Pencarian

Tiga Pengemis Sakti 2

Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Sakti Bagian 2


tidak dikenalnya ini.
"Orang yang memiliki kedudukan terhormat seharusnya tidak menganiaya rakyat
kecil, apalagi yang sudah tua seperti ini," kata pemuda itu datar, tanpa
menghiraukan pertanyaan Ki Laksa yang bernada berang tadi.
"Phuih!" Ki Laksa menyemburkan ludahnya
dengan sengit. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
berpaling pada Ki Rahun. Sedikit pun tidak dipedulikan Ki Laksa yang tengah
berang. "Sebaiknya kau pergi saja, Ki," kata pemuda itu, lembut.
"Ugkh...!"
Ki Rahun terbatuk kecil. Mulutnya menyemburkan darah kental berwarna agak
kehitaman, yang membuat mata pemuda berbaju kulit harimau tampak menyipit.
Kening pemuda itu berkerut memperhatikan wajah Ki Rahun yang mulai memucat.
Segera dirabanya dada laki-laki tua itu.
"Gawat...," desis pemuda berbaju kulit harimau.
Sejenak pemuda itu menatap tajam pada Ki Laksa.
Kemudian.... "Hup!"
Slap! "Heiii...!"
Ki Laksa hanya bisa berseru dengan terkejut ketika tiba-tiba pemuda berbaju
kulit harimau melesat cepat bagai kilat sambil menyambar tubuh Ki Rahun. Dan,
dalam sekejap mata, pemuda itu sudah lenyap melewati atap rumah. Sedangkan Ki
Laksa hanya bisa berdiri terpaku dengan geraham bergemeretuk menahan berang.
"Setan keparat...!"
*** 5 Ki Laksa masih berdiri mematung di tengah-tengah halaman rumahnya yang luas.
Matanya tak berkedip sedikit pun menatap lurus ke arah hilangnya pemuda tampan
berbaju kulit harimau yang membawa Ki Rahun. Saat itu terlihat, tiga orang laki-
laki berjalan keluar dari rumahnya. Mereka melangkah cepat menghampiri laki-laki
tua berjubah putih ini. Mereka tak lain adalah si Perampok Tiga Nyawa.
"Ada apa, Ki?" tanya Nyawa Merah.
"Dia ternyata masih hidup," desah Ki Laksa, seperti berbicara pada dirinya
sendiri. "Dia siapa, Ki?" tanya Nyawa Merah lagi.
"Ki Rahun," sahut Ki Laksa, tanpa berpaling sedikit pun.
"Ki Rahun...?"
"Mustahil...!" desis Nyawa Biru.
"Tidak mungkin dia bisa selamat dari dalam gua, Ki. Jelas sekali, gua itu sudah
kami hancurkan.
Mustahil kalau ada yang selamat dari sana," desis Nyawa Kuning.
"Bukan hanya dia yang selamat, Nyai Wandari dan para pengawalnya juga bisa
keluar dari dalam gua itu.
Justru Nyai Wandari yang mengeluarkan mereka semua dari sana," kata Ki Laksa
perlahan, seakan-akan bicara untuk diri sendiri.
"Mustahil...," desis Nyawa Merah, tidak percaya.
"Mana mungkin dia bisa melakukan itu, Ki?" tanya Nyawa Biru, meminta penjelasan.
"Aku sendiri tidak akan tahu, bagaimana Nyai
Wandari bisa menyelamatkan mereka dari dalam gua yang kalian hancurkan itu,
kalau saja tadi Rahun tidak mengeluarkan Keris Naga Emas," sahut Ki Laksa,
mencoba menjelaskan.
"Keris Naga Emas..."!" desis Nyawa Biru.
Bukan hanya si Nyawa Biru yang terkejut Tapi, Nyawa Merah dan Nyawa Kuning pun
tampak mengerutkan kening. Mereka sama-sama
memandangi Ki Laksa yang masih tetap menatap lurus ke satu arah, seakan-akan
sedang memperhatikan sesuatu di kegelapan malam. Mereka tahu betul, Keris Naga Emas
adalah senjata yang sangat sakti dan sukar dicari tandingannya. Keris itu
merupakan senjata kebanggaan Ki Satria.
Si Perampok Tiga Nyawa memang tahu, keris itu berhasil dicuri Ki Rahun atas
perintah Ki Laksa ini.
Tapi, mereka tidak tahu kalau keris itu masih berada di tangan Ki Rahun dan
belum diserahkan kepada Ki Laksa. Tanpa keris itulah Ki Satria menjadi lemah.
Mereka pun dengan mudah dapat mengalahkannya dulu, bahkan sampai membunuhnya.
Keris Naga Emas memiliki suatu kekuatan dahsyat yang dapat tersalur kepada
pemegangnya. Tapi, entah apa pengaruhnya bila keris itu berada di tangan orang
yang bukan pemiliknya. Tadi, Ki Laksa mampu mengalahkan Ki Rahun yang memegang
Keris Naga Emas. Itu berarti kekuatan Keris Naga Emas tidak berarti sama sekali
di tangan Ki Rahun.
Hal ini membuat Ki Laksa berpikir keras. Dia tampaknya masih belum percaya bahwa
keris itu bisa kehilangan kekuatannya, meskipun telah terlepas dari tangan Ki
Satria. *** Sementara itu, tidak jauh dari Desa Gebang, tampak dua orang tengah duduk
menghadapi seonggok api unggun. Yang satu adalah seorang pemuda tampan memakai
baju dari kulit harimau.
Sedangkan yang seorang lagi adalah gadis cantik yang mengenakan baju merah muda
ketat, dengan sebuah pedang tersampir di punggungnya. Mereka tidak berkedip
memperhatikan seorang laki-laki berusia lanjut yang tengah duduk bersila dengan
sikap bersemadi. Laki-laki tua itu berpakaian kumal dan compang-camping.
"Apa mungkin dia bisa bertahan, Kakang" Lukanya parah sekali," ujar gadis
berbaju merah muda perlahan. Pandangannya tidak beralih dari laki-laki tua
berbaju compang-camping itu.
"Lihat saja nanti, Wulan," sahut pemuda berbaju kulit harimau, yang juga tidak
mematingkan pandangannya.
"Kau kenal dia, Kakang?" tanya gadis yang dipanggil Wulan itu seraya berpaling
menatap pemuda yang duduk di sampingnya ini.
Pemuda berbaju kulit harimau tidak menjawab. Dia menarik napas panjang, lalu
menghembuskan-nya perlahan-lahan. Kepalanya bergerak berpaling, hingga
bertatapan dengan gadis di sampingnya. Kemudian keduanya sama-sama memandang
kembali pada laki-laki tua berpakaian compang-camping, yang masih tetap duduk
bersila melakukan semadi di bawah pohon.
"Aku tidak tahu siapa dia, Wulan, tadi kebetulan saja aku lewat sewaktu mencari
makanan di desa.
Aku lihat, dia hampir saja terbunuh. Apa salahnya kalau aku menolongnya, kan .."
Kasihan, dia sudah tua. Dan tampaknya..."
Wulan diam saja. Pemuda itu juga terdiam, tidak bicara lagi. Mereka terus
memandangi laki-laki tua berpakaian compang-camping yang masih tetap bersemadi.
"Kakang Bayu...," kata Wulan, agak tertahan.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau berpaling kembali menatap gadis cantik di
sampingnya, dia memang Bayu Hanggara, yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar
Pulau Neraka. Sedangkan gadis cantik di sebelahnya ini adalah Ratna Wulan. Dan,
beberapa saat mereka terdiam, hanya saling pandang.
"Ada apa?" tanya Bayu, lembut.
"Aku kenal pemilik Keris Naga Emas, Kakang.
Rasanya bukan dia pemiliknya," kata Ratna Wulan sambil melirik laki-laki tua
yang masih tetap duduk bersemadi di bawah pohon.
"Kita bisa tanyakan nanti kalau dia sudah selesai dengan semadinya, Wulan," ujar
Bayu. Ratna Wulan terdiam. Sedikit dia mengangkat bahunya. Bayu juga tidak berbicara
lagi. Mereka menunggu laki-laki tua itu selesai bersemadi.
Sedangkan malam terus merayap semakin larut.
Udara pun terasa semakin dingin, terbawa oleh tiupan angin yang agak kencang.
Api unggun yang menyala di depan mereka seakan-akan tidak mampu mengusir
dinginnya udara malam ini.
Cukup lama juga mereka menunggu. Akhirnya, terlihat laki-laki tua itu membuka
kelopak matanya.
Perlahan kepalanya bergerak terangkat. Dan, pandangannya langsung tertuju pada
dua anak muda yang duduk agak jauh menghadapi api unggun. Bayu bergegas
menghampirinya, diikuti Ratna Wulan.
Mereka kemudian duduk bersila di depan laki-laki tua
berpakaian compang-camping yang kelihatan kumuh dan kotor ini.
"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawaku, Anak Muda," ucap laki-laki tua
itu sambil tersenyum pada Bayu.
"Kebetulan saja aku lewat tadi, Ki," sahut Bayu merendah.
"Boleh aku tahu namamu, Anak Muda?"
"Bayu," sahut Bayu, memperkenalkan diri. "Dan ini Ratna Wulan. Tapi dia cukup
dipanggil Wulan."
"Aku Ki Rahun."
Dia memang Ki Rahun, yang baru diselamatkan Bayu dari hunjaman tongkat Ki Laksa.
Terlihat kini, beberapa kali dia terbatuk dan menyemburkan darah kental agak
kehitaman dari mulutnya. Bukan hanya Bayu yang terkejut melihat muntahan darah
itu, tapi Wulan pun tampak terbeliak kaget setengah mati Bayu bergegas hendak
menolongnya tapi Ki Rahun mencegah dengan mengangkat tangannya sedikit
"Tidak ada gunanya lagi menolongku, Anak Muda.
