Pencarian

Pedang Setan Dewa Ruci 2

Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci Bagian 2


nyeri. Tapi Ayu Laksmini tak meneruskan seran-
gan. Dia berdiri tegak memandang lawan seraya
mengacungkan ujung pedang ke arah Ki Dewan-
tara. "Itu peringatan pertama bagimu!" dengusnya
sinis. Ki Dewantara mengeluh kesakitan dengan wa-
jah berkerut. Dadanya tergores cukup dalam akibat sambaran pedang lawan.
Beberapa muridnya
bergerak menyerang gadis itu. Namun buru-buru
Ki Dewantara mencegahnya seraya menyorongkan
tangan. Dia berusaha berdiri tegak, kemudian
menyilangkan pedang sambil membuka jurus ba-
ru. Sorot matanya tajam memandang gadis itu.
"Baiklah kalau memang itu yang kau kehenda-
ki. Aku akan meladenimu...," sahut Ki Dewantara dengan suara dingin.
Setelah berkata demikian terlihat kedua ka-
kinya merapat dan tubuhnya sedikit miring den-
gan pedang menjurus ke depan. Lalu dengan satu bentakan nyaring dia melompat
menyerang lawan
dengan gerakan yang cepat.
"Hiyaaat..!"
Ayu Laksmini mendengus sinis. Dia bisa mera-
sakan tenaga dalam lawan yang dikerahkan lewat pukulan tangannya yang
menimbulkan tenaga
dorongan kuat Gadis belia berwajah cantik itu
menggeram, kemudian melompat memapaki.
"Yeaaa...!"
Plak! Wut! Kepalan tangan kanan Ki Dewantara yang
menderu keras ditahan dengan telapak tangan ki-ri lawan. Dia nyaris tak percaya
kalau gadis itu mampu berbuat demikian, karena hal itu bisa
mencelakakan dirinya sendiri. Tapi kemudian dia kaget sendiri dibuatnya. Meski
Ki Dewantara mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimili-
kinya, tapi masih saja dadanya terasa nyeri akibat tekanan tenaga dalam lawan.
Ujung pedangnya
menyambar ke arah leher dan pinggang si gadis.
Ayu Laksmini melompat ke atas sambil bersalto indah. Ujung pedangnya balas
menyambar batok
kepala lawan. Ki Dewantara terkejut dan cepat
mendongak ke belakang dengan tubuh siap ber-
gulingan. Namun justru saat itulah ujung kaki
kanan Ayu Laksmini menghantam dadanya.
Duk! "Aaakh...!"
Ki Dewantara menjerit keras. Isi dadanya se-
perti remuk menerima tendangan itu. Tubuhnya
terjungkal beberapa langkah. Ayu Laksmini terus mengejar seperti tak ingin
memberi kesempatan
lagi padanya. "Sekarang terimalah kematianmu! Yeaaa..:!"
Ki Dewantara tercekat. Dalam keadaan demi-
kian, tipis harapan baginya untuk menghindari.
Dan meskipun murid-muridnya bersiap hendak
menghadang serangan gadis itu, tapi dia tak yakin mereka akan mampu mendahului
gerak gadis itu. Ki Dewantara memejamkan mata dengan si-
kap pasrah. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya saat ini. Darah kental berkali-
kali keluar dari mulutnya menandakan keadaannya yang terluka pa-
rah di dalam tubuhnya. Badannya terasa ngilu
dan sakit sekali, serta sulit untuk digerakkan.
Namun pada saat yang kritis itu mendadak me-
lesat dua sosok bayangan yang memapaki seran-
gan Ayu Laksmini.
Trang! Wut! "Huh!"
*** Ayu Laksmini bukannya tak mengetahui dua
orang lawan itu. Semula dia berusaha untuk ti-
dak peduli dan segera ingin menghabisi Ki De-
wantara lebih dahulu, baru kemudian memapaki
serangan kedua lawan barunya itu sekaligus. Tapi merasakan kecepatan mereka yang
bukan main hebatnya. Perhitungannya segera mengatakan
bahwa dia tak akan mampu memapaki Ki Dewan-
tara lebih dulu dan terpaksa meladeni kedua lawannya itu.
Pedangnya berputar cepat menyambar kedua-
nya, namun kedua lawannya agaknya telah mem-
perhitungkan hal itu dan buru-buru menghindar
sehingga serangan Ayu Laksmini menyambar
tempat kosong. Ayu Laksmini mendengus kesal ketika kedua
kakinya menjejak tanah. Kedua lawannya tak
mengejar, sehingga ketika mereka menjejakkan
kaki, dia bisa melihat dengan jelas sepasang kakek nenek yang sama-sama
menggenggam seba-
tang pedang. Wajah si kakek kelihatan mengge-
ram dan sepasang matanya yang menyorot tajam
ke arahnya. Sementara si nenek sendiri sedikit kelihatan ramah dengan tersenyum
kecil. "Ni sanak, siapakah kau sebenarnya dan kena-
pa ingin mencelakakan orang?" tanya si nenek
yang tak lain dari Nini Widyadara.
"Siapa pula kau?" sahut Ayu Laksmini dengan
nada sinis. "Bocah, hati-hati bicaramu! Apa kau kira den-
gan kepandaianmu itu kau bisa berlagak di sini"!"
bentak si kakek yang tak lain dari Ki Kartawijaya dengan nada berang.
"Tua bangka busuk! Menyingkirlah kalau me-
mang kau tak ada urusan dengan persoalanku!"
balas Ayu Laksmini sengit.
"Bocah kurang ajar! Rupanya orangtuamu tak
pernah mengajarkan sopan santun padamu. Biar-
lah aku yang akan mengajarkannya hari ini!"
dengus Ki Kartawijaya geram.
Kakek tua itu sudah hendak menyerang Ayu
Laksmini kalau saja saat itu Nini Widyadara tak mencegahnya.
"Kakang, sabarlah dulu. Kita belum mengeta-
hui apa maksud kedatangannya ke sini...."
"Tidak usah banyak berbasa-basi. Aku Ayu
Laksmini, murid Eyang Dewa Ruci. Kedatanganku
ke sini untuk meminta kembali Pedang Setan
yang pernah kalian pinjam dari beliau. Dan aku harus mendapatkannya sekarang
juga!" sahut
Ayu Laksmini menegaskan dengan suara lantang.
"Ayah, Ibu... aku telah menjelaskannya tapi
gadis itu tak mau mengerti juga. dia tetap me-
maksa kita...," sahut Ki Dewantara menjelaskan.
Nini Widyadara mengangguk pelan, kemudian
tersenyum ketika memandang gadis itu.
"Ni Sanak, kami berusaha bersikap sopan ter-
hadapmu dan selama ini perguruan kami selalu
berusaha bersikap jujur. Setelah kami mengata-
kan hal yang sebenarnya, kenapakah engkau ma-
sih tak percaya" Kami akan berusaha menda-
patkan pedang itu dan mengembalikannya kepa-
da yang berhak, yaitu gurumu...," katanya dengan suara yang masih rendah.
"Perempuan tua, kaulah yang bernama Nini
Widyadara"!" tanya Ayu Laksmini dengan suara
keras dan sorot mata tajam.
"Hm, agaknya gurumu telah memperkenalkan
aku padamu...."
"Cuih, perempuan rendah! Kau pikir dengan
kata-kata manismu itu bisa melunakkan hatiku"
Eyang Dewa Ruci sangat tersiksa dengan
pengkhianatanmu. Orang sepertimu sudah sepa-
tutnya mampus. Kau sama sekali tak berharga
untuk hidup!" desis Ayu Laksmini dengan sikap
garang dan sama sekali tak bersahabat
"Bocah kurang ajar! Jaga mulutmu. Hati-hati
kau bicara! Kau kira tengah berhadapan dengan
siapa saat ini"!" bentak Ki Kartawijaya dengan muka merah padam menahan marah.
"Orang tua busuk! Kau pasti si Kartawijaya ke-
parat, yang telah merebut perempuan tua itu dari sisi guruku. Kau dan istrimu
itu sama busuknya.
Dan orang seperti kalian memang tak pantas hi-
dup lebih lama!" sergah Ayu Laksmini seraya menuding dengan ujung pedangnya.
"Keparat!" agaknya Ki Kartawijaya sudah tak
bisa lagi menahan kesabarannya. Tubuh lelaki
tua itu melompat gesit menyerang Ayu Laksmini.
"Yeaaa...!"
Ayu Laksmini yang sejak tadi memang telah
bersiaga dengan cepat menyambut serangan la-
wan. Tubuhnya melompat ke samping seraya
membabatkan pedang ke leher lawan. Ki Kartawi-
jaya bukannya tak mengetahui hal itu. Telapak
tangan kirinya terkembang dan dari situ keluar angin kencang berhawa panas.
Bersamaan dengan itu kepalanya ditundukkan untuk menghin-
dari tebasan senjata lawan.
"Uts!"
Tubuh gadis itu melenting ke atas. Kaki kirinya berputar menghantam pinggang
lawan. Ki Kartawijaya meliuk dan melompat ke atas seraya mem-
buat gerakan salto yang indah. Telapak tangan
kanannya bermaksud menghantam batok kepala
lawan. Namun dengan gerakan yang tak kalah ge-
sitnya, tubuh Ayu Laksmini merendah. Ujung pe-
dangnya menyambar dengan cepat ke arah dada
lawan. Kemudian tubuhnya tenis bergerak ke be-
lakang. "Uhhh...!"
Ki Kartawijaya terkejut bukan main. Gerakan
yang dilakukan gadis itu cepat bukan main. Nyaris dadanya kena dibabat kalau
saja tubuhnya tidak buru-buru berputar miring. Ujung pedang
lawan lewat beberapa inci, namun angin samba-
rannya yang keras terasa sampai ke jantung. Hal itu saja telah membuktikan bahwa
tenaga dalam gadis itu memang telah mencapai taraf sempurna.
Belum lagi dia bersiaga untuk memantapkan
posisinya, tubuh Ayu Laksmini kembali melesat
cepat sambil membentak nyaring.
"Hiyaaat...!"
"Uts!"
Wuk! Tubuh Ki Kartawijaya melompat ke samping
seraya bergulingan untuk menghindari tebasan
senjata lawan yang beruntun. Telapak kirinya
masih sempat menghantam lawan dengan puku-
lan jarak jauh yang bertenaga kuat Namun Ayu
Laksmini dengan gesit mengelak ke atas, dan tubuhnya membuat lompatan ringan ke
arah lawan dengan gerakan cepat.
