Pencarian

Rahasia Dara Ayu 3

Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Ayu Bagian 3


Rampik. "Hm.". Ada satu tempat yang sangat rahasia...," gumam Dewa Pengemis. 'Tapi aku
tidak yakin kalau Anom Sura
menyimpannya di sana."
"Segala kemungkinan harus dilaksanakan, Ki," celetuk Bayu.
"Kau yang lebih dekat dengan Anom Sura, jadi pasti lebih tahu tentang dia,
Kakang," tegas Nyi Rampik.
Dewa Pengemis bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya
reruntuhan bangunan Padepokan Tongkat Sakti. Kemudian
kakinya terayun melangkah. Bayu, Nyi Rampik, dan Rampita mengikuti dari
belakang. M ereka hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan dilakukan
laki-laki tua pengemis ini.
Sedangkan Dewa Pengemis terus melangkah pelahan
mendekati reruntuhan bangunan bekas padepokan tanpa
berbicara sedikit pun juga. Dilewatinya reruntuhan bangunan itu, lalu terus
berjalan menuju sebuah bangunan batu yang sudah hancur berantakan. Laki-laki tua
berpakaian compang camping itu berhenti di dekat situ.
"Bayu, bisa kau singkirkan batu-batu ini?" tanya Dewa Pengemis seraya berpaling
menatap pada Pendekar Pulau
Neraka. Bayu tak menjawab, tapi lalu melangkah ke depan
beberapa tindak. Sedangkan Dewa Pengemis mundur mendekati Nyi Rampik dan Rampita. Sebentar Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak
dengan kedua tangan terkepal di samping tubuhnya.
Kemudian digeser kakinya hingga terentang. Pelahan sekali tangannya bergerak ke depan dada, lalu kedua telapak tangannya
merapat Pelan-pelan Bayu menggosok-gosok
kedua telapak tangannya. Kemudian tangan kanannya naik ke atas dan tangan kiri ditarik hingga
sejajar pinggang. Cepat sekali ditarik tangan kanannya hingga sejajar dada.
Lalu.... "Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Bayu menghentakkan telapak tangan
kanannya yang terbuka lebar ke depan. Pada saat itu terdengar suara menggemuruh.
Tampak batu-batuan yang bertumpuk
tidak beraturan di depannya berpentalan. Sebentar saja semua batu telah
berserakan ke segala arah. Tinggal sebuah batu besar yang tampaknya tertanam di
dalam tanah, sehingga hanya
bagian atasnya saja yang terlihat
"Hebat!" puji Dewa Pengemis tulus. "Ilmu apa yang kau gunakan itu, Bayu?"
"Aku menamakan jurus 'Sapuan Gelombang Samudra',"
sahut Bayu. "Sungguh dahsyat."
'Tapi itu belum sempurna, Ki," Bayu merendah.
"Ayolah, kita angkat batu itu," ajak Dewa Pengemis.
"Ki...."
Bayu menahan dada laki-laki tua pengemis itu yang
hendak melangkah menghampiri. Dewa Pengemis menghentikan langkahnya, lalu tersenyum dan terangguk Bisa dimengerti maksud
pemuda berbaju kulit harimau itu. Selangkah kakinya mundur.
Bayu menggerak-gerakkan tangannya di depan dada,
kemudian menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil
berteriak keras. Tampak dari kedua telapak
tangannya meluncur secercah cahaya kuning keemasan. Cahaya itu
langsung menyambar batu yang terbenam ke dalam tanah itu.
Ledakan keras terdengar menggelegar. Seketika batu itu hancur berkeping-keping,
menimbulkan debu yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
Begitu debu menyebar terbawa angin, tampak sebuah
lubang yang cukup besar berbentuk segi empat. Di tengah-tengah lubang itu
terlihat sebuah kotak terbuat dari besi berwarna kemerahan. Dewa Pengemis
bergegas menghampiri, lalu masuk ke dalam lubang itu dan mengambil kotak besi.
Bayu membantu laki-laki tua itu keluar dari dalam lubang.
Dewa Pengemis membuka tutup besi. Tampak di dalam
kotak besi kemerahan itu terdapat sekuntum bunga berwarna biru yang mengeluarkan
cahaya terang berkilauan. Bunga itu bentuknya mirip bunga teratai, tapi
ukurannya lebih kecil.
Wajah Dewa Pengemis, Nyi Rampik, dan Rampita berseri-seri.
"Sudah kuduga, pasti Anom Sura menyimpannya di situ,"
desah Dewa Pengemis seraya menyerahkan kotak besi yang
sudah tertutup lagi pada Rampita. "Ini milikmu, jaga dengan baik"
Rampita menerimanya, namun bibirnya bergetar dan
matanya berkaca-kaca. Benda yang selama ini menjadi pangkal segala kerusuhan,
ternyata berhasil dimilikinya lagi. Bunga ajaib yang akan memulihkan keadaan
tubuhnya kembali seperti semula. Rampita menyerahkan kotak besi berisi Bunga
Cubung Biru itu pada Nyi Rampik.
"Buatkan obat untukku, Nyi," ucap Rampita agak tersendat suaranya.
"Baik, Gusti Ayu," sahut Nyi Rampak seraya menerima kotak besi itu, bersikap
penuh rasa hormat
"Gusti Ayu..."!" Bayu mendesis tidak mengerti. Pendekar Pulau Neraka itu
memandangi Rampita dan Nyi Rampik
bergantian. Sungguh hatinya terkejut dan tidak mengerti, kenapa Nyi Rampik
memanggil Rampita dengan sebutan Gusti Ayu.
Suatu sebutan yang biasa digunakan putri-putri bangsawan atau kerabat kerajaan. Tapi Bayu belum bisa
menanyakan, karena Dewa Pengemis sudah menggeret tangannya meninggalkan tempat itu. M eninggalkan Rampita dan Nyi Rampik yang
langsung sibuk menyiapkan peralatan yang dibawa untuk membuat ramuan obat dari
Bunga Cubung Biru.
*** Bayu mengayunkan kakinya pelahan-lahan, berjalan semakin jauh meninggalkan reruntuhan Padepokan Tongkat
Sakti. Sementara di sampingnya berjalan Dewa Pengemis.
Sesekali mereka berhenti dan menoleh ke belakang. Tampak Nyi Rampik masih sibuk
mempersiapkan peralatan untuk
membuat ramuan Bunga Cubung Biru. Tanpa terasa kedua
orang itu sudah begitu jauh meninggalkan kedua wanita itu.
"Bayu...."
"Ya?" Bayu menghentikan langkahnya.
Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan tubuh menghadap
Dewa Pengemis yang rupanya sudah lebih dahulu berhenti
berjalan. Sesaat mereka hanya saling tatap saja.
"M aaf, aku telah berlaku buruk padamu," ucap Dewa Pengemis.
"Lupakan saja," desah Bayu seraya tersenyum.
"Bayu, boleh aku bertanya secara pribadi padamu?"
"Kenapa tidak?"
"Kenapa kau selalu membela Rampita?" tanya Dewa Pengemis.
"Aku..."
Aku...," Bayu tidak bisa menyelesaikan jawabannya. Terus terang, dia sendiri tidak tahu, kenapa selalu membela gadis itu. Rampita
memang cantik. Bukan hanya wajahnya, tapi juga hatinya. Bayu dapat merasakan
kecantikan seutuhnya pada gadis itu. Tapi untuk menjawab pertanyaan Dewa
Pengemis, terasa sulit sekail
"Kenapa kau tanyakan itu, Ki?" Bayu malah balik bertanya.
"Jika kau tidak suka menjawabnya, lupakan saja. Ah!
