Pencarian

Kutukan Brahmana Loka Arya 2

Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya Bagian 2


yang dengan segera diikuti oleh kelimanya.
Jaka tampak menggelengkan kepala setelah
kepergian mereka. Ia tak habis pikir, mengapa dirinya yang menerima senjata
pusaka itu. "Hai, siapakah na-
ma mereka" Kenapa aku tidak menanyakannya" Dan
kenapa mereka pergi dari pesanggrahan" Ah, macam-
macam saja kehidupan." Dengan perlahan Jaka segera berlalu meninggalkan makam
menuju ke pondoknya.
"Oh ya, siapa nama kalian semuanya?" ber-
tanya Jaka setelah kelima cantrik itu telah selesai makan. "Nama hamba Longkat."
"Nama hamba, Tenggiri."
"Hamba Sanur, Tuanku."
"Hamba bernama Lomber, Tuanku."
"Dan hamba, Angsono."
"Kalian semua, kenapa kalian pergi dari pe-
sanggrahan?" bertanya Jaka pada kelimanya setelah sesaat mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak kelima cantrik itu saling pandang, lalu Angsono yang paling
tertua berkata:
"Hamba diperintah oleh Wiku untuk pergi."
"Kenapa" Apakah kalian mempunyai kesala-
han?" "Tidak, Tuanku." menjawab Longkat.
"Lalu kenapa" Apakah Wiku Brahmana Loka
ada sesuatu kepentingan hingga menyuruh kalian per-
gi?" "Benar, Tuanku. Wiku menyuruh kami pergi,
karena Wiku tak menginginkan kami celaka," berkata Tenggiri.
"Celaka...?" bergumam Jaka kaget. "Celaka bagaimana?"
"Salah seorang murid Wiku yang murtad hen-
dak membuat kerusakan."
"Maksudmu, Angsono?" bertanya Jaka belum
mengerti. "Murid murtad itu telah bersekutu dengan si-
luman. Dia menghendaki pusaka milik Wiku. Wiku
memiliki dua pusaka sakti. Yang pertama keris Kyai
Sangkar, kedua Tombak Inti Jagad yang sekarang be-
rada di tangan tuan," menerangkan Angsono.
"Kenapa tidak diberikan?"
"Bahaya, Tuanku."
"Bahaya bagaimana, Angsono?" Jaka kembali
bertanya. "Kalau kedua senjata pusaka itu berada di tan-
gannya, mungkin senjata itu akan bencana."
Jaka terangguk-angguk mengerti. Dihelanya
napas panjang-panjang, sebelum akhirnya kembali
berkata. "Lalu, bagaimana dengan Tuan Brahmana Lo-ka?" "Entahlah, Tuan. Mungkin
kini tengah bertarung melawan murid murtadnya yang bersekutu den-
gan Siluman Kerta Ganda Mayit."
"Apa...! Jadi sekarang Wiku tengah menghadapi
Siluman Kerta Ganda Mayit?" bertanya Jaka terbelalak kaget. Matanya seketika
memandang tajam pada kelimanya. "Kenapa kalian malah pergi?"
"Kami disuruh pergi oleh Wiku." menjawab
Angsono seraya menundukkan muka tak berani men-
gadu pandang dengan Jaka.
Terdiam Jaka penuh rasa. Nafasnya turun naik,
memburu bagaikan memendam amarah. Kelima can-
trik di hadapannya turut hening! Begitu juga Ratih
yang duduk di sampingnya.
"Kita harus kembali," berkata Jaka kemudian.
"Maksud, Tuan?" serempak kelima cantrik bertanya tak mengerti.
"Kita harus kembali ke pesanggrahan."
"Jangan, Tuan."
"Kenapa, Longkat" Apakah kalian takut?"
"Tidak, Tuan. Kami tidak takut, tapi Wiku telah berpesan pada kami agar kami
jangan sekali-kali balik bila tombak Inti Jagad masih berada pada kami. Juga
kami disuruh mengabdi pada tuan belaka."
"Sekarang kalian telah menemui aku dan telah
menjadi abdiku. Sekarang juga, kita berangkat ke sa-
na." Tanpa dapat dicegah oleh kelima cantrik yang
akhirnya mengikuti, Jaka segera bergegas pergi menu-
ju ke pesanggrahan Brahmana Loka. Ratih pun tak ke-
tinggalan ikut serta bersama mereka.
* * * Perguruan Singa Putih...
Langit di atas perguruan Singa Putih tampak
mendung. Awan tampak bergayut dengan tebal. Angin
puyuh berhembus kencang, menyapu awan dari sela-
tan yang makin menambah menggulung. Walau men-
dung telah begitu tebalnya, namun hujan tak kunjung
jatuh. Di sebuah kursi kepemimpinan, tampak seo-
rang lelaki dengan usia 40 tahun duduk. Alis matanya nampak mengerut. Dengan
mata memandang ke luar.
"He, sepertinya pertanda buruk. Ada gerangan
apakah?" bertanya hati lelaki itu. Perlahan ia bangkit dari duduknya. Sesaat dia
berdiri, lalu melangkah keluar. Di samping perguruan, tampak murid-muridnya
tengah berlatih dipimpin oleh murid tertuanya.
"Ehm...!"
Melihat ketua perguruan datang, tanpa diko-
mando keseluruhan murid perguruan serentak menju-
ra. "Raspati...!"
"Hamba, Guru," menjawab Raspati yaitu pimpinan latihan. Ia adalah seorang murid
utama perguruan Singa Putih. Sebenarnya murid utama Singa Putih ada
lima orang yaitu, Raspati, Bambang Sodra, Rangka La-
nang, Lumajang Geni, dan Srenggani seorang murid
wanita. Namun keempat murid utama lainnya kini ten-
gah mengabdi pada kerajaan hingga tinggal Raspati
yang masih di situ.
"Raspati, tidakkah kau mempunyai firasat?"
"Firasat" Firasat apakah, Guru?" bertanya Raspati tak mengerti.
"Hem, tidakkah kau lihat mendung di langit
itu?" Raspati segera menengadahkan mukanya ke
langit. Tampak mendung seperti tak mau pergi, ber-
gayut di atas perguruan. Pertanda apakah"
"Benar, Guru. Hamba melihat mendung seper-
tinya tak beranjak pergi. Gerangan apakah, Guru?"
"Mendung itu pertanda kegelapan, Raspati,"
"Apa...?" serentak keseratus murid perguruan berseru kaget demi mendengar ucapan
ketuanya. Mata mereka seketika saling pandang, lalu sejurus kemu-
dian menatap pada ketuanya.
"Ampun, Guru. Petaka apa yang bakal tiba"
Ijinkanlah kami mengetahuinya, agar kami dapat be-
rusaha mencegahnya," bertanya Raspati.
Sejenak pemimpin Singa Putih yang bernama
Singa Amangkurat terdiam. Dihelanya napas panjang,
lalu dihembuskan perlahan. Matanya kembali menen-
gadah ke langit, di mana mendung masih. bergayut.
Tengah mereka dicekam diam, tiba-tiba terdengar sua-
ra gelak tawa panjang. Bersamaan dengan habisnya
gelak tawa itu, seketika berkelebat sesosok tubuh.
"Siapa kau"!" membentak Raspati.
"Singa Amangkurat, tidakkah kau dapat men-
gajar adat muridmu" Lancang benar ucapannya," berkata pemuda yang telah berdiri
di hadapan Singa
Amangkurat. "Maafkan kelakuan muridku, Ki Sanak. Siapa-
kah gerangan Ki Sanak sebenarnya" Lalu, ada keper-
luan apakah?"
"Amangkurat. Aku datang ke mari untuk men-
gajakmu menjadi pengikutku. Bagaimana, Amangku-
rat?" "Maaf, Ki Sanak. Kami belum mengenalmu, untuk itulah sudi kiranya Ki Sanak
mengenalkan nama."
"Namaku Cipta Angkara atau Penguasa Tunggal
Persilatan."
"Setan Alas! Jangan kau ngaco belo, Anak mu-
da!" "Amangkurat, sungguh lancang muridmu. Apa-
kah kau tidak dapat mengajarnya" Apakah aku yang
harus mengajarnya?"
"Kau terlalu lancang, Anak muda. Kau seakan
merendahkan kami. Datang tanpa permisi, tiba-tiba
kau mengaku-aku penguasa tunggal Dunia Persilatan.
Jangan mimpi!"
Geram hati Cipta Angkara mendengar ucapan
Raspati. Maka tanpa memperdulikan Singa Amangku-
rat, Cipta Angkara segera berkelebat hendak menye-
rang Raspati. Namun langkahnya seketika terhalang
oleh Amangkurat yang dengan cepat menghadangnya.
"Rupanya kau pun hendak menentangku,
Amangkurat!"
"Kalau kau berlaku baik. Aku tak akan menen-
tangmu, Anak muda." menjawab Amangkurat tenang.
"Jangan banyak dalih, Amangkurat. Katakan,
mau atau tidak kau menjadi pengikutku!"
"Tidak!" menjawab Raspati mendahului gu-
runya. "Bedebah! Rupanya murid dan guru sama.
Baik, jangan salahkan aku bertindak telengas!" memaki Cipta Angkara, lalu dengan
penuh amarah Cipta
Angkara segera menyerang.
Diserang begitu rupa, dengan segera keseratus
anak murid Singa Putih serempak maju mengurung.
Hal itu makin menjadikan amarah Cipta Angkara.
Dengan membabi buta bagai tak kenal rasa kasihan,
Cipta Angkara menghantamkan ajiannya Lebur Suk-
ma. Seketika pekik-pekik kematian pun bergema.
Melihat hal itu, serentak Raspati menghadang.
Ia tak ingin adik-adik seperguruannya mati sia-sia. Di-papakinya serangan Cipta
Angkara dengan ajian Lo-
reng Cabik. Seketika kuku-kuku tangan Raspati me-
manjang. Tubuhnya berubah sedikit demi sedikit. Mu-
kanya yang bagus, seketika berubah menjadi muka
harimau. "Auum.... Gerr...!"
"Ilmu Siluman," berkata Cipta Angkara dalam hati. "Hem, jangan kira aku tak
mampu. Tapi biarlah, akan aku hadapi dengan ajianku dulu."
