya terdengar
juga sampai ke seluruh ruangan kedai itu. Dan
hal itu membuat semua pengunjung kedai yang


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semula masih bertahan, langsung angkat kaki
mengambil langkah seribu. Kini di dalam kedai itu tinggal si wanita berbaju
merah dan pemuda
berbaju kulit harimau yang masih saja tetap
duduk tenang di sudut ruangan kedai minum ini.
Entah ke mana, tahu-tahu semua pelayan dan
wanita penghibur di kedai ini lenyap begitu saja.
Mungkin mereka merasa takut begitu wanita
berbaju merah ini mengeluarkan anggrek Jingga
untuk menyudahi ke sombongan empat laki-laki
itu *** Nama Anggrek Jingga memang menjadi
momok menakutkan di Desa Coket ini. Sejak
terbunuhnya empat orang pemuka desa di dekat
perbatasan sebelah Timur, nama itu semakin
terkenal dan ditakuti Karena senjata anggrek
berwarna Jingga itu, maka seluruh penduduk
desa menyebutnya si Anggrek Jingga. Padahal tak seorang pun yang tahu, siapa dan
ada berapa orang si Anggrek Jingga itu.
"Kau tidak pergi, Pendekar Pulau Neraka?"
lembut namun terdengar tajam suara wanita
cantik berbaju merah itu.
Pandangan matanya lurus dan tajam tertuju
langsung pada pemuda berbaju kulit harimau
yang duduk di sudut ruangan. Pemuda itu
mengangkat kepalanya. Sejenak mereka saling
berpandangan tajam. Tampak sorot mata pemuda
itu begitu terkejut, namun mampu ditutupi
dengan sikap yang tenang dan senyuman ter-
sungging di bibir.
"Dari mana kau tahu julukanku, Nisanak"
Sedangkan aku tidak tahu siapa dirimu," datar sekali nada suara pemuda itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memang
Pendekar Pulau Neraka, yang nama aslinya Bayu
Hanggara. Sedangkan wanita cantik berbaju
merah itu hanya tersenyum saja. Dia bangkit
berdiri dan melangkah tenang menghampiri, lalu duduk di depan Bayu. Kedua orang
itu hanya dibatasi sebuah meja bundar kecil.
"Seperti kata mereka, aku bernama Anggrek Jingga," ujar wanita itu.
"Aku ingin tahu namamu yang sebenarnya,"
dingin nada suara Bayu.
"Kau cukup mengenalku begitu," balas Anggrek' Jingga tidak kalah dingin.
"Baiklah. Lalu, apa maksudmu membuat onar di sini?"
"Aku...?" Anggrek Jingga tertawa renyah. "Apakah kau tidak melihat" Bukan aku
yang memulai, tapi mereka!"
"Kedatanganmu ke sini yang mengundang,
Anggrek Jingga."
"Hhh! Dasar laki-laki!" dengus Anggrek Jingga.
"Apa ada larangan wanita datang ke sini" Dasar mereka saja yang tidak tahu
diri!" "Aku tidak ingin berdebat denganmu. Aku
tahu, kedatanganmu ke sini sengaja mencariku,"
potong Bayu tegas. "Nah! Ada keperluan apa kau ingin bertemu denganku?"
'Ternyata kau tidak bisa sedikit santai,
Pendekar Pulau Neraka. Kenapa kau selalu tidak bisa menganggap enteng semua
persoalan?"
"Tidak semua!"
"Baik..., memang tidak semua. Tapi kau selalu memandang serius setiap persoalan
yang bukan persoalanmu. Dan kau terlalu suka ikut campur
urusan orang lain!" agak lantang suara Anggrek Jingga.
"Apa maksudmu, Anggrek Jingga?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Dengar, Pendekar Pulau Neraka. Aku tahu, kau seorang pengelana. Dan kau bebas
berada di mana saja, di tempat yang kau suka. Hanya saja yang tidak kusukai,
kehadiranmu di sini dan
kelancanganmu mencampuri urusanku!" agak
tertekan nada suara Anggrek Jingga.
