Pencarian

Utusan Iblis 1

Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Bagian 1


UTUSAN IBLIS Oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-
lam episode: Utusan Iblis 128 hal; 12 x 18 cm
1 Malam telah begitu larut dan dingin. Angin pe-
gunungan berhembus lembab, menciptakan embun
pada dedauan. Sayup-sayup terdengar suara burung
hantu, sebagai simbol burung malam.
Di sebuah rumah nampak lentera kecil menya-
la. Api lentera itu bergoyang-goyang diterpa angin. Dua orang suami istri nampak
masih terjaga. Pikiran mereka terhanyut dalam kehidupan yang tengah mereka
alami. Sang suami yang bernama Rundanu, nampak
tercenung. Tangannya menopang dagu, sepertinya ten-
gah melamuni kehidupan yang terjadi atas dirinya.
"Oh, bune, mengapa hidup kita hari demi hari
selalu begini?" terdengar keluh Rundanu. Sang istri yang bernama Rumini terdiam,
memandang dengan
mata yang sepertinya turut merasakan kepedihan hi-
dupnya. "Bosan rasanya aku hidup sengsara terus
Bune?" kembali Rundanu mengeluh.
"Lalu harus bagaimana, Pakne?" sang is tri yang sedari tadi terdiam turut
berkata. "Apakah kita akan begini terus?"
"Aku juga tak ingin, Pakne," menjawab si istri.
"Namun, apalah yang dapat kita lakukan sebagai orang kere?" "Bagaimana kalau
nanti anak kita ada yang meminang?"
"Ah, Pakne... Mengapa kau memikirkan hal
yang tidak-tidak?" kembali sang Istri berkata. "Jangankan orang melamar anak
kita, mengenalpun
mungkin enggan."
"Kau jangan terlalu pesimis, Bune."
"Bagaimana aku tak pesimis, Pakne," mengeluh sang istri sepertinya telah putus
asa. "Pakne tahu sendiri kita orang yang tak punya. Semua orang menghina kita,
semua orang sepertinya enggan mengenal kita.
Dasar nasib, Pakne."
Mendengar ucapan istrinya, seketika Rundanu
tak dapat berkata-kata lagi, diam membisu. Napas keduanya seakan berat, mendesah
penuh risau. Kehe-
ningan malam kian mencekam. Layaknya kelambu hi-
tam penuh misteri menyelimuti hening malam.
Kedua suami istri hanya diam. Diam dan diam,
tanpa banyak kata. Mata-mata kedua-nya menerawang
hampa, menatap kosong tiada gairah. Angin malam te-
rus bertiup, menderu-deru bagaikan prahara. Tengah
kedua suami istri itu terdiam merenungi nasibnya, ti-ba-tiba mereka dikejutkan
oleh gaung suara mengge-
ma. Seketika kedua Suami istri itu ketakutan, saling peluk dan gemetaran.
"Pakne, aku takut"
"Aku juga, Bune..."
Suara itu kembali menggaung-gaung bagaikan
ledakan air bah yang hancur tanggulnya. Dibarengi
dengan gaungan itu, terdengar gelak tawa mendirikan bulu kuduk.
"Hua, ha, ha!"
Kedua suami istri itu makin ketakutan, menge-
ratkan pelukan. Wajah kedua suami istri itu seketika memucat, bagaikan tak
berdarah. Mata keduanya me-lototi mencari-cari asal suara itu. Namun keduanya
tak menemukan apa yang mereka cari. Yang ada hanya
kebisuan dan kebisuan malam yang makin larut. Ke-
ringat dingin bagaikan lelehan air hujan yang deras, bercucuran membasahi
pelipis keduanya.
Tengah keduanya makin ketakutan, kembali
terdengar suara erangan, layaknya orang yang tengah menerima siksa. Ya, erangan
itu seperti erangan orang tersiksa. Habis erangan itu, terdengar suara berat
seorang lelaki berkata.
"Ki dan Nini Rundanu, janganlah kalian takut
padaku. Ketahuilah oleh kalian, aku ingin menolong
kalian." "Menolong kami?" tanya Ki Rundanu seperti ingin meyakinkan.
"Benar, Ki!" jawab suara itu dengan nada berat.
Nafasnya yang berat seperti mendesau. "Janganlah kalian bermurung durja karena
kalian miskin. Kalian ingin kaya, ingin makmur" Juga kalian ingin menjadi
orang yang sakti, Ki?"
"Be-benar!" menjawab Ki Rundanu terbata.
"Hua, ha, ha... gampang Ki. Gampang!"
"Ah, janganlah Ki Sanak membuat aku bin-
gung," keluh Ki Rundanu, sepertinya tak percaya pada ucapan suara itu. "Kami
tengah bingung bagaimana caranya untuk menjadi orang kaya sekaligus sakti."
Bergelak-gelak tawa suara itu, mendengar uca-
pan Ki Rundanu. Ki Rundanu dan istrinya yang tadi
ketakutan, kini nampak agak tenang. Di bibir kedua-
nya terpoles senyum, walau senyum itu tak tahu ditu-jukan pada siapa.
Habis tertawa bergelak-gelak, kembali suara itu
merintih dan merintih. Rintihan itu makin lama makin seru, lalu makin menyayat.
Ya, rintihan itu seperti rintihan kesakitan, bahkan rintihan erangan. Kembali
kedua suami istri itu ketakutan, merinding bulu kuduk mereka.
"Pakne.."
"Ya, Bune...." menjawab Ki Rundanu dengan ketakutan pula.
"Ki.. Ki... aku dingin. Tolonglah aku, Ki. Tolonglah..." Makin bertambah
ketakutan saja kedua suami istri itu demi mendengar suara itu meminta tolong.
Keringat dingin kembali deras membasahi kening kedua-
nya. "Kenapa engkau terdiam, Ki. Kenapa?" kembali suara itu berkata merintih.
"Kau jangan menakut-nakuti kami, Ki Sanak.
Kami takut," berkata Ki Rundanu dengan bibir gemetar. Sementara sang istri hanya
terdiam, diam dalam kelu dan rasa takut.
"Bukankah kau ingin menjadi orang kaya?"
"Memang... Namun kenapa engkau menakuti
aku dan istriku?" menjawab Ki Rundanu masih ketakutan. "Kalau kau mau bunuh
kami, bunuhlah!"
"Tidak! Aku tak akan membunuh kalian. Aku
ingin kalian menjadi sahabat-sahabatku. Kau menger-
ti, Ki" Tolonglah aku, Ki. Tolonglah!"
"Apa yang dapat aku bantu, Ki Sanak?" tanya Ki Rundanu tak mengerti. Sejenak
ditatapnya wajah
sang istri yang tampak memucat ketakutan. "Aku orang miskin. Aku orang tak punya
apa-apa." "Aku tak perlu materi, Ki. Aku tak perlu itu..."
"Lain, apa permintaanmu?" tanya Ki Rundanu.
"Tolonglah diriku, Ki."
"Ah,, apa yang dapat aku tolong?" balik bertanya Ki Rundanu.
Sesaat suara itu terdiam. Diam pula kedua su-
ami istri Rundanu, sepertinya hendak mengikuti kebisuan malam yang kian melarut
dan larut. Salak anjing liar terus menggema, sepertinya anjing-anjing itu tengah
menghadapi musuh bebuyutannya.
"Auuuuuuuungg...! Auuuunnggg!"
"Hud... hud...! Blukuk, blukuk. Huuddddd!"
"Keluarlah kau bersama istrimu, bawa oleh ka-
lian dupa."
"Untuk apa...?" bertanya Ki Rundanu tak mengerti. Wajahnya meredup. Matanya
menatap tiada arah. Hanya langit-langit kamar tamu gubug rumah-
nya saja yang membisu, membalas tatapan ganjil dari sorot mata Ki Rundanu.
"Tak usahlah kau banyak tanya. Lakukan sega-
la apa yang aku katakan."
"Baiklah! Lalu bagaimana selanjutnya?"
Akan aku beritahukan padamu nanti, Ki Run-
danu." "Ah, apakah kau tak bercanda?"
Terdengar desah berat sesaat. Desah itu bagai-
kan sebuah angin kencang bertiup, menerpa wajah
suami istri itu yang terdiam.
"Hua,ha,ha... aku tak bercanda, Ki. Nah, lakukanlah!"
"Baik, kami akan melakukannya!" menjawab Ki Rundanu.
"Hua, ha, ha... itu memang bagus, Ki. Kalau
aku sudah terbebas, apa yang kau inginkan akan aku
kabulkan."
"Benarkah itu...?" tanya istri Rundanu girang.
"Benar, Nini... maka itu, lakukanlah segera!"
Dengan habisnya ucapan suara itu, terdengar
kembali bunyi gemuruh bagaikan air bah. Dan kembali anjing hutan melengkingkan
lolongan panjang, seakan ada sebuah misteri di balik semuanya.
* * * Setelah mempersiapkan apa yang mesti diper-
lukan, kedua suami istri itu dengan tertatih-tatih melangkah ke luar rumah.