Aku sudah berusaha, tapi...."
Kembali Ki Pahun terbatuk dan menyemburkan darah kental agak kehitaman dari
mulurnya. Sedangkan Bayu dan Ratna Wulan hanya bisa saling melempar pandang. Perlahan Ki
Rahun memasukkan tangan kanan ke balik bajunya. Dan, saat keluar tangan itu
sudah menggenggam sebuah keris berwarna kuning keemasan. Beberapa saat
dipandanginya keris emas itu. Bayu dan Ratna Wulan juga ikut memandangi. Mereka
tidak tahu, untuk apa laki-laki -tua itu mengeluarkan senjata kerisnya ini.
"Aku tahu, kalian berdua adalah pendekar-pendekar muda yang berbudi luhur.
Ugkh..., ugkh...!
Aku tidak mungkin lagi bisa bertahan lebih lama. aku
ingin.... Ugkh...!"
Sulit sekali bagi Ki Rahun untuk berbicara.
Batuknya semakin sering terdengar. Dan, darah kehitaman semakin banyak keluar
dari mulutnya. Wajahnya pun kelihatan begitu pucat, seperti tidak teralirkan darah lagi. Memang
sangat parah luka dalam yang dideritanya akibat pukulan dan tendangan bertenaga
dalam tinggi yang diterimanya dari Ki Laksa. Sementara itu Bayu dan Ratna Wulan
tidak bisa berbuat apa pun. Mereka menyadari, tak ada gunanya lagi membantu
laki-laki tua ini. Mereka tahu, luka dalam yang diderita Ki Rahun memang sangat
parah dan sulit sekali bisa disembuhkan.
"Keris Naga emas ini bukan milikku. Dan tidak ada artinya berada di tanganku.
Keris ini akan sangat berguna kalau berada di tangan keturunan pemiliknya. Tapi
aku tidak tahu, di mana dia sekarang berada. Bahkan aku juga tidak tahu, dia
masih hidup atau sudah mati. Anak Muda..., aku ingin meminta satu pertolongan
lagi padamu," kata Ki Rahun dengan suara yang terbata.
"Katakan saja, Ki," ujar Bayu.
"Tolong berikan keris ini kepada yang berhak. Dia seorang wanita. Dan sekarang
ini mungkin usianya sudah sembilan belas tahun. Dia putri Ki Satria...."
"Namanya, Ki?" tanya Ratna Wulan.
"Intan Kumala," sahut Ki Rahun, pelan sekali.
'Hanya dia yang berhak dan bisa menggunakan Keris Naga Emas ini. Kalau berada di
tangan orang lain, keris ini tidak ada artinya sama sekali."
Kembali Ki Rahun terbatuk. Darah yang keluar dari mulutnya juga semakin banyak,
dan tampak menggumpal kental. Kemudian diulurkan tangannya.
Diserahkannya keris berwarna kuning keemasan itu
kepada Bayu. Dan, begitu Pendekar Pulau Neraka menerima keris itu tubuh Ki Rahun
langsung tergeletak rebah ke tanah.
"Ki...."
Bayu cepat-cepat memeriksa urat nadi di leher laki-laki tua ini. Tapi, Ki Rahun
sudah menghembuskan napasnya yang terakhir. Perlahan-lahan Bayu berdiri, diikuti
Ratna Wulan. Mereka sama-sama memandangi Keris Naga Emas yang kini berada di
tangan Pendekar Pulau Neraka ini. Bayu kemudian menyimpan senjata itu di balik
sabuk ikat pinggangnya. Ditariknya napas sedikit, lalu dihembuskannya kuat-kuat.
"Kau akan mencari gadis itu, Kakang?" tanya Rata Wulan.
"Ya.... Aku tidak bisa mengabaikan pesan dari orang yang sudah meninggal," sahut
Bayu, agak mendesah.,
"Ke mana kau akan mencari?"
Bayu tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak banyak yang dikatakan Ki Rahun
tadi. Lelaki tua ini hanya mengatakan bahwa gadis itu bernama Intan Kumala,
putri dari Ki Satria. Nama-nama ini belum pernah didengar Pendekar Pulau Neraka.
Tapi, Bayu memang tidak sampai hati mengabaikan permintaan terakhir seseorang
yang mengucapkannya di saat ajal datang menjelang. Dia harus mencari gadis yang
bernama Intan Kumala untuk menyerahkan Keris Naga Emas ini.
*** Saat matahari menampakkan dirinya di ufuk Timur, Bayu baru selesai menguburkan
jasad Ki Rahun. Dia berdiri tegak di dekat makam itu sambil memondong monyet kecil
berbulu hitam dengan tangan kanannya. Sedangkan Ratna Wulan berada di sebelah
kanan, agak di belakangnya. Beberapa saat Bayu berdiri dan terdiam memandangi
kuburan itu. Kemudian dia berbalik dan melangkah tanpa berbicara sedikit pun.
Ratna Wulan mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kanan Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan Tiren sudah berpindah ke pundak Bayu. Monyet kecil berbulu hitam itu
duduk diam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sampai cukup jauh mereka
berjalan, belum juga ada yang membuka suara. Dan, tanpa disadari mereka justru
berjalan ke arah Desa Gebang. Tapi, belum juga mereka sampai di perbatasan Desa
Gebang, mendadak....
"Kau mendengar sesuatu, Wulan...?" ujar Bayu tiba-tiba, seraya menghentikan
langkahnya. Ratna Wulan terdiam dan turut menghentikan langkahnya. Dia memasang
pendengarannya tajam-tajam. Dicobanya mencari suara yang dimaksudkan oleh
Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan kepalanya bergerak, lalu berpaling menatap
wajah tampan di sebelahnya. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tampak terdiam, dengan
bibir terkatup rapat.
"Aku tidak mendengar apa-apa, Kakang," kata Rama Wulan, perlahan.
"Kau memang tidak akan bisa mendengar apa-apa, Wulan. Tapi kau pasti bisa
merasakannya," kata Bayu.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang."
Ratna Wulan keheranan. Sungguh dia tidak tahu, apa yang dimaksud oleh Pendekar
Pulau Neraka ini.
Dia memang tidak mendengar apa-apa, selain desiran
angin dan gemerisik dedaunan. Dia juga tidak merasakan apa pun, kecuali usapan
angin pada kulit tubuhnya.
Ratna Wulan bertambah keheranan ketika
dilihatnya Bayu berdiri diam dan kaku, seperti sedang mengerahkan sesuatu dari
dalam tubuhnya. Dan, saat itu pula Ratna Wulan merasakan kulitnya menjadi panas,
seperti berada di dekat api pada saat matahari tengah bersinar terik. Padahal,
saat ini masih terlalu pagi. Langit pun tersaput awan, sehingga cahaya matahari
tidak dapat bersorot langsung ke permukaan bumi. Dan, tidak ada setitik api pun
yang terlihat Tapi, hawa panas yang dirasakan Ratna Wulan semakin kuat saja,
bagai hendak membakar seluruh kulit tubuhnya. Keringat mulai terlihat menitik di
wajah dan lehernya yang berkulit putih.
"Kakang...," desis Ratna Wulan seraya menggeser kakinya lebih mendekat pada
Pendekar Pulau Neraka.
"Jangan melakukan apa pun, Wulan," ujar Bayu.
Saat itu Ratna Wulan memang hendak mengerahkan hawa murni. Tapi, belum juga dia
berbuat sesuatu, dan ucapan Bayu juga masih terngiang di telinganya, mendadak
hawa panas yang dirasakannya menghilang. Dan, kali ini Ratna Wulan merasakan
udara di sekitarnya begitu dingin. Begitu cepat pergantiannya. Sekujur tubuhnya
pun bergidik menggigil. Dan, begitu dinginnya udara saat ini Ratna Wulan merasa
seakan-akan berada di puncak gunung yang sangat tinggi dan terselimut kabut
"Ada apa ini, Kakang...?" tanya Ratna Wulan, agak bergetar.
"Hm...," Bayu hanya menggumam perlahan.
Seluruh tubuh Ratna Wulan sudah mengggil kedinginan. Sebentar saja bibir gadis
itu pun sudah terlihat membiru. Sedangkan Tiren yang berada di pundak kanan Bayu
juga sudah mulai mencerecet ribut Monyet kecil itu melompat turun, lalu berlari
berjingkrakan sambil mencerecet. Keadaan pun menjadi sangat bising.
"Kakang...."
"Salurkan hawa murni dari pusat tubuhmu, Wulan."
"Sulit, Kakang. Aku..."


Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seluruh tubuh Ratna Wulan semakin menggigil dan membiru kedinginan. Melihat
keadaan itu, Bayu cepat-cepat menggeser kakinya ke belakang Ratna Wulan. Dan,
ditempelkannya kedua telapak tangan di punggung gadis ini.
"Duduk, Wulan," pinta Bayu.
"Ugkh...!"
Ratna Wulan melenguh kecil saat menggerakkan tubuhnya untuk duduk di tanah yang
berumput dingin. Perlahan-lahan diusahakannya untuk duduk bersila. Bibirnya
meringis. Ditahannya rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang seluruh persendian
tulang. Hawa dingin ini begitu menyiksa. Bayu juga bergerak duduk bersila di
belakang gadis itu. Sedangkan kedua telapak tangannya terus menempel erat di
punggung. "Hep! Hesss...!"
Namun, baru saja Pendekar Pulau Neraka
mengerahkan hawa murni untuk menghangatkan tubuh Ratna Wulan, mendadak hawa
dingin yang menyerang mereka lenyap tak terasakan lagi. Cepat-cepat Bayu
melepaskan tangannya ketika dirasakannya aliran hawa panas telah menggantikan
udara dingin, yang tadi begitu terasa membekukan tubuh.
