Pencarian

Misteri Bunga Mawar Kematian 1

Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Mawar Kematian Bagian 1


MISTERI BUNGA MAWAR KEMATIAN Oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh id buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
128 hal.; 12 x 18 cm
1 Langit di atas alun-alun kerajaan Kurda Rumajang merah membara, sepertinya
terbakar oleh api yang begitu menyala-nyala. Pertempuran satu kerajaan melawan
dua musuhnya terus berjalan. Korban banyak sudah berguguran, namun kesemuanya
tak menjadi hambatan bagi para prajurit-prajurit ketiga kerajaan itu untuk terus
mengadakan pertempuran.
"Serbu...!"
"Serang...!"
"Jangan biarkan pemberontak-pemberontak itu hidup!"
Itu semua merupakan sebagian pekikan-pekikan dari para prajurit kerajaan Pesisir
Putih dan kerajaan Wetan Segara. Dua kerajaan itu dipimpin oleh kakak beradik.
Kerajaan Pesisir Putih, dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Wulung Seta.
Sementara kerajaan Wetan Segara, dipimpin oleh adik Wulung Seta yang bernama
Amurwa Sakti. Keduanya merupakan kakak beradik, satu ayah lain ibu.
Dari kejauhan seorang gadis berdiri mematung. Rupanya gadis itu tengah
menyaksikan pertempuran yang berlangsung. Gadis itu bernama Angelir, puteri dari
Kurda Rumajang anak Prabu Amuk Mungkur.
Setelah sesaat terdiam memperhatikan dari kejauhan pertempuran itu, Angelir
bergegas pergi. Langkahnya begitu cepat, sepertinya terburu-buru menuju ke
keraton. "Ayah, kenapa dua kerajaan itu mesti memusuhi kita?" tanya Angelir pada ayahnya
Prabu Amuk Mungkur.
Ditanya begitu oleh putrinya, Amuk
Mungkur hanya terdiam. Ditatapnya lekat-lekat wajah sang putri, ditariknya napas
panjang. "Kenapa ayah terdiam?" kembali Angelir bertanya.
"Ayah tak dapat menjawabnya, Anak-ku,"
Amuk Mungkur akhirnya membuka suara. Lewat suara itu, seakan ada desah berat
yang meng-ganjal di kerongkongannya.
"Mengapa, ayah...?" kembali Angelir bertanya. Ia merasa jawaban ayahnya tak
memu-askan, seakan masih ada teka-teki yang menyelimuti. "Apakah ayah pernah
bersalah pada mereka?"
Amuk Mungkur tertunduk mukanya. Kembali ditariknya napas panjang-panjang. Dari
matanya tak terasa menetes air mata.
"Anakku... Sebenarnya ayah bermaksud merentangkan sayap, agar kerajaan ini makin
melebar. Maka itulah, ayah bermaksud me-naklukkan dua kerajaan sebelah. Kau
adalah anak tunggalku, yang kelak menggantikan kedudukan ayah. Kau harus mampu
meneruskan cita-citaku," kata Amuk Mungkur setelah sesaat terdiam.
Mendengar penuturan ayahnya, seketika Angelir mendongakkan kepalanya. Dipandangi
wajah ayahnya dengan rasa bangga, lalu dengan mata berlinang Angelir berkata:
"Semua petuah ayah akan Angelir lakukan. Hari ini juga, Angelir akan turut serta
membantu dengan cara Angelir sendiri. Angelir minta do'a restu, Ayah."
"Kau mau apa, Anakku?"
"Angelir ingin mengadu domba kedua raja itu, Ayah."
"Kau mampu...?" tanya Amuk Mungkur seakan tak yakin.
Angelir hanya mengangguk, menjadikan seulas senyum di bibir ayahnya, Amuk
Mungkur. Perlahan Amuk Mungkur berdiri dari singgasananya, mendekati Angelir yang
terduduk bersimpuh di atas permadani.
Dengan penuh kasih sayang, dibelainya kepala sang anak. Diajaknya Angelir
bangun, dituntunnya melangkah ke singgasana. Lalu dengan penuh bangga,
didudukkan Angelir di atas singgasananya.
"Kelak kau yang akan duduk di atas singgasana itu, anakku."
Mendengar ucapan ayahnya, kembali mata Angelir berkaca-kaca. Perasaannya
seketika bangga, bergejolak bagaikan letupan-letupan semangat. "Benar apa yang
dikatakan ayah, aku harus dapat menjadikan diriku seorang ratu.
Ya, seorang ratu...." gumam hati Angelir.
Dengan lekat ditatapnya wajah sang Ayah, dan dengan penuh perhatian Angelir
bertanya. "Apakah aku akan mampu, Ayah?"
"Pasti, anakku. Pasti kau mampu," jawab Amuk Mungkur dengan bibir terurai
senyum, sementara matanya terus memandang bangga pada sang anak. "Kapan kau akan
menyusup ke salah satu kerajaan musuh, Anakku?"
"Hari ini juga, Ayah. Setelah malam ti-ba," jawab Angelir, yang menjadikan
ayahnya kembali tersenyum.
Perang masih berlangsung, dengan korban makin banyak. Dari pagi hari hingga
datangnya sore, ketiga kerajaan itu masih terus berperang.
Gelap telah datang, namun mereka seper-
ti tak menghiraukannya. Pertempuran malah makin bertambah besar, laksana api
disiram mi-nyak. Baru setelah hari benar-benar telah larut, ketiga kerajaan itu
menghentikan perang untuk meneruskannya esok hari.
Tak dihiraukannya korban di medan laga, walau dari korban itu adalah teman
mereka sendiri. Itulah perang, demi ambisi, demi kepuasan batin pimpinan,
prajurit kecil yang menjadi korban.
* * * Bulan bergayut di atas langit, menyi-narkan warnanya yang keemasan. Prajurit-
prajurit jaga dari kerajaan Pesisir Putih tampak mondar-mandir, menjaga tenda-
tenda yang digunakan untuk beristirahat teman-temannya.
Tengah mereka berjaga-jaga, tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wanita
meme-cah kebisuan malam. Seketika semua mata penjaga beralih pandang ke asal
suara itu. "Kakang Darma, apa kau dengar suara jeritan itu?"
"Benar adik Lombak. Aku dengar suara itu di Selatan," jawab Darma. "Ayo kita
dekati. Barangkali ada yang perlu kita bantu untuk wanita itu."
Maka tanpa banyak bicara lagi, kedua orang penjaga sebelah Selatan bergegas
menuju ke arah di mana suara itu berasal. Tak lama kemudian, kedua penjaga itu
telah menemukan orang yang berteriak minta tolong.
"Ada apa, Nona" Kenapa malam-malam begini Nona ada di perbatasan" Lalu kenapa
nona berteriak-teriak?" tanya Lombak.
"Anu... Anu, Tuan. Saya... saya hendak diperkosa," jawab gadis itu terbata-bata,
menjadikan kening kedua peronda mengerut.
"Diperkosa" Mana orang yang hendak mem-perkosa mu?" kembali Lombak bertanya.
"Anu... Anu, Tuan. Orang itu telah lari menuju ke wilayah Kurda Rumajang."
"Hem, nona tidak berdusta?"
Mendengar pertanyaan Darma, gadis itu tidak segera menjawab. Bahkan dengan
senyum manisnya, dicobanya mempengaruhi kedua penjaga. Melihat gadis itu
tersenyum manis, mereka seperti terbuai dalam khayal. Kedua penjaga itu balas
tersenyum, menjadikan si gadis menjadi-jadi. Tangan si gadis perlahan bergerak,
lalu dengan berani disingkapkan pakaiannya.
Terbelalak mata kedua penjaga itu, melotot menyaksikan pemandangan di
hadapannya. Lidah keduanya melelet, menahan nafsu yang sudah tak terkendali. Melihat kedua
penjaga itu nampak telah dapat dipengaruhi, si gadis makin berani.
Tangan si gadis bukan saja menyingkap pakaian yang menutupi pahanya, namun kini
kancing bajunya pun dibuka. Mata kedua penjaga makin melotot, sepertinya hampir
keluar. Si gadis main melebarkan senyum, lalu dengan manja berkata yang menjadikan kedua
penjaga terkesiap.
"Tuan-tuan, apakah tuan-tuan tidak men-ginginkan ini?"