Kaki-kaki mereka yang tak be-ralas, terasa dingin menapak tanah. Udara yang din-
gin, bagaikan tak terasa oleh mereka.
Tanpa banyak bicara, kedua orang suami istri
itu terus berjalan dan berjalan menyusuri malam. Di wajah keduanya tergambar
ketakutan. Tubuh keduanya menggigil diterpa dingin malam. Lebih menggigil kala
terdengar suara itu kembali bergema. Sampai-sampai lutut keduanya terasa lemas
bagai tak bertu-
lang. Keduanya menjeprok terduduk lesu.
"Kenapa kalian mesti takut?" bertanya suara itu manakala melihat kedua suami
istri Rundanu ketakutan. "Janganlah kalian takut. Percayalah, aku tak akan
mengganggu kalian. Bahkan aku hendak menolong kalian dari kemiskinan."
Mendengar ucapan suara itu, seketika Ki Run-
danu dan istrinya hilang rasa takut. Dengan hati yang diberani-beranikan, kedua
orang suami istri itu kembali melangkah tak tahu arah.
"Teruskan langkah kalian ke muka. Bila kalian
menemukan sebuah pohon beringin, berhentilah ka-
lian di situ. Bakar dupa yang kalian bawa. Dan
ucapkan kata-kata sebagai berikut. "Lening Uripe Kanjeng Baginda Penguasa
Kegelapan, dengan ini kami
persembahkan kunci pembuka kuburmu." Kalian paham...?"
"Paham," menjawab keduanya bareng.
"Coba kalian ucapkan lagi!" terdengar suara itu memerintah.
Sesaat kedua suami istri itu terdiam. Seper-
tinya kedua suami istri Rundanu tengah mengingat-
ingat kembali kata-kata yang diajarkan oleh Penguasa Puri Kegelapan. Kemudian
dengan suara terputus-
putus keduanya berkata.
"Lening... Urip Kanjeng...." Ki Rundanu dan istrinya terdiam tak dapat
meneruskan kata-katanya,
membuat Penguasa Puri Kegelapan kembali bertanya.
"Kenapa, Ki?"
"Aku lupa," menjawab Ki Rundanu.
Bergelak-gelak tawa Penguasa Puri Kegelapan,
demi mendengar jawaban Ki Rundanu. Ki Rundanu
seketika mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam
hati, "Mengapa Iblis dapat bercanda?"
"Tidak hanya manusia saja yang dapat bercan-
da, Ki" Tersentak Ki Rundanu kaget, demi mendengar ucapan Penguasa Puri
Kegelapan. Bagaimana tidak!
Ucapan itu hanya ada di hatinya, namun ternyata Penguasa Puri Kegelapan
mengetahui. Lebih tersentak lagi Ki Rundanu, manakala Penguasa Puri Kegelapan
kembali berkata,
"Jangan kau bingung, Ki. Memang aku dapat
mengetahui segala apa yang ada di hatimu. Maka itu, janganlah sekali-kali kata
mendustai ku."
"Baiklah, aku tak akan sekali-kali mendustai
mu. Asalkan kita dapat mendapatkan apa yang aku
harapkan," menjawab Ki Rundanu, menjadikan Penguasa Puri Kegelapan seketika
kembali tertawa bergelak-gelak. "Hua, ha, ha... Itu bagus, Ki. Dengan kau tak
mendustai aku, maka segalanya akan berjalan dengan
baik dan cepat. Kau akan menjadi orang kaya seketika dan sakti. Itu yang kau
inginkan. Itu yang kau inginkan, bukan?"
Karena didorong oleh rasa ingin mendapatkan
kekayaan dan janji-janji muluk dari Penguasa Puri Kegelapan, menjadikan Ki
Rundanu dan istrinya bagai-
kan melangkah di siang hari. Langkah mereka bak ada yang menuntun, tak ada
ganjelan atau pun sandun-gan. "Percepat langkah kaki kalian. Percepat...."
terdengar suara Penguasa Puri Kegelapan berkata, me-
nyuruh mereka untuk mempercepat langkahnya. Hal
itu menjadikan kedua suami istri Rundanu tersentak.
Menurut perasaan mereka, mereka telah melangkah
dengan cepat bahkan hampir berlari. Namun kenapa
Penguasa Puri Kegelapan menyuruh mereka memper-
cepat langkahnya" Tak tahunya, waktu hampir menje-
lang pagi. Angin terasa bagaikan tetesan-tetesan es, dingin menyabik tulang.
Tanpa banyak kata, kedua suami istri itu ma-
kin mempercepat langkah kaki mereka. Kini keduanya
bukan berjalan, namun berlari. Ya, keduanya berlari memburu waktu yang sesaat
lagi akan berganti.
Tak berapa lama kemudian, kedua suami istri
itu telah sampai pada apa yang ditunjukkan oleh Penguasa Puri Kegelapan.
Keduanya segera menyalakan
dupa. Tengah keduanya tepekur menghadapi dupa
yang mengepul menjadikan asap tebal bergulung, ter-
dengar suara Penguasa Puri Kegelapan kembali berka-
ta. "Kau ingat ucapan yang aku ajarkan, Ki"
"Tidak," menjawab Ki Rundanu yang seketika menjadikan bentakan marah Penguasa
Puri Kegelapan.
"Bodoh! Kenapa kau tak mengingatnya?"
"Ampuni kami," meratap Ki Rundanu.
Sementara sang istri nampak ketakutan men-
dengar bentakan itu. Wajahnya pucat, seputih kertas.
Sepertinya, darah yang mengalir di tubuh kini tak ada lagi. Bibirnya membiru
oleh dingin, oleh perasaan yang mencekam, juga oleh gelora hatinya yang entah
ada perasaan apa. "Dengar baik-baik olehmu.
"Lening Urip penguasa Puri Kegelapan, kubuka
kuburmu." Mengerti...!"
"Mengerti," menjawab Ki Rundanu.
"Sekarang juga, ucapkan!"
Dengan bibir gemetaran menahan perasaan
dan hawa dingin yang menyayat tulang, Ki Rundanu
berkata terputus-putus.
"Lening Urip Penguasa Puri Kegelapan, kubuka
kuburmu."

Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berbareng dengan habisnya suara Ki Rundanu,
seketika dari bawah pohon beringin keluar asap putih kehitam-hitaman, bergulung-
gulung membumbung ke
angkasa. Bersama itu pula, pohon beringin itu seketika jebol, mencelat ke atas
bagai didorong oleh tenaga raksasa. Melotot mata Ki Rundanu dan istrinya,
melihat kejadian yang sukar untuk diterima akal mereka. Saking kagetnya, mereka
seketika loncat dari duduknya.
Mata mereka melotot, sedang mulut mereka bengong
melompong. Keringat dingin keduanya seketika menga-
lir deras, lalu mereka ambruk dengan lutut bagai tak bertulang, ketika terdengar
suara gelak tawa membahana memecahkan malam yang sunyi. Bersamaan
dengan itu, sesosok tubuh yang mengerikan keluar da-ri dalam tanah.
Pertama tangannya keluar. Tangan itu tak ber-
daging sedikit pun. Tulang-tulangnya nampak jelas ke-lihatan. Bergidik kedua
suami istri itu, sehingga keduanya seketika surut mundur. Lebih-lebih ketika
kepala mahluk itu nongol, mereka baikan hendak pingsan sa-ja. Kepala mahluk itu,
jelas-jelas kepala tengkorak.
Matanya kosong tiada isi. Hidungnya bolong dengan
daging-daging membusuk bau.
Saking takutnya kedua suami istri itu, kedua-
nya hendak berkelebat pergi kalau saja tak terdengar seruan mahluk memanggil
nama mereka. "Ki Rundanu... kenapa kau hendak lari?"
Ki Rundanu seketika menghentikan larinya, di-
am terpaku pada tempat pijaknya. Lututnya naplok,
bagaikan hendak patah layaknya.
"Jangan takut, Ki. Aku telah kau tolong, maka
aku hendak membalas jasa padamu" berkata tengkorak hidup itu lagi. "Dengar
olehmu, aku akan memberikan apa saja yang engkau inginkan. Asal... kalian mau
selamanya menjadi pengikutku. Pengikut Penguasa Puri Kegelapan. Bagaimana, Ki?"
Dengan rasa takut, Ki Rundanu mengangguk.
Hal itu menjadikan mahluk tengkorak hidup itu kem-
bali tertawa bergelak-gelak, yang membuat tubuhnya
ikut bergetar. Tubuh tengkorak yang bergetar, menjadikan bunyi bletok... bletok
ketika tulang-belulangnya beradu. "Sekarang juga, kalian akan menjadi orang kaya
raya. Namun kalian mesti ingat! Kalian setiap
malam Jum'at harus memberikan padaku seorang bayi
merah. Kalian paham...?"
"Kami mengerti, Paduka Penguasa Puri Kegela-
pan," menjawab keduanya dengan ketakutan.
"Sekarang kalian kembalilah ke rumah. Ingat
pesanku, kalian harus memberikan seorang bayi me-
rah setiap malam Jum'at. Nah, lihat oleh kalian, bahwa di bawah tikar kalian
akan ada sekantong uang emas.
