Pencarian

Pembalasan Dewibunga Kematian 1

Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian Bagian 1


PEMBALASAN DEWI BUNGA KEMATIAN oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
128 hal.; 12 x 18 cm
1 Dengan berlinang air mata, Angelir yang meli-
hat kematian ayahnya terus berlari menuju ke arah
Selatan di mana terpampang larikan Bukit Setan.
Bukit Setan merupakan bukit yang sangat ang-
ker. Jarang orang berani datang ke tempat itu. Bukit Setan dihuni oleh seorang
tokoh silat golongan hitam yang berilmu tinggi, bernama Rangga Bargawa dengan
julukan Banas Pati.
Dua puluh tahun yang silam, Banas Pati telah
malang melintang di dunia persilatan. Banyak sudah
korban yang menemui kematian di tangannya. Keba-
nyakan korban itu adalah tokoh persilatan golongan
lurus. Karena sepak terjangnya yang sungguh dapat
mendirikan bulu kuduk Rangga Bargawa mendapat ju-
lukan Banas Pati. Korbannya selalu mati dengan hi-
lang matanya, dimakan oleh Rangga Bargawa.
Dua puluh tahun Rangga Bargawa malang me-
lintang di dunia persilatan. Dua puluh tahun juga tokoh-tokoh persilatan dibuat
bertekuk lutut. Merasa dirinya orang yang paling sakti, Rangga Bargawa men-
gangkat dirinya menjadi raja di raja dunia persilatan.
Namun seperti ungkapan, jodoh, nasib, hidup
dan mati adalah Yang Maha Kuasa yang berwenang.
Baru setahun Rangga Bargawa memegang tampuk ke-
kuasaan sebagai Raja Diraja, datang ke tempatnya seorang pendekar muda bernama
Bayong atau Pendekar
Suci. Tanpa dapat dicegah, kedua pendekar berha-
luan beda itupun bertempuh di Lembah Karang Teng-
korak. Karena keduanya merupakan dua pendekar ke-
las wahid, sehingga pertempuran keduanya berjalan
begitu alot. Berhari-hari keduanya bertempur, namun sepertinya kedua tokoh itu
tak akan ada yang menang maupun yang kalah.
Namun pada hari kelima, Bayong yang sudah
jenuh dengan pertempuran segera mengeluarkan ajian
andalannya. Ajian yang hanya diwariskan oleh gu-
runya pada Bayong, yaitu ajian Buto Dewa Wisnu. Tu-
buh Bayong seketika berubah menjadi raksasa. Sua-
ranya menggelegar dahsyat menjadikan alam seketika
seperti runtuh.
Dengan ajian tersebut, Bayong dapat menga-
lahkan Rangga Bargawa. Dilemparkannya tubuh
Rangga Bargawa, sehingga Rangga Bargawa lumpuh.
"Ingat, Rangga Bargawa. Bila kau kelak akan
mengulangi perbuatanmu, aku pun akan datang kem-
bali walau lewat orang lain."
Sejak saat itu, Rangga Bargawa seperti hilang
dari dunia persilatan. Hati kecilnya yang mendendam pada Bayong, tak dapat
dilunasinya. Dengan kekalahan tersebut, Rangga Bargawa
mengasingkan diri. Ia menempa segala ilmu kanura-
gan, serta berusaha menciptakan ajian tandingan Buto Dewa Wisnu. Kini sudah tiga
puluh lima tahun Rangga Bargawa mengasingkan diri. Bermacam ilmu ia ciptakan dan
ia pelajari, berbagai ajian ia ciptakan pula.
Tujuannya hanya satu, membalas dendam pada
Bayong atau muridnya,
Rangga Bargawa tengah merenungi dirinya
yang telah sekian puluh tahun terkurung di Jurang
Lembah Tengkorak. Walau pun Rangga Bargawa lum-
puh kakinya, namun dengan ilmu yang ia miliki,
Rangga Bargawa masih mampu bergerak.
Banyak sudah tokoh-tokoh persilatan yang ma-
ti di tangannya. Mereka biasanya orang-orang yang
hendak mencari Kitab Pedang Biru, sebuah kitab yang sangat berguna bagi orang-
orang persilatan. Di samping kitab tersebut, mereka juga bermaksud menda-
patkan Pedang Biru.
Sebenarnya Bargawa pun tengah mencari kitab
dan pedang tersebut. Namun sampai ia begitu tua, kitab dan pedang tersebut tak
juga ia temukan.
"Tiga puluh lima tahun sudah aku mengurung
diri di dasar jurang ini. Tujuannya hanya satu, mencari kitab dan pedang yang
menjadi rebutan kaum persilatan. Kenapa sejauh ini aku tak menemukannya?"
bergumam Bergawa dalam hati.
Tengah Rangga Bargawa merenungi diri, ter-
dengar olehnya seorang wanita berseru dan atas ju-
rang. "Paman... paman Bargawa, kau dengar seruan ku?" "Hem, siapa yang telah
memanggilku dengan sebutan paman?" bertanya hati Bargawa. "Siapa kau yang
berseru!" seru Bargawa kemudian.
"Aku kemenakan mu! Aku Angelir, paman!"
"Angelir. Hem, bukankah anak itu anak kakak-
ku Amuk Mungkur" Untuk apa bocah itu datang me-
nemuiku?" tanya Bargawa pada diri sendiri. "Angelir!
Apakah kau datang dengan bapak moyangmu"!"
"Tidak, Paman. Angelir datang sendirian," menjawab Angelir dari atas. Matanya
memandang ke ba-
wah jurang yang gelap, sehingga ia tak mampu melihat apa yang ada di dalam
jurang itu. "Paman, bolehkan Angelir menemuimu?"
"Kau berani turun, Anak bandel"!"
"Berani, Paman!" jawab Angelir. "Jadi paman mengijinkan?"
"Kalau kau memang berani turun, turunlah!"
seru Bargawa. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buhnya, Angelir segera melompat turun ke bawah ju-
rang yang cukup dalam. Tubuhnya melayang bagaikan
sehelai daun kering, lalu hinggap dengan enaknya di dasar jurang.
"Hoop, ya!"
"He, he, he... rupanya kau seperti ayahmu,
bandel. Nah, apa perlumu datang ke mari, Anak ban-
del!" Angelir tidak langsung menjawab pertanyaan sang paman, malah dari kedua
matanya meleleh air
mata. Angelir menangis, menjadikan Rangga Bargawa
seketika menyipitkan mata tak mengerti dengan ting-
kah Angelir. "Kenapa kau menangis, Anak bandel!"
"Paman, kini aku sebatang kara."
Tersentak Rangga Bargawa mendengar penutu-
ran kemenakannya. Matanya membeliak, sepertinya
tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan
mengerutkan kening, Rangga Bargawa bertanya.
"Apa maksudmu dengan ucapan sebatang kara,
Angelir?" Kembali Angelir tak segera menjawab, malah
kini tangisnya makin kencang. Melihat hal itu, Rangga Bargawa yang biasanya
garang seketika ikut iba.
"Ayo, Anak manis. Kenapa kau menangis?"
"Paman, kini ayah telah tiada"
"Apa...!" tersentak Rangga Bargawa bagaikan disengat Kala, demi mendengar ucapan
kemenakannya. "Kau tidak bercanda, Anakku?"
Angelir menggeleng lemah, tak mampu untuk
berkata-kata. "Kapan ayahmu meninggal?"
"Ayah dibunuh...!"
"Dibunuh...!" kembali Rangga Bargawa terpe-ranjat, sehingga matanya yang lebar
makin melebar kala melotot. "Siapa yang berani membunuh kakang Amuk?" Dengan masih menangis,
Angelir segera menceritakan apa yang telah ia alami. Bargawa yang men-
dengarkannya, seketika darahnya bagaikan mendidih.
Giginya saling beradu, mengeluarkan bunyi gemeretuk.
Saking marah dan kesalnya pada siapa-siapa
yang telah mengakibatkan kakaknya mati, menjadikan
Rangga Bargawa bagaikan orang kesetanan. Dihan-
tamnya tembok jurang, yang seketika itu hancur lebur menjadikan gempa.
Tersentak Rangga Bargawa melihat jurang itu
runtuh. Dengan segera dibopongnya tubuh Angelir, la-lu dengan tubuh bagaikan
terbang Rangga Bargawa
melompat naik. Tak lama setelah Rangga Bargawa sampai di
atas, terdengar longsornya jurang itu. Mata Bargawa membeliak, manakala melihat
longsoran tanah yang
seketika itu menutupi jurang.
"Sungguh tak dapat dibayangkan bila kita ma-
sih di dalam jurang itu." bergumam Rangga Bargawa.
"Ayo kita pergi, Angelir."
"Ke mana, Paman?" bertanya Angelir tak mengerti. "Ikut aku. Kau akan aku beri
segala ilmu yang telah aku ciptakan selama tiga puluh lima tahun berada di dasar
jurang. Ayo."
Tanpa banyak kata lagi, kedua paman dan ke-
menakan itu segera berkelebat pergi meninggalkan Jurang Karang Tengkorak.