"Hiaat...!"
"Auummm.... Gerr!"
Kedua makhluk itu saling loncat, bagaikan ter-
bang ke angkasa. Keduanya segera bertemu, saling
adu ilmu yang mereka miliki. Tersentak Cipta Angkara seketika, manakala ajiannya
tak berarti apa-apa bagi siluman harimau itu. Bahkan pundaknya terasa perih,
tersobek kuku runcing yang mengandung racun.
Cipta Angkara segera melentingkan tubuh jauh,
menghindari serangan Raspati yang telah berubah
menjadi harimau. Ketika ia memandang pada pundak-
nya, ia tersentak. Pundaknya membiru gelap. Darah-
nya seakan membeku.
"Racun Singa Paya. Hem, aku harus hati-hati,"
membatin Cipta Angkara. Ditatapnya lekat-lekat pun-
dak yang membiru, lalu dengan ludahnya diusapnya
luka itu. Seketika luka di pundaknya menghilang, le-
nyap tak berbekas.
"Bedebah! Jangan harap kau mampu menga-
lahkanku!"
"Aum.... Gerr!"
"Hentikan, Raspati. Dia bukan tandingan mu!"
berseru Amangkurat memperingatkan. Namun bagai-
kan tak mendengar, Raspati yang sudah dibakar ama-
rah kembali menerjang Cipta Angkara.
"Raspati!"
"Aauuummmm.'"
Raspati melolong panjang, manakala keris Kyai
Sangkar di tangan Cipta Angkara berkelebat dan me-
nikam ulu hatinya. Seketika darah memuncrat dari
badannya. Tubuh Raspati kembali berubah menjadi
manusia, ambruk dengan tubuh mengering bagai ter-
bakar. Terbelalak mata Amangkurat melihat muridnya
mati. Dengan penuh amarah Amangkurat segera ber-
kelebat menyerang Cipta Angkara.
"Kau harus membayar nyawa muridku, Iblis!"
"Hua, ha, ha.... Kau yang akan kukirim ke ak-
herat, Amangkurat. Bersiaplah!"
"Takabur! Jangan kau kira semudah kau bica-
ra, Iblis!"
"Hua, ha, ha.... Lebih baik kau menjadi pengi-
kutku, daripada kau mati percuma, Amangkurat!"
"Iblis! Jangan bermimpi di siang bolong!"
"Baik! Aku bukan bermimpi. Akan aku bukti-
kan, hiat!"
Dengan harapan dapat segera menjatuhkan
Amangkurat, Cipta Angkara tak segan-segan memakai
keris Kyai Sangkar. Dengan Kyai Sangkar di tangannya menjadikan Cipta Angkara
makin gesit. Hawa keris itu membuat nafsu membunuhnya makin menjadi-jadi.
Ditebaskan keris itu pada pundak Amangkurat yang
segera berkelit.
Amangkurat telah maklum, kalau keris itulah
yang sungguh-sungguh berbahaya. Keris Kyai Sangkar
bukanlah keris sembarangan. Bila ditempelkan pada
air laut, seketika laut akan kering. Bila ditusukkan ke gunung, akan leburlah
gunung itu menjadi debu. Keris itu juga mengandung hawa panas, hawa membunuh.
Amangkurat terus berkelit, sebisa-bisanya
menghindari keris di tangan Cipta Angkara. Namun
Cipta Angkara yang telah mengetahui bahwa lawannya
ngeri melihat kerisnya, terus mendesak.
Sekali-kali dihantamnya tubuh Amangkurat
dengan ajian yang dimiliki. Namun dengan segera
Amangkurat balas menghadang dengan ajiannya pula.
Runtuhlah ajian Cipta Angkara, ia terhempas ajian
yang dilancarkan Amangkurat.
"Suwe! Kalau begini terus menerus, tak akan
berakhir," menggeretak Cipta Angkara dalam hati. Lalu dengan segera dipusatkan
kedua tangannya memegang
keris. Diusapnya ujung keris Kyai Sangkar. Seketika
dari ujung keris keluar selarik sinar merah membara.
Tersentak Amangkurat melihat hal itu. Ia beru-
saha menghindar, namun akibatnya malah fatal. Anak
buahnya seketika menjerit, terpanggang oleh api yang menyala keluar dari ujung
keris,

Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menyerahkan, Amangkurat!"
"Jangan harapkan itu, Iblis! Aku akan mengadu
nyawa." Seketika Amangkurat terdiam, menyatukan tangan di dadanya. Sekejap
kemudian, tubuh Amangkurat telah berubah menjadi raksasa besar. Mukanya
yang berbentuk harimau, sungguh sangat menyeram-
kan, "Aauummm...!"
"He, tinggi juga ilmunya. Baik akan aku ladeni."
berkata Cipta Angkara dalam hati. Kemudian, dengan
segera Cipta Angkara melompat menyerang Amangku-
rat dengan keris Kyai Sangkar. Api membara keluar
dari ujung keris, membakar tubuh Amangkurat. Na-
mun bagaikan tak terasa, Amangkurat terus menyer-
gap Cipta Angkara. Ditangkapnya tubuh kecil Cipta
Angkara, lalu ditelannya hidup-hidup.
Sesaat Amangkurat tampak tersenyum. Namun
kemudian, Amangkurat seketika memekik. Dari perut-
nya, keluar tubuh Cipta Angkara dengan keris pusaka
berlumuran darah. Makin marah Amangkurat melihat
musuhnya dapat keluar. Dengan tubuh yang telah so-
bek di perutnya, Amangkurat kembali menyerang Cipta
Angkara. Dibantingnya tubuh Cipta Angkara hingga
pingsan. Ketika tubuh Cipta Angkara hendak diremuk-
kan oleh Amangkurat, seketika tubuh Cipta Angkara
berubah menjadi asap. Dari asap tebal berbentuk se-
sosok tubuh tinggi besar, setinggi tubuh Amangkurat.
Tersentak Amangkurat dengan mata melotot
menyaksikan hal itu. Lebih-lebih ketika ia tahu siapa yang kini berada di
hadapannya. Karena saking kagetnya, Amangkurat seketika berseru menyebut orang
yang berdiri di hadapannya.
"Kaukah kiranya, Ganda Mayit!"
"Benar, aku Amangkurat."
"Mengapa kau datang lagi ke alam manusia,
Ganda Mayit?"
"Hua, ha, ha.... Kau jangan egois, Amangkurat.
Kau juga siluman, seperti aku. Kalau kau boleh men-
ginjakkan kakimu di dunia manusia, kenapa aku ti-
dak?" "Bukankah kau telah berjanji tidak akan datang lagi?"
"Itu benar, Amangkurat. Tapi bila aku tak me-
nemukan salah seorang murid murtad Brahmana Lo-
ka. Tapi kini, aku telah bebas dari perjanjian itu. Bahkan si Brahmana Loka
telah mati di tangan muridnya
sendiri. Kini tak akan ada yang dapat menghalangi
aku. Hua, ha, ha...!"
"Jangan bermimpi, Ganda Mayit. Akulah yang
akan menghalangimu. Dan aku juga yang akan mengi-
rimmu kembali ke alam siluman."
"Hem, memang kita tak pernah bersatu,
Amangkurat. Di mana kau berada, kau adalah pengha-
langku. Untuk itu, kau harus aku singkirkan dari du-
nia ini," mendengus Ganda Mayit marah. Seketika Ganda Mayit berkelebat
menyerang. Tubuhnya yang
sebesar gunung anakan, menghantam membabi buta.
"Minggirlah kalian semua!" berseru Amangkurat memperingatkan pada anak muridnya
yang segera menyingkir. Pertarungan dua siluman itu pun terjadi.
Walau tubuh-tubuh mereka besar, namun sepertinya
tak menghalangi gerakan-gerakan silat mereka. Setiap hantaman tangan dan kaki
mereka, menjadikan suara
yang membahana.
* * * Kita tinggalkan kedua siluman yang tengah
mengadu ilmu mereka. Marilah kita tinjau Jaka dan
kelima cantrik yang tengah menuju ke pesanggrahan
milik Brahmana Loka.
Manakala ketujuh orang itu tengah berjalan
menerobos hutan, menuruni lembah dan ngarai. Tiba-
tiba langkah mereka dihentikan oleh seruan seseorang.
"Anak Gendeng. Berhenti kau!"
Jaka Ndableg yang merasa seruan itu ditujukan
padanya, dengan segera menghentikan langkahnya.
Dibalikkan tubuhnya, menghadap pada asal suara itu.
Kini tampak olehnya siapa yang telah memanggil. Ra-
tih yang berdiri di samping Jaka, seketika tersentak. Ia tahu persis siapa
adanya mereka yang tak lain Lima
Iblis Penghisap Darah.
"Kakang Jaka...." kata Ratih dengan gemetar.
"Jangan takut, Ratih. Hem, mereka belum ka-
pok. Menyingkirlah kalian." berkata Jaka memerintah.
Dengan segera, keenam orang pengikutnya pergi ber-
sembunyi. Kini tinggal Jaka sendiri, menunggu keda-
tangan kelima Iblis Penghisap Darah.
"Pucuk di cinta ulam tiba. Rupanya kita mene-
mukannya di sini, Kakang Lawer!"
"Benar adik, Suwing. Selamat ketemu kembali,
Anak edan."
"Ha, ha, ha, ha...." tertawa Jaka bergelak, menjadikan kelima Iblis Penghisap
Darah tersentak saling pandang.
"Diam! Tak ada yang lucu di sini!" membentak Lawer. "Ha, ha, ha.... Tak ada yang
lucu" Bukankah kalian memang lucu" Julukan kalian menyeramkan,
tapi nama kalian bagaikan nama para pengemis kere.
Ha, ha, ha...!"
"Monyet!"
"Apa" Kalian mengaku keturunan monyet" Pan-
tas-pantas, muka kalian memang seperti monyet."
Makin marah saja kelima Iblis Penghisap Darah
mendengar ucapan Jaka yang ngelantur. Namun begi-
tu, mereka tidak mau berlaku sembrono. Mereka telah
tahu siapa adanya pemuda di hadapannya. Pemuda
yang konyol, namun berilmu tinggi.
