Pencarian

Dewi Beruang Putih 1

Pendekar Pulau Neraka 34 Dewi Beruang Putih Bagian 1


DEWI BERUANG PUTIH Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting: Suhardi
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh S Serial Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 034:
Dewi Beruang Putih
128 Hal ; 12 x 28 cm
1 "Kau dengar itu Wulan?" tanya Bayu berbisik.
"Seperti suara pertarungan," sahut Ratna Wulan juga berbisik.
Bayu yang lebih dikenal dengan julukan Pende-
kar Pulau Neraka itu kembali terdiam. Bola matanya
tetap lurus memandang ke dalam jurang di depannya,
yang begitu dalam dan gelap terselimut kabut. Terlalu sukar bagi Bayu untuk bisa
melihat sampai ke dasar
jurang dari tempatnya berdiri ini. Bahkan, Ratna Wulan yang berada di sampingnya
pun tidak bisa melihat apa-apa.
Mereka hanya mendengar suara-suara kecil se-
perti orang sedang bertarung dari dalam jurang ini.
Meskipun terdengar sangat kecil, suara-suara itu jelas sekali. Dan, setelah
cukup lama mereka terpaku di bibir jurang, tiba-tiba terdengar raungan yang
begitu dahsyat dan keras menggelegar dari dasar jurang ini.
Raungan dahsyat itu sempat membuat jurang ini ber-
getar seperti hendak runtuh. Bayu dan Ratna Wulan
pun sampai terlompat belakang. Dan, mereka baru
kembali mendekati bibir jurang itu setelah tak lagi mendengar suara apa pun.
"Suara apa itu, Kakang?"
"Seperti raungan binatang buas."
"Aku jadi penasaran, Kakang," desis Ratna Wulan.
Bayu sedikit berpaling menatap gadis itu. Dia
tersenyum melihat raut wajah Ratna Wulan yang begi-
tu serius memandang ke dalam jurang yang gelap dan
berkabut ini. Memang, suara-suara yang terdengar tadi membuat hati mereka
penasaran ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi di dasar jurang ini. Mereka
pun se- sungguhnya bisa saja masuk ke dalam jurang ini, se-
perti keempat laki-laki yang mereka lihat tadi (Baca serial Pendekar Pulau
Neraka dalam kisah "Tiga Pengemis Sakti").
"Kau mau masuk ke sana?"
"Caranya?" tanya Ratna Wulan.
"Seperti yang mereka lakukan tadi," sahut Ba-yu.
"Ratna Wulan terdiam. Memang, bukan peker-
jaan yang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk terjun ke dalam jurang ini.
Tapi, lain halnya bagi Ratna Wulan. Dia hams berpikir dulu dua kali. Meskipun
il-mu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat
tinggi, Ratna Wulan kelihatan masih ragu-ragu. Dia tidak tahu, sampai seberapa
dalamnya jurang ini.
Tapi, masuk ke dalam jurang ini sesungguhnya
adalah suatu tantangan yang sangat menyenangkan.
Dan, Ratna Wulan sebenarnya menyukai tantangan
seperti itu. Setelah berpikir beberapa saat, gadis itu pun menganggukkan
kepalanya. Apa pun yang akan
terjadi, dia mau mencoba masuk ke dalam jurang ini.
Dan, masalah bisa atau tidaknya keluar nanti, sama
sekali tidak dipikirkannya.
"Kau siapkan ranting-ranting kayu secukupnya,
Wulan," kata Bayu.
Ratna Wulan hanya menganggukkan kepala.
Kemudian dikumpulkannya ranting-ranting kayu yang
panjang tidak lebih dari satu jengkal. Cukup banyak juga ranting yang
didapatnya. Sedangkan Pendekar
Pulau Neraka masih tetap berdiri di pinggiran jurang ini.
"Kau tidak mengumpulkan ranting, Kakang?"
"Tidak," sahut Bayu seraya tersenyum.
"Lalu, bagaimana kau akan masuk ke sana?"
Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum
sambil menepuk-nepuk kaki Tiren yang duduk diam di
pundak kanannya. Sedangkan Ratna Wulan masih pe-
nasaran. Tapi, dia tidak mau banyak tanya lagi. Dia percaya, Pendekar Pulau
Neraka pasti memiliki cara
lain yang tidak mungkin bisa diikutinya untuk masuk ke dasar jurang itu. Ratna
Wulan sadar, tingkat kepandaian yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka sangat jauh
lebih tinggi dibanding dirinya.
"Lompatlah sekarang, Wulan," ujar Bayu.
Ratna Wulan tersenyum sedikit, Kemudian....
"Hup!"
Sambil melemparkan satu ranting yang diba-
wanya, Ratna Wulan, cepat-cepat melompat ke dalam
jurang yang sangat dalam dan gelap berkabut ini. Sedangkan Bayu masih tetap
berdiri tegak memandangi
gadis itu berjumpalitan sambil melemparkan ranting-
ranting kering untuk pijakan kakinya. Ratna Wulan terus meluncur dengan deras
sekali. Dan, tampak begitu indah gerakan-gerakannya.
"Hup!"
Saat Ratna Wulan sudah hampir lenyap di telan
kabut, Bayu segera melompat ke dalam jurang ini.
Tangannya direntangkan lebar-lebar ke samping. Dan, begitu tubuhnya dirasakan
meluncur deras ke bawah,
dengan cepat sekali tangan kanannya dikebutkan.
"Hiyaaa...!"
Slap! Saat itu juga, Cakra Maut yang selalu menem-
pel di pergelangan tangan kanannya meluncur ke ba-
wah kaki. Manis sekali Pendekar Pulau Neraka meno-
tokkan ujung jari kakinya tepat di tengah-tengah Cakra Maut. Kemudian memutar
tubuhnya beberapa kali
sambil menghentakkan tangan kanannya. Cakra Maut
kembali melesat balik, lalu menempel lagi di pergelangan tangan Bayu.
Beberapa kali Bayu melemparkan Cakra Maut
ke bawah kakinya. Dan, beberapa kali pula dia harus berjumpalitan di antara
selimut kabut yang begitu di tebal dalam jurang ini. Hingga akhirnya, sampailah
Bayu di dasar jurang, tepat di samping Ratna Wulan
yang sudah lebih dulu sampai. Mereka mendarat tepat di antara tiga sosok tubuh
yang menggeletak tak bernyawa lagi. Bau anyir darah langsung menyeruak ke
dalam lubang hidung. Tampaknya mayat-mayat ini
masih baru. Darah yang mengalir pun masih begitu
segar dan hangat.
"Kelihatannya mereka para pengemis, Kakang,"
desis Ratna Wulan.
"Mereka memang para pengemis," sahut Bayu.
"Kau kenal mereka...?" Bayu tidak langsung menjawab. Dia memeriksa ketiga mayat
itu satu persa-tu. Dan, ketika dia memeriksa tubuh pengemis yang
menggenggam mangkuk dari batok kelapa berwarna
putih, keningnya tampak berkerut. Terlihat olehnya
gambar seekor beruang di dada kiri pengemis itu. Bergegas Pendekar Pulau Neraka
memeriksa kedua mayat
lainnya. Dan, ternyata mereka juga memiliki gambar
yang sama di dada sebelah kiri.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Heh...!" Bayu menghembuskan nafas panjang sambil bangkit berdiri.
Ratna Wulan memandangi Pendekar Pulau Ne-
raka. Sedangkan yang dipandangi diam saja, seperti
sedang memikirkan sesuatu. Bola mata pemuda baju
kulit harimau itu merayapi tiga mayat di depannya.
*** "Kau kenali siapa mereka, Kakang?"
"Mereka adalah para pemimpin Kelompok Pe-
ngemis Mangkuk Sakti. Mereka dikenal dengan julu-
kan Tiga Pengemis Sakti," sahut Bayu, pelan.
"Tiga Pengemis Sakti..."!" Ratna Wulan tampak terkejut.
"Kau yakin itu, Kakang?"
"Lihat saja gambar beruang di dada kiri mere-
ka. Hanya Tiga Pengemis Sakti yang memiliki gambar
itu. Itulah lambang kebesaran Kelompok Pengemis
Mangkuk Sakti," sahut Bayu, sambil menunjuk ke ketiga mayat di depannya.
Ratna Wulan memeriksa ketiga mayat yang
berpakaian pengemis itu. ditemukannya gambar be-
ruang di dada kiri mereka, yang tidak akan ada pada pengemis-pengemis lainnya.
Gambar itu menandakan
bahwa ketiga orang tua ini memang si Tiga Pengemis
Sakti. "Mereka memang Tiga Pengemis Sakti, Kakang,"
desah Ratna Wulan sambil menghampiri Bayu.
"Tapi siapa yang membunuh mereka...?"
Tentu saja pertanyaan gadis itu tidak bisa sege-
ra dijawab oleh Bayu, karena dia sendiri memang tidak tahu. Tapi, Pendekar Pulau
Neraka sudah menduga,
suara pertarungan yang didengarnya dari atas jurang tadi adalah pertarungan Tiga
Pengemis Sakti. Dan lawan mereka bisa dipastikan adalah Ki Laksa bersama
tiga laki-laki tua lainnya. Karena, tidak ada orang lain yang masuk ke dalam
jurang ini selain keempat orang itu.
"Empat orang yang datang ke sini, Wulan," kata Bayu, mengemukakan dugaannya.
"Maksudmu..., mereka yang tadi masuk ke ju-
rang ini...?" ujar Ratna Wulan, seperti meminta keterangan. "Tidak ada orang
lain lagi yang datang ke sini selain mereka, Wulan."
Ratna Wulan terdiam. Bayu juga tidak bicara
lagi. Mereka sama-sama memandangi jasad si Tiga
Pengemis Sakti ini. Dari luka-luka yang diderita, jelas sekali kematian mereka
diakibatkan oleh pertarungan tingkat tinggi.
"Aku sering mendengar cerita tentang mereka,
Kakang. Tapi mereka sudah tidak lagi berkecimpung
dalam dunia persilatan. Mereka adalah tokoh-tokoh
sakti yang susah dicari tandingannya. Aneh... kenapa mereka bisa dikalahkan..."
Aku sering mendengar cerita tentang tokoh-tokoh persilatan yang tangguh dan
digdaya. Tapi, rasanya aku tidak pernah kenal dengan keempat lelaki yang terjun
ke sini tadi," desis Ratna Wulan, seperti bicara pada diri sendiri.