* * * "Di sinilah kau akan aku tempa menjadi seo-
rang tokoh persilatan yang sukar untuk ditandingi."
berkata Rangga Bargawa setelah keduanya sampai pa-
da sebuah bukit, yang letaknya di tengah hutan. "Kau ingin membalas semua sakit
hatimu, Angelir?"
"Benar, Paman." menjawab Angelir.
"Untuk itulah, paman akan menggembleng mu
menjadi seorang pendekar yang tak akan terkalahkan.
Kalau kau telah menjadi seorang tokoh sakti mandra
guna, kau harus mampu menjadi seorang pimpinan.
Kau harus menggantikan ayahmu," berkata Rangga Bargawa penuh semangat, yang
diangguki oleh Angelir.
Hari itu juga, Rangga Bargawa segera menga-
jarkan segala macam jurus-jurus temuannya. Angelir
yang memang berambisi menjadi penguasa, juga men-
jadi tokoh paling sakti dengan giat mengikuti segala petunjuk pamannya.
"Ini yang aku beri nama jurus Seroja Biru. Li-
hatlah!" Rangga Bargawa segera memperagakan jurus Seroja Biru. Walau kakinya
lumpuh, namun gerakannya tak terpengaruh sedikitpun. Gerakan Rangga Bar-
gawa begitu lincah, malah lebih lincah bila dibandingkan dengan orang normal.
"Nah, sekarang kaulah yang melakukannya,"
perintah Rangga Bargawa, yang dengan senang hati dilaksanakan oleh Angelir.
Hari-hari pun dilalui oleh keduanya dengan berlatih dan berlatih. Cita-citanya
yang ingin merajai dunia persilatan, seperti membimbingnya dalam berlatih.
Tak terasa waktu berlalu, membawa mereka
pada titik kulminasi latihan. Segala ilmu kanuragan
dan ilmu-ilmu silat telah Angelir kuasai.
Hari itu Angelir tengah duduk berhadap-
hadapan dengan pamannya. Seperti nya Rangga Bar-
gawa hendak mengutarakan maksud yang selama ini
terpendam di hatinya, yaitu dendamnya pada Bayong
yang telah menjadikannya lumpuh.
"Angelir, anakku. Hari ini adalah hari untuk
yang terakhir kau bersamaku. Segala ilmu yang aku
miliki, telah seluruhnya aku limpahkan padamu. Sega-la ajian telah aku berikan
padamu, tinggal satu ajian dahsyat yang hingga kini belum aku berikan."
"Apa itu, Paman?" tanya Angelir ingin tahu.
"Nanti kalau kau telah tahu duduk persoalan-
nya kenapa aku mengurung diri di jurang Karang
Tengkorak, akan aku beri tahu padamu sekaligus akan aku turunkan padamu.
Dengarlah cerita ku."
Setelah terlebih dahulu menarik napas dalam-
dalam, Rangga Bargawa segera menceritakan apa yang
pernah terjadi pada dirinya tiga puluh lima tahun yang si lam. "Aku dan ayahmu
adalah kakak beradik seperguruan. Namun begitu, kami seperti kakak beradik
sendiri. Aku menghormati ayahmu, seperti menghor-
mati kakakku sendiri. Setelah kami sama-sama me-
nimba ilmu pada Ki Lanang Edan, kami pun berpisah.
Ayahmu menggantikan kakekmu menjadi raja. Semen-
tara aku sendiri, terus berkelana menimba ilmu. Berpuluh-puluh perguruan aku
singgahi, berpuluh-puluh
guru aku pinta ilmunya. Namun hatiku tak puas, ya,
aku merasa tak puas. Maka dengan ilmu yang aku mi-
liki, aku segera bertualang mencari kepuasan batin.
Ratusan pertarungan aku jalani, semua dapat aku
menangi. Namun kembali aku tak puas.
Ku umbar segala nafsu yang ada di hatiku. Ku-
bunuh orang-orang yang menamakan dirinya pende-
kar, lalu kuambil matanya dan ku makan. Mulanya
aku ngeri merasakan tindakanku sendiri. Tapi lama
kelamaan, semuanya seperti biasa. Bahkan aku makin
ketagihan untuk memakan mata orang. Hingga karena
kesadisan ku, aku dijuluki oleh orang-orang persilatan Banas Pati.
Julukan itu makin menambah keseraman ku.
Semua tokoh-tokoh persilatan tunduk padaku dan
mengangkat ku sebagai Raja Diraja dunia persilatan.
Namun begitu, tindakanku yang telengas suka makan
mata orang terus berlangsung. Hal itu menjadikan semua ngeri, lalu berbalik
memusuhi aku. Tapi mereka
tak ada seorangpun yang dapat mengalahkan ilmu
yang aku miliki.
Suatu hari datang ke tempatku seorang pende-
kar muda. Ia merupakan salah seorang dari Empat
Pendekar Sakti, bernama Bayong. Ki Bayong diperintah oleh tokoh-tokoh persilatan
untuk mencegah tindakanku. Karena aku merasa dia adalah duri yang
menghalangi, kami pun akhirnya bertempur.
Pertempuran itu berjalan begitu alot dan lama,
karena kami merupakan tokoh-tokoh silat kelas wahid.
Namun rupanya Ki Bayong memiliki ilmu lebih diban-
dingkan denganku yaitu Ajian Buto Dewa Wisnu. Den-
gan ajian tersebut, ia mampu mengubah dirinya men-
jadi Raksasa. Aku ditangkapnya dan dilemparkan jauh sam-
pai membentur batu karang jurang Karang Tengkorak.
Kakiku lumpuh dengan tulang remuk. Sejak saat itu,
aku mengurung diri di dasar jurang Karang Tengkorak, mendalami segala ilmu dan
berusaha menciptakan
ajian tandingan Buto Dewa Wisnu. Tujuanku hanya
satu, membalas kekalahan ku. Aku tekun mempelajari
ajian itu. Tapa Brata empat puluh hari empat puluh
malam aku lakukan. Tentunya kau mengerti apa yang


Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku maksud, Angelir?"
"Saya mengerti. Paman," jawab Angelir.
"Nah, dengarlah. Ajian yang aku ciptakan ber-
nama Ajian Betari Kala. Sebenarnya ajian ini khusus untuk wanita. Ya, kebetulan
kau datang, Anakku."
Hari itu juga, Rangga Bargawa segera mewa-
riskan ajian Betari Kala pada Angelir. Lengkaplah sudah ilmu yang dimiliki
Angelir. Maka dengan segala ajian yang ia miliki, Angelir
setelah meminta restu pada pamannya segera pergi
untuk membalas sakit hatinya. Juga untuk menunai-
kan tugas dari pamannya, membalas dendam pada Ki
Bayong atau muridnya.
2 Sejak membubarkan diri dari gerombolan Alas
Rengas, Loro Ireng kembali pada jalan kebenaran.
Dengan memakai nama samaran Dewi Rembulan
Emas, Loro Ireng berkelana kembali. Hatinya yang telah terpaut pada Jaka
Ndableg, menjadikannya ingin
selalu dapat bersanding dengan pemuda itu.
Siang itu Loro Ireng tengah berjalan di tepi pan-
tai. Seperti hari-hari biasanya, Loro Ireng bertualang demi mencari Jaka Ndableg
yang telah mengambil hatinya. "Ke mana aku harus mencari" Sedang aku tak tahu di
mana rimba belantaranya?" mengeluh hati Loro Ireng. Dengan mengikuti ke mana
langkah kakinya,
Loro Ireng terus melangkah. Beratus bahkan beribu
mil telah ia jalani, namun batang hidung orang yang dicarinya tak jua ditemukan.
Tengah Loro Ireng berjalan dengan melamun,
terdengar olehnya seorang berseru memanggil na-
manya. "Loro Ireng, tunggu!" Loro Ireng segera memalingkan mukanya, memandang
pada asal suara itu.
Terkesiap darah Loro Ireng, manakala dilihatnya orang yang telah memanggilnya.
"Kau... kaukah Angelir?" bergumam Loro Ireng, sepertinya tak percaya pada apa
yang ia lihat. "Ke ma-na saja kau, Angelir?"
"Aku pergi mengasingkan diri, Loro. Apakah
kau tak ingin kembali membentuk sebuah gerombo-
lan?" "Ah, apakah nantinya kita tak mengalami kesulitan seperti yang telah kita
alami. Apalagi dengan datangnya anak muda yang sakti itu." berkata Loro Ireng,
menjadikan Angelir yang mendengarnya hanya tersenyum. "Kau tak yakin dengan apa
yang aku miliki, Lo-ro?"
"Bukan begitu. Apakah kita kelak mampu
menghadapi pemuda sakti itu?"
Ditanya seperti itu oleh Loro Ireng, seketika An-
gelir yang merasa telah berilmu paling tinggi tertawa bergelak-gelak. Hal itu
menjadikan Loro Ireng mengernyitkan kening, dan bertanya tak mengerti akan apa
yang dijadikan bahan ketawaan Angelir.
"Kenapa kau tertawa, Angelir?"
"Kau ingin bukti bahwa aku akan mampu men-
galahkan pemuda yang kau maksud" Lihat...!"