"Yeaa...!"
Crasss! "Ohhh...!"
Ki Kartawijaya terkejut bukan main melihat ge-
rakan lawan. Dia berusaha menghindar dengan
terus bergulingan dan bermaksud melenting ke
belakang untuk menjauhi serangan lawan. Tapi
dengan tidak terduga, ujung pedang lawan lebih cepat lagi menyambar betis
kirinya dan membuat luka panjang yang cukup dalam. Orang tua itu
mengeluh kesakitan. Tubuh Ayu Laksmini berge-
tar, namun dengan cepat dia kembali melompat
menyerang lawan dengan amarah yang meluap.
"Orangtua busuk, mampuslah kau sekarang!
Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
*** Ki Kartawijaya sebenarnya tidak terlalu terjepit
keadaannya pada saat itu. Dan sebenarnya dia
masih mampu untuk menghindari serangan la-
wan. Namun Ki Dewantara agaknya sudah tidak
sabaran. Tangannya merasa gatal melihat ulah
gadis itu. Maka tanpa pikir panjang lagi dia langsung melompat menghadang Ayu
Laksmini den- gan senjata terhunus.
Ayu Laksmini cepat menyambut serangan la-
wan dengan kehebatan pedangnya.
Trang! Bet! Begitu kedua senjata mereka beradu, Ki De-
wantara merasa tangannya kesemutan. Bunga api
kecil terpercik. Wajahnya tampak kerut menahan sakit Namun begitu dia masih
mampu untuk memiringkan tubuh seraya mendongakkan kepala
sedikit ke belakang guna menghindari tendangan
kaki lawan yang menyusul.
"Bocah kurang ajar! Kali ini kau akan mampus
di tanganku!" dengus Ki Kartawijaya dengan amarah yang meluap-luap.
Tanpa mempedulikan keadaan, orang tua itu
langsung mencabut pedangnya dan ikut menye-
rang Ayu Laksmini. Nini Widyadara mengeluh
pendek. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kata-kata yang dilontarkan gadis itu
memang benar. Karena dia meyakini betul akan kesalahannya.
Namun meskipun demikian hatinya tetap saja
merasa sakit dan tidak bisa menerima begitu saja.
Maka dia tidak berusaha mencegah sikap Ki Kar-
tawijaya meski dia mengetahui bahwa orang tua
itu sedang marah besar. Dan kalau Ki Kartawijaya marah begitu, bisa dipastikan
dia akan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Dan saat ini hal itulah yang terjadi. Ki Kartawijaya seorang tokoh dunia
persilatan yang disegani karena kehebatan ilmu silat yang dimilikinya,
saat ini tengah mendesak gadis itu dengan jurus-jurus terhebat yang dimilikinya.
Sementara mu- rid-muridnya yang melihat pertarungan itu,
hanya diam memperhatikan dan berjaga akan se-


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gala kemungkinan yang akan menimpa guru me-
reka. "Yeaaa...!"
"Uts!"
Ayu Laksmini terkejut. Ujung pedang orang tua
itu berkelebat cepat menyambar wajah dan ba-
gian dadanya. Tubuhnya meliuk-liuk ke samping
untuk menghindari. Namun pada saat itu juga Ki Kartawijaya siap menerkamnya. Ayu
Laksmini menggeram, dan telapak kirinya menghantam ke
muka lawan. "Hiyaaat..!"
Ki Kartawijaya menundukkan kepala. Tubuh-
nya berputar ke samping untuk menghindari pu-
kulan jarak jauh yang dilancarkan lawan. Bersamaan dengan itu kepalan tangan
kiri Ki Kartawijaya melesat menghantam lawan. Ayu Laksmini
terkesiap. Pedang di tangan kanannya berputar
menyambar pergelangan tangan lawan. Namun
hal itu ternyata hanya tipuan belaka yang dilancarkan orang tua itu. Begitu
pedang lawan berkelebat, saat itu pula tangannya kembali ditarik.
Sambil memiringkan kepala untuk menghindari
tebasan senjata lawan, pedang ditangannya me-
nyambar ke arah pinggang. Tubuh Laksmini me-
liuk menghindari dan saat itulah telapak tangan kiri Ki Kartawijaya menghantam
dengan mengerahkan tenaga dalam kuat ke dada lawan pada jarak lebih kurang tiga
langkah. Desss! "Akh...!" Ayu Laksmini menjerit keras. Tubuh-
nya terpental ke belakang beberapa langkah se-
raya memuntahkan darah kental. Dia bermaksud
untuk memutar tubuh ke samping ketika Ki Kar-
tawijaya menyambar dengan ujung pedangnya ke
arah pinggang. Namun gerakannya terasa lam-
ban, sehingga ujung pedang lawan masih mampu
menggores paha kanannya.
Crasss! "Akh!"
Untuk kedua kalinya gadis itu menjerit kesaki-
tan. Tubuhnya mulai terhuyung-huyung. Kesada-
rannya sedikit berkurang. Namun meskipun de-
mikian, dia masih bisa melihat serangan Ki Kartawijaya yang begitu bernafsu
hendak menghabi-
sinya. Ayu Laksmini merasa bahwa dia tak akan
bisa bertahan dalam beberapa jurus menghadapi
serangan Ki Kartawijaya. Maka dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, gadis
itu melompat tinggi dan bermaksud melarikan diri dari tempat itu.
Tapi tentu saja Ki Kartawijaya tidak akan mem-
biarkannya begitu saja. Orang tua itu langsung melesat mengejar.
"Huh. Kau kira bisa kabur begitu saja dariku
setelah apa yang kau lakukan di tempatku" Kau
harus mampus, Bocah Sial!" dengus Ki Kartawi-
jaya. Melihat orang tua itu bergerak, Ki Dewantara
pun segera menyusul. Demikian pula dengan mu-
rid-murid Perguruan Camar Hitam. Mereka ber-
bondong-bondong mengejar gadis itu.
Ayu Laksmini bukannya tidak menyadari hal
itu. Harapannya untuk kabur semakin tipis. Na-
mun gadis itu berusaha dengan sekuat tenaganya untuk melepaskan diri dari
kejaran mereka. Luka dalam yang dideritanya membuat gadis itu tidak dapat
leluasa bergerak. Belum lagi paha kanannya yang terasa nyeri dibawa berlari.
Walaupun lebih kurang sepeminuman teh dia merasa tak
mampu lagi bertahan. Sementara Ki Kartawijaya
semakin dekat saja di belakangnya.
Melewati sebuah pinggiran hutan, Ayu Laksmi-
ni bermaksud menerobos ke dalam dan bersem-
bunyi di balik semak-semak. Namun sebelum
niatnya tercapai, sebelah kakinya tersandung
akar pohon. Gadis itu terjatuh terjerembab. Saat itu juga Ki Kartawijaya yang
tepat berada di belakangnya melompat dengan ganas sambil men-
gayunkan pedang.
"Gadis liar! Mampuslah kau sekarang!
Yeaaa...!" teriak Ki Kartawijaya geram.
Ayu Laksmini terkejut bukan main. Kali ini
keadaannya betul-betul seperti telur di ujung
tanduk. Meski dia mampu mengelak, namun ti-
dak akan mampu menghindari serangan berikut-
nya yang pasti akan dilancarkan lawan. Pada saat itulah mendadak melesat sebuah
bayangan yang langsung memapaki serangan Ki Kartawijaya.
"Hiyaaa...!"
Trang! Bet! "Uhhh..!"
*** 6 Ki Kartawijaya terkesiap. Sebagai tokoh yang
telah berpengalaman dia bisa membedakan seo-
rang lawan yang memiliki kepandaian tinggi. Ka-
rena ketika bayangan lawan barunya itu memben-
tak nyaring seraya berkelebat ke arahnya, angin serangannya bersiur kencang
menimbulkan tekanan hebat pada dirinya. Orang tua itu tidak bisa menganggap
enteng. Kalau dia meneruskan serangan ke arah Ayu Laksmini, bukan tidak
mungkin dia akan celaka sendiri. Maka mau tidak mau dengan terpaksa memapaki
serangan lawan dengan mengibaskan pedangnya. Apa yang didu-
ganya memang tidak salah. Meski telah menge-
rahkan tenaga dalam kuat untuk menjatuhkan
lawan dengan sekali gebrak, namun kenyataan-
nya dia mengeluh sendiri. Telapak tangannya terasa ngilu ketika pedangnya
seperti membentur
tembok tebal yang amat kokoh. Belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak satu
sapuan keras menghantam kepalanya. Orang tua itu cepat me-
nunduk, kemudian melompat seraya membuat
gerakan salto yang berputar indah.
Masih untung pada saat itu lawan tak menge-
jar sehingga ketika kedua kakinya menjejak ta-
nah, keadaannya masih tetap aman. Ki Kartawi-
jaya kini mampu melihat siapa lawannya itu dengan jelas.
"Siapa kau"!" bentaknya garang ketika melihat
seorang pemuda tampan berwajah keras dan
memakai baju yang terbuat dari kulit harimau.
Pemuda yang berambut panjang dengan mo-
nyet berbulu hitam di salah satu pundaknya itu tersenyum sinis. Tapi belum lagi
dia menjawab, salah seorang murid Perguruan Camar Hitam
yang telah tiba di tempat itu bersama dengan Ki Dewantara buru-buru menunjuk
pemuda itu seraya berteriak nyaring.
"Eyang, pemuda inilah yang berjuluk Pendekar
Pulau Neraka!"
Ki Kartawijaya tersenyum kecil, sedangkan Ki
Dewantara tersenyum sinis. Nama Pendekar Pu-
lau Neraka telah lama mereka kenal. Namun baru kali inilah mereka berkesempatan
untuk bertemu muka secara langsung. Dan bisa jadi akan terjadi bentrokan, kalau
saja pemuda itu ikut campur
urusan mereka. "Pendekar Pulau Neraka, hm... merupakan su-
atu kehormatan bisa bertemu denganmu. Angin
apa gerangan yang membawa langkahmu ke tem-
pat ini" Aku Ki Kartawijaya beserta seluruh murid-muridku menyampaikan salam
hormat kepa- damu," sapa orang tua itu dengan nada ramah.