"A... Anu," terbata Darma berucap. Matanya melotot tak berkedip. Begitu halnya
dengan Lombak, darahnya mendidih bagaikan disetrum ribuan Watt.
"Kenapa, Tuan" Bukankah tuan jauh dari istri" Kenapa tuan mesti menolak?" tanya
si gadis kembali dengan manja. Dikedipkan matanya yang lentik, membuat kedua
penjaga bagaikan hilang sumsumnya gemetaran berdiri.
"Ayolah, Tuan?"
"Ah... apakah nona tak bercanda?" tanya Darma. Dari pelipisnya mengalir keringat
dingin, pertanda dia tengah menahan gejolak.
Si gadis menggeleng kepala, malah tangannya kini makin berani membuka dua
kancing di bawahnya. Makin terbeliak kedua penjaga itu. "Kenapa tuan hendak
menyia-nyiakan kesempatan ini?"
"Bagaimana, Lombak?"
"Benar juga, Kakang. Kenapa kita mesti menyia-nyiakan kesempatan ini" Ayolah,
Kakang," jawab Lombak, makin menjadikan si gadis melebarkan senyum. Dengan acuh,
si gadis pura-pura hendak berlalu.
Melihat si gadis hendak pergi, serta merta kedua penjaga itu segera memburunya.
"Tunggu, Nona!"
"Ada apa lagi" Bukankah kalian tadi menolak?"
"Ti... tidak! Kami tidak menolak," jawab Darma terbata.
Napas Darma bagaikan telah lari maraton, ngos-ngosan. Matanya tak henti-hentinya
memandang ke dada si gadis yang terbuka.
"Kalian ingin?" tanya si gadis dengan genit.
Darma dan Lombak sesaat saling pandang, kemudian dengan tersenyum senang
keduanya menganggukkan kepala. Melihat Darma dan Lombak mengangguk, si gadis
segera berkelebat
pergi. Melihat si gadis lari, Darma dan Lombak yang sudah terbakar nafsu segera
memburunya. "Hai, kenapa kau lari, Denok?" seru keduanya,
"Hi, hi, hi... Ayo kejarlah aku! Bukankah kalian ingin mendapatkan tubuhku?"
Mendengar ucapan si gadis, tanpa banyak pikir lagi keduanya segera memburu.
Kejar mengejar terus berlangsung, hingga tak terasa mereka telah jauh
meninggalkan tenda.
Mereka telah memasuki hutan lebat.
"Hoi, Neng. Berhenti, dong!" seru Lombak.
"Ya, kami telah capai, nih!"
"Hi, hi, hi... Ayo, kenapa kalian le-toi" Kejarlah aku! Bukankah kalian ingin
tenang tanpa ada yang mengganggu?"
"Benar juga, Kakang."
"Ayo, kita kejar!"
Kedua lelaki yang sudah streng oleh
nafsu, kembali mengejar. Hal itu rupanya telah direncanakan oleh si gadis, yang
terus berlari sampai ke tengah hutan. Ketika benar-benar di tengah hutan, si
gadis menghentikan langkahnya.
"Hi, hi, hi... Ayo majulah kalian. Bukankah kalian ingin merasakan surga?" tanya
si gadis dengan sinis. Senyumnya tampak bengis, mengandung hawa kematian. Tangan
si gadis perlahan bergerak, sepertinya hendak membuka pakaian. Namun sungguh tak
disangka oleh Lombak dan Darma, kalau gadis itu bukannya membuka pakaian. Gadis
itu telah mengambil dua kuntum bunga mawar dari balik bajunya.
Tersentak kedua penjaga melihat si ga-
dis tersenyum sinis. Namun belum juga kedua penjaga itu mengerti, si gadis telah
terlebih dahulu membungkam mulut mereka. Tangan si gadis bergerak cepat,
melontarkan kedua bunga yang dipegangnya.
"Kau....!"
"Aaahhhh...!"
Melolong panjang kedua orang itu, dengan jidat bolong terhantam bunga mawar.
Si gadis tersenyum kecut dan menghampiri kedua penjaga yang tengah sekarat.
"Itulah untuk kalian. Dan nanti, semua prajurit kerajaan Wetan Segara dan
Pesisir Putih akan menerima bagiannya, Hi, hi... Hi, hi, hi...!" berkata si
gadis dengan bengis.
"Siapa, kau?" bentak Darma dalam sekarat.
"Aku.... Hi, hi, hi... Akulah Dewi Angelir Putri Kerajaan Kurda Rumajang. Nah,
karena kalian telah tahu siapa kau, maka kalian harus mati, hiaat...!"
Dengan tanpa belas kasihan, Angelir segera menendang keduanya. Seketika kedua
orang yang tengah sekarat, melengking kesakitan dan ambruk dengan nyawa
melayang. Melihat keduanya telah mati, Angelir segera berkelebat pergi dengan
meninggalkan gelak tawa.
*** 2 Tengah Raja Wulung Seta melamuni kematian dua orang penjaga malamnya, tiba-tiba
seorang gadis cantik nan anggun datang meng-
hampiri. Senyumnya begitu memikat, menjadikan sang Raja seketika tersentak.
"Siapa, kau?" tanya sang Raja.
Gadis itu hanya tersenyum, lalu dengan genit dikedipkan matanya. Melihat hal
itu, hati Wulung Seta seketika terkesima. Matanya tak berkedip memandang.
Hatinya bergumam.
"Duh, betapa cantiknya gadis ini. Sungguh co-cok bila kujadikan istri."
"Baginda melamun, kenapa?"
"Ah, ti... tidak. Siapa namamu, anak manis?"
"Hamba yang rendah ini bernama Angelir, Baginda."
"Ah, kenapa kau begitu merendah, Angelir?"
Angelir tersenyum tersipu-sipu menundukkan muka, membuat Wulung Seta makin
gemes. Perlahan Wulung Seta bangkit dari duduknya.
Dihampiri Angelir yang masih menunduk, lalu perlahan dipegangnya dagu Angelir.
"Kenapa kau tertunduk, Angelir?"
"Hamba... hamba malu. Baginda," jawab Angelir tersipu.
"Malu..." Kenapa mesti malu, anak manis?"
Mendengar penuturan Wulung Seta, Angelir perlahan mendongakkan wajahnya.
Ditatapnya lekat-lekat wajah Wulung Seta, membuat Wulung Seta mengernyitkan ke-
ning. "Hai, kenapa dengan aku, Angelir?"
"Ti... tidak, paduka. Hamba hanya kagum melihat paduka yang setampan dan semuda
ini telah menjadi raja. Maafkan hamba, Paduka."
"Tak mengapa, Angelir. Aku senang denganmu. Maukah kau kujadikan isteri?"
Terbelalak mata Angelir demi mendengar ucapan Wulung Seta, menjadikan Wulung
Seta tersenyum dan kembali bertanya. "Kenapa, Angelir" Kau tak mau...?"
"Bu... bukan begitu, Baginda. Apakah pantas hamba yang rendah ini mendampingi
paduka?" Mendengar jawaban Angelir, Wulung Seta tersenyum. Tangannya yang kasar seketika
me-renggut janggut Angelir. Di tengadahkan muka Angelir yang menunduk untuk
memandangnya. Ditatapnya lekat-lekat mata Angelir. Sesaat keduanya saling
pandang, menyatukan benang-benang kasih.
"Kenapa tidak pantas, Angelir?" tanya Wulung Seta setelah sesaat terdiam.
"Bukankah masih banyak bunga-bunga lain yang lebih cantik dan keturunan ningrat"
Kenapa mesti Paduka meminta hamba yang hina?"
"Karena kau cantik dan anggun, Angelir!" jawab Wulung Seta. Tangannya yang
lembut membelai janggut Angelir. Di jawilnya janggut Angelir yang berusaha
mengelak. "Aku cinta padamu, Angelir."
"Hanya itu, Paduka?"
"Ya, kenapa?" tanya Wulung Seta tak mengerti.
Angelir tersenyum manja dan dengan segera berjalan meninggalkan Wulung Seta.
Wulung Seta yang menyangka Angelir hendak meninggalkannya, segera memburu
mengikuti. Namun rupanya Angelir tidak pergi jauh, ia hanya duduk di bawah pohon
Kamboja. Melihat Angelir duduk, Wulung Seta segera ikut duduk di sisi Angelir.