"Pemuda edan! Serahkan gadis yang kau bawa
itu pada kami. Maka kami akan memutuskan segala
silang sengketa denganmu."
"Klawer, ngomongmu bak raja kelaparan. See-
nak udel kau ngomong. Jangan harap aku akan me-
nyerahkan gadis itu, sebab gadis itu telah tergila-gila padaku. Kalau pun aku
serahkan, niscaya dia tak
akan mau dengan adikmu yang bermuka oncom!"
"Bedebah! Kau terlalu menghina, Bocah edan!"
"Hai, rupanya kau bisa marah juga. Apa mau-
mu, Klawer?"
"Bangsat! Serang dia!" berseru Klawer memerintah. Seketika keempat adiknya
segera menyerbu Jaka.
Golok di tangan kelima orang itu berkelebat, memba-
bat tubuh Jaka yang segera berkelit.
"Tooobaat.... Aku hendak dibikin sate?"
"Bangsat! Jangan banyak bacot!" memaki Klaw-er marah merasa diledek oleh Jaka.
"Jangan galak-galak, Oom!"
"Jangan terpengaruh dengan ocehan gilanya.
Serang terus!"
"Wuut...."
Sebatang golong berkelebat di atas kepala Jaka
yang menunduk. Jaka segera membuang tubuhnya ke
kanan, lalu dengan jari menyentil, disentilnya golok itu. Seketika golok di
tangan musuhnya patah menjadi dua. Terbelalak mata musuhnya melihat hal itu.
Melihat salah seorang musuhnya terbengong, Jaka segera
menjejakkan kakinya setelah melenting ke angkasa.
Tubuh orang yang ditumpangi, seketika amblas me-
nyerosot ke dalam tanah. Jaka baru melompat pergi
manakala tubuh musuhnya telah amblas sebatas da-
da. Bergidik keempat Iblis Penghisap Darah yang
lain demi melihat kenyataan itu. Tanpa memperduli-
kan temannya, keempatnya segera kabur.
Jaka yang memang tak bermaksud mengejar
mereka hanya tersenyum. Dihampiri orang yang terbe-
nam dalam tanah. Orang itu nampak ketakutan hingga
keringat dingin deras keluar dari pelipisnya.
"Ampunilah aku. Jangan bunuh aku," meratap orang itu.
"Heh, siapa yang mau membunuh kamu?"
"Terimakasih, Tuan pendekar. Terima kasih."
"Hua, ha, ha.... Ternyata Iblis Penghisap Darah bisa ketakutan. Hoy teman-teman,
keluarlah!"
Dari semak-semak, tampak bermunculan keli-
ma cantrik bersama Ratih. Mereka segera berlarian
menuju ke tempat Jaka yang tengah jongkok meman-
dangi musuhnya.
"Bagaimana menurut kalian" Apakah orang ini
dibiarkan saja di sini biar dikeloni sama cacing tanah?"
"Hii. Jangan, Tuan! Saya minta ampun," bergidik orang Iblis Penghisap Darah demi
mendengar uca- pan Jaka. Namun bagaikan tak memperdulikannya,
Jaka hendak segera berlalu.
"Ayo, kita pergi!"
"Tapi, Tuan?" bertanya Angsono.
"Biar dia di situ, ayo!"
"Tuan.... Ampunilah saya. Lepaskan saya dari
himpitan tanah ini! Tolonglah saya, Tuan. Saya mem-
punyai anak dan istri."
"Ah, kamu ngaco ngomongnya!" membentak
Jaka pura-pura marah.
"Tidak, Tuan. Aku tidak ngaco, aku punya anak
dan istri."
"Hem, jadi kau punya anak dulu baru beristri.
Kau kumpul kebo, ya?"
Ratih dan kelima cantrik seketika tertawa men-
dengar ucapan Jaka yang konyol. Sebaliknya, Iblis
Penghisap Darah makin tak mengerti dengan omongan
Jaka yang aneh-aneh. "Tidak, tuan. Aku tidak kumpul kebo." "Lalu kumpul apa?"
tanya Jaka masih ngeba-nyol. "Kumpul orang, Tuan." menjawab Iblis Penghisap
Darah saking takut dan gugupnya, menjadikan ke-
lima cantrik dan Ratih kembali tertawa.
"Kakang Jaka, sudahlah. Nanti dia bisa kencing
di celana."
"Biar, sekali-kali biar dia merasakan betapa
wanginya ompol orang tua. Siapa namamu, Ki Sanak?"
"Nama saya, Rosmad," menjawab Rosmad ma-
sih gemetaran. Ketika dirasakannya ada yang berge-
rak-gerak di kakinya, serta merta Rosmad memekik.
"Aooh, tolong Tuan!"
"Hai, kenapa kau menjerit-jerit kayak anak ke-
cil?" "Aduh, kaki saya, Tuan. Kaki saya...." berkata Rosmad terbata.
"Kenapa dengan kakimu, Rosmad?"
"Kaki saya ada yang menggigit."
Kasihan juga Jaka melihatnya meringis-ringis.
Maka sekali kaki Jaka menghentak tanah di samping
Rosmad, tubuh Rosmad seketika meloncat terbang ke
angkasa lolos dari tanah. Terbelalak kelima cantrik
melihat hal itu, sampai-sampai mata mereka melotot
memandang pada tubuh Rosmad yang melayang.
"Aoh...." Ratih menjerit seraya menutupi mukanya, manakala melihat Rosmad tak
memakai celana lagi. Di kaki Rosmad menempel seekor kepiting. Cepi-
tan kepiting yang keras menjadikan Rosmad berteriak-
teriak kesakitan. Ia berlari-lari tak menghiraukan keadaan tubuhnya yang
telanjang. Tertawa bergelak seke-
tika kelima cantrik demi melihat hal itu. Hanya Ratih yang masih menutupi muka
dengan kedua tangannya.
Setelah Rosmad tak dilihat lagi, merakapun se-
gera kembali meneruskan perjalanan ke Pesanggrahan
milik Brahmana Loka.
*** 5 Pertarungan antara Ganda Mayit melawan
Amangkurat masih berjalan. Keduanya tampak sama-
sama tangguh, keduanya sama-sama warga siluman.
Berpuluh bahkan beratus-ratus ilmu telah me-
reka keluarkan untuk dapat mengalahkan lawannya.
Namun sampai pertarungan berjalan dua hari, seper-
tinya mereka tak ada yang bakal kalah.
Ketika hari menginjak ketiga, dengan licik Gan-
da Mayit menghantamkan ajiannya ke tubuh Amang-
kurat. Seketika Amangkurat meraung-raung kesaki-
tan, sebelum akhirnya roboh tanpa nyawa.
Melihat pemimpinnya mati, seketika anak mu-
rid Amangkurat jatuhkan diri bersujud meminta am-
pun. Hal itu membuat Ganda Mayit tertawa bergelak-
gelak. "Bagus, bagus! Rupanya kalian masih menghendaki hidup."
"Benar, Sang Kuasa," jawab mereka serempak.
"Nah, dengar oleh kalian. Mulai hari ini, akulah rajamu."
"Daulat, Sang Kuasa!"
"Kalian harus nurut padaku! Kalian harus tun-
duk dan menyembah aku, mengerti!"
"Daulat, Sang Kuasa!"
Perlahan-lahan tubuh Ganda Mayit menyusut,
mengecil dan kembali berubah menjadi Cipta Angkara.
Mata Cipta Angkara tampak memandang tajam, dan
dengan angkuhnya ia berkata.
"Kau, siapa kau namanya?"
Orang yang ditunjuk nampak gemetaran, men-
jawab dengan terbata-bata. "Hamba, Gajah Biru, Tuanku." "Gajah Biru, mulai
sekarang kau kutunjuk menjadi wakilku."
"Daulat, Tuanku."
"Nah, dengar oleh kalian semua. Mulai hari ini, kalian harus menurut pada apa
yang dikatakan Gajah
Biru. Mulai hari ini pula, kalian harus beraksi. Rampok orang-orang kaya, teror
tokoh-tokoh persilatan.
Katakan pada mereka, mau atau tidak menjadi pengi-
kut kita. Bila mau biarkan ia hidup menjadi anggota.
Tapi bila menolak, jangan segan-segan, bunuh dia!"
"Daulat, Tuanku...!" menjawab mereka serempak. "Nama perguruan ini, mulai
sekarang aku ganti menjadi "Persekutuan Iblis", Hua, ha, ha...!"
"Daulat, Tuanku!"
"Nah, Gajah Biru pimpin olehmu mereka se-
mua. Ingat! Jangan sekali-kali membantah! Kalau
membantah, maka kau akan seperti ini."
Dikiblatkan kerisnya ke salah seorang bekas
anggota Singa Putih. Seketika orang itu meraung, se-
belum akhirnya roboh dengan tubuh kering kerontang.
Darahnya seperti tersedot oleh keris Kyai Sangkar.


Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tercekam yang lainnya melihat hal itu. Maka
dengan penuh rasa takut, yang lainnya segera me-
nyembah. Makin membuat Cipta Angkara yang mabok
kuasa tertawa bergelak-gelak senang.
"Ingat baik-baik tugas kalian. Bila kalian men-
galami kesulitan, datanglah segera menemui aku."
Habis berkata begitu, secepat kilat Cipta Ang-
kara berkelebat pergi meninggalkan mereka yang
hanya terdiam tercekam.
* * * Cipta Angkara yang tengah berlari, seketika
menghentikan langkahnya manakala dirasa ada orang
yang menguntitnya. Dengan gemas bercampur marah,
Cipta Angkara segera membentak.
"Orang-orang yang bersembunyi, keluarlah!
Jangan suka main kucing-kucingan!"
Satu persatu orang yang menguntitnya ke luar
dari persembunyian. Kelima orang itu yang ternyata Iblis Penghisap Darah
tersenyum sembari menjura hor-
mat. "Maafkan kami yang bodoh ini, Tuan pendekar,"
berkata Lawer mewakili keempat adiknya.
"Siapa kalian?"
"Kami lima Iblis Penghisap Darah."
"He, nama yang sudah terkenal. Mau apa kalian
menghadang dan mengikuti langkahku?"
"Ampun, Tuan pendekar. Kami ingin menjadi
anggota Persekutuan Iblis yang tuan pimpin."
