Pencarian

Demi Tahta Dan Cinta 2

Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta Bagian 2


Wayan yang tak menyangka bakalan dikeroyok,
seketika mendengus marah. Dari mulutnya terdengar
caci maki gusar. "Hem... memang orang-orang macam kalian, licik dan keji. Bila
kalian tak mau menyerah,
jangan salahkan aku bertindak. Terimalah ini!"
Sehabis berkata begitu, Wayan pun segera
mengeluarkan ilmunya yaitu aji Inti Pusaran. Seketika semua anggota pemberontak
itu tersedot mendekati
Wayan. Setelah hampir sampai pada dirinya, dihen-
takkan anak buah pemberontak itu hingga terpelanting saling tindih menindih.
Pemimpin pemberontak yang memang sudah
ciut nyalinya menghadapi Wayan, segera kabur menye-
lamatkan diri. Rakyat yang sedari tadi ketakutan, kini timbul nyalinya. Dengan
penuh semangat disertai rasa kekesalan, diburunya pimpinan pemberontak itu
beramai-ramai. Tak lama antaranya, tubuh pemimpin pembe-
rontak itu telah lumat oleh amukan rakyat tanpa dapat dicegah. Wayan Saba hanya
dapat memandang tanpa
dapat berbuat apa-apa.
Setelah keadaan tenang, sang Raja dan permai-
suri serta putra mahkota yang sejak tadi bersembunyi segera keluar kembali. Di
wajah-wajah mereka kini
tergurat senyum, ditujukan pada Wayan Saba yang
masih berdiri mematung di sisi Arya Wisesa.
Melihat sang Raja berjalan menghampiri,
Wayan segera menghormat.
"Hamba yang bodoh ini menyampaikan sem-
bah, sekaligus memohon ampun atas kelancangan
hamba yang telah turut campur tanpa terlebih dahulu
meminta restu dari paduka. Sekiranya hal ini dianggap kesalahan besar, hamba
siap menerima hukumannya."
Melihat sikap Wayan yang sopan penuh tata
krama, sang Raja tampak tersenyum senang dan ber-
kata: "Anak muda, janganlah terlalu merendahkan diri.
Aku tahu di balik kerendahan hatimu tersimpan hati
yang agung, yang jarang dimiliki oleh manusia pada
umumnya. Aku senang dapat bertemu dan sekaligus
berkenalan dengan dirimu, Anak muda! Siapa nama-
mu...?" "Hamba yang rendah ini, bernama Wayan Sa-ba," menjawab Wayan.
"Wayan Saba, aku atas nama rakyat Bayu Lor
mengucapkan terima kasih atas bantuanmu. Maka
atas rasa terima kasih kami, mulai saat ini kau kua-
ngkat menjadi pembantu utama patih Arya Wisesa.
Kuharap kau mau menerimanya, Anak muda. Bukan
begitu, Paman patih Arya Wisesa?" bertanya sang raja pada patihnya, yang
mengangguk dan berkata me-nambahkan.
"Benar, Saudara Wayan. Kami sangat memer-
lukan tenaga seperti saudara. Untuk itu, kami mohon
saudara mau menerimanya."
Mendengar permintaan yang diucapkan oleh
Raja dan patihnya secara tulus, Wayan Saba sesaat
terdiam. "Betapa beratnya tanggung jawab seorang patih
sebagai abdi negara. Walaupun begitu, tugas patih
adalah mulia. Namun apakah aku harus meneri-
manya" Sedang aku sendiri sampai kini masih berke-
lana mencari Kardika dan istriku. Apakah aku dapat
bertemu" Negara memang dalam keadaan terdesak
oleh pemberontakan-pemberontakan. Aku sebagai seo-
rang yang telah digembleng dengan ilmu kanuragan
dan kesaktian, apakah harus tinggal diam" Baiklah!
Demi negara dan rakyat, aku menerimanya." kata hati Wayan. "Bagaimana saudara,
Wayan?" terdengar sang Raja kembali bertanya, demi melihat Wayan hanya terdiam
sekian lama. Wayan yang tengah berpikir, seketi-ka tersentak demi mendengar
pertanyaan sang Raja.
"Ampun, Baginda yang mulia. Kalau memang
itu yang baginda kehendaki, hamba tak dapat meno-
lak." Mendengar pernyataan Wayan yang me-
nyanggupi permintaannya, sang Raja mengurai se-
nyum. Perlahan didekatinya tubuh Wayan yang masih
menghormat, dipegangnya pundak Wayan.
"Terima kasih, Anak muda. Aku harap dengan
diangkatnya dirimu menjadi patih kedua di kerajaan
ini, akan tentramlah kerajaan. Paman patih Arya Wise-sa...." "Daulat, Gusti...?"
menjawab Arya Wisesa hormat. "Mulai hari ini, semua tugasmu akan dibantu oleh
Wayan. Bekerjalah kalian berdua bahu membahu.
Pikullah keamanan dan ketertiban kerajaan di atas
pundak kalian. Mengenai pengangkatan putraku
menggantikan diriku, aku rasa belum waktunya kare-
na aku perlu membenahi sedini mungkin. Ponggawa,
beritahu pada rakyat kerajaan ini bahwa kini kerajaan telah mengangkat Wayan
Saba sebagai patih kedua.
Dan kau, Panglima tamtama Utama, coba kau dengan
beberapa prajurit-prajurit mu berjaga-jaga di perbata-san. Juga cari Keempat
Naga yang sampai sekarang
belum muncul," berkata sang Raja dengan, penuh wibawa dan bijaksana.
"Daulat, Gusti. Hamba pamit undur," berkata kedua ponggawa istana. Setelah
menyembah, keduanya pun segera berlalu pergi menjalankan tugas.
Sepeninggal kedua ponggawa utama kerajaan,
sang Raja segera mengajak Wayan menuju ke ruang
pertemuan di mana para sesepuh kerajaan tengah ber-
kumpul. Wayan pun hanya dapat menurut. Beriring
dengan Arya Wisesa yang tampak masih menahan sa-
kit terbakar, keduanya berjalan mengikuti sang Raja
menuju tempat pertemuan.
Para sesepuh kerajaan seketika memberi hor-
mat, kala baginda dan Wayan Saba serta Arya Wisesa
masuk ke ruang pertemuan. Dengan hampir berbaren-
gan, para sesepuh kerajaan itu memberi salam: "Selamat datang, Saudara
pendekar!"
Melihat penghormatan yang dilakukan oleh pa-
ra sesepuh kerajaan padanya, Wayan pun segera balik
menghormat. "Sejahtera hamba ucapkan untuk kalian semua. Semoga Yang Wenang
selalu bersama kita."
Para sesepuh tampak tercengang, kagum den-
gan tindak-tanduk Wayan yang begitu santun.
Setelah semuanya duduk. Baginda raja segera
membuka rapat. "Para sesepuh kerjaan. Para perwira tinggi, dan paman patih Arya Wisesa. Mulai
saat ini saudara
Wayan Saba resmi menjadi patih. Hal ini saya nilai,
karena kerajaan sangat membutuhkan orang-orang
gagah seperti dirinya."
Semua mata yang hadir di persidangan tertuju
pada Wayan yang tertunduk hormat. Baginda pun
kembali meneruskan ucapannya: "Kalian tahu. Baru saja bencana hampir
menghanyutkan kerajaan. Aku
rasa, bencana-bencana pemberontakan lainya akan
muncul lagi. Dengan adanya Saudara Wayan menjadi
patih di sini, dapatlah kiranya kita lebih tentram. Bukan begitu, Paman patih
Arya Wisesa?"
Arya Wisesa yang masih meringis menahan sa-
kit akibat pukulan Panca Api, hanya mengangguk se-
raya memandang pada Wayan Saba dengan senyum.
"Aku mengangkat Wayan Saba langsung pada
kedudukan yang tinggi bukanlah tanpa pertimbangan
dan pemikiran. Maka jika ada yang tidak setuju den-
gan pengangkatan Wayan Saba sebagai patih, kuan-
jurkan pergi."
Semua yang hadir tampak terdiam, tak berani
berkata apalagi menentangnya.
"Karena semua yang hadir setuju. Maka dengan
ini resmilah Saudara Wayan Saba menjadi patih pem-
bantu," berkata sang Raja, sembari melirik Wayan Sa-ba yang mengangguk hormat.
"Terima kasih atas kepercayaan Baginda, juga
sesepuh kerajaan pada diri hamba yang bodoh ini un-
tuk memegang tanggung jawab. Maka sebagai rasa te-
rima kasih, hamba berjanji dan bersumpah tak akan
minum tuak dan makan buah Dewa (Apel) sebelum
pemberontakan hilang dari bumi Bayu Lor ini."
Mendengar sumpah yang diucapkan oleh
Wayan, seketika semua yang hadir terdiam bisu. Ber-
samaan dengan berakhirnya ucapan Wayan, seketika
cuaca yang tadinya panas berubah menjadi mendung.
"Blar...! Bletar...!" Suara petirpun menggema, seakan menjadi saksi dan turut
merestui. Bersamaan dengan hilangnya suara petir, ter-
dengar gelak tawa seseorang tanpa ujud berkata:
"Wayan. Sumpah seorang kesatria, apalagi kesatria yang berbudi luhur seperti
kamu akan terlaksana. Tu-naikan tugasmu dengan baik, jangan kau abaikan. Ju-
ga ingat olehmu, jangan kau melakukan tindakan ka-
rena rasa dendammu. Bertindaklah karena kepentin-
gan orang banyak. Perangilah keangkaramurkaan. Aku
berdo'a semoga kau berhasil...."
"Guru...! Di mana kau?" berseru Wayan me-
manggil Gurunya. Namun suara Wayan berlalu begitu
saja, karena sang guru yang tak lain dari pada Ki Turangga Bayu telah berlalu.
Semua yang hadir membe-
lalakkan mata, demi mendengar suara tanpa ujud itu
berkata pada Wayan.
Kini semua yang hadir di situ makin percaya
dan menaruh rasa segan pada Wayan Saba, yang ma-
sih terdiam sepeninggal suara gurunya, tersentak, kala sang raja berkata
padanya. "Ki Patih Wayan Saba, kau kenal dengan suara
itu" Siapa beliau?"
"Ampun, Baginda yang mulia. Beliau adalah
guru hamba," menjawab Wayan Saba.
"Kalau boleh aku tahu. Siapakah gurumu, Ki
Patih?" Sesaat Wayan Saba terdiam, dihelanya napas panjang-panjang, sebelum
akhirnya berkata: "Ampun, Yang mulia. Sebenarnya, guru hamba adalah orang biasa
seperti kita. Beliau bernama Ki Turangga Bayu."
