Pencarian

Hidung Belang Penghisap Darah 1

Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah Bagian 1


HIDUNG BELANG PENGHISAP DARAH
Oleh Sandro S. Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-
lam episode: Hidung Belang Penghisap Darah
1 Di Pancoran Sewu, saat itu tampak seorang
nenek tua tengah mengajari ilmu-ilmu silat pada seorang pemuda yang tak lain
Kandana adanya.
Ya! Kandana yang dulu terjatuh ke dalam jurang
saat dikejar-kejar oleh warga Ketemenggungan
karena telah memperkosa seorang gadis, tengah
digembleng oleh nenek sakti yang bergelar Iblis Pancoran Sewu.
Tubuh Kandana dan nenek Iblis itu tampak
berkelebat-kelebat dengan cepatnya laksana see-
kor burung sri gunting yang menyambar-
nyambar. Mereka tengah melakukan latihan ilmu
silat, yang diciptakan sendiri oleh si nenek. Jurus itu bernama "Jurus Walet
Siluman." Keduanya berkelebat dengan cepat. Makin
lama iramanya makin cepat, hingga sukar untuk
diikuti dengan pandangan mata biasa.
"Kandana! Serang aku!" kata sang nenek memerintahkan.
Kandana tampak segera berkelebat, tan-
gannya mengembang laksana sayap burung walet.
Sesaat kemudian tangan yang mengembang itu
terangkat. Dan!
"Wut... Wut...!"
Tangan Kandana dengan cepat menyam-
bar. Si nenek tampak segera mengegoskan kepa-
lanya dan berbalik menyerang Kandana.
"Masih kaku! Masih kurang, Kandana,"
omel si nenek demi melihat Kandana bergerak
lambat. Hingga ketika dirinya menyerang, Kanda-
na tak mengelakkannya, jatuh ke tanah dengan
mengeluarkan bunyi gedebug. Mata si nenek me-
lotot marah. Dengan penuh kecewa sang nenek
membentaknya. "Dungu! Sudah aku katakan kurang cepat,
ayo bangun!"
Kandana tanpa dapat menentang, dengan
meringis menahan rasa sakit segera bangun dari
duduknya. Wajah Kandana tampak kelabu, ma-
tanya menyorot tajam pada si nenek yang terse-
nyum mengekeh melihat hal itu.
"Bagus! Sebagai seorang lelaki, apalagi
akan menjadi seorang pendekar pilih tanding pantang baginya untuk menyerah
begitu saja pada
apa yang ada. Ayo kita mulai lagi!"
Setelah habis berkata begitu, si nenek den-
gan segera menyerang Kandana.
Melihat dirinya diserang, maka dengan se-
gera Kandana berkelebat mengelak dan kemudian
ganti menyerang. Untuk sekian lama, keduanya
kembali melakukan latihan ilmu silat Walet Siluman. "Bagus, bagus! Rupanya kau
cepat menerima apa yang telah aku ajarkan padamu. Nah...
kini seranglah pohon pisang di depanmu," kata si nenek kembali memerintahkan.
Mendengar perintah itu, secepat kilat Kandana yang masih me-
layang di udara langsung menukik menuju ke po-
hon pisang yang ditunjuk oleh gurunya.
Dalam sekejap, pohon pisang yang tadinya
berdiri dengan kokohnya, kini hancur berkeping-
keping, terhantam tangan Kandana.
Di wajah nenek Iblis Pancoran Sewu seke-
tika terurai senyum senang, demi melihat hasil
yang telah diperoleh muridnya. Dari mulut si nenek bergumam: "Bagus, bagus! Kau
telah dapat menguasai salah satu jurus yang paling langka.
Tapi kau jangan cepat merasa puas, masih ba-
nyak ilmu-ilmu yang harus kau pelajari, Untuk
kali ini, aku rasa cukup."
Ketika si nenek hendak berlalu meninggal-
kannya, dengan cepat Kandana berseru memang-
gil: "Ada apa lagi?"
"Nek, kapankah wajah saya akan dapat
kembali seperti sediakala" Maksudku, menjadi
tampan kembali?"
Mendengar hal itu, si nenek terkekeh-
kekeh dan menghampiri Kandana. Dipegangnya
tubuh sang murid, lalu dengan penuh rasa kasih
si nenek berkata: "Sabar, Kandana. Untuk memulihkan mukamu, perlu waktu yang
tidak cepat. Hem... kau belum menceritakan mengapa wajah-
mu menjadi begitu?"
Mendengar pertanyaan si nenek, seketika
Kandana tertunduk dalam. Dari matanya meleleh
air mata. Pahit untuk mengenang kejadian yang
telah sekian lama tenggelam.
Si nenek seketika mengernyitkan dahinya,
saat melihat Kandana yang tertunduk.
"Cengeng! Mengapa kau menangis"!" ben-
tak si nenek, yang membuat Kandana seketika
terdongak dan mengelap air matanya.
"Ayo kita ke grojokan. Di sana kau harus
menceritakan apa yang telah kau alami, hingga
kau begitu cengeng. Kalau kau ingin menjadi seorang pendekar sesat, pantang
untuk mengurai air mata, apalagi ragu-ragu untuk bertindak. Ayo kita ke
grojokan."
Kedua guru dan murid itu berkelebat me-
nuju ke grojokan, di mana kedua murid dan guru
itu meneduh. Sesampainya kedua guru dan murid di goa
tempat mereka tinggal, Kandana pun segera men-
ceritakan apa yang telah dialaminya lima tahun
yang lalu. *** "Lima tahun yang lalu, aku pernah berguru
pada seorang tokoh sakti aliran lurus di wilayah Kidul bernama Ki Tambak Sande.
Aku merupakan murid kesayangannya, hingga aku sangat diper-
hatikan dan dimanjakan oleh Ki Tambak Sande."
Mengerut alis mata nenek Iblis Pancoran
Sewu demi mendengar nama Ki Tambak Sande.
Wajahnya seketika berubah redup dan matanya
membelalak kaget. Tanpa sadar, si nenek pun
bertanya: "Bagaimana ciri-ciri bekas gurumu?"
Ditanya seperti itu oleh si nenek, Kandana
membelalak kaget seraya bertanya ingin tahu.
"Mengapa nenek menanyakan tentang orang itu"
Apakah nenek mengenalnya?"
"Ceritakan dulu tentang ciri-ciri gurumu,
nanti kalau memang orang itu yang kau maksud
aku akan menceritakan apa yang pernah terjadi
dengan kami. Hi... hi..." tawa si nenek dengan ge-nitnya. "Ki Tambak Sande
mempunyai seorang anak wanita, yang bernama Sekar Sedati. Gadis
itu sangat cantik, hingga banyak yang tergila-gila padanya. Begitu juga dengan
diriku, menaruh ha-ti pada Sekar Sedati. Tapi rupanya Sekar Sedati tidak
mencintaiku, bahkan di depan mataku ia
bermain cinta dengan Anggasana. Hal itu mem-
buat dendamku padanya. Hingga suatu malam
aku bermaksud..." Kandana tak segera mene-
ruskan ucapannya. Di wajahnya seketika tergam-
bar rasa malu. Membuat si nenek kembali menge-
rutkan alis matanya menyaksikan hal itu.
"Bermaksud apa?"
Dengan tersipu-sipu malu, Kandana pun
akhirnya melanjutkan ceritanya: "Aku bermaksud mem... memperkosanya."
"Lalu" Apakah kau berhasil?" tanya si nenek. "Tidak. Sebab keburu diketahui oleh
Anggasana. Saat itu juga, murkalah Ki Tambak
Sande. Dengan kemarahannya dia mengucap,
"Percuma kau memiliki wajah tampan, kalau ha-timu buruk seburuk hantu. Lebih
baik wajahmu juga buruk!" Karena Ki Tambak Sande orang yang mumpuni, seketika aku merasakan
sesuatu pada wajahku. Dari wajahku menetes nanah busuk,
juga benjolan-benjolan bisul yang menutupi seluruh wajahku. Aku berlari dengan
dendam, pergi dari situ. Ketika terkaca pada air, kulihat wajahku telah buruk seburuk hantu.
Oh...?" desah Kandana setelah mengakhiri ceritanya. Dari kedua matanya seketika
kembali meleleh air mata.