Kembali keduanya saling pandang, diam
dengan perasaan hati masing-masing. Tak terasa oleh mereka, bibir mereka telah
menyatu dalam diam.
"Ah, kenapa Paduka bertindak begini?"
sentak Angelir seperti baru saja tersadar.
"Maafkan aku, Angelir. Sungguh aku tak dapat menahan perasaan yang ada di hatiku
sekarang. Aku mencintaimu, Angelir."
"Hanya cinta?"
Tersentak Wulung Seta mendengar pertanyaan Angelir yang dirasakannya menyentuh
ha-ti. Dengan memandang tajam, Wulung Seta yang tak mengerti maksud ucapan
Angelir bertanya.
"Kenapa, Angelir" Apakah kau menolak cintaku?"
"Bukan begitu, Baginda. Aku menerima cinta mu, tapi...."
"Tapi apa, Angelir?" tanya Wulung Seta sembari mengernyitkan keningnya demi
mendengar ucapan Angelir yang terputus.


Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Mawar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baginda... cinta biasanya hanya hiasan mulut lelaki. Bila lelaki suka pada
wanita dan ada maunya, ia akan bicara cinta. Tapi bila ia telah mendapatkan
segalanya dan dirasakan telah bosan, maka cinta pun berlalu.
Aku tak ingin hal seperti itu terjadi padaku, Paduka."
"Maksudmu, Angelir?" tanya Wulung Seta masih belum mengerti tujuan kata-kata
Angelir. Angelir tersenyum, matanya yang lentik memandang sendu pada Wulung Seta.
Perlahan namun pasti, tangan Angelir bergerak meng-genggam tangan Wulung Seta.
Wulung Seta yang hatinya telah terpanah oleh cinta Angelir, tersenyum senang
demi merasakan tangannya di-
genggam oleh Angelir.
"Hem, telah ku jerat dia!" gumam hati Angelir.
"Apakah baginda benar-benar ingin menjadi aku isteri?"
"Kenapa tidak. Aku mencintai mu," jawab Wulung Seta menjadikan Angelir
tersenyum. Di-rebahkan kepalanya ke pundak Wulung Seta menjadikan Wulung Seta
seketika bergetar-getar hatinya.
Baru sekali ini Wulung Seta merasakan debaran aneh di hatinya selama ia menjadi
ra-ja muda. Padahal banyak bunga-bunga yang mencoba mengambil hatinya, namun
Wulung bagaikan tak ada hasrat untuk memetik.
Tapi kini Angelir gadis yang baru ia kenal, telah mampu membuat hati Wulung Seta
berbunga. Sekaligus Angelirlah yang telah mampu menembuskan panah ke hatinya.
"Kalau baginda memang berkenan menjadikan hamba istri, maka hamba meminta Paduka
dengan setulus hari menyayangi hamba."
"Hanya itu pinta mu, Angelir?" tanya Wulung Seta seakan tak percaya.
"Ya, hanya itu, Paduka," jawab Angelir pendek.
"Kalau memang itu, apa pun akan aku lakukan untukmu. Demi cintaku padamu,
segalanya akan aku lakukan."
Tersenyum senang Angelir mendengar ucapan Wulung Seta. Ditatapnya lekat-lekat
wajah Wulung Seta, menjadikan Wulung Seta makin gundah hatinya. Untuk kedua
kalinya, keduanya terlelap dalam belaian-belaian kasih.
Angin siang berhembus sepoi-sepoi, me-nyeka panas mentari. Hingga mentari yang
be- gitu terik tak terasa. Apalagi mereka yang telah hanyut oleh lautan cinta.
* * * Lain keadaannya dengan raja mereka yang tengah menjalin cinta, prajurit-prajurit
Pesisir Putih kini tengah berperang demi mene-gakkan kebenaran dan keadilan.
Segalanya di-korbankan, demi sang raja, demi kemerdekaan.
"Serbuuuuu...!"
"Seraaanggg...!"
"Jangan mundur!"
Pekik-pekik itu terus menggema, menye-barkan semangat para prajurit. Tak ada
rasa kasihan, tak ada rasa kemanusiaan. Setiap tombak, golok, pedang dan senjata
lainnya berkelebat, maka pekik kematian pun menggema.
Langit alun-alun Kurda Rumajang makin memerah, seperti tersiram darah para
prajurit. Walaupun begitu, perang terus berjalan, perang terus membahana.
Randu Alasan sebagai patih Kerajaan Pesisir Putih, bagaikan harimau kelaparan
me-nerjang gagah berani. Pedang pusaka yang bernama Kyai Warakas, berkelebat
dengan cepat. Setiap kali pedang itu berkelebat, setiap kali itu memekik prajurit Kurda
Rumajang. Melihat hal itu, secepat kilat Rekso Giri selaku patih Kerajaan Kurda Rumajang
segera memapakinya.
"Randu Alasan, akulah musuhmu!" bentak Rekso Giri marah.
"Rekso Giri penjilat. Memang aku tunggu-tunggu kemunculanmu. Mari kita buktikan
siapa di antara kita yang harus meninggalkan
dunia!" "Setan Alas! Kau rupanya mempunyai tar-ing. Bersiaplah untuk mampus, Randu!"
Habis berkata begitu, Rekso Giri segera berkelebat menyerang. Randu Alasan yang
telah siaga, secepat kilat mengelak. Lalu dengan garang, Randu Alasan balik
menyerang. Toya di tangan Rekso Giri berputar dengan cepat, begitu juga pedang Kyai Warakas
di tangan Randu. Dua patih itu, berkelebat dengan cepatnya. Segala ilmu yang
mereka miliki dikeluarkan.
Waktu terus berlalu, sepertinya tak mau perduli dengan api peperangan yang
tengah berkobar. Ketika hari telah berubah, dari siang menjadi malam, ketiga
prajurit kerajaan itu kembali ke tenda masing-masing. Diting-galkannya segala
yang telah terjadi, teman ataupun kawan yang gugur. Itulah perang, menang tiada
arti, kalah tiada guna. Demi ambisi, demi kepuasan sang raja belaka, rakyat yang
menjadi korban.
*** 3 Jaka Ndableg yang tengah berjalan-jalan di dalam hutan, seketika menghentikan
langkahnya, manakala didengar olehnya suara-suara bergemerisik di sekelilingnya.
"Hem, ada kunyuk-kunyuk hendak main-main denganku. Eh, makin mendekat. Nekad
benar monyet-monyet ini," gumam Jaka dalam ha-ti. "1... 2... 3... 10. Ada
sepuluh kunyuk!"
Tengah Jaka tersenyum-senyum mendengar suara-suara gemerisik, seketika
berkelebat sepuluh orang lelaki menghadangnya.
"Berhenti!" bentak pimpinan kesepuluh orang itu.
"Heh, bukankah aku telah berhenti" Kenapa kau menyuruhku lagi?" kata Jaka dengan
tenangnya. "Serahkan uang yang kau bawa," kembali pimpinan kesepuluh orang yang bermaksud
me-rampok itu berkata. Mendengar ucapan ketua garong itu, Jaka tersenyum. Lalu
dengan nada acuh, Jaka menjawab.
"Uang..." Kebetulan, aku memang se-dang butuh uang. Mana uang kalian?"
"Setan alas! Diminta malah meminta!"
"Ah, aku rasa aku bukan setan alas. Kenapa kau memanggilku setan alas?"
"Anak edan!" bentak pimpinan garong marah, demi mendengar ucapan Jaka yang
nadanya ngelantur. Namun bagaikan tak perduli dengan segala amarah pimpinan
garong itu, Jaka kembali berkata:
"Edan..." Aku tidak edan. Aku cuma Ndableg!"
Tak dapat lagi pimpinan garong itu menahan amarah. Ia merasa Jaka telah memper-
mainkannya, Maka dengan mengibaskan tangan, sekaligus mengomandokan pada ke-
sembilan anak buahnya ia segera menyerang Jaka.
Diserang keroyokan begitu rupa tidak menjadikan Jaka gentar, bahkan dengan lagak
pilonnya Jaka terus menghindar.
"Ampun, Oom! Jangan pukul saya...!" Ja-ka berteriak, manakala seorang dari
pengeroyoknya bermaksud menghantamnya. Bersamaan
dengan itu, Jaka seketika menghantamkan tangannya ke dada penyerangnya.