Mendengar nama yang disebut Wayan sebagai
gurunya. Seketika semua mata terbelalak, dalam hati
mereka berkata. "Pantas kalau pemuda ini memiliki kesaktian dan ilmu kanuragan
yang tinggi."
Sejak saat itu, Wayan Saba semakin disegani
dan dihormati di kalangan keraton. Hal itu dikarena-
kan tindak-tanduk Wayan Saba yang tidak sombong,
juga karena mereka tahu siapa sebenarnya Wayan Sa-
ba. Sejak itu pula keamanan kerajaan pun terja-
min. Walau masih ada pemberontakan-pemberontakan
kecil, namun semuanya dapat dengan mudah dipatah-
kan oleh Wayan Saba dengan pasukannya yang kini te-
lah dibekali dengan ilmu silat.
Wayan Saba di samping menjadi patih kedua,
juga melatih ilmu silat untuk para prajurit kerajaan.
Hal itu membuat salah seorang putri baginda sangat
tertarik padanya.
Wayan Saba yang tak mengerti akan hal itu
menanggapinya dengan biasa-biasa. Seakan tak ada
hal-hal yang aneh pada hubungannya dengan Kanjeng
Dewi Ayu Laras. Hingga pada suatu hari; kala Wayan
Saba tengah duduk melamun sendirian, Dewi Ayu La-
ras telah datang menemuinya.
"Kanjeng Dewi! Ada gerangan apa, hingga Kan-
jeng Dewi datang ke tempat. hamba?" tanya Wayan terkejut.
Mendengar Wayan berkata keras, Dewi Ayu La-
ras segera mengisyaratkan telunjuknya di kedua bibirnya. "Stttt...! Jangan
keras-keras." ucapnya sembari mendekati Wayan yang masih terbengong-bengong tak
mengerti. Wayan semakin tak mengerti, kala Dewi Ayu
Laras makin mendekatinya. "Kanjeng Dewi... ada perlu apakah Kanjeng Dewi datang
ke mari" Apakah tidak
nantinya menjadi gunjingan?"
"Aku memang sengaja datang ke tempatmu. Ke-
tahuilah Wayan, bahwa sesungguhnya aku... aku
mencintaimu," berkata Dewi Ayu Laras dengan polosnya, membuat Wayan terbelalak
dan terjengah mende-
sah. "Ah... apakah Kanjeng Dewi tengah bercanda?"
"Tidak, Wayan. Aku tidak bercanda. Aku berka-
ta dengan sesungguhnya."
Wayan Saba yang tadinya penenang dan sabar,
seketika menjadi bingung. Hatinya seketika berdebar, antara menerima cinta Dewi
Ayu Laras dengan perasaan lain yang menuntutnya untuk selalu mengingat
pada istrinya I Ayu Mantini. Karena bingung harus
memilih yang mana, Wayan Saba terdiam.
"Kau melamun, Wayan?"
Tergagap Wayan ditanya begitu
"Ah... tidak!"
Jawaban Wayan, menjadikan Dewi Ayu Laras
mengerutkan alisnya.
"Lalu apa yang tengah kau pikirkan, Wayan?"
Untuk yang kedua kalinya Wayan tersentak.
"Hamba berpikir, apakah pantas, diri hamba
yang rendah ini menerima cinta Kanjeng Dewi yang tu-
lus" Dan apakah pantas, bila hamba yang bertugas
melindungi sang Dewi ternyata malah sebaliknya"
Apakah tidak seperti kata pepatah, pagar makan ta-
naman?" Mendengar ucapan Wayan, Dewi Ayu Laras ter-
senyum. "Wayan. Cinta tak pernah memandang derajat,
keadaan atau pun bentuk. Maka apa yang kau perbuat
untuk mencintai adalah hal yang wajar, seperti halnya dengan diriku yang
mencintaimu. Apakah tak boleh...?" Walau sekuat apapun tapi Wayan manusia ju-ga.
Maka akhirnya Wayan pun jatuh, meski dalam ha-
tinya masih memikirkan I Ayu Mantini istrinya.
Wayan pun akhirnya menerima cinta Dewi Ayu
Laras. Sejak saat itu, di hati kedua tumbuh benih-
benih cinta! Keduanya sating mengisi dan memberi,
dalam rangkaian-rangkaian cinta yang mereka bina.
5 Seorang pemuda tampak berjalan dengan san-
tainya di tengah hutan. Di wajahnya tampak kekhawa-
tiran, dan perasaan bersalah. "Inilah resikonya bila berjalan dengan seorang
wanita. Ah... ke mana aku harus mencarinya" Sudah hampir seluruh pelosok aku
datangi. Namun batang hidung macan sialan itu tak


Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kutemui," menggerutu pemuda itu dalam hati.
Sedang asyiknya sang pemuda melamun, tiba-
tiba terdengar olehnya derai tawa seorang wanita. "Hi...
hi... hi...! Anak muda, kenapa melamun" Sedang mi-
kirkan pacarnya kesamber orang, ya?" Bersamaan dengan itu, dari atas pohon jati
meloncat turun seorang wanita muda menghadang langkahnya.
Sang pemuda segera melompat mundur, lalu
dengan keras bertanya. "Siapa kau" Apa perlumu
menghadang langkahku?"
Ditanya begitu, wanita itu makin melebarkan
senyumnya yang genit dan berkata: "Anak muda, kenapa kau memikirkan yang telah
tiada" Bagaimana ji-
ka seandainya aku menggantikannya?"
"Sinting!" maki pemuda itu dalam hati. Ia menyadari, jika wanita yang kini
menghadang langkahnya bukanlah wanita sembarangan. Hal itu dapat dimak-lumi,
mana mungkin seorang wanita muda dan cantik
sendirian di hutan itu.
"Hei, siluman! Walau kau cantik kaya bidadari,
tapi aku tak suka. Bahkan mungkin ayam jagoku pun
tak mau bila disuruh mengawinimu," berkata pemuda itu sembari tertawa
cekikikkan, membuat wanita di
depannya seketika memerah wajahnya, marah.
"Tuyul...! Berani kau sembrono padaku." membentak wanita itu, namun sang pemuda
tampak makin menggandakan tawanya demi melihat kemarahan wa-
nita itu. Bahkan dengan konyolnya, si pemuda kembali berkata mengejek. "Kalau
aku tuyul, maka kau adalah ibunya tuyul dan tak lain dari Kalong Wewe, ha...
ha... ha...." "Diam! Semprul butut! Kau rupanya belum ta-hu siapa aku adanya,"
"Aku tahu, kalau kau adalah perawan tak la-
ku." "Siapa kau! Katakan siapa namamu, sebelum kukirim ke akherat!"
Kembali pemuda itu tertawa, lalu dengan ber-
siul pemuda itu menjawab pilon.
"Aku..." Aku ya aku. Mengenai kau ingin men-
girim aku ke akherat, wah... makin membuat aku geli
saja. Apa kau ini pegawai post bagian akherat?"
Makin membara api amarah wanita itu, demi
mendengar ucapan pemuda di hadapannya. Dengan
terlebih dahulu bersuit, wanita itu pun menyerang.
Bersamaan dengan hilangnya suitan wanita itu,
dari semak-semak muncul beberapa orang mengurung
si pemuda yang celingukan bagai kebingungan.
"Wah... kenapa kau bawa tuyul-tuyul ini ke ma-
ri?" mengejek pemuda itu sambil mengelakkan serangan yang datang kepadanya.
Si wanita yang memang sudah gedeg pada pe-
muda itu, tak banyak lagi bicara, terus menyerang.
Sementara anak buahnya yang berjumlah dua puluh
orang gundul, mengurung membentuk lingkaran.
Pertarungan pun makin tampak seru. Wanita
itu tampak gesit dan lincah. Tangan dan kakinya sela-lu mencari sasaran yang
mematikan. Tapi pemuda
yang sedang dihadapi ternyata bukan pemuda keba-
nyakan yang selalu menjadi korbannya.
Pemuda itu tak lain Jaka Ndableg atau Pende-
kar Siluman Darah dengan mudah mengelakkan se-
rangan-serangannya. Sedang seru-serunya pertarun-
gan antara keduanya, terdengar seruan dari anak
buah wanita itu.
"Nyi Tunjung Raminten, biarkan kami yang
membereskan pemuda kurang ajar ini."
Wanita yang bernama Nyi Tunjung Raminten,
yang sudah merasa terpepet oleh serangan Jaka Ndab-
leg segera melompat mundur. Saat itu juga kedua pu-
luh anak buahnya segera maju mengeroyok Jaka
Ndableg yang tampak masih tenang.
Melihat kedua puluh lelaki gundul itu menge-
royoknya, maka meledaklah tawa Jaka.
"Sini tong! Wah... kepalamu persis seperti tem-
purung kelapa. Coba aku ketuk, tua atau tidak" Siapa tahu dapat dipakai untuk
main dadu. Ha... ha...." Habis berkata begitu, dengan cepat tanpa dapat
dihindari oleh keduapuluh lelaki botak itu, Jaka telah melesat.
Dan...! Tok... duk... kletak!
Terdengar jerit kesakitan dari mulut kedua pu-
luh anak buahnya dengan mudah dijatuhkan oleh Ja-
ka. Maka dengan mengerahkan tenaga dalam yang
disalurkan di tangan kanannya, Nyi Tunjung Raminten
kembali menyerang.
"Terimalah jurusku ini! Hiat...!" Dengan jurus Kuntul Mematuk Ikan, Nyai Tunjung
Raminten mencoba merangsek. Tapi Jaka yang telah waspada segera
menghadangnya dengan jurus Lumba-lumba Menari.
Nyi Tunjung Raminten tersentak kaget, ketika
menyaksikan jurus yang digunakan oleh lawannya.
Jurus itu begitu kaku tampaknya, namun hal itu bu-
kanlah enteng untuk melakukannya.
Saking terkejutnya Nyi Tunjung Raminten,
membuat ia terdiam. Hingga ketika Jaka menyerang,
Nyi Raminten tak dapat lagi mengelak. Kaki Jaka yang menutup rapat membentuk
ekor menghantam tubuhnya, yang terpental beberapa tombak ke belakang den-
gan mulut melelehkan darah.
Melihat musuhnya tak berdaya. Jaka segera
menghentikan serangannya. Hal itu tak disia-siakan
oleh Nyi Tunjung Raminten, yang seketika kembali
menyerang dengan ajian Pramusti. Yaitu sejenis ajian yang dapat melumpuhkan
persendian tubuh.