Nenek Iblis Pancoran Sewu terdiam. Seper-
tinya turut merasakan penderitaan yang dialami
muridnya. Dengan suara bergetar si nenek berka-
ta: "Jangan kau bersedih hati, Kandana. Aku akan berusaha membantu memulihkan
wajahmu yang rusak itu, namun nanti setelah kau mena-
matkan seluruh ilmu yang akan aku turunkan
padamu. Ketahuilah! Ilmu itu adalah ilmu yang
langka, yang tak ada tandingannya di dunia persilatan. Bila kau telah berhasil
menguasai ilmu yang bernama Aji Seribu Rupa Iblis dan Aji Samb-er Nyawa, kau akan menjadi
seorang tokoh silat
yang tanpa tanding di dunia persilatan. Hi... hi...!
Mulai besok kau harus rajin mempelajari kedua
ajian itu. Kau harus bertapa 40 hari lamanya di bawah pancoran sewu, kau
sanggup?" Karena didorong oleh nafsu untuk dapat
menjadi orang sakti dan ingin wajahnya kembali
seperti sedia kala. Maka tanpa pikir panjang,
Kandanapun mengangguk sembari berkata:
"Sanggup, nek."
"Bagus... bagus. Nah! Untuk memper-
siapkan semua itu hari ini kau harus beristira-
hat." kata si nenek yang dituruti oleh Kandana
tanpa dapat membantah.
*** Pagi buta ketika kokok ayam belum ter-
dengar, Kandana diiringi oleh gurunya si nenek
Iblis Pancoran Sewu tampak berjalan menuju ke
bawah pancoran.
"Buka seluruh pakaianmu, sebab kau ha-
rus melakukan tapamu dengan keadaan telan-
jang." Kandana tersentak, seraya berkata protes.
"Tapi, nek?"
"Jangan menentang. Ayo buka seluruh pa-
kaianmu!" bentak nenek Iblis Pancoran Sewu.
Dengan tanpa banyak bicara lagi. Kanda-
napun akhirnya menurut membuka satu persatu
pakaian yang melekat di tubuhnya.
Si nenek tertawa terkekeh-kekeh, saat me-
lihat tubuh Kandana yang telanjang tanpa sehelai benang pun. Mata wanita tua itu
nanar memandang tubuh Kandana dari ujung kaki ke ujung
rambut membuat Kandana bengong.
Perlahan si nenek mendekatinya. Dan den-
gan cepat direngkuhnya tubuh Kandana yang tak
dapat mengelak.
"Nek, kau...?" Kandana mencoba meronta.
Namun si nenek yang sudah terbakar nafsu ma-
lah makin keras memeluk tubuh Kandana, sem-
bari berbisik: "Kandana, berilah aku kepuasan.
Percayalah, aku akan membantu memulihkan se-
luruh tubuhmu. Lakukanlah, Kandana. Sebelum
nanti kau di bawah pancoran pun akan melaku-
kannya dengan para siluman."
Mendengar permintaan si nenek yang men-
giba, seketika Kandana pun bagai dihipnotis me-
rangsek dan menggeluti tubuh si nenek. Dalam
pandangannya, si nenek berubah menjadi seorang
gadis muda belia.
Memang... dengan ajian Pangling Rupa, si
nenek telah merubah wajahnya secantik bidadari.
Hingga Kandana yang mulanya ragu, seketika pe-
nuh nafsu menggeluti tubuh si nenek.
Pagi buta itupun menjadi saksi, pergumu-
lan kedua guru dan murid yang sama-sama di-
landa nafsu iblis. Sampai akhirnya, si nenek
mengeluh panjang dan terkulai lemas dengan se-
nyum di bibirnya penuh kepuasan.
Setelah sekian lama keduanya tergeletak
lelah. Si nenek yang telah kembali merubah wa-
jahnya seperti semula berbisik pada Kandana.
"Sekarang pergilah. Tapalah di bawah Pancoran Sewu selama 40 hari 40 malam.
Jangan kau keluar sebelum dikabulkan permintaanmu. Ingat!
Layani semua kemauan ratu siluman. Jangan
sampai mengecewakannya."
"Baiklah, aku berangkat. Doa dan ban-
tuanmu sangat aku perlukan." Setelah berkata begitu, ia menuju ke bawah
pancoran, diikuti
pandangan mata nenek Iblis Pancoran Sewu.
*** "Auw...!" Jaka menguap, ketika dirasakan sengatan matahari pagi yang menerobos
lewat se-la-sela dedaunan di hutan Sanggreng.
Dengan segera Jaka melompat turun dari
pohon di mana ia semalam tidur. Dicarinya telaga untuk mencuci muka dan mulutnya
yang terasa sepet. "Ah... perutku lapar. Rupanya aku terlalu nyenyak tidur, hingga bangun
kesiangan seperti ini," kata hati Jaka sembari terus berjalan mencari telaga.
Tak berapa lama kemudian, dilihatnya se-
buah tambak tak jauh dari sebuah desa. Bergegas Jaka segera menuju ke tambak itu
dan dengan tanpa berpikir lagi Jaka pun segera terjun mandi, setelah terlebih dahulu
membuka pakaiannya.
"Ah... sejuk benar air tambak ini," Jaka pun segera menyelam ke dalam air, lalu
kembali muncul.

Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saking asyiknya mandi, hingga Jaka tak
sadar ada sepasang mata yang mengintainya. Se-
pasang mata itu terus mengawasi Jaka. Perlahan
orang yang mengintai itu mendekati pakaian Jaka dan ketika tangan orang itu
hendak mengambil
sesuatu yang ada di antara pakaian Jaka, tiba-
tiba terdengar suara lain membentaknya.
"Maling, rendah!"
Orang yang bermaksud mengambil Pedang
Siluman Darah seketika mengurungkan niatnya
dan memandang pada orang yang membentaknya
yang tak lain dari seorang gadis.
Jaka yang mendengar suara gadis itu, se-
ketika tersentak. Dengan sekali loncat, Jaka pun segera menyambar pakaiannya.
"Apa urusanmu menghalangiku!" bentak
orang yang tadi bermaksud mengambil senjata
Pedang Siluman Darah pada gadis di depannya
yang hanya tersenyum dengan sinis.
"Aku tak mau melihat kejahatan di depan
mataku, karena itu aku menghalangimu," jawab si gadis tak kalah kerasnya.
Maling itu tampak mendengus marah. Na-
pasnya terdengar kasar memburu. Dengan mata
melotot, lelaki itu kembali berkata: "Kau tahu, bahwa senjata yang akan aku
ambil merupakan
senjata sakti" Dengan tingkahmu itu, maka gagallah maksudku. Untuk itu, sebagai
gantinya kau harus mati di tanganku."
Tanpa memperdulikan gadis di depannya,
lelaki yang hendak mencuri berkelebat menye-
rang. Diserang dengan cepat begitu, si gadis tanpa mengalami kesulitan segera
mengelak dan ba-
lik menyerang. Perkelahian keduanya segera ber-
langsung. Jaka yang telah memakai kembali pa-
kaiannya, berdiri menonton tak jauh dari situ.
Jaka sengaja tak langsung menghajar orang yang
bermaksud mencuri Pedang Siluman Darah, ia
ingin tahu sampai di mana tingkat kedua orang
yang tengah berkelahi itu.
Pertarungan keduanya tampak seimbang.
Susah untuk memastikan siapa di antara kedua-
nya yang bakal memenangkan pertarungan itu.
Namun ketika menginjak jurus yang kedua puluh
enam, tampak gadis itu keteter didesak oleh lelaki musuhnya.
Ketika nyawa gadis yang telah menolong-
nya berada dalam ancaman musuhnya, dengan
segera Jaka bersiul dan berkelebat menghadang
serangan lelaki itu.
"Suit... Dug dug dug."
Lelaki yang menyerang gadis itu terhuyung
ke belakang, di wajahnya seketika tergambar ke-
kagetan. Matanya membelalak hampir keluar,
saat melihat orang yang telah menghantamnya.
"Kau... kau yang bernama Jaka?" tanya lelaki itu, yang dijawab Jaka dengan
senyum sinis. "Ya aku yang bernama Jaka. Ada apa" Se-
pertinya kau kaget?"
Mendengar jawaban Jaka. Orang itu bu-
kannya takut, malah sebaliknya tertawa bergelak-gelak. "Anak muda! Aku mendengar
namamu telah kesohor di dunia persilatan, tapi aku si Kala Wasungsang tak gentar
menghadapimu. Aku ingin tahu dan ingin membuktikan kebenaran de-
sas-desus itu."
"Hem, begitu. Lalu dengan maksud apa
engkau hendak mencuri senjataku?" tanya Jaka.
Matanya memandang tajam pada lelaki yang ber-
diri di hadapannya.
