Pencarian

Pengantin Dewa Rimba 2

Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba Bagian 2


bukan hanya sekedar menuruti langkah kaki, tapi pasti ada maksud tertentu.
Dia sudah tahu, kalau Pengemis Tongkat Hitam tidak mungkin meninggalkan daerah
Selatan, kalau tidak punya maksud dan tujuan yang pasti. Bayu juga sudah tahu,
laki-laki tua itu bukan tokoh dari golongan hitam. Tingkat kepandaiannya sukar
dicari tandingannya. Dia sendiri belum tentu mampu menandinginya.
"Kenapa kau diam?" tegur Pengemis Tongkat Hitam sinis.
"Tidak apa-apa, hanya malas saja bicara denganmu," sahut Bayu masih sengit.
"He he he..., ternyata kabar yang telah kudengar tentang Pendekar Pulau Neraka,
bukan omong kosong. Kau memang sulit untuk diajak berbicara.
Kau angkuh, keras kepala, dan tindakanmu sangat kejam!"
"Jangan menghakimiku, Pengemis Tongkat Hitam!"
dengus Bayu tersinggung.
"Aku tidak menghakimimu, aku agak terganggu
dengan kemunculanmu di sini!"
"Ooo..., begitu! Tapi maaf, kau tidak bisa mengusirku seenaknya saja. Aku masih
punya urusan di Desa Gampil," Bayu bisa menangkap maksud kata-kata Pengemis
Tongkat Hitam itu.
"Sudah kuduga, kau datang ke sini bukan untuk sekedar lewat. Dan itulah yang
membuatku tidak suka. Kau pasti akan mencampuri urusanku di sini!"
"Urusanku sendiri saja belum selesai, kenapa harus susah-susah mencampuri
urusanmu?"
"Kalau begitu, kau urus saja persoalanmu sendiri.
Dan aku..."
"Tidak semudah itu, Pengemis Tongkat Hitam,"
celetuk Bayu memotong.
"Apa maksudmu?"
"Kau telah mencampuri urusanku dengan
membokongku dari belakang!"
"Bocah setan! Kaulah yang memulai lebih dahulu tahu!" sentak Pengemis Tongkat
Hitam sengit. "He...!" Bayu jadi tersentak.
4 Pertengkaran dua tokoh rimba persilatan itu mendadak terhenti. Kini mereka mulai
menyadari, bahwa persoalan yang sedang dihadapi terpusat pada satu tujuan.
Meskipun belum terucapkan, tapi masing-masing sudah bisa mengerti. Dan hal itu
benar-benar sangat mengejutkan. Mereka masing-masing sebenarnya tidak mau saling
berurusan, tetapi kali ini mereka terbentur pada pokok persoalan yang sama tanpa
diduga sebelumnya. Mereka
sepertinya sama-sama menyesali pertemuan yang tidak diharapkan itu.
"Baiklah, Pendekar Pulau Neraka. Meskipun aku tidak mengharapkan kehadiranmu,
tapi tujuan kita sama," kata Pengemis Tongkat Hitam mulai melunak suaranya.
"Apa maumu sekarang?" tanya Bayu. Juga sudah melemah suaranya.
"Aku ingin sebaiknya kita saling berterus terang.
Tapi itu bukan berarti bahwa kita akan bekerja sama,"
sahut Pengemis Tongkat Hitam memberi penawaran.
"Untuk apa?"
"Agar di antara kita tidak saling mencelakakan dalam menyelesaikan persoalan
masing-masing."
Sejenak Bayu terdiam. Dia segera menimbang-
nimbang tawaran yang diajukan oleh Pengemis Tongkat Hitam itu. Sebenarnya dia
sendiri masih belum jelas persoalan yang dihadapi, tapi juga tidak mau begitu
saja menerima. Ada kemungkinan
Pengemis Tongkat Hitam hanya memancing, karena
dia sendiri masih meraba-raba.
Diamnya Pendekar Pulau Neraka itu segera
disadari oleh Pengemis Tongkat Hitam. Sebenarnya dia mengajukan penawaran itu
hanya untuk memancing keterangan yang mungkin sangat
diperlukan. Dan pancingannya itu tampaknya sulit untuk mengena, karena Pendekar
Pulau Neraka terlalu cerdik untuk dikelabui begitu saja.
Agak lama juga mereka saling berdiam diri.
Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Yang satu berharap, dan satunya lagi
menimbang-nimbang.
Namun masing-masing saling menjaga diri dengan keangkuhannya. Mereka memang
memiliki watak yang hampir sama. Hanya bedanya, Pengemis
Tongkat Hitam adalah benar-benar seorang tokoh rimba persilatan dari golongan
putih, dan selalu bertindak dengan penuh perhitungan, dan masih memiliki rasa
belas kasihan pada lawannya.
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka, selalu bertindak cepat tanpa pikir panjang
lagi. Dan tidak segan-segan membunuh lawan-lawannya tanpa perlu mengenal lebih
dulu, apakah lawannya itu hanya sebagai pengikut atau sekedar diperalat saja.
Perbedaan yang menyolok itulah yang membuat mereka sama-sama saling menjaga
diri. Terlebih lagi, Pendekar Pulau Neraka tidak pernah memilih-milih lawan.
Apakah itu dari golongan putih atau dari golongan hitam! Apalagi jika diketahui,
bahwa lawannya itu ada hubungannya dengan terbunuhnya ayahnya. Dan kekejaman
Pendekar Pulau Neraka itu sudah menjadi buah bibir di kalangan kaum rimba
persilatan. "Bagaimana, Pendekar Pulau Neraka?" Pengemis Tongkat Hitam memecah kebisuan yang
terjadi. "Aku rasa sebaiknya kita berjalan sendiri-sendiri.
Selama ini aku tidak pernah bekerja sama dengan seorang pun, kecuali jika orang
itu meminta pertolongan dariku," sahut Bayu tegas.
Kata-kata Bayu itu memang agak merendahkan, tapi Pengemis Tongkat Hitam dapat
menahan diri. Di antara mereka memang tidak punya persoalan apa pun, dan tidak
ada untungnya menggali persoalan tanpa sebab yang pasti. Kini Pengemis Tongkat
Hitam itu hanya mengangkat pundaknya.
"Kalau begitu, kita berpisah saja di sini. Dan mudah-mudahan tidak akan bertemu
lagi," kata Pengemis Tongkat Hitam.
"Sebaiknya memang begitu," sahut Bayu kalem.
Kemudian tanpa berkata-kata lagi, Pengemis
Tongkat Hitam langsung melesat, dan menghilang di balik pepohonan. Bayu masih
sempat melihat arah yang ditempuh oleh laki-laki tua bertongkat hitam itu.
