Pencarian

Tokoh Tokoh Kembar 2

Pendekar Bloon 21 Tokoh Tokoh Kembar Bagian 2


ganku, orang buta!" teriak Malaikat Berambut Api. "Kau ingin membunuhku! Ha ha
ha...!" ejek Mata Iblis disertai tawa bernada meremehkan.
"Jika kau benar-benar laki-laki sejati, kau pan-danglah mataku yang buta ini!"
serunya. Bagi Malaikat Berambut Api tentu bukan
masalah jika hanya memandang mata orang buta.
Tokh menurut pikirannya mata itu selain dapat
melepaskan sinar maut tidak mempunyai keisti-
mewaan apa-apa lagi. Tanpa ragu-ragu iapun
memandang ke mata lawan dengan seksama. Apa
yang didapatinya benar-benar membuatnya ter-
cengang. Malaikat Berambut Api tiba-tiba merasa-
kan seperti ada puluhan batang jarum menusuk-
nusuk ke dua bola matanya. Mata itu menjadi sa-
kit dan pedih. Ia mulai merasa pula kepalanya
seakan-akan membesar dan hendak meledak.
Rambut rambut di kepala seperti tercabut dengan
paksa. Siksaan yang sangat luar biasa ini sema-
kin menghebat. Urat-urat darah di wajah dan se-
luruh kepalanya tiba-tiba menyembul dan merasa
retak di sana sini. Malaikat Berambut Api ter-
huyung-huyung. Peredaran darahnya menjadi ka-
cau, ini rupanya yang membuat laki-laki ini men-
jadi panik. "Akh... akkh...!"
Kakek yang mengaku sebagai Malaikat Be-
rambut Api ini menjerit-jerit kesakitan. Seraya memegangi kepala untuk beberapa
waktu lamanya. Sementara wajah orang ini mulai berubah
tidak karu-karuan. Untung dalam waktu yang kri-
tis itu terlintas dalam pikirannya terlintas dalam pikirannya untuk membebaskan
diri dari pengaruh tatapan mata lawannya. Dengan kacau dan
kurang kosentrasi ia kerahkan tenaga dalamnya.
Lalu.... "Haaap!"
Satu sentakan keras membuatnya terbebas
dari pengaruh tatapan lawan. Orang ini jatuh terduduk, mulutnya menyembur darah
kental. Kepa- lanya langsung pusing dan seperti sudah tidak
utuh lagi. Ia mengambil sesuatu dari balik sa-
kunya lalu menelan benda berwarna merah itu.
Hanya beberapa detik kemudian ia sudah
bangkit berdiri. Tanpa menghiraukan luka-luka
yang dideritanya. Malaikat Berambut Api le-
paskan pukulan secara membabi buta. Manusia
Topeng yang menyaksikan pertarungan itu pun
tidak luput menjadi sasaran. Tentu saja mudah
bagi Manusia Topeng menghindari pukulan-
pukulan yang ngawur ini. Mata Iblis pun bahkan
sambil menghindar lepaskan serangan dengan si-
nar matanya. Sementara itu di atas pohon, Dewi Keru-
dung Putih mulai berfikir. Ia pernah mendengar
guru dari pemuda yang ia sukai salah seorang di-
antaranya adalah Malaikat Berambut Api. Sejauh
ini kakek yang menyebut dirinya Malaikat Beram-
but Api sama sekali tidak pernah memperguna-
kan jurus maupun pukulan yang pernah diper-
gunakan oleh Suro. Dewi curiga, jangan-jangan
kakek rambut merah itu adalah Malaikat Beram-
but Api gadungan"
LIMA Berangkat dari keyakinan inilah maka Dewi
Kerudung Putih kemudian keluar dari tempat
persembunyiannya. Seraya berlari mendekati Ma-
nusia Topeng yang memang pernah dikenalnya.
"Orang tua, siapapun adanya engkau ini.
Kuperingatkan padamu bahwa lawan kakek mata
aneh itu bukanlah Malaikat Berambut Api yang
sebenarnya!" tegas si gadis dengan suara perlahan. Sementara itu pertempuran
terus berlanjut.
"Eeh, bagaimana kau bisa mengeta-
huinya?" tanya Manusia Topeng heran.
"Muridnya adalah kawanku, aku kenal
dengan beberapa jurus yang diwariskan Malaikat
Berambut Api. Sedangkan jurus yang diperguna-
kan oleh kakek rambut merah itu sama sekali ti-
dak punya kemiripan, jurus-jurusnya ngawur!"
"Aku ingin mencegah, tapi jika Mata Iblis
memang suka bertarung. Lebih baik kita biarkan
saja dulu!" sahut Manusia Topeng.
Dewi Kerudung Putih memang tidak dapat
memaksa, sebab ia belum tahu kakek rambut me-
rah ini berdiri di pihak mana. Satu hal yang
membuatnya heran, mengapa bisa muncul tokoh
kembar" Sementara itu di tengah-tengah pertem-
puran, Mata Iblis sudah mulai jatuh bangun ter-
kena hantaman lawannya. Walau pun begitu di
pihak lawannya juga mengalami akibat yang sa-
ma. Tetapi sosok yang mengaku sebagai Malaikat
Berambut Api ini nampaknya mempunyai daya
tahan yang sangat tinggi. Terbukti walau pun ia
menyemburkan darah dari mulutnya terhantam
pukulan Mata Iblis, tetapi ia sudah bangun kem-
bali. Sementara Mata Iblis sudah mulai kewala-
han. Manusia Topeng setelah dapat menjajaki
kemampuan kawan maupun lawannya segera
memberi isyarat pada Mata Iblis agar mundur.
Isyarat itu tentu tidak dapat dilihat oleh Mata Iblis karena matanya memang
buta. "Mata Iblis, menyingkirlah! Kulihat kau su-
dah mpis-mpisan! Biarlah aku yang menghada-
pinya!!" seru Manusia Topeng.
Demi menghormati Manusia Topeng dan
mengingat keadaan dirinya sendiri, Mata Iblis segera melompat mundur. Melihat
hal ini Malaikat
Berambut Api tersenyum mengejek.
"Mengapa tidak kalian bertiga maju bersa-
ma-sama agar aku dengan mudah dapat mengi-
rim kalian ke neraka!" dengus Malaikat Berambut Api. "Huh... aku tidak akan
heran mengapa perempuan punya bisul! Semua itu memang sudah
dari sananya sebelum nenekku terlahir ke dunia
ini. Yang memalukan mengapa wajahmu mirip
sekali dengan Malaikat Berambut Api" Sehingga
kau dan dia seperti dua orang bersaudara kem-
bar. Sekarang setelah melihatmu tidak memper-
gunakan jurus seperti yang dimiliki oleh Pendekar Bodoh, rasanya aku yakin
engkaulah kembaran
yang palsu! Setelah kuteliti-teliti, setelah kuamat-amati dan aku pelototi,
hatiku mengatakan kau
pastilah kaki tangan Ratu Leak! Kau fitnah kami
untuk menutupi keadaanmu yang sebenarnya!
Bangsat betul...!" maki Manusia Topeng.
"Kau tahu apa" Akulah Malaikat Berambut
Api?" dengus si kakek berambut merah ngotot.
"Seribu kali kau mengatakan dirimu Malai-
kat Berambut Api, kau tidak dapat menipuku! Hu
hu hu...!"
Malaikat Berambut Api merasa kedoknya
terbongkar. Ia tidak punya pilihan lain terkecuali membunuh semua orang yang ada
di sini. "Ha ha ha...! Walau pun kau memakai to-
peng ternyata matamu memang awas! Kau men-
gerti keadaan yang sebenarnya! Tetapi itu percu-
ma, karena sekejap kau dan dua kawanmu itu
akan mati di tanganku!"
Baru saja kakek rambut merah ini selesai
bicara, tiba-tiba saja ia angkat tangannya tinggi-tinggi. Tar! Tar!
Terdengar suara ledakan menggelegar di
angkasa. Tangan kakek berambut merah itu be-
rubah merah kehitam-hitaman. Semakin lama
tangan itu semakin membesar. Sementara ku-
kunya memanjang dan berwarna hitam pula.
Tangan tersebut selain bertambah panjang juga
terus membesar, sehingga seukuran dua kali le-
bih besar dari tubuh kakek itu sendiri.
Dewi Kerudung Putih dan Manusia Topeng
tercengang. Sedangkan Mata Iblis yang tidak da-
pat melihat berseru....
"Aku mencium bau iblis! Sahabat Manusia
Topeng, dia mempergunakan Ilmu Kaki Roh Tan-
gan Maut!"
"Ha ha ha...! Aku pun baru saja hendak
mengatakan begitu, tapi ternyata kau yang buta
sudah melihatnya lebih dulu dariku!" sahut laki-
laki pendek yang tidak pernah menanggalkan to-
pengnya sambil tertawa-tawa.
Selagi Manusia Topeng tertawa-tawa, dua
tangan yang seukuran dua kali tubuh pemiliknya
ini meluncur dengan gerakan menangkap. Manu-
sia Topeng merasakan ada sesuatu yang me-
nyambar badannya. Ia menunggu, ketika merasa-
kan tangan-tangan yang membesar itu hendak
mencengkeramnya. Dengan cerdiknya Manusia
Topeng melompat sekaligus acungkan Ketapel
Sakti di dadanya. Dua leret sinar menyambar ke
arah dua tangan tersebut. Malaikat Berambut Api
hanya sempat menarik salah satu tangannya. Se-
dangkan tangan yang lain hanya dalam waktu se-
kejap sudah kena dihantam serangan lawan.
