Demi Tahta Dan Cinta 1
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta Bagian 1
DEMI TAHTA DAN CINTA Oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-
lam episode: Demi Tahta dan Cinta
128 hal; 12 x 18 cm
1 Tengah pesta perkawinan berjalan dengan
khidmatnya, tiba-tiba dari atap melorot sesosok tubuh seorang pemuda yang telah
berdiri memandang tajam
dan kurang ajar pada I Ayu Mantini. Senyum sinisnya
mengembang, kakinya perlahan menghampiri kedua
mempelai tanpa dapat dicegah. Tangannya dengan ku-
rang ajar membelai janggut I Ayu Mantini, lalu dengan congkak ia berkata.
"Cah Ayu, tak pantas kau bersanding dengan
pemuda yang berdiri di sampingmu, tapi kau pantas-
nya dengan aku."
Tangannya yang tadi hanya membelai janggut,
seketika hendak menarik lengan I Ayu Mantini. Namun
maksud Kardika tak kesampaian ketika terdengar sua-
ra bentakan di belakangnya.
"Iblis busuk! Apa perlunya kau mengganggu
kami!" Walau suara itu keluar dari mulut orang tua, api karena dilandasi dengan
tenaga dalam maka suara
itu bagai menggelegar terdengarnya. Kardika seketika menoleh dan memandang sinis
pada lelaki tua di hadapannya.
"Ki Putut Mantra. Kau tahu siapa aku?" ucapnya menyombong, lalu perlahan
dihampirinya Ki Putut
Mantra yang memandang padanya dengan sorot ke-
bencian. "Mengapa kau tidak bilang padaku kalau kau
punya anak gadis semolek ini, Ki?"
"Itu bukan urusanmu, Iblis!" menjawab Ki Putut Mantra dengan ketus. Ia tahu
siapa Kardika. Ia sudah bertekad tak mau menyerahkan putrinya pada ib-
lis mata keranjang itu.
Mendengar ucapan Ki Putut Mantra, Kardika
bukannya marah. Bahkan sebaliknya ia tertawa berge-
lak-gelak, kemudian ia berkata sinis:
"Ki Putut Mantra! Kau telah tahu aku, semes-
tinya kau tidak sembrono. Semestinya anakmu dengan
ikhlas kau berikan padaku, dan nyawa tuamu yang
bau tanah harus ku buang ke neraka. Ha... ha... ha...!"
Bagaikan tak memandang sebelah matapun Kardika
membalikkan tubuhnya. Lalu dengan sebat dicekalnya
tangan I Ayu Mantini. Tapi belum sampai maksudnya,
tiba-tiba berkelebat Ki Putut Mantra menghalangi yang membuat Kardika menggeram
kesal. "Hem... kau mencari mampus tua bangka keparat...!"
"Kau yang mencari mampus, Iblis! Apa hakmu
membuat kericuhan di sini...?" menjawab Ki Putut Mantra tak mau kalah ketusnya.
Kejengkelan telah melanda hati Kardika hingga
tampak wajahnya merah membara, lalu dengan diser-
tai emosi, Kardika membentak. "Tua bangka tak tahu diuntung, rupanya kau ingin
mampus berani menentangku!" Maka tanpa menunggu ucapan Ki Putut Mantra, Kardika
telah menyerang dengan cepat. Suasana
yang tadinya tenang kini riuh. Anak-anak dan wanita
berserabutan mencari perlindungan.
Kardika yang jengkel dengan ulah Ki Putut
Mantra tanpa sungkan-sungkan segera menyerang
dengan jurus-jurus yang membahayakan. Tak kalah Ki
Putut Mantra, walaupun umurnya sudah tua tapi ke-
gesitan sebagai seorang pendekar masih tersisa. Hing-ga serangan-serangan
Kardika dengan mudah dapat
dielakkan. Melihat hal itu Kardika makin mendengus kes-
al. "Hem.... Rupanya kau masih lincah seperti dulu, Tua bangka! Tapi jangan
harap kau mampu lepas dari
tanganku." Bersama itu Kardika kembali menyerang.
Kali ini dikeluarkan jurus-jurus intinya, ia tak ingin membuang-buang waktu.
Ki Putut Mantra yang sudah waspada segera
mengimbanginya, mengelak dan sesekali menyerang.
Walaupun begitu, karena usianya sudah tua, lama ke-
lamaan Ki Putut Mantra dapat didesak oleh Kardika.
Demi melihat mertuanya tidak unggulan, Wayan Saba
segera bermaksud membantu.
Namun hal itu bukan menjadi meringankan
beban Ki Putut Mantra. Bahkan sebaliknya, pikiran Ki Putut Mantra bercabang.
Pertama pada Kardika, dan
kedua pada keselamatan menantunya. Ia tahu Kardika
bukan tandingannya, walau dikeroyok sekalipun.
"Wayan... jangan mendekat!" seru Ki Putut
Mantra memperingati. Namun Wayan yang memang
jengkel pada kelakuan Kardika sedari tadi tak ambil
perduli, sehingga membuat Ki Putut Mantra gusar.
"Wayan... pergi kau dan bawa istrimu!" Bersamaan dengan selesai ucapannya,
sebuah pukulan "WESI
GENI" yang dilancarkan Kardika menghantam telak di dadanya. Ki Putut Mantra
terpental tiga tombak ke belakang, dari mulut orang tua itu meleleh darah segar.
Melihat ayahnya terluka dalam, I Ayu Mantini
segera memburu menghampiri.
"Ayah... ayah...!" I Ayu Mantini menangis, kala ia tahu ayahnya telah meninggal.
Sementara di lain pihak, Wayan tengah menjadi bulan-bulanan Kardika
yang bukan tandingannya. Sebuah pukulan Kardika,
membuat Wayan terpelanting lima tombak ke belakang
jatuh di depan tetua Adat yang membantunya berdiri
sembari berkata padanya:
"Pergilah! Kau tak menghadapi dia. Pergilah ke
wilayah Kulon dan carilah seorang Guru sahabatku
yang bernama Ki Turangga Bayu. Cepat...! jangan hi-
raukan apa yang terjadi di sini, biar kami yang menan-gani." "Lalu istriku...?"
Dengan tertatih-tatih Wayan berdiri bermaksud
mendekati istrinya. Namun sebuah tendangan Kardika
membuat ia terjungkal dan terpelanting keluar rumah.
Merasa tidak unggulan, akhirnya Wayan pun menurut
saran sesepuh Adat.
Dengan terlebih dahulu menengok pada is-
trinya, Wayan segera mengambil kuda dan lari dari si-tu. Kardika yang melihat
Wayan melarikan diri, segera memburunya.
Di ufuk Timur sudah nampak mentari, pertan-
da hari sudah pagi. Wayan menghentikan kudanya me-
langkah perlahan mencari sumber air. Kerongkongan-
nya terasa kering, sebab semalam ia telah menguras
habis tenaganya untuk bertarung sekaligus untuk ber-
lari. Lamunannya terus tertuju pada istrinya I Ayu
Mantini. Dendamnya pada Kardika membuat Wayan
melangkah dengan hampa, hingga jurang yang ter-
pampang di hadapannya tak dilihatnya. Terdengar jeritan Wayan yang membahana,
manakala tubuhnya ter-
perosok, masuk ke dalam jurang.
* * * Kardika yang telah sampai di situ segera men-
cari Wayan. Matanya yang tajam dan liar memandang
ke segenap penjuru. Namun apa yang dicari tak dite-
mukannya. "Aneh.... Aku tadi melihat dia di sini." Belum puas Kardika mencari Wayan,
dicobanya kembali un-
tuk memeriksa sekeliling lembah itu. Dan ketika ia melihat ke bawah jurang,
tampak olehnya bangkai kuda
yang menjadi tunggangan Wayan.
"Hem.... Rupanya bocah ingusan itu telah
mampus," ucap Kardika. Di bibirnya tersungging kemenangan, lalu dihelanya tali
kuda tunggangannya
kembali ke tempat I Ayu Mantini yang tadi ditinggal-
kan. Dipacu kudanya dengan cepat. Secepat piki-
rannya membayangkan I Ayu Mantini yang benar-
benar ayu. Membayangkan hal itu, kembali Kardika
tersenyum-senyum.
Kampung Tegal Rejo geger, semua warga ber-
duyun-duyun datang ke tempat kepala kampungnya
untuk melayat. Di situ masih tampak tetua Adat di-
bantu oleh anak buah sesepuh desa, tengah mengurus
mayat sesepuh desa itu. Kaum wanita mencoba meng-
hibur I Ayu Mantini yang masih menangis, sedang para pemudanya tampak berjaga-
jaga di halaman rumah.
Belum juga mereka tenang, tiba-tiba secepat ki-
lat seekor kuda dengan penunggangnya menerobos di
antara kerumunan orang-orang dan terus masuk me-
nuju ruangan di mana I Ayu Mantini berada.
Para pemuda segera memburu dan mencoba
menghalangi niat orang itu, yang tak lain Kardika
adanya. Namun pemuda-pemuda itu bukan tandingan
Kardika, terbukti dalam segebrakan saja mereka di-
buat tak berdaya. Melihat hal itu, tetua Adat yang sedari tadi diam segera
bertindak maju menghadap.
Melihat tetua Adat itu menghadangnya, Kardika
sesaat melompat mundur. Dipandanginya sesaat, lalu
ia berkata. "Ki Abiyasa, mengapa kau ikut campur?" ucap Kardika sengit.
"Amitohud.... Hamba minta maaf. Namun ham-
ba sebagai sesepuh Adat seharusnya kewajiban hamba
melerai keributan ini. Hamba tidak ingin terjadi korban yang tak berdosa hanya
karena ambisi...."
"Ah... persetan, itu hakku."
"Benar, itu memang hak anda. Tapi anda telah
menggunakan hak yang salah. Merampas istri orang
dan membunuh orang tuanya, hal itu tak dapat dibe-
narkan...."
Geram hati Kardika mendengar omongan Ki Ab-
iyasa yang baginya suatu penghalang, maka dengan
keras Kardika membentak. "Tutup bacotmu, Tua
bangka! Rupanya kau sekarang berani menentangku.
Ingat Abiyasa, barang siapa yang menentangku berarti memilih mati.,.." Habis
berkata begitu, Kardika segera menyerang Ki Abiyasa yang segera memapakinya,
pertarungan pun tak dapat dihindarkan. Melihat hal itu, anak-anak muda yang tadi
ciut nyalinya kini bangkit
dan mengurung kedua orang yang sedang bertarung.
Jurus demi jurus dilampaui, sudah hampir tiga
puluh jurus berlalu, keduanya tampak sama-sama
tangguh. Ketika sampai jurus ketiga puluh lima, Kar-
dika meloncat mundur.
"Ki Abiyasa, terimalah kematianmu! Aji Wesi
Geni!" Kedua tangan Kardika tampak menghitam le-gam kemerahan laksana besi
berani. Ki Abiyasa segera surut mundur. Matanya terbelalak kaget, melihat
Kardika mengeluarkan ajian yang tak asing baginya.
"Wesi Geni. Apakah Kakang Turangga telah
menurunkan padanya" Bahaya, sungguh bahaya ka-
lau aji ini dipergunakan oleh orang yang sesat," membatin Ki Abiyasa.
Melihat Ki Abiyasa terdiam, Kardika mengang-
gap Ki Abiyasa takut, maka dia pun tertawa bergelak-
gelak mengejek.
"Ha... ha... ha Abiyasa, menyerahlah! Dan jan-
gan campuri urusanku kalau kau tak ingin mampus."
Ki Abiyasa masih tampak tenang dengan penuh
kewaspadaan. "Kardika, kau jangan sombong. Setinggi-tingginya ilmu manusia,
belum seberapa dibanding-
kan dengan Yang Wenang. Dan ingat Kardika, mati hi-
dupnya manusia ada di tangan-Nya."
"Bedebah! Akan aku buktikan bahwa aku pun
dapat mengambil nyawa busukmu.... Hiaaat...!" Tangan Kardika yang sudah disaluri
aji Wesi Geni, berkelebat mencari sasaran. Ki Abiyasa yang maklum bahwa
Kardika memang menghendaki nyawanya tak tinggal
diam, tongkat "Sapu Angin" yang dipegangnya memapaki serangan itu. Namun betapa
terkejut Ki Abiyasa
ketika menerima kenyataan. Tongkat Sapu Angin tak
mampu menahan aji Wesi Geni hingga....
"Braak...!" Tongkat Sapu Angin pun patah menjadi dua. Ki Abiyasa terhuyung
mundur ke belakang
dan dari mulutnya keluar darah segar. Pemuda-
pemuda yang sedari tadi mengurung segera memburu,
mengeroyok Kardika. Dikeroyok demikian Kardika bu-
kannya takut, malah sebaliknya. Ia tertawa.
"Minggir!" Bentakan Kardika yang diikuti dengan tenaga dalam menjadikan anak-
anak muda itu terdiam terperangah.
Ketika anak-anak muda itu masih terperangah,
Kardika secepat kilat berkelebat dan tak lama kemu-
dian di pundaknya telah tergendong I Ayu Mantini
yang meronta-ronta.
"Lepaskan! Lepaskan aku!!"
"Ha... ha... ha... kau tak bakal mampu, Manis.
Kau harus ikut aku!"
Dengan ilmu lari cepatnya Kardika membawa
lari I Ayu Mantini. Pemuda-pemuda itu hendak menge-
jarnya, tapi segera dicegah oleh Ki Abiyasa.
"Percuma kalian mengejar."
"Tapi, Ki...?" Seorang anak muda yang berbadan besar mencoba protes. Ki Abiyasa
segera bangkit dan menghampiri pemuda itu.
"Percuma. Sia-sia, dia bukan tandingan kalian."
"Lalu apa yang harus kami perbuat...?" kembali pemuda itu bertanya meminta
saran. Ki Abiyasa terdiam, dihempaskan nafasnya panjang-panjang, kemu-
dian ia berkata.
"Ini sudah suratan Yang Wenang. Aku tak da-
pat berbuat apa-apa. Sudahlah, mari kita urus mayat
sesepuh desa." Dengan rasa kecewa pemuda-pemuda itu pun akhirnya menurut. Siang
itu dengan dipimpin
tetua Adat, mayat kepala desa disemayamkan.
2 Ombak laut Utara bergulung-gulung mene-
piskan pasir-pasir pantai. Siang itu tampak seorang
pemuda tengah berjalan-jalan menikmati keindahan
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alam sambil bernyanyi-nyanyi.
Ketika dia sedang asyik-asyiknya bernyanyi,
terdengar suara anak burung mencicit-cicit di atas sa-rangnya. Hatinya yang
penyayang tergugah mendengar
cicitan anak burung itu.
"Hai... kenapa anak burung itu?" tanya pemu-da. Sesaat ia mendongak ke atas,
lalu dengan sekali
loncat dia pun telah hinggap di atas cabang pohon, sa-rang burung itu berada.
"Oh, kenapa kau, Burung kecil...?" tanya sang pemuda pada anak burung kecil itu,
yang hanya mencicit. "Oh... oh... ibumu pergi" Ke mana...?"
"Cit... cit..." Burung kecil itu kembali mencicit.
"Mati...! Di bawah!" Seketika pemuda itu menengok ke bawah pohon. Tak jauh dari
dia berdiri tadi tampak olehnya seekor burung nuri menggeletak, di
sampingnya menggeletak pula seekor ular.
"Kasihan, kau pipit kecil."
Kala pemuda itu sedang merenungi nasib anak
burung Pipit dan dirinya yang mengembara mencari
bapaknya. Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar
derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya.
Dari kejauhan tampak lima orang penunggang
kuda. Dilihat dari pakaiannya kelima orang itu adalah pengawal-pengawal
kerajaan. "Ke mana Kakang Wisesa?" tanya seorang lelaki bertubuh besar tinggi, bercambang
lebat, pada orang
yang berjalan dengan kudanya di depan. Orang yang
dipanggil dengan nama Wisesa memperlambat lari ku-
danya, lalu berhenti tepat di bawah pohon di mana
pemuda berpakaian sisik ular berada.
"Aku tadi melihat mereka lari ke sini...!" Mata Arya Wisesa yang tajam menghujam
pada semak-semak di sekeliling tempat itu. "Hem.... Ke mana perginya mereka"
Seakan mereka hilang ditelan bumi."
Gumam hati Arya Wisesa.
"Apa kakang tidak salah lihat?" tanya Naga Bi-ru, Naga kedua dari empat Naga
Gunung Kapur. Ya...
keempat orang yang kini bersama Arya Wisesa, tak lain dari keempat tokoh silat
yang sudah kesohor namanya
di dunia persilatan pada masa itu. Di samping ilmunya yang tinggi, keempat Naga
itu terkenal aneh dalam
pendiriannya. "Tidak, Adik Naga Biru. Namun mengapa mere-
ka bisa raib begitu saja...?"
"Kakang mengenal mereka?" Naga Kuning ber-
tanya. "Tidak, Adik Naga Kuning mereka memakai to-peng. Tapi aku punya dugaan
bahwa mereka adalah
kaum pemberontak kerajaan."
"Kenapa kakang memastikan itu?" Kini Naga
Putih yang angkat bicara. Matanya yang tajam me-
mandang sekeliling, hampir setiap pelosok hutan ba-
kau itu tak lepas dari pandangannya.
"Adik Naga Putih, bukankah adik telah men-
dengar terjadi pemberontakan di kerajaan...?" Naga Putih mengangguk mengiyakan,
sebab dia tahu kenapa ia
dan saudara-saudaranya dipanggil ke kerajaan. Tak
lain karena adanya pemberontakan itu yang sampai
sekarang belum diketahui siapa dalangnya.
"Semalam ketika aku sedang menghadap raja
bersama kalian, dua orang yang kita kejar telah me-
masuki alun-alun istana dan membuat onar," Arya Wisesa menuturkan apa yang dia
dengar dari laporan
ponggawa istana. "Nah bukankah itu sebagian kecil dari aksi pemberontakan...?"
Keempat Naga itu mengangguk mengerti, kemudian kelimanya terdiam, se-
mentara mata mereka terus mengawasi sekitarnya.
Sementara pemuda yang berada di atas pohon
yang tak lain Jaka atau Pendekar Siluman Darah
mendengar pembicaraan mereka, tanpa disadari oleh
kelima orang yang berada di bawahnya.
"Rupanya kerajaan tengah dilanda musibah
yang tak enteng, hingga keempat Naga dari Gunung
Kapur diundang juga. Aku akan berusaha menyelidi-
kinya." Tak lama berselang setelah kelima orang istana
berlalu, Jaka Ndableg meninggalkan tempat itu.
* * * Di sebuah goa, di bawah jurang "Chandra Cip-
ta" tampak seorang lelaki tua sedang duduk. Sementara di hadapannya seorang
pemuda tengah belajar ilmu
silat. Gerakan-gerakannya yang begitu lincah dan gesit ditunjang dengan
semangatnya yang tinggi, membuat
pemuda itu tak kenal lelah,
"Gerakanmu masih kurang, Wayan...." berkata lelaki tua yang duduk di depannya
pintu goa. "Ingat...
kakimu dalam menapak masih kurang lincah dan be-
rat. Hal itu akan mengurangi kekuatan ilmumu, sebab
ilmu Catur Langkah haruslah dilakukan dengan piki-
ran yang tenang dan konsentrasi yang penuh. Nah, la-
kukan lagi hingga benar-benar sempurna. Sebab
hanya ilmu Catur Langkah yang dapat menandingi aji
Wesi Geni murid durhaka itu."
"Baik guru. Ijinkanlah murid mengulang dari
awal kembali."
"Lakukanlah, dan jangan berhenti sebelum aku
perintahkan." Setelah berkata begitu orang tua itu kembali diam, matanya
terpejam melakukan meditasi.
Walaupun matanya terpejam, namun gerak-gerik
Wayan Saba yang sedang berlatih silat dapat diiku-
tinya. * * * "Hidup bagaikan perjalanan
Yang menuntun kita 'tuk melangkah
Bila kuat iman di dada
Kelak kita akan bahagia
Tapi bila setan yang ada
Neraka dunia yang kita ciptakan...."
Bait-bait itu begitu indah, dilantunkan dengan
suara merdu, gaungnya berkumandang memantul di
antara sela-sela bebatuan di gunung itu. Tampak seo-
rang wanita muda sedang duduk di bawah pohon be-
ringin yang rindang. Di tangannya tergenggam sebuah
boneka kayu. Pandangannya yang kosong, serta pa-
kaiannya yang kumal menandakan bahwa ia tengah
dilanda guncangan jiwa yang berat.
Seketika wajah yang sedari tadi riang berubah
menjadi sendu, lalu tanpa sadar ia pun menangis se-
senggukan. "Bajingan...! Selama orang-orang semacam kau
masih hidup, dunia tak akan tenang. Kau bunuh
ayahku, kau bunuh kekasihku, lalu kau rusak diriku,
hu, hu.... Kau harus mati di tanganku... hi... hi...." Di-belai-belainya boneka
kayu yang sedari tadi ditimangnya, diajaknya bercanda. Gadis itu tak sadar kalau
tingkah lakunya sedari tadi diperhatikan oleh orang
lain. "Kasihan. Gadis semuda dan secantik itu harus menanggung beban jiwa yang
amat berat," membatin pemuda yang mengawasinya dengan rasa iba. "Betapa banyak
orang-orang di dunia ini yang harus menanggung derita, hanya karena tingkah
sesamanya...."
Ia bermaksud menghampiri gadis itu, namun
niatnya segera diurungkan, saat telinganya yang tajam mendengar seseorang menuju
ke situ. Secepatnya ia
segera bersembunyi di balik semak-semak, sementara
matanya terus mengawasi pada gadis itu.
"Hi... hi.... Adik manis, rupanya ada orang yang
menuju ke mari," kata gadis gila itu pada bonekanya yang masih ditimang-timang.
Pemuda yang bersembunyi dibalik semak-semak yang tak lain daripada
Pendekar Siluman Darah terkejut, mendengar tutur
kata gadis gila itu.