Jaka Ndableg tersentak, kaget manakala Nyi
Raminten melancarkan ajiannya. Hampir saja ajian itu menghantamnya, kalau saja
Jaka tak waspada.
Ketika Nyi Raminten hendak kembali melancar-
kan ajiannya, secepat kilat Jaka melentingkah tubuh-
nya ke angkasa. Itulah jurus Camar Laut Lor. Setelah beberapa detik di angkasa,
Jaka Ndableg memutar tubuh, menghadap pada Nyi Raminten. Kedua tangan
Jaka menggembang. Sejurus kemudian dari tangan
Jaka memancar api yang beribu-ribu watt panasnya,
menghantam ke arah Nyi Raminten. Beruntung Nyi
Raminten masih sempat menghindar. Kalau tidak, ia
akan menjadi abu.
Melihat kenyataan itu, Nyi Raminten segera sa-
dar. Dan tanpa malu-malu, Nyi Raminten segera men-
gambil langkah seribu, diikuti oleh semua anak buah-
nya. Kini tinggal Jaka yang hanya geleng-geleng kepa-la. Setelah berdiam diri
beberapa saat, Jaka pun sege-ra meneruskan perjalanannya.
* * * "Bodoh....! Hanya menghadapi seorang Wayan
Saba saja, kalian tidak becus! Kalian tahu. Apa hukuman yang bakalan kalian
terima dari Ayahanda nanti,
jika mendengar bahwa kalian telah gagal?" berkata Kardika dengan marah pada
kesepuluh anak buahnya.
Kesepuluh anak buahnya terdiam, tak ada seo-
rangpun yang berani berbicara. Kardika sendiri tak
habis pikir, bukankah Wayan Saba telah mati di ba-
wah jurang" Kenapa sekarang tiba-tiba muncul lagi
dengan ilmu yang tinggi"
"Hem.., mungkinkah si keparat Turangga Bayu
masih hidup, setelah dengan luka dalam aku lempar-
kan ke dalam jurang itu?" tanya Kardika dalam hati.
Kalau benar bekas gurunya itu yang telah menolong
Wayan Saba, maka dapat dibayangkan bahwa Wayan
Saba pun telah menerima gemblengan dari orang tua
itu "Ke mana si Harimau Tutul?" tanya Kardika, setelah untuk beberapa saat terdiam.
"Dia sedang ada di belakang bersama adik se-
perguruannya si Loreng," menjawab salah seorang dari mereka. Mendengar itu,
Kardika tampak mengangguk-anggukkan kepala senang, lalu ucapnya kemudian.
"Kalian semua, aku tugaskan untuk membuat
kekacauan di wilayah Lor. Dan kau Sengkuni, kacau-
kan wilayah Wetan. Hadang setiap pendatang, menger-
ti"!"
"Mengerti...!" menjawab mereka serempak.
"Nah... kerjakan! Dan ingat! Jangan sekali-kali kalian gagal lagi."
Setelah berkata begitu, Kardika tanpa menoleh
kembali pada anak buahnya segera berlalu masuk ke
dalam kamar di mana seorang gadis tengah menan-
tinya. Entah apa yang tengah Kardika perbuat dengan gadis itu, yang jelas semua
anak buahnya hanya
mampu menelan ludah. Sempat pula salah seorang di
antaranya berbisik pada temannya. "Sungguh sangat beruntung, Kardika."
"Kenapa kau berkata begitu?" tanya temannya berbisik pula.
"Bayangkan saja, gadis itu masih putih.
Usianya saja baru menginjak enam belas tahun. Bu-
kankah sedang imut-imutnya?" Mendengar ucapan
temannya, seketika orang yang bertanya tak dapat lagi menahan tawanya.
Di buritan rumah, yaitu di belakang rumah
utama yang didiami Kardika. Di situ terpampang tanah lebar. Di ujungnya tampak
berdiri sebuah bangunan
yang terbuat dari kayu. Di tempat itulah, Kardika me-nyekap para tahanan dan
gadis-gadis yang membandel
tak mau diajak kencan. Tempat itu dijaga oleh ketiga tukang pukul Kardika yang
bertampang seram dan
bengis, hingga tak ada seorangpun yang berani menen-
tang atau membangkang.
Bila pagi telah tiba, orang-orang yang ditahan
itu dipaksa untuk bekerja diladang, sementara kesehatan dan makanan mereka tak
terjamin sama sekali.
Pagi itu semua tahanan digiring ke luar, berjalan ber-deret dengan tangan
diikat. Sedang mereka bekerja, dari rumah utama.
Kardika dengan wajah berseri datang ke tempat mere-
ka bekerja. "Berhenti...!" seru Kardika dengan suara lantang. Seketika, semua orang yang
tengah bekerja pak-
sa berhenti. Namun salah seorang pemuda seakan tak
mendengarnya tetap terus bekerja, menjadikan Kardi-
ka menggeram kesal dan marah.
"Rupanya ada tikus kecil yang berani mem-
bangkang perintahku. Pengawal, seret dia ke mari."
Sang body guard pun dengan menurut melakukan pe-
rintahnya. Diseretnya anak lelaki muda itu yang be-
rontak menuju Kardika. Tapi... sekuat apapun tenaga
anak muda itu, digeret oleh orang yang berbadan besar dengan paksa menjadikan ia
tak mampu berontak.
Penyamaran I Ayu Mantini pun terbuka, mem-
buat Kardika terperangah menggumam: "I Ayu Manti-ni..." Kenapa kau berbuat
begitu?" Mendengar nada ucapan Kardika yang seperti
menyesali tindakannya, I Ayu Mantini hanya mencibir-
kan bibirnya sembari berseru: "Kenapa kau tidak suruh algojomu untuk sekalian
membunuhku saja, Kar-
dika?" "Tidak. I Ayu, aku sungguh-sungguh menyesal telah menyakitimu. Aku
mencintaimu...."
"Percuma, Kardika, karena aku tak mencintai-
mu. Lagipula, aku benci padamu. Aku benci...! Kau
bunuh ayahku, suamiku. Kau tak lebih dari pada ib-
lis... kau iblis! Kubunuh kau, kubunuh...!" Bagai orang kesetanan I Ayu Mantini
menyerang Kardika yang seketika itu mengelaknya. Hingga I Ayu Mantini tersung-
kur jatuh mencium tanah. Belum juga Kardika hilang
dari keterkejutannya, I Ayu Mantini tampak telah berdiri dan kembali menyerang.
Melihat I Ayu Mantini menyerang Kardika, serta
merta semua orang yang dari tadi takut dan menurut
beramai-ramai mengeroyok. Ketiga algojo Kardika ke-
labakan. Karena diserang mendadak. Ketiganya hanya
dijadikan ajang kekesalan orang-orang yang selama ini dikekangnya.
Melihat hal itu, Kardika jadi berang. Tanpa am-
pun lagi, dihempaskannya tubuh I Ayu Mantini yang
seketika terjatuh dan pingsan. Setelah dirasa I Ayu
Mantini tak akan merepotkan lagi, maka dengan aji
Wesi Geni, Kardika segera menyerang membabi buta
pada pengeroyok algojonya.
Jerit kematian susul menyusul, kala tangan
Kardika menghantam tubuh pengeroyok itu. Tapi wa-
laupun begitu, para pengeroyok tampak tak merasa
takut sedikitpun. Dengan nekad terus merangsek Kar-
dika dan ketiga algojonya yang tampak luka-luka.
Pertarungan tiga lawan seratus orang pun terus
berlangsung, walau korban makin banyak. Di pihak
pengeroyok tak ada tanda-tanda mau mengalah sedi-
kitpun. Kardika hampir kewalahan, kalau saja tidak segera datang anak buahnya
yang segera membantunya.
Sedang ramai-ramainya pertempuran yang tak
seimbang itu, terdengar suitan nyaring secara tiba-
tiba. Bersamaan dengan itu, muncul seorang pemuda
yang tak lain Jaka adanya.
Tanpa banyak bicara lagi, Jaka atau Pendekar
Siluman Darah segera turun membantu para penge-
royok. Melihat ada tuan penolong datang, semangat
para pengeroyok yang tadinya hampir tak ada seketika muncul kembali. Hal itu
menjadikan para anak buah
Kardika tersentak kaget terteter.
Kardika yang tahu ada orang lain ikut campur,
dengan berang menyerbu ke pertempuran.
"Hai, Pemuda usilan. Berani kau lancang di
tempatku. Rupanya kau memang sengaja minta mam-
pus!" berkata Kardika dengan sombongnya. Ia tak tahu siapa pemuda yang tengah
dihadapinya. Kardika menganggap pemuda di hadapannya tak lebih dari orang
persilatan pada umumnya.
Sementara pemuda yang tak lain Jaka Ndableg
adanya, tertawa ngakak mendengar ucapan Kardika
yang terlalu sombong.
"Aku tak akan ikut campur urusanmu, bila kau
tak dengan semena-mena membunuh orang-orang
yang tidak berdaya."
Jaka yang belum tahu-bahwa orang di hada-
pannya Kardika, masih tampak sabar. Kardika meng-
geram marah demi mendengar ucapan yang dilontar-
kan Jaka. "Anak muda! Aku tak ada silang sengketa den-
ganmu. Aku minta kau segeralah minggat dari hada-
panku, atau terpaksa aku panggilkan anak buahku
yang lain untuk mengganyang mu."
Tertawa Jaka mendengar ucapan Kardika, lalu
dengan tenang Jaka berkata:


Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang sombong! Ternyata ucapanmu tidak le-
bih dari kentut bau! Sedangkan nyalimu, tak lebih dari nyali seekor tikus
tanah!" Mendengar ejekan yang dilontarkan Jaka pada
dirinya, tak dapat lagi Kardika menahan amarah. Den-
gan geram, Kardika pun berkelebat menyerang Jaka
yang dengan segera mengelak dengan mengegoskan
badannya. Menerima kenyataan itu, makin menjadikan
Kardika sewot. Dengan gigi bergeretuk, ditambahkannya se-
rangan yang mencari titik lemah musuh. Namun se-
jauh itu, Kardika selalu mendapatkan angin belaka.
Bahkan sebaliknya, sebuah tendangan telak yang di-
lancarkan Jaka menghantam dadanya.
Sedang Kardika menahan rasa sakit di da-
danya, seorang lelaki berlari-lari menuju ke arah itu.
Lelaki yang ternyata Mahesa adanya, membelalakkan
mata demi melihat Jaka atau Pendekar Siluman Da-
rah. Melihat Mahesa tercekam saat melihat Jaka Ndab-
leg Kardika bertanya:
"Kau kenal, Mahesa...?"