Pikiran orang tua memang selalu macam-macam. Lupakan
saja, Bayu."
"Sikap yang sangat aneh!" dengus Bayu dalam hati. Benar-benar sulit memahami
sikap laki-laki tua ini.
Sesaat kedua orang itu membisu, seperti mencari kata-kata yang tepat untuk
berbicara kembali.
"Baiklah, kalau begitu aku yang akan bertanya padamu.
Boleh?" Bayu mengalah.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
'Tentang Rampita."
Dewa Pengemis mengerutkan keningnya.
"Siapa dia sebenarnya, Ki?" tanya Bayu.
Baru sekarang pertanyaan yang selalu menjadi ganjalan di benaknya bisa
dilontarkan. Dan Dewa Pengemis nampak
terhenyak mendengar pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu.
Sesaat laki-laki tua itu terdiam membisu. Sepertinya tengah berpikir
keras, menimbang-nimbang
untuk menjawab pertanyaan yang terasa sangat berat ini.
"Aku yakin, kau begitu dalam mengenalnya. Bahkan
Rampita memanggilmu dengan sebutan Paman. Itu sudah
menandakan antara kau dan Rampita punya hubungan," tegas Bayu lagi.
"Kenapa kau ingin tahu tentang dia, Bayu?" tanya Dewa Pengemis.
"Kenapa" Karena
aku merasa ada keanehan pada dirinya. Dan itu selalu mengganggu pikiranku. Kau ta-hu, Ki.
Hatiku tidak akan pernah puas jika hanya sete-ngah jalan saja.
Kau pasti bisa memahami maksudku,"
jelas Bayu. "Kau mencintainya, Bayu?" tebak Dewa Pengemis langsung. "Jangan tanyakan itu, Ki! Aku baru beberapa hari
mengenalnya!" dengus Bayu kurang senang.
Tidak dipungkiri, Bayu sempat juga bergetar mendengar
tebakan laki-laki tua pengemis itu. Dia sendiri tidak tahu dengan perasaannya
kali ini Belum pernah hatinya begitu penasaran ingin mengetahui diri seorang
gadis. Bahkan belum pernah mempunyai perasaan seperti ini sebelumnya. Dalam
petualangannya, sering dijumpainya gadis-gadis, tapi tidak ada yang sempat
menggetarkan hatinya.
Entah kenapa, begitu bertemu Rampita, mendadak saja
timbul berbagai macam perasaan yang sulit dicari arti dan sebabnya. Tapi yang
jelas, Pendekar Pulau Neraka itu telah menumpahkan seluruh perhatiannya. Bahkan
ada rasa cemas begitu mengetahui Rampita terluka dalam yang cukup parah dan
sukar disembuhkan.
"Rampita memang membutuhkan seseorang yang bisa
memberi perlindungan kepadanya. Sedangkan aku sudah tua, tidak mungkin bisa
melindunginya terus menerus. Kasihan dia.... M ungkin sudah takdirnya harus
bergelimang penderitaan yang tak kunjung reda," kata-kata Dewa Pengemis seakan-
akan bernada mengeluh.
Bayu langsung bisa mengerti, tapi tidak bisa memutuskan secepat ini. Dia harus
tahu betul, siapa Rampita itu sebenarnya, dan mengapa selalu mengalah pada
Seruni. Apakah antara
kedua gadis itu memiliki hubungan dekat" Berbagai macam pertanyaan yang belum
terjawab menghantui benak Pendekar Pulau Neraka itu.
"Rampita sebenarnya bukan orang lain bagiku. Dia
keponakanku satu-satunya yang tersisa. Ayahnya adalah adik kandungku sendiri,"
Dewa Pengemis mulai membuka sedikit tabir yang menyelimuti Rampita.
Bayu hanya diam saja mendengarkan, karena inilah saat
yang tepat untuk bisa mengetahui tentang diri Rampita
sesungguhnya. Dan kesempatan seperti ini sudah
lama dinantikan. "Keluarga kami terpecah belah karena adanya Bunga
Cubung Biru. Bunga itu memang banyak memberi manfaat,
tapi juga tidak sedikit mendatangkan malapetaka. Kami harus selalu menghadapi
tantangan dan bahaya yang tak pernah
kunjung padam selama bunga itu masih ada, walaupun semua hal
itu disadari betul. Pernah kami sepakat untuk memusnahkannya saja, tapi ayah Rampita tidak menyetujui.
Dia rela menyimpan bunga itu dengan segala resiko yang akan dihadapinya,"


Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Ayu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambung Dewa Pengemis.
"Aku mengerti, kenapa kau bisa dengan mudah menemukan tempat persembunyian bunga itu," gumam Bayu seperti untuk dirinya
sendiri. "Kau salah jika menyangka Anom Sura adalah ayah
Rampita, Bayu," tegas Dewa Pengemis.
"O..."!" Bayu terhenyak. Langsung dikerutkan keningnya.
"Anom Sura sebenarnya bukan ayah kandung Rampita.
M emang sejak masih bayi Rampita diasuh dan dibesarkan
olehnya." "Lalu, siapa Anom Sura itu?"
"Adikku, berarti juga pamannya Rampita."
"Lantas, di mana ayahnya sekarang?"
"Ayah Rampita sebenarnya bernama Ki Laban. Atau juga Wira Kerti, yang berjuluk
Satria Pedang Perak."
"Hm...," gumam Bayu tidak jelas.
"Waktu Rampita baru berusia satu bulan, datang bencana.
Sekelompok orang persilatan menyerbu hendak merebut Bunga Cubung Biru. Dan
malangnya, ibu gadis itu tewas. Tapi Wira Kerti berhasil menyelamatkan putrinya
dan membawa ke Padepokan Tongkat Sakti ini Dia sendiri kemudian mengembara untuk membalas dendam mencari pembunuh
istrinya."
"Lalu, apakah dia membawa Bunga Cubung Biru?"
"Bunga itu berhasil jatuh ke tangan seorang wanita berkepandaian tinggi. Aku,
Rampik, dan Anom Sura berhasil merebutnya kembali. Dan kami sepakat agar Anom
Sura yang menyimpannya."
"Hm..., lalu, apa hubungannya Rampita dengan Seruni?"
tanya Bayu, berusaha membuka tabir hubungan dua gadis itu.
"Inilah yang menyulitkan, Bayu. Setahun setelah Wira Kerti mengembara, datang
seorang wanita membawa anak. Dia terluka berat, tapi bayi perempuannya dalam
keadaan sehat Wanita itu mengaku sebagai istri Wira Kerti. Semula kami tidak mau
percaya. Tapi setelah satu minggu wanita itu
meninggal, datang seorang tua bertubuh cebol mengakuinya sebagai saudaranya. Dan
bayi perempuan itu diakuinya sebagai keponakannya.
Kami tak bisa berbuat banyak, lalu menyerahkan bayi perempuan itu padanya."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pendekar Pulau
Neraka tahu siapa laki-laki cebol itu. Dia tentu Eyang Banadu yang sudah tewas
di tangannya. Dan dugaan Bayu hampir
terbukti, bahwa antara Seruni dan Rampita tentu masih satu darah. Wajah mereka
begitu mirip, bahkan seperti saudara kembar saja. Paling tidak, Seruni dan
Rampita memiliki satu Ayah lain Ibu.
"Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Bayu," sambung Dewa Pengemis.
"Apa itu?" tanya Bayu.
"Wira Kerti sebenarnya seorang raja di Cagar Angin. Kami semua bersaudara dan
sepakat menyerahkan tahta padanya, karena dia lebih pantas dan selalu bertindak
adil. Tapi usianya tidak berlangsung lama. Kami semua cerai berai. Bahkan jadi
tidak mengenal satu sama lainnya karena harus menyelamatkan diri masing-masing."