"Hm.... Jadi kau yang membantai pemuka-pemuka desa di sini?" Bayu mulai bisa
menangkap maksud wanita cantik ini.
"Bukan aku, tapi mereka yang membunuh diri sendiri!"
"Kenapa kau lakukan itu?"
"Sudah kukatakan bukan aku, tapi mereka
sendiri!" bentak Anggrek Jingga.
"Kau atau siapa saja, yang jelas kehadiranmu telah meresahkan seluruh penduduk
desa ini. Dan..., maaf. Aku tidak bisa diam begitu saja
melihat kejahatan berlangsung di depan mataku!"
tegas kata-kata Bayu.
"Sudah kuduga kau akan menjawab begitu,"
ujar Anggrek Jingga sinis. 'Tapi percayalah, kau tidak akan bisa melakukan apa-
apa di sini."
Setelah berkata demikian, Anggrek Jingga
langsung bangkit berdiri dan berjalan tenang ke luar kedai. Sementara Bayu masih
tetap duduk di tempatnya sambil memandangi wanita cantik
berbaju merah itu hingga lenyap dari pandangan.
Sebentar kemudian terdengar suara kaki kuda
dipacu cepat meninggalkan kedai ini.
"Hm..., siapa dia...?" gumam Bayu bertanya sendiri.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu merayapi
kedai yang sudah sepi. Tampak beberapa meja
kursi berentakan. Dia meneguk habis
minumannya, lalu bangkit berdiri setelah
meletakkan beberapa keping uang perak di atas
meja. Ayunan kakinya begitu tenang
meninggalkan kedai ini, dan terus berjalan ke luar Sementara malam terus
merambat semakin larut,
udara pun bertambah dingin menusuk kulit.
Bayu berjalan semakin jauh meninggalkan kedai.
*** "Berhenti...!"
Bayu menghentikan langkahnya ketika
mendengar bentakan keras dari belakang. Ketika diputar tubuh nya, tampak dua
orang berjalan cepat menghampiri Salah seorang membawa obor
yang terbuat dari bambu. Nyala api obor
menerangi sekitarnya, meskipun sukar
mengalahkan kegelapan malam ini
"Siapa kau"! Ada apa malam-malam
keluyuran?" tanya salah seorang yang membawa obor.
Belum juga Bayu menjawab, terdengar suara
ringkik kuda. Kemudian terdengar derap langkah kaki kuda mendekati. Tampak dari
selimut kegelapan, muncul, seekor kuda coklat belang
putih, ditunggangi seorang laki-laki tua berjubah panjang yang hampir pudar
warnanya. Dua orang yang menegur Bayu langsung menyingkir.
Penunggang kuda itu melompat turun begitu
sampai di depan Pendekar Pulau Neraka. Salah
seorang memegangi tali kekang kuda itu.
Bayu mengenali laki-laki tua ini. Orang tua
yang ditolongnya dari maut.
"Ada apa ini?" tanya Ki Dampil.
"Orang asing ini mencurigakan, Ki," sahut salah seorang yang memegangi kuda.
"Hm...," Ki Dampil mengamati pemuda
berbaju kulit harimau di depannya.
Pelahan kepalanya terangguk lalu tersenyum.
Kemudian dihampiri dan ditepuknya pundak
Bayu. Sedangkan dua orang peronda itu jadi bengong tidak mengerti.
"Kalian kembali saja. Dia bukan orang asing, tapi sahabatku yang akan
berkunjung," kata Ki Dampil.
"Oh, maaf," ucap kedua orang itu hampir berbarengan.
Bayu hanya tersenyum saja. Dan dua orang peronda itu bergegas pergi. Ki Dampil
memegangi tali kekang kudanya, kemudian mengajak Bayu
berjalan. Mereka berjalan bersisian, tanpa ada yang berbicara sampai beberapa
saat lamanya. "Aku dengar ada keributan di kedai tadi," kata Ki Dampil membuka suara lebih
dahulu. Bayu masih tetap diam.