"Bukan kenal lagi, Kardika. Dialah orangnya
yang telah membunuh ketiga dari keempat setan go-
lok." Walau Kardika telah mendengar kehebatan pemuda di hadapannya dari Mahesa,
namun Kardika yang merasa ajian Wesi Geni adalah yang paling tinggi
hendak kembali menyerang.
Mahesa yang melihat gelagat tak menguntung-
kan pada saat itu, dengan segera mencoba menghalan-
ginya sembari berkata: "Kardika, bukannya aku meremehkan ilmu yang kau miliki,
tapi keadaan kita se-
dang gawat."
"Apa kau bilang, Mahesa...?" Kardika melotot marah. "Benar Kardika. Pertahanan
kita di Barat telah diketahui oleh pihak kerajaan yang dengan mudah
menghancurkannya. Bahkan pihak kerajaan telah ta-
hu tempat kita. Cepatlah pergi Kardika."
Kardika yang tadinya bermaksud meneruskan
pertarungan dengan Jaka, seketika mengurungkan
niatnya. Maka dengan memanggul tubuh I Ayu Mantini
yang masih pingsan, Kardika pun pergi meninggalkan
tempat itu. Jaka yang tak tahu bahwa yang digendong Kar-
dika adalah I Ayu Mantini, membiarkan Kardika pergi.
Bagai macan tanpa taring, anak buah Kardika pun tak
lagi dapat berbuat banyak. Maka dengan mudah, para
pengeroyok pun segera mendesaknya. Melihat orang-
orang yang tadi dibantunya telah berada di atas angin, Jaka segera berkelebat
pergi untuk meneruskan perjalanannya mencari I Ayu Mantini.
Setelah musuh-musuhnya mati, orang-orang
yang memberontak pada Kardika mencari-cari pemuda
yang telah membantu mereka. Tapi pemuda yang tak
lain Jaka telah pergi tanpa sepengetahuan mereka.
Merekapun menganggap Jaka adalah Dewa yang ditu-
runkan dari langit untuk membebaskan mereka dari
belenggu Kardika.
* * * Tak lama antaranya berselang, dari arah Barat
tampak serombongan pasukan kerajaan menuju ke
tempat itu. Berjalan paling depan Wayan Saba dengan ga-
gahnya memimpin di atas kudanya. Setelah dekat den-
gan rakyat, Wayan Saba pun segera turun dari ku-
danya. Dihampirinya rakyat yang menghormat me-
nyambut kedatangannya.
"Selamat datang, Kanjeng patih Wayan?" me-
nyapa seorang pemuda menjadikan Wayan tersentak
kaget. Betapa tidak. Ia baru memangku jabatan patih
sebulan yang lalu, tapi orang di hadapannya yang te-
lah berbulan-bulan disandera Kardika telah mengenal-
nya. "Siapakah dirimu, Anak muda" Rasanya aku
belum kenal denganmu."
"Ampun, Kanjeng Patih. Hamba memang orang
hina dina. Hamba tahu nama paduka dari seorang ga-
dis yang mengaku istri paduka," menjawab pemuda itu.
Mendengar kata istri disebut oleh pemuda itu,
mata Wayan Saba seketika membelalak kaget. Pemuda
dihadapannya gemetar ketakutan, kalau-kalau Wayan
Saba akan marah padanya. Namun hal itu tak terjadi,
karena Wayan ternyata bersikap sebaliknya. Dipe-
gangnya pundak pemuda itu, lalu dengan ramah
Wayan bertanya.
"Siapa nama wanita yang mengaku istriku,
Anak muda?"
"Ampun, Kanjeng patih. Wanita itu bernama I
Ayu Mantini...."
"I Ayu Mantini...! Di mana dia sekarang?" bertanya Wayan tak sabar.
Ditengadahkannya muka pe-
muda itu yang tampak pucat ketakutan, yang dengan
terbata-bata kembali menjawab: "Ia... ia dibawa oleh Kardika, ketika kami sedang
melakukan perlawanan."
"Kar-di-ka! Hem...." mendesis Wayan Saba demi mendengar nama musuh besarnya.
Mata Wayan Saba menerawang lurus ke depan
dengan hampa. Di benaknya tergambar kejadian-
kejadian yang telah menimpanya lima tahun yang lalu.
Ternyata orang yang telah menghancurkan rumah
tangganya, adalah musuh kerajaan. Orang yang harus
dibasminya, karena tugas. Tanpa sadar, Wayan Saba
meremas tangannya keras-keras.
"Ke mana perginya iblis itu?" bertanya Wayan.
Semua orang yang ada di situ, hanya menun-
duk. Tak ada yang berani berkata, atau pun menjawab
pertanyaan Wayan. Hingga untuk kedua kalinya,
Wayan pun bertanya:
"Siapa di antara kalian yang tahu tempatnya?"
"Ampun, Gusti Patih. Sungguh kami semua tak
ada yang tahu, untuk itu kami mohon pengampunan
gusti...." menjawab orang yang paling tua di antara semuanya.
"Baiklah. Kalau kalian tak ada yang tahu, tak
mengapa. Sekarang kalian bebas. Kembalilah pada ke-
luarga kalian masing-masing, dan hati-hatilah. Bila kelak kalian ada yang tahu,
maka kami sebagai pelin-
dung kerajaan mohon bantuan kalian untuk melapor-
kannya." Habis berkata begitu, Wayan pun dengan sege-
ra mengajak anak buahnya kembali ke kerajaan. Di-
iringi oleh tatap mata rakyat yang merasa kagum,
Wayan segera menghentakkan kudanya yang seketika
melesat cepat. * * * "Kenapa aku bodoh benar" Bukankah aku tadi
melihat seorang wanita berpakaian laki-laki dalam
gendongannya. Oh... Tuhan! Kenapa aku tak berpikir
ke situ?" menggerutu hati Jaka, setelah disadari betapa dirinya kurang waspada.
Sedang Jaka melamun sambil melangkah, te-
linganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda
menuju ke arahnya. Jaka bermaksud sembunyi, na-
mun segera diurungkan niatnya. Maka dengan acuh
tak acuh, Jaka meneruskan langkah kakinya.
Dari kejauhan tampak serombongan prajurit
kerajaan menuju ke arahnya. Di depan sekali tampak
seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebesaran
seorang pangeran. Sepertinya mereka sedang membu-
ru waktu, hingga mereka tak memperhatikan dan ber-
lalu begitu saja.
"Ada apakah gerangan, hingga pangeran itu
tampak keburu-buru dan ketakutan?" bertanya Jaka Ndableg pada diri sendiri.
Belum juga Jaka dapat menemukan jawaban-
nya, dari arah tadi serombongan orang lain datang. Di wajah mereka menggabarkan
orang tak baik-baik, se-tidaknya ada maksud-maksud tertentu pada Putra
Mahkota itu. Mendapat pirasat tidak baik pada wajah orang-
orang yang baru saja lewat, Jaka dengan diam-diam
segera menguntitnya.
Memang benar apa yang ditakuti oleh Jaka.
Terbukti, belum juga Jaka tiba, terdengar suara beradunya senjata pertanda
tengah terjadi pertempuran.
Dengan secara sembunyi-sembunyi, Jaka segera meli-
hatnya. "Benar juga apa yang telah aku khawatirkan.
Ternyata orang-orang itu menghendaki nyawa Pange-
ran. Aku harus menolongnya." berkata Jaka dalam ha-ti. Dengan cepat bagaikan
angin, Jaka Ndableg segera melompat dari persembunyiannya tepat ketika nyawa
sang Pangeran terancam.
"Trang...!" Terdengar beradunya dua senjata.
Orang yang tadi hendak menebaskan goloknya pada
pangeran menjerit. Golok di tangannya telah patah
menjadi dua. Orang itu pun terhuyung-huyung, wa-
jahnya pucat pasi saat mengetahui goloknya telah pu-
tus menjadi dua.
Sementara orang yang telah menangkisnya, kini
tampak berdiri di hadapannya dengan tersenyum se-
raya berkata dingin. "Ternyata kau kembali. Bukankah kau yang bernama Darga?"
Orang itu, yang memang Darga adanya, tampak
ketakutan setelah mengetahui siapa pemuda yang tadi
menangkis tebasan goloknya. Orang itu kini berdiri
dengan tangan memegang senjatanya yaitu Pendekar
Siluman Darah. "Pendekar Siluman Darah! Mundur...!" Darga segera mengomandokan pada anak
buahnya untuk mundur, karena merasa tak bakal unggulan.
Setelah semua anggota Darga pergi, Pangeran
dan seorang panglima perang kerajaan segera meng-
hampiri Jaka yang menghormat.
"Sepertinya mereka jerih menghadapimu, Anak
muda" Apakah kau kenal dengan mereka?"
Merasa pertanyaan itu ditujukan pada dirinya,
Jaka dengan tak mengurangi rasa hormat, menjawab:
"Benar. Kami bertemu dua bulan yang lalu. Waktu itu kami bentrok, karena hamba
bermaksud melindungi
seorang wanita yang dikejar-kejar oleh pimpinan mere-
ka." Sang pangeran tampak mengangguk-angguk
mendengar cerita Jaka.
"Lalu. Kenapa dia tampak jeri padamu" Apakah
pernah kau kalahkan?"
"Ah... kanjeng Pangeran terlalu berlebihan me-
nilai diri hamba yang bodoh ini," menjawab Jaka Ndableg merendah.
"Kau terlalu merendahkan diri, Anak muda.
Apakah kau kenal dengan Wayan Saba?" tanya Sang Pangeran mencoba memancing.
Sesaat Jaka terdiam
demi mendengar nama Wayan Saba. Kembali ia terin-
gat pada cerita I Ayu Mantini. "Tapi... bukankah Wayan Saba telah mati?"
bertanya Jaka dalam hati.
"Benar. Hamba mengenalnya dari teman ham-
ba," jawab Jaka.
"Siapa nama teman wanita mu?"
"Namanya I Ayu Mantini, Pangeran."
Sang Pangeran mengangguk-anggukkan kepa-
lanya mengerti. Ia tahu, kalau pemuda di hadapannya
memang berkata benar. Maka setelah berdiam diri se-
saat, sang pangeran pun kembali berkata: "Anak mu-da, aku percaya akan
kejujuranmu. Atas budimu yang
telah menyelamatkan nyawa kami, kami mengucapkan
banyak terima kasih. Dan apabila engkau tak menolak, kami ingin mengajak mu ke
kerajaan untuk menemu-kanmu dengan suami teman wanita mu."
Tersentak Jaka untuk kedua kalinya. Ia tak
mengira, kalau orang yang diceritakan oleh I Ayu Mantini ternyata masih hidup.