Lelaki itu tertawa bergelak-gelak. Dengan
congkaknya, Kala Wasungsang kembali berkata:
"Aku tahu, Kalau senjata Pedang Siluman Darah tak ada pada dirimu, kau akan
menjadi seorang
bayi yang tak dapat berbuat apa-apa. Maka, aku
bermaksud mengambilnya hingga dengan mudah
aku dapat mengalahkanmu. Tapi walaupun kau
memegang senjata itu, aku rasa aku akan mampu
mengalahkanmu."
"Weh! Baru kali ini, selama aku terlahir di dunia ada orang yang sudah
memastikan apa yang belum terjadi. Nah, kalau kau mampu men-
galahkanku, lakukanlah olehmu," kata Jaka tenang, bibirnya terurai senyum.
Sesaat matanya melirik pada gadis yang berdiri di sampingnya,
yang seketika merona merah pipinya.
Mendengar perkataan Jaka, seketika lelaki
itu kembali mendengus. Maka dengan segera, le-
laki itu pun berkelebat menyerang.
"Jangan menyesal bila kau mati di tangan-
ku, anak muda!"
"Lakukanlah bila kau mampu, aku selalu
menuruti apa yang kau ingini, Kala Wasungsang."
Balas Jaka berkata sembari berkelit dari serangan Kala Wasungsang.
Seketika keduanya pun terlibat pertarun-
gan. Keduanya saling serang dan mengelak. Se-
jauh itu, tampak Jaka masih mengelit dari serangan Kala Wasungsang. Jaka sengaja
mengulur pertarungan, dengan maksud untuk mengetahui
sampai di mana ilmu Kala Wasungsang.
Benar juga! Kala Wasungsang yang me-
mang sudah tahu kehebatan Jaka dari tokoh-
tokoh persilatan, tanpa sungkan-sungkan segera
mengeluarkan jurus-jurus yang mematikan. Di
samping itu pula, Kala Wasungsang ingin mem-
buktikan hal kehebatan senjata Pedang Siluman
Darah yang menghebohkan itu.
Merasa musuhnya telah menggunakan il-
mu tingkat tingginya, dengan segera Jaka melom-
pat mundur. "Pedang Siluman Darah, datanglah!"
Seketika Kala Wasungsang terbelalak ka-
get, ketika melihat Pedang Siluman Darah telah
berada di tangan Jaka, mengeluarkan sinar me-
nyilaukan. Dari mulut Kala Wasungsang memekik
kaget: "Ah...!"
"Inikah Pedang Siluman Darah" Hm, me-
mang bukan omong kosong kalau senjata ini san-
gat menghebohkan dunia persilatan. Senjata ini
sungguh aneh, dapat mengeluarkan Darah dan
Angin besar. Hm, aku harus berhati-hati. Akan
aku coba dengan Toya Setan ku," batin Kala Wasungsang, demi melihat Pedang
Siluman. Diam- bilnya tongkat yang berbentuk pendek pada mu-
lanya, dengan pangkal kepala manusia kecil. Di-
tariknya pangkal tongkat itu, yang seketika berubah menjadi sepanjang dua
tombak. "Bagaimana, Kala Wasungsang" Apa mau
diteruskan?" tanya Jaka memberi kesempatan pada Kala Wasungsang untuk berpikir.
"Anak muda! Jangan kau kira Kala Wa-
sungsang akan gentar dan menyerah kalah meli-
hat Pedang Siluman Darah di tanganmu. Ayo kita
lanjutkan sampai salah satu di antara kita mati."
Jaka mengerutkan dahi, demi mendengar
jawab Kala Wasungsang. Lalu dengan mendengus
Jaka kembali berkata:
"Hem... Kala Wasungsang, jangan salahkan
aku kalau itu yang engkau kehendaki. Bersiap-
lah!" "Jangan banyak omong, anak muda! Sedari tadi aku memang sudah siap.
Terimalah seran-ganku, hiat...!" Kala Wasungsang yang memang penasaran dengan
berita-berita tenung Pedang Siluman Darah, dengan nekad segera berkelebat
menyerang. Jaka merasa musuhnya telah menyerang,
dengan segera Pedang Siluman Darah dibalutkan
ke arah Kala Wasungsang. Bagai gelombang pra-
hara api, hawa panas yang terpancar dari Pedang Siluman Darah menderu menangkis
serangan Tongkat Setan Kali Wasungsang sekaligus menye-
rangnya. Kala Wasungsang menyurut mundur. Dari
mulutnya terdengar suara memekik kaget, ketika
hawa panas menghantamnya. Dengan segera di-
putar Tongkat Setan di tangannya dengan mak-
sud menghalau serangan. Namun.
"Braak...!"
Tongkat Setan di tangan Kala Wasungsang
patah menjadi dua, terbabat oleh Pedang Siluman Darah. Kala Wasungsang memekik,
dipegangi tangannya yang terasa kesemutan akibat bentro-
kan itu. Belum juga Kala Wasungsang hilang ka-
getnya. Tiba-tiba Pedang Siluman yang berada di tangan Jaka berkelebat dan...
"Dess...!" Tebasan Pedang Siluman tak dapat dihindari oleh Kala Wasungsang yang
seketika menjerit menahan sakit. Ketika sadar, tangan ki-rinya telah puntung
dari tubuhnya. Melihat hal itu, si gadis yang sedari tadi
hanya menonton seketika menutupi matanya ka-
rena ngeri. Kala Wasungsang dengan menahan sakit,
berlari meninggalkan Jaka dengan umpat dan ca-
ci maki. Ketika gadis yang sedari tadi memperhati-
kannya menyapa, Jaka tersentak dan meman-
dang pada gadis itu yang tersenyum.
"Terima kasih. Nona telah memberikan per-
tolongan pada saya, kalau nona tak mencegah Ka-
la Wasungsang, niscaya aku akan mendapat
murka," kata Jaka.
"Ah... tak seberapa yang telah aku lakukan, dibandingkan dengan nama besar tuan
yang telah rela berkorban untuk ketentraman dunia persila-
tan. Maaf, aku telah mengganggu keasyikan tuan
mandi," kata gadis itu dengan tersipu-sipu.
"Nona terlalu berlebihan menilai diri saya, yang nyatanya tak lebih dari seorang
bodoh dan telengas. Hingga tak menyadari akan apa yang
bakal terjadi, kalau saja nona tak segera menghalangi maksud jahat Kala
Wasungsang. Untuk itu,
aku yang bodoh ini mengucapkan terima kasih.
Oh ya, agar kelak aku dapat membalas budi no-
na, bolehkan aku tahu siapa nona sebenarnya?"
Gadis itu tersipu-sipu kembali, demi men-
dengar ucapan Jaka yang dirasa merendah. Ma-
sih dengan senyum menyungging di bibirnya, ga-
dis itu berkata:
"Hamba yang jelek dan hina ini bernama
Ayu Sakiti."
"Oh... nama yang indah dan bagus, seba-
gus hati yang memiliki. Aku rasa, nona telah
mengetahui namaku bukan?"
Gadis itu mengangguk sesaat, sebelum ak-
hirnya berkata kembali: "Benar. Apakah benar tuan yang bergelar Pendekar Pedang
Siluman Darah dari Chandra Bilawa?"
"Hai...! Rupanya nona telah mengetahui
begitu dalam tentang diri saya. Siapakah sebe-
narnya, Nona?" tersentak Jaka demi mendengar penuturan Ayu Sakiti yang telah
mengetahui segala yang ada pada dirinya.
Gadis yang bernama Ayu Sakiti kembali
tersenyum, lalu dengan malu-malu ia berkata:
"Guruku pernah bercerita tentang diri tuan."
"Siapa gurumu?" Jaka kembali bertanya, karena ingin mengetahui siapa sebenarnya
gadis yang berada di hadapannya.
"Guruku bernama Ki Martanu."
Jaka hanya mengangguk-anggukan kepa-
lanya mendengar penuturan Ayu Sakiti. Setelah
Ayu Sakiti selesai berkata, Jaka pun tersenyum
sembari berkata: "Kalau kau benar murid Ki Mar-
tanu, sampaikan salam hormatku pada beliau.
Dan katakan padanya bahwa Jaka ingin sekali
bersua dengannya setelah bulan purnama."