"Hem.... Rupanya gadis gila itu tahu juga. Sia-
pakah orang yang menuju ke mari" Sepertinya masih
muda, mau apa dia...?"
Dari arah Timur seorang pemuda menghampiri
gadis gila itu, yang tampaknya acuh tak acuh me-
nyambutnya. "I Ayu Mantini, rupanya kau ada di sini...." berkata pemuda yang baru datang.
Gadis itu hanya memandang sesaat, kemudian
kembali acuh sambil menimang-nimang bonekanya.
"Mau apa kau datang ke sini, Mahesa...?" tanyanya dengan senyum sinis.
"I Ayu Mantini, Aku diutus oleh Kardika untuk
membawamu kembali...." Mendengar jawaban pemuda yang disebut Mahesa, I Ayu
Mantini tertawa bergelak-gelak seakan ucapan Mahesa lucu. Mahesa menge-
rutkan kening, matanya seketika melotot marah. Ia
merasa dipermainkan oleh I Ayu Mantini.
"Apa yang engkau tertawakan, I Ayu...?"
"Hi... hi... hi.... Kau lucu, Mahesa." I Ayu Mantini bukannya menjawab, malah
tertawa cekikikan.
Panas telinga Mahesa, sepanas hatinya yang sudah
terbakar oleh celoteh I Ayu Mantini. Belum sempat
Mahesa berkata, I Ayu Mantini telah meneruskan oce-
hannya. "Hi... hi.... Mahesa. Ternyata otakmu seperti
namamu, Kebo."
Mata Mahesa melotot merah. Ia kesal menden-
gar ocehan I Ayu Mantini yang baginya sudah keterla-
luan. Namun Mahesa berusaha sabar, karena ia tahu I
Ayu Mantini sudah gila. Di samping itu ia pun diperintahkan Kardika agar tidak
menurunkan tangan pada I
Ayu Mantini. "Sinting...! Ayo ikut aku.... Kalau kau bukan
kekasih Kardika, sudah aku lumatkan mulutnya yang
ceriwis itu...!" menggeretak Mahesa menahan amarahnya. Tapi bagi I Ayu Mantini
ucapan Mahesa diang-
gapnya ocehan anak kecil, terbukti I Ayu Mantini kini menggandakan tawa.
"Hi... hi... hi.... Kekasih. Siapa yang sudi menjadi kekasih Iblis macam tuanmu
itu, Kebo...!" Mahesa tak dapat menahan amarahnya, disebut Kebo oleh I
Ayu Mantini. Tangannya yang kekar seketika berkele-
bat hendak menangkap I Ayu Mantini. Namun bagai
orang bercanda I Ayu Mantini segera berkelit. Tangan kanannya yang tak memegang
boneka menghantam
tubuh Mahesa. Mahesa yang tak menyangka akan
mendapat serangan balasan tak dapat menghindar,
hingga.... "Bugg!" Tubuh Mahesa yang besar dan kokoh, terhenyak ke belakang beberapa tombak
terkena hantaman tangan I Ayu Mantini.
Merah muka Mahesa menerima kenyataan itu.
Matanya menyorot marah, giginya bergeletuk menahan
kejengkelan. Perlakuan I Ayu Mantini membuat ia tak
ingat apa yang diperintahkan oleh Kardika.
"Bedebah...! Rupanya kau cari mampus, Orang
gila...!" Tanpa menunggu lebih lama, Mahesa segera bertindak. Kali ini dia tidak
ingin kecolongan lagi, ma-ka Mahesa pun mengeluarkan ilmu silatnya.
Mahesa tampak bersungguh-sungguh, terbukti
dalam sepuluh jurus saja, I Ayu Mantini dapat dide-
saknya. Demi melihat gadis gila itu dalam bahaya, Ja-
ka yang sedari tadi menonton segera keluar dari per-
sembunyiannya. Tepat ketika tangan jahat Mahesa
hendak menghantam dada I Ayu Mantini, tiba-tiba...!
"Cuiiittt.... Dest...." Berbareng dengan suara suitan nyaring, saat itu pula
sebuah pukulan menghantam lengan Mahesa, yang segera menarik mundur
tangannya. Di hadapannya kini telah berdiri sesosok
tubuh pemuda, I Ayu Mantini tegak berdiri di belakang pemuda itu. Melihat cara
kedatangan pemuda, dan ca-ra menangkisnya Mahesa telah maklum, bahwa pemu-
da yang kini berdiri di hadapannya bukan orang sem-
barangan. Namun sebagai tangan kanan Kardika yang
sudah kesohor kesaktiannya, pantang baginya untuk
menyerah dan mengakui ketinggian ilmu lawan. Maka
dengan lantang ia membentak. "Monyet...! Siapa kau!
Berani turut campur urusanku...!"
"Monyet" Ha... ha... ha. Aku monyet" Ya, aku
monyet. Tapi kau.... Kau lebih rendah dari monyet, karena kau tak tahu belas
kasihan," menjawab pemuda itu.
"Bedebah..,! Rupanya kau orang gila juga yang
ingin mampus...!"
Mendengar kata-kata Mahesa, Jaka makin
menggandakan tawanya. Kali ini tawanya melengking
disertai dengan tenaga dalam yang tinggi, membuat
suaranya bergema ke pelosok-pelosok hutan menggi-
dikkan bulu kuduk bagi yang mendengarnya termasuk
Mahesa. Melihat kenyataan itu Mahesa sadar, bahwa
orang di hadapannya bukan tandingannya. Mahesa
yang nyalinya sudah ciut, tanpa pikir panjang segera mengambil langkah seribu
seraya meninggalkan kata-kata. "Anak muda, tunggulah aku di sini...!"
Sepeninggal Mahesa, Jaka yang memang tidak
ada maksud untuk mengejar hanya geleng-geleng ke-
pala melihat tingkah Mahesa. Dihampirinya I Ayu Man-
tini yang masih berdiri mematung.
"Nona, kalau aku boleh tahu, siapa nama No-
na" Dan kenapa orang tadi hendak memaksa Nona un-
tuk ikut dengannya...?"
I Ayu Mantini sesaat memandang pada Jaka,
ditatapnya lekat-lekat dari ujung kaki sampai ujung
rambut. "Terima kasih atas pertolongan Tuan. Aku...
aku I Ayu Mantini...." I Ayu Mantini kembali menangis.
Kesadarannya tiba-tiba pulih, dan hal itu membuat
sangat trenyuh. Maka dengan perlahan Jaka Ndableg
pun kembali bertanya.
"Kenapa Nona menangis" Siapa orang tadi...?"
"Aku... aku sedih mengenang nasibku yang bu-
ruk ini. Ayahku dibunuh, lalu suamiku entah di mana, dan aku sendiri... semua
karena ulah bajingan itu. Dia telah menghancurkan segalanya... hu... hu..."
kembali I Ayu Mantini menangis. Jaka Ndableg jadi iba, inga-tannya kembali pada
keadaan dirinya. Ibunya mati
demi melindungi dirinya, sementara ayahnya... ah en-
tah di mana rimbanya.
"Mengapa kehidupan diwarnai dengan derita..."
Kenapa sesama manusia harus saling bunuh membu-
nuh, dan memperkosa hak orang lain....'" Seribu pertanyaan hadir kembali di hati
Jaka Ndableg, hingga
tanpa sadar Jaka Ndableg pun meneteskan air mata.
"Siapa yang membunuh ayahmu?" Bertanya
Jaka Ndableg pada I Ayu Mantini setelah dia dapat
menenangkan suasana hatinya.
Mendengar pertanyaan Jaka Ndableg, kenangan
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pahit yang dialaminya kini tergugah lagi. Sambil mengusap air matanya, I Ayu
Mantini pun mengisahkan
kembali tentang apa yang telah menimpa dirinya,
ayahnya, serta suaminya yang kini entah di mana be-
rada. Mendengar penuturan I Ayu Mantini yang begi-
tu mengharukan, rasa kemanusiaan Jaka atau Pende-
kar Siluman Darah tergugah. Tak dirasakan olehnya,
air matanya pun menetes di pipinya. "Ah, kenapa aku menangis?" Seketika Jaka
Ndableg segera menyadari akan dirinya. Setelah dapat menguasai diri, Jaka
Ndableg pun berkata pada I Ayu Mantini.
"I Ayu Mantini. Hidup bukan untuk terus berla-
rut dalam kesedihan, tapi hidup untuk dihayati dan
diamalkan. Seperti sebait syair yang barusan kau
ucapkan. Nah, untuk itu janganlah kau terpengaruh
dengan jalannya kehidupan yang telah direncanakan
oleh Yang Maha Esa. Kita tidak boleh menaruh den-
dam, sebaliknya kita harus dapat menyadarkan orang
yang salah. Namun bila hal itu tidak dapatinya, barulah kita bertindak, juga
bukan lantaran dendam. Se-
bab dendam-mendendam tak akan pernah habis, se-
bab itu adalah dorongan nafsu setan semata agar kita terbawa olehnya...." Sesaat
Jaka Ndableg memandang pada I Ayu Mantini yang tertunduk mendengar penu-
turannya, kemudian Jaka Ndableg meneruskan uca-
pannya. "Aku rasa, aku hanya dapat memberikan saran.
Sementara pelaksanaannya itu aku serahkan kembali
padamu. Hanya itu yang dapat aku berikan, dan ijin-
kanlah aku pergi...."
"Tuan pendekar...." I Ayu Mantini yang sedari tadi mendengarkan penuturan Jaka
Ndableg, kini mendongakkan mukanya memanggil Jaka Ndableg ka-
la hendak melangkah pergi. Jaka Ndableg segera
menghentikan langkahnya, kemudian berpaling meng-
hadap pada I Ayu Mantini.
"Ada apa..?" tanyanya.
I Ayu Mantini sesaat kembali terdiam, matanya
yang sayu namun tidak menghilangkan keindahannya
menatap lekat pada Jaka Ndableg. Sejenak ia berbuat
begitu, lalu iapun berkata. "Bolehkah aku meminta tolong sekali lagi...?"
Jaka Ndableg sejurus terdiam, membalas me-
mandang pada I Ayu Mantini yang seketika tertunduk
malu. "Apa yang dapat aku tolong" Katakanlah, bila aku dapat aku akan
memberikannya. Namun bila aku
tak mampu, aku minta maaf...."
Kini I Ayu Mantini kembali berani menatap wa-
jah Jaka Ndableg, senyumnya mengembang di bibirnya
yang sedari tadi terkatup.
"Bawalah aku ke mana saja Tuan pendekar
akan pergi...."
"Ah...?" Desahan itu tiba-tiba keluar dari mulut Jaka, sebab ia tak menyangka
akan menerima permintaan semacam itu.
"Kenapa, Tuan Pendekar..." Apa Tuan Pendekar
merasa keberatan...?"
"Ti... tidak. Tapi aku adalah seorang pengelana, tujuanku tak tentu arah. Ke
mana kaki melangkah itulah tujuanku. Aku takut kau menderita bersamaku."
"Tidak, Tuan Pendekar. Hidupku kini hanya se-
batang kara, tak punya sanak-saudara, entah itu mati atau di mana. Sudah tekadku
untuk mengabdi pada
orang yang telah menyelamatkan jiwaku."
Jaka sesaat terdiam. Di dalam hatinya berke-
camuk pertanyaan yang berbeda. Pertama ia harus ke
kota raja untuk menyelidiki kerajaan yang sedang di-
landa kerusuhan oleh pemberontak. Tak mungkin me-
libatkan I Ayu Mantini. Kedua masalah permintaan I
Ayu Mantini. Hal ini menyangkut rasa kemanusiaan.
Akankah ia tega meninggalkan I Ayu Mantini" Semen-
tara ia mengawatirkan gadis itu" Bagaimana kalau
nanti anak buah Kardika datang..." Akhirnya... demi
rasa kemanusiaan. Jaka Ndableg pun memilih menga-
jak I Ayu Mantini ke kota raja.
"Baiklah, I Ayu Mantini. Aku memperbolehkan
kau ikut denganku, tapi bukan aku ingin dilayani
olehmu. Anggap saja kita berdua adalah saudara!"
Mendengar perkataan Jaka Ndableg yang mau mene-
rimanya, seketika I Ayu Mantini menjura hormat.
"Terima kasih, Tuan Pendekar,..."
"Jangan begitu, aku bukan raja tak pantas un-
tuk kau sembah. Sudahlah, mari kita segera pergi...."
Jaka Ndableg dan I Ayu Mantini baru saja hendak me-
ninggalkan hutan itu, ketika terdengar suara bentakan dari arah belakang.
"Tunggu...! Jangan pergi dulu...."
Jaka Ndableg segera mengurungkan langkah-
nya. Dibalikkan tubuhnya menghadap pada asal suara
itu. Tampak lima orang lelaki menuju ke arahnya. Sa-
lah satu dari mereka sudah ia kenal, yaitu Mahesa
adanya. Sambil menunggu kedatangan kelima lelaki itu, Jaka Ndableg menyuruh I
Ayu Mantini untuk bersembunyi. "Pergilah bersembunyi.... Biar mereka aku tan-
gani. Cepatlah!" Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, I Ayu Mantini pun menuruti
apa yang dikatakan oleh
tuan pendekarnya, bersembunyi di balik semak-
semak. "Ada apa, Ki sanak" Hingga Ki sanak menghentikan langkahku...?" tanya
Jaka atau Pendekar Siluman Darah, seakan-akan tak mengerti persoalannya.
"Jangan pura-pura bodoh, Anak muda. Di ma-
na kau sembunyikan gadis tadi...!"
Membentak Mahesa jengkel. Jaka Ndableg ter-
senyum tenang, dengan lagak konyol ia bertanya. "Gadis yang mana, yang kisanak
maksudkan..."
Mahesa Dungkul menyapukan pandangannya
ke sekitar tempat itu, namun I Ayu Mantini tak dite-
mukannya. Maka rasa kekesalannya, dilampiaskannya
pada Jaka Ndableg seraya membentak.
"Kau sembunyikan di mana gadis itu...?"
"Aku tidak menyembunyikannya. Dia telah per-
gi dari sini," berdusta Jaka Ndableg, membuat Mahesa yang memang sebenarnya
ingin mencoba ilmu yang
dimiliki Jaka Ndableg jadi marah. Dengan lantang Ma-
hesa berkata. "Anak muda, siapa namamu" Jangan kau mati
tanpa diketahui namanya...!"
Jaka Ndableg tersenyum tenang.
"Ha, ha... ha... ha.... Apa arti sebuah nama.
Aku adalah aku, tentang mati hidupku aku rasa bukan
urusan kalian, tapi urusan Yang Wenang...."
Mendidih darah kelima anak buah Kardika. Be-
lum pernah mereka diejek dan disepelekan seperti se-
karang ini. Melihat yang mengejek anak masih muda
keempat orangnya Mahesa tak sabar hendak menye-
rang. "Tunggu...!" Mahesa melarangnya.
"Kenapa..." Kau takut, Mahesa...?" tanya salah seorang dari mereka yang wajahnya
seram. Golok yang
di tangannya hendak diayunkan ke tubuh Jaka Ndab-
leg. "Darga, sabar...! Jangan kau anggap enteng
dia." Mahesa hendak mencegah, namun Darga tampak sudah tak dapat menahan
emosinya. Di samping itu ia
tidak yakin kalau pemuda yang sedang dihadapinya
memiliki ilmu yang tinggi. Maka Darga pun segera me-
nyerang Jaka Ndableg dengan tebasan goloknya.
Jaka Ndableg yang tidak menyangka akan
mendapat serangan yang begitu tiba-tiba, tersentak ju-ga. Hampir saja kepalanya
tertebas golok besar di tangan Darga, kalau saja Jaka Ndableg tidak menunduk-
kan kepala. Dalam keadaan seperti itu Jaka Ndableg
masih berupaya menyadarkan penyerangnya.
"Tunggu...! Mengapa kalian memusuhi ku..."
Bukankah di antara kita tak ada silang sengketa...?"
Melihat Jaka Ndableg mundur dari serangan Darga,
hati Mahesa menjadi besar. Dikiranya Jaka Ndableg
takut menghadapi Darga. Dengan lantang Mahesa ber-
seru. "Anak muda.... Kau telah berani mencampuri urusanku dan telah berani
menyembunyikan serta melindungi I Ayu Mantini. Nah, itulah silang sengketa di
antara kita...!"
"Picik...!" memaki Jaka Ndableg. "Baik...! Kalian rupanya manusia-manusia
berhati iblis. Kalian sudah
tak berperikemanusiaan. Kalau kalian menginginkan
nyawaku karena aku melindungi orang yang tak ber-
daya, lakukan...!"
Mendengar omongan Jaka Ndableg, kelima
orang anak buah Kardika tanpa sungkan-sungkan lagi
segera mengurung dengan senjata di tangan masing-
masing. Mahesa yang sudah tahu tingginya ilmu anak
muda itu, memberi tahu pada anak buahnya untuk
berhati-hati. "Anak muda. Kalau kau ingin selamat katakan
di mana kau sembunyikan gadis itu, cepat!" Mahesa masih bertanya. Sebenarnya ia
sungkan untuk menghadapi Jaka Ndableg yang sudah ia ketahui ketinggian ilmunya.
Ia berusaha mencari jalan yang halus saja,
namun Jaka Ndableg atau Pendekar Siluman Darah
hanya tertawa bergelak-gelak.
"Ha... ha... ha.... Sudah aku katakan pada ka-
lian. Bila kalian menginginkan gadis yang tak berdaya itu, aku tak akan
memberikannya. Apakah kalian sudah tuli, hingga tak mendengar...?"
Mendengar ejekan Jaka Ndableg, kelima orang
yang dipimpin oleh Mahesa menjadi panas. Apalagi si
Darga yang merasa unggulan. Dengan tak memandang
sebelah mata pun pada Jaka Ndableg, ia membentak.
"Bedebah...! Kau belum kenal aku. Tapi kalau
sudah di neraka kau baru tahu dan menyesal." Jaka Ndableg kembali tertawa
bergelak-gelak hingga pakaian berkilat-kilat terpantul cahaya matahari mengikuti
irama tubuhnya.
Merasa tak ada gunanya lagi bicara dengan Ja-
ka Ndableg, secepat kilat kelima orang itu segera mengurung. Dikeroyok oleh lima
orang bersenjata tidak
menjadikan Jaka Ndableg bingung, malah dengan ter-
tawa-tawa dia meladeni serangan kelimanya. Pertarun-
gan lima melawan satu pun berlanjut. Jurus demi ju-
rus terlampaui, namun Jaka Ndableg yang tak mau
menurunkan tangan jahat masih berkelit menghindari
serangan kelima pengeroyoknya.
Melihat hal itu, I Ayu Mantini menjadi was-was
juga. Ia telah tahu akan kehebatan ilmu golok yang
dimiliki oleh Empat Setan Golok. Dugaan I Ayu Mantini tampak tidak meleset,
terbukti kini Jaka Ndableg dapat dipepet. Perasaan was-was melanda I Ayu
Mantini, hingga keringat dingin tak terasa mengucur deras di
pelipisnya. Jaka Ndableg yang sudah terpepet bukannya
grogi, bahkan sebaliknya. Dengan terlebih dahulu
mengeluarkan gelak tawanya yang melengking, Jaka
Ndableg segera mengubah jurusnya, Dewa Topan Me-
landa Karang. Tangan Jaka Ndableg seketika berubah.
Tampak oleh kelima pengeroyoknya, tangan Jaka
Ndableg menjadi beribu-ribu banyaknya.
Kelima pengeroyoknya tersentak kaget melihat
hal itu. Namun belum sempat mereka dapat menye-
suaikan keadaan dari keterkejutannya, terdengar sua-
ra pekik tiga orang teman mereka yang menggelepar-
gelepar dengan badan membiru dan menggigil kedingi-
nan. Hal ini makin membuat ciut nyali Mahesa dan
Darga. Itulah keampuhan aji Dewa Topan Melanda Ka-
rang. Jangankan manusia, batu karang yang kokoh
pun akan runtuh.
Jaka Ndableg melompat mundur. Ia tersentak
dan menyesal telah melepaskan tangan keras pada la-
wannya. Setelah dapat menguasai suasana, Jaka
Ndableg berkata pada kedua orang yang masih hidup.
"Cepat tinggalkan tempat ini sebelum aku be-
rubah pendirian!"
Mahesa dan Darga yang sudah ciut nyalinya
tanpa malu-malu segera berlari meninggalkan Jaka
Ndableg. Jaka Ndableg segera duduk sujud menghadap
ke Barat dan dari mulutnya terdengar suara penyesa-
lan. "Ampun guru. Sebenarnya murid tak bermak-
sud menurunkan tangan jahat. Tapi orang-orang itu
telah memaksanya." Setelah berkata begitu, Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang
Siluman Darah me-nundukkan kepalanya.
Dari arah Timur I Ayu Mantini keluar dari se-
mak-semak menghampiri Jaka, yang masih terdiam
membisu sambil sujud.
"Pendekar!"
Jaka Ndableg segera memalingkan wajahnya
memandang pada asal suara itu.
"Tak usah tuan pendekar menyesali tindakan
tuan. Dibandingkan apa yang tuan lakukan, belum se-
berapa dengan perbuatan mereka yang banyak mem-
buat kejahatan." I Ayu Mantini mencoba menyadarkan Jaka Ndableg dari
penyesalannya. Perlahan Jaka
Ndableg bangkit dan dihampirinya ketiga mayat itu.
Setelah menguburkan mayat-mayat itu, keduanya pun
berlalu meninggalkan hutan itu menuju ke kota raja.
* * * "Duer...!" Terdengar meja dihempas oleh tangan Kardika. Seketika meja itu hancur
berantakan. Wajah
Kardika tampak merona merah, pertanda marah. Di-
pandanginya satu persatu wajah Mahesa dan Darga
yang tertunduk, tak berani memandanginya.
"Baru menghadapi kroco kalian kalah! Bagai-
mana kalian jadi prajurit nanti! Memalukan...! Di ma-na iblis Tangan Bisa...?"
"Dia sedang pergi, Kakang." jawab Mahesa
memberanikan diri.
