Pencarian

Pembalasan Dewibunga Kematian 2

Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian Bagian 2


"Wadauw...!"
Kembali pemilik kedai itu menjerit, manakala
sebuah tangan yang terpotong mencelat menimpa mu-
kanya. Seketika muka pemilik kedai tertutup oleh ber-lumuran darah yang muncrat
dari potongan tangan
itu. Tampaklah kini muka pemilik kedai seperti hantu.
Pemilik kedai itu kembali menangis meraung-
raung, menyesali keadaan kedainya juga keadaan di-
rinya. "Hu, hu, hu... mimpi apa aku tadi malam?"
tanya pemilik kedai pada diri sendiri dengan mengusap darah yang membasahi
mukanya. Tengah tangannya
menutupi kedua mata, tiba-tiba ia kembali disentak-
kan oleh sesuatu. Ketika tangannya membuka dari
mata, pemilik kedai seketika pingsan manakala seso-
sok tubuh yang keadaannya morat-marit telah meme-
luk tubuhnya. Saking takutnya, pemilik kedai hanya
mengeluh. "Ooh...."
Pingsanlah si pemilik kedai, tubuhnya mengge-
losor ke lantai tertindih orang yang mati
"Hentikan...!"
Terdengar seruan seseorang membahana, men-
jadikan semua yang telah terlibat pertempuran segera menghentikannya. Bersamaan
dengan itu, sesosok tubuh berkelebat masuk ke dalam kedai.
Pemuda itu tersenyum, namun matanya me-
mandang sengit pada kelima orang yang berdiri dengan memegang golok di
tangannya. Pemuda itu yang tak
lain Jaka Ndableg, telah menilai siapa adanya kelima orang bertampang
menyeramkan itu.
"Kenapa kalian membuat kerusuhan di sini?"
"Huh, jangan ikut campur, Anak muda!" mem-
bentak Condet. "Aku tak akan ikut campur kalau kalian ber-
tempur di luar sana. Dan aku tak akan ikut campur
kalau kalian orang baik-baik. Namun karena kalian
orang-orang jahat, maka aku perlu ikut campur," menjawab Jaka dengan tenangnya.
"Bedebah! Rupanya kau sengaja mencari per-
soalan, Anak muda!" kembali Condet membentak.
"Hem, sudah aku duga, kalau kalian memang
orang-orang tak baik," gumam Jaka. "Aku minta, pergilah kalian dari sini. Ini
bukan tempat berkelahi."
"Bedebah! Rupanya kau ingin menjadi jagoan,
Anak muda!"
"Terserah kalian. Yang pasti, aku tak suka dengan cara kalian yang telengas."
Menggeram kelima anak buah Persekutuan
Dewi marah. Maka tanpa banyak kata lagi, kelimanya
segera berbareng menyerang Jaka.
Diserang begitu rupa dengan segera berkelebat
ke luar kedai sembari berseru. "Kalau kalian ingin bertarung, di luar sinilah
yang pantas! Nah, keluarlah!"
"Sompret! Jangan kira kami takut!" Condet dan keempat temannya yang menyangka
Jaka adalah pemuda biasa, segera mengikuti Jaka ke luar. Maka keti-ka sampai di
luar, Jaka telah memapaki mereka den-
gan hantaman. Tersentak kelimanya mendapat seran-
gan yang begitu tiba-tiba. Kelimanya segera mengelak, dan dengan cepat
membabatkan golok yang ada di
tangan mereka. "Kurang cepat, kawan. Apakah tak dapat kau
bergerak cepat" Wow, rupanya perlu aku bantu, baik."
habis berkata begitu, segera Jaka merentangkan ka-
kinya. Dari rentangan kaki itu, Jaka segera kibaskan kaki kanan menendang kaki
kiri dan kuda-kuda mu-
suhnya. Seketika musuhnya terpelanting jatuh ke ta-
nah. "Nah, apa kataku. Bukankah kuda-kudamu
lemah?" "Bedebah! Rupanya kau hendak pamer kebole-han, Anak muda!"
Marahlah Condet, demi dilihat temannya dapat
dengan mudah dipecundangi Jaka. Dibabatkan golok-
nya dengan cepat, namun Jaka yang sudah dapat
mengukur ilmu silat musuhnya tampak tenang.
"Wow, rupanya kau suka membuat getuk, se-
hingga kau dalam membabatkan golokmu persis orang
mengiris getuk," mengejek Jaka, yang mengakibatkan kemarahan Condet makin
meluap-luap laksana kali
Ciliwung dihujani membludak karena banyak sampah.
Pertarungan lima lawan satu terus berlang-
sung, membawa mereka untuk terus mengeluarkan
tenaga. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat, namun segitu jauhnya Jaka terus
dapat mendikte gerakan-gerakan lawan.
Orang-orang yang tadinya mengawatirkan kese-
lamatan Jaka, seketika di bibir mereka terurai senyum.
Mereka berteriak-teriak laksana suporter Indonesia
yang sangat antusias, bahkan kadang-kadang suporter Indonesia melebihi batas
maksimum, membakari tempat duduk stadion dan sering membuat kerusuhan
lainnya. "Adauw... kenapa kalian begitu ganasnya"
Hampir saja kepalaku terbabat ole golok kalian."
"Jangan banyak bacot, Anak muda!" memben-
tak Condet. "Wah, galak nian kau, Mang?"
"Setan! Apa mulutmu itu perlu aku sunat!"
"Ladalah, Mang. Apa memang belum sunat?"
ejek Jaka. "Kalau memang belum sunat, baiklah aku akan membantunya."
Setelah berkata begitu, Jaka dengan segera
berkelebat cepat. Tahu-tahu, tangannya yang jahil telah mencengkeram milik
Condel tanpa dapat dicegah.
Seketika Condet menjerit, kala tangan Jaka meremas
telur burung untanya. Terguling-guling Condet seketi-ka menahan mules.
Melihat Condet sekarat, serta merta keempat-
nya segera menyerang Jaka. Kali ini keempatnya tam-
pak beringas, sepertinya benar-benar ingin mengadu
nyawa. "Hem, rupanya kalian pun ingin merasakannya.
Baik, aku akan memberi pada kalian semua. Nah, te-
rimalah...."
Kembali Jaka berkelebat cepat, tubuhnya me-
lenting tinggi. Mana kala tubuhnya kembali ke bawah, kakinya tiba-tiba menginjak
pundak salah seorang
musuhnya. Karena tenaga dalam dikeluarkan oleh Ja-
ka, ambleslah tubuh musuhnya masuk ke tanah.
Terbelalak ketiga orang sisa musuhnya, bim-
bang untuk menyerang. Melihat hal itu, Jaka yang
memang konyol dan ndableg segera berkata mengejek:
"Heh, inikah tampang-tampang orang yang ser-
ing membuat keonaran" Tak tahunya hanya tampang-
nya saja yang batu, sedang jiwanya tak lebih dari com-bro." Dikata dengan
sebutan Conbro, marahlah
Compal seketika. Hal itu menjadikan Jaka tersenyum-
senyum senang karena pancingannya ternyata berha-
sil. Manakala Compal membabatkan goloknya, dengan
segera Jaka melompat ke atas. Tak ayal lagi, leher temannya sendiri yang terkena
babatan. Compal terbelalak kaget, namun belum juga ia
hilang dari rasa kagetnya Jaka telah lebih dahulu
mengamblaskan tubuhnya ke dalam tanah.
Kini tinggal dua orang lagi yang masih hidup.
Keduanya yang telah ciut nyali, segera jatuhkan diri bersimpuh meminta maaf.
"Aku tak berani mengampuni kalian. Yang ber-
hak atas diri kalian adalah orang-orang kampung itu"
jawab Jaka atas permintaan ampun keduanya. Lalu
dengan tanpa menghiraukan semua yang masih terbe-
lit dengan masalahnya, Jaka segera berkelebat pergi.
7 Seorang lelaki bercaping lebar tengah menyu-
suri pesisir pantai Laut Kidul. Pakaiannya yang tampak lusuh menandakan bahwa
dia telah begitu lama
tak pernah ganti.
Lelaki bercaping lebar itu sesaat berhenti dan
duduk di atas sebuah batu. Matanya yang tajam, me-
mandang lepas ke tengah lautan. Tampak olehnya pe-
rahu nelayan kecil-kecil, terhempas ombak yang besar.
"Itulah kehidupan. Siapa yang berani menang-
gung resiko, dia juga yang akan mendapatkan hasil-
nya." bergumam hati kecil lelaki bercaping itu.
"Pak, sedang apakah bapak duduk me-lamun
sendiri?" Tersentak laki-laki bercaping lebar itu, manaka-
la terdengar seseorang menyapa.
"Eh, ada apakah?" tanyanya bingung.