Sejenak dia memandang ke arah Desa Gampil, lalu dengan langkah pelan dia menuju
desa itu. *** Siang itu matahari sangat terik. Namun sengatan cahaya matahari yang membakar
itu, tidak menghalangi para penduduk Desa Gampil untuk menunaikan tugas rutinnya. Para
orang tua tampak sibuk bekerja di ladang, sementara anak-anak dengan cerianya
bermain-main. Suasana di Desa Gampil itu sama sekali tidak menunjukkan adanya
sesuatu yang telah membuat dua tokoh rimba
persilatan yang sudah kondang namanya, muncul di sana.
Kemunculan dua tokoh rimba persilatan di Desa
Gampil itu, tentu saja tidak luput dari perhatian Pendeta Pasanta. Lebih-lebih
dengan Pendekar Pulau Neraka yang sempat bentrok dan membunuh dua orang
muridnya. Siang itu tampak Pendeta Pasanta tengah duduk dengan dikelilingi oleh
murid-muridnya yang kini hanya berjumlah dua puluh delapan orang.
"Mulai hari ini kalian harus meningkatkan kewaspadaan. Aku yakin, Lastri pasti
sudah menceritakan semuanya pada Pendekar Pulau
Neraka. Dan itu berarti akan munculnya suatu ancaman yang tidak bisa dianggap
enteng," kata Pendeta Pasanta.
Dua puluh delapan muridnya hanya diam dengan kepala tertunduk. Mereka semua
duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani bulu yang tebal.
"Kalian tahu, Pendekar Pulau Neraka memiliki tingkat kepandaian yang sukar
dicari tandingannya!
Terbukti, dua saudara kita telah tewas semalam dengan cara mengenaskan. Pendekar
itu terkenal sangat kejam, membunuh setiap lawannya tanpa mau peduli besar
kecilnya lawan yang dihadapi. Maka aku memperingatkan kalian agar tidak
bertindak ceroboh," sambung Pendeta Pasanta.
Kembali tidak ada sahutan. Dua puluh delapan orang muridnya hanya menundukkan
kepala saja. "Satu lagi yang harus kalian ketahui. Di sini juga telah muncul seorang pendekar
yang berjuluk Pengemis Tongkat Hitam. Dan aku sudah tahu, kedatangannya di sini
khusus untuk mencariku. Tapi kalian tidak perlu khawatir padanya."
Semua murid-muridnya tetap diam dengan kepala tertunduk. Beberapa saat kemudian,
Pendeta Pasanta bangkit dari duduknya, dan melangkah di antara murid-muridnya, yang juga
segera berdiri seraya merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada dengan tubuh sedikit
membungkuk. Laki-laki bertubuh gemuk dan berjubah kuning gading itu, terus melangkah
meninggalkan ruangan besar itu. Langkahnya tampak ringan, pertanda kalau tingkat
kepandaiannya sudah mencapai taraf yang hampir sempurna. Sementara para muridnya
pun segera mengikutinya dari belakang.
Pendeta Pasanta kemudian berhenti melangkah saat tiba di depan sebuah pintu yang
masih tertutup rapat. Seorang muridnya segera melangkah maju, dan membuka pintu
itu. Lalu laki-laki gemuk berkepala gundul itu segera melangkah masuk, dan pintu
kembali diturup dari luar.
Seorang gadis cantik berkulit kuning langsat, tampak duduk di tepi pembaringan.
Gadis itu hanya mengangkat kepalanya sedikit, dan memandang Pendeta Pasanta
dengan sinar mata penuh
kebencian. Gadis berbaju hijau itu adalah Lastri, yang semalam berhasil dibawa
kabur oleh dua orang laki-laki berpakaian serba putih, murid pendeta gundul itu.
Pendeta Pasanta mendekati jendela, dan
membukanya lebar-lebar. Cahaya matahari langsung menerobos masuk dan menerangi
seluruh ruangan itu. Angin yang bertiup kencang pun segera
mengibarkan kain tirai jendela. Di depan jendela ada sebuah taman yang cukup
luas dan tertata indah. Di sana tampak tengah duduk seorang perempuan tua yang
dikelilingi oleh gadis-gadis cantik berjumlah lima orang.
"Mak...," desis Lastri begitu mengenali wanita tua itu. "Ibumu tidak apa-apa,
dia tetap sehat dan terjaga
di sini," kata Pendeta Pasanta.
Lastri lalu mendekati jendela, dan memandangi wanita tua itu. Pandangannya tidak
salah, wanita tua itu memang ibunya. Meskipun keadaan tubuhnya segar dan sehat,
tapi raut wajahnya tidak men-cerminkan kebahagiaan. Kemudian Lastri segera
berbalik dan memandang Pendeta Pasanta yang kini sudah duduk di kursi dekat
pintu. "Mana Bapak?" tanya Lastri ketus.
"Tidak ada di sini," sahut Pendeta Pasanta kalem.
"Ke mana" Kau bunuh...?" agak tertahan suara Lastri.
Pendeta Pasanta hanya tersenyum dan meng-
geleng-gelengkan kepalanya.
"Aku seorang pendeta, Anakku. Aku tidak pernah membunuh manusia tanpa alasan
yang pasti. Ayahmu pergi mencarimu, dan aku kasihan melihat ibumu yang tinggal seorang diri.
Itulah sebabnya aku segera membawanya ke sini agar tetap terurus segala-
galanya," kata Pendeta Pasanta lembut.
Kembali Lastri menoleh ke arah ibunya yang tetap duduk di kursi taman. Kemudian
pandangan gadis itu beralih pada Pendeta Pasanta lagi. Dia sebenarnya tidak
mempercayai kata-kata pendeta itu, tapi melihat keadaan ibunya yang kelihatan
segar, meskipun berwajah murung, hati Lastri jadi tergerak juga. Dan memang
tidak mustahil kalau ayahnya juga tengah mencarinya.
"Aku mau bertemu Mak," kata Lastri.
"Kau sudah berada dalam pingitan, Anakku,"
masih terdengar lembut suara Pendeta Pasanta.
"Pingitan..."!" Lastri terperangah kaget.
"Ya, seminggu lagi kau akan jadi pengantin. Segala sesuatunya sudah
dipersiapkan."
"Tidak...," desis Lastri menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Segala keperluanmu akan selalu dipenuhi di sini.
Dan kau harus bisa merawat diri agar tetap kelihatan cantik," kata Pendeta
Pasanta lagi. Kini Lastri tidak dapat lagi berkata-kata. Dia kemudian berlari dan menjatuhkan
dirinya di pembaringan. Air matanya segera tumpah di sana, mengeluarkan semua
perasaannya. Sedangkan
Pendeta Pasanta kemudian berdiri dan melangkah ke luar.
