Pencarian

Pengantin Dewa Rimba 3

Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba Bagian 3


Memang seharusnya aku tidak perlu bersusah-payah membantumu dari jahanam-jahanam
itu!" rungut
Pengemis Tongkat Hitam.
"Wah! Ada apa ini?" Pendekar Pulau Neraka jadi tidak mengerti.
"Seharusnya kau berterima kasih, atau paling tidak nembantuku, Bocah Setan!
Sejak kemarin aku
bertarung karena nyawamu, tapi kau malah enak-enakan menonton! Hugh...!"
Pengemis Tongkat Hitam terbatuk.
"Kek..," Bayu terkejut melihat perubahan pada wajah Pengemis Tongkat Hitam.
Mendadak wajah laki-laki tua itu tampak jadi pucat, dan berkeringat. Dua kali
dia terbatuk, lalu dari mulutnya menyemburlah darah kental berwarna kehitaman.
Buru-buru Bayu melompat, dan membawa Pengemis Tongkat Hitam ke bawah pohon.
Kemudian laki-laki tua itu duduk bersila, sedangkan Bayu duduk di depannya. Dan
tanpa permisi dulu, Pendekar Pulau Neraka itu segera merobek baju bagian dada
Pengemis Tongkat Hitam.
"Pukulan Tapak Beracun'...," desis Bayu, ketika melihat dada Pengemis Tongkat
Hitam terluka memar dan berbentuk telapak tangan hitam.
Tampak wajah Pengemis Tongkat Hitam semakin pucat. Dan keringat pun terus
merembes dan membanjiri tubuhnya. Kini noda hitam di dadanya semakin kelihatan membesar. Dan
Bayu segera membuka seluruh baju laki-laki tua itu. Kemudian kedua telapak
tangannya ditempelkannya di
punggung laki-laki tua itu.
"Hsss...," dari mulut Bayu keluar suara mendesis bagai ular.
Bersamaan dengan itu, tubuh Pengemis Tongkat Hitam menggeletar. Wajah yang
pucat, kini berubah menjadi merah bagai kepiting direbus. Sementara
Bayu terus memusatkan hawa murni pada telapak tangan, dan menyalurkannya ke
seluruh tubuh Pengemis Tongkat Hitam.
"Akh...!" tiba-tiba Pengemis Tongkat Hitam memekik tertahan.
"Pingsan...," desah Bayu ketika melihat laki-laki tua itu terjatuh.
Lalu Bayu segera membaringkan tubuh tua itu di rerumputan. Tangannya terus
bergerak lincah dan lembut di sekitar dada yang kurus dengan tulang-tulang
bersembulan itu. Kini noda hitam di dada itu tidak lagi bergerak membesar. Dan
Bayu hanya menarik napas panjang, matanya tetap tertuju pada luka itu.
"Tidak ada jalan lain. Aku harus segera mengeluarkan racun di dalam tubuhnya,"
gumam Bayu mendesah.
Pendekar Pulau Neraka itu pun segera mencabut senjata cakra, yang menempel di
pergelangan tangan kanannya. Kemudian pelahan-lahan dia meng-goreskan ujung
senjata itu ke dada Pengemis Tongkat Hitam. Seketika darah langsung merembes
keluar. Tampak darah yang sudah bercampur dengan racun dari 'Pukulan Tapak Beracun' itu
berwarna hitam kebiru-biruan.
Bayu kemudian mendekatkan mulutnya ke luka di dada itu, dan menyedot darah yang
ke luar. Dia menyedot darah beracun itu berulang-ulang, dan menyemburkannya ke
tanah. Hal itu dilakukan sampai darah yang ke luar kembali berwarna merah.
Setelah semuanya selesai, Bayu membalut luka itu dengan kain merah yang membelit
pinggangnya. Jari-jari tangannya terus bergerak lincah di sekitar luka, dan
darah pun langsung berhenti mengalir. Dia
kemudian duduk seraya menarik napas panjang di samping laki-laki tua yang
tergolek tidak sadarkan diri.
*** Menjelang senja, Pengemis Tongkat Hitam baru bisa sadarkan diri. Dan dia menurut
saja ketika Bayu menyuruhnya agar segera bersemadi. Kini wajahnya sudah kembali
cerah. Tubuhnya pun sudah kembali terasa hangat, dan aliran darahnya berangsur
normal. Pengemis Tongkat Hitam masih duduk bersila, meskipun dia telah menyelesaikan
semadinya. Sedangkan Bayu hanya melirik saja, sambil memutar-mutar kelinci panggang di atas
api. "Bau daging panggang, membuat perutku terasa lapar...," gumam Pengemis Tongkat
Hitam, sambil memandang ke arah Bayu.
"Ah, rupanya kau sudah sadar, Kakek Pengemis.
Mau?" Bayu segera mengambil satu daging kelinci yang sudah matang, dan
menyerahkannya pada
Pengemis Tongkat Hitam.
Dan tanpa basa-basi lagi, Pengemis Tongkat Hitam segera menerimanya. Kemudian
dia memakannya dengan nikmat sekali. Sedangkan Bayu tersenyum dan mengambil satu
lagi. Lalu dia pun duduk di samping Pengemis Tongkat hitam.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bayu.
"Sudah mendingan, terima kasih," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Kau telah terkena racun dari 'Pukulan Tapak Beracun'."
"Kau tahu tentang jurus itu?" Pengemis Tongkat Hitam menatap tajam.
"Ya, aku pernah mendengarnya. Tapi tidak terlalu berbahaya. Ya..., mungkin kalau
tidak segera dikeluarkan, bisa mengakibatkan nyawa melayang."
"Tampaknya kau sudah tahu betul tentang
'Pukulan Tapak Beracun'."
Bayu hanya tersenyum. Dia memang sudah tahu betul dengan pukulan itu, karena dia
sendiri juga memilikinya. Dan 'Pukulan Tapak Beracun' yang mengena pada Pengemis
Tongkat Hitam itu masih dalam tahap yang tidak begitu tinggi, sehingga dengan
mudah Bayu dapat menyembuhkannya.
Mungkin kalau dia yang melakukan pukulan itu, Pengemis Tongkat Hitam sudah
langsung tewas saat menerima pukulannya.
Bayu jadi termenung. Dulu dia mempelajari jurus
'Pukulan Tapak Beracun' dari gurunya, Eyang Gardika.
Dan di Istana Dewa Rimba dia telah berjumpa dengan seorang laki-laki tua bernama
Branta Ireng, dan mengaku masih saudara seperguruan dengan Eyang Gardika. Kalau
mengingat itu semua, Bayu jadi berpikir lagi. Jurus 'Pukulan Tapak Beracun'
tidak dimiliki orang lain lagi menurut Eyang Gardika. Dan kini Bayu mendapatkan
ada orang lain yang telah mempunyai jurus itu.
"Ada apa, Pendekar Pulau Neraka" Kau kelihatan termenung," kata Pengemis Tongkat
Hitam, yang memperhatikan sejak tadi.
"Kakek Pengemis, siapa yang telah memukulmu dengan jurus 'Pukulan Tapak
Beracun'?" tanya Bayu.
"Si Iblis Hitam," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Iblis Hitam..."!" Bayu langsung tersentak kaget.
"Ada apa" Kau tampaknya terkejut mendengar nama itu."
Bayu tidak segera menjawab. Dia jadi teringat
dengan kata-kata gurunya, Eyang Gardika. Dia harus mencari orang yang bernama
Iblis Hitam, karena orang itu telah mencuri buku yang berisi jurus-jurus maut
milik Eyang Gardika. Hal itu terjadi ketika Eyang Gardika dikeroyok oleh tokoh-
tokoh rimba persilatan, hingga kedua kakinya buntung dan matanya buta.
"Kakek Pengemis, di mana kau telah bertemu dengan Iblis Hitam?" tanya Bayu.