Tuuum! "Hraaakh...!"
Malaikat Berambut Api menjerit kesakitan
sambil kibas-kibaskan tangannya yang melepuh.
Kenyataan yang dialaminya benar-benar mem-
buatnya murka. Tiba-tiba saja ia julurkan tan-
gannya lagi. Wuut! Dengan ganas tangan itu menyambar, Ma-
nusia Topeng berkelit kemudian hantamkan ke-
dua sikunya ke bagian telapak tangan Malaikat
Berambut Api. Des! Hantaman itu hanya membuat tangan yang
telah membesar itu bergetar saja. Kalang kabut
Manusia Topeng berguling-guling menghindari
cengkeram tangan lawannya. Selagi kakek pendek
ini dibuat sibuk tiba-tiba saja ada ledakan-
ledakan keras di bagian punggung Malaikat Be-
rambut Api. Kakek ini pun menjerit sambil meng-
geliat. Matanya melotot seperti melihat setan, dari mulutnya menyembur darah.
Orang ini tiba-tiba
limbung dan jatuh terhempas nyaris menimpa
Manusia Topeng. Sesungguhnya apa yang terjadi"
Ketika terjadi pertempuran sengit tadi, ti-
ba-tiba saja muncul seekor kuda berbulu putih.
Di atas punggung kuda duduk seorang laki-laki
berpakaian putih berambut putih, di belakang la-
ki-laki itu membonceng seorang pemuda beram-
but gondrong yang di sekujur tubuhnya terbung-
kus akar-akaran. Orang berbaju putih itulah yang tadi melemparkan pisau
berbendul peledak. Ketika pisau menancap di punggung kakek rambut
merah, maka bandulannya yang berwarna hitam
langsung meledak. Mulai dari bagian wajah, dada
dan perut kakek rambut merah memang utuh, te-
tapi bagian punggungnya berantakan.
Manusia Topeng cepat menoleh ke arah pa-
ra penunggang kuda. Ternyata mereka tidak lain
adalah Datuk Nan Gadang Paluih dan Wayan
Tandira. "Aku terpaksa membunuhnya, orang tua!
Dia memang bukan Malaikat Berambut Api yang
sebenarnya!" kata Datuk Nan Gadang Paluih.
"Kau bagaimana bisa mengetahuinya?"
tanya Manusia Topeng.
"Lihatlah...!" Sang Datuk tiba-tiba saja me-
lompat dari atas punggung kudanya. Dengan te-
nang ia menghampiri sosok yang mengaku dirinya
sebagai Malaikat Berambut Api. Lalu ia mengitari mayat yang terbujur di depannya
sebanyak tiga kali, sedangkan tangannya dikibas-kibaskan se-
demikian rupa. Sebuah keanehan terjadi, mayat si rambut
merah yang telah membeku itu tiba-tiba saja
mencair bagaikan lilin yang terkena api. Selain itu tercium pula bau busuk yang
sedemikian menusuk. Daun-daun di sekitar mayat tampak hangus
terbakar. Manusia Topeng dan Dewi Kerudung
Putih terkejut. Sebaliknya Datuk Nan Gadang Pa-
luih dan Wayan Tandira saling pandang.
"Katakan padaku apa yang terjadi, saha-
batku?" tanya Mata Iblis, caping hidungnya kembang kempis. Rupanya ia mengendus
bau bangkai juga. "Orang yang kita lawan tadi ternyata Malaikat Berambut Api palsu!
Seseorang jelas sedang menjalankan muslihatnya untuk mengacau atau
membunuh orang-orang jelek seperti kita!" kata Manusia Topeng memberi komentar.
"Naluriku mengatakan ada penghianat di-
antara kita?" celetuk Datuk Nan Gadang Paluih.
"Sahabatku, siapa manusianya yang berani
menuduh sembarangan ini" Aku tidak mengenal-
nya. Tuduhan itu bisa membuatku jadi nekad dan
mengajaknya bertarung hingga mampus. Aku ti-
dak perduli andaipun ia memiliki kesaktian seba-
nyak buih di lautan, aku tidak perduli!" teriak
Mata Iblis merasa tersinggung.
Manusia Topeng yang kocak berusaha me-
nyabarkan Mata Iblis. Seraya menepuk bahu Ma-
ta Iblis disertai ucapan.
"Keadaan sekarang benar-benar genting.
Munculnya Malaikat Berambut Api palsu sudah
merupakan suatu pertanda ada kekuatan yang


Pendekar Bloon 21 Tokoh Tokoh Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu menciptakan orang yang sama diantara
kita. Bukan mustahil, aku, engkau atau Datuk
Nan Gadang Paluih serta Dewi Kerudung Putih
sekarang sudah ada kembarannya!"
"Artinya jika manusia seperti aku ada dua,
berarti kembar! Yang satu asli dan satu lagi pal-su!" ujar Mata Iblis.
"Seseorang melakukan ini pasti dengan maksud membikin kacau persatuan
diantara golongan lurus!"
"Satu yang mengherankan dan kuanggap
paling memalukan, begini banyak orang berke-
pandaian tinggi. Hanya menghadapi Ratu Leak
saja kita sudah hampir tidak berdaya dan terasa
bertele-tele." kata Dewi Kerudung Putih setengah mencemo'oh.
"Hik hik hik! Memang sangat memalukan,
keterlaluan bahkan." celetuk Manusia Topeng.
"Firasatku mengatakan semua ini hasil perbuatan Ratu Leak. Aku menyarankan
sebaiknya mulai
sekarang diantara kita jangan ada perpisahan
sampai kita menemukan Ratu Leak!"
Datuk Nan Gadang Paluih anggukkan ke-
pala setuju. "Ide yang bagus! Dengan begitu jika sampai muncul kembaran yang
palsu kita tidak
akan terkecoh lagi dan gampang menyelesaikan
persoalan agar tidak salah turun tangan!" kata kakek rambut putih berpakaian
putih selempang
putih penuh dukungan.
"Kemudian apa yang harus kita lakukan?"
tanya Wayan Tandira.
"Mulai saat ini kita yang sudah berkumpul
disini pusatkan perhatian untuk mencari dimana
Ratu Leak bersembunyi!" tegas Manusia Topeng.
Sekali lagi Datuk Nan Gadang Paluih anggukkan
kepala. "Aku setuju! Sekarang kita tetap berkumpul. Hari sudah senja, tapi masih
ada waktu bagi kita untuk melanjutkan perjalanan. Kulihat tadi
tidak jauh dari sini ada sungai. Kita bisa berke-mah disana dan bergantian
jaga!" usul Datuk Nan Gadang.
"Apakah yang lain-lainnya ada usul"!"
tanya Mata Iblis. Karena tidak seorang pun ada
yang menanggapi, maka diambil kesimpulan
bahwa mereka semua telah setuju. Tidak lama se-
telah itu berangkatlah rombongan ini menuju ke
arah utara. Di luar sepengetahuan mereka, ki-
ranya ada sepasang mata yang terus mengawasi
gerak gerik mereka dengan tatapan curiga.
"Sekarang aku telah mengetahui duduk
persoalan yang sebenarnya. Bukan mustahil da-
lam rombongan itu ada pula yang palsu! Kemba-
ran tokoh-tokoh yang tidak kukehendaki! Aku ha-
rus terus memantau gerak-gerik mereka agar ti-
dak ada lagi nyawa yang terbuang percuma! den-
gus bayangan di balik semak-semak itu. Kemu-
dian secara diam-diam ia terus mengikuti rom-
bongan Manusia Topeng dari jarak yang aman.
*** Lembah Nirwana yang dingin namun selalu
menebarkan bau wangi semerbak berbagai jenis
bunga-bungaan di pagi itu tidak sunyi sebagai-
mana hari-hari yang lalu. Di belakang perguruan
yang dipenuhi dengan berbagai peralatan latihan, seorang pemuda bertelanjang
dada sudah dalam
keadaan basah bersimbah keringat. Hampir se-
panjang malam tadi ia tidak beristirahat, mengingat waktu latihan yang
ditentukan baginya begitu sempit. Pemuda berambut kemerahan ini memang
tampak lelah. Tetapi kemampuan tenaga dalam
yang dimilikinya serta kehebatan sepuluh jari
yang ia satukan sudah memperlihatkan hasil
yang menggembirakan. Kini ia melatih pernafa-
sannya agar lebih baik lagi. Sekejap ia meman-
dang ke arah batu cadas yang terdapat di sam-
pingnya. Batu itu berlubang besar sungguh pun
di sana sini terdapat percikan darah. Pemuda ko-
cak yang tiada lain adalah Suro Blondo memper-
hatikan jari-jari tangannya yang bengkak dan pe-
cah-pecah di beberapa bagian. Bibirnya termo-
nyong-monyong. "Hmm, kakek Tangan Biru tidak mau men-
gangkatku sebagai muridnya. Aku disuruhnya la-
tihan siang malam. Kalau begitu terus menerus
naga-naganya tanganku bisa hancur! Sekarang
saja...!" Suro perhatikan jari-jarinya lagi. "Rasanya aku bisa konyol atau jadi
Pendekar tanpa jari kalau begini terus-terusan. Huh... seumur hidup aku belum pernah mendapat
latihan seperti
ini! Satu hal yang segera dapat kurasakan, tu-
buhku menjadi semakin ringan!" Suro lalu tersenyum. "Jika aku terus menerus
berada di lembah ini, bukan mustahil lama kelamaan aku bisa terbang. Ha ha
ha...!" Pendekar Blo'on tepik keningnya. Seraya lalu naik di atas batu. Kedua
kakinya dilipat, Suro pejamkan matanya rapat-rapat. Jemari tangan satu dengan
yang lain dirapatkan.