Habis berkata begitu, segera Angelir merapal-
kan ajian Batari Durga. Seketika tubuhnya yang kecil
dan cantik jelita, berubah menjadi seorang raksasa
yang menyeramkan. Rambutnya yang panjang dan ha-
lus, berubah menjadi kasar dan awut-awutan. Ma-
tanya yang lentik, kini berubah menjadi besar, sebesar piring makan. Tawanya
yang dulu melengking, kini
membahana bagaikan suara halilintar.
Loro Ireng seketika gemetaran, manakala tan-
gan Batari Durga mencengkeramnya. Loro Ireng me-
nyangka kalau Batari Durga akan memangsanya.
"Ampunilah aku, Angelir." pinta Loro Ireng me-rengek. "Jadi, kau mau menjadi
pengikut ku lagi, Lo-ro?"
"Benar, Angelir. Kini aku yakin, bahwa kau
memang sakti," berkata Loro Ireng masih ketakutan.
"Sekarang lepaskanlah aku."
Angelir segera menaruh tubuh Loro Ireng kem-
bali, yang segera berlari menjauh. Perlahan-lahan, tubuh Angelir kembali ke
bentuk semula. "Bagaimana, Loro Ireng" Apakah kau yakin?"
"Aku yakin, Angelir," menjawab Loro Ireng. Di wajahnya masih tergambar rasa
takut yang amat sangat, menjadikan Angelir tersenyum melihatnya.
"Ayo kita taklukan gerombolan-gerombolan
yang ada di sini. Kita ajak mereka bergabung. Kalau mereka tidak mau. Hem, akan
tau rasa."
Dengan segera, kedua orang gadis itu bergegas
pergi, meninggalkan pantai yang kembali sepi. Keduanya terus berlari masuk ke
pedalaman, mencari ge-
rombolan-gerombolan yang akan mereka jadikan pen-
gikut. * * * Tengah kedua gadis itu berjalan menyusuri hu-
tan yang tampaknya angker, tiba-tiba keduanya dike-
jutkan oleh bentakan seseorang yang menyuruhnya
berhenti. "Berhenti! Serahkan apa yang ada pada kalian
dan ikutlah aku!"
"Hem... ini pasti, Loro!" berbisik Angelir.
"Ya, ini yang pertama!"
"Heh... apakah kalian gadis tuli?" kembali orang itu membentak.
Dibentak begitu kasar tidak menjadikan dua
gadis itu takut. Bahkan dengan tersenyum Loro Ireng berkata mewakili Angelir.
"Ki Sanak... bukanlah lebih baik kau dan anak
buahmu ikut kami?"
"Edan! Diperintah malah menyuruh! Apakah
kalian belum tahu siapa aku adanya, sehingga kalian berani lancang padaku!"
membentak lelaki menyeramkan itu, menjadikan Loro Ireng tertawa bergelak-gelak.
Sementara Angelir sendiri, nampak tenang melihat keduanya perang mulut.
"Apa sih yang perlu ditakuti pada dirimu. Bu-
kankah kau tak lebihnya kaum kroco?"
"Setan alas! Rupanya kau mencari mampus."
"Hi, hi, hi... kau jangan sesumbar seenak udel mu. Dengar! Aku perintahkan
padamu dan anak
buahmu yang tengah bersembunyi di semak-semak,
ikutlah aku. Kalian akan menjadi satu gerombolan besar, bukan macam kecoa!
Dengar oleh kalian! Akulah
Loro Ireng, pimpinan Gerombolan Alas Renges."
Terbelalak mata pimpinan gerombolan begal itu
manakala tahu siapa yang tengah ia hadapi. Maka
tanpa sungkan-sungkan, pimpinan begal itu segera jatuhkan diri berlutut yang
diikuti oleh keempat puluh
anggotanya. "Ampuni segala kesalahanku, Tuan Putri."
"Bagus. Mulai sekarang, kau harus menjadi
pengikut ku."
"Daulat, Tuan Putri!" menjawab mereka serempak, menjadikan Loro Ireng dan
Angelir tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha... akulah penguasa tunggal ge-
rombolan terbesar di jagad raya ini. Akan aku jadikan dunia ini ajang
kebrutalan. Akan aku bikin mereka
bertekuk lutut padaku." berseru Angelir dengan ta-wanya yang membahana.
Bersamaan dengan habisnya
gelak tawa Angelir, seketika tubuh Angelir berubah
menjadi Betari Durga.
Melihat kenyataan gadis di hadapannya bukan
gadis sembarangan, keempat puluh gerombolan begal
itu seketika menyembah dengan tubuh bermandikan
keringat dingin.
"Ampunilah kami, Tuan Putri!" berkata pimpinan gerombolan begal itu dengan tubuh
gemetaran. "Siapa namamu!" membentak Betari Durga. .
"Saya... saya bernama, Cobil," menjawab pimpinan gerombolan begal itu masih
dengan rasa takut.
"Ampuni atas tindakan saya tadi, Tuan Putri."
"Cobil, mulai saat ini kau harus menurut pada
perintah Loro Ireng. Kau mengerti"!"
"Mengerti, Tuan Putri."
"Kalian harus datang pada malam purnama di
Bukit Karang Tengkorak!" berkata Betari Durga. "Ayo, Loro." Kedua gadis itu
kembali berkelebat pergi, meninggalkan gerombolan yang telah mereka taklukkan.
Keduanya terus berlari untuk mencari gerombolan-
gerombolan lain yang nantinya dapat dijadikan anggo-
ta mereka. * * * Malam bulan purnama tiba, di mana malam itu
para gerombolan yang telah ditaklukan oleh Loro Ireng dan Angelir akan
berkumpul. Angelir dan Loro Ireng telah berdiri di atas bu-
kit, menunggu kedatangan mereka. Mata kedua gadis
cantik itu memandang lurus ke muka, di mana jalan
setapak terbentang. Hanya jalan itu yang dapat dilewati untuk menuju ke Bukit
Karang Tengkorak.
"Kenapa mereka belum datang?" bertanya Loro Ireng agak cemas.
"Kalau mereka tak datang. Hem, jangan harap
mereka akan hidup!" menjawab Angelir.
Tengah keduanya cemas, tampak oleh mereka
serombongan orang berdatangan menuju tempatnya.
"Itu mereka datang! Rupanya mereka benar-
benar ingin menjadi anggota kita." berkata Loro Ireng.
"Ya... siapa yang tak ingin menjadi anggota ku.
Hua, ha, ha ha... bukankah aku orang yang paling
sakti, Loro Ireng?"
"Benar ucapanmu, Angelir."
Dari kejauhan, rombongan orang yang terdiri
dari para gerombolan yang mereka taklukan terus berjalan menuju ke bukit di mana
mereka berdiri.
Bulan purnama makin bergayut terang, berges-
er perlahan menuju ke titik kulminasi. Orang-orang
yang menjadi taklukan mereka telah berkumpul, men-
gelilingi bukit kecil di mana kedua gadis cantik itu berdiri. "Kalian rupanya
anggota yang baik, yang mengerti disiplin dan tanggung jawab. Dengarlah oleh
kalian. Hari ini juga, kita dirikan sebuah kerajaan Ge-
rombolan Begal bernama Persekutuan Dewi Bunga
Kematian. Siapa yang menentang, nasibnya seperti
ini...!" Habis berkata begitu, Angelir kiblatkan tangan ke arah bukit
sebelahnya. Seketika terdengar ledakan dahsyat, bersamaan dengan runtuhnya bukit
itu. Semua mata yang melihatnya terbelalak. Belum
pernah mereka melihat ajian pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat.
Belum juga mereka hilang dari tercengangnya,
Angelir telah kembali berkata; "Atau kalian akan menghadapi diriku dalam bentuk
begini." Angelir segera tiwi krama, duduk bersila, den-
gan mulut merapalkan mantra. Seketika tubuhnya
yang kecil, berubah menjadi besar!
Makin takluk saja mereka melihat hal itu. Se-
rentak tanpa dikomando, mereka langsung menyem-
bah. Dengan tubuh bergetar-getaran, semuanya berka-
ta serempak. "Ampun, Sri Ratu. Tak akan sekali-kali kami
menentang Sri Ratu. Apapun titah Sri Ratu, kami akan melaksanakannya."
"Bagus! Hari ini juga, kalian akan aku bagi tugas. Cobil, kau dengan anak buahmu
bekerja di hutan, Syarkom, kau dengan anak buahmu bekerja di sungai.
Dan kau Lompeng, kau beserta anak buahmu bekerja
di laut. Ingat! Bila kalian menemukan kesulitan, kalian salah seorang harus
menghubungi kami di sini."
"Lalu apa tugas hamba, Sri Ratu?" tanya Gares, yang merasa dirinya dan anak
buahnya belum juga
mendapatkan tugas.
"Gares, kau dan anak buahmu jaga di istana.
Esok pagi, kalian buat istana untukku. Dan kalian
buat sebuah bangsal pertemuan sekaligus untuk bela-
jar ilmu silat. Nah, sekarang kerjakan tugas kalian
masing-masing. Loro Ireng, mari kita pergi."