"Kenapa bapak melamun?"
"Aku, aku tengah memikirkan anakku yang te-
lah tiga bulan ini berlayar, namun tak juga ada kabar
beritanya." jawab lelaki bercaping lebar itu. "Aku kini sebatang kara, Nak."
Pemuda yang diajak ngomong seketika merasa
iba demi mendengar penuturan lelaki bercaping itu.
Mana kala cupingnya dibuka, tampaklah seraut wajah
tua yang tak lain Randu Alasan yaitu patih dari kerajaan Pesisir Putih.
"Kalau memang demikian adanya, bagaimana
jika bapak ikut dengan ku saja?"
"Apakah tidak merepotkan nantinya, Nak?"
"Ah, mengapa merepotkan" Tidak, Bapak."
menjawab pemuda nelayan itu. "Bah-kan aku senang bila bapak mau menemani-ku."
"Terima kasih. Kau sungguh baik budi, Nak."
berkata Randu Alasan. "Jarang anak muda yang berhati sepertimu. Siapakah namamu,
Nak?" "Namaku Wiryo." jawab anak muda nelayan.
"Siapakah nama bapak?"
"Namaku Bangkit, Nak."
Setelah keduanya saling kenal, lalu keduanya
segera berlalu meninggalkan pesisir menuju ke rumah Wiryo. Di sepanjang jalan
keduanya bercerita tentang diri masing-masing. Randu Alasan yang tengah menyamar
sebagai rakyat jelata, mengarang segala cerita yang dapat menutupi dirinya agar
tidak dikenal oleh anak muda itu.
Angin malam berhembus dingin menyekat urat.
Hujan turun rintik-rintik, diselingi oleh deru angin yang lebat dan pesat.
Hingga menjadikan tarian jalang pohon-pohon yang terkena, berdesir-desir.
Randu Alasan yang tengah menyamar menjadi
seorang rakyat jelata, malam itu tengah duduk sendirian. Sementara anak muda
yang telah menganggap
dirinya ayah, telah tertidur pulas karena capai ne-
layan. Mata Randu Alasan menyipit, memandang tak
berkedip ke depan dengan tatapan kosong. Ingatannya pada kerajaannya, yang
membawa Randu Alasan harus mengembara mencari Pendekar Pedang Siluman
Darah. Bayang-bayang kekhawatiran kalau-kalau ge-
rombolan Persekutuan Dewi menyerang tiba-tiba, men-
jadikannya tercekam.
"Ke mana aku harus mencari Pendekar Pedang
Siluman?" keluh hati Randu. "Sungguh bagaikan mencari sebuah jarum di pasir,
sama susahnya."
"Duar...!"
Dewa petir membahana, menyentakkan Randu
dari lamunan. Tengah Randu merenung sendiri, terdengar
olehnya seruan orang-orang warga kampung histeris.
Randu tersigap kaget, seperti juga yang dialami Wiryo.
Wiryo yang waktu itu tertidur, tersentak bangun dan menghampiri Randu.
"Bapak, rupanya ada kejadian."
"Kejadian" Kejadian apa...?" tanya Randu tak mengerti.
"Bapak di rumah saja, biarlah aku yang ke luar.
Tampaknya gerombolan maling itu datang lagi," jawab Wiryo, yang seketika
mengagetkan Randu.
"Gerombolan maling?" gumam Randu.
"Ya, gerombolan maling itu selalu membuat ke-
kacauan," jawab Wiryo dengan keluh. "Kemarin saja membawa korban, tiga orang
mati." "Ah...." lenguh Randu Alasan. "Kenapa mesti ke luar, Nak?"
"Sudah kewajiban, Bapak?"
Randu Alasan sangat kagum atas ucapan anak
angkatnya itu. Betapa anak muda itu mengerti kewaji-
ban, dirinya lebih mementingkan kewajiban daripada
menuntut haknya. Saking kagumnya Randu pada
anak muda itu, sampai-sampai Randu mendesah da-
lam hati. "Sungguh patut dibanggakan anak muda ini.
Kelak akan aku ambil menjadi prajurit kerajaan. Aku yakin, keberaniannya sangat
besar, patut dijadikan su-ri tauladan prajurit lain."
Wiryo yang hatinya tak tenang demi mendengar
jeritan-jeritan penduduk, seketika melompat ke luar, meninggalkan Randu Alasan
yang hanya terbengong
menyaksikan keberanian anak angkatnya.
"Aku harus mengawasi bocah itu," gumam
Randu. Sepertinya ia tak ingin kalau Wiryo menjadi
korban. Maka dengan segera, Randu Alasan berkelebat meninggalkan rumah memburu
ke asal suara jeritan
itu. "Serahkan semua apa yang kalian miliki pada
kami!" membentak pimpinan gerombolan garong itu, menjadikan semua penduduk
menggigil ketakutan.
Wajah garong-garong itu sungguh menakutkan, den-
gan cambang bawuk yang lebat menutupi muka-muka
mereka. "Benar, serahkan apa yang kalian miliki pada
kami. Dan ingat! Jangan sekali-kali kalian berteriak, kalau kalian tidak ingin
seperti kedua orang itu. Mengerti!" hardik yang lainnya.
"Jangan mau! Jangan takut dengan ucapan
sundelnya!"
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, yang
menjadikan garong-garong itu tersentak memutar tu-
buh mereka menghadap pada orang yang berseru itu.
Namun belum juga mereka sadar, seketika orang yang
berseru telah menyerang mereka dengan tendangan-
nya. "Orang-orang macam kalian, harus minggat da-ri sini!" membentak pemuda yang
tak lain Wiryo dengan sengitnya. Tangan dan kakinya bergerak meng-
hantam dan menendang garong-garong itu.
"Kupret! Rupanya hanya seekor tikus yang mau
unjuk gigi!" membentak marah kedua garong dengan sengitnya. "Serang...!"
Tak ayal lagi, kesepuluh garong itu segera ber-
kelebat menyerang Wiryo. Melihat Wiryo dikeroyok, seluruh penduduk yang tadinya
hanya diam ketakutan
serta merta turut membantu. Tak ayal lagi tawuran
masal itu pun segera berjalan dengan seru, seperti


Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

layaknya anak-anak SLTA di Jakarta.
Melihat Wiryo dikeroyok, hati Randu Alasan
makin bertambah kagum melihatnya. Kepalanya dige-
leng-gelengkan pertanda rasa kagumnya. Matanya tak
berkedip memandang pada tawuran itu.
"Jangan kita mau diperbudak oleh mereka!"
Wiryo kembali berseru, membuat semangat keberanian
penduduk kian menjadi,
"Bedebah! Rupanya kau cecunguk yang ingin
menjadi pimpinan. Jangan menyesal menerima akibat-
nya nanti!"
Setelah berkata begitu, dengan garang ketua
rampok membabatkan golok-goloknya. Setiap tebasan goloknya, mengundang pekik
kematian bagi yang terkena. Walaupun begitu, rakyat yang memang tak mau
diperas terus menerus tak mau menyerah begitu saja.
Mereka bahkan makin mengganas, dan dengan
senjata apa adanya berusaha membalas kesepuluh ga-
rong itu. Wiryo yang tengah mengamuk bagaikan ban-
teng ketaton tak menghiraukan apa yang tengah terja-
di. Dia terus merangsek salah seorang anggota garong itu. Dengan segala
kemampuannya, akhirnya Wiryo
dapat menghantamkan pukulan telak di ulu hati mu-
suh. "Bug, bug, bug!"
"Heck...!"
Tubuh garong itu seketika terhuyung ke bela-
kang, lalu ambruk dengan mulut melelehkan darah se-
gar. Wiryo tersenyum sinis dan diludahinya tubuh
anggota garong yang telah mati.
Tengah Wiryo terhanyut dengan apa yang telah
ia lakukan, seketika sebuah sabetan golok berkelebat ke arahnya. Wiryo tersentak
dan berusaha menghindar, namun tebasan golok itu lebih cepat dan meng-
hantam lengannya. Mata Wiryo membeliak, melihat
lengannya terluka mengeluarkan darah.
Melihat Wiryo terluka dengan tubuh terhuyung,
menjadikan musuhnya tampak makin beringas. Ketika
untuk kedua kalinya si garong hendak menebaskan
golok nya ke tubuh Wiryo, seketika sebuah bayangan
berkelebat dengan cepat menangkis serangan itu. Pu-
cat pasi wajah sang garong, merasakan betapa puku-
lan orang yang menangkisnya sungguh menjadikan
tangannya bagai lumpuh hingga golok yang dipegang-
nya seketika jatuh ke tanah.
"Bapak...!" Wiryo yang tahu bahwa orang yang menolong bapak angkatnya berseru,
seakan tak percaya bahwa orang yang kelihatan lemah mampu mem-
buat si garong pucat pasi.