"Di sini, semalam," sahut Pengemis Tongkat Hitam masih keheranan dengan sikap
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kakek tahu ciri-cirinya?"
"Mungkin sebelum kau lahir, aku sudah kenal betul dengan si Iblis Hitam. Seorang
tokoh yang sangat kejam!"
"Katakan ciri-cirinya, Kek," desak Bayu.
"Dia adalah seorang tua yang berkulit hitam, dan selalu memakai baju putih.
Rambutnya juga sudah putih semua."
"Apa dia juga mempunyai senjata sepertiku ini..."'"
tanya Bayu sambil memperlihatkan cakra yang menempel di tangan kanannya. Dia
sudah menduga, siapa orang yang barusan disebutkan ciri-cirinya itu.
"Benar! Tapi warnanya kuning keemasan," sahut Pengemis Tongkat Hitam, setelah
memperhatikan cakra di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Branta Ireng...," desis Bayu menggeretak.
Pengemis Tongkat Hitam menatap dalam-dalam ke bola mata Bayu. Banyak sebenarnya
yang ingin dia ketahui, tapi tidak bisa diucapkan. Benaknya kini masih dipenuhi
dengan berbagai macam pikiran dan pertanyaan yang belum bisa dijawab. Beberapa
saat lamanya mereka hanya saling berdiam diri. Nafsu makan mereka mendadak jadi
hilang. Daging kelinci
panggang yang baru dimakan sedikit, hanya dipegang saja.
Beberapa saat kemudian, Bayu bangkit dari
duduknya, dan melemparkan daging kelinci
panggangnya kuat-kuat ke udara, sambil berteriak keras. Dia merasa bahwa dirinya
telah dipermainkan!
Sejenak Pendekar Pulau Neraka itu menatap senjata cakra di pergelangan tangan
kanannya. Kemudian dia mengibaskan tangan kanannya dengan kuat. Tapi, dia
langsung tersentak karena senjata mautnya itu tidak mau terlontar.
"Setaaan...! Kubunuh kau, Branta Ireng...!" teriak Bayu keras.
Pendekar Pulau Neraka itu lalu mencabut cakra di tangan kanannya, dan
membantingnya ke tanah.
Cakra itu tepat menghantam batu dan langsung pecah berkeping-keping. Dan dengan
kemarahan meluap-luap, Bayu segera menginjak-injak senjata palsu itu. Sementara
Pengemis Tongkat Hitam memandanginya tidak mengerri. Dia hanya berdiri saja
tanpa berbuat apa-apa. Kini Pendekar Pulau Neraka itu benar-benar diliputi
kemarahan luar biasa!
"Aku akan menyabung nyawa denganmu, Branta Ireng!" kembali Bayu berteriak keras.
Dan suara teriakan Pendekar Pulau Neraka
tersebut segera bergema ke seluruh Kaki Bukit Batu.
Begitu kerasnya, sehingga daun-daun pohon ikut berguguran, dan batu-batu di atas
bukit jadi bergetar dan menimbulkan suara gemuruh. Kemarahan yang telah meluap-
luap membuat Bayu mengerahkan
tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Tampak batu-batu sudah
meng-gelinding dari atas bukit. Suaranya keras bergemuruh, seperti hendak kiamat
saja. "Kubunuh kau, Branta Ireng! Kubunuh kau! Setaaan...!"
7 Suara teriakan Bayu yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam sempurna, membuat Bukit Batu bergetar bagai terjadi
gempa. Dan getaran tersebut sangat dirasakan oleh seluruh penghuni Istana Dewa
Rimba. Seketika kepanikan langsung melanda, saat mereka melihat ke arah bukit
yang batu-batunya berguguran. Tampak dua buah batu yang menyerupai pintu gerbang
itu juga ikut bergetar hebat. Prabu Dewa Rimba bergegas ke luar diikuti oleh
tokoh-tokoh sakti yang berada di istana itu.
Branta Ireng kelihatan berjalan di samping pemuda tampan itu.
"Paman Branta Ireng, apa yang sedang terjadi?"
tanya Prabu Dewa Rimba setelah berada di luar istananya.
"Hamba tidak tahu, Gusti," sahut Branta Ireng.
Saat itu suara gemuruh masih terus terdengar, dan batu-batu di bukit itu juga
terus berguguran. Namun getarannya sudah tidak lagi sehebat tadi. Tiba-tiba dua
orang yang berpakaian serba biru berlari cepat melintasi padang rumput, dan
mereka segera berlutut di depan Prabu Dewa Rimba.
"Ada apa, Iblis Biru?" tanya Prabu Dewa Rimba.
"Ampun, Gusti Prabu. Kegemparan itu berasal dari kaki bukit," sahut salah
seorang dari si Kembar Iblis Biru.
"Jelaskan," pinta Branta Ireng.
"Hamba melihat ada dua orang berada di kaki bukit Mereka adalah Pendekar Pulau
Neraka dan Pengemis Tongkat Hitam. Kegemparan ini disebabkan oleh teriakan Pendekar Pulau
Neraka, Gusti Prabu."
Seketika Prabu Dewa Rimba memandang ke arah Branta Ireng.
"Hamba akan melihatnya sendiri, Gusti Prabu,"
kata Branta Ireng seraya melangkah pergi
"Iblis Kembar, ikuti Paman Branta Ireng. Dan bawa beberapa prajurit," perintah
Prabu Dewa Rimba.
Si Kembar Iblis Biru kembali memberi hormat, dan melangkah pergi mengikuti
Branta Ireng. Sementara tiga puluh orang yang berpakaian serba hitam mengawal
mereka. Kini Prabu Dewa Rimba bergegas kembali ke dalam istananya yang megah.
Sementara itu Branta Ireng, si Kembar Iblis Biru dan tiga puluh orang berpakaian
hitam terus melintasi padang rumput yang luas. Mereka semua mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, sehingga dalam waktu singkat sudah berada di gerbang masuk ke
padang rumput itu. Kini suara gemuruh sudah tidak terdengar lagi, dan batu-batu
yang berguguran juga sudah tidak ada. Sejenak Branta Ireng
melayangkan pandangannya ke arah kaki bukit.
Tampak Desa Gampil terlihat jelas dari tempat itu.
"Iblis Biru, perintahkan mereka semua segera memeriksa ke kaki bukit," perintah
Branta Ireng. Dan tanpa membantah sedikit pun, Iblis Biru segera melaksanakan tugasnya itu.
Dan Branta Ireng segera mencegah si Kembar Iblis Biru untuk ikut memeriksa ke
kaki bukit. "Kenapa kau laporkan hal ini pada Prabu Dewa Rimba"!" agak tertahan suara Branta
Ireng. "Maaf, Guru. Aku terpaksa," sahut salah seorang laki-laki kembar itu.
"Kau tahu, tindakanmu itu bisa merusak
rencanaku!" dengus Branta Ireng.
"Ampunkan kami, Guru," kedua laki-laki itu membungkuk dalam.
"Ah, sudahlah! Semuanya sudah terjadi, dan ini akibat dari ketololan kalian.
Sekarang kalian harus mencari Pendekar Pulau Neraka, dan bunuh dia."
"Baik, Guru."
Si Kembar Iblis Biru itu pun bergegas menjura memberi hormat, dan langsung
melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Branta Ireng masih berdiri sambil memandang
ke arah Desa Gampil. Tangannya tampak mengepal erat, dan gerahamnya
bergemeletuk. Dan pada saat tubuhnya berbalik, seketika matanya membeliak lebar.
"Heh! Kau...!" Branta Ireng tersentak.
Tampak seorang pemuda tampan yang mengena-
kan baju dari kulit harimau, tahu-tahu sudah berdiri di depan Branta Ireng.