*** Sementara itu di bagian luar rumah besar yang dikelilingi pagar batu tinggi,
tampak seorang laki-laki muda yang berwajah tampan sedang berdiri di bawah pohon
rindang. Tatapan matanya tidak berkedip mengamati rumah besar itu. Dia sama
sekali tidak peduli dengan orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya.
Sejenak pemuda itu menggeser tubuhnya untuk berlindung di balik pohon, ketika
matanya melihat pintu gerbang rumah itu terbuka. Tampak dari dalam keluar empat
orang berkuda yang mengenakan baju putih ketat dan berlengan panjang. Dan empat
orang berkuda itu langsung memacu kudanya menuju arah Utara.
Dan tanpa menunggu waktu lagi, pemuda gagah itu segera melesat cepat mengikuti
arah mereka. Gerakannya sangat cepat, sehingga yang terlihat hanya bayangan tubuhnya.
Sementara empat orang penunggang kuda itu
terus memacu kudanya menuju Bukit Batu di sebelah
Utara Desa Gampil. Mereka sama sekali tidak menyadari kalau ada seseorang yang
tengah mengikuti. Beberapa saat kemudian, mereka berhenti begitu sampai di Kaki Bukit Batu. Dan
dengan berjalan kaki, mereka kemudian meneruskan mendaki bukit itu.
Sementara pemuda yang tengah menguntitnya, tetap menjaga jarak. Namun ketika
empat orang itu sampai di puncak bukit, tiba-tiba lenyap begitu saja, seperti
tertelan Bukit Batu itu.
"Heh! Ke mana mereka..."!" pemuda gagah yang mengikuti, jadi kebingungan.
Maka dengan hanya sekali lompatan saja, pemuda gagah itu sudah berada di tempat
mereka tadi menghilang. Sebuah tempat yang sangat asing dan mengandung hawa
aneh. Indra keenamnya yang peka dan tajam, langsung memberikan peringatan. Buru-
buru pemuda itu melayangkan pandangannya berkeliling.
Dan pada saat tatapan matanya tertuju pada dua buah batu terpahat yang
menyerupai pintu gerbang, tiba-tiba dari celah batu itu keluarlah seberkas
cahaya jingga yang meluncur ke arahnya.
"Hup!"
Langsung saja pemuda itu melentingkan tubuhnya ke udara, dan cahaya jingga itu
lewat di bawah telapak kakinya. Namun begitu kakinya menjejak tanah yang
berpasir, kembali secercah cahaya jingga meluruk deras ke arahnya. Dan kali ini
cahaya itu datangnya secara beruntun bagaikan hujan sinar.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera berlompatan ke sana
kemari menghindarinya.
Matanya yang tajam, segera dapat mengetahui kalau sinar-sinar jingga itu keluar
dari senjata lempar
yang kecil dan berbentuk bola sebesar kerikil. Kini pemuda gagah berbaju kulit
harimau itu segera menangkis serangan-serangan itu, dengan
pergelangan tangannya yang tertempel sebuah senjata cakra bergerigi enam dan
berwarna keperakan. Tring! "Ikh!"
Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung
memekik tertahan, dan tubuhnya terpental dua tindak ke belakang. Dia segera
merasakan pergelangan tangan kanannya seperti tersengat oleh ribuan ular
berbisa. Namun dia tidak sempat lagi untuk berpikir, karena cahaya-cahaya jingga
itu terus saja mencecar tubuhnya tanpa ampun.
"Edan! Napasku bisa putus kalau begini terus!"
dengus pemuda itu dalam hati.
Seketika itu juga dia segera melentingkan
tubuhnya tinggi-tinggi, dan dengan cepat meluruk ke arah salah satu batu yang
menyerupai sebuah pintu gerbang perbatasan itu. Dan dengan ringan sekali kakinya
mendarat di atas batu itu.
Kini dengan tajam matanya menatap ke
sekitarnya. Sejenak keningnya agak berkerut ketika mendapati tempat sekitarnya
itu tampak sepi. Batu kembar yang menyerupai pintu gerbang itu ternyata
merupakan sebuah tempat yang menuju padang


Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumput yang luas. Hampir dia tidak percaya melihat keadaan itu. Tampak di
tengah-tengah padang rumput itu....
"Mustahil...!" desis pemuda berbaju kulit harimau itu setengah tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri.
Tampak di tengah-tengah padang rumput itu
terdapat sebuah bangunan megah bagai istana.
Bangunan itu berdiri tepat di tengah-tengah padang rumput yang luas terhampar
bagai permadani.
Bangunan itu sangat indah, dan berlapis bagaikan emas. Cahayanya begitu kemilau
dan menyilaukan mata.
Tapi anehnya, bangunan itu tidak dikelilingi dengan tembok benteng seperti pada
umumnya bangunan-bangunan istana lainnya. Dan keadaannya juga sunyi, seperti tidak
berpenghuni sama sekali.
Namun untuk mendekatinya, mustahil kalau tidak ketahuan. Istana itu berada di
tengah-tengah padang rumput yang luas dan datar. Satu gerakan sedikit saja,
pasti akan ketahuan oleh pemiliknya. Dan serangan-serangan tadi sudah merupakan
pertanda kalau di Puncak Bukit Batu ini ada penghuninya.
"Aku harus mengetahui tempat itu. Orang-orang yang kuintai tadi telah menghilang
di sini. Hm..., pasti mereka berada di dalam bangunan istana itu," bisik pemuda
berbaju kulit harimau itu dalam hati.
*** Beberapa saat kemudian, pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah Bayu
Hanggara itu segera melompat turun dari atas batu berbentuk gapura itu. Namun
begitu kakinya menjejak tanah yang berumput, mendadak dari dalam tanah di
sekitarnya, bermunculan orang-orang yang berbaju hitam dan memegang pedang
panjang. Pemuda itu tidak sempat untuk berpikir lagi, karena mereka langsung
menyerangnya tanpa bicara sedikit pun.
Dan pertarungan satu melawan sepuluh orang itu tidak dapat dihindarkan lagi.
Bayu langsung mengamuk bagai singa padang pasir. Namun mereka ternyata tidak bisa dianggap
enteng. Serangan-serangannya sangat dahsyat dan berbahaya.
Sedangkan gerakan-gerakan tubuh mereka juga lentur dan lincah.
"Modar...!" bentak Pendekar Pulau Neraka seraya menghantamkan jurus 'Pukulan
Racun Hitam', dengan pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
Satu orang lawannya yang terkena pukulan tepat di bagian dadanya, langsung
terjungkal ke tanah.
Tampak dadanya robek dalam dan menghitam bagai terbakar. Sedangkan dari mulut
dan hidungnya keluarlah darah kental berwarna kehitaman. Orang itu langsung
ambruk tidak bangun-bangun lagi.