"Patih Randu Alasan...!" tersengat si garong, yang telah mengenal betul siapa
adanya lelaki tua itu.
Hal itu menjadikan Wiryo terbelalak kaget, tak me-
nyangka kalau orang yang menjadi bapak angkatnya
ternyata seorang patih yang sudah kondang namanya.
"Ah, mengapa aku bodoh, tak mau memahami
yang mulia?" keluh Wiryo seakan menyesali kebodo-hannya. Randu Alasan hanya
tersenyum menggeleng-
kan kepala, sembari berkata datar:
"Sudahlah, Wiryo. Kini yang penting kita meng-
halau para cecunguk ini."
Rakyat yang mendengar bahwa lelaki tua peno-
long Wiryo adalah patih kerajaan, seketika kebera-
niannya makin bertambah. Tanpa ada rasa takut, ra-
kyat kembali menyerang serentak. Hal itu menjadikan para garong keteter,
tersentak kaget.
Pertarungan terus berjalan, kini keadaan ber-
balik. Garong-garong itu sungguh merasa takut mana-
kala di situ ada orang kerajaan yang sangat ditakuti.
Nama patih Randu Alasan ternyata jauh lebih
terkenal dan ditakuti oleh para garong daripada nama raja mereka. Kehebatan
patih Randu Alasan dalam
menumpas segala tindak kejahatan, sungguh sangat
membuat namanya kondang bagi musuh-musuhnya.
Karena pikiran kesepuluh garong itu berca-
bang, serta dibayangi dengan perasaan takut membuat kesembilan garong itu tak
tentu dalam bertindak. Hal itu sangat menguntungkan rakyat yang telah terbakar
amarah, maka tak ayal lagi mereka seketika menjadi
ajang kemarahan rakyat. Tubuh mereka berantakan
dibacok-bacok dan direncah oleh rakyat. Matilah ke-
sembilan garong itu dengan keadaan mengerikan.
8 Jaka yang tengah berjalan sambil bernyanyi-
nyanyi segera menghentikan langkahnya, manakala te-
rasa olehnya ada orang mengikutinya.
"Hem, aku tak habis pikir, mengapa banyak
benar musuh-musuhku?" keluh Jaka dalam hati.
Segera Jaka mempercepat larinya, menjadikan
orang yang menguntit tersentak dan berusaha menge-
jar. Namun Jaka tampaknya telah berlari dengan ken-
cang hingga orang itu kehilangan jejaknya.
"Sungguh kencang benar larinya. Apakah aku
tak salah lihat?"
Tengah orang itu bergumam, tiba-tiba terdengar
suara gelak tawa dari atas pohon yang ada di sebelahnya. Bersamaan itu sesosok
tubuh berkelebat turun
dan berdiri di hadapannya.
"Kenapa kau kebingungan, Ki Sanak?"
Orang itu tersentak melompat mundur, ma-
tanya memandang tak percaya pada Jaka yang tahu-
tahu telah berdiri di hadapannya. Napas orang itu turun naik, sepertinya telah
dilanda emosi yang meme-
nuhi rongga-rongga dadanya.
"Ki Sanak mengejarku, ada apa?" tanya Jaka.
"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg atau Pen-
dekar Pedang Siluman Darah?" tanya orang itu dengan sorot mata tak berkedip,
memandang pada Jaka yang
seketika mengerutkan alis matanya.
"Aneh, kenapa namaku begitu terkenal dan di-
cari-cari?" bergumam hati Jaka masgul.
"Benar adanya, ada gerangan apa Ki Sanak
mencariku?"
"Kebetulan."
Tersentak Jaka mendengar jawaban orang itu,
yang dirasa sangat aneh. Mengapa orang yang baru sa-ja bertemu mengatakan
kebetulan" "Ah, sungguh dunia ini penuh dengan keanehan." mengeluh hati Jaka.
Lalu dengan ketidakmengertian, Jaka bertanya.
"Apa yang Ki Sanak maksud kebetulan" Adakah
kita pernah saling memendam sengketa?"
"Benar! Memang aku mencarimu untuk menye-
lesaikan sengketa antara kita."
Untuk kesekian kalinya Jaka tersentak kaget.
Matanya memandang tak berkedip, hatinya penuh
tanda tanya. Belum juga Jaka mengerti, lelaki yang
berdiri di hadapannya kembali berkata:
"Aku adalah kakak seperguruan Balong Sakti.
Karena aku mendengar kau telah mampu menunduk-
kan adik-adikku, aku menjadi tertarik untuk menjajal seberapa ilmu yang kau
miliki sehingga kau mampu
menundukkan ketiga adik-adikku."
"Aku rasa aku tak pernah menundukkan siapa-
siapa, karena itu aku tak ingin mengurusinya lagi.
Nah, aku minta pamit."
Ketika Jaka hendak kembali berkelebat, tiba-
tiba lelaki yang mengaku kakak seperguruan Ki Cupir, Balong dan Lumajang
berkelebat menghadangnya serta menyilangkan tongkatnya yang panjang terbuat dari
kayu alami. "Kenapa kau begitu sombongnya, Anak muda?"
berkata lelaki itu dengan sengit.
"Apakah kau tak mau memberikan pelajaran
barang sedikit padaku?"
"Maaf, aku bukannya guru. Untuk itu, sekali
lagi menyingkirlah."
"Setan! Kau meremehkan aku, Anak muda!"
menggeretak marah lelaki di hadapan Jaka. "Jangan kira aku takut pada nama
besarmu yang telah kondang itu. Ayo, kita buktikan!"
Tengah Jaka tersentak kaget mendengar tan-
tangan dari lelaki yang menyebut dirinya kakak seperguruan ketiga orang yang
telah dikalahkan, tiba-tiba terdengar suara seruan seseorang memanggil na-
manya. "Jaka...! Biarkan orang dungu itu aku yang menghadapinya!"
Berbareng dengan hilangnya suara itu, berkele-
bat sesosok tubuh yang tahu-tahu telah berdiri di hadapan Jaka. Lelaki yang baru
datang memandang ta-
jam pada orang yang mengaku kakak seperguruan Ki
Cupir. "Paman patih, tak usahlah paman patih repot-repot," berkata Jaka yang
telah tahu siapa adanya lelaki di hadapannya. "Adakah paman patih mempunyai
keperluan?"
"Itu nanti kita bicarakan, yang penting kita be-reskan orang sinting ini."
Mendengar ucapan Randu Alasan, marahlah
seketika orang yang mengaku-aku sebagai kakak se-
perguruan Ki Cupir. Maka dengan amarah yang me-
luap-luap, lelaki itu membentak.
"Siapa kau, Orang tua!"
"Aku..." Bukankah kau telah mendengar dari
anak muda temanku ini?" balik bertanya Randu Alasan. "Siapa pula namamu, Ki
Sanak?" "Aku Ludra Lanang!" menjawab lelaki itu ketus, matanya tajam menghunjam pada
Randu Alasan seakan sorotnya membersit rasa ketidaksenangan atas
campur tangan Randu Alasan. "Kalau memang kau
hendak ikut campur, baiklah mari kita mulai!"
Mendengar tantangan itu, Randu Alasan terse-
nyum. Sesaat ditatapnya Jaka yang juga tersenyum,
lalu dengan tenang Randu Alasan berkata:
"Ludra Lanang, kalau itu yang kau mau, ayo-
lah." Setelah berkata, Randu Alasan segera berkelebat mencari tempat yang cukup
lebar diikuti oleh Lu-
dra Lumajang di belakangnya.
Jaka yang menyaksikan hal itu hanya geleng
kepala, lalu Jaka pun segera berkelebat menuju ke
tempat di mana mereka hendak mengadakan perta-
rungan. "Di sini, Ludra. Bukankah di sini luas?"
"Apa maumu aku layani. Ayo kita mulai, mana
senjatamu?"
"Aku tak membawa senjata. Ayolah aku tangan
kosong." "Sombong! Jangan lengah, Ki Patih!" Dengan didahului pekikkan, Ludra Lanang
segera berkelebat
menyerang. Tongkat di tangannya diputar-putar mem-
bentuk baling-baling, berdesing-desing bagaikan ri-
buan lebah. Randu Alasan yang telah berpikir akan keheba-
tan tongkat di tangan Ludra Lumajang tercekam juga.
Segera Randu Alasan membersit, lalu dikeluarkannya
jurus Seribu Naga Menghalau Badai. Tubuh Randu
Alasan berkelebat cepat, tangannya bagaikan berubah menjadi banyak. Tangan itu
menyambar-nyambar
dengan keras, menjadikan angin pukulannya bagaikan
deru badai. Kedua tubuh mereka seperti hilang, ber-
ganti dengan warna-warna pakaian mereka. Jaka
hanya mampu menggumam, tak dapat memikirkan
apa yang terjadi.
