Pencarian

Kitab Pembawa Bencana 1

Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana Bagian 1


KITAB PEMBAWA BENCANA
Oleh Sandro S. Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Kitab Pembawa Bencana
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Kitab Banyu Geni yang diberikan oleh ka-
kek gurunya melalui perantara Resi Wisang Geni, menjadi incaran para kaum
persilatan, yang ingin memiliki sekaligus ingin mempelajarinya. Para
pendekar telah mengetahui bahwa Kitab Banyu
Geni kini telah lenyap dari tempatnya. Sudahkah anda baca Episode Bocah Kembaran
Setan" Di si-tu telah dikatakan bahwa para pendekar banyak
yang mati manakala menuju ke Lembah Bangkai
untuk mencari Kitab Banyu Geni, sebab kitab tersebut ternyata dalam penjagaan
prajurit Resi Wisang Geni yang terdiri dari para Jin.
Para pendekar dari dua golongan di dunia
persilatan tidak tahu siapa sebenarnya yang telah mendapatkan kitab sakti dan
dahsyat tersebut.
Mereka hanya tahu bahwa kitab tersebut
telah lenyap dari Lembah Bangkai. Di lingkaran
kematian yang biasanya ada batu tegak sebagai
tonggak telah roboh batu itu.
Jaladri dan Jaladru, dua orang kakak be-
radik kembar dari perguruan Cakar Naga telah
datang ke tempat tersebut. Keduanya juga ber-
maksud mencari kitab tersebut, sekaligus untuk
melihat Bocah Kembaran Setan. Namun sesam-
painya di Lembah Bangkai, mereka berdua hanya
menemukan tulang belulang bekas manusia mati.
"Mungkin ini sisa-sisa tulang para prajurit dari beberapa perguruan yang datang
untuk memperebutkan Bocah Kembaran Setan terse-
but," kata Jaladri, matanya memandang dengan menyipit pada tulang belulang yang
berserakan. "Ya! Mungkin," jawab Jaladru.
"Kalau begitu sungguh dahsyat pertempu-
ran itu, Jaladru."
"Mungkin, Kakang."
"Sayang kita terlambat datang, Adikku."
"Benar. Kalau saja kita sudah sampai di si-ni," Jaladru menggumam. "Tapi kita
juga untung, Kakang."
"Mengapa kau berkata begitu, Adik?"
"Ya! Coba saja kalau kita sampai di sini
saat Bocah Kembaran Setan masih merajalela,
bukankah kita juga akan menerima nasib seperti
mereka?" Jaladru menunjuk tulang-tulang yang berserakan, lalu gumamnya kemudian.
"Sungguh dahsyat bocah itu. Ia mampu membinasakan
orang sebanyak ini yang terdiri dari para kaum
persilatan. Dan mungkin di sini ada terdapat tokoh persilatan dari Perserikatan
Iblis yang na- manya di dunia persilatan sangat kondang."
"Benar juga katamu, Adik," Jaladri menambahkan. "Ah, sudahlah. Bukankah kita ke
si-ni untuk mencari Kitab Banyu Geni!?"
"Benar! Ayo, kita turun." Dengan segera kedua pendekar kakak beradik tersebut
menuruni Lembah Bangkai menuju tempat yang dinamakan
Lingkaran Kematian. Keduanya sejenak terpaku,
manakala melihat apa yang terjadi. Ternyata me-
reka tak merasakan apa yang dikatakan oleh
orang-orang. Mereka tak mendapatkan halangan
atau pun kematian yang seperti dirasakan oleh
orang-orang lain sebelum mereka. "Aneh, Kakang." "Ya!" jawab Jaladri pendek.
"Bukankah ka-ta para pendekar, bahwa siapa saja yang mema-
suki Lingkaran Maut ini akan mati?" tanya Jaladru. "Tetapi mengapa kita tidak
mengalaminya?"
Jaladri dan Jaladru terheran-heran sendiri,
sehingga keduanya nampak terdiam untuk bebe-
rapa saat mematung dengan mata mereka men-
gawasi tempat tersebut. Ada sebuah batu panjang besar dengan tengah-tengah
berlubang tergeletak.
Sepertinya batu tersebut dicabut dari tanah. Dan memang benar, batu tersebut
dicabut dari tanah.
"Lihat, Kakang! Apakah bukan batu ini
yang untuk menyimpan Kitab Banyu Geni?" Jaladru berseru seraya hampiri batu
tersebut, diikuti oleh Jaladri yang juga merasa tertarik dengan seruan adiknya.
Keduanya jongkok, mengawasi lu-
bang yang terdapat di tengah-tengah batu terse-
but. "Benar! Batu inilah tempat kitab tersebut,"
Jaladri bergumam setelah memperhatikan dengan
teliti keadaan batu tersebut. "Kalau begitu kita telah kedahuluan oleh orang
lain, Adikku."
"Sia-sia kita dari jauh datang kemari, Ka-
kang." "Kita jangan putus asa dulu, Adik. Kita belum gagal sepenuhnya," Jaladri
mencoba menghibur diri, juga adiknya yang nampak kecewa. "Bukankah yang telah
mendapatkan kitab tersebut
seorang manusia?"
"Ya!" jawab Jaladru pendek, nadanya putus asa. "Nah, untuk apa kita diberi bekal
oleh guru kalau kita tidak dapat merebut kitab tersebut?"
Jaladri kembali menghibur, menjadikan Jaladru
manggut-manggut. "Kita diberi bekal ilmu tinggi, percuma kalau kita harus putus
asa." "Benar juga, Kakang. Mari kita cari orang
tersebut."
Dengan sekali lompat, kedua kakak bera-
dik kembar itu segera keluar dari lingkaran maut, Kedua kakak beradik kembar
tersebut bermaksud
meninggalkan Lembah Bangkai, manakala ter-
dengar seruan seseorang yang menghentikan me-
reka. "Ki Sanak sekalian, tunggu!"
"Hem, siapa yang berteriak itu, Kakang?"
"Entahlah, Adik."
Seorang lelaki tua setengah baya nampak
berlari menuju ke arah mereka. Wajah orang itu
nampak tidak baik-baik, menggambarkan bahwa
orang tersebut bukan orang yang bertujuan baik
pula. Kedua kakak beradik kembar itu tetap ber-
diri, menunggu kedatangan orang tersebut.
"Ki Sanak memanggil kami?" tanya Jaladri.
"Ya!" jawab orang itu pendek. "Namaku Takasita. Aku berasal dari negeri Nippon."
"Kami tahu. Dari cara pakaianmu, kami
tahu kalau Ki Sanak bukan orang pribumi. Yang
kami tanyakan, ada keperluan apakah Ki Sanak
menghentikan langkah kami?" tanya Jaladru agak jengkel.
"Ki Sanak berdua dari Lembah Bangkai?"
"Ya!" jawab Jaladri. "Memang kami dari Lembah Bangkai."
"Ah, kebetulan!" Takasita nampak tersenyum, menjadikan kedua kakak beradik
kembar tersebut kerutkan kening. "Kebetulan sekali, jadi aku tak susah-susah mencari-
carinya." "Hai, apa yang kau maksud, Ki Sanak?" Jaladri kembali menanya, bingung tak
mengerti dengan ucapan Takasita.
"Bukankah Ki Sanak berdua dari Lembah
Bangkai?" kembali Takasita mengulang tanya, sepertinya hendak memastikan jawaban
kedua orang yang ditanya.
"Benar! Ki Sanak ini mau mengapa" Kata-
kanlah! Jangan sampai kami naik darah!" Jaladru nampak sewot. Darah mudanya
membludak, seakan ingin muncrat dari ubun-ubun.
"Oh, janganlah Ki Sanak berdua begitu se-
wotnya," Takasita nampak tenang, seakan mere-mehkan kakak beradik kembar di
hadapannya. "Aku hanya mau meminta pada kalian apa yang telah kalian bawa dari Lembah
Bangkai." Terbelalak mata kedua kakak beradik
kembar mendengar ucapan Takasita. Mereka bu-
kannya takut bertarung dengan pendekar dari
negeri Nippon ini, tetapi mereka saja tidak dapat apa-apa, eh malah disangka
telah mendapatkan
kitab tersebut. Bagaimana pun, jelas kedua kakak beradik kembar Jaladri dan
Jaladru tersinggung.
"Kurang ajar, orang ini!" gumam hati Jaladri.
"Bangsat! Rupanya orang-orang Nippon ju-
ga telah mendengar mengenai kitab tersebut.
Hem...." Jaladru menggumam dalam hati.
"Bagaimana, Ki Sanak berdua?" Takasita kembali menanya, menjadikan kedua kakak
beradik kembar tersebut makin menjadi-jadi ama-
rahnya. "Kalian serahkanlah pada kami, tentu kalian akan mendapatkan kemuliaan
dari Sang Sin- to." "Setan Belang! Kau kira kami apa!" Jaladru menggeretak marah. Harga dirinya
sebagai seorang anak Pribumi seakan diinjak oleh bangsa
lain. "Jangan kira kau akan semudah itu, orang asing!" "Tenang, Adikku."
"Dia sudah keterlaluan, Kakang."
"Kuharap, tenang dulu, biarkan ia hendak
bagaimana," Jaladri terus mencoba menenangkan kemarahan adiknya. Di pandanginya
Takasita, seakan ingin mengorek segala apa yang ada pada
pendekar negeri Nippon. Jaladri mencoba terse-
nyum ramah, lalu katanya kemudian: "Ki Sanak, kami harap engkau janganlah
mengharapkan apa
yang tidak ada pada diri kami. Kami memang dari Lembah Bangkai, tapi kami tak
mendapatkan apa-apa." "He, he, he...! Kau jangan berdusta, Ki Sanak," Takasita masih tak mau percaya.