"Terima kasih! Memang hamba ingin sekali da-
pat bertatap muka dan berkenalan langsung dengan
Tuan Wayan Saba." menjawab Jaka.
"Baiklah. Oh, ya, kita belum saling kenal. Sia-
pakah namamu, Anak muda" Aku adalah putra mah-
kota kerajaan Bayu Lor. Namaku Arya Perwira." berkata Arya Perwira dengan penuh
persahabatan. "Nama hamba yang rendah ini, Jaka," menja-
wab Jaka hormat, menjadikan Arya Perwira makin ka-
gum akan tindak-tanduknya. Setelah saling kenal, ke-
duanya pun menuju ke kerajaan diiringi para pengaw-
al. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya putra
mahkota mengajak ngobrol dengan Jaka. Sesekali ter-
dengar gelak tawa keduanya memecahkan kesunyian
hutan yang mereka lewati.
Mentari telah condong ke arah Barat, ketika
rombongan Putra mahkota dan Jaka sampai di pintu
gerbang kerajaan. Mereka disambut dengan penghor-
matan kebesaran istana. 6
Apa yang dikuatirkan oleh Jaka ternyata benar
adanya. Kerajaan saat itu tengah diserang oleh kaum
pemberontak, yang berjumlah besar.
Pemberontakan itu memang telah direncana-
kan. Ketika Wayan Saba menemui tantangan Kardika,
saat itu pula para pemberontak yang kini langsung dipimpin oleh Warok Rekso
Poleng menyerbu ke kera-
jaan. Karena tidak menyangka akan terjadi pembe-
rontakan, bala tentara kerajaan tidak dapat memben-
dungnya. Apalagi dengan perginya seorang Patih yang
mumpuni seperti Wayan Saba, menjadikan pertahanan
kerajaan lemah. Sedang dari kaum pemberontak yang
dipimpin langsung oleh Tumenggung Warok Rekso Po-
leng, tampak penuh semangat.
Kini terbuka sudah, siapa sebenarnya dalang
dari pemberontakan-pemberontakan yang selalu mem-
buat kekacauan itu. Tak lain dari orang istana sendiri, seperti Tumenggung Warok
Rekso Poleng yang menja-bat Tumenggung di ketemenggungan Tegal Alur. Dalam
sekejap saja para pemberontak dapat menghancurkan
pertahanan prajurit kerajaan yang dipimpin langsung
oleh Patih Arya Wisesa.
Melihat keadaan yang sangat mengawatirkan,
maka dengan beberapa ponggawa istananya Raja dan


Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permaisuri serta putra-putrinya segera mengungsi.
Hanya dalam beberapa kejap saja. Para pembe-
rontak dapat segera mengambil alih kekuasaan. Ki
Tumenggung Warok Rekso Poleng tertawa bergelak-
gelak melihat kemenangannya. Hari itu juga Ki Tu-
menggung Warok Rekso Poleng mengangkat dirinya
menjadi Raja. * * * Malam harinya, pesta kemenangan pun segera
dirayakan. Pesta yang dipenuhi dengan segala macam
kemaksiatan. Ki Tumenggung Warok Rekso Poleng yang telah
mengangkat dirinya menjadi Raja, duduk di bangku
singgasana. Di kanan kirinya dua wanita muda dengan
setia memijetinya. Sekali-sekali terdengar gelak tawa Ki Tumenggung Warok Rekso
Poleng, saat mencium kedua gundiknya.
"Cah ayu, kini aku telah menjadi raja, katakan-
lah apa yang kau minta." berkata Ki Rekso Poleng merayu wanita muda di sisi
kanannya. Dengan kasar di-
ciumnya pipi wanita itu yang tersenyum kegelian.
Malam pun makin larut, makin menambah pa-
nasnya acara itu. Ada yang mabok hingga ngeduprak.
Ada yang langsung ngeloyor pergi ke kamar dengan
wanita penghibur. Istana kini bukan tempat tahta ke-
rajaan, tapi menjadi tahta kemaksiatan.
Jaka yang tengah berjalan hendak menuju ke
kerajaan kembali, segera menghentikan langkahnya,
ketika dari arah Timur tampak olehnya rombongan ke-
rajaan. "Sampurasun...?" menyapa Jaka setelah dekat.
"Rampes..." Engkaukah saudara Jaka?" ber-
tanya Baginda Raja demi melihat orang yang barusan
datang menghadangnya.
"Benar, Baginda yang mulia. Hamba Jaka....
Kalau boleh hamba tahu, ada gerangan apa hingga ba-
ginda dan permaisuri serta putra-putri tampak seperti diburu?"
Ditanya begitu oleh Jaka, sang Raja terdiam se-
saat. Di matanya tergambar kepedihan. Lalu setelah
menarik napas dalam-dalam, Baginda pun mencerita-
kan apa yang telah menimpa kerajaan.
"Begitulah, Saudara Jaka"
"Kalau hamba boleh tahu, siapa sebenarnya Ki
Warok Rekso Poleng itu?"
"Dia adalah orang dari golongan hitam yang
kuangkat menjadi Tumenggung. Dia juga yang telah
menyuruh tokoh-tokoh golongan hitam untuk mem-
buat kekacauan di kerajaan karena dia berambisi men-
jadi raja. Banyak kaum persilatan dari golongan putih dengan sadis dibantai
olehnya, demi mencapai cita-citanya."
Mendengar penuturan raja, Jaka seketika ter-
gugah untuk bertindak. Bukan karena mencari muka
pada raja, tapi tindakan Ki Warok Rekso Poleng telah melebihi batas kemanusiaan.
"Ini tak dapat dibiarkan," bergumam Jaka tanpa sadar. Sang Raja membelalakkan
matanya tak per-
caya mendengar omongan Jaka. Lalu dengan segala
harapan Raja berkata: "Memang benar ucapanmu,
Saudara Jaka. Karena bila tidak, maka muka bumi ini
akan menjadi ajang iblis dan syetan. Tapi Ki Warok berilmu sangat tinggi. Sudah
berapa kali kaum persilatan dari golongan putih mencoba menyingkirkannya, namun
hasilnya sebaliknya. Kaum persilatan golongan
putihlah yang dibantai habis-habisan oleh Warok Rek-
so Poleng."
Setelah menyembah Jaka segera melesat pergi
meninggalkan mereka yang hanya terbengong tak
mengerti, menuju ke kerajaan.
"Baginda yang mulia. Bila masanya tiba, hamba
mengharap baginda berkenan duduk di singgasana se-
perti dulu...!" Terdengar suara Jaka berkata, yang diucapkan dari kejauhan.
Maka dengan segera Baginda Raja pun menyu-
ruh beberapa perwiranya untuk mengikuti ke mana
Jaka pergi, sedangkan dia dan sisa-sisa prajurit akan menunggunya di hutan
Dadaka. Dalam sebuah ruangan kamar, Ki Warok Rekso
Poleng tengah duduk, dengan wanita-wanita muda
yang berpakaian sangat minim.
Mereka adalah wanita-wanita culikan anak
buah Ki Warok, yang sengaja dipersembahkan untuk
Ki Warok Rekso Poleng.
Biasanya, wanita-wanita itu masih gadis. Sebab
dengan melalap daun muda, maka ilmu Ki Warok akan
makin tinggi. Yang lebih mengerikan, gadis-gadis yang telah direnggut mahkotanya
akan dijadikan tumbal il-
munya. Gadis itu akan dikorbankan untuk guru be-
sarnya yang bernama Ratu Iblis Karang Bolong.
Sedang asyiknya Ki Warok Rekso Poleng dengan
ketujuh gadisnya, tiba-tiba terdengar suara lantang
memanggil namanya.
"Ki Warok Rekso Poleng, keluarlah kau! Bukan
tempatmu di istana, tapi tempatmu adalah hutan be-
lantara. Maka aku mohon padamu segeralah pergi dari
sini?" "Dobleng...! Dobleng...! Kecoa mana yang berani lancang padaku!"
membentak Ki Rekso Poleng dengan geramnya. Lalu dengan segera, ditinggalkannya
ketujuh gadis itu keluar.
Ki Warok Rekso Poleng menyengir geli, demi di-
lihatnya yang bicara lancang padanya hanyalah anak
muda, maka Ki Warok Rekso Poleng tertawa bergelak-
gelak. "Hai... Anak muda! Lancang benar mulutmu!
Apa kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?"
Kini gantian Jaka yang tertawa bergelak-gelak.
Lalu dengan konyolnya, Jaka berkata mengejek. "Aku tahu dengan siapa aku
berhadapan. Aku sekarang tengah berhadapan dengan seekor Kodok Bangkong."
Merah padam wajah Ki Rekso Poleng, menden-
gar ejekan yang dilontarkan oleh anak muda yang ber-
diri dengan tolak pinggang di hadapannya. Ki Warok
Rekso Poleng seketika mendengus penuh marah.
"Setan laknat, Deg. Degan! Rupanya kau men-
cari mampus! Sebut namamu, sebelum aku kirim nya-
wa busukmu ke akherat!"
"Ki Warok! Kau bilang nyawaku busuk. Tapi le-
bih busuk lagi nyawamu, yang telah membantai kaum
persilatan guna memenuhi ambisimu. Untuk itu maka
hari ini juga aku akan menyingkirkan iblis sepertimu,"
berkata Jaka dengan nada mengejek, membuat Ki Wa-
rok Rekso Poleng menggeram. Maka tanpa banyak bi-
cara lagi, Ki Warok segera menyerang.
Tak ayal lagi, keduanya segera terlibat dalam
pertempuran. Warok Rekso Poleng, walau telah tua
namun tampak masih lincah. Tubuhnya yang gemuk
berkelebat menyerang dan berkelit.
Jurus demi jurus telah berlalu, tampaknya ke-
dua orang itu tak akan segera menghentikan pertem-
purannya. Dari arah Barat, tampak serombongan
orang menuju ke situ, mereka tak lain dari para pan-
glima perang raja, yang ditugasi untuk ikut menyaksikan jalannya pertarungan Ki
Warok dengan Jaka.
"Anak muda. Mari kita buktikan, siapa di anta-
ra kita yang lebih kuat," berkata Ki Warok, setelah ia merasa akan kehebatan
musuhnya. "Aku layani apa yang menjadi abamu, Ki Wa-
rok!" Sehabis berkata begitu, keduanya kembali saling serang dengan ilmu tingkat
tingginya. Mendengar keramaian di luar, anak buah Ki
Warok Rekso Poleng segera berlari keluar. Sesam-
painya di luar, semuanya hanya dapat menjadi penon-
ton belaka, karena perkelahian mereka berdua bukan-
lah perkelahian biasa yang mengandalkan jurus-jurus
enteng. Tapi perkelahian antar Ki Warok dengan Jaka
merupakan perkelahian tingkat tinggi. Yang memakai
segala jurus tingkat tinggi pula.