Bayu diam saja. Dia juga sudah sering mende-
ngar sepak terjang ketiga pemimpin Kelompok Pe-
ngemis Mangkuk Sakti ini, sebelum mereka menghi-
lang dari dunia persilatan. Dan, selama ini memang tidak ada yang bisa
menandingi kepandaian Tiga Pen-
gemis Sakti sampai akhirnya mereka menghilang sejak lebih dari lima belas tahun
lalu. Pendekar Pulau Neraka kemudian mengedarkan pandangan berkeliling.
Dan, tatapan matanya tertumbuk pada sebuah mulut
gua yang tampak sudah hancur. Pendekar Pulau Nera-
ka segera melangkah menghampiri. Ratna Wulan men-
gikuti dari belakang.
Beberapa saat Bayu mengamati mulut gua yang
memang sudah hancur ini. Di sibaknya semak belukar
yang hampir menutupi gua itu. Kemudian kakinya me-
langkah masuk. Bau debu masih terasa menusuk hi-
dung. Ratna Wulan terns mengikuti langkah kaki Pen-
dekar Pulau Neraka. Mereka memeriksa seluruh sudut
relung gua batu ini. Tapi tak ada yang bisa didapatkan, kecuali perabotan yang
biasa terdapat di rumah-rumah. Jelas sekali, gua ini dijadikan tempat tinggal.
Dan, gua ini tampaknya buntu. Tidak terdapat satu lorong pun. Mereka keluar
kembali tanpa mendapatkan
hasil apa pun. "Kakang, lihat ini...!" seru Ratna Wulan, tiba-tiba. Bayu bergegas menghampiri.
Ratna Wulan me-
nunjuk ke tanah di depannya. Kening Pendekar Pulau
Neraka berkerut melihat jejak yang sangat aneh. Dan jelas sekali jejak ini bukan
bekas tapak kaki manusia.
'"Aku juga melihatnya di dalam gua tadi," kata Ratna Wulan.
"Hm..., seperti kaki binatang," gumam Bayu.
"Lihat di sana, Kakang. Ada cahaya," kata Ratna Wulan lagi, sambil menunjuk.
Bayu cepat mengarahkan pandangannya. Di-
ikutinya jari telunjuk Ratna Wulan. Agak jauh di depan mereka, memang terlihat
setitik cahaya yang sebentar-sebentar menghilang tertutup kabut. Tanpa bicara
lagi, Pendekar Pulau Neraka bergegas mengayunkan kakinya menuju ke arah titik
cahaya itu. Ratna Wulan
segera mengikuti. Langkahnya disejajarkan di samping Pendekar Pulau Neraka.
Mereka terus berjalan cepat tanpa banyak bica-
ra lagi. Kabut yang menyelimuti sekitar dasar Jurang Setan ini memang sangat
tebal. Mereka pun tidak bisa leluasa bergerak. Terlebih lagi, banyak akar pohon
yang bersembulan keluar dari dalam tanah. Mereka
harus berhati-hati agar tidak tersangkut akar pohon.
Kabut yang semakin tebal membuat pandangan mere-
ka terhalang. Akhirnya, mereka sampai juga di tempat cahaya itu, walaupun harus
menempuhnya dengan sulit sekali.
"Hanya pelita...," desis Ratna Wulan seraya me-nyeka keringat di lehernya.
Mereka menemukan sebuah pelita serta tiga ba-
tang bambu yang ujungnya hangus terbakar. Batang
bambu itu tampaknya dibuat untuk obor, tapi apinya
sudah padam. Obor-obor bambu itulah yang tadi me-
reka lihat dibawa si Perampok Tiga Nyawa, sebelum
mereka terjun ke dalam jurang ini. Dan, pelita itu seperti sengaja digantung di
pohon. Bayu mengedarkan
pandangannya berkeliling. Tapi, tak ada seorang pun yang dilihatnya. Tidak juga
terdengar suara apa pun.
Keadaannya begitu sunyi, seperti di dalam kubur.
"Sebaiknya kita kembali saja, Kakang. Tidak
ada apa-apa di sini," kata Ratna Wulan.
"Ayolah...," sahut Bayu.
Tapi, baru saja mereka berbalik, mendadak....
"Ghrrr...!"
"Heh..."!"
"Ohhh..."!"
*** Bukan main terkejutnya Bayu dan Ratna Wu-
lan ketika tiba-tiba di depan mereka melompat sesosok makhluk yang sangat tinggi
dan besar. Seluruh tubuhnya berbulu putih seperti kapas. Dan, tahu-tahu
seekor beruang raksasa berbulu putih sudah mengha-
dang di depan mereka. Binatang itu berdiri dengan kedua kaki belakangnya.
Sedangkan dua kaki depannya
dia angkat tinggi-tinggi, hingga melebihi kepala.
"Ghraaaugkh...!"
"Jagat Dewa Batara...," desis Bayu.
Seluruh dasar jurang ini bagai diguncang gem-
pa ketika beruang putih raksasa itu menggerung dah-
syat sekali. Saat itu Ratna Wulan menarik kakinya ke belakang beberapa langkah.
Sedangkan Bayu tetap


Pendekar Pulau Neraka 34 Dewi Beruang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri tegak pada tempatnya. Dia menurunkan Tiren
dari pundaknya. Disuruhnya monyet kecil itu men-
jauh. Sambil mencerecet ribut, Tiren berjingkrak men-jauhi Pendekar Pulau
Neraka. Dihampirinya Ratna Wu-
lan yang sejak tadi sudah menyingkir.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung-gerung, beruang putih rak-
sasa itu melangkah menghampiri Pendekar Pulau Ne-
raka. Moncongnya yang berliur terus terbuka lebar,
seakan-akan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam.
Sedangkan Bayu bergerak mundur perlahan-lahan.
"Ghraaagkh...!"
Tiba-tiba beruang raksasa berbulu putih itu
melompat cepat bagai kilat, sambil menggerung dah-
syat. Meskipun tubuhnya sangat besar, ternyata gerakannya sungguh cepat luar
biasa. Bayu pun terpana
beberapa saat. "Uts...!"
Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat merunduk-
kan tubuhnya, Kibasan tangan Beruang Putih itu pun
lewat di atas kepalanya. Bergegas Bayu melompat ke
belakang beberapa langkah. Tapi, baru saja kakinya
menjejak tanah, beruang raksasa berbulu putih itu
sudah menyerang lagi dengan kecepatan yang sungguh
luar biasa. Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak. Dia tidak menyangka kalau
binatang ini mampu melakukan gerakan yang begitu cepat.
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat
ke atas begitu tangan yang berkuku runcing dan ber-
bulu tebal itu menyampok ke bawah. Beberapa kali
Bayu melakukan putaran di udara. Lalu deras sekali
dia meluruk. Dan langsung dilepaskannya satu ten-
dangan menggeledek, yang hanya disertai dengan se-
tengah pengerahan tenaga dalamnya.
"Yeaaah...!"
Bet! Bayu terhenyak seketika. Tendangannya yang
begitu cepat ternyata sama sekali tidak mengenai kepala Beruang Putih itu.
Bahkan, hampir saja dia terkena sampokan tangan binatang raksasa itu kalau ti-
dak cepat-cepat melenting kembali ke udara.
Setelah melakukan beberapa kali putaran,
kembali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya
di tanah. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, sebelum
Beruang Putih itu melakukan serangan lagi.
"Ghrrr...!"
"Hap!"
Bayu segera melompat ke kanan begitu Be-
ruang Putih itu kembali melakukan serangan. Dan
dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mele-
paskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh,
sambil memiringkan tubuhnya ke kiri. Begitu cepat serangan balasan Bayu kali
ini. Beruang Putih itu pun tidak sempat lagi menghindar.
Dugkh! "Ikh...!"
Bayu tampak terpekik ketika pukulannya ber-
sarang telak di tubuh Beruang Putih itu. Cepat-cepat dia melompat sejauh dua
batang tombak ke belakang.
Sungguh sukar dipercaya, tubuh binatang raksasa itu ternyata begitu keras. Bayu
merasa seperti menghantam sebongkah batu cadas yang teramat keras. Tapi,
bukan itu yang membuatnya terkejut setengah mati.
Bayu benar-benar terkejut ketika dirasakannya tadi
tubuh Beruang Putih ini bisa mengembalikan pukulan
yang dilepaskannya. Bayu merasakan tangannya ber-
getar, seperti tersengat puluhan kala berbisa.
"Tangan kanan Pendekar Pulau Neraka me-
mang terlihat bergetar ketika menghantam tubuh Be-
ruang Putih itu tadi. Sedangkan binatang raksasa itu seperti tidak mengalami
rasa sakit sedikit pun. Dia malah terus bergerak cepat menghampiri pemuda
berbaju kulit harimau itu. Hentakan kakinya begitu kuat, tanah pun bergetar,
seperti diguncang gempa.
"Ghrrr...!"
Wuk! Cepat sekali Beruang Putih itu mengebutkan
tangannya ketika sampai di dekat Bayu. Namun, den-
gan tidak kalah cepatnya, Bayu berkelit menghindari serangan binatang raksasa
ini. Kembali dia melompat ke samping sejauh lima langkah. Dan, begitu kakinya
menyentuh tanah, dengan cepat sekali tubuhnya melenting ke udara. Lalu....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka
melepaskan satu tendangan dahsyat menggeledek. Kali ini dia mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya, yang
sudah mencapai pada tingkatan sempurna.
Des! "Ghraaaugkh...!"
Tendangan yang dilepaskan Bayu tepat bersa-
rang di dada Beruang Putih ini. Begitu keras ten-
dangan yang dilancarkan Bayu. Beruang raksasa itu
pun meraung keras sekali. Dan tubuhnya sampai ter-
dorong ke belakang beberapa langkah. Sedangkan
Bayu sendiri terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tapi, setelah
beberapa kali melakukan putaran di udara, Pendekar Pulau Neraka kembali menje-
jakkan kakinya di tanah dengan manis sekali.
"Gila...!" desis Bayu, tidak percaya.
Tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau
Neraka tadi sangat keras, bahkan dikerahkan dengan
penyaluran tenaga dalam yang sempurna. Tapi Be-
ruang Putih itu sama sekali tidak terluka. Bahkan, tadi Bayu merasakan seperti
membentur sebuah dinding
baja yang begitu keras. Tulang-tulang kakinya dirasakan nyeri, seperti mau
retak. "Ghrrr...!"
Sambil menggerung-gerung dahsyat, Beruang
Putih itu kembali bergerak menghampiri Pendekar Pu-
lau Neraka. Moncongnya dibuka lebar-lebar, seakan-
akan hendak memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam seperti mata
pisau. Bayu menggeser kakinya ke kanan beberapa
langkah. Perlahan tangan kanannya ditarik ke depan
dada. Dan, tubuhnya dimiringkan ke kiri, agak mem-
bungkuk sedikit ke depan.