"Sungguh mereka orang-orang berilmu tinggi.
Sayang, Ludra Lanang mengikuti hawa emosinya."
"Jangan lengah, Ki Patih!" membentak Ludra Lanang. Tangan yang memegang tongkat
bergerak cepat, menyodok ke perut Randu Alasan. Randu Alasan
tersentak manakala ujung tongkat itu hendak menyo-
dok perutnya, segera Randu Alasan melompat mundur.
Melihat musuhnya melompat mundur, Ludra
Lanang yang merasa telah mampu membuat musuh-
nya melompat ketakutan oleh sodokan tongkatnya
makin bernafsu. Kembali tongkat di tangannya berge-
rak cepat, menyodok ulu hati Randu Alasan. Randu
Alasan yang baru saja berkelit, untuk kedua kalinya harus mengerahkan segenap
tenaganya mengelak. Tubuh Randu Lanang bergerak cepat, menangkis seran-
gan tongkat maut.
"Duk...!"
"Aah...!" Randu Alasan memekik, manakala
tangannya beradu dengan tongkat di
tangan Ludra Lanang. Wajah Randu Alasan seketika
pucat, merasakan tangannya seperti remuk tulangnya.
Randu Alasan yang tak ingin mendapat malu di
hadapan pendekar Pedang Siluman Darah, membentak
marah. Lalu dengan disertai bentakkan, Randu Alasan kembali menyerang. Tangannya
menggenggam keris
pusaka Rawe Jingga, membersit dengan dengus yang
memburu. Ludra Lanang tersentak membelalakkan mata,
manakala melihat sinar yang memancar pada keris
yang di pegang Randu Alasan. Dan ketika keris itu
hendak menusuk ke lambungnya, serta merta Ludra
Lanang menangkisnya dengan tongkat.
"Brak...!"
Tongkat di tangan Ludra Lanang seketika patah
menjadi dua, terbabat oleh keris pusaka Rawe Jingga.
Pucat pasi wajah Ludra melihat kenyataan itu, dan
dengan segera Ludra Lanang melompat mundur maka
kala untuk kedua kalinya Randu Alasan menusukkan
kerisnya. "Suiiitt...!"
Tersentak Jaka dan Randu Alasan, demi men-
dengar suitan yang dikeluarkan oleh Ludra Lumajang.
Bareng dengan habisnya suitan itu, seketika berpuluh-puluh orang keluar dari
semak-semak. "Curang!" memberetak Jaka marah.
"Pengecut...!" tak kalah marahnya Randu Alasan. Jaka segera melompat turun dari
atas pohon dan menghantam dengan ajiannya pada orang-orang
yang hendak mengeroyok Randu Alasan. Maka tak ayal
lagi, orang-orang yang terkena hantamannya melengk-
ing dan mati dengan tubuh meleleh.
"Serang...!" Ludra Lanang kembali berseru.
Bagaikan tak mengenal takut, empat puluh
anak buahnya seketika berkelebat menyerang dua
orang musuhnya. Pertarungan tampak ramai, dengan


Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pekikan-pekikan yang memecah hutan itu.
Kembali Jaka yang mempunyai ide konyol ber-
seru, manakala tombak di tangan musuhnya menyo-
dok ke arahnya.
"Ampun...! Mengapa kau hendak menyate ku"
Aku bukan kambing, Mas!"
Habis berseru begitu, secepat kilat Jaka men-
gulurkan tangannya. "Maaf, aku pinjam tombak mu.
Nah, begini caranya kalau hendak membuat sate." Ta-hu-tahu tanpa dapat diikuti
gerakannya Jaka telah
merebut tombak dari tangan musuhnya yang tadi hen-
dak menusukkan tombak.
Belum juga sang musuh tersadar dari rasa ka-
getnya, tiba-tiba tombak yang berada di tangan Jaka bergerak cepat dan menusuk
dari kepala tembus sampai ke pantat. Tak ayal lagi, memekik lah orang itu
tubuhnya tersate.
Melihat temannya tersate oleh tombaknya sen-
diri, seketika marahlah yang lain. Serentak semuanya segera menyerang Jaka, yang
tersentak dan memben-
tak marah. "Kalian orang-orang tak mau diuntung! Hem,
jangan menyesal kalau aku bertindak telengas. Nah,
terimalah ini."
Habis berkata begitu, serta merta Jaka menge-
luarkan ajiannya Bayu Sakti. Seketika semua musuh-
nya terpelanting, dibawa oleh angin topan puting be-liung. Tubuh-tubuh mereka
beterbangan dan ambruk
dengan tulang-belulangnya bagaikan remuk. Mereka
hanya dapat menggerung-gerung menangis kesakitan.
Melihat anak buahnya berantakan tersapu
ajian Bayu Sakti, ciutlah hati Ludar Lanang. Tanpa pikir panjang, Ludra Lanang
segera ambil langkah seribu tinggalkan kedua orang musuhnya yang hanya
tersenyum. "Jaka, kerajaan sangat menunggu kedatanganmu," berkata Randu Alasan
setelah semua musuhnya lari berhamburan, membuat Jaka tersentak kaget
dan bertanya: "Ada gerangan apa, Ki Patih?"
"Kerajaan kini tengah dilanda oleh teror yang
dilakukan Persekutuan Dewi. Apakah kau belum men-
dengarnya, Jaka?"
"Aku telah mendengarnya, Paman Patih. Na-
mun aku belum sempat menyelidiki siapa adanya to-
koh di balik semua ini." menjawab Jaka. "Kalau memang itu yang Paman Patih
maksudkan, percayalah
aku akan datang ke kerajaan pada waktunya."
"Ah, terima kasih aku ucapkan terlebih dahu-
lu," berkata Randu Alasan. "Sekarang hendak ke manakah kau, Pendekar?"
Jaka mendesah sesaat, matanya memandang
kosong ke muka. Keduanya segera berjalan pergi me-
ninggalkan tempat itu. Setelah lama terdiam, Jaka
kembali berkata:
"Aku hendak mencari tokoh di balik semua ke-
jadian yang kini melanda dunia, khususnya biang dari bangkitnya kerusuhan yang
dulu telah menghilang.
Aku rasa, ada orang yang telah membantu Angelir si
Dewi Bunga Kematian."
"Aku pun berpikir begitu, Jaka. Tapi aku tak
mengerti siapa tokoh itu?" bergumam Randu Alasan.
Digeleng-gelengkan kepalanya seperti ada sesuatu
yang berat menggayut di pikirannya.
"Baiklah, Paman Patih. Sekarang kau pulanglah
dulu. Aku rasa, tenagamu sangat diperlukan di kera-
jaan." "Baiklah, aku akan kembali. Aku tunggu keda-tanganmu, Pendekar," menjawab
Randu Alasan. "Nah, selamat tinggal dan selamat berjuang."
Setelah terlebih dahulu menjura hormat, Randu
Alasan segera berlalu meninggalkan Jaka yang hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Sungguh aneh, kenapa Dewi Bunga kematian
yang telah digegerkan menghilang tiga tahun yang lalu kini muncul lagi" Bahkan
makin merajalela dengan ilmunya yang makin tinggi?" bergumam Jaka sendirian.
Maka dengan segera, Jaka pun berkelebat pergi me-
ninggalkan hutan itu yang kembali sepi dan sunyi. Angin siang mendesau berat,
sepertinya merasakan keberatan derita yang telah ditanggung oleh dunia.
9 Tubuh kakek tua itu berkelebat dengan cepat,
berlari menuju hutan Barong di mana berdiam Rangga
Bargawa. Lelaki tua yang tak lain Ki Rake Pinuluh,
berhenti di depan goa yang dihuni Rangga Bargawa
atau Banas Pati.
"Rangga Bargawa, keluar kau!" serunya. Sesaat kemudian, dari dalam goa ke luar
seorang lelaki sama tuanya menemui Rake Pinuluh. Lelaki tua itu bukannya
berjalan, namun terbang. Dialah Rangga Bargawa
atau Banas Pati.
"Ada apa, Pinuluh?"
"Dasar orang tua tak tahu diri kau, Banas pati.
Kenapa kau tak segera mau sadar?" berkata Rake Pinuluh. "Usiamu sudah bau tanah,
mengapa kau masih saja gila?"
Mengerut kening Rangga Bargawa demi men-
dengar ucapan Rake Pinuluh. Lalu dengan tak menger-
ti maksud Rake Pinuluh, Rangga Bargawa bertanya.
"Apa maksudmu, Pinuluh?"
"Bojreng-bojreng! Rupanya kau memang pikun!
Untuk apa kau menyuruh Angelir berbuat edan?"