Hawa panas itu sangat cepat menjalar. Keringat pun keluar dengan cepat membasahi
tubuh mereka. Bayu bergegas berdiri sambil menarik tangan Ratna Wulan. Sesaat mereka saling
melemparkan pandang.
"Tiren, cepat ke sini...!" seni Bayu.
"Nguk!"
Tiren berlari cepat menghampiri Pendekar Pulau Neraka, lalu melompat naik ke
pundaknya. Sambil tetap menarik tangan Ratna Wulan, Bayu bergegas melangkah
pergi meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya begitu cepat, seperti berlari.
Ratna Wulan pun terlihat agak kesulitan mengimbangi langkah-langkah kaki
Pendekar Pulau Neraka ini.
Namun, meski sudah jauh mereka berjalan, hawa panas itu masih juga terasa,
seakan-akan mengikuti ke mana saja mereka pergi. Bahkan hawa panas itu semakin
lama semakin terasa membakar. Mereka merasa seperti berada di atas tungku api
yang akan menghanguskan tubuh. Bahkan, tanah yang mereka pijak juga bagai batu
yang terbakar membara. Begitu panas rasanya. Telapak kaki mereka seolah-olah
menginjak bara api.
"Berhenti dulu, Wulan," ujar Bayu, yang langsung berhenti melangkah.
Ratna Wulan segera menghentikan ayunan
kakinya. Seluruh tubuhnya sudah basah oleh keringat yang keluar bercucuran
begitu derasnya.
"Makin panas saja di sini, Kakang."
"Tunggu di sini, Wulan."
"Kau mau ke mana...?"
"Aku akan cari sumbernya."
"Aku tidak mau di sini sendirian, Kakang. Aku ikut..!" sentak Ratna Wulan.
Bayu tidak menjawab. Dia terus saja melangkah
cepat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Ratna Wulan bergegas
mengikuti ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka. Dia juga mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan cukup tinggi. Mereka terus
berjalan cepat.
Tanpa terasa, keduanya semakin jauh meninggalkan perbatasan Desa Gebang. Bahkan,
mereka kini mendaki lereng gunung yang seperti membatasi Desa Gebang dengan
dunia luar. Dan, semakin tinggi mereka mendaki lereng gunung ini, hawa panas itu
semakin terasa menyengat dan membakar.
Ketika sampai di tepi sebuah jurang yang seperti sengaja menghadang, kedua
pendekar itu baru berhenti melangkah. Saat itu juga mereka merasakan, hawa panas
yang begitu menyengat dan membakar tadi mendadak hilang dan tidak terasa lagi.
Keadaan ini membuat mereka tidak mengerti.
Tapi, Bayu sudah bisa meraba, keadaan yang begitu cepat berganti dan berubah-
ubah ini bukanlah keadaan udara biasa. Keadaan ini adalah akibat dari suatu arus
pengerahan sebuah ilmu kedigdayaan yang begitu dahsyat.
"Hm...," gumam Bayu, perlahan.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan, yang berdiri di samping kanan Pendekar
Pulau Neraka. "Aku merasakan, hawa panas tadi berasal dari dasar jurang ini," kata Bayu
setengah menggumam seakan-akan bicara pada diri sendiri.
Ratna Wulan menjulurkan kepalanya. Dia
melongok ke arah dasar jurang. Sebentar kemudian ditarik kepalanya kembali. Dan,
ditatapnya Pendekar Pulau Neraka. Tampaknya dia tidak percaya kalau hawa dingin
dan panas yang dirasakan begitu menyiksa tadi berasal dari dalam jurang ini.
Jurang ini kelihatan begitu dalam, sulit untuk dilihat sampai ke dasarnya.
Begitu gelap suasananya.
Dan, tampak kabut tebal menyelimutinya. Matahari yang bersinar terik pun tidak
sanggup meneroboskan cahayanya ke dasar jurang ini. Tapi, tampaknya Bayu begitu
yakin, hawa panas dan dingin tadi berasal dari dalam dasar jurang ini. Saat itu
Ratna Wulan berharap, semoga Bayu tidak berpikiran untuk masuk ke dalam jurang
ini. Tapi... "Aku akan melihat ke sana, Wulan," kata Bayu sambil berpaling menatap gadis di
sebelahnya. Ratna Wulan mendesah panjang. Apa yang tadi dikhawatirkannya begitu cepat
menjadi kenyataan.
Ternyata Pendekar Pulau Neraka memang hendak masuk ke dalam jurang yang begitu
dalam ini Sedikit Ratna Wulan menatap ke dalam jurang itu. Sulit unuk
dibayangkan apa jadinya nanti seandainya dia berada di dalam dasar jurang yang
begitu dalam dan gelap ini.
"Kau tunggu saja di sini," kata Bayu, seperti bisa mengetahui keberatan Ratna
Wulan untuk masuk ke dalam dasar jurang itu.
Tapi, belum juga Ratna Wulan menjawab,
mendadak mereka mendengar suara-suara seperti langkah kaki beberapa orang yang
sedang menuju ke tempat ini.
"Cepat menyingkir dulu, Wulan," bisik Bayu.
"Hup...!" "Hap...!"
*** 6 Cepat sekali gerakan yang dilakukan oleh Bayu dan Ratna Wulan. Sekejap saja
mereka sudah lenyap ke dalam semak belukar yang berada tidak jauh dari bibir
jurang. Pada saat itu, terlihat empat orang laki-laki berjalan cepat mendekati
bibir jurang itu. Seorang laki-laki tua berjubah putih berjalan paling depan. Di
belakangnya, tiga laki-laki berusia setengah baya mengikutinya. Di pinggang
mereka masing-masing tampak terselip sebuah kapak yang sama bentuk dan
ukurannya. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu menggenggam sebatang
tongkat. Mereka adalah Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Mereka berhenti tepat di
bibir jurang, tempat Bayu dan Ratna Wulan berada tadi. Belum ada seorang pun
yang membuka suara. Mereka berdiri tegak memandang ke dalam jurang yang sangat
dalam dan gelap terselimut kabut tebal ini.
"Kau tetap mau masuk ke dalam sana, Ki?" tanya si Nyawa Merah.
"Ya," sahut Ki Laksa, mantap.
"Jurang ini terlalu dalam, Ki. Sebaiknya kau pikirkan dulu sekali lagi," saran
Nyawa Kuning. Tapi, Ki Laksa malah menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibirnya menyunggingkan
senyum kecil. Dia melangkah beberapa tindak hingga berdiri tepat di bibir jurang ini. Sesaat
diamatinya jurang yang terlihat begitu gelap terselimut kabut yang sangat tebal
itu. Kemudian, dari dalam kantung kulit yang tergantung di pinggangnya, laki-
laki tua berjubah
putih itu mengeluarkan sepotong kayu yang panjangnya sekitar satu jengkal.
"Aku yakin, di dalam sana ada sesuatu. Kalian masih ingat tempat ini, bukan...?"
ujar Ki Laksa, tanpa berpaling sedikit pun dari jurang yang menganga lebar di
depannya ini. Ketiga laki-laki setengah baya yang dijuluki si Perampok Tiga Nyawa hanya
mengangguk. Mereka tentu saja masih ingat, walaupun peristiwa yang terjadi di
sini sudah berlalu selama lima belas tahun.
Di pinggiran jurang inilah mereka dulu bersama-sama mengalahkan Ki Satria. Ke
dalam jurang ini pulalah putri Ki Satria yang bernama Intan Kumala tercebur
setelah terkena pukulan ringan dari Nyawa Merah.
Dan, tidak jauh dari jurang ini tadinya ada sebuah gua, yang kini sudah hancur
menjadi timbunan batu.
Gua itu mereka hancurkan setelah Ki Rahun membawa masuk istri Ki Satria dan para
pengawalnya. Tentu saja mereka menghancurkan gua itu setelah berhasil menewaskan
Ki Satria. Sementara itu Ki Laksa berdiri tegak memandangi jurang yang menganga lebar di
depannya. Sedikit pun matanya tidak berkedip. Bibirnya terkatup rapat. Dia seakan-akan
tengah mengukur, sampai di mana kedalaman jurang ini. Beberapa saat semua
terdiam dan tidak ada yang berbicara lagi.
Dan, kemudian Ki Laksa melemparkan potongan kayu yang dipegangnya tadi ke dalam
jurang, seketika itu pula...
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan
hampir sempurna, Ki Laksa langsung melompat masuk ke dalam jurang.
Tubuhnya melayang ringan bagai segumpal kapas.
Beberapa kali dia melakukan putaran. Dan, begitu keseimbangan tubuhnya sudah
berkurang, cepat ujung jari kakinya menotok potongan kayu yang dilemparkannya
tadi. "Hup!"
Ki Laksa langsung melenting berputaran begitu kakinya menotok potongan kayu.
Tangan kanannya cepat merogoh kantung kulit yang tergantung di pinggang. Dan,
dari dalam kantung kulit itu dikeluarkannya sepotong kayu lagi.
"Hiyaaa...!"
Begitu kayu itu dilepaskan ke bawah, cepat ditotoknya lagi dengan ujung jari
kakinya. Dan, kembali dia berputaran di antara tebalnya kabut di dalam jurang
ini. Ki Laksa pun terus meluncur ke bawah dengan tubuh berputaran. Beberapa kali
tampak dikeluarkannya potongan kayu dari dalam kantung kulitnya setiap kali
keseimbangan tubuhnya mulai berkurang. Dan, semakin jauhlah dia masuk ke dalam
jurang ini. Sementara itu, di atas jurang, tiga orang laki-laki setengah baya yang dikenal
dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa terus memperhatikan Ki Laksa sampai
tubuhnya menghilang tertelan kabut.