Sayup-sayup mengiang petuah Si Tangan Biru.
"Jurus-jurus Congcorang inti utamanya
adalah Hentakan Kaki Congcorang jarak jauh. Ji-
ka serangan itu sudah mampu melubangi batu di
depanmu itu. Berarti kau hampir menguasai ju-
rus-jurus Congcorang Sepenuhnya!"
Maka Pendekar Blo'on kini kerahkan tena-
ga dalamnya ke bagian jari-jari tangannya. Jari-
jari yang bengkak itu menggeletar.
"Huuup! Shhaaa...!"
Tiba-tiba Suro menghentakkan kedua tan-
gannya ke depan.
Wuut! Tampak lesatan sinar hijau selebar benar
meluncur deras ke arah batu. Lalu terdengar sua-
ra Creep! Clep! Wuuur! Batu cadas berlubang sebesar jari telunjuk.
Serpihan batu cadas meluncur turun. Pendekar
Blo'on membuka matanya dan memandang ke
arah batu yang telah menjadi sasaran serangan.
Wajah si konyol berseri-seri.
"Tidak percuma, walau tanganku babak be-
lur ternyata membuahkan hasil yang lumayan.
Cukup lumayan, he he he...!" kata Suro sambil cengengesan dan garuk-garuk
kepala. Melihat hasil pesat yang didapatnya, Suro Blondo seakan tidak mengenal
lelah terus saja berlatih.
"Berhentilah latihan, kebanyakan kau
menguras tenaga bisa mati berdiri!" sebuah suara yang sangat merdu dan enak
didengar memecah
keheningan suasana. Si konyol cepat memutar
tubuhnya ke belakang.
"Astaga...! Rasanya aku tadi malam tidak
bermimpi kejatuhan bintang kejatuhan bulan dan
kejatuhan durian. Ada makhluk secantik ini?" desis Pendekar kocak ini. Seraya
mengusap-usap matanya seakan tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Gadis yang berdiri tiga tombak di depannya itu bukan Bunga Seloka.
Bunga Seloka sendiri sebenarnya sudah sangat cantik dengan
kulitnya yang putih dan matanya yang sipit. Tapi gadis baju putih yang satu ini
kelewat cantik. Kecantikannya sulit dilukiskan dengan kata-kata,
bahkan kecantikannya mungkin setara dengan
bidadari. Aih, jantung Suro langsung deg-degkan.
Rasanya gimana gitu.
"Kau melihatku seperti memandang hantu,
apakah tampangku begitu mengerikan bagimu?"
kata si cantik bersuara merdu.
Suro walau pun sering berhadapan dengan
perempuan, namun kali ini jadi kelabakan. Kata-
kata yang telah disusunnya dengan rapi untuk
diucapkan malah jadi berantakan.
"Aku... ngg... anu... aku... anu... ku...!"
Gadis yang tiada lain adalah Bunga Bida-
dari tertawa geli. Sederet giginya yang putih bagai mutiara tampak begitu
indahnya. "Memang anumu kenapa" Di gigit semut
atau sudah terbang?" celetuk Bunga Bidadari ter-sipu malu.
"He he he! Anuku tidak apa-apa kok! Aku...
rasanya belum pernah melihatmu selama berada
disini. Apakah kau juga termasuk salah satu mu-
rid Tangan Biru?" tanya Suro.
"Aku memang muridnya! Murid tertua, dan
kalau tidak salah kau orangnya yang bernama
Suro Blondo?" tebak si gadis.
"Lho kok tahu?" sahut Suro agak kaget.
"Mengapa tidak tahu, selama dua hari aku
bersama kakekmu mencari bunga untuk me-
nyembuhkan penyakit ayanmu!"
Si konyol semakin bertambah kaget saja.
"Malaikat Berambut Api" Lho dia kok tidak ikut kesini?"
Si gadis tidak langsung menjawab. Ia
menghampiri sebongkah batu putih lalu duduk di
atasnya dengan tenang.
ENAM Setelah duduk tenang-tenang di atas batu
barulah Bunga Bidadari memandang ke arah Su-
ro penuh perhatian. Pikirnya pemuda di depannya
cukup ganteng juga, tetapi kesan tololnya itu
yang membikin geregetan orang yang meman-
dangnya. "Kakekmu mana mungkin mau melihatmu.
Kau murid gila yang hampir saja membuat celaka
mereka!" dengus si gadis. Caranya bicara yang ceplas-ceplos membuat Suro merasa
cepat akrab. Tidak seperti Bunga Seloka, yang terkesan malu
dalam bertutur kata.
"Kejadian itu sama sekali tidak kuingat. Ji-ka aku sadar, orang gila sekali pun
mustahil tega membunuh gurunya sendiri! Kurasa guruku marah, hingga ia tidak mau
lagi menemuiku. Tapi...!"
Suro terdiam, berjalan mondar-mandir di depan si gadis seperti orang bingung
sambil garuk-garuk
kepala. "Aku punya rencana untuk minta maaf bi-la bertemu dengan mereka."
"Maaf saja tidak cukup!" dengus Bunga Bidadari. "Lalu bagaimana, ah... sudahlah
aku bung-ing, eeh bingung!" Ucapan Suro seperti orang yang menyesali diri. Ia
duduk termenung dengan
dua tangan menopang dagunya. Sementara itu
Bunga Bidadari segera mengeluarkan Mandau da-
ri balik punggungnya. Ia menimang-nimang sen-
jata pusaka itu di depan Suro.
"Eeh... itu punyaku! Kau telah mencurinya
ya?" Bunga Bidadari angkat wajahnya. Sepa-
sang matanya yang indah langsung melotot. "Jangan kau menuduhku sembarangan!
Walaupun aku tidak mewarisi jurus Congcorang yang hebat
itu aku tidak membutuhkan segala macam senja-
ta!" "Maaf kalau begitu! Tetapi mengapa guru-
mu tidak mewariskan jurus itu padamu" Apakah
gurumu manusia pelit"!"
"Kau terlalu cerewet seperti nenek-nenek
tua yang pikun. Jika saja aku lelaki sepertimu.
Tentu guru bersedia menurunkan jurus-jurus
maut itu padaku! Jurus itu hanya boleh dimiliki
oleh laki-laki!"
"Mengapa?"
"Entahlah, aku tidak tahu!" sahut Bunga Seloka. "Ini tidak adil namanya. Masa
aku orang luar di beri pelajaran jurus-jurus maut. Sedangkan kau sebagai
muridnya diajari jurus lain. Kau tidak usah berkecil hati. Nanti jika aku
bertemu dengan kakek kurus itu aku akan menanyakan
hal ini!" Bunga Bidadari tertawa dalam hati. Pemu-
da ini benar-benar seperti orang sinting. Bica-
ranya blak-blakan, polos terkesan apa adanya.
Hal ini yang disukai oleh si gadis. Tetapi ia tidak mungkin berlama-lama di
tempat latihan itu. Jika
gurunya sampai tahu, ia bisa kena marah besar.
"Suro, aku datang ke sini semata-mata ka-
rena ingin menyampaikan pesan gurumu untuk
memberikan Mandau ini padamu!"
"Dia menitipkan senjata itu padamu?"
"Iya, terimalah!" Bunga Bidadari menyo-dorkan senjata di tangannya. Tiba-tiba
Pendekar Blo'on merasa waktu sedemikian sempitnya.
"Apakah engkau hendak buru-buru pergi?"
"Tentu! Berlama-lama disini bisa membuat
guru jadi marah!" jelas Bunga Bidadari.
Dengan perasaan tidak enak Suro terpaksa
menerima senjata itu. Tidak lama ia menyelipkan
Mandau Jantan di balik pinggangnya.
"Pendekar konyol...!" kata Bunga Bidadari sesaat sebelum pergi. "Guruku
mengatakan padaku tidak lama lagi ia berkenan menemuimu.
Kurasa ada masalah penting yang akan disam-
paikannya padamu!"
Sehabis bicara begitu Bunga Bidadari lang-
sung meninggalkan Pendekar Blo'on. Baik Suro
maupun gadis cantik itu sama-sama tidak tahu
bahwa ada sepasang mata yang memperhatikan
pertemuan mereka dengan tatapan mata cembu-
ru. Sepeninggalnya Bunga Bidadari, Pendekar
Mandau Jantan cuma dapat garuk-garuk kepala
melulu. Entah mengapa ia merasa jadi betah be-
rada di Lembah Nirwana. Mungkin karena murid-
murid Si Bayang-Bayang tidak ada yang jelek, en-
tahlah. Namun Suro menyadari bahwa persoalan
yang dihadapinya belum selesai. Bila ia teringat dengan hal yang satu ini
rasanya Pendekar Blo'on ingin cepat-cepat meninggalkan lembah Nirwana
tersebut. Selagi Suro Blondo terombang ambing pe-


Pendekar Bloon 21 Tokoh Tokoh Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasaan yang tidak menentu. Tiba-tiba ia menden-
gar suara langkah kaki namun lebih halus keden-
garannya Pemuda itu cepat menoleh dan meman-
dang ke arah datangnya suara barusan. Ternyata
yang datang adalah Si Tangan Biru.