"Hmm..."
Namun mendadak Pendekar Pulau Neraka ter-
tegun, lalu kembali berdiri tegak. Dia tidak jadi melepaskan senjata andalannya,
yang dikenal dengan se-
butan Cakra Maut. Senjata berbentuk cakra bersegi
enam ini tetap menempel di pergelangan tangan ka-
nannya. Kening Bayu berkerut melihat binatang raksa-sa berbulu putih bagai kapas
itu mendadak tampak
terdiam. Dan, dia berdiri dengan keempat kakinya.
"Hmm...."
Kembali Bayu menggumam perlahan. Beruang
Putih itu membalikkan tubuh, lalu berjalan mening-
galkannya begitu saja. Binatang raksasa itu terus masuk ke dalam hutan yang
sangat lebat dan gelap di dasar Jurang Setan. Sebentar saja tubuhnya sudah tidak
terlihat lagi. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri tegak di
tempatnya. *** 2 Bayu berpaling sedikit. Dia merasakan, ada
orang yang berdiri di sampingnya. Dan, dilihatnya
Ratna Wulan sudah ada di sebelah kiri sambil meme-
luk Tiren dengan tangan kanan. Monyet kecil itu kelihatan manja. Kepalanya
ditempelkan di dada gadis
cantik yang membusung indah ini. Beberapa saat me-
reka terdiam. Semua memandang ke arah kepergian
Beruang Putih yang masuk ke dalam hutan di dasar
Jurang Setan ini.
"Aneh sekali.... Kenapa tiba-tiba dia pergi begitu saja...?" gumam Ratna Wulan,
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Bayu diam saja. Dia juga merasakan, ada suatu
keanehan pada Beruang Putih itu. Tiba-tiba saja binatang itu muncul dan
menyerang, tapi kemudian pergi
begitu saja tanpa sebab. Seperti sudah direncanakan, dia tampaknya hanya muncul
untuk menghadang.
Bayu pun bisa menduga, Beruang Putih itu bukan bi-
natang sembarangan.
"Aku perhatikan tadi, waktu menyerangmu, ge-
rakan-gerakannya seperti sudah terlatih," kata Ratna Wulan lagi, dengan suara
yang masih menggumam
perlahan. "Kau benar, Wulan. Dia juga memiliki kekuatan
yang sangat luar biasa," sambut Bayu, dengan suara yang juga menggumam perlahan.
"Kakang, apa mungkin dia binatang peliha-
raan...?" tanya Ratna Wulan. Nada suaranya terdengar terputus.
Bayu tidak langsung menjawab. Dia melirik Ti-
ren yang masih berada di dalam pelukan Ratna Wulan.
Memang bukan suatu hal yang aneh di dunia persila-
tan, seseorang memelihara binatang yang begitu men-
gerti dan dapat membantu mempertahankan diri. Bah-
kan, tidak sedikit yang melatih binatang peliharaannya untuk bertarung. Dan,
banyak juga mengisinya dengan kekuatan-kekuatan dahsyat, sehingga binatang
peliharaannya memiliki daya tahan tubuh yang tidak dite-
mukan pada binatang-binatang lain.
"Ayo kita pergi dari tempat ini, Wulan," ajak Bayu. "Maksudmu keluar dari jurang
ini...?" Ratna Wulan seperti tidak percaya.
Memang, masuk ke dalam jurang ini saja sudah
begitu sulit. Mereka tadi harus mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki.
Itulah sebabnya Ratna Wulan sama sekali tidak mem-
bayangkan bisa keluar lagi dari dalam jurang ini.
"Kita cari jalan, Wulan. Barangkali saja ada jalan keluar dari jurang ini yang
lebih mudah ditempuh,"
kata Bayu, yang tampak berusaha untuk tidak me-
nyinggung perasaan gadis ini.
"Terserah kau sajalah, Kakang," desah Ratna Wulan seraya mengangkat bahu.
"Maaf, bukannya aku meremehkan kemam-
puanmu, Wulan. Aku sendiri enggan kalau harus me-
lompat lagi ke atas sana," kata Bayu lagi.
Ratna Wulan hanya tersenyum. Memang, kelu-
ar dari jurang ini dengan cara melompat seperti ketika masuk tadi adalah suatu
hal yang sangat sulit dilakukan. Walaupun menggunakan lagi ranting-ranting
kayu untuk berpijak, sudah tentu mereka tidak akan
bisa keluar semudah masuk ke dalam jurang ini. Ba-
gaimanapun, naik lebih sulit daripada turun. Dan,
yang pasti, akan diperlukan pengerahan ilmu merin-
gankan tubuh yang sangat tinggi tingkatannya. Se-
dangkan Ratna Wulan menyadari, ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya sekarang ini masih belum cu-
kup jika digunakan untuk melompat ke atas sana.
"Aku yakin, pasti ada jalan keluar dari sini," ka-ta Bayu, mencoba membesarkan
hati Ratna Wulan.
"Kalaupun tidak ada, bukan hanya kita berdua
yang terkurung di dalam jurang ini, Kakang. Masih ada orang lain lagi," sambut
Ratna Wulan dengan tenang.
"Ya, empat orang yang tadi masuk lebih dulu ke sini," desah Bayu.
"Tapi, di mana mereka sekarang...?"
"Barangkali mereka juga sedang mencari jalan
untuk keluar dari jurang ini, Kakang?" kata Ratna Wulan.
"Atau mungkin juga mereka sudah tidak ada
lagi di sini," desis Bayu, dengan nada suara yang terdengar agak sinis.
"Mungkin juga...," desah Ratna Wulan setengah menggumam sambil mengangkat
bahunya sedikit
Sebentar mereka terdiam, sibuk dengan jalan
pikiran masing-masing. Kemudian mereka melangkah
perlahan-lahan tanpa berbicara lagi. Keadaan di dalam Jurang Setan ini memang
sangat gelap. Mereka tidak
bisa berjalan dengan cepat dan leluasa. Kabut yang menyelimuti seluruh dasar
jurang ini membuat pandangan mereka terhalang dan sulit melihat jauh.
*** Di dalam Jurang Setan ini, antara siang dan
malam hari sangat sulit dibedakan. Karena, sepanjang waktu keadaan di jurang ini
selalu gelap dan berselimut kabut tebal, yang menyebarkan udara dingin
membekukan tulang. Entah sudah berapa lama Bayu
dan Ratna Wulan mencari jalan untuk keluar dari da-
lam jurang ini. Tapi, belum juga mereka menemukan-
nya. Sedangkan hutan di dalam jurang ini begitu rapat. Sulit bagi siapa pun
untuk bisa bergerak cepat.
Belum lagi, keadaannya sangat gelap. Ratna Wulan
pun beberapa kali terpekik, karena berulang kali kakinya terantuk akar-akar
pohon yang menyembul dari
dalam tanah. Gadis itu memang belum terbiasa den-
gan keadaan seperti ini. Dia memang masih seumur
jagung dalam menggeluti ganasnya rimba persilatan.
"Kakang, mungkin tebing batu ini menuju ke-
luar," kata Ratna Wulan, saat mereka sampai di kaki sebuah tebing batu yang
menjulang sangat tinggi,
hingga bagian atasnya benar-benar tidak terlihat.
"Tapi terlalu tegak, Wulan. Banyak lumut-
nya...," kata Bayu, sambil memperhatikan tebing batu di depannya.
Sebenarnya, tidak ada masalah bagi Pendekar
Pulau Neraka untuk menaiki tebing batu ini. Tapi,
Bayu memikirkan Ratna Wulan. Dia tahu, kepandaian
yang dimiliki gadis ini bisa dikatakan masih tanggung untuk terjun ke dalam
rimba persilatan yang ganas seperti ini. Bahkan, ilmu meringankan tubuhnya saja
masih jauh berada di bawah Pendekar Pulau Neraka.
Tapi, untuk mempertahankan hidup di alam bebas se-
perti ini, dia memang sudah sanggup.
"Mungkin ada jalan lain yang bisa dilalui, Ka-
kang," kata Ratna Wulan, yang tampak tidak menyadari bahwa penolakan Bayu
disebabkan oleh keraguan-
nya terhadap kesanggupan gadis itu, jika harus men-
daki bukit batu ini.
"Hm..., coba kita telusuri saja kaki tebing ini,"
ujar Bayu, setengah menggumam.
Mereka kemudian kembali melangkah menyu-
suri kaki tebing batu ini Sementara itu di dalam benaknya, Bayu terus berpikir
keras. Dia berusaha men-
cari jalan yang mudah untuk ditempuh Ratna Wulan
agar bisa keluar dari dalam dasar Jurang Setan ini.
Kakinya terus terayun melangkah. Dan, otaknya terus bekerja keras mencari jalan


Pendekar Pulau Neraka 34 Dewi Beruang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar yang mudah.
Setelah cukup lama berjalan menyusuri kaki
tebing batu ini, mereka kembali berhenti. Bayu merentangkan tangannya ke depan
perut Ratna Wulan. Di-
mintanya gadis itu untuk mundur dengan isyarat tan-
gan. Tanpa diminta dua kali, Ratna Wulan segera me-
langkah mundur beberapa tindak. Sedangkan Bayu
melangkah ke depan beberapa tindak, Sekitar satu batang tombak lagi, di depan
mereka terlihat sebuah mulut gua yang sangat besar dan kelihatan begitu gelap.
"Hmm...."
Kening Bayu berkerut melihat banyak jejak ka-
ki orang di sekitar mulut gua ini. Bahkan, ada jejak-jejak seperti bekas tapak
kaki binatang, tapi berukuran sangat besar. Dan, jejak kaki binatang ini sudah
dia temukan sebelumnya di dalam gua yang hancur,
tidak jauh dari mayat Tiga Pengemis Sakti. Tampaknya ini adalah jejak Beruang
Putih yang menghadangnya
tadi. Bayu terus melangkah mendekati mulut gua. Dia melihat, di samping gua ini
terdapat beberapa buah
obor dari batang bambu. Di dekat obor-obor itu, terlihat nyala api di antara
bebatuan. Begitu kecil nyala api ini, sehingga hampir tidak terlihat.