Terhuyung-huyung orang itu, dengan darah meleleh dari mulutnya. Sementara Jaka
dengan memegangi tangannya yang dielus-elus, tersenyum-senyum. Hal itu
menjadikan kesembilan garong lainnya marah. Serta merta, kesembilan garong itu
mengeroyoknya. "Wadauw, kenapa kalian sadis-sadis,
sih?" gumam Jaka.
"Diam! Jangan kayak orang sinting!"
"Aduh mak, Jaka dibentak. Eh... Kenapa engkau hendak membokongku?"
Jaka kembali berkelebat cepat memutar tubuhnya menghadap pada orang yang
bermaksud membokongnya. "Ini hadiah untukmu dariku sebagai kenang-kenangan atas
jasamu yang hendak membokongku."
Secepat kilat tangan Jaka berkelebat, menghantam muka orang yang bermaksud
membokongnya. Spontan, orang itu meraung kesakitan dengan tangan menutupi
mukanya. Marahlah pimpinan garong, demi melihat dua anak buahnya telah dengan gampang
dipe-cundangi. Maka tak ayal lagi, ketua garong itu segera menyerang Jaka.
"Wadauw, kenapa oom mau membacok ku"
Ampun, Ooom...!" teriak Jaka manakala golok di tangan pimpinan Garong hendak
membabat ke tubuhnya. Dengan segera, Jaka mempercepat ge-rakannya. Kakinya
berkelebat menendang tubuh ketua garong itu. Tak dapat dibayangkan, kaki Jaka
mendarat telak menghantam dada ketua garong.
"Enakkan Oom dapat kue Talam?"
"Setan! Jangan kira aku kalah, Monyet!"
bentak marah pimpinan garong. Tangannya memegangi dada yang terasa sakit. Lalu
dengan di-dahului geraman, ketua garong itu mengomandokan pada anak buahnya
untuk menyerang. "Serang...!"
Bagaikan tak ada rasa takut sedikitpun, ketujuh anak buahnya segera berkelebat
bareng menyerang Jaka.
Wah, kenapa dengan ketujuh monyet ini"
Apakah mereka terkena AIDS?" gumam Jaka seperti berbicara pada diri sendiri.
"Kunyuk! Sudah di ambang kematian masih berlagak!"
"Eh, siapa yang kunyuk" Kalian kunyuk"
Pantas.... Pantas. Memang rupa kalian mirip kunyuk kelaparan. Aduh...! Kenapa
kalian membabi huta?" seru Jaka, manakala salah seorang pengeroyok membabatkan
golok ke arahnya. Dengan cepat, di jitak kepala penyerangnya.
Seketika orang yang di jitak menjerit dengan memegangi kepala. Berguling-guling,
lalu ambruk mati. Dari atas kepalanya meleleh darah, keluar dari tiga lobang
berbentuk mata dadu.
"Hi, hi, hi.... Ternyata orang itu suka main dadu. Lihat! Di kepalanya ada
gambar da-du!" seru Jaka pada ketujuh pengeroyoknya, menjadikan ketujuh orang
itu menggeram. Tanpa banyak kata lagi, mereka serempak kembali menyerang.
"Eh, eh. Rupanya kalian tidak kapok, Tong. Baik, untuk kalian akan aku beri
hadiah gocap-gocap, ini!"
Habis berkata begitu, Jaka yang tak ingin mengulur-ulur waktu segera berteriak
bagai orang gila. Tubuhnya berputar bagaikan baling-baling. Tangannya dengan
cepat berge- rak, dan...! "Tok, tok, tok, tok, Bletak!"
Tujuh kali terdengar suara beradunya tangan Jaka dengan kepala pengeroyoknya.
Seketika ketujuh pengeroyoknya menjerit, ber-guling-guling di tanah. Di atas
kepala mereka tergambar bulatan sebesar uang 50-an.
"Ha, ha, ha... Kalian memang lucu-lucu.
Kenapa uang Gocap ditempelin di atas kepala"
Oh, rupanya kalian orang kaya, ya?" kata Jaka dengan tertawa-tawa.
Meskipun pimpinan garong itu geram, namun ia tak berani berbuat apa-apa. Ia
tahu, kalau pemuda yang seperti tak waras itu ternyata berilmu tinggi. Tanpa
memperdulikan musuh-musuhnya yang telah berjatuhan, Jaka segera berkelebat
pergi. * * * Malam itu gerimis turun membasahi bumi.
Peperangan telah lama usai untuk diteruskan esok hari. Di sebuah ruangan
Kerajaan Kurda Rumajang, Prabu Amuk Mungkur telah duduk di atas kursi. Di
hadapannya duduk seorang gadis yang tak lain daripada Angelir, anaknya.
"Bagaimana hasil mu, anakku?"
"Seperti yang telah direncanakan.
Ayah," jawab Angelir setelah terlebih dulu menyembah. "Angelir telah dapat
mengambil ha-ti Prabu Wulung Seta."
Tersenyum Amuk Mungkur mendengar penuturan anaknya. Rasa bangga menyelimuti
wajah Amuk Mungkur, hingga hatinya seketika bergumam. "Tak aku sangka, kalau
anakku mampu menjadi mata-mata. Hem, sungguh pintar Angelir.
Lalu, apa yang menjadi pikiranmu, Anakku?"
tanya Prabu Amuk Mungkur, menjadikan Angelir seketika menundukkan mukanya.
"Kenapa, Anakku" Sepertinya kau menemui kesulitan?" kembali Amuk Mungkur
bertanya, demi melihat putrinya hanya terdiam tak menjawab.
"Benar, ayahanda. Angelir memang mengalami kesulitan," jawab Angelir setelah
sekian lama terdiam.
"Hem, coba kau katakan apa yang menjadi kesulitanmu!"
"Ampun, Ayahanda. Angelir merasa jatuh cinta pada Wulung Seta."
"Apa...?" tersentak Amuk Mungkur mendengar jawaban anaknya. Matanya melotot,
memandang pada Angelir yang kembali menunduk tak berani menentang pandang.
"Jangan, Anakku! Kau harus ingat, bahwa Wulung Seta adalah musuhku! Maka sebagai
musuh ayah, dia juga musuhmu pula!"
"Tapi, Ayah...." Angelir mencoba menye-la.
"Tak usah kau memikirkannya, Anakku."
"Baiklah, Ayah. Angelir akan selalu menurut apa yang dititahkan oleh ayah,"
jawab Angelir. Amuk Mungkur kembali tersenyum, dihelanya napas dalam-dalam. Amuk Mungkur
perlahan bangkit dari kursinya. Dihampiri anaknya, lalu dengan penuh kasih
dibelai rambut sang anak sembari berkata:
"Anakku, bila masanya kau menjadi Ratu, kau akan merasakan betapa kekuasaan
lebih berguna dibandingkan dengan cinta. Cinta biasanya hanya sekata, tapi kuasa
akan menen- tramkan hati. Bagaimanapun, kau harus mampu menjadikan dirimu orang yang
disegani. Sebab syarat utama menjadi Raja harus mempunyai ke-wibawaan."
Sejenak keduanya hening, membisu dengan segala perasaan. Angelir masih menunduk
sepertinya tengah meresapi makna ucapan sang ayah. Sementara Amuk Mungkur,
dengan penuh kasih terus membelai rambut anaknya. "Anakku...."
"Daulat, Ayah," jawab Angelir,
"Dulu ibumu pun begitu. Ibumu mengutarakan cinta pada ayah. Namun setelah ayah
tua, ibumu pergi entah ke mana. Ayah sakit hati, Anakku. Ketahuilah olehmu,
bahwa ibumu kini telah menikah lagi dengan ayahanda Wulung Seta."
"Jadi...." terbelalak Angelir mendengar penuturan ayahnya.
"Ya, ibumu lari dari ayah dan menikah dengan Prabu Salya ketika kau masih kecil.
Itulah mengapa ayah mendendam pada dua kerajaan itu. Tadinya ayah tak
menghiraukan, namun melihat engkau menderita ayah jadi kesal.
Kesal pada ibumu, juga kesal pada Prabu Salya. Maka sebagai pelampiasan
kekesalan ayah, ayah memusuhi dua kerajaan turunan Salya."