Beberapa kali mereka masih mendengar teriakan Ki Laksa dari dalam jurang,
walaupun tubuhnya sudah lenyap tertelan kabut yang menggumpal tebal itu.
Hingga akhirnya, mereka benar-benar tidak lagi mendengar suara apa pun. Sesaat
mereka berpandangan satu sama lainnya.
"Bagaimana...?" tanya Nyawa Merah, meminta pendapat
"Tunggu sebentar," sahut Nyawa Biru.
Mereka terdiam dan menunggu sambil terus
mengarahkan pandangan ke dalam dasar jurang.
Tapi, setelah cukup lama mereka menunggu, tidak juga terdengar suara apa pun.
Mereka juga tidak melihat apa-apa di dalam jurang ini. Hanya kabut saja yang
terlihat menggumpal. Namun, tiba-tiba....
"Kemari kalian semua...!"
"Kau dengar itu...?" desis Nyawa Merah saat telinganya mendengar suara yang
begitu kecil dari dalam jurang di depannya ini.
"Ya, ayo kita ke sana," sahut Nyawa kuning.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tiga laki-laki setengah baya yang dijuluki si Perampok Tiga Nyawa itu langsung
berlompatan masuk ke dalam jurang. Mereka juga sekali-sekali melemparkan
potongan kayu yang diambilnya dari dalam kantung kulit di pinggang masing-
masing. Dan, pada saat itu, dari dalam semak belukar, Bayu dan Ratna Wulan
berlompatan keluar. Mereka langsung berdiri di bibir jurang. Keduanya masih
sempat melihat si Perampok Tiga Nyawa di dalam jurang sebelum lenyap tertelan
kabut. "Siapa mereka, Kakang...?" tanya Ratna Wulan.
Bayu tidak menjawab. Dia hanya menggumam kecil. Dia tahu, laki-laki tua berjubah
putih yang pertama kali terjun ke dalam jurang tadi adalah Ki Laksa. Laki-laki
tua berjubah putih itulah yang melukai Ki Rahun hingga akhirnya tewas dengan
luka dalam yang sangat parah. Sedangkan yang tiga orang lagi sama sekali belum
dikenalnya. "Kau juga turun ke sana, Kakang?" tanya Ratna Wulan, sambil memandangi wajah
Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu berpaling menatap gadis di sampingnya.
Perlahan dia menggeleng dan tersenyum. Ratna Wulan menarik napas lega. Ternyata
Pendekar Pulau Neraka membatalkan keinginannya untuk masuk ke dalam jurang ini.
Dia memang khawatir kalau Bayu sampai masuk ke dalam jurang yang sangat dalam
dan gelap ini. Tapi, dia juga heran, mengapa Bayu sekarang membatalkan niatnya
setelah keempat orang tadi terjun ke dalam jurang di depan mereka ini.
"Kenapa tidak jadi, Kakang?" pancing Ratna Wulan.
"Mereka pasti mengalami peristiwa yang sama dengan kita, Wulan. Biarkan mereka
di sana. Kita tunggu saja di sini," kata Bayu, tenang.
"Berapa lama mereka akan berada di dalam sana, Kakang?"
"Lihat saja nanti."
Ratna Wulan terdiam dan tidak bertanya-tanya lagi.
Sedangkan Bayu sudah duduk di atas sebuah akar pohon yang menyembul ke luar dari
dalam tanah. Dia memindahkan Tiren dari pundak ke pangkuannya.
Monyet kecil itu pun duduk tenang di pangkuan Pendekar Pulau Neraka. Dan, Ratna
Wulan masih tetap berdiri di pinggiran jurang, dipandanginya kedalaman jurang
yang gelap dan berkabut tebal itu.
*** Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa sudah sampai di dasar jurang. Udara di dasar
jurang ini begitu dingin. Keadaannya pun sangat gelap, seperti suasana di malam
hari. Siapa pun akan mengalami kesukaran untuk bisa melihat jauh di dalam
kegelapan seperti ini. Belum lagi, kabut yang menyelimuti seluruh dasar jurang
ini sangat tebal.
Perampok Tiga Nyawa mengambil obor yang
mereka bawa, lalu menyalakannya. Kegelapan di dasar jurang ini pun menjadi
berkurang. "Heh...! Dingin sekali di sini," desis Nyawa Merah sambil bergidik.
"Tidak ada apa-apa di sini, Ki," ujar Nyawa Biru seraya mengedarkan pandangannya
berkeliling. "Sebaiknya kalian waspada saja," kata Ki Laksa, memperingatkan. Belum juga
peringatan Ki Laksa hilang, mendadak....
Wusss! "Awas...!" seru Ki Laksa tiba-tiba.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Mereka langsung berlompatan ketika tiba-tiba dari sekeliling mereka berhamburan
puluhan batang anak panah dan tombak kayu yang panjang. Senjata-senjata itu
melunak deras menghujani Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Namun, mereka
memang bukanlah orang-orang sembarangan.
Sambil berjumpalitan, mereka meliuk-liukkan tubuh menghindari hujan panah dan
tombak itu. Kedua tangan mereka juga bergerak cepat
Tangan-tangan itu berkelebatan menangkis panah dan tombak yang tidak bisa
dihindari. Tapi, serangan panah dan tombak itu tidak berlangsung lama.
Seperti datangnya tadi, serbuan ini pun berhenti dengan mendadak. Keempat laki-
laki itu berdiri melingkar saling membelakangi. Serangan panah dan tombak tadi
membuat mereka harus terus memasang
sikap waspada. Serangan yang sangat mendadak tadi memang menandakan bahwa di
dasar jurang ini ada orang yang hidup.
Tapi, setelah lama ditunggu, tidak ada satu pun serangan yang datang lagi.
Mereka pun mulai bergerak membuka lingkaran, lalu berdiri berjajar menghadap
sebatang pohon yang cukup besar dan rindang.
"Ghrrr...!"
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gerungan kecil yang terdengar begitu
dekat Dan, belum lagi rasa terkejut mereka lenyap, mendadak...
Srek! Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa cepat-cepat memutar tubuh ke kiri ketika mereka


Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar suara gemerisik, seperti semak atau rerumputan kering yang sedang
dilalui seseorang. Pada saat itu pula, terdengar suara gemerisik yang sama dari
arah lain, kemudian disusul dengan suara yang sama dari arah lain lagi. Keempat
laki-laki itu pun segera berputaran mengikuti arah suara-suara gemerisik yang
terdengar berpindah-pindah dengan cepat itu.
Tapi, tak ada sesuatu pun yang mereka lihat.
Bahkan, tak ada satu semak pun yang tampak bergerak. Ki Laksa dan Perampok Tiga
Nyawa saling melempar pandang. Jurang ini memang menyimpan segudang keanehan
yang belum terungkap. Tapi, mereka tidak percaya kalau suara-suara yang didengar
itu adalah suara hantu, walaupun jurang ini dikenal dengan sebutan Jurang Setan.
Dan, memang belum ada seorang pun yang mencoba masuk ke dalam jurang ini selain
mereka. "Hati-hati, mungkin ini jebakan lain," ujar Ki Laksa.
Perlahan-lahan kemudian Ki Laksa mengayunkan
kakinya sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Begitu ringan gerakannya. Tak terdengar sedikit pun suara kakinya yang
menjejak rerumputan. Setelah berjalan beberapa langkah, kemudian dia berhenti.
Keningnya tampak berkerut, dilihatnya tumpukan abu bekas kayu-kayu api unggun.
Ki Laksa lalu berjongkok sedikit dirabanya abu bakaran kayu itu.
"Hm..., masih hangat," gumamnya sambil berdiri kembali.
Kemudian dia mengedarkan pandangannya
berkeliling. Namun, kegelapan saja yang terlihat.
Hanya pepohonan dan batu-batu serta semak belukar berselimut kabut tebal yang
tampak di sekelilingnya.
Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa sudah bergerak menghampiri. Dan, suara-suara
geme risik masih terus terdengar dari segala arah sekeliling mereka.
Saat itu Ki Laksa melihat titik cahaya yang tampak begitu jauh.
"Kalian lihat itu...?" ujar Ki Laksa, agak mendesis.
"Seperti sinar pelita, Ki," sahut Nyawa Merah, yang juga pelan suaranya.
"Sebaiknya kita lihat saja, Ki," saran Nyawa Biru.
"Baik, tapi hati-hati," sahut Ki Laksa.
Mereka kemudian bergegas melangkah menuju titik cahaya yang terlihat jauh itu.
Mereka berjalan cepat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu tinggi
ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki. Mereka pun seperti berjalan di atas
angin. Tak ada suara sedikit pun yang terdengar.
Sebentar saja mereka sudah jauh. Cahaya api obor yang mereka bawa sajalah yang
kini terlihat berkedip-kedip. Pada saat itu, dari balik semak belukar muncul
tiga orang tua berpakaian kumal dan penuh tambalan. Mereka berdiri berjajar
memandangi Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa yang semakin jauh berjalan.
Ketiga orang tua berpakaian kumal penuh
tambalan dan compang-camping itu adalah para pengemis tua yang dikenal dengan
julukan Tiga Pengemis Sakti. Dan, mereka adalah pemimpin kelompok Pengemis
Mangkuk Sakti, yang anggotanya tersebar di seluruh mayapada. Tapi, selama lebih
dari lima belas tahun ini nama mereka menghilang.
Ketiganya memang menyepi di dasar Jurang Setan ini. Mereka sengaja meninggalkan
kehidupan keras di dalam rimba persilatan.
"Mereka sudah bisa masuk ke sini, Ki," desis Nyai Nirmala, satu-satunya wanita
di antara tiga serangkai Tiga Pengemis Sakti.
"Mereka pasti datang karena merasakan pengaruh dari ilmu 'Pukulan Inti Api' dan
'Pukulan Inti Salju'...,"
gumam Ki Jagat, pelan sekali hingga hampir tidak terdengar.