Matanya yang sipit terus memandang dengan jalang dan
liar ke arah dua kakak beradik kembar yang juga memandang ke arahnya. "Ki Sanak,
jangan sampai aku marah, dan menurunkan tangan jahat
pada kalian."
"Edan! Kau berani mengancam pada kami,
orang asing!" Jaladru membentak marah. "Kau ki-ra kami takut dengan gertakanmu.
Huh! Jangan harap kami akan mundur dengan orang seperti
dirimu!" "Kau menantangku, Ki Sanak?"
"Huh, mesti takut apa aku padamu!" Jaladru benar-benar sudah tak dapat menahan
emo- sinya. Matanya nampak merah, membara bagai-
kan menyalakan api.
"Jadi kalian tak mau menyerahkan kitab
tersebut!" Jaladri tersenyum.
"Kalau pun kitab tersebut ada berada di
tangan kami, jelas kami tak akan menyerahkan-
nya padamu. Apalagi kini kami tidak menda-
patkannya," Jaladri berkata tenang, tidak seperti adiknya.
Takasita mendengus, lalu dengan cepat
menghunus samurainya dari sarung. "Srang...!"
Mata Takasita melotot, sepertinya samurai di tangannya menghendaki agar dirinya
segera meng- adakan penyerangan terhadap dua orang pribumi
tersebut. Tangan yang menggenggam Samurai
nampak bergetar, ada kekuatan yang menyeret-
nya untuk melakukan tindakan. Dan...!
"Kalian akan menyesal, hiat...!"
Takasita berkelebat dengan samurainya
menyerang ke arah dua orang kakak beradik
kembar. Samurai di tangannya berkelebat ganas,
seakan mempunyai mata. Samurai mengkilap pu-
tih perak itu terus mencerca kedua kakak beradik
kembar yang segera mengelakkannya.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mati,
orang asing!" maki Jaladru.
"Srang...!" Jaladru pun hunus pedang,
"Kakang, orang ini memang mencari gara-
gara!" "Memang, Adik. Lakukan apa yang kau mampu! Beri pelajaran padanya agar
tahu siapa kita!" Jaladri memberi dorongan pada adiknya yang dengan segera kembali melompat
memapaki serangan Takasita.
"Ayo orang asing, kita main-main!"
"Huah! Kau tak akan mampu, hiat...!"
Dua pendekar dari dua negara itu berkele-
bat dengan pedang di tangan masing-masing.
Samurai di tangan Takasita terus mencerca ke
arah Jaladru, namun Jaladru yang sudah mem-
punyai pengalaman tak mau dengan begitu saja
mengalah. Jaladru pun dengan pedangnya berge-
rak cepat balik menyerang.
"Trang...!"
Terdengar dua buah benda baja beradu,
manakala keduanya saling tebaskan pedang. Dua
buah pedang saling beradu, menempel lekat ba-
gaikan ada lemnya. Sebenarnya mereka kini ten-
gah mengadu tenaga dalam yang disalurkan pada
pedang mereka masing-masing. Tangan keduanya
nampak bergetar, mata keduanya melotot marah.
Dari pedang yang menempel keluar asap menge-
pul. "Hiat...!" Takasita memekik.
"Hiat...!"
Dua orang itu kembali melompat ke bela-
kang dengan tangan masih memegang pedang.
Takasita tersenyum kecut, pedang samurai me-
nyilang di mukanya. Sementara Jaladru nampak
menggambarkan wajahnya dengan bengis. Pe-
dangnya dimiringkan ke kanan, seolah-olah
memberikan tanda bahwa dirinya telah siap un-
tuk menentukan hidup atau mati. Mata keduanya
saling pandang, dengan mulut mengatup rapat


Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak ada yang bicara. Napas keduanya mendengus,
lalu dengan kembali memekik keduanya berkele-
bat menyerang. "Hiat...!"
"Hiaaaaattt...!"
"Trang! Trang! Trang!"
Pedang mereka saling adu, melompat kem-
bali, lalu balik menyerang dengan tebasan-
tebasan pedang. Pertarungan keduanya nampak
seru. Keduanya sama-sama mahir dalam meng-
gunakan pedang, sama-sama lincah dan gesit.
Kini tubuh keduanya tak kentara lagi, hilang tergulung oleh sinar pedang mereka
yang bergerak dengan cepatnya.
Sementara Jaladru bertarung, Jaladri pun
terus mengawasi adiknya. Jaladri pun nampak te-
lah siaga penuh, siap membantu bila adiknya ternyata tak mampu mengalahkan
pendekar dari negeri Nippon tersebut. Mata Jaladri membeliak, tak percaya bahwa adiknya telah
mampu mengimbangi jurus-jurus yang dilancarkan oleh pen-
dekar Nippon tersebut.
"Hem, sungguh pesat kemajuan adikku,"
gumam Jaladri. Pertarungan kedua pendekar dengan senja-
ta pedang terus berjalan. Tebasan-tebasan pedang mereka, menjadikan suara
berdesir keras menjadikan angin yang menggelegar.
"Wuuuut! Wuuuut! Wuuu!"
Jaladru tebaskan pedangnya ke segenap
penjuru tubuh lawan. Pedangnya nampak berin-
gas, seakan ingin menghabisi apa yang ada di tubuh Takasita. Tersentak juga
Takasita melihat il-mu pedang yang digunakan oleh lawannya. Belum
pernah ia melihat ilmu pedang yang dahsyat, se-
perti yang kini ia lihat. Tetapi sebagai seorang pendekar yang dipercaya oleh
kaisar untuk me-nunaikan tugas, jelas Takasita tak mau mengalah begitu saja.
Percuma kalau ia mengalah atau gen-tar dengan orang-orang pribumi, kalau harus
jauh-jauh ia datang ke mari.
"Wuut...!"
Takasita balik menyerang, disertai dengan
lompatan tubuhnya yang bergerak ringan. Gera-
kan tubuh Takasita bagaikan gerakan seekor rase yang lincah, sehingga setiap
tebasan pedang Jaladru tak ada sebuah pun yang mengena sasar-
annya. Perlahan namun pasti, Takasita salurkan
tenaganya ke pedang samurainya. Nampak samu-
rai itu kini memerah laksana menyala, menjadi-
kan Jaladru seketika terkesima melompat mun-
dur berseru kaget.
"Ilmu Iblis!"
"He, he, he...! Kau telah tahu siapa aku,
bukan?" Takasita tertawa bergelak, sepertinya merasa telah menang menghadapi
pendekar tanah Jawa yang sudah kesohor. "Aku harap kalian mengakui
kekalahannya."
"Adikku, minggirlah! Biar aku yang bergan-
ti!" Jaladri yang melihat bahwa adiknya nampak tersentak kaget melihat ilmu
lawan segera berseru. "Minggirlah! Biar aku mencobanya!"
Jaladri segera melompat menghadang pen-
dekar dari Nippon itu. Kini Jaladri benar-benar hendak mencoba sampai seberapa
ilmu yang dimiliki oleh pendekar tersebut. Sengaja Jaladri pusatkan tenaga dalam
tingkat tingginya pada tan-
gan kanan, dimana tangan itu kini memegang pe-
dang. "Ki Sanak, aku harap Ki Sanak tidak canggung-canggung memberikan pelajaran
padaku," Jaladri berkata merendah, sebenarnya dalam ka-
ta-kata itu tersimpan sebuah kesombongan. Na-
mun dikarenakan pendekar dari Nippon tersebut
telah mampu membuat adiknya tersentak, Jaladri
berkata tidak terus terang, tapi dengan sindiran halus. "He, he, he...! Memang
itu yang aku mau!
Jangankan memberi pelajaran padamu, menjadi
ketuamu pun aku sanggup!"
"Sombong!" dengus Jaladri dalam hati.
"Hem, baiklah, Ki Sanak. Kalau engkau memang mampu memberikan pelajaran padaku,
maka aku akan mau dan sudi menjadi anak buahmu. Tetapi
jika kau yang kalah, maka aku harap kau ming-
gat dari tanah Jawa ini."
"He, he, he...! Kita mulai...?"
"Terserah padamu, Ki Sanak."
"Bersiaplah!"
Takasita memandangkan mata tajam,
menghunjam dengan penuh kesombongan. Begitu
pula dengan Jaladri, matanya nampak memancar
penuh kebengisan. Memang Jaladri dan adiknya
dididik oleh seorang tokoh keras, yang pikirannya sedikit miring. Tokoh tersebut
pernah merajai dunia persilatan selama dua kali dasa warsa. Tokoh tersebut
bernama Jalakumba atau Pendekar Sinting dari gunung Kidul. Setelah sepuluh tahun
menghilang entah kemana, tiba-tiba Pendekar
Sinting itu muncul kembali dengan mendirikan
sebuah perguruan Cakar Naga. Dan dua orang
kakak beradik kembar tersebutlah muridnya.
"Hiat...!" Takasita memekik, lalu berbarengan dengan pekikannya Takasita
berkelebat dengan samurainya menyerang. Jaladri yang te-
lah tahu kehebatan samurai tersebut, dengan pe-
nuh kewaspadaan balik menyerang.
"Wuuut! Wuuut! Wuuuut...!"
Pedang di tangan Jaladri berkelebat, mem-
babat ke arah pedang samurai sekaligus menang-
kisnya. Dua buah pedang tersebut saling beradu.