Makin tergugah hati Angelir setelah ta-hu siapa musuh-musuh ayahnya. Kekecewaan
pada ibunya yang telah meninggalkannya sejak kecil, menjadikan Angelir dendam.
Tanpa sadar, Angelir mendesah seakan bersumpah,
"Akan aku hancurkan keturunan Salya, Ayah!"
"Kau mampu, Anakku?" tanya Amuk Mung-
kur, yang dijawab oleh Angelir dengan tatapan mata kepastian. Lalu dengan napas
panjang yang dihempaskan, Angelir kembali berkata:
"Akan aku coba, Ayah!"
Tak terurai rasa bahagia dan kagum mendengar ucapan anaknya, hingga Amuk Mungkur
berkaca-kaca matanya. Diajaknya Angelir bangun dari duduk, dan dibimbingnya sang
anak berjalan. "Apa yang hendak kau lakukan malam ini, Anakku?" tanya Prabu Amuk Mungkur.
"Kini Wulung Seta telah terjerat oleh ku. Maka aku akan terus mencoba
mengacaukan kedua kerajaan itu, Ayah," jawab Angelir setelah terlebih dahulu
memandang wajah ayahnya sesaat. Terlihat oleh Angelir goresan kekece-waan di
wajah ayahnya, menjadikan Angelir tak mampu menahan air mata.
Angelir pun menangis haru melihat kese-dihan ayahnya yang menjadikan ayahnya
seorang pendiam dan pemarah.
Saking terhanyutnya Angelir menyaksikan raut wajah ayahnya, tanpa disadari
hatinya bergumam. "Sungguh ibu orang yang tak tahu kasih. Hem, Salya.
Keturunanmu kelak akan menerima balasannya yang setimpal dengan perbu-atanmu!"
"Ayah, Angelir mohon pamit!"
"Hendak ke mana, Anakku?" tanya Amuk Mungkur kaget demi mendengar ucapan
anaknya. "Bukankah hari sudah malam?"
"Seperti rencana Angelir, Angelir hendak menyusup ke dalam tenda musuh. Do'a
kan, Ayah. Semoga Angelir dapat melaksanakan apa yang menjadi rencana kita."
"Aku terus mengiringi mu, Anakku. Be-
rangkatlah!" kata Amuk Mungkur dengan perasaan haru. Matanya berkaca-kaca,
ketika mencium kening anaknya. Dengan penuh kebisuan, Amuk Mungkur melepas
kepergian anaknya malam itu.
Angelir terus berlari menembus malam, seakan tiada rasa takut setetes pun di
darahnya. Ia terus berlari menuju ke sebuah hutan yang lebat, hutan yang
sepertinya menyimpan keangkeran. Demi cita-citanya, Angelir tak memperdulikan
gelapnya malam.
Setelah sekian lama berlari, Angelir akhirnya berhenti pada sebuah tempat di
tengah hutan. "Suiiit...!"
Bersamaan dengan habisnya suitan yang dilontarkan Angelir, dari dalam semak-
semak hutan bermunculan orang-orang berwajah sadis menuju ke arahnya.
"Ada gerangan apa Sri Ratu Angelir memanggil kami?" tanya Gober selaku ketua II
setelah Angelir dan Loro Ireng, pada pimpinan Gerombolan Hutan Renges.
"Mana Loro Ireng?"


Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Mawar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ampun Sri Ratu, Loro Ireng pergi!" jawab Gober.
"Pergi ke mana, Gober?"
"Loro Ireng mengatakan hendak mencari musuhnya!"
"Musuhnya..." Siapa musuhnya" Dan kenapa tidak mengajak kalian?" tanya Angelir
tak mengerti. Matanya membeliak lebar, menjadikan sorotan cahaya di dalam gelap.
Gober tak berani menantang pandang, begitu juga dengan keseratus anak buahnya.
"Apa dia tak berpesan apa-apa?"
"Dia berpesan agar bila Sri Ratu datang, kami mengikuti Sri Ratu beroperasi."
Membeliak mata Angelir mendengar penuturan wakilnya. Nafasnya terdengar
mendengus, pertanda dia tengah marah. Hal itu menjadikan Gober terpaku diam
dengan wajah tertunduk.
Gelapnya malam itu hening tiada kata.
"Kalau kalian ikut denganku, apakah kalian mampu melakukan tugas kalian?" tanya
Angelir setelah terdiam untuk beberapa saat.
"Hamba siap, Sri Ratu...!" jawab keseratus anak buahnya.
"Benar kalian siap?"
"Daulat Sri Ratu. Tugas apapun akan ka-mi lakukan!" jawab Gober mewakili
keseratus anak buahnya. Mereka tak berani membantah pa-da Angelir, yang
menjadikan dirinya sebagai Ratu Gerombolan Hutan Renges.
"Baiklah, aku tugaskan pada kalian, ka-caukan barak-barak prajurit kerajaan
Segara Wetan! Sementara aku sendiri, akan mengacaukan Kerajaan Pesisir Putih.
Ingat, jangan sampai ada yang tertangkap. Seandainya ada, jangan mengaku!
Mengerti...?"
"Daulat, Sri Ratu...!" jawab mereka serempak.
"Nah, lakukan tugas kalian dengan baik.
Kita kacau dua kerajaan itu, ha, ha, ha...."
Angelir tertawa bergelak-gelak, lalu dengan tanpa memperdulikan keseratus anak
buahnya, Angelir berkelebat pergi.
Sepeninggalnya Angelir, Gober selaku pimpinan segera menyusun rencana dengan
keseratus anak buahnya.
"Walet, dan kau Jangkrik."
"Saya ketua," jawab keduanya bareng.
"Kalian pimpin dua puluh lima orang menyerbu dari Wetan dan Kulon. Sementara aku
dan Bangkong, akan memimpin lima puluh orang dari Lor dan Kidul. Ayo kita
bergerak!"
Malam itu juga, keseratus gerombolan Hutan Renges bergerak seperti rencana.
Tujuannya hanya satu, mengacaukan kerajaan Wetan Segara.
*** 4 Malam itu Wulung Seta tak dapat memejamkan mata barang sekejap. Pikirannya
melayang, terbayang wajah Angelir yang telah menawan hatinya. Wulung Seta gundah
gulana, perasaannya tak dapat tenang. Ada rasa takut menyelimuti hatinya, takut
kalau-kalau Angelir terkena apa-apa.
"Ke mana Angelir" Sudah malam begini tidak datang-datang?" gumam hati Wulung
Seta was-was. Saking tenggelam dalam pikirannya, Wulung Seta tak memperhatikan bahwa sedari
tadi seorang wanita tengah memperhatikannya. Wanita itu tersenyum sembari
menggeleng-gelengkan kepala, melihat Wulung seta melamun. Wanita itu yang tak
lain Dewi Roro Kunti ibunya, berjalan menghampiri.
"Ehm...!"
"Ibunda...?" tersentak Wulung Seta dari lamunannya, mendengar deheman sang ibu.
"Kaget ananda, Bunda. Ada apa gerangan, Ibunda?"
"Kau melamun, Anakku" Kenapa" Apakah
kau tengah jatuh hati dengan seorang wanita?"
tanya Roro Kunti, yang menjadikan Wulung Seta tersipu. "Kenapa kau malu, Anakku"
Katakanlah pada Ibu, mungkin Ibunda dapat membantu."
Wulung Seta tak menjawab, ia terdiam menundukkan muka. Seakan ada ganjalan yang
menyelimuti hatinya untuk mengutarakan apa yang selalu meresahkannya. Sejenak
ditatapnya wajah sang Ibu, sebelum akhirnya berkata:
"Ibunda tak akan marah?"
"Kenapa mesti marah" Bukankah kau anakku, Wulung?"
Wulung Seta kembali terdiam. Dihelanya napas panjang-panjang. Setelah
merundukkan muka sesaat, Wulung Seta akhirnya kembali berkata.
"Memang benar apa yang Ibunda terka.
Wulung kini tengah merasakan apa yang dinamakan cinta, Bunda."