Kini Bayu semakin ganas saja mengerahkan jurus andalannya yang dahsyat itu. Dan
belum lagi ada setengah jurus, satu orang kembali terjungkal dengan keadaan yang
sama dengan korban yang pertama tadi. Dan tidak tanggung-tanggung lagi, Bayu pun
segera mencabut senjatanya yang berupa cakra bergerigi enam dan berwarna
keperakan dari pergelangan tangannya. Dan dengan senjata yang sudah tergenggam di tangan itu,
serangan-serangannya semakin ganas dan dahsyat!
Tidak lama kemudian, satu persatu dari lawan-lawannya itu pun mulai bertumbangan
dengan keadaan luka yang mengenaskan. Kini sudah lima orang yang telah tewas di tangan
Pendekar Pulau Neraka itu. Namun rupanya orang-orang berbaju hitam itu tidak
mudah gentar, meskipun separuh dari jumlah mereka sudah tewas. Serangan-serangan
mereka tidak mengendur sedikit pun. Bahkan
semakin ganas dan rapat.
"Huh! Kalau begini terus, tenagaku bisa habis,"
dengus Pendekar Pulau Neraka.
Seketika itu juga, Pendekar Pulau Neraka segera mengubah jurusnya. Kini dia
mengerahkan jurus
'Pukulan Berantai'. Dengan menggunakan jurus itu, kedua tangan Pendekar Pulau
Neraka jadi bergerak lebih cepat, diimbangi dengan gerakan-gerakan kaki dan
tubuhnya yang lentur bagai belut. Kembali orang-orang berbaju hitam itu
bertumbangan. Mereka tidak sanggup lagi menghadapi serangan-serangan Bayu yang
maha dahsyat itu. Sekali saja kena hantaman tangan Pendekar Pulau Neraka, maka
pasti tidak akan sanggup untuk bangun lagi. Kalau tidak kepalanya yang pecah,
pasti tulang dadanya hancur.
"Tinggal satu! Hiyaaa...!"
Seketika Bayu mengibaskan tangan kanannya, dan senjata cakra bergerigi enam itu
pun langsung melesat cepat, dan menggorok leher lawannya yang tinggal satu itu.
Maka tanpa ampun lagi, darah langsung muncrat dari lukanya itu, dan membasahi
rumput hijau bagai permadani itu. Sejenak Bayu mengangkat tangan kanannya, dan
Cakra Maut itu pun segera kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
"Hhh...! Mereka pasti hanya kroco, tapi sudah begitu hebat," desah Bayu seraya
menarik napas panjang.
Pendekar Pulau Neraka itu masih memandangi
sepuluh orang yang menggeletak jadi mayat. Tidak ada lagi bagian yang utuh dari
tubuh mereka. Kini Bayu mengalihkan pandangannya ke arah bangunan istana itu.
Munculnya sepuluh orang berbaju hitam itu membuatnya harus lebih berhati-hati
lagi. Dia sudah tahu kalau kehadirannya pasti sudah diketahui oleh penghuni
istana itu. Tampak di atas sana matahari sudah menggelincir di ufuk Barat. Cahayanya yang
kemerahan memantul lembut, membuat istana di tengah-tengah padang rumput itu
semakin kelihatan indah bercahaya.
"Sebentar lagi malam, sebaiknya aku bergerak malam hari saja," gumam Bayu pelan.
5 Bulan tampak bersinar penuh menghiasi langit yang cerah bertaburkan bintang. Tak
sedikit pun awan berarak menghalangi sinar bulan. Malam yang indah, namun
berselimut maut dan bersimbah darah.
Keadaan Puncak Bukit Batu itu sangat sepi, namun terlihat begitu indah di malam
hari. Tapi keindahan malam itu tidak dirasakan sama sekali oleh Pendekar Pulau
Neraka yang sedang menunggu waktu dalam usahanya mendekati bangunan istana di
depannya. Dan pada saat posisi bulan tepat berada di atas kepala, Pendekar Pulau Neraka,
bergerak cepat menuju bangunan megah tersebut. Gerakannya
sangat cepat dan ringan bagaikan tiupan angin.
"Hup...!" Pendekar Pulau Neraka melompat ke atap bangunan megah itu.
Dia segera merapatkan tubuhnya di atap yang bagaikan berlapis emas murni.
Telinganya dipasang tajam untuk menangkap setiap gerak dan suara.
Keningnya agak berkerut, karena tidak terdengar satu suara pun. Setelah beberapa
lamanya Bayu berada di atas atap, dia kemudian melentingkan tubuhnya turun.
Dan belum lagi Bayu mencapai tanah, mendadak berpuluh-puluh batang anak panah
menghujaninya. Dan otaknya yang cerdas, langsung bisa mengatasi keadaan itu. Dengan meminjam
tenaga dari salah satu anak panah yang tengah meluncur ke arahnya, Bayu kembali
melenting ke udara, setelah jari tangannya menotok anak panah itu. Anak-anak
panah itu pun berhamburan lewat di bawah kakinya.
Manis sekali Pendekar Pulau Neraka itu hinggap kembali di atas atap. Mendadak
matanya yang setajam mata elang, langsung dapat melihat sosok-sosok tubuh hitam,
yang sedang bersembunyi di balik pepohonan dan tembok. Mereka semua sudah siap
dengan senjata panah.
"Hm..., rupanya kehadiranku memang sudah ditunggu," gumam Pendekar Pulau Neraka
dalam hati. Matanya terus beredar berkeliling. Seketika dia tersentak ketika mereka keluar
dari balik persembunyiannya. Jumlah mereka tidak terhitung lagi karena banyaknya. Dan semua
sudah meng-hunus senjata masing-masing. Tampak mereka yang memegang panah sudah
mengarahkannya pada
Pendekar Pulau Neraka.
Menyadari dirinya sudah terkepung, Bayu segera mencari jalan untuk bisa keluar
dari tempat itu. Tapi semua sudut dan celah sudah terisi rapat. Dan pada saat
Bayu tengah berpikir keras itu, mendadak dua buah bayangan biru berkelebat ke
atas atap. Sebentar saja di samping kiri dan kanan Pendekar Pulau Neraka itu kini sudah
berdiri dua orang yang berpakaian biru dan ketat.
Dan tanpa banyak bicara lagi mereka langsung berlompatan menyerang. Sementara
tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka. Dia pun terpaksa
menghadapi dua orang itu. Kini
pertempuran di atas atap itu tidak bisa lagi dihindarkan. Tiga bayangan tampak
berkelebatan saling sambar. Mereka langsung bertarung dengan menggunakan ilmu
olah kanuragan tingkat tinggi.