"Trang...!" Percikan api keluar dari beradunya dua pedang, menjadikan keduanya
tersen- tak kaget. Mata Takasita melotot, tak percaya pa-da kenyataan yang ada, bahwa
musuhnya kini bukanlah orang sembarangan. Terbukti tangan-
nya nampak kesemutan manakala pedang mereka
beradu. Walau di bibir Takasita tersenyum, na-
mun senyum itu hanya berupa menutupi kekage-
tannya. Takasita segera melompat mundur, dan
seperti biasanya ia silangkan samurainya di mu-
ka. Sementara Jaladri yang sudah tahu sebe-
rapa ilmu lawan, nampak tenang. Disilangkannya
tangan ke muka, sehingga pedang miring ke
samping kiri tubuhnya. Walau ia telah tahu sam-
pai seberapa ilmu lawan, namun Jaladri tak mau
merendahkan begitu saja. Jaladri masih terngiang kata-kata gurunya, bahwa orang-
orang sombong akan selalu lengah.
"Hiattt...!" Takasita memekik, lalu dengan cepat berkelebat dengan Samurainya
menyerang. "Hiiaaattt...!" Jaladri segera memapakinya.
Dua tubuh itu segera melesat laksana terbang.
Keduanya dengan pedang siap menentukan sega-
la-galanya. Pedang-pedang di tangan keduanya
berkelebat, cepat bagaikan tebasan-tebasan pe-
nuh tenaga. Jaladri lemparkan tubuh ke samping, lalu dengan kebat dihentakkan
tangan kanannya.
Tersentak Takasita melihat musuhnya. Ge-
rakan musuhnya begitu aneh dan sulit untuk di-
lakukan bagi orang biasa. Bagaimana mungkin
orang bergerak membaliki serangan" Kalau bukan
orang berilmu tinggi, tentunya gerakan yang dilakukan Jaladri adalah gerakan
bunuh diri. Sebab
dengan mudah, musuh akan segera menjadikan
dirinya perkedel.
"Wuuut...!"
Takasita mencoba menyerang, babatkan
pedang ke tubuh Jaladri yang membalik. Namun
secepat kilat Jaladri rundukkan tubuh dan tusu-
kan pedang ke arah Takasita. Takasita yang tidak menyangka bakal musuhnya
berbuat demikian,
tanpa ampun lagi tertusuk matanya oleh ujung
pedang. "Aaah...!" Takasita memekik, tubuhnya seketika goyah dan doyong ke belakang.
Darah me- leleh dari mata kirinya, yang pecah akibat tusukan pedang Jaladri.
Melihat Takasita terkapar dengan berle-
potkan darah, seketika Jaladru hendak mengak-
hirinya dengan pedang. Namun secepatnya Jala-
dri melarangnya seraya berkata: "Biarkan ia hidup untuk bukti pada pimpinannya
bahwa susah untuk orang asing macam-macam di tanah Jawa."
"Tapi, Kakang...?"
"Maksudmu dia akan menuntut balas?"
tanya Jaladri pada adiknya, yang mengangguk
mengiyakan. Jaladri tersenyum, lalu kembali berkata. "Kalaulah mereka ingin
membalas dendam, tentunya mereka harus berpikir seribu kali untuk berbuat itu."
Takasita masih kelojotan menahan sakit.
Darah masih meleleh dari mata kirinya yang han-
cur. Dengan tertatih-tatih Takasita bangkit.
"Kenapa engkau tak membunuhku?"
Jaladri tersenyum, lalu katanya: "Aku tak
mau melumuri tanganku dengan darah kematian.
Nah, kau telah kalah, maka aku minta kau sece-
patnya minggat angkat kaki dari tanah Jawa!"
"Akan aku balas semuanya ini!" Takasita
segera berkelebat pergi dengan mata kiri yang
hancur, meninggalkan Jaladri dan Jaladru yang
hanya memandang kepergiannya. Tak berapa la-
ma kemudian setelah Takasita pergi, kedua kakak beradik kembar itu pun
berkelebat meninggalkan
Lembah Bangkai yang kembali sepi. Bercakan da-
rah yang keluar dari mata Takasita, kini meng-
gambar di situ, sepertinya memberi bukti bahwa
di tempat tersebutlah awal dari segalanya. Apa
yang bakal terjadi dengan Takasita" Dan apa yang akan melanda tanah Jawa
nantinya" Tunggulah
kisah Jaka Ndableg selanjutnya dalam Judul
DENDAM NINJA MERAH DARI NIPPON.
2 Lelaki tua itu berjalan agak bongkok. Kaki-
kakinya yang kecil, seakan tak kuat membawa
beban tubuhnya. Mungkin karena ketuaan, yang
menjadikan jalannya harus tertatih-tatih. Di
punggungnya, sebuah buntelan yang terbuat dari
kain putih nampak bergayut. Mata tuanya me-
mandang pada samping kanan dan kiri jalannya,
yang terbentang dua dataran tinggi. Dan memang
dataran tinggi tersebut membentang dari Barat
sampai ke Timur, seakan menjadi pagar jalanan
setapak yang sedang ia lalui.
Lelaki tua itu berjalan dengan santai, sea-
kan ia tengah menikmati keindahan alam yang di-
laluinya. Terkadang matanya memandang, lalu
mengecap-ngecap bagaikan ngantuk. Lelaki tua
itu bernama Sumping Tindik. Dan memang kalau
kita melihat pada telinganya dengan cermat, kita akan melihat sebuah sumping*
(Anting yang hanya batangnya saja) melekat di bawah telin-
ganya. Orang boleh mengatakan ia genit, dan
memang dia genit. Dia seorang pendekar tua go-
longan hitam yang suka usilan dengan pemuda
ganteng. Dia adalah wadam atau bencong.
Sampai seusianya, Sumping Tindik tidak
nikah. Hal itu dikarenakan dia tidak menyukai
wanita, tetapi ia menyukai sesamanya yaitu kaum lelaki. "He, he, he...! Dengan
aku membawa bungkusan ini, aku yakin banyak orang-orang yang
mengira akulah pemilik Kitab Banyu Geni. He, he, he...!" Sumping Tindik tertawa
terkekeh. "Hem, aneh benar orang-orang. Kitab yang mereka belum tahu di mana
adanya mereka buru."
Sumping Tindik terus berjalan, mengelok
jalanan, lalu terus lurus entah ke mana. Lang-
kahnya tertatih, namun bila dilihat dengan cer-
mat, Sumping Tindik bukannya berjalan biasa.
Kakinya bagaikan tak menginjak tanah, ngam-
bang. Jelas ia tengah menunjukkan betapa ting-
ginya ilmu meringankan tubuhnya. Ilmu merin-
gankan tubuh yang sudah tinggi, sukar untuk
melakukan bila orang tersebut belum benar-benar sempurna lahir dan batinnya.
Ilmu tersebut bernama Larian Bayang Setan. Sebuah ilmu langka
yang hanya dimiliki oleh tokoh persilatan dari
perguruan Semeru saja. Dan yang memilikinya
hanya terdiri dari lima orang yang di antaranya
Sumping Tindik sendiri.
"Aku yakin, dengan cara demikian aku
akan mampu mendapatkan keterangan siapa
adanya orang pemilik Kitab Banyu Geni. Sebab
bukan tidak mungkin, orang tersebut akan men-
cak-mencak bila geger aku memiliki kitab terse-
but. He, he, he.,.!" kembali Sumping Tindik berkata sendiri, tertawa terkekeh
sendiri membayang-
kan segala apa khayalannya bakal terlaksana.
Tengah Sumping Tindik berjalan sambil
tersenyum-senyum, nampak dari arah Timur se-
seorang berjalan berlawanan dengan arah yang
ditujunya. Wajah orang itu nampak menggambar-
kan tergesa-gesa, sehingga ia seakan tak hirau-
kan dengan Sumping Tindik manakala berlalu
melewatinya. Jarak antara orang tersebut dengan Sump-
ing Tindik makin jauh, manakala orang setengah
baya itu terhenti langkahnya seakan tercenung
sendiri. Orang itu membalikkan tubuhnya, me-
mandang pada arah Timur di mana Sumping Tin-
dik berjalan terus melangkah. Namun Sumping
Tindik telah menghilang di kelokan, menjadikan
orang tersebut kerutkan kening.
"Hem, ke mana lelaki tua renta itu?" gumamnya. "Aku lihat tadi di pundaknya ada
sebuah bungkusan. Apakah tidak mungkin bung-


Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kusan tersebut adalah Kitab Banyu Geni..."
Orang itu datang dari wilayah Kulon, berarti dari arah Lembah Bangkai. Hem, aku
harus mengejarnya, siapa tahu memang dia membawa kitab
tersebut! Siapa tahu dia yang memang beruntung
mendapatkan kitab tersebut, lalu disembunyi-
kannya dahulu di sebuah tempat, dan kemudian
baru diambilnya setelah keadaan sudah tenang...
hem, ya! Aku akan mengejarnya!"
Merasa yakin bahwa dugaannya benar, se-
gera orang tersebut berlari mengejar ke arah di mana Sumping Tindik menuju.
Dengan ilmu larinya, orang tersebut berkelebat cepat hingga dalam sekejap saja
ia telah mampu menyusul.
"Orang tua... tunggu...!" ia berteriak.
Sumping Tindik hentikan langkah, paling-
kan muka sesaat, lalu bagaikan tak acuh Sump-
ing Tindik kembali melangkah meninggalkan tem-
patnya. Hal itu menjadikan lelaki setengah baya yang mengejar mangkel. Dengan
agak dongkol lelaki tersebut kembali berlari mengejar. Hatinya keki melihat
tingkah laku si kakek; seolah-olah kakek itu menyepelekannya. Maka dengan sekali
kebat saja, tiba-tiba lelaki setengah baya itu telah menghadang langkah Sumping
Tindik yang cen-gar-cengir bagaikan orang linglung.