Bayu mengambil sebuah obor dan menyala-
kannya dengan api yang tersembunyi di antara be-
batuan. Nyala api obor langsung membuat keadaan di
sekitarnya cukup terang. Pendekar Pulau Neraka men-
julurkan kepalanya ke dalam gua. Tapi, tidak ada yang dapat dilihat, kecuali
lorong gua yang tampaknya sangat panjang dan berliku. Bayu berpaling ke
belakang. "Kemari, Wulan," panggil Bayu sambil melam-baikan tangannya pada Ratna Wulan.
Ratna Wulan bergegas menghampiri. Dia masih
memeluk Tiren. Gadis itu menerima obor yang sudah
menyala dari tangan Bayu. Dan Pendekar Pulau Nera-
ka menyalakan satu obor lagi. Tanpa banyak bicara,
mereka langsung saja masuk ke dalam gua ini. Tepat
seperti dugaan Bayu, gua ini memang sangat panjang
dan penuh dengan belokan. Keadaannya juga begitu
gelap. Tapi di dasar gua yang lembab ini, terlihat jelas bekas-bekas jejak kaki
yang tampaknya belum terlalu lama. "Di depan sana seperti bercabang, Kakang,"
bisik Ratna Wulan, setelah mereka cukup jauh masuk ke dalam relung gua ini.
"Hmm...," Bayu hanya menggumam perlahan.
Memang, tidak jauh di depan mereka, tampak
relung gua ini bercabang dua. Bayu segera menghentikan langkahnya setelah sampai
di lorong bercabang
dua ini Ratna Wulan ikut berhenti. Mereka seperti
mempertimbangkan, lorong mana yang akan ditem-
puh. Bayu memperhatikan, jejak-jejak kaki yang ada
cukup jelas terlihat di dasar gua ini. Beberapa jejak kaki menuju ke lorong
sebelah kanan, Dan, tidak sedikit pun yang menuju ke lorong sebelah kiri. Tapi,
ada perbedaan di antara keduanya. Di lorong sebelah kanan tidak terdapat jejak
kaki binatang. Dan, tampaknya di lorong ini jejak kaki manusia menuju dua arah
yang berlawanan, seperti berbalik keluar lagi setelah memasukinya. Bayu langsung
berkesimpulan, semua
yang masuk ke gua ini pada akhirnya memilih jalan ke lorong sebelah kiri.
"Kita ke kiri, Wulan," ujar Bayu.
Wulan hanya menganggukkan kepalanya. Dia
mengikuti Pendekar Pulau Neraka menyusuri cabang
lorong gua sebelah kiri. Obor yang mereka bawa cukup untuk menerangi lorong gua
yang gelap ini. Mereka te-
rus berjalan tanpa berbicara sedikit pun. Dua tikungan pun dilalui. Dan, setelah
mereka melewati satu tikungan lagi, baru terasa bahwa jalan di dasar lorong gua
ini sesungguhnya menanjak dan seperti berputar-putar. "Sepertinya ini naik ke
atas, Kakang," ujar Ratna Wulan, agak mendesis.
"Mudah-mudahan saja memang ini jalan ke-
luarnya, Wulan," sahut Bayu.
"Aku harap begitu," desah Ratna Wulan. Tanpa bicara lagi, mereka terus melangkah
menyusuri lorong gua yang tidak lagi bercabang tapi terus menanjak ini.
Dan, semakin lama semakin nyata bahwa lorong gua
ini melingkar seperti tangga sebuah menara.
"Kakang, lihat...!" seru Ratna Wulan tiba-tiba, sambil menunjuk ke depan.
Bayu segera mengarahkan pandangannya ke
depan. Diikutinya jari telunjuk Ratna Wulan. Tampak jelas sekali, di depan
mereka terlihat seberkas cahaya yang begitu terang. Mereka bergegas mendekati
cahaya terang seperti sinar matahari itu. Dan, semakin dekat, keadaan di dalam
lorong gua ini juga semakin bertambah terang. Obor pun tidak lagi dibutuhkan.
Mereka membuang obor dari batang bambu itu, setelah mema-
tikannya di atas batu.
"Itu pintu keluar, Kakang...!" seru Ratna Wulan, gembira.
"Nguk!"
Tiren, yang berada di dalam pelukan Ratna Wu-
lan, rupanya juga merasa gembira bisa keluar dari dalam jurang yang sangat gelap
dan mengerikan ini. Monyet kecil itu mencerecet ribut, lalu melompat turun dari
gendongan Ratna Wulan. Mereka seperti berlomba mencapai mulut gua di depan sana.
Ratna Wulan berlari dengan cepat. Sedangkan
Bayu tetap melangkah ringan mengikuti dari belakang.
Memang benar, mereka sudah sampai di ujung gua
yang sangat panjang dan berliku ini. Cahaya matahari langsung menyambut begitu
mereka berada di luar.
Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia ta-
hu, sekarang mereka sudah berada di dekat perbata-
san Desa Gebang sebelah Barat. Sungguh tidak diduga sama sekali, lorong gua yang
mereka telusuri tadi ternyata merupakan penghubung antara Desa Gebang
dan Jurang Setan.
"Oh, segarnya...," desah Ratna Wulan sambil menghirup udara banyak-banyak,
setelah berada di
luar gua yang gelap ini.
*** Bayu dan Ratna Wulan menarik napas lega.
Akhirnya mereka bisa keluar dari dalam Jurang Setan setelah melalui lorong gua
yang sangat panjang dan gelap. Tapi, rasa lega belum hilang
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ranting yang patah terinjak kaki. Hanya
sesaat Bayu menatap pada Ratna Wulan. Kemudian, bagaikan kilat Pendekar Pulau
Neraka melesat ke arah datangnya suara ranting
patah yang didengarnya barusan.
"Hup...!"
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Dalam sekejap
mata, dia pun sudah lenyap menembus lebatnya se-
mak belukar dan pepohonan. Saat itu juga, mendadak
terdengar pekikan tertahan seperti suara orang terkejut.
"Akh..."!"
Srak! Tampak Bayu terpental keluar dari dalam se-
mak belukar. Tinggi sekali tubuhnya melambung ke
udara, seperti ada yang melemparkannya dengan tena-
ga yang begitu besar. Tapi, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka bisa menguasai
keseimbangan dirinya den-
gan berputaran beberapa kali di udara. Dan, tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya lang-
sung menjejak di tanah yang berumput cukup tebal
ini. Bersamaan dengan itu, dari dalam semak yang
sama, keluar seorang laki-laki tua bertubuh kurus. Tulang-tulangnya begitu jelas
terlihat, karena dia tidak mengenakan baju. Laki-laki tua itu hanya memakai ce-
lana hitam sebatas lutut. Dan, di tangan kanannya
tergenggam sebilah kapak yang sangat besar dan ber-
gagang panjang. Sedangkan tangan kirinya mengepit
seikat kayu bakar.
"Siapa kau, Anak Muda" Berani-beraninya
mengganggu istirahat ku!" bentak orang tua bertubuh kurus itu.
Wajahnya kelihatan memerah. Dan, bola ma-
tanya yang bersorot tajam tertuju lurus pada Pendekar Pulau Neraka. Tampaknya
dia begitu berang. Sedangkan raut wajah Bayu masih menampakkan keterkeju-
tan. Entah apa yang terjadi di dalam semak belukar
itu, sampai Bayu terlempar tinggi ke angkasa tadi. Untung Pendekar Pulau Neraka
memiliki ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna,
sehingga dia bisa mendarat kembali di tanah dengan
ringan dan manis sekali.
"Maaf, aku kira kau orang jahat yang sedang
mengintai kami," ujar Bayu seraya memberi hormat.
"Huh! Kau sudah mengganggu istirahat ku,
Anak Muda. Kau harus membayar perbuatanmu!" dengus orang tua yang tampak seperti
seorang perambah
hutan pencari kayu bakar itu.
"Hm..., apa maksudmu, Ki?" tanya Bayu den-
gan kening berkerut dan mata yang kelihatan menyi-
pit. "He he he...!"
Orang tua bertubuh kurus itu malah tertawa
terkekeh-kekeh. Perlahan kemudian dia melangkah
beberapa tindak ke depan. Terlihat jelas baris-baris giginya yang hitam seperti
batu saat dia tertawa. Se-
dangkan Ratna Wulan yang sejak tadi hanya berdiri
memperhatikan agak jauh di belakang, perlahan-lahan melangkah mendekati Pendekar
Pulau Neraka. "Kakang, aku seperti pernah melihat dia," bisik Ratna Wulan.
"Hmm...," gumam Bayu sambil melirik sedikit pada gadis cantik yang sudah ada di
sebelah kirinya ini.
"Siapa dia, Wulan?"
"Kalau tidak salah, dia si Perambah Hutan
Penghisap Darah," sahut Ratna Wulan. Matanya tidak lepas mengamati laki-laki tua
yang memegang sebilah kapak berukuran sangat besar itu.
"He he he...! Penglihatanmu tajam sekali, Anak Manis," selak laki-laki tua
bertubuh kurus yang dike-nali Ratna Wulan sebagai si Perambah Hutan Penghi-
sap Darah itu. Sementara itu Bayu diam saja. Diperhatikannya
si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan tajam.
Dia tahu, nama yang disebutkan Ratna Wulan barusan
hanyalah sebuah julukan. Tapi, dia juga tahu, tidak mungkin seseorang bisa
mendapatkan sebuah julukan
begitu saja. Suatu julukan biasanya disesuaikan dengan sifat atau perbuatan
orang itu. Dan ada juga julukan yang diambil dari ciri-ciri orang itu atau nama
tempat asalnya. Sedangkan julukan yang digunakan
laki-laki tua kurus itu jelas menandakan bahwa dia
bukanlah orang baik-baik.
"Aku tidak melakukan apa pun padamu, Ki.
Bahkan kau hampir saja meremukkan tulang-
tulangku. Apa yang harus aku ganti padamu...?" ujar Bayu agak dingin.
"Sudah aku katakan, kau mengganggu istirahat
ku, Anak Muda. Kau harus membayar mahal!" sentak si Perambah Hutan Penghisap
Darah dengan ketus.
"Katakan, apa bayarannya!" dengus Bayu, yang jelas sekali tidak ingin
memperpanjang persoalan.
"He he he.... Darahmu, Anak Muda."
"Edan...!" dengus Bayu.
"Kau tentu memiliki darah yang sangat segar.
Aku hanya minta, kau membayarnya dengan satu gan-
tang darahmu. Tapi jika kau tidak mau, kau bisa
menggantinya dengan bayaran lain," kata si Perambah Hutan Penghisap Darah
"Hmm, apa...?"
"Keris Naga Emas yang ada padamu. Itu sudah
cukup untuk mengganti darahmu, Anak Muda."