Tertawalah Rangga Bargawa setelah mendengar
ucapan Rake Pinuluh, sehingga saking kerasnya ia tertawa tubuhnya sampai
terguncang-guncang.
"Itu hakku, Pinuluh," jawab Bargawa seenaknya. "Edan! Hal gila kau kerjakan.
Apakah kau kira kau mampu menghadapi semuanya?" kembali Pinuluh berkata.
"Ketahuilah olehmu, bahwa musuhmu kini telah tiada. Kenapa kau masih saja
mengumbar den- dam" Apakah kau tak memikirkan usiamu yang telah
bau tanah itu, Bargawa?"
"Pinuluh.... Itu adalah hakku, sekali lagi itu semua hakku. Akulah yang akan
menanggung semuanya. Jangan kau ikut campur."
"Hem, kau kira kau akan mampu," menyibir Pi-
nuluh, menjadikan Bargawa marah.
"Bedebah! Kau rupanya telah bertaring seka-
rang, Pinuluh!"
"Huh.,. Apa yang perlu aku takuti dalam usiaku yang telah renta ini, Bargawa?"
berkata Pinuluh ketus.
"Kalaupun aku mati maka memang sepantasnyalah
aku mati."
"Jadi kau memang ingin mati, Pinuluh?" menggeretak Bargawa marah, demi mendengar
ucapan Pi- nuluh yang seperti mengejeknya. Dengan mendengus,
Bargawa segera berkelebat menyerang.
Pinuluh yang sudah maklum siapa adanya Bar-
gawa, maka ia pun telah waspada. Hingga ketika Bar-
gawa menyerang, dengan segera Pinuluh berkelit.
Tak ayal lagi, dua tokoh tua persilatan itu pun
terlibat perkelahian. Walau usia mereka telah sama-
sama tua, namun gerakan keduanya nampak begitu
lincahnya. Jurus demi jurus terlalui dengan cepat-nya, se-
pertinya tak dihiraukan oleh keduanya. Hampir enam
puluh jurus berlalu, namun tampaknya kedua orang
tua itu tak ada yang mau mengalah. Ajian-ajian yang mereka miliki telah diumbar,
dengan harapan dapat
segera menjatuhkan musuh. Walaupun begitu, ternya-
ta ajian-ajian mereka tak ada artinya.
"Pinuluh, jangan harap kau akan mampu men-
galahkanku."
"Aku tak bermaksud mengalahkanmu Barga-
wa," menjawab Pinuluh. "Aku hanya menghendaki kau sadar." "Cih... Jangan
berlagak seorang resi, Pinuluh!"
membentak Bargawa dengan penuh kemarahan. Dili-
patgandakan tenaga dalamnya, menyerang Pinuluh.
Pinuluh tak mau tinggal diam, dia pun segera
melipatgandakan serangannya. Perkelahian makin se-
ru, sepertinya kedua orang itu tak akan segera menghentikan pertarungan.
* * * Sementara di tempat lain, yaitu di kerajaan ge-
rombolan Persekutuan Dewi, Angelir tengah memanggil seluruh prajuritnya untuk
mengadakan pertemuan.
Angelir atas saran Loro Ireng, bermaksud mengadakan penyerangan ke Kerajaan
Pesisir Putih. "Para prajuritku. Malam nanti, kita akan men-
gadakan penyerbuan yang besar. Siapkan diri kalian, sebab yang akan kita serbu
adalah sebuah kerajaan,"
berkata Angelir.
"Daulat, Sri Ratu. Kami telah siap,"! menjawab semua prajurit.
"Bagus! Nanti malam, akulah yang akan me-
mimpin kalian menyerbu ke Kerajaan Pesisir Putih."
Sesaat Angelir terdiam, hatinya seketika menje-
rit. Rasa sedih dan cinta, beraduk menjadi satu. Sedih dan dendam karena
ayahandanya dibunuh oleh orang
yang dicintainya. Tanpa terasa, Angelir seketika menangis. Hal itu menjadikan
semua terdiam tak ada
yang berani berkata-kata, apalagi bertanya.
"Ada apa gerangan, Angelir?" Loro Ireng yang baru saja datang, seketika
mengajukan pertanyaan
demi melihat Angelir menangis. "Angelir, tak baik kau selalu mengenang masa
silam. Bukankah kita ingin
menjadikan diri kita kokoh?"
Tersenyum Angelir mendengar penuturan kera-
batnya. Dengan segera Angelir menyeka air mata. Ditatapnya Loro Ireng, lalu
dengan tersenyum Angelir mengangguk. Loro Ireng tersenyum melihat Angelir telah
dapat menguasai diri. Memang Loro Irenglah yang sela-lu mendorongnya untuk tetap
tegar, tidak rapuh.
"Apa kita jadi mengadakan penyerangan nanti
malam?" "Jadi, Loro," jawab Angelir pendek.
"Bagus, Angelir. Semoga dengan penyerbuan
ini, semua orang-orang persilatan akan membuka ma-
ta." "Benar ucapanmu, Loro. Semua mata orang-
orang persilatan, akan membuka mata dan melihat
siapa kita, hi, hi, hi...!"
Kedua gadis itu tertawa bergelak-gelak, menja-
dikan ruangan itu seketika bagaikan terpecah. Semua anak buahnya hanya mampu
terbengong, tak ada yang
berani berkata apapun. Namun ketika pimpinan mere-
ka berkelebat pergi, mereka pun tertawa bergelak.
* * * Tengah Angelir duduk merenung seorang diri,
tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan berkelebat di hadapannya. Tersentak Angelir
seketika itu, lalu dengan segera Angelir berlari mengejar.
"Berhenti...!"
Tapi bagaikan tak mendengar seruan Angelir,
lelaki itu terus berlari. Hal itu menjadikan Angelir yang penasaran terus
mengejar. Dengan menggunakan ilmu
larinya, Angelir melesat dengan cepat dan tahu-tahu telah berdiri menghadang.
"Berhenti!"
"Siapa kau" Kenapa kau menghadang langkah-
ku?" tanya pemuda yang merasa di-hadang oleh Angelir.
"Apakah kau tak merasa telah memasuki dae-
rah ku, Pemuda tampan?" bertanya Angelir dengan genit. Hatinya begitu terpana
oleh wajah pemuda itu.
"Siapakah namamu. Pemuda tampan?"
"Apa perlumu menanyakan namaku."
"Apakah aku tak boleh mengenal namamu?"
Angelir yang cantik segera merayu, menjadikan hati
pemuda itu bergema bagaikan gong dipukul dengan
kencangnya. Hatinya seketika bergetar, melantunkan
tembang kasmaran. Pemuda itu terdiam membisu,
hanya matanya saja yang memandang tak berkedip.
Melihat pemuda tampan itu terdiam, Angelir yang me-
rasa jeratnya telah mengena segera menghampiri.
Disenderkan kepalanya pada pundak pemuda
itu, yang seketika gemetaran dengan badan terasa panas dingin. Pemuda itu baru
saja turun gunung, hing-ga ia tak mengerti liku-liku sesungguhnya dunia ra-
mai. "Kau mau denganku?" tanya Angelir manja, menjadikan pemuda itu makin
gemetaran. Tak disada-rinya, keringat dingin mengalir deras. "Kau suka padaku?"
"Kau tak bercanda, Nona?" pemuda itu balik bertanya.
"Kenapa aku mesti bercanda" Kau tampan, aku
suka." Angelir terus merayu, menjadikan pemuda itu akhirnya jatuh. Di hati
pemuda itu, tumbuh bayangan-bayangan keindahan. Khayalnya yang ngeres seketika
menyelimuti pikirannya. Dengan gemetaran, tangan
pemuda itu membelai rambut Angelir. Angelir hanya
tersenyum, sepertinya senang.
"Benarkah kau suka padaku, Nona?" tanya pemuda itu seakan hendak memastikan
ucapan Angelir.
"Benar! Aku menyukaimu, Pemuda tampan!"
kata Angelir, diikuti dengan kerling mata genit. "Siapa
namamu?" "Namaku Jaga Bayu."
"Nama yang indah, setampan pemiliknya." bergumam Angelir sepertinya mengagumi
Jaga Bayu. "Namaku, Dewi Angelir. Jaga Bayu, maukah kau menjadi pendamping ku?"
Tersentak Jaga Bayu demi mendengar permin-
taan Angelir. Matanya seketika memandang Angelir tak percaya. Melihat hal itu,
Angelir tersenyum seraya
mengangguk-kan kepalanya.
"Kau tak bercanda, Angelir?"
"Tidak, aku tak bercanda." menjawab Angelir, lalu dengan tak disangka oleh Jaga
Bayu, Angelir telah menciumnya. Jaga Bayu tersentak, namun seketika
tersenyum. Dengan agak gemetaran, Jaga Bayu mem-
balas mencium bibir Angelir.