Tanpa memperdulikan mereka semua, Angelir
bersama Loro Ireng segera berkelebat pergi. Begitu
kencangnya kedua gadis itu berlari, sampai-sampai dalam sekejap keduanya telah
hilang ditelan gelapnya
malam. 3 Sejak munculnya sebuah Persekutuan Dua
Dewi, dunia persilatan makin gempar. Perampokan
makin merajalela. Namun sejauh itu, korbannya hanya orang-orang dari dua
kerajaan yaitu Kerajaan Pesisir Putih dan Segara Wetan.
Maka makin mencekam saja tindakan Perseku-
tuan Dewi bagi orang-orang dua kerajaan itu. Hal itu menjadikan rasa prihatin
pada raja mereka.
Di pendopo Kerajaan Pesisir Putih, tampak para
sesepuh istana berkumpul. Hadir pula di situ dua raja kakak beradik, yaitu
Wulung Seta dan Amurwa Sakti.
Mereka nampaknya tengah membicarakan apa yang te-
lah terjadi, yang menimpa warga kerajaannya.
"Bagaimana menurutmu, Kakang Wulung?"
bertanya Amurwa Sakti membuka pertemuan.
"Entahlah, Adinda. Aku juga tak habis pikir.
Baru tiga tahun kita tenang, kini telah datang teror."
Mendengar keluhan Wulung Seta, seketika se-
mua terdiam tak ada yang berkata. Mereka sepertinya terhanyut oleh perasaan yang
bergurat di hati.
"Aku rasa, orang yang melakukannya masih
mereka juga."
"Maksudmu, Paman Randu?" tanya Amurwa
Sakti, demi mendengar Randu Alasan memberikan
pendapatnya. "Menurut dugaan hamba, pelaku dari semua ini
tak lain dari orang-orang Kurda Rumajang."
"Hem, bisa juga. Kalau memang begitu, awasi
terus tindak-tanduk orang-orang Kurda Rumajang.
Jangan sampai mereka dapat leluasa bergerak," perintah Wulung Seta.
"Apakah tidak sebaiknya kita adakan penyer-
buan pada lokasi mereka, Kakang?" kembali Amurwa Sakti berkata.
"Percuma, Dinda. Kita tak tahu pasti tempat
mereka." Kembali semuanya terdiam, tak ada seorang
pun yang berkata-kata.
Tengah mereka tercekam diam tiba-tiba dari
luar seseorang melemparkan sebuah bungkusan yang
berselemotan darah. Tersentak semuanya berdiri, demi melihat bungkusan itu.
Randu Alasan dengan segera
membuka bungkusan itu. Seketika, mata mereka di-
buat melotot tak berkedip.


Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata bungkusan itu berisi sebuah kepala
seorang lelaki, yang mereka kenali adalah prajurit Segara Wetan. Menggeramlah
Amurwa Sakti, yang mera-
sa dihina. "Bedebah! Ini sudah keterlaluan!"
Dengan tanpa dapat dicegah, Amurwa Sakti se-
gera berlari ke luar memburu orang yang telah melemparkan bungkusan itu. Namun
ia tak menemukannya,
maka sebagai pelampiasan rasa kemarahannya dihan-
tamnya pagar pendopo yang seketika hancur beranta-
kan. "Sabar, Adinda. Bukan adinda saja yang merasa dihina. Kakanda pun
merasakannya. Marilah kita
cari jalan keluarnya," Wulung Seta segera menghampi-
ri adiknya. Dengan penuh sabar sebagai seorang ka-
kak, Wulung Seta menggandeng tangan Amurwa Sakti
kembali masuk ke dalam pendopo.
* * * Di pihak lain, Angelir yang mendapat laporan
dari anak buahnya tertawa bergelak-gelak.
"Telah aku mulai pembalasanku pada mereka.
Hem, jangan harap mereka akan dapat tenang!" berseru Angelir yang menamakan
dirinya Dewi Bunga Ke-
matian "Loro Ireng, apakah kau mempunyai pendapat?" Loro Ireng terdiam sesaat,
lalu setelah menarik napas Loro Ireng pun berkata.
"Ada... bagaimana kalau kita menampakkan di-
ri kita?" "Hem, apakah itu perlu?"
"Perlu, Angelir. Kita perlu menunjukkan pada
dunia persilatan siapa kita adanya." menjawab Loro Ireng, yang seketika
diangguki oleh Angelir dengan ta-wanya. "Benar juga pendapatmu, Loro. Percuma
aku memiliki ilmu segudang, kalau aku harus menyembu-nyikan diriku."
Tengah keduanya berbincang-bincang, tiba-tiba
seorang anggotanya dengan terburu-buru datang. Lalu dengan napas ngos-ngosan,
anak buahnya berkata:
"Sri Ratu, orang-orang Pesisir Putih dan Segara Wetan hendak menyerbu."
Angelir tersenyum diliriknya Loro Ireng yang ju-
ga tersenyum. "Bagaimana, Loro" Rupanya mereka tak sabar
menunggu kita."
"Menurutmu, Angelir?" balik Loro Ireng bertanya. Angelir kembali tersenyum. Lalu
dengan tanpa memperdulikan orang yang melapor, keduanya segera
berkelebat pergi ke luar.
Dengan memacu kuda begitu cepat, Angelir dan
Loro Ireng segera menuju ke arah di mana pasukan
dua kerajaan itu berada. Dihentakkan kais kuda, menjadikan sang kuda seketika
itu kencang larinya.
"Hia, hia, hia.,.!"
"Ayo, Loro. Kita berpacu. Hia, hia, hia...!"
Bagaikan dua dewi dari kayangan, kedua gadis
yang memiliki ilmu tinggi itu memacu kuda-kuda me-
reka dengan cepatnya. Di belakang mereka, seratus
pasukan begal mengikuti.
Karena mereka memacu kuda dengan kecepa-
tan tinggi, hingga mereka pun dengan segera sampai
pada tujuannya.
"Rupanya kalian sengaja mengantar nyawa!"
mendesis Angelir, manakala dilihatnya pasukan dua
kerajaan itu telah berdiri siaga menunggu kedatan-
gannya. Terbelalak mata semua prajurit kedua kera-
jaan, demi melihat orang yang bicara. Mereka me-
nyangka pimpinan dari Persekutuan Dewi adalah lela-
ki. Namun dugaan mereka meleset, karena ternyata
pimpinan gerombolan itu hanyalah dua orang wanita
yang sudah mereka kenal.
"Kau... bukankah kau iblis yang telah membuat
adu domba?"
"Ya, aku. Akulah pimpinan begal. Nah, karena
kalian telah tahu siapa aku, maka kalian akan aku ki-rim ke akherat sekarang
juga. Hiatt...!"
Tanpa sungkan-sungkan, Angelir segera meng-
hantamkan ajiannya ke para prajurit dua kerajaan.
Dihantam oleh ajian Gugur Gunung yang begitu tiba-
tiba, menjadikan para prajurit tak dapat mengelak-
kannya. Tubuh mereka bagaikan disapu bersih, luluh-
lantak. Dalam sekejap saja, keseratus prajurit dua kerajaan yang dipimpin oleh
seorang hulu balang mati
tiada sisa. "Hua, ha, ha... tenanglah kalian di akherat sa-na!" seru Angelir. "Begeng! Kau
tahu apa tugasmu?"
"Hamba mengerti, Kanjeng Ratu." menjawab
Begeng. "Lakukan olehmu. Penggal kepala hulubalang itu!" Dengan perasaan agak
merinding, Begeng yang memang tak berani menentang perintah ratunya segera
memenggal kepala hulu balang itu.
"Cross...!"
Darah seketika muncrat dari leher hulu balang
yang terpancung golok di tangan Begeng. Dengan mata tertutup, Begeng segera
membungkus kepala itu dengan kain yang telah disiapkan.
"Hua, ha, ha... bagus, Begeng! Kaulah abdi ku
yang paling baik. Nah, nanti malam, kau gantung ke-
pala hulu balang itu di depan alun-alun. Ingat! Jangan sampai kau tertangkap!"
"Daulat, Sri Ratu!" Jawab Begeng sembari menyembah.
"Apakah kita akan selalu begini, Angelir?" Loro Ireng yang sedari tadi terdiam,
seketika bertanya. "Aku rasa, tindakan kita merupakan tindakan pengecut,
Angelir!" "Diam, Loro! Aku ingin mereka membuka mata, siapa adanya aku." jawab
Angelir dengan sengit. Pikirannya kembali membayang pada kejadian tiga tahun
yang silam, di mana kepala ayahnya dengan patih ke-
rajaan dipenggal oleh Wulung Seta dai adiknya Amur-
wa Sakti. "Dulu mereka memenggal kepala ayahku dan patihnya. Kini giliran mereka
yang akan aku penggal.
Namun untuk itu, aku harus membuat mereka seperti
diteror, Loro."
"Kalau itu yang engkau mau, aku tak dapat
menentangnya."
"Hi, hi, hi... kau memang teman setia ku Loro."