"Beberapa pengunjung kedai menyebut
tentang dirimu. Itu sebabnya aku cepat mengejar ke sini," sambung Ki Dampil
lagi. Bayu hanya menggumam kecil.
"Kisanak, kudengar kau bicara dengan si
Anggrek Jingga di kedai. Hm.... Boleh aku tahu, apa yang kau bicarakan?" pinta
Ki Dampfl lagi.
"Dia hanya memintaku untuk meninggalkan
desa ini," sahut Bayu terus terang.
"Edan...! Apa haknya mengusirmu?" dengus Ki Dampil.
Bayu diam lagi, tapi tidak menghentikan ayunan langkahnya. Sementara Ki Dampil
jadi bersungut-sungut tidak karuan. Sebentar
dihentikan langkahnya dan Bayu terpaksa
berhenti berjalan.
"Kisanak...."
"Bayu," potong Bayu cepat. "Panggil saja aku Bayu."
"Aku Ki Dampil"
"Hm. Apa yang ingin kau katakan, Ki?" tanya Bayu.
"Apa kau ingin pergi dari desa ini?" tanya Ki Dampil
"Sebenarnya aku hanya lewat saja di sini, dan memang tidak punya urusan di desa
ini," jelas Bayu kalem.
"Kalau aku meminta, apakah kau bersedia
tinggal di sini untuk beberapa hari?" pinta Ki DampiL
"Untuk apa, Ki" Lagi pula ada yang tidak
menghendaki kehadiranku di sini," Bayu
mencoba menolak.
"Kau tentu sudah tahu kalau desa ini sedang mengalami kesulitan," bujuk Ki
Dampil. "Mungkin...," sahut Bayu seenaknya.
"Dan aku juga tahu kalau kau memiliki
kepandaian tinggi. Kisanak, desa ini memerlukan seseorang yang berkemampuan
tinggi untuk menghadapi si Anggrek Jingga," sambung Ki Dampil.
"Maaf, Ki. Bukannya hendak menolak, tapi
aku tidak punya urusan di desa ini. Lagi pula aku tidak tahu, siapa itu Anggrek
Jingga," sergah Bayu sopan.
"Kau sudah bicara dengannya di kedai tadi, Kisanak."
"Dia yang mengajakku bicara, dan aku tidak mengenalnya."
"Dia wanita berhati iblis. Sudah beberapa orang menjadi korbannya. Dan kau tahu
sendiri, empat orang pemuka desa telah tewas olehnya."
"Rasanya bukan dia yang melakukannya, Ki,"
bantah Bayu. "Sekutunya. Anggrek Jingga bukan satu
orang, entah berapa orang. Yang jelas dia sudah menjarah desa ini, tanpa
diketahui siapa saja
orang-orangnya. Kisanak, jika keadaan seperti ini tetap dibiarkan berlarut-
larut, bukan tidak
mustahil seluruh penduduk desa ini akan
dibantai habis."
"Oh..., apakah sampai sejauh itu?"
"Memang baru lima korban. Empat pemuka
desa, dan satu putra kepala desa. Tiga hari ini belum ada lagi jatuh korban."
"Belum...," gumam Bayu seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Pasti akan jatuh korban berikut, Kisanak."
Bayu terdiam membisu, dan kembali
mengayunkan langkahnya pelahan. Sementara Ki
Dampil mengikuti di samping sambil menuntun
kudanya. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi.
Entah apa yang ada dalam pikiran Pendekar
Pulau Neraka saat ini. Apakah permintaan Ki
Dampil diterima, atau perjalanannya terus
dilanjutkan"
*** 3 Ki Sampar memacu cepat kudanya
menyusuri tepian jurang di Lereng Gunung Waru.