Pendekar Blo'on cepat-cepat membung-
kukkan badannya. Manusia setengah gaib itu
seakan tidak menghiraukan Suro langsung saja
duduk. "Waktumu sangat sempit, Suro. Jurus
Congcorang sudah pun kau kuasai. Hanya tinggal
pemantapannya saja. Mengenai masalah peman-
tapan dapat kau lakukan nanti setelah urusanmu
dengan Ratu Leak dapat kau selesaikan. Seka-
rang kau duduklah mendekat kemari!" perintah Si Bayang-Bayang. Maka Pendekar
Blo'on pun menghampiri. "Kau harus tahu, Ratu Leak itu kebal sen-
jata, bukan hanya kebal senjata saja. Tetapi ia ju-ga kebal pukulan, kau sudah
tahu jurus Congco-
rang berintikan pemusnahan titik kelemahan ma-
nusia-manusia kebal. Kau ingat dari yang tiga
itu?" tanya si kakek kurus kering.
"Ingat kek!"
"Apa saja?"
"Tiga titik kelemahan manusia kebal, per-
tama adalah pada bagian yang berlubang atau be-
rongga, sedangkan yang kedua adalah tempat-
tempat yang lunak. Dan sedangkan yang ketiga
adalah tempat-tempat yang keras!"
"Itulah tiga rangkaian sekaligus inti jurus-jurus Congcorang. Serangan pada
sasaran yang tepat tidak akan membuang-buang tenaga. Ingat
jurus-jurus maut itu hanya dapat kau perguna-
kan untuk waktu-waktu yang sangat mendesak
dan kelewat memaksa. Kuturunkan ilmu langka
ini padamu, pertama-tama adalah demi kepentin-
ganmu untuk menghadapi Ratu Leak dan Batu
Lahat Bakutuk. Sedangkan yang kedua adalah
untuk kepentinganku!"
"Apa yang dimaksud dengan kepentingan-
mu kek?" "Aku pernah mengatakan padamu tentang
Iblis Terlaknat Hantu Malam, bukan?" tanya Si Tangan Biru.
"Betul itu kek!"
"Dia sahabatku! Sahabat yang menjadi
musuh! Suatu saat kau harus mencarinya. Jika
kau manusia yang tahu membalas budi orang,
tentu kau tidak keberatan menjalankan perintah-
ku ini bukan?"
"Bukan... eeh, maksudku tidak, kek! Tapi
bolehkah aku tahu bagaimana duduk persoalan
yang sebenarnya, kek. Sehingga sahabat bisa
menjadi musuh?" tanya Pendekar Blo'on. Sedapatnya ia berusaha agar tidak sampai
tertawa ka- rena geli teringat kata-katanya yang salah.
"Di dunia ini sahabat menjadi musuh bu-
kan sesuatu yang aneh. Kau telah mengetahui
sebagian kejadian itu. Di suatu saat kelak, bila aku mengutus murid tertuaku
untuk menjumpaimu. Maka di sana kau akan mengetahui du-
duk persoalan yang sebenarnya. Saat ini yang
terpenting adalah bagaimana caranya agar kau
dapat menghadapi Ratu Leak!"
"Bagaimana caranya, kek?"
"Tentu saja menempurnya hingga mampus!
Yang terpenting jangan sampai ia memperguna-
kan kekuatan Batu Lahat Bakutuk. Sebab hal itu
dapat membahayakan keselamatan jiwa orang
banyak!" "Jadi hanya itu saja, kek?" tanya Suro Blondo. Si Bayang Bayang anggukkan
kepalanya. Ia mengeluarkan sebuah benda berbentuk persegi
terbungkus kain warna hitam. Benda persegi itu
sebesar atau lebar dua jari. Pada bagian sisi-
sisinya terdapat tali yang berwarna hitam pula.
"Ulurkan tanganmu!" perintah Si Tangan Biru. Suro walau pun bingung angsurkan
kedua tangannya juga. "Satu saja tolol!"
Pendekar Blo'on angsurkan tangannya
yang kiri. Tetapi Si Tangan biru memberi isyarat agar Suro memberikan tangannya
yang kanan. Sehingga sambil julurkan tangan kanannya ia
nyeletuk. "Ini semacam jimat ya, kek" Aku pernah
dengar jimat pantang di bawa buang hajat. Ka-
tanya kesaktian yang terkandung dalam jimat itu
bisa hilang!"
"Jangan banyak tanya, benda ini jangan
kau buang! Jika kau sewaktu-waktu dalam kea-
daan terdesak benar kau cukup mengusapnya.
Mudah-mudahan Tuhan memberikan pertolon-
gannya padamu!" jelas Si Bayang Bayang sambil mengikat benda hitam itu di lengan
Suro. "Bolehkah aku tahu isi bungkusan ini,
kek?" "Tidak boleh. Dia tidak bisa kau buka, dalam bungkusan gepeng ini
tersimpan rahasia be-
sar tentang Lembah Nirwana, penghuninya juga
tentang sebuah kebesaran di masa silam. Jagalah
dia jangan sampai hilang, lindungi dia sebagai-
mana kau melindungi seorang kekasih yang san-
gat kau cintai. Berangkat dari sini merupakan
awal kemujuran dan kesialanmu! Kutegaskan se-
kali lagi, benda yang melingkar di tangan kanan-
mu itu merupakan amanah! Seseorang yang me-
nyia-nyiakan amanah sama dengan penghianat!
Suatu saat bila terjadi suatu peristiwa besar di Teluk Hantu. Di saat itulah kau
akan tahu betapa pentingnya jurus Congcorang dan juga apa yang
kupasang di lengan kananmu!"
"Jadi sekarang bagaimana" Apakah aku
boleh meninggalkan tempat ini, kek" Rasanya aku
sudah tidak betah berlama-lama disini. Mengulur-
ulur waktu hanya membuat Ratu Leak panjang
umur saja!"
"Sekarang kau belum boleh meninggalkan
Lembah ini. Tetapi nanti setelah lewat tengah ma-
lam kau sudah dapat pergi!" tegas Si Tangan Biru.
Kakek itu kemudian bangkit berdiri. Seraya me-
langkah mundur sejauh tiga tindak, dan secara
aneh tiba-tiba saja sosoknya yang bagaikan
bayang bayang itu raib dari pandangan Pendekar
Blo'on. Pemuda itu tercengang, walau sudah be-
berapa kali Suro melihat kejadian yang aneh ini.
Namun kali ini Si Bayang-Bayang raib lebih cepat dari biasanya.
"Aku kurang yakin kakek itu manusia
sungguhan. Jangan-jangan yang kulihat hanya
rohnya saja!" pikir Suro. Ia pun mengangkat ba-hu, seraya mengayunkan langkah
menuju ka- marnya. *** Penghulu Siluman Kera Putih benar-benar
merasa kehilangan jejak Malaikat Berambut Api.
Menurut Bunga Bidadari orang tua aneh yang
sangat diseganinya itu baru saja meninggalkan
tepi Lembah Nirwana. Tetapi mengapa setelah ia
melakukan pengejaran cukup lama ia tidak ber-
hasil menyusulnya juga. Barata Surya menjadi
bimbang jangan-jangan ia salah arah. Kakek tua
ini berdiri di balik pohon cukup lama. Tiba-tiba saja di luar dugaan ia melihat
sebuah bayangan
berkelebat lewat di sampingnya. Barata Surya jadi kaget karena orang yang
dilihatnya sangat mirip
dengannya. "Berhenti!" teriaknya sambil menghadang
langkah orang itu. Serentak sosok berpakaian pu-
tih ini hentikan langkah. Tampak jelas orang ini pun tidak mampu menutupi
keheranannya. "Kau...!"
Barata Surya terdiam, tatapan matanya
memandang lurus pada laki-laki seusia dengan-
nya. "Wajahmu, janggut, jambang kumis dan
pakaianmu mirip benar denganku! Padahal di
dunia ini aku tidak mempunyai saudara kembar.
Kau meniru-niru diriku. Sehingga diantara kita
persis satu sama lain. Mungkin Suro pun akan
salah memilih mana gurunya jika kita berjalan
bersama-sama. Keadaan kita persis seperti pinang di belah pakai martir! Siapa
kau?" tanya Barata Surya curiga.
"Seharusnya aku yang bertanya siapa kau
ini" Mukamu dan mukaku seperti orang kembar
saja!" jawab orang tua itu tidak kalah garangnya.
"Kurang ajar betul! Seseorang pasti sengaja meriasmu begini rupa untuk membuat
keonaran dan kekacauan. Atau kau manusia ciptaan Batu
Lahat Bakutuk heh...!"
"Kau mungkin manusianya suruhan Ratu
Leak! Untuk manusia yang suka menipu dan me-
nyaru-nyaru seperti orang lain, aku harus mem-
bunuhmu! Aku tidak ingin sampai terjadi engkau
yang jadi maling aku yang dikejar-kejar orang banyak!" sergah sosok yang mirip
dengan Barata Surya tidak kalah sengitnya.