"Kenapa mesti bulan purnama" Tidakkah
lebih baik sekarang saja?" tanya Ayu Sakiti tak mengerti, membuat Jaka kembali
tersenyum dan memandang tajam pada Ayu Sakiti yang seketika
tertunduk. "Aku dan gurumu, telah berjanji akan
mengadakan pertemuan yang akan membicara-
kan... Ah... bilang saja pada gurumu begitu. Dan bila kau ingin mengerti akan
apa yang bakalan
kami bicarakan kau bisa bertanya langsung pada
gurumu. Nah, selamat tinggal."
Habis berkata begitu, Jaka segera berkele-
bat pergi tanpa memperdulikan Ayu Sakiti yang
terbengong melihat kepergiannya yang begitu ce-
pat. *** 2 Di goa Pancoran Sewu, tampak seorang le-
laki yang tak lain Kandana adanya tengah mela-
kukan semedi tapa brata selama 40 hari 40 ma-
lam. Hari itu adalah hari ke 35 Kandana mela-
kukan tapa brata, ketika dari dunia lain tampak sesosok tubuh wanita datang
menghampirinya dengan tubuh setengah bugil. Pakaian yang dike-
nakan oleh wanita itu, jelas transparan. Hingga Kandana dengan mudah dapat
melihat lekuk-lekuk tubuh wanita cantik di hadapannya.
Wanita itu tersenyum penuh rangsangan
dan mendekati tubuh Kandana yang masih tetap
terdiam dalam semedinya. Dengan manja wanita
itu mengalungkan kedua tangannya di leher Kan-
dana dan berbisik pelan.
"Kandana... bangunlah dari semedimu,
bangunlah. Aku terima apa yang menjadi permin-
taanmu. Bangunlah dan ikutlah denganku."


Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kandana sesaat membuka kedua matanya
perlahan, dilihatnya wanita itu tersenyum. Den-
gan masih melingkarkan tangannya pada leher
Kandana, wanita itu mengajak Kandana berdiri.
"Engkaukah yang bernama Sri Ratu Silu-
man?" tanya Kandana yang diangguki oleh Sri Ra-tu Siluman yang masih tersenyum.
"Kenapa, Kandana" Apa kau belum yakin?"
tanya Sri Ratu Siluman sembari menatap tajam
pada Kandana. Mata Sri Ratu yang tajam, seketi-
ka memancarkan selarik sinar menembus ke ma-
ta Kandana hingga menggugah hati Kandana.
Kandana yang telah terpengaruh oleh ilmu
Sri Ratu seketika merengkuh tubuh Sri Ratu yang menggelinjang-gelinjang penuh
kenikmatan. Angan Kandana seketika melayang terbang.
Tampak olehnya goa itu kini berubah menjadi is-
tana yang elok dan indah, lengkap dengan selu-
ruh dayang dan prajurit.
Kandana yang tengah menggeluti tubuh Sri
Ratu, tidak menyadari kalau sebenarnya yang
tengah digumuli tak lain daripada seekor ular.
Sri Ratu Siluman mendesis-desis, menik-
mati kenikmatan yang diperolehnya dari Kanda-
na. Sementara Kandana sendiri, merasakan
adanya kelainan pada dirinya. Bersamaan dengan
keringat yang menetes deras, perubahan di wajah Kandana pun berjalan.
Luka-luka yang telah mengering, tampak
mengelupas dan berganti kulit lain. Karena perubahan itu, membuat tubuh Kandana
terasa panas dingin. Mungkin karena terlalu panasnya, Kanda-
na pun akhirnya pingsan.
* * * Lima hari lamanya Kandana berada di is-
tana Sri Ratu Siluman Ular. Dan selama lima hari itu juga Kandana harus bersedia
melayani nafsu Sri Ratu Siluman.
Ketika telah habis masa tapa bratanya, Sri
Ratu berkata pada Kandana: "Kandana, kini kau telah mendapatkan apa yang menjadi
keinginan-mu, yaitu ajian Seribu Rupa dan Samber Nyawa.
Tapi untuk menyempurnakannya, kau harus mi-
num tujuh darah gadis. Sekarang pulanglah
kembali pada gurumu, nenek Pancoran Sewu."
Setelah berkata begitu, seketika tubuh Sri
Ratu Siluman itu raib. Dan Kandana pun kini
mendapatkan dirinya kembali di goa Pancoran
Sewu. Dengan langkah ringan, Kandana berkele-
bat keluar dari goa itu. Di luar tampak nenek Iblis Pancoran Sewu tengah
menantinya. Dengan wajah berseri, nenek Iblis Panco-
ran Sewu segera menyambutnya. Di peluknya tu-
buh Kandana, yang hanya terdiam sembari me-
mandang tajam dan bengis.
Tanpa disadari oleh nenek Iblis Pancoran
Sewu, tiba-tiba Kandana merapalkan aji Samber
Nyawa. Dicobanya pada tubuh si nenek yang se-
ketika menjerit.
Sebelum meninggal, si tanak Iblis Pancoran
Sewu sempat mengumpat dan mengutuk Kanda-
na yang hanya tertawa bergelak-gelak, sepertinya merasa puas, demi melihat hasil
yang telah dica-painya. "Kau... kau, manusia tak tahu balas budi, Kau telah
berbuat curang, maka kau kelak akan
mati dengan tubuh hancur." Setelah berkata begitu yang diikuti oleh suara
halilintar menggelegar, nenek Iblis Pancoran Sewa ambruk dengan tubuh
hangus. Tanpa memperdulikan tubuh si nenek,
Kandana pan segera berlalu sembari tertawa ter-
gelak-gelak. "Tak ada artinya kau mengumpat, nenek sinting. Dirimu sendiri bukan
orang baik-baik, ha... ha...!"
Alam di situ seketika menjadi hening. Lan-
git mendung, guntur bergelegar bersahut-
sahutan, sepertinya memberikan tanda pada du-
nia persilatan bahwa telah datang malapetaka ba-ru yang akan menggemparkan dunia
persilatan. *** Sejak itu dunia persilatan dilanda geger
oleh perbuatan seseorang, yang dengan kejinya
merenggut korban gadis. Biasanya gadis-gadis itu mati dengan leher berlubang,
seperti habis digigit oleh seekor mahluk.
Kampung Rengas, kampung Lenggok, dan
terakhir kampung Muara Sendang, telah menjadi
korban jarahan mahluk yang selalu mencari
mangsa seorang gadis.
Gadis-gadis itu hilang kala hari menjelang
senja, di mana mereka biasanya tengah mandi di
pancuran. Dengan kejadian itu, makin menambah ke-
takutan di hati para penduduk desa hingga kea-
manan desa pun makin dipertingkat dan anak-
anak gadis dilarang keluar sore-sore.
Malam begitu mencekam, ditambah lagi
dengan rintik hujan yang tak mau berhenti me-
nambah seramnya malam itu.
Petugas ronda tampak dengan siaga men-
jaga keamanan kampung, ketika dari kejauhan
terdengar suara anjing hutan melolong. Seketika bulu kuduk kelima peronda itu
berdiri. Rasa takut menjalar di hati mereka. Kalau bukan tugas, mungkin mereka
telah lari ketakutan. Namun karena merasa itu kewajiban yang harus dijalankan,
maka dengan menekan perasaan takut kelimanya
tetap waspada. Ketika kelimanya tengah dilanda
ketakutan, tampak oleh mereka sesosok tubuh
dengan memanggul seorang gadis berkelebat.
Sesaat kelima peronda yang sedari tadi
hanya terdiam tanpa berani berkata-kata. Kemu-
dian setelah mereka sadar, mereka pun dengan
segera mengejar orang yang berkelebat itu.
"Berhenti!" perintah salah seorang petugas ronda. Lelaki yang berlari dengan
membopong tubuh seorang gadis di pundaknya tampak berhen-
ti. Ketika lelaki itu berpaling pada kelima pe-
ronda itu, tampak seraut wajah yang mengerikan.
Kelima peronda itu tersentak mundur saat meli-
hat wajah lelaki yang mirip hantu.
Belum juga kelimanya sadar dari kenge-
riannya, tiba-tiba orang yang bermuka hantu itu membentak. "Mau apa kalian!
Cepat pergi! Atau kuhisap darah kalian, hah!"
"Bedebah! Jangan kau kira kami takut pa-
damu, kami bukan anak kecil! yang perlu kau ta-
kut-takuti. Serahkan gadis itu pada kami, atau
kami harus menghajarmu," kata salah seorang dari kelima peronda yang rupanya
mempunyai nyali, tak kalah kerasnya.