Begitu cepa nya kuda hitam itu dipacu, seakan-
akan tidak peduli jika sewaktu-waktu bisa
tergelincir masuk ke jurang yang sangat dalam di sebelahnya. Kepala Desa Coket
itu menghentikan lari kudanya setelah sampai di depan sebuah
bangunan tua dari batu. Sebuah bangunan candi
yang biasa digunakan untuk menyembah Hyang
Jagat Nata. Dengan gerakan ringan, laki-laki tua itu
melompat turun dari punggung kudanya.
Sebentar dirayapi sekitarnya, kemudian
dilangkahkan kakinya menghampiri candi itu.
Kudanya ditinggalkan begitu saja, dan binatang itu kini merumput dengan tenang.
Pelahan kaki laki-laki tua itu terus terayun semakin mendekati bangunan batu yang tidak
begitu besar di
depannya. Dia berhenti tepat sekitar dua tombak di depan pintu candi itu. Bentuk
pintunya lebih mirip mulut gua batu.
"Kaukah itu, Sampar...?" terdengar suara lantang dan berat dari dalam candi.
"Benar, Eyang," sahut Ki Sampar.
"Ada apa kau datang ke sini?" terdengar lagi suara berat.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu,
Eyang." "Untuk apa" Tidak ada yang perlu
dibicarakan. Kau sudah memilih jalanmu sendiri, dan tidak lagi mengindahkan
peringatanku. Pulanglah, tidak ada gunanya lagi berada di Candi Laksa ini."
"Eyang, ijinkan aku bicara sedikit saja," pinta Ki Sampar memohon.
"Apa kau sudah tidak mendengar kata-
kataku lagi, Sampar...?"
"Dengar, Eyang." .
"Kenapa masih di situ?"
"Eyang...."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Sampar.
Aku minta secepatnya kau tinggalkan Candi
Laksa ini Kedatanganmu akan membawa
bencana saja. Kau ingin darah menggenang di
Candi Laksa ini" Pulanglah, Sampar. Jangan kau rusak lagi tempat ini!" tegas
kata-kata yang keluar dari dalam candi itu.
Ki Sampar terdiam dengan kepala tertunduk
dalam. Pelahan diangkat kepalanya, memandang
lurus ke dalam candi yang gelap. Hanya dari pintu batu ini jalan masuk ke dalam
candi. Sedangkan tadi, sudah jelas kalau dia tidak diperkenankan masuk. Bahkan
tegas-tegas disuruh pulang.


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan menunggu di sini sampai Eyang
bersedia menerimaku," tekad Ki Sampar pelan.
Setelah berkata demikian, Ki Sampar duduk
bersila di depan pintu Candi Laksa. Tangannya
diletakkan di lutut, dan pandangannya lurus
seakan-akan ingin menembus kegelapan di dalam
candi itu. "Apa yang kau lakukan, Sampar?" terdengar lagi suara keras dari dalam candi.
"Aku akan menunggu di sini, Eyang," sahut Sampar tenang.
"Heh...! Kau tidak boleh di..."
"Aku tidak akan pergi sebelum bertemu
Eyang, " potong Ki Sampar cepat.
"Anak setan...!" terdengar geraman dari dala candi.
Ki Sampar tidak peduli, meskipun geraman
sudah menandakan kemarahan. Laki-laki tua itu
tetap duduk bersila, dan pandangannya tidak
berkedip arah pintu batu yang menyerupai mulut gua itu.
'Tidak ada gunanya berkeras kepala, Sampar.
Kau akan mati jika tidak menuruti kata-kataku,"
bujul suara itu lagi.
Ki Sampar diam saja. Dia tetap duduk bersila
tanpa bergeming sedikit pun.
"Sampar! Kukatakan sekali lagi, pulanglah.
Tidak ada yang bisa kau peroleh di sini!"
Tetap saja Ki Sampar tidak peduli.
"Anak setan! Keras kepala...!" terdengar lagi geraman gusar.