"Bagus, bagus. Apakah kalian tahu syaratnya?"
"Tidak, Tuan pendekar," menjawab Lower.
"Dengar oleh kalian. Syarat untuk menjadi ang-
gota Persekutuan Iblis, kalian harus mampu membawa
hasil rampokan kalian. Kalian sanggup?"
"Sanggup, Tuan pendekar."
"Baik! Bawalah hasil rampokan kalian nanti
pada malam Jum'at ke markas. Kedua, teror semua
tokoh-tokoh persilatan agar mau menjadi anggota kita.
Bila ia menolak, jangan segan-segan bunuh!"
"Baik. Kami akan selalu menuruti apa yang
tuan katakan."
"Laksanakan sekarang juga. Ingat malam
Jum'at!" Setelah berkata begitu, kembali Cipta Angkara
berkelebat pergi meninggalkan kelima Iblis Penghisap Darah yang hanya
terbengong-bengong tak mengerti.
Kelima Iblis Penghisap Darah pun segera berlalu setelah sekian lama terdiam
memandang pada kepergian
Cipta Angkara. Menangis kelima cantrik itu demi melihat tu-
buh Wikunya telah mati. Tubuh Brahmana Loka ter-
sangsang di atas cabang pohon dengan dada bolong.
Jaka yang melihat hal itu, seketika merasa trenyuh.
Dengan sekali lompat, diambilnya tubuh Brahmana
Loka dari sangsangan cabang pohon.
"Duh, Wiku. Mengapa kau secepat ini mening-
galkan kami?"
"Benar, Wiku. Kenapa engkau secepat ini per-
gi?" "Mengapa engkau tak menghindar pergi saja?"
"Sudahlah, Longkat, Tenggiri, Lomber. Jangan-
lah kalian menangisi kepergiannya. Dia pergi dengan
kebaikan, dia akan diterima oleh Yang Jati Wisesa,"
berkata Jaka menghibur. Sementara Ratih sepertinya
turut terbawa arus, ia pun turut menangis.
"Mari kita semayam kan tubuhnya dengan baik.
Dia adalah seorang Wiku, sepantasnyalah bila dia ha-
rus dihormati."
"Apakah beliau akan masuk surga, Tuan Pen-
dekar?" "Aku tak mengerti, Angsono. Masuk atau tidak-nya seseorang, terletak
pada perbuatannya kala masih hidup. Bila orang itu berbuat baik, niscaya ia akan
masuk surga. Ah, sudahlah, yang penting kita rawat
mayatnya dengan baik."
Habis berkata begitu, dengan tanpa memperdu-
likan kelima cantrik yang masih menangis Jaka meng-
gali tanah. Dengan memakai selembar papan kayu Ja-
ka terus menggali dan menggali. Keringat bercucuran
tak dihiraukannya. Tak berapa lama antaranya, liang lahatpun telah dalam. Jaka
segera melompat naik dan
menghampiri tubuh Brahmana Loka yang masih di-
tangisi oleh kelima cantriknya.
"Sudahlah, kalian jangan terus menangis. Ban-
tu aku menyemayamkan tubuhnya," berkata Jaka. Di-bopongnya mayat Brahmana Loka
menuju ke galian
liang. Perlahan tubuh Brahmana Loka direbahkan.
Dengan dibantu oleh kelima cantrik, diurugnya liang
itu kembali. "Mari kita berdo'a untuk arwahnya. Semoga
dapat diterima di sisi Yang Jati Wisesa."
Kesemuanya seketika terdiam hening, tanpa
kata-tanpa suara. Mereka seperti kusuk memanjatkan
do'a. Angin bersemilir meniup rambut mereka, seper-
tinya memberikan penghormatan yang terakhir.
"Bukankah lebih baik kalian menetap di sini?"
"Ah, kami takut, Tuan!" berkata Angsono.
"Takut..." Takut pada siapa?"
"Kami takut kalau-kalau dia datang," kata
Longkat beralasan.
"Hem, takut mati karena kebaikan adalah ke-
pengecutan. Apakah kalian mau dikatakan orang pen-
gecut?" "Tidak, Tuan."
"Nah, kenapa kalian mesti takut" Ingat, bila ajal tiba semuanya pasti akan mati
juga. Baik itu orang
sakti, rakyat biasa, ataupun titisan dewa. Maka itu, janganlah kalian takut mati
sebab kematian adalah
kekekalan hidup. Kalian mengerti?"
"Mengerti, Tuan Pendekar."
"Sekarang juga, kita bangun kembali pesangga-
rahan ini. Kita menempati pesanggrahan ini kembali,
bagaimana?"
"Kami sebagai abdi hanyalah menurut apa kata
tuannya," menjawab Angsono mewakili teman-
temannya. "Ayo, kita dirikan lagi pesanggrahan ini," Hari itu juga, dengan gotong royong
mereka kembali mendirikan pesanggrahan yang telah menjadi puing-puing.
Ada yang mencari kayu, bambu, ijuk, dan bahan lain-
nya. Setelah hari telah menjelang sore, pesanggrahan itu pun jadi.
"Nah, karena pesanggrahan ini telah jadi, aku
minta kalian dapat tetap di sini," berkata Jaka kala mereka tengah duduk-duduk
menikmati makam malam. "Tuan pendekar sendiri, apakah tidak di sini?"
"Aku juga di sini, Longkat. Namun untuk se-
mentara, aku hendak pergi."
"Ke mana, Kakang?"
"Aku hendak mencari murid durhaka itu."
"Jadi tuan hendak pergi?"
"Benar, Tenggiri. Tapi aku pergi tak akan lama.
Aku hanya akan mencari murid durhaka itu. Kalian
tenang-tenanglah di sini, aku akan segera kembali la-gi."
Jaka Ndableg segera berkelebat pergi, mening-
galkan kelima temannya. Sepeninggalan Jaka kelima
temannya tampak hening. Mereka seperti was-was,
mereka takut kalau-kalau Cipta Angkara datang.
Malam itu pun dilalui mereka dengan kehenin-
gan, tanpa ada yang berani berkata-kata. Kala hari telah agak larut, kelima
cantrik dan Ratih pun segera beranjak tidur.
* * * Malam begitu sunyi, tiada suara lain selain su-
ara binatang malam. Ketika kesunyian itu mencekam,
tampak seorang lelaki berjalan mengendap-endap me-
nuju ke sebuah rumah. Rumah itu, adalah rumah Bu-
pati Brebes. Langkahnya begitu ringan hingga tak ada suara
sedikitpun. Sesaat mata lelaki itu memandang sekeliling, lalu dengan berjingkat-
jingkat ia kembali berjalan.
"Hoop, ya."
Dengan sekali hentak, tubuh lelaki itu telah
melompati pagar rumah. Sesaat lelaki itu diam, me-
mandang pada para penjaga yang tengah duduk-
duduk sambil main gaple.
"Hem, kebetulan," ucapnya dalam hati.
Dipungutnya sebuah kerikil, lalu dengan segera
disambitkan pada salah seorang penjaga. Seketika
penjaga itu pun ambruk tertotok darahnya.
"He, kenapa Jaran Langan?" bertanya seorang penjaga lainnya.
"Entahlah, ia tiba-tiba pingsan," jawab yang lain. "Heh, rupanya ada orang di
sekitar sini. Lihat, ada batu kerikil!"
"Benar, Kucing Ireng."
"Itu dia!" berseru Kucing Ireng demi dilihatnya sebuah bayangan berkelebat dari
pepohonan. Serentak
ketiga orang itu segera berkelebat memburu. "Jangan lari!" "Aku tidak akan lari.
Ini untuk kalian!" berkata lelaki yang mereka kejar. Tangan lelaki itu bergerak
cepat, dan bertaburanlah selarik sinar putih memburu ke arah ketiga pengejarnya.
"Awas racun!" memekik Kucing Ireng mengin-
gatkan pada kedua temannya yang dengan segera ber-
gerak mengelak. Mendengar suara ribut-ribut, Bupati
Brebes segera bangun. Serta merta ia keluar dari ka-
marnya menuju ke luar.
"Ada apa, Kebo Lanang?"
"Ampun Kanjeng Bupati. Ada maling masuk."
"Maling?" bertanya Bupati Brebes seperti tak percaya.
"Benar, Kanjeng. Itu dia!" berseru Kucing Ireng seraya kembali melompat memburu
diikuti oleh kedua
rekannya. "Jangan lari, Bangsat!"
"Aku tidak lari. Aku di sini."
Terbelalak ketiganya, manakala melihat ke be-
lakang. Tampak oleh mereka bupati tengah meregang
nyawa. Karena sangking terkejutnya hingga ketiganya
seketika memekik. "Kanjeng Bupati!"
"Iblis! Kau telah membunuh kanjeng Bupati.
Maka kau pun harus mati pula, hiat...!" Kucing Ireng yang terkenal gesit dan
cekatan dengan segera berkelebat menyerang. Namun seperti tak memandang sebe-
lah mata pun, lelaki itu tertawa bergelak. Dikibaskan tangannya, dan dari
tangannya seketika berhamburan
selarik sinar putih menderu ke arah mereka. Ketiganya sesaat tersentak, lalu
dengan berjumpalitan ketiganya mengelak.
Belum juga ketiganya dapat tenang, tiba-tiba le-
laki itu telah menyerang mereka kembali. Dari tangan lelaki itu keluar cahaya
merah menyala. Semakin lama semakin besar cahaya itu, membentuk sebuah larikan
sinar. Sinar yang ternyata dari ujung keris berkiblat ke arah mereka. Ketiganya
berusaha mengelak, namun
tak urung salah seorang terkena juga. Dua orang lainnya seketika melototkan
mata, manakala melihat apa
yang terjadi. Tubuh temannya seketika meregang nya-
wa dengan tubuh kering bagai tak berdarah. Belum hi-
lang kekagetan mereka berdua, kembali selarik sinar
berkelebat mengarah ke arahnya. Tanpa ampun lagi,
keduanya terhantam oleh larikan sinar merah itu. Se-
perti temannya yang pertama, keduanya pun mati
dengan tubuh mongering bagai tak berdarah.
"Hua, ha, ha...! Kini akulah yang berkuasa.