Pemuda berambut panjang yang tidak lain ada-
lah Bayu Hanggara itu tersenyum kecil seraya
membalas salam penghormatan si orang tua.
"Ki Kartawijaya, terimalah salam hormatku.
Maafkan atas kelancanganku yang telah men-
campuri urusanmu. Tapi aku memang tidak ter-
biasa melihat ketidak-adilan di depanku dan sudah gatal tangan ingin
mencampurinya," sahut
Bayu. "Hm, suatu sikap yang baik. Tapi mencampuri
urusan orang lain hendaknya lebih dulu melihat, apakah kita berada di pihak yang
benar ataukah kita malah membantu pihak yang salah," sindir Ki
Kartawijaya. "Bisa jadi aku memang salah. Dan hal itu tidak kupungkiri. Tapi untuk kali ini
kurasa tidak, sebab aku telah mendengar pembicaraan kalian se-
jak tadi. Dan maafkanlah bila dalam hal ini aku mempercayai kata-kata gadis
itu," kata Bayu tenang.
Mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka,
Ki Kartawijaya menjadi tak enak hati. Jelas sudah bahwa pemuda itu memang hendak
mencampuri urusan mereka. Dan selamanya Ki Kartawijaya
memang bukanlah orang yang sabar, pada siapa
pun! Meski sekalipun orang yang tengah dihada-
pinya termasuk orang yang diseganinya, seperti Pendekar Pulau Neraka.
"Pendekar Pulau Neraka, kalau memang kau
telah mendengar pembicaraan kami tentu engkau
pun telah mengetahui apa yang diperbuat gadis
itu di perguruan kami. Dan sebagai seorang yang terhormat, kau tentu bisa
membedakan mana
perbuatan salah dan mana yang benar," ucap Ki Kartawijaya tegas.
"Tentu saja. Seorang yang telah meminjam se-
buah benda sudah sepatutnya mengembalikan
dan bukan menyalahgunakannya. Tapi apa yang
kalian lakukan" Seseorang telah berbuat keona-
ran dengan menggunakan senjata yang telah ka-
lian pinjam. Lalu apa pertanggungjawabanmu
terhadap orang-orang yang terbunuh oleh senjata itu" Bukankah nyawa kalian masih
belum berharga untuk menebusnya?" dengus Bayu dengan
nada sedikit sinis.
"Eyang, untuk apa bicara lama-lama dengan-
nya" Sudah jelas apa yang diinginkannya, dan ki-ta pun mengetahui bahwa gadis
itu jelas bersa-
lah!" ujar salah seorang murid perguruan itu merasa tak sabar mendengar omong
kosong di anta-
ra kedua orang itu.
"Betul, Eyang. Perintahkanlah pada kami un-
tuk menghajar pemuda tak tahu diri ini!" timpal seorang lainnya sambil mencabut
pedang di punggungnya dengan sikap garang.
"Kau dengar itu, Pendekar Pulau Neraka" Mu-
rid-muridku agaknya sudah tidak sabar menden-
gar bicaramu. Jelas sudah kau berpihak pada
siapa. Tapi kami tetap pada pendirian bahwa gadis itu patut mendapat pelajaran
setimpal atas perbuatan yang dilakukannya di perguruan kami.
Dan tidak ada seorang pun yang boleh mengha-
langinya. Tidak juga dirimu!" tajam terdengar na-da bicara Ki Karta wijaya.
"Ki Kartawijaya, tidak usah banyak bicara! La-
kukanlah apa yang ingin kau perbuat, tapi jangan coba-coba menyentuh gadis ini!"
balas Bayu mengancam.
"Kurang ajar! Kalau demikian, terima pelajaran dari kami!" teriak salah seorang
murid Perguruan Camar Hitam yang agaknya sudah tidak bisa lagi menahan
amarahnya. Sambil membentak nyaring, orang itu melom-
pat menyerang Bayu dengan senjata terhunus.
"Yeaaa...!"
*** Bayu mendengus dingin. Tubuhnya sedikit
bergeser ke kiri dan kepalanya tertunduk ke belakang menghindari sabetan pedang
lawan. Kemu- dian cepat meliuk ke atas seraya mengayunkan
satu tendangan keras ke dagu lawan... Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun
dan berbadan besar itu sedikit terkejut dan tak menyangka gerakan lawan bisa sedemikian cepat
Namun dia masih sempat mengelak sambil menjatuhkan diri
ke belakang. Namun saat itu juga tubuh Pendekar Pulau Neraka telah mengejar
sambil berbalik dan mengayunkan tendangan beruntun bertenaga
kuat yang tak mampu dielakkan lawan.
Bukkk! Desss! "Aaakh...!"
Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
jungkal muntah darah, dan tersungkur pada ja-
rak enam langkah dan tidak bangkit lagi.
Kejadian itu tentu saja mengagetkan kawan-
kawannya yang lain. Demikian pula halnya den-
gan Ki Kartawijaya dan Ki Dewantara. Juga Ayu
Laksmini yang sejak tadi masih berdiam diri menahan rasa nyeri di dadanya.
Orang itu tewas di tangan Pendekar Pulau Ne-
raka. Apa yang mereka dengar tentang keganasan pemuda itu memang bukan isapan
jempol belaka, tapi terbukti di depan mata mereka sendiri.
"Pendekar Pulau Neraka, tindakanmu sangat
kejam dan aku tidak bisa membiarkanmu begitu
saja!" geram Ki Kartawijaya menahan emosi.
Ki Dewantara semula hendak bergerak meng-
hajar pemuda itu, tapi Ki Kartawijaya telah lebih dulu menahannya.
Orang tua itu menyadari bahwa kepandaian Ki
Dewantara tidak akan mungkin menandingi Pen-
dekar Pulau Neraka. Dalam bentrokan pertama
tadi saja dia sudah bisa merasakan bagaimana
hebatnya tenaga lawan. Belum lagi gerakannya
yang amat gesit serta serangannya tak terduga
datangnya. Kalau saja Ki Dewantara berkeras
hendak menantangnya, bukan mustahil bila dia akan terbunuh sendiri seperti
seorang muridnya tadi.
Ki Kartawijaya melangkah mendekati, dan ber-
henti ketika jarak mereka terpaut empat langkah.
Matanya liar mengawasi setiap gerakan kecil yang dilakukan lawan. Sebaliknya
Bayu masih tetap
tenang dan juga mengawasi lawan dengan seksa-
ma. "Pendekar Pulau Neraka, lihat serangan ini!" Ki Kartawijaya membentak seraya
memberi peringatan akan serangan pertamanya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya pun melesat
cepat ke arah lawan seraya memutar pedang di
tangannya. Angin tajam bersiur kencang dan
mencoba menghimpit setiap langkah menghindar


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Ke mana
saja dia mencoba bergerak, maka saat itu juga jarak mereka terpaut hanya
beberapa inci saja.
Agaknya Ki Kartawijaya betul-betul telah menge-
rahkan segenap kepandaiannya untuk menjatuh-
kan lawan secepat mungkin.
Bayu Hanggara menggeram. Kalau saja dia ti-
dak hati-hati dan mengerahkan segala kemam-
puan bergeraknya menghindari setiap serangan
lawan, niscaya ujung pedang lawan pasti dari sejak tadi menyambar tubuhnya. Dan
hal itu pun agaknya tidak akan bisa bertahan lama sean-
dainya dia terus bertahan seperti itu. Maka dalam suatu kesempatan, Pendekar
Pulau Neraka berusaha menjauhkan jarak dari serangan lawan un-
tuk balik menyerang.
"Yeaaa...!"
Tubuhnya bergulung-gulung seraya melompat
ke belakang ketika kedua kakinya baru saja menjejak tanah. Ki Kartawijaya
mengejar, namun tubuh Bayu Hanggara melejit ke atas cabang se-
buah pohon. Ki Kartawijaya semakin gemas saja.
Dihantamnya cabang pohon itu dengan pukulan
jarak jauh. "Hiyaaa...!"
Brakkk! "Hihhh!"
Namun belum lagi hantaman itu ikut meng-
hancurkan tubuhnya seperti yang terjadi pada
sebatang pohon itu, tubuh Pendekar Pulau Nera-
ka menukik deras ke arah lawan. Ki Kartawijaya terkesiap, namun tidak kehilangan
kesadaran untuk mengayunkan pedangnya. Bayu menangkis
dengan pergelangan tangannya.
Trakkk! "Uhhh...!"
Senjata lawan tepat beradu dengan Cakra Maut
di pergelangan tangannya. Ki Kartawijaya terkejut bukan main. Tangannya
kesemutan, dan tubuhnya bergetar hebat akibat benturan itu. Untuk sesaat dia
bisa menduga bahwa senjata itulah yang tadi memapaki pedangnya ketika pemuda itu
menahan serangannya terhadap Ayu Laksmini. Na-
mun begitu dia masih mampu mengayunkan kaki
menghantam wajah lawan. Bayu berkelit ke kiri
seraya menghantam kepalan tangan kanannya ke
dada lawan. Ki Kartawijaya menangkis dengan
tangan kirinya.
Tak! Untuk kedua kalinya orang tua itu merasa ka-
get ketika tangan mereka saling beradu. Baru dia menyadari bahwa tenaga dalam
lawan memang tak bisa dipandang enteng. Tapi Ki Kartawijaya tidak kecil hati. Pedangnya
kembali berkelebat meliuk-liuk menyambar tubuh lawan. Dia menyadari betul bahwa
lawan tak mungkin menerobos per-tahanannya selagi dia memainkan ilmu pedang-
nya yang hebat.
Hal itu bukannya tidak disadari oleh Bayu.
Bukan saja dia tak mampu menerobos pertaha-
nan lawan, sebaliknya serangan yang dilancarkan lawan pun dengan menggunakan
jurus-jurus pedangnya, agak sulit dihadapinya dengan tangan
kosong seperti sekarang.
Ketika kaki lawan menghajar ke arah dagu,
Pendekar Pulau Neraka bergerak ke samping.
Namun Ki Kartawijaya lebih cepat memberikan
serangan susulan dengan kelebatan pedangnya ke arah leher. Bayu terkejut dan
berusaha melompat ke belakang untuk menghindari tebasan golok lawan. Namun ujung
pedang Ki Kartawijaya masih
sempat menggores dadanya.