Bayu tersentak kaget mendengar permintaan
laki-laki tua berjubah kurus yang dijuluki si Perambah Hutan Penghisap Darah
itu. Sungguh dia tidak menyangka kalau orang tua itu tahu, bahwa dia menyim-
pan Keris Naga Emas. Keris yang terbuat dari emas
murni ini memang telah diperoleh Bayu dari seorang
laki-laki tua. Tapi, dia sendiri tidak berhak memilikinya. Keris itu harus
diserahkan kepada orang yang berhak mewarisinya, yaitu seorang gadis bernama
Intan Kumala, putri Ki Saktria (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode
'Tiga Pengemis Sakti"). Dan, sampai sekarang ini, Pendekar Pulau Neraka belum
berhasil menemukan gadis itu.
"Aku tidak punya Keris Naga Emas yang kau
maksudkan, Ki. Kau lihat sendiri, aku tidak memegang senjata apa pun," kata Bayu
sambil merentangkan ke-
dua tangannya ke samping.
"He he he...! Jangan coba-coba mengelabui ku,
Anak Muda. Aku tahu, kau telah diberi keris itu oleh Ki Rahun," ujar si Perambah
Hutan Penghisap Darah.
Kali ini Bayu benar-benar tidak dapat lagi me-
nyembunyikan rasa keterkejutannya. Dia memang me-
nyimpan keris itu, dan memang mendapatkannya dari
Ki Rahun. Sungguh dia tidak menyangka, Keris Naga
Emas yang kini berada di tangannya sudah diketahui
oleh orang lain dengan cepat sekali. Padahal, hanya Ratna Wulan-lah yang
menyaksikannya sewaktu Ki
Rahun menyerahkan keris itu kepada Bayu, sesaat se-
belum laki-laki tua itu menghembuskan nafasnya yang terakhir ( Baca serial
Pendekar Pulau Neraka dalam episode "Tiga Pengemis Sakti"). Pendekar Pulau
Neraka melangkah dua tindak ke belakang. Saat itu juga cepat disadarinya,
persoalan ini tidak mungkin diselesaikan dengan cara damai. Bayu juga menyadari,
rahasianya tentang Keris Naga Emas tidak bisa disembunyikan terus-menerus.
Memang, di dalam ganasnya rimba persilatan,
keadaan seperti yang dialami Pendekar Pulau Neraka
ini, sesungguhnya bisa saja terjadi. Bukankah suatu hal yang tidak mungkin jika
seseorang yang bertelinga tajam seperti si Perambah Hutan Penghisap Darah
sempat mendengarkan pembicaraan antara Bayu dan
Ratna Wulan tentang Keris Naga Emas itu, entah di
mana. Dan, tampaknya kedua pendekar muda itu ti-
dak menyadari keadaan ini. Rupanya, pikiran mereka
begitu terpusat pada peristiwa-peristiwa aneh yang ba-ru mereka alami sejak
dititipkan keris oleh Ki Rabun, hingga berhasil keluar dari dasar Jurang Setan.
*** "Baik, aku memang menyimpan keris itu. Tapi
bukan padamu aku harus menyerahkannya. Ada orang
yang lebih berhak memilikinya," kata Bayu tegas.
"He he he...! Sudah kuduga, kau pasti akan
mempertahankannya, Anak Muda. Baik..., aku juga
akan merebutnya darimu. Pertahankanlah keris itu,
Anak Muda," desis si Perambah Hutan Penghisap Darah, dengan nada suara yang
terdengar begitu dingin.
Wuk! Tiba-tiba si Perambah Hutan Penghisap Darah
mengebutkan kapaknya yang berukuran sangat besar
itu ke depan. Begitu kuat kebutan itu, sehingga me-
nimbulkan suara yang menggetarkan. Kemudian ka-
paknya diputar di depan dada, hanya dengan satu tangan. Wuk!
Cepat sekali putarannya, sampai-sampai kapak
itu lenyap dari pandangan mata. Yang terlihat hanyalah lingkaran cahaya


Pendekar Pulau Neraka 34 Dewi Beruang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keperakan di depan dada laki-
laki tua bertubuh kurus kering ini. Putaran itu juga menimbulkan suara deru
angin yang begitu dahsyat.
Dan, di tepi hutan dekat perbatasan Desa Gebang se-
belah Barat ini seakan-akan terjadi badai, yang semakin lama semakin bertambah
dahsyat. "Hmm...."
Bayu menggumam perlahan. Dia tahu, si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah itu sudah mulai me-
lancarkan serangannya. Serangan pertama ini begitu
dahsyat luar biasa. Hembusan angin yang keluar dari putaran kapak itu membuat
debu dan daun-daun kering berhamburan ke udara. Bahkan, kerikil-kerikil kecil
mulai terlihat berpentalan Bumi yang mereka pijak pun terasa bergetar, seperti
terjadi gempa. Semakin cepat putaran kepak itu, semakin dahsyat pula badai yang
terjadi. "Hap!"
Bayu cepat-cepat merapatkan kedua telapak
tangannya di depan dada ketika kakinya mulai tergeser ke belakang. Kedua bola
matanya tertuju lurus, menatap dengan sinar yang begitu tajam, tepat ke tengah-
tengah pusat lingkaran kapak di tangan kanan si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah. Sementara itu Ratna
Wulan, yang tidak dapat lagi bertahan, sudah berlindung di balik sebatang pohon
yang sangat besar dan
tampak kokoh menerima gempuran badai yang sema-
kin dahsyat ini.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Bayu berteriak keras menggelegar.
Dan, seketika itu juga....
Wusss! Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
mengibas ke depan, seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di
pergelangan tangan kanan itu melesat cepat bagai kilat. Dan, senjata andalan ini
tepat tertuju ke bagian tengah lingkaran kapak bercahaya
keperakan itu. Begitu cepat serangan balasan yang dilakukan Bayu. Si Perambah
Hutan Penghisap Darah
pun tampak terbelalak kaget setengah mati.
"Hap!"
Cepat-cepat si Perambah Hutan Penghisap Da-
rah menarik tangannya ke samping. Lalu, secepat itu pula dikibaskan kaki depan.
Disampoknya senjata andalan Pendekar Pulau Neraka.
Trang! "Hup! Yeaaah...!"
Bayu cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke
belakang, lalu berputaran beberapa kali. Dan begitu kakinya menjejak tanah
kembali, tangan kanannya
langsung diangkat ke atas kepala. Cakra Maut pun
kembali menempel di pergelangan tangannya dengan
cepat sekali. Serangan kilat yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka ini membuat
badai yang diciptakan si
Perambah Hutan Penghisap Darah dengan kapaknya
itu terhenti seketika. Deru angin yang begitu dahsyat kini tidak terdengar lagi.
Meskipun hanya terjadi sebentar, badai ciptaan
si Perambah Hutan Penghisap Darah telah membuat
keadaan di dekat perbatasan Desa Gebang sebelah Ba-
rat ini porak-poranda. Tidak sedikit pepohonan yang tumbang. Bahkan tidak
sedikit pula bebatuan yang
hancur saling beradu ketika terpental terkena hembusan angin badai yang begitu
kuat dan dahsyat tadi.
Sementara itu, Pendekar Pulau Neraka dan si Peram-
bah Hutan Penghisap Darah kembali saling berhada-
pan, dengan jarak sekitar satu setengah batang tom-
bak. Mereka saling bertatapan dengan tajam, seakan-
akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-
masing. *** 3 "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, si Peram-
bah Hutan Penghisap Darah melompat cepat bagai ki-
lat sambil mengayunkan kapaknya yang besar ke arah
kepala Bayu. Begitu besar tenaga dalam yang dikerahkannya. Sehingga, ayunan
kapak itu menimbulkan su-
ara deru angin yang begitu dahsyat menggetarkan da-
da. "Hiiap!"
Manis sekali Bayu mengelakkan serangan itu.
Dia hanya mengegoskan kepalanya. Namun, Bayu
sempat juga terperanjat ketika mata kapak yang berkilat tajam lewat di depan
mukanya. Terasa sekali, hembusan angin dari ayunan kapak itu mengandung tena-
ga dalam tinggi yang memancarkan hawa panas begitu
menyengat Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka me-
lompat ke belakang, sebelum si Perambah Hutan
Penghisap Darah melakukan serangan kembali.
"Bagus...! Rupanya kau punya simpanan juga,
Anak Muda," dengus si Perambah Hutan Penghisap Darah, memuji lawannya.
"Siapa gurumu?"
"Kau tidak perlu tahu, Kisanak," sahut Bayu, agak ketus.
"Angkuh juga kau, Bocah. Baik, aku akan me-
maksamu menyebutkan nama gurumu."
"Silakan kalau kau mampu."
"He he he.,.! Bersiaplah kau, Bocah Sombong!
Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu segera melompat ke samping begitu si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah kembali melakukan
serangan. Kapak yang berukuran besar itu dikibaskan ke arah dada Pendekar Pulau
Neraka. Tapi, dengan gerakan tubuh yang begitu manis, Bayu berhasil meng-
hindarinya. Bahkan, tanpa diduga sama sekali, dia melepaskan satu tendangan
menggeledek dengan kaki ki-
rinya, sambil memiringkan tubuh sedikit ke kanan.
"Haiiit...!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah tersentak
kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang sambil mengebutkan
kapaknya ke kaki Pende-
kar Pulau Neraka. Tapi, Bayu sudah lebih cepat menarik kakinya. Bahkan, tanpa
memijakkan kaki kirinya
ke tanah, dia melesat ke udara, lalu meluruk deras
sambil melepaskan satu pukulan menggeledek ke arah
kepala si Perambah Hutan Penghisap Darah. Begitu
sempurna tenaga dalam yang dikerahkan Bayu. Angin
pukulannya pun telah terasa sebelum pukulan itu
sampai di kepala laki-laki tua bertubuh kurus kering ini.
Glarrr.... Satu ledakan keras terdengar ketika pukulan
Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah. Pukulan Pendekar Pulau Neraka itu tidak
mengenai sasaran, karena si Perambah Hutan Penghisap Darah sudah melompat
tinggi. "Hup! Hiyaaa...!"
Tidak ada pilihan lain bagi si Perambah Hutan
Penghisap Darah. Cepat-cepat dia melentingkan tu-
buhnya ke udara menghindari serangan pukulan yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu,
yang mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam
pada pukulannya, tidak dapat lagi menarik serangan-
nya. Sehingga, pukulannya pun menghantam tanah.