"Memang dahsyat sekali hasil kedua ilmu itu, Ki.
Aku sendiri sampai khawatir, jangan-jangan Intan Kumala tadi tidak kuat
menerimanya," sambung Ki Buyut.
"Untung pekerjaan kita sudah selesai. Tapi Intan Kumala masih belum sadarkan
diri. Aku juga merasa lemas sekali," desah Nyai Nirmala.
"Ya, saat ini kita tidak mungkin bisa menghadapi mereka. Tenaga dan kekuatan
kita sekarang sedang jauh berkurang. Kita harus mengembalikan dulu.
Paling tidak, beberapa hari baru bisa kembali sempurna seperti semula," kata Ki
Jagat. "Heh...!" Nyai Nirmala mengembuskan napas
panjang. Mereka terdiam dan terus memandangi kerlip cahaya api dari tiga obor, yang terus
bergerak-gerak seperti tertiup angin, yang menyala di dalam tebalnya selimut
kabut di dasar jurang ini. Sebentar cahaya api itu terlihat, sebentar kemudian
menghilang, lalu terlihat lagi seperti tiga mata yang bercahaya.
*** "Untung saja mereka bisa dipengaruhi dengan jebakan-jebakan kita, Ki," desah Ki
Buyut, perlahan.
"Mereka pasti menyangka jurang ini benar-benar berhantu. Tidak salah kita
memilih tempat ini untuk keluar dari rimba persilatan. Tempat ini memang cocok
untuk orang-orang tua seperti kita."
"Jangan gembira dulu, Ki Buyut. Mereka bukan orang bodoh, terutama Ki Laksa itu.
Tapi sebaiknya memang kita jangan dulu berhadapan dengan mereka," kata Ki Jagat,
bijaksana. "Tapi paling tidak, mereka sudah jauh dari sini, Ki,"
ujar Ki Buyut lagi. "Kita bisa terus menyempurnakan pekerjaan kita, Ki."
"Tidak ada yang perlu disempurnakan lagi, Ki Buyut. Kita hanya perlu
mengembalikan tenaga dan kekuatan masing-masing, setelah terkuras habis untuk
Intan Kumala," selak Nyai Nirmala.
"Itulah yang kumaksud dengan menyempurnakan, Nyai," sahut Ki Buyut.
"Hm...," gumam Ki Jagat, perlahan.
Mereka bertiga memang baru selesai menyalurkan gabungan tiga ilmu, yang kemudian
menyatu menjadi dua buah ilmu kedigdayaan yang sangat dahsyat.
Pengaruhnya pun sampai terasa keluar begitu jauh
dari Jurang Setan ini. Dan, hal itulah yang mengundang Ki Laksa dan Perampok
Tiga Nyawa sampai datang ke dalam jurang ini. Bahkan, bukan hanya mereka
berempat yang terpengaruh. Di atas jurang sana menunggu pula Pendekar Pulau
Neraka dan Ratna Wulan.
"Ayo kita kembali," ajak Ki Laksa.
Tapi, belum juga mereka memutar tubuhnya untuk kembali ke dalam gua,
mendadak.... "Kalian bodoh kalau mengira bisa menjebakku begitu saja!"
"Heh..."!"
"Hah..."!"
Tiga Pengemis Sakti terkejut bukan main ketika tiba-tiba terdengar suara yang
berat dan keras menggema. Cepat-cepat mereka memutar tubuh kembali. Dan, saat
itu pula kedua bola mata mereka terbeliak lebar.
"He he he...!"
"Ki Laksa..," desis Ki Jagat, hampir tidak percaya.
Tiga Pengemis Sakti memang terkejut setengah mati. Tiba-tiba di hadapan mereka
telah muncul KI Laksa dan Perampok Tiga Nyawa. Padahal, mereka masih melihat
cahaya api obor di kejauhan sana.
Tapi, Tiga Pengemis Sakti segera bisa menghilangkan rasa terkejutnya. Secara
bersamaan mereka menarik kaki ke belakang beberapa langkah.
"Rupanya kalian, Tiga Pengemis Sakti, yang membuat kekacauan tadi," ujar Ki
Laksa, dengan nada suara yang terdengar dingin.
"Mau apa kalian datang ke sini?" sentak Ki Jagat.
"Lima belas tahun lalu, seorang bocah tercebur ke dalam jurang ini. Dan
seharusnya dia sudah mati.
Tapi belum lama ini dia muncul lagi. Aku yakin,
kalianlah yang merawat bocah itu. Aku berterima kasih sekali. Dan tentunya
kalian pasti tahu apa maksud kedatanganku ke sini. Aku ingin meminta bocah itu,"
kata Ki Laksa, dengan nada suara yang masih terdengar dingin.
Tiga Pengemis Sakti saling melempar pandang.
Mereka tahu, yang dimaksud Ki Laksa adalah Intan Kumala, gadis kecil yang mereka
selamatkan lima belas tahun lalu saat tercebur ke dalam jurang ini.
Ketika itu, Ki Jagat melihat gadis itu dan langsung melompat menyambutnya
sebelum tubuhnya
terbanting ke dasar jurang ini. Gadis kecil itu pun selamat. Dan, selama lima
belas tahun ini mereka merawat serta mendidiknya dengan berbagai ilmu kanuragan
dan kedigdayaan.
"Kau tidak bisa mengambilnya begitu saja, Ki Laksa," desis Ki Jagat, dingin.
"He he he...! Sudah kuduga, kalian pasti akan mempertahankannya. Baik..., aku
akan memakai cara lain," sambut Ki Laksa.
Sedikit saja Ki Laksa menggerakkan kepalanya.
Dan, saat itu juga, Perampok Tiga Nyawa yang berada di belakangnya berlompatan
ke depan. Sungguh indah dan ringan gerakan yang dilakukan ketiga laki-laki
setengah baya itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, mereka menjejakkan kaki
di tanah sekitar satu batang tombak lagi di depan Tiga Pengemis Sakti.
"Buka mata mereka, biar tahu siapa Ki Laksa!"
seru Ki Laksa, lantang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
"Yaaah...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, ketiga laki-laki
setengah baya yang dijuluki si Perampok Tiga Nyawa itu langsung berlompatan
menyerang Tiga Pengemis Sakti. Mereka langsung menyerang dengan pukulan-pukulan
menggeledek yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
"Haiiit..!"
"Hap!"
"Hiyaaat..!"
Ternyata ketiga orang pengemis tua itu memang bukan orang-orang sembarangan.
Mereka cepat menyambut serangan si Perampok Tiga Nyawa itu dengan tangkas
sekali. Pertarungan sengit pun tidak dapat dihindarkan lagi. Meskipun tenaga dan
kekuatan mereka sudah hampir terkuras habis karena tersalur ke dalam tubuh Intan
Kumala, ketiga pengemis tua itu masih tetap gesit dan tidak bisa dipandang
enteng. Gerakan-gerakan mereka masih cepat Si Perampok Tiga Nyawa pun mengalami
kesulitan untuk mendesak.
Terlebih lagi, mereka harus berhadapan satu lawan satu.
Sementara itu, di dalam gua yang tertutup semak belukar, tampak Intan Kumala
duduk bersila dengan sikap bersemadi.
Gadis itu membuka kelompak matanya ketika mendengar suara-suara pertarungan di
luar gua. Sesaat dia masih duduk terdiam. Dicobanya meyakinkan diri, apakah yang
didengarnya tadi benar-benar suara pertarungan. Lalu, segera dia melompat turun
dari batu tempatnya bersemadi. Tapi, baru saja dia hendak melangkah keluar,
mendadak sesuatu seperti tangan yang besar dan berbulu sudah mencengkeram
pundaknya. "Oh..."!"
7 Hampir saja Intan Kumala terpekik ketika memutar tubuhnya berbalik. Entah dari
mana datangnya, tiba-tiba di depannya kini sudah berdiri seekor beruang berbulu
putih yang sangat besar. Cepat-cepat dia melompat ke belakang begitu pundaknya
terlepas dari cengkeraman tangan beruang putih ini.
"Hup...! Intan Kumala bergegas melompat ke mulut gua.
Tapi, pada saat itu juga, beruang putih yang besar tubuhnya tiga kali lipat
manusia biasa itu melompat cepat bagai kilat. Dan, tahu-tahu dia sudah berdiri
menghadang di depan mulut gua yang tertutup semak belukar ini.
"Heh.."! Hup!"
Intan Kumala terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke
belakang, berputaran beberapa kali, menjejakkan kakinya di lantai gua yang
lembab ini. "Ghrrr...!"
"Beruang Putih menggerung perlahan sambil menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan
dan ke kiri. Dia tampaknya tidak membolehkan Intan Kumala keluar dari gua ini. Kemudian dia
mendekam, bagai menjaga mulut gua, agar Intan Kumala tidak bisa keluar. Kedua
bola matanya yang bulat dan besar memerah itu menatap lurus. Dipandanginya gadis
cantik di depannya ini.
"Minggir! Jangan menghalangiku...!" bentak Intan Kumala.
"Ghrrr...!"
Beruang Putih hanya menggerung perlahan sambil menggelengkan kepalanya pelan-
pelan beberapa kali.
Dia seakan-akan bisa mengerti ucapan gadis ini. Dan, Intan Kumala pun tertegun
dibuatnya. Binatang yang kelihatan buas dan mengerikan ini tampak begitu jinak.
Tapi, Intan Kumala selama ini tidak tahu kalau di dasar Jurang Setan ini
ternyata ada seekor beruang bertubuh raksasa yang berbulu putih bagai kapas.
"Hm..."
Intan Kumala menggumam kecil dengan mata agak menyipit. Diperhatikannya beruang
putih itu. Perlahan kemudian digeser kakinya ke kanan. Dan....