Penghulu Siluman Kera Putih tiba-tiba saja
jadi kehilangan kata-kata. Ia memperhatikan laki-laki di depannya dengan
perasaan jengkel ber-
campur geli. Jengkel karena ada orang yang me-
nyamar persis seperti dirinya. Geli, karena orang jelek seperti dia masih ada
yang meniru. Dilihat sepintas lalu mereka tidak ubahnya seperti saudara kembar
yang sedang bertengkar.
"Kau bukan diriku dan aku pasti bukan di-
rimu. Untuk membuktikan siapa Penghulu Silu-
man yang sebenarnya kita harus bertarung sam-
pai salah seorang diantara kita mampus! Bagai-
mana pendapatmu?" tanya Barata Surya sewot.
Kembaran Barata Surya tertawa tergelak-
gelak. Ia tepuk-tepuk dadanya seperti seekor go-
rilla yang kembali membawa kemenangan dari pe-
rang. "Keinginanku memang sesuai dengan apa yang kau ucapkan itu. Kuharap takdir
kematian sesuai dengan perintah yang aku terima. Dengan
begitu aku dapat kembali untuk mengabarkan be-
rita kemenangan!"
"Kata sepakat sudah kita dapat, tunggu
apa lagi jika ingin cepat sekarat"!" teriak Barata Surya. Sebagai penghulunya
para siluman diam-diam ia mulai mengerahkan tenaga gaibnya ke
bagian mata. Kini setelah berkedip beberapa kali ia dapat melihat kegelapan alam
gaib. Sebuah alam lelembut yang tidak dapat ditembus pengli-
hatan biasa. Ketika Barata Surya memandang ke arah
Barata Surya kembar yang berdiri tegak di de-
pannya. Maka terlihatlah olehnya sosok makhluk
dengan wajah lebih dari setan. Jelas orang itu
bukan siluman, ia mengenal bagaimana rupa dan
ujud Siluman. Itulah sebabnya dia tersenyum.
"Mengapa kau hanya menunggu, bukankah
kau menghendaki nyawaku!" cibir si kakek sambil usap-usap dagunya yang ditumbuhi
bulu-bulu lebat. "Aku yakin kau ingin meniru jurus-jurus simpananku, sehingga orang akan
menyangka kau adalah aku. Agaknya kau memang kebagian
sialnya, kau terlanjur bertemu dengan aku!"
"Hem, mulutmu terlalu takabur!" dengus kembaran Barata Surya. Tiba-tiba saja
orang ini melompat ke depan. Kakinya menyambar pung-
gung Penghulu Siluman Kera Putih. Gerakan la-
wan ini sempat terbaca oleh si kakek, tanpa
sungkan-sungkan lagi tinjunya menderu.
Plak! Kembaran Barata Surya sempat terhuyung.
Namun sama sekali ia tidak mengeluh terkecuali
menyeringai. Kemudian ia berteriak keras sambil
menyerang Penghulu Siluman dengan jurus aneh
tetapi sangat berbahaya. Barata Surya tertawa
terkekeh-kekeh.
"Sekarang sudah mulai terbukti, Barata
Surya yang asli mempunyai jurus-jurus monyet.
Sedangkan kau mempergunakan jurus anjing gila
kelaparan! Ha ha ha...!"
"Jahanam!" geram kembaran Barata Surya.
Tangannya melesat melakukan tamparan ke wa-
jah dan kepala lawan. Kakek ini tundukkan kepa-
la, dengan mempergunakan jurus 'Serigala Melo-
long Kera Sakti Kibaskan Ekor', Penghulu Silu-
man berkelit ke samping. Ia keluarkan lolongan
tiada henti, sementara lawan telah menghujani
pukulan bertubi-tubi. Salah satu pukulan menda-
rat tepat di dada Barata Surya, kakek lucu ini
mengeluh tertahan. Lawan terus memburunya
saat melihat si kakek seakan-akan melakukan ge-
rakan melarikan diri. Tiba-tiba saja Barata Surya berputar kakinya menendang ke
belakang. Duuk! "Ngekh!"
Kembaran Barata Surya jatuh terpelanting.
Meskipun akibat tendangan tadi membuatnya ter-
luka. Namun ia masih sempat lepaskan pukulan
maut ke arah Penghulu Siluman Kera Putih yang
sekarang berbalik menyerangnya. Sinar merah
bergulung-gulung bagaikan gumpalan bara mela-
brak kakek tua tersebut. Secepatnya dan agak
gugup ia kibaskan tangannya. Sinar putih mele-
sat dari sela-sela jari tangan si kakek.


Pendekar Bloon 21 Tokoh Tokoh Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buum! Gubrak! "Oh lala... aduh biyung...!" jerit Penghulu Siluman. Ia usap-usap wajahnya yang
panas bagaikan terbakar. Tanpa membuang-buang waktu
ia lipat gandakan tenaga dalamnya dan segera
disalurkan ke bagian tangan. Sementara itu den-
gan nekad lawannya telah menghujaninya dengan
pukulan-pukulan maut bertubi-tubi.
"Haiiit!"
Tubuh kembaran Barata Surya tiba-tiba
melambung tinggi. Ia berputar-putar di udara se-
dangkan kakinya menyapu ke empat penjuru
arah. Serangan ini pertama-tama tampak seperti
biasa. Tetapi ketika serangan kaki itu semakin
merendah sesuai dengan gerakan menghindar si
kakek. Barata Surya dibuat pontang-panting. Ia
melempar tubuhnya sehingga rata dengan tanah.
Tetapi kaki lawan lebih cepat lagi menghajar
punggungnya. Duuk! "Ekh...!"
Bukan main kerasnya hantaman itu hingga
membuat Barata Surya menggeliat kesakitan. Ke-
tika ia berusaha bangun lagi, sebuah tendangan
menghantam dadanya. Sebelum tendangan itu
mendarat tepat pada sasaran. Maka si kakek ke-
rahkan jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Hari-
mau'. Wuut! Wuut!
"He he he! Tidak kena...!" ejek Barata Surya. Tanpa terduga tangannya meluncur
kebagian dagu lawan.
Des!. Kepala kembaran Barata Surya sempat
terdongak, tubuhnya terjajar dan laki-laki itu jatuh terduduk dengan kepala
pusing bukan main.
TUJUH Sekejap kepalanya nampak oleng ke kanan
ke kiri. Ia menggerung, justru dari mulutnya me-
nyembur darah kental kehitaman. Dengan lang-
kah terhuyung-huyung orang ini bangkit berdiri.
Tangan kanan dikepalnya sedangkan tangan kiri
terpentang lebar. Dua tangan diadu satu sama
lain. Traat! Tiba-tiba saja menyembur api dari bentu-
ran itu. Serangan jarak jauh ini bukanlah seran-
gan biasa. Namun Barata Surya malah tertawa
membahak. "Jangan coba-coba bermain api, salah-
salah tubuhmu terbakar sendiri!" teriaknya. Kakek rambut putih ini tiba-tiba
saja angkat tan-
gannya siap melepaskan pukulan 'Matahari Rem-
bulan Tidak Bersinar' Sesaat setelah pengerahan
tenaga dalam tinggi, Barata Surya tampak meng-
geletar hebat. Selanjutnya ia melompat tinggi ke udara sambil dorongkan kedua
tangannya. Sinar
biru bersemu merah meluncur deras menerjang
sinar merah yang bergulung-gulung menerpa di-
rinya. Wuuut! Tiba-tiba saja lidah api lawan membubung
tinggi seolah-olah menghindari bentrokan dengan
pukulan Barata Surya. Praktis serangan kakek
baju putih mengenai tempat kosong. Sedangkan
serangan yang dilakukan lawannya terus menge-
jar kemana pun kakek Penghulu ini menghindar.
"Celaka, mengapa bisa jadi begini?" desisnya dalam hati. Laksana kilat ia
menjejakkan ka-
kinya di atas tanah. Lalu dorongkan kedua tan-
gannya lagi. Wuus! Serangan tangkisan kedua ini kelihatannya
lebih kuat dari serangan yang pertama. Sehingga
terjadilah benturan keras bukan main. Ketika terjadi ledakan besar. Maka
terlihat dua sosok tubuh sama terlempar sejauh dua batang tombak ke belakang.
"Huuukh...!"
Suara mereka tertahan-tahan. Penghulu
Siluman Kera Putih pegangi dadanya yang men-
denyut sakit. Kembaran Barata Surya seka darah
yang mengalir dari mulut dan hidungnya. Mata
orang ini nampak lebih merah seakan dibasahi
darah. Ia mencoba merangkak dan berdiri. Tetapi
sekujur tubuhnya yang sempat hangus termakan
pukulannya sendiri rasanya sakit semuanya. Se-
dangkan pada waktu itu Penghulu Siluman Kera
Putih sudah kembali menyerang dengan satu ten-
dangan menggeledek yang sangat berbahaya se-
kali. Mana mau kembaran Barata Surya ini mati
konyol. Ketika merasakan deru angin tendangan
yang begitu dingin, maka ia angkat sikunya.
Penghulu Siluman sama sekali tidak me-
nyangka adanya perlawanan ini. Ia terpaksa tarik tendangan untuk menghindari
benturan hebat.
Sebagai gantinya tinju menghantam wajah lawan.
"Aih...!"