"Kenapa?"
"Ada sekelompok orang yang tidak menyukai kehidupan kami. Dan kelompok itu
akhirnya juga pecah. Tapi ada satu orang yang berhasil menguasai Istana Cagar
Angin hingga sekarang ini."
"Siapa?" tanya Bayu ingin tahu.
"Nata Kesuma."
"Nata Kesuma.."!" Bayu tidak percaya.
Bagaimana mungkin
Bayu bisa mempercayai" Nata
Kesuma masih begitu muda. Dan kalau pun terlibat, tentu usianya sudah sama
dengan Dewa Pengemis ini. Rasanya sukar dipercaya. Tapi setelah mendengar
penjelasan Dewa Pengemis, Bayu semakin tercengang saja.
'Tapi, kenapa dia mengakui Seruni sebagai adiknya?"
tanya Bayu. Itulah, Bayu. Dia selalu memecah belah keluarga besar
kami, sehingga tidak mengatakan dirinya yang sebenarnya pada Seruni. Dia
sebenarnya sudah tua, bahkan usianya
mungkin dua kali lipat dariku."
"Hebat! Ilmu apa yang dipakai untuk bisa awet muda...?"
Bayu seperti bertanya pada diri sendiri.
"Ilmu 'Pati Sukma Bayangan'. Ilmu itu sudah dikuasainya dengan sempurna,
sehingga bisa membuat dirinya tetap muda tanpa dipengaruhi usia. Ilmu itu sangat
langka, dan tidak sembarangan orang bisa menguasainya."
Bayu berdecak kagum.
"Satu hal lagi, Bayu. Dengan ilmu itu, Nata Kesuma sukar ditandingi Dia tidak
akan mari walaupun tubuhnya tertembus ribuan senjata pusaka yang maha sakti
sekali pun."
"O..."!" Bayu semakin kagum.
' Itu sebabnya kami lebih baik menyingkir daripada
berhadapan dengannya. M encari perkara dengannya sama saja bunuh diri."
"Setiap ilmu pasti punya kelemahan, Ki."
"M emang! Tapi Nata Kesuma sudah
memindahkan kelemahan dirinya ke dalam sebuah cupu emas yang berada di dalam sabuk
pinggangnya. Tanpa cupu itu semua ilmunya
lenyap, dan dia akan kembali tua."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
*** 7 M alam sudah demikian larut. Suasana di sekitar Istana
Cagar Angin begitu sunyi. Hanya beberapa penjaga saja masih terlihat terkantuk
menjalankan tugas nya. Namun di taman belakang istana, terlihat Seruni tengah
duduk menyendiri di sebuah bangku taman tidak jauh dari kolam.
Dari sikapnya, sudah bisa ditebak kalau gadis itu gelisah.
Beberapa kali dihembuskan napas panjang dan terasa berat.
Sejak melepaskan Bayu dari penjara, gadis ini selalu diliputi perasaan gelisah.
Padahal perbuatannya tidak ada yang
mengetahui. Bahkan Prabu Nata Kesuma sendiri sampai
sekarang tidak mengetahuinya.
Gadis itu tidak tahu kalau ada sepasang mata mengawasinya dari tempat tersembunyi. Dia baru tahu saat merasa ada seseorang
berdiri di belakangnya. Saat menoleh....
"Oh...!" Seruni hampir terpekik.
"Ssst..."
"Kakang Bayu.... Ada apa ke sini?" agak berbisik suara Seruni.
Yang mengawasi Seruni sejak tadi memang Pendekar
Pulau Neraka. Laki-laki berbaju kulit harimau itu menarik tangan Seruni dan
membawanya ke tempat terlindung. Gadis itu menuruti saja tanpa membantah sedikit
pun Hatinya sudah begitu terpikat pada pemuda tampan ini, dan tidak peduli kalau
pernah bentrok. Bahkan sekarang Bayu menjadi buronan
kakaknya. "Kenapa kau ke sini, Kakang?" tanya Seruni.
"Aku rindu padamu, Seruni," sahut Bayu berbisik.
"Ah, Kakang...," desah Seruni langsung berbunga hatinya.
Tanpa malu-malu lagi, gadis itu menjatuhkan diri dan
memeluk Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu membalasnya
dengan hangat. Tapi saat Seruni hendak mendekatkan bibirnya ke bibir pemuda itu,
Bayu cepat-cepat menahan dengan jarinya ke bibir gadis itu.
"Kenapa" Kau rindu padaku, bukan?"
"Ya, aku rindu padamu. Tapi tidak di sini"
"Di mana" Di kamarku?"
Bayu hanya tersenyum saja sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Pendekar Pulau Neraka itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian menatap Seruni dalam-dalam. Gadis itu masih
melingkarkan tangannya ke leher
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Sudah kusiapkan sebuah pondok untuk kita, Seruni," kata Bayu berbisik dekat
telinga gadis itu.
"Oh, benarkah...?" berbinar mata Seruni.
'Itu juga kalau kau suka."
'Tentu suka sekali, Kakang."
"Ayolah, selagi tidak ada yang melihat."
Seruni tersenyum manis sekali. Diberikannya satu kecupan lembut di bibir pemuda
itu, sebelum Bayu dapat mencegahnya.
Dan Seruni menuruti saja ketika Bayu mengajaknya melompati pagar benteng. Tak
ada yang menyaksikan, sementara malam terus merayap semakin larut Dan kedua
orang itu lenyap di balik pagar tembok benteng yang tinggi dan kokoh.
*** Bayu dan Seruni sambil berpegangan tangan berlari-lari
kecil menembus hutan di malam gelap gulita ini Seruni tidak tahu, ke mana pemuda
itu membawanya pergi. Tapi semua tak dipedulikannya karena hatinya begitu
berbunga, melambung tinggi ke angkasa.
M ereka berhenti di depan sebuah pondok kecil yang
terbuat dari bilik bambu dan beratapkan daun rumbia. Hanya sebuah pelita kecil
yang menyala redup di dalam pondok.
Seruni memandangi pondok itu. Dilingkarkan tangannya ke pinggang Bayu. Bibirnya
tersenyum manis dan bola matanya berbinar bagai bintang yang bergemerlapan di
langit hitam. "Hanya ini yang bisa kubuat untukmu," kata Bayu
"Indah sekati, Kakang. Aku suka," sambut Seruni semakin mengetatkan pelukannya
pada pinggang pemuda itu.
"M asuk, yuk?" ajak Bayu.
Sebentar Seruni memandang wajah tampan pemuda itu,
kemudian kembali tersenyum dan
mengangguk. M ereka berjalan pelahan menuju ke pondok itu. Bayu membuka
pintunya dan mempersilakan Seruni masuk. Gadis itu melangkah masuk dan memandangi bagian dalam pondok ini.
Hanya pelita kecil dari buah jarak yang berada tergantung di tengah-tengah.
Nyala api yang redup sepertinya sanggup
menerangi seluruh bagian dalam pondok.
"Kakang.... akh!"
Seruni tak sempat lagi mengucapkan kata-kata, dan
langsung terkulai begitu membalikkan tubuh. Bayu cepat
menangkap gadis itu, lalu membaringkannya ke lantai pondok.
Pada saat itu masuk tiga orang ke dalam pondok. Bayu bangkit dan melangkah
mundur. "Aku hanya membuatnya pingsan sebentar," jelas Bayu.
"Kau hebat, Bayu," puji Dewa Pengemis.
"Sebenarnya aku benci dengan rencana ini," dengus Bayu.