"Sudah. Kalian pergi dan jangan ganggu aku
dulu. Bodoh!" Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, Mahesa dan Darga berlalu
meninggalkan Kardika.
Kardika merenung, dalam hatinya ia bertanya-
tanya, "Siapa pemuda itu..." Hingga Empat Setan Golok yang sudah terkenal itu
dapat dengan mudah dija-
tuhkan olehnya?"
Belum habis pikiran Kardika pada pemuda itu,
dari luar seorang lelaki setengah baya bersama seorang gadis cantik
menghadapnya.
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selamat sore, Tuan." sapa lelaki setengah tua itu dengan hormat. Kardika
tersentak, ditatapnya lelaki setengah baya bersama gadis di sampingnya.
"Sangkumi, inikah yang kau maksud...?" tanya Kardika sambil mendekat ke arah
gadis yang berdiri di samping Sangkumi.
"Benar, Tuan. Namanya Delima," menjawab
Sangkumi cengar-cengir.
"Ha... ha... ha.... Cah ayu, di sini kau akan senang, ayo." Diajaknya Delima
menuju ke dalam. Sangkumi melihatnya hanya meleletkan lidah. Ia tahu apa
yang akan diperbuat oleh Kardika pada gadis itu.
Sebelum masuk ke dalam kamar, ia segera me-
nengok ke arah Sangkumi yang masih berdiri di pintu
depan. "Sangkumi... kau boleh istirahat dan berse-nang-senang dengan gadis yang
di gudang. Pilih oleh-
mu yang kau sukai!"
"Terima kasih, Tuan...."
"Sangkumi, suruh yang lainnya untuk ikut ber-
samamu." "Baik, Tuan...." Sangkumi berlalu meninggalkan Kardika yang telah masuk ke kamar
mengikuti Delima
dan menutup pintu kamar itu. Delima tersenyum me-
lihat kelakuan Kardika yang sudah tak sabar lagi. Hal itu membuat Delima sengaja
mempermainkannya. Dibukanya kancing bajunya perlahan, hingga mata Kar-
dika melotot tak berkedip. Darahnya seketika memun-
cak ke ubun-ubun. Maka tanpa sabar ditubruknya tu-
buh Delima bagai macan kelaparan. Delima menggelin-
jang kegelian, kala kumis Kardika yang lebat menyen-
tuh lehernya yang jenjang dan mulus.
Belum sampai kedua manusia yang dilanda
nafsu syetan itu bertindak jauh, tiba-tiba terdengar da-
ri luar seseorang berseru.
"Kardika...! Iblis keparat, keluar kau...!" Suara itu begitu lantang, hingga
membuat Kardika tersentak dan mengurungkan niatnya. Dirapikan pakaiannya, la-lu
dengan segera ia meloncat keluar tanpa menghirau-
kan Delima lagi.
"Bangsat...! Siapa yang berani mencari mam-
pus...! Hem.... Kau Eka Paksi, mau apa kau datang ke mari" Apa ingin mengantar
nyawamu yang busuk
itu...?" Eka Paksi tertawa bergelak-gelak. Lalu ia pun berkata dengan nada
dingin. "Kardika, lama kita tak berjumpa. Rupanya kebahagiaan sedang melanda mu
hingga kau lupa pada sahabat lama."
Kardika tersenyum, ia tahu apa yang tersem-
bunyi dalam ucapan Eka Paksi. Namun Kardika yang
merasa aji Wesi Geninya sudah tinggi, tak merasa gentar sekalipun.
"Oh.... Maaf. Bukannya aku lupa. Tapi karena
kau datang tanpa memberitahukan dulu, jadi aku tak
dapat menyambutmu dengan meriah...." Mata Kardika tampak tak berkedip memandang
pada Eka Paksi. Eka
Paksi tertawa ganda mendengar ucapan Kardika, wa-
lau hatinya membatin; "Licik...!"
"Kardika, aku tak mau bertele-tele. Tentunya
kau tahu akan apa yang menjadi maksudku datang ke
mari...." Kardika tertawa bergelak-gelak, mendengar apa yang diucapkan Eka
Paksi. Dari sorot matanya,
terlihat sebuah kebencian pada Eka Paksi.
"Ha... ha... ha.... Jangan kuatir, Eka Paksi. Aku bukanlah tipe pembohong. Untuk
itu marilah masuk
dulu, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Mana anak bua-
hku...?" tanya Kardika seakan pada diri sendiri, matanya mengawasi
sekelilingnya. "Sepi, ke mana mereka
semua?" Belum habis Kardika bertanya-tanya dalam hati, terdengar Eka Paksi
kembali tertawa bergelak-gelak. "Kardika...! Maaf, aku telah membantu anak
buahmu untuk sekedar tidur. Mungkin semalaman
mereka berjaga...."
"Hem... Rupanya ada kemajuan yang pesat di-
dapat oleh Eka Paksi, hingga Sangkumi yang ilmunya
setara denganku tak mampu menghadapinya.... Aku
harus memakai cara halus," membatin Kardika, demi mendengar anak buahnya
termasuk Sangkumi dapat
diperdayai oleh Eka Paksi.
Melihat Kardika terdiam, Eka Paksi seketika
berpikir. "Dia sedang mempersiapkan cara apa lagi untuk menjebakku?" tanya hati
Eka Paksi. Karena dalam hati mereka saling bertanya-
tanya pada diri sendiri, untuk sekian lama keduanya
terdiam. Mata-mata mereka yang tajam dan liar, tam-
pak saling beradu hendak mengukur sampai di mana
tingkat ilmu lawan.
Kardika yang menyadari bahwa Eka Paksi terus
memandangnya segera berseru:
"Eka Paksi...! Mari, jangan sungkan-sungkan.
Tak enak bila kita membicarakan hal itu di luar. Apa kau tak takut ada pihak
ketiga yang mengetahuinya...?"
Eka Paksi tertawa bergelak-gelak, kepalanya
mengangguk-angguk mengiyakan. "Baik, Kardika. Memang tak baik kalau kita
membicarakan hal itu di
luar." Dengan sekali loncat, tubuh Eka Paksi yang tadi berjarak sepuluh tombak
kini telah berdiri di hadapan Kardika.
Belum juga Eka Paksi menginjakkan kakinya
ke tanah, seketika Kardika yang licik tanpa sepengeta-
huan Eka Paksi telah menghantamkan aji Wesi Ge-
ninya. Hal itu membuat Eka Paksi tak dapat berkelit.
Dan! "Deupbb!" Tangan kanan Kardika yang sudah disalurkan aji Wesi Geni,
mendarat telak di ulu hati Eka Paksi yang langsung terhuyung ke belakang dua
tombak. Mulut Eka Paksi menyemburkan darah segar.
"Li... cik. Kau... kau...." Eka Paksi yang sudah parah masih mencoba bertahan
dan hendak membalas. Namun akibat pukulan Wesi Geni yang ganas, Eka
Paksi pun tak mampu untuk menjangkau dan ambruk
ke tanah. Melihat teman sekaligus musuh besarnya telah
mati, Kardika tertawa lepas penuh kemenangan. Ka-
kinya dihentakkan di atas tubuh Eka Paksi.
"Ha... ha... ha... Ambillah pusaka mu di neraka sana, Paksi!"
Tiba-tiba tanda diketahui oleh Kardika sebe-
lumnya, gadis yang bernama Delima telah menyerang.
Sebuah pukulan telak Delima, menghantam di pung-
gungnya. Kartika sempoyongan, dipandanginya Delima
yang tadi menyerang dari belakang.
"Kau... kau.... Iblis betina....!" Belum habis Kardika berbicara, Delima segera
menyerang kembali. Me-
lihat hal itu, Kardika segera berkelit dan membalas
menyerang. "Hari ini tamatlah riwayatmu, Jahanam...!"
membentak Delima sembari melancarkan serangan-
nya. Kardika yang sudah sadar bahwa dirinya telah di-tipu mentah-mentah oleh
gadis itu, emosinya segera
meledak. Tanpa memperdulikan bahwa gadis itu tadi
dicumbunya, Kardika segera membalik menyerang.
Tadinya Kardika tidak begitu sungguh-sungguh
melayani gadis itu. Namun demi dilihatnya gadis itu
bukan wanita sembarangan, Kardika pun tanpa sung-
kan-sungkan langsung mengeluarkan ajiannya, Wesi
Geni. Terperanjat gadis itu, demi melihat ajian yang baru saja membunuh Eka
Paksi. Delima pun segera
melompat mundur.
Wajah Delima nampak pucat pasi. Dari mulut-
nya keluar seruan kaget. "Ajian Wesi Geni!"
"Menyerahlah, Manis. Kau tak akan mampu
melawanku, lebih baik kau menyerah dan mau me-
layaniku."
Tangan Kardika bergerak cepat, hendak men-
cengkeram pundak Delima. Manakala tangan itu ma-
kin mendekat, terdengar sebuah tiupan angin kencang
menangkis. "Dessssttt...!"
Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan ber-
kelebat dan menyambar tubuh Delima. Dibawanya tu-
buh Delima pergi, sehingga membuat Kardika gusar.
Namun bayangan itu telah jauh berlalu, tinggallah
Kardika yang mencaci maki penuh kemarahan dan ke-
gusaran. 3 Lima tahun Wayan Saba terkurung di jurang
Kendala Sukma, digembleng oleh seorang guru yang
bernama Ki Turangga Bayu. Lima tahun bukanlah
waktu yang pendek hingga tampak Wayan Saba seka-
rang, berbeda dengan yang dulu. Dulu di wajahnya tak ada goretan-goretan usia,
juga tak ada kumis dan
jenggot yang tubuh. Namun sekarang goretan usia
tampak mengukir di keningnya juga jenggot dan ku-
misnya begitu lebat.
Pagi telah datang, menggantikan gelapnya ma-
lam yang telah setia menyelimuti bumi. Wayan Saba
tampak tengah duduk di antara himpitan batu-batu
cadas. Ia tengah menjalani ujian akhir. Tapa Brata Pati Geni, tidak makan dan
tidak minum selama sebulan
penuh. Dari luar goa seorang lelaki tua renta meng-
hampiri, di bibirnya tergerai senyuman. Diangguk-
anggukkan kepala sepertinya puas.
"Wayan Saba, bangunlah! Sudah cukup olehmu
melakukan tapa brata." Terdengar Ki Turangga Bayu berkata. Perlahan, mata Wayan
Saba yang sedari tadi terpejam membuka dan sesaat menatap pada lelaki tua
yang tengah berdiri di hadapannya. Lalu tanpa diperintah, Wayan Saba pun segera
bersujud. "Ampun, guru. Ada gerangan apa hingga guru
membangunkan tapaku?"
"Muridku...lima tahun sudah kau di sini. Dan
lima tahun pula kau telah menimba ilmu padaku. Kini
segala ilmu yang kumiliki telah berpindah pada dirimu.
Apakah kau tak ingin menjenguk istrimu" Apakah kau
tak ingin menikmati alam kebebasan?" tanya sang guru. Wayan Saba sesaat terdiam,
memandang wajah
sang guru dengan segenap keharuannya.
"Ampun, Guru... bukannya hamba hendak me-
nentang ucapan guru. Betapa beratnya hati hamba bi-
la harus meninggalkan guru. Lagipula, tak ada gu-
nanya murid pergi ke dunia bebas yang penuh dengan
segala macam persoalan."
Mendengar perkataan Wayan Saba, Ki Turang-
ga Bayu menggelengkan kepala, Dengan penuturan
yang bijak, Ki Turangga Bayu berkata: "Wayan, aku tahu perasaan hatimu. Tapi
sebagai seorang pendekar,
kau dituntut untuk menghadapi segala kenyataan di
dunia persilatan. Apalah artinya seorang pendekar, bi-la tak berani menghadapi
liku-liku dunianya. Kita sebagai seorang persilatan harus mempunyai tujuan.
Apalah artinya ilmu yang kita miliki, bila tidak kita gunakan...."
Wayan Saba terdiam mendengar petuah sang
guru, hatinya membenarkan. Namun perasaannya se-
bagai seorang manusia yang mengerti akan balas budi, merupakan beban berat bila
harus berpisah dengan
sang guru yang telah sekian tahun menggemblengnya.
Sang guru yang mengerti akan perasaan mu-
ridnya, segera meneruskan ucapannya.
"Wayan. Manusia hidup perlu saling tolong me-
nolong. Dan sebagai manusia yang berbudi pekerti ser-ta berbudaya, tak ada
pamrih untuk menolong sesa-
manya yang memang membutuhkan. Janganlah kau
terlalu memikirkan diriku. Masih banyak orang yang
menderita oleh kesewenang-wenangan orang lain, yang
membutuhkan pertolongan orang-orang sepertimu.
Gunakanlah ilmu yang telah kau dapati untuk kebena-
ran, kau mengerti bukan...?"
Wayan Saba mengangguk. Ucapan-ucapan gu-
runya pemberi semangat untuk kembali ke dunia be-
bas, yang telah sekian lama ia tinggalkan.
"Terima kasih atas segala budi baik guru, yang
dengan ikhlas telah membimbing ku. Mungkin bila tak
ada guru, telah menjadi apa diriku ini." Wayan Saba tak dapat lagi menahan air
matanya. Ia menangis, dan sujud memeluk kaki Ki Turangga Bayu.
"Jangan cengeng, Wayan. Seorang pendekar
pantang untuk menangis," berkata Ki Turangga Bayu membuat Wayan Seba segera
sadar dan mengusap air
matanya. Sang guru tersenyum.
"Wayan. Hari ini juga kau boleh pergi...."
"Tapi, Guru...?"
"Jangan membantah, Wayan."
"Ampun, Guru. Murid akan selalu menjunjung
tinggi ucapan guru."
"Bagus...." berkata Ki Turangga Bayu, di bibirnya tampak tersungging senyum.
"Pergilah sekarang.
Carilah olehmu murid durhaka itu, mintalah buku ki-
tab aji Wesi Geni yang ia curi."
"Bagaimana jika ia melawan, Guru...?" tanya Wayan Saba.
"Hem... kau masih ingat apa yang pernah aku
katakan padamu?" sang guru balik bertanya. Sesaat Wayan terdiam, mengingat satu
persatu petuah yang
telah diberikan gurunya.
"Masih, Guru."
"Apa itu..." Katakanlah?"
Ditariknya napas dalam-dalam oleh Wayan, se-
belum akhirnya berkata:
"Seorang pendekar, tidak akan melawan bila ti-
dak ada perlawanan. Seorang pendekar tidak akan
menyakiti, bila tidak disakiti terlebih dahulu. Baginya kepentingan orang banyak
lebih utama daripada kepentingan diri sendiri."
Tersenyum senang Ki Turangga Bayu, demi
mendengar ucapan muridnya.
"Nah, Wayan. Dengan ucapanmu tadi, aku rasa
kau mengerti apa yang harus kau lakukan jika Kardika melawanmu. Sebentar lagi
hari akan siang, pergilah.
Cari dia. Tapi ingat, jangan sekali-kali kau bertindak berlandaskan dendam
pribadi. Bertindaklah karena
membela orang yang lemah."
Setelah sujud pada gurunya dan meminta res-
tu, Wayan Saba pun meninggalkan jurang Kendala
Sukma. Dengan cara melompat dari tebing yang satu ke tebing lainnya, akhirnya
berhasil juga Wayan Saba
sampai di atas.
"Ah... lima tahun sudah aku terkurung di ju-
rang ini. Lima tahun pula aku tak melihat kejadian-
kejadian di muka bumi ini," berkata hati Wayan. Sesaat ditatapnya mentari yang
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merah, yang baru mun-
cul di atas permukaan bumi. Ditariknya napas dalam-
dalam, sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan tepi jurang itu.
* * * Di sebuah kedai, siang itu tampak banyak pen-
gunjungnya. Kedai itu milik pak Romli yang mempu-
nyai seorang anak gadis cantik dan bahenol bernama
Romilah. Umumnya para pengunjung kedai bukan un-
tuk makan semata, namun yang lain dari pada itu ada-
lah ingin dapat melihat sekaligus bercanda dengan
Romilah. Dari luar dua anak muda memasuki kedai itu.
Tanpa memperdulikan orang-orang yang memperhati-
kannya, kedua pemuda itu segera mengambil tempat
di sudut sebelah Barat kedai. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang
menghampiri mereka. Pelayan itu
yang tak lain Romilah adanya, dengan genit meng-
hampiri serta bertanya.
"Rupanya tuan-tuan datang dari jauh, dan baru
kali ini datang ke mari?"
Kedua pemuda itu yang ternyata Jaka Ndableg
dan I Ayu Mantini tersenyum mengangguk, sembari
memperhatikan tingkah Romilah.
Melihat kedua pemuda itu memperhatikannya,
Romilah menganggap mereka tertarik pada penampi-
lannya. Maka dengan makin genit ia kembali bertanya.
"Pesan apa, Tuan-tuan...?" Dikerlingkan matanya pada Jaka yang tersenyum,
membuat I Ayu Mantini dongkol hatinya.
Di samping itu juga karena ada rasa cemburu
di hatinya. Sejak mereka jalan bersama, tanpa tersada-ri di hati I Ayu Mantini
tumbuh perasaan lain pada Ja-ka. Perasaan yang sulit diutarakan dengan kata-
kata. Namun untuk menyampaikannya pada Jaka ia tak be-
rani. "Kau pesan apa, Dewa?" bertanya Jaka pada I Ayu yang mengganti namanya
dengan Dewa, I Ayu
hendak tertawa, namun segera diurungkannya men-
gingat ia dalam penyamaran. Maka dengan suara lirih, I Ayu berkata: "Nasi dan
air putih."
"Hanya nasi putih saja?" bertanya Romilah
sambil menyibirkan bibirnya, membuat I Ayu yang su-
dah muak dan kesal melototkan mata. Jaka yang meli-
hat I Ayu melotot segera berkata menengahi.
"Maaf... temanku memesan nasi, bukan nasi
putih saja, tapi sekaligus dengan lauknya. Bukan begi-tu, Dewa?"
"Ooh...." desis Romilah mengerti.
Lalu dengan gayanya yang genit, Romilah kem-
bali bertanya yang ditujukan kepada Jaka: "Lalu tuan...?"
"Sama dengan temanku," jawab Jaka singkat.
Ia pun merasa bosan melihat tingkah laku Romilah
yang centil. Hanya ada satu jalan untuk mengusirnya, yaitu dengan cara meminta
makanan secepatnya. Dan
memang benar, Romilah pun segera bergegas pergi
meninggalkan keduanya yang hanya geleng-geleng ke-
pala. Tak lama antaranya, pesanan mereka pun da-
tang. Dengan tanpa bicara lagi keduanya segera me-
nyantap makanan itu. Sedang keduanya menikmati
santapannya, dari arah pintu tiga orang lelaki berwajah angker memasuki kedai
yang dengan kasar memin-
ta makan. "Hai...! Kasih kami tiga piring nasi rames, sambel dan jengkol serta tuak.
Cepat...!" berkata salah seorang dari mereka dengan membentak, hingga pelayan
yang menghampiri tampak ketakutan. Dengan terbata-
bata pelayan itu berkata; "I... ia, Tuan. Ha... hanya i...
itu?" "Ia...! Cepat...!" Melotot mata orang kedua dari ketiganya, menjadikan
pelayan itu makin ketakutan.
Hingga tanpa diperintah lagi, pelayan itu segera pergi.
Tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan
membawa pesanan ketiga orang itu.
Ketika pelayan itu lewat di depannya, Jaka se-
gera menghentikan dan bertanya: "Siapa ketiga orang itu?" Ditanya seperti itu
oleh Jaka, pelayan itu terdiam. Di matanya tergambar ketakutan yang amat
sangat. "Kenapa terdiam, Pak?" tanya Jaka mengulang.
Belum juga pelayan itu menjawab, tiba-tiba
terdengar suara salah seorang dari mereka berkata
dengan congkaknya.
"Hai, Bocah. Apa perlunya kau berbisik-bisik
dengan orang dungu seperti dia. Kalau kau ingin tahu siapa kami, dengarlah! Kami
dijuluki oleh orang-orang di sekitar sini Tiga Harimau Iblis. Nah... untuk kali
ini aku maafkan tingkahmu yang sok ingin tahu, karena
kau rupanya orang baru di sini. Sekarang, enyahlah
dari hadapan kami."
Jaka hanya tertawa mendengar omongan salah
satu dari ketiga Macan Iblis. Lalu dengan lantang Jaka berkata: "Hai, Harimau
ompong! Sepantasnya kalian masuk ke kebun binatang, bukan di sini tempatnya!"
Ketiga Harimau Iblis seakan membelalakkan
mata demi mendengar ucapan Jaka. Baru kali ini ada
orang yang berani bertingkah di hadapan Tiga Hari-
mau Iblis. Ketiganya segera menghentikan makan dan
segera memandang pada Jaka yang masih tertawa-
tawa. Hingga ketiganya menjadi berang, karena merasa diremehkan. Salah seorang
dari ketiga Harimau Iblis
itu membentak dengan marahnya.
"Jadah...! Rupanya ada lalat yang berani meng-
ganggu makanku." Setelah berkata begitu, serta merta tangannya bergerak dengan
cepat. Sebuah piring yang
menjadi alas makannya melayang, di lemparkan oleh-
nya ke arah Jaka Ndableg.
Hampir saja kepala I Ayu tersambar piring itu,
kalau saja Jaka tak segera mendorongnya. Sementara
Jaka sendiri tampak berjumpalitan di udara menghin-
dari serangan piring terbang itu.
Melihat serangan piringnya dapat dengan mu-
dah dielakan oleh Jaka dengan berang orang yang tadi melemparkan piring segera
meloncat menyerang. Melihat hal itu, Jaka segera memapaki.
"Hiat...!"
"Bug! Bug! Bug!" Tiga kali pukulan berturut-turut terdengar hantaman.
Jaka berdiri tegak, dengan senyum mengem-
bang di bibirnya. Sementara lawannya tampak sem-
poyongan, darah segar tampak mengalir dari sela-sela bibirnya. Melihat itu kedua
macan lainnya segera
memburu, membantu temannya berdiri. Dari mulut
kedua macan itu terdengar seruan kaget. "Adik Lo-
reng... kenapa kau?"