"He, he, he...! Ada apa kau nguber-nguber
aku" Apakah kau demen padaku?" Sumping Tindik cekikikan, mengedipkan mata dengan
genit- nya. "Ganteng bukan mukaku?"
Lelaki setengah baya itu jengkel bukan
alang kepalang, mendengar ucapan kakek terse-
but. Merah mukanya, matanya, sepertinya lelaki
setengah baya itu telah membludak amarahnya
yang sudah tidak terbendung lagi.
"Cih! Aku bukan mengejarmu karena tergi-
la-gila padamu, Sumping Tindik!" maki lelaki se-
tengah baya. "Jangankan aku, kakek-kakek sepertimu juga tak akan mau dengan
dirimu, orang norak!" "He, he, he...!" Sumping Tindik tertawa.
"Lalu apa yang menjadikan kau mengejar-ngejar diriku, Krenggil?" Sumping Tindik
bagaikan tak marah dihina sedemikian rupa. Malah dengan
masih cengegesan ia berkata.
"Aku membutuhkan apa yang kau bawa."
"He, he, he...! Sudah aku duga," Sumping Tindik berkata dengan nada kebencong-
bencongannya, sembar dan merendahkan pada
Krenggil. "Memang orang-orang akan mengejar-ngejarku kalau mereka tahu bahwa aku
telah mendapatkan apa yang mereka cari-cari selama
ini." "Jadi benar apa yang aku katakan."
"Kau berkata apa?" Sumping Tindik berkata sinis, cibirkan bibirnya. "Enak saja
kau yang ngomong!"
Krenggil sebenarnya sudah tak tahan meli-
hat tingkah laku bencong tua ini. Namun karena
ada hal yang dimaksud, menjadikan Krenggil ha-
rus menahan amarahnya. Krenggil menghendaki
kakek angin-anginan ini akan mau memberikan
kitab Banyu Geni yang ada dalam bungkusannya
dengan baik-baik. Bukankah itu akan memudah-
kannya" Tak perlu lagi Krenggil bersusah payah
mencari, atau pun harus bertempur dengan ka-
kek bencong ini.
"Sumping Tindik, aku mohon kau mau
memberikan kitab tersebut."
"Kitab apa...?" tanya Sumping Tindik, sepertinya ia tak mengerti saja maksud
ucapan Krenggil "Kau jangan pura-pura, Sumping!" bentak Krenggil marah.
"Aku tidak berpura-pura. Kaulah yang
mungkin berpura-pura saja."
Mengerut alis mata Krenggil mendengar
ucapan Sumping Tindik. Hatinya panas, mele-
dak-ledak bagaikan letupan api yang tak dapat di-tahan lagi. Napasnya mendengus
besar, meng- gambarkan bahwa Krenggil benar-benar sudah
muak dengan tingkah laku si kakek bencong ini.
"Kau mau menyerahkan tidak, Sumping!"
dengus Krenggil.
"Apa yang mesti aku serahkan, orang tolol!"
balas Sumping Tindik tak kalah kerasnya, menja-
dikan dengungan di telinga Krenggil. "Kalau kau mau mengambilnya, mengapa mesti
meminta-minta padaku"!"
"Jadi kau tak mau menyerahkan kitab
itu"!" "Heh, sudah aku bilang, aku tak perduli denganmu!"
"Kurang ajar!" geretak Krenggil.
"Kau yang kurang ajar!"
"Setan!"
"Kau yang setan!"
Dua orang dari aliran sama itu saling adu
mulut. Keduanya saling bentak saling maki den-
gan segala kemarahan. Sepertinya kedua orang
tersebut tak ada yang mau mengalah. Dan pun-
cak dari segalanya, keduanya saling tantang me-
nantang untuk meneruskan pada adu ilmu mere-
ka "Aku lumatkan tubuh tuamu yang lapuk
itu, Sumping!"
Sumping Tindik sunggingkan senyum, sinis
dan berkata dengan nada mengejek "Lakukan bila engkau mampu, Krenggil!"
"Bujang lapuk!"
Bukan alang kepalang kemarahan Sump-
ing Tindik mendengar ucapan Krenggil yang men-
gatakan dirinya bujang lapuk. Maka dengan mata
melotot disertai dengan napas memburu liar,
Sumping Tindik balik membentak: "Bangsat! Kau telah menghinaku. Kau harus mati!
Kau harus mati, hu, hu...."
Dengan menangis Sumping Tindik berkele-
bat menyerang Krenggil. Segera Krenggil yang tidak mau dirinya jadi korban
cakaran kuku si ka-
kek lompatkan tubuh mengelak.
"Wuuuttt...!"
Sumping Tindik sabetkan tangannya den-
gan kuku-kuku panjang hitam ke arah Krenggil.
Angin pukulannya menderu, menjadikan Krenggil
tersentak kaget, buang mukanya dan kirim ten-
dangan ke arah perut Sumping Tindik yang men-
dalam karena Sumping Tindik doyongkan tubuh
ke muka. Namun ternyata segala serangan yang
dilancarkan Sumping Tindik hanyalah tipuan be-
laka. Dan manakala kaki Krenggil hendak sampai, segera Sumping Tindik ulurkan
tangan ke bawah
menangkap. Gerakan ini terkenal dengan jurus
Kera Gila Menyelamkan Buaya. Sebuah gerakan
yang cepat dan dilandasi dengan tenaga yang be-
sar, mirip dengan tenaga orang gila.
Tersentak Krenggil melihat gerakan lawan.
Maka dengan segera ia tarik kembali kakinya, dan ajukan jotosan ke arah muka
musuh dengan jurus Gada Laksa Dewa Brahma. Dari jotosan itu
anginnya saja nampak begitu panas membara,
apalagi bila bogem mentah itu menerpa muka,
sungguh tidak dapat dibayangkan. Tetapi bukan-
lah Sumping Tindik kalau harus mengalah begitu
saja pada musuh. Melihat musuhnya mengelua-
rkan jurus inti, Sumping Tindik tertawa gelak, la-lu dengan cepat ia rubah
gerakan tangan dan ka-
kinya. Gerakan tangan dan kakinya sungguh
aneh, tak lajimnya digunakan oleh orang persilatan. Setiap tangan Krenggil maju
yang kanan, maka Sumping Tindik ajukan kaki sebelah kiri
dengan tangan kanan menyiku, lalu siku itu
menghantam dekat ke arah muka lawan. Itulah
jurus Belah Gelombang, sebuah jurus yang mam-
pu menjadikan musuh harus menarik diri dari ja-
raknya. Kalau tidak, maka mukanya akan remuk
tersiku "Uut...!" Krenggil memekik, lemparkan kepalanya ke samping, hindari
sikutan tersebut.
"Rupanya kau makin hebat saja, Sumping?"
"He, he, he...! Dari dulu kau tahu bahwa
aku memang hebat, bukan?" ucap Sumping Tindik sombong. "Kalau aku tidak hebat,
manalah mungkin aku mendapat sebutan pendekar" Dan
mana mungkin aku mampu merajai dunia persi-
latan" He, he, he..."
"Kau boleh berbangga dengan apa yang te-
lah engkau dapatkan dulu, namun kini kau harus
tunduk padaku."
"Et! Tidak bisa, sobat." Mendengus Krenggil mendengar ucapan si kakek. Ia memang
tahu bahwa ilmu kakek ini sungguh tinggi. Namun ia
tak ingin segalanya gagal. Ia harus mampu mere-
but apa yang ada di punggung si kakek, yang tentunya adalah barang yang ia cari.
"Sumping, bagaimana jika kita damai sa-
ja?" "Maksudmu...?" tanya Sumping Tindik de-mi mendengar ucapan Krenggil yang
baginya aneh. Jelas aneh, sebab keduanya memang dari
dulu walau sealiran selalu saja ada perselisihan.
Dan kalau memang keduanya bersahabat, jelas
itu tidak mungkin mereka lakukan. Keduanya ba-
gaikan anjing dan kucing, walau tidak pernah saling menjatuhkan, tetapi cara
mereka bersaing benar-benar merupakan permusuhan secara tidak
langsung. Krenggil yang yakin kalau dalam bungku-
san itu tak lain hanyalah kitab Banyu Geni tersenyum, mencoba ramah. Ia berharap
si kakek mau luluh juga hatinya. Walau pun mereka selalu bersaing untuk mendapatkan nama di
dunia persila- tan, tetapi mereka bukankah masih satu golon-
gan" Siapa tahu persaingan keduanya dapat ter-
selesaikan dengan adanya kitab tersebut. Tapi di hati Krenggil sungguh lain.
Bukan harapan itu
yang ada, melainkan sebuah kelicikan.
"Hem, kalau aku mampu mengelabuhinya,
urusan dirinya bukanlah masalah. Apakah tidak
mudah melenyapkannya?" kata hati Krenggil.
"Heh, mengapa engkau terdiam" Kalau
engkau sudah kapok, segeralah minggat dari ha-
dapanku!" bentak Sumping Tindik tak sabar melihat Krenggil masih terdiam.
"Tunggu! Bagaimana kalau kitab tersebut
kita pelajari berdua" Bukankah dengan kita ber-
dua menjadi satu maka aliran kita akan menjadi
kokoh?" Krenggil mencoba merayu, dengan harapan hati Sumping Tindik mau
menerimanya. Dan
memang Sumping Tindik nampak terdiam, seper-
tinya tengah menimbang apa yang menjadi saran
Krenggil. "Dasar licik! Disangkanya aku tidak tahu
maksud busuknya!" umpat hati Sumping Tindik.
"Jangan kira aku akan menerima akal busukmu walau kitab itu sebenarnya tidak
berada di tanganku!"
"Tidak...!"
"Sumping... Kau menolaknya!?"
"Ya!" jawab Sumping Tindik tenang.