"Aneh, kenapa kau membenci rencanamu sendiri?" tanya Nyi Rampik
"Pekerjaan seorang pengecut"
'Tapi tidak ada cara lain lagi, Bayu. Kau lihat apakah
Rampita mirip Seruni?" Nyi Rampik mendorong Rampita agar maju.
Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Tak ada lagi yang bisa membedakan, mana Rampita
dan mana Seruni. Kedua gadis ini serupa, seakan tak berbeda sedikit pun. Benar-
benar seperti saudara kembar. Padahal mereka hanya satu ayah, lain ibu. Dan
Rampita tahu kalau antara dirinya dengan Seruni satu Ayah. Itu sebabnya dia
selalu mengalah, karena dia sendiri tidak
bernapsu dengan segala macam urusan duniawi.
Sementara itu Dewa Pengemis sudah mengikat Seruni
dengan tambang, dan membaringkannya di dipan bambu.
Dihampirinya Rampita yang kini sudah berubah, baik tata rambut maupun
pakaiannya. Gadis ini akan menyamar jadi
Seruni, seperti yang sering dilakukan Seruni dalam melaksanakan aksinya. Sering orang menyangka kalau Rampita adalah gadis liar, binal, dan selalu membuat onar.
Padahal sebenarnya yang melakukan adalah Seruni. Gadis itu memanfaatkan
kesamaan antara mereka berdua untuk mengotori nama Rampita.
"Sebaiknya kau cepat ke Istana Cagar Angin, Rampita,"
tegas Dewa Pengemis.
"Aku tidak yakin kalau akan berhasil, Paman," kata Rampita ragu-ragu.
"Yakinkan dirimu, Rampita. Semua ini demi kebaikanmu sendiri," Nyi Rampik
memberi semangat
"Kau tidak lupa orang-orang di Istana Cagar Angin, Rampita?" tanya Dewa
Pengemis. 'Tidak," sahut Rampita.
"Bagus. Hanya kau harus berhati-hati pada Panglima Gajah Sodra.


Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Ayu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia punya pandangan tajam," Nyi Rampik memperingatkan.
"Baiklah, aku berangkat sekarang,"
ujar Rampita memantapkan hatinya.
"Hati-hati, Rampita. Ingat! Begitu memperoleh cupu itu, kau harus segera ke
sini," pesan Nyi Rampik.
Rampita mengangguk, kemudian melangkah keluar pondok Bayu bergegas mengikuti gadis itu.
"Kau kuantar sampai ke istana," kata Bayu menawarkan jasa.
Rampita tidak menolak, karena memang membutuhkan
seseorang untuk teman dalam perjalanan M ereka berjalan cepat meninggalkan
pondok itu. Namun di tengah perjalanan, mereka berhenti. Rampita memutar
tubuhnya. Dipandanginya dalam-dalam bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku tahu, setelah semua ini berakhir
kau pasti meninggalkanku," pancing Rampita pelan.
Bayu tidak berkata apa-apa.
"Kakang, apakah salah jika seorang gadis mengatakan isi hatinya lebih dahulu?"
'Tidak," sahut Bayu.
'Tapi...."
Bayu cepat menutup bibir gadis itu dengan dua jari
tangannya. Pemuda itu melangkah semakin dekat Begitu
dekatanya, sehingga hampir tidak ada jarak di antara mereka.
Pelahan Bayu menurunkan tangannya, dan berhenti di bahu.
Untuk beberapa saat mereka hanya diam saling pandang.
Pelahan wajah Bayu mendekati wajah gadis itu. Sedangkan Rampita hanya bisa
memejamkan mata dengan wajah terdongak. Bibir yang memerah sedikit terbuka itu agak
bergetar. Bayu memandangi bibir yang bergetar terbuka itu, kemudian
melumat bibir itu disertai kecupan lembut membangkitkan gairah.
"Oh...," Rampita mendesah lirih.
Gadis itu merapatkan tubuhnya dan memeluk leher Bayu
erat Agak lama mereka saling berpelukan dengan bibir
menyatu rapat. Pelahan Bayu melepaskan pagutannya, dan
mereka kembali saling pandang.
"Kakang, aku...."
"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan, Rampita," potong Bayu cepat. Rampita
terdiam. "Ayolah, kau harus sampai di istana malam ini juga," Bayu mengingatkan.
M ereka melepaskan pelukan, dan kembali berjalan cepat
menuju Istana Cagar Angin. M ereka berjalan bergandengan tangan Sesekali Rampita
mencuri pandang menatap wajah
tampan di sampingnya. Gadis itu tidak tahu, kalau hati Bayu sendiri tengah
bergolak. Kelembutan, ketegaran, dan segala sikap gadis ini telah menggoyahkan benteng
pertahanan Pendekar Pulau Neraka.
Entah, Bayu sendiri tidak tahu, apakah ini yang dinamakan cinta" Pemuda itu
memang belum pernah merasakan yang
namanya cinta. Dan memang dia tidak bisa membohongi diri sendiri. Sekeping
hatinya telah terkoyak oleh panah asmara yang tertanam dalam. Sukar baginya
untuk membantah. Bayu benar-benar menyukai gadis ini, tapi tidak ingin larut
dalam gelombang cinta.
*** Rampita ragu-ragu juga untuk mengetuk pintu kamar
pribadi Prabu Nara Kesuma. Tapi akhirnya dimantapkan
hatinya. Namun belum juga mengetuk pintu, tiba-tiba saja muncul Panglima Gajah
Sodra. "Gusti Ayu...."
"Oh!" Rampita terkejut
Cepat Rampita menghilangkan kegugupannya. Namun
sorot mata Panglima Gajah Sodra membuat hatinya bergetar dan jantungnya berdebar
tidak menentu. M enyamar seperti ini merupakan pengalaman terbaru dalam
hidupnya. Tidak heran jika gadis itu harus bisa menguasai perasaannya.
"M aaf, Gusti Ayu. Gusti Prabu tidak ada di dalam kamar ini," kata Panglima
Gajah Sodra memberitahu.
"Oh, di mana?" tanya Rampita.
"Apakah Gusti Ayu lupa" Ini hari ketujuh, purnama
kelima. Gusti Prabu selalu berada di ruang semadi setiap hari ketujuh, dan baru
keluar setelah matahari tenggelam nanti."
"Oh, iya. Aku lupa," desah Rampita buru-buru.
"Apakah ada sesuatu, Gusti Ayu?"
'Tidak," buru-buru Rampita menjawab.
Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu segera meninggalkan pintu
kamar itu. Sementara Panglima Gajah Sodra memperhatikan sambil mengerutkan kening.
"Gusti Ayu...," panggil Panglima Gajah Sodra.
Rampita menghentikan
langkahnya disertai
gemuruh dadanya. Dia teringat pesan Nyi Rampik agar selalu waspada pada Panglima Gajah
Sodra. M engingat pesan itu, dadanya semakin
bergemuruh kencang. Hatinya khawatir kalau penyamarannya akan terbongkar sebelum maksudnya tercapai.
"M aaf, Gusti Ayu. M engapa Gusti tidak membawa
pedang?" tanya Panglima Gajah Sodra yang sudah berada di depan Rampita kembali.
"Ada di kamar," sahut Rampita sekenanya.
'Tidak biasanya Gusti meninggalkan pedang," ada nada kecurigaan pada suara Gajah
Sodra. "Apakah ada larangan untuk tidak membawa pedang?"
Rampita mendelik, mencoba menghalau kegugupannya.
"Ampun, Gusti Ayu. Hamba hanya mengingatkan saja."
"Sudahlah! Aku akan ke kamar. Jangan ganggu aku. Dan beritahu kalau Kakang Prabu
sudah selesai bersemadi."