Mendengar ucapan peronda itu, seketika
lelaki berwajah hantu itu tersenyum sinis. Lalu dengan mata melotot dan
menunjukkan gigi-giginya yang runcing, lelaki berwajah hantu itu
kembali berkata. "Percuma kalian ingin melawanku. Pergi! Atau aku akan mengirim
kalian ke ak- herat!" Walaupun mereka takut, namun karena tugasnya sebagai penjaga keamanan
kampung, mereka tak menghiraukan gertakan itu. Bahkan
dengan segera mereka serempak mengeroyok le-
laki bermuka hantu.
Walaupun dengan menggendong tubuh se-
seorang di pundaknya, lelaki bermuka hantu itu
tampak dengan mudah mengelak serangan kelima
peronda. Bahkan dengan segera dapat mendesak
kelimanya. Tak lama kemudian terdengar jeritan
kematian. Dua dari kelima peronda itu terkapar
meregang nyawa.
Melihat kedua temannya mati, ketiganya
yang masih hidup tersentak mundur. Dan bagai-
kan dikomando, ketiganya segera berteriak me-
minta tolong. "Tolong...! Tolong...!"
Mendengar suara ketiga peronda itu, seke-
tika orang-orang kampung segera berhamburan
keluar. Belum juga orang-orang kampung dapat
menolong mereka, tiba-tiba lelaki bermuka hantu telah menghantam ketiganya
hingga mati seketika dengan tubuh hangus.
Lalu dengan secepat kilat, lelaki bermuka
hantu itu berkelebat pergi meninggalkan kelima
mayat korbannya.
Penduduk kampung hanya dapat melongo,
ketika didapatinya kelima peronda itu telah mati
dengan tubuh terbakar hangus. Merinding bulu
kuduk penduduk kampung, menyaksikan kea-
daan kelima peronda itu. Dengan perasaan ngeri, mereka pun segera mengusung
kelima peronda yang telah mati.
* * * Di sebuah goa, lelaki berwajah hantu yang
telah mengubah kembali wajahnya tengah mem-
baringkan tubuh gadis yang diculiknya. Dibu-
kanya totokan pada tubuh gadis itu, hingga si gadis kembali tersadar dari
pingsannya. "Jangan...! Jangan...! Jangan ganggu aku,
pergi!" teriak gadis itu setelah terbebas dari totokan. Lelaki di depannya
tersenyum, perlahan
didekatinya tubuh gadis yang kini terduduk den-
gan wajah ketakutan.
Melihat orang yang di hadapannya bukan
hantu yang tadi menculiknya, rasa tenang timbul di hati si gadis. Dengan
tersipu-sipu, gadis itu menundukkan mukanya sembari bertanya:
"Tuan, siapakah tuan sebenarnya" Tuankah yang telah menolong diriku dari hantu
itu?" Mendengar pertanyaan gadis di depannya,
seketika lelaki itu tersenyum dan mengangguk.
Perlahan dihampirinya tubuh si gadis dan dengan lembut direngkuhnya pundak si
gadis yang hanya
terdiam. Keduanya saling rengkuh dan berguling-
guling di atas lantai batu. Gadis itu yang tadinya takut, tiba-tiba menjadi liar
dan binal. Ia membalas merengkuh dan menciumi lelaki yang tengah
menggelutinya, sampai akhirnya si gadis terden-
gar mengeluh panjang penuh kenikmatan.
Saat itu juga lelaki yang tadinya tampan,
seketika berubah menjadi seram. Gadis itu hen-
dak berontak, namun lelaki berwajah hantu itu
telah mendahului menggigit leher si gadis.
Sesaat si gadis menjerit, lalu terkulai lemas
dengan tubuh membiru mati. Dari lehernya me-
netes darah sisa gigitan. Sementara lelaki yang berwajah hantu, tampak tersenyum
penuh kepuasan dan berlalu meninggalkan tubuh si gadis.
Dari kejauhan terdengar suara kokok ayam
jantan, pertanda hari telah pagi. Lelaki bermuka hantu itu berkelebat pergi
meninggalkan goa,
yang di dalamnya tergeletak tubuh seorang gadis yang telah beku.
Ketika mentari telah meninggi, seorang
pencari kayu secara tidak sengaja datang ke goa itu. Pencari kayu itu tersengat
kaget, kala dilihatnya di dalam goa itu seorang gadis telah mati
dengan leher berlubang.
Dengan tergopoh-gopoh, lelaki itu berlari
sambil menjerit-jerit meminta tolong pada warga kampung terdekat yang kebetulan
kampung si gadis, "Ada apa, Bapak" Sepertinya kau tengah mengalami ketakutan. Apakah kau
melihat sesuatu?" tanya kepala kampung yang menerima pen-
cari kayu itu. Dengan wajah pucat dan terbata-bata, lela-
ki pencari kayu itu menceritakan apa yang telah dilihatnya dalam goa di tengah
hutan "A... aku mencari kayu. Tiba-tiba pera-
saanku ingin menuju ke goa dan..." Lelaki pencari kayu itu tak segera meneruskan
ucapannya, di wajahnya tergambar rasa ngeri yang dalam.
"Dan apa...?" tanya ketua kampung tak sa-bar. "Aku melihat sesosok tubuh
wanita..."
Belum juga pencari kayu itu menyelesaikan
ceritanya, dengan segera kepala kampung meng-
gandeng tangannya pergi.
Dengan diikuti oleh sebagian warga kam-
pung, keduanya segera menuju ke tempat di ma-
na pencari kayu itu menemukan gadis yang telah
mati. Sesampainya mereka ke tempat yang di-
tunjukan oleh pencari kayu, mata mereka seketi-
ka terbelalak. Dari mulut mereka terdengar pekik kaget, demi mengetahui gadis
itu yang ternyata
Mirah warga kampungnya.
Dengan perasaan haru dan duka, mereka
segera menggotong tubuh Mirah yang telah mati
dengan cara menyedihkan.
* * * Korban demi korban berjatuhan. Geger du-
nia persilatan oleh perbuatan teror lelaki berwa-
jah hantu. Desas desus itu akhirnya terdengar juga di
telinga Ayu Sakiti, murid Ki Mertanu. Merasa hal itu merupakan tanggung jawabnya
sebagai seorang pendekar beraliran lurus, Ayu Sakiti ber-
maksud menyelidiki siapa sebenarnya lelaki ter-
sebut. Maka setelah mendapat restu dari gu-
runya, Ki Mertanu. Berangkatlah Ayu Sakiti un-
tuk menyelidiki desas-desus yang kini ramai dibicarakan di dunia persilatan.
"Apakah Jaka belum mendengarnya" Ah...
aku rasa dia sebagai tokoh persilatan tingkat
utama, telah mendengar adanya desas-desus ini.
Moga-moga dia akan segera datang membantu-
ku," kata Ayu Sakiti dalam hati, setelah berlalu pergi meninggalkan
perguruannya. Siang begitu panasnya, terik matahari sea-
kan hendak membakar seluruh isi muka bumi.
Ayu Sakiti yang telah sampai pada sebuah desa,


Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan segera mencari sebuah kedai.
Tanpa mengalami kesulitan, Ayu Sakiti se-
gera menemukan sebuah kedai.
Kedatangan Ayu Sakiti, mengundang per-
hatian pengunjung kedai lainnya. Hingga salah
seorang dari lima pengunjung kedai yang duduk
di sudut ruangan berwajah sangar-sangar menye-
letuk. "Lihat, kawan. Rupanya ada bidadari yang hendak menemani kita di sini."
Seketika keempat orang lainnya segera
memandang pada Ayu Sakiti yang tengah masuk
ke dalam kedai itu. Ayu Sakiti tak menggubris
omongan orang tersebut. Ia tetap melangkah ma-
suk dan duduk tak jauh dari urang yang berkata.
Seorang pelayan datang menghampirinya
seraya bertanya. "Mau pesan apa, nona?"
"Sebelum aku memesan makanan, aku
minta usir dulu kelima lalat-lalat itu," kata Ayu Sakiti menyindir pada kelima
lelaki yang bertam-pang sangar. Seketika kelima lelaki itu tersentak dan berdiri
kaget demi mendengar ucapan Ayu
Sakiti yang memang menyindirnya.
"Cuih, sombong! Jangan mentang-mentang
cantik, lalu beraksi di depan Lima Iblis Buran-
grang," bentak salah seorang dari kelima Iblis Burangrang dengan marahnya.
Ayu Sakiti hanya tersenyum demi menden-
gar ucapan orang yang mengaku Lima Iblis Bu-
rangrang. Dan dengan kalemnya Ayu Sakiti kem-
bali berkata acuh.