Crasss! "Uhhh...!"
"Kaaakhhh...!" Monyet berbulu hitam yang me-
lihat sahabatnya berhasil dilukai lawannya, berteriak nyaring. Wajahnya terlihat
cemas, dan beberapa kali dia mondar-mandir mengikuti jalannya pertarungan itu.
Sebaliknya hal itu menimbulkan rasa senang di
hati Ki Dewantara dan murid-murid Perguruan
Camar Hitam. Kalau Pendekar Pulau Neraka ber-
hasil dilukai, maka tidak berapa lama dia pasti akan dapat dilumpuhkan oleh Ki
Kartawijaya, ba-rangkali itu anggapan mereka.
Agaknya pikiran seperti itu pun menyelinap di-
benak orang tua itu. Dia mendesak Bayu habis-
habisan dan bermaksud menjatuhkan lawan se-
cepat mungkin. Baru saja tubuh Pendekar Pulau
Neraka melompat ke belakang sambil bergulung-
gulung, saat itu juga tubuhnya melesat mengikuti dengan ujung pedang berputar-
putar menyambar
bagian tubuh lawan.
"Hiyaaat..!"
Dalam keadaan terjepit begitu, Bayu tak mau
tinggal diam. Dia mengibaskan tangan kanannya
sambil membentak nyaring.
"Yeaaa...!"
Siiing...! Trasss "Hei"!"
*** Bersamaan dengan itu melesat sekelebat sinar
keperakan menyambar lawan. Ki Kartawijaya ter-
kejut dan cepat mengayunkan pedangnya. Tapi
yang kemudian terjadi justru membuatnya terke-
jut Pedangnya putus, dan benda keperakan itu terus mendesing menyambar lehernya.
Kalau saja dia tak buru-buru memiringkan tabuh niscaya
kepalanya akan berpisah dari badan. Orang tua
itu tak habis rasa terkejutnya merasakan angin sambaran tajam yang terasa perih
dan menimbulkan hawa panas.
"Hiyaaat...!"
Belum lagi habis rasa terkejutnya, saat itu juga serangan Pendekar Pulau Neraka
telah kembali datang. Ujung kaki kanannya menghantam lurus
ke arah dada. Ki Kartawijaya berkelit seraya memutar tubuh, namun tubuh Bayu pun
ikut ber- putar dan kaki kanannya kembali menyapu ke
arah pinggang. Ki Kartawijaya melompat ke atas, dan Pendekar Pulau Neraka
mengikuti seraya
menyambar kembali Cakra Mautnya yang melesat
pulang. "Yeaaa...!"
Siiing! Begitu Cakra Maut berada di tangannya, kem-
bali dikibaskannya lagi. Senjata maut itu melesat
deras ke arah Ki Kartawijaya pada jarak dekat
Orang tua itu tidak sempat mengelak. Meski dia berusaha menghindar, namun tak
urung lengan kirinya kena sambar, dan putus.
Crasss! "Aaakh!"
Ki Kartawijaya menjerit tertahan. Namun ma-
sih sempat menghantam lawan dengan pukulan
jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas
seraya bergulung-gulung menghindari serangan lawan. Kedua
kakinya menyilang bergantian dan langsung
menghajar batok kepala lawan.
Desss! Duk! "Aaa...!"
Ki Kartawijaya kembali memekik keras. Kali ini tubuhnya terjungkal ke samping
sambil menggelepar kesakitan.
Orang tua itu memuntahkan darah kental ber-
kali-kali. Dia berusaha untuk bangkit, namun
kembali terjatuh. Beberapa orang muridnya langsung memburu dengan penuh
khawatir. Mereka
membantunya duduk bersila. Namun tidak demi-
kian halnya dengan Ki Dewantara. Dengan ama-
rah yang meluap, dia langsung menyerang Bayu.
"Bocah keparat! Kau harus menerima pembala-
san dariku!" geramnya tajam seraya mengayun-
kan pedang ke arah Bayu.
Bayu mendengus kecil. Tangan kanannya diki-
baskan ke bawah. Saat itu juga mendesing Cakra
Maut ke arah lawan.
Siiing! Werrr! Meski dalam keadaan kalap begitu, tapi Ki De-
wantara menyadari bahwa senjata lawan sangat
dahsyat, dan dia tak berani untuk mencoba me-
mapaki. Kepalanya ditundukkan ketika tubuhnya
kemudian melompat ke samping sambil berbalik
untuk menghindari senjata lawan, kemudian te-
rus menerjang ke arah leher Pendekar Pulau Ne-
raka dengan ujung pedang menyambar ke arah
tenggorokan dan dada.
Uts!" Bayu melompat ke belakang, kemudian berge-
rak ke samping dan terus bergerak ke atas menghindari tebasan senjata lawan.
Kaki kirinya dite-kuk sedemikian rupa, kemudian melayang me-
nyambar ke muka lawan. Ki Dewantara sedikit
tergagap menyadari kecepatan lawan bergerak
namun dia tak mau berlaku lengah. Buru-buru
dia menundukkan tubuh ke belakang, lalu terus
bergerak ke samping, dan balas menyerang lawan dengan ayunan pedangnya. Namun
belum lagi pedangnya mampu menebas ke arah lawan, dia
terpaksa kembali menundukkan tubuh ketika
Cakra Maut berbalik menyerangnya.
Bayu menangkap senjatanya, dan kembali me-
lepaskannya ke arah Ki Dewantara. Laki-laki itu terkejut Dalam jarak dekat tak
mungkin baginya untuk bisa mengelak Maka dengan terpaksa dia
memiringkan tubuh dan mengayunkan pedang
untuk mencoba menangkis senjata lawan.
Tras! Cras! "Aaakh...!"
Seperti apa yang diduganya, pedang dalam
genggamannya putus sebatas gagangnya. Cakra
Maut terus melesat menyambar sebelah daun te-
linganya hingga putus. Ki Dewantara mengeluh
kesakitan. Dia masih belum sempat menguasai
diri ketika serangan Pendekar Pulau Neraka me-
nyusul. "Yeaaa...!"
Begkh! Desss! "Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Dewantara memekik
keras. Kali ini tubuhnya terjungkal keras sambil memuntahkan darah segar.
Tendangan keras
yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka meng-
hantam dada dan perutnya dengan telak. Tubuh-
nya menggelepar-gelepar tak berdaya, dan beru-
saha untuk bangkit berdiri tegak. Tapi baru saja dia hendak mencobanya, tubuhnya
tiba-tiba kembali ambruk.
"Guru...!" beberapa murid Perguruan Camar
Hitam langsung memburu untuk memberikan
bantuan. Tapi lima orang lainnya serentak bergerak hen-
dak menyerang Bayu. Wajah mereka tampak ga-
rang menahan amarah yang memuncak.
"Pendekar Pulau Neraka, hari ini kami akan
mengadu jiwa denganmu!" dengus salah seorang
di antara mereka.
Kalau saja saat itu Ki Kartawijaya tak memben-
tak melarang mereka, Niscaya kelima orang itu
akan melabrak Pendekar Pulau Neraka dan me-
nyerangnya dengan mati-matian.
"Tahaaan...!"
*** 7 "Kenapa Eyang" Pemuda ini telah melukai
Eyang dan Guru. Kenapa kami tak boleh menun-
tut balas atas perlakuannya itu"!" tanya salah seorang murid Perguruan Camar
Hitam dengan wajah kesal. "Diamlah kalian, dan jangan lagi memperpan-
jang urusan! Apa kalian mau membuang nyawa
secara percuma"!" bentak Ki Kartawijaya berusa-ha berdiri dengan dibantu tiga
orang muridnya.
Mendengar kata-kata orang tua itu, kelima mu-
ridnya terpaksa mengurungkan tindakan mereka
meski di dalam hati masih tersimpan rasa tidak puas. Walaupun kepandaian mereka
tak sebera-pa, tapi jelas mereka tidak takut mati untuk
membela kehormatan nama guru dan perguruan
mereka. Ki Kartawijaya memandang ke arah Pendekar
Pulau neraka, kemudian berkata pelan.
"Pendekar Pulau Neraka, kehebatan namamu
yang terdengar memang bukan nama kosong be-
laka. Hari ini aku Ki Kartawijaya mengaku kalah padamu. Tapi bukan berarti
urusan ini akan selesai. Suatu saat nanti hutang ini akan kubalas berikut
bunganya padamu!"
"Ki Kartawijaya, kalau memang kau mengang-
gap bahwa kejadian hari ini sebagai suatu hu-
tang, kau boleh menagihnya kapan saja kau suka padaku. Tentu akan kutunggu saat
itu," sahut
Bayu dingin. Setelah berkata demikian terlihat Ki Kartawi-
jaya mengajak murid-muridnya segera berlalu da-ri tempat itu. Bayu masih sempat
memandang mereka, kemudian menyambar Tiren yang men-
dekat ke arahnya seraya berteriak nyaring.
"Kaaakh...!"
Monyet kecil itu melompat-lompat ke pundak-
nya silih berganti, kemudian mengusap-usap
rambut pemuda itu. Dan Bayu tersenyum kecil,
kemudian memandang ke arah Ayu Laksmini dan
menghampirinya.


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana keadaanmu...?" tanyanya dengan
sura pelan. "Terima kasih atas pertolonganmu..." lirih terdengar suara Ayu Laksmini.
"Kudengar kau murid Ki Dewa Ruci. Beliau
adalah tokoh terkenal yang memiliki kepandaian hebat."
Ayu Laksmini tersenyum kecut
"Aku hanya membuat malu nama beliau saja,
bukan...?" katanya dengan nada getir.
"Kau tak perlu berkecil hati seperti itu. Mereka memang hebat, dan mampu
bertahan cukup lama
melawan gempuran keduanya, sudah membukti-
kan kehebatan ilmu silat yang kau miliki..." puji Bayu membesarkan semangat
gadis itu. "Ah, aku memang murid yang tak berguna. Ba-
gaimana mungkin mampu mengemban amanat
yang dititipkan eyang kalau berhadapan dengan
mereka saja aku tak mampu..." keluh Ayu Laks-
mini dengan wajah gundah.
Bayu menarik napas pendek, kemudian me-
mandang ke arah gadis itu dengan seksama. Lalu berkata pendek," Maafkan
kelancanganku yang
telah mendengar pembicaraan kalian..."