Rampita buru-buru meninggalkan Panglima Gajah Sodra
yang membungkukkan badan sedikit memberi hormat Tapi
laki-laki setengah baya itu malah memandangi dengan kening berkerut dan mata
agak menyipit Sementara Rampita terus berjalan menuju kamarnya.
Dengan tergesa-gesa dibukanya pintu kamar dan terus masuk.
Gadis itu mengunci kamar itu dan menghamburkan diri ke
pembaringan. Tapi mendadak saja hatinya tersentak ketika sebuah tangan menyentuh
pundaknya. "Oh!"
"Sss...."
"Kakang...," desah Rampita langsung duduk begitu melihat Bayu tahu-tahu sudah
duduk di tepi pembaringan ini
"Bagaimana Kakang bisa masuk ke sini?"
"Sejak semalam aku sudah berada di sini," sahut Bayu kalem.
"Seharusnya Kakang bersama Paman Dewa Pengemis dan Nyi Rampik."
"Aku mencemaskanmu, Rampita."
"Ah, Kakang...."
Bayu memberi senyuman. Tapi sesaat kemudian mata
Pendekar Pulau Neraka itu menyipit. Dipandanginya wajah Rampita yang agak
memucat. "Ada apa, Rampita?" tanya Bayu. "Kau mendapat kesulitan?"
'Panglima Gajah Sodra. Kelihatannya mencurigaiku," sahut Rampita memberitahu.
"Dia menanyakan pedang. Aku tidak tahu kalau Seruni tidak pernah melepaskan
pedangnya."
"Itu di meja," Bayu menunjuk sebuah meja.bundar di samping pintu. Di sana
tergeletak sebilah pedang.
"Bagaimana pedang itu ada di sini?"
"Waktu kau masuk ke sini, Ki Dewa Pengemis datang
membawa pedang itu untuk diberikan kepadamu. M akanya aku berada di sini
menunggumu. Ke mana saja kau semalaman?"
"M enghafal istana ini. Semalaman aku mengelilinginya."
Untuk beberapa saat tak ada lagi yang berbicara. Dan
mereka hanya saling pandang saja, kemudian sama-sama
tersenyum. Entah apa yang membuat mereka tersenyum. Yang jelas Rampita langsung
menundukkan wajahnya. Tapi Bayu
kembali mengangkat
wajah gadis itu dengan dua jari tangannya. "Kau sudah bertemu Prabu Nata Kesuma?" tanya Bayu
"Belum. Hari ini dia bersemadi sampai malam nanti," sahut Rampita.
"Hm..., sebaiknya kau beristirahat saja. Tenangkan hati dan pikiranmu.
Kesalahan kecil saja bisa menyulitkanmu, Rampita." "Baik, Kakang. Tapi...."
"Kenapa?"
"Panglima Gajah Sodra. Rasanya hatiku tidak sanggup menerima sorot matanya. Dia
sepertinya tahu kalau aku bukan Seruni."
"Kau tenang saja. Biar aku yang menanganinya."
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
"M enjauhkan dia darimu. Tenang saja, pokoknya usahakan agar mendapatkan cupu itu."
"Aku usahakan, Kakang."
"Bagus!"
Bayu memberi satu kecupan lembut di bibir gadis Itu.
"Kakang...."
Rampita menahan tangan Pendekar Pulau Neraka yang
akan bangkit berdiri.
"Kau mau ke mana?" tanya Rampita.
"Aku akan membereskan Panglima Gajah Sodra. Dialah satu-satunya orang yang
berbahaya bagi kita."
Kecemasan jelas terpancar dari sorot mata Rampita. Dan
Bayu menepuk punggung tangan gadis itu yang mencekal
tangannya, berusaha memberi ketenangan. Tapi Rampita malah menarik tangan
Pendekar Pulau Neraka itu, dan melingkarkan tangannya di leher. Pemuda itu
terpaksa menahan dengan
tangan bertumpu di pembaringan.
"Beri aku ketenangan, Kakang," bisik Rampita agak mendesah.
Bayu melingkarkan tangannya di pinggang ramping gadis
itu Dan kini bibir mereka sudah menyatu rapat Tak ada lagi kata-kata yang
terucapkan. Hanya desah napas dan suara
kecupan yang terdengar. Pelahan-lahan tubuh mereka rebah di atas pembaringan.
Rampita mendesah panjang, menahan berat badan Pendekar Pulau Neraka. Saat gadis
itu menggelinjang, tanpa disadari bagian bawah pakaiannya tersingkap.
Rampita merintih lirih ketika merasakan jari-jari tangan Bayu menjalari kulit
pahanya yang gempal. Gadis itu buru-buru mencekal tangan Bayu yang hampir saja
nyasar ke daerah terlarang. Rampita membawanya ke tempat lain di samping
tubuhnya. Kembali tangan Bayu menjalar. Gadis itu buru-buru menepis, lalu
menggelinjang keluar dari himpitan pemuda itu.
"Jangan, Kakang...," desah Rampita.
Bayu memandangi gadis itu, kemudian bangkit dan turun
dari pembaringan. Rampita merapikan pakaiannya yang sempat berantakan, sehingga
beberapa bagian tubuhnya terbuka.
"M aafkan aku, Kakang," ucap Rampita lirih.
'Tidak ada yang perlu dimaafkan Kau benar, Rampita,"
tegas Bayu. "Aku mencintaimu, Kakang. Tapi aku tidak ingin...."
"Ssst.., sudahlah. Seharusnya aku yang minta maaf padamu
" Bayu melangkah mendekati jendela. Dibukanya pintu
jendela sedikit, lalu mengawasi keadaan luar.
"Aku pergi dulu, Rampita."
Sebelum Rampita memberikan jawaban, Bayu sudah
melesat keluar melalui jendela. Rampita bergegas memburu, dan berhenti di ambang
jendela yang terbuka lebar. Tak teriihat lagi bayangan tubuh Pendekar Pulau
Neraka itu. Rampita
mendesah panjang. Entah merasa bersyukur atau menyesali, karena kesuciannya
telah terselamatkan.
*** 8 "Panglima Gajah Sodra mengatakan kalau kau ingin
bertemu denganku. Ada apa, Seruni?" tanya Prabu Nata Kesuma.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Kakang," kata Rampita. Prabu Nata Kesuma
memang belum sadar kalau gadis yang berada di depannya ini bukan Seruni.
"Katakan saja."
"Aku takut Kakang marah," Rampita mencoba merajuk
"Ha ha ha...! Kenapa harus marah, Seruni" Katakan saja.
Apa yang ingin kau bicarakan?"
'Tentang Bunga Cubung Biru."
"Hm..., kau sudah mendapatkannya?" Prabu Nata Kesuma langsung bersungguh-sungguh


Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Ayu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar Bunga Cubung Biru disebut.
"Belum. Tapi aku ingin tahu, untuk apa bunga itu bagimu, Kakang?"
"Kau kan tahu, Seruni. Bunga Cubung Biru banyak sekali kegunaannya. Salah satu
kegunaannya bisa menyempurnakan hidup dan seluruh ilmu-ilmu yang kumiliki. Apa
kau tidak bangga mempunyai Kakak yang digdaya" Pertanyaanmu aneh-aneh saja,
Seruni." 'Tapi, kenapa Kakang tidak memberiku ilmu-ilmu yang Kakang miliki?"
' "Untuk apa" Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang pun sudah sukar dicari
tandingannya. Ilmu yang kau peroleh dari Eyang Banadu sudah cukup tinggi."
'Tapi aku ingin seperti Kakang," rajuk Rampita.