Itu harta pertama untuk kalian. Bila kalian telah
memberi seorang bayi, maka kalian akan mendapatkan
sekantong uang emas lagi. Jangan sekali-kali kalian ingkar. Ingat, aku akan
menghukum kalian bila in-
gkar. Pulanglah!"
Dengan tanpa menengok-nengok lagi, kedua
suami istri itu pun segera berlari pergi. Di hati keduanya kini tertanam seribu
macam pertanyaan. Benar-
kah apa yang diucapkan oleh Penguasa Puri Kegela-
pan" Ketika keduanya telah kembali ke rumah, dengan segera kedua suami istri itu
membuktikannya.
"Ah..." membelalak mata kedua suami istri itu, manakala dilihatnya sekantong
uang emas. Maka dengan menangis bahagia, kedua orang suami istri itu saling
berangkulan. Malam kian bergerak cepat, berubah dengan
datangnya pagi. Sekali-kali kokok ayam jantan terdengar bersamaan dengan fajar
yang datang menyingsing
di ufuk Timur. Embun perlahan-lahan berlari, pergi te-rusir sinar mentari.
*** 2 Setelah bangkit dari kuburnya yang berada di
bawah pohon beringin atas pertolongan kedua suami
istri Rundanu, Penguasa Puri Kegelapan kini membikin teror. Bila malam telah
datang, Penguasa Puri Kegelapan muncul untuk mencari orang-orang yang telah
menghukumnya di bawah pohon beringin.
Siapakah Penguasa Puri Kegelapan itu" Agar
supaya para pembaca tidak jengah dan bertanya-
tanya, marilah kita tilik kembali ke beberapa tahun yang silam. Di mana kita
akan mengetahui siapa
adanya Penguasa Puri Kegelapan, yang kini kembali
bangkit untuk menuntut balas.
Lima puluh tahun yang silam, tersebutlah satu
perguruan yang sudah terkenal. Perguruan itu berna-
ma "Perguruan Samudra Biru." Adapun pemimpin perguruan itu, adalah seorang Resi
bernama Resi Wilma-
ka Suldra. Kesaktian Resi itu tiada tandingnya. Sampai-sampai hampir semua tokoh
persilatan takut dan
jera padanya. Resi Walmaka mempunyai lima orang murid,
yang terkenal dengan sebutan Panca Gumilang. Panca
artinya lima, sedang Gumilang artinya kemenangan.
Jadi Panca Gumilang berarti Lima Kemenangan. Mas-
ing-masing kelima muridnya itu memiliki kesaktian
yang sama tinggi. Murid pertamanya bernama Boman-
tara. Yang kedua bernama Saislendra. Yang ketiga
bernama Reksa Pati. Sedang yang keempat dan kelima, bernama Wanggada dan
Waskita. Berbeda dengan watak gurunya yang berbudi
pekerti, kelima murid sang Resi mempunyai tabiat buruk. Murid pertama suka
Mabok. Murid kedua suka
Maling. Murid ketiga suka Main. Sedang murid keem-
pat dan kelima suka Madat dan Madon
Kesaktian yang mereka miliki itulah senjata
mereka untuk mendapatkan segala apa yang mereka
inginkan. Hingga saking seringnya mereka melakukan
tindakan-tindakan itu, mereka pun mempunyai gelar
apa yang sesuai dengan tindakan mereka. Si murid
pertama bergelar Pendekar Sakti Dewa Mabok. Murid
kedua bergelar Pendekar Raja Maling. Ketiga bergelar Pendekar Gila Judi. Dan
keempat serta kelima bergelar Pendekar Kumbang dan Pendekar Candu.
Pada suatu hari, sang Resi memanggil kelima
muridnya. Sang Resi sengaja memanggil mereka untuk
memberikan kabar sesuatu. Walau mereka merupakan
Pendekar-pendekar yang tindakannya tak sesuai den-
gan tata susila, namun mereka selalu menjaga nama
baik guru mereka yaitu Resi Walmaka. Mereka pun
merupakan murid-murid yang patuh, yang tak sekali-
kali menentang ucapan gurunya.
Mereka segera menemui sang guru, yang telah
menunggu kedatangan mereka berlima. Sang Resi
tampak telah duduk di atas sebuah batu dengan
agungnya. Mata sang Resi yang telah tua, sepertinya tak terhalang oleh
kerabunan. Hingga mata tua itu,
bagaikan sorot mata burung elang yang tajam.
Kelima murid-muridnya segera menyembah, la-
lu duduk dengan berderet. Wajah kelimanya menun-
duk, tak seorang pun yang berani menentang pandan-
gan sang guru. "Murid-muridku."
"Hamba, Guru," menjawab kelimanya menjura hormat. "Kalian tahu mengapa aku
mengundang kalian?" bertanya sang Resi, menjadikan kelima muridnya makin
tertunduk. Di hati kelimanya tersembul ra-sa was-was, takut kalau-kalau gurunya
mempunyai marah padanya. "Kami tak tahu, Guru," kembali kelimanya
menjawab. "Ketahuilah, murid-muridku. Kini dunia persi-
latan telah digegerkan oleh berita hilangnya sebuah senjata milik kerajaan.
Senjata itu merupakan senjata wasiat. Barang siapa yang mampu menemukan senjata
tersebut, dirinya akan menjadi orang tersakti di dunia ini."
Sang Resi kembali terdiam. Matanya meman-
dang pada kelima murid-muridnya yang tampak masih
terdiam, tak ada yang berkehendak bicara. Demi melihat kelima muridnya hanya
diam, kembali sang Resi
meneruskan ucapannya.
"Apakah kalian tak ingin mencari pusaka itu?"
"Ah, jadi guru hendak menyuruh kami turut
serta mencari pusaka tersebut?" balik bertanya Saelendra. "Benar, muridku."
menjawab sang Resi, menjadikan kelima muridnya kembali terjengah. "Apakah Kalian
tak ada yang ingin menjadi pejabat kerajaan?"
"Untuk apa?" tanya Bomantara, sepertinya tak tertarik dengan segala ucapan
gurunya. "Bukankah lebih baik menjadi seperti sekarang ini" Kerajaan terlalu
banyak aturan-aturan, yang dapat membuat pusing di-ri kita sendiri. Maaf, Guru,
hamba tak berkenan."
"Tak mengapa, Bomantara," menjawab Resi
Walmaka. "Yang lainnya, bagaimana?"
"Hamba juga tak berminat, guru," kini Saelendra yang menjawab.
"Hem, dua orang sudah yang tak berminat,"
bergumam Resi Wanaka. "Yang lainnya...?"
Seperti Bomantara dan Saelendra, murid ketiga
pun menolak untuk mengikuti sayembara raja. Baru
setelah murid keempat dan kelima, keduanya meneri-
ma tawaran itu.
"Bagus! Kalau hal itu sudah bulat di hati ka-
lian, maka kalian harus dapat melaksanakan tugas kalian dengan baik. Ingat
jangan sampai membuat malu
perguruan."
"Hamba mengerti, Guru," menjawab. keduanya bareng. Esok harinya dengan, diantar
oleh sang Resi, kedua murid itu segera menuju ke Istana untuk men-daftarkan diri
mereka. Rupanya karena sang Raja
mengenal siapa sang Resi Wilmaka adanya, tanpa
mengalami kesulitan, kedua murid Resi Wanaka itu di-
terima. * * * Hari itu juga Wanggada dan Waskita yang telah
diterima sebagai anggota pencari pusaka yang hilang segera bekerja. Keduanya
yang mendambakan bakal
menjadi abdi dalem istana, berusaha sekuat tenaga
mencari pusaka Gong Emas Sakti yang hilang dicuri
orang. Gong Emas Sakti, merupakan sebuah benda
yang mempunyai "Ma'na." Bila gong itu ditabuh pada siang hari, maka sepanas
apapun matahari akan redup. Bila gong itu ditabuh dalam menghadapi musuh,
maka seketika musuh akan lumpuh terkena getaran-
nya. Sungguh-sungguh merupakan benda langka
dan sakti. Gong Emas Sakti itu merupakan pusaka tu-
run temurun kerajaan. Barang siapa yang memegang
gong tersebut, maka dialah yang berhak menjadi raja di Kerajaan Tanjung Lor.
Itulah kenapa baginda Raja Ruda Galuh sangat mengkhawatirkannya. Di samping
gong tersebut dapat membawa bencana bagi kerajaan,
juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan
olehnya selaku raja.
Karena baginda Ruda Galuh merupakan adik
seperguruan Resi Wilmaka, maka baginda pun memin-
ta bantuan pada sang Resi untuk mencarikan gong
tersebut. Hingga akhirnya sang Resi memerintahkan
pada kedua muridnya.
Kini kedua murid Resi Wilmaka telah menja-
lankan tugas, mencari pencuri gong tersebut yang belum diketahui orangnya. Hal
itu menjadikan kesulitan bagi keduanya. Jangankan menangkap pencurinya dan
mengambil gong tersebut, mengetahui wajah pencu-
rinya pun mereka belum tahu.