* * * Pertarungan antara Rangga Bargawa dengan
Rake Pinuluh, masih terus berlangsung. Sudah ratu-
san jurus mereka keluarkan, namun sepertinya mere-
ka tak akan bakalan ada yang menang ataupun kalah.
Rake Pinuluh kini mengambil senjata pusa-
kanya, yang berupa sebuah tasbih bernama Tasbih
Kematian. Sementara Rangga Bargawa, kini telah men-
geluarkan senjata andalannya yang bernama Siwur
Maut. "Waspada Pinuluh, jangan sampai lengah!"
"Sedari mula aku telah waspada, Bargawa!"
menjawab Pinuluh. "Ayolah, apa-apa mu aku ladeni."
"Terima seranganku ini. Hiat...!"


Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan cepat, Rangga Bargawa segera berkele-
bat menyerang. Siwur Mautnya bergerak membabat,
mematuk tubuh Pinuluh. Namun Pinuluh bukanlah
tokoh persilatan kelas kroco yang dengan mudah dapat dijatuhkan. Pinuluh dengan
senjatanya Tasbih Kematian, berkelebat sesekali membalas menyerang.
Melihat hal itu, Bargawa yang memang licik pe-
nuh siasat tak mau melihat Pinuluh menang atas di-
rinya. Maka dengan segala kelicikannya, Bargawa be-
rusaha menjatuhkannya. Ketika Pinuluh lengah, Bar-
gawa secepat kilat menghantamkan Siwur Mautnya.
Pinuluh tersentak dan berusaha menghindar, tapi ge-
rakannya begitu lambat. Siwur Maut di tangan Barga-
wa, seketika menghantamnya.
Pinuluh terhuyung-huyung ke belakang dengan
darah meleleh di sela-sela bibirnya. Matanya meman-
dang tajam pada Bargawa, mulutnya mendesis marah,
"Licik kau, Bargawa!"
"Tak ada istilah licik atau tidak pada perkelahian, Pinuluh" Bagiku, licik atau
tidak yang pasti aku harus dapat mengalahkanmu."
"Jangan bangga dulu, Bargawa. Aku belum ka-
lah," mendengus marah Pinuluh. Lalu dengan segera, Pinuluh kembali berkelebat
menyerang. Bargawa tertawa bergelak, menghindari seran-
gan Pinuluh. Kembali Siwur Mautnya berkelebat cepat, dan untuk kedua kalinya
menghantam tubuh Pinuluh.
Kembali Pinuluh terhuyung mundur, Makin
banyak darah yang ke luar dari sela-sela bibirnya. Matanya yang tadinya garang,
kini redup. "Apakah aku akan mati sekarang?" bergumam hati Pinuluh.
Tangannya terus memegangi dada yang terasa
sakit, menjadikan Pinuluh tak dapat lagi mengendalikan keseimbangan tubuhnya.
Melihat musuhnya dalam keadaan luka dalam,
Bargawa tak mau membiarkan begitu saja. Dengan di-
dahului gelak tawa, Bargawa hendak menghantamkan
Siwur Mautnya ketika terdengar suitan yang dibarengi dengan berkelebatnya
sesosok bayangan menghantam
Siwur Maut. Tersentak Bargawa melompat mundur, ketika
dirasakan Siwur Mautnya ada yang menghantam. Be-
tapa gusarnya hati Bargawa, ketika dilihat Siwur
Mautnya hancur berantakan. Mata Bargawa seketika
memandang pada siapa yang telah membuat Siwur
Mautnya hancur.
"Siapa kau, Anak muda"!" membentak Bargawa marah. Belum juga pemuda itu menjawab
pertanyaan Bargawa, Pinuluh yang masih memegang dadanya
yang terasa sakit telah mendahului menjawab.
"Dialah murid Ki Bayong, Bargawa."
"Hua, ha, ha.... Kebetulan! Gurunya telah tak ada, maka muridnyalah yang harus
menerima pembalasanku. Gurumu telah membuat aku begini, maka
kau pun akan menerima ganjarannya atas perbuatan
guru-mu." "Ha, ha, ha.... Lucu, sungguh lucu. Apakah kau ini orang waras, atau orang
gila?" berkata Jaka, menjadikan Bargawa melotot kaget. "Orang bangkotan! Se-
harusnya kau bersyukur kalau guru tidak sampai me-
remas tulang-tulangmu yang seperti besi karatan itu.
Eh, kenapa kau masih juga nekad?"
"Kunyuk! Lancang mulutmu, Anak muda!"
"Wah, aku rasa aku tidak lancang. Aku mengira
kau orang dungu yang melebihi kerbau. Otakmu tak
kau pakai." menjawab Jaka, menjadikan Bargawa makin bertambah sewot.
"Edan! Rupanya kau mencari mampus, Anak
muda!" Mendengar ucapan Bargawa, seketika meledak-lah tawa Jaka bergelak-gelak.
Tawanya yang disertai ajian Pekik Buana, menjadikan telinga Bargawa bagaikan
dipukul oleh ribuan kati. Mau tak mau, Bargawa
harus menggerakkan tenaga dalam untuk menutup
gendang telinganya. Begitu juga Rake Pinuluh, ia pun harus mengeluarkan tenaga
mencegah suara tawa Ja-ka.
"Bargawa! Aku kira namamu yang berjuluk Ba-
nas Pati itu menyeramkan. Eh, tak tahunya seperti
seekor caring, ha, ha, ha...."
"Bedebah! Jangan kau kira aku tak dapat me-
lumatkan dirimu, Anak muda!" menggeretak marah Bargawa, demi mendengar ucapan
Jaka yang nadanya
mengejek. "Wau.... Rupanya kau pembuat kue Talam, se-
hingga ucapanmu selalu seperti tepung terigu," Jaka makin konyol berkata,
membuat Rangga Bargawa gedeg. "Monyet! Terimalah kematianmu."
Habis berkata begitu, Bargawa segera merapal-
kan ajian Betari Durga. Seketika tubuhnya berubah
menjadi raksasa. Namun Jaka yang melihat bentuk
raksasa itu, malah tertawa bergelak-gelak menjadikan Pinuluh mengerutkan
keningnya. "Kenapa kau tertawa, Anak muda" Bukankah
itu sungguh bahaya?"
"Tenanglah, Ki. Jangan gentar menghadapi ini.
Percayalah padaku."
Setelah memberi saran pada Ki Pinuluh, Jaka
dengan segera merapalkan ajian warisan Ki Bayong.
Sesaat Jaka duduk bersila, dan dari mulutnya ke luar ucapan mantra.
"Buto Dewa Wisnu...!"
Perlahan tubuh Jaka berubah menjadi buto
yang menyeramkan, bernama Buto Dewa Wisnu
"Kau lucu Bargawa. Kenapa kau menjadi Betari
Durga, hua... ha... ha!" Buto Dewa Wisnu tertawa bergelak-gelak, menjadikan gema
yang berturut-turut
memecahkan bukit-bukit.
Tanpa banyak kata, Betari Durga segera berke-
lebat menyerang Dewa Wisnu. Pertempuran dua rak-
sasa Dewa itu tak dapat dihindarkan.
Setiap sabetan atau tendangan kedua raksasa
itu, menjadikan bumi seakan diguncang. Senjata ke-
duanya bukan senjata biasa, tapi bukit-bukit batu
yang dicabut dari tempatnya.
Ki Pinuluh yang tidak menyangka bahwa kedu-
anya mempunyai ajian yang sama, tercekam ketaku-
tan. Hatinya yang dicekam rasa takut bergumam:
"Sungguh dahsyat ajian mereka. Kalau saja
Bargawa tadi menghendaki kematianku, niscaya aku
dengan mudah dilumatnya. Beruntung Pendekar Pe-
dang Siluman Darah datang. Kalau tidak, aku tak da-
pat membayangkan."
Kedua raksasa itu masih seru bertempur den-
gan segala ajian yang mereka miliki.
Ketika kedua raksasa itu tengah seru-serunya
bertempur, seseorang lelaki berlari menuju ke arahnya.
Pemuda itu yang tak lain Satria Wulung segera bergegas menghampiri gurunya.
"Guru, kau seperti terluka."
"Ah, hanya luka kecil, Muridku," menjawab Pinuluh. "Sekarang lihatlah olehmu dua
raksasa yang tengah bertempur itu."
Satria Wulung seketika menengok, memandang
pada kedua raksasa yang tengah bertarung itu.
"Kenapa dua raksasa itu bertempur, Guru?"
"Kau tahu siapa di antara mereka?" tanya Pinuluh pada muridnya yang hanya
menggeleng. "Ketahuilah olehmu, salah satu raksasa itu adalah penjelmaan
pendekar Pedang Siluman Darah."