Tersenyum Roro Kunti mendengar ucapan anaknya. Dihampiri Wulung Seta yang masih
terduduk. Melihat Ibundanya menghampiri, segera Wulung Seta turun dari kursinya
dan duduk di permadani. Wulung Seta segera menyembah, bersimpuh di kaki sang
Ibu. Roro Kunti tersenyum bahagia, demi melihat anaknya yang mengerti akan tata
krama. Walau Wulung Seta telah dinobatkan menjadi raja, namun sifatnya yang santun
tidak hilang. Hal ini menjadikan Roro Kunti yang sebenarnya ibu tiri merasa
sayang, melebihi kasih sayangnya pada Amurwa Sakti anak kandung-nya.
"Wulung Seta, Anakku. Siapakah gadis yang telah memikat hatimu, Anakku?"
"Ampun, Ibunda. Gadis itu bernama, Dewi
Angelir," jawab Wulung Seta, menjadikan Roro Kunti seketika terkesiap kaget. Hal
itu menjadikan Wulung Seta yang memperhatikannya kembali bertanya. "Kenapa,
Ibunda?" "Tak mengapa, Anakku. Ibu senang mendengar kau telah memilih jodohmu. Mana anak
gadis itu, Anakku?" tanya Roro Kunti, yang hatinya bergumam lirih. "Hem,
ternyata anakku sendiri yang telah mampu memikat hati Wulung Seta. Oh, mungkin
dia sudah besar. Aku sungguh berdosa telah menelantarkannya."
"Ibunda melamun?" tanya Wulung Seta, demi melihat Roro Kunti terdiam dengan mata
berkaca-kaca. Terjengah Roro Kunti mendengar ucapan Wulung Seta. Dicobanya untuk tersenyum,
walau senyum yang dipaksakan untuk menutupi perasaan hatinya yang merasa
bersalah. Lalu dengan terbata, Roro Kunti pun berkata; "Ah, ti... tidak, Anakku.
Ibu tengah memikirkan betapa nanti kau akan bahagia bersanding dengan gadis
pilihan mu!"
"Ibunda bisa saja," gumam Wulung Seta tersenyum.
Tengah kedua anak dan ibu bercengkera-ma, terdengar suara seseorang menyapa.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" jawab keduanya hampir bareng. Roro Kunti begitu bahagia, manakala
ta-hu siapa yang datang. Ternyata orang yang datang Amurwa Sakti anaknya. "Ada
apa, Anakku. Hingga malam-malam kau datang ke mari?"
"Aku ingin bertemu dengan kanda Wulung Seta, Bunda," jawab Amurwa Sakti,
menjadikan Wulung Seta tersentak dan segera berkata.
"Ada gerangan apa adinda mencari kan-
da?" "Kanda,... barak-barak kerajaan ku ada yang mengacau!"
"Mengacau..." Siapa yang telah berani berbuat begitu?" tanya Wulung Seta dengan
ma-ta menyipit, mendengar ucapan adiknya.
Amurwa Sakti tidak segera menjawab, malah tampak matanya menatap tajam menghujam
pada wajah Wulung Seta. Melihat hal itu, dengan segera Roro Kunti bertanya:
"Amurwa! Kenapa tatapan mu begitu lancang pada kakakmu?"
"Siapa yang tidak marah, Bunda. Orang-orang yang telah merusak barak ku adalah
orang-orang kakang Wulung Seta."
"Apa...!" tersentak kaget Wulung Seta, mendengar ucapan adiknya. "Apakah dinda
tidak salah lihat?"
"Benar, Anakku. Kau jangan terlalu kesusu menuduh kakakmu. Selidiki dulu kebena-
rannya. Bukankah kini kalian tengah menghadapi perang" Siapa tahu orang-orang
Kurda Rumajang yang telah melakukan semuanya," tambah Roro Kunti menengahi.
Mendengar ucapan Ibundanya, Amurwa Sakti terdiam. Ia sadar akan tindakannya yang
terlalu kesusu. Maka dengan menangis, Amurwa Sakti berkata:
"Ampunilah anakmu, Bunda. Kanda, adinda meminta maaf atas segala tingkah laku
adinda yang kurang ajar ini."
"Tak mengapa, Dinda. Kanda pun menyadari, betapa hati adinda kini tengah
kisruh." "Terima kasih, Kanda. Bunda dan Kanda, hamba mohon pamit!"
Setelah terlebih dahulu menyembah pada
Ibu dan kakaknya, Amurwa Sakti segera berlalu pergi diiringi oleh tatapan mata
ibunya yang melelehkan air mata.
Setelah kepergian anaknya, Roro Kunti segera berkata pada Wulung Seta, "Anakku
Wulung Seta. Ibunda meminta maaf atas segala tingkah laku adikmu."
"Tak mengapa, Bunda. Ananda juga mak-lum. Tidak hanya adinda Amurwa Sakti yang
marah bila melihat perlakuan itu, ananda juga mungkin akan mengalami hal
serupa." "Ah, betapa luhur budi pekerti mu, Ananda."
Tak dirasa oleh Roro Kunti, ia menangis. Dengan penuh rasa kasih layaknya
seorang ibu, dipeluknya Wulung Seta yang juga turut menangis.
"Bunda pamit undur, Anakku," kata Roro Kunti setelah untuk beberapa lama
terhanyut diam.
"Ananda mengiringi," jawab Wulung Seta.
Roro Kunti segera pergi meninggalkan anaknya sendirian.
Setelah kepergian Roro Kunti, Wulung Seta kembali terdiam melamun. Pikirannya
kini tidak hanya satu, tapi bercabang. Memikirkan Angelir yang telah menambat
hatinya, memikirkan kematian prajuritnya dengan bunga mawar merah di keningnya,
juga memikirkan laporan adiknya.
"Kenapa semua terjadi" Kenapa sejak aku mengenal Angelir segalanya terjadi"
Apakah ada orang-orang yang tak menyukai aku dengan Angelir" Atau... Ah, tidak.
Angelir tidak se-gila itu!" Bergumam Wulung Seta taklim, tak mengerti akan
segala kejadian-kejadian yang
dialaminya. Malam terus merambah dengan cepatnya, namun Angelir yang ditunggunya tak muncul-
muncul. Karena penat oleh pikiran-pikiran yang menyelimuti otaknya, Wulung Seta
akhirnya tertidur di kursinya.
Wulung Seta tersentak bangun, manakala seseorang mendekatinya. Dicabutnya keris
pusaka yang selalu menyelip di pinggangnya, namun segera dimasukkannya kembali
manakala ta-hu siapa yang datang.
"Kaukah, Angelir?" tanya Wulung Seta tak yakin. Dikucak-kucak matanya, seperti
ingin meyakinkan apa yang dilihat.
Angelir tersenyum manis, menjadikan ha-ti Wulung Seta yang sedari tadi menahan
ke-rinduan bergema. Melihat Angelir berjalan menghampiri Wulung Seta, yang juga
bangkit dari duduknya.
"Sungguh pulas tidur kanda Prabu, hingga hamba yang sedari tadi datang tak
berani untuk mengusiknya."
"Ah, kau bisa saja, Angelir. Dari manakah kau, Angelir" Lama aku menunggu
kedatanganmu. Betapa hati ini tak tenang memikirkan mu," berkata Wulung Seta,
menjadikan Angelir tersipu-sipu.
"Ah, Paduka bisa saja," kata Angelir manja.
"Aku berkata sebenarnya, Angelir."
"Benarkah...?" Angelir masih menggoda, menjadikan Wulung Seta makin penasaran.
Dicobanya untuk memeluk Angelir, namun bagaikan tak butuh, Angelir segera
mengelak. Hal itu menjadikan Wulung Seta makin bernafsu. Dikejarnya Angelir yang terus
ber- lari memutari ruangan.
"Awas kalau kena. Akan aku cium kau, Angelir!"
"Hi, hi, hi.... Ayolah Paduka. Kalau memang paduka ingin itu, kejarlah aku!"
"Baik! Jangan menjerit nanti!"
Keduanya pun segera saling kejar. Angelir berputar-putar dari satu tiang, ke
tiang lainnya. Dengan tertawa-tawa, Angelir terus menggoda. Merasa dipermainkan,
Wulung Seta makin bernafsu saja. Dikejarnya Angelir, kini dengan menggunakan
ilmunya. Tersentak Angelir, melihat Wulung Seta berlari bagaikan angin.
"Kena...!"
"Auh...!" Angelir menjerit manja, manakala tangannya terpegang oleh Wulung Seta.