*** Sepuluh jurus telah berlangsung dengan cepat.
Dan pertarungan di atas atap itu pun terus
berlangsung semakin sengit. Kini mereka sudah saling menggunakan senjata. Tampak
kilatan-kilatan senjata berkelebat cepat saling sambar dan
mengurung. Ketika memasuki jurus yang kedua belas, tampak Pendekar Pulau Neraka
mulai terdesak. Serangan-serangannya selalu dapat dipatahkan. Dan beberapa kali
tubuhnya harus rela menerima pukulan dan tendangan keras.
Namun Pendekar Pulau Neraka tidak mau untuk menyerah begitu saja. Dia masih
punya andalan, walaupun masih sulit untuk mengeluarkannya, karena kedua lawannya
terus mencecar secara beruntun tanpa berhenti. Pendekar Pulau Neraka sama sekali
tidak diberi kesempatan untuk
melontarkan senjata andalannya. Untuk merubah jurus andalan pun sulit dilakukan.
Saat ini keadaan Pendekar Pulau Neraka benar-benar meng-khawatirkan.
Hingga pada satu saat, satu tendangan keras kembali mendarat di dada Bayu.
Seketika tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Naas, belum lagi dia sempat menguasai tubuhnya, tiba-tiba sebuah tendangan keras
menghantam punggungnya!
Tubuh Pendekar Pulau Neraka meluncur deras ke bawah. Dan pada saat itu pula
kedua lawannya langsung meluruk mengejar. Tepat pada saat kaki Bayu menjejak
tanah, tanpa dapat dicegah lagi satu pukulan Keras mendarat telak di dadanya.
"Hugh!"
Satu keluhan pendek kontan terdengar,
bersamaan dengan limbungnya tubuh Bayu ke
belakang. Seketika napasnya terasa sesak, dan matanya mulai berkunang-kunang.
Kembali Pendekar Pulau Neraka itu harus menerima satu pukulan telak pada
rahangnya, sehingga dia benar-benar terjungkal ambruk ke tanah.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba salah seorang berbaju biru melompat sambil mengarahkan pedangnya pada
leher Bayu. Namun begitu ujung pedangnya hampir menyentuh tenggorokan Bayu, mendadak
terdengar bentakan keras menggelegar.
"Cukup...!"
Orang berbaju biru itu langsung menghentikan gerakannya, tapi dengan segera
ujung pedangnya ditempelkan ke leher Bayu yang masih menggeletak di tanah.
Sedangkan satu orang lawannya lagi sudah berdiri tepat di atas ubun-ubun
kepalanya. Kini keadaan Pendekar Pulau Neraka itu benar-benar tidak berdaya!
Seorang laki-laki muda dan tampan, serta
mengenakan baju indah yang bersulamkan benang-benang emas, melangkah
menghampiri. Di
belakangnya tampak mengikuti sepuluh orang yang berpakaian jubah putih. Kini
pemuda tampan berkulit kuning langsat itu sudah berdiri tegak dengan penuh
wibawa di samping tubuh Bayu yang tetap
menggeletak di tanah.
"Siapa kau?" tanya pemuda tampan itu. Suaranya lembut, namun sangat berwibawa.
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu memperkenalkan nama julukannya.
"Apa maksudmu datang ke istanaku?"
"Cuma kebetulan lewat," sahut Bayu berusaha tenang.
Trik! Pemuda tampan itu menjentikkan ujung jarinya.
Dua orang berpakaian putih segera melangkah maju, dan mengangkat tubuh Bayu agar
berdiri. Tidak ada jalan lain bagi Pendekar Pulau Neraka, dia hanya menurut
saja. Bahkan sama sekali dia tidak
memberontak ketika gelang rantai dilingkarkan ke pergelangan tangannya. Rantai
baja yang kuat itu juga dililitkan di leher dan kakinya. Kini Bayu benar-benar
pasrah. Dia tidak bisa melawan, karena senjata andalannya pun sudah ikut
terampas, dan kini sudah berada di tangan pemuda tampan yang berpakaian indah
itu. "Paman Branta Ireng, kau kenal dengan senjata ini?" tanya pemuda itu sambil
menunjukkan senjata Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka.
Laki-laki tua berjanggut putih dengan kulit hitam legam, segera menghampiri dan
menerima senjata itu. Sebentar dia memperhatikan dan matanya yang bulat kecil
itu menoleh ke arah Bayu.
"Hamba kenal senjata ini, Prabu Dewa Rimba.
Senjata ini adalah milik seorang yang bernama Gardika. Dia adalah seorang tokoh
dari golongan hitam dan sudah tewas puluhan tahun lalu," kata Branta Ireng
pasti. Kini Bayu menatap tajam pada laki-laki bertubuh hitam itu. Dadanya mendadak
terasa bergemuruh begitu mendengar nama gurunya disebut-sebut.
"Hm...," pemuda yang dipanggil Prabu Dewa Rimba itu bergumam kecil sambil
terangguk-angguk pelan.
"Gusti Prabu, boleh hamba bicara empat mata?"
pinta Branta Ireng..
Prabu Dewa Rimba tidak segera menjawab.
Sejenak dia memandang pada Pendekar Pulau
Neraka, lalu jari tangannya kembali menjentik. Kini Pendekar Pulau Neraka segera
digiring oleh para pengawal yang sejak tadi telah mengepungnya.
Sementara pemuda tampan itu segera berbalik dan melangkah diikuti para
pengiringnya yang terdiri dari orang-orang tua berpakaian jubah putih.
*** Malam kian merayap semakin larut. Suasana di
sekitar istana megah di Puncak Bukit Baru itu kembali sunyi, seperti tidak
pernah terjadi sesuatu.
Namun pemuda tampan yang dipanggil Prabu Dewa Rimba, masih duduk di kursi indah
yang berukir dan berwarna keemasan. Di depannya tampak duduk bersila seorang
laki-laki tua yang berkulit hitam, dan mengenakan jubah putih yang panjang dan
longgar. Di dalam ruangan besar dan indah itu hanya
terlihat mereka berdua saja. Kesunyian masih menyelimuti ruangan itu. Tampak
laki-laki tua berkulit hitam dengan nama Branta Ireng itu menundukkan kepalanya.
Di tangannya masih tergenggam senjata Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka.
"Paman Branta Ireng, apa sebenarnya yang hendak kau bicarakan?" tanya Prabu Dewa
Rimba memecah kesunyian.
"Tentang senjata Cakra Maut ini, Gusti Prabu,"
sahut Branta Ireng sambil mengangkat kepalanya.
"Hm..., ya. Kau tadi bilang kalau senjata itu sebenarnya milik orang yang
bernama Gardika. Lalu, kenapa bisa sampai berada di tangan orang yang berjuluk
Pendekar Pulau Neraka itu?"
"Itulah yang ingin hamba bicarakan, Gusti Prabu."
"Begitu pentingkah, sehingga kau ingin bicara denganku berdua saja?"