Akulah pimpinan dunia persilatan!" berkata lelaki itu yang ternyata Cipta
Angkara dengan sombongnya. Lalu
dengan masih meninggalkan tawa, Cipta Angkara sege-
ra berkelebat pergi.
Sejak kepemimpinan Singa Putih yang berganti
nama dengan Persekutuan Iblis berada di tangan Cipta Angkara, sepak terjangnya
makin mengganas.
Mereka merampok, memperkosa, menteror,
bahkan tidak segan-segan membunuh. Hal itu menja-
dikan tokoh-tokoh persilatan dari golongan lurus di-
buat bingung. Betapa tidak! Mereka selalu menteror
para tokoh persilatan. Bila para tokoh itu menolak,
maka kematianlah yang didapatkan. Tapi bila mereka
menerima, niscaya mereka akan menjadi pengikutnya.
"Aku jadi tak habis pikir," berkata Ki Rami Wi-laba pada saat diadakan pertemuan
antar tokoh persi-
latan. "Apakah Ki Rami bimbang?"
"Tidak, Adipati. Aku bukan bimbang atau takut.
Namun aku bertanya dalam hatiku, apa maksud me-
reka sebenarnya."
"Jelas mereka bermaksud membuat kita was-
was, Ki Ranu," menjawab Raka Jengger.
"Apakah tak ada yang dapat menandingi pimpi-
nan Persekutuan Iblis" Apakah telah begitu lemahnya
ilmu-ilmu yang kita miliki?" kembali Ki Ranu bertanya, menjadikan kesemua yang
hadir terdiam. "Telah banyak korban berjatuhan dari tokoh-
tokoh persilatan. Telah menderita rakyat kecil yang tak berdosa. Ah, apakah
dunia akan benar-benar kiamat?"
"Jangan putus asa, Ki Ranu."
Tengah mereka dalam kebimbingan, terdengar
suara tanpa rupa berkata. Seketika semua yang hadir
terperanjat dan serta merta menengok ke asal suara
itu. Tampak kini seorang lelaki muda berdiri dengan
angkuhnya menghadap mereka.
"Siapa kau, Anak muda?" bertanya Ki Ranu
yang dijawab oleh pemuda itu dengan tersenyum sinis
sembari menjawab.
"Akulah Cipta Angkara penguasa Dunia Persila-
tan." "Iblis! Rupanya kaulah orangnya?"
"Benar, Kirana. Akulah orang yang kalian cari."
"Mau apa kau datang ke mari?"
"Seperti pada tokoh-tokoh persilatan yang lain, aku datang untuk satu tujuan.
Kalian mengerti tujua-nku?" bertanya Cipta Angkara dengan sombongnya.
Matanya memandang tajam pada kesepuluh tokoh
persilatan yang hadir di situ. "Kalian boleh milih. Ikut menggabung denganku,
atau mati."
"Lebih baik kami mati, Iblis!" menjawab Raka.
"Bagus! Siapa lagi yang ingin mati?"
"Kami semua!" menjawab serentak kesembilan orang lainnya.
"Hua, ha, ha.... Bagus! Rupanya kalian memang
pantas untuk mati. Nah, bersiaplah!"


Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Habis berkata begitu, serta merta Cipta Angka-
ra segera berkelebat menyerang kesepuluh tokoh persilatan. Kesepuluh tokoh
persilatan tak mau tinggal di-am. Mereka dengan segera berkelit, lalu dengan
berbareng kesepuluh orang itu menyerang balik. Terkejut
Cipta Angkara bersamaan. Dengan berjumpalitan, Cip-
ta Angkara segera menghindari.
"Jangan lari, Iblis!"
"Aku tidak lari, Ki Ranu. Aku menunggu kalian
di luar!" Mendengar jawaban Cipta Angkara, segera kesepuluh tokoh persilatan
berhamburan ke luar. Mere-
ka segera kembali mengepung Cipta Angkara yang
tampak masih tersenyum-senyum.
"Nah, bukankah di sini lebih leluasa" Buatlah
lobang untuk kalian sendiri!"
"Sombong! Jangan kira semudah kau bicara,
Anak muda!"
"Baik! Kalau kalian tak mau membuat lubang
untuk kalian, maka akulah yang akan membikinkan.
Lihat...!" dikiblatkan keris Kyai Sangkar sepuluh kali.
Maka dalam sesaat, lobang pun telah menganga di ha-
dapan mereka. Tersentak kesepuluh tokoh persilatan melihat
hal itu. Sampai-sampai kesepuluhnya melompat mun-
dur. Mata mereka tajam mengawasi segala gerak-gerik
Cipta Angkara. "Terlalu banyak kau membuat, Iblis! Semes-
tinya hanya satu lobang, yaitu untukmu sendiri," berkata Raka, bagaikan tak
gentar sedikitpun melihat hal itu.
"Hem, kita buktikan saja. Mari kita mulai,
hiat...!" Melihat Cipta Angkara menyerang dengan keris Kyai Sangkar di
tangannya. Maka dengan segera kesepuluh tokoh persilatanpun tak malu-malu lagi
bareng mengeroyok. Mereka tahu, apa pun yang terjadi mereka harus mampu
melepaskan keris pusaka itu dari
tangan Cipta Angkara.
Pertarungan satu melawan sepuluh telah terja-
di. Walau dikeroyok oleh tokoh-tokoh persilatan, na-
mun tampaknya Cipta Angkara tak gentar. Gerakan-
nya gesit dan lincah. Keris Kyai Sangkar makin me-
nambah nafsunya untuk membunuh.
Larikan-larikan sinar yang keluar dari keris
Kyai Sangkar terus memburu kesepuluh musuhnya,
menjadikan mereka harus berjumpalitan mengelakkan
serangan itu. Jurus demi jurus mereka lalui dengan cepat-
nya. Tak terasa telah mencapai puluhan jurus. Ketika hendak menuju ke jurus enam
puluh, di mana para
tokoh persilatan agak keteter. Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan yang
menghadang serangan Cipta
Angkara. Bayangan itu yang tak lain Jaka Ndableg,
dengan segera menangkis larikan sinar merah dengan
tombak Inti Jagad. Seketika larikan merah itu, mental berbalik menyerang Cipta
Angkara. Tersentak Cipta Angkara melihat kenyataan
yang terjadi. Matanya menatap lekat pada tombak yang berada di tangan Jaka.
Setelah pasti bahwa tongkat di tangan Jaka memang Inti Jagad adanya, Cipta
Angkara membentak.
"Siapa kau!"
"Aku.... Aku adalah Jaka Ndableg. Karena sifat-
nya yang kata orang-orang agak sinting, mereka me-
manggilku dengan nama Jaka Ndableg."
Tersentak Cipta Angkara demi mendengar na-
ma pemuda di hadapannya. Seketika ia menyusut
mundur. Lalu dengan tanpa diduga oleh Jaka, dia se-
gera berkelebat pergi.
"Siapa dia adanya, Ki Sanak?" bertanya Jaka pada para tokoh pendekar setelah
kepergian Cipta
Angkara. "Kenapa anak muda tidak membunuhnya seka-
lian?" balik bertanya Ki Ranu, menjadikan Jaka terbelalak tak mengerti seraya
kembali bertanya.
"Apa maksudmu, Ki?"
"Kalau benar anak adalah Jaka Ndableg
adanya, maka anak adalah seorang tokoh pendekar
muda pembela kebenaran."
"Hai, kau menyindirku, Ki?"
"Aku tak bermaksud menyindirmu, Pendekar.
Tapi ketahuilah, bahwa pemuda tadi adalah tokoh
yang kini telah menteror persilatan. Dialah yang bernama Cipta Angkara, pemimpin
Persekutuan Iblis."
"Apa" Jadi...."
"Ya, dialah orangnya."
"Kalau begitu, aku harus mengejarnya." Tanpa
mengucap salam sedikitpun, Jaka Ndableg segera me-
lesat pergi meninggalkan kesepuluh tokoh persilatan.
Terheran-heran kesepuluh tokoh persilatan melihat
tingkah Jaka. Saking herannya hingga mereka sampai
menggeleng-gelengkan kepala,
"Sungguh pendekar aneh. Kendablegannya,
menjadikannya seperti orang kebanyakan. Namun il-
munya, oh.... Sungguh tiada taranya," bergumam Ki Ranu, sepertinya pada diri
sendiri. "Benar, Ki Ranu. Walaupun dia ndableg, na-
mun ilmunya tak terjangkau oleh tangan, tak terjajagi oleh kaki. Kita yang tua-
tua, seperti tak ada artinya bi-la dibanding dengannya," menambahkan Ki Buyung
Lemah Abang. "Apakah kita hanya tinggal diam?"
"Tidak, Ki Buyung. Hari ini juga, kita segera
bergerak."
"Maksudmu, Ki Ranu?" bertanya Raka belum
mengerti. "Kita segera bergerak membantu pendekar mu-
da itu." "Itulah yang paling tepat, Ki Ranu," kata Ki Gandrek.
Malam itu juga, kesepuluh tokoh persilatanpun
segera mengatur rencana. Dan malam itu juga kesepu-
luh tokoh itu segera berangkat menuju pusat Perseku-
tuan Iblis. *** 6 "Tolong.... Tolong...!"
Terdengar jeritan memecah malam buta.
Penduduk desa Bojong seketika tersentak dari
tidurnya, demi mendengar suara jeritan itu. Serta mer-ta mereka berlarian
keluar. Dibunyikan kentongan
tanda bahaya. Mendengar bunyi kentongan itu, seketi-
ka penduduk yang lainpun segera berdatangan keluar.
"Ada apakah?"
"Ada perampokan," menjawab yang ditanya.
"Perampokan?"
"Di mana...?"
"Di sana."
Seketika semua penduduk berlari menuju ke
arah yang ditunjuk oleh peronda tadi. Memang benar
bahwa di tempat itu tengah terjadi perampokan.
"Tangkap rampok itu! Ayo...!" seru seorang lelaki yang menjadi kepala desa.
Bojong. "Ayo, ayo....
Tangkap rampok itu...!"