Kembaran Barata Surya jadi gugup. Ia ti-
dak sempat lagi mengelakkan serangan ini. Aki-
batnya.... Prok! "Akh!" Kembaran Barata Surya tutupi wajahnya yang hancur. Sungguh mengagumkan
daya tahan orang yang satu ini, sebab sungguh-
pun wajahnya remuk terhantam tinju lawannya
namun ia masih dapat bertahan. Kini malah
sambil menggerung marah ia melompat dengan
gerakan bagaikan tupai berpindah dari satu rant-
ing ke ranting lainnya. Delapan jari bermaksud
mencoblos perut Penghulu Siluman Kera Putih.
Kakek Barata Surya tidak tinggal diam, ia
pun angsurkan kedua tangannya sekaligus den-
gan gerakan mendorong.
Wuuk! Ada hawa panas dingin menyambar. Lagi-
lagi terjadi benturan hebat dan kembaran Barata
Surya jatuh terguling-guling. Penghulu Siluman
lakukan satu lompatan ke depan, lalu jatuhkan
diri dengan lutut menghantam telak punggung
lawannya. Deekh! "Kraaak...!"
"Arrkh...!"
Kembaran Barata Surya menjerit keras.
Hentakan keras itu membuat tulang punggung
lawannya patah. Si kakek tidak berhenti hingga di
situ saja, kini sikunya menghantam batok kepala
orang itu. Praak! Untuk kedua kalinya terdengar suara lo-
longan panjang. Sosok kembaran Barata Surya
menggelepar. Dari sekujur tubuhnya keluar asap
berwarna kehitaman. Asap yang menebar bau bu-
suk luar biasa. Benar seperti dugaannya, sosok
yang mengembari dirinya ternyata memang ma-
nusia jejadian.
Tidak berselang lama ujud kembaran Bara-
ta Surya pun sirna. Penghulu Siluman Kera Putih
sempat terkesima. Sekarang ia mulai menerka-
nerka siapa gerangan orang yang telah mencipta-
kan kembaran yang sangat mirip dengan dirinya
itu. "Di dunia ini tidak ada satu makhluk pun yang mampu menciptakan makhluk
lainnya. Kalau pun itu terjadi, pasti ini semua hasil perbuatan Ratu Leak dengan
bantuan benda yang dis-
ebut-sebut sebagai Batu Lahat Bakutuk. Hmm,
begitu penasarannya dia. Aku jadi ingin tahu sia-pa sesungguhnya perempuan yang
bergelar Ratu Leak tersebut!" desis Penghulu Siluman tidak habis pikir.
Penghuni lereng gunung Mahameru ini se-
lanjutnya meneruskan perjalanannya kembali un-
tuk mencari Malaikat Berambut Api.
*** Malam itu di tepi muara sungai udara me-
mang terasa dingin menggigit. Sebuah tenda ber-
diri kokoh di depan onggokan api unggun yang
menyala-nyala. Manusia Topeng berada di dalam
tenda itu. Sedangkan Mata Iblis duduk diam di
bawah sebatang pohon mengkudu. Matanya yang
buta dalam keadaan terpejam. Orang tua ini en-
tah tertidur entah terjaga. Jauh ke samping, te-
patnya di depan api unggun Dewi Kerudung Putih
tampak masih menghangatkan diri. Udara yang
dingin memang terasa sangat menyiksa. Bukan
hanya itu saja, sejak sore tadi hati gadis ini memang tidak enak. Ada keresahan
yang mengusik- nya. Kegelisahan yang ia sendiri tidak tahu apa
penyebabnya. Gadis ini sebenarnya ingin tidur, di samping badannya terasa penat
ia juga sudah mengantuk. Namun bila melirik ke arah kuda, ia
menjadi was-was. Datuk Nan Gadang Paluih dan
Wayan Tandira masih belum muncul juga dari
sungai. Padahal mereka pamitan dengan Dewi
hanya sebentar saja. Mungkinkah orang mandi
bisa selama itu"
Dewi Kerudung Putih melirik ke arah kege-
lapan sungai. Ia tidak mendengar suara kecipak
air terkecuali desiran angin dan suara serangga.
Hanya sesekali terdengar suara burung hantu di
kejauhan. "Malam ini suasananya terasa lain sekali!"
kata Dewi dalam hati. "Perasaanku mengatakan sesuatu bakal terjadi di sini!"
pikirnya lagi. Kemudian si gadis merebahkan tubuhnya. Meman-
dang ke langit terlihat olehnya gugusan bintang
gemintang. Semuanya ini mengingatkan dirinya
akan Pendekar Blo'on, ia hanya dapat berdoa se-
moga pemuda yang disenanginya itu dalam kea-
daan baik-baik saja.
"Auh... aku mengantuk..." Dewi menga-
tupkan mulutnya. Ia sudah tidak ingin lagi memi-
kirkan kemana perginya Datuk Nan Gadang Pa-
luih dan Wayan Tandira. Lama kelamaan ma-
tanya pun terpejam.
Di luar sepengetahuan Dewi kiranya ada
dua pasang mata yang terus mengawasi. Dua pa-
sang mata itu memandang ke tenda atau ke arah
Mata Iblis yang duduk diam di bawah pohon.
"Tugas kita ini tidak boleh gagal! Kita telah membunuh Malaikat Berambut Api
palsu demi kelancaran tugas dan jangan sampai terbongkar
siapa kita yang sebenarnya!" bisik orang itu pada orang disebelahnya
"Tetapi mereka tidur dengan tempat terpi-
sah-pisah. Ini akan menyulitkan tugas kita!" Yang diajak bicara seakan-akan
mengeluh. "Ahk, kau ini mengapa begini bodoh" Membunuh Manusia
Topeng sudah menjadi tugasmu. Dua yang di luar
itu termasuk pekerjaan sulit, namun aku pasti
mampu melakukannya!" kata orang pertama pe-
nuh keyakinan. "Sekaranglah saatnya kita bergerak. Aku
harus membunuh Dewi terlebih dahulu! Ayo-
lah...!" Setelah mendapat aba-aba dari kawannya,
tanpa menunggu lebih lama lagi kedua orang ini
ke luar dari kegelapan. Yang memakai pakaian
putih berjalan mengendap-endap mendekati Dewi.
Sedangkan yang satunya lagi menyelinap ke bela-
kang tenda. Sementara itu orang yang mendekati Dewi
Kerudung Putih kini sudah menghunus sebilah
pedang pendek berwarna putih mengkilap. Di luar
sepengetahuannya ada sepasang mata lain yang
terus mengawasi gerak-gerik mereka sejak tadi.
Laki-laki berpakaian putih yang menghunus pe-
dang itu sekarang dengan sinis angkat senjatanya tinggi-tinggi. Dewi yang tengah
tertidur pulas kelihatannya memang tidak menyadari bahaya be-
sar yang mengancamnya. Tiba-tiba saja
Wuus! Senjata pun terayun terarah lurus ke ba-
gian jantung Dewi. Pada waktu yang sangat kritis itu. Tiba-tiba tiga buah benda
berwarna hitam sebesar kelingking melesat ke arah tangan dan sen-
jata persis sejengkal lagi ujung senjata mencapai sasaran.
Tring! Triing! Tuuk!
"Heh...!"
Laki-laki berpakaian putih tampak kaget.
Senjata di tangan terpental dan jatuh di kegela-
pan. Selain itu tangannya pun sakit bukan main
seperti di tusuk-tusuk duri. Belum lagi ia sempat menoleh ke arah orang yang
menyelamatkan De-wi, sebuah tendangan mendarat telak di pung-
gungnya. Orang ini tersungkur dengan wajah
mencium tanah. Suara ribut-ribut ini membuat
Dewi Kerudung Putih terjaga dari tidurnya. Ia kelihatan kaget sekali ketika
melihat seorang laki-laki berpakaian serba merah telah berdiri tidak
jauh darinya. "Bangunkan semua orang! Ada tokoh-tokoh
palsu di sini!" teriak kakek berambut merah. Di dalam tenda keributan lain
terjadi. Manusia Topeng seperti sedang memaki-maki setelah terden-
gar suara bak bik buk beberapa kali. Lalu terlihat sosok tubuh terpental ke luar
diiringi melesatnya sosok bayangan lain mengikuti orang yang terpelanting itu.
"Siapa kau?" tanya Dewi terheran-heran.
Lebih heran lagi ketika melihat laki-laki berpa-
kaian putih yang dikenalnya tersungkur.
"Aku Malaikat Rambut Api, nyawamu
hampir saja melayang di tangan orang itu andai
aku terlambat saja sedikit!" jelas si kakek. Dewi Kerudung Putih terkesima.
Bagaimana mungkin
Datuk Nan Gadang Paluih hendak mencelaka-
kannya" Sedangkan diantara mereka sudah sal-
ing kenal.

Pendekar Bloon 21 Tokoh Tokoh Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bohong!" Datuk Nan Gadang Paluih bangkit membela diri. "Dialah yang hampir
mencela-kanmu!"
Dewi Kerudung Putih tentu saja semakin
bertambah bingung. Ia memandang ke arah sosok
yang baru terjatuh tadi. Ternyata Wayan Tandira
alias Si Manusia Akar.