Namun demikian, Angelir tersenyum manja. Di-rebahkan kepalanya pada pundak
Wulung Seta, yang menerimanya dengan hati berbunga. Dibimbingnya Angelir
berjalan menuju kursi. Di-pangkunya tubuh Angelir yang tersenyum-senyum,
menjadikan Wulung Seta makin gemes.
"Kanda...?" Angelir berkata manja, manakala Wulung Seta hendak menciumnya.
"Hem.... Ada apa, Angelir?"
"Apakah kita akan terus menerus begini?"
"Maksudmu...?" balik bertanya Wulung Seta. Mata keduanya saling paut, bibirnya
saling senyum. "Apakah kanda tidak berpikir untuk menjadikan ku isteri?"
"Ooh, kapan kau mau, Angelir?"
"Benarkah, Kanda?"
"Ya...." jawab Wulung Seta pendek. Lalu
dengan tanpa menunggu reaksi Angelir, Wulung Seta segera mencium bibir Angelir.
Ciuman Wulung Seta yang lembut, menjadikan Angelir bergolak di hatinya. Antara
perasaannya yang memang menghendaki Wulung Seta, dengan apa yang dicita-citakan
oleh ayahnya. Rupanya perasaannya yang dapat mengen-dalikan hati Angelir, menjadikan Angelir
mem-balas ciuman yang dilontarkan Wulung Seta.
Keduanya terhanyut diam, seakan tak memikirkan segala apa yang tengah terjadi.
Wulung Seta tersentak, manakala salah seorang patihnya datang,
"Ada apa, Randu Alasan?" tanya Wulung Seta sembari melepaskan ciumannya.
"Am... ampun, Paduka. Sungguh hamba tidak mengerti," terbata-bata Randu Alasan
berkata. Hampir saja Randu Alasan kembali balik, tatkala Wulung Seta berseru.
"Tunggu, Randu! Ada apa gerangan?"
Randu Alasan segera menghentikan langkahnya, kembali menghadap ke Rajanya.
Setelah kembali menyembah, Randu Alasan segera berkata:
"Ampun Baginda yang Mulia, Ketiwasan!"
"Ketiwasan..." Ketiwasan apa maksudmu, Randu?" tanya Wulung Seta tak mengerti
apa yang dimaksud oleh Randu Alasan. Matanya membeliak karena kaget, memandang
pada Randu Alasan.
"Ampun Yang Mulia. Lima orang prajurit kedapatan mati," kata Randu Alasan
menjadikan Wulung Seta makin membeliak matanya, seketika Wulung Seta berdiri.
Angelir yang melihatnya nampak ketakutan dan menundukkan kepalanya. Wulung Seta
tercenung, memandang ke langit-langit pendo-po. Matanya berkaca-kaca, sepertinya
menangis. Ya, Wulung Seta memang menangis. Wulung Seta menangisi kejadian-
kejadian yang tak pernah diduganya. Baru saja adiknya Amurwa Sakti menyangka
kalau-kalau prajuritnya yang berbuat, tapi kini prajurit-prajuritnya sendiri
yang terkena musibah.
"Kau tahu siapa orang yang melakukannya, Randu?"
"Ampun, Baginda Yang Mulia. Kalau hamba mengetahui siapa orangnya tak akan hamba
biarkan ia hidup-hidup," jawab Randu Alasan.
"Ayo kita ke sana!" ajak Wulung Seta.
Dengan diiringi oleh Randu Alasan dan Angelir, Wulung Seta bergegas pergi menuju
ke perkemahan prajuritnya. Langkahnya begitu memburu, sepertinya ingin segera
bergegas mengetahui apa gerangan yang terjadi.
Wulung Seta dan Angelir terbelalak kaget, manakala melihat korban yang mati.
Lima orang mati dengan kening bolong, ditutup oleh setangkai bunga mawar merah
darah. Diambilnya kelima bunga mawar itu oleh Wulung Seta. Ditatapnya sesaat kelima
prajuritnya, hatinya bergumam perih: "Oh, apa artinya semua ini?"
"Sepertinya ada musuh dalam selimut, Paduka!" kata Randu Alasan menjadikan
Angelir dan Wulung Seta terjengah kaget. Keduanya seketika memandang Randu
Alasan, yang tertunduk tak berani menentang pandang.
"Mungkin juga, Randu. Untuk itu, perik-sa seteliti mungkin orang-orang yang
patut dicurigai!"
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka,
akan hamba junjung tinggi!" jawab Randu Alasan.
Angelir yang berdiri di samping Wulung Seta hanya diam membisu. Dalam hatinya
bergumam penuh kemenangan. Sudah banyak korban yang jatuh, menjadikan makin
berkurang beban prajurit ayahnya.
"Bila masanya tiba, maka kaupun akan menerima nasib yang sama, Randu Alasan!"
mem-batin Angelir.
Randu Alasan yang tengah memandang Angelir, seketika hatinya membersit sebuah
tu-duhan. Namun Randu Alasan tak berani menguta-rakannya. Ia takut kalau-kalau
Wulung Seta bahkan balik menuduhnya. "Ah, sungguh petaka!
Tapi, apakah memang benar gadis ini yang berbuat" Memang sejak Wulung Seta
bersamanya, korban banyak berjatuhan. Semua sama, mati dengan bunga mawar,"
batin Randu Alasan.
Melihat Randu Alasan menatapnya, Angelir yang merasa telah mampu mengait hati
Wulung Seta menentang pandangan Randu. Hal itu menjadikan Randu Alasan tak
berani untuk terus bertatap mata. Randu Alasan akhirnya menunduk.


Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Mawar Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam pun berjalan dengan cepat, mengiringi kebisuan yang terjadi. Waktu terus
memburu, sepertinya turut menyaksikan apa yang telah terjadi. Bila esok datang,
kembali mereka akan disiapkan untuk berperang.
Kejadian malam itu seperti gelap, gelap tak ada yang dapat membuka tabir
semuanya. Dengan langkah lesu, Wulung Seta yang diiringi Angelir berjalan kembali menuju
istana. Randu Alasan hanya mampu mendesah, menarik napas panjang. Lalu dengan dibantu
be- berapa orang prajurit, Randu Alasan malam itu juga mengubur kelima teman-
temannya. "Siapakah pelaku semua ini?" gumam hati Randu Alasan.
Ia tak berani menuduh siapa yang telah berbuat, walaupun hati tuanya
mengumandangkan sebuah terkaan pada siapa sebenarnya yang telah melakukan
segalanya. Tapi kedudukannya selaku patih, menjadikan Tut Wuri Handayani.
Manut untuk terus menjadi patih, daripada menentang tapi dipecat!
*** 5 Dengan adanya perang yang terus berke-lanjutan, menimbulkan bencana dari sosial.
Pencurian, perampokan, pembunuhan, penculikan dan sebagainya.
Kelaparan melanda di mana-mana, kejaha-tan sosial pun terus melanda. Tak ada
yang dapat disalahkan, tak ada yang dapat memben-dungnya. Semua tertuju pada
perang, ya perang.
Malam itu desa Kurawan tampak sepi. Angin malam menimbulkan rasa dingin yang
menu-suk-nusuk. Hujan mengguyur dengan derasnya, disertai suara halilintar yang
menggema ber-kali-kali.
Dari kejauhan, tampak seorang lelaki berlari menerobos hujan. Lelaki itu yang
ternyata Jaka adanya, memaki-maki sendiri pada hujan.
"Hujan sialan! Basah semua pakaianku!"
Jaka terus berlari menerobos gelap, me-mecahkan rintikan-rintikan air hujan yang
mengguyur tubuhnya. Dicobanya untuk terus berlari, mencari salah sebuah rumah
penduduk untuk menumpang teduh.
Tengah Jaka Ndableg berlari merambah hujan, seketika telinganya yang tajam
mendengar jeritan dari arah depannya. Jeritan itu berasal dari sebuah desa. Jaka
yang tadinya hendak mencari teduh, segera mengurungkan niatnya.
"Heh, seperti ada bencana. Apakah memang ada bencana di desa sana?" gumam Jaka
yang terus mempercepat larinya, tak perduli lagi dengan tubuhnya yang tersiram
air hujan. Walau dadanya yang telanjang terasa sesak oleh tempaan air hujan, Jaka terus
berlari. * * * "Tolong...! Rampok...! Aaachhh...!"