"Kau menginginkan mati, Sumping!"
Sumping Tindik tersenyum mendengar
ucapan Krenggil. Dirasakannya ucapan Krenggil
tak ubahnya hanya ucapan orang gendeng yang
tengah menghayal. "Mati..." Heh, kau bilang aku mencari kematian. Itu memang,
Krenggil! Nah, kalau kau memang mampu membuatku mati,
maka aku akan menyerahkan kitab yang aku ba-
wa ini untukmu!"
"Edan! Kau benar-benar edan, Sumping!"
"Kau yang edan! Kau yang berteriak-teriak
kaya orang edan!"
"Bangsat! Dasar, bujang lapuk!"
"Bedebah! Kau telah menghinaku dua kali,
maka jangan salahkan kalau aku akan bertindak
kelewatan padamu. Hiat...!"
Tak dapat lagi kemarahan Sumping Tindik
dicegah demi mendengar sindiran yang baginya
terasa menghantam dahsyat dilontarkan oleh
Krenggil untuk kedua kalinya. Kakek bencong itu kini bagaikan banteng ketaton
berkelebat menyerang membabi buta. Dan sungguh dahsyat han-
tamannya. Karena hantamannya, seketika pe-
pohonan yang ada di situ tumbang. Bebatuan
yang menjadi pagar bergemuruh runtuh ke ba-
wah. Terbelalak mata Krenggil menyaksikan hal
itu. Hatinya kini diliputi rasa takut. Tak ia sangka kalau ilmu kakek tua
bencong ini makin bertambah saja. Namun untuk menghindar, jelas ia tidak akan
mampu. Maka hanya melompat ke sana
kemari saja yang dapat ia lakukan mengelakkan
serangan si kakek.
"Aku bunuh kau, Krenggil! Aku bunuh! Hu,
hu, hu...!"
Dengan menangis Sumping Tindik terus
lancarkan serangan ganasnya mencerca Krenggil.
Tak ada kesempatan bagi Krenggil untuk menge-
lakkannya dan pergi. Krenggil hanya mampu
mengelakkan di tempat tersebut, sebuah tempat
yang sangat tidak membuatnya leluasa bergerak.
"Edan! Kalau begini aku tak akan selamat!"
Krenggil menggerutu dalam hatinya yang ciut.
"Wuuut...!"
Segelombang angin berkelebat mengarah
ke arahnya, menjadikan Krenggil tersentak. Den-
gan gugup Krenggil yang sudah dalam keadaan
terdesak balik menyerang dengan pukulannya.
"Wuuut...!"
"Bledar...!" Ledakan seketika terdengar, manakala dua kekuatan tersebut bertemu.
Akibat dari beradunya dua kekuatan tersebut, tak ayal
kedua orang yang melontarkannya pun terdorong
ke belakang. Krenggil terhempas jatuh ke tanah
dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya, sementara si kakek tubuhnya
tergontai-gontai. Na-


Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mun si kakek masih mampu berdiri, memandang
dengan senyum mengulas di bibirnya.
Krenggil yang sudah merasa tak bakalan
ungkulan, serta merta dengan masih memegangi
badannya yang sesak tinggalkan tempat tersebut
sebelum si kakek melihatnya. Dan tinggallah si
kakek terlonglong bengong melihat musuhnya te-
lah tak ada di tempat tersebut. Merasa yakin
bahwa musuhnya tentunya melarikan diri, segera
si kakek pun berkelebat menyusul.
3 Kitab Banyu Geni yang telah hilang dari
tempat asalnya yaitu Lembah Bangkai, kini be-
nar-benar menjadi ajang rebutan yang membawa
petaka bagi dunia persilatan. Semua tokoh-tokoh persilatan kini mengalihkan
perhatiannya pada
Sumping Tindik yang menurut kabar telah memi-
liki kitab tersebut.
Sungguh-sungguh kitab pembawa benca-
na, sebab belum tentu mereka mendapatkan ki-
tab tersebut, tetapi mereka telah rela membuang nyawa sia-sia.
Dari kejauhan nampak sebuah kereta
agung yang ditarik oleh empat ekor kuda melaju
dengan cepatnya menyusuri jalanan berbatu. Ke-
reta itu datangnya dari arah Timur, melaju menu-ju ke arah Barat. Setelah
mendapatkan tikungan
pertama, kereta itu rubah haluan, melaju menuju ke arah Utara. Penunggang kereta
tersebut nampak dua orang, ditambah dengan kusir dan dua
pengawal. Bila dilihat dari pakaian yang dikenakan
oleh mereka, jelas mereka adalah orang-orang
tingkat ksatria atau dengan kata lain orang-orang dalem istana. Dan memang
mereka terdiri dari
orang kalangan istana yang ditugaskan untuk
mencari kitab yang telah meresahkan dunia persilatan. Salah seorang
penunggangnya tak lain
pangeran Salendra Wangsa, yang didampingi oleh
adiknya pangeran Sangkar Samudra. Dua orang
pangeran muda tersebut sengaja hendak mencari
Kitab Banyu Geni dikarenakan keduanya diutus
oleh guru-guru mereka untuk mencari kitab ter-
sebut. Disamping keduanya langsung mencari,
juga telah disebar pengumuman mengenai penca-
rian kitab tersebut. Isi pengumuman tersebut
adalah: "Barang siapa yang dapat menyerahkan ki-
tab tersebut pada kerajaan, maka orang tersebut akan diangkat menjadi prajurit
atau panglima prajurit di Kerajaan."
"Paman Klower, apa tak dapat kuda diper-
cepat larinya?" yang berkata pangeran Salendra Wangsa. "Usahakanlah kuda-kuda
ini dipercepat, sebab hari sebentar lagi akan beranjak menjadi malam. Bisa-bisa
kita perangkap di tengah jalan."
"Daulat, Pangeran," jawab Klower, lalu dengan segera digebahnya lari sang kuda.
"Hia, hia, hia...!"
Kuda-kuda tersebutpun bagaikan kegira-
san berlari dengan cepatnya, menerobos hutan
untuk mencari jalan yang pintas. Namun mana-
kala mereka benar-benar berada di tengah hutan, tiba-tiba kuda-kuda penarik
kereta meringkik keras, hentikan larinya. Hal itu menjadikan kedua pangeran
tersebut tersentak kaget, bertanya pada kusirnya.
"Ada apa, Klower?" yang bertanya pangeran Sangkar Samudra seraya longokkan
kepala keluar. "Mengapa kuda-kuda itu?"
"Entahlah, Pangeran."
"Suyud, kau keluarlah. Mengapa kuda-
kuda itu?" Salendra Wangsa memerintah, yang dengan segera dilaksanakan oleh
prajuritnya yang bernama Suyud. Suyud segera keluar, melangkah
ke depan sambil mencari-cari gerangan apa hing-
ga kuda-kuda tersebut berhenti.
"Ada apa, Suyud?" tanya Sangkar Samu-
dra. Suyud nampak masih berusaha mencari
apa penyebab hingga kuda-kuda penarik kereta
menghentikan larinya" Suyud makin masuk ke
dalam, melangkah dengan hati-hati. Suyud terus
melangkah dengan golok siap tergenggam di tan-
gan, masuk merambah semak belukar dalam hu-
tan. Semua yang ada di kereta tegang, seakan
langkah-langkah Suyud adalah langkah-langkah
yang memastikan mereka. Sementara gelap mulai
agak merambah, menjadikan bayang-bayang hi-
tam bagi mereka.
"Aaah...!"
"Suyud...!" Pangeran Saledra Wangsa memekik, manakala terdengar pekikan Suyud
dari dalam hutan. Dengan sigap sang pangeran ber-
sama adiknya dan seorang pengawalnya melom-
pat menuju ke tempat di mana Suyud memekik.
Lari mereka begitu cepat, sehingga ketiganya bagaikan terbang melesat.
"Suyud...!"
Mata ketiganya mendelik, manakala meli-
hat apa yang ada di hadapan mereka. Tubuh
Suyud, tergeletak bermandikan darah di tanah
dengan nyawa telah melayang. Kedua pangeran
itu seketika nampak liar, menyapu gelapnya ma-
lam dalam hutan itu. Mata keduanya begitu bera-
pi, seakan hendak membakar apa saja yang ada
di situ. "Kalian yang ada di sini, keluarlah! Hadapi
aku, Sangkar Segara!" Sangkar Segara menggeretak marah, sehingga tanpa ada rasa
takut ia berteriak. "Anjing, Monyet, Iblis, Dedemit! Kalau kalian memang manusia
atau apapun, tunjukkan
muka-muka kalian! Cepat...!"
Tak ada jawaban, dan hanya desah angin
malam yang menerpa mereka.
"Kita rambah hutan ini, Kakang."
"Baiklah," Salendra Wangsa menyetujui.
Namun segera ia teringat pada kusirnya yang me-
reka tinggalkan. "Tunggu dinda, apakah mang Klower kita tinggal?"
"Ah, benar!" Sangkar Samudra mendesah, manakala ingat bahwa di antara mereka
ternyata masih ada orang lain. "Ayo, Kakang. Kita jangan sampai kedahuluan oleh orang
lain." Dengan segera ketiga orang tersebut kem-
bali menuju ke tempat di mana kereta berada.
Dan betapa mereka kembali terbengong-bengong
dengan mata melotot kaget disertai amarah yang
meluap-luap. Apa yang mereka saksikan, sung-
guh-sungguh membuat darah kedua pangeran
dan seorang prajuritnya mendidih. Mereka me-
nyaksikan tubuh mang Klower sudah tak bernya-
wa lagi, mati dengan mata mendelik. Ada tali
mengikat lehernya.