Dengan senjata apa adanya, semua penduduk
segera menyerbu pada kelima rampok. Kelima rampok
yang ternyata Iblis Penghisap Darah sepertinya tak
gentar. Dihadapinya serbuan penduduk dengan balik
menyerang. Seketika jerit kematian pun melengking, makin
membuat keheningan malam itu pecah. Setiap babatan
golok kelima Iblis Penghisap Darah selalu memakan
korban. "Menyerahlah kalian dan pulang ke rumah masing-masing. Ayo, cepat!"
membentak Lower sembari membabatkan goloknya. Kembali terdengar pekikkan
kematian, manakala golok Lower membabat putus leh-
er penyerangnya.
Namun bagaikan tak ada rasa takut, penduduk
desa Bojong terus menyerang. Walau korban makin
banyak berjatuhan, tapi yang masih hidup terus beru-
saha melawan. "Jangan biarkan rampok-rampok biadab itu
kabur. Serang...!"
Kembali berteriak pimpinan desa Bojong mem-
beri semangat. Hal itu menjadikan semangat pendu-
duk makin membara. Dengan penuh keberanian, se-
mua penduduk kembali menyerbu. Kembali terdengar
jerit kematian manakala golok kelima iblis berkelebat.
"Rupanya kalian ingin mati. Hiat...!"
"Kalianlah yang mencari mati, Garong biadab!"
"Adik-adik, jangan biarkan segelintir dari mere-ka hidup. Bunuh semua!" berseru
Lower memberi perintah. Maka dengan tanpa mengenal rasa kasihan, go-
lok mereka terus mencari korban.
Pekikkan-pekikkan kembali menggema bersa-
ma dengan makin larutnya malam. Para wanita berla-
rian, mencari keselamatan. Desa Bojong bagaikan di-
aduk, dibakar oleh hiruk pikuk wanita mencari sela-
mat. Manakala kecamuk perang makin mengganas, ti-
ba-tiba terdengar suara seseorang berkata.
"Hai.... Ternyata kunyuk-kunyuk ini berada di
sini!" Tersentak semua orang yang tengah bertarung demi mendengar seruan itu.
Seketika semua menghentikan pertempuran, memandangkan matanya pada
seorang pemuda yang tiba-tiba telah berdiri di tengah-tengah ajang pertarungan.
"Bujur buset, rupanya kalian masih belum sa-
dar." "Diam kau, Anak gendeng! Jangan ikut campur urusan kami," membentak Lower,
manakala tahu siapa orang yang telah berdiri di hadapannya. Pemuda itu
yang tak lain Jaka Ndableg cuma tersenyum.
"Gila.... Eh, kapankah aku gila" Atau barangka-
li kalian sendiri yang gila?"
"Edan...! Percuma kita ladeni omongannya yang
ngelantur. Serang...!"
Mendengar seruan Lower, seketika keempat Ib-
lis Penghisap Darah serentak menyerang Jaka. Golok
di tangan mereka berkelebat, membabat dan menusuk
tubuh Jaka. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan
Jaka keder. Malah dengan garuk-garuk kepala dan se-
kali-kali mendekap pantatnya Jaka terus berkelit
menghindar. Melihat tingkah laku Jaka, seketika makin ma-
rah saja Kelima Iblis Penghisap Darah. Salah seorang dari kelimanya bermaksud
menendang pantat Jaka
yang nungging. Namun dengan segera, Jaka lenting-
kan tubuhnya ke udara, dan...!
"Duuutttt...!"
Dari pantat Jaka terdengar suara gas beracun
mengepul, menjadikan orang yang hendak menen-
dangnya segera menghindar. Bau dari gas itu begitu
menyesakkan. "Bangsat! Kau berani mengentuti aku!"
"Heh, bukankah kau yang meminta?"
"Edan! Kucincang kau!" Dengan segera dite-
baskan golok ke arah Jaka yang secepat itu pula men-
gelit. "Ampun, Oom. Jangan.... Jangan dicincang, Oom!" "Bedebah! Dasar edan!"
kembali orang itu tebaskan golok.
Jaka tersentak seketika, kala golok orang itu
lewat dua inci di sampingnya.
Namun dengan gaya seekor monyet, Jaka
menggeliat dengan cepat. Dilentingkannya kembali tu-
buhnya ke udara, lalu dengan segera tanpa dapat di-
elakkan Jaka telah menjitak kepala musuhnya.
"Ampuun...!" memekik orang itu dengan darah mengucur dari kepalanya. Sesaat
orang itu menggele-par-gelepar, lalu ambruk dengan nyawa hijrah ke ak-
herat. Terbelalak keempat Iblis Penghisap Darah lainnya demi melihat temannya
telah pergi meninggalkan
alam fana. Mata keempatnya melotot seketika, me-
mandang pada Jaka yang masih tersenyum-senyum.
"Kenapa dengan temanmu itu, Sobat?"
"Monyet! Jangan kau berlagak bodoh! Kau ha-
rus menebus nyawa seorang temanku!" membentak
Lower selaku paling tua.
Hah.... Kapan aku menggadu pada kalian?"
"Bedebah! Kau masih banyak bacot, Sinting!"
Diterjangnya Jaka dengan penuh amarah. Me-
lihat musuhnya telah menerjang, Jaka dengan segera
mengegoskan tubuh menghindar sembari berseru.
"Ampun Oom, Jangan mengeroyok...."
"Sundel! Masih saja kau berteriak-teriak kaya
orang tak waras!"
"Aduh.... Dia galak, Mak. Tolong Jaka, Mak...!"
Jaka segera melentingkan tubuhnya ke udara,
berputar-putar sesaat bagai main akrobat. Jaka bagaikan orang menari, melenggak-
lenggokkan tangannya.
Mulutnya tersenyum, lalu dengan segera dimoyongkan.
Tak dapat lagi kemarahan keempat Iblis Peng-
hisap Darah terbendung melihat tingkah laku Jaka
yang seperti orang gila. Bukan hanya keempat Iblis
Penghisap Darah saja yang melototkan mata. Namun
seluruh penduduk pun turut terdiam, takjub melihat
ilmu silat yang dipakai Jaka.
Belum juga keempat Iblis Penghisap Darah sa-
dar dari bengongnya, tiba-tiba Jaka menyemburkan
ludahnya ke arah mereka. "Ini untuk kalian.... Cuih!"
Keempat Iblis Penghisap Darah berusaha
menghindar. Namun semburan ludah Jaka lebih cepat
melaju dan langsung mengenai mata mereka. Seketika
itu mata mereka terasa perih, hingga mereka tak dapat melihat lagi.
Ketika keempat orang musuhnya belum dapat
mengendalikan diri. Jaka yang memang ndableg den-
gan cepat bergerak, Dipetiknya setangkai daun yang
terdapat semut rangrang, lalu disemprotkan pada tu-
buh keempat Iblis Penghisap Darah. Semut-semut
rangrang yang terjaga dari tidurnya, seketika beraksi.
Digigitnya tubuh keempat Iblis Penghisap Darah yang
seketika meraung-raung, menggaruk-garuk tubuhnya
karena gatal. Saking banyaknya semut di tubuh mere-
ka, mau tak mau segera melepaskan pakaian. Melihat
keempat iblis Penghisap Darah telanjang dengan
menggaruk-garuk tubuh, tertawalah seluruh pendu-
duk yang berada di situ.
"Lihat saudara-saudara semua, bukankah me-


Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

reka persis monyet-monyet yang kebanyakan kutu?"
berkata Jaka menjadikan semuanya tertawa. "Nah, bukankah dengan cara ini
saudara-saudara mudah
menangkap mereka" Tangkap mereka dan berikan pa-
da mereka tai kebo."
Mendengar ucapan Jaka, seketika keempat Iblis
Penghisap Darah yang sudah tak berdaya segera ja-
tuhkan diri bersimpuh. Tubuh mereka menggigil keta-
kutan, dengan keringat dingin membasahi kening.
"Ampun, jangan beri kami tai kebo, Tuan," me-rengek Lower.
"Benar, Tuan. Kami tak akan mengulangi per-
buatan ini lagi," berkata yang lainnya.
"Ah, kenapa kalian seperti anak kecil" Baru
disuruh makan tai Kebo, kalian sudah panas dingin
kayak orang cacingan. Saudara-saudara, beri mereka
kalajengking."
Makin menjadi-jadi rasa takut keempat Iblis
Penghisap Darah mendengar ucapan Jaka yang meme-
rintahkan pada semua penduduk. Beberapa penduduk
yang memang sudah kesal dengan mereka, segera
menjalankan tugasnya. Mereka segera mencari tai Ke-
bo dan Kalajengking.
Melotot mata keempat Iblis Penghisap Darah,
manakala melihat apa yang dibawa oleh sebagian pen-
duduk. Sebagian penduduk itu, membawa tai Kebo
dan Kalajengking.
"Ini, Tuan Pendekar," berkata pimpinan desa menyerahkan apa yang diperintahkan
oleh Jaka. Dengan segera Jaka menerima, lalu bergegas menghampiri
keempat Iblis Penghisap Darah.
"Nah, ini makanan kalian, makanlah."
Seketika keempat Iblis Penghisap Darah melo-
totkan mata dengan mulut menganga. Wajah mereka
pucat pasi dengan mata membeliak seperti menahan
sesuatu. Yang lebih membuat semua tertawa, dari arah bawah mereka mengucur air
dengan derasnya. Keempat Iblis Penghisap Darah ternyata ngompol saking ta-
kutnya. "Wao, kenapa kalian ngompol seperti anak kecil" Apakah kalian memang
ingat masa balita kalian?"
"Ampun, Tuan pendekar. Jangan suruh kami
makan itu," berkata mereka hampir bersamaan. Tubuh mereka semakin gemetaran dan
ngejuprak menduduki
bekas ompolan mereka.
Melihat musuh-musuhnya telah ketakutan, Ja-
ka yang ndableg bukannya menghentikan tingkahnya.
Malah dengan segera dibukanya bungkusan yang beri-
si kotoran kerbau dan disodorkan pada keempatnya.
Keempat Iblis Penghisap Darah nampak makin ketaku-
tan, menatap Jaka dengan mengiba. Namun Jaka
tampak tak perduli, dibukanya bungkusan yang lain.
Membelalak mata keempatnya melihat apa isi
bungkusan itu. Bungkusan itu, memang benar-benar
berisi Kalajengking besar-besar.