Keduanya hampir berbareng memapah adik se-
perguruannya yang tampak luka dalam oleh hantaman
Jaka. Kedua macam itu menatap tajam pada Jaka
sambil mendengus marah. "Anak muda! Rupanya kau sengaja mencari penyakit.
Bersiaplah untuk mati!"
Mendengar ucapan macan tertua, Jaka meng-
gandakan tawanya. "Hai, Macan ompong! Aku tak pernah mencari musuh. Aku semata-
mata hanya membe-
la diri. Bukankah adikmu itu yang pertama kali me-
nyerangku?"
"Persetan dengan ucapanmu, Anjing laknat!
Kau telah melukai adik seperguruan kami, maka seca-
ra tidak langsung kau telah menantang kami." Setelah berkata begitu, kedua macam
iblis itu segera menyerang Jaka.
Melihat keduanya menyerang, Jaka segera ber-
lari keluar. Ia tak ingin kedai itu hancur oleh pertarungan. Demi melihat Jaka
Ndableg lari keluar, serta
merta keduanya segera memburu.
"Mau lari ke mana kau, Anjing buduk...!" membentak macan tertua.
"Aku tak lari ke mana-mana, Macan ompong!
Aku hanya ingin kedai itu tak rusak oleh kita!"
Tak lama kemudian kedua macan itu pun telah
sampai di halaman kedai pula. Ketiganya saling berhadapan dengan mata yang tajam
mengawasi gerak-gerik
lawan. "Nah, macan-macam ompong. Sekarang apa
mau kalian" Bukankah aku tak lari?" berkata Jaka sembari tertawa bergelak-gelak,
membuat kedua macan itu tambah geram. Maka dengan k-ras, Macan Tu-
tul membentak: "Setan laknat! Jangan harap kau bisa lolos dari kami. Bersiaplah untuk mampus."
"Apa aku tak salah dengar, bahwa kalian ingin
mati" Ha... ha...." Dibaliknya ucapan Macan Tutul, yang menjadikan kedua macan
itu mendengus kesal.
Dengan serentak kedua macan itu pun menyerangnya.
Tampak kedua macan itu tak segan-segan lagi
mengeluarkan jurus-jurus intinya, dengan harapan
dapat segera menghabisi Jaka. Tapi dugaan keduanya
salah, sebab Jaka tampak dengan tenang mengelakkan
serangan keduanya, bahkan sekali-kali balik menye-
rang. Melihat musuhnya dapat dengan mudah men-
gimbangi serangannya.
Macan Kumbang dengan geram berseru: "Teri-
malah jurus Macan Kembar Berebut Mangsa.
Hiyaat...!"
Jurus Macan Kembar Berebut Mangsa adalah
jurus yang dibanggakan oleh ketiga Macan Iblis itu.
Kedua macan itu saling menyerang bergantian, mem-
buat Jaka tak dapat kesempatan untuk berbalik me-
nyerang. Hingga Jaka hanya mampu mengelak dan
menangkis. Jaka tersentak, saat salah satu dari Macan Iblis
hampir saja menghunjamkan tangannya yang berkuku
panjang dan runcing beracun ke mukanya.
"Cilaka...! Kalau begini terus menerus," membatin Jaka, Dengan segera Jaka
melompat mundur bebe-
rapa tombak. Ketika kedua Macan Iblis hendak kemba-
li merangseknya dengan cepat Jaka mengubah jurus-
nya dengan jurus Dewa Topan Menghantam Karang!
Dari gerakan kedua tangan Jaka yang seperti
menari, keluar angin besar bak badai menghantam ke-
dua macan itu. Melihat kenyataan bahwa anak muda
yang sedang mereka hadapi bukan tandingannya, ke-
duanya membatin.
"Cilaka! Ilmu siluman!" Di wajah kedua macan itu tampak tegang. Dan...
"Werr...! Dest...!" Beruntung macan kedua segera menghindar. Bila tidak, maka
nasibnya seperti ka-
kak seperguruannya. Tubuh macan tertua mencelat
terbang terbawa oleh arus topan, lalu jatuh ke tanah dengan nyawa melayang. Tak
luput pula kedai pak
Romli, bilik dan atapnya beterbangan terbawa angin
topan yang tercipta dari tangan Jaka.
Untuk sesaat Jaka termangu, memandangi ke-
dai pak Romli yang menjadi korban jurusnya. Jaka se-
gera melompat masuk ke kedai setelah ia ingat pada I Ayu Mantini yang
ditinggalkannya. Namun betapa terkejutnya Jaka, karena I Ayu Mantini tak ada di
tem- patnya lagi. Di wajahnya tergurat kecemasan akan kesela-
matan I Ayu Mantini. "Pelayan. Kau tahu ke mana temanku?" bertanya Jaka tak
sabar. Tanpa disadarinya, ia telah mengguncang-
guncangkan tubuh pelayan itu.
"Ke mana...?"
"Di... dibawa oleh Macan Tutul," menjawab pelayan kedai dengan ketakutan.
"Kau tahu tempatnya?"
Pelayan kedai itu hanya menggeleng lemah,
membuat Jaka seketika lemas dan melepaskan pegan-
gannya. "Untuk apa ia membawa I Ayu Mantini" Ah....
Bagaimana kalau ia tahu I Ayu Mantini wanita" Aku
harus segera mengejarnya," kata hati Jaka gundah.
Setelah terlebih dulu membayar uang makan
dan ganti rugi kedai yang rusak, dengan segera Jaka
memburu kedua macan yang membawa I Ayu Mantini.
Secepat kilat Jaka melesat pergi, hingga mem-
buat orang-orang yang melihatnya melototkan mata
tak percaya. "Wah... itu manusia atau siluman?" bergumam salah seorang yang bernama Somad.
"Tak nyana, bocah se-enom koe wis duwur il-
mune." timpal yang lain. Tak luput juga halnya dengan Romilah yang memang naksir
pada Jaka, hingga tak
sadar ia bergumam.
"Seandainya aku jadi istrinya. Apapun kemau-
annya akan aku turuti. Sudah ganteng, klimis eh...
wong sakti. Duh cah bagus, bilakah aku menjadi istri-mu" Walau istri kelima
sekalipun."
Mendengar omongan Romilah yang ngaco, seke-
tika semua yang ada di situ menggerutu kesal.
"Huuh... Maunya!" Romilah hanya nyengir dan ngeloyor pergi.
4 Alun-alun kerajaan tampak ramai oleh keru-
munan rakyat. Mereka datang berbondong-bondong
untuk menghadiri upacara penobatan putra mahkota
menjadi raja, menggantikan ayahandanya.
Pengumuman itu telah disebar seminggu yang
lalu pada rakyat, juga pada kerajaan lain. Walau ra-
kyat telah datang sejak pagi, namun tampak bangsal
yang akan dipergunakan sebagai tempat pengangkatan
masih kosong. Di Dalam keraton tepatnya di ruang pertemuan,
Sang Baginda dengan dikelilingi oleh abdi keraton,
tengah mengadakan rapat.
Sang raja yang walaupun usianya telah lanjut,
tampak kewibawaan masih melekat pada dirinya. Ter-
lihat semua yang hadir di situ hanya terdiam, kala
sang baginda bersabda membuka rapat.
"Para pinisepuh kerajaan yang saya hormati.
Paman patih Arya Wisesa yang saya hormati, serta
perwira-perwira tinggi kerajaan. Hari ini sengaja aku undang kalian semua ke
tempat ini, tempat yang
mungkin telah kalian semua ketahui sebagai tempat
musyawarah. Begitu juga dengan hari ini, saya undang kalian semuanya ke mari
juga untuk musyawarah.
Yang mana telah kalian semua ketahui, bahwa kera-
jaan saat ini telah dilanda gelombang pemberontakan.
Karena aku sudah tua, aku bermaksud menyerahkan
tahta kerajaan ini pada anakku Arya Perwira. Bagai-
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana menurut pendapat para pinisepuh...?"
"Ampun, Tuanku yang mulia. Kalau tuanku
berkenan, hamba ingin menyampaikan pendapat ham-
ba." Sang raja yang bijaksana, tampak tersenyum mendengar ucapan salah seorang
sesepuh kerajaan.
Lalu dengan suara bijak, Sang Rajapun bersabda:
"Katakanlah apa pendapatmu. Bila memang
baik, maka aku pun akan melaksanakannya."
"Ampun.... Menurut hemat hamba sebagai
orang tua, hamba merasa bahwa pemberontakan-
pemberontakan yang terjadi tidak luput kaitannya
dengan orang-orang dalam sendiri. Dengan kata lain,
ada orang dalam yang terlibat."
Mendengar penuturan sesepuh kerajaan, seke-
tika semua yang hadir di balai pertemuan saling pan-
dang dengan hati saling penuh tanda tanya.
Setelah melihat semuanya terdiam, sesepuh ke-
rajaan itu kembali meneruskan bicara: "Ampun, Ba-
ginda sesembahan hamba. Itu hanyalah pendapat
hamba semata. Maka bila hal itu dirasa salah, maka
dengan memohon beribu-ribu ampun hamba meminta
maaf." Sang baginda tampak terdiam. Dipandanginya satu persatu orang yang hadir
di situ. Semuanya tampak menunduk, tak ada yang berani untuk mengadu
pandang dengan tatapan mata sang raja.
"Aku rasa memang benar ucapanmu, Ki Wisesa
Ludra. Terbukti dengan lolosnya kaum pemberontak
dari sergapan prajurit-prajurit kerajaan, itu pertanda ada oknum dalam kerajaan.
Bukan begitu, paman patih Arya Wisesa...?" berkata sang Raja pada patihnya Arya
Wisesa. Sang patih Arya Wisesa hanya mengangguk membenarkan, seraya menyembah.
"Arya Wisesa. Coba kau ceritakan apa yang te-
lah kau alami dengan para pemberontak?"
"Ampun, Baginda yang mulya sesembahan
hamba. Seperti apa yang dikatakan Ki Wisesa Ludra,
hambapun berkesimpulan begitu. Bahwa pemberonta-
kan-pemberontakan yang terjadi akhir-akhir ini, da-
langnya tak lain adalah orang dalam sendiri yang bermaksud merongrong kerajaan.
Sudah berulang kali
hamba melakukan pengepungan-pengepungan pada
markas mereka. Namun sebelum hamba dan anak
buah hamba datang ke tempatnya, mereka telah pergi
entah ke mana. Juga ketika hamba dengan Empat Na-
ga dari Gunung Kapur mengejar sekelompok pembe-
rontak, kami kehilangan jejak secara tiba-tiba."
"Lalu bagaimana dengan keamanan kerajaan
sekarang?" tanya sang raja.
"Ampun, Baginda yang mulia, sesembahan
hamba. Sejak keamanan dipercayakan pada Ke Empat
Naga, sampai sekarang belum ada kejadian pemberon-
takan lagi."
Sang raja tampak manggut-manggut menden-
gar laporan patihnya. "Rupanya Ke Empat Naga dari Gunung Kapur orang-orang yang
berilmu tinggi." men-desah sang raja.
"Telah tiba waktunya penobatan putraku. Mari,
kita ke bangsal penobatan." ajaknya sembari berdiri dari kursi. Semua yang hadir
menunduk hormat, dan
menepi memberikan jalan untuk rajanya. Setelah sang
raja berlalu, semua yang ada di situ segera mengiku-
tinya dari belakang.
Di atas bangsal tampak ponggawa istana ten-
gah membacakan acara-acara yang akan berlangsung.
Rakyat dengan sabar menunggunya dan segera menge-
lu-elukan rajanya saat nama sang raja disebut.
"Hidup baginda Wangsa Dewa...! Hidup raja ki-
ta...!" Tanpa memperdulikan suara rakyat yang ber-gemuruh, mengelu-elukan nama
rajanya, kembali sang
ponggawa istana berkata:
"Saudara-saudara rakyat kerajaan Bayu Lor
yang berbahagia. Waktu penobatan putra mahkota
Pangeran Arya Prawira, sebentar lagi akan dilaksana-
kan...." Mendengar penobatan Pangeran Arya Perwira sebentar lagi akan dilakukan,
seketika kembali terdengar suara rakyat berseru.
"Hidup Pangeran Arya Perwira...! Hidup Kera-
jaan Bayu Lor...!"
Sedang riuhnya rakyat mengelu-elukan nama
Arya Perwira. Dari arah Barat seorang lelaki berjalan mendekati dan langsung
masuk ke dalam kerumunan
rakyat. Lelaki muda yang baru datang itu, tampak
mengawasi sekelilingnya. Dengan mata yang tajam, le-
laki muda itu memandang ke segenap penjuru alun-
alun. Entah siapa yang sedang ia cari. Lelaki muda itu bertanya pada salah
seorang penduduk yang berdiri
dekat dengannya.
"Ki Sanak. Kalau boleh aku bertanya, sedang
ada apa di sini...?"
"Ini orang bagaimana, sin" Apakah memang
orang asing, hingga tak tahu sedang apa kerajaan ini."
membatin orang itu.
"Ki Sanak, ini adalah kerajaan. Dan sekarang
tengah mengadakan suatu acara pengangkatan putra
mahkota menjadi raja, menggantikan ayahandanya
yang telah tua." Orang yang ditanya menerangkan.
Setelah tahu apa yang sedang berlangsung, le-
laki muda itu keluar dari kerumunan rakyat. Dicari
sebuah pohon, lalu segera pemuda itu melompat dan
duduk di cabang dengan tenang.
Di atas bangsal, ponggawa kerajaan masih ber-
bicara dengan penuh semangat. Tak lama kemudian,
sang Raja dengan diiringi pengawal istana naik ke atas bangsal disambut dengan
sorak-sorai serta elu-eluan
rakyatnya. "Hidup raja kita...! Hidup kerajaan Bayu Lor...!" Melihat sambutan
rakyat yang penuh antusias, sang Raja terurai senyum bangga penuh keharuan. La-
lu setelah rakyatnya tenang, sang raja pun bersabda:
"Terima kasih... terima kasih. Ternyata kalian
semua adalah rakyat yang baik, yang mencintai raja
dan negaranya. Aku bangga memimpin rakyat seperti
kalian, yang rela berkorban demi raja dan negaranya.
Namun aku kini telah tua, tenaga dan pikiranku telah berkurang. Maka mulai hari
ini kalian semua akan
mendapat raja yang baru, yaitu...." Belum habis ucapan sang raja, tiba-tiba dari
kejauhan seseorang berte-
riak. Semua mata mengalihkan pandangannya pada
orang tersebut, yang datang bersama bala tentaranya.
"Aku rajamu sekarang... ha... ha...." Orang itu melompat ke atas bangsal dan
dengan cepat tanpa dapat dicegah, memporak-porandakan bangsal seenak-
nya. Melihat sepak terjang orang yang baru datang,
Arya Wisesa segera menghadang.
"Siapa kau! Berani lancang membuat keona-
ran"!" membentak Arya Wisesa.
Ditanya begitu oleh Arya Wisesa, orang yang
barusan datang bukannya segera menjawab malah ter-
tawa dengan keras, rakyat yang tak dapat menahan ge-
taran suara orang itu banyak yang luka dalam.
Dari hidung dan telinga rakyat tampak menga-
lir darah. Belum puas melihat korban yang berjatuhan, kembali orang yang baru
datang itu melipatgandakan
tawanya. Mengerut kening Arya Wisesa, demi melihat apa
yang telah terjadi.
"Hem.... Aji Gelak Pelebur Sukma." membatin Arya Wisesa. "Baik! Akan aku coba
dengan ilmu Pen-gunci Suara," bergumam hati Arya Wisesa. Setelah untuk beberapa
saat terdiam, Arya Wisesa pun memben-
tak. "Diam...!"
Bagai kena hipnotis, orang yang sedari tadi ter-
tawa seketika terdiam. Matanya melotot tak percaya.
Dengan terlebih dahulu bergumam, orang itu berseru
pada anak buahnya yang telah siaga.
"Serbu...!"
Bagai air bah, anak buahnya segera turun dari
bukit yang mengelilingi alun-alun. Seketika suasana
yang tadi tenang, berubah menjadi pekik dan jerit kematian dan ketakutan. Pihak
kerajaan pun tak tinggal diam, mereka dengan penuh semangat memapakinya.
Perang tak dapat dicegah, meletus dengan seketika.
Korban berjatuhan dari kedua belah pihak,
namun tampaknya peperangan tak akan segera berak-
hir. Dari pihak pemberontak, nampaknya makin me-
rangsek pertahanan pihak kerajaan yang hanya men-
gandalkan ilmu perang belaka. Lain dengan dari pihak pemberontak yang rata-rata
berilmu silat, juga berlandaskan kenekadan.
Arya Wisesa kini telah berhadap-hadapan den-
gan pimpinan pemberontak, segelar sepapan. Di tan-
gan Arya Wisewa tergenggam keris pusaka Kyai Plered
Ijo. Matanya yang tajam bagai mata elang, memandang
pada musuhnya. "Siapa namamu, Ki sanak"!" bertanya Arya Wisesa marah. Musuhnya tampak tersenyum
sinis, se- pertinya mengabaikan dan meremehkannya. Melihat
hal itu, kejengkelan Arya Wisesa makin menjadi. Den-
gan didahului bentakan, Arya Wisesa pun segera me-
lompat menyerang.
Diserang secara tiba-tiba oleh Arya Wisesa, ti-
dak menjadikan pemimpin pemberontakan itu gugup.
Bahkan dengan disertai tawa nyaring, ia pun berkelit mengelakkan serangan Arya
Wisesa. Dengan segenap
kemampuan, Arya Wisesa mencoba merangsek mu-
suhnya. Tapi dengan mudah sang musuh dapat men-
gelakkan serangan-serangannya bahkan sesekali
membalas menyerang.
Jurus demi jurus telah dilewati, sudah tiga pu-
luh lima jurus keduanya bertanding. Keris pusaka di
tangan Arya Wisesa tampak berkelebat-kelebat dengan
cepatnya mencari sasaran.
Pemimpin pemberontak tampak tidak ada gen-
tar sedikitpun menghadapi keris pusaka di tangan
Arya Wisesa. Hanya dengan mengibaskan tangan saja,
semua serangan Arya Wisesa dapat ditangkisnya. Bah-
kan kini Arya Wisesa yang tampak keteter, didesak
oleh lawannya yang hanya mengandalkan tangan ko-
song. Tiba-tiba...! Tanpa diduga Arya Wisesa sebe-
lumnya, pemimpin pemberontak itu melompat mundur
beberapa tombak. Kedua telapak tangannya disatukan.
Maka dari kedua telapak tangan itu tampak keluar si-
nar merah menyala. Arya Wisesa terperanjat, melom-
pat mundur. Dari mulut-nya mendesis kaget, menye-
but nama ajian yang dipakai musuhnya. "Aji Panca Api...! Hem... dari mana ia
memperoleh ajian itu" Bukankah hanya Siluman Neraka saja yang mempu-
nyainya" Apakah ia muridnya" Bukankah murid Silu-
man Neraka hanya seorang yaitu Tumenggung Warok
Rekso Poleng. Atau...."
Arya Wisesa segera tersadar dan berkelit kala
sebuah hantaman dari pemimpin pemberontak yang
menggunakan aji Panca Api menyerangnya. Namun tak
urung, pundaknya terserempet juga. Baju yang dike-
nakannya terbakar dengan pundak terasa perih.
Melihat musuhnya tampak lengah karena sakit
di pundaknya, pemimpin pemberontak kembali meng-
hantamkan pukulan aji Panca Apinya. Tapi ketika ia
mengkiblatkan tangan ke Arya Wisesa, tiba-tiba dari
atas pohon kapuk berkelebat sesosok tubuh mengha-
dang pukulannya,
"Bum...!" Benturan dua tenaga dalam yang
dahsyat, membuat tanah di bawahnya menyembur ke
atas. Ketua pemberontak tampak terkejut, tubuhnya
sempoyongan ke belakang dengan darah meleleh dari
sela-sela bibirnya. Sementara orang yang telah mema-
paki pukulan Aji Panca Apinya, kini tampak berdiri
dengan bibir menyungging senyum.
"Siapa dia" Belum pernah ada yang dapat me-
mecahkan aji Panca Api. Tapi kenapa orang ini mampu
memecahkannya?" membatin pemimpin pemberontak.
Ia sadar, bahwa orang yang sekarang berdiri di hada-
panya bukan orang sembarangan. Tapi sebagai orang
yang telah makan asam garam dunia persilatan, pe-
mimpin pemberontak itu segera menghilangkan keje-
riannya dan dengan lantang bertanya:
"Siapa kau! Berani ikut campur urusanku"!"
Si lelaki muda yang tadi memapaki serangan-
nya hanya tersenyum.
"Ki sanak, nama tidak selalu menjadikan pato-
kan tinggi rendahnya ilmu yang dimiliki oleh orang itu.
Ada kalanya orang yang ternama di dunia persilatan,
tindak-tanduknya bertentangan. Sebaliknya orang
yang tidak terkenal, biasanya akan hati-hati dalam
bertindak. Tapi baiklah, agar Ki sanak puas, maka aku yang rendah dan dungu ini
memperkenalkan namaku
yang tak ada artinya. Namaku Wayan Saba...."
"Wayan Saba..." Wayan Saba, untuk kali ini
aku menyerah kalah. Tapi lain waktu aku akan men-
gadakan perhitungan denganmu," berkata pemimpin pemberontak sembari hendak
pergi. Tapi belum juga
pemimpin pemberontak melangkah jauh, segera Wayan
Saba menghentikannya. "Tunggu...!"
Pemimpin pemberontak itu seketika berhenti,
dengan wajah tegang. Mengira Wayan Saba hendak
menangkapnya, dengan nekad pemimpin pemberontak
itupun menyerang. "Serbu!" serunya memerintah pada sisa-sisa anak buahnya.