"Iblis Burangrang. Kalau kalian merasa
bukan lalat, mengapa kalian harus marah. Coba
kalian lihat, bukankah memang di sini banyak lalat?" Mungkin kalau anak kecil
akan begitu percaya, namun karena mereka merupakan tokoh-
tokoh persilatan dari golongan sesat, mereka tak mau menerima ucapan Ayu Sakiti
begitu saja. Maka dengan membentak yang disertai kekesa-
lan, salah seorang dari kelima Iblis Burangrang berkata!
"Hai, bocah gendeng! Aku tadinya me-
nyangka kalau kau yang cantik itu, lemah lem-
but. Tapi ternyata kau mempunyai nyali juga,
hingga berani menghina Lima Iblis Burangrang."
"Hi... hi...! Gendeng katamu. Siapa yang
gendeng" Aku atau kalian semua yang tampang-
nya seperti orang-orang gila yang tak pernah terurus," Ayu Sakiti tertawa
cekikikan, membuat kelima Iblis Burangrang tak dapat lagi menahan
emosinya demi diledek begitu rupa oleh seorang
gadis yang masih bau kencur.
"Sompret! Rupanya kau tak mau diuntung!
Maka jangan salahkan aku, Burangrang Hitam
mengajar adat pada kamu yang tak tahu sopan
santun." Kembali Ayu Sakiti tertawa cekikikan kala
mendengar dan melihat kemarahan Burangrang
hitam. Dengan nada mengejek yang membikin
marah Burangrang tak dapat terbendung lagi,
Ayu Sakiti kembali berkata:
"Burangrang jelek! Siapa yang telah men-
jual sesuatu padamu, hingga kau mengatakan tak
mau diuntung" Lagi pula siapa yang mau diberi
keuntungan oleh iblis butut macam kalian."
Lima Iblis Burangrang itu mendengus dari
mata mereka menyorot api kemarahan. Maka
dengan tanpa malu-malu, kelimanya segera ber-
kelebat menyerang Ayu Sakiti.
Ayu Sakiti yang telah waspada, diserang
oleh kelima Iblis Burangrang bersamaan, bukan-
nya menjadi takut dan bingung. Bahkan dengan
gesit, Ayu Sakiti segera mengelak dan secepat ki-
lat lari keluar kedai.
Kelima Iblis Burangrang yang memang te-
lah dilanda amarah oleh tingkah laku Ayu Sakiti, tak mau melepaskan begitu saja.
Dengan seren-tak kelimanya segera memburu keluar, di mana
Ayu Sakiti telah berdiri menanti mereka.
Walaupun dikeroyok oleh lima tokoh golon-
gan sesat, namun Ayu Sakiti yang merupakan
murid tunggal Ki Mertanu atau si Dewa Tangan
Maut tak menjadi gentar.
Pertarungan satu lawan lima pun terus
berjalan, dari tangan kosong kini berganti dengan senjata. Ayu Sakiti dengan
pedang Komaranya
berkelebat dengan cepat, laksana seekor burung
walet menyambar-nyambar musuhnya.
Di lain pihak, kelima Iblis Burangrang yang
sudah tersohor segera mengurung murid tunggal
Ki Martanu. Kelima Iblis Burangrang itu menge-
luarkan jurus Lingkaran Iblis, kelimanya dengan silih berganti menyerang Ayu
Sakiti. Jurus Lingkaran Iblis memang begitu hebat dan sukar un-
tuk dapat ditembus.
Mendapatkan hal semacam itu, Ayu Sakiti
dengan segera mengubah jurusnya, Jurus Walet
Merah Menyambar Ular Sanca. Dengan bergerak
makin cepat, Ayu Sakiti menggerakan pedang di
tangannya dengan cepat pula. Hingga... terdengar seketika jerit kesakitan
membahana. Dan tampak
salah seorang dari kelima Iblis Burangrang terkapar pingsan dengan tangan kanan
putus. Melihat hal itu, keempat Iblis Burangrang
lainnya tersentak dan melompat mundur dengan
mulut menganga seakan tak percaya pada apa
yang dilihatnya.
Hal itu tidak disia-siakan oleh Ayu Sakiti
begitu saja, dengan cepat-cepat pedang di tan-
gannya kembali berkelebat. Dan... untuk kedua
kalinya terdengar jeritan sesaat, lalu tampak
orang kedua dari Lima Iblis Burangrang tergeletak dengan leher hampir putus.
Ciut seketika nyali ketiga Iblis Burangrang
demi melihat kedua temannya dapat dengan mu-
dah dijatuhkan oleh seorang gadis yang masih
muda belia. Maka tanpa membuang waktu lagi,
ketiganya segera mengambil langkah seribu.
"Mau lari ke mana kalian. Jangan harap
kalian akan dapat lolos dari tanganku," kata Ayu Sakiti. Dengan seketika
tubuhnya yang kecil dan ramping berkelebat memburu ketiganya.
Ketiga Iblis Burangrang tersentak, kala Ayu
Sakiti tiba-tiba telah berdiri menghadang mereka dengan senyum sinis di
bibirnya. Merasa tak ada jalan lain, maka dengan
nekad ketiganya segera menyerang Ayu Sakiti.
Kembali perkelahian pun berlangsung.
Ayu Sakiti yang memang tak suka dengan
kelima orang Iblis, dengan tanpa menaruh rasa
kasihan sedikit pun kembali berkelebat dengan
pedang di tangannya.
Tak berapa lama antaranya, kembali ter-
dengar pekikan kematian. Kembali salah seorang
dari Iblis Burangrang menjadi korban pedangnya.
Mendapatkan hal itu, kedua Iblis Buran-
grang yang masih tersisa makin nekad.
Karena keduanya tak memperhitungkan
lagi akan apa yang bakal mereka hadapi, maka
keduanya berkelahi dengan jurus yang tak dapat
dikontrol. Hal itu menjadikan kepahitan bagi mereka sendiri. Maka dengan sekali
tebas, pedang di tangan Ayu Sakiti telah membabat tubuh keduanya yang langsung
terkapar meregang nyawa lalu
mati. Setelah melihat kelima musuhnya telah
mati, Ayu Sakiti segera kembali menuju kedai.
Semua orang yang ada di kedai itu seketika mera-sa takut dan jeri. Hingga tanpa
diperintah olehnya, semuanya seketika mengangguk hormat ke-
tika Ayu Sakiti masuk.
Pemilik kedai pun dengan ramahnya diser-
tai hormat segera menghidangkan makanan yang
dipesan oleh Ayu Sakiti.
"Bapak... apakah bapak pernah melihat
pemuda yang berambut gondrong datang ke ma-
ri?" tanya Ayu Sakiti pada pemilik kedai yang ter-cenung diam, tak lama
kemudian, dengan wajah
tersenyum pemilik kedai pun berkata:
"Benar! Kira-kira seminggu yang lalu pe-
muda itu datang ke mari untuk makan siang."
"Hem, rupanya Jaka pun berada di sini pu-
la," kata Ayu Sakiti dalam hati.
"Bapak, apakah pemuda itu mengatakan
hendak pergi ke mana?"
Ditanya seperti itu pemilik kedai hanya da-
pat menggeleng lemah. Ayu Sakiti hanya mang-
gut-manggut, lalu dengan segera menyantap ma-
kanan yang telah dihidangkan.
Setelah membayar makanan yang dima-
kannya, yang ditolak oleh pemilik kedai karena
merasa berterima kasih atas pertolongan Ayu Sa-
kiti, hingga kedainya tak akan dijadikan
tongkrongan dan endonan kelima Iblis Buran-
grang lagi. "Bapak, sudah menjadi kewajibanku untuk
menolong dan membasmi kejahatan. Aku minta
terimalah uang bayar makanku," kata Ayu Sakiti sembari menyerahkan uang itu pada
pemilik kedai, yang kembali bermaksud menolaknya. Na-
mun dengan segera Sakiti menggenggamkan uang
itu di telapak tangannya. Mau tak mau pemilik
kedai itu pun akhirnya menerima juga pembaya-
ran Sakiti. Dengan segera Sakiti pergi meninggalkan
kedai untuk meneruskan perjalanannya mencari
biang keonaran dunia persilatan. Yang menurut
desas-desus bermuka hantu dan selalu menculik
gadis untuk korbannya.
*** 3 Gamelan melantunkan tembang kidung.
Seluruh tamu yang akan memberikan doa restu
pada kedua mempelai tampak sudah pada berda-
tangan. Seperti adat di Jawa, maka pengantin pe-
rempuan akan di boyong oleh pengantin laki-laki dan diiring berarak.