"Hup! Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, tiba-tiba Intan Kumala melompat hendak menerobos mulut gua itu.
Tapi, tanpa diduga sama sekali, mendadak Beruang Putih mengibaskan kaki depan
kanannya dengan cepat. Intan Kumala pun tidak sempat lagi berkelit. Dan....
Plak! "Akh...! Intan Kumala menjerit agak tertahan. Seketika tubuhnya terpental balik ke
belakang. Dia telah terkena kibasan kaki yang berbulu tebal dan berwarna putih
itu. Keras sekali punggungnya menghantam dinding gua. Seluruh dinding dan
langit-langit gua ini pun tampak bergetar, bagai hendak runtuh.
"Hap!"
Namun, Intan Kumala cepat melompat. Dan, menjejakkan kakinya kembali di lantai
gua yang lembab ini. Saat itu, dirasakannya ada keanehan pada dirinya. Dia tahu,
kibasan kaki depan Beruang Putih itu sangat kuat dan keras, bahkan tadi dia juga
membentur dinding gua dengan sangat keras. Tapi,
sama sekali tidak dirasakannya sakit sedikit pun.
Bahkan, dia bisa kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya.
"Ghrrr...!"
Beruang Putih menggerung agak keras sambil berdiri tegak dengan kedua kakinya
yang kokoh dan besar. Tampaknya dia senang melihat Intan Kumala dapat berdiri
tegak dan cepat tanpa merasakan apa pun. Kemudian, Beruang Putih berdiri di atas
keempat kakinya yang besar dan kokoh itu. Perlahan dia menghampiri Intan Kumala,
Lalu mendekam begitu dekat di depan gadis ini. Semua yang dilakukan Beruang
Putih itu membuat Intan Kumala keheranan. Sedangkan telinganya masih terus
mendengar suara pertarungan di luar sana.
"Siapa kau ini sebenarnya" Kenapa
menghalangiku keluar dari sini?" tanya Intan Kumala.
"Ghrrr...!"
Beruang Putih menggerung, seakan-akan menjawab pertanyaan gadis ini. Tapi, tentu
saja Intan Kumala tidak bisa mengerti. Dia melirik sedikit ke arah mulut gua
yang tertutup semak belukar. Suara pertarungan itu terus terdengar menghantui
telinganya. Dia tahu, Tiga Pengemis Sakti tengah bertarung di luar sana, entah
dengan siapa. "Biarkan aku keluar membantu mereka," pinta Intan Kumala.
"Ghrrr...!"
Beruang Putih menggelengkan kepalanya sambil menggerung kecil.
'Kenapa aku...?"
Pertanyaan Intan Kumala langsung terputus. Dia segera menyadari binatang
bertubuh raksasa dan berbulu putih bagai kapas ini tidak mungkin bisa
menjawab pertanyaannya. Walaupun beruang ini bisa mengerti semua yang diucapkan
Intan Kumala, tentu saja jawaban yang diberikannya tidak bisa dimengerti gadis
ini. "Kau sahabat Tiga Pengemis Sakti?" tanya Intan Kumala lagi.
Beruang Putih menggelengkan kepalanya.
"Lalu.... Kau peliharaannya?"
Kali ini binatang berbulu putih itu menganggu.
"Oh..."
Intan Kumala mendesah panjang. Sungguh dia tidak tahu kalau ketiga pengemis tua
itu memiliki binatang peliharaan seperti ini. Selama lima belas tahun tinggal
bersama Tiga Pengemis Sakti, dia sama sekali tidak tahu kalau mereka memiliki
binatang peliharaan seekor Beruang Putih bertubuh besar bagai raksasa ini. Dan,
tampaknya binatang ini sudah dipesan untuk menjaganya agar tidak keluar dari gua
ini. "Baiklah, Beruang Putih. Aku tahu, kau pasti sudah diperintah untuk menjagaku di
sini. Tapi apa kau akan membiarkan saja mereka bertarung di luar"


Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka dalam keadaan lemah, Beruang Putih. Aku tidak akan membiarkan mereka
celaka," kata Intan Kumala.
Baru saja Intan Kumala mengatupkan bibirnya, tiba-tiba....
"Aaa...!"
"Oh..."!"
Gadis itu tersentak kaget setengah mati ketika tiba-tiba didengarnya jeritan
panjang melengking dan menyayat Sejenak ditatapnya Beruang Putih dengan tajam
kemudian.... "Hiyaaat..!"
Cepat sekali Intan Kumala melesat dan melompati kepala beruang berbulu putih
bagai kapas itu.
Begitu cepat lompatan yang dilakukan Intan Kumala. Beruang Putih itu pun
tertegun sesaat .
"Ghraaagkh...!"
Cepat-cepat Beruang Putih melompat hendak mencegah. Tapi, Intan Kumala sudah
menerobos semak belukar yang menutupi mulut gua dengan cepat sekali. Dan, tahu-
tahu gadis itu sudah berdiri di depan mulut gua.
"Nek...!" jerit Intan Kumala.
*** Tepat pada saat Intan Kumala keluar dari dalam gua, terlihat Nyai Nirmala
terkena satu pukulan keras yang dilepaskan Nyawa Kuning ke arah dadanya.
Wanita pengemis itu terpental deras ke belakang sambil menjerit keras. Begitu
kuat pengerahan tenaga dalam pada pukulan itu. Ketika tubuh Nyai Nirmala
menghantam pohon, pohon itu pun langsung hancur seketika.
"Kubunuh kau, Keparat! Hiyaaat..!"
Intan Kumala tidak dapat lagi menahan
kemarahannya. Bagaikan kilat, gadis itu melompat sambil melepaskan satu pukulan
keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah Nyawa Kuning.
"Intan, jangan...!" seru Nyai Nirmala, yang tampak terkejut melihat Intan Kumala
sudah melompat menyerang Nyawa Kuning.
Tapi, Intan Kumala sudah tidak bisa lagi dicegah.
Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskannya hampir saja
menghantam tubuh
Nyawa Kuning. Sayang, laki-laki setengah baya yang mengenakan baju kuning itu
dengan cepat dapat meliukkan tubuhnya, kemudian melompat ke belakang beberapa
langkah. "Hiyaaat...!"
Intan Kumala tidak mau membiarkan begitu sa ja.
Dia kembali melompat cepat sambil melepaskan pukulan keras beruntun yang
bertenaga dalam tinggi.
Begitu cepat serangan-serangan yang dilakukan Intan Kumala. Si Nyawa Kuning pun
kerepotan menghindarinya. Dia harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya.
Pada saat itu Nyai Nirmala sudah bisa berdiri lagi.
Meskipun dadanya terasa sesak akibat terkena pukulan si Nyawa Merah tadi, dia
tetap berusaha mendekati Intan Kumala yang sedang menggempur bekas lawannya ini.
Tapi, belum juga dia bisa mendekati gadis itu, tiba-tiba....
"Hiyaaa...!"
"Oh..."
Uts...!" Cepat-cepat Nyai Nirmala melompat ke belakang ketika tiba-tiba Ki Laksa melompat
cepat sambil mengecutkan tongkatnya yang berujung runcing. Dan, sedikit saja
ujung tongkat itu lewat di depan tenggorokan perempuan tua, pengemis ini. Lalu,
tanpa diduga sama sekali, Ki Laksa cepat memutar tongkatnya. Langsung
dihunjamkan tongkatnya itu ke dada Nyai Nirmala.
"Hih! Hiyaaa...!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Nyai Nirmala untuk berkelit menghindari hunjaman
tongkat yang berujung runcing itu. Dengan cepat sekali dihentakkan tangan
kirinya yang memegang sebuah
mangkuk merah dari batok kelapa. Tak pelak lagi, ujung tongkat Ki Laksa
menghantam mangkuk merah itu dengan keras sekali.
Prak! "Akh...! Nyai Nirmala terpekik agak tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang begitu
mangkuk saktinya berbenturan dengan tongkat Ki Laksa. Dan, belum juga dia bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, bagaikan kilat Ki Laksa sudah melakukan
serangan kembali. Satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi dilepaskan oleh laki-laki tua itu dengan cepat dan menggeledek, tepat
mengarah ke dalam perempuan tua pengemis itu.
"Hiyaaa...!"
"Hap!"
Cepat-cepat Nyai Nirmala memiringkan tubuhnya ke kiri. Dihindarinya pukulan yang
dilepaskan laki-laki tua berjubah putih itu. Namun, pada saat yang bersamaan, Ki
Laksa mengecutkan tongkatnya dengan gerakan menyamping. Begitu cepat serangan
susulan yang dilakukan Ki Laksa ini. Nyai Nirmala pun tidak dapat lagi
menghindarinya. Dan, tanpa dapat dicegah lagi, ujung tongkat yang runcing itu
merobek lambung perempuan tua pengemis ini.
Bret! "Akh...!"
"Hiyaaa...!"
Nyai Nirmala terhuyung-huyung. Darah seketika bercucuran dari lambungnya yang
robek. Dan, pada saat itu juga Ki Laksa melompat cepat sambil melepaskah satu
tendangan keras menggeledek, disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat
tinggi. Des! "Aaa...!"
Lagi-lagi Nyai Nirmala menjerit keras begitu tendangan bertenaga dalam tinggi
yang dilepaskan Ki Laksa menghantam dadanya. Seketika itu juga wanita tua
pengemis itu terjungkal dan ambruk menelentang ke tanah. Tubuhnya menggelepar
dan mulutnya menyemburkan darah.
"Mampus kau, Pengemis Busuk! Hiyaaa...!" seru Ki Laksa, lantang menggelegar.
Bagaikan kilat, laki-laki tua berjubah putih itu kembali melompat Tongkatnya
diangkat tinggi hingga melewati kepala. Lalu, dengan keras sekali dihunjamkannya
ujung tongkat yang runcing itu ke dada Nyai Nirmala yang menggeletak di tanah.