"Aku rasa, pencurinya bukan orang sembarang,
Kakang." "Benar ucapanmu, Adik Waskita," menjawab
Wanggada. "Susah..." mengeluh Waskita seraya memper-lambat lari kudanya.
"Apa mungkin kita dapat melakukannya?"
kembali Waskita mengeluh, sepertinya keluh itu ditu-jukan pada diri sendiri.
Wanggada hanya terdiam, ia nampaknya turut bimbang atas kemampuan diri sendiri.
Bukannya apa, mereka memang belum tahu siapa
orang yang telah mencuri gong tersebut.
"Apa tidak sebaiknya kita berpisah mencarinya, Kakang?"
"Terserah mu saja," menjawab Wanggada.
Setelah dicapai kata sepakat, dengan segera
kedua kakak beradik itu berpisah. Wanggada men-
gambil jalan ke Barat, sementara Waskita segera mengambil jalan ke Timur
* * * Sejak hilangnya gong Emas dari kerajaan, du-
nia persilatan seketika dibuat geger oleh seorang wanita yang sakti. Wanita itu
masih muda, dengan senjata saktinya berbentuk gong emas.
Semua tokoh persilatan dibuat kalang kabut,
tak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya. Se-
bab di samping gong pusaka itu, si wanita juga memiliki ilmu yang tinggi.
Sejak itu, bantai membantai antar golongan
persilatan terjadi. Semua hanya ada satu tujuan, mendapatkan gong pusaka dan
menjadikan dirinya raja.
Korban demi korban berjatuhan, mati dalam usahanya
merebut gong Emas tersebut.
Kabar itu juga terdengar oleh kedua murid Resi
Wilmaka yang tengah diutus sang Raja untuk mencari
pencurinya. Kedua murid resi Wilmaka pun segera
memburu pencuri yang sudah diketahui siapa adanya.
Karena sudah mengetahui siapa adanya pencu-
ri tersebut, maka kedua kakak seperguruan dengan
segera dapat menemukan pencuri tersebut. Pencuri itu adalah seorang gadis cantik
jelita. Ia adalah anak raja terdahulu bernama Rara Sumbadra. Dengan dibantu
Dirgantoro, Rara Sumbadra bermaksud merebut kem-
bali tahta Kerajaan yang telah direbut oleh Raja Ruda Galuh.
"Rara Sumbadra, keluar kau!" berseru Anggada, manakala keduanya telah sampai di
padepokan Rara Sumbadra. "Cepat keluar dan serahkan kembali gong Emas itu pada kami!"
"Setan! Siapa yang berani berteriak-teriak
kayak kunyuk!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan itu, seso-
sok tubuh wanita muda berkelebat ke luar. Senyum-
nya sinis mengulas di bibirnya. Matanya tajam meng-
hujam, memandang pada kedua kakak beradik di de-
pannya. "Hem, rupanya kalian yang datang. Untuk apa
kalian datang ke mari?"
"Rara Sumbadra... Kalau kau mau memberikan
gong itu padaku, maka kau akan kami ampuni!"
menggertak Waskita sengit. Sedangkan Anggada nam-
paknya hanya terdiam. Hatinya telah terpanah oleh
ulasan senyum Rara Sumbadra, sehingga hatinya se-
ketika bergetar memandang Rara Sumbadra. Kini tu-


Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juannya berubah dari tujuan semula. Semula Anggada
bermaksud menangkap Rara Sumbadra, berubah men-
jadi ingin dapat bersanding dengan gadis jelita itu.
"Adik Waskita, bukankah lebih baik kita men-
gikutinya?"
"Kakang...!" terbelalak mata Waskita mendengar ucapan Anggada.
"Kenapa, Adik?"
"Apakah Kakang hendak melupakan tujuan ki-
ta?" balik bertanya Waskita terheran-heran dengan tingkah kakaknya. "Ingat
kakang, guru akan marah bi-la kau mengingkari tugas ini."
"Persetan dengan guru!"
"Kakang!" memekik Waskita.
Melihat kedua kakak beradik seperguruan itu
bertengkar sendiri, Rara Sumbadra tampak tersenyum
senang. Dan dengan genit, Rara Sumbadra yang telah
tahu bahwa Anggada tertarik padanya segera berkata.
"Pendekar Kumbang, kalau kau mau memban-
tuku maka aku pun akan dengan senang menyerah-
kan diriku padamu. Bukankah kau memang mengha-
rapkan aku menjadi milikmu?"
Seketika hati Anggada yang telah terpanah oleh
kecantikan Rara Sumbadra bimbang. Sesaat ditatap-
nya Waskita yang nampak terbelalak, lalu dengan se-
nyum mengembang Anggada kembali berkata.
"Baiklah, Rara Sumbadra, aku akan melindun-
gimu. Tapi jangan sekali-kali kau mengingkari. Bila kau kelak mengingkari, maka
tak ada ampun untukmu." Rara Sumbadra makin melebarkan senyumnya.
"Percayalah padaku, Kumbang. Aku juga me-
nyintaimu, kok," merayu Rara Sumbadra, menjadi ser hati Anggada. Dengan tanpa
membuang-buang waktu,
Anggada segera melompat dari kudanya dan berdiri di
samping Rara Sumbadra. Senyumnya kini sinis pada
adik seperguruannya, yang melotot tajam menghujam.
"Kau... Kau kakang!"
"Kenapa Waskita" Kalau kau ingin tenang, ikut-
lah kami," menjawab Anggada sinis. Sejenak ditatapnya Rara Sumbadra yang
tersenyum, lalu dengan pe-
nuh permusuhan Anggada memandang tajam pada
adik seperguruannya.
"Setan...! Aku tak akan mau mematuhi mengi-
kuti kalian!" menggertak marah Waskita. "Ingat Anggada, kau nantinya menyesal!"
"Tak ada kamus menyesal pada Anggada,
Waskita." "Baik, mulai sekarang kita bukan saudara se-
perguruan. Kita sekarang mempunyai tujuan masing-
masing!" Waskita berkata marah. Ia kecewa, ia gusar melihat kelakuan kakak
seperguruannya yang telah
mengingkari janjinya pada guru dan kerajaan. Tak di-nyana, kalau tali
persaudaraan yang selama ini dibina, harus hilang dengan begitu saja hanya
karena tingkah Anggada yang tak dapat dimengerti.
"Kalau itu yang engkau mau, terserah. Nah,
apakah kau akan menangkap kami?" bertanya Angga-da, nadanya seperti mengejek.
Kegusaran hati Waskita kian menjadi. Maka
dengan membentak, Waskita segera berkelebat menye-
rang dua musuhnya. Satu bekas kakak seperguruan-
nya yang telah murtad, satunya lagi orang yang me-
mang dicari-cari oleh kerajaan.
"Anggada murid murtad! Jangan kira aku takut
pada kalian, hiaat...!"
Anggada yang sudah tahu kemampuan adik se-
perguruannya segera berkelebat mengelak, begitu juga Rara Sumbadra. Dengan
beringas karena marah dan
kecewa, Waskita terus berusaha merangsek kedua
musuhnya. Pertarungan itu pun terjadi. Jurus demi jurus
mereka keluarkan, dengan harapan dapat segera men-
jatuhkan musuhnya. Serangan Anggada dan Rara
Sumbadra silih berganti, sepertinya mereka telah kom-pak benar. Sekali Anggada
menyerang, Sumbadra se-
gera melanjutkan.
"Menyerahlah, Waskita!"
"Pantang bagiku untuk menyerah pada kalian!
Langkahi dulu mayatku, atau kalian berdua yang
minggat dari bumi ini!" Waskita yang sudah marah, makin marah mendengar ucapan
kakak seperguruannya yang telah berhaluan pada musuh.
"Begitukah yang kau ingini, Waskita?"
"Ya, itu yang aku ingini!" menjawab Waskita.
"Tak sudi aku menjadi adik seperguruanmu. Dan ingat, sejak saat ini perguruan
bukan menjadi Panca
Gumilang. Namun sekarang perguruan bernama Catur
Gumilang. Jangan injak lagi perguruan!"
"Hua, ha, ha... Tak menginjak pun, aku akan
hidup bahagia bersama Rara Sumbadra. Bukan begitu,
Rara!" "Benar, Kakang. Kau akan bahagia bersamaku.
Kau akan selalu merasakan keindahan-keindahan
yang aku berikan," menjawab Rara Sumbadra genit.
Senyumnya yang manis menghunjam di ulu hati Ang-
gada. "Iblis! Kalian memang benar-benar Iblis! Maka kalian kelak tak akan mati
sempurna!" menyumpah Waskita marah. Habis berkata begitu, Waskita kembali
berkelebat menyerang.
Pertarungan terus berjalan dengan serunya, se-
pertinya mereka sama-sama tangguh, sama-sama
mumpuni. Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya, tak terasa sudah jurus yang
kelima puluh berlalu.