"Ini untuk lauk kalian!" berkata Jaka seraya menyodorkan bungkusan di tangannya
pada mereka, yang seketika itu langsung lari terbirit-birit dengan pakaian lepas dari tubuh
mereka. Hal itu menjadikan lari mereka tak dapat cepat hingga dengan mudahnya
penduduk desa Bojong menangkap mereka.
"Heh, Firasatku tidak enak. Ada apakah geran-
gan di pesanggarahan?" berkata Jaka pada diri sendiri.
Dengan segera sebelum para penduduk kembali da-
tang, Jaka berkelebat pergi meninggalkan desa Bojong.
Penduduk yang telah kembali membekuk
keempat Iblis Penghisap Darah, bermaksud menyerah-
kannya kembali pada Jaka. Namun seketika semuanya
terbengong, manakala tak ditemukannya Jaka di tem-
patnya. "Ke mana pendekar muda itu?" bertanya ketua desa. "Ya, ke mana pendekar
muda itu?" bertanya yang lain.
"Jangan-jangan dia siluman, Ketua."
"Ah, sudahlah jangan pikiran lagi. Ayo, kita ba-wa maling-maling ini ke kantor."
Dengan diiringi semua penduduk kampung
yang sekali-kali memukul, keempat maling itu digiring menuju ke kantor tetua
desa. Hening kembali malam
itu, seperti tercekam kebisuan.
* * * "Bunuh garong itu...!"
"Cincang!"
"Puntungkan saja kedua tangan mereka!"
"Coplok kedua mata mereka!"
Terdengar suara jeritan kekesalan penduduk
desa Bojong, manakala mereka melihat keempat ga-
rong itu. Pentungan, tendangan, hantaman sebagai pe-
lampiasan kekesalan warga, menjadikan keempat Iblis
Penghisap Darah menjerit-jerit. Tubuh mereka memar
dengan luka-luka. Mata mereka yang dulu liar, kini
sayu bagai tak ada gairah hidup.
Keempatnya kini digiring ke kantor tetua desa,
dengan terlebih dahulu mengitari desa Bojong. Tak
henti-hentinya siksaan melanda keempat Iblis Penghi-
sap Darah hingga karena terlalu parah, satu persatu
dari mereka mati dengan tubuh berlumuran darah.
"Mereka telah mati," berkata tetua desa.
"Buang saja mayat mereka," mengusulkan warganya. "Jangan!"
"Kenapa, Tetua?"
"Sebagai orang beragama, sepatutnya kita men-
gurus jenazahnya."
Malam itu juga, dengan diterangi sinar bulan
mereka bekerja menggali kubur. Dan malam itu juga,
tubuh keempat Iblis Penghisap Darah dikuburkan.
*** 7 Terbelalak mata Jaka demi melihat apa yang
terjadi di pesanggarahan yang kemarin dibuatnya. Tu-
buh-tubuh tanpa nyawa, bergelimpangan memenuhi
halaman pesanggarahan.
"Cantrik...! Heh, mereka telah mati. Di mana
Ratih...?"
Segera Jaka berkelebat masuk ke dalam. Ma-
tanya liar memandang ke segenap penjuru, mencari
Ratih. Di balai-balai Jaka tak menemukannya. Dengan
segera Jaka kembali berkelebat masuk. Langkahnya
begitu ringan hingga tak terdengar tapak kakinya.
Perlahan, dibukanya pintu kamar. Melotot mata
Jaka tak percaya demi melihat tubuh Ratih tersender
di bilik dengan keadaan yang menyedihkan. Tubuhnya
tak tertutup sehelai benang pun dan dari mulutnya
menetes darah yang hampir mengering.
"Ratih, Adikku...!"
Dihampirinya tubuh Ratih, lalu dengan penuh
kasih sebagai seorang kakak digendongnya tubuh Ra-
tih keluar. Dibaringkannya di atas dipan. Bergegas Ja-ka mencari air, lalu
diminumkan pada Ratih. Sesaat
Ratih menggeliat dan perlahan membuka matanya. Da-
ri mulutnya yang mungil dengan bibir memucat, ter-
dengar suara lemah berkata.
"Kakang Jaka...."
"Ya, Adikku."
"Dia, dia, telah datang ke mari. Dia, dia telah membuat semuanya."
"Maksudmu, Adikku?" bertanya Jaka tak men-
gerti. "Kakang Jaka, aku, aku mencintaimu. Apakah kau mau menerima cintaku,
Kakang?" Jaka menganggukkan kepalanya.
"Aku menerima, Sayang. Katakanlah, siapa
yang telah berbuat begini?"
Sejurus Ratih terdiam. Matanya memandang
pada Jaka dengan penuh kasih. Tangannya yang le-
mas, bergerak menggapai tangan Jaka. Digenggamnya
tangan Jaka erat, lalu katanya kemudian.
"Orang itu bernama Cipta Angkara. Ia mencari
Tombak Inti Jagat. Karena ia tak menemukannya, ia
marah. Kelima cantrik dibunuhnya, dan aku.... Oh,
aku kakang.... Aku sudah tak ada artinya, Kakang."
Menangis Ratih tersendat, membuat Jaka iba
melihatnya. Dengan penuh kasih, didekapnya tubuh
Ratih. Dari mulut Jaka yang gemetar, terucap kata-
kata makian sebagai pelampias kemarahannya.
"Iblis jahanam! Akan aku hancurkan dia! Akan
aku potong kepalanya sebagai pengganti semua ini!"
"Kakang, aku, aku... men-cin-tai-mu...."
"Ratih...!" meraung Jaka menangis, melihat Ratih telah terkulai mati. Diguncang-
guncangkan tubuh
Ratih, yang tetap bisu dan diam.
"Cipta Angkara, tunggulah aku! Kau harus ber-
tanggung jawab atas semua ini!"
Bagaikan orang gila, Jaka bergerak cepat. Di-
hantamnya apa yang ada di sekelilingnya dengan ajian yang ia miliki. Hancur
lebur seketika Pesanggrahan
itu, terhantam pukulan Jaka yang dilandasi dengan
ajian. Karena saking kecewa dan marahnya, sampai-
sampai Jaka lupa diri. Ajian Jamus Kalimusada yang
sangat ganas, diumbarnya bagaikan mengumbar mai-
nan. Dari tubuh Jaka yang telah menggunakan ajian
Jamus Kalimusada, seketika menyala bagaikan bara
api. Apa saja yang dipegangnya seketika terbakar.
Bergelora ombak di laut, seperti turut merasa-
kan kemarahan Jaka. Binatang-binatang hutan berse-
laweran, berlari ketakutan. Sungguh bukan sembaran-
gan ajian hingga seluruh alam seperti turut merasakan hawa panas yang
menggelegar itu. Jangankan mahluk
nyata, siluman dan dedemit pun mengerung-gerung
merasakan panasnya ajian itu.
Bagaikan orang gila, Jaka dengan penuh ama-
rah berlari. Ditujunya tempat di mana Cipta Angkara
berada, yaitu perguruan Singa Putih yang sekarang
berganti nama menjadi Persekutuan Iblis.
Di Persekutuan Iblis saat itu tengah terjadi per-
tempuran. Tokoh-tokoh persilatan yang sudah tak mau
diteror, telah mendatangi markas Persekutuan Iblis
langsung dipimpin oleh Cipta Angkara.
"Bunuh mereka semua, jangan biarkan seorang
pun hidup!"
"Jangan hanya memerintah, Cipta! Turun kau
ke laga hadapi kami!" balik membentak Ki Ranu dengan penuh amarah.
"Ki Ranu, aku rasa aku tak perlu turun dulu.
Biarlah anak buahku yang akan mengganyang kalian.
Hua, ha, ha...."
"Iblis! Kau terlalu menyepelekan kami, Hiat...!"
Ki Ranu segera berkelebat, langsung menyerang
Cipta Angkara. Diserang begitu cepat, Cipta Angkara
nampak seperti tak keder. Diegoskan tubuhnya ke
samping mengelak, lalu dengan gerak tipu kakinya
menyodok ke lambung Ki Ranu.
Terbelalak mata Ki Ranu seketika. Hampir saja
lambungnya terhantam tendangan, kalau saja ia tidak
segera melompat mundur. Melihat musuhnya melom-
pat, Cipta Angkara lebarkan senyum penuh ejekan.
"Percuma kau melawanku, Ki Ranu."
"Sombong! Jangan kira aku takut, Iblis!"
"Hua, ha, ha... Walau usiamu sudah bau tanah,
namun ucapanmu masih menyengat, Ki Ranu."
"Jangan banyak omong. Ayo, kita mengadu ji-
wa." "Hem, apa andalanmu, Ki Ranu?" bertanya Cipta Angkara dengan sinis,
menjadikan Ki Ranu makin
bertambah marah. Maka dengan tanpa banyak kata, Ki
Ramu kembali menyerang. Jurus-jurusnya makin
tinggi dan ganas. Namun begitu, Cipta Angkara bagai
telah mengetahui kuncinya hingga dengan mudah di-
elakkan setiap serangan Ki Ranu.
Di pihak lain, nampak anggota Persekutuan Ib-
lis keteter menghadapi amukan sembilan tokoh utama
persilatan. Korban banyak berjatuhan, bergelimpangan dengan tubuh hancur. Tapi
karena melihat pimpinan-nya turun, semangat mereka bagaikan api yang terus
menyala. "Setan! Rupanya kalian lebih memilih mati!"
membentak Ki Buntung. Dengan kakinya yang bun-
tung, tidak menjadikan hambatan baginya. Malah den-
gan lincah, Ki Buntung menghantamkan tongkat pe-
nyanggah kakinya menyerang. Setiap hantaman tong-
kat penyanggah Ki Buntung, seketika menjadikan pe-
kik kematian. Makin banyak korban yang berjatuhan, makin
seru pertempuran itu. Walau jumlah anggota Perseku-
tuan Iblis banyak, namun menghadapi tokoh-tokoh
persilatan sia-sialah perlawanan mereka.
Pertarungan Ki Ranu dengan Cipta Angkara
masih berlangsung. Jurus-jurus tingkat tinggi mereka keluarkan, namun sejauh itu
tak ada tanda-tanda siapa di antara keduanya bakal kalah.