"Itu tidak mungkin, Seruni. Semua ilmuku tidak boleh ada yang
bisa menyamai. Tidak sembarang orang bisa menguasainya. Ah, sudahlah. Kenapa kau mempermasalahkan itu" Yang penting
tugasmu adalah mendapatkan Bunga
Cubung Biru."
Rampita terdiam. Gadis itu melihat ke pinggang pemuda
tampan yang sebenarnya sudah berusia lebih dari seratus tahun.
"Ke mana sabukmu, Kakang?" tanya Rampita tidak melihat Prabu Nata Kesuma memakai
sabuk. "Oh!" Prabu Nata Kesuma terperanjat seperti baru tersadar kalau tidak lagi
mengenakan sabuk emasnya. "Pasti tertinggal di bilik semadi."
"Ah, Kakang sudah sudah mulai pelupa. Biasanya sabuk itu tidak pernah
ketinggalan."
"Aku terburu-buru tadi. Seruni, bisa tolong ambilkan sabukku?"
Rampita tersenyum.
Entah kenapa, hatinya menjadi
gembira mendengar permintaan Prabu Nata Kesuma. Sungguh tidak disangka akan
semudah ini tugasnya. Tanpa menunggu waktu lagi, gadis itu langsung bangkit dan
melangkah keluar dari kamar itu. Tapi belum juga melewati pintu, Prabu Nata
Kesuma sudah memanggilnya.
"Cepat kau bawa ke sini, aku harus segera membersihkan diri," pesan Prabu Nata
Kesuma. "Baik, Kakang," sahut Rampita.
Bergegas gadis itu keluar dari kamar pribadi raja yang
kelihatannya muda itu. Sementara Prabu Nata Kesuma masih duduk bersila
beralaskan permadani tebal berwarna biru muda.
Diraba-raba pinggangnya yang tidak mengenakan sabuk emas.
Di dalam sabuk itu tersimpan sebuah cupu kecil yang menjadi segala pusat
kekuatan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya.
"Hhh...! Untung Seruni mengingatkan," desahnya.
*** Rampita menimang-nimang sabuk emas di tangannya.
Bibirnya tersenyum mengamati sabuk
yang indah ini. Kemudian dikenakannya sabuk itu di pinggangnya. Pas! Tidak kekecilan atau
kebesaran. Padahal ukuran pinggangnya dengan pinggang Prabu Nata Kesuma tidak
sama. Tapi, sabuk ini pas sekali.
Rampita menutupi sabuk itu dengan melilitkan selendang
berwarna biru muda, kemudian keluar dari bilik semadi itu.
Dua orang penjaga membungkukkan badan memberi hormat.
Rampita bergegas meninggalkan bilik semadi itu. Tapi baru saja berjalan sekitar
tiga batang tombak, tampak di depannya berjalan Panglima Gajah Sodra. Ayunan
kakinya lebar-lebar dan nampak tergesa-gesa.
"Gusti Ayu, hamba diminta untuk membawa sabuk Gusti Prabu," jelas Panglima Gajah
Sodra begitu dekat di depan Rampita.
"Justru aku baru dari bilik semadi, tidak ada sabuk Kakang Prabu di sana," ujar
Rampita. 'Tapi, tadi Gusti Prabu mengatakan kalau Gusti, Ayu
sedang mengambil sabuknya yang tertinggal di bilik semadi."
"Kenyataannya tidak ada! Kalau tidak percaya, cari saja sendiri!" dengus
Rampita. Panglima Gajah Sodra bergegas masuk ke dalam bilik
semadi Sedangkan Rampita tersenyum tipis memperhatikan
Tidak lama kemudian laki-laki setengah baya itu keluar lagi, dan berhenti di
depan Rampita yang tersenyum sinis.
"Percaya tidak" Sabuk itu tidak ada," ujar Rampita sinis.
"Hamba harus segera melaporkannya, Gusti Ayu."
"Sekalian katakan, aku akan berburu ke hutan."
Rampita bergegas pergi meninggalkan Panglima Gajah
Sodra. Sedangkan laki-laki setengah baya itu segera melangkah pergi menuju kamar
pribadi Prabu Nata Kesuma. Beberapa
prajurit yang berpapasan dan memberi hormat, tidak ditanggapi sama sekali
Panglima Gajah Sodra bergegas masuk ke kamar yang besar dan indah itu.
"M ana sabukku?" tanya Prabu Nata Kesuma langsung.
"Tidak ada, Gusti Prabu," sahut Panglima Gajah Sodra seraya memberi hormat.
'Tidak ada..."!" Prabu Nata Kesuma mendelik.
"Gusti Ayu Seruni juga tidak menemukannya di...."
"Panggil Seruni ke sini!" bentak Prabu Nata Kesuma memotong cepat
'Tapi, Gusti. Gusti Ayu Seruni sudah pergi berburu ke
hutan." "Apa kau bilang..."!" Prabu Nata Kesuma semakin berang.
"Ampun Gusti Prabu," buru-buru Panglima Gajah Sodra memberikan sembah.
"Cepat kejar, dan bawa ke sini! Aku tidak mau tahu, hidup atau mati. Bawa anak
itu ke sini dan serahkan sabuknya
padaku!" "Hamba laksanakan segera, Gusti Prabu."
Panglima Gajah Sodra bergegas keluar dari ruangan itu.
Sementara Prabu Nata Kesuma tampak gusar. Wajahnya
memerah dan gerahamnya bergemeletuk
menahan geram. "Edan! M alam-malam begini berburu!" dengus Prabu Nata Kesuma.
Tapi mendadak saja Prabu Nata Kesuma tersentak, dan
buru-buru berlari keluar kamar pribadinya. Tapi Panglima Gajah Sodra sudah tidak
terlihat lagi. Laki-laki itu bergegas menuju kamar Seruni. Ditendangnya pintu
kamar itu hingga jebol berantakan. Dipandanginya setiap sudut kamar itu.
M atanya langsung tertuju pada sebilah pedang yang tergeletak di atas meja.
"Setan! Dia pasti bukan Seruni! Pasti Rampita...!" geram Prabu Nara Kesuma baru
tersadar. Bergegas Prabu Nata Kesuma keluar dari kamar itu. Laki-
laki yang sebenarnya sudah tua itu berteriak-teriak memanggil semua prajuritnya
sambil terus berlari keluar istana. Seluruh prajurit langsung berlarian dan
berkumpul di depan istana.
Prabu Nata Kesuma berdiri bertolak pinggang di ujung tangga beranda.
"M ana Panglima Gajah Sodra?" tanya Prabu Nata Kesuma lantang.
"Gusti Panglima membawa seratus-prajurit menyusul
Gusti Ayu Seruni," jawab salah seorang punggawa.
"Siapkan kudaku' Bawa seluruh senjata dan kerahkan kekuatan kalian. Kejar Seruni
hidup atau mati!" perintah Prabu Nata Kesuma keras menggelegar.
Tak ada seorang prajurit pun yang berani membantah.
M ereka bergegas melaksanakan perintah itu. Dan tidak lama kemudian serombongan
besar bergerak meninggalkan Istana Cagar Angin. Prabu Nata Kesuma berkuda paling
depan didampingi empat punggawa. Hampir seribu prajurit yang
mengiringinya. Itu pertanda seluruh kekuatan Kerajaan Cagar Angin telah
meninggalkan istana.
*** Sementara itu di pinggiran hutan, Bayu sudah menghadang rombongan yang dipimpin
Panglima Gajah Sodra. Pendekar
Pulau Neraka itu langsung mengamuk menghajar para prajurit hingga berantakan.