Tersentak Waskita, manakala selarik sinar me-
rah menyala ke luar dari tangan kakak seperguruan-
nya. Ia tahu apa yang sebenarnya telah dilakukan kakaknya. Kakaknya kini telah
mengeluarkan ajian an-
dalannya, yang berupa larikan sinar merah panas
membara. Ajian tersebut bernama, Serat Gumilang Ja-
ti, sebuah ajian yang telah guru mereka ajarkan. Serat Gumilang Jati terdiri
dari sepuluh tahapan. Setiap tahapan, selalu berubah-ubah penggunaan tenaganya
juga kehebatannya. Tahap pertama, akan mampu
membakar daun-daun kering. Tahapan kedua dan se-
lanjutnya sudah dapat dibayangkan, betapa akan lu-
luh lantak semua yang terkena. Kali ini Anggada
menggunakan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keli-
ma, yang dapat menjadikan batu meleleh
"Tak pantas kau memakai ajian itu, Anggada!"
membentak Waskita berang. "Kau bukan murid perguruan Gumilang."
"Itu bukan hakmu, Waskita!" balas menggertak Anggada. "Apakah kau takut!"
"Hem, jangan kira aku takut, Anggada. Aku
pun memilikinya sepertimu. Lihat ini...!"
Seketika tangan Waskita berubah menjadi me-
rah membara, lebih merah dibandingkan tangan Ang-
gada. Anggada yang telah tahu tingkat berapa Waskita menggunakannya, tersentak
melompat mundur. Dari
mulutnya terbersit seruan kaget.
"Serat Gumilang Jati tingkat tujuh. Dari mana
kau memperolehnya?"
"Hem, kenapa kau pucat, Anggada" Ayo kita
mulai!" Tanpa menunggu jawaban dari Anggada,
Waskita yang sudah marah dan kecewa pada kakak
seperguruannya segera lepaskan ajian Serat Gumilan Jati tingkat tujuhnya.
Tersentak Anggada dan Rara Sembadra melom-
pat mundur, mengelakkan serangan ajian tersebut.
Mata mereka melotot kaget, manakala melihat apa
yang terjadi. Bukit di belakang mereka seketika runtuh dengan suara bergemuruh.
Batu-batunya hancur menjadi abu, berterbangan menerpa keduanya.
"Bahaya, Kakang," menggumam Rara Semba-
dra. "Tenanglah! Apakah kau mempunyai cermin?"
bertanya Anggada.
"Untuk apa, Kakang?" Rara Sembadra kembali bertanya tak mengerti.
"Ambillah segera, biar aku menghalanginya."
Dengan segera, Sembadra berkelebat pergi me-
ninggalkan kedua kakak beradik yang tengah bertem-
pur. Waskita untuk kedua kalinya menghantamkan
ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketujuhnya, mem-
buat Anggada harus berjumpalitan mengelakkan se-
rangan itu. Melihat Anggada yang nampaknya keteter,
Waskita yang telah marah terus mencecarnya dengan
ajian Serat Gumilang Jati. Hal itu menjadikan Anggada harus menguras tenaga.
Hanya dengan meringankan
tubuh saja yang dapat ia lakukan, untuk mengelakkan serangan ajian ganas itu.
Ketika Anggada tengah benar-benar terdesak,
secepat kilat Rara Sembadra yang telah dapatkan cermin berseru. Dilemparkannya
cermin itu pada Anggada yang dengan segera menerimanya.
"Ini, Kakang!"
"Bagus! Hoop...!"
Waskita yang masih dilandasi amarah, terus
mencecar Anggada dengan ajian tersebut. Secepat kilat kala Waskita kembali
menyerang, Anggada kiblatkan
cermin memapaki serangan tersebut. Tak ayal lagi,
ajian Serat Gumilan Jati balik terpantul menyerang
tuannya. Waskita yang tak menyadari hal itu, tersentak dan berusaha menghindar.
Namun serangan balik
ajiannya lebih cepat, dan menghantam tubuh Waskita.
Seketika itu Waskita melolong panjang, tubuhnya terpental jatuh ke dalam jurang.
Tersenyum senang keduanya, yang kemu-
dian berlari melihat ke bawah jurang di mana Waskita jatuh. Setelah dilihatnya
Waskita tak tampak, kedua orang itu segera kembali ke pondok.
"Kini halangan tak ada lagi, Rara. Aku meminta janjimu."
"Dengan senang hati, Kakang," jawab Rara
Sembadra. Senyumnya mengembang, sepertinya sen-
gaja menggoda. Anggada yang sudah terbakar naf-
sunya, segera memeluk tubuh Rara Sembadra. Bagai-
kan dua macan yang kelaparan, kedua orang itu ber-
gumul menyalurkan nafsu. Selang beberapa lama ke-
mudian, terdengar pekikan Rara Sembadra bersamaan
dengan darah merah menetes dari miliknya yang san-
gat berharga. Demi cita-cita, segalanya dipasrahkan...
*** 3 Tersentak Resi Wilmaka dari semedinya. Seperti
ada sesuatu tenaga penggerak yang sangat kuat, men-
gusiknya untuk bangun. Sejenak sang Resi terpekur
diam, dengan pikiran menerawang entah pada sugesti
apa. Matanya yang terbuka, terkejap-kejap perlahan.
Keningnya dikerutkan seperti tengah menerawang.
"Ada apakah dengan Waskita" Sepertinya dia
dalam kesusahan." Bergumam sang Resi dalam hati,
"Kenapa Anggada tak segera memberi tahu padaku" Ke
mana pula Anggada...?"
Tengah sang Resi tercenung diam, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara pintu Padepokan dibuka dengan paksa hingga menjadikan
bunyi bergedubrak.
"Braak...!"
"Hai, siapa...?"
Tak ada jawaban, hanya terdengar suara eran-
gan kesakitan. Seketika sang Resi memburu ke muka.
Betapa terbelalak mata Resi Wilmaka, manakala meli-
hat apa yang ada di hadapannya. Sesosok tubuh den-
gan luka-luka mengedubrak di balai-balai. Ketika sang Resi tahu siapa adanya
orang itu, seketika memekiklah sang Resi.
"Waskita... Waskita! Kenapa kau, Nak?"
Waskita hanya diam tak menjawab, tubuhnya
terkulai lemas.
Melihat muridnya begitu menderita, sang Resi
tanpa banyak pikir panjang segera meraup tubuh pe-
nuh luka itu. Digendongnya dan dibawa ke dalam.
Dengan mata berkaca-kaca seperti hendak menangis,
dibaringkan tubuh Waskita pada pembaringan.
Resi Wilmaka tampak sibuk sendiri, berjalan hi-
lir mudik ke depan dan ke dapur. Sampai-sampai ka-
rena pusingnya dan panik, sang Resi segera berseru
memanggil ketiga muridnya.
"Bomantara... Saelendra... Reksa Pati...! Hai
murid-murid gemblung, kalian pada ke mana" Apa ka-
lian tidak tahu adik kalian dalam keadaan teler?"
Tak berapa lama kemudian setelah sang Resi
menjerit-jerit memanggil ketiga muridnya. Ketiga orang murid sang resi segera
berdatangan menghampiri dan
bertanya serempak.
"Ada apa, Guru" Sepertinya kebakaran saja."
"Kebakaran-kebakaran kepala kalian! Apa ka-
lian tidak melihat adik kalian dalam keadaan mabok?"
"Mabok, Guru" Ah, guru jangan bercanda,"
berkata Bomantara.
"Eh-eh-eh, kalian tak percaya. Lihat itu..."
Sang Resi segera menunjuk di mana Waskita
terbaring dengan luka-luka. Seketika memekiklah keti-ga murid sang Resi demi
melihat adik seperguruannya yang luka parah.
"Waskita...! Waskita, kenapa kau, Adikku?"
Waskita yang masih pingsan hanya terdiam,
walau ketiga kakak seperguruannya mengguncang-
guncangkan tubuhnya. Ketiga kakak seperguruannya
seketika menggeratak marah, manakala melihat adik
seperguruannya dalam keadaan begitu.
"Siapa yang telah melakukannya, Guru?" tanya
Bomantara. "Entahlah, Bomantara. Aku sendiri belum men-
gerti siapa orang yang telah membuat dia luka-luka,"
menjawab Resi Wilmaka. Kepalanya menggeleng le-
mah, matanya berkaca-kaca seperti sedih melihat keadaan murid bungsunya.
Ketiga muridnya hanya diam membisu seribu
kata. Mata mereka memandang tak berkedip penuh iba
pada Waskita yang masih terbaring. Obat-obatan ra-
muan Resi Wilmaka, menutupi seluruh tubuhnya.
Tak lama kemudian, terdengar erangan Waskita
yang siuman Serta merta, ketiga kakak seperguruan-
nya segera menghampiri. Ketiganya diam menunggu
apa yang bakal terjadi pada adik seperguruannya.
"Gu...ru..." berkata Waskita lemah.
"Ya, anakku, ada apa?" menjawab Resi Wilmaka
trenyuh. "Waskita, katakanlah pada kami siapa yang te-
lah membuatmu begitu?"
Waskita sejenak diam, memandang pada Bo-


Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mantara yang bicara. Kemudian matanya beralih me-
mandang pada kakak-kakak seperguruannya yang
lain. Lalu dengan suara lemah, Waskita pun berkata.
"Kakang-kakang... Anggada telah mengkhianati
perguruan..."