Seperti biasanya, kedua tangannya melipat di depan dada. Sedangkan
bibirnya terkatup rapat dengan mata menatap tajam penuh sinar kebencian. Sejenak
Branta Ireng menggeser kakinya ke samping. Dia segera bisa meraba, apa yang akan
terjadi. *** Sebentar Branta Ireng melirik ke samping kiri. Dan di sana juga sudah berdiri
seorang laki-laki tua berpakaian kumal memegang tongkat hitam. Branta Ireng pun
segera mempersiapkan diri untuk
menghadapi kedua tokoh yang sudah kondang
namanya itu. "Bayu, apa maksudmu membuat kekacauan ini?"
tanya Branta Ireng.
"Jangan banyak tanya, Iblis Hitam!" dengus Bayu geram.
"He! Apa yang kau katakan, Bayu?" Branta Ireng langsung tersentak kaget, karena
Bayu sudah tahu nama julukannya dalam rimba persilatan. Tapi begitu matanya
melirik pada Pengemis Tongkat Hitam, dia segera tahu siapa biang keladinya.
"Kau kaget melihat Kakek Pengemis Tongkat Hitam masih hidup" Heh! 'Pukulan Tapak
Beracun'mu masih tingkat dua, Iblis Hitam!" terdengar sinis nada suara Bayu
Hanggara. "Hm..., rupanya kau sudah tahu siapa aku, Bayu.
Nah! Apa maumu sekarang?" kini Branta Ireng tidak mau berbasa-basi lagi.
"Merebut Cakra Mautku dan membunuhmu!"
dingin jawaban Bayu.
"Ha ha ha...!" Branta Ireng tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban tegas itu.
"Tidak semudah itu, Pendekar Pulau Neraka!"
"Aku kini sudah tahu siapa kau, Iblis Hitam. Kau adalah manusia licik yang telah
mencuri kitab guruku.
Dan sekarang kau juga telah memperalatku, merebut Cakra Maut! Maka aku pun akan
menyabung nyawa denganmu, Iblis Hitam!"
Setelah berkata begitu, Bayu langsung berteriak nyaring melengking. Tubuhnya
segera melesat cepat bagai kilat menerjang Branta Ireng.
Tepat pada saat itu, si Kembar Iblis Biru muncul.
Dan mereka sangat terkejut melihat pertarungan itu.
Tapi baru saja mereka hendak membantu, Pengemis Tongkat Hitam sudah menghadang.
Dan Puncak Bukit Batu itu yang semula tenang, kini jadi penuh dengan teriakan-
teriakan pertempuran.
Bayu terus menyerang dengan mengeluarkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya. Kemarahan yang telah memuncak, membuat dia
tidak mau lagi main-main! Serangan-serangannya sangat dahsyat, dan setiap angin
pukulannya sanggup untuk menghancurkan batu. Sementara Iblis Hitam
mengimbanginya dengan berhati-hati. Dia sudah mengenal semua jurus-jurus yang


Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimiliki oleh Pendekar Pulau Neraka, tapi dia tidak menduga sama sekali, kalau
jurus-jurus itu ternyata lebih dahsyat di tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Huh! Aku harus segera menggunakan senjata cakra emas!" dengus Branta Ireng.
Lalu dengan cepat, Branta Ireng langsung
mengibaskan tangan kanannya. Seketika secercah cahaya keemasan meluncur deras ke
arah Bayu. Buru-buru Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Dan tepat pada saat cakra emas itu hampir menembus dadanya, dengan cepat Bayu
menarik turun tangannya.
Tring! Senjata cakra itu langsung menempel pada
pergelangan tangan Bayu yang memakai gelang keperakan. Tentu saja Branta Ireng
terkejut begitu melihat senjatanya sudah menempel pada pergelangan tangan kanan
lawannya. Buru-buru dia mengeluarkan senjata Cakra Maut berwarna
keperakan, yang telah dicurinya dari Pendekar Pulau Neraka. Dan tanpa berpikir
panjang lagi, dia segera melontarkannya dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Suara mendesing membelah udara, dan Cakra
Maut bergerigi enam itu meluncur deras ke arah Bayu Hanggara. Namun dengan
cepat, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kanannya! Dan cakra
emas di pergelangan tangan kanannya pun, langsung melesat cepat ke arah cakra
perak. Satu ledakan keras terjadi begitu dua senjata berbenturan di udara. Bunga api
memercik, disertai dengan memancarnya cahaya yang menyilaukan
mata. "Heh...!" Branta Ireng langsung terkejut begitu melihat kepingan-kepingan cakra
emasnya ber-jatuhan ke tanah.
Dan dari pijaran cahaya yang menyilaukan
tersebut, meluncurlah cakra perak bergerigi enam ke arah Bayu. Pendekar Pulau
Neraka segera melompat ke atas, karena arah cakra itu berubah naik ke atas.
Dan pada saat itu juga, Branta Ireng pun langsung melentingkan tubuhnya ke atas.
Tampak dua tubuh melayang deras mengejar senjata cakra yang
meluncur cepat ke angkasa.
"Hiyaaa...!" Bayu memekik keras seraya menggenjot tubuhnya lebih kencang.
Dua tokoh sakti itu segera berbenturan di udara dengan kecepatan bagai kilat.
Dan tahu-tahu kedua tubuh itu kembali meluncur ke bawah dengan cepat.
Tampak tubuh Pendekar Pulau Neraka bergulingan ke tanah. Sedangkan Branta Ireng
juga bergulingan begitu tubuhnya menghantam tanah.
Namun dengan cepat mereka dapat bangkit
kembali. Tampak Bayu sudah berdiri tegak sambil tersenyum dengan tangan melipat
di depan dada. Sedangkan cakra bergerigi enam dan berwarna keperakan, sudah menempel kembali di
pergelangan tangannya. Melihat hal itu, Branta Ireng hanya bisa mendengus geram.
"Bagaimana, Iblis Hitam" Akal licik apa lagi yang sedang kau pikirkan?" ejek
Bayu sinis. "Phuih! Seharusnya kubunuh kau di penjara, Pendekar Pulau Neraka!" geram Branta
Ireng. "Kenapa tidak kau lakukan" Sekarang sudah terlambat. Dan aku akan segera
mengirimmu ke neraka, Iblis Hitam!"
"Ha ha ha...! Kau boleh bangga jadi murid Gardika, tapi aku sudah tahu semua
jurus-jurus yang kau miliki, Bayu! Sebaiknya kau segera bunuh dirimu sendiri,
sebelum aku terpaksa membunuhmu!"
"Kau salah, kalau menganggap semua ilmu Eyang Gardika tertuang di dalam kitab.
Masih banyak yang tidak dia tulis, dan aku memiliki lebih dari apa yang kau
kira! Kitab yang telah kau curi itu, hanya berisi sepertiga dari ilmu-ilmu Eyang
Gardika!" "Keparat! Kau jangan coba-coba menggertakku, Bayu!"
"Untuk apa" Majulah, kalau kau ingin merasakan yang tidak bisa kau curi!"
Seketika Branta Ireng kembali menggeram.
Kemudian dia segera mengerahkan jurus 'Pukulan Tapak Beracun'. Sementara Bayu
juga mengerahkan jurus yang sama. Namun tingkatannya tentu saja berbeda. Bayu
sudah menguasai jurus 'Pukulan Tapak Beracun' sampai pada tahap kesempurnaan.
Sedangkan yang pernah terjadi pada Pengemis Tongkat Hitam, baru sepertiga bagian
saja. "Mampus kau, bocah setan! Hiyaaa...!" teriak Branta Ireng sambil melompat.
"Hup! Yeaaah...'!"
*** Dua tokoh kondang tersebut kemudian saling
berlompatan dengan kedua tangan yang menjulur ke
depan. Dan tepat pada satu titik, kedua telapak tangan mereka bertemu. Seketika
terdengarlah satu ledakan keras, disusul dengan terlontarnya tubuh Branta Ireng.