Jerit dan pekikan melengking memecah kesunyian di tengah malam ini Tubuh-tubuh
bergelimpangan bersimbah darah. Bayu bertarung menggunakan jurus-jurus cepat
Senjata mautnya tergenggam di tangan, membabat setiap prajurit yang tak sempat
lagi menghindar.
Saat hampir seluruh prajurit tewas, muncul Rampita yang langsung
menerjunkan diri dalam kancah pertempuran. Kemunculan gadis itu membuat sisa-sisa prajurit itu semakin kelabakan, bahkan
berusaha melarikan diri. Bayu melihat Panglima Gajah Sodra mencoba kabur, namun
cepat-cepat dihadangnya. Pada saat itu, Rampita juga sudah menghabiskan sisa prajurit yang
ada dan sudah berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Sejak semula aku sudah curiga padamu, Rampita!"
dengus Panglima Gajah Sodra dingin.
"Sayang terlambat, Panglima Gajah Sodra. Aku sudah menguasai sabuk emas Nata
Kesuma," ujar Rampita disertai senyum sinis.
Rampita melepaskan
selendang biru yang membelit pinggangnya, dan melemparkan begitu saja ke samping.
Tampak di pinggangnya melilit sebuah sabuk berwarna
keemasan. Panglima Gajah Sodra mendelik, melihat sabuk
emas itu berada di pinggang Rampita. Sedangkan gadis itu tersenyum-senyum penuh
kemenangan. "Bersiaplah menerima hukumanmu, pengkhianat!" geram Rampita.
Seketika itu juga Rampita melompat menerjang Panglima
Gajah Sodra. Terjangan gadis itu demikian dahsyat. Hal ini membuat laki-laki
setengah baya itu terperangah sejenak, namun cepat berkelit dan memberi serangan
balasan. Tapi Rampita bukanlah wanita sembarangan. Apalagi
derita akibat luka dalam yang dialaminya sudah lenyap oleh Bunga Cubung Biru.
Bahkan kini dengan sabuk emas di
pinggang, gadis ini bergerak begitu cepat seringan kapas. Hal ini membuat
lawannya sebentar saja sudah terdesak hebat Beberapa kali pukulan dan tendangan
Rampita mendarat di tubuhnya.
Panglima Gajah Sodra menyadari kalau tidak
akan mungkin bisa menandingi Rampita yang mengenakan sabuk
emas itu. Bahkan ketika ujung pedangnya berhasil menggores bahu kanan gadis itu,
tak ada luka sedikit pun. Kulit Rampita jadi kebal, bahkan tenaga dalamnya
berlipat ganda. Sabuk emas yang dikenakan gadis itu sudah merasuk, sehingga
membuatnya semakin tangguh dua kali lipat
"M ampus kau! Hiyaaa...!" seru Rampita keras.
Seketika itu juga Rampita melontarkan satu pukulan keras ke dada Panglima Gajah
Sodra. Pukulan yang begitu cepat dan bertenaga dalam sangat tinggi itu tak dapat
dihindari lagi, tepat menghantam dada lawan.
Dughk! "Aaakh...!" Panglima Gajah Sodra menjerit keras.
Tubuh laki-laki setengah baya itu terlontar hebat sejauh beberapa
batang tombak. Rampita langsung melompat mengejar, dan memberi satu tendangan menggeledek disertai pukulan dahsyat ke
bagian kepala. Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah. Panglima Gajah
Sodra kembali menjerit melengking. Tubuhnya seketika ambruk, langsung diam tak berkutik lagi.
Darah merembes keluar dari kepala yang remuk
Rampita berdiri tegak memandangi mayat Panglima Gajah
Sodra Kepalanya menoleh ketika merasakan bahunya disentuh lembut Ternyata Bayu
sudah berdiri di sampingnya. Rampita menyandarkan kepalanya di dada Pendekar
Pulau Neraka itu.
"Ayo, Rampita. Kita harus segera menemui Dewa
Pengemis dan Nyi Rampik," ajak Bayu.
"Ayo, Kakang."
Tapi belum juga mereka berjalan meninggalkan tempat itu, mendadak terdengar
suara menggemuruh dari arah belakang.
Kedua anak muda itu langsung memutar tubuhnya berbalik.
Tampak debu mengepul di udara. Semakin jelas terdengar.
Suara ratusan ekor kuda dipacu cepat disertai teriakan-teriakan keras
menggelegar. Bayu dan Rampita saling berpandangan.
"M ereka mengejar, Kakang," desah Rampita.
"Ya! Jumlah mereka begitu banyak," sahut Bayu.
"Bagaimana, Kakang?"
Bayu tidak segera menjawab. Dan sebelum bisa mengeluarkan suara, ribuan prajurit berkuda yang langsung dipimpin Prabu Nata
Kesuma sudah muncul. Bayu dan
Rampita saling berpandangan. Sungguh tidak disangka kalau Prabu Nata Kesuma akan
membawa begitu banyak prajurit
*** "Rampita! Serahkan sabuk itu padaku!" bentak Prabu Nata Kesuma lantang.
"Heh, enak saja! Sabuk ini milikku!" dengus Rampita ketus.
"Dengar, Rampita. Aku akan mengampunimu, asal kau
serahkan sabuk itu padaku," Prabu Nata Ke-suma mencoba membujuk.
"Sekali tidak, tetap tidak!" tegas Rampita.
"Setan...!" geram Prabu Nata Kesuma.
Kemarahan laki-laki muda tampan itu semakin memuncak
melihat sabuk emasnya sudah membelit pinggang Rampita.
Dan dia tahu, orang yang mengenakan sabuk itu akan sukar dikalahkan. M eskipun
tanpa sabuk itu dia masih memiliki kekuatan, tapi sebagian besar sudah lenyap.
"Hari ini riwayatmu tamat, Prabu Nata Kesuma!" desis Rampita dingin
"Setan keparat...! Seraaang...!" seru Prabu Nata Kesuma tak dapat lagi menahan
kemarahannya. Seketika itu juga, ribuan prajurit yang sejak tadi sudah siap menunggu perintah
langsung berhamburan menyerbu Pendekar Pulau Neraka dan Rampita. Tentu saja
kedua orang itu jadi gelagapan. M eskipun mereka memiliki kepandaian sangat
tinggi, tentu tidak mungkin sanggup menghadapi ribuan
prajurit ini. "M ati kita, Kakang...," desis Rampita.
Namun belum juga para prajurit itu mencapai Bayu dan
Rampita, mendadak
saja bertebaran
ribuan anak panah menghujani para prajurit itu. Seketika terdengar jerit dan pekikan melengking,


Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Ayu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disusul tumbangnya prajurit-prajurit dengan tubuh tertancap panah.
Belum juga ada yang sempat menyadari, tiba-tiba saja dari segala
arah berlarian orang-orang berpakaian compang camping membawa tongkat yang beraneka ragam bentuknya.
M ereka langsung menyerang para prajurit yang masih
dihinggapi kepanikan. Tak dapat dihindari lagi, pertempuran masai pun terjadi.
Jerit dan pekik melengking disertai teriakan-teriakan pertempuran bercampur
menjadi satu. Tampak Prabu Nata Kesuma kelabakan mengatur para prajuritnya yang
berantakan. Teriakan-teriakannya
yang keras memberi perintah, tenggelam dalam hiruk pikuknya suara pertempuran.
Saat itu Bayu melihat seorang laki-laki tua kurus kering tengah mengamuk
membantai para prajurit dengan tongkatnya.
Tidak jauh darinya, tampak seorang perempuan tua berjubah kumal yang juga
mengamuk menggunakan tongkat Bayu
mengenali mereka. Dan ternyata Rampita juga melihat Kedua anak muda itu saling
berpandangan sejenak.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Rampita meminta pendapat
"Kau bantu Dewa Pengemis dan Nyi Rampik, sementara aku akan menghadapi Prabu
Nata Kesuma," kata Bayu.