Keduanya kembali menghela kais kuda, mema-
cu kuda mereka kembali ke istananya. Dengan terta-
wa-tawa penuh kemenangan, Angelir menghempaskan
segala pikirannya yang terasa mendera di dalam da-
danya. * * * Esok paginya, seluruh rakyat kerajaan Segara
Wetan dan Pesisir Putih geger. Mereka menemukan
kepala hulu balang kedua dari kerajaan Segara Wetan, tergantung di sebatang
cabang pohon yang berada di
alun-alun. Berita ditemukannya kepala hulubalang
kedua, sampai pula di telinga dua raja muda itu. Tak dapat lagi kedua raja itu
menahan amarahnya.
"Ini sudah benar-benar keterlaluan. Kakang!"
berkata Amurwa Sakti. Matanya tampak berkaca-kaca,
merah membara bagai terbakar api kemarahan.
Memang sudah keterlaluan tindakannya. Hem,
rupanya mereka belum tahu siapa kita," bergumam Wulung Seta yang juga sudah tak
dapat menahan amarahnya. "Hari ini juga, kita serbu ke tempat mereka!"
"Setuju, Kakang! Aku sudah tak sabar melihat
hasilnya!"
"Mari kita bahas bagaimana cara yang terbaik."
Kedua raja kakak beradik itu segera berlalu
meninggalkan alun-alun. Di wajah keduanya tak ada
sedikitpun keceriaan, yang ada hanya kemuraman se-
mata. Hari itu juga, kembali diadakan pertemuan untuk membahas masalah yang
harus mereka temukan
guna menyelesaikan masalah yang kini melanda kera-
jaan. Akhirnya disepakati, untuk mengadakan penyer-
buan besar-besaran.
"Paman patih, Randu Alasan. Paman pimpin
dua ratus pasukan untuk penyerbuan ini," kata Wulung Seta.
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka, akan
hamba laksanakan."
"Nah, paman pilih prajurit-prajurit pilihan,
yang di samping pandai berperang juga pandai strategi dan ilmu bela diri."
kembali Wulung Seta berkata.
"Kerjakan secepatnya!"
"Daulat, Tuan ku yang mulia."
Dengan didahului menyembah, Randu Alasan
segera mundur dari pertemuan. Wajah Randu Alasan
begitu kuyu, sepertinya tak yakin dengan kemampuan
yang ia miliki. Namun demi tugas, Randu Alasan ak-
hirnya dengan berat melaksanakannya juga.
"Wahai para kadang prajurit, berkumpul!" berseru Randu Alasan, yang seketika itu
dilaksanakan oleh para prajurit. Dengan keadaan siaga penuh, se-
mua prajurit dua kerajaan berkumpul di alun-alun kerajaan Pesisir Putih.
"Baginda Maha Raja Prabu Wulung Seta, meni-
tahkan kita untuk berperang. Apakah kalian telah
siap?" "Kami siap, Paman patih!" menjawab para pra-
jurit serentak.
"Bagus! Tapi aku akan memilih siapa di antara
kalian yang memang memiliki persyaratan perang yang telah ditentukan oleh
Baginda Raja."
Habis berkata begitu, Randu Alasan segera ber-
jalan menuju para prajuritnya. Dipilihnya dua ratus prajurit yang memang
memenuhi syarat. Setelah dida-patkan dua ratus, Randu Alasan segera berkata
meme- rintah pada prajurit yang lainnya untuk kembali ke
tempat masing-masing.
"Apakah kalian semua siap?"
"Demi nama kerajaan dan raja, kami siap!"
menjawab dua ratus prajurit itu serempak, menjadikan senyum di bibir Randu
Alasan. Dengan berjalan meme-riksa barisan prajurit, Randu Alasan kembali
berkata: "Bagus! Memang sebagai seorang abdi negara,
kalian harus mempunyai prinsip. Mati untuk membela
kerajaan, lebih baik dari pada hidup terinjak."
Mendengar penuturan Randu Alasan yang begi-
tu memberi semangat, seketika semua prajurit berseru penuh rasa nasional.
4 Di sebuah goa di kaki gunung Slamet, tampak
seorang lelaki tua duduk di atas sebuah batu. Di hadapannya duduk pula dua orang
pemuda, yang berwa-
jah tampan. Sepertinya kedua pemuda itu adalah mu-
rid dari orang tua itu.
Orang tua itu bernama Rake Pinuluh, yang me-
rupakan salah seorang tokoh silat dari golongan tua.
Rake Pinuluh adalah seorang tokoh silat dari golongan
lurus. Mata tuanya yang rabun, mungkin kurang jelas untuk melihat. Namun mata
batinnya yang telah di-gembleng sejak muda, sangat tajam melebihi sinar
mentari. Hari itu Rake Pinuluh sengaja memanggil dua
orang muridnya, yaitu Jaga Bayu dan Satria Wulung.
Kedua murid itu sejak kecil dididik olehnya, hingga menjadikan keduanya tokoh-
tokoh persilatan yang,
mumpuni kelak. "Jaga Bayu dan kau Satria Wulung. Kalian te-
lah dewasa, segala ilmu baik kanuragan maupun keji-
waan telah aku berikan pada kalian. Hari ini, aku ingin mengutus kalian berdua
menegakkan kebenaran dan
kedamaian di muka bumi. Percuma ilmu yang kalian
miliki, kalau ilmu itu tak kalian pergunakan."
"Daulat, Guru," jawab keduanya hampir bersamaan. "Perlu kalian berdua ketahui.
Kini dunia persilatan makin terasa panas oleh ulah-ulah orang yang
sombong. Beruntung masih ada yang mau mengulur-
kan tangannya membasmi kemungkaran itu. Menurut
pandangan mata batinku yang telah lapuk, orang yang kini selalu menumpas
kejahatan adalah seorang pemuda seusia kalian. Dia bernama Jaka Ndableg atau
Pendekar Pedang Siluman Darah dari Kawah Chandra
Bilawa. Nah, bantulah pendekar tersebut. Bukannya
pendekar Pedang Siluman tak mampu menghalau se-
gala kemungkaran, namun kalian membantu merin-
gankan tugasnya. Kalian mengerti akan apa yang aku
katakan?" bertanya Rake Pinuluh.
"Daulat, Guru," kembali kedua murid itu menjawab dengan hormat. "Apa yang mesti
murid lakukan, Guru?" "Murid-muridku. Kalian hari ini juga aku perin-
tahkan turun gunung. Carilah oleh kalian pengalaman, sebab pengalaman adalah
guru yang paling baik. Tapi ingat, kalian harus dapat mengendalikan perasaan
kalian, mengerti?"
"Daulat guru, kami mengerti."
"Bagus! Aku tak dapat memberi kalian bekal,
hanya ilmu dan do'a yang dapat aku berikan. Berang-
katlah." Hari itu juga, kedua murid Rake Pinuluh segera turun gunung untuk
mencari pengalaman. Keduanya
nampak berjalan beriringan, menuruni bukit dan sun-
gai dengan hanya membawa bekal yang pas-pasan.
Manakala keduanya sudah jauh melangkah, di
hadapan mereka tiba-tiba tergeletak seorang lelaki tua renta. Demi melihat hal
itu, Satria Wulung segera bergegas menghampiri. Sementara Jaga Bayu, tampak
acuh tak acuh terus saja berjalan meninggalkan Satria yang masih mengurusi
lelaki tua renta itu.
"Kenapa, Kek?"
"Aku lapar, Anak muda," berkata si kakek dengan suara terputus-putus. "Apakah
kau membawa makanan, Anak muda?"
"Ada, Kek. Aku membawa bekal yang diberikan
oleh guru."
Dengan segera tanpa memikirkan diri sendiri
makan atau tidak, Satria Wulung segera membuka
bungkusan bekalnya. Diambilnya dua potong singkong
bakar dan diberikannya pada si kakek.
"Kau, Anak muda?" tanya si kakek, sepertinya merasa iba melihat Satria Wulung
yang hanya membawa dua potong singkong bakar. "Apakah nanti kau tak kelaparan,
Anak muda?"
"Ah, Kakek. Tak usahlah kakek memikirkan
saya. Saya masih muda, sedang kakek telah tua. Aku
rasa, aku akan mampu mencari makan nantinya." jawab Satria Wulung dengan ikhlas,
menjadikan kakek
itu tersenyum. Tengah Satria Wulung tak mengerti akan se-
nyum kakek yang ditolongnya, tiba-tiba tubuh kakek
tua itu lenyap dari pandangan matanya. Lalu terden-
garlah suara kakek tua yang ternyata suara gurunya berkata:


Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Satria, kaulah calon pendekar sejati. Hati-
hatilah dengan kakak seperguruanmu. Ingat, dia akan menjadi musuhmu, musuh yang
sangat berbahaya.
Berjalanlah ke arah Utara, carilah olehmu seorang pemuda berambut gondrong
dengan dada terbuka tanpa
memakai baju. Bila kau menemukan seorang tokoh
persilatan muda yang bertelanjang dada, dialah pen-
dekar Pedang Siluman Darah. Mintalah petunjuk pa-
danya." "Guru...! Di manakah engkau, Guru?"