Sedangkan Bayu hanya terdorong dua langkah ke belakang.
"Phuih!" Branta Ireng segera menyemburkan ludahnya yang bercampur darah.
Dia pun kembali melompat dan berusaha berdiri.
Namun tubuhnya masih sempoyongan. Kekuatan dari jurus 'Pukulan Tapak Beracun'
yang dimilikinya masih jauh di bawah Pendekar Pulau Neraka. Kalau saja Branta
Ireng tidak memiliki jurus pukulan itu, mungkin tubuhnya sudah hangus!
"Ayo kita mulai lagi, Bocah!" bentak Branta Ireng geram.
"Kau memang sudah tidak pantas untuk hidup lagi, Iblis Hitam! Bersiaplah untuk
mati!" sambut Bayu dingin.
Pendekar Pulau Neraka sudah mencium bau
darah. Dan itu pertanda bahwa dia tidak mungkin lagi bisa dihalangi. Lawan yang
berhadapan harus tewas di tangannya! Kini, Bayu segera membungkukkan tubuhnya,
dan memiringkannya ke kiri. Lutut kirinya agak tertekuk dengan tangan menyilang
di depan dada. Dia sedang menyiapkan jurus 'Pukulan Racun Hitam'. Satu jurus
andalan yang belakangan ini jarang digunakan.
Sejenak Branta Ireng agak berkerenyut keningnya melihat kembangan jurus yang
tengah dikeluarkan Pendekar Pulau Neraka itu. Rasanya dia pernah melihat jurus
itu diperagakan oleh Gardika, dan dia sudah tahu pula kedahsyatannya. Buru-buru
Branta Ireng mengerahkan jurus andalannya juga.
"Hiya...!" Bayu mendadak berteriak nyaring seraya
melompat ke depan.
"Yeaaah...!" Branta Ireng pun segera menyambutnya.
Dan pertarungan antara kedua tokoh itu pun tidak bisa dielakkan lagi. Mereka
bertarung dengan jurus andalan masing-masing. Tampak Bayu terus
menghantamkan pukulannya secara beruntun ke arah bagian-bagian tubuh lawan yang
mematikan. Namun dia juga tidak mengurangi daya per-
tahanannya. Branta Ireng agak kewalahan juga menghadapi jurus yang dikeluarkan
Pendekar Pulau Neraka itu.
Beberapa kali pukulan yang dilontarkan oleh Bayu berhasil dihindarkan oleh
Branta Ireng. Namun pada saat si Iblis Hitam itu menghindari tendangan yang
menyamping, tanpa diduga sama sekali tangan kiri Bayu menyodok ke arah perutnya.
"Ikh!"
Branta Ireng segera berkelit menarik tubuhnya ke belakang. Dan pada saat itu
tangan kanan Bayu kembali menyodok ke arah dada. Kini Branta Ireng tidak sempat
lagi untuk menghindar. Serangan itu langsung mendarat telak di dadanya.
"Akh...!" Branta Ireng memekik keras.
Tubuhnya seketika limbung, dan terdorong ke belakang beberapa tindak. Bersamaan
dengan itu, Bayu segera memiringkan tubuhnya ke kiri, dan secepat kilat dia
mengibaskan tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga, secercah cahaya
keperakan melesat bagai kilat dari pergelangan tangan kanannya.
Tentu saja Branta Ireng membeliak terperangah.
Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu melesat cepat dan tidak dapat
terbendung lagi. Maka dengan
satu jeritan melengking tinggi, tubuh Branta Ireng langsung terjungkal ke tanah,
begitu Cakra Maut yang dilepaskan oleh Pendekar Pulau Neraka itu
membentur dadanya.
Sejenak Bayu menarik tangan kanannya ke depan dada. Dan cakra yang telah
menembus dada Branta Ireng, melesat kembali ke arahnya. Senjata bergerigi enam
dan berwarna keperakan itu langsung
menempel di pergelangan tangannya. Sebentar Bayu meman-dangi tubuh Branta Ireng
yang berkelojotan meregang nyawa.
"Akh! Kau... kau hebat, Bayu. Tentu Gardika bangga mempunyai murid sepertimu,"
kata Branta Ireng masih sempat memuji dalam keadaan kritis.
"Kau tidak pantas untuk menyebut nama guruku, Branta Ireng!" dengus Bayu tidak
senang. "Aku tahu, tidak lama lagi aku pasti akan mati. Tapi ketahuilah, bahwa aku tidak
mencuri kitab gurumu itu. Aku hanya menyelamatkan dari tangan orang-orang yang
tidak berhak. Memang benar aku adik seperguruan Gardika, gurumu. Dan aku merasa
menyesal telah mengkhianatinya. Rasa penyesalan membuat diriku sengsara, Bayu.
Dan aku memutuskan untuk tinggal dan mengabdi pada Dewa Rimba.
Utusan dewa dari kahyangan yang menampung
orang-orang yang ingin bertobat," lemah dan bergetar suara Branta Ireng.
"Aku tidak percaya dengan kata-katamu lagi, Branta Ireng!"
"Kau boleh saja membenciku, Bayu. Tapi kau harus ingat, persoalan yang sedang
kau hadapi tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Prabu Dewa Rimba. Semua
itu adalah ulah Pendeta Pasanta yang ingin menguasai Istana Dewa Rimba. Dia
memang pernah bermukim di sana cukup lama, dan mengetahui betul seluk beluknya.
Kau harus hati-hati Bayu. Pendeta Pasanta mempunyai cambuk sakti yang berhasil
dicurinya dari Dewa Rimba."
Sejenak Bayu mengerutkan keningnya. Kali ini dia mau tidak mau mempertimbangkan
juga kata-kata Branta Ireng.
"Aku sudah mengetahui semua tindakan Pendeta Pasanta, tapi aku tidak mau
melaporkannya pada Prabu Dewa Rimba. Karena...," Branta Ireng terbatuk.
"Karena apa?" desak Bayu.
"Aku terpaksa mengikuti keinginannya dan menjadi mata-mata di dalam Istana Dewa
Rimba. Pendeta Pasantalah yang telah menahan kitab gurumu, Bayu.
Dan dia mengancam akan melenyapkan kitab itu jika aku tidak mau menururi
perintahnya. Aku merasa berdosa pada Gardika, aku merasa bertanggung jawab
dengan kitab itu. Sangat berbahaya jika Pendeta Pasanta sampai mempelajarinya
suara Branta Ireng makin melemah.
Kini Bayu jadi terdiam. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Kata-kata Branta
Ireng telah membuat hatinya bimbang. Dia memang telah mendapat pesan dari Eyang
Gardika untuk membunuh Branta Ireng atau yang berjuluk si Iblis Hitam, karena
telah mencuri kitab miliknya dan mengkhianatinya, dengan memberitahukan tempat
persembunyiannya pada tokoh-tokoh rimba persilatan, yang memang
menginginkan kematiannya.
Kini setelah dia melaksanakan amanat gurunya, datang lagi kebimbangan. Karena
ternyata Branta Ireng telah jauh berubah. Laki laki tua berkulit hitam itu bukan
lagi seperti dulu. Seorang yang kejam dan selalu mementingkan diri pribadi.
Bahkan berkhianat
pada Eyang Gardika karena merasa kalah dalam memperebutkan gadis desa yang
cantik. Penyesalan memang selalu terlambat datangnya. Dan penyesalan itu tidak
berguna lagi di saat maut telah begitu dekat menjemput.
"Bayu..., aku mohon padamu. Jangan me-
mandangku seperti yang dulu. Aku bukan lagi Iblis Hitam, tapi aku Branta Ireng.
Iblis Hitam sudah mati.