"Apa...!"
Tersentak semua yang ada di situ mendengar
penuturan Waskita yang tak terduga-duga.
"Ceritakanlah seluruhnya, Waskita," meminta
sang Resi. Dengan suara tersendat-sendat, Waskita pun
segera menceritakan apa yang dialami dari awal hingga akhir kejadian. Maka tak
ayal lagi, ketiga kakak seperguruannya seketika marah besar. Mata mereka bagai-
kan memendam bola api, panas membara penuh ke-
marahan. Gigi mereka saling beradu, menimbulkan
bunyi gemeretak.
"Murid durhaka!" memaki Resi Wilmaka gusar.
"Dia perlu dikasih pelajaran, Guru," menyam-
bung Bomantara.
"Benar apa yang dikatakan kakang Bomanta-
ra," menambah Saelendra.
"Biar aku yang menguruinya. Akan aku lu-
matkan tubuh si Anggada keparat itu!" tak kalah ma-
rahnya Reksa Pati.
"Jangan kalian bertindak sendiri-sendiri. Kalian
harus melakukan pemikiran yang matang."
"Tapi dia sudah keterlaluan, Guru."
"Benar, Guru. Murid macam apa dia. Hanya ka-
rena seorang wanita dia langsung murtad. Bukan itu
saja, tapi tindakannya melukai dan adik Waskita
sungguh tak dapat dimaafkan."
"Aku mengerti perasaan kalian semua. Tapi dia
juga telah terkena sumpah Waskita. Dia kelak akan
mati menderita. Walaupun untuk beberapa puluh ta-
hun dia akan hidup, namun dia akhirnya akan mati di tangan seorang pendekar yang
memiliki senjata aneh,"
berkata sang Resi mencoba menenangkan hati ketiga
muridnya. "Ketahuilah oleh kalian, Anggada tak akan dapat mati oleh kalian."
"Ah... Kenapa mesti begitu, Guru?" bertanya
Saelendra terkejut.
"Apakah ia sudah menjadi sekutu Iblis?" Bo-
mantara turut bertanya tak mengerti akan ucapan gu-
runya. "Benar, Murid-muridku. Walau kalian dapat
mengalahkannya, namun karena ia telah menjadi ke-
kasih Iblis ia tak akan mati. Kecuali jika kalian mena-namnya hidup-hidup di
dalam sumur Jala Tunda"
"Kenapa harus di sumur Jala Tunda, Guru?"
bertanya Bomantara belum juga mengerti.
"Hanya di sumur itulah ia tak akan dapat ber-
gerak. Namun itu juga hanya sementara. Sebab kelak ada sepasang suami istri
miskin yang akan memban-tunya." Mendengar ucapan gurunya seketika semuanya
terdiam. Hati mereka bimbang. Kalau dibiarkan, jelas dia akan merajalela. Namun
kalau tidak dibiarkan,
dengan cara apa mereka harus mengalahkannya" Se-
dangkan kodrat kematian Anggada hanya terletak pada tangan Pendekar Muda yang
entah kapan tahu da-
tangnya. "Apakah kita akan tinggal diam, Guru?" kemba-
li Bomantara bertanya, yang menjadikan Resi Wilmaka makin terdiam dalam. "Kalau
kita mendiamkannya jelas semua tokoh persilatan akan memandang pada kita sebagai
perguruan yang tak bertanggung jawab."
Terpukul juga hati Resi Wilmaka mendengar
ucapan Bomantra. Ia mendesah panjang, merenung
penuh ketidakmengertian kenapa dulu ia mengangkat
murid Anggada. Tapi penyesalan setelah terjadi tak ada gunanya, yang penting
sekarang bagaimana menang-gulangi murid durhaka itu. Setelah lama terhanyut
dalam diam, Resi Wilmaka akhirnya berkata.
"Baiklah, Murid-muridku. Lakukanlah oleh ka-
lian apa yang sekiranya kalian anggap baik. Memang
kalau didiamkan, Iblis yang telah merasuk di dalam
tubuh adik seperguruan kalian akan merajalela. Nah, kalian berangkatlah. Cari
oleh kalian murid sekutu setan itu. Bila kalian telah mengalahkannya, kubur dia
hidup-hidup di sumur Jala Tunda. Biarlah hal yang
kelak akan terjadi terjadilah, sebab semuanya memang sudah kodrat Yang Wenang."
"Daulat, Guru."
"Doa dan restuku akan selalu mengiringi keper-
gian kalian."
Setelah menjura hormat, ketiga orang murid
Resi Wilmaka segera pamit mundur.
Setelah terlebih dahulu menengok adik seper-
guruannya yang masih terluka, ketiganya segera
menggebah kuda-kuda mereka untuk berlari kencang.
Sepertinya, ketiga murid Resi Wilmaka tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan
adik seperguruannya
yang telah mencoreng aib di perguruan.
Apa yang dikatakan oleh Resi Wilmaka ternyata
benar adanya, bahwa Anggada memang telah berseku-
tu dengan Iblis. Kejadian persekutuan itu terjadi manakala bulan purnama ketiga,
saat semua murid Pan-
ca Gumilang tengah mengadakan peningkatan ajian
Serat Inti Gumilang. Hingga Anggada saja yang masih berada di tingkat tiga, bila
dibandingkan dengan adik seperguruannya saja Anggada jauh tertinggal dalam
ajian Serat Gumilang Jati. Hal itu dapat dimaklumi, karena memang Anggada tak
mengikuti peningkatan
ajian tersebut. Dia lebih mengutamakan persekutuan-
nya dengan Iblis, yang telah menjanjikan padanya segala fasilitas yang
menggiurkan berupa ia tak akan dapat mati walau tubuhnya telah hancur luluh.
Kedua, ia tak akan dapat dikalahkan oleh manusia biasa, kecuali oleh orang yang
berilmu siluman yang ilmunya jauh di atas dirinya.
Sebenarnya Resi Wilmaka telah waspada dan
sidik keadaan. Namun sebagai seorang guru, ia tak
mau muridnya merasa tersinggung. Maka dibiarkan-
nya sang murid untuk menentukan tindakannya. Sang
Resi hanya memberikan peringatan. Mulanya sang
murid menurutinya namun ini segala ketakutan itu
terjadi... Mau tak mau, sang Resi yang bijaksana hanya
mampu memendam segala rasa dan perasaannya. Ha-
tinya sebenarnya menjerit, sakit bila mengingat dirinya tak mampu mengawasi
kelima muridnya. Tapi selaku
manusia ia tak dapat menyalahkan diri sendiri. Bu-
kankah manusia mempunyai segala kekurangan dan
kesalahan" Hanya kata-kata itu yang mampu menghi-
bur hatinya. Sang Resi duduk terpekur khidmat, melakukan
meditasi sebagai sarana penyerahan diri pada Yang
Wenang yang mempunyai wewenang atas segala apa
yang terjadi di dunia. Manusia memang dapat beren-
cana, namun Yang Wenang jualah yang akan menen-
tukannya. Tak dirasakan olehnya, air matanya meleleh de-
ras. Sang Resi menangis, ya menangis. Menangisi sega-la kekurangannya, juga
menangisi tindakan muridnya
yang telah menyimpang dari kaedah yang telah ia ajarkan. "Jagad Dewa Batara.
Semoga kau berkenan
mengampuni segala kesalahan dan kehilafanku. Juga
atas segala penyelewengan dari jalan hidup yang telah Engkau gariskan oleh
muridku," berdoa sang Resi.
Tengah sang Resi terpekur dalam doanya, seke-
tika sebuah sinar putih berkelebat masuk ke ruangannya. Lamat-lamat sinar itu
membentuk sebuah ujud
manusia, yang sungguh telah ia kenal. Manusia itu
adalah Eyang gurunya, yang bernama Begawan Kis-
nenda. Sang Resi segera jatuhkan diri bersujud. "Ampunkanlah muridmu ini, Eyang
Begawan." "Kenapa kau mesti bermuram durja, Cucuku?"
bertanya Begawan Kisnenda. "Bukankah semua jalur
kehidupan telah ada yang menggariskan" Janganlah
kau terlalu menyesali diri, itu tak baik. Pikirkanlah olehmu apa yang sepatutnya
kau lakukan, bukan memikirkan apa yang telah terjadi."
Kembali Resi Wilmaka mendalamkan sujudnya.
Dari kedua matanya, menetes air bening, ia menangis.
Melihat Resi Wilmaka menangis, Eyang Begawan Kis-
nenda kembali berkata.
"Kenapa kau menangis, Cucuku?"
"Ampunkanlah segala kebodohan cucumu ini,
Eyang," menjawab Resi Wilmaka sedih. "Ternyata cucu tak mampu mendidik murid
agar menjadi orang yang
baik. Semua murid cucu tak ada yang selaras dengan
kaidahku. Yang lebih menyedihkan, salah seorang mu-
ridku ternyata telah bersekutu dengan setan."