"Aku baru saja ada di hadapanmu, Satria."
"Jadi... jadi tadi gurukah?" bertanya Satria tergagap. "Benar, Muridku. Aku
sengaja menguji kau dan kakakmu. Namun ternyata kaulah yang memenuhi
syarat untuk kelak menggantikan ku. Nah, terimalah
olehmu Keris Pusaka ini. Pergunakan keris itu untuk membela kebenaran dan
keadilan. Selamat berjuang,
Muridku." "Terima kasih, Guru," jawab Satria Wulung. La-lu setelah menyembah, Satria
Wulung segera kembali
meneruskan perjalanannya. Arahnya segera mengikuti
arah yang telah ditunjukkan oleh gurunya, yaitu ke
arah Utara. * * * Jaka tengah berjalan-jalan menikmati pagi yang
cerah, manakala dari belakang sebuah anak panah
berdesing hendak menyerangnya. Beruntung indra pe-
rasa Jaka bekerja dengan cepat, sehingga Jaka pun
dengan segera mengelakkan serangan gelap itu.
"Edan! Manusia macam apa pula yang meng-
hendaki nyawaku?" bergumam Jaka. "Woi... kalau kau manusia, tunjukkan cocormu
yang bau kentut busuk!"
"Aku di sini, Anak muda!"
Bareng dengan suara itu, sesosok tubuh berke-
lebat menghadang langkah Jaka. Jaka tersenyum cen-
gengesan, lalu dengan segera menjura hormat. Namun
betapa gusarnya orang yang berdiri menghadangnya
demi mendapat penghormatan Jaka. Betapa tidak! Ja-
ka menjura hormat dengan keadaan berbalik, sehingga pantatnya yang nungging.
Mulanya kemarahan lelaki
setengah tua itu setengah, namun maka kala Jaka
mengeluarkan gas beracunnya menjadi kemarahan le-
laki itu penuh.
"Kurang asem! Anak muda tak tahu diri!" me-maki marah lelaki itu.
"Eeh, kenapa situ marah-marah" Bukankah
aku tadi menghormatimu?"
"Setan! Rupanya kau sengaja mempermainkan
aku!" "Hah, apa iya, sih" Aku rasa tadi aku berting-kah wajar."
Mendengar ucapan Jaka yang bagaikan orang
tak waras, menjadikan lelaki setengah tua itu makin keki berat. Betapa tidak
seumur-umur dia baru melihat anak muda yang ndablegnya tidak ketulungan.
Dengan mata melotot marah, lelaki setengah tua itu
membentak. "Siapa kau, Anak edan!"
"Wah, kenapa marah-marah" Kau siapa, Kek?"
Jaka balik menanya. Merah membawa bagaikan lautan
api wajah lelaki setengah tua itu dipanggil kakek, menjadikan giginya
bergemeretuk menahan marah. "Wah, rupanya engkau sejenis herbipora ya, Kek."
"Kunyuk! Rupanya kau belum kenal aku hah!"
kembali lelaki setengah tua itu membentak. Namun
Jaka yang dasarnya ndableg malah tertawa-tawa ceka-
kakan, menjadikan lelaki setengah tua itu makin
membludak marahnya. Maka tanpa banyak kata lagi,
segera ia berteriak menyerang Jaka.
Diserang secara tiba-tiba, bukannya Jaka bin-
gung. Malah dengan bercanda memperagakan monyet,
Jaka bergerak menghindar. Lelaki setengah tua itu
makin mendengus marah, demi melihat tingkah laku
Jaka yang seakan mengejeknya. Dengan gusar, dicer-
canya Jaka dengan pukulan-pukulannya.
"Wah... kurang keras, Kek! Apakah karena kau
sudah tua, sehingga tenagamu seperti bekicot...?"
"Slompret! Mampus kau...!"
Dihantamnya Jaka dengan pukulan tenaga da-
lamnya, namun bagaikan seekor monyet yang lincah
Jaka berkelit. Mulutnya sengaja dimonyongkan, men-
jadikan makin gedeg saja lelaki setengah tua itu.
"Aku lumatkan kau, Anak edan!"
"Tidak kena, Kek. Uh, kenapa mulutmu ban
jengkol, Kek?" seru Jaka menggoda. "Bagaimana, kalau aku yang menggosok gigi-
gigimu?" Habis berkata begitu, dengan gerakan cepat
hingga tak dapat dicegah lelaki setengah tua itu Jaka menyodokkan tangannya ke
mulut. Seketika meraun-glah lelaki setengah tua itu, giginya hancur berantakan.
"Aduuh... aduh...!"
Lelaki setengah tua itu terus berguling-guling di
atas tanah, menahan sakit yang tiada terkira di mu-
lutnya. Melihat hal itu Jaka seketika tertawa terpingkal-pingkal.
"Nah, dengan begitu kau tak akan bau jengkol
lagi. Selamat tinggal, Kek. Semoga kau menemukan
harimau." Dengan tanpa menghiraukan lelaki setengah tua itu, Jaka segera
berkelebat pergi.
Setelah beberapa saat Jaka berlalu, terdengar
oleh lelaki setengah tua itu auman harimau.
"Auuummmm ...!"
Bagaikan tak merasa sakit, lelaki setengah tua
itu langsung lari terbirit-birit dengan meninggalkan seember cairan yang berbau
jengkol. Jaka yang memang sengaja mempermainkan le-
laki setengah tua itu, segera ke luar dari persembu-nyiannya. Digelengkan
kepalanya manakala melihat air kencing lelaki setengah tua yang berbau minta
ampun, berserakan.
Setelah celingukkan sesaat, Jaka segera pergi
meninggalkan harta warisan lelaki setengah tua itu
yang berupa zat cair mengandung belerang berkadar
tinggi. Sepeninggalnya Jaka, tampak seorang pemuda berjalan melewati tempat itu.
Pemuda yang tak lain Satria Wulung, seketika menutup hidungnya, manakala
tercium olehnya bau yang menyesakan pernapasan.
"Bujur busyet! Bau apa ini?" bergumam Satria Wulung.
Maka tanpa memperdulikan bau yang menye-
sakan pernapasan, Satria Wulung segera melesat pergi menyusul pada orang yang
menurut gurunya bernama
Jaka. "Sepertinya pemuda itu yang digambarkan oleh
guru," bergumam hati Satria. "Ciri-cirinya tepat. Hem, akan aku kejar dia."
Satria Wulung terus berlari memburu Jaka, se-
hingga ia harus mengeluarkan segala ilmu larinya untuk mengejar Jaka yang
menggunakan ajian Angin
Puyuh. 5 Tindakan Persekutuan Dewi makin berani.
Yang tadinya bersembunyi-sembunyi, kini mereka ma-
kin berani menampakkan diri.
Hal itu makin menjadikan kemarahan dua ke-
rajaan yang selalu menjadi korban. Dua kerajaan yang tak lain Pesisir Putih dan
Segara Wetan, mengirim pa-sukannya yang dipimpin oleh patih Ulung Randu Ala-
san. Kedua pasukan dari dua kekuatan telah berha-
dap-hadapan. Namun sejauh itu, pimpinan utama ge-
rombolan Persekutuan Dewi belum juga menampak-
kan batang hidungnya. Peperangan pun meletus, tan-
pa menunggu kehadiran sang pemimpin.
"Serang...!" berseru Randu Alasan.
Seketika kedua ratus prajuritnya berserabutan,
menyerang pasukan gerombolan Persekutuan Dewi.
Diserang oleh para prajurit pilihan, menjadikan mere-ka dalam sekejap saja
keteter. Apa lagi kedua orang pimpinannya tak juga menampakkan batang hidungnya.
"Serang terus...! Jangan biarkan hidup...!"
Bagaikan minyak disulut api, pasukan dua ke-
rajaan itu terbakar semangatnya. Dengan gagah bera-
ni, kedua ratus pasukan pilihan itu terus merangsek musuh. Sebaliknya di pihak
gerombolan Persekutuan
Dewi, nampak tak ada semangat.
Tengah mereka hampir keteter oleh serangan
prajurit-prajurit kerajaan, seketika terdengar suara pimpinannya memberi
komando. "Jangan mundur. Serang...!"
Para prajurit gerombolan Persekutuan Dewi
yang tadinya patah semangat kembali tumbuh seman-
gatnya. Dengan membabi buta bagaikan tak kenal rasa takut, para prajurit
gerombolan itu kini balik mende-sak. Tersentak Randu Alasan, manakala tahu siapa
yang menjadi pimpinan gerombolan Persekutuan Dewi.
"Kau...!"
"Ya. Aku, Randu Alasan. Dulu kau seperti
membuka kedokku. Namun kini aku telah membuka
kedok. Karena kau telah tahu siapa aku, maka kau harus mati saat ini juga.
Terimalah kematianmu,
Hiaat...!"
Tersentak Randu Alasan diserang begitu tiba-
tiba. Beruntung Randu Alasan waspada. Dengan sege-
ra Randu Alasan berkelit dan balik menyerang.