Aku mohon padamu, Bayu. Bawalah mayatku..., dan kuburkan dekat tempat tinggal
Gardika. Aku mohon...," Branta Ireng tidak mampu lagi melanjutkan kata-katanya. Dia
tersentak, dan langsung diam dan tak bergerak-gerak lagi!
Bayu hanya bisa diam memandangi. Hatinya masih diliputi kebimbangan dengan kata-
kata terakhir laki-laki tua itu. Sementara itu pertempuran antara Pengemis
Tongkat Hitam dengan si Kembar Iblis Biru sudah terhenti sejak tadi. Dan Bayu tidak menyadari, kalau mereka semua
mendengarkan apa yang
barusan dibicarakan. Kini dia baru tersadar saat dua orang kembar itu berlari
dan menubruk mayat Branta Ireng.
"Guru...!"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang.
8 Bayu tampak menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya.
Sementara dua orang laki-laki kembar dan berbaju biru masih menangisi kematian
Branta Ireng, lama juga mereka meratapi mayat gurunya. Tak lama kemudian
pelahan-lahan kepala mereka terangkat.
Kedua laki-laki yang berwajah bengis dan kembar menatap Bayu dengan pandangan
sayu. Hilang sudah kekejaman dan kebengisan pada sorot matanya. Dan Bayu hanya
menarik napas panjang saja.
Kini semuanya sudah jelas Branta Ireng telah melakukan semuanya itu karena
merasa bertanggung jawab atas kitab saudara seperguruannya, yang dicurinya
dengan cara mengkhianatinya. Dan si Kembar Iblis Biru yang sempat menjadi
muridnya tidak mengetahui hal itu. Mereka hanya tahu bahwa gurunya punya suatu
rencana dengan Pendeta
Pasanta. Hanya rencana saja yang dikatakan Branta Ireng. Tidak sedikit pun
dikatakan rencana apa.
Semuanya menjadi rahasia Branta Ireng. Dan si Kembar Iblis Biru hanya menurut
saja padanya, sehingga tidak mau mendesak dan menanyakannya.
"Kami mohon, kau sudi menuruti permintaan Guru," kata salah seorang dari si
Kembar Iblis Biru.
Bayu tidak langsung menjawab.
"Kami bersedia melakukan apa saja, asal kau sudi memenuhi permintaan Guru yang
terakhir," katanya lagi berharap.
"Kalian murid Iblis Hitam?" tanya Pengemis Tongkat Hitam seperti ingin
meyakinkan dirinya. Dia sudah berdiri di samping Bayu.
"Ya, hanya kami berdua muridnya."
"Benar apa yang telah dikatakan oleh gurumu tadi?" tanya Pengemis Tongkat Hitam
lagi. "Benar, dan kami tidak tahu persis persoalannya.
Yang kami tahu, guru kehilangan kitab pusaka. Dan kitab itu ternyata dicuri oleh
Pendeta Pasanta. Guru sudah merencanakan untuk mengambil kitab itu kembali, tapi
kami tidak tahu rencana keseluruhan-nya."
"Bayu, tampaknya mereka dalam posisi tertekan,"
kata Pengemis Tongkat Hitam seraya menoleh pada pemuda di sampingnya.
"Eyang Gardika tinggal di Pulau Neraka, dan tempatnya sangat jauh dari sini.
Harus ke Pantai Selatan dulu sebelum menyeberangi pulau itu. Dan hanya akulah
yang bisa masuk ke sana," kata Bayu pelan.
"Bagaimanapun juga dia adik seperguruan gurumu, Bayu. Dan dia juga telah
menyesali segala perbuatannya. Kau harus bisa memaafkannya, dan memenuhi
permintaan terakhirnya," Pengemis Tongkat Hitam menasehati.
"Baiklah, tapi aku harus menyelesaikan urusanku dulu dengan Pendeta Pasanta,"
sahut Bayu seraya menarik napas panjang.
"Kami akan membantumu," kata si Kembar Iblis Biru serentak.
"Tak perlu, kalian jaga saja jenazah guru kalian di sini. Dan aku akan segera
menjemput kalian setelah urusanku selesai," sahut Bayu cepat.
Si Kembar Iblis Biru hanya bisa mengangguk.
"Sebaiknya jangan di sini, Bayu. Tempat ini terlalu terbuka. Aku khawatir ada
orang Iain yang akan mengetahuinya," Pengemis Tongkat Hitam memberi saran.
"Kami punya suatu tempat yang tidak akan bisa diketahui oleh siapa pun," celetuk
salah seorang kembar itu.
"Di mana?" tanya Bayu.
"Sebelah Selatah Bukit Batu ini."
"Kalau begitu, sekarang juga kita harus ke sana!"
usul Bayu. Dan tanpa ada yang membantah lagi, mereka
segera meninggalkan Bukit Batu itu menuju arah Selatan. Tampak si Kembar Iblis
Biru membopong mayat gurunya. Sedangkan Bayu dan Pengemis
Tongkat Hitam mengikuti dari belakang.
"Kalian berjuluk si Kembar Iblis Biru. Kenapa memakai julukan itu" Rasanya
kurang cocok dengan watak kalian," kata Pengemis Tongkat Hitam.
"Sebenarnya kami punya nama. Aku bernama Waka Biru, dan ini adikku bernama Watu
Biru," sahut salah seorang yang berjalan di sebelah kanan.
"Lalu kenapa memakai julukan itu?" tanya Pengemis Tongkat Hitam lagi.
"Guru yang telah memberi kami nama julukan begitu. Katanya harus memakai julukan
dari golongan hitam, untuk bisa masuk ke Istana Dewa Rimba.
Dansebetulnya kami punya julukan juga, yaitu si Kembar Dari Utara. Kami
sebenarnya tidak mau melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain."
"Hm..., jadi selama ini gurumu mendustaiku"
Kenapa dia lakukan itu?" Bayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Guru mengetahui jurus-jurus yang kau gunakan.
Dan dia khawatir kalau kau akan menuntut kembali kitab pusaka itu."


Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sayang, kalau saja dia mau berterus terang sejak semula, mungkin nasibnya tidak
sampai begini,"
gumam Bayu pelan.
"Guru memang menginginkan mati di tangan orang yang tingkat kepandaiannya lebih
tinggi. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh adik seperguruannya. Kami rasa guru
senang karena keinginannya terkabul.
Katanya dia ingin menebus segala dosa yang telah diperbuatnya pada saudara
seperguruannya."
Bayu hanya diam. Dan Pengemis Tongkat Hitam juga tidak banyak tanya lagi. Entah
apa yang sedang mereka pikirkan saat ini. Yang jelas, Bayu sudah tidak sabar
lagi untuk menantang Pendeta Pasanta. Dia tidak peduli lagi dengan kitab pusaka
peninggalan gurunya yang dicuri pendeta murtad itu. Kalaupun dia berhasil
merampasnya kembali, akan segera
dimusnahkan. Karena kini Bayu tidak memerlukannya lagi.
*** Malam sudah demikian larut. Kegelapan kini
menyelimuti seluruh Desa Gampil. Keadaan seluruh pelosok desa itu sunyi senyap.
Angin bertiup agak keras malam ini, dan menebarkan hawa dingin seperti menusuk
kulit. Namun suasana malam itu tidak mempengaruhi keadaan di dalam sebuah
rumah besar di desa itu.
Pada salah satu kamar di rumah itu, tampak
seorang gadis cantik tengah duduk merenung di tepi pembaringan. Gadis itu tidak
menyadari kalau ada
seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Seorang laki-laki gemuk berkepala gundul
dan berjubah kuning gading. Gadis itu baru sadar setelah laki-laki itu duduk di
sampingnya. "Mau apa kau?" sentak gadis itu sengit. Dia segera menggeser duduknya menjauh.
"He he he...," laki-laki yang ternyata adalah Pendeta Pasanta itu hanya
terkekeh. Matanya yang liar terus merayapi wajah gadis itu.