Bres! "Aaa...!"
Jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Sesaat Nyai
Nirmala menggeliat, lalu diam tak bergerak lagi begitu Ki Laksa mencabut
tongkatnya yang terbenam dalam di dada perempuan tua itu.
"Phuih!"
Ki Laksa menyemburkan ludahnya. Perlahan dia berbalik memperhatikan pertarungan
lainnya yang masih berlangsung dengan sengit
Jeritan kematian yang panjang dan menyayat dari Nyai Nirmala tadi rupanya
memecahkan perhatian Ki Jagat dan Ki Buyut yang sedang bertarung menghadapi
lawan-lawannya. Bahkan, Intan Kumala yang menghadapi Nyawa Kuning pun ikut
terpecah perhatiannya. Dan, itu tidak disia-siakan oleh lawan mereka masing-
masing. Hingga akhirnya, mereka hampir bersamaan terjungkal terkena pukulan dan
tendangan keras di saat mereka tengah terpana.
"Bunuh mereka semua...!" perintah Ki Laksa, lantang.
"Hiyaaa...!"
Nyawa Merah, yang menghadapi Ki Buyut,
langsung melompat ke udara sambil berteriak keras menggelegar. Sebuah kapak yang
tergenggam di tangan kanannya diayunkan dengan cepat sekali.
Kapak itu tertuju langsung ke arah laki-laki tua berpakaian pengemis yang masih
menggeletak di tanah akibat terkena tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi
pada dadanya tadi.
"Uts...!"
Cepat-cepat Ki Buyut menggelimpangkan tubuhnya ke samping. Sabetan kapak Nyawa
Merah pun hanya mengenai tanah kosong. Saat itu juga, Ki Buyut bergegas melompat
bangkit. Namun, baru saja kakinya berpijak di tanah, mendadak....
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Ki Laksa yang berada tepat di belakang Ki Buyut tidak mau membuang-buang
kesempatan begitu saja.
Dengan cepat sekali dia melompat. Dihunjamkan tongkatnya ke punggung laki-laki
tua pengemis ini.
Begitu cepat serangan dari belakang yang dilancarkan Ki Laksa. Ki Buyut pun
tidak dapat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Crab! "Aaa...!"
*** Jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat di seluruh dasar
Jurang Setan ini.
Begitu kuat tenaga dalam yang dikeluarkan Ki Laksa.
Ujung tongkatnya yang menusuk dari belakang pun
sampai tembus ke depan lewat dada Ki Buyut. Dan, begitu Ki Laksa menarik kembali
tongkatnya, darah langsung muncrat keluar dari punggung dan dada pengemis tua
itu. "Hiyaaa...!"
Di saat tubuh Ki Buyut tengah terhuyung limbung, saat itu juga Nyawa Merah
mengayunkan kapaknya dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Tak pelak lagi,
kapak bermata tajam berkilatan itu menghantam telak ke wajah Ki Buyut. Kembali
pengemis tua itu menjerit keras sambil menutupi wajah dengan kedua telapak
tangannya. Dan, darah tampak mengucur deras dari wajah yang terbelah kapak itu.
"Mampus kau, Pengemis Keparat! Hiyaaat..!"
Sambil menyumpah serapah, Nyawa Merah
kembali mengayunkan kapaknya dengan cepat sekali, disertai pengerahan tenaga
dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Kali ini, senjata itu diarahkannya ke
leher. Cras! Kali ini tak ada lagi suara yang terdengar dari mulut Ki Buyut. Laki-laki tua
itu hanya sebentar mampu berdiri, lalu ambruk ke tanah dengan kepala terpisah
dari lehernya. Sedikit pun tak ada lagi gerakan yang terlihat. Pengemis tua itu
langsung tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
"Iblis...! Kubunuh karian semua!" jerit Intan Kumala, yang geram menyaksikan
kematian Nyai Nirmala dan Ki Buyut yang begitu mengenaskan.
"Ha ha ha...!" Ki Laksa tertawa terbahak-bahak.
Kini tinggal Ki Jagat dan Intan Kumala yang masih bisa bernapas. Tampak tiga
laki-laki setengah baya yang masing-masing menggenggam sebuah kapak
sudah mengepung dengan rapat dari tiga penjuru mata angin. Sedangkan Laksa
berdiri agak jauh sambil tertawa terkekeh.
Ki Jagat dan Intan Kumala harus beradu
punggung. Mereka siap menghadapi si Perampok Tiga Nyawa yang sulit dilumpuhkan
karena memiliki sebuah ilmu yang sangat aneh dan sukar dicari tandingannya. Ilmu
'Tiga Nyawa' membuat ketiga laki-laki tua itu sulit dilenyapkan dari muka bumi
ini, karena dengan ilmu itu mereka tidak bisa mati.
"Seharusnya kau tidak keluar, Intan," bisik Ki Jagat.
"Semua ini karena aku, Ki. Ki Buyut dan Nyai Nirmala tewas karena aku. Tidak
sepatutnya aku bersembunyi menyaksikan semua ini," desis Intan Kumala, dingin.
"Kita akan mati di sini, Intan. Dan harapan kami semua padamu akan pupus," keluh
Ki Jagat "Maafkan aku, Ki. Tapi aku..."
"Sudahlah, Intan. Mereka sudah menemukanmu di sini. Kita harus menghadapi
mereka, walaupun kekuatanku sudah jauh berkurang setelah
mengeluarkan begitu banyak tenaga dalam
untukmu," kata Ki Jagat dengan suara yang tetap pelan.
Intan Kumala diam saja. Memang, kekuatan yang dimiliki Tiga Pengemis Sakti sudah
jauh berkurang setelah mereka menyalurkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya ke
tubuh Intan Kumala. Mereka telah menurunkan ilmu 'Pukulan Inti Api' dan 'Pukulan
Inti Salju', ke tubuh gadis itu beberapa saat sebelum Ki Laksa dan Perampok Tiga
Nyawa datang ke dasar Jurang Setan ini.
Sangat dahsyat memang kedua ilmu itu.
Pengaruhnya pun terasa sampai jauh keluar dari dasar jurang ini. Namun, saat ini
Intan Kumala belum boleh menggunakan ilmu pamungkasnya yang baru itu, karena
kedua ilmu yang saling bertentangan sifat itu masih belum melebur ke dalam detak
jantung dan aliran darahnya. Kalaupun Intan Kumala
memaksakan diri untuk menggunakannya, akibatnya akan fatal bagi dirinya sendiri.
Padahal keadaannya kini sedang sangat terdesak. Apalagi, setelah menerima kedua
ilmu itu, tenaganya pun sudah jauh berkurang. Keadaan Intan Kumala dan Ki Jagat
saat ini benar-benar gawat Mereka seperti tinggal menunggu nasib.
*** 8 "Bunuh mereka...!" seru Ki Laksa.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hiyaaat..!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, Perampok Tiga Nyawa langsung berlompatan
menyerang Ki Jagat dan Intan Kumala yang sudah terkepung ini. Saat itu juga, Ki
Jagat segera melompat menjauhi Intan Kumala, lalu membantingkan diri ke tanah.
Dan, tubuhnya bergulingan beberapa kali menghindari sabetan kapak si Nyawa Biru.
Sementara itu Intan Kumala langsung melentingkan tubuhnya ke udara begitu Nyawa
Merah dan Nyawa Kuning secara bersamaan menyerang dengan kapak-kapak mereka yang
bermata tajam dan berkilatan. Beberapa kali Intan Kumala melakukan putaran di
udara, lalu dengan manis sekali menjejakkan kembali kakinya di tanah. Sekarang
dia berdiri tepat di antara kedua laki-laki setengah baya bersenjata kapak ini.
Saat itu juga....
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Intan Kumala menghentakkan kedua tangannya, hingga merentang ke
samping. Dan, dilakukannya dua pukulan sekaligus dengan kedua tangan itu. Tapi, Nyawa
Merah dan Nyawa Kuning tampaknya sudah mengetahui serangan yang dilancarkan
gadis berbaju putih ini. Dengan mudah sekali mereka bisa menghindari dengan
menarik tubuh ke samping.
"Yeaaah...!"
Selagi tubuhya miring, Nyawa Merah melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam
tinggi ke arah lambung kanan Intan Kumala. Dan, pada saat yang bersamaan, Nyawa
Kuning juga melakukan serangan dengan mengibaskan kapaknya ke arah kepala gadis
itu. Mendapat dua serangan sekaligus dari arah yang berlawanan ini, Intan Kumala
tampak kelabakan juga.
Tapi, dengan cepat sekali ditarik kakinya ke belakang dan ditundukkan kepalanya
sedikit. Dihindarinya sabetan kapak Nyawa Kuning.
Wuk! Kapak bermata tajam itu lewat sedikit saja di atas kepala Intan Kumala. Tangan
kiri Nyawa Merah juga lewat di depan perut gadis ini. Dan, tanpa membuang waktu
sedikit pun, segera melompat sambil menghentakkan kedua kakinya. Dilepaskannya
tendangan ke samping dengan kecepatan yang begitu tinggi.
"Hiyaaat..!"
Nyawa Merah dan Nyawa Kuning terlihat kaget setengah mati. Mereka berusaha
cepat-cepat menghindar. Tapi, tendangan tak terduga yang dilakukan Intan Kumala
ini begitu cepat luar biasa.
Sehingga.... Des! Bugkh! "Akh...!"
"Ugkh...!"
Dua dari tiga serangkai Perampok Tiga Nyawa itu terpental ke belakang. Mereka
terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Intan Kumala.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga Intan Kumala cepat-cepat
melentingkan tubuhnya. Dia meluruk deras ke arah Nyawa Biru yang tengah
menghadapi Ki Jagat Satu pukulan keras yang disertai dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi langsung dilepaskan gadis itu, tepat mengarah ke kepala si Nyawa
Biru. Wusss! "Uts...!"