"Apa maksudmu...?"
"Secara tak sengaja aku lewat di muka pergu-
ruan mereka dan mendengar keributan yang kau
perbuat Pedang Setan itu memang pernah selin-
tas kudengar, dan aku sedikit terkejut ketika belakangan mendengar bahwa senjata
ampuh itu berada di tangan seorang pemuda yang tidak bertanggung jawab. Dia membuat
kekejaman dengan
membantai orang-orang yang tak berdosa dengan
pedang itu..." jelas Bayu singkat.
"Jadi, benarkah pedang itu tidak berada di
tangan mereka?" tanya Ayu Laksmini meyakin-
kan. "Entahlah. Soal itu aku tak tahu banyak. Tapi
kalau kau hendak mengambil kembali pedang itu, maka kau mesti berhadapan dengan
pemuda itu, sebab banyak orang yang ingin merebut Pedang
Setan itu dari tangannya, tapi mereka semua habis dibantainya..."
"Lalu di mana aku bisa menemui pemuda itu?"
tanya Ayu Laksmini seraya bangkit dengan wajah bernafsu hendak mendapatkan
kembali pusaka gurunya itu. "Aku sendiri tidak mengetahui di mana pemu-
da itu berada. Tapi kudengar kata-kata Ki Kartawijaya dan Nini Widyadara, bisa
jadi mereka mengetahui siapa pemuda itu sebenarnya sehingga
dari siapa dia menemukan Pedang Setan itu..."
"Huh, kalau begitu aku akan kembali ke Pergu-
ruan Camar Hitam dan memaksa mereka untuk
memberitahu di mana pemuda itu berada!" den-
gus Ayu Laksmini.
"Ni sanak..." panggil Bayu pelan.
Gadis itu menoleh. Ketika dilihatnya pemuda
itu menatapnya dengan seksama, gadis itu buru-
buru memperbaiki sikapnya yang tak bersahabat.
"Maafkan sikapku. Aku ingin buru-buru me-
nyelesaikan tugas yang diberikan Eyang Dewa
Ruci..." "Ah, tidak mengapa. Bolehkah kau kupanggil
Ayu...?" "Kau tentu telah mengetahui namaku, bukan"
Sebaliknya, aku harus memanggil apa padamu?"
"Eh, kau boleh panggil aku Bayu...."
"Bayu, eh Kakang Baya..," gadis itu menjadi
jengah sendiri ketika memperbaiki panggilannya terhadap pemuda itu. Dia
tertunduk malu sesaat, tapi Bayu cepat memperbaiki keadaan itu.
"Ayu, kalau kau tak keberatan, biarlah aku
menemanimu ke perguruan itu...."
"Eh, kalau Kakang Bayu tak keberatan, tentu
saja aku senang sekali...."
"Nah, marilah kita berangkat sekarang untuk
tidak membuang-buang waktu!" ajak Bayu seraya
melangkah lebih dulu.
Ayu Laksmini mengikuti dari belakang dengan
langkah pelan. Tapi tak berapa lama dia pun
menjejeri langkah pemuda itu.
*** Nini Widyadara menghela napas pendek. Dia
semakin tak tahu apa yang harus diperbuatnya
ketika suaminya beserta putranya mengejar gadis itu. Setelah sekian lama mereka
hidup tenteram, kini dalam beberapa saat telah banyak peristiwa yang menimpa.
Kematian putra keduanya di tangan seorang pemuda yang membawa-bawa Pe-
dang Setan amat mengejutkannya. Dan kini seo-
rang gadis datang menagih senjata itu pada me-
reka, kemudian sedikit mengungkit kenangan la-
manya. Hal itu menambah perih beban yang dide-
ritanya. Ki Dewa Ruci pasti telah cerita banyak pada muridnya itu. Dia memang
tak menyalahkan, karena tahu betul bahwa dia memang bersa-
lah dalam hal ini. Kalau saja dulu dia bisa berpikir tenang, tentu dia tak akan
mempedulikan segala rayuan Ki Kartawijaya sehingga meninggal-
kan Ki Dewa Ruci yang amat mencintainya. Bah-
kan dalam keadaan berkhianat begitu, dia masih
berani mencuri senjata pusaka kesayangan Ki
Dewa Ruci. Wanita tua itu mengeluh pelan seraya memba-
likkan tubuh memasuki gedung di belakangnya.
Tapi mendadak pada saat itu terdengar jeritan
panjang dari arah pintu gerbang. Dengan cepat wanita itu berbalik dan melihat
dua orang murid perguruan itu tewas dengan cara yang mengerikan. Dada mereka
hangus oleh goresan senjata
yang merobek lebar. Tubuh mereka pun pucat se-
perti tak berdarah, dan tewas saat itu juga.
"Siapa kau, bocah"!" bentak Nini Widyadara
begitu melihat seorang pemuda berambut panjang dan memakai baju yang terbuat
dari kulit harimau.
Nini Widyadara terkejut setengah mati melihat
kehadiran pemuda itu. Tapi lebih terkejut lagi ketika melihat pedang di tangan
kanannya. Pedang berwarna hitam yang berkilat memancarkan sinar laksana sihir
itu seperti menyilaukan mata dan membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
Tidak salah lagi, itulah Pedang Setan yang dicari-carinya selama ini.
Ditatapnya pemuda itu dengan seksama. Wa-
jahnya hitam dengan bintik-bintik kecil tampak dingin dan menyiratkan hawa
kesadisan. Tangan
kirinya menggenggam buntalan kain putih yang
meneteskan darah di bawahnya. Jantung wanita
tua itu semakin bergetar, dan wajahnya tampak pucat. "Apa isi buntalan yang
dibawa pemuda itu?" bisik hatinya cemas.
"Masih ingatkah kau dengan mendiang guruku,
Ki Sarpa Kenaka?" tanya pemuda itu dengan nada dingin.
"Ki Sarpa Kenaka..." Hm, akhirnya dia datang
juga meski mewakili padamu..."
"Pedang Setan telah berjodoh pada guruku,
dan kini diwariskan padaku. Tapi kau dan sua-
mimu serta semua murid-muridmu mencoba me-
rebutnya dariku seperti tikus-tikus got lainnya.
Mereka akan mampus ditanganku menjadi kor-
ban pedang ini!" dengus pemuda itu.
"Anak muda, jaga bicaramu! Pedang itu milik
perguruan kami, dan tidak ada hak sama sekali
bagimu untuk menyerakahinya. Apalagi mencoba
mengakuinya sebagai pusaka milikmu! Serahkan
padaku, dan aku akan melupakan perbuatanmu
tadi!" ucap Nini Widyadara menegaskan.
"Ha ha ha...! Tidak kusalahkan kalau kau tuli, orang tua. Tapi ingin kutegaskan
sekali lagi. Selama ini yang paling bernafsu untuk merebut pedang ini dari
tanganku adalah pihak kalian. Dan setelah kubereskan beberapa tokoh yang ingin
merampas pedang ini dari tanganku, maka seka-
rang giliran kalian akan kulenyapkan. Seorang
anakmu telah kubuat mampus. Dan salah seo-
rang lagi akan menyusul setelah kau kenali siapa yang kubawa ini!" teriak pemuda
itu seraya mengeluarkan buntalan di tangan kirinya ke hadapan wanita tua itu.
Nini Widyadara terkejut bukan main ketika me-
lihat kepala siapa yang berada dalam buntalan
yang dibawa pemuda itu.
"Padmi Ningsih, cucuku...!"
Darahnya seperti tersirap dan detak jantung-
nya berdebar lebih kencang menyaksikan cucu
kesayangannya tergeletak bermandikan darah.
Begitu juga dengan murid-murid Perguruan Ca-
mar Hitam yang berada ditempat itu. Dengan
spontan Ni Widyadara mencabut pedangnya dan
membentak garang.
"Bocah keparat! Aku akan mengadu jiwa den-
ganmu! Yeaaa...!" Bersamaan dengan itu tubuh-
nya melesat menyerang lawan.
Pemuda itu mendengus sinis. Sama sekali tak
terlihat wajah ketakutan di mukanya. Bahkan jelas dia memandang rendah pada
wanita tua itu.
"Huh, majulah kau dan bawa serta semua anak
muridmu agar lebih cepat aku menyelesaikan tu-
gasku membasmi kalian!"
"Keparat!" desis Nini Widyadara geram.
Wut! Bet! "Uhhh...!"
Begitu pedang lawan menyambar-nyambar ke
arahnya, pemuda itu mengibaskan pedang di tan-
gannya. Angin kencang berhawa panas seketika
menyambar ke arah Nini Widyadara. Wanita tua
itu menyadari keampuhan Pedang Setan di tan-
gan lawan dan tak berani untuk mencoba mema-
pakinya, dan hanya berusaha mengelak serta se-
sekali mencoba memasuki pertahanan lawan.
Tapi hal itu bukan pekerjaan mudah baginya.
Dalam sekejap saja dia merasakan bahwa bukan
saja dia tak mampu menembus pertahanan la-
wan. Bahkan sebaliknya serangan-serangan gen-
car yang dilakukan pemuda itu membuatnya ha-
rus pontang-panting menyelamatkan selembar
nyawanya. "Yeaaa...!"
Pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya
melesat ke arah lawan seraya memutar pedang
dengan cepat Angin bersiur kencang membuat
debu mengepul ke udara. Nini Widyadara kalang
kabut dibuatnya. Wanita tua itu berusaha me-
nangkis serangan lawan dengan pedangnya ketika senjata lawan menderu keras
menyambar ke arah
leher. Dia menyadari tak mungkin lagi menghin-
dar. Dan kalaupun hal itu dilakukannya, tidak
akan mampu menyelamatkan nyawanya.
Tras! Pret! "Aaakh...!"
Apa yang diduganya memang menjadi kenya-
taan. Pedangnya putus dihajar senjata lawan. Belum lagi dia berusaha mengelak,
pedang itu telah menyambar bahu kirinya dan memapas pangkal
lengannya. Wanita tua itu menjerit kesakitan. Ka-ki kiri lawan menghujam ke arah
dadanya, na- mun dengan sigap dia menjatuhkan diri ke bela-
kang. Tubuh lawan terus mengejar bagai angin
topan yang menggila.
"Yeaaa...!"
Brasss! Brasss!
"Uhhh...!"