Dan gadis cantik itu semakin menggeser duduknya menjauh. Tapi pendeta gundul itu
segera bangkit, dan melangkah pelan-pelan menghampiri. Senyumnya lebar
menyeringai, dan matanya semakin liar merayapi wajah yang mulai dilanda
ketakutan. "Kenapa kau harus takut, Lastri" Besok kau akan menjadi pengantin. Aku sudah
memutuskan untuk mempercepat pelaksanaannya," kata Pendeta Pasanta.
"Huh! Siapa yang mau menjadi pengantin" Kau kira aku tidak tahu akal licikmu,
Pendeta Murtad! Kau telah memperalat Prabu Dewa Rimba, dan meracuni semua
penduduk dengan kata-kata manismu. Tapi di balik semua itu, kau hanya
melampiaskan nafsu bejadmu!" garang kata-kata Lastri.
"Itu tidak benar, Lastri. Siapa yang mengatakan itu padamu?" agak terkejut juga
Pendeta Pasanta mendengarnya. Namun dia segera bisa mengatasinya dengan cepat.
"Semua dayang-dayangmu berkata begitu padaku!
Kau pikir mereka senang" Mereka selalu mengutuk-mu!" sahut Lastri sengit.
Seketika merah padamlah seluruh wajah Pendeta Pasanta. Gerahamnya bergemeletuk
dan tiba-tiba saja dia melompat dan menerkam gadis itu. Tentu
saja Lastri langsung memekik kaget. Dia terus meronta dan berusaha melepaskan
diri dari pelukan laki-laki gendut itu. Namun pelukan Pendeta Pasanta demikian
kuat. "Lepaskan!" jerit Lastri sambil memukuli tubuh gemuk itu.
"Kau memang tidak akan jadi pengantin, gadis liar!
Malam inilah malam pengantinmu!" desis Pendeta Pasanta.
"Tidak! Akh...!"
Lastri benar-benar terkejut. Dia baru menyadari, ternyata selama ini Pendeta
Pasantalah yang berada di belakang semua kejadian itu.
Semua gadis-gadis yang dijadikan Pengantin Dewa Rimba, ternyata hanya dijadikan
pemuas nafsu olehnya. Dan dia memfitnah Prabu Dewa Rimba dalam menutupi semua
aksinya itu. Benar-benar suatu perbuatan yang licik dan terencana rapi.
Bret! Lastri menjerit histeris, ketika dengan kasar Pendeta Pasanta berhasil merenggut
baju yang dikenakannya. Mata laki-laki gemuk dan gundul itu semakin liar menatap
kulit tubuh yang putih halus dan sudah terbuka lebar. Lastri jadi sibuk berusaha
menutupi tubuhnya sambil terus memberontak, berusaha melepaskan diri dari
dekapan laki-laki itu.
Sedangkan Pendeta Pasanta nampaknya sudah
tidak bisa lagi mengendalikan diri. Dengan kasar dia merenggut baju yang masih
tersisa di tubuh gadis itu.
Lastri terus menjerit-jerit minta tolong, tapi siapa yang mau menolongnya" Tidak
seorang pun yang peduli dengan jeritan gadis itu. Kini tidak ada yang bisa
diperbuatnya lagi. Air matanya mulai menitik turun dan membasahi pipinya.
"Jangan..., kasihani aku, Pendeta. Tolong jangan lakukan itu...," rintih Lastri
memelas. Namun Pendeta Pasanta tidak mau mendengarnya sama sekali. Dia bergerak semakin
liar saja. Dan pada saat pertahanan Lastri hampir jebol, mendadak daun jendela
kamar itu terdobrak hancur, dan melesatlah seberkas sinar keperakan.
"Uts!"
Buru-buru Pendeta Pasanta menggulingkan
tubuhnya ke samping. Sedangkan tangannya meraih pakaiannya, dan mengenakannya
kembali. Matanya mendelik melihat sebuah bintang perak sudah tertancap di
dinding. Sementara Lastri buru-buru menutupi tubuhnya dengan kain seadanya.
"Suiiit..!"
Terdengar siulan panjang melengking tinggi.
Pendeta Pasanta langsung melompat ke luar,
menembus jendela kamar yang sudah jebol
berantakan. Suara siulan itu masih terdengar panjang melengking. Laki-laki
gundul dan gemuk itu
melentingkan tubuhnya ke atas atap. Telinganya mendadak mendengar suara jeritan
dan pekikan, ditingkahi dentingan senjata dari arah depan.
"Edan! Siapa yang telah berani main gila di sini"!"
dengusnya geram ketika melihat di halaman depan, tampak para pengikutnya tengah
bertarung melawan seorang laki-laki tua bertongkat hitam.
Dan baru saja Pendeta Pasanta mau melompat
turun, mendadak sebuah bayangan berkelebat naik ke atas genting. Tentu saja
Pendeta Pasanta terkejut, begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang
pemuda tampan dan gagah, mengenakan baju kulit harimau.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Pendeta Pasanta.
"Aku datang untuk mengirimmu ke neraka, Pendeta Murtad!" dingin suara Pendekar
Pulau Neraka. "Ha ha ha...! Tidak ada ceritanya tikus menantang harimau!" ejek Pendeta Pasanta
sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tikus itu berani karena harimaunya sudah ompong!" ujar Bayu tak kalah sengit.
"Keparat!" geram Pendeta Pasanta. Merah padam seluruh mukanya mendengar ejekan
itu. "Bersiaplah untuk mati, Pendeta Pasanta!"
"Hup!"
Pendeta Pasanta langsung mengeluarkan sebuah pecut berwarna hitam pekat, dengan
ujung-ujungnya seperti buntut kuda. Dia pun segera mengebutkan pecutnya itu ke
udara. Seketika terdengarlah suara menggeletar bagai guntur, yang memekakkan
telinga. Bayu yang sudah diperingatkan oleh Branta Ireng langsung bersikap hati-hati
menghadapinya. Ujung ujung pecut itu tampak memercikkan api saat dikebutkan.
Kini Pendeta Pasanta langsung
menyerang sambil mengebut-ngebutkan pecutnya.
Sementara Bayu segera berlompatan menghindari ujung cambuk itu, sedikit kaget
juga melihat ujung cambuk itu seperti bermata saja. Ke mana dia melompat
menghindar, selalu terkejar dengan cepat.
"Ha ha ha...!" Pendeta Pasanta tertawa terbahak bahak.
Pendekar Pulau Neraka benar-benar merasa
kewalahan menghadapi senjata maut itu. Kini dia berusaha menandinginya dengan
melontarkan Cakra
Maut. Tapi senjata andalannya itu langsung berbalik lagi begitu dilontarkan,
sepertinya cakra itu tidak mau berbenturan dengan cambuk hitam di tangan
Pendeta Pasanta.
"Mampus kau, bocah setan!" bentak Pendeta Pasanta.
Bersamaan dengan itu, Pendeta Pasanta meng-
angkat tangannya tinggi-tinggi, dan langsung mengebutkan senjatanya dengan kuat.
Namun pada saat itu, dia jadi tersentak! Pecut di tangannya tiba-tiba terbetot,
sepertinya ada tangan yang menariknya.
Sejenak Pendeta Pasanta mendongak ke atas. Dan tubuhnya langsung gemetaran.
Bayu sendiri juga terpana melihatnya. Di atas kepala Pendeta Pasanta,
melayanglah seorang laki-laki muda dan tampan, serta berbaju putih bersih.
Tangan kanannya tampak menggenggam ujung
cambuk dengan kuat. Dan dengan sekali tarik saja, pegangan Pendeta Pasanta pada
cambuk itu langsung terlepas.
Seketika Pendeta Pasanta melompat mundur.