Glarrr...! Satu ledakan keras langsung terdengar meng-
gelegar ketika pukulan Pendekar Pulau Neraka meng-
hantam tanah. Begitu dahsyat pukulan bertenaga da-
lam sempurna itu. Tanah yang terhantam pun seketika hancur. Debu langsung
menyemburat tinggi ke udara.
Bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa yang be-
gitu dahsyat. "Hup!"
Bayu cepat melompat ke belakang sejauh be-
berapa langkah. Manis sekali kakinya menjejak tanah.
Tampak tanah yang terkena pukulannya tadi telah berlubang sangat besar, seperti
sebuah lubang kuburan
gajah. Si Perambah Hutan Penghisap Darah yang meli-
hat hasil pukulan maut Pendekar Pulau Neraka itu
langsung terlongong-longong. Dia tidak menyangka
sama sekali kalau pemuda berbaju kulit harimau itu
memiliki kekuatan tenaga dalam yang begitu dahsyat
luar biasa. "Aku bisa menghancurkan tubuhmu kalau kau
tidak segera angkat kaki dari sini, Orang Tua...!" desis Bayu dingin, dengan
nada mengancam.
Dari nada suaranya, Pendekar Pulau Neraka ti-
dak bisa lagi dianggap main-main, Jelas Bayu tidak
menginginkan urusan ini berlarut-larut. Tapi, rupanya si Perambah Hutan
Penghisap Darah tidak juga mau
mundur sebelum mendapatkan Keris Naga Emas yang
sangat diinginkannya. Tampaknya dia akan berusaha
sampai mati untuk merebut keris berwarna emas yang
tetap dipertahankan oleh Pendekar Pulau Neraka itu.
Memang, apa pun yang terjadi, Bayu akan tetap mem-
pertahankan Keris Naga Emas, yang dititipkan oleh Ki Rahun sebelum menghembuskan
napas terakhir. Dan,
Bayu pun tetap teringat akan pesan yang dikatakan
oleh lelaki tua itu untuk menyerahkan keris ini kepada pewarisnya yang berhak.
"Phuih!"
Si Perambah Hutan Pengemis Darah menyem-
burkan ludahnya dengan sengit. Perlahan kakinya di-
geser ke kanan beberapa langkah. Sorot matanya ma-
sih tetap tajam, tertuju langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka. Dia benar-
benar tidak menyangka
kalau pemuda yang dihadapinya ini begitu tangguh.
Dan, dia tidak ingin lagi menganggap enteng. Hampir saja tadi dia celaka, karena
menganggap rendah pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kita tentukan sekarang. Kau atau aku yang
harus mati, Anak Muda!" desis si Perambah Hutan Penghisap Darah, dingin.
"Di antara kita tidak ada persoalan, Ki. Sebaiknya tidak perlu diperpanjang lagi
urusan tak berguna ini," kata Bayu, mencoba untuk tidak memperpanjang
pertarungan yang dianggapnya tidak berguna ini.
"Jangan banyak mulut kau, Bocah! Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Begitu si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah kembali melakukan
serangan, dia terpaksa melayani keinginan laki-laki tua yang menggunakan senjata
kapak itu. Dan, kali ini serangan-serangan yang dilancarkan si Perambah Hutan
Penghisap Darah ternyata sungguh dahsyat luar
biasa. Begitu gencarnya, sehingga tidak ada kesempatan sedikit pun bagi Bayu
untuk membalas. Memang,
si Perambah Hutan Penghisap Darah tidak memberi-
kan kesempatan pada lawannya ini untuk membalas
menyerang. "Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan dan meliuk-
liukkan tubuhnya. Di hindarinya setiap serangan yang dilancarkan si Perambah
Hutan Penghisap Darah itu.
Jurus demi jurus pun berlalu dengan cepat. Tapi pertarungan itu tampaknya masih
akan berlangsung la-
ma. Beberapa kali kibasan kapak si Perambah Hutan
Penghisap Darah hampir membelah tubuh Pendekar
Pulau Neraka. Tapi sampai saat ini Bayu masih bisa
menghindarinya dengan manis, walaupun dia belum
memiliki kesempatan untuk melakukan serangan ba-
lasan. "Mampus kau, Bocah! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan
kilat si Perambah Hutan Penghisap Darah melompat
sambil menghantam kapaknya ke kepala Pendekar Pu-
lau Neraka. Begitu kuat hantaman yang disertai den-
gan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu. Angin yang ditimbulkannya pun
terasa begitu panas menyengat kulit.
"Hap! Hiyaaa...!"
*** Cepat sekali Bayu menarik kepalanya ke bela-
kang, sambil menggeser juga kedua kakinya ke be-
lakang dua tindak. Dan, ujung mata kapak si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah itu lewat sedikit saja di depan hidung pemuda
berbaju kulit harimau ini.
Pada saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, Bayu melepaskan satu tendangan
keras menggeledek disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah men-
capai tingkat sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah tersentak
kaget setengah mati. Tidak disangkanya Pendekar Pu-
lau Neraka mampu melakukan serangan balik yang
begitu cepat di saat sedang menghindari serangannya.
Cepat-cepat lelaki tua bertubuh kurus ini melompat ke belakang beberapa tindak.
Namun, baru saja kakinya
menjejak tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan
kanannya ke depan, dengan tubuh sedikit miring ke
kiri. "Yeaaah...!"
Wusss! "Heh..."! Ikh!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah terbeliak
setengah mati ketika dari pergelangan tangan Pen-
dekar Pulau Neraka meluncur sebuah benda berben-
tuk cakra yang berwarna keperakan. Cakra Maut ber-
segi enam itu meluncur dengan cepat bagai kilat Dan, cepat-cepat si Perambah
Hutan Penghisap Darah mengibaskan kapaknya. Disampoknya senjata maut Pen-
dekar Pulau Neraka itu.
Wuk! Trang! "Ikh..."!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah terpekik
ketika ujung mata kapaknya berbenturan dengan Ca-
kra Maut tepat di depan dadanya. Begitu keras benturan itu, sampai menimbulkan
pijaran api yang me-
mancar ke segala arah. Saat itu juga Cakra Maut kembali melesat berbalik kepada
pemiliknya. Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Dan,
cakra bersegi enam keperakan itu kembali menempel
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
Pada saat itu juga, dengan cepat sekali Bayu
melompat sambil melepaskan satu tendangan yang ke-
ras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali
tingkatannya. Begitu cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si


Pendekar Pulau Neraka 34 Dewi Beruang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perambah Hutan Penghisap Darah pun tidak sempat
lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Des! "Akh...!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali
terpekik. Kali ini tendangan kaki kanan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam
dadanya dengan keras
sekali. Tak pelak lagi, lelaki tua itu terpental ke belakang dengan keras
sekali. Dan, tubuhnya tepat jatuh di dalam lubang besar yang seperti kuburan
gajah tadi. Pada saat yang bersamaan, Bayu mendarat tepat di
pinggiran lubang itu. Sedangkan si Perambah Hutan
Penghisap darah tampak menggeletak dengan napas
tersengal di dalam lubang. Mulut dan hidungnya men-
geluarkan darah kental agak berwarna kehitaman.
"Lubang ini memang cocok untuk kuburanmu
Kek ." desis Bayu dingin,
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat
kepalan tangan kanannya ke atas kepala. Sedangkan
si Perambah Hutan Penghisap Darah sudah tidak ber-
daya lagi. Tendangan yang mendarat di dadanya tadi
mengandung pengerahan tenaga dalam yang begitu
dahsyat dan sudah sempurna tingkatannya. Seluruh
rongga dadanya kini terasa remuk. Bahkan, tulang-
tulang dadanya terlihat jelas sudah hancur. Memang
tidak ada lagi harapan bagi si Perambah Hutan Peng-
hisap Darah untuk bisa bertahan hidup lebih lama.
Darah yang keluar dari mulutnya semakin ber-
tambah banyak. Dan nafasnya sudah tersendat-
sendat. Kedua bola matanya pun tidak lagi memancar-
kan sinar tajam. Begitu redup, bagai sepasang pelita yang sudah kehabisan
minyak. Laki-laki tua yang di-
kenal dengan julukan si Perambah Hutan. Penghisap
Darah itu benar-benar sudah tidak bisa lagi berbuat apa pun. Dia hanya bisa
menggeletak tak berdaya di
dalam lubang sebesar kuburan gajah, yang tidak sen-
gaja dibuat tadi oleh Pendekar Pulau Neraka.
"Terimalah kematianmu, Kakek Iblis...!" desis
Bayu, dingin. "Kakang, jangan...!"
Hampir Pendekar Pulau Neraka telanjur mele-
paskan satu pukulan jarak jauh yang berkekuatan te-
naga dalam tingkat sempurna ke arah si Perambah
Hutan Penghisap Darah. Untung saja terdengar seruan Ratna Wulan yang begitu
keras. Pemuda berbaju kulit harimau itu memalingkan kepalanya. Tampak Ratna
Wulan berlari-lari kecil menghampiri. Monyet kecil
berbulu hitam mengikuti dari belakang, sambil mencerecet ribut.
"Nguk!"
Monyet kecil yang bernama Tiren itu langsung
melompat naik ke pundak kanan Bayu. Sedangkan
Ratna Wulan berdiri dekat agak ke depan, di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka.
Gadis itu melirik sedikit pada si Perambah Hutan Penghisap Darah yang masih
menggeletak tak berdaya di dalam lubang.
"Tidak ada gunanya membunuh dia, Kakang.
Sebaiknya tanyakan saja, kenapa dia menginginkan
Keris Naga Emas itu," kata Ratna Wulan.
"Hmm...."
Bayu menggumam sedikit. Tangan kanannya
sudah turun kembali. Bola matanya menatap tajam
pada si Perambah Hutan Penghisap Darah.
"Kau dengar apa katanya, Ki. Kau beruntung
tidak terkubur di sini," kata Bayu, sedikit membentak.
Si Perambah Hutan Penghisap Darah diam saja.
Sinar matanya semakin kelihatan redup. Darah terus
mengalir dari mulut dan hidungnya. Sedikit pun tu-
buhnya tidak bergerak, seakan-akan raganya sudah
mati. Hanya gerakan lemah di dada dan matanya sedi-
kit terbuka yang bisa menandakan kalau dia masih hidup. "Ki..., untuk apa kau
menginginkan Keris Naga Emas itu?" tanya Ratna Wulan lembut
Tidak terdengar suara sedikit pun dari bibir
berlumuran darah yang bergerak-gerak itu. Sepertinya si Perambah Hutan Penghisap
Darah ingin bicara. Ta-pi, mendadak tubuhnya mengejang kaku, kemudian
langsung lunglai, dan kedua matanya terpejam. Bayu
cepat-cepat melompat ke dalam lubang. Ujung jari tangannya langsung ditempelkan
ke leher lelaki bertubuh kurus itu. Sebentar kemudian Pendekar Pulau Neraka
berpaling kepada Ratna Wulan. Kepalanya menggeleng, lalu dia kembali melompat ke
atas. "Dia sudah mati," ujar Bayu.