Malam makin larut, saat kedua mempelai
dijejer untuk menghadap dan diikrar oleh sese-
puh adat. Dupa dari asap kemenyan mengepul beri
gulung-gulung membumbung tinggi. Kedua mem-
pelai dengan didampingi oleh dua orang saksi
tengah dihadapkan pada sesepuh adat, yang akan
mensyahkan pernikahan mereka.
Di wajah kedua mempelai terkembang se-
nyum bahagia, sama halnya yang hadirpun turut
merasakan kegembiraan.
Gamelan dari wayang kulit berhenti, untuk
memberikan waktu pada sesepuh adat guna men-
syahkan upacara pernikahan. Sesaat, tampak se-
sepuh adat diam. Matanya terpejam, dari mulut-
nya tampak komat-kamit membaca sesuatu. Asap
dupa makin menebal. Bersamaan dengan itu, se-
ketika semua yang hadir tersentak kaget. Dari
luar seseorang bagaikan terbang menyambar
mempelai wanita yang menjerit-jerit meminta to-
long. Untuk sesaat semuanya terpaku diam. La-
lu setelah sadar dari kekagetannya, mereka seren-
tak memburu orang itu.
"Berhenti!" bentak tetua adat, setelah dapat mengejar orang yang membawa
mempelai perem-puan, yang kini tampak terdiam dalam pundak-
nya. Lelaki yang menggendong mempelai pe-
rempuan itu berhenti dari larinya dan dengan tenangnya membalikkan tubuh
menghadap pada sesepuh adat. Sesepuh adat dan orang-orang yang telah
dapat mengejarnya tersentak kaget, demi melihat wajah penculik itu. Mata mereka
melotot, demi menyaksikan muka seram yang persis hantu.
Keterkejutan mereka tak disia-siakan oleh
lelaki penculik itu. Maka dengan sekali berkelebat, tubuh lelaki itu telah
berlalu meninggalkan mereka yang kembali mengejarnya setelah sadar.
Kejar mengejar pun terjadi, hingga sampai-
lah mereka di persawahan yang luas. Penduduk
yang sudah merasa marah oleh tindakan lelaki
berwajah hantu itu, dengan nekad segera menge-
pungnya. "Kembalikan gadis itu ada kami, atau ter-
paksa kami merencah tubuhmu!" kata sesepuh adat dengan penuh amarah, sementara
yang lainnya tampak telah siaga dengan senjata di tangan mereka.
Lelaki bermuka hantu tampak tersenyum
sinis, lalu dengan suara serak dan sember berka-ta: "Hem... jangan harap aku
akan menyerahkan gadis ini pada kalian. Pergilah! Atau terpaksa aku
menurunkan tangan jahatku!"
"Iblis laknat! Jangan kira kami dapat ditakut-takuti olehmu. Serahkan istriku,
atau kau akan mati dengan tubuh dicincang!" Jatmoro yang merasa harga dirinya diinjak-
injak oleh lelaki bermuka hantu membentak marah. Tubuhnya
seketika tanpa dapat dicegah oleh yang lain berkelebat menyerang.
"Hem... rupanya kau hendak mencari
mampus, anak muda. Baik, terimalah ini!" Setelah berkata begitu, tampak lelaki
bermuka hantu mengepalkan tangan kanannya. Dari mulutnya
terlihat ia membaca mantera. Seketika itu tampak tangan lelaki berwajah hantu
memerah membara.
Dikiblatkannya tangan yang telah membara itu
pada pemuda yang bermaksud menyerangnya.
Tak ayal lagi, Jatmoro yang tak memperhi-
tungkan sebelumnya terpelanting ke belakang se-
belum sampai pada sasaran. Tubuh Jatmoro
tampak hitam mengarang, nyawanya pun me-
layang. Melihat hal itu, tersentaklah semua yang ada di situ. Nyali mereka agak
menciut juga. Namun ketika sesepuh adat mengomandokan untuk
menyerang, semua yang ada di situ dengan senja-
ta di tangan masing-masing, serempak maju me-


Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyerang lelaki berwajah hantu.
Dikeroyok begitu banyaknya, tidak menja-
dikan lelaki berwajah hantu itu mundur dan ka-
bur. Bahkan sebaliknya dengan masih menggen-
dong tubuh gadis yang diculiknya, lelaki itu dengan mudahnya mengelak setiap
serangan mereka.
"Percuma kalian membuang-buang nyawa
yang hanya satu. Lebih baik kembali ke rumah
masing-masing dan tidur dengan nyenyak," kata lelaki berwajah hantu sembari
melompat mundur
hendak pergi meninggalkan mereka. Namun pen-
duduk yang telah dibakar amarah itu tak mau
perduli. Mereka terus mengejar dan kembali men-
gepung, membuat lelaki bermuka hantu itu tam-
pak menggeram marah.
"Rupanya kematian yang kalian inginkan.
Baik! Hari ini juga kalian akan aku kirim ke akherat, bersiaplah!" Habis berkata
begitu, kembali dari tangan lelaki bermuka hantu itu keluar selarik sinar merah,
menghantam penduduk kam-
pung yang mengejarnya.
Pekik kematian terdengar silih berganti.
Mereka mati dengan keadaan yang sama, mati
dengan tubuh hangus terbakar menjadi arang.
Ciut juga nyali mereka yang masih hidup
termasuk sesepuh adat dan ketua kampung.
Hingga mereka hanya terdiam memandang dan
mengurung lelaki bermuka hantu tanpa berani
menyerang. "Sudah aku katakan. Lebih baik kalian
kembali saja ke rumah masing-masing dan tidur
dengan nyenyak dari pada harus berurusan den-
ganku. Kini kembali aku perintahkan pada kalian, pulang dan..."
Belum juga habis ucapan lelaki berwajah
hantu, tiba-tiba terdengar desiran angin yang diikuti oleh berkelebatnya sesosok
tubuh. "Iblis laknat! Ternyata kaulah orangnya
yang selalu membuat keonaran. Sudah tujuh ini
korbanmu. Jangan harap kau dapat lolos." Habis ucapan itu, tiba-tiba telah
berdiri sesosok tubuh wanita di situ dengan mata memandang penuh
kebencian pada lelaki bermuka hantu yang ter-
sentak mundur. "Siapa kau!" bentak lelaki bermuka hantu, setelah dapat menguasai suasana
kembali. Matanya yang besar dan merah memandang tak ber-
kedip pada gadis yang baru datang.
Gadis itu tersenyum sinis dan berkata se-
belum akhirnya berkelebat menyerangnya. "Siapa aku tak penting. Yang pasti kau
harus lenyap dari muka bumi ini, hiaat...!"
Tersentak lelaki bermuka hantu mendapat
serangan yang begitu tiba-tiba dan cepat dari gadis yang tak lain Ayu Sakiti
adanya. Keduanya segera terlibat pertarungan. Ayu
Sakiti yang berwatak keras, tanpa memberi waktu sedikit pun terus mendesak dan
merangsek lelaki bermuka hantu yang masih mengelak serangan-serangannya dengan
membopong tubuh gadis cu-
likannya. Kenapa Ayu Sakiti datang di situ" Sejak
dari kedai, memang perasaan Ayu Sakiti seakan
membimbingnya untuk datang ke kampung itu. Ia
yang kemalaman, dengan segera mencari pengi-
napan. Tapi di kampung itu rupanya tak ada pen-
ginapan, maka dengan terpaksa Ayu Sakiti pun
akhirnya beristirahat di sebuah dangau.
Ketika ia tengah tertidur sesaat, tiba-tiba
telinganya yang tajam mendengar adanya keribu-
tan. Maka dengan segera Ayu Sakiti pun menuju
ke asal suara itu dan menemukan perkelahian
penduduk menyeroyok lelaki bermuka hantu.
Ketika mengetahui bahwa yang tengah di-
keroyok oleh penduduk adalah orang yang dica-
rinya, Ayu Sakiti yang sedari tadi hanya menon-
ton segera keluar dari persembunyiannya dan
menyerang lelaki bermuka hantu.
Penduduk yang telah ciut nyalinya, seketi-
ka tumbuh keberanian kembali demi melihat seo-
rang gadis dengan beraninya menyerang orang
yang berilmu tinggi itu. Semuanya segera kembali mengurung lelaki bermuka hantu,
yang tengah bertempur melawan Ayu Sakiti.