Wajahnya kini jadi berubah pucat, melihat pemuda itu melayang turun dan hinggap
di atap. Sementara Bayu masih terpana melihat kedatangan Prabu Dewa Rimba yang
begitu tiba-tiba, dan bisa melayang bagai burung!
Sementara pertarungan di halaman depan rumah itu masih terus berlangsung. Kini
Pengemis Tongkat Hitam tidak lagi kerepotan, karena dia sudah dibantu oleh dua
orang laki-laki kembar berbaju biru. Sudah tidak terhitung lagi, berapa mayat
bergelimpangan dengan bersimbah darah. Dan di atas atap, tampak tiga orang laki-
laki tengah berdiri tegak dengan mulut terkunci rapat.
"Aku tidak menyangka, kalau kau akan berbuat sekeji itu, Pendeta Pasanta," kata
Prabu Dewa Rimba dingin.
"Kau tahu, kenapa aku ingin menghancurkanmu"
Karena kau lebih percaya pada kata-kata si tua bodoh Branta Ireng!" agak
bergetar suara Pendeta Pasanta.
"Hal itu bukanlah alasan tepat untuk kau kembali ke dunia hitam, Pendeta
Pasanta." "Ha ha ha...! Memang bukan! Sebenarnya sudah bertahun-tahun aku merencanakan
semua ini, dan mempelajari segala kelemahanmu. Rasanya aku memang harus
menghancurkanmu, Dewa Rimba.
Karena kau telah menghancurkan puri kami, tempat kami!"
"Aku memang harus menghancurkan puri sesat itu!
Tidak kusangka, kau adalah salah satu pendeta murtad yang berhasil lolos dari
puri hitam itu!"
"Bukan aku saja yang berhasil lolos, Dewa Rimba.
Tapi masih banyak saudara-saudaraku yang masih hidup. Dan mereka tidak akan
pernah berhenti untuk mengajarkan aliran yang sesat, Dewa Rimba! Aku pun tidak
akan tenang jika kau masih hidup!"
"Sayang, dewa-dewa di nirwana tidak lagi mengijinkan aku untuk membunuh manusia
lagi. Maaf, aku harus kembali, masih banyak tugas yang harus kuselesaikan."
"Tunggu, pengecut!"
Tapi Dewa Rimba sudah melayang cepat
meninggalkan tempat itu. Buru-buru Pendeta Pasanta hendak mengejar, namun Bayu
lebih cepat lagi bertindak. Dia segera mengibaskan tangan kanannya, dan senjata
cakra langsung melesat cepat bagai kilat.
"Akh!" seketika Pendeta Pasanta memekik tertahan begitu pundaknya dirobek
senjata itu. Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, senjata cakra itu sudah berbalik dan
meluruk deras ke arahnya. Maka tanpa ampun lagi, Cakra Maut
bergerigi enam itu langsung menghunjam dadanya.
"Hiya...!" Bayu segera melenting sambil mengangkat tangan kanannya ke atas.
Lalu bersamaan dengan menempelnya senjata
Cakra Maut ke pergelangan tangan kanan, kaki Bayu segera menghajar kepala
Pendeta Pasanta. Tidak ampun lagi, laki-laki gemuk berkepala gundul itu langsung
meluruk jatuh ke tanah. Namun dia masih sempat bangkit lagi, meskipun dari
pundak dan dadanya sudah mengucur darah. Sejenak Pendeta Pasanta menggeleng-
gelengkan kepalanya.
Saat itu Bayu juga sudah meluruk deras ke
arahnya. Dia tidak mau lagi bertindak tanggung-tanggung. Maka dengan mengerahkan
jurus 'Pukulan Racun Hitam', secara bertubi-tubi dia menyarangkan pukulannya ke
tubuh Pendeta Pasanta. Sejenak Bayu heran juga melihat daya tahan yang luar
biasa dari laki-laki gemuk itu. Dadanya telah bolong, dan pundaknya sudah
tergores dalam. Darah pun banyak bercucuran. 'Pukulan Racun Hitam' sudah
beberapa kali menghajar tubuhnya, tapi laki-laki gemuk itu masih saja bisa
berdiri, meskipun limbung.
"Kau tidak akan bisa membunuhnya, Pendekar Pulau Neraka...," tiba-tiba terdengar
bisikan halus di telinga Bayu.
Bayu segera mendongak ke atas. Tampak sebuah bayangan putih melayang-layang di
angkasa. Dia tahu kalau bayangan itu adalah Dewa Rimba.
"Pendeta Pasanta memiliki kekebalan pada sabuknya. Jika kau berhasil
merampasnya, baru dia akan bisa mati," terdengar lagi suara bisikan halus.
Bayu menatap Pendeta Pasanta yang sudah
bergerak lagi hendak menyerangnya. Mata Pendekar Pulau Neraka itu menatap tajam
ke pinggang Pendeta Pasanta. Tampak sebuah sabuk besar yang berwarna hitam,
melingkar di perut gendut itu. Maka dengan mengerahkan jurus 'Bayangan Dewa
Maut', Bayu segera mendahului menyerang. Gerakannya begitu cepat seperti
bayangan saja. Dan dengan mudah, Bayu berhasil memegang
sabuk di pinggang Pendeta Pasanta, namun dia terkejut karena sabuk itu ternyata
sulit terlepas.
Tepat pada saat Bayu berusaha menarik sabuk itu, pukulan geledek Pendeta Pasanta
langsung menghajar tubuhnya. Tak pelak lagi, tubuh Pendekar Pulau Neraka itu
segera terpental sejauh dua batang tombak. Sedangkan Pendeta Pasanta buru-buru
melompat menerjang.
Melihat keadaan itu, Bayu bergegas meng-
gulingkan tubuhnya ke samping, lalu dengan cepat kembali melompat bangkit. Dan
bagaikan seekor kucing tengah menerkam ikan, Pendekar Pulau Neraka melompat
sambil melancarkan pukulan
mautnya dengan bertubi-tubi.
Gerakan Pendeta Pasanta yang memang sudah
lamban, tidak sanggup untuk berkelit. Dan pukulan Bayu dengan telak menghajar
tubuhnya. Namun Bayu merasakan pukulannya seperti mengenai buntalan kapas.
Pendeta Pasanta masih tangguh, tidak goyah sedikit pun! Dia kini malah
menyeringai menyeram-kan. Buru-buru Bayu melompat mundur dua tindak.
Lalu dengan cepat dimiringkan tubuhnya sambil melontarkan senjatanya.
Seketika Cakra Maut bergerigi enam itu langsung melesat cepat, dan menancap
tepat di mata Pendeta Pasanta. Kontan saja laki-laki gemuk dan gundul itu
meraung keras. Sejenak Bayu menghentakkan
tangan kanannya dengan kuat, dan cakra yang tengah tertancap di mata Pendeta
Pasanta itu pun tercabut ke luar.
Namun sebelum senjata itu kembali pada
pemiliknya, Bayu segera mengebutkan tangan
kanannya ke arah perut lawannya.
Trak! "Aaakh...!" Pendeta Pasanta langsung menjerit melengking.
Dan tanpa membuang-buang kesempatan, Bayu
langsung melompat dan mengirimkan tendangan geledeknya ke arah tubuh Pendeta
Pasanta. Kontan saja tubuh gemuk itu terjungkal keras menghantam tanah. Lalu
sekali lagi Pendekar Pulau Neraka itu mengebutkan tangan kanannya, dan
senjatanya itu kembali meluncur deras ke arah tubuh yang sudah menggeletak itu.
Cras! Seketika Cakra Maut bergerigi enam merobek
perut lawannya. Dan hampir bersamaan pula, Bayu segera melompat dengan tangan
bergerak cepat merampas sabuk yang sudah terpotong senjatanya.
Dengan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, kali ini dia berhasil mencopot
sabuk itu dari pinggang Pendeta Pasanta.