Pendekar Kidal 5 Gento Guyon 24 Perisai Maut Rahasia Lukisan Kuno 2
DEMI TAHTA DAN CINTA Oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-
lam episode: Demi Tahta dan Cinta
128 hal; 12 x 18 cm
1 Tengah pesta perkawinan berjalan dengan
khidmatnya, tiba-tiba dari atap melorot sesosok tubuh seorang pemuda yang telah
berdiri memandang tajam
dan kurang ajar pada I Ayu Mantini. Senyum sinisnya
mengembang, kakinya perlahan menghampiri kedua
mempelai tanpa dapat dicegah. Tangannya dengan ku-
rang ajar membelai janggut I Ayu Mantini, lalu dengan congkak ia berkata.
"Cah Ayu, tak pantas kau bersanding dengan
pemuda yang berdiri di sampingmu, tapi kau pantas-
nya dengan aku."
Tangannya yang tadi hanya membelai janggut,
seketika hendak menarik lengan I Ayu Mantini. Namun
maksud Kardika tak kesampaian ketika terdengar sua-
ra bentakan di belakangnya.
"Iblis busuk! Apa perlunya kau mengganggu
kami!" Walau suara itu keluar dari mulut orang tua, api karena dilandasi dengan
tenaga dalam maka suara
itu bagai menggelegar terdengarnya. Kardika seketika menoleh dan memandang sinis
pada lelaki tua di hadapannya.
"Ki Putut Mantra. Kau tahu siapa aku?" ucapnya menyombong, lalu perlahan
dihampirinya Ki Putut
Mantra yang memandang padanya dengan sorot ke-
bencian. "Mengapa kau tidak bilang padaku kalau kau
punya anak gadis semolek ini, Ki?"
"Itu bukan urusanmu, Iblis!" menjawab Ki Putut Mantra dengan ketus. Ia tahu
siapa Kardika. Ia sudah bertekad tak mau menyerahkan putrinya pada ib-
lis mata keranjang itu.
Mendengar ucapan Ki Putut Mantra, Kardika
bukannya marah. Bahkan sebaliknya ia tertawa berge-
lak-gelak, kemudian ia berkata sinis:
"Ki Putut Mantra! Kau telah tahu aku, semes-
tinya kau tidak sembrono. Semestinya anakmu dengan
ikhlas kau berikan padaku, dan nyawa tuamu yang
bau tanah harus ku buang ke neraka. Ha... ha... ha...!"
Bagaikan tak memandang sebelah matapun Kardika
membalikkan tubuhnya. Lalu dengan sebat dicekalnya
tangan I Ayu Mantini. Tapi belum sampai maksudnya,
tiba-tiba berkelebat Ki Putut Mantra menghalangi yang membuat Kardika menggeram
kesal. "Hem... kau mencari mampus tua bangka keparat...!"
"Kau yang mencari mampus, Iblis! Apa hakmu
membuat kericuhan di sini...?" menjawab Ki Putut Mantra tak mau kalah ketusnya.
Kejengkelan telah melanda hati Kardika hingga
tampak wajahnya merah membara, lalu dengan diser-
tai emosi, Kardika membentak. "Tua bangka tak tahu diuntung, rupanya kau ingin
mampus berani menentangku!" Maka tanpa menunggu ucapan Ki Putut Mantra, Kardika
telah menyerang dengan cepat. Suasana
yang tadinya tenang kini riuh. Anak-anak dan wanita
berserabutan mencari perlindungan.
Kardika yang jengkel dengan ulah Ki Putut
Mantra tanpa sungkan-sungkan segera menyerang
dengan jurus-jurus yang membahayakan. Tak kalah Ki
Putut Mantra, walaupun umurnya sudah tua tapi ke-
gesitan sebagai seorang pendekar masih tersisa. Hing-ga serangan-serangan
Kardika dengan mudah dapat
dielakkan. Melihat hal itu Kardika makin mendengus kes-
al. "Hem.... Rupanya kau masih lincah seperti dulu, Tua bangka! Tapi jangan
harap kau mampu lepas dari
tanganku." Bersama itu Kardika kembali menyerang.
Kali ini dikeluarkan jurus-jurus intinya, ia tak ingin membuang-buang waktu.
Ki Putut Mantra yang sudah waspada segera
mengimbanginya, mengelak dan sesekali menyerang.
Walaupun begitu, karena usianya sudah tua, lama ke-
lamaan Ki Putut Mantra dapat didesak oleh Kardika.
Demi melihat mertuanya tidak unggulan, Wayan Saba
segera bermaksud membantu.
Namun hal itu bukan menjadi meringankan
beban Ki Putut Mantra. Bahkan sebaliknya, pikiran Ki Putut Mantra bercabang.
Pertama pada Kardika, dan
kedua pada keselamatan menantunya. Ia tahu Kardika
bukan tandingannya, walau dikeroyok sekalipun.
"Wayan... jangan mendekat!" seru Ki Putut
Mantra memperingati. Namun Wayan yang memang
jengkel pada kelakuan Kardika sedari tadi tak ambil
perduli, sehingga membuat Ki Putut Mantra gusar.
"Wayan... pergi kau dan bawa istrimu!" Bersamaan dengan selesai ucapannya,
sebuah pukulan "WESI
GENI" yang dilancarkan Kardika menghantam telak di dadanya. Ki Putut Mantra
terpental tiga tombak ke belakang, dari mulut orang tua itu meleleh darah segar.
Melihat ayahnya terluka dalam, I Ayu Mantini
segera memburu menghampiri.
"Ayah... ayah...!" I Ayu Mantini menangis, kala ia tahu ayahnya telah meninggal.
Sementara di lain pihak, Wayan tengah menjadi bulan-bulanan Kardika
yang bukan tandingannya. Sebuah pukulan Kardika,
membuat Wayan terpelanting lima tombak ke belakang
jatuh di depan tetua Adat yang membantunya berdiri
sembari berkata padanya:
"Pergilah! Kau tak menghadapi dia. Pergilah ke
wilayah Kulon dan carilah seorang Guru sahabatku
yang bernama Ki Turangga Bayu. Cepat...! jangan hi-
raukan apa yang terjadi di sini, biar kami yang menan-gani." "Lalu istriku...?"
Dengan tertatih-tatih Wayan berdiri bermaksud
mendekati istrinya. Namun sebuah tendangan Kardika
membuat ia terjungkal dan terpelanting keluar rumah.
Merasa tidak unggulan, akhirnya Wayan pun menurut
saran sesepuh Adat.
Dengan terlebih dahulu menengok pada is-
trinya, Wayan segera mengambil kuda dan lari dari si-tu. Kardika yang melihat
Wayan melarikan diri, segera memburunya.
Di ufuk Timur sudah nampak mentari, pertan-
da hari sudah pagi. Wayan menghentikan kudanya me-
langkah perlahan mencari sumber air. Kerongkongan-
nya terasa kering, sebab semalam ia telah menguras
habis tenaganya untuk bertarung sekaligus untuk ber-
lari. Lamunannya terus tertuju pada istrinya I Ayu
Mantini. Dendamnya pada Kardika membuat Wayan
melangkah dengan hampa, hingga jurang yang ter-
pampang di hadapannya tak dilihatnya. Terdengar jeritan Wayan yang membahana,
manakala tubuhnya ter-
perosok, masuk ke dalam jurang.
* * * Kardika yang telah sampai di situ segera men-
cari Wayan. Matanya yang tajam dan liar memandang
ke segenap penjuru. Namun apa yang dicari tak dite-
mukannya. "Aneh.... Aku tadi melihat dia di sini." Belum puas Kardika mencari Wayan,
dicobanya kembali un-
tuk memeriksa sekeliling lembah itu. Dan ketika ia melihat ke bawah jurang,
tampak olehnya bangkai kuda
yang menjadi tunggangan Wayan.
"Hem.... Rupanya bocah ingusan itu telah
mampus," ucap Kardika. Di bibirnya tersungging kemenangan, lalu dihelanya tali
kuda tunggangannya
kembali ke tempat I Ayu Mantini yang tadi ditinggal-
kan. Dipacu kudanya dengan cepat. Secepat piki-
rannya membayangkan I Ayu Mantini yang benar-
benar ayu. Membayangkan hal itu, kembali Kardika
tersenyum-senyum.
Kampung Tegal Rejo geger, semua warga ber-
duyun-duyun datang ke tempat kepala kampungnya
untuk melayat. Di situ masih tampak tetua Adat di-
bantu oleh anak buah sesepuh desa, tengah mengurus
mayat sesepuh desa itu. Kaum wanita mencoba meng-
hibur I Ayu Mantini yang masih menangis, sedang para pemudanya tampak berjaga-
jaga di halaman rumah.
Belum juga mereka tenang, tiba-tiba secepat ki-
lat seekor kuda dengan penunggangnya menerobos di
antara kerumunan orang-orang dan terus masuk me-
nuju ruangan di mana I Ayu Mantini berada.
Para pemuda segera memburu dan mencoba
menghalangi niat orang itu, yang tak lain Kardika
adanya. Namun pemuda-pemuda itu bukan tandingan
Kardika, terbukti dalam segebrakan saja mereka di-
buat tak berdaya. Melihat hal itu, tetua Adat yang sedari tadi diam segera
bertindak maju menghadap.
Melihat tetua Adat itu menghadangnya, Kardika
sesaat melompat mundur. Dipandanginya sesaat, lalu
ia berkata. "Ki Abiyasa, mengapa kau ikut campur?" ucap Kardika sengit.
"Amitohud.... Hamba minta maaf. Namun ham-
ba sebagai sesepuh Adat seharusnya kewajiban hamba
melerai keributan ini. Hamba tidak ingin terjadi korban yang tak berdosa hanya
karena ambisi...."
"Ah... persetan, itu hakku."
"Benar, itu memang hak anda. Tapi anda telah
menggunakan hak yang salah. Merampas istri orang
dan membunuh orang tuanya, hal itu tak dapat dibe-
narkan...."
Geram hati Kardika mendengar omongan Ki Ab-
iyasa yang baginya suatu penghalang, maka dengan
keras Kardika membentak. "Tutup bacotmu, Tua
bangka! Rupanya kau sekarang berani menentangku.
Ingat Abiyasa, barang siapa yang menentangku berarti memilih mati.,.." Habis
berkata begitu, Kardika segera menyerang Ki Abiyasa yang segera memapakinya,
pertarungan pun tak dapat dihindarkan. Melihat hal itu, anak-anak muda yang tadi
ciut nyalinya kini bangkit
dan mengurung kedua orang yang sedang bertarung.
Jurus demi jurus dilampaui, sudah hampir tiga
puluh jurus berlalu, keduanya tampak sama-sama
tangguh. Ketika sampai jurus ketiga puluh lima, Kar-
dika meloncat mundur.
"Ki Abiyasa, terimalah kematianmu! Aji Wesi
Geni!" Kedua tangan Kardika tampak menghitam le-gam kemerahan laksana besi
berani. Ki Abiyasa segera surut mundur. Matanya terbelalak kaget, melihat
Kardika mengeluarkan ajian yang tak asing baginya.
"Wesi Geni. Apakah Kakang Turangga telah
menurunkan padanya" Bahaya, sungguh bahaya ka-
lau aji ini dipergunakan oleh orang yang sesat," membatin Ki Abiyasa.
Melihat Ki Abiyasa terdiam, Kardika mengang-
gap Ki Abiyasa takut, maka dia pun tertawa bergelak-
gelak mengejek.
"Ha... ha... ha Abiyasa, menyerahlah! Dan jan-
gan campuri urusanku kalau kau tak ingin mampus."
Ki Abiyasa masih tampak tenang dengan penuh
kewaspadaan. "Kardika, kau jangan sombong. Setinggi-tingginya ilmu manusia,
belum seberapa dibanding-
kan dengan Yang Wenang. Dan ingat Kardika, mati hi-
dupnya manusia ada di tangan-Nya."
"Bedebah! Akan aku buktikan bahwa aku pun
dapat mengambil nyawa busukmu.... Hiaaat...!" Tangan Kardika yang sudah disaluri
aji Wesi Geni, berkelebat mencari sasaran. Ki Abiyasa yang maklum bahwa
Kardika memang menghendaki nyawanya tak tinggal
diam, tongkat "Sapu Angin" yang dipegangnya memapaki serangan itu. Namun betapa
terkejut Ki Abiyasa
ketika menerima kenyataan. Tongkat Sapu Angin tak
mampu menahan aji Wesi Geni hingga....
"Braak...!" Tongkat Sapu Angin pun patah menjadi dua. Ki Abiyasa terhuyung
mundur ke belakang
dan dari mulutnya keluar darah segar. Pemuda-
pemuda yang sedari tadi mengurung segera memburu,
mengeroyok Kardika. Dikeroyok demikian Kardika bu-
kannya takut, malah sebaliknya. Ia tertawa.
"Minggir!" Bentakan Kardika yang diikuti dengan tenaga dalam menjadikan anak-
anak muda itu terdiam terperangah.
Ketika anak-anak muda itu masih terperangah,
Kardika secepat kilat berkelebat dan tak lama kemu-
dian di pundaknya telah tergendong I Ayu Mantini
yang meronta-ronta.
"Lepaskan! Lepaskan aku!!"
"Ha... ha... ha... kau tak bakal mampu, Manis.
Kau harus ikut aku!"
Dengan ilmu lari cepatnya Kardika membawa
lari I Ayu Mantini. Pemuda-pemuda itu hendak menge-
jarnya, tapi segera dicegah oleh Ki Abiyasa.
"Percuma kalian mengejar."
"Tapi, Ki...?" Seorang anak muda yang berbadan besar mencoba protes. Ki Abiyasa
segera bangkit dan menghampiri pemuda itu.
"Percuma. Sia-sia, dia bukan tandingan kalian."
"Lalu apa yang harus kami perbuat...?" kembali pemuda itu bertanya meminta
saran. Ki Abiyasa terdiam, dihempaskan nafasnya panjang-panjang, kemu-
dian ia berkata.
"Ini sudah suratan Yang Wenang. Aku tak da-
pat berbuat apa-apa. Sudahlah, mari kita urus mayat
sesepuh desa." Dengan rasa kecewa pemuda-pemuda itu pun akhirnya menurut. Siang
itu dengan dipimpin
tetua Adat, mayat kepala desa disemayamkan.
2 Ombak laut Utara bergulung-gulung mene-
piskan pasir-pasir pantai. Siang itu tampak seorang
pemuda tengah berjalan-jalan menikmati keindahan
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alam sambil bernyanyi-nyanyi.
Ketika dia sedang asyik-asyiknya bernyanyi,
terdengar suara anak burung mencicit-cicit di atas sa-rangnya. Hatinya yang
penyayang tergugah mendengar
cicitan anak burung itu.
"Hai... kenapa anak burung itu?" tanya pemu-da. Sesaat ia mendongak ke atas,
lalu dengan sekali
loncat dia pun telah hinggap di atas cabang pohon, sa-rang burung itu berada.
"Oh, kenapa kau, Burung kecil...?" tanya sang pemuda pada anak burung kecil itu,
yang hanya mencicit. "Oh... oh... ibumu pergi" Ke mana...?"
"Cit... cit..." Burung kecil itu kembali mencicit.
"Mati...! Di bawah!" Seketika pemuda itu menengok ke bawah pohon. Tak jauh dari
dia berdiri tadi tampak olehnya seekor burung nuri menggeletak, di
sampingnya menggeletak pula seekor ular.
"Kasihan, kau pipit kecil."
Kala pemuda itu sedang merenungi nasib anak
burung Pipit dan dirinya yang mengembara mencari
bapaknya. Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar
derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya.
Dari kejauhan tampak lima orang penunggang
kuda. Dilihat dari pakaiannya kelima orang itu adalah pengawal-pengawal
kerajaan. "Ke mana Kakang Wisesa?" tanya seorang lelaki bertubuh besar tinggi, bercambang
lebat, pada orang
yang berjalan dengan kudanya di depan. Orang yang
dipanggil dengan nama Wisesa memperlambat lari ku-
danya, lalu berhenti tepat di bawah pohon di mana
pemuda berpakaian sisik ular berada.
"Aku tadi melihat mereka lari ke sini...!" Mata Arya Wisesa yang tajam menghujam
pada semak-semak di sekeliling tempat itu. "Hem.... Ke mana perginya mereka"
Seakan mereka hilang ditelan bumi."
Gumam hati Arya Wisesa.
"Apa kakang tidak salah lihat?" tanya Naga Bi-ru, Naga kedua dari empat Naga
Gunung Kapur. Ya...
keempat orang yang kini bersama Arya Wisesa, tak lain dari keempat tokoh silat
yang sudah kesohor namanya
di dunia persilatan pada masa itu. Di samping ilmunya yang tinggi, keempat Naga
itu terkenal aneh dalam
pendiriannya. "Tidak, Adik Naga Biru. Namun mengapa mere-
ka bisa raib begitu saja...?"
"Kakang mengenal mereka?" Naga Kuning ber-
tanya. "Tidak, Adik Naga Kuning mereka memakai to-peng. Tapi aku punya dugaan
bahwa mereka adalah
kaum pemberontak kerajaan."
"Kenapa kakang memastikan itu?" Kini Naga
Putih yang angkat bicara. Matanya yang tajam me-
mandang sekeliling, hampir setiap pelosok hutan ba-
kau itu tak lepas dari pandangannya.
"Adik Naga Putih, bukankah adik telah men-
dengar terjadi pemberontakan di kerajaan...?" Naga Putih mengangguk mengiyakan,
sebab dia tahu kenapa ia
dan saudara-saudaranya dipanggil ke kerajaan. Tak
lain karena adanya pemberontakan itu yang sampai
sekarang belum diketahui siapa dalangnya.
"Semalam ketika aku sedang menghadap raja
bersama kalian, dua orang yang kita kejar telah me-
masuki alun-alun istana dan membuat onar," Arya Wisesa menuturkan apa yang dia
dengar dari laporan
ponggawa istana. "Nah bukankah itu sebagian kecil dari aksi pemberontakan...?"
Keempat Naga itu mengangguk mengerti, kemudian kelimanya terdiam, se-
mentara mata mereka terus mengawasi sekitarnya.
Sementara pemuda yang berada di atas pohon
yang tak lain Jaka atau Pendekar Siluman Darah
mendengar pembicaraan mereka, tanpa disadari oleh
kelima orang yang berada di bawahnya.
"Rupanya kerajaan tengah dilanda musibah
yang tak enteng, hingga keempat Naga dari Gunung
Kapur diundang juga. Aku akan berusaha menyelidi-
kinya." Tak lama berselang setelah kelima orang istana
berlalu, Jaka Ndableg meninggalkan tempat itu.
* * * Di sebuah goa, di bawah jurang "Chandra Cip-
ta" tampak seorang lelaki tua sedang duduk. Sementara di hadapannya seorang
pemuda tengah belajar ilmu
silat. Gerakan-gerakannya yang begitu lincah dan gesit ditunjang dengan
semangatnya yang tinggi, membuat
pemuda itu tak kenal lelah,
"Gerakanmu masih kurang, Wayan...." berkata lelaki tua yang duduk di depannya
pintu goa. "Ingat...
kakimu dalam menapak masih kurang lincah dan be-
rat. Hal itu akan mengurangi kekuatan ilmumu, sebab
ilmu Catur Langkah haruslah dilakukan dengan piki-
ran yang tenang dan konsentrasi yang penuh. Nah, la-
kukan lagi hingga benar-benar sempurna. Sebab
hanya ilmu Catur Langkah yang dapat menandingi aji
Wesi Geni murid durhaka itu."
"Baik guru. Ijinkanlah murid mengulang dari
awal kembali."
"Lakukanlah, dan jangan berhenti sebelum aku
perintahkan." Setelah berkata begitu orang tua itu kembali diam, matanya
terpejam melakukan meditasi.
Walaupun matanya terpejam, namun gerak-gerik
Wayan Saba yang sedang berlatih silat dapat diiku-
tinya. * * * "Hidup bagaikan perjalanan
Yang menuntun kita 'tuk melangkah
Bila kuat iman di dada
Kelak kita akan bahagia
Tapi bila setan yang ada
Neraka dunia yang kita ciptakan...."
Bait-bait itu begitu indah, dilantunkan dengan
suara merdu, gaungnya berkumandang memantul di
antara sela-sela bebatuan di gunung itu. Tampak seo-
rang wanita muda sedang duduk di bawah pohon be-
ringin yang rindang. Di tangannya tergenggam sebuah
boneka kayu. Pandangannya yang kosong, serta pa-
kaiannya yang kumal menandakan bahwa ia tengah
dilanda guncangan jiwa yang berat.
Seketika wajah yang sedari tadi riang berubah
menjadi sendu, lalu tanpa sadar ia pun menangis se-
senggukan. "Bajingan...! Selama orang-orang semacam kau
masih hidup, dunia tak akan tenang. Kau bunuh
ayahku, kau bunuh kekasihku, lalu kau rusak diriku,
hu, hu.... Kau harus mati di tanganku... hi... hi...." Di-belai-belainya boneka
kayu yang sedari tadi ditimangnya, diajaknya bercanda. Gadis itu tak sadar kalau
tingkah lakunya sedari tadi diperhatikan oleh orang
lain. "Kasihan. Gadis semuda dan secantik itu harus menanggung beban jiwa yang
amat berat," membatin pemuda yang mengawasinya dengan rasa iba. "Betapa banyak
orang-orang di dunia ini yang harus menanggung derita, hanya karena tingkah
sesamanya...."
Ia bermaksud menghampiri gadis itu, namun
niatnya segera diurungkan, saat telinganya yang tajam mendengar seseorang menuju
ke situ. Secepatnya ia
segera bersembunyi di balik semak-semak, sementara
matanya terus mengawasi pada gadis itu.
"Hi... hi.... Adik manis, rupanya ada orang yang
menuju ke mari," kata gadis gila itu pada bonekanya yang masih ditimang-timang.
Pemuda yang bersembunyi dibalik semak-semak yang tak lain daripada
Pendekar Siluman Darah terkejut, mendengar tutur
kata gadis gila itu.