Nini Widyadara bergulingan menyelamatkan di-
ri dari tebasan senjata lawan. Pedang di tangan pemuda itu menghantam tanah
berkali-kali. Pada saat itu beberapa orang murid Perguruan Camar
Hitam terus melompat menyerangnya untuk me-
nyelamatkan nyawa guru mereka. Namun dengan
sekali berbalik, ujung pedang pemuda itu telah meminta korban.
Brettt! "Aaah...!"
*** Tiga orang langsung terjungkal dengan dada
robek lebar. Tubuh mereka pucat seperti kehabisan darah. Dan begitu jatuh ke
tanah, diam tak berkutik lagi. Nyawa mereka lepas dari raga.
Beberapa orang kembali menyerang tanpa
mengenal rasa takut Kali ini pemuda itu betul-
betul mengalihkan perhatian kepada murid-murid perguruan itu.
"Tikus-tikus busuk, kalau kalian mau mampus
lebih dulu, aku akan penuhi keinginan kalian!
Yeaaa...!"
Bret! Crasss! "Aaa...!"
Korban kembali berjatuhan ketika pemuda itu
mengamuk dengan hebatnya. Beberapa orang
memekik kesakitan, dan ambruk dengan tubuh
pucat tak bernyawa lagi. Dalam beberapa gebra-
kan saja, lebih dari sepuluh orang murid perguruan itu tewas tak berdaya. Hal
itu tentu saja membuat Nini Widyadara mengeluh pelan. Dia
tak tahu harus berbuat apa lagi untuk menyela-
matkan mereka selain menghadang serangan pe-
muda itu. "Bocah, hentikan perbuatanmu! Hadapilah
aku...!" "Hei, bocah keparat! Hentikan perbuatanmu...!"
Belum lagi habis kata-kata Nini Widyadara,
saat itu juga terdengar bentakan nyaring. Serentak mereka berpaling dan melihat
rombongan Ki Kartawijaya yang telah tiba di tempat itu. Bukan main kagetnya wanita tua itu
ketika melihat keadaan suaminya. Buru-buru dia menghampiri den-
gan wajah cemas.
"Kakang, oh... apa yang telah terjadi pada-
mu..."!"
"Tenanglah, Nini. Aku tak apa-apa. Apakah bo-
cah keparat itu yang berbuat ini padamu"!" tanya Ki Kartawijaya dengan menahan


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amarah seraya menunjuk sebelah lengan istrinya yang buntung.
Nini Widyadara mengeluh pendek seraya berka-
ta lirih. "Kakang, dia... dia murid si Sarpa Kenaka itu.
Kepandaiannya hebat sekali. Apalagi dengan
adanya Pedang Setan di tangannya itu...."
Suara wanita tua itu terputus ketika Ki Dewan-
tara berteriak pilu mendapati kepala anaknya
yang berlumur darah.
"Padmi Ningsih, anakku...! Oh, siapa yang ber-
buat begini padamu, Nak.."!" jerit Ki Dewantara seraya mendekap kepala anaknya
dan memandang sekeliling tempat dengan wajah beringas.
"Aku yang melakukannya!" sahut pemuda yang
menggenggam Pedang Setan itu mendengus lirih.
Ki Dewantara bangkit dan menyambar sebilah
pedang dari salah seorang muridnya, kemudian
melangkah pelan mendekati pemuda itu. Sorot
matanya tajam seperti hendak menelan bulat-
bulat pemuda di hadapannya itu.
"Siapa kau, dan dendam apa yang kau bawa
sehingga membunuh putriku dengan cara yang
biadab begini"!" desis Ki Dewantara dengan suara ditekan sedemikian rupa menahan
amarah yang mengguncang di hatinya.
"Aku, Buyut Kelana, murid tunggal Eyang Sar-
pa Kenaka. Kedua orangtuamu mengetahui apa
maksudku ke sini. Kalian semua harus lenyap
seperti mereka yang menginginkan pedang di tanganku ini!"
"Keparat! Aku tak peduli dengan segala barang
rongsokan yang kau bicarakan. Kau hutang satu
nyawa padaku, dan aku tidak akan membiar-
kanmu bicara seenaknya tanpa merasa bersalah.
Manusia durjana, kau harus mampus ditangan-
ku!" Setelah berkata demikian, tubuh Ki Dewantara
berkelebat menyerang lawan. Pemuda yang me-
namakan dirinya Buyut Kelana itu mendengus si-
nis. Tubuhnya sama sekali tak bergerak untuk
menghindari serangan lawan. Tapi begitu ujung
pedang lawan sedikit lagi akan menyentuh tu-
buhnya, saat itu juga pedangnya berkelebat me-
mapaki. Trasss! Brettt! Ki Dewantara terkejut setengah mati. Meski dia mengetahui kehebatan pedang di
tangan lawan dari cerita kedua orangtuanya, namun hawa ama-
rah dan ketidakyakinannya membuat dirinya ber-
tindak kurang waspada dan terlalu menganggap
enteng. Akibatnya sungguh fatal. Pedang di tangan putus dibabat senjata lawan.
Dan bukan itu saja, dengan sekali berkelebat ujung pedang lawan menyambar
dadanya dan membuat luka
yang melebar dan dalam.
"Aaakh...!"
Ki Dewantara hanya mampu berteriak terta-
han. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Wajahnya pucat seperti tak berdarah. Demikian
pula dengan sekujur tubuhnya. Laki-laki itu ambruk dan tak bergerak lagi.
"Dewantara, Anakku.,.!" Nini Widyadara terke-
jut bukan main melihat kenyataan itu. Wanita tua itu langsung menubruk tubuh
anaknya sambil menangis pilu. Ki Kartawijaya bermaksud melabrak pemuda
itu. Namun sebelum dia bergerak lebih lanjut,
terdengar seseorang menyela dengan suara din-
gin. "Ayah, biar kuhadapi orang gila ini...!"
Mereka yang berada di tempat itu serentak
menoleh. Seorang laki-laki bertubuh sedang dan berusia
sekitar empat puluh lima tahun berdiri tak jauh dari pintu gerbang depan. Di
belakangnya berdiri kurang lebih sepuluh orang laki-laki berseragam sama dengan
murid-murid Perguruan Camar Hitam.
"Soma Jagat, hm... agaknya kau telah kemba-
li...!" "Sekian lama kucari pemuda ini untuk menun-
tut balas atas kematian Kakang Ganggapura, sia-pa sangka, ternyata dia berada di
tempat ini dan telah membuat kerusuhan. Ayah, biarlah kuhadapi manusia durjana
ini!" dengus laki-laki itu dengan wajah beringas dan pelan-pelan mendekati Ki
Buyut Kelana. "Soma Jagat, menepilah kau. Dia bukan tan-
dinganmu. Biar aku yang akan memberi pelajaran padanya," sela Ki Kartawijaya.
"Tidak, Ayah! Ayah dalam keadaan luka parah,
demikian pula Ibu. Biarlah aku yang mewakili kalian untuk menghajar bocah
sombong ini," sela Ki Soma Jagat seraya mencabut pedang dan menuding lurus ke
arah Ki Buyut Kelana.
"Bocah, bersiaplah kau!" lanjut Ki Soma Jagat
menantang. *** 8 Begitu selesai dengan kata-katanya, Ki Soma
Jagat langsung melompat menyerang lawan.
"Yeaaa...!"
Ki Buyut Kelana mendengus pelan. Tidak se-
perti menghadapi Ki Dewantara, pemuda itu langsung menyambut serangan lawan dan
ikut me- lompat memapaki serangan lawan. Pedangnya di-
putar sedemikian rupa menimbulkan angin ken-
cang yang tajam dan berhawa panas.
Untuk beberapa saat Ki Soma Jagat terkejut
dan merasakan angin serangan senjata yang ga-
nas. Dia menyadari betul bahwa senjata di tangan lawan bukan pedang sembarang.
Pedang itulah yang belakangan ini amat menghebohkan kalan-
gan persilatan. Kepalanya ditundukkan untuk
menghindari sabetan lawan, dan tubuhnya me-
liuk berputar untuk membabatkan pedang ke
pinggang lawan. Tapi Ki Buyut Kelana terlalu lihai untuk ditipu seperti itu.
Tubuhnya sedikit miring hingga ujung pedang lawan lewat beberapa inci dari
pinggangnya. Bet! Uuuh...!" Kepalan tangan kiri Ki Buyut Kelana mengha-
jar dadanya, namun dengan sigap Ki Soma Jagat
mengelak ke samping. Ujung pedang lawan me-
nyambar ke arah tenggorokan. Tubuh Ki Soma
Jagat melompat ke belakang menghindarinya.
Namun ujung kaki kanan lawan telah menyusul
melakukan serangan ke arah selangkangannya.
Ki Soma Jagat terkejut dan buru-buru memba-
batkan pedang. Lawan menekuk kakinya, dan
dengan kaki yang satunya lagi menjejakkan ta-
nah. Tubuh Ki Buyut Kelana melejit ke atas seraya membuat gerakan salto yang
indah mengejar kelebatan tubuh Ki Soma Jagat seraya menghunuskan senjatanya.
Telapak kirinya bersiap
menghantamkan pukulan jarak jauh untuk men-
jaga segala kemungkinan yang terjadi.
Apa yang diduga pemuda itu memang menjadi
kenyataan. Dalam keadaan terdesak seperti itu Ki Soma Jagat melepaskan pukulan
jarak jauh ke arah lawan dengan mengerahkan segenap tenaga
dalam yang dimilikinya.
"Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan itu pula Ki Buyut Kelana
memapaki pukulan lawan. Kepalan tangan ki-
rinya menghantam ke muka. Untuk beberapa saat
terdengar benturan keras yang diiringi angin kencang yang bersiur kencang
laksana badai topan.
Tubuh Ki Soma Jagat terpental beberapa langkah sambil menjerit keras. Dari
mulutnya muncrat
darah kental. Pada saat yang bersamaan dengan
itu tubuh Ki Buyut Kelana telah kembali melesat ke arahnya dengan pedang
terhunus. "Keparat!" Ki Kartawijaya memaki geram. Tu-
buhnya melompat hendak memapaki serangan
lawan guna menyelamatkan putranya. Namun lu-
ka dalam yang dideritanya akibat pertarungan
dengan Pendekar Pulau Neraka membuat gera-
kannya menjadi terhambat dan kurang gesit Se-
dangkan Ki Buyut Kelana agaknya tak bisa dice-
gah lagi, maka....