Semua mata anak buah Ki Warok Rekso Poleng
terbelalak kagum, demi melihat siapa orang yang bera-ni menghadapi Ki Warok yang
terkenal kesaktiannya.
Gusar hati Ki Warok, menyadari bahwa mu-
suhnya ternyata bukan orang sembarangan. Segera Ki
Warokpun melompat mundur, sembari berseru.
"Terimalah ini! Hiat!"
Semua mata yang menyaksikan, seketika terbe-
lalak kaget demi melihat ajian Panca Api yang dilon-
tarkan oleh Ki Warok.
Jaka yang selalu siaga, melihat api bergulung-
gulung menyerangnya seketika memapakinya dengan
ajian Getih Sakti. Seketika dari kedua belah tangannya meluncur cairan yang
disertai angin topan besar menyapu hembusan api itu yang segera padam. Kini an-
gin topan itu yang berbalik menyerang Ki Warok. Men-
jadikan pohon-pohon dan rumah-rumah ambruk.
Menyaksikan hal itu, mata Ki Warok tampak
menyipit. Segera Ki Warok pun kembali mengeluarkan
ajiannya yaitu "Bedeng Buana". Seketika angin topan itu hilang. berganti dengan
suara ribuan tawon yang
menyakitkan telinga. Hingga bila tak mampu, maka
sudah barang tentu orang itu akan mati dan dengan
kuping dan hidung keluar darah.
Jaka Ndableg tersentak melihat ajian yang dike-
luarkan oleh Ki Warok, yang membuat indra tubuhnya
dirasa tak berfungsi. Setelah terkesiap sesaat, Jaka segera menghantamkan
kembali ajian Petir Sewu, maka
luluh lantaklah semua desingan tawon, berganti dengan ledakan yang disertai
panas membara. Menerima kenyataan itu, Ki Warok yang merasa
telah dipencundangi oleh yang masih hijau menggere-
tak penuh amarah. Dalam hatinya tak percaya akan
apa yang telah terjadi. Bagaimana mungkin anak se-
muda itu telah mampu menghalau segala serangan-
nya" Karena merasa dirinya yang paling sakti, Ki
Warok Rekso Poleng tak mau menerima semua, itu.
Kembali Ki Warok Rekso Poleng menyerang, kali ini
dengan ajian Pelebur Sukma.
Jaka Ndableg tersentak dan berusaha meng-
hindar, namun terlambat. Tubuhnya seketika tersedot, mendekati ke Ki Warok Rekso
Poleng. Jaka terus bertahan agar tidak terus tersedot. Namun rupanya keku-
atan lawan jauh lebih besar, sehingga Jaka perlahan-
lahan terseret mendekat.
"Hem, kalau begini hanya ada satu cara untuk
melawannya. Aku akan memanggil Pedang Siluman
Darah. Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Tersentak Ki Warok Rekso Poleng, manakala
melihat tiba-tiba di tangan Jaka telah tergenggam sebi-lah pedang. Dari ujung
pedang meleleh darah memba-
sahi batangnya.
"Aaah...!" tersentak Ki Warok memekik.
"Ki Warok, bersiaplah!"
Belum juga Ki Warok tersadar dari kagetnya,
Jaka telah dengan cepat membabatkan pedangnya.
Memekik seketika Ki Warok ketika pedang di tangan
Jaka membabat tubuhnya. Tubuh Ki Warok terbelah
menjadi dua, dengan darah mengering.
Melihat Ki Warok telah mati, serta merta selu-
ruh rakyat bersorak dan menari-nari dengan riang.
Hari itu adalah hari kemenangan bagi Kerajaan Bayu
Lor. Wayan yang baru saja datang, segera menyalami
Jaka. Begitu juga dengan Sri Baginda Raja dan lain-
nya, mereka mengucapkan rasa terima kasih.
Tengah pesta itu berlangsung dengan meriah,
Jaka tanpa sepengetahuan lainnya berkelebat pergi.
Semua tersadar manakala Jaka telah jauh berlalu.
*** 7 Ketika Wayan Saba tengah duduk sambil ber-
cakap-cakap dengan Jaka, tiba-tiba sebatang anak pa-
nah berdesir di depan mereka. Dengan reflek yang
kuat, keduanya mengelak dan memburu asal anak pa-
nah itu datang.
"Hem... aku kira yang melakukan tadi masih
orang dalam istana ini?" berkata Jaka setelah mengelilingi tempat itu.
"Mengapa saudara Jaka berpendapat begitu"
Apakah ada bukti yang kuat?" tanya Wayan Saba tak yakin. Sepengetahuannya,
orang-orang istana sangat
baik terhadap dirinya. "Mana mungkin melakukan hal sesembrono tadi" Atau barang
kali ada yang tidak senang dengan kedatangan Jaka di tempatnya" Ah, tidak
juga, Jaka orang baik-baik," bergumam hati Wayan.
"Ada... dan bukti itu kuat. Coba saudara Wayan
perhatikan. Tempat ini sangat terlindung dan berdekatan dengan kediaman baginda
Raja yang dijaga ketat.
Bila orang luar, pasti dengan segera dapat dicurigai?"
berkata Jaka menjelaskan alasan-alasannya. Kini
Wayan Saba sadar, bahwa orang yang berdiri di sam-
pingnya bukan orang sembarangan. Di samping ilmu
kedikjayaannya yang tinggi, ilmu strateginya bahkan
lebih menonjol.
"Ah... rupanya aku harus belajar lagi pada an-
da, Saudara Jaka?" berkata Wayan agak malu.
"Tidak begitu, Saudara Wayan. Bukan karena
aku lebih pandai dibandingkan dengan diri saudara,
namun hal ini hanya kejelian semata."
Wayan Saba mengangguk mengiyakan. Setelah
dirasakan tak ada apa-apa lagi, keduanya kembali ma-
suk. Wayan Saba segera mengambil anak panah yang
menancap di atas meja, dengan sehelai kain yang
menggulung di pangkalnya.
Perlahan dibukanya kain gulungan di pangkal
anak panah itu, dan dibacanya.
Wayan Saba.... Kita bertemu lagi. Rupanya Yang Wenang masih
menghendaki kau hidup.
Aku tahu, kalau kau ditolong oleh seseorang
yang bernama Ki Turangga Bayu.
Kalau kau memang seorang pendekar kutunggu
dirimu di desa Randu.
Ingat...! Jangan kau bawa prajurit-prajurit mu,
bila nyawa istrimu selamat.
Tapi bila kau mengingkarinya, maka nyawa is-


Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

trimulah balasannya.
Kutunggu dirimu di desa Randu, saat bulan Pur-
nama. Kardika Setelah selesai membaca, diserahkannya surat
itu pada Jaka yang segera membacanya.
"Bagaimana menurutmu, Saudara Jaka?" ber-
tanya Wayan meminta pendapat.
"Menurutku, lebih baik kita tepati agar dia me-
rasa puas. Memang dia merupakan musuh kerajaan,
tapi apalah bedanya musuh kerajaan dengan musuh
kita" Bukankah kita dituntut untuk turut mengaman-
kan kerajaan" Kedua, dengan mendatanginya tanpa
pasukan secara tidak langsung kita bertindak kesatria.
Bukan begitu saudara, Wayan?" Jaka Ndableg balik bertanya.
"Benar! Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri,
Saudara Jaka?"
"Aku akan berusaha mengikutimu secara sem-
bunyi. Bukannya aku merendahkan ilmu yang kau mi-
liki. Tidak! Tapi, biasanya orang-orang semacam dia
sering berbuat licik dan curang. Bagaimana, Saudara
Wayan?" "Terimakasih atas bantuanmu sebelumnya. Ma-
ri kita menghadap baginda untuk melaporkan kejadian
ini, sekaligus kita selidiki siapa orang yang terlibat."
"Setuju! Mungkin dengan cara begitu, kita akan
segera mengetahui siapa orang dalam istana yang ikut terlibat dalam
pemberontakan."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keduanya
segera menuju ke istana untuk menghadap baginda
raja. Sementara tanpa sepengetahuan keduanya, se-
seorang mengawasi mereka dengan sembunyi. Lalu se-
telah kedua orang yang diawasinya masuk ke istana,
orang itu segera berkelebat pergi.
Wayan segera menceritakan kejadian yang baru
saja terjadi. Diceritakan pula tentang keinginannya untuk membekuk Kardika
seorang diri, seperti yang diperintahkan dalam surat.
Sang raja tampak terdiam untuk beberapa la-
ma. Ia berpikir keras, untuk dapat memutuskannya.
Sesaat setelah terdiam, baginda pun berkata:
"Ki Patih Wayan Saba dan saudara Jaka, bu-
kannya aku meremehkan kesaktian yang ada pada diri
kalian. Namun sebagai seorang raja, aku juga berpikir tentang apa yang harus aku
perbuat agar jangan sampai terjadi hal-hal yang akan mencelakakan kalian."
"Terima kasih atas perhatian paduka terhadap
hamba. Namun perlu hamba sampaikan, sebenarnya
di antara hamba dan Kardika ada silang sengketa.
Adapun silang sengketa antara hamba dengannya, ter-
jadi kira-kira lima tahun yang silam." Wayan Saba segera menceritakan kembali
apa yang pernah diala-
minya kala lima tahun silam, tentang kehancuran ru-
mah tangganya karena ulah Kardika.
Mendengar penuturan Wayan, Jaka dari sang
Raja pun terdiam. Dari wajah mereka tergambar rasa
haru. Setelah Wayan selesai menceritakan kejadian
yang menimpa dirinya, Baginda berkata: "Kalau memang begitu, aku mengijinkan kau
untuk menghada-
pinya. Tangkaplah dia hidup-hidup bila dapat, bila tidak, lebih baik dibunuh
saja, agar tak ada lagi pemberontak-pemberontak. Kalau kau mampu menyingkir-
kannya, secara tak langsung, kau telah melindungi seluruh rakyat kerajaan ini
dari cengkeramannya. Aku
hanya dapat berdo'a semoga kau berhasil, Ki Patih?"
"Terima kasih, Baginda sesembahan hamba.
Semoga dengan do'a dari baginda dan rakyat kerajaan
ini, hamba dapat melaksanakan tugas."
Setelah meminta pamit pada Rajanya, Wayan
Saba dengan segera kembali ke rumahnya. Untuk me-
nukar pakaian patihnya dengan pakaian persilatan.