Terbelalak mata Satria Wulung, demi menden-
gar perkataan gurunya. Matanya seketika menatap ta-
jam pada pertarungan dua raksasa yang masih ber-
langsung, tiba-tiba Satria Wulung berseru. "Lihat, Guru. Raksasa lelaki itu
tiba-tiba memegang pedang.
Pedang itu.... Heh, pedang itu mengeluarkan darah,
Guru" Dari mana pedang itu datang?"
"Itulah Pedang Siluman Darah, Muridku." menjawab Pinuluh, menerangkan. "Pedang
itu akan datang sendiri, bila pendekar muda itu membutuhkannya."
Tengah kedua guru dan murid tercengang tak
mengerti, terdengar salah seorang raksasa itu meme-
kik. Pekikkannya begitu membahana. Habis pekikkan
itu, terdengar bergedebugnya tubuh raksasa Batari
Durga terbelah menjadi dua oleh Pedang Siluman Da-
rah. Setelah dirasa musuhnya telah mati, Jaka
kembali ke bentuk semula. Sedang Pedang Siluman
Darah, secara tiba-tiba lenyap dari genggaman tangan Jaka. Kedua guru dan murid
segera memburu ke
arah Jaka, yang tersenyum menyambut kedatangan
mereka. "Tuan pendekar, terimalah hormat. hamba,"
berkata Satria Wulung, menjadikan Jaka seketika
mengernyitkan keningnya.
"Siapakah kau, Anak muda?" tanya Jaka.
"Dia muridku, Tuan. Dia ingin meminta petun-
juk darimu," menjawab Pinuluh, menjadikan Jaka
manggut-manggut mengerti. "Terimalah dia sebagai abdimu, Tuan pendekar."
"Ah, Ki. Aku bukanlah tuan tanah. Aku tak
mau menganggap semua mahluk di muka bumi ini ab-
di. Aku rasa, semua manusia itu sama derajatnya."
menjawab Jaka, menjadikan Pinuluh manggut-
manggut. "Kalau memang muridmu ingin ikut denganku, aku tak keberatan. Asalkan
dia mampu mengikuti-
ku ke mana aku pergi. Bukan begitu, Ki?"
"Benar Tuan pendekar," menjawab Ki Pinuluh.
"Nah, Muridku. Kini kau akan dapat pelajaran tamba-han yang sangat berguna dari
tuan pendekar Pedang
Siluman Darah."
"Terima kasih, Tuan pendekar," berkata Satria Wulung seraya menjura hormat.
"Ah, tindak-tandukmu sungguh santun. Siapa
namamu?" "Nama hamba, Satria Wulung," menjawab Sa-
tria. "Satria, aku akan mengujimu sampai seberapa ilmu dan keteguhan hatimu."
Terbelalak mata Pinuluh dan muridnya, demi
mendengar ucapan Jaka.
Mereka mengira kalau Jaka akan menguji Sa-
tria dengan ilmu yang dimiliki. Memang bukan tak
mungkin kalau Jaka bertindak begitu. Jaka terkenal
ndableg, suka bertindak yang di luar pikiran orang
lain. Namun kedua guru dan murid seketika terse-
nyum, manakala mendengar penuturan Jaka.
"Kalian jangan salah duga. Memang tingkah la-
ku ku sering tak terpikir oleh orang lain. Tapi muridmu bukan hendak aku uji
dengan ilmu yang aku miliki.
Aku hendak membawanya untuk menghadapi kakak
seperguruannya yang telah bertindak telengas," berka-
ta Jaka menerangkan. "Apakah Ki Pinuluh tak mendengar bahwa salah seorang
muridmu telah mengabdi
pada Dewi Bunga Kematian?"
"Apa...?" terbelalak mata Ki Pinuluh dan Satria, mendengar ucapan Jaka. "Apakah
tuan pendekar tidak tengah bercanda?"
"Tidak, Ki. Maka itu, aku meminta ijin mu un-
tuk mengadu kedua muridmu." Jaka menerangkan.
"Kalau memang harus ada salah seorang muridmu
yang mati, aku rasa
itu karena kesalahannya sendiri. Bagaimana, Ki?"
"Aku serahkan semuanya padamu, Tuan pen-
dekar." "Terima kasih, Ki?" menjawab Jaka. "Ayo, Satria...!" Setelah Satria
Wulung menjura sesaat pada gurunya, segera Jaka membawanya berlari pergi. Satria
begitu tersentak, manakala Jaka lari bagaikan angin saja.
10 Kerajaan Pesisir Putih malam itu tengah dilan-
da pemberontakan yang dipimpin oleh Dewi Bunga
Kematian. Peperangan antar prajurit gerombolan Per-
sekutuan Dewi dengan prajurit-prajurit dua kerajaan terus berlangsung.
Melihat anak buahnya terdesak oleh pasukan
kerajaan, Dewi Bunga Kematian nampak begitu marah.
Seketika ia berkelebat, menyerang musuh-musuhnya.
Ajian Gugur Gunung diumbar dengan membabi buta,
menjadikan pekik-pekik kematian bagi yang terkena.
"Wulung Seta, keluar kau!" berseru Angelir.
Wulung Seta yang ada di dalam, seketika me-
lompat ke luar. Hal itu menjadikan gelak tawa Dewi
Bunga Kematian. Lalu dengan senyum sinis, si Dewi
tersenyum dan berkata:
"Wulung Seta, apa kabarmu" Rupanya kita di-
pertemukan lagi. Sayang, pertemuan ini bukan perte-
muan seperti tiga tahun yang lalu. Kini akulah mu-
suhmu, ha, ha, ha...!"
"Sudah aku duga, kalau kau akhirnya datang
juga. Kau harus membayar mahal atas segala perbua-
tanmu, Angelir!" membentak Wulung Seta geram. Di-cabutnya keris pusaka Ronggeng
Kelana, yang me-
mancarkan sinar aneh kekuningan. Dengan disertai
pekikkan, Wulung Seta yang sudah dilanda amarah
segera melompat menyerang.
"Kau tak akan mampu mengalahkan aku, Wu-
lung," berkata Angelir atau Dewi Bunga Kematian mengejek, menjadi Wulung Seta
mendengus marah.
Tanpa memperdulikan omongan Dewi Bunga Kema-
tian, Wulung Seta terus mencerca dengan keris pusa-
kanya. Pertarungan dua orang bekas kekasih itu begi-tu seru. Masing-masing
memiliki kepandaian tersendi-ri. Namun dilihat dari pertarungan itu, jelas
Wulung Seta jauh berada di bawah Dewi Bunga Kematian.
Walaupun Wulung Seta memegang senjata pu-
saka, namun menghadapi Dewi Bunga Kematian yang
kini mewarisi ilmu-ilmu Rangga Bargawa atau Banas
Pati tak ada artinya. Bahkan seringkali Wulung Seta dibuat mati langkah.
Dewi Bunga Kematian yang dendamnya meng-
gebu, sepertinya tak mau membiarkan musuhnya lama
hidup. Maka dengan segera, dirapalkan ajian Gugur
Gunungnya. Dikiblatkan ajian tersebut ke arah Wu-
lung Seta. Wulung Seta tersentak dan melompat mun-
dur, namun Dewi Bunga Kematian telah terlebih dahu-
lu menghantamkan ajian tersebut.
Ketika ajian Gugur Gunung hendak menghan-
tam tubuh Wulung Seta, seketika berkelebat seseorang menghadangnya. Orang itu
seketika menjerit, ambruk
jatuh ke tanah.
"Bunda...!" memekik Wulung Seta, manakala tahu siapa orang yang terkena hantaman
ajian Gugur Gunung. Wulung Seta segera memburu ke arah tubuh
wanita tua itu, yang meringis menahan sakit.
Bukan hanya Wulung Seta yang tersentak tapi


Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angelir yang tahu siapa wanita tua itu pun memekik
tertahan. "Ibu...!"
Tapi bagaikan patung, Angelir hanya mampu
berdiri memandang ke arah dua anak dan ibu yang se-
dang bertangisan.
"Anakku, Angelir. Kenapa kau terdiam, Nak?"
terbata-bata Roro Kunti berkata, menjadikan Angelir seketika meneteskan air
mata. Angelir hanya mampu
menangis, tak dapat berkata apa-apa.
Setelah menangis, bagaikan orang kesurupan
Angelir mengamuk membabi buta. Dari mulutnya ter-
dengar erangan dan desisan, bareng dengan pukulan-
pukulannya yang sangat membahayakan.
Kekesalan dan kecewa beraduk menjadi satu,
menjadikan Angelir tak dapat lagi mengontrol dirinya.
Ketika kemarahannya telah memuncak, tiba-tiba tu-
buhnya berubah menjadi besar. Ajian Betari Durga telah ia rapalkan. Bagaikan tak
mengenal rasa kasihan, Betari Durga mengamuk.