"Manusia Topeng! apa sesungguhnya yang
tengah terjadi?" tanya Dewi bingung. Manusia Topeng tidak segera menjawab. Ia
memperhatikan Malaikat Berambut Api seakan ingin meyakinkan
diri. "Entah ya,..! Bocah yang bernama Wayan Tandira ini hendak lepaskan pukulan
yang me-matikan selagi aku tertidur. Menurutmu apakah
dia bermaksud mengurutku, sedangkan aku tidak
pernah memintanya!"
"Ketahuilah oleh kalian. Aku telah mengi-
kuti kalian sejak setan yang mengaku-ngaku se-
bagai Datuk Nan Gadang Paluih ini membunuh
orang yang mirip denganku. Apa yang dilakukan-
nya itu hanyalah siasat untuk menutupi rahasia
siapa mereka yang sebenarnya!" tegas Malaikat Berambut Api.
"Heh, ada apa ini ribut-ribut"!" tanya Mata Iblis pula yang baru saja terjaga
dari tidurnya. "Orang rambut merah ini mengatakan Da-
tuk Nan Gadang Paluih dan Wayan Tandira, pal-
su! Bocah ini mau membunuh aku, sedangkan
Datuk Nan Gadang hendak membunuh Dewi. Ba-
gaimana menurutmu?" tanya Manusia Topeng.
"Kalian salah sangka, kurasa kakek baju
merah inilah yang palsu dan hendak menipu ka-
lian!" sergah Wayan Tandira membela diri.
"Ha ha ha! Orang yang seperti aku satu te-
lah terbunuh! Rasanya tidak mungkin Ratu Leak
menciptakan orang baru lagi dengan Batu Lahat
Bakutuknya! Kalian mau percaya silahkan, tidak
juga tidak apa-apa!" tegas kakek Dewana berang.
Lain lagi dengan Manusia Topeng. Orang ini se-
perti mendapat akal. Ia angguk-anggukkan kepala
sambil menghampiri Datuk Nan Gadang Paluih.
"Datuk Nan Gadang, aku percaya dengan
keteranganmu! Beberapa waktu yang lalu kulihat
kudamu yang bernama Putih Kaki Langit dapat
berubah tinggi seperti hendak menggapai angka-
sa. Untuk membuktikan bahwa orang tua beram-
but merah itu mengada-ada, coba sekarang tolong
tunjukkan pada kami bagaimana caranya kau
dapat memerintah kuda alam gaib ini sehingga
tubuhnya menjadi besar dan tinggi!" pinta Manusia Topeng. Wayan Tandira sepontan
memandang tajam pada Datuk Nan Gadang Paluih. Sang Da-
tuk kedipkan matanya, sehingga posisi mereka
sekarang saling memunggungi.
"Ternyata Datuk Nan Gadang Paluih tidak
dapat berbuat apa-apa dengan kudanya. Kini je-
laslah bagi kita siapa dia yang sebenarnya?" ujar Dewi Kerudung Putih.
"Hem, hajat belum terkabul tapi siapa diri
sudah ketahuan! Wayan Tandira sesamaku, mari
kita membuka jalan darah!" teriak Datuk Nan Gadang Paluih palsu ditujukan pada
Wayan Tandira palsu pula.
"Mari, Datuk!" sahut kembaran Wayan
Tandira. Tanpa banyak bicara lagi tiruan pemuda
yang sekujur tubuhnya terbalut akar-akaran ini
langsung melabrak Manusia Topeng yang berdiri
di depannya. Sedangkan Datuk Nan Gadang Pa-
luih palsu segera berhadapan dengan Malaikat
Berambut Api. Mata Iblis dan Dewi Kerudung Pu-
tih segera menyingkir ke tempat yang aman.
"Kalian berdua benar-benar orang yang ti-
dak berguna di depan kami. Terlebih-lebih kau
rambut merah" Ketua kami punya dendam se-
tinggi langit padamu!" dengus kembaran Datuk Nan Gadang.
"Siapa ketuamu" Tentu Ratu Leak, bu-
kan?" celetuk Manusia Topeng yang ketika itu sedang bertarung dengan Kembaran
Wayan Tandira pemimpin negeri Sange.
"Kalian tahu apa?" Wayan Tandira yang menyahuti. Tiba-tiba saja pemuda berambut
gondrong itu melesat ke depan sambil kirimkan joto-
san-jotosan ke beberapa bagian tubuh lawannya.
Untuk diketahui, Wayan Tandira yang sesung-
guhnya walau pun sekujur tubuhnya hingga se-
batas leher dibalut akar sakti. Tetapi kesaktiannya jauh di bawah Manusia
Topeng. Dalam kea-
daan seperti sekarang ini pun walau Wayan ga-
dungan berusaha mendesak lawan. Tetap saja
Manusia Topeng bersikap santai-santai saja. Kelihatannya Wayan terpaksa harus
menguras tena- ga. Sekarang ia terus mendesak lawan sambil le-
paskan tendangan atau pun pukulan bertubi-
tubi. "Haiiit...!"
Ketika melihat serangan lawan menderu.
Manusia Topeng melompat mundur sekaligus
berkelit menghindar. Kemudian tubuhnya melesat
ke udara, selagi ia meluncur dengan kepala
menghadap bawah, tangan Manusia Topeng
menghantam bahu kanan dan bahu kiri lawannya
secara bersamaan.
Bres! "Auukh...!"
Kembaran Wayan Tandira menjerit histeris
dalam kesakitan yang teramat sangat. Bahu sebe-
lah kiri tampak miring, akar-akar yang membalut
tubuhnya berpatahan di sana-sini. Melihat kenya-
taan ini Manusia Topeng berkomentar:
"Jika kau Wayan Tandira yang asli, tentu
keadaanmu tidak babak belur seperti sekarang
ini. Paling tidak akar sakti dapat memancarkan
sinar yang dapat membuat lawanmu mati konyol!"
"Manusia bertopeng, kau boleh saja bicara
tidak karuan juntrungnya. Tetapi sebelum itu te-
rimalah pukulanku!" teriak kembaran Wayan. Seraya tiba-tiba berjumplitan
sebanyak tiga kali, ketika ia berdiri tegak tidak jauh dari Manusia Topeng
dengan tidak terduga-duga Wayan hantam-
kan pukulannya. Terlihat jelas sinar hitam meng-
hampar, Manusia Topeng segera dapat merasakan
betapa perutnya terasa panas. Kemudian terasa
ada gelombang angin dahsyat saling tindih me-
nindih. Manusia Topeng mencoba bertahan den-
gan posisi berdiri, namun ke dua tangan mendo-
rong ke depan. "Huuuuap!"
"Haaaa...!"
Kembaran Wayan Tandira akhirnya terpe-
lanting juga. Laki-laki gondrong ini kelihatannya
menderita luka dalam yang tidak ringan. Sungguh
pun demikian ia mencoba bangkit kembali.
DELAPAN Manusia Topeng yang sudah mengetahui
siapa adanya Wayan Tandira. Yang tidak lain ada-
lah kembaran yang diciptakan melalui Batu Lahat
Bakutuk oleh Ratu Leak, tidak memberi kesempa-
tan lebih banyak lagi. Ia melompat ke depan, disertai teriakan melengking tinggi
ia pukulkan ke-
dua tangannya ke dada kembaran Wayan. Si gon-
drong mencoba berguling, tetapi gerakannya itu
hanya dapat bergeser sejengkal saja.
Praak! Tangan kanan Manusia Topeng menghan-
tam telak dada lawannya. Sehingga Wayan menje-
rit histeris. Lima buah tulang iganya remuk, da-
rah menyembur dari mulut kembaran Wayan
Tandiria. Laki-laki itu menggelepar, matanya me-
lotot. Dalam keadaan melotot seperti itulah ji-
wanya melayang.
Perlahan-lahan. Akar-akar yang membelit
Wayan Tandira palsu sirna begitu saja. Sosoknya
mengecil, semakin bertambah kecil disertai men-
gepulnya asap tipis berbau busuk luar biasa. Ke-
mudian tinggallah warna hitam sepanjang hampir
satu depa. Sedangkan mayat kembaran Wayan hi-
lang begitu saja.
"Sudah kukatakan semua ini adalah ti-
puan. Mengapa jadi manusia kena di bodohi?"
Yang bicara adalah Malaikat Berambut Api yang
saat itu sedang berusaha mendesak Datuk Nan
Gadang Paluih gadungan. Manusia Topeng men-
dengar kata-kata kakek Dewana ikut nyeletuk.
"Datuk Nan Gadang dapat memerintah ku-
da putihnya untuk menyerangmu! Maka berhati-
hatilah orang rambut merah!"
Malaikat Berambut Api yang tidak punya
tabiat konyol apalagi suka bercanda ini hanya
mendengus. Waktu itu lawan telah melepaskan
pukulan dahsyat dalam jarak yang sangat dekat
sekali. Wut! Malaikat Berambut Api spontan segera me-
rasakan adanya angin dingin laksana mata tom-
bak menusuk-nusuk sekujur tubuhnya. Diam-
diam ia kerahkan tenaga dalam untuk lindungi
diri. Sedangkan bagian tenaga lainnya segera ia
pindahkan ke tangan kanan.
"Heeph...!"
Tangan Malaikat Berambut Api tampak
menggeletar. Kiranya ia telah siap memapaki se-
rangan lawan dengan pukulan 'Ratapan Pem-
bangkit Sukma'. Segera saja kedua tangannya be-
rubah memutih laksana salju. Ketika kakek
penghuni Pulau Seribu Satu Malam ini hentakkan
tangannya ke depan. Maka melesatlah sinar putih
bergulung-gulung bagaikan serangkaian pelangi.