* * * Dihentakkan tali kudanya, hingga kuda yang
ditumpanginya segera lari dengan kencangnya. Wayan
Saba terus melarikan kudanya dengan cepat, menuju
desa Randu yang telah ditentukan oleh Kardika untuk
saling bertemu.
Desa Randu adalah sebuah desa yang sangat
makmur, di mana letaknya sangat strategis untuk lalu lintas perdagangan. Di situ
pula lima tahun yang silam, Kardika telah membuat keonaran saat malam
pengantin Wayan Saba dengan I Ayu Mantini tengah
berlangsung, yang menjadikan Wayan harus terkurung
di dasar jurang lima tahun lebih.
Dalam perjalanan menuju ke desa Randu,
kembali Wayan teringat akan istrinya. Tapi wajah Dewi Ayu Laras pun muncul
menggodanya, hingga kebimbangan di hati Wayan pun terjadi. Bimbang untuk me-
nentukan sifat, bimbang untuk menyerahkan cinta di
hatinya. Apakah pada I Ayu Mantini yang ia sayangi
lima tahun yang lalu" Atau pada Dewi Ayu Laras yang
selalu menghibur dan merayunya di kala dia tengah
bimbang untuk berbuat"
Ingat akan Dewi Ayu Laras, menjadikan Wayan
kembali teringat akan kejadian-kejadian yang telah
mereka berdua lakukan selama setengah tahun bela-
kangan. Malam itu, ketika udara terasa panas, Wayan
tampak gundah gulana. Sudah beberapa kali ia men-
coba memejamkan mata, namun ia tak mampu. Maka
dengan agak malas, Wayan pun segera keluar untuk
mencari angin. Ketika ia tengah menikmati udara malam, tiba-
tiba ia dikejutkan oleh seseorang yang datang meng-
hampirinya. Orang itu yang ternyata Dewi Ayu Laras,
tersenyum padanya, senyum memikat hingga Wayan
tak mampu berkata apa-apa, Wayan hanya dapat me-
mandang tubuh Dewi Ayu Laras yang malam itu men-
genakan gaun tipis, hingga lekuk-lekuk tubuhnya
tampak jelas kelihatan.
"Kau masih di luar, Wayan" Kenapa...?" tanya Dewi Laras manja.
"Benar, Kanjeng Dewi. Udara di dalam terasa
panas, hingga aku memutuskan untuk mencari hawa
di luar. Bagaimana dengan kanjeng Dewi sendiri?"
"Aku tak dapat tidur, Wayan?"
"Kenapa demikian, Kanjeng Dewi...?"
"Entahlah. Kenapa bayangan itu selalu datang
saat aku hendak tidur?" tanya Dewi Laras seperti pada diri sendiri.
"Bayangan apakah gerangan" Apakah ada
orang yang berani mengganggu ketenangan kanjeng
Dewi?" bertanya Wayan tak mengerti, yang mengira bahwa Dewi Laras tengah berkata
dengan sesungguhnya. Dewi Laras tampak tersenyum memikat, demi
mendengar pertanyaan Wayan. Membuat Wayan men-
gernyitkan alis matanya, kembali bertanya:
"Kenapa kanjeng Dewi tersenyum" Apa ada
yang lucu pada ucapan hamba?"
Untuk kedua kalinya Dewi Laras tersenyum.
"Wayan, Kau tahu orang yang mengganggu ti-
durku?" "Tidak, Kanjeng Dewi. Kanjeng Dewi berkenan
mengatakannya...?"
Lagi-lagi Dewi Laras tersenyum, makin mende-
kat pada Wayan yang hanya terdiam. Tanpa diduga
sebelumnya oleh Wayan, Dewi Laras seketika memeluk
tubuhnya membuat Wayan tersentak kaget.
"Kanjeng Dewi! Kenapa kau...?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Dewi
Laras. Bahkan makin dieratkannya pelukan ke tubuh
Wayan yang tak mengerti. Dari mulut Dewi Laras, ter-
dengar desah: "Wayan... aku merindukan saat-saat seperti ini. Peluklah aku,
Wayan... peluklah. Berbuatlah sesukamu."
Sekokoh-kokohnya hati Wayan, menerima kea-
daan seperti itu seketika runtuh. Dengan segala gejolak dibopongnya tubuh Dewi
Laras yang masih ber-
gayut dengan manja ke dalam rumah.
Tak berapa lama kemudian, kedua insan ma-
nusia itu telah lupa pada keadaannya. Keduanya kini
telah terjerat oleh angan-angan yang dibuat setan.
Angan-angan mereka melambung tinggi, hingga
ke puncak yang diinginkan. Lalu keduanya sama-sama
terjatuh dengan sejuta kenyataan yang ada. Kenyataan yang tak mungkin dihapus,
atau dibuang begitu saja.
Wayan tersentak dari lamunannya, ketika ter-
dengar suara Jaka yang diucapkan dari jarak jauh.
"Saudara Wayan, kau seperti melamun. Kenapa..."
Kau tak boleh bimbang, sebab kebimbangan akan
menjadikanmu teledor. Hal itu akan membuatmu me-
rasa kurang percaya diri untuk menghadapi Kardika.
Buanglah segala macam pikiranmu, pusatkan pada
apa yang telah menjadi tujuanmu semula...."
"Saudara Jaka, terima kasih atas peringatan-
mu. Di mana sekarang engkau berada?" tanya Wayan setelah dapat menenangkan
pikirannya. Dalam hatinya
terbersit rasa kagum pada sahabatnya. Betapa tidak!
Dari jarak yang begitu jauhnya, masih dapat meman-
tau dirinya. "Aku selalu berada di belakangmu. Aku di sini,
Saudara Wayan!"
Tiba-tiba tanpa diketahui oleh Wayan sebelum-
nya, telah duduk di atas punggung kudanya membon-
ceng di belakangnya tanpa mengeluarkan suara sedi-
kitpun. Maka untuk yang kedua kalinya, Wayan terke-
jut. Makin yakinlah di hati Wayan, bahwa orang yang
menjadi sahabatnya adalah orang yang dikatakan oleh
gurunya. "Inikah orang yang dimaksud guru" Salah seo-
rang yang ilmunya sukar untuk ditandingi?" membatin Wayan bertanya pada diri
sendiri. Melihat Wayan terkejut, Jaka Ndableg tersenyum sembari bertanya.
"Kenapa terkejut" Aku sebenarnya dari tadi ada
di belakangmu. Namun karena kau tengah melamun,
hingga kau tak merasakan ada orang yang naik di be-
lakangmu. Karena kau lalai, aku sengaja memperin-
gatkanmu."
Makin bertambah yakinlah hati Wayan, men-
dengar penuturan Jaka, yang nadanya merendah.
Wayan tahu sejak keluar dari istana, Jaka tidak ba-
reng dengannya. Tapi tahu-tahu pemuda itu telah du-
duk di kudanya. Hal ini sangat mustahil dilakukan
oleh orang biasa, karena Wayan yang berilmu cukup
tinggi akan mengetahuinya terlebih dahulu. Tapi pe-
muda ini, membikin Wayan merasa dirinya masih jauh
dan kecil bila dibandingkan dengannya.
"Terima kasih, Saudara Jaka. Kini aku sadar
atas kelalaianku. Apa jadinya bila kau musuhku?" bergumam Wayan seperti
menyesali keteledorannya.
"Kau terlalu merendahkan diri. Nah, aku turun
di sini. Aku akan selalu mengikutimu," berkata Jaka, membuat tenang hati Wayan
yang segera menghentakkan tali kudanya. Kuda yang ditumpakinya segera lari
dengan kencang.
Kala Wayan kembali menengok ke belakang,
Jaka sudah tak ada di tempat semula.
"Sungguh luar biasa ilmunya!" mendecak ka-
gum hati Wayan.
Ketika malam tiba, Wayan Saba pun segera
mencari penginapan untuk beristirahat. Karena perja-
lanan yang sangat melelahkan, hingga Wayan pun
langsung tertidur dengan nyenyaknya.
Malam begitu dingin, hingga keadaan di sekelil-
ing penginapan itu sepi. Dua sosok bayangan berkele-
bat dari rerumputan pohon yang tumbuh di sekitar
penginapan itu. Bayangan kedua orang itu, meloncat
ke atas wuwungan penginapan.
Dibukanya genting penginapan itu dengan tan-
pa mengeluarkan suara, hingga Wayan yang tengah
tertidur tidak mendengar suara sedikitpun.
Tanpa diketahui oleh kedua orang yang ber-
maksud jahat pada Wayan, seseorang dari tadi men-
gawasi gerak-gerik keduanya dari atas pohon kapuk.
"Hem... Wayan rupanya tak sadar akan bahaya
yang akan menimpa. Mungkin ia tengah tertidur pulas
karena kecapaian setelah menempuh perjalanan yang
cukup jauh. Apakah aku harus turun tangan" Tidak!
Biarlah Wayan sendiri yang mengatasinya. Tapi... ke-
napa dia tidak segera terbangun" Akan aku bangun-
kan dia dengan ilmu Penyusup Suara. Wayan... ban-
gunlah! Bahaya ada di mana-mana, termasuk di hada-
panmu sekarang. Bangunlah...!"
Mendengar suara orang yang cukup dikenal-
nya, seketika Wayan tersentak bangun. Bersamaan
dengan itu, dua orang yang bermaksud jahat padanya
turun dan langsung menyerang.
Wayan yang merasa jengkel dan menyesali
akan kelalaiannya, menumpahkannya pada kedua
orang yang menyerangnya. Maka ajian Tapak Sakti
pun dikeluarkan. Kedua orang yang bermaksud buruk
padanya menjerit panjang, hangus bagai dipanggang
api terhantam pukulan Wayan. Dibukanya cadar yang
menutupi muka kedua orang tersebut. Wayan Saba
seketika terkejut bukan alang kepalang, karena orang-orang itu adalah prajurit-
prajurit istana.
"Apa arti semua ini" Mengapa orang-orang ista-
na hendak membunuhku" Kini aku tahu, memang da-
lang dari semuanya ini adalah orang istana yang
menghendaki kerajaan hancur." membatin Wayan.
Dengan rasa gusar, dilemparkannya kedua tu-
buh orang itu yang telah menjadi bongkahan arang ke-
luar. Malam itupun, Wayan Saba tak dapat memejam-
kan matanya sampai pagi tiba.
Ketika dilihatnya hari telah pagi, Wayan Saba
pun segera meneruskan perjalanannya menuju ke desa
Randu. Di dalam pikirannya terus bertanya-tanya ten-
tang kejadian semalam. Kini Wayan mengerti akan apa
yang dikatakan oleh sahabatnya Jaka, bahwa Kardika
pasti akan berbuat licik. Hal itu telah terbukti semalam, untung Jaka telah
mengirimkan peringatan lewat
ilmu Penyusup Suara.


Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Firasatnya yang tajam, mengatakan bahwa ke-
rajaan kini tengah dilanda pemberontakan. Hal itu
membuat Jaka, bimbang. Apakah akan terus mengiku-
ti Wayan, atau kembali ke kerajaan dan meninggalkan
Wayan sendirian"
Setelah berpikir masak-masak. Jaka dengan
ilmu menyusupkan suaranya berkata pada Wayan
yang saat itu masih melanjutkan perjalanannya menu-
ju ke desa Randu.
"Saudara Wayan, kau dengar suaraku?" Men-
dengar suara Jaka memanggilnya, segera Wayan mem-
perlambat lari kudanya.
"Ya...! Di mana kau, Saudara Jaka?" tanya Wayan sembari mencari-cari Jaka yang
belum juga nampak di hadapannya.
"Aku masih di desa Tunggeng. Aku mendapat
pirasat, bahwa kerajaan kini tengah mendapat anca-
man. Maka dari itu, aku bermaksud kembali ke kera-
jaan. Apabila kau telah selesai menjalankan tugasmu, kuharap kau segera kembali.
Ku doa'kan kau berhasil...." Setelah berkata begitu tanpa menunggu jawaban dari
Wayan, segera berlalu meninggalkan desa Tunggeng Jaka kembali ke kerajaan Bayu
Lor. Malam bulan purnama tiba, ketika di sebuah
lapangan yang cukup luas, sesosok tubuh berdiri tak
bergeming. Orang itu, yang ternyata Wayan adanya,
tengah menunggu kedatangan Kardika.
Angin malam yang dingin, makin menambah-
kan suasana mencekam. Dari arah Timur tampak
bayangan lain melangkah menuju ke tengah lapangan.
Wayan segera dapat mengenali orang itu, walau orang
yang kini melangkah mendekatinya telah berubah pi-
sik dengan kumis dan jambang yang tubuh di mu-
kanya. Wayan tampak masih tenang, ketika orang yang
ia tunggu makin mendekat ke arahnya dengan senyum
mengejek. "Wayan Saba, tak nyana kita bakal bertemu
kembali di sini. Dulu nyawamu masih dilindungi oleh
Yang Wenang. Namun sekarang, aku akan mencabut-
nya." Wayan tampak masih tenang, tak terpengaruh dengan ucapan Kardika sedikit
pun. Hanya matanya
saja yang terus mengawasi gerak-gerik Kardika.
"Kardika! Kau tak lebihnya iblis berbentuk ma-
nusia, yang tak mengerti akan rasa terima kasih. Setelah kau dapatkan ilmu Wesi Geni, begitu teganya kau
siksa guru. Dan yang lebih dari pada itu, kau lemparkan guru yang sudah tak
berdaya ke dalam jurang itu, lalu kau curi kitab aji Wesi Geni. Sesuai amanat
guru, aku hendak meminta kembali kitab itu, sekaligus
menghukum mu!"
Mendengar ucapan Wayan, seketika meledaklah
tawa Kardika yang menganggap ucapan Wayan tak
ubahnya anak kecil. Karena merasa aji Wesi Geni pal-
ing tinggi, maka Kardika pun meremehkan orang lain.
Ia tak menyangka kalau Ki Turangga Bayu telah men-
ciptakan ilmu tandingannya, yaitu "Ilmu Catur Lang-
kah." "Wayan Saba, kitab yang kau maksud telah menjadi milikku. Tak seorang pun
yang akan dapat
mengambilnya dariku, termasuk kau! Ha... ha... ha....".
"Jangan takabur, Kardika. Kuakui ilmumu
memang tinggi, apalagi dengan aji Wesi Geni. Tapi setinggi-tingginya ilmu orang,
pasti akan ada yang lebih tinggi. Maka itu aku sarankan, kembalikan kitab itu
padaku. Kau bukan haknya, sebab kau mendapatkan-
nya dengan cara mencuri."
"Sudah aku katakan, bahwa aku tak akan me-
nyerahkan kitab yang telah di tanganku. Sekarang hal lain, Wayan Saba.
Ketahuilah, aku akan mengampuni
selembar nyawamu bila kau mau membantuku meng-
gulingkan raja dungu itu. Dan lebih dari itu, kau akan dapat bersanding kembali
dengan istrimu. Sekaligus
akan kuberikan padamu kedudukan yang lebih tinggi."
Mendengar ucapan Wayan yang seakan meng-
hinanya, seketika Wayan menjadi geram. Dengan lan-
tang, Wayan pun berkata sengit:
"Kardika! Kukatakan sekali lagi, menyerahlah!"
"Kardika tak ada istilah menyerah. Lakukanlah
apa yang kau mampu terhadap diriku, Wayan."
Wayan Saba yang sedari tadi mencoba sabar,
kini berubah jadi berang. Wayan pun kembali berkata
dengan penuh kekesalan. "Bila kau tak mau mengembalikan kitab yang kau curi, dan
tak mau menyerah,
jangan salahkan aku bertindak!"
"Sudah kubilang, Patih busuk! Aku tak sudi
menyerah, dan tak akan menyerahkan kitab Aji Wesi
Geni padamu. Mari kita buktikan, siapa yang sakti di antara kita!"
Kembali Wayan Saba mendengus marah. Maka
dengan didahului bentakan, Wayan Saba pun segera
menyerang. "Jangan lengah, Kardika!"
Pertarungan antara kedua musuh bebuyutan,
yang sekaligus bekas saudara seperguruan tak dapat
dicegah. Masing-masing mempunyai andalan ilmu
yang mereka miliki, yang sumbernya dari seorang yaitu Ki Turangga Bayu. Jurus-
jurus mereka keluarkan dengan cepat. Sudah hampir enam puluh jurus mereka
saling serang dan mengejar. Tapi nampaknya kedua-
nya seimbang. Dari adu ilmu tangan kosong, kini ke-
duanya menggunakan senjata masing-masing.
Wayan Saba dengan senjata Pedang Seriti Kun-
ing, sementara Kardika dengan senjatanya sepasang
clurit emas. Karena keduanya menggunakan ilmu silat
tingkat tinggi, hingga gerakan-gerakan mereka tampak cepat. Pedang Seriti Kuning
di tangan Wayan Saba
bergulung-gulung dengan cepatnya, sepertinya memi-
liki mata terus mencari sasaran yang mematikan.
Kardika agak tersentak melihat permainan pe-
dang Wayan Saba yang begitu cepatnya, yang tak
memberi peluang sekalipun baginya untuk berbalik
menyerang. Dengan melompat mundur, Kardika segera
merapalkan ajiannya Wesi Geni. Seketika tangan Kar-
dika berwarna merah kehitam-hitaman bagai besi yang
membara. Melihat hal itu, dengan segera Wayan pun me-
lompat mundur beberapa tombak. Lalu Wayan pun se-
gera mengeluarkan ilmu Catur Langkah, sejenis jurus
silat yang aneh dengan mengandalkan langkah-
langkah yang merupai permainan catur.
Dengan didahului oleh pekikan, keduanya sege-
ra berkelebat saling menyerang. "Duer...!" Terdengar suara ledakan dahsyat,
ketika dua tenaga dalam beradu.
Wayan terdorong dua tombak ke belakang, se-
mentara Kardika sendiri terpental hampir sepuluh
tombak. Mulutnya keluar darah segar.
"Katakan, di mana istriku! Dan di mana kau
sembunyikan kitab Aji Wesi Geni yang telah kau curi?"
bertanya Wayan Saba, setelah untuk beberapa saat
terdiam memandang pada Kardika yang terduduk tak
berdaya. "Bunuhlah aku! Bunuh...!"
"Tidak, Kardika. Katakanlah di mana istriku,
dan kitab Wesi Geni. Mengenai dirimu, aku tak berhak.
Tapi kerajaan dan gurulah yang berhak menghukum
mu." Kardika sesaat terdiam, di hatinya kelicikan pun menjalar. Setelah segala
kelicikan terlukis di hatinya, Kardika berkata: "Itu istrimu!"
Wayan Saba segera mengikuti arah yang ditun-
juk Kardika. Tampak seorang wanita yang tak lain dari pada I Ayu Mantini
berlari-lari menuju ke arahnya.
"Kakang...!"
Melihat hal itu, Wayan Saba pun segera me-
nyongsongnya sembari berseru. "I Ayu...!"
Ketika keduanya hampir berpelukan, Kardika
yang memang licik segera melemparkan cluritnya den-
gan sisa-sisa tenaga ke arah mereka. I Ayu Mantini
yang melihat Kardika melemparkan cluritnya, berseru
memperingatkan pada Wayan, yang segera mengelak.
"Ah...!" Selamat bagi Wayan, tapi hal itu harus ditebus dengan tubuh I Ayu
Mantini. Clurit Kardika telah menancap tepat di perut I Ayu Mantini, yang
seketika ro-boh terkulai di tanah dengan darah yang keluar dari
lukanya. Serta merta, Wayan pun segera memeluk tubuh
istrinya. Dan dengan bibir bergetar menahan marah,
Wayan berkata: "Istriku... kenapa kita harus berpisah.
Kenapa kau harus meninggalkan aku setelah kita ber-
temu?" "Ka... kang. A... aku mencintaimu. A... aku tung... gu dirimu, di surga."
I Ayu Mantini pun terkulai lemas. "Istriku... I Ayu Mantini, jangan tinggalkan
aku! Iblis... kubunuh kau! Kubunuh...!" Digeletakkannya tubuh I Ayu Mantini yang
telah meninggal. Dengan segenap emosinya, Wayan pun segera menyerang Kardi-
ka dengan aji Lebur Raga.
Kardika yang tak sempat menghindar menjerit
kalau ajian itu menghantamnya. Seketika tubuh Kar-
dika hancur berantakan, hangus terbakar. Api yang
keluar dari tangan Wayan Saba, membakar seluruh
tubuh Kardika yang telah hancur luluh.
Setelah menyaksikan musuhnya telah hancur,
Wayan Saba pun segera kembali ke tubuh istrinya
yang telah mati. Dengan penuh kasih, dibopongnya
mayat I Ayu Mantini pergi meninggalkan desa Randu.
Bulan purnama pun seketika tampak redup.
Seakan mengiringi kepergian Wayan yang membawa
mayat istrinya, melangkah meninggalkan lapangan
yang tampak terang oleh api yang terus menjilati tu-
buh Kardika. Tamat Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 5 Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Jejak Di Balik Kabut 13
^