"Rasanya sangat penting, Gusti Prabu. Karena kalau Pendekar Pulau Neraka ada
hubungan dengan Gardika, maka dia merupakan ancaman yang besar bagi kelangsungan
Istana Dewa Rimba."
Prabu Dewa Rimba tampak mengerutkan
keningnya. "Hamba sudah kenal betul dengan orang yang bernama Gardika itu, Gusti Prabu.
Karena hamba adalah adik seperguruannya. Tidak mudah untuk menandingi ilmu-ilmu
olah kanuragan yang dimiliki Gardika. Hamba sendiri belum tentu bisa
menandinginya, Gusti Prabu," kata Branta Ireng.
"Kau lihat pertarungan tadi, apakah kau mengenali jurus-jurusnya?"
"Sejak dia bertarung di Gerbang Dewa, hamba sudah mengenali jurus-jurusnya,
Gusti Prabu. Itulah sebabnya, kenapa hamba memerintahkan si Kembar Iblis Biru
untuk mencecarnya dan jangan memberinya kesempatan untuk menggunakan senjata
ini. Tapi hamba benar-benar tidak menyangka, kalau jurus-jurus pemuda itu
ternyata lebih dahsyat dari Gardika.
Jurus- jurusnya bertenaga luar biasa. Dan semuanya terlihat sempurna, tanpa
cacat sedikit pun."
"Hm..., kalau memang benar dia adalah murid dari kakak sepergurjaanmu, kenapa


Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus merasa jadi ancaman besar" Bukankah kita bisa memanfaat-kannya, Paman
Branta Ireng."
"Mungkin bisa, Gusti Prabu. Tapi antara aku dan Gardika tidak pernah sepaham,
meskipun di antara kami belum pernah bentrok. Tapi hamba rasa hal itu sulit,
Gusti Prabu."
"Kenapa?"
"Gardika adalah seorang tokoh dari golongan hitam yang tidak pernah tunduk pada
perintah siapa pun juga. Dia mengembara seorang diri, dan mencari kepuasan juga
seorang diri. Hamba khawatir, kalau semua sifat-sifat Gardika sudah merasuki
jiwa Pendekar Pulau Neraka itu. Dan kalau hal itu benar-benar terjadi, tidak
mungkin dia mau mengabdi pada Gusti Prabu."
"Lain orang lain jiwanya, Paman Branta Ireng.
Cobalah dulu, dan kalau memang tidak bisa,
kuserahkan semuanya padamu," kata Prabu Dewa Rimba.
"Hamba, Gusti Prabu."
"Aku rasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Paman. Aku harus
beristirahat penuh. Beberapa hari lagi pengantinku akan datang," kata Prabu Dewa
Rimba seraya bangkit.
Branta Ireng pun segera bangkit dan mem-
bungkukkan badannya.
"Aku harus segera menyelidiki, siapa pemuda itu sebenarnya. Dan apa maksudnya
datang ke tempat ini," gumam Branta Ireng dalam hati.
Kemudian Branta Ireng segera melangkah ke luar setelah pemuda yang bernama Prabu
Dewa Rimba tidak kelihatan lagi di ruangan itu. Langkahnya lebar dan sedikit
tergesa-gesa. Dua orang penjaga pintu yang berpakaian serba hitam, langsung
membungkuk begitu Branta Ireng melewatinya.
*** Branta Ireng berdiri tegak sambil menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka, yang
kini sudah terikat
rantai di sebuah tiang bersilang. Kedua tangan dan kakinya tampak dipentang
lebar-lebar. Bayu juga balas menatap tajam pada laki-laki tua itu. Tidak ada
orang lain lagi di ruangan yang pengap dan sempit itu.
"Aku kagum pada keberanianmu datang ke sini, Anak Muda," kata Branta Ireng
pelan. "Katakan saja terus terang, apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?" dengus
Bayu ketus. Branta Ireng hanya tersenyum mendengar nada suara Bayu itu. Dia kemudian
melangkah dan mendekati pemuda itu. Bibirnya masih menyungging-kan senyuman. Namun Bayu tetap
menatapnya tajam. "Aku sama sekali tidak peduli dengan tujuanmu datang ke Istana Dewa Rimba ini,
Anak Muda. Aku hanya ingin kau mengatakan terus terang, dari mana kau dapatkan
senjata Cakra Maut ini?" tanya Branta Ireng sambil mengeluarkan senjata andalan
Pendekar Pulau Neraka dari balik lipatan jubahnya.
Bayu tidak langsung menjawab. Kelopak matanya semakin lebar begitu melihat
senjata andalannya itu.
Tanpa senjata itu, rasanya Bayu seperti kehilangan separuh dari nyawanya.
"Aku tahu siapa sebenarnya pemilik senjata ini, dan aku juga kenal betul dengan
jurus-jurusmu. Kau tidak bisa berdusta di depanku, Anak Muda," kata Branta Ireng
lagi. "Kalau sudah tahu, kenapa pakai tanya segala?"
tetap sinis nada suara Bayu.
"Berpuluh-puluh tahun aku tidak pernah mendengar lagi kabar tentang Gardika. Dan
kini aku seperti melihat dia lagi pada dirimu, Anak Muda.
Jurus-jurus yang kau miliki dan senjata yang kau gunakan telah mengingatkanku
padanya," kata
Branta Ireng pelan.
Tampak Bayu menyipitkan matanya. Kata-kata
Branta Ireng itu membuat otaknya jadi bekerja keras.
Rasanya dia belum pernah bertemu dengan laki-laki tua berkulit hitam itu. Dan
namanya juga belum pernah dia dengar. Tapi Branta Ireng sudah tahu banyak
tentang Gardika, gurunya. Kini berbagai pertanyaan terus berkecamuk di benak
Bayu Hanggara. "Kau pasti sudah berpikir yang bukan-bukan tentang diriku, Anak Muda. Mungkin
ada baiknya kalau aku mengalah sedikit," kata Branta Ireng lagi.
Bayu masih tetap diam dengan otak yang terus bekerja keras menduga-duga.
"Antara aku dan Gardika adalah saudara seperguruan. Aku adik seperguruan dari
Gardika. Meskipun di antara kami banyak terjadi perbedaan, tapi aku sangat menyayanginya.
Aku juga sangat sedih dan merasa kehilangan ketika mendengar kabar tentang
kematiannya," Branta Ireng mulai membuka diri.
Tentu saja Bayu terkejut setengah mati men-
dengarnya. Dia benar-benar tidak menduga, kalau laki-laki tua itu masih saudara
seperguruan dengan gurunya. Kini Bayu tidak bisa lagi berkata-kata, namun sinar
matanya menyiratkan belum sepenuhnya percaya.