Rupanya Ki Sampar benar-benar sudah
nekad. Sedikit pun tidak dipedulikan suara-suara dari dalam candi yang sudah
mulai bernada gusar. Dia tetap duduk bersila bagai arca batu di depan pintu candi itu.
Sementara suara dari
dalam candi tidak terdengar lagi. Mungkin sudah kesal, karena Ki Sampar tidak
mempedulikannya.
"Baik, aku ingin tahu sampai di mana
kekerasan hatimu!" dengus suara itu lagi.
Ki Sampar sedikit menyunggingkan
senyuman tipis. Tampak sinar matanya berbinar
mendengar suara terakhir itu. Dalam hati, laki-laki tua itu sudah merasa menang.
Dia tahu, kalau pemilik suara di dalam candi Itu tidak akan selamanya bertahan, dan pasti
aka keluar menemuinya. "Kau pasti akan menemuiku, Eyang," gumam
Ki Sampar dalam hati.
*** * Sementara itu di Desa Coket, Ki Dampil jadi
kelabakan karena seharian tidak menemukan Ki Sampar. Tidak ada yang tahu, ke
mana perginya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya menunggu saja di depan rumah kepala desa
itu. Dari dalam, Ki Dampil menghampiri dengan
wajah lesu. Saat itu Ki Jalak dan beberapa orang berkuda datang. Mereka langsung
melompat turun dari kuda. Ki Jalak menghampiri Ki Dampil yang sudah berada di samping
Pendekar Pulau Neraka, sedangkan beberapa orang lainnya
menunggu di luar.
"Bagaimana, Ki Jalak?" tanya Ki Dampil langsung. Ki Jalak mengangkat bahunya.
"Hhh..., belum pernah Ki Sampar begitu...,"
keluh Ki Dampil.
"Mungkin ke rumah sanak keluarganya," duga Bayu.
"Dia tidak punya keluarga lagi," ujar Ki Jalak.
"Ki Jalak...."
Ki Dampil memberi isyarat dengan matanya,
maka Ki Jalak langsung mendekat Kemudian Ki
Dampil mengajak Ki Jalak menjauh dari Bayu.
"Apa sudah kau cari ke rumah istri mudanya, bisik Ki Dampil.
"Sudah, Ki. Tapi rumah itu kosong."
"Pembantunya?"
"Tidak ada lagi. Menurut tetangganya, Nyi Renggas sudah lama pergi bersama semua
pembantunya. "Kau tidak tanyakan ke mana perginya?"
"Sudah, tapi tidak ada yang tahu."
"Sudah berapa lama?"
"Sekitar dua purnama ini."
Ki Dampil mengangguk-anggukkan
kepalanya, kemudian kembali menghampiri Bayu
yang tetap menunggu. Sedangkan Ki Jalak
menghampiri kudanya, lalu melompat naik
dengan gerakan indah dan ringan sekari
"Aku akan mencari lagi, Ki," kata Ki Jalak.
"Carilah ke tempat-tempat yang mungkin
dikunjungi," ujar Ki Dampil.
Ki Jalak langsung menggebah kudanya,
diikuti pengikutnya. Debu mengepul begitu kuda-kuda itu melaju cepat
meninggalkan halaman
depan rumah Ki Sampar. Sementara Bayu dan Ki
Dampil hanya memandangi saja.
"Aneh...," gumam Bayu tanpa disadari.
"Ya...," desah Ki Dampil.
"Ki Dampil, apa tidak mungkin Ki Sampar
pergi ke Padepokan Sangga Langit" Bukankah
anaknya menuntut ilmu di sana?" Bayu
menduga. "Hm..., memang benar. Santika memang
menuntut ilmu di Padepokan Sangga Langit
Tapi..., untuk apa ke sana?"
"Yang jelas, ini ada hubungannya dengan si Anggrek Jingga itu, Ki"
Ki Dampil memandangi Pendekar Pulau
Neraka dalam-dalam. Dugaan Bayu yang tiba-tiba itu memang tidak pernah
terpikirkan olehnya.