"Bangsat rendah! Rupanya mereka hendak
main-main dengan kita, Kakang"!"
"Memang benar! Mereka sengaja memecah
kita. Maka itu, kalian berdua jangan jauh-jauh
dariku." Ketiga orang dari istana itu melangkah per-
lahan, meninggalkan kembali kereta yang masih
terdiam dengan sesosok mayat teman mereka.
"Kresek...!"
Terdengar suara daun kering diinjak, men-
jadikan mata ketiganya membelalak dan meman-
dang ke arah suara gemereseknya daun kering
tersebut. "Hati-hati, musuh telah dekat," Pangeran Salendra Wangsa berbisik memperingatkan
adik dan prajuritnya.
Mereka terus melangkah dengan hati-hati,
makin merambah ke tengah hutan yang makin
gelap. Makin lama-makin ke dalam saja mereka
melangkah. Namun sejauh itu, belum ada tanda-
tanda bahwa mereka akan menemukan jejak-jejak
orang yang telah membunuh prajurit dan tukang
kusirnya. "Hem, kemana mereka" Apakah mereka
bukan manusia?" tanya Sangkar Segara yang sudah tak sabar nampak menggeretak.
Tangannya telah siap dengan pedang terhunus. Dengan seka-
li kebat saja Sangkar Segara telah mendahului
kakak dan prajuritnya memburu ke depan. Dan
bagaikan orang gila saja, Sangkar Segara te-
baskan pedangnya membabat segala apa saja
yang ada. Mulutnya tiada henti memaki dan men-
gumpat-umpat. "Bangsat! Keluar kalian jika kalian memang laki-laki! Keluar!
Hadapi aku Sang-
kar Segara!"
Sangkar Segara terus mengumbar amarah-
nya, babatkan pedang dengan liar dan jalang. Tak dipikirkan olehnya segala apa
yang bakal ia tang-
gung. Kemarahannya benar-benar tak terkendali,
membara bagaikan nyala api yang siap membakar
segalanya. Salendra Wangsa dan seorang praju-
ritnya tak dapat berkata apa-apa. Keduanya
hanya mengikuti langkah adiknya menuju makin
ke dalam hutan yang makin menyeramkan. Se-
mentara Sangkar Samudra masih terus berteriak-
teriak dengan segala amarahnya. Pedang di tan-
gannya masih berkelebat membabat segala apa
saja. * * * Makin ketiganya masuk ke dalam, seketika
terdengar kembali suara lolongan anjing hutan
yang panjang. Mungkin kalau manusia biasa
akan mengira bahwa lolongan itu benar-benar lo-
longan anjing hutan. Tapi bagi mereka, jelas bah-wa lolongan tersebut tak lain
sebuah isyarat dari seseorang. Demi mendengar hal tersebut, segera
ketiganya bersiap dengan senjata mereka. Salen-
dra Wangsa cabut keris pusakanya, sementara
seorang prajuritnya cabut golok.
"Aauuuuuunngggg...!" kembali terdengar lolongan.
"Hati-hati, adik. Ini sebuah isyarat."
Dan benar juga apa yang dikatakan oleh
Salendra Wangsa adanya. Belum saja mereka ber-
tindak lebih jauh, tiba-tiba berkelebat beberapa sosok tubuh hitam-hitam
menghadang mereka
dengan pedang putih mengkilap siap menyerang.
Ketiga orang tersebut tersentak, mundur tiga tin-
dak. "Ninja...!" pekik Suroso, prajurit.
"Heh, rupanya orang-orang Nippon telah
menjarah tanah Jawa," Sangkar Segara turut menggumam. "Apa yang kalian cari di
negeri ka-mi, hah!"
Tak ada jawaban dari mereka. Hanya mata
mereka yang nampak saja yang memandang den-
gan tajam tanpa kedip. Napas mereka mende-
ngus. Lalu dengan cepat mereka berkelebat me-
nyerang ke arah ketiganya.
"Hiat...!"
"Edan! Mereka tak mengenal kompromi ru-
panya," dengus Sangkar Segara. "Awas, Kakang...!"
Salendra Wangsa dengan sigap elakkan
babatan samurai di tangan mereka, lalu dengan
sebat dia pun balik menyerang dengan menusuk
ke arah lawan. Pertarungan tiga dikeroyok oleh
puluhan orang itu pun tak dapat dihindarkan.
Mereka bergerak dalam gelapnya malam. Dan
hanya sinar-sinar pedang mereka yang nampak
berkelebat-kelebat saling serang, tusuk, dan elak.
"Hiat...!" Sangkar Segara yang sudah marah terus mengamuk, babatkan pedangnya.
Sungguh dahsyat babatan pedang murid Resi
Rama Kreta ini. Setiap babatannya, tak ayal lagi membawa pekikan kematian bagi
musuh. Namun musuh-musuhnya bukanlah orang-
orang sembarangan. Mereka tak lain murid-murid
dari perguruan Samurai Merah yang sudah terla-
tih dengan segala keberaniannya dan siap untuk
menghadapi segala kemungkinan. Dua orang mati
di tangan Sangkar Segara, tidak menjadikan yang lainnya surut, bahkan dengan
beringas lainnya
merangsek. "Wuuut...!"
Sebuah samurai berkelebat membabat ke
arah Sangkar Segara, yang dengan segera elakkan serangan, melompat ke belakang.
Namun ternyata para ninja itu tak mau membiarkan lawannya da-
pat leluasa bergerak. Segera mereka kembali me-
rangsek. Samurai di tangan mereka terus mem-
babat, menjadikan Sangkar Segara harus meng-
gunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk
mengimbangi gerakkan mereka yang gesit dan ce-
pat tersebut. "Wuut! Wuut! Wuuuutt...!"
"Sret...!"
Tersentak Sangkar Segara dengan mata
membeliak bercampur marah. Bagaimana tidak,
kini pipinya tergores oleh senjata para ninja.
Goresan tersebut menjadikan darah meleleh
membasahi pipinya sebelah kiri. Sangkar Segara
menggeram laksana harimau kelaparan, dan den-
gan cepat babatkan pedangnya.
"Kalian harus minggat dari sini! Hiat...!"
"Wuut...!"
Gerakan pedang Sangkar Segara begitu ce-
pat, makin lama iramanya makin cepat. Tubuh
Sangkar Segara tiba-tiba menghilang, lenyap di-
gulung oleh sinar pedangnya yang bergulung-
gulung bagaikan gangsing.
Terbelalak para ninja yang mengeroyoknya,
manakala melihat musuhnya mampu melakukan
sebuah gerakan yang sukar untuk ditentukan ke-
beradaannya. Sinar gulungan pedang Sangkar


Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segara terus bergerak menyerang mereka, yang
hanya mampu menyurut mundur, tidak dapat la-
gi dengan seenaknya balas menyerang.
"Aaaaaaahhh...!"
Tiga kali berturut-turut terdengar lolongan
panjang, manakala pedang di tangan Sangkar Se-
gara membabat cepat. Tiga sosok tertutup kain
hitam roboh bermandikan darah, ambruk, sesaat
mengejang hingga akhirnya tergeletak dengan
nyawa putus. Namun seperti semula, para ninja
itu tak hiraukan kematian teman-teman mereka.
Para ninja yang masih hidup kembali merangsek,
malah mereka nampak makin beringas saja me-
nyerang. Di pihak lain, nampak Salendra Wangsa
dengan kerisnya terus menyerang. Begitu juga
dengan prajuritnya yang bersenjatakan golok. Keduanya nampak tak lagi memberikan
kesempatan pada para ninja untuk mengatur posisi mereka.
Keduanya terus memberikan tekanan-tekanan
yang sangat sukar untuk dilepaskan oleh para
ninja. Keris di tangan Wangsa terus mencerca,
menusuk-nusuk ke arah dada lawan, menjadikan
lawan harus hati-hati sekali menghadapi keris
pusaka tersebut. Sambaran keris pusakanya saja
mampu mengundang hawa panas yang teramat
sangat. Mata para Ninja membeliak tak percaya,
sebab baru kali ini mereka melihat senjata aneh.
Sebuah senjata pendek yang mampu menggetar-
kan hati mereka.
Pertarungan tiga melawan puluhan Ninja
itu terus berlangsung. Korban di pihak para Ninja terus berjatuhan. Namun
demikian, para Ninja
merah sepertinya tak mengenal rasa takut. Sekali teman mereka tergeletak mati,
maka yang lainnya kembali merangsek.
"Sungguh kalian mencari mati, berani ber-
keliaran di tanah Jawa ini!" bentak Salendra Wangsa, yang terus merangsek dengan
kerisnya. Tubuh Salendra Wangsa kini berkelebat dengan
cepat, terbang dengan keris menusuk-nusuk dari
atas menghunjam ke kepala para Ninja.
Para Ninja tersebut tersentak kaget, tak ki-
ra kalau musuhnya mampu melakukan gerakan
seperti yang mereka kadang lakukan. Dan mana-
kala mereka dalam kekagetan, tiba-tiba Salendra Wangsa telah menukik turun.
Tangannya terjurus
lurus ke bawah, siap hujamkan keris pusaka.
"Hiat...!"
"Cros! Cros! Cros...!"
Keris di tangan Salendra Wangsa bergerak
bagaikan mempunyai mata. Keris itu bergerak ce-
pat, menusuk-nusuk kepala lawan, menjadikan
pekikan-pekikan kematian. Sebanyak lima orang
Ninja seketika meregang nyawa, memekik sesaat,
lalu akhirnya terkulai lemas dengan nyawa me-
layang. Namun keberhasilan kedua pangeran ter-
sebut, tidak diikuti oleh prajuritnya. Dalam sekejap, tubuh prajurit itu
tercincang habis oleh tebasan-tebasan samurai di tangan para Ninja.