"Kau juga pasti berpikir, kenapa aku tidak membalas dendam pada mereka yang
telah membunuh saudara seperguruanku. Ketahuilah, Anak Muda. Aku sudah bersumpah
pada diriku sendiri untuk melepaskan segala urusan dunia. Lebih-lebih dengan
urusan dendam yang tidak akan pernah berakhir. Dan aku sudah memutuskan untuk
mengabdi pada Prabu
Dewa Rimba, karena kehidupan di sini selalu dalam keadaan damai, jauh dari
segala macam urusan dunia. Aku memang sangat menyesali kematian Gardika yang
tragis itu, tapi aku tidak mau lagi melumuri tanganku dengan darah dan dosa,"
kata Branta Ireng.
"Apakah kata-katamu bisa kupercaya?" Bayu ingin meyakinkan.
"Kau bisa lihat ini," kata Branta Ireng sambil merogoh ke balik lipatan
jubahnya. Seketika mata Bayu membeliak lebar. Di tangan kiri Branta Ireng kini tergenggam
sebuah cakra yang berwarna kuning emas, dan berbentuk serta
berukuran sama persis dengan cakra yang tergenggam di tangan kanannya yang
berwarna keperakan. "Kau mungkin sudah merasakan, bahwa dirimu dalah seorang pendekar digdaya yang
sulit dicari tandingannya. Tapi kau jangan heran, jika aku sudah mengetahui
semua kelemahan-kelemahan jurus-jurusmu. Itulah sebabnya kau bisa dikalahkan
oleh si Kembar Iblis Biru."
Bayu jadi tercenung. Dalam pertempurannya tadi, dia memang merasakan kalau
lawan-lawannya sudah mengetahui setiap gerak dan serangannya. Sehingga dengan
mudah mereka dapat mengalahkan dirinya.
"Anak muda, jika kau masih juga belum percaya, aku akan segera memperagakan
beberapa jurus yang juga sudah kau miliki. Lihatlah...!"
Dan Branta Ireng pun segera memperlihatkan
beberapa jurus yang memang sama dengan apa yang dimiliki oleh Bayu. Jurus-jurus
yang diperagakan itu sama persis dengan yang telah dipelajarinya dari Eyang
Gardika di Pulau Neraka. Dia tampak
tercengang melihatnya.
"Cukup...!" seru Bayu.
Branta Ireng pun segera menghentikan gerakan-gerakannya.
"Paman, aku mohon maaf karena tadi tidak mempercayaimu," kata Bayu setelah
merasa yakin sepenuhnya, kalau Branta Ireng adalah adik
seperguruan gurunya, Eyang Gardika.
Branta Ireng tersenyum lebar, dan matanya
bersinar cerah mendengar dirinya disebut paman. Dia pun bergegas mendekati, dan
menatap dalam-dalam ke bola mata Bayu. Sedangkan Bayu sendiri juga memberikan
senyum, seraya menganggukkan
kepalanya memberi hormat.
"Anak muda, ceritakanlah. Dari mana kau dapat kan Cakra Maut, dan bagaimana kau
bisa menguasai jurus-jurus milik Gardika dengan begitu sempurna?"
pinta Branta Ireng.
"Paman Branta Ireng, aku adalah murid tunggal Eyang Gardika. Aku menjadi murid
sekaligus anak angkatnya, setelah beliau mendapat musibah
dikeroyok tokoh-tokoh rimba persilatan...," Bayu mulai menceritakan semua yang
telah dialaminya dan dilakukannya bersama gurunya, di sebuah Pulau terpencil
yang sangat ditakuti oleh semua orang (Baca serial Pendekar Pulau Neraka, dalam
kisah "Geger Rimba Persilatan").
Sementara Branta Ireng terus mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sedikit pun
dia tidak menyelak cerita Bayu. Kejujuran tercermin dari sinar mata Pendekar
Pulau Neraka itu. Beberapa saat lamanya mereka terdiam setelah Bayu
menyelesaikan ceritanya. Tampak sepasang bola mata Branta Ireng berkaca-kaca.
"Maaf, Paman. Aku terpaksa menceritakan semuanya...," kata Bayu pelan.
"Aku sebenarnya yang minta maaf padamu, Anakku. Kau adalah murid tunggal kakak
seperguruanku, dan itu berarti kau juga muridku, sekaligus anakku," kata Branta
Ireng tidak bisa menahan rasa harunya.
"Pengawal...!" seru Branta Ireng keras.
Sebentar saja seorang laki-laki yang berpakaian serba hitam datang menghampiri.
Dia segera membungkuk memberi hormat pada Branta Ireng.
Sedangkan seorang pengawal lagi menjaga di depan pintu ruangan itu.
"Buka belenggunya!" perintah Branta Ireng.
"Gusti...," pengawal itu ingin membantah.
"Buka, kataku!" bentak Branta Ireng.
"Baik, Gusti."
Pengawal itu pun bergegas membuka belenggu
vang mengikat kedua pergelangan tangan dan kaki Pendekar Pulau Neraka. Setelah
selesai, pengawal itu memberi hormat dan segera meninggalkan ruangan itu.
Sedangkan Bayu langsung berlutut di depan Branta Ireng. Bagaimanapun juga, dia
harus meng-hormati paman gurunya itu, meskipun pertemuan mereka dalam suasana
yang tidak menyenangkan.
"Bangunlah, Anakku," kata Branta Ireng.
Bayu segera beranjak bangkit
"Ini senjatamu," kata Branta Ireng sambil menyerahkan kembali senjata cakra
keperakan bersegi enam.
Dan tanpa ragu-ragu, Bayu segera menerimanya, dan memasangnya kembali di
pergelangan tangan kanannya. Kemudian dia membungkuk dengan kedua tangan melipat
di depan dada. Sementara Branta
Ireng hanya tersenyum dan membalas salam
penghormatan itu dengan sikap yang sama. Laki-laki tua berkulit hitam itu
semakin percaya kalau Bayu adalah benar-benar murid tunggal kakak
seperguruannya.
"Ayo, ikut aku," kata Branta Ireng seraya berbalik.
Bayu tidak membantah. Dia segera ikut melangkah keluar dari kamar tahanan yang
pengap itu. Dia berjalan di belakang Branta Ireng. Tampak beberapa orang
pengawal yang melihatnya, langsung menaruh rasa curiga, meskipun mereka masih
memberi hormat pada Branta Ireng.
"Paman, kita mau ke mana?" tanya Bayu.
"Menghadap Gusti Prabu Dewa Rimba," sahul Branta Ireng.
"Untuk apa?"
"Menjernihkan semua persoalan."
"Tapi, Paman belum tahu tujuanku datang ke tempat ini."
"Kau bisa mengatakannya nanti di depan Gusti Prabu Dewa Rimba."