Mendengar penuturan cucu muridnya, bukan-
nya sang Begawan ikut bersedih dan prihatin. Bahkan dengan gelak tawa sang
Begawan berkata tenang. Sua-ranya yang berat menggema di setiap sudut ruangan
menjadikan ruangan yang tadinya sunyi, berubah pe-
cah. "Cucuku, tangis penyesalan bukanlah cara ter-
baik untuk menyelesaikan segala masalah yang ada.
Bahkan dengan ketenangan lahir dan batinlah segala
persoalan dapat terselesaikan. Mengenai segala rupa bentuk murid-muridmu, itu
merupakan suratan Yang
Maha Kuasa. Terimalah dengan ketabahan. Hal itu
memang sebagai ujian untukmu selaku guru."
"Lalu bagaimana dengan muridku yang murtad
itu, Eyang?"
"Hua, ha, ha... Kau lucu, Cucuku. Bukankah
telah kukatakan tadi, bahwa segalanya telah ada yang mengatur. Muridmu yang
murtad itu memang telah di-garisan oleh Yang Maha Kuasa untuk memerani orang
jahat, mengapa kau mesti terpusingkan?"
"Apakah tak ada yang mampu mengalahkan-
nya, Eyang?"
"Ada, Cucuku. Tapi bukan kini saatnya kema-
tian muridmu itu. Dia akan mati setelah kebangkitannya yang kedua kali. Setelah
dia dapat memuaskan
dendamnya pada keempat cucu muridmu yang diang-
gap olehnya orang-orang yang perlu disingkirkan, karena merupakan murid-murid
musuhnya yaitu mu-
ridmu yang empat orang lainnya."
"Siapakah kira-kira yang mampu mengalah-
kannya, Eyang?" Wilmaka bertanya ingin tahu. Secer-
cah cahaya ketenangan nampak berkilau dari pandan-
gan matanya. "Apakah dia juga manusia seperti kita, Eyang?"
"Ya, orang itu memang manusia. Pemuda itu
memiliki senjata aneh. Senjata itu akan mengeluarkan darah bila telah menghadapi
musuh berat. Karena kehebatan pedang itu, ia dijuluki oleh para tokoh persilatan
Pendekar Pedang Siluman Darah. Kau paham, Cu-
cuku" Semoga setelah kau aku jelaskan, kau akan te-
nang." Setelah berkata begitu, Begawan Kisnenda se-
ketika raib dari hadapan sang Resi. Sang resi tersentak bangun, ketika terdengar
erangan muridnya. Dengan
penuh perhatian, Resi Wilmaka segera mendatangi
muridnya. "Ada apa, Waskita?"
"Aku bermimpi buruk, Guru."
"Tentang apa, Muridku?"
Waskita sesaat menarik napas panjang, sebe-
lum akhirnya berkata menerangkan mimpi yang telah
dia alami. Sebuah mimpi yang mampu membuatnya takut
dan ngeri. "Begitulah, Guru. Ia bangkit dari alam kegela-
pan. Dia membunuh anak-anak murid kami. Apakah
arti mimpi itu, Guru?"
Ditanya begitu, sang Resi hanya mampu ter-
diam dan diam tanpa dapat menjawabnya. Ternyata
apa yang telah diceritakan oleh eyang gurunya benar bahwa kelak ia akan bangkit
dan menteror cucu-cucu
muridnya. Mengingat semua itu sang Resi yang penyabar
dan tawakal hanya mampu menghela napas. Dipa-
srahkan segala apa yang bakal terjadi kelak pada Yang
Wenang, ya Yang Wenanglah yang akan mengatur se-
muanya. Bukan dirinya, juga bukan Iblis yang telah
menyatu dengan diri muridnya Anggada.
*** 4 Kerajaan Tanjung Lor yang biasanya tenang se-
ketika berubah menjadi beringas panas. Pekikan-
pekikan para prajurit yang tengah bertempur bagaikan pekikan-pekikan histeris.
Telah banyak tubuh bergelimpangan. Telah basah alun-alun kerajaan Tanjung
Lor oleh darah para prajurit yang telah gugur. Namun begitu, rupanya para
prajurit yang tengah bertempur tak mau menghiraukannya. Mereka bahkan lebih
panas dan garang. Senjata-senjata yang ada di tangan
mereka, layaknya Dewa Kematian.
Di pihak kerajaan dipimpin langsung oleh sang
Raja. Sementara di pihak pemberontak dipimpin oleh
Rara Sumbadra dan Anggada. Kedua tokoh sesat itu
tampak beringas. Tangannya melayang telengas, mem-
bawa jerit kematian.
"Menyerahlah, Ruda Galuh! Kau bukan raja
yang sah! Kau tak memiliki Gong Emas!" berseru Anggada liar, sementara kaki dan
tangannya terus beraksi menerjang dan menendang musuh-musuhnya.
"Murid murtad! Kau harus dihukum atas tin-
dakanmu yang telah mencoreng nama baik perguruan
Panca Gumilang!"
Mendengar ucapan Ruda Galuh, seketika mele-
daklah tawa Anggada.
"Ruda Galuh! Jangan harap kau dan kambrat-
kambratmu yaitu Catur Gumilang mampu mengalah-
kan aku! Aku Anggada tak akan dapat kalian kalah-
kan. Akulah Penguasa Puri Kegelapan! Akulah Raja di-raja para Iblis
Marahkiyangan! Menyerahlah, Ruda Galuh!" "Cuih...! Jangan harap! Langkahi dulu
mayatku. Hiaat...!"
Raja Ruda Galuh segera berkelebat memapaki
amukan Anggada, yang telah banyak memakan korban
prajuritnya. Kedua paman dan kemenakan sepergu-
ruan itu saling berhadap-hadapan. Mata keduanya ta-
jam menatap musuh, seperti hendak menusuk ulu ha-
ti. Maka dengan didahului pekikan, keduanya segera
memulai membuka serangan. Keduanya merupakan
cucu murid dan murid Begawan Kisnenda, maka ilmu-


Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu yang keduanya miliki merupakan ilmu yang be-
rasal dari satu sumber. Namun betapa tersentaknya
Raja Ruda Galuh, manakala melihat keanehan pada
jurus-jurus kembangan yang dilakukan oleh kemena-
kan muridnya. Jurus-jurus kembangan murid kakak sepergu-
ruannya sangat kaku dan tak beraturan. Walau pun
begitu, gerakan Anggada sangat cepat, liar dan penuh perhitungan bagaikan
terkontrol. Setiap tangan Anggada bergerak, maka angin puting beliung keluar me-
nerpa dahsyat. Hampir saja tubuh Raja Ruda Galuh
terpental diterpa angin pukulan yang dilancarkan Anggada, kalau saja Ruda Galuh
tidak segera mengguna-
kan ilmu peringan tubuhnya. Dengan mata melotot
tersentak, Ruda Galuh loncat ke belakang. Hal ini
menjadikan Anggada seketika lepas tawa, bagaikan
menemukan kemenangan.
Anggada berjalan dengan melenggang meng-
hampiri Ruda Galuh yang masih tercekat undur, tak
percaya pada apa yang dilihatnya. Di dalam pengliha-tannnya yang telah
menggunakan mata batin, ternyata bukan Anggada yang tengah ia hadapi. Ia kini
tengah menghadapi sesosok tubuh yang sangat menyeramkan, yaitu sesosok tubuh
Iblis yang telah ia kenal dari gurunya bernama Wala Kuwara atau Penguasa Puri
Kegelapan. Saking kagetnya Ruda Galuh, sampai-sampai ia
memekik. "Wala Kuwara...!"
Anggada yang memang telah bersekutu dengan
Iblis Penguasa Puri Kegelapan atau Wala Kuwala, tertawa mendengar seruan kaget
Ruda Galuh yang telah
mengetahui siapa adanya dirinya.
"Ruda Galuh, menyerahlah. Tunduklah di ba-
wah kuasaku!"
Wala Kuwara yang menggunakan jasad Angga-
da terus melangkah mendekati Raja Rada Galuh. Ma-
tanya yang tadi hitam, kini berubah memerah berapi-
api. Gigi-giginya yang tadinya papak rata, seketika berubah meruncing. Hidungnya
seketika hilang menda-
lam, sementara mulutnya makin lama makin monyong
keluar. Tak berapa lama kemudian, bentuk tubuh
Anggada benar-benar berubah. Kini mukanya bukan
muka manusia, melainkan muka kelelawar.
"Hua, ha, ha...! Ruda Galuh, menyerahlah dan
tunduklah pada segala kuasaku!"
"Setan! Jangan kau bermimpi mampu mengger-
takku, Wala. Tak sudi aku tunduk padamu..."
"Hem, begitu, Ruda Galuh" Baik, bersiaplah...!"
Dengan terlebih dahulu mencicit layaknya kele-
lawar, Anggada secepat kilat berkelebat menyerang
Ruda Galuh. Hal itu menjadikan Ruda Galuh tersentak
kaget dan berusaha mengelakkan serangan tersebut,
namun sambaran tangan Anggada ternyata telah men-
dahului. Tak ayal lagi, muka Ruda Galuh terkena ca-
karan kuku-kuku Anggada yang tajam dan runcing.
Beruntung kuku-kuku itu tak mengandung racun, se-
hingga mampu menjadikan Ruda Galuh bertahan dan
hanya meringis menahan sakit saja.