"Aaaaaaaaaaa.....!"
Tak ayal lagi, dalam sekejap saja tubuh
prajurit tersebut borat-baret dengan luka-luka
yang menganga mengeluarkan darah segar. Se-
saat tubuh prajurit itu meregang, lalu ambruk
dengan tubuh hancur dan mata melotot, mati.
Tak alang kepalang lagi betapa gusar dan
marahnya kedua pangeran itu melihat sisa pen-
gawalnya telah kembali menemui kematian. Mata
keduanya menyorot memendam hawa bengis pe-
nuh kematian. "Bangsat-bangsat Nippon! Kalian harus
enyah dari bumi ini, hiat...!" Sangkar Segara menggeretak marah. Kini dirinya
nampak makin beringas dan penuh nafsu untuk menyarangkan
pedangnya ke tubuh musuh-musuhnya. Dan
memang benar, setiap kali kelebatan pedangnya,
menyusul pekikan kematian para Ninja yang ter-
babat dengan puntung kepala mereka. Kini giliran para Ninja lainnya yang
membeliak kaget. Sungguh di luar dugaan mereka, kalau pangeran dari
tanah Jawa ini mampu berbuat yang di luar du-
gaan mereka. "Hati-hati, Adikku...!" Salendra Wangsa memperingatkan. Dirinya juga kini
bagaikan seekor burung Rajawali yang ganas, siap mematuk
kepala musuh dengan keris pusaka di tangannya.
Sungguh-sungguh gerakan kedua pangeran Jawa
itu buas, liar dan penuh mengarah pada kema-
tian. Dan rupanya memang begitu akibatnya. Da-
lam beberapa gebrakan saja, para Ninja itu di-
biarkan tidak berdaya sama sekali. Mereka hanya mampu bertahan, lalu akhirnya
menjerit dan ro-
boh dengan tubuh terbeset atau kepala bolong
tertusuk-tusuk oleh keris Salendra Wangsa.
Melihat teman-temannya binasa, tiba-tiba
salah seorang Ninja kembali mengaung: "Aaaau-ung...!" Bersamaan dengan aungan
tersebut, ninja-ninja yang lainnya tiba-tiba menghilang menerobos ke bumi. Semua
Ninja yang masih hidup be-
nar-benar menghilang, masuk ke dalam bumi se-
telah terlebih dahulu meledakkan sebuah benda
kecil ke arah kedua pangeran Jawa.
Terbelalak mata Salendra Wangsa dan
Sangkar Segara melihat hal tersebut. Belum per-
nah keduanya melihat sebuah kejadian aneh,
layaknya seperti yang sekarang mereka hadapi.
Mata kedua pangeran Jawa itu membeliak, berpu-
tar memandang ke arah di mana para Ninja ter-
sebut menghilang. Keduanya nampak waspada,
takut kalau-kalau para Ninja itu muncul kembali.
Dan rupanya dugaan keduanya benar. Ninja-ninja
tersebut kembali muncul, bertambah banyak sa-
ja. "Edan! Rupanya mereka mengundang te-
man-teman mereka!" menggeretak Sangkar Sa-
mudra. Melompat ke belakang, manakala kakinya
tiba-tiba hendak dibetot ke bawah. "Kurang ajar, hiat...!" Pertarungan para
Ninja dan kedua pangeran Jawa itu kembali terjadi. Para Ninja itu kini makin
bertambah banyak, berterbangan dari atas
pohon, serta nongol dari bawah tanah. Kini kedua pangeran itu benar-benar harus
menguras tenaga
mereka untuk menghadapi para Ninja yang makin
bertambah banyak. Kini kedua pangeran Jawa
tersebut tidak lagi harus memandang para Ninja.
Keduanya benar-benar harus menutup mata un-
tuk mampu menghalau serangan. Dalam hati me-
reka hanya ada dua pilihan, membunuh atau di-
bunuh oleh para Ninja dari negeri Nippon yang
terkenal berangasan dan kejam.
"Pangeran Jawa, lebih baik kalian menye-
rahlah!" terdengar seruan seseorang, manakala kedua pangeran itu tengah terus
berkelebat menyerang.
"Bangsat! Keluar dirimu! Jangan bisanya
hanya ngomong di belakang!" balik membentak Salendra Wangsa. "Kalau kau ingin
kami menyerah, maka langkahi dulu mayat kami! Keluarlah
kau, kalau kau benar-benar seorang lelaki!"
"Kunyuk! Kau kira aku apa, hah!" Sangkar Segara tak kalah marahnya. Sambil
tebaskan pedang yang membawa kematian bagi musuhnya ia
terus menggeretak marah. "Kalau kau memang ketuanya Ninja-ninja dungu ini,
keluarlah! Hadapi kami, Monyet!"
"Hua, ha, ha...! Tak perlu aku keluar.
Tunggulah, pasti kalian berdua akan menda-
patkan hal yang sekiranya kalian belum pernah
merasakannya."
"Bangsat! Akan aku leburkan semua anak
buahmu ini, hiat!"
Sangkar Segara benar-benar sudah tak da-
pat menahan amarah. Tubuhnya berkelebat den-
gan cepat. Pedang di tangannya, laksana Dewa
kematian yang setiap kebasannya menjadikan pa-
ra musuh harus mengerang sesaat dan akhirnya
tergeletak tanpa nyawa.
Sangkar Segara benar-benar tak mengenal
kompromi, terus mencerca seakan tak memberi-
kan peluang sedikit pun bagi para Ninja. Kebatan pedangnya mampu menjadikan mata
para Ninja membeliak, menahan napas. Hampir semua Nin-
ja-ninja itu terpupus di tangan kedua pangeran
Jawa yang makin beringas dan lapar oleh korban, manakala sebuah bayangan merah
berkelebat, menghadang keduanya.
"Siapa kau!" bentak kedua pangeran Jawa itu bareng.
"Hua, ha, ha...! Aku Ninja Merah dari nege-ri Nippon. Aku sengaja datang kemari
semata- mata ingin menyerukan pada orang-orang tanah
Jawa untuk menyerah, lalu menjadi pengikutku!"
"Bangsat! Jangan kira kau akan mampu,
Monyet!" Sangkar Segara menggeretak, lalu dengan cepat berkelebat menyerang ke
arah si Ninja Merah yang dengan sigap bagaikan tak berarti serangan Sangkar
Segara mengelakkannya.
Melihat musuhnya mampu mengelak,
Sangkar Segara yang sudah dibakar amarah terus
berusaha merangsek. Sementara Salendra Wang-
sa terus mencerca para Ninja yang terbengong di-am, menjadikan mereka harus
menerima segala
resiko. Tanpa ampun lagi, dalam sekejap saja tubuh-tubuh mereka terbabat cepat
oleh keris di tangan Salendra Wangsa. Betapa gusarnya Ninja
yang lain menyaksikan hal tersebut. Bagaikan
banteng ketaton mereka kembali merangsek,
mengeroyok Salendra Wangsa dengan tebasan-
tebasan Samurai bergantian.
"Wuuut...!"
"Ihh...!" Salendra Wangsa memekik tertahan. Hampir saja dirinya menjadi mangsa
empuk samurai di tangan mereka yang tajam, kalau saja ia tidak segera berkelebat
mengelakkannya. Sambil menggeretak marah, Salendra Wangsa kembali
menyerang mereka gencar. "Kalian harus mampus, hiat...!"
Mungkin karena dirasuki oleh amarah yang
meluap-luap, menjadikan Salendran Wangsa
nampak merah matanya. Tangannya bergerak ce-
pat, babatkan dan tusukan keris dengan cepat.
Keris di tangannya nampak menyala merah, se-
pertinya membersitkan api yang membara.
Pertarungan terus berlanjut, mereka nam-
paknya tak akan mau ada yang mengalah. Satu
tujuan mereka, hidup untuk menang atau mati
kalah. Kelebatan-kelebatan mereka, menjadikan
sebuah bayang-bayang warna pakaian mereka
memecah malam. Jurus demi jurus terus terlalui, seakan mereka tak akan ada yang
mau mengalah atau menang. Enam puluh jurus sudah terlampaui, na-
mun nampaknya mereka tak merasakan capai
atau penat. Rupanya dalam pertarungan itu
hanya keberuntungan yang mampu berbicara.
Maka sudah dapat dipastikan. Barang siapa yang
nasibnya baik, tentunya akan menang. Dan ba-
rang siapa yang nasibnya buruk, dialah yang
akan mengalami kehancuran.
Tatkala kedua pangeran itu terdesak hebat
oleh serangan-serangan para Ninja pimpinan Nin-
ja Merah, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
hantamkan pukulan ke arah para ninja tersebut.
"Wuuuttt...!"
"Duar!"
Sebuah ledakan seketika menggema, ma-
nakala pukulan yang dilontarkan dari jarak jauh itu menghantamkan tubuh Ninja
Merah. Tak ayal
lagi, Ninja Merah seketika terpental ke belakang, melayang sesaat dan akhirnya
jatuh terkulai di
atas tanah. Dari cadar yang dipakainya, nampak
meleleh darah segar.
Tidak hanya Ninja Merah yang menjadi sa-
saran hantaman orang yang baru datang, tetapi
juga, semua yang ada di tempat tersebut. Tanpa
ayal lagi, anak buah Ninja Merah pun terhantam, berhamburan laksana tertiup
badai. Tubuh mereka mencelat, lalu menjerit sesaat dan akhirnya
mati. Sementara Ninja Merah yang merasa tak
bakalan ungkulan melawan orang tersebut, tiba-
tiba lenyap menghilang dengan didahului oleh sebuah ledakan.