"Heh, sayang sekali. Padahal keterangannya
sangat berguna untuk membantu menemukan pewaris
keris itu, Kakang," desah Ratna Wulan perlahan.
"Tendangan ku terlalu keras tadi," ujar Bayu, seperti menyesal.
"Yaaah..., terpaksa kita harus mencari lagi pe-tunjuk yang lain untuk menemukan
gadis itu," desah Ratna Wulan lagi.
"Kau masih ingat namanya, Kakang?"
"Intan Kumala," sahut Bayu.
"Kakang, apa tidak sebaiknya kita mencari ke-
terangan di Desa Gebang ini saja. Siapa tahu ada di antara penduduk desa itu
yang kenal dengan Intan
Kumala," saran Ratna Wulan.
Bayu tampak merenung. Dia kembali teringat
pada Ki Rahun, laki-laki tua berpakaian compang-
camping yang ditolongnya ketika hampir tewas di tan-
gan Ki Laksa. Dia tidak tahu, kenapa Ki Rahun sampai bertarung menyabung nyawa
dengan Ki Laksa. Tapi,
setidak-tidaknya di Desa Gebang dia bisa menda-
patkan keterangan dari laki-laki tua berjubah putih itu.
Ki Laksa memang sangat disegani di Desa Ge-
bang ini. Dia adalah, orang kepercayaan pihak kera-
jaan yang bertugas mengawal barang-barang berharga
ataupun mengiringi anggota keluarga istana kerajaan.
Tentu saja tidak sulit bagi Bayu untuk menemuinya.
"Sudah sore. Ayo kita cari penginapan di sana,"
ajak Bayu sambil menunjuk ke Desa Gebang.
*** Malam sudah cukup larut. Kegelapan meram-
bat menyelimuti sebagian permukaan bumi. Kesunyian
begitu terasa mencekam. Hanya desiran angin dan ge-
rit binatang malam yang terdengar mengusik kesu-
nyian ini. Di bawah siraman cahaya bulan yang me-
mancar lembut, terlihat seorang wanita melangkah
perlahan-lahan menyusuri jalan tanah di pinggiran
Desa Gebang. Pakaiannya yang berwarna putih kelihatan su-
dah hampir memudar dan kotor penuh debu. Terdapat
pula sobekan di beberapa bagian. Rambutnya yang
panjang tampak acak-acakan tak teratur, sehingga
hampir menutupi wajah yang berkulit putih tapi kelihatan kotor penuh debu yang
bercampur keringat.
Memang udara malam ini terasa cukup panas.
Wanita yang kelihatannya masih muda itu te-
rus melangkah perlahan, tapi ayunan kakinya tampak
mantap. Dan, sorot matanya juga terlihat tajam me-
mandang lurus ke depan. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Dia terus
berjalan melintasi jalan tanah
yang seperti membelah Desa Gebang ini menjadi dua
bagian. Dan ayunan kakinya baru berhenti setelah
sampai di depan sebuah pagar rumah dari bambu.
Rumah itu sangat besar dan dikelilingi halaman
yang luas. Keadaan di dalamnya tampak terang-
benderang. Terlihat beberapa orang laki-laki muda berjalan mondar-mandir di
sekitarnya. Di pinggang mere-ka masing-masing terselip sebilah golok. Mungkin
mereka adalah para penjaga rumah itu, rumah yang pal-
ing besar di Desa Gebang. Bahkan, rumah ini lebih besar dari rumah kepala desa
sendiri. Dan, semua orang tahu, itu adalah rumah Ki Laksa.
"Bersiap-siaplah kau, Paman Laksa. Pembala-
sanku sudah tiba."
Wanita muda berpakaian putih dan compang-
camping itu menggumam. Suaranya datar dan dingin
sekali. Tak terdengar tekanan nada sedikit pun pada gumamnya tadi. Dan, dia
tetap berdiri tegak memandangi rumah berukuran besar itu.
Dua orang laki-laki muda yang sejak tadi berdi-
ri di depan beranda terlihat bergerak menghampiri.
Mereka menyeberangi halaman yang cukup luas dan
ditumbuhi rerumputan. Sedangkan wanita mu-dan se-
perti pengemis itu tetap diam berdiri tegak tak bergem-ing sedikit pun.
"Hei! Mau apa kau ke sini" Pergi sana...!" bentak salah seorang pemuda itu
dengan kasar. "Hmm...," wanita muda berbaju putih compang-camping itu hanya menggumam sedikit
"Pergi sana! Jangan mengotori tempat ini!" bentak pemuda itu lagi.
"Kalian, tikus-tikus Busuk! Tidak pantas buka
bacot di depanku, Hih...!"
Tiba-tiba wanita itu mengebutkan tangan ka-
nannya ke depan. Begitu cepat kebutannya, hingga
hampir tidak terlihat. Saat itu juga, dari telapak tangan wanita itu melesat dua
buah benda kecil berca-
haya kuning keemasan.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan panjang melengking tinggi seketika
terdengar menyayat membelah malam yang sunyi ini.
Tampak kedua pemuda itu langsung ambruk dengan
dada berlubang berlumuran darah. Hanya sebentar
keduanya menggelepar, kemudian diam tak bergerak-
gerak lagi. Dada mereka berlubang cukup besar. Ben-
da kecil berwarna keemasan yang menghantam tadi
ternyata berakibat luar biasa.
Jeritan yang begitu panjang dan melengking
dari kedua pemuda itu mengejutkan penjaga rumah Ki
Laksa lainnya. Sebentar saja terlihat beberapa orang berlarian menyeberangi
halaman. Dan, pada saat itu
juga.... "Hup!"
Wanita muda berpakaian putih compang-
camping itu tiba-tiba melesat cepat. Begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap
mata, tubuhnya sudah lenyap
tak berbekas sama sekali. Sedangkan orang yang ber-
datangan tampak terperanjat kaget begitu melihat dua orang teman mereka sudah
menggeletak tak bernyawa
dengan dada berlubang cukup besar.
Saat itu, terlihat seorang laki-laki tua berjubah
putih keluar dari pintu depan rumah, diikuti oleh tiga orang laki-laki berusia
setengah baya. Mereka bergegas melangkah menyeberangi halaman. Sekitar lima
belas pemuda yang berkerumun segera menyingkir memberi
jalan. Laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah Ki Laksa itu tampak
terperanjat setengah mati begitu melihat dua orang penjaga rumahnya telah
menggeletak tewas dengan dada berlubang. Di dalam dada itu
terlihat sebuah benda kecil berbentuk bulat dan berwarna kuning keemasan. Ki
Laksa mengambil benda
itu dan mengamatinya beberapa saat.
"Mustahil...!" desis Ki Laksa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa itu, Ki?" tanya Laki-laki setengah baya yang mengenakan baju merah.
"Ini," sahut Ki Laksa sambil menyerahkan benda bulat kecil keemasan itu.
Si Nyawa Merah menerima benda itu, dan men-
gamatinya sebentar, lalu menyerahkannya pada si
Nyawa Biru. Kemudian, si Nyawa Kuning pun menda-
pat giliran untuk mengamatinya. Mereka semua me-
mandangi Ki Laksa yang tampak termenung setelah
melihat benda bulat kecil keemasan yang menewaskan
dua orang penjaga rumahnya ini.
"Mustahil kalau dia masih hidup, Ki," ujar si Nyawa Merah.
"Seharusnya kalian pastikan dulu kalau dia
sudah mati. Huh...! Persoalan ini tidak ada habis-
habisnya!" dengus Ki Laksa seraya melangkah kembali ke rumahnya.
Tiga orang laki-laki setengah baya yang dikenal
dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa bergegas ikut masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, para pemuda
penjaga rumah Ki Laksa tampak sibuk mengurus ke-
dua orang penjaga malam yang tewas mengenaskan
tadi. *** 4 Ki Laksa terkejut setengah mati saat sampai di
ambang pintu rumahnya. Kedua bola matanya lang-
sung terbeliak lebar. Keadaan di dalam rumahnya terlihat berantakan, seperti
baru diamuk puluhan gajah liar. Tidak ada satu barang pun yang masih utuh.
Semuanya hancur berkeping-keping. Perampok Tiga
Nyawa yang baru sampai langsung menerobos masuk
melewati Ki Laksa yang masih berdiri terlongong-
longong di ambang pintu.
Hanya beberapa saat mereka meninggalkan
rumah ini tadi untuk melihat dua penjaga yang tewas di depan pintu pagar. Tapi,
keadaan di dalam rumah
ini sekarang sudah seperti kapal pecah dihantam ge-
lombang lautan. Ki Laksa bergegas menerobos masuk.
Dan, diperiksanya semua ruangan di dalam rumah.
Tidak ada satu ruangan pun yang , terlihat masih
utuh. Semuanya sudah hancur berantakan. Begitu ce-
pat rumahnya diobrak-abrik.
Brak! "Heh..."!"
Ki Laksa terkejut bukan main ketika tiba-tiba
sebuah pintu di depannya tertutup sendiri. Cepat dia melompat mendekati pintu
itu. Tapi, baru saja kakinya menjejak lantai, mendadak pintu itu jebol.
Bruakkk! "Hup!"
Cepat-cepat Ki Laksa melentingkan tubuhnya,
berputaran beberapa kali ke belakang. Dari pintu yang hancur itu, melesat sebuah
bayangan putih begitu cepat bagai kilat. Bayangan itu lewat di atas tubuh Ki
Laksa yang sedang berputaran. Bayangan putih itu terus melesat cepat melewati
atas kepala tiga laki-laki
setengah baya yang dikenal dengan julukan si Peram-
pok Tiga Nyawa.
"Tahan dia...!" seru Ki Laksa keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Nyawa Biru, yang lebih dulu menyadari, cepat
melesat mengejar bayangan putih itu. Satu pukulan
keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
langsung dilepaskannya ke arah bayangan putih itu.
Tapi, tanpa diduga sama sekali, bayangan putih itu


Pendekar Pulau Neraka 34 Dewi Beruang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berputar cepat dan langsung berbalik menyerang begi-tu serangan yang dilancarkan
si Nyawa Biru dapat dihindari. "Uts...!"