Bresss! Trasss! "Aaargkh...!"
Ki Soma Jagat menjerit tertahan. Ujung pedang
lawan melesak menembus jantung. Tubuhnya
bergerak sedikit, dan pelahan-lahan terlihat me-mucat ketika darahnya seperti
terisap habis ke batang pedang lawan.
Ki Buyut Kelana pun agaknya bertindak cepat
Begitu serangan Ki Kartawijaya sedikit lagi mendekat, maka buru-buru dia
mencabut pedang lalu sambil bergulingan menyambar senjata lawan.
Pedang di tangan Ki Kartawijaya putus dan nyaris orang tua itu menjadi korban
keganasan Pedang
Setan yang terus meluncur menyambar lehernya
kalau saja dia tak buru-buru memiringkan kepa-
la. "Yeaaa...!"
Tubuh Ki Buyut Kelana terus mengejar orang
tua itu. Ki Kartawijaya terkejut dan cepat bergulingan menghindari sabetan
pedang lawan yang
bukan main lihai dan cepatnya. Beberapa orang
muridnya mencoba membantu, namun pedang Ki
Buyut Kelana lebih cepat lagi menyambar mereka.
Bret! Crasss! "Aaa...!"
Empat orang kembali tewas disambar Pedang
Setan, dan tubuh mereka pucat bagai tak berda-
rah. Ki Kartawijaya memanfaatkan kesempatan
itu untuk menguasai diri. Namun begitu tubuh-
nya mencoba untuk melenting, Ki Buyut Kelana
telah bergerak menyambar lawan dengan pedang
di tangan. Orang tua itu tercekat dan berusaha mengelak. Namun dalam keadaan
mengapung di udara, sulit baginya untuk menghindari diri. Sa-tu-satunya cara yang bisa
dilakukannya adalah
menghantam lawan dengan pukulan jarak jauh.
Dan hal itulah yang dilakukannya saat ini.
Tapi Ki Buyut Kelana pun agaknya telah mem-
perhitungkan hal itu. Terbukti ketika dia balas menghantam pukulan jarak jauh ke
arah lawan. Terdengar suara keras ketika kedua pukulan
dahsyat itu beradu. Angin bersiur kencang dan
menerbangkan debu-debu serta menutupi tempat
di sekitar itu dalam beberapa saat.
Jdarrr! "Aaa...!" Keadaan Ki Kartawijaya sebenarnya
tak memungkinkan baginya untuk mengerahkan
tenaga dalam sepenuhnya. Kalau hal itu dilaku-
kannya sama artinya dengan bunuh diri, dan hal itulah yang terjadi pada orang
tua itu. Tubuhnya terlempar dua tombak seraya memuntahkan darah kental
kehitaman. Belum lagi Ki Buyut Kelana mengirim serangan susulan, tubuh orang tua
itu diam tak berkutik setelah menggelepar-gelepar
beberapa saat lamanya.
"Pemuda durjana, terimalah pembalasan dari
kami!" bentak murid-murid Perguruan Camar Hi-
tam seraya mengepung pemuda itu beramai-
ramai. Dan menyerangnya bersamaan.
Tindakan mereka itu bukannya menimbulkan
rasa gentar di hati Ki Buyut Kelana. Pemuda itu malah menyeringai lebar sambil
mengibaskan pedang.
"Kantong-kantong tak berguna, majulah kalian
semua kalau ingin mampus! Ayo, siapa yang lebih dulu ingin kukirim ke akherat"!"
Setelah berkata demikian, pemuda itu melom-
pat ke arah lawan-lawannya sambil menyambar
dengan pedang terhunus. Bisa diduga apa yang
terjadi kemudian. Beberapa orang langsung tewas disambar senjata maut di
tangannya. Tidak ada
satu pun senjata lawan yang mampu menahan
amukan pedangnya yang haus darah itu. Siapa
saja yang mendekat dengannya, bisa dipastikan
tewas hanya dalam waktu beberapa saat saja.
Bret! Crasss! "Aaa...!"
Pekik tertahan saling susul-menyusul mengi-
ringi ambruknya tubuh murid-murid Perguruan
Camar Hitam satu-persatu.
Mendadak pada saat itu melesat sebuah sinar
keperakan ke arah batang pedangnya. Dengan
spontan Ki Buyut Kelana menangkis.
Sring! Trang! "Hei..."!"
*** Bukan main kagetnya pemuda itu ketika senja-
tanya seperti menghantam tembok keras.
Selama ini tidak ada satu benda pun yang
mampu menahan keampuhan Pedang Setan di
tangannya. Tapi kali ini tangannya bergetar hebat seperti kesemutan ketika
menghantam benda keperakan yang melayang cepat tadi. Dengan kon-
tan pemuda itu menoleh dan melihat pemuda be-
rambut panjang telah berdiri di belakangnya pada jarak tujuh langkah. Pemuda
yang memakai baju
yang terbuat dari kulit harimau seperti dirinya itu memandangnya dengan sorot
mata tajam. Di pundaknya terlihat seekor monyet kecil berbulu hitam. Dan di samping pemuda itu
berdiri tegak seorang gadis cantik memakai pakaian serba putih. Ki Buyut Kelana
sempat melihat benda apa
yang tadi menahan pedangnya ketika pemuda itu
menangkap sebuah senjata cakra bersegi enam


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna keperakan.
"Hm, melihat dari senjatamu itu pastilah kau
yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...," ujarnya dengan nada dingin.
"Matamu sungguh tajam, Sobat! Apa yang kau
katakan memang benar. Orang-orang menjuluki-
ku sebagai Pendekar Pulau Neraka...," sahut pemuda yang tak lain dari Bayu
Hanggara itu. Kalau saja Ki Buyut Kelana merasa kaget kare-
na senjata Pendekar Pulau Neraka mampu mena-
han Pedang Setan di tangannya, maka hal itu pun dialami oleh Bayu. Dia merasa
kaget ketika cakra mautnya tak mampu memapak putus pedang la-
wan. Bahkan dari bunyi beradunya kedua senjata itu saja dia bisa menduga bahwa
senjata lawan memang bukan pedang sembarang.
"Kakang Bayu, tidak salah lagi. Pedang itulah
yang dimaksud Guruku...!" seru gadis di sebelah yang tak lain dari Ayu Laksmini.
"Hm, aku pun menduga demikian, Ayu..."
Sring! Ayu Laksmini sudah langsung mencabut pe-
dang dan melompat ke hadapan Ki Buyut Kelana.
Wajahnya garang dan ujung pedang di tangannya
ditudingkan ke arah pemuda itu.
"Lekas berikan senjata itu, atau kutebas ba-
tang lehermu!" bentaknya mengancam.
Mendengar ancaman si gadis, Ki Buyut Kelana
tersenyum mengejek.
"Gadis manis, sungguh besar nyalimu berkata
begitu. Apakah kau mempunyai nyawa sambi-
lan?" "Keparat! Kau sama sekali tak berhak atas
benda itu. Pedang Setan adalah kepunyaan Eyang Dewa Ruci, guruku. Lekas berikan
padaku atau nyawamu melayang saat ini juga!" bentak si gadis semakin garang diremehkan lawan
begitu rupa. "Hm, jadi kau murid Ki Dewa Ruci" Guruku
pernah cerita kehebatannya. Dan sebagai murid-
nya kau tentu mewarisi kehebatannya. Sudah la-
ma sekali aku ingin berhadapan dengannya, tapi tidak juga kunjung bertemu.
Kurasa dia takut
mampus di tanganku dengan senjatanya sendi-
ri...!" "Setan!" Bukan main geramnya Ayu Laksmini
mendengar kata-kata pemuda itu. Sambil memaki
geram, tubuhnya melompat menyerang lawan
dengan menggunakan ilmu pedang yang dimili-
kinya. "Yeaaa...!"
"Uts! Hm, boleh juga jurus ilmu pedangmu.
Akan lebih hebat lagi kalau si Dewa Ruci sendiri yang memainkannya. Kau masih
terlihat kaku dan kurang pengalaman. Hm, sungguh kurang
beruntung aku tak bertemu langsung dengan-
nya," ejek Ki Buyut Kelana sambil terus mengejek gadis itu.
"Pemuda ceriwis, anggap saja aku mewakili be-
liau untuk merobek mulutmu itu, yaaa...!"
Ayu Laksmini menyerang lawan sambil menge-
rahkan segenap kemampuan yang dimilikinya,
namun pemuda itu dengan tenang terus meng-
hindar dan tak bermaksud membalas. Dengan si-
kapnya itu jelas dia ingin mempermainkan lawan.
Sementara itu melihat Pendekar Pulau Neraka
dan gadis itu datang, serentak murid-murid Perguruan Camar Hitam menghentikan
perlawanan mereka dan kini hanya memperhatikan dengan
seksama pertarungan antara gadis itu dengan Ki Buyut Kelana.
Dan Bayu sendiri tadi hendak melarang gadis
itu untuk turun tangan. Namun dia menyadari
watak gadis itu yang keras kepala. Ayu Laksmini tentu tetap akan berkeras untuk
menghajar pemuda itu. Maka dia hanya bisa memperhatikan
seraya menjaga segala kemungkinan yang akan
terjadi. Dia sendiri sebenarnya menyadari meski kepandaian gadis itu tergolong
hebat dan berbahaya, namun jelas Ayu Laksmini sangat mentah
sekali pengalaman bertarungnya. Hal itu terlihat jelas dari jurus-jurus ilmu
pedang yang dimain-kannya. Meski terlihat bahwa Ki Buyut Kelana
asal-asalan menghindari serangan lawan, tapi terlihat bahwa dia cukup hati-hati.
Sebab sedikit sa-ja lengah bukan tak mungkin pedang Ayu Laks-
mini akan mencelakainya!
Setelah sekian jurus berlangsung, kali ini terlihat Ki Buyut Kelana mulai balas
menyerang. "Cukup! Kini giliranku untuk menyerangmu.
Lihat serangan ini!" bentak Ki Buyut Kelana sambil mengibaskan pedang dan
mendadak mener-
kam ke arah lawan.