Memang ada kemungkinan Ki Sampar pergi ke
Padepokan Sangga langit Tapi, untuk apa ke
sana..." Inilah yang harus dibuktikan. Dan Bayu sudah menduga kalau kepergian Ki
Sampar bukan saja karena kematian anaknya, tapi juga
ada hubungannya dengan si Anggrek Jingga.
Sedangkan sampai sekarang ini belum ada
yang tahu, siapa sebenarnya si Anggrek Jingga itu.
Dan apa maksudnya membunuh Santika.
Sekarang, meskipun tidak nyata, tapi sudah
membuat gelisah seluruh penduduk Desa Coket
ini. Memang Anggrek Jingga belum mengganggu
ketentraman penduduk. Apalagi sampai
mengambil korban penduduk desa. Tapi baik
Bayu maupun Ki Dampil berkeyakinan, jika hal
ini didiamkan berlarut-larut, bukannya tidak
mustahil penduduk desa akan terkena juga.
"Kau tahu di mana letak padepokan itu, Ki?"
tanya Bayu. "Baru dua kali aku ke sana. Itu pun jika tidak lupa jalanannya," jawab Ki Dampil
ragu-ragu. Tunjukkan saja letaknya, aku akan pergi
sendiri ke sana," jelas Bayu.
'Tidak mungkin, Bayu."
"Kenapa?"
"Setahuku, letak Padepokan Sangga Langit
sangat terpencil. Malah tidak sembarang orang bisa memasukinya. Akan sulit
bagimu untuk mencapai ke sana. Harus ada seseorang yang dikenal."
"Apakah ada orang lain di desa ini yang sering ke sana?"
'Tidak. Selain Ki Sampar sendiri dan aku yang
dikenal sehingga bebas keluar masuk."
'Tapi kau tidak mungkin meninggalkan desa
ini dalam keadaan seperti ini, Ki."
"Yaaah.... Itulah sulitnya, Bayu. Sudah
menjadi kebiasaan, jika Ki Sampar tidak ada
maka seluruh tanggung jawab berada di
tanganku," nada suara Ki Dampil seperti mengeluh.
"Kau tidak bisa meninggalkan desa ini, Ki. Sedangkan harus ada yang ke Padepokan
Sangga Langit," tegas Bayu lagi.
"Aku serahkan padamu, Bayu. Rasanya
memang hanya kaulah yang bisa ke sana,
meskipun aku rasa apakah bisa bertemu Eyang
Palandara atau tidak.
"Akan kuusahakan, Ki," ujar Bayu bertekad
'Terima kasih," ucap Ki Dampil.
"Maaf, aku menghambat perjalananmu."
"Lupakan saja."
*** Dengan kuda pemberian Ki Dampil, Bayu
meninggalkan Desa Coket. Tujuannya sudah
jelas, hendak pergi ke Padepokan Sangga Langit Satu-satunya tempat yang diduga
Ki Sampar berada. Tapi, baik Bayu maupun Ki Dampil serta semua pemuka Desa Coket tidak
yakin kalau Ki Sampar ada di padepokan itu. Namun dalam
keadaan seperti ini, segala kemungkinan bisa saja terjadi dan harus dibuktikan
terlebih dahulu.
Sementara Bayu semakin jauh meninggalkan
Desa Coket Diikutinya petunjuk Ki Dampil agar.
menyusuri Kaki Gunung Waru, menuju ke Timur.
Hanya ada satu jalan setapak kecil dan ini
memudahkannya untuk memacu kudanya agar
lebih cepat Seekor kuda hitam yang gagah,
dengan kecepatan lari yang sangat me-
ngagumkan. Namun demikian, Bayu sebenarnya
lebih tenang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Karena dengan begitu, bisa
melatih dan semakin meningkatkan kemampuannya. Tapi
pemberian Ki Dampil sulit untuk ditolak
"Ini kuda kesayanganku, Bayu. Tidak ada
duanya di desa ini. Bahkan di seluruh Gunung
Waru," jelas Ki Dampil saat itu.