"Percuma aku menguras tenaga," dengus Cipta Angkara dalam hati. Seketika ia
melompat ke belakang, lalu dengan segera dihunusnya keris Kyai Sang-
kar. Terbelalak mata Ki Ranu hingga kakinya terseret
mundur ke belakang.
"Keris Kyai Sangkar!"
"Hua, ha, ha.... Kenapa, Ki Ranu" Apakah kau
takut?" Ki Ranu hanya terdiam tak menjawab. Ia tahu kehebatan keris di tangan
Cipta Angkara. Matanya terus mengawasi langkah-langkah Cipta Angkara, yang
berjalan makin mendekat ke arahnya.
"Apakah aku akan mati di tangannya?" mengeluh Ki Ranu lirih. Keringat dingin
seketika menetes deras dari pelipisnya. Bayangan kematian, seketika tergambar di
pelupuk mata Ki Ranu yang telah tua.
Sementara itu, Cipta Angkara dengan bibir te-
rurai senyum dan dengan tangan menggenggam keris
Kyai Sangkar terus melangkah mendekat.
"Hiat...!"
"Oh, Yang Widi. Matilah aku hari ini," mengeluh Ki Ranu, manakala Cipta Angkara
memekik dan berkelebat menyerangnya.
"Matilah kau, Ki Ranu!"
Hampir saja nyawa Ki Ranu melayang saat itu,
kalau saja tidak ada bayangan seseorang yang berke-
lebat dan menangkis keris Kyai Sangkar.
Terbelalak Cipta Angkara seraya melompat
mundur. Tangannya terasa panas, sampai-sampai ber-
getar. Hampir saja keris Kyai Sangkar terlepas dari


Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya, kalau dia tidak segera menarik mundur se-
rangan. "Siapa, Kau!"
"Monyet! Rupanya inikah iblis yang telah mem-
buat kematian kelima cantrik dan Ratih" Hem, pantas!
Cipta Angkara, hari ini juga kau harus menebus kema-
tian kelima temanku."
"Hua, ha, ha.... Apa katamu, Gembel" Kau ingin
membunuhku" Jangan bermimpi, hua, ha, ha...."
"Sombong! Terimalah ini...!"
Bagaikan desiran angin yang cepat, Jaka den-
gan segera menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke
tubuh Cipta Angkara. Tersentak Cipta Angkara melihat hal itu, segera ia pun
mengelak. Hal itu menjadikannya terlepas dari pukulan Jaka. Tapi akibatnya, anak
buahnyalah yang menjadi sasaran. Hangus seketika
tubuh beberapa anak buahnya, bagai terpanggang api.
Merasa musuhnya dapat lolos, dengan segera
Jaka kembali hantamkan ajiannya yang kedua, yang
diperoleh dari gurunya Ki Darsa. "Ajian Petir Sewu."
dari tangan Jaka, seketika berkilat-kilat sinar kuning kemerahan. Bersamaan
dengan kilatan itu, terdengar
ledakan-ledakan dahsyat menggelegar-gelegar. Hal itu menjadikan gendang telinga
musuhnya bagaikan hampir pecah. Namun yang lebih bahaya lagi, adalah kilatan-
kilatannya. Apabila kilatan itu menghantam tu-
buh, niscaya akan hancur tubuh orang tersebut.
Melihat Jaka mengkiblatkan serangannya ke
arah dirinya, dengan segera Cipta Angkara yang ter-
cengang melihat ilmu itu tersentak dan berusaha men-
gelak. Namun rupanya kecepatan serangan Jaka lebih
cepat dibandingkan elakannya. Tak ampun lagi, kila-
tan petir yang mengandung hawa panas jutaan Watt
menghantam tubuh Cipta Angkara.
Seketika tubuh Cipta Angkara hancur berkep-
ing-keping. Namun betapa tersentak semua yang ada
di situ, manakala dilihatnya keganjilan pada kepingan tubuh Cipta Angkara.
Kepingan-kepingan tubuh Cipta,
bergerak-gerak dan kembali menyatu membentuk ja-
sad semula. Membelalak mata Jaka, tak percaya pada apa
yang dilihatnya.
"Hua, ha, ha.... Keluarkan semua ajianmu,
Anak muda!" berkata Cipta Angkara dengan sombongnya, merasa dirinya tak mempan
dengan ajian Petir
Sewu. "Iblis! Jangan kau bangga dulu, terimalah ini!"
Jaka segera melompat, berkelebat bagaikan
terbang. Tangannya yang telah disaluri ajian Tapak
Prahara, membara bagaikan bara api. Melihat Jaka
Ndableg telah berkelebat hendak menyerangnya, Cipta
Angkara segera menghadang. Tangan Cipta Angkara
menggenggam keris Kyai Sangkar, yang terjurus ke
arah Jaka bergerak.
Jaka tersentak, segera mengurungkan niatnya
menyerang. Ditariknya tombak Inti Jagad dan dengan
cepat dipapaki serangan Cipta. Dua senjata pusaka itu beradu, menjadikan suara
ledakan. Keris di tangan
Cipta Angkara mental jauh. Dari tempat mentalnya ke-
ris, mengepul asap putih yang bergulung-gulung ke
angkasa. Berbareng dengan itu, Tombak Inti Jagad se-
ketika terbang memburu asap itu.
Tercekam Cipta Angkara melihat kerisnya telah
lepas dari genggaman tangannya. Namun tengah Cipta
Angkara bimbang, terdengar bisikan yang hanya di-
dengar olehnya sendiri.
"Jangan gentar, Cipta. Aku bersamamu, lawan-
lah dia." "Baik, Ganda Mayit."
Sejenak keduanya saling pandang, sepertinya
mereka tengah menjajagi ilmu masing-masing. Lalu
dengan didahului pekikkan, keduanya berkelebat me-
lompat bagaikan terbang ke udara.
"Duar...!"
Ledakan dahsyat seketika menggema, manaka-
la keduanya mengadu ilmu di udara. Keduanya terpen-
tal ke belakang beberapa tombak. Dari bibir Jaka, meleleh darah segar. Dadanya
terasa sesak, nafasnya pun tersendat.
Sebaliknya, Cipta Angkara bagaikan tak menga-
lami apa-apa. Ia bangkit kembali dari jatuhnya, lalu dengan mata beringas di
hampirinya tubuh Jaka.
"Matilah aku! Oh, apakah aku benar-benar
akan mati di sini?" mengeluh hati Jaka. Ketika Jaka tengah dalam kebimbingan, ia
kembali teringat akan
apa yang dipesankan oleh ayah-nya. "Akan aku coba dengan ini."
Sementara itu, Cipta Angkara yang telah sepe-
nuhnya digerakkan oleh Ganda Mayit makin mende-
kat. Bibirnya tersenyum sinis, lalu dengan congkaknya berkata.
"Anak muda, hari inilah akhir hidupmu. Tak
akan ada lagi Pendekar Pedang Siluman, tapi akulah....
Aku Cipta Angkara. Bersiaplah untuk mati, Anak mu-
da!" Hampir saja tangan Cipta Angkara mengakhiri hidup Jaka Ndableg, manakala
tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat menghadangnya. Tersentak mun-
dur Cipta Angkara, demi mengetahui siapa bayangan
itu sebenarnya.
"Guru...!"
Bayangan itu hanya tersenyum sinis meman-
dang pada Cipta, lalu dengan suara parau, Brahmana
Loka berkata. "Ingat kata-kataku sebelum aku ajal, Cipta" Kau akan mati dengan
tubuh hancur.... Tubuh
hancur!" Melihat Cipta Angkara menyusut mundur, ke-
sempatan ini tidak disia-siakan oleh Jaka. Dengan segera, Jaka merapalkan apa
yang telah diajarkan oleh
ayahnya. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Seketika itu, di tangan Jaka Ndableg telah ter-
genggam sebilah pedang yang memancarkan sinar
kuning kemerahan. Dari ujung menetes darah memba-
sahi batang pedang.
Tersentak Cipta Angkara melihat pedang yang
tiba-tiba telah berada di tangan Jaka.
"Hem, inilah Pedang Siluman Darah" Oh, guru
ampunilah aku...."
Belum habis ucapan Cipta, tiba-tiba Jaka telah
membabatkan pedangnya ke tubuh Cipta Angkara. Se-
ketika tubuh Cipta terpotong menjadi dua dengan da-
rah yang telah mengering. Dari tubuh Cipta Angkara
yang telah mati, keluar asap hitam bergulung. Asap itu makin besar dan besar,
lalu berubah ujud menjadi Siluman Kerta Ganda Mayit.
"Rupanya kau, Siluman! Hiat...!" Kembali Jaka berkelebat, ditebaskan Pedang
Siluman Darah ke arah
Kerta Ganda Mayit. Kerta Ganda Mayit melolong pan-
jang. Itulah kehebatan Pedang Siluman Darah. Jan-
gankan manusia, silumanpun akan mati bila tertebas
oleh pedang tersebut.
"Hem, rupanya siluman itu telah mati," berkata Jaka dalam hati.
Ketika para tokoh persilatan yang telah me-
nundukan anggota Persekutuan Iblis pada berdatan-
gan ke arahnya, Pedang Siluman Darah telah hilang
dengan sendirinya.
"Jadi, kaukah pendekar Pedang Siluman Da-
rah, Anak muda?"
"Begitulah, Ki," menjawab Jaka hormat, manakala mendengar pertanyaan Ki Ranu
yang seketika membelalakkan mata. Begitu juga dengan yang lain-
nya, mereka tersentak kaget bercampur kagum.
Tengah semuanya terbengong saling pandang,
tiba-tiba Jaka telah berkelebat pergi sembari meninggalkan suara.
"Aku pergi dulu, sampai ketemu lagi. Maaf, aku
bukannya tak menaruh hormat pada kalian. Tapi ka-
rena aku terlalu sibuk serta masih banyak urusan. Selamat berjuang. Para
pendekar...."
"Aneh.... Kenapa kita tak tahu kepergiannya?"
bergumam Ki Ranu seperti pada diri sendiri. Akhirnya kesepuluh tokoh persilatan
itu segera berkelebat pergi kembali ke Padepokannya masing-masing....
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Misteri Bayangan Setan 11 Telapak Setan Karya Khu Lung Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 3
^