Sinar merah hitam seakan-akan melabrak
sebuah dinding baja yang sangat tebal. Datuk
Nan Gadang palsu terpaksa melipat gandakan te-
naga dalamnya untuk meneruskan serangannya
yang tertahan sinar putih. Pipinya tampak meng-
gembung, wajah berubah merah sedang mata me-
lotot karena begitu gigihnya ia ingin menghancurkan lawannya.
"Hemm, boleh juga!" gumam kakek Dewa-
na. Seraya tiba-tiba saja berteriak keras. Untuk kedua kalinya tangan lebih
didorongkan ke depan. Tiba-tiba Datuk Nan Gadang merasa seperti
ada kekuatan yang Maha dahsyat memupus habis
serangan yang dilancarkannya bertubi-tubi. Tidak dapat dipertahankan lagi oleh
Sang Datuk. Duuum! Bersamaan dengan terdengarnya suara
benturan keras tadi, maka orang ini pun terpental jauh. Terlihat begitu banyak
darah yang keluar
dari mulutnya. Sambil memegangi dadanya Datuk
Nan Gadang Paluih bangkit berdiri. Lalu tangan
kanan menunjuk lurus-lurus ke arah lawannya.
Detik itu juga dari ujung jari Datuk Nan
Gadang melesat selarik sinar hitam berbau sengit, pertanda ada racun jahat yang
ikut melesat bersamaan dengan serangan tersebut.
Malaikat Berambut Api tidak tinggal diam.
Ia segera memutar tangannya membentuk perisai
diri untuk menghalau serangan lawan yang sudah
ia ketahui betapa berbahayanya. Angin pun men-
deru-deru menyertai gerakan tangan si kakek.
Untuk yang kedua kalinya sang Datuk merasa se-
rangannya terhalang pusaran angin lawan yang
tercipta lewat tangan yang berputar itu.
Tetapi setelah menggandakan tenaga da-
lamnya, maka sedikit demi sedikit serangan ter-
sebut mampu juga menerobos pertahanan lawan-
nya. Malaikat Berambut Api segera membuang
tubuhnya ke samping. Ia bergerak cepat ke depan
dengan berguling-guling. Setelah lawan berada
dalam jangkauannya, kakinya melibas.
Dees! "Ukh...!"
Tidak ampun lagi tendangan itu membuat
kembaran Datuk Nan Gadang Paluih terpelanting
roboh. Begitu terjatuh Malaikat Berambut Api
langsung menerkam lawannya. Mereka pun ber-
guling-guling, ternyata Datuk Nan Gadang pun ti-
dak mau menyerah begitu saja. Sayang Malaikat
Berambut Api terlalu kuat baginya. Terbukti sekejap kemudian kakek berambut
merah itu telah
berhasil memitingnya, sedangkan tangan yang
lain mencengkeram kepala sang Datuk.
"Siapa yang menyuruhmu"!" geram Malai-
kat Berambut Api dengan perasaan kesal.
"Akh... aku tidak akan mengatakannya pa-
da siapapun!" sahut Datuk Nan Gadang. Kakek Dewana menyentakkan kepala lawan
lebih ke atas, sehingga membuat orang ini menjadi sema-
kin tersiksa saja.
"Katakan padaku, siapa yang menyuruh-
mu?" "Jahanam, aku tidak akan bicara apapun!"
Makian ini hanya membuat Malaikat Be-
rambut Api semakin bertambah marah. Tidak te-
relakkan lagi, Malaikat Berambut Api akhirnya
memelintir kepala lawannya sehingga ...
Traak! Klekh! Kembaran Datuk Nan Gadang Paluih ini
sudah tidak kuasa lagi berteriak atau menjerit.
Lehernya patah, dan ia tewas seketika itu juga.
Sama halnya seperti Wayan Tandira palsu tadi,
kini sosok sang Datuk setelah binasa juga raib
begitu saja. Bahkan kuda putih yang menjadi
tunggangan kembaran Datuk Nan Gadang juga


Pendekar Bloon 21 Tokoh Tokoh Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

raib. "Terlalu banyak Ratu Leak meniru tokoh-tokoh lurus. Jangan-jangan aku pun
sudah diti- runya habis-habisan! Saudara Dewana, sungguh-
pun aku tidak meragukan kemampuan masing-
masing, namun alangkah baiknya jika mulai se-
karang kita saling bahu membahu untuk menge-
nyahkan manusia terlaknat Ratu Leak!" ujar Manusia Topeng.
"Hmm, orang yang bicara di balik kedok-
nya. Aku tidak keberatan menerima usulmu itu.
Hanya aku tidak mau berleha-leha seperti kalian
dengan mendirikan tenda segala seperti orang
yang bersenang-senang. Malam ini juga kita ha-
rus melanjutkan perjalanan!" kata Malaikat Berambut Api tegas.
"Baik, baiklah aku setuju-setuju saja. Ka-
lau aku sudah setuju, kurasa Dewi dan Mata Iblis mau saja ikut bersama kita!"
"Ya, aku setuju!" kata Mata Iblis dan Dewi Kerudung putih hampir bersamaan.
*** Ratu Leak tokh pada akhirnya harus men-
gakui, bahwa tokoh-tokoh kembar yang dicipta-
kannya tidak memperlihatkan hasil menggembi-
rakan dalam setiap pertempuran. Kenyataan ini
benar-benar membuatnya menjadi marah. Sore
itu di tempat tinggalnya yang baru ia memanggil
Tua Tengkorak Mata Api, yaitu laki-laki muka
tengkorak yang cuma mempunyai sebelah mata.
Orang ini masih terhitung adik seperguruannya
sendiri. "Kenyataan mengatakan usahamu kali ini
pun tidak mendatangkan hasil, kakang mbok!"
kata Tua Tengkorak Mata Api seakan sudah men-
getahui apa yang ingin disampaikan oleh Ratu
Leak. "Menurut pendapatmu bagaimana" Aku
sudah terlanjur melangkah jauh, mustahil ra-
sanya bagiku untuk mundur!" kata perempuan
cantik tersebut. Wajahnya sama sekali tidak
memperlihatkan ekspresi apa-apa.
"Ha ha ha! Kulihat tanda-tanda menciutnya
nyalimu kakang, mbok! Aku Tua Tengkorak Mata
Api jika jadi kau tidak akan mundur. Musuh
utamamu Malaikat Berambut Api adalah musuh-
ku juga, sedangkan terhadap Penghulu Siluman
Kera Putih aku kurang mengenalnya. Akan tetapi
apa salahnya jika kita saling bahu membahu un-
tuk menghancurkan kedua orang itu" Muridku
Mustika Jajar pun dapat membantu kita!" jelas kakek berwajah tanpa daging dan
punya sebuah mata merah yang seperti hendak memberojol ke-
luar tersebut. "Kurasa bukan hanya Dewana dan Barata
Surya saja kendala yang akan menghalangi kita.
Masih ada Manusia Topeng, Datuk Nan Gadang
Paluih. Orang seberang yang Batu-nya telah ku
curi, selain itu masih ada pula Wayan Tandira
yang seluruh rakyatnya kukutuk!"
"Hmm, kuakui keberanianmu. Yang kuhe-
rankan kemana pun engkau pergi kau selalu
membuat orang memusuhimu! Keadaannya seka-
rang sudah sangat lain. Kita tidak dalam posisi di atas juga tidak dalam posisi
terjepit. Untuk membantumu rasanya bukan sesuatu yang sulit. Te-
tapi aku harus minta pendapat muridku!" ujar Tua Tengkorak Mata Api. Seraya
kemudian memandang ke arah gadis cantik yang ketika itu
hanya duduk diam mendengarkan pembicaraan
dua tokoh ini. "Uwa guru! Mereka bukanlah orang-orang
sembarangan. Seperti Datuk Nan Gadang Paluih
itu aku sudah merasai seberapa dahsyat kesak-
tiannya! Salah satu sikap uwa guru yang kurang
aku suka, uwa cuma mementingkan diri sendiri!"
mendengar ucapan Mustika Jajar, wajah Ratu
Leak sempat memerah juga. Tetapi gadis mesum
yang pernah di gembleng di lembah Ciruyung itu
cepat menambahkan. "Walaupun begitu, demi
memandang muka pada guruku sendiri, aku ber-
sedia membantumu!" tegas Mustika Jajar.
"Dengarlah, muridku sendiri pandai meni-
lai bagaimana pendirianmu kakang mbok! Kau ti-
dak usah berkecil hati. Sekarang juga aku dan
muridku akan menghadang musuh-musuh kita!"
"Mengapa kau tidak mau bersama-samaku
disini?" tanya Ratu Leak.
"Tidak! Menghadapi orang-orang seperti
mereka mengapa harus main keroyok. Aku sendiri
berjanji akan membawakan kepala orang-orang
yang kau benci ke hadapanmu!" janji Tua Tengkorak Mata Api.
"Bagus! Atas dukunganmu itu aku mengu-
capkan terima kasih!" ujar Ratu Leak penuh rasa bangga dalam hati. Tua Tengkorak
Mata Api rasanya memang sudah tidak ingin menunggu lebih
Sepasang Naga Penakluk Iblis 9 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Siluman Gila Guling 1
^