Tinggallah kini kedua pangeran kakak be-
radik yang masih terbengong-bengong sendiri.
Keduanya tak tahu siapa yang telah berbuat me-
nyelamatkan diri mereka dari keroyokan Ninja-
ninja tersebut. Keduanya berusaha mencari, na-
mun orang yang dicari tak ada di situ atau di sekeliling tempat tersebut.
Bayangan merah saja
yang berkelebat bagaikan terbang, meninggalkan
hutan tersebut.
"Siapakah orang berpakaian merah itu,
Kakang?" "Entahlah. Yang pasti ia telah menolong ki-ta," jawab Salendra Wangsa. "Mari
kita teruskan perjalanan."
Kedua kakak beradik pangeran tersebut
dengan hati bertanya-tanya siapa adanya bayan-
gan berpakaian merah terus melangkah kembali
untuk melanjutkan perjalanan mereka. Dan ma-
lam pun kian larut, menyelimuti bumi yang nam-
pak sunyi-senyap. Malam itu sebagai saksi, bah-
wa di hutan tersebut adalah awal dari segala yang kelak bakal terjadi. Siapakah
bayangan berpakaian merah yang telah menolong kedua pange-
ran Jawa itu" Para pembaca dapat mengetahui
dalam episode "Dendam Ninja Merah dari Nippon."


Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

4 Sementara di dunia persilatan semua tokoh
dan para pendekar disibukan dengan mencari Ki-
tab Banyu Geni, yang telah hilang dari tempatnya dan entah kemana mereka tak
tahu hingga mereka selalu saling tuduh, sampai-sampai dari negeri Nippon pun tak
mau ketinggalan mendatangkan
pasukan ninjanya dengan tujuan yang sama yaitu
mencari kitab tersebut. Di balik segala bencana yang di timbulkan oleh Kitab
Banyu Geni, Jaka
Ndableg sebagai pewarisnya saat itu belum men-
getahui apa yang kini melanda dunia persilatan.
Dan karena kitab tersebut mendatangkan benca-
na, sehingga orang-orang persilatan menamakan-
nya Kitab Pembawa Bencana.
Pagi itu nampak Jaka Ndableg tengah te-
kun membaca kitab yang saat ini menjadi rebut
an para pendekar. Kitab tersebut tidak lain Kitab Banyu Geni. Saking tekunnya
Jaka mempelajari
kitab tersebut, sampai-sampai kedatangan seseo-
rang ke arahnya tidak diketahui.
Lelaki tua renta berjanggut putih dengan
pakaian ala resi berdiri di belakang Jaka yang
duduk bersila dengan mata tak henti memandang
tulisan dan gambar-gambar yang ada dalam buku
tersebut. Buku yang terbuat dari lembaran-
lembaran kulit hewan, ditata sedemikian rupa.
Lelaki tua itu tampak tak bermaksud
mengganggu ketenangan Jaka mempelajari kitab
tersebut. Ia hanya memandang dengan mata
mengerut, lalu kembali tersenyum. Jaka sendiri
tak mendengar kedatangannya. Mungkin karena
terlalu asyik dengan kitab yang dipelajarinya,
atau karena segala konsentrasinya berada pada
kitab tersebut. Dan memang konsentrasi Jaka
ada pada kitab tersebut, sehingga tanpa sadar
Jaka menggerakkan tangannya sesuai dengan tu-
lisan dan gambar-gambar yang berada di kitab.
"Wuuus...!"
"Wut, wut, wut...!"
Tangan Jaka bergerak cepat, hingga men-
jadikan lelaki tua yang ada berdiri di belakangnya tersentak melotot sambil
melompat mundur. Ma-
tanya tak berkedip ke arah Jaka yang tangannya
masih bergerak cepat, dan makin lama makin ce-
pat. "Wut, wut, wut!"
"Inti Geni, hiat...!"
Tersentak lelaki tua renta yang menyaksi-
kannya, manakala melihat apa yang terjadi tatka-la Jaka mengucapkan nama jurus
tersebut. Dari tangan Jaka nampak keluar jilatan-jilatan api
yang makin lama-makin banyak, bergulung-
gulung. Api tersebut bagaikan menyalak, seperti hendak mencari sasaran. Dengan
segera Jaka hentakan api yang menyala di tangannya ke arah
pepohonan yang dekat dengan tempatnya berla-
tih. "Hiat...!"
"Wuuss...!"
"Dum...!"
Ledakan dahsyat menggema, lalu diikuti
dengan tumbangnya pohon tersebut. Mata Jaka
membelalak kaget, manakala melihat apa yang te-
lah terjadi. Pohon tersebut seketika hitam legam kering kerontang, hangus
terbakar sampai daun-daunnya.
"Sungguh dahsyat!"
Jaka palingkan kepala memandang ke asal
suara yang menggumam. Di sana, di belakangnya
tak jauh dari dirinya duduk seorang lelaki tua
renta yang sudah ia kenal benar bernama Ki As-
watama tersenyum acungkan jempol sambil
manggut-manggutkan kepala.
"Baru jurus pertama sudah begitu dahsyat-
nya, apalagi bila jurus-jurus selanjutnya," Ki Aswatama kembali bergumam.
"Ah, kau terlalu merendah, Ki."
"Tidak, Jaka." Ki Aswatama berjalan meng-hampiri Jaka, lalu duduk di samping
Jaka. "Dunia persilatan dibuat kalang kabut saling tuduh menuduh untuk
mendapatkan kitab ini. Beruntung kau Jaka."
Jaka terdiam mendengar penuturan orang
tua renta yang telah makan asam garam kehidu-
pan tersebut. Di helanya napas panjang, meman-
dang terpaku pada apa yang telah diperbuat. Api masih menjalar menyelimuti pohon
yang tumbang. "Aku harus secepatnya menyelesaikan kitab, ini," gumam Jaka seraya
kembali memandang Ki Aswatama. "Kalau aku lama memendam diri, jelas dunia akan
mudah terguncang oleh
orang-orang yang mencari kesempatan."
"Memang, Jaka. Sekarang saja, selama tiga
bulan kau berada di sini, dunia persilatan diguncang oleh gegernya kitab yang
kini berada di ta-nganmu."
"Hem..." Jaka kembali menggumam. "Apakah mereka bermaksud mencarinya?"
"Ya!" jawab Ki Aswatama. "Sejak dua pendekar kakak beradik kembar mendatangi
Lembah Bangkai dan keduanya menemukan bahwa Lem-
bah Bangkai kini sudah tak ada yang ditakuti,
hampir semua orang persilatan datang berbon-
dong-bondong ke tempat tersebut."
"Untuk apa...?" tanya Jaka tak mengerti.
Ki Aswatama menarik napas panjang, lem-
parkan pandangannya ke arah kayu yang kini
menjadi arang terhantam oleh pukulan yang di-
lontarkan Jaka. Sebuah pukulan dahsyat dari ki-
tab Banyu Geni, bernama Inti Geni.
"Sungguh sebuah kitab yang berisikan
ajian-ajian dan jurus-jurus membahayakan. Aku
rasa, tak akan ada dalam abad sekarang yang
mampu menandingi isi Kitab Banyu Geni ini," Ki Aswatama berkata. "Banyu Geni.
Banyu artinya air, sedang Geni artinya api. Jadi Banyu Geni artinya Air dan Api.
Sifat dari ilmu-ilmu yang ada di kitab ini adalah panas tapi dingin. Panas bila
menghadapi musuh, tapi juga dingin dan dapat
menyembuhkan orang yang dianggap teman."
Jaka Ndableg tersentak mendengar penu-
turan Ki Aswatama yang terasa mengena. Sung-
guh orang tua ini sangat bijak dan paningal da-
lam segalanya. Mampu menganalisa apa yang
ada, tahu persis apa yang akan apa yang terjadi.
"Heh, rupanya Ki Aswatama tahu benar
akan isi kitab ini," Jaka terbelalak kaget. "Apakah Ki Aswatama telah
membacanya?"
Orang tua itu gelengkan kepala, lalu ka-
tanya: "Aku mendengar penuturan kakekmu du-lu. Aku dan kakekmu adalah teman
karib yang sukar untuk dipisahkan. Dan ketahuilah olehmu,
bahwa sebelum kakekmu mencipta kitab ini, ia
terlebih dahulu mengutarakannya padaku. Apa
isinya, juga apa kegunaannya."
"Kalau begitu, Ki Aswatama dapat mem-
bantuku?" "Sedikit, Jaka."
"Oh, terimakasih, Ki. Aku harap, Ki Aswa-
tama mau membantu diriku agar dapat dengan
cepat mempelajari isi kitab ini."
"Akan aku usahakan, Jaka. Semoga den-
gan aku membantu kau akan segera dapat kem-
bali muncul di dunia persilatan dan berjalan
kembali sebagai roda penggiling penumpas keja-
hatan dan kebatilan."
"Akan aku usahakan, Ki," Jaka tersenyum, lalu dengan segera Jaka kembali
menekuni isi kitab tersebut. Kini Jaka dibantu oleh Ki Aswatama.
Segala apa yang sekiranya sangat susah bagi di-
rinya, tak segan-segan Jaka menanyakan-nya pa-
da Ki Aswatama.
* * * Hari demi hari Jaka lalui dengan belajar
dan belajar. Sepertinya tak ada istilah lelah atau capai Jaka mempelajari isi
Kitab Banyu Geni.
Dengan bimbingan Ki Aswatama, Jaka terus me-
lalap satu persatu segala isi yang terkandung dalam Kitab Banyu Geni.
Pagi itu adalah yang keseratus hari, berarti
telah tiga bulan lebih sepuluh hari Jaka menghilang dari dunia persilatan.
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 1 Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Sumpah Palapa 10
^