Bayu hanya tersenyum saja setiap kali
mengingat kata-kata Ki Dampil yang selalu
mengagumi kuda hitam ini Sepertinya laki-laki
tua itu berat sekali menyerahkannya. Dan Bayu
memang mengakui kehebatan kuda hitam yang
kini ditungganginya. Bukan saja bentuknya yang indah dan gagah, tapi larinya pun
sangat cepat Kuda ini juga tangkas, seakan-akan bisa mengerti setiap kata yang
diucapkan penunggangnya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Bayu terus menggebah kudanya agar berlari
lebih cepat lagi Jalan setapak yang dilalui kini terasa menanjak, dan juga
semakin menyempit
Bahkan kini berbatu, yang di kanan dan kirinya terdapat semak belukar berduri.
Tampak tidak seberapa jauh di set] lah kiri, terdapat jurang yang cukup besar dan dalai Bayu
memperiambat laju
kudanya, agar tidak tergeli cir. Memang jalan yang dilalui semakin mendekati
jurang, dan pada
akhirnya benar-benar berada di tepi jurang.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang ketika melongokkan kepalanya ke dalam
jurang. Sungguh dalam. Sampai-sampai dasarnya
tidak terlihat dari atas sini, karena gelap tertutup kabut yang bergulung-
gulung. Pendekar Pulau
Neraka itu melayangkan pandangannya ke
seberang jurang. Dalam hati diukurnya besar bibir jurang ini Sekali lagi dia
mendesah menghembuskan napas panjang.
'Tidak mungkin melompatinya dengan sekali
lesatan saja," desah Bayu dalam hati.
Bayu merasakan jalan yang dilalui semakin
sulit.Malah beberapa kali kaki kuda hitamnya
hampir tergelincir karena menginjak batu kerikil yang bertebaran di sekitar tepi
jurang ini. Tak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka itu, kecuali
melompat turun dari punggung kudanya.
Sebentar matanya! menatap ke depan, lalu
memandangi kuda hitam di sampingnya.
"Kau tidak boleh ditinggalkan di sini, Hitam.
Ayo, ikuti aku," kata Bayu seraya menepuk-nepuk leher kuda itu.
Kuda hitam itu mendengus-dengus seraya
mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan
mengerti ucapan Bayu. Pendekar Pulau Neraka
itu tersenyum. "Ayo."
Bayu meneruskan langkahnya hati-hati sekali
sam- bil menuntun kuda hitamnya. Dia berjalan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
untuk mengurangi beban. Batu yang dipijaknya
terasa begitu rapuh. Dan
kalau sewaktu-waktu runtuh, bisa langsung jatuh ke
dalam jurang. Dan benar juga. Belum juga jauh berjalan,
mendadak saja....
"Oh...!" Bayu tersentak kaget
Kepalanya terdongak ke atas, tampak
sebongkah batu yang cukup besar jatuh
menggelinding dari atas tebing. Suaranya
menggemuruh menggetarkan seluruh
tebing ini Sementara batu-batu lain juga
berguguran, makin membuat seluruh tepi jurang ini bergetar.
Belum juga Bayu sempat melakukan sesuatu,
mendadak saja jalan batu yang dipijaknya retak.
"Oh, tidak...!" desah Bayu agak terpekik.
"Hieeegh...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka meluruk jatuh
ke dalam jurang bersama kuda hitam yang
meringkik melengking tinggi. Batu-batu
berguguran menimbulkan getaran hebat dan
suara menggemuruh. Bayu terus meluncur jatuh


Pendekar Pulau Neraka 18 Darah Menggenang Di Candi Laksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kisah Membunuh Naga 35 Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi Panji Sakti 8
^