"Mampus kau..., hih! "
Sekali lagi Bayu menghantamkan pukulan
mautnya ke arah dada. Sebentar Pendeta Pasanta
masih berkelojotan, lalu diam dan tak bergerak lagi.
Bayu masih berdiri tegak sambil memandangi mayat lawannya. Lalu dia mendongakkan
kepalanya ke atas.
Tampak bayangan tubuh putih tengah melayang menjauh. Pendekar Pulau Neraka itu
pun segera memeriksa tubuh gemuk yang sudah menjadi mayat Dan dari balik lipatan
bajunya dia menemukan sebuah kitab yang bersampul kulit hitam.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, Bayu segera menghancurkan kitab itu dengan


Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Pukulan Tapak Api'.
Seketika itu juga kitab itu hangus terbakar jadi abu.
Kembali Pendekar Pulau Neraka menarik napas panjang, kemudian melangkah
meninggalkan mayat Pendeta Pasanta.
Pada saat itu semua pertempuran yang
berlangsung di halaman depan rumah besar tersebut sudah berhenti. Tampak
Pengemis Tongkat Hitam yang dibantu oleh si Kembar Iblis Biru tengah berlari-
lari menghampiri Bayu. Mereka telah berhasil menumpas habis semua pengikut
Pendeta Pasanta.
Bayu segera berhenti melangkah, menanti tokoh-tokoh yang telah membantunya itu.
*** "Bayu, aku tadi sempat melihat Prabu Dewa Rimba. Ke mana dia sekarang?" tanya
Pengemis Tongkat Hitam, begitu sampai di depan Bayu.
"Pergi," sahut Bayu pelan.
"Aku yang telah memberitahunya," celetuk Waka Biru, salah satu dari manusia
kembar itu. "Kenapa kau lakukan itu?" tanya Pengemis Tongkat Hitam.
"Maaf, aku memang harus mengatakan semuanya
pada Gusti Prabu Dewa Rimba. Dan beliau pun memahami. Kami juga akan diterima,
jika mau kembali ke Istana Dewa Rimba," sahut Waka Biru.
"Kalian akan kembali ke sana?" tanya Bayu.
"Ya," sahut si Kembar Iblis Biru serempak.
Bayu hanya bisa tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya itu.
"Bayu, tolong! Bawalah mayat guru kami ke Pulau Neraka. Maaf, kami tidak bisa
ikut. Prabu Dewa Rimba sudah memperingatkan, kalau kami tidak akan bisa masuk ke
sana. Hanya kaulah yang bisa
melakukannya! Pulau itu selalu dijaga oleh kekuatan Gardika," kata Waka Biru
lagi. "Tidak apa, aku juga tidak keberatan,'' sahut Bayu memaklumi.
"Terima kasih, kami permisi dulu."
"Tunggu dulu," cegah Bayu ketika dua orang kembar itu sudah mulai melangkah.
Waka Biru dan saudara kembarnya itu segera
menghentikan langkahnya. Mereka kembali berbalik dan menghadap Pendekar Pulau
Neraka. "Terus terang, aku belum tahu betul, siapa Dewa Rimba itu?" tanya Bayu.
"Dia adalah utusan Dewa-dewa di Swargaloka. Dan dia datang untuk memberi
pengampunan pada setiap manusia. Sudah banyak orang-orang dari kalangan rimba
persilatan yang bertobat dan meninggalkan dunianya yang keras," Waka Biru
menjelaskan. Bayu segera mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Oh, ya...! Prabu Dewa Rimba juga telah mengundangmu untuk menghadiri upacara
perkawinannya. Kali ini benar-benar Penqantin Dewa Rimba
sungguhan!" sambung Waka Biru.
"Terima kasih, akan kuusahakan untuk datang."
Si Kembar Iblis Biru segera meninggalkan halaman rumah besar di Desa Gampil itu.
Mereka terus berlari cepat menuju Bukit Batu. Sementara Bayu masih memperhatikan
kepergian mereka dengan hati
mengucapkan sejuta kata. Namun tidak mampu
untuk dikeluarkannya. Kemudian dia segera mengayunkan kakinya setelah bayangan
si Kembar Iblis Biru lenyap dari pandangan.
"Mau ke mana?" tanya Pengemis Tongkat Hitam, yang sejak tadi terus
memperhatikannya.
"Aku rasa tugasku sudah selesai, Kek. Aku harus memenuhi keinginan terakhir
Paman Branta Ireng,"
sahut Bayu pelan.
"Bayu, aku ingin minta maaf padamu," kata Pengemis Tongkat Hitam pelan.
"Hey! Apa ini?" Bayu sedikit kaget tidak mengerti.
"Aku sudah menduga buruk sebelumnya terhadap-mu. Kau memang kejam, sadis dan
tidak mengenal kata ampun! Tapi aku merasakan kelembutan dan kebaikan hatimu,"
kata Pengemis Tongkat Hitam.
"Ah, sudahlah. Kebetulan saja kau melihatku lagi baik," Bayu merasa tidak enak
juga. Dan baru saja Bayu hendak melangkah kembali, tampak Lastri berlari-lari kecil
menghampirinya. Gadis itu hanya mengenakan kain seadanya untuk membalut
tubuhnya. Di belakang gadis itu terlihat seorang laki-laki dan perempuan tua.
"Kakang, kau hendak ke mana?" tanya Lastri begitu sampai di depan Bayu.
"Pergi. Masih banyak tugas yang harus kuselesaikan," sahut Bayu pelan.
"Kakang, aku mau mengucapkan terima kasih,
karena kau telah menyelamatkanku," ucap Lastri.
"Juga kedua orang tuaku, mereka sangat berterima kasih sekali padamu. Bahkan
ayahku berkenan mengundangmu untuk menginap di rumah."
"Benar, Nak," sambung Ki Sudra meyakinkan.
Kini Bayu tidak bisa menjawab. Dia lalu melirik pada Pengemis Tongkat Hitam.
"Ah, sebaiknya Tuan juga ikut bersama kami. Aku akan menjamu Tuan berdua dengan
sebaik mungkin,"
kata Nyi Sudra sambil memandang ke arah Pengemis Tongkat Hitam.
"Ayolah, Kakang...," rengek Lastri memohon.
"Bagaimana, Kek?" Bayu meminta pendapat Pengemis Tongkat Hitam.
"Aku rasa tidak baik untuk menolak suatu undangan," sahut Pengemis Tongkat Hitam
bijak. "Kau bisa ke...."
"Aku tahu, Kek!" potong Bayu cepat. "Baiklah, aku terima undangan kalian."
Tentu saja Lastri gembira mendengar jawaban Bayu tersebut. Dia langsung memeluk
tubuh pemuda itu tanpa malu-malu lagi. Sementara Pengemis Tongkat Hitam dan
kedua orang tua Lastri segera mulai melangkah meninggalkan mereka. Bayu ingin
melepaskan pelukan gadis itu, tapi Lastri malah melingkarkan tangannya dengan
kuat ke leher pemuda itu.
"Lastri...," bisik Bayu merasa tidak enak dengan yang lain.
"Tinggallah di sini, Kakang," kata Lastri membujuk.
Kembali Bayu tidak bisa menjawab. Rasanya
setiap kali dia menerima kata-kata seperti itu dari seorang gadis, sulit untuk
menjawabnya. Namun Bayu punya cara tersendiri, dan hanya dialah yang bisa
tahu. Kini Pendekar Pulau Neraka itu mulai
mendekatkan wajahnya ke wajah Lastri, sedang tangannya melingkar di pinggang
gadis yang ramping itu. Lalu bibir mereka menyatu rapat dalam dekapan hangat!
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Wanita Gagah Perkasa 12 Candika Dewi Penyebar Maut I I I Pedang Golok Yang Menggetarkan 21
^