Cepat-cepat Nyawa Biru memutar tubuhnya ke
belakang beberapa kali. Dihindarinya benda-benda kecil berwarna keemasan yang
tiba-tiba saja meluncur
cepat ke arahnya. Pada saat itu juga, bayangan putih itu cepat melesat keluar.
Begitu cepat gerakannya. Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa pun tidak sempat
lagi mengejar. Tepat pada saat tubuhnya keluar melewati pin-
tu, mendadak bayangan putih itu berbalik. Kini jelas-lah terlihat, dia seorang
wanita muda berbaju putih yang compang-camping seperti gembel jalanan. Rambutnya
yang panjang dibiarkan meriap tak teratur.
Dan terlihat sedikit gelungan di atas kepalanya. Sebentar dia berdiri tegak di
depan beranda, lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita
berbaju putih compang-camping itu menghentakkan
kedua tangannya ke depan. Seketika dari kedua tela-
pak tangannya memancar cahaya merah bagai api. Si-
nar merah itu langsung menghantam rumah Ki Laksa
yang besar ini.
Glarrr...!"
Ledakan keras menggelegar seketika terdengar
begitu dahsyat saat sinar merah keluar dari kedua telapak tangan wanita muda
berbaju putih compang-
camping itu. Tak pelak lagi, rumah besar dengan dinding terbuat dari batu itu
hancur berkeping-keping. Api langsung berkobar membakar seluruh bangunan rumah
ini. Pada saat itu juga, wanita muda berbaju putih compang-camping itu melesat
cepat. Begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya pun sudah lenyap
tak berbekas lagi.
Tepat di saat wanita muda itu lenyap, dari ko-
baran api yang berkobar melahap bangunan rumah Ki
Laksa itu terlihat melesat empat bayangan dengan cepat sekali. Dan, tahu-tahu di
halaman depan sudah
mendarat Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Se-
dangkan api terus berkobar semakin besar melahap
seluruh bangunan rumah ini.
"Setan alas...!" maki Ki Laksa.
Dia memandangi rumahnya yang mulai hancur
termakan api. Malam yang semula sunyi dan tenang
seketika itu juga menjadi terang benderang. Terdengar suara gemeretak dari kayu-
kayu yang termakan api.
Sebentar saja, sekitar halaman rumah Ki Laksa sudah dipenuhi penduduk Desa
Gebang. Mereka terbangun
tadi ketika mendengar keributan di rumah Ki Laksa.
"Kumpulkan semua orang yang ada. Cari si ke-
parat itu...!" seru Ki Laksa, lantang menggelegar.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang
laki-laki setengah baya dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa itu
langsung bergerak mengum-
pulkan orang-orangnya yang berada di sekitar hala-
man rumah ini. Sedangkan Ki Laksa menggerutu dan
memaki-maki sendiri. Rumahnya sudah hancur terba-
kar. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Kejadiannya begitu cepat, dan sama
sekali tidak pernah diduga
sebelumnya. Sebentar kemudian, sekitar dua puluh orang
anak muda yang masing-masing menyandang golok
sudah berkumpul di depan Ki Laksa. Sedangkan si Pe-
rampok Tiga Nyawa berdiri di belakang laki-laki tua berjubah putih itu. Tampak
pula orang semakin banyak berkerumun di luar pagar rumah ini. Tak ada
seorang pun yang berani melewati pagar yang hanya
terbuat dari bambu itu. Mereka hanya bisa menyaksi-
kan sambil berbisik-bisik dan bertanya-tanya sendiri.
"Kalian bertiga, bawa mereka semua. Cari si
keparat itu sampai dapat!" perintah Ki Laksa yang masih diliputi keberangan.
"Baik, Ki," sahut Nyawa Merah.
"Pergi sekarang juga!"
Si Perampok Tiga Nyawa segera membawa ke-
dua puluh pemuda itu pergi. Sedangkan Ki Laksa ma-
sih tetap berdiri memandangi api yang terus melahap rumahnya. Udara malam yang
semula terasa begitu
dingin kini menjadi hangat oleh kobaran api yang besar itu. Ki Laksa memutar
tubuhnya saat mendengar
suara-suara langkah kaki yang mendekat. Tampak
seorang laki-laki setengah baya datang menghampi-
rinya. Dia tahu, laki-laki setengah baya yang mengenakan baju biru muda itu
adalah Ki Antak, Kepala De-sa Gebang.
"Maaf, aku baru bisa datang ke sini, Ki Laksa,"
ucap Ki Antak setelah sampai di dekat Ki Laksa.
"Hmm...."
Ki Laksa hanya menggumam sedikit. Sekilas
dia mengedarkan pandangan. Dirayapinya orang-orang
yang berkerumun di luar pagar rumahnya. Kemudian
dia memandang pada Ki Antak yang berdiri sekitar tiga langkah di depannya.
"Apa yang terjadi dengan rumahmu, Ki?" tanya
Ki Antak. "Kalaupun aku katakan, kau tidak akan bisa
membantu, Ki Antak. Maaf, biarkan aku mengurusnya
sendiri. Ini persoalan pribadiku," sahut Ki Laksa agak ketus. Tanpa menghiraukan
Ki Antak, Ki Laksa melangkah pergi menuju ke belakang rumahnya yang su-
dah habis terbakar. Di bagian belakang rumahnya
memang ada bangunan lain yang berukuran kecil.
Dan, biasanya tempat itu digunakan hanya untuk ber-
semadi. Untung saja bangunan itu tidak ikut dihan-
curkan, sehingga Ki Laksa masih bisa menggunakan-
nya untuk berteduh. Sedangkan Ki Antak hanya bisa
diam memandangi kepergian Ki Laksa sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Dia berbalik dan meninggalkan halaman rumah itu.
Dalam hati kecilnya, sesungguhnya Ki Antak
merasa senang melihat kejadian yang menimpa Ki
Laksa. Bahkan, sudah lama dia berharap, ada seorang pendekar yang dapat
menundukkan Ki Laksa ataupun
membunuhnya. Selama ini, para penduduk Desa Ge-
bang sering kali diperlakukan sewenang-wenang oleh
Ki Laksa dan para pengikutnya. Dan, tidak ada seo-
rang pun yang berani melawan termasuk Ki Antak
sendiri. Bahkan Kepala Desa Gebang merasa, dirinya
benar-benar tidak ada artinya dibanding lelaki tua
yang cukup dikenal di rimba persilatan.
*** Terbakarnya rumah Ki Laksa menjadi buah bi-
bir di seluruh pelosok Desa Gebang. Tak ada seorang pun yang tidak
membicarakannya. Tapi, tak seorang
pun yang tahu, kenapa rumah orang paling kaya di de-sa ini bisa terbakar habis
tanpa dapat diselamatkan
lagi. Bayu dan Ratna Wulan yang telah berada di
desa ini juga mendengar semua pembicaraan yang ke-
banyakan bernada sumbang itu. Mereka jadi tahu, se-
benarnya keberadaan Ki Laksa dan tiga orang pemban-
tu kepercayaannya tidak disenangi oleh penduduk. Ta-pi, tak ada seorang pun yang
bisa berbuat sesuatu,
mengingat Ki Laksa bukanlah orang sembarangan. Dia
pun memiliki hubungan kuat dengan orang-orang di
istana kerajaan. Terlebih lagi ketiga pembantu kepercayaannya bisa melakukan apa
saja jika Ki Laksa su-
dah memberikan perintah. Semua orang di Desa Ge-
bang ini merasa senang dengan peristiwa semalam.
Tapi, mereka juga diliputi kekhawatiran, kalau-kalau Ki Laksa memerintahkan
orang-orangnya mengobrak-abrik seluruh desa ini hanya untuk mencari orang
yang telah membakar rumahnya.
"Kau tahu, siapa kira-kira yang membakar ru-
mah ini, Kakang?" tanya Ratna Wulan, saat mereka tengah makan di sebuah kedai
yang tidak begitu ramai pengunjungnya.
"Yang pasti orang yang punya urusan dengan-
nya," sahut Bayu seenaknya.
"Itu sudah pasti, Kakang. Tapi siapa orang-
nya...?" sungut Ratna Wulan.
"Mana aku tahu...," sahut Bayu sambil mengangkat sedikit bahunya.
Saat itu Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa
masuk ke dalam kedai ini. Semua orang yang berada di dalam kedai bergegas keluar
begitu melihat Ki Laksa dan ketiga pembantu kepercayaannya datang. Hanya
Bayu dan Ratna Wulan yang masih tinggal, selain pe-
milik kedai itu sendiri tentunya. Laki-laki tua pemilik kedai itu tampak
ketakutan melihat kedatangan Ki
Laksa dan tiga orang pembantu kepercayaannya yang
dikenal dengan julukan Perampok Tiga Nyawa. Melihat Bayu dan Ratna Wulan masih
tetap berada di tempatnya, Ki Laksa langsung menghampiri, diikuti si Perampok
Tiga Nyawa. "Aku seperti pernah bertemu denganmu, Anak
Muda," kata Ki Laksa begitu berada di depan meja yang ditempati Bayu.
"Ya, satu kali," sahut Bayu, tenang.
Ki Laksa mengamati wajah Pendekar Pulau Ne-
raka beberapa saat Kepalanya terangguk-angguk pe-
lan. Dia langsung teringat pemuda berbaju kulit harimau inilah yang dulu
menolong Ki Rahun dari hunja-
man ujung tongkatnya yang runcing.
Pendekar Pulau Neraka meraih Tiren yang sejak
tadi nangkring di pundaknya. Diserahkannya monyet
kecil itu kepada Ratna Wulan. Perlahan Bayu bangkit berdiri. Kini dia langsung
berhadapan muka dengan Ki Laksa. Hanya sekitar tiga langkah jarak antara mereka
berdua. "Kenapa kau menolong Ki Rahun, Anak Muda?"
tanya Ki Laksa langsung.
"Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya tidak
bisa melihat kau menganiaya seorang pengemis tua
yang tidak berdaya," sahut Bayu tegas, tapi dengan nada suara masih tetap
terdengar tenang.
"Di mana dia sekarang?" tanya Ki Laksa lagi.
"Untuk apa kau tanyakan itu" Untuk membunuh-
nya...?" kali ini nada suara Bayu terdengar ketus.
"Jangan main-main di depanku, Anak Muda.
Kau tahu siapa aku heh...?" dengus Ki Laksa, merasa tidak senang.
"Aku tahu siapa kau, Ki. Bahkan aku memang
Hina Kelana 7 Sumpah Palapa Karya S D. Djatilaksana Geger Dunia Persilatan 4
^