"Hem.... Rupanya gadis gila itu tahu juga. Sia-
pakah orang yang menuju ke mari" Sepertinya masih
muda, mau apa dia...?"
Dari arah Timur seorang pemuda menghampiri
gadis gila itu, yang tampaknya acuh tak acuh me-
nyambutnya. "I Ayu Mantini, rupanya kau ada di sini...." berkata pemuda yang baru datang.
Gadis itu hanya memandang sesaat, kemudian
kembali acuh sambil menimang-nimang bonekanya.
"Mau apa kau datang ke sini, Mahesa...?" tanyanya dengan senyum sinis.
"I Ayu Mantini, Aku diutus oleh Kardika untuk
membawamu kembali...." Mendengar jawaban pemuda yang disebut Mahesa, I Ayu
Mantini tertawa bergelak-gelak seakan ucapan Mahesa lucu. Mahesa menge-
rutkan kening, matanya seketika melotot marah. Ia
merasa dipermainkan oleh I Ayu Mantini.
"Apa yang engkau tertawakan, I Ayu...?"
"Hi... hi... hi.... Kau lucu, Mahesa." I Ayu Mantini bukannya menjawab, malah
tertawa cekikikan.
Panas telinga Mahesa, sepanas hatinya yang sudah
terbakar oleh celoteh I Ayu Mantini. Belum sempat
Mahesa berkata, I Ayu Mantini telah meneruskan oce-
hannya. "Hi... hi.... Mahesa. Ternyata otakmu seperti
namamu, Kebo."
Mata Mahesa melotot merah. Ia kesal menden-
gar ocehan I Ayu Mantini yang baginya sudah keterla-
luan. Namun Mahesa berusaha sabar, karena ia tahu I
Ayu Mantini sudah gila. Di samping itu ia pun diperintahkan Kardika agar tidak
menurunkan tangan pada I
Ayu Mantini. "Sinting...! Ayo ikut aku.... Kalau kau bukan
kekasih Kardika, sudah aku lumatkan mulutnya yang
ceriwis itu...!" menggeretak Mahesa menahan amarahnya. Tapi bagi I Ayu Mantini
ucapan Mahesa diang-
gapnya ocehan anak kecil, terbukti I Ayu Mantini kini menggandakan tawa.
"Hi... hi... hi.... Kekasih. Siapa yang sudi menjadi kekasih Iblis macam tuanmu
itu, Kebo...!" Mahesa tak dapat menahan amarahnya, disebut Kebo oleh I
Ayu Mantini. Tangannya yang kekar seketika berkele-
bat hendak menangkap I Ayu Mantini. Namun bagai
orang bercanda I Ayu Mantini segera berkelit. Tangan kanannya yang tak memegang
boneka menghantam
tubuh Mahesa. Mahesa yang tak menyangka akan
mendapat serangan balasan tak dapat menghindar,
hingga.... "Bugg!" Tubuh Mahesa yang besar dan kokoh, terhenyak ke belakang beberapa tombak
terkena hantaman tangan I Ayu Mantini.
Merah muka Mahesa menerima kenyataan itu.
Matanya menyorot marah, giginya bergeletuk menahan
kejengkelan. Perlakuan I Ayu Mantini membuat ia tak
ingat apa yang diperintahkan oleh Kardika.
"Bedebah...! Rupanya kau cari mampus, Orang
gila...!" Tanpa menunggu lebih lama, Mahesa segera bertindak. Kali ini dia tidak
ingin kecolongan lagi, ma-ka Mahesa pun mengeluarkan ilmu silatnya.
Mahesa tampak bersungguh-sungguh, terbukti
dalam sepuluh jurus saja, I Ayu Mantini dapat dide-
saknya. Demi melihat gadis gila itu dalam bahaya, Ja-
ka yang sedari tadi menonton segera keluar dari per-
sembunyiannya. Tepat ketika tangan jahat Mahesa
hendak menghantam dada I Ayu Mantini, tiba-tiba...!
"Cuiiittt.... Dest...." Berbareng dengan suara suitan nyaring, saat itu pula
sebuah pukulan menghantam lengan Mahesa, yang segera menarik mundur
tangannya. Di hadapannya kini telah berdiri sesosok
tubuh pemuda, I Ayu Mantini tegak berdiri di belakang pemuda itu. Melihat cara
kedatangan pemuda, dan ca-ra menangkisnya Mahesa telah maklum, bahwa pemu-
da yang kini berdiri di hadapannya bukan orang sem-
barangan. Namun sebagai tangan kanan Kardika yang
sudah kesohor kesaktiannya, pantang baginya untuk
menyerah dan mengakui ketinggian ilmu lawan. Maka
dengan lantang ia membentak. "Monyet...! Siapa kau!
Berani turut campur urusanku...!"
"Monyet" Ha... ha... ha. Aku monyet" Ya, aku
monyet. Tapi kau.... Kau lebih rendah dari monyet, karena kau tak tahu belas
kasihan," menjawab pemuda itu.
"Bedebah..,! Rupanya kau orang gila juga yang
ingin mampus...!"
Mendengar kata-kata Mahesa, Jaka makin
menggandakan tawanya. Kali ini tawanya melengking
disertai dengan tenaga dalam yang tinggi, membuat
suaranya bergema ke pelosok-pelosok hutan menggi-
dikkan bulu kuduk bagi yang mendengarnya termasuk
Mahesa. Melihat kenyataan itu Mahesa sadar, bahwa
orang di hadapannya bukan tandingannya. Mahesa
yang nyalinya sudah ciut, tanpa pikir panjang segera mengambil langkah seribu
seraya meninggalkan kata-kata. "Anak muda, tunggulah aku di sini...!"
Sepeninggal Mahesa, Jaka yang memang tidak
ada maksud untuk mengejar hanya geleng-geleng ke-
pala melihat tingkah Mahesa. Dihampirinya I Ayu Man-
tini yang masih berdiri mematung.
"Nona, kalau aku boleh tahu, siapa nama No-
na" Dan kenapa orang tadi hendak memaksa Nona un-
tuk ikut dengannya...?"
I Ayu Mantini sesaat memandang pada Jaka,
ditatapnya lekat-lekat dari ujung kaki sampai ujung
rambut. "Terima kasih atas pertolongan Tuan. Aku...
aku I Ayu Mantini...." I Ayu Mantini kembali menangis.
Kesadarannya tiba-tiba pulih, dan hal itu membuat
sangat trenyuh. Maka dengan perlahan Jaka Ndableg
pun kembali bertanya.
"Kenapa Nona menangis" Siapa orang tadi...?"
"Aku... aku sedih mengenang nasibku yang bu-
ruk ini. Ayahku dibunuh, lalu suamiku entah di mana, dan aku sendiri... semua
karena ulah bajingan itu. Dia telah menghancurkan segalanya... hu... hu..."
kembali I Ayu Mantini menangis. Jaka Ndableg jadi iba, inga-tannya kembali pada
keadaan dirinya. Ibunya mati
demi melindungi dirinya, sementara ayahnya... ah en-
tah di mana rimbanya.
"Mengapa kehidupan diwarnai dengan derita..."
Kenapa sesama manusia harus saling bunuh membu-
nuh, dan memperkosa hak orang lain....'" Seribu pertanyaan hadir kembali di hati
Jaka Ndableg, hingga
tanpa sadar Jaka Ndableg pun meneteskan air mata.
"Siapa yang membunuh ayahmu?" Bertanya
Jaka Ndableg pada I Ayu Mantini setelah dia dapat
menenangkan suasana hatinya.
Mendengar pertanyaan Jaka Ndableg, kenangan
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pahit yang dialaminya kini tergugah lagi. Sambil mengusap air matanya, I Ayu
Mantini pun mengisahkan
kembali tentang apa yang telah menimpa dirinya,
ayahnya, serta suaminya yang kini entah di mana be-
rada. Mendengar penuturan I Ayu Mantini yang begi-
tu mengharukan, rasa kemanusiaan Jaka atau Pende-
kar Siluman Darah tergugah. Tak dirasakan olehnya,
air matanya pun menetes di pipinya. "Ah, kenapa aku menangis?" Seketika Jaka
Ndableg segera menyadari akan dirinya. Setelah dapat menguasai diri, Jaka
Ndableg pun berkata pada I Ayu Mantini.
"I Ayu Mantini. Hidup bukan untuk terus berla-
rut dalam kesedihan, tapi hidup untuk dihayati dan
diamalkan. Seperti sebait syair yang barusan kau
ucapkan. Nah, untuk itu janganlah kau terpengaruh
dengan jalannya kehidupan yang telah direncanakan
oleh Yang Maha Esa. Kita tidak boleh menaruh den-
dam, sebaliknya kita harus dapat menyadarkan orang
yang salah. Namun bila hal itu tidak dapatinya, barulah kita bertindak, juga
bukan lantaran dendam. Se-
bab dendam-mendendam tak akan pernah habis, se-
bab itu adalah dorongan nafsu setan semata agar kita terbawa olehnya...." Sesaat
Jaka Ndableg memandang pada I Ayu Mantini yang tertunduk mendengar penu-
turannya, kemudian Jaka Ndableg meneruskan uca-
pannya. "Aku rasa, aku hanya dapat memberikan saran.
Sementara pelaksanaannya itu aku serahkan kembali
padamu. Hanya itu yang dapat aku berikan, dan ijin-
kanlah aku pergi...."
"Tuan pendekar...." I Ayu Mantini yang sedari tadi mendengarkan penuturan Jaka
Ndableg, kini mendongakkan mukanya memanggil Jaka Ndableg ka-
la hendak melangkah pergi. Jaka Ndableg segera
menghentikan langkahnya, kemudian berpaling meng-
hadap pada I Ayu Mantini.
"Ada apa..?" tanyanya.
I Ayu Mantini sesaat kembali terdiam, matanya
yang sayu namun tidak menghilangkan keindahannya
menatap lekat pada Jaka Ndableg. Sejenak ia berbuat
begitu, lalu iapun berkata. "Bolehkah aku meminta tolong sekali lagi...?"
Jaka Ndableg sejurus terdiam, membalas me-
mandang pada I Ayu Mantini yang seketika tertunduk
malu. "Apa yang dapat aku tolong" Katakanlah, bila aku dapat aku akan
memberikannya. Namun bila aku
tak mampu, aku minta maaf...."
Kini I Ayu Mantini kembali berani menatap wa-
jah Jaka Ndableg, senyumnya mengembang di bibirnya
yang sedari tadi terkatup.
"Bawalah aku ke mana saja Tuan pendekar
akan pergi...."
"Ah...?" Desahan itu tiba-tiba keluar dari mulut Jaka, sebab ia tak menyangka
akan menerima permintaan semacam itu.
"Kenapa, Tuan Pendekar..." Apa Tuan Pendekar
merasa keberatan...?"
"Ti... tidak. Tapi aku adalah seorang pengelana, tujuanku tak tentu arah. Ke
mana kaki melangkah itulah tujuanku. Aku takut kau menderita bersamaku."
"Tidak, Tuan Pendekar. Hidupku kini hanya se-
batang kara, tak punya sanak-saudara, entah itu mati atau di mana. Sudah tekadku
untuk mengabdi pada
orang yang telah menyelamatkan jiwaku."
Jaka sesaat terdiam. Di dalam hatinya berke-
camuk pertanyaan yang berbeda. Pertama ia harus ke
kota raja untuk menyelidiki kerajaan yang sedang di-
landa kerusuhan oleh pemberontak. Tak mungkin me-
libatkan I Ayu Mantini. Kedua masalah permintaan I
Ayu Mantini. Hal ini menyangkut rasa kemanusiaan.
Akankah ia tega meninggalkan I Ayu Mantini" Semen-
tara ia mengawatirkan gadis itu" Bagaimana kalau
nanti anak buah Kardika datang..." Akhirnya... demi
rasa kemanusiaan. Jaka Ndableg pun memilih menga-
jak I Ayu Mantini ke kota raja.
"Baiklah, I Ayu Mantini. Aku memperbolehkan
kau ikut denganku, tapi bukan aku ingin dilayani
olehmu. Anggap saja kita berdua adalah saudara!"
Mendengar perkataan Jaka Ndableg yang mau mene-
rimanya, seketika I Ayu Mantini menjura hormat.
"Terima kasih, Tuan Pendekar,..."
"Jangan begitu, aku bukan raja tak pantas un-
tuk kau sembah. Sudahlah, mari kita segera pergi...."
Jaka Ndableg dan I Ayu Mantini baru saja hendak me-
ninggalkan hutan itu, ketika terdengar suara bentakan dari arah belakang.
"Tunggu...! Jangan pergi dulu...."
Jaka Ndableg segera mengurungkan langkah-
nya. Dibalikkan tubuhnya menghadap pada asal suara
itu. Tampak lima orang lelaki menuju ke arahnya. Sa-
lah satu dari mereka sudah ia kenal, yaitu Mahesa
adanya. Sambil menunggu kedatangan kelima lelaki itu, Jaka Ndableg menyuruh I
Ayu Mantini untuk bersembunyi. "Pergilah bersembunyi.... Biar mereka aku tan-
gani. Cepatlah!" Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, I Ayu Mantini pun menuruti
apa yang dikatakan oleh
tuan pendekarnya, bersembunyi di balik semak-
semak. "Ada apa, Ki sanak" Hingga Ki sanak menghentikan langkahku...?" tanya
Jaka atau Pendekar Siluman Darah, seakan-akan tak mengerti persoalannya.
"Jangan pura-pura bodoh, Anak muda. Di ma-
na kau sembunyikan gadis tadi...!"
Membentak Mahesa jengkel. Jaka Ndableg ter-
senyum tenang, dengan lagak konyol ia bertanya. "Gadis yang mana, yang kisanak
maksudkan..."
Mahesa Dungkul menyapukan pandangannya
ke sekitar tempat itu, namun I Ayu Mantini tak dite-
mukannya. Maka rasa kekesalannya, dilampiaskannya
pada Jaka Ndableg seraya membentak.
"Kau sembunyikan di mana gadis itu...?"
"Aku tidak menyembunyikannya. Dia telah per-
gi dari sini," berdusta Jaka Ndableg, membuat Mahesa yang memang sebenarnya
ingin mencoba ilmu yang
dimiliki Jaka Ndableg jadi marah. Dengan lantang Ma-
hesa berkata. "Anak muda, siapa namamu" Jangan kau mati
tanpa diketahui namanya...!"
Jaka Ndableg tersenyum tenang.
"Ha, ha... ha... ha.... Apa arti sebuah nama.
Aku adalah aku, tentang mati hidupku aku rasa bukan
urusan kalian, tapi urusan Yang Wenang...."
Mendidih darah kelima anak buah Kardika. Be-
lum pernah mereka diejek dan disepelekan seperti se-
karang ini. Melihat yang mengejek anak masih muda
keempat orangnya Mahesa tak sabar hendak menye-
rang. "Tunggu...!" Mahesa melarangnya.
"Kenapa..." Kau takut, Mahesa...?" tanya salah seorang dari mereka yang wajahnya
seram. Golok yang
di tangannya hendak diayunkan ke tubuh Jaka Ndab-
leg. "Darga, sabar...! Jangan kau anggap enteng
dia." Mahesa hendak mencegah, namun Darga tampak sudah tak dapat menahan
emosinya. Di samping itu ia
tidak yakin kalau pemuda yang sedang dihadapinya
memiliki ilmu yang tinggi. Maka Darga pun segera me-
nyerang Jaka Ndableg dengan tebasan goloknya.
Jaka Ndableg yang tidak menyangka akan
mendapat serangan yang begitu tiba-tiba, tersentak ju-ga. Hampir saja kepalanya
tertebas golok besar di tangan Darga, kalau saja Jaka Ndableg tidak menunduk-
kan kepala. Dalam keadaan seperti itu Jaka Ndableg
masih berupaya menyadarkan penyerangnya.
"Tunggu...! Mengapa kalian memusuhi ku..."
Bukankah di antara kita tak ada silang sengketa...?"
Melihat Jaka Ndableg mundur dari serangan Darga,
hati Mahesa menjadi besar. Dikiranya Jaka Ndableg
takut menghadapi Darga. Dengan lantang Mahesa ber-
seru. "Anak muda.... Kau telah berani mencampuri urusanku dan telah berani
menyembunyikan serta melindungi I Ayu Mantini. Nah, itulah silang sengketa di
antara kita...!"
"Picik...!" memaki Jaka Ndableg. "Baik...! Kalian rupanya manusia-manusia
berhati iblis. Kalian sudah
tak berperikemanusiaan. Kalau kalian menginginkan
nyawaku karena aku melindungi orang yang tak ber-
daya, lakukan...!"
Mendengar omongan Jaka Ndableg, kelima
orang anak buah Kardika tanpa sungkan-sungkan lagi
segera mengurung dengan senjata di tangan masing-
masing. Mahesa yang sudah tahu tingginya ilmu anak
muda itu, memberi tahu pada anak buahnya untuk
berhati-hati. "Anak muda. Kalau kau ingin selamat katakan
di mana kau sembunyikan gadis itu, cepat!" Mahesa masih bertanya. Sebenarnya ia
sungkan untuk menghadapi Jaka Ndableg yang sudah ia ketahui ketinggian ilmunya.
Ia berusaha mencari jalan yang halus saja,
namun Jaka Ndableg atau Pendekar Siluman Darah
hanya tertawa bergelak-gelak.
"Ha... ha... ha.... Sudah aku katakan pada ka-
lian. Bila kalian menginginkan gadis yang tak berdaya itu, aku tak akan
memberikannya. Apakah kalian sudah tuli, hingga tak mendengar...?"
Mendengar ejekan Jaka Ndableg, kelima orang
yang dipimpin oleh Mahesa menjadi panas. Apalagi si
Darga yang merasa unggulan. Dengan tak memandang
sebelah mata pun pada Jaka Ndableg, ia membentak.
"Bedebah...! Kau belum kenal aku. Tapi kalau
sudah di neraka kau baru tahu dan menyesal." Jaka Ndableg kembali tertawa
bergelak-gelak hingga pakaian berkilat-kilat terpantul cahaya matahari mengikuti
irama tubuhnya.
Merasa tak ada gunanya lagi bicara dengan Ja-
ka Ndableg, secepat kilat kelima orang itu segera mengurung. Dikeroyok oleh lima
orang bersenjata tidak
menjadikan Jaka Ndableg bingung, malah dengan ter-
tawa-tawa dia meladeni serangan kelimanya. Pertarun-
gan lima melawan satu pun berlanjut. Jurus demi ju-
rus terlampaui, namun Jaka Ndableg yang tak mau
menurunkan tangan jahat masih berkelit menghindari
serangan kelima pengeroyoknya.
Melihat hal itu, I Ayu Mantini menjadi was-was
juga. Ia telah tahu akan kehebatan ilmu golok yang
dimiliki oleh Empat Setan Golok. Dugaan I Ayu Mantini tampak tidak meleset,
terbukti kini Jaka Ndableg dapat dipepet. Perasaan was-was melanda I Ayu
Mantini, hingga keringat dingin tak terasa mengucur deras di
pelipisnya. Jaka Ndableg yang sudah terpepet bukannya
grogi, bahkan sebaliknya. Dengan terlebih dahulu
mengeluarkan gelak tawanya yang melengking, Jaka
Ndableg segera mengubah jurusnya, Dewa Topan Me-
landa Karang. Tangan Jaka Ndableg seketika berubah.
Tampak oleh kelima pengeroyoknya, tangan Jaka
Ndableg menjadi beribu-ribu banyaknya.
Kelima pengeroyoknya tersentak kaget melihat
hal itu. Namun belum sempat mereka dapat menye-
suaikan keadaan dari keterkejutannya, terdengar sua-
ra pekik tiga orang teman mereka yang menggelepar-
gelepar dengan badan membiru dan menggigil kedingi-
nan. Hal ini makin membuat ciut nyali Mahesa dan
Darga. Itulah keampuhan aji Dewa Topan Melanda Ka-
rang. Jangankan manusia, batu karang yang kokoh
pun akan runtuh.
Jaka Ndableg melompat mundur. Ia tersentak
dan menyesal telah melepaskan tangan keras pada la-
wannya. Setelah dapat menguasai suasana, Jaka
Ndableg berkata pada kedua orang yang masih hidup.
"Cepat tinggalkan tempat ini sebelum aku be-
rubah pendirian!"
Mahesa dan Darga yang sudah ciut nyalinya
tanpa malu-malu segera berlari meninggalkan Jaka
Ndableg. Jaka Ndableg segera duduk sujud menghadap
ke Barat dan dari mulutnya terdengar suara penyesa-
lan. "Ampun guru. Sebenarnya murid tak bermak-
sud menurunkan tangan jahat. Tapi orang-orang itu
telah memaksanya." Setelah berkata begitu, Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang
Siluman Darah me-nundukkan kepalanya.
Dari arah Timur I Ayu Mantini keluar dari se-
mak-semak menghampiri Jaka, yang masih terdiam
membisu sambil sujud.
"Pendekar!"
Jaka Ndableg segera memalingkan wajahnya
memandang pada asal suara itu.
"Tak usah tuan pendekar menyesali tindakan
tuan. Dibandingkan apa yang tuan lakukan, belum se-
berapa dengan perbuatan mereka yang banyak mem-
buat kejahatan." I Ayu Mantini mencoba menyadarkan Jaka Ndableg dari
penyesalannya. Perlahan Jaka
Ndableg bangkit dan dihampirinya ketiga mayat itu.
Setelah menguburkan mayat-mayat itu, keduanya pun
berlalu meninggalkan hutan itu menuju ke kota raja.
* * * "Duer...!" Terdengar meja dihempas oleh tangan Kardika. Seketika meja itu hancur
berantakan. Wajah
Kardika tampak merona merah, pertanda marah. Di-
pandanginya satu persatu wajah Mahesa dan Darga
yang tertunduk, tak berani memandanginya.
"Baru menghadapi kroco kalian kalah! Bagai-
mana kalian jadi prajurit nanti! Memalukan...! Di ma-na iblis Tangan Bisa...?"
"Dia sedang pergi, Kakang." jawab Mahesa
memberanikan diri.