Kedua pimpinan itu segera terlibat dalam pepe-
rangan. Keduanya masing-masing memiliki andalan
sendiri-sendiri. Walaupun begitu, tampak Randu Ala-
san jauh di bawah ilmunya bila dibandingkan dengan
ilmu yang dimiliki Angelir sekarang.
Randu Alasan tersentak mendapatkan kenya-
taan bahwa musuhnya ternyata berada di atas jauh
ilmunya. Namun sebagai seorang patih yang disegani, Randu Alasan tak mau begitu
saja mengalah. Dico-banya untuk terus bertahan, demi memberi motifasi
bagi prajuritnya.
Namun perhitungannya ternyata meleset jauh.
Sebab Angelir ternyata bukan orang berhati welas asih.
Maka dengan menggunakan ajian Gugur Gunungnya
yang terkenal dahsyat, Angelir secepat kilat menyerang Randu Alasan.
"Randu Alasan, Hari ini akhir hidupmu. Hiat...!"
Hampir saja tubuh Randu Alasan terhantam
ajian Gugur Gunung yang dilontarkan oleh Angelir, kalau saja tidak segera datang
seseorang yang langsung menyabet tubuhnya dan membawa pergi.
"Bedebah! Siapa kau!" membentak Angelir marah, merasa korbannya terlepas gara-
gara orang yang berkelebat itu. Namun orang itu tak menanggapinya,
malah dia nampak mempercepat larinya dan menghi-
lang dari pandangan mata. Dengan kemarahan yang
meluap-luap, Angelir terus memburu orang yang
membawa tubuh Randu Alasan pergi.
"Berhenti! Atau kau akan mati di tanganku!"
membentak Angelir.
Namun seperti tadi, orang itu tak menjawab.
Bahkan makin dipercepat larinya. Ketika Angelir hendak terus mengejar, orang itu
mengibaskan tangannya.
Seketika ratusan jarum-jarum beracun berdesing ke
arah Angelir. "Bedebah! Rupanya kau mencari mampus.
Hiat...!" Segera Angelir menghantamkan ajian Bledek Rajah ke arah orang itu,
namun dengan segera orang
yang membopong tubuh Randu Alasan menghantam-
kan pukulannya membalas ajian Bledek Rajah.
"Duar...!"
Seketika terdengar ledakan, manakala dua pu-
kulan itu beradu menjadi satu. Tubuh Angelir terjeng-kang tiga tombak, dengan
darah meleleh dari sela-sela
bibirnya. Sementara orang yang membopong tubuh
Randu Alasan, sepertinya tak mengalami apa-apa.
Orang itu terus berlari membawa tubuh Randu pergi,
tanpa menghiraukan Angelir yang hanya dapat me-
mandang kepergiannya.
Lelaki tua itu terus berlari dengan menggen-
dong tubuh Randu Alasan pergi. Lelaki tua itu bagaikan tak membawa beban
secuilpun, dia lari seperti ki-jang. "Kek, apakah tidak cape" Aku bisa berlari
sendiri, Kek," berkata Randu Alasan meminta diturunkan.
Namun kakek tua itu seperti tak mendengar permin-
taan Randu, dia terus berlari dengan menggendong tubuhnya.
"Kek, apakah kakek tak cape!" berseru Randu Alasan yang menyangka lelaki tua
penolongnya tuli.
Namun betapa tersentaknya Randu Alasan, manakala
lelaki tua itu membentaknya.
"Diam! Aku tidak tuli! Kalau aku turunkan kau, aku takut iblis itu mampu
mengejarmu."
"Tapi dia sepertinya sudah tak mengejar, Kek?"
"Apa iya?" bertanya si kakek seperti linglung dan segera menghentikan
langkahnya, berpaling ke belakang. "Oh ya, ternyata iblis itu tak memburu kita."
Dengan seenaknya, lelaki tua itu melemparkan
tubuh Randu Alasan ke rerumputan. Hal itu menjadi-
kan Randu Alasan tak mengerti dengan tingkah la-
kunya yang aneh itu.
"Siapa kakek sebenarnya?"
"Huh, dunia makin tambah gila," gumam kakek itu, sepertinya ia tak mendengar
pertanyaan Randu.
"Heh, siapa kau namanya?"
"Nama saya Randu Alasan, Kek."
"Ya, ya, ya.... Randu Plingasan...."
"Bukan, Kek. Bukan Randu Pelingasan, tapi
Randu Alasan."
"Ya, aku tahu." membentak si kakek, menjadikan Randu Alasan mengerutkan
keningnya. "Aneh, kakek ini," gumam hati Randu.
"Randu Alasan...." tiba-tiba kakek itu berseru memanggil nama Randu Alasan.
"Ya, Kek."
"Ayo bangun, jangan seperti anak kecil." bentaknya, demi melihat Randu Alasan
nyengir menahan
sakit. "Apa sekalian aku tendang?"
"Jangan, Kek," meminta Randu Alasan dengan ketakutan. Ia yakin, kalau kakek aneh
ini selalu akan menjalankan apa yang menjadi omongannya. Maka
dengan menahan sakit di pinggangnya. Randu Alasan
segera bangkit dari duduknya. "Ada apa, Kek."
"Dengar baik-baik olehmu. Bila kau mau men-
gadakan penyerbuan, carilah olehmu pendekar muda
yang bernama Jaka Ndableg dengan seorang pendekar
yang baru turun gunung."
"Kalau Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Si-
luman Darah saya kenal, Kek." jawab Randu Alasan, menjadikan si kakek tersenyum.
"Tapi...?"
"Kenapa, Randu?"


Pedang Siluman Darah 8 Pembalasan Dewi Bunga Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi pendekar satunya saya belum kenal,
Kek," jawab Randu yang menjadikan si kakek terke-keh-kekeh.
"Nanti juga kau akan mengenalnya." berkata si kakek. "Dia adalah muridku,
bernama Satria Wulung.
Dia sengaja aku turunkan ke dunia persilatan untuk
menimba pengalaman pada Pendekar Pedang Siluman
Darah. Nah, sekarang pergilah. Aku juga akan pergi
kembali." Dengan tanpa memperdulikan Randu Alasan
yang hanya terbengong tak mengerti, si kakek yang tak lain Rake Pinuluh segera
berkelebat pergi.
"Sungguh macam-macam saja penghuni dunia
ini," gumam Randu Alasan demi melihat tingkah laku kakek tua itu. Dengan
menggelengkan kepala, Randu
Alasan pun berlalu menuju ke kerajaan kembali.
* * * "Apa...!" tersentak kaget kedua raja muda itu, demi mendengar laporan Randu
Alasan. "Apa paman patih tak salah lihat?"
"Tidak, Tuan ku. Hamba tahu pasti siapa yang
sebenarnya pimpinan Persekutuan Dewi. Gadis itu tak lain dari pada Angelir atau
Dewi Bunga Mawar Kematian." Terdiam kedua raja muda itu, dengan pikirannya
masing-masing. Lalu setelah terdiam beberapa
saat, Wulung Seta segera berkata kembali.
"Lalu apa yang harus kita lakukan" Apakah ki-
ta adakan penyerangan besar-besaran saja, Paman Pa-
tih?" "Percuma, Tuan ku."
"Kenapa, Paman Patih?" bertanya Amurwa Sak-ti.
"Dia bukanlah Angelir yang dulu. Ilmunya
sungguh tak tertandingi." menjawab Randu Alasan.
"Menurut orang tua yang telah menolong hamba,
hanya Jaka Ndableg saja yang mampu mengalahkan-
nya." Kedua raja muda itu kembali manggut-
manggut, mendengar penuturan patihnya. Sesaat ke-
duanya saling pandang, sebelum akhirnya Wulung Se-
ta berkata kembali.
"Ke mana kita harus mencari pendekar muda
itu?" "Demi ketentraman kerajaan, hamba akan mencarinya," jawab Randu Alasan.
"Untuk itu, hamba sekarang juga mohon pamit untuk mencari pendekar
Pedang Siluman."
"Ya, aku iringi dengan do'a," menjawab Wulung Seta. Setelah terlebih dahulu
menyembah, Randu
Alasan segera meninggalkan dua raja muda kakak be-
radik itu. Kedua raja muda itu masih terlibat pembica-raan, ketika ibunda mereka
datang menghampiri.
Melihat ibundanya datang, serta merta kedua-
nya segera menyembah.
"Ada apakah, Anakku" Sepertinya kalian men-
galami kesulitan?"
"Ampun, Bunda. Memang hamba dan dinda
Amurwa Sakti tengah dilanda kesusahan," jawab Wulung Seta.
"Benar, Bunda. Kami memang tengah mengha-
dapi bencana," menambah Amurwa Sakti.
"Bencana apa itu, Anakku?" Sesaat kedua raja kakak beradik itu diam, saling
pandang seperti hendak menyuruh satu sama lainnya berkata. Melihat kedua
anaknya terdiam, Roro Kunti kembali bertanya. "Kenapa kalian diam, Anak-anakku?"
Mendapat desakan begitu, akhirnya Wulung Se-
ta segera menceritakan apa yang telah dirinya hadapi.
Roro Kunti yang mendengarkan seketika meneteskan
air matanya, menjadikan kedua raja muda itu saling
pandang dan bertanya.