Orang yang berteriak itu seketika ter-kulai, darah berhamburan muncrat dari
leher-nya yang dibabat golok. Orang malang itu ambruk, mati dengan leher hampir
putus. Pekik-pekik wanita yang ketakutan, me-mecahkan kesunyian malam. Sementara gelak
ta-wa para rampok, sepertinya gelak tawa setan yang mengerikan.
"Rambah semua rumah penduduk!" terdengar suara seorang wanita berseru, sekaligus
memerintah pada anak buahnya. Wanita itu yang ternyata Loro Ireng tertawa
bergelak-gelak.
"Bunuh mereka yang menentang!"
Tengah garong-garong itu beraksi, terdengar suara bentakan yang seketika menge-
jutkan Loro Ireng. Seketika mata Loro Ireng mengalihkan pandangannya pada asal
suara itu. "Sundel Bolong! Rupanya kau orangnya yang selalu membuat kerusuhan!"
"Hem, kaukah lurah di sini?" tanya Loro Ireng sinis, menjadikan kepala desa di
hadapannya mendelik. "Kebetulan! Lurah dungu, katakan pada penduduk mu supaya
memberikan apa yang mereka miliki pada kami!"
"Setan Alas! Jangan kira aku mau diperbudak olehmu!" menggeretak kepala desa
marah. "Serang...!"
Demi mendengar seruan kepala desa, seketika pamong praja berkelebat menyerang
Loro Ireng berbarengan. Diserang begitu rupa Loro Ireng bukannya takut, malah
dengan ganda tertawa Loro Ireng memapakinya.
"Rupanya kalian minta mampus! Baik, te-rimalah ini!"
Loro Ireng yang berjuluk Dewi Alas
Renges berkelebat dengan cepat. Tangannya yang kecil dan halus, tak ubahnya
bagaikan baja yang keras. Setiap hentakan tangannya, menimbulkan hawa panas.
Itulah ajian Tangan Dewa. Walaupun seorang gadis, namun Loro Ireng adalah murid
Datuk Wurang Geni yang terkenal kesaktiannya. Maka tak dapat disang-sikan lagi
kalau Loro Ireng pun memiliki ajian-ajian yang dimiliki oleh Wurang Geni.
Di pihak lain, anak buahnya nampak makin mengganas. Korban sudah banyak
berjatuhan, terbabat golok anak buah Loro Ireng.
"Ayo, jangan sisakan apa yang ada. Ambil semua!" seru Gober selaku wakil Loro
Ireng. Tak dapat dibayangkan, anak buah Gerombolan Hutan Renges seketika makin
mengga- nas. Golok di tangan mereka, tak ubahnya ma-laikat elmaut. Setiap kelebatan
golok itu, memekik pula kematian.
Tengah mereka beraksi, membunuh dan me-nyiksa penduduk desa terdengar suara
lantang membentak:
"Tikus, tikus busuk! Rupanya kalianlah tikus-tikus yang suka usil!"
"Bedebah! Siapa kau! Kalau kau manusia, tunjukkan batang hidungmu!" bentak Gober
marah, merasa dihina dengan panggilan tikus.
Matanya liar memandang ke asal suara, dengan golok siap di tangannya.
"Aku di sini, tikus dungu!"
Bersamaan dengan habisnya suara Jaka, seketika berkelebat tubuhnya yang tahu-
tahu telah berdiri di hadapan Gober. Gober tersentak dan melompat mundur.
Bibirnya menyungging senyum sinis, manakala tahu siapa gerangan yang telah
berdiri di hadapannya.
"Rupanya hanya seekor monyet," dengus Gober.
"Ah, apakah kau tak salah ngomong" Aku rasa, kaulah monyetnya. Kalau kau
manusia, jelas kau memiliki rasa kemanusiaan. Tapi kau memang monyet. Ha, ha,
ha.... Pantas, pantas!"
"Sinting! Siapa namamu, Anak muda" Jangan kau mati tak meninggalkan nama!"
bentak Gober. "Wow, gaya bahasa mu seperti filsuf.
Namun tindakanmu, heh, he... tak lebih tindakan maling kelas teri. Eh, bukankah
kau memang maling?"
"Pemuda sinting! Rupanya kau ingin mampus, berani lancang pada gerombolan Alas
Renges!" "Aduh... Maaf saja yang mulia. Sungguh aku tak tahu, kalau yang mulia ternyata
pimpinan gerombolan tikus-tikus comberan. Ha, ha, ha...."
Tak dapat dicegah lagi kemarahan Gober mendengar ejekan yang dilontarkan Jaka.
Maka dengan mendengus marah, Gober segera berseru pada anak buahnya.
"Serang...! Jangan biarkan pemuda gila ini hidup!"
"Wadauw.... Kenapa oom-oom semua menye-rangku" Apa salahku, oom?"
Jaka bagai orang kebingungan diserang oleh begitu banyak orang. Tubuhnya yang
berisi, berkelebat-kelebat dengan ilmu meringan-kan tubuh hingga serangan mereka
hanya menge-nai tempat yang kosong.
Seharusnya mereka sadar siapa yang kini tengah mereka hadapi. Namun sebagai
orang-orang yang kasar, mereka tak mau perduli siapa adanya Jaka.
"Ampun, oom. Jangan tendang aku...!"
Jaka berseru manakala salah seorang anggota Gerombolan Alas Renges hendak
menendangnya. Dengan bergerak cepat membalik, Jaka tendang-kan kakinya menghantam orang itu.
"Aaah...!" seketika memekiklah orang yang kena tendang. Matanya mendelik,
tangannya memegangi dadanya yang terasa sakit. Jaka yang merasa main-main,
tertawa bergelak-gelak demi melihat musuhnya muter-muter sambil menahan sakit.
"Hua, ha, ha.... Lucu teman kalian. Lihat, bukankah ia seperti tikus comberan
mencium tai?"
"Edan! Jangan hiraukan ucapannya!" dengus marah Gober, melihat tingkah laku Jaka
yang konyol. "Serang...!"
"Eeh.... Rupanya kalian juga ingin me-nikmati mimpi indah. Wah... memang malam
telah larut, ditambah lagi dengan gerimis. Enak ya kalau tidur, apa lagi dengan
isteri!" "Setan! Jangan banyak bacot!" maki keki Gober yang merasa Jaka telah
mempermainkan-nya. Tubuh Gober bergerak dengan cepat, membabatkan pedangnya ke
tubuh Jaka. Pertarungan terus berlangsung dengan serunya. Walau Jaka nampak seperti main-
main, namun segala tindakannya selalu membawa hasil. Tangannya yang seperti
menari, selalu menjadikan musuhnya terhempas ke belakang.
"Wah... wah... Kenapa kalian tidak pernah makan pisang" Kenapa srodak sono
srodak sini" Jangan kesusu, kawan! Ini untukmu pisang molen!"
Habis berkata begitu, Jaka segera menyodokkan bogem mentahnya ke mulut
penyerangnya. Seketika menjeritlah orang itu, dengan mulut yang berlepotan
darah. Giginya rontok, berjatuhan muncrat dari mulut bersamaan dengan muncratnya
darah. Semua yang mengeroyoknya tercengang.
Namun belum juga mereka sadar, Jaka telah mendahuluinya.
"Ini untuk kalian yang bengong!"
"Aduh...!" pekik seorang lagi.
"Ini juga! Biar mulutnya yang bau jeng-kol tidak menganga terus. Bahaya kalau
mulutmu menganga, bisa menimbulkan polusi!"
Seperti yang pertama, orang kedua, ketiga, keempat, dan kelima pun seketika
menje- rit-jerit sambil memegangi mulutnya yang ter-timpa kue pisang molen Jaka!
Jeri juga yang lainnya melihat hal itu.
Namun kejerian mereka hilang, kala Gober kembali berseru memerintahkan mereka
agar menyerang.
"Serang lagi! Jangan biarkan anak gen-deng ini bebas!"
Serta merta, kesembilan puluh anak
buahnya bareng mengepung Jaka yang tertawa-tawa. Golok di tangan mereka,
berkelebat tak beraturan menjadikan Jaka pusing juga. Namun bukanlah Pendekar
Pedang Siluman Darah kalau harus mengalah. Diserang serabutan begitu ru-pa,
tidak menjadikan Jaka gentar.
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 8 Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Terbang Harum Pedang Hujan 9
^