"Sudah. Kalian pergi dan jangan ganggu aku
dulu. Bodoh!" Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, Mahesa dan Darga berlalu
meninggalkan Kardika.
Kardika merenung, dalam hatinya ia bertanya-
tanya, "Siapa pemuda itu..." Hingga Empat Setan Golok yang sudah terkenal itu
dapat dengan mudah dija-
tuhkan olehnya?"
Belum habis pikiran Kardika pada pemuda itu,
dari luar seorang lelaki setengah baya bersama seorang gadis cantik
menghadapnya.
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selamat sore, Tuan." sapa lelaki setengah tua itu dengan hormat. Kardika
tersentak, ditatapnya lelaki setengah baya bersama gadis di sampingnya.
"Sangkumi, inikah yang kau maksud...?" tanya Kardika sambil mendekat ke arah
gadis yang berdiri di samping Sangkumi.
"Benar, Tuan. Namanya Delima," menjawab
Sangkumi cengar-cengir.
"Ha... ha... ha.... Cah ayu, di sini kau akan senang, ayo." Diajaknya Delima
menuju ke dalam. Sangkumi melihatnya hanya meleletkan lidah. Ia tahu apa
yang akan diperbuat oleh Kardika pada gadis itu.
Sebelum masuk ke dalam kamar, ia segera me-
nengok ke arah Sangkumi yang masih berdiri di pintu
depan. "Sangkumi... kau boleh istirahat dan berse-nang-senang dengan gadis yang
di gudang. Pilih oleh-
mu yang kau sukai!"
"Terima kasih, Tuan...."
"Sangkumi, suruh yang lainnya untuk ikut ber-
samamu." "Baik, Tuan...." Sangkumi berlalu meninggalkan Kardika yang telah masuk ke kamar
mengikuti Delima
dan menutup pintu kamar itu. Delima tersenyum me-
lihat kelakuan Kardika yang sudah tak sabar lagi. Hal itu membuat Delima sengaja
mempermainkannya. Dibukanya kancing bajunya perlahan, hingga mata Kar-
dika melotot tak berkedip. Darahnya seketika memun-
cak ke ubun-ubun. Maka tanpa sabar ditubruknya tu-
buh Delima bagai macan kelaparan. Delima menggelin-
jang kegelian, kala kumis Kardika yang lebat menyen-
tuh lehernya yang jenjang dan mulus.
Belum sampai kedua manusia yang dilanda
nafsu syetan itu bertindak jauh, tiba-tiba terdengar da-
ri luar seseorang berseru.
"Kardika...! Iblis keparat, keluar kau...!" Suara itu begitu lantang, hingga
membuat Kardika tersentak dan mengurungkan niatnya. Dirapikan pakaiannya, la-lu
dengan segera ia meloncat keluar tanpa menghirau-
kan Delima lagi.
"Bangsat...! Siapa yang berani mencari mam-
pus...! Hem.... Kau Eka Paksi, mau apa kau datang ke mari" Apa ingin mengantar
nyawamu yang busuk
itu...?" Eka Paksi tertawa bergelak-gelak. Lalu ia pun berkata dengan nada
dingin. "Kardika, lama kita tak berjumpa. Rupanya kebahagiaan sedang melanda mu
hingga kau lupa pada sahabat lama."
Kardika tersenyum, ia tahu apa yang tersem-
bunyi dalam ucapan Eka Paksi. Namun Kardika yang
merasa aji Wesi Geninya sudah tinggi, tak merasa gentar sekalipun.
"Oh.... Maaf. Bukannya aku lupa. Tapi karena
kau datang tanpa memberitahukan dulu, jadi aku tak
dapat menyambutmu dengan meriah...." Mata Kardika tampak tak berkedip memandang
pada Eka Paksi. Eka
Paksi tertawa ganda mendengar ucapan Kardika, wa-
lau hatinya membatin; "Licik...!"
"Kardika, aku tak mau bertele-tele. Tentunya
kau tahu akan apa yang menjadi maksudku datang ke
mari...." Kardika tertawa bergelak-gelak, mendengar apa yang diucapkan Eka
Paksi. Dari sorot matanya,
terlihat sebuah kebencian pada Eka Paksi.
"Ha... ha... ha.... Jangan kuatir, Eka Paksi. Aku bukanlah tipe pembohong. Untuk
itu marilah masuk
dulu, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Mana anak bua-
hku...?" tanya Kardika seakan pada diri sendiri, matanya mengawasi
sekelilingnya. "Sepi, ke mana mereka
semua?" Belum habis Kardika bertanya-tanya dalam hati, terdengar Eka Paksi
kembali tertawa bergelak-gelak. "Kardika...! Maaf, aku telah membantu anak
buahmu untuk sekedar tidur. Mungkin semalaman
mereka berjaga...."
"Hem... Rupanya ada kemajuan yang pesat di-
dapat oleh Eka Paksi, hingga Sangkumi yang ilmunya
setara denganku tak mampu menghadapinya.... Aku
harus memakai cara halus," membatin Kardika, demi mendengar anak buahnya
termasuk Sangkumi dapat
diperdayai oleh Eka Paksi.
Melihat Kardika terdiam, Eka Paksi seketika
berpikir. "Dia sedang mempersiapkan cara apa lagi untuk menjebakku?" tanya hati
Eka Paksi. Karena dalam hati mereka saling bertanya-
tanya pada diri sendiri, untuk sekian lama keduanya
terdiam. Mata-mata mereka yang tajam dan liar, tam-
pak saling beradu hendak mengukur sampai di mana
tingkat ilmu lawan.
Kardika yang menyadari bahwa Eka Paksi terus
memandangnya segera berseru:
"Eka Paksi...! Mari, jangan sungkan-sungkan.
Tak enak bila kita membicarakan hal itu di luar. Apa kau tak takut ada pihak
ketiga yang mengetahuinya...?"
Eka Paksi tertawa bergelak-gelak, kepalanya
mengangguk-angguk mengiyakan. "Baik, Kardika. Memang tak baik kalau kita
membicarakan hal itu di
luar." Dengan sekali loncat, tubuh Eka Paksi yang tadi berjarak sepuluh tombak
kini telah berdiri di hadapan Kardika.
Belum juga Eka Paksi menginjakkan kakinya
ke tanah, seketika Kardika yang licik tanpa sepengeta-
huan Eka Paksi telah menghantamkan aji Wesi Ge-
ninya. Hal itu membuat Eka Paksi tak dapat berkelit.
Dan! "Deupbb!" Tangan kanan Kardika yang sudah disalurkan aji Wesi Geni,
mendarat telak di ulu hati Eka Paksi yang langsung terhuyung ke belakang dua
tombak. Mulut Eka Paksi menyemburkan darah segar.
"Li... cik. Kau... kau...." Eka Paksi yang sudah parah masih mencoba bertahan
dan hendak membalas. Namun akibat pukulan Wesi Geni yang ganas, Eka
Paksi pun tak mampu untuk menjangkau dan ambruk
ke tanah. Melihat teman sekaligus musuh besarnya telah
mati, Kardika tertawa lepas penuh kemenangan. Ka-
kinya dihentakkan di atas tubuh Eka Paksi.
"Ha... ha... ha... Ambillah pusaka mu di neraka sana, Paksi!"
Tiba-tiba tanda diketahui oleh Kardika sebe-
lumnya, gadis yang bernama Delima telah menyerang.
Sebuah pukulan telak Delima, menghantam di pung-
gungnya. Kartika sempoyongan, dipandanginya Delima
yang tadi menyerang dari belakang.
"Kau... kau.... Iblis betina....!" Belum habis Kardika berbicara, Delima segera
menyerang kembali. Me-
lihat hal itu, Kardika segera berkelit dan membalas
menyerang. "Hari ini tamatlah riwayatmu, Jahanam...!"
membentak Delima sembari melancarkan serangan-
nya. Kardika yang sudah sadar bahwa dirinya telah di-tipu mentah-mentah oleh
gadis itu, emosinya segera
meledak. Tanpa memperdulikan bahwa gadis itu tadi
dicumbunya, Kardika segera membalik menyerang.
Tadinya Kardika tidak begitu sungguh-sungguh
melayani gadis itu. Namun demi dilihatnya gadis itu
bukan wanita sembarangan, Kardika pun tanpa sung-
kan-sungkan langsung mengeluarkan ajiannya, Wesi
Geni. Terperanjat gadis itu, demi melihat ajian yang baru saja membunuh Eka
Paksi. Delima pun segera
melompat mundur.
Wajah Delima nampak pucat pasi. Dari mulut-
nya keluar seruan kaget. "Ajian Wesi Geni!"
"Menyerahlah, Manis. Kau tak akan mampu
melawanku, lebih baik kau menyerah dan mau me-
layaniku."
Tangan Kardika bergerak cepat, hendak men-
cengkeram pundak Delima. Manakala tangan itu ma-
kin mendekat, terdengar sebuah tiupan angin kencang
menangkis. "Dessssttt...!"
Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan ber-
kelebat dan menyambar tubuh Delima. Dibawanya tu-
buh Delima pergi, sehingga membuat Kardika gusar.
Namun bayangan itu telah jauh berlalu, tinggallah
Kardika yang mencaci maki penuh kemarahan dan ke-
gusaran. 3 Lima tahun Wayan Saba terkurung di jurang
Kendala Sukma, digembleng oleh seorang guru yang
bernama Ki Turangga Bayu. Lima tahun bukanlah
waktu yang pendek hingga tampak Wayan Saba seka-
rang, berbeda dengan yang dulu. Dulu di wajahnya tak ada goretan-goretan usia,
juga tak ada kumis dan
jenggot yang tubuh. Namun sekarang goretan usia
tampak mengukir di keningnya juga jenggot dan ku-
misnya begitu lebat.
Pagi telah datang, menggantikan gelapnya ma-
lam yang telah setia menyelimuti bumi. Wayan Saba
tampak tengah duduk di antara himpitan batu-batu
cadas. Ia tengah menjalani ujian akhir. Tapa Brata Pati Geni, tidak makan dan
tidak minum selama sebulan
penuh. Dari luar goa seorang lelaki tua renta meng-
hampiri, di bibirnya tergerai senyuman. Diangguk-
anggukkan kepala sepertinya puas.
"Wayan Saba, bangunlah! Sudah cukup olehmu
melakukan tapa brata." Terdengar Ki Turangga Bayu berkata. Perlahan, mata Wayan
Saba yang sedari tadi terpejam membuka dan sesaat menatap pada lelaki tua
yang tengah berdiri di hadapannya. Lalu tanpa diperintah, Wayan Saba pun segera
bersujud. "Ampun, guru. Ada gerangan apa hingga guru
membangunkan tapaku?"
"Muridku...lima tahun sudah kau di sini. Dan
lima tahun pula kau telah menimba ilmu padaku. Kini
segala ilmu yang kumiliki telah berpindah pada dirimu.
Apakah kau tak ingin menjenguk istrimu" Apakah kau
tak ingin menikmati alam kebebasan?" tanya sang guru. Wayan Saba sesaat terdiam,
memandang wajah
sang guru dengan segenap keharuannya.
"Ampun, Guru... bukannya hamba hendak me-
nentang ucapan guru. Betapa beratnya hati hamba bi-
la harus meninggalkan guru. Lagipula, tak ada gu-
nanya murid pergi ke dunia bebas yang penuh dengan
segala macam persoalan."
Mendengar perkataan Wayan Saba, Ki Turang-
ga Bayu menggelengkan kepala, Dengan penuturan
yang bijak, Ki Turangga Bayu berkata: "Wayan, aku tahu perasaan hatimu. Tapi
sebagai seorang pendekar,
kau dituntut untuk menghadapi segala kenyataan di
dunia persilatan. Apalah artinya seorang pendekar, bi-la tak berani menghadapi
liku-liku dunianya. Kita sebagai seorang persilatan harus mempunyai tujuan.
Apalah artinya ilmu yang kita miliki, bila tidak kita gunakan...."
Wayan Saba terdiam mendengar petuah sang
guru, hatinya membenarkan. Namun perasaannya se-
bagai seorang manusia yang mengerti akan balas budi, merupakan beban berat bila
harus berpisah dengan
sang guru yang telah sekian tahun menggemblengnya.
Sang guru yang mengerti akan perasaan mu-
ridnya, segera meneruskan ucapannya.
"Wayan. Manusia hidup perlu saling tolong me-
nolong. Dan sebagai manusia yang berbudi pekerti ser-ta berbudaya, tak ada
pamrih untuk menolong sesa-
manya yang memang membutuhkan. Janganlah kau
terlalu memikirkan diriku. Masih banyak orang yang
menderita oleh kesewenang-wenangan orang lain, yang
membutuhkan pertolongan orang-orang sepertimu.
Gunakanlah ilmu yang telah kau dapati untuk kebena-
ran, kau mengerti bukan...?"
Wayan Saba mengangguk. Ucapan-ucapan gu-
runya pemberi semangat untuk kembali ke dunia be-
bas, yang telah sekian lama ia tinggalkan.
"Terima kasih atas segala budi baik guru, yang
dengan ikhlas telah membimbing ku. Mungkin bila tak
ada guru, telah menjadi apa diriku ini." Wayan Saba tak dapat lagi menahan air
matanya. Ia menangis, dan sujud memeluk kaki Ki Turangga Bayu.
"Jangan cengeng, Wayan. Seorang pendekar
pantang untuk menangis," berkata Ki Turangga Bayu membuat Wayan Seba segera
sadar dan mengusap air
matanya. Sang guru tersenyum.
"Wayan. Hari ini juga kau boleh pergi...."
"Tapi, Guru...?"
"Jangan membantah, Wayan."
"Ampun, Guru. Murid akan selalu menjunjung
tinggi ucapan guru."
"Bagus...." berkata Ki Turangga Bayu, di bibirnya tampak tersungging senyum.
"Pergilah sekarang.
Carilah olehmu murid durhaka itu, mintalah buku ki-
tab aji Wesi Geni yang ia curi."
"Bagaimana jika ia melawan, Guru...?" tanya Wayan Saba.
"Hem... kau masih ingat apa yang pernah aku
katakan padamu?" sang guru balik bertanya. Sesaat Wayan terdiam, mengingat satu
persatu petuah yang
telah diberikan gurunya.
"Masih, Guru."
"Apa itu..." Katakanlah?"
Ditariknya napas dalam-dalam oleh Wayan, se-
belum akhirnya berkata:
"Seorang pendekar, tidak akan melawan bila ti-
dak ada perlawanan. Seorang pendekar tidak akan
menyakiti, bila tidak disakiti terlebih dahulu. Baginya kepentingan orang banyak
lebih utama daripada kepentingan diri sendiri."
Tersenyum senang Ki Turangga Bayu, demi
mendengar ucapan muridnya.
"Nah, Wayan. Dengan ucapanmu tadi, aku rasa
kau mengerti apa yang harus kau lakukan jika Kardika melawanmu. Sebentar lagi
hari akan siang, pergilah.
Cari dia. Tapi ingat, jangan sekali-kali kau bertindak berlandaskan dendam
pribadi. Bertindaklah karena
membela orang yang lemah."
Setelah sujud pada gurunya dan meminta res-
tu, Wayan Saba pun meninggalkan jurang Kendala
Sukma. Dengan cara melompat dari tebing yang satu ke tebing lainnya, akhirnya
berhasil juga Wayan Saba
sampai di atas.
"Ah... lima tahun sudah aku terkurung di ju-
rang ini. Lima tahun pula aku tak melihat kejadian-
kejadian di muka bumi ini," berkata hati Wayan. Sesaat ditatapnya mentari yang
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merah, yang baru mun-
cul di atas permukaan bumi. Ditariknya napas dalam-
dalam, sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan tepi jurang itu.
* * * Di sebuah kedai, siang itu tampak banyak pen-
gunjungnya. Kedai itu milik pak Romli yang mempu-
nyai seorang anak gadis cantik dan bahenol bernama
Romilah. Umumnya para pengunjung kedai bukan un-
tuk makan semata, namun yang lain dari pada itu ada-
lah ingin dapat melihat sekaligus bercanda dengan
Romilah. Dari luar dua anak muda memasuki kedai itu.
Tanpa memperdulikan orang-orang yang memperhati-
kannya, kedua pemuda itu segera mengambil tempat
di sudut sebelah Barat kedai. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang
menghampiri mereka. Pelayan itu
yang tak lain Romilah adanya, dengan genit meng-
hampiri serta bertanya.
"Rupanya tuan-tuan datang dari jauh, dan baru
kali ini datang ke mari?"
Kedua pemuda itu yang ternyata Jaka Ndableg
dan I Ayu Mantini tersenyum mengangguk, sembari
memperhatikan tingkah Romilah.
Melihat kedua pemuda itu memperhatikannya,
Romilah menganggap mereka tertarik pada penampi-
lannya. Maka dengan makin genit ia kembali bertanya.
"Pesan apa, Tuan-tuan...?" Dikerlingkan matanya pada Jaka yang tersenyum,
membuat I Ayu Mantini dongkol hatinya.
Di samping itu juga karena ada rasa cemburu
di hatinya. Sejak mereka jalan bersama, tanpa tersada-ri di hati I Ayu Mantini
tumbuh perasaan lain pada Ja-ka. Perasaan yang sulit diutarakan dengan kata-
kata. Namun untuk menyampaikannya pada Jaka ia tak be-
rani. "Kau pesan apa, Dewa?" bertanya Jaka pada I Ayu yang mengganti namanya
dengan Dewa, I Ayu
hendak tertawa, namun segera diurungkannya men-
gingat ia dalam penyamaran. Maka dengan suara lirih, I Ayu berkata: "Nasi dan
air putih."
"Hanya nasi putih saja?" bertanya Romilah
sambil menyibirkan bibirnya, membuat I Ayu yang su-
dah muak dan kesal melototkan mata. Jaka yang meli-
hat I Ayu melotot segera berkata menengahi.
"Maaf... temanku memesan nasi, bukan nasi
putih saja, tapi sekaligus dengan lauknya. Bukan begi-tu, Dewa?"
"Ooh...." desis Romilah mengerti.
Lalu dengan gayanya yang genit, Romilah kem-
bali bertanya yang ditujukan kepada Jaka: "Lalu tuan...?"
"Sama dengan temanku," jawab Jaka singkat.
Ia pun merasa bosan melihat tingkah laku Romilah
yang centil. Hanya ada satu jalan untuk mengusirnya, yaitu dengan cara meminta
makanan secepatnya. Dan
memang benar, Romilah pun segera bergegas pergi
meninggalkan keduanya yang hanya geleng-geleng ke-
pala. Tak lama antaranya, pesanan mereka pun da-
tang. Dengan tanpa bicara lagi keduanya segera me-
nyantap makanan itu. Sedang keduanya menikmati
santapannya, dari arah pintu tiga orang lelaki berwajah angker memasuki kedai
yang dengan kasar memin-
ta makan. "Hai...! Kasih kami tiga piring nasi rames, sambel dan jengkol serta tuak.
Cepat...!" berkata salah seorang dari mereka dengan membentak, hingga pelayan
yang menghampiri tampak ketakutan. Dengan terbata-
bata pelayan itu berkata; "I... ia, Tuan. Ha... hanya i...
itu?" "Ia...! Cepat...!" Melotot mata orang kedua dari ketiganya, menjadikan
pelayan itu makin ketakutan.
Hingga tanpa diperintah lagi, pelayan itu segera pergi.
Tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan
membawa pesanan ketiga orang itu.
Ketika pelayan itu lewat di depannya, Jaka se-
gera menghentikan dan bertanya: "Siapa ketiga orang itu?" Ditanya seperti itu
oleh Jaka, pelayan itu terdiam. Di matanya tergambar ketakutan yang amat
sangat. "Kenapa terdiam, Pak?" tanya Jaka mengulang.
Belum juga pelayan itu menjawab, tiba-tiba
terdengar suara salah seorang dari mereka berkata
dengan congkaknya.
"Hai, Bocah. Apa perlunya kau berbisik-bisik
dengan orang dungu seperti dia. Kalau kau ingin tahu siapa kami, dengarlah! Kami
dijuluki oleh orang-orang di sekitar sini Tiga Harimau Iblis. Nah... untuk kali
ini aku maafkan tingkahmu yang sok ingin tahu, karena
kau rupanya orang baru di sini. Sekarang, enyahlah
dari hadapan kami."
Jaka hanya tertawa mendengar omongan salah
satu dari ketiga Macan Iblis. Lalu dengan lantang Jaka berkata: "Hai, Harimau
ompong! Sepantasnya kalian masuk ke kebun binatang, bukan di sini tempatnya!"
Ketiga Harimau Iblis seakan membelalakkan
mata demi mendengar ucapan Jaka. Baru kali ini ada
orang yang berani bertingkah di hadapan Tiga Hari-
mau Iblis. Ketiganya segera menghentikan makan dan
segera memandang pada Jaka yang masih tertawa-
tawa. Hingga ketiganya menjadi berang, karena merasa diremehkan. Salah seorang
dari ketiga Harimau Iblis
itu membentak dengan marahnya.
"Jadah...! Rupanya ada lalat yang berani meng-
ganggu makanku." Setelah berkata begitu, serta merta tangannya bergerak dengan
cepat. Sebuah piring yang
menjadi alas makannya melayang, di lemparkan oleh-
nya ke arah Jaka Ndableg.
Hampir saja kepala I Ayu tersambar piring itu,
kalau saja Jaka tak segera mendorongnya. Sementara
Jaka sendiri tampak berjumpalitan di udara menghin-
dari serangan piring terbang itu.
Melihat serangan piringnya dapat dengan mu-
dah dielakan oleh Jaka dengan berang orang yang tadi melemparkan piring segera
meloncat menyerang. Melihat hal itu, Jaka segera memapaki.
"Hiat...!"
"Bug! Bug! Bug!" Tiga kali pukulan berturut-turut terdengar hantaman.
Jaka berdiri tegak, dengan senyum mengem-
bang di bibirnya. Sementara lawannya tampak sem-
poyongan, darah segar tampak mengalir dari sela-sela bibirnya. Melihat itu kedua
macan lainnya segera
memburu, membantu temannya berdiri. Dari mulut
kedua macan itu terdengar seruan kaget. "Adik Lo-
reng... kenapa kau?"