"Kenapa, Bunda?"
"Ketahuilah oleh kalian. Bahwa Angelir adalah masih kakak kalian sendiri.
Angelir adalah anakku da-
ri Amuk Mungkur!"
"Jadi, Bunda?" tergagap Wulung Seta bertanya.
"Entahlah, Anakku. Mengapa Angelir harus
menuruni tabiat ayahnya" Tidak seperti kalian yang
baik, Angelir serakah. Bahkan menurut wangsit yang
ibunda terima, salah seorang dari kalian akan menjadi korbannya."
Roro Kunti tak dapat menahan kepedihan ha-
tinya, hingga Roro Kunti pun seketika terkulai lemas.
Roro Kunti pingsan, menjadikan kedua anaknya ter-
sentak. Dengan penuh kasih sayang, kedua anaknya
segera membopong ibundanya menuju ke pembarin-
gan. Kedua raja muda itu tak dapat berkata-kata,
setelah mendengar bahwa salah seorang di antara me-
reka akan menjadi korban kakak mereka sendiri dari
keturunan Amuk Mungkur.
Hati keduanya seketika diliputi beribu-ribu ma-
cam pertanyaan. Gundah-gulana, rasa was-was bera-
duk menjadi satu. Rasa takut pun seketika menjalar di hati keduanya. Menjadikan
suasana di ruangan kamar
ibundanya tercekam penuh kebisuan.
"Anak-anakku...." berseru Roro Kunti yang telah siuman.
"Ya, Bunda," menjawab keduanya, yang dengan segera berlari menghampiri
ibundanya. "Ketahuilah, Anakku. Semua wangsit itu akan
tak ada guna, bila seorang pendekar muda yang ber-
nama Jaka Ndableg telah datang. Sebab hanya dialah
yang mampu mengalahkannya."
"Kami sedang berusaha mencarinya, Bunda,"
menjawab Wulung Seta. "Kami telah mengutus paman patih Randu Alasan."
"Oh, Dewata Yang Agung, semoga Ki Patih akan
segera menemukan Pendekar Jaka Ndableg itu," bergumam Roro Kunti, menjadikan
kedua anaknya seke-
tika membisu. Ada air bening menetes di pipi Wulung Seta dan Amurwa Sakti.
6 Angin dari gunung Slamet bertiup sepoi-sepoi,
menjadikan hawa segar nan asri. Nelayan di pantai
tampak tengah berjemur diri di atas perahu yang
membawanya berlabuh untuk mencari nafkah hidup.
Bocah-bocah kecil tampak berebutan mencari ikan
lemparan, yang sengaja dilemparkan oleh para Nelayan yang baru pulang dari
mayang. Kesejukan angin yang berhembus dari gunung
Slamet, serta ketenangan bocah-bocah itu bermain,
seketika terpecahkan oleh datangnya dua orang pe-
nunggang kuda. Wajah dua orang penunggang kuda itu begitu
menyeramkan, membuat anak-anak kecil itu ketaku-
tan. Rumah-rumah penduduk seketika ditutup rapat-
rapat. "Hem, sepertinya mereka telah mengenali kita betul-betul, Kakang?"
bertanya seorang dari keduanya yang menunggang kuda hitam.
"Benar, Adik Compal." jawab orang penunggang kuda putih yang badannya tampak
lebih besar. Di pi-pinya segores luka yang telah mengering menjadikan
tampangnya makin menakutkan.
"Apakah kita tidak mengisi perut dulu, Ka-
kang?" tanya Compal kembali, mengajak pada temannya sembari menunjuk ke arah
kedai yang tampak dari
kejauhan. "Itu ada kedai."
"Ayolah." mengajak Condet.
Dengan segera, keduanya memacu kuda menu-
ju ke kedai yang tampak tak jauh dari mereka. Selang tak begitu lama, keduanya
pun sampai di kedai itu.
Setelah menambatkan tali kudanya, segera ke-
dua orang itu bergegas masuk. Semua pengunjung ke-
dai seketika terdiam, manakala melihat Condet dan
Compal memasuki kedai. Mereka sepertinya telah
mengenal betul siapa adanya kedua orang itu.
"Bahaya...." berbisik seseorang pada temannya.
"Bahaya kenapa?" tanya temannya tak menger-ti, juga berbisik.
"Apa kau tak tahu siapa mereka?"
"Siapa mereka?" kembali temannya yang belum mengerti bertanya.
"Mereka adalah gerombolan Persekutuan Dewi."
Demi mendengar jawaban temannya, seketika
pemuda satunya membelalakkan mata. Dan karena
saking kagetnya, sampai-sampai pemuda itu menjerit.
"Apa...! Jadi mereka gerombolan Persekutuan
Dewi?" "Sttt.... jangan keras-keras." berkata temannya memberitahukan.
Ketika keduanya baru saja hendak diam, tiba-
tiba tubuh mereka seperti ada yang mengangkat dari
kursi. "Apa yang tadi kalian bicarakan, hah!" membentak Condet sembari
mengangkat tubuh kedua
orang itu yang tampak gemetaran. "Rupanya kalian hendak menentang kami, hah!"
Tanpa banyak kata lagi. Condet segera lempar-
kan tubuh keduanya ke luar. Tubuh kedua pemuda itu
seketika terpelanting ke luar dengan kencangnya dan
jatuh ke tanah menimbulkan bunyi gedebug.
Melihat perlakuan dua orang itu, seketika se-
mua yang ada di kedai terbangun dari duduknya. Tan-
pa komando, serta merta semuanya menyerang Condet
dan Compal. Condet dan Compal tersentak melihat mereka
berani melawan. Maka dengan terlebih dahulu meng-
geram, kedua anak buah Persekutuan Dewi itu segera
memapaki pengeroyokan orang-orang tersebut.
Tawuran pun terjadi dalam kedai itu. Walau di-
keroyok oleh segitu banyaknya, tidak menjadikan ke-
dua anak buah Persekutuan Dewi gentar. Mereka telah dididik keras oleh ketuanya
yaitu Dewi Bunga Kematian, sehingga keduanya telah benar-benar menjadi
orang yang pemberani juga nekad.
Keduanya bergerak dengan cepat, golok di tan-
gan mereka bagaikan bermata. Golok itu berkelebat-
kelebat, bagaikan malaikat saja layaknya. Setiap tebasan golok mereka, selalu
ada jerit kematian menggema diikuti oleh ambruknya orang yang terkena. Darah
berhamburan bagaikan air mancur, membasahi lantai
kedai. Sia-sia mereka mengeroyok, sebab mereka bu-
kanlah tandingan kedua anggota Persekutuan Dewi.
Tubuh mereka bagaikan tak ada artinya sama sekali.
Namun begitu, para pengeroyok yang kebanya-
kan penduduk desa yang telah marah dengan tingkah
laku keduanya seakan tak mau mengalah ataupun ta-
kut. Malah dengan sendirinya, penduduk yang melihat segera nimbrung mengeroyok.
"Rampok-rampok sialan! Kalian harus mati!"
membentak salah seorang penduduk dengan nada
kesal dan marah.
"Bukankah kalian ngomong terbalik" Kalianlah
yang harus musnah!" balik membentak dengan sengitnya Compal. Kakinya bergerak
cepat, menendang dan
mendupak. Salah seorang yang berhasil ditendang Compal,
seketika tubuhnya melayang dan nyangkut di siku-
siku tiang kedai. Orang itu menjerit-jerit minta tolong, namun semuanya seperti
tak mendengar. Mereka dis-ibukkan dengan pengeroyokan, mereka berambisi un-
tuk segera menjatuhkan kedua anggota gerombolan
Persekutuan Dewi.
Pertempuran ini makin tambah seru, manakala
tiga anggota gerombolan Persekutuan Dewi datang dan membantu dua temannya.
"Teman-teman, kalian aku bantu!"
"Ya, Rumajang cepat bantu kami!" beri seru Condet sementara kaki dan tangannya
masih bergerak dengan cepatnya menghantam dan menendang.
Melihat korban banyak berjatuhan di dalam
kedainya, menjadikan pemilik kedai gemetaran. Den-
gan histeris, pemilik kedai itu menjerit-jerit sendirian.
"Hoi... berhenti. Atuh" Bagaimana ini" Siapa
yang akan menggantikan semuanya?" menangis si pemilik kedai. "Aoh...!" Pemilik
kedai itu tersentak dan terkencing-kencing, manakala di atas mejanya terlem-par
sesosok tubuh dengan mata melotot mati.
Mata orang yang mati itu, menjadikan pemilik
kedai turut melototkan mata kaget. Keringat dingin
mengguyur tubuhnya, demi melihat keadaan orang
yang berada di atas mejanya. Di samping matanya me-
lotot, perutnya terbuka lebar dengan usus terbuai ke luar. Pemilik kedai yang
memang sudah panik, makin bertambah panik. Dengan menjerit-jerit histeris,
pemilik kedai yang kebingungan hendak ke mana ak-
hirnya kembali menangis.
Kitab Lorong Zaman 1 Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian Suramnya Bayang Bayang 28
^