Begitu tinggi pengerahan tenaga dalam yang dikerahkan Intan Kumala. Pukulan yang
dilepaskannya sampai menimbulkan desiran angin yang begitu kuat dan mengandung
hawa panas bercampur dingin. Tapi, Nyawa Bina sudah keburu melompat ke belakang
sejauh satu batang tombak.
Pukulan itu pun meleset dan langsung menghantam sebatang pohon yang cukup besar.


Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika itu juga terdengar ledakan yang begitu keras menggelegar.
Pohon itu hancur berkeping-keping.
Bukan hanya Perampok Tiga Nyawa dan Ki Laksa yang terkejut melihat akibat yang
ditimbulkan oleh pukulan dahsyat Intan Kumala tadi. Tapi, Ki Jagat juga
tersentak kaget setengah mati. Terlebih lagi, tadi dia pun sempat merasakan
angin pukulan gadis itu.
Dia tahu, pukulan Intan Kumala tadi mengandung pengerahan ilmu 'Pukulan Inti
Api' dan 'Pukulan Inti Salju' secara bersamaan. Dan, dia juga tahu, apa
akibatnya jika Intan Kumala tidak dapat
mengendalikan kedua ilmu itu.
"Intan, tahan dirimu...!" sentak Ki Jagat.
Tapi, Intan Kumala sudah tidak mendengar lagi perintah laki-laki tua pengemis
itu. Dia sudah kembali melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan ke arah
Nyawa Biru. "Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Nyawa Biru melentingkan tubuhnya ke udara. Pukulan yang dilepaskan
Intan Kumala pun lewat di bawah telapak kakinya. Dan, pada saat itu juga, Nyawa
Biru menghentakkan kakinya dengan cepat sekali ke arah kepala gadis ini.
Sedangkan Intan Kumala, yang baru melancarkan serangan dahsyat tadi, tidak dapat
lagi mengendalikan dirinya yang sudah doyong ke depan. Sehingga...
Plak! "Akh...!" Intan Kumala menjerit agak tertahan.
"Ugkh...!"
Nyawa Biru juga melenguh pendek. Dan, cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke
belakang sambil berputaran beberapa kali. Tapi, begitu kakinya menjejak tanah,
dia langsung jatuh terguling.
Tubuhnya seketika menggigil seperti terserang demam yang tinggi. Tampak butiran
keringat menitik deras, langsung membasahi wajahnya.
"Bhrrr...!"
"Celaka...," desis Ki Jagat, cemas.
*** "Oh..."
Saat itu juga Intan Kumala terlihat limbung sambil memegangi keningnya.
Kecemasan Ki Jagat pun semakin bertambah. Dia tahu. Intan Kumala tadi
mengerahkan ilmu 'Pukulan Inti Api' dan 'Pukulan Inti Salju' secara bersamaan.
Seharusnya, Intan Kumala tidak boleh mengeluarkan kedua ilmu itu secara
bersamaan sebelum dia bisa menguasainya dengan benar. Dan, yang lebih penting
lagi. Dia harus bisa
memisahkan kedua ilmu itu jika menggunakannya, agar tidak berpengaruh pada
dirinya sendiri. Bahkan jika kedua ilmu itu digunakan secara terpisah akibatnya
akan benar-benar fatal bagi lawan yang terkena.
"Intan...."
Bergegas Ki Laksa bergerak menghampiri Intan Kumala yang kini sudah jatuh
berlutut sambil memegangi kepala. Rintihan lirih terdengar dari bibir merah yang
meringis itu. Tapi, belum juga Ki Jagat mencapai Intan Kumala, mendadak Nyawa
Merah melompat cepat bagai kilat sambil mengayunkan kapaknya ke arah punggung
laki-laki tua pengemis ini.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepat serangan yang dilancarkan Nyawa Merah. Ki Jagat pun tampak
terperangah sesaat. Tapi dia bisa cepat berkelit menghindari hantaman kapak itu
dengan menarik tubuhnya ke kanan. Namun, pada saat itu juga, Nyawa Kuning
melompat sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek, yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Haiit..!"
Ki Jagat ternyata masih bisa menghindari pukulan menggeledek yang dilancarkan
Nyawa Kuning. Namun, ketika Nyawa Merah kembali mengayunkan kapaknya dengan cepat, Ki Jagat
tidak dapat lagi menghindari. Dan....
Crab! "Aaa...!"
Ki Jagat menjerit panjang dan melengking begitu mata kapak membelah dadanya.
Darah seketika memuncrat dengan deras saat kapak yang tertanam di dadanya itu ditarik ke luar
kembali oleh Nyawa Merah. Dan, pada saat itu juga, Nyawa Kuning langsung
menghantam kapaknya ke kepala pengemis tua itu.
Prak! Tak ada lagi jeritan yang keluar dari mulut Ki Jagat ketika kepalanya terbelah
kapak si Nyawa Kuning.
Hanya sebentar pengemis tua itu masih mampu berdiri. Sesaat kemudian, dia ambruk
menggelepar dengan darah bercucuran deras dari dadanya yang berlubang dan dari
kepalanya yang pecah terbelah.
Tafk lama kemudian, Ki Jagat sudah diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu Intan Kumala masih mengerang dan merintih lirih sambil berlutut di
tanah memegangi kepala dan dadanya. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya yang
kelihatan menggeletar seperti orang kedinginan.
Memang, di dalam tubuh gadis ini sedang terjadi pertentangan dua kekuatan yang
berlawanan sifatnya. Sementara itu tidak jauh darinya, Nyawa Biru juga masih
meringkuk sambil menggigil kedinginan.
Rupanya ilmu 'Pukulan Inti Salju' lebih kuat menghantam tubuhnya tadi.
"Bunuh perempuan keparat itu...!" perintah Ki Laksa dengan suara yang lantang
menggelegar. Namun, belum juga Nyawa Merah dan Nyawa
Kuning bergerak mendekati Intan Kumala,
mendadak.... "Ghraaaugkh...!"
"Glarrr...!"
"Heh..."!"
"Hah..."!"
*** Mereka tampak terkejut setengah mati ketika tiba-tiba terdengar raungan yang
begitu keras menggelegar. Bumi yang mereka pijak pun bergetar bagai diguncang
gempa. Dan, belum juga raungan itu menghilang dari pendengaran, kembali mereka
dikejutkan oleh suatu ledakan keras yang menggelegar.
Tidak jauh dari tempat itu, tampak batu-batu berhamburan ke udara, seakan-akan
dilemparkan dari dalam bumi oleh tangan-tangan raksasa.
Pada saat itu, terlihat seekor beruang bertubuh raksasa dan berbulu putih bagai
kapas muncul dari kerimbunan semak dan reruntuhan batu-batuan.
Binatang liar yang tampak mengerikan itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya
dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
"Ghraaagkh...!"
Kembali beruang putih raksasa itu meraung dahsyat. Moncongnya terbuka lebar,
seakan-akan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang runcing dan tajam
bagai mata pisau. Saat itu Nyawa Merah dan Nyawa Kuning sudah melompat ke dekat
Nyawa Biru. Mereka bergegas membangunkan Nyawa Biru, lalu memapahnya bersama-
sama. "Cepat pergi dari sini...!" seru Ki Laksa, lantang.
"Ghraaagkh...!"
Tanpa menghiraukan si Perampok Tiga Nyawa, Ki Laksa bergegas lari meninggalkan
tempat itu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya.
Sedangkan si Perampbok Tiga Nyawa sempat berdiri diam beberapa saat, sebelum
juga cepat-cepat berlari.
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki. Dalam waktu sebentar
saja, mereka pun sudah menghilang di balik kabut tebal yang menyelimuti seluruh
permukaan dasar jurang ini.
Beruang Putih, yang sebelumnya kelihatan hendak mengejar keempat lelaki tua itu
menghentikan gerakannya begitu melihat Intan Kumala masih berlutut dan merintih
seperti terserang demam.
Tubuh gadis itu menggigil dan menggelegar. Keringat pun terus membanjirinya.
"Ghrrr...!"
Beruang Putih tampak kebingungan. Tapi,
kemudian diangkatnya tubuh Intan Kumala dan dibopongnya dengan ringan sekali, seolah-olah sedang mengangkat sekarung kapas. Beruang Putih lalu
berjalan perlahan-lahan tanpa bersuara.
"Ugkh! Mau kau bawa ke mana aku...?" desis Intan Kumala, lirih.
"Ghrrr...!"
Intan Kumala tidak bertanya lagi. Seluruh tubuhnya yang sudah basah oleh
keringat semakin keras menggigil. Sedangkan Beruang Putih terus membawanya pergi
menjauhi tempat yang tadi dijadikan ajang pertarungan.
Sementara itu Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa pun sudah tidak terlihat lagi.
Entah ke mana mereka pergi setelah melihat kemunculan Beruang Putih tadi.
Sedangkan Beruang Putih masih terus membawa Intan Kumala, yang keadaannya sangat
kritis akibat mengerahkan ilmu yang baru didapatnya dari Tiga Pengemis Sakti.
Seharusnya Intan Kumala memang belum boleh menggunakan ilmu yang dahsyat itu
sebelum benar-benar menguasainya. Tapi, sesungguhnya gadis itu
memang tidak sengaja menggunakannya. Dia sedang berada di luar kendali dirinya
tadi. Bagaimana nasib Intan Kumala selanjutnya"
Apakah dia akan bertemu dengan Pendekar Pulau Neraka" Dendam apa yang ada di
dalam hati gadis itu terhadap Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa"
Tunggu saja jawabannya dalam kisah "Dewi Beruang Putih".
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Istana Yang Suram 11 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Pendekar Aneh Naga Langit 40
^