Keduanya hampir berbareng memapah adik se-
perguruannya yang tampak luka dalam oleh hantaman
Jaka. Kedua macam itu menatap tajam pada Jaka
sambil mendengus marah. "Anak muda! Rupanya kau sengaja mencari penyakit.
Bersiaplah untuk mati!"
Mendengar ucapan macan tertua, Jaka meng-
gandakan tawanya. "Hai, Macan ompong! Aku tak pernah mencari musuh. Aku semata-
mata hanya membe-
la diri. Bukankah adikmu itu yang pertama kali me-
nyerangku?"
"Persetan dengan ucapanmu, Anjing laknat!
Kau telah melukai adik seperguruan kami, maka seca-
ra tidak langsung kau telah menantang kami." Setelah berkata begitu, kedua macam
iblis itu segera menyerang Jaka.
Melihat keduanya menyerang, Jaka segera ber-
lari keluar. Ia tak ingin kedai itu hancur oleh pertarungan. Demi melihat Jaka
Ndableg lari keluar, serta
merta keduanya segera memburu.
"Mau lari ke mana kau, Anjing buduk...!" membentak macan tertua.
"Aku tak lari ke mana-mana, Macan ompong!
Aku hanya ingin kedai itu tak rusak oleh kita!"
Tak lama kemudian kedua macan itu pun telah
sampai di halaman kedai pula. Ketiganya saling berhadapan dengan mata yang tajam
mengawasi gerak-gerik
lawan. "Nah, macan-macam ompong. Sekarang apa
mau kalian" Bukankah aku tak lari?" berkata Jaka sembari tertawa bergelak-gelak,
membuat kedua macan itu tambah geram. Maka dengan k-ras, Macan Tu-
tul membentak: "Setan laknat! Jangan harap kau bisa lolos dari kami. Bersiaplah untuk mampus."
"Apa aku tak salah dengar, bahwa kalian ingin
mati" Ha... ha...." Dibaliknya ucapan Macan Tutul, yang menjadikan kedua macan
itu mendengus kesal.
Dengan serentak kedua macan itu pun menyerangnya.
Tampak kedua macan itu tak segan-segan lagi
mengeluarkan jurus-jurus intinya, dengan harapan
dapat segera menghabisi Jaka. Tapi dugaan keduanya
salah, sebab Jaka tampak dengan tenang mengelakkan
serangan keduanya, bahkan sekali-kali balik menye-
rang. Melihat musuhnya dapat dengan mudah men-
gimbangi serangannya.
Macan Kumbang dengan geram berseru: "Teri-
malah jurus Macan Kembar Berebut Mangsa.
Hiyaat...!"
Jurus Macan Kembar Berebut Mangsa adalah
jurus yang dibanggakan oleh ketiga Macan Iblis itu.
Kedua macan itu saling menyerang bergantian, mem-
buat Jaka tak dapat kesempatan untuk berbalik me-
nyerang. Hingga Jaka hanya mampu mengelak dan
menangkis. Jaka tersentak, saat salah satu dari Macan Iblis
hampir saja menghunjamkan tangannya yang berkuku
panjang dan runcing beracun ke mukanya.
"Cilaka...! Kalau begini terus menerus," membatin Jaka, Dengan segera Jaka
melompat mundur bebe-
rapa tombak. Ketika kedua Macan Iblis hendak kemba-
li merangseknya dengan cepat Jaka mengubah jurus-
nya dengan jurus Dewa Topan Menghantam Karang!
Dari gerakan kedua tangan Jaka yang seperti
menari, keluar angin besar bak badai menghantam ke-
dua macan itu. Melihat kenyataan bahwa anak muda
yang sedang mereka hadapi bukan tandingannya, ke-
duanya membatin.
"Cilaka! Ilmu siluman!" Di wajah kedua macan itu tampak tegang. Dan...
"Werr...! Dest...!" Beruntung macan kedua segera menghindar. Bila tidak, maka
nasibnya seperti ka-
kak seperguruannya. Tubuh macan tertua mencelat
terbang terbawa oleh arus topan, lalu jatuh ke tanah dengan nyawa melayang. Tak
luput pula kedai pak
Romli, bilik dan atapnya beterbangan terbawa angin
topan yang tercipta dari tangan Jaka.
Untuk sesaat Jaka termangu, memandangi ke-
dai pak Romli yang menjadi korban jurusnya. Jaka se-
gera melompat masuk ke kedai setelah ia ingat pada I Ayu Mantini yang
ditinggalkannya. Namun betapa terkejutnya Jaka, karena I Ayu Mantini tak ada di
tem- patnya lagi. Di wajahnya tergurat kecemasan akan kesela-
matan I Ayu Mantini. "Pelayan. Kau tahu ke mana temanku?" bertanya Jaka tak
sabar. Tanpa disadarinya, ia telah mengguncang-
guncangkan tubuh pelayan itu.
"Ke mana...?"
"Di... dibawa oleh Macan Tutul," menjawab pelayan kedai dengan ketakutan.
"Kau tahu tempatnya?"
Pelayan kedai itu hanya menggeleng lemah,
membuat Jaka seketika lemas dan melepaskan pegan-
gannya. "Untuk apa ia membawa I Ayu Mantini" Ah....
Bagaimana kalau ia tahu I Ayu Mantini wanita" Aku
harus segera mengejarnya," kata hati Jaka gundah.
Setelah terlebih dulu membayar uang makan
dan ganti rugi kedai yang rusak, dengan segera Jaka
memburu kedua macan yang membawa I Ayu Mantini.
Secepat kilat Jaka melesat pergi, hingga mem-
buat orang-orang yang melihatnya melototkan mata
tak percaya. "Wah... itu manusia atau siluman?" bergumam salah seorang yang bernama Somad.
"Tak nyana, bocah se-enom koe wis duwur il-
mune." timpal yang lain. Tak luput juga halnya dengan Romilah yang memang naksir
pada Jaka, hingga tak
sadar ia bergumam.
"Seandainya aku jadi istrinya. Apapun kemau-
annya akan aku turuti. Sudah ganteng, klimis eh...
wong sakti. Duh cah bagus, bilakah aku menjadi istri-mu" Walau istri kelima
sekalipun."
Mendengar omongan Romilah yang ngaco, seke-
tika semua yang ada di situ menggerutu kesal.
"Huuh... Maunya!" Romilah hanya nyengir dan ngeloyor pergi.
4 Alun-alun kerajaan tampak ramai oleh keru-
munan rakyat. Mereka datang berbondong-bondong
untuk menghadiri upacara penobatan putra mahkota
menjadi raja, menggantikan ayahandanya.
Pengumuman itu telah disebar seminggu yang
lalu pada rakyat, juga pada kerajaan lain. Walau ra-
kyat telah datang sejak pagi, namun tampak bangsal
yang akan dipergunakan sebagai tempat pengangkatan
masih kosong. Di Dalam keraton tepatnya di ruang pertemuan,
Sang Baginda dengan dikelilingi oleh abdi keraton,
tengah mengadakan rapat.
Sang raja yang walaupun usianya telah lanjut,
tampak kewibawaan masih melekat pada dirinya. Ter-
lihat semua yang hadir di situ hanya terdiam, kala
sang baginda bersabda membuka rapat.
"Para pinisepuh kerajaan yang saya hormati.
Paman patih Arya Wisesa yang saya hormati, serta
perwira-perwira tinggi kerajaan. Hari ini sengaja aku undang kalian semua ke
tempat ini, tempat yang
mungkin telah kalian semua ketahui sebagai tempat
musyawarah. Begitu juga dengan hari ini, saya undang kalian semuanya ke mari
juga untuk musyawarah.
Yang mana telah kalian semua ketahui, bahwa kera-
jaan saat ini telah dilanda gelombang pemberontakan.
Karena aku sudah tua, aku bermaksud menyerahkan
tahta kerajaan ini pada anakku Arya Perwira. Bagai-
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana menurut pendapat para pinisepuh...?"
"Ampun, Tuanku yang mulia. Kalau tuanku
berkenan, hamba ingin menyampaikan pendapat ham-
ba." Sang raja yang bijaksana, tampak tersenyum mendengar ucapan salah seorang
sesepuh kerajaan.
Lalu dengan suara bijak, Sang Rajapun bersabda:
"Katakanlah apa pendapatmu. Bila memang
baik, maka aku pun akan melaksanakannya."
"Ampun.... Menurut hemat hamba sebagai
orang tua, hamba merasa bahwa pemberontakan-
pemberontakan yang terjadi tidak luput kaitannya
dengan orang-orang dalam sendiri. Dengan kata lain,
ada orang dalam yang terlibat."
Mendengar penuturan sesepuh kerajaan, seke-
tika semua yang hadir di balai pertemuan saling pan-
dang dengan hati saling penuh tanda tanya.
Setelah melihat semuanya terdiam, sesepuh ke-
rajaan itu kembali meneruskan bicara: "Ampun, Ba-
ginda sesembahan hamba. Itu hanyalah pendapat
hamba semata. Maka bila hal itu dirasa salah, maka
dengan memohon beribu-ribu ampun hamba meminta
maaf." Sang baginda tampak terdiam. Dipandanginya satu persatu orang yang hadir
di situ. Semuanya tampak menunduk, tak ada yang berani untuk mengadu
pandang dengan tatapan mata sang raja.
"Aku rasa memang benar ucapanmu, Ki Wisesa
Ludra. Terbukti dengan lolosnya kaum pemberontak
dari sergapan prajurit-prajurit kerajaan, itu pertanda ada oknum dalam kerajaan.
Bukan begitu, paman patih Arya Wisesa...?" berkata sang Raja pada patihnya Arya
Wisesa. Sang patih Arya Wisesa hanya mengangguk membenarkan, seraya menyembah.
"Arya Wisesa. Coba kau ceritakan apa yang te-
lah kau alami dengan para pemberontak?"
"Ampun, Baginda yang mulya sesembahan
hamba. Seperti apa yang dikatakan Ki Wisesa Ludra,
hambapun berkesimpulan begitu. Bahwa pemberonta-
kan-pemberontakan yang terjadi akhir-akhir ini, da-
langnya tak lain adalah orang dalam sendiri yang bermaksud merongrong kerajaan.
Sudah berulang kali
hamba melakukan pengepungan-pengepungan pada
markas mereka. Namun sebelum hamba dan anak
buah hamba datang ke tempatnya, mereka telah pergi
entah ke mana. Juga ketika hamba dengan Empat Na-
ga dari Gunung Kapur mengejar sekelompok pembe-
rontak, kami kehilangan jejak secara tiba-tiba."
"Lalu bagaimana dengan keamanan kerajaan
sekarang?" tanya sang raja.
"Ampun, Baginda yang mulia, sesembahan
hamba. Sejak keamanan dipercayakan pada Ke Empat
Naga, sampai sekarang belum ada kejadian pemberon-
takan lagi."
Sang raja tampak manggut-manggut menden-
gar laporan patihnya. "Rupanya Ke Empat Naga dari Gunung Kapur orang-orang yang
berilmu tinggi." men-desah sang raja.
"Telah tiba waktunya penobatan putraku. Mari,
kita ke bangsal penobatan." ajaknya sembari berdiri dari kursi. Semua yang hadir
menunduk hormat, dan
menepi memberikan jalan untuk rajanya. Setelah sang
raja berlalu, semua yang ada di situ segera mengiku-
tinya dari belakang.
Di atas bangsal tampak ponggawa istana ten-
gah membacakan acara-acara yang akan berlangsung.
Rakyat dengan sabar menunggunya dan segera menge-
lu-elukan rajanya saat nama sang raja disebut.
"Hidup baginda Wangsa Dewa...! Hidup raja ki-
ta...!" Tanpa memperdulikan suara rakyat yang ber-gemuruh, mengelu-elukan nama
rajanya, kembali sang
ponggawa istana berkata:
"Saudara-saudara rakyat kerajaan Bayu Lor
yang berbahagia. Waktu penobatan putra mahkota
Pangeran Arya Prawira, sebentar lagi akan dilaksana-
kan...." Mendengar penobatan Pangeran Arya Perwira sebentar lagi akan dilakukan,
seketika kembali terdengar suara rakyat berseru.
"Hidup Pangeran Arya Perwira...! Hidup Kera-
jaan Bayu Lor...!"
Sedang riuhnya rakyat mengelu-elukan nama
Arya Perwira. Dari arah Barat seorang lelaki berjalan mendekati dan langsung
masuk ke dalam kerumunan
rakyat. Lelaki muda yang baru datang itu, tampak
mengawasi sekelilingnya. Dengan mata yang tajam, le-
laki muda itu memandang ke segenap penjuru alun-
alun. Entah siapa yang sedang ia cari. Lelaki muda itu bertanya pada salah
seorang penduduk yang berdiri
dekat dengannya.
"Ki Sanak. Kalau boleh aku bertanya, sedang
ada apa di sini...?"
"Ini orang bagaimana, sin" Apakah memang
orang asing, hingga tak tahu sedang apa kerajaan ini."
membatin orang itu.
"Ki Sanak, ini adalah kerajaan. Dan sekarang
tengah mengadakan suatu acara pengangkatan putra
mahkota menjadi raja, menggantikan ayahandanya
yang telah tua." Orang yang ditanya menerangkan.
Setelah tahu apa yang sedang berlangsung, le-
laki muda itu keluar dari kerumunan rakyat. Dicari
sebuah pohon, lalu segera pemuda itu melompat dan
duduk di cabang dengan tenang.
Di atas bangsal, ponggawa kerajaan masih ber-
bicara dengan penuh semangat. Tak lama kemudian,
sang Raja dengan diiringi pengawal istana naik ke atas bangsal disambut dengan
sorak-sorai serta elu-eluan
rakyatnya. "Hidup raja kita...! Hidup kerajaan Bayu Lor...!" Melihat sambutan
rakyat yang penuh antusias, sang Raja terurai senyum bangga penuh keharuan. La-
lu setelah rakyatnya tenang, sang raja pun bersabda:
"Terima kasih... terima kasih. Ternyata kalian
semua adalah rakyat yang baik, yang mencintai raja
dan negaranya. Aku bangga memimpin rakyat seperti
kalian, yang rela berkorban demi raja dan negaranya.
Namun aku kini telah tua, tenaga dan pikiranku telah berkurang. Maka mulai hari
ini kalian semua akan
mendapat raja yang baru, yaitu...." Belum habis ucapan sang raja, tiba-tiba dari
kejauhan seseorang berte-
riak. Semua mata mengalihkan pandangannya pada
orang tersebut, yang datang bersama bala tentaranya.
"Aku rajamu sekarang... ha... ha...." Orang itu melompat ke atas bangsal dan
dengan cepat tanpa dapat dicegah, memporak-porandakan bangsal seenak-
nya. Melihat sepak terjang orang yang baru datang,
Arya Wisesa segera menghadang.
"Siapa kau! Berani lancang membuat keona-
ran"!" membentak Arya Wisesa.
Ditanya begitu oleh Arya Wisesa, orang yang
barusan datang bukannya segera menjawab malah ter-
tawa dengan keras, rakyat yang tak dapat menahan ge-
taran suara orang itu banyak yang luka dalam.
Dari hidung dan telinga rakyat tampak menga-
lir darah. Belum puas melihat korban yang berjatuhan, kembali orang yang baru
datang itu melipatgandakan
tawanya. Mengerut kening Arya Wisesa, demi melihat apa
yang telah terjadi.
"Hem.... Aji Gelak Pelebur Sukma." membatin Arya Wisesa. "Baik! Akan aku coba
dengan ilmu Pen-gunci Suara," bergumam hati Arya Wisesa. Setelah untuk beberapa
saat terdiam, Arya Wisesa pun memben-
tak. "Diam...!"
Bagai kena hipnotis, orang yang sedari tadi ter-
tawa seketika terdiam. Matanya melotot tak percaya.
Dengan terlebih dahulu bergumam, orang itu berseru
pada anak buahnya yang telah siaga.
"Serbu...!"
Bagai air bah, anak buahnya segera turun dari
bukit yang mengelilingi alun-alun. Seketika suasana
yang tadi tenang, berubah menjadi pekik dan jerit kematian dan ketakutan. Pihak
kerajaan pun tak tinggal diam, mereka dengan penuh semangat memapakinya.
Perang tak dapat dicegah, meletus dengan seketika.
Korban berjatuhan dari kedua belah pihak,
namun tampaknya peperangan tak akan segera berak-
hir. Dari pihak pemberontak, nampaknya makin me-
rangsek pertahanan pihak kerajaan yang hanya men-
gandalkan ilmu perang belaka. Lain dengan dari pihak pemberontak yang rata-rata
berilmu silat, juga berlandaskan kenekadan.
Arya Wisesa kini telah berhadap-hadapan den-
gan pimpinan pemberontak, segelar sepapan. Di tan-
gan Arya Wisewa tergenggam keris pusaka Kyai Plered
Ijo. Matanya yang tajam bagai mata elang, memandang
pada musuhnya. "Siapa namamu, Ki sanak"!" bertanya Arya Wisesa marah. Musuhnya tampak tersenyum
sinis, se- pertinya mengabaikan dan meremehkannya. Melihat
hal itu, kejengkelan Arya Wisesa makin menjadi. Den-
gan didahului bentakan, Arya Wisesa pun segera me-
lompat menyerang.
Diserang secara tiba-tiba oleh Arya Wisesa, ti-
dak menjadikan pemimpin pemberontakan itu gugup.
Bahkan dengan disertai tawa nyaring, ia pun berkelit mengelakkan serangan Arya
Wisesa. Dengan segenap
kemampuan, Arya Wisesa mencoba merangsek mu-
suhnya. Tapi dengan mudah sang musuh dapat men-
gelakkan serangan-serangannya bahkan sesekali
membalas menyerang.
Jurus demi jurus telah dilewati, sudah tiga pu-
luh lima jurus keduanya bertanding. Keris pusaka di
tangan Arya Wisesa tampak berkelebat-kelebat dengan
cepatnya mencari sasaran.
Pemimpin pemberontak tampak tidak ada gen-
tar sedikitpun menghadapi keris pusaka di tangan
Arya Wisesa. Hanya dengan mengibaskan tangan saja,
semua serangan Arya Wisesa dapat ditangkisnya. Bah-
kan kini Arya Wisesa yang tampak keteter, didesak
oleh lawannya yang hanya mengandalkan tangan ko-
song. Tiba-tiba...! Tanpa diduga Arya Wisesa sebe-
lumnya, pemimpin pemberontak itu melompat mundur
beberapa tombak. Kedua telapak tangannya disatukan.
Maka dari kedua telapak tangan itu tampak keluar si-
nar merah menyala. Arya Wisesa terperanjat, melom-
pat mundur. Dari mulut-nya mendesis kaget, menye-
but nama ajian yang dipakai musuhnya. "Aji Panca Api...! Hem... dari mana ia
memperoleh ajian itu" Bukankah hanya Siluman Neraka saja yang mempu-
nyainya" Apakah ia muridnya" Bukankah murid Silu-
man Neraka hanya seorang yaitu Tumenggung Warok
Rekso Poleng. Atau...."
Arya Wisesa segera tersadar dan berkelit kala
sebuah hantaman dari pemimpin pemberontak yang
menggunakan aji Panca Api menyerangnya. Namun tak
urung, pundaknya terserempet juga. Baju yang dike-
nakannya terbakar dengan pundak terasa perih.
Melihat musuhnya tampak lengah karena sakit
di pundaknya, pemimpin pemberontak kembali meng-
hantamkan pukulan aji Panca Apinya. Tapi ketika ia
mengkiblatkan tangan ke Arya Wisesa, tiba-tiba dari
atas pohon kapuk berkelebat sesosok tubuh mengha-
dang pukulannya,
"Bum...!" Benturan dua tenaga dalam yang
dahsyat, membuat tanah di bawahnya menyembur ke
atas. Ketua pemberontak tampak terkejut, tubuhnya
sempoyongan ke belakang dengan darah meleleh dari
sela-sela bibirnya. Sementara orang yang telah mema-
paki pukulan Aji Panca Apinya, kini tampak berdiri
dengan bibir menyungging senyum.
"Siapa dia" Belum pernah ada yang dapat me-
mecahkan aji Panca Api. Tapi kenapa orang ini mampu
memecahkannya?" membatin pemimpin pemberontak.
Ia sadar, bahwa orang yang sekarang berdiri di hada-
panya bukan orang sembarangan. Tapi sebagai orang
yang telah makan asam garam dunia persilatan, pe-
mimpin pemberontak itu segera menghilangkan keje-
riannya dan dengan lantang bertanya:
"Siapa kau! Berani ikut campur urusanku"!"
Si lelaki muda yang tadi memapaki serangan-
nya hanya tersenyum.
"Ki sanak, nama tidak selalu menjadikan pato-
kan tinggi rendahnya ilmu yang dimiliki oleh orang itu.
Ada kalanya orang yang ternama di dunia persilatan,
tindak-tanduknya bertentangan. Sebaliknya orang
yang tidak terkenal, biasanya akan hati-hati dalam
bertindak. Tapi baiklah, agar Ki sanak puas, maka aku yang rendah dan dungu ini
memperkenalkan namaku
yang tak ada artinya. Namaku Wayan Saba...."
"Wayan Saba..." Wayan Saba, untuk kali ini
aku menyerah kalah. Tapi lain waktu aku akan men-
gadakan perhitungan denganmu," berkata pemimpin pemberontak sembari hendak
pergi. Tapi belum juga
pemimpin pemberontak melangkah jauh, segera Wayan
Saba menghentikannya. "Tunggu...!"
Pemimpin pemberontak itu seketika berhenti,
dengan wajah tegang. Mengira Wayan Saba hendak
menangkapnya, dengan nekad pemimpin pemberontak
itupun menyerang. "Serbu!" serunya memerintah pada sisa-sisa anak buahnya.
Pendekar Kidal 5 Gento Guyon 24 Perisai Maut Rahasia Lukisan Kuno 2