Setiap sergapan tangannya, sepuluh orang da-
pat ditangkap. Lalu dengan kasar tanpa belas kasih,
diremasnya tubuh kesepuluh orang tersebut.
"Jagat Dewa Batara, mengapa ia sampai memi-
liki ilmu ganas itu?" mengeluh Wulung Seta tertahan.
Dari matanya masih meleleh tangis.
"Hati-hati, Anakku. Jangan kau lengah, sebab
dia memang bermaksud membunuhmu yang telah
mengecewakannya."
"Baik, Bunda." menjawab Wulung Seta. "Prajurit, antar Bunda ke kamarnya!"
Setelah kepergian ibundanya, dengan gagah be-
rani Wulung Seta segera berkelebat membantu para
prajuritnya yang terkoyak oleh serangan Betari Durga.
"Angelir! Kau adalah anak tak tahu diri. Kau telah melukai ibumu sendiri. Apakah
kau tak sadar!"
berseru Wulung Seta seraya berkelebat menyerang.
"Wulung Seta. Kaulah yang membuat sega-
lanya. Kau harus mati di tanganku!"
Tengah Betari Durga mengamuk, yang menja-
dikan banyak korban berjatuhan. Tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat menghadangnya.
Bayangan itu datang tepat pada waktunya, ma-
nakala tangan Buto Betari Durga hendak mencengke-
ram Wulung Seta. Betari Durga seketika melompat
mundur, demi dirasakannya ada seseorang yang telah
menyerang. Tangannya terasa sakit manakala beradu
dengan tangan orang itu.
Mata Betari Durga melotot, manakala melihat
orang muda telah berdiri menghadang di depannya.
Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg, tersenyum sinis ke arahnya.
Sementara itu, Jaka tampak tengah tertawa
bergelak-gelak manakala melihat Betari Durga meng-
geram marah. Dengan meninggalkan gelak tawa, Jaka
berkata: "Dewi Mawar Kematian. Dulu nyawamu aku
ampuni, tapi kini aku tak akan mengampunimu lagi."
"Siapa kau, Anak muda"! Berani kau berkata
lancang padaku!"
"Akulah orang yang kau cari. Akulah murid Ki
Bayong, musuh paman gurumu. Aku Jaka Ndableg,
atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Loro Ireng yang mendengar ucapan Jaka, nam-
pak tersentak. Tak dinyana, kalau ia akan menemukan pendekar yang telah menawan
hatinya di tempat ini.
"Jaka...." mendesis Loro Ireng, menjadikan Jaka seketika memalingkan muka. Hal
itu tidak disia-siakan oleh Betari Durga, yang dengan cepat menghantamkan
tangannya. Melihat hal itu, Loro Ireng segera berkelebat memapakinya. Seketika
itu, Loro Ireng memekik
ambruk. Tubuhnya bagaikan terhantam gada jutaan
kati. "Loro Ireng, kau,..!" membentak marah Angelir.
"Kenapa kau menghalangi pemuda itu."
"Aku mencintainya, Angelir."
"Bedebah! Kau berani menentang ku, Loro!"
menggeram Angelir marah.
"Maafkan aku, Angelir. Apapun akan aku laku-
kan demi dia."
Jaka yang mendengar ucapan Loro Ireng seke-
tika trenyuh juga hatinya. Betapa tidak, demi dirinya Loro Ireng rela berkorban.
"Loro Ireng, menyingkirlah. Biar aku yang akan menghadapinya," berkata Jaka,
menjadikan Loro Ireng mengerutkan kening. Hatinya was-was, kalau-kalau
Jaka akan menjadi korban Dewi Angelir.
"Hati-hati, Jaka." berkata Loro Ireng penuh rasa was-was.
Jaka hanya mengangguk mengiyakan.
"Dewi Bunga Kematian. Kini aku telah siap
menghadapimu. Nah, terimalah ini. Ajian Getih Sakti.
Hiat...!" Secepat kilat Jaka berkelebat menyerang Angelir dengan ajian Getih
Sakti. Melihat itu, Angelir segera memapakinya dengan ajian Gugur Gunungnya.
"Duar...!"
Terdengar ledakan dahsyat manakala dua ajian
itu bertemu. "Keluarkan semua ilmumu, Anak ganteng, biar
aku cepat meremaskan tubuhmu," berkata Angelir sombong. Jaka hanya tersenyum
sinis, sepertinya sengaja memanas-manasi.
"Dewi Bunga Kematian. Terimalah ini.... Ajian
Petir Sewu, hiat...!"
Kembali Jaka berkelebat menyerang dengan
ajian Petir Sewu. Namun sebelum Jaka sampai, tangan Dewi Bunga Kematian telah
mendahului bergerak. Di-cengkeramnya tubuh Jaka hingga menjadikan semua
yang melihat terpekik.
Yang lebih was-was di antara mereka, tak lain
Loro Ireng dan Satria Wulung. Keduanya sangat men-
cemaskan keadaan Jaka yang kini dalam genggaman
Betari Durga. Namun ketakutan mereka seketika lenyap, ber-
ganti dengan rasa tak percaya. Sampai-sampai Wulung Seta dan Amurwa Sakti
berseru saking kagetnya.
"Jagad Dewa Batara. Ternyata pendekar muda
itu memiliki ilmu yang maha dahsyat."
Apa yang mereka lihat" Ternyata mereka meli-
hat Jaka telah berubah ujud menjadi Raksasa Dewa
Wisnu. Hal itu bukan saja mereka yang melihat, tapi Angelir yang telah menjadi
Betari Durga pun tak kalah kagetnya.
"Hua, ha, ha.... Betari Durga. Akulah musuh-
mu," berkata Buto Dewa Wisnu. Suaranya menggema bagaikan halilintar. Habis
berkata begitu, Buto Dewa Wisnu segera berkelebat menyerang.
Pertarungan dua raksasa itu begitu seru, saling
hantam dan terjang. Setiap kali tubuh mereka jatuh, terdengar debuman dahsyat.
Tanah bagaikan diguncang gempa.
"Percuma kalau aku membuang-buang tenaga,"
bergumam hati Buto Dewa Wisnu. "Hem, akan aku
panggil Pedang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman
Darah. Datanglah!"
Tiba-tiba, di tangan Jaka telah tergenggam se-
bilah pedang yang dari ujungnya mengeluarkan darah, menetes membasahi batang
pedang. Dewi Bunga Kematian tersentak mundur, demi
melihat apa yang telah terjadi. Belum juga Dewi Bunga Kematian hilang rasa
kagetnya. Buto Dewa Wisnu telah berkelebat membabatkan pedang Siluman Darah
yang berada di tangannya.
"Aaahhhh...!" memekik Betari Durga, lalu ambruk dengan tubuh terbelah menjadi
dua. Darahnya telah mengering, terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Seketika semua anak buah Dewi Bunga Kema-
tian sujud menyembah mengaku kalah. Perlahan, Jaka
kembali ke bentuk asalnya. Sementara pedang Silu-
man Darah telah lenyap dengan sendirinya.
Tengah para prajurit merayakan kemenangan,
terdengar pekikkan kematian dari Jaga Bayu. Ternyata Satria Wulung pun telah
dapat membinasakan kakak
seperguruannya.
Makin riuhlah pesta kemenangan itu. Namun
kegembiraan mereka hanya sesaat, ketika tiba-tiba
terdengar berita duka. Ternyata Ibunda Ratu telah wa-
fat bersama dengan matinya Dewi Bunga Kematian.
Dua raja muda itu seketika menangis....
"Janganlah tuan ku berdua berlarut dalam ke-
sedihan!" Tengah keduanya menangis, terdengar suara
Jaka bergema menjadikan kedua raja itu seketika tersentak dan mencari-cari
Pendekar Muda itu.
"Di manakah kau Pendekar?" tanya Amurwa
Sakti. "Oh, aku minta maaf. Aku lupa meminta ijin pada tuan ku berdua. Aku kini
telah jauh untuk kembali mengembara. Selamat atas ketentraman kerajaan
tuan berdua...."
Kedua raja muda itu hanya saling pandang dan
bergumam penuh rasa kagum.
Hari itu juga, seluruh rakyat kedua kerajaan
berkabung atas kematian Ibunda Ratu. Seorang yang
mampu memberikan rasa percaya diri pada rakyat,
yang memang mengharapkan segala petuahnya.
Langit telah memerah, pertanda senja telah da-
tang. Satu per satu mereka yang turut serta memberi penghormatan terakhir pada
Ibunda Ratu, pergi meninggalkan makam yang kembali sepi bagaikan turut
berduka.... TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kucing Suruhan 5 Mustika Lidah Naga 7 Suling Naga 2
^