Ayu Laksmini terkejut merasakan angin ken-
cang yang tajam dan berhawa panas menerpa di-
rinya. Tubuhnya melompat ke atas menghindari
seraya menghantam pukulan jarak jauh ke arah
lawan. Kelebatan sinar putih berhawa dingin menyambar ke arah Ki Buyut Kelana.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat..!"
Jderrr! "Uuuh...!"
Melihat gadis itu menghantamkan pukulan ke-
rasnya, Ki Buyut Kelana pun membalas. Bera-
dunya dua pukulan dahsyat itu menimbulkan su-
ara keras. Angin pukulan Ayu Lasmini buyar di-
hantam pukulan jarak jauh lawan dan terus me-
nerobos menghantam gadis itu. Ayu Laksmini
memekik nyaring. Tubuhnya terjungkal seraya
mengeluarkan darah kental dari sudut bibirnya.
Dalam keadaan demikian agaknya lawan tak ingin memberi kesempatan padanya. Tubuh
Ki Buyut Kelana terus melompat mengejar dengan senjata
terhunus ke arah Ayu Laksmini.
"Yeaaa...!"
Keadaan Ayu Laksmini memang sangat
mengkhawatirkan sekali. Meski dia mampu
menghindari dua atau tiga serangan lawan, na-
mun bisa diduga dia tak akan mampu bertahan
dari lima kali serangan. Kalau saja saat itu Pendekar Pulau Neraka tidak turun
tangan meno- longnya, niscaya kecemasannya hanya tinggal sesaat lagi saja.
"Kisanak, hentikan seranganmu! Lihat pada-
ku...!" *** Sriiing! Tring! "Yeaaa...!"
Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka melesat
kencang memapaki pedang Ki Buyut Kelana. Ter-
dengar bunyi berdenting nyaring yang diiringi
percikan bunga api ketika kedua senjata itu beradu. Pedang di tangan Ki Buyut
Kelana bergetar
hebat seperti juga tangannya. Sedangkan laju Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka
agak melenceng ketika kembali ketangannya. Terpaksa Bayu me-
lompat mengejarnya. Namun pada saat itu juga Ki Buyut Kelana telah melompat
menyerangnya. "Uts!"
Bayu menundukkan kepala, dan ujung pedang
lawan lewat beberapa inci dari ubun-ubunnya.
Kepalan tangan kirinya menghantam ke arah da-
da. Namun dengan tangkas, lawan menahan se-
rangannya dengan tangkisan tangan kanannya.
Plak! "Hiyaaat...!"
Keduanya berkerut menahan rasa sakit ketika
kedua tangan mereka beradu. Agaknya dengan
begitu Ki Buyut Kelana bisa menduga sampai di
mana kekuatan tenaga dalam lawan. Dan mem-
buatnya untuk tidak berbuat gegabah. Apalagi ketika satu tendangan kaki kanan
lawan menyam- bar ke arah lehernya. Ki Buyut Kelana bergerak ke kanan dan menangkis dengan
tangan kirinya.
Bersamaan dengan itu pula pedang di tangan
kanannya menyambar dengan gerakan meliuk-
liuk ke arah leher, dada, dan pinggang Pendekar Pulau Neraka. Bayu melompat ke
belakang, namun lawan mengikuti gerakannya dengan ujung
pedang tetap mengancam tubuhnya.
"Yeaaa...!"
Siiing! Tring! "Hiyaaa...!"
Dalam keadaan terjepit begitu, Bayu mele-
paskan Cakra Mautnya. Senjata ampuhnya itu
melesat kencang mengejar lawan, namun dengan
sigap Ki Buyut Kelana menangkis dengan senja-
tanya. Keduanya kembali berbenturan dan me-
nimbulkan suara berdenting nyaring diiringi percikan bunga api. Ki Buyut Kelana
kembali mera- sakan telapak tangannya kesemutan, dan detak
jantungnya semakin tak beraturan. Namun dia
tak mau mempedulikan keadaan dirinya, dan su-
dah terus melompat menyerang lawan dengan ke-
kuatan penuh. Tubuh Bayu melompat beberapa kali menyam-
bar Cakra Maut yang masih melayang di udara.
Nyaris ujung pedang lawan menyambar ping-
gangnya kalau saja dia tak buru-buru melejit ke atas. Agaknya Ki Buyut Kelana
menyadari akan kehebatan senjata lawan, untuk itulah dia menyerang ke dua arah sekaligus, yaitu
menyambar Cakra Maut dan kemudian diteruskan menyabet
pergelangan tangan kanan lawan.
Namun agaknya Bayu menyadari hal itu se-
hingga dia memperhitungkan baik-baik kapan ha-
rus melepaskan Cakra Maut, dan berapa lama
waktu yang diperlukannya untuk menangkap
senjatanya kembali dengan serangan-serangan
yang dilakukan oleh lawan.
"Yeaaa...!"
Ki Buyut Kelana mencoba menyambar perge-
langan tangan lawan ketika Cakra Maut yang di-
lepaskan Pendekar Pulau Neraka meleset dari sasaran. Tubuhnya bergulung-gulung
menghindari kehebatan pedang lawan yang bukan main dah-
syatnya. Kemudian dengan sekali sentak, tubuh-
nya melejit ke atas menyambar Cakra Maut yang
bergerak ke arahnya. Pada saat bersamaan tubuh Ki Buyut Kelana mengejar dari
bawah dan mencoba memapas kedua kakinya. Namun dengan
gesit Bayu menekuk kedua kakinya dan mele-
paskan Cakra Maut di tangannya ke arah leher
lawan. Siiing! Crasss! "Aaarkh...!"
Kejadian itu cepat sekali berlangsung dalam jarak dekat Cakra Maut melesat bagai
kilat dan tak mampu ditahan lawan. Ki Buyut Kelana hanya
mampu berteriak tertahan ketika senjata maut
lawan menyambar lehernya. Kepala pemuda itu
menggelinding ke tanah, dan darah muncrat dari pangkal lehernya!
Semua orang yang berada di tempat itu mena-
han napas karena ngeri melihat apa yang terjadi dengan Ki Buyut Kelana. Namun
dengan tenang Bayu mendekati lawan dan mengambil pedang
dalam genggaman tangannya. Pemuda itu mena-
rik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya
pelahan-lahan. Ada hawa panas yang hendak
menerobos lewat pembuluh darahnya ketika Pe-
dang Setan digenggamnya erat-erat Hawa panas
yang menimbulkan amarah dan kegarangan. Na-
mun dengan kekuatan tenaga batinnya dia beru-
saha menekan pengaruh jahat itu dan menguasai
senjata itu dengan tenang.
Bayu memandang ke sekeliling tempat, kemu-
dian berkata pelan.
"Pedang Setan ini telah membawa bencana,
dan tidak sembarangan orang mampu meme-
gangnya dengan baik. Kalau sampai jatuh ke tangan yang salah maka
keangkaramurkaan akan
melanda dunia. Oleh sebab itu dia akan aman bi-la berada di tangan pemiliknya.
Aku akan menyerahkan pedang ini ke tangan Ki Dewa Ruci. Ada-
kah di antara kalian yang mencoba merampasnya
dari tanganku?"
Seluruh murid-murid Perguruan Camar Hitam,
juga Nini Wiyadara yang tengah duduk bersila
mengatur pernapasan dan jalan darahnya guna
menyembuhkan luka dalamnya, diam membisu.
Tidak ada seorang pun dari mereka yang berani
bertindak. Bisa jadi setelah melihat sepak terjang pemuda itu mereka merasa
ngeri. Pemuda ini tak kalah sadisnya dengan Ki Buyut Kelana. Meski
dia tak sembarang membunuh orang, tapi dia tak segan-segan memancung kepala
siapa saja yang
mencoba mengancam keselamatan dirinya.
Setelah melihat tak ada reaksi dari mereka, pelahan-lahan pemuda itu menghampiri
Ayu Laks- mini setelah menggendong monyet berbulu hitam
yang tak lain dari Tiren, teman kesayangannya
itu. "Ayu, pedang ini telah berada ditanganku dan
kita akan bersama-sama menyerahkannya pada
gurumu...."
"Eh, terima kasih. Tapi.... Tapi apakah tidak
merepotkanmu, Kakang Bayu...?"
"Maaf, bukannya aku tak percaya padamu. Ta-
pi Pedang Setan ini memang bukan sembarang
pedang. Diadakan mempengaruhi siapa saja yang
memegangnya untuk menimbulkan keangkara-
murkaan dalam dirinya. Dalam keadaan dirimu
yang tengah terluka dalam begini, tentu akan


Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbahaya pula bagi dirimu...."
"Tidak apa, Kakang. Aku percaya padamu...."
"Terima kasih. Bagaimana keadaanmu seka-
rang...?" tanya Bayu seraya memeriksa nadi di
tangan gadis itu.
"Agak baik, Kakang...," sahut gadis itu merasa jengah dengan suara lirih. Seumur
hidupnya belum pernah tangannya diremas seorang pemuda,
meski pada saat itu Bayu tengah memeriksa urat nadinya. Dan hal itu membuat
tubuhnya merasa
panas dingin. "Hm, memang tidak terlalu parah...," sahut
Bayu bergumam pelan seraya mengangguk kecil.
"Kakang, apakah kita akan berangkat seka-
rang?" "Apakah kau sudah merasa kuat?" tanya Bayu
balik bertanya.
"Jangan khawatir, aku masih mampu berlari
ribuan tombak lagi!" sahut gadis itu cepat seraya tersenyum kecil.
"Baiklah, kita berangkat sekarang...," sahut
Bayu seraya berjalan lebih dulu.
Ayu Laksmini kesal juga hatinya. Pemuda itu
tak acuh sama sekali padanya. Apakah dia tak
punya perasaan" Tidak bisakah berbasa-basi
dengan mengajaknya, atau menggandeng tangan-
nya, lalu tersenyum kecil" Tapi malah cepat pergi, gumamnya dalam hati. Ayu
Laksmini cepat-cepat
menyusul Bayu dan berusaha menyamai lang-
kahnya. Dan sepanjang perjalanan, lagi-lagi dia merasa kesal karena pemuda itu
terlalu serius, dan jarang tersenyum, apalagi berkelakar! Tapi entah kenapa,
meski begitu dia suka sekali melihat pemuda itu.
SELESAI https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan: Clickers Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** *** SELESAI Kelana Buana 31 Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga Kembang Darah Setan 3
^