"Baik, Kakang," sahut Rampita.
Gadis itu tidak membuang-buang waktu lagi, langsung
terjun ke dalam kancah
pertempuran. Sementara Bayu melompat mendekati Prabu Nata Kesuma yang tengah
menggempur para pengemis yang mengeroyoknya. M eskipun
tanpa sabuk emas, namun Prabu Nata Kesuma tidak bisa
dianggap enteng. Pukulan dan tendangannya masih berbahaya, walau kadar
kekuatannya jauh berkurang.
"M undur semua...!" seru Bayu keras.
"Bayu...," desis Prabu Nata Kesuma.
Para pengemis yang mengeroyok Prabu Nata Kesuma
langsung berlompatan mundur. M ereka kemudian menyatu
bersama yang lainnya, menggempur para prajurit yang semakin kedodoran. Entah
sudah berapa orang bergelimpang tak
bernyawa. Tapi banyak juga yang berhasil melarikan diri.
Pertempuran terus berlangsung meskipun para prajurit Kerajaan Cagar Angin semakin terdesak hebat
"Aku lawanmu, Prabu Nata Kesuma!" desis Bayu dingin.
"Huh! M enyesal kau kubiarkan hidup!" dengus Prabu Nata Kesuma.
"Tidak ada gunanya lagi penyesalan. Bersiaplah, Prabu Nata Kesuma!"
Bayu langsung menggerakkan tangannya di depan dada.
Pandangannya tajam menusuk langsung bola mata Prabu Nata Kesuma. Sedikit Bayu
menggeser kakinya ke samping.
Sedangkan Prabu Nata Kesuma sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Juga,
digeser kakinya pelahan mengikuti gerak kaki Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
M ereka sama-sama berlompatan menyerang. Prabu Nata
Kesuma mengibaskan pedangnya ke arah leher. Namun manis sekali Bayu berkelit,
bahkan dengan cepat melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
Pukulan Bayu yang cepat dan keras, masih dapat dihindari lawannya. Namun
pertarungan tidak berhenti sampai di situ.
M asing-masing mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya. M eskipun hanya menggunakan tangan kosong, tapi pergelangan tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka itu sangat dahsyat Setiap tebasan pedang Prabu Nata
Kesuma selalu ditangkis de ngan pergelangan tangannya yang terdapat Cakra M aut Senjata
andalan yang jarang digunakan jika tidak dalam keadaan terdesak.
Dalam waktu sebentar saja, puluhan jurus telah terlewati.
Namun pertarungan masih berlangsung sengit Bayu mengakui kalau lawannya ini
sangat tangguh,
meskipun sebagian
kekuatannya telah sirna akibat sabuk emas yang menyimpan kekuatannya sudah
berpindah tangan.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Prabu Nata Kesuma berteriak keras.
Seketika itu juga dikibaskan pedangnya cepat mengarah ke kepala. Tak ada lagi
kesempatan bagi Bayu yang baru saja menghindari tendangan menggeledek lawannya
ini. Dengan cepat digerakkan tangan kanannya menangkis pedang itu.
Tring! Benturan keras terjadi sehingga menimbulkan bunga api.
Selagi pedang Prabu Nata Kesuma terpental balik, cepat-
cepat Bayu memiringkan tubuhnya. Dan secepat itu pula
dikibaskan tangan kanannya ke atas. Cakra M aut melesat cepat bagai kilat ke
arah dada Prabu Nata Kesuma yang tidak menyadari akan serangan kilat itu.
Crab! "Aaa...!" Prabu Nata Kesuma menjerit keras melengking.
Cakra M aut yang dilepaskan Bayu menembus dada Prabu
Nata Kesuma hingga tembus ke punggung. Dan sebelum laki-laki itu bisa menguasai
tubuhnya, Cakra M aut yang melesat melalui punggung,
terbalik cepat Senjata itu langsung membabat lehernya. Sekati lagi Prabu Nata Kesuma menjerit melengking tinggi.
Darah muncrat dari dada dan leher.
Cakra M aut kembali menempel di pergelangan Pendekar
Pulau Neraka. Saat itu juga Bayu melentingkan tubuhnya
sambil berteriak keras. Dan dengan satu tendangan keras menggeledek yang
mendarat di tubuh Prabu Nata Kesuma,
Pendekar Pulau Neraka membuat lawannya seketika itu juga ambruk menggelepar ke
tanah. Sebentar kemudian, tubuh
penguasa Kerajaan Cagar Angin itu diam tak bergerak-gerak lagi.
Keanehan terjadi Laki-laki muda tampan itu berangsur-
angsur berubah tua keriput. Prabu Nata Kesuma kembali ke asalnya, seorang laki-
laki tua yang berusia lebih dari seratus tahun Bayu memandangi sambil bergerak
mundur beberapa
tindak. Pada saat yang sama, para prajurit Kerajaan Cagar Angin sudah melarikan
diri setelah melihat rajanya tewas.
Sebagian pengemis mengejar, tapi sebagian lagi diam saja sambil mengurangi
lelah. Bayu memutar tubuhnya ketika mendengar
langkah menghampiri. Rampita berjalan cepat menghampiri Pendekar Pulau Neraka diikuti
Dewa Pengemis dan Nyi Rampik. Gadis itu langsung memeluk Bayu dan memberi satu
kecupan di bibir. 'Terima kasih. Untung kau cepat datang, Ki," ucap Bayu setelah Rampita
melepaskan pelukannya.
"Sudah kuduga hal ini akan terjadi, jadi cepat-cepat kukumpulkan rakyatku,"
jelas Dewa Pengemis.
Bayu memandangi para pengemis yang berjajar di belakang laki-laki tua itu. M eskipun dari kalangan
pengemis, tapi kemampuan yang dimiliki sungguh luar
biasa. "Bagaimaan dengan Seruni?" tanya Bayu.
"Biar aku yang menangani. Bagaimanapun juga dia masih keponakanku," celetuk Nyi
Rampik. "Dan kau bisa kembali ke istana, Rampita," sambung Dewa Pengemis.
Rampita tidak menyahut, tapi malah memandangi Bayu.
Seakan-akan gadis itu meminta pendapat Pendekar Pulau
Neraka. Dewa Pengemis menggamit lengan Nyi Rampik dan
mengajaknya pergi. Kedua orang tua itu seperti sengaja
membiarkan dua anak muda ini berbicara berdua saja.
"M aaf, Rampita. Aku harus pergi," kata Bayu pelan
"Ya. Kita memang tidak bisa bersama-sama. Aku juga akan kembali ke Gunung Cakal.
Di sanalah tempatku, bukan di istana," desah Rampita.
Sesaat mereka saling berpandangan
"Kapan kau akan pergi, Kakang?" tanya Rampita.
"Secepatnya," jawab Bayu singkat
"Boleh minta sesuatu?"
"Katakan saja."
"Aku ingin kau tinggal bersamaku untuk beberapa hari."
Sukar bagi Bayu untuk menolak permintaan gadis ini.
Dipandanginya bola mata bening
indah itu, kemudian dilingkarkan tangannya di pinggang yang ramping. Tubuh
mereka merapat, sementara wajah mereka juga begitu dekat Rampita melingkarkan
tangannya di leher pemuda itu. Tak ada kata-kata terucapkan. Tahu-tahu bibir
mereka sudah menyatu rapat, mengikuti alur gelombang asmara yang disadari tak
akan bisa bersatu.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Prabarini 5 Pedang Naga Hitam Lanjutan Dari Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Romantika Sebilah Pedang 2
^