Perkelahian antar Ayu Sakiti dan lelaki
bermuka hantu kini makin seru. Keduanya telah
menggunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi
hingga keduanya tak dapat dilihat oleh orang-
orang yang menontonnya, sebab keduanya berke-
lebat begitu cepat.
Jurus demi jurus yang diikuti dengan pe-
kikan-pekikan terus berlalu. Hampir seratus ju-
rus sudah mereka lampaui. Namun kelihatannya
kedua orang yang bertanding itu sama-sama
tangguh, seakan tak akan ada yang kalah atau
menang. Bulan yang bergayut di langit kini tampak
telah beralih ke sebelah Barat, pertanda pagi
akan segera tiba. Tapi pertarungan keduanya ma-
sih terus berlangsung.
Melihat pagi sebentar lagi akan datang,
tampak lelaki bermuka hantu mendengus. Dan
dengan sekali melentingkan tubuhnya, lelaki
bermuka hantu segera mundur sembari meng-
hantamkan pukulannya.
Ayu Sakiti dan semua penduduk tersentak,
semuanya segera mengelak. Namun tak urung,
salah seorang dari penduduk ada yang terkena
pukulan itu. Seketika orang yang terkena mere-
gang nyawa, tubuhnya seketika berubah menghi-
tam bagaikan arang.
Setelah semuanya tersadar. Didapatinya le-
laki bermuka hantu telah lenyap dari pandangan
mereka, membuat Ayu Sakiti geram. Tanpa mem-
perdulikan orang-orang yang memandangnya.
Ayu Sakiti segera berkelebat mengejar.
Namun ilmu lari orang yang bermuka han-
tu, ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengannya. Hingga Ayu Sakiti pun tak
dapat menge- jarnya. "Hem... ilmu lari tingkat tinggi. Percuma aku mengejarnya. Mungkin
guruku pun masih di
bawah orang itu dalam hal ilmu kesaktian. Hanya Pendekar Pedang Siluman atau
Jaka Ndableg sa-jalah yang mungkin dapat mengejar larinya. Seta-huku, guru
pernah bercerita tentang kehebatan
Jaka atau Pendekar Pedang Siluman. Kata guru,
Pendekar Pedang siluman adalah pewaris ilmu
Empat Pendekar Sakti. Empat tokoh persilatan
yang pernah merajai dunia persilatan lima tahun yang lalu. Seperti halnya Empat
Pendekar Sakti,
Jaka Ndableg pun memiliki ilmu-ilmu tingkat
tinggi yang belum ada tandingannya. Ia juga me-
miliki senjata yang pernah kulihat ketika bertarung melawan Kala Wasungsang.
Senjata itu da-
pat mengeluarkan Darah dan Angin Prahara.
"Baik, aku kembali saja. Kali ini aku gagal, tapi lain kali aku harus dapat
meringkus durjana itu. Dan untuk itu, aku harus meminta tolong
pada Jaka Ndableg. Ah, aku rasa Jaka Ndableg
pun telah mendengar kejadian ini, di mana dia
sekarang...?" tanya Ayu Sakiti pada diri sendiri, sebelum akhirnya ia berkelebat
pergi kembali me-nemui penduduk kampung yang masih tampak
berkerumun. Sementara itu, di sebuah bukit, seorang le-
laki dengan membopong tubuh seorang gadis di
pundaknya berjalan menuju ke sebuah semak-
semak di antara bebatuan.
Direbahkannya tubuh gadis yang sedari
tadi digendongnya ke atas semak-semak. Dibu-
kanya totokan pada gadis itu yang seketika sadar.
Gadis itu hendak menjerit, namun ketika
melihat tatapan mata pemuda di hadapannya, se-
ketika ketakutan si gadis hilang dan berubah
menjadi rasa nafsu yang bergejolak-gejolak di dadanya. Maka ketika lelaki muda
itu menggeluti tubuhnya, si gadis tampak dengan nafsu memba-
lasnya. Si gadis terlena dalam khayal yang diciptakan oleh lelaki muda itu, ia
tak menyadari akan apa yang terjadi.
Gigi pemuda itu yang tadinya rata, kini
dengan sendirinya memanjang runcing. Dan...!
Seketika terdengar jeritan kematian dari mulut si gadis yang memberontak meminta
dilepaskan dari
gigitan pemuda itu lalu akhirnya terkulai lemas dengan tubuh tak bernyawa.
Setelah berhasil menyedot darah gadis kor-
bannya, pemuda itu segera berkelebat pergi me-
ninggalkan tubuh gadis korbannya dengan begitu
saja. Pagi itu, Jaka nampak berlari-lari menuju ke sebuah bukit, pendengarannya
yang tajam telah mendengar suara pekik kematian di bukit itu.
Penciumannya yang tajam segera dipasang.
Hidungnya mengendus endus mencium bau amis
darah. "Di manakah?" tanya Jaka dalam hati, masih terus mencari tempatnya bau
amis itu. Ketika ia tiba di semak-semak yang tertutup bebatuan,
didapatinya sesosok tubuh seorang gadis telah
mati dengan leher berlobang bekas gigitan suatu mahluk.
"Hem. Mahluk macam apa yang telah
menggigit gadis ini" Ularkah..." Hai. Tidak mungkin kalau ular, kalau ular
niscaya gadis ini telah dibeset tubuhnya. Tapi ini, ah... sebuah misteri.
Manusiakah" Apakah ada manusia yang mempu-
nyai taring" Iblis atau setankah" Tapi aku rasa setan tak ada yang doyan darah
manusia, kecuali siluman. Heh, ya, ini jelas manusia yang berilmu siluman yang
berbuat begini, akan aku selidiki."
Dengan tanpa dibantu orang lain, Jaka
Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman dari Ka-
wah Chandra Bilawa dengan segera menguburkan
mayat gadis itu.
Setelah mengubur mayat gadis itu, dengan
segera Jaka Ndableg berkelebat pergi menuju ke
kampung terdekat untuk mencari keterangan
dengan adanya kematian gadis-gadis yang telah
menjadi desas-desus di dunia persilakan.
Sedang Jaka berjalan-jalan untuk mencari
kedai dikarenakan perutnya telah lapar, terdengar olehnya suara orang berteriak-
teriak tengah bertempur.
Jaka segera memasang pendengarannya.
Lalu ketika telah pasti betul bahwa memang ten-
gah terjadi pertempuran yang tak jauh dari tem-
patnya lewat, Jaka pun segera berkelebat menuju ke asal suara itu. Dan memang
benar, di situ tampak dua orang tengah bertempur.
Jaka tersentak kaget, ketika tahu siapa
yang tengah berkelahi. Gadis yang tengah berke-
lahi dengan seorang lelaki tua berkepala botak dan berwajah sangar itu, tak lain
dari pada murid tunggal Ki Mertanu, si Ayu Sakiti.
Mulanya Jaka bermaksud hanya menonton
saja karena merasa tak perlu turun tangan untuk membantu Ayu Sakiti yang
diketahuinya mempunyai ilmu tidak rendah. Namun ketika melihat
Ayu Sakiti terdesak dan nyawanya hendak teran-
cam oleh senjata rantai yang dipegang oleh lelaki tua musuhnya, dengan segera
Jaka berkelebat.
Dengan Pedang Siluman Darah di tangan,
Jaka segera menghadang serangan rantai maut
itu. "Minggir, Ayu Sakiti!" Bersamaan dengan suara Jaka, secepat itu pula Pedang
Siluman Darah di tangan Jaka berkelebat membabat putus rantai maut itu.
Pucat pasi wajah lelaki tua yang menyerang
Ayu Sakiti, demi melihat rantai mautnya terbabat putus oleh senjata yang berada
di tangan seorang pemuda yang tengah berdiri di hadapannya dengan bibir mengurai
senyum. Ayu Sakiti yang tahu Jaka atau Pendekar
Pedang Siluman Darah yang telah menolongnya,
hatinya seketika berbunga gembira.
"Siapa kau, anak muda" Mengapa kau
mencampuri urusan kami!" bentak lelaki tua berkepala gundul.
"Aku bukannya hendak mencampuri uru-
sanmu, bila kau tidak bermaksud membunuh ga-
dis ini. Tapi karena kau bermaksud mencelakai
gadis ini, maka aku pun tak akan tinggal diam
begitu saja," kata Jaka dengan tenangnya.
"Apa sangkut pautmu. Aku berurusan den-
gan gadis yang berada di sampingmu karena ia telah membunuh kelima murid-
Kisah Si Naga Langit 7 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Tandu Terbang 3
^