"Iblis! Rupanya ia memang benar-benar telah
menjadi Iblis!" Ruda Galuh membatin sembari lompat mundur manakala tangan
Anggada hendak kembali
menghantamnya. Merasa sasarannya terlepas, Angga-
da dengan mendengus marah kembali menyerang. Kali
ini tidak tanggung-tanggung, menggunakan ilmu iblisnya. Ruda Galuh yang telah
marah, tak mau dirinya
jadi bulan-bulanan musuhnya. Maka dengan mengge-
ram marah, Ruda Galuh lepaskan ajiannya.
"Serat Gumilang Jati pamungkas!"
"Sreeeeeeett...! Bletaar!"
Terdengar ledakan dahsyat membahana, ketika
ajian Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas meng-
hantam tubuh Anggada. Sinar merah menyala berkele-
bat cepat, menubruk tubuh Anggada. Sejenak Ruda
Galuh agak tenang hatinya. Namun manakala dilihat-
nya Anggada tak apa-apa, hatinya tercekat juga.
"Edan! Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas
tak berarti apa-apa pada tubuh-nya," keluh Ruda Galuh. "Hem, rupanya memang dia
tak akan mati. Rupanya Wala Kuwara benar-benar ingin kembali ke du-
nia manusia. Hem, bahaya, sungguh bahaya."
Ruda Galuh yang tengah terjengah, tak menya-
dari bahwa bahaya akan datang menerpanya. Maka
ketika kembali tangan Anggada berkelebat, Ruda Ga-
luh tak sempat untuk menghindar. Tak ayal lagi, tu-
buh Ruda Galuh seketika terpental bagaikan disapu
topan, berguling-guling di tengah dengan tulang belulang laksana remuk.
"Ruda Galuh, kenapa kau masih nekad. Apa-
kah kurang segala apa yang aku berikan padamu?"
"Iblis! Jangan kira kau akan mampu berbuat
seenakmu," menjawab Ruda Galuh sengit. Ia segera bangkit dan siap menyerang
kembali. Melihat Ruda Galuh telah bersiap-siap menye-
rang, seperti orang tak mengerti saja Anggada hanya menyunggingkan senyum dan
ketika Ruda Galuh me-nyerangnya, Anggada hanya busungkan dada.
"Dug! Dug! Dug!"
Tiga kali pukulan yang dilampiri tenaga dalam
tingkat tinggi yang dilancarkan Ruda Galuh menghan-
tam telak dada Anggada, namun bagaikan tak berasa
apa-apa Anggada tersenyum menyeringai.
Bahkan Ruda Galuh sendiri yang mencelat ke
belakang bagaikan terdorong kuat. Tubuh Ruda Galuh
kembali berguling-guling, layaknya sebuah rol yang di-putarkan dengan
kencangnya. Tubuh Ruda Galuh
berhenti, manakala tubuhnya mementok pohon.
Melihat musuhnya telah tak berdaya, bagaikan
harimau kelaparan Anggada dengan menggerung me-
nyerang. Namun ketika tangannya sebentar lagi men-
jamah tubuh Ruda Galuh, tiba-tiba tiga larik sinar merah membara menghantamnya.
Tubuh Anggada seke-
tika terpental lima tombak ke belakang. Namun sung-
guh membuat ketiga orang penyerangnya terperanjat,
manakala dengan senyum sinis Anggada bangkit.
"Jagad Dewa Batara, ilmu apa yang ia miliki?"
bergumam Bomantara.
"Edan! Sepertinya ajian kita tak berarti ba-
ginya!" menggerutu Saelendra kaget seperti yang dira-
sakan Bomantara.
"Lihat, Kakang! Iblis itu datang ke mari!" berseru Reksa Pati, menjadikan kedua
kakak seperguruan-
nya memperhatikan arah yang ditunjuknya.
"Apa daya kita," kembali Bomantra mengeluh.
"Jangan kita putus asa. Ayo kita hantam lagi
dengan ajian Serat Gumilang Jati," mengajak Reksa Pati, yang dengan segera
diikuti oleh kedua kakak seperguruannya. "Serat Gumilang Jati. Hiaat..!"
"Hiaaat...!"
"Hiaaat...!"
Tiga larik sinar merah menyala kembali keluar
dari tangan ketiga murid Resi Wilmaka. Mereka tak
tanggung-tanggung lagi menggunakan ajian Serat Gu-
milang Jati tingkat pamungkas.
"Bletar! Duar! Duar! Duar!"
"Hua, ha, ha...! Keluarkan oleh kalian apa yang kalian miliki. Aku, Penguasa
Puri Kegelapan tak akan kalah oleh kalian murid-murid Resi Wilmaka dungu!"
"Setan! Kau berani menghina guruku!" mem-
bentak marah Bomantara atau Pendekar Mabok. "Ma-na tuak putih! Biar aku yang
akan menghajar Iblis bu-jul buntung itu!"
Bomantara yang telah dibakar amarah, segera
berkelebat dengan senjatanya Ciu Putih. Diminumnya
Ciu Putih dan dikumurnya, lalu dengan berkelebat bagaikan angin Bomantara
menyerang Anggada. Anggada
yang tak menyangka Bomantara bakal menyerang, se-
ketika tersentak dengan bibir masih tersenyum.
Kekesalan dan kemarahan Bomantara yang
mendengar gurunya diejek begitu rupa tak dapat di-
bendung lagi. Maka setelah dirinya dekat, disem-
protkan Ciu Putih dari mulutnya ke muka Anggada.
Seketika Anggada meraung-raung kesakitan, sambil
tangannya memegangi muka yang terasa perih. Tu-
buhnya berguling-guling di tanah, menerima siksaan
yang tiada terkira.
Tengah tubuh Anggada kelojotan menahan pe-
rih, ketiga orang murid Resi Wilmaka segera bergerak cepat meringkus Anggada.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga murid Resi Wilmaka segera
membawa tubuh Anggada yang telah tak berdaya ke
sumur Jala Tunda.
Dikuburnya tubuh Anggada yang telah tak ber-
daya itu di dalam sumur Jala Tunda, lalu dengan cara menguncinya ditumbuhi sumur
itu sebatang pohon
beringin. Dengan dapat diringkusnya Anggada yang telah
bersekutu dengan iblis, maka pihak kerajaan pun se-
gera dapat mendesak pihak pemberontak. Bahkan
pimpinan pemberontak yaitu Rara Sumbadra dapat di-
tangkap dan dijeblosan ke tahanan bawah tanah.
*** 5 Kekayaan mendadak serta kesaktian yang dipe-
roleh oleh kedua suami istri Rundanu, tak luput menjadi pertanyaan oleh
tetangga-tetangganya. Namun begitu, mereka tak berani untuk menuduh sembarangan
pada Rundanu. Sebenarnya hasil yang diperoleh Rundanu san-
gat besar pengorbanannya. Pertama yang sangat di-
perhitungkan adalah istri dan anak gadisnya. Ya, bukan tidak mungkin kalau
Anggada atau Penguasa Puri
Kegelapan yang dulunya bergelar Pendekar Kumbang,
akan meminta kepuasan batinnya.
Malam itu hujan rintik-rintik turun. Sekali-kali
suara petir bergema. Hawa dingin karena siraman air hujan, makin terasa dingin
di rumah Rundanu. Rundanu yang terdiam membisu, bersama istrinya yang
juga tenggelam dalam hening.
"Pakne, apa kau tak mencium bau sesuatu?"
"Ah, bukankah bau-bau itu memang seperti ha-
ri-hari biasanya, Bune?" menjawab Rundanu. Dihisap-nya rokok kawung dalam-dalam,
lalu dihempaskan
asapnya. "Kita bersyukur, Bune. Kita dapat menikmati apa yang diberikan oleh
Penguasa Puri Kegelapan pada kita, yang berupa uang dan kesaktian."
"Iya, ya, Pakne. Tapi kita jadi pencuri," berkata istrinya, yang seketika itu
mengejutkan Rundanu.
"Kenapa kau berkata begitu, Bune?"
"Coba pakne pikir. Bukankah tiap malam
Jum'at kita telah mencuri seorang bayi?"
Tengah kedua suami istri itu bercakap-cakap,
seketika hawa dingin makin terasa dingin, menyelimuti ruang itu. Ruangan tamu
seketika bagaikan diguyur
air es, dingin bagaikan hendak membekukan. Dari ha-
wa dingin itu, sayup-sayup tergambar gulungan asap
dari asap rokok Rundanu. Aneh, asap rokok Rundanu
seketika berubah menjadi besar dan besar. Lama ke-
lamaan asap itu mengumpul, lalu membentuk ujud
tubuh sosok manusia. Manusia yang belum mereka
kenal, manusia yang hidup pada kurun waktu seabad
yang lalu. Dialah Anggada, atau Penguasa Puri Kegelapan. Senyumnya mengembang,
menjadikan kedua su-
ami istri itu terhenyak tak mengerti dan bertanya.
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak?" tanya Rudanu.
Renjana Pendekar 4 Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan Perawan Lembah Wilis 3
^