Bayu hanya diam dan jadi serba salah. Jelas kalau maksud kedatangannya kurang
baik, meskipun tujuannya adalah baik, yaitu untuk membebaskan para penduduk Desa Gampil dari
kesewenang-wenangan. Otak Bayu terus berputar memikirkan cara yang tepat untuk
menyampaikannya agar tidak membuat siapa saja yang mendengarnya merasa
tersinggung. Mereka terus berjalan menyusuri lorong gelap bawah tanah. Penerangan yang ada,
hanya terdiri dari beberapa buah api obor yang menempel di dinding dengan jarak
berjauhan. Bayu sempat melihat ke arah kamar-kamar tahanan, yang berbaris rapi
di sepanjang kiri dan kanan losong. Sungguh dia tidak menyangka, kalau kamar
tahanan penjara itu tidak ada penghuninya sama sekali.
"Besok pagi kita akan menghadap Gusti Prabu Dewa Rimba. Malam ini kau istirahat
saja di kediamanku," kata Branta Ireng.
"Kenapa tidak malam ini saja, Paman?"
"Tidak enak mengganggu istirahatnya. Lagi pula memang sudah terlalu larut."
Kembali Bayu terdiam. Dan mereka terus saja berjalan keluar dari tempat itu. Dua
orang penjaga segera membungkuk saat mereka melewati pintu keluar. Cahaya bulan
langsung menyambut mereka dengan lembutnya. Bayu tetap melangkah di samping
Branta Ireng. Matanya selalu memperhatikan sekitarnya. Dan dia juga sempat
melihat mata para prajurit yang berpakaian hitam memandangnya dengan
penuh kecurigaan.
6 Bayu tampak duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani tebal dan berwarna
merah hati. Di sampingnya duduk pula Branta Ireng. Sementara di belakang Branta
Ireng adalah si Kembar Iblis Biru.
Kini ruangan yang besar dan indah itu sudah dipenuhi orang-orang yang berpakaian
putih dan hitam.
Sedangkan di depan mereka tampak duduk dengan penuh wibawa, seorang pemuda
tampan yang mengenakan pakaian indah dan bersulamkan benang emas. Pemuda itu duduk di kursi
yang berukir dan berlapis bagai emas.
"Aku sudah dengar semua tentang dirimu dari Paman Branta Ireng. Dan sekarang aku
hanya ingin tahu, apa tujuanmu datang ke Istana Dewa Rimba ini?" tanya Prabu
Dewa Rimba. Suaranya besar dan berwibawa.
"Aku hanya kebetulan lewat. Tadinya aku sedang mengejar empat orang yang
berpakaian serba putih yang..., maaf, sama persis dengan yang mereka pakai,"
sahut Bayu sambil menunjuk orang-orang yang mengenakan baju serba putih yang
ketat. "Apakah mereka ada di antara orang-orang itu?"
tanya Prabu Dewa Rimba lagi.
"Tidak!" sahut Bayu tegas.
"Hm..., semua orang berpakaian putih sudah hadir di sini, Kisanak."
"Bayu, kenapa kau mengejar empat orang yang berpakaian serba putih?" tanya
Branta Ireng langsung memanggil dengan menyebut Bayu.
"Terus terang, sebenarnya aku sedang mempunyai persoalan di Desa Gampil," sahut
Bayu. "Persoalan apa?" tanya Prabu Dewa Rimba.
"Menumpas keangkaramurkaan. Desa Gampil kini sedang dilanda musibah besar yang
bisa meng-habiskan seluruh gadis-gadisnya. Ada segelintir orang yang menamakan
dirinya utusan Dewa Rimba..."
Seketika suara bergumam tak jelas terdengar memenuhi ruangan itu. Branta Ireng
dan Prabu Dewa Rimba segera menatap tajam pada Bayu. Tampak sekali kalau mereka
sangat terkejut mendengarnya.
"Mereka selalu mengorbankan gadis-gadis dengan alasan permintaan Dewa Rimba
untuk dijadikan pengantinnya. Mereka menamakannya Persembahan Pengantin Rimba,"
lanjut Bayu menjelaskan. "Terus terang, aku belum tahu siapa dalang di balik
semua kejadian itu. Tapi hal itu sudah berlangsung cukup lama, dan sudah banyak
gadis-gadis telah menjadi korban. Mereka selalu mengirimkan korbannya dalam
pakaian pengantin, dan dibawa ke Puncak Bukit Batu ini."
"Hm..., tampaknya ada seseorang yang telah memfitnahku," gumam Prabu Dewa Rimba.
"Bahkan tidak lama lagi mereka juga akan segera mengirim calon pengantin rimba
wanitanya ke Puncak Bukit Batu ini," lanjut Bayu.
"Berapa hari lagi?" tanya Prabu Dewa Rimba.
"Tiga hari lagi," sahut Bayu.
"Gila!" sentak Prabu Dewa Rimba.
Kini Bayu menatap dalam-dalam pada Prabu Dewa Rimba. Semakin jauh dia telusuri
persoalan ini, semakin membingungkan jadinya. Dia datang ke Puncak Bukit Batu
ini tadinya hanya mengikuti empat orang berpakaian serba putih yang
dicurigainya, sama
sekali tidak tahu kalau di puncak bukit ini ada sebuah istana yang dihuni oleh
orang-orang yang cinta akan kedamaian.
Dan yang membuat Bayu semakin tidak mengerti, dia kini berhadapan langsung
dengan orang yang bernama Prabu Dewa Rimba, yang sering disebut-sebut oleh
penduduk Desa Gampil, sebagai raja dewa yang menginginkan pengantin wanita dalam
waktu tertentu.
Tapi, tampaknya Prabu Dewa Rimba dan semua


Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang ada di sini tidak mengetahui sama sekali tentang hal itu. Jelas kalau
Prabu Dewa Rimba terkejut mendengarnya.
"Bayu, kau adalah murid tunggal saudara seperguruanku, dan itu berarti kau juga
muridku. Jangan membuat malu aku di sini, Bayu," kata Branta Ireng.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Paman. Aku sendiri tidak tahu kalau di Puncak
Bukit Batu ini ada istana. Aku datang ke sini tadinya hanya mengejar empat orang
yang kucurigai!" tegas kata-kata Bayu.
"Paman Branta Ireng, aku merasakan kejujuran pada kata-kata anak muda ini," kata
Prabu Dewa Rimba lembut. "Kita berada di sini memang untuk menjauhkan segala
persoalan dunia. Tapi rupanya ada saja orang yang tidak menyukai, dan ingin
menghancurkan kita dengan cara keji."
"Gusti Prabu, ijinkan aku menyelidiki orang yang keji itu. Kalau ternyata Bayu
berdusta, biar aku yang akan memberinya hukuman," kata Branta Ireng.
"Paman, kau akan melumuri tanganmu dengan darah dan dosa lagi?" Prabu Dewa Rimba
merasa keberatan.
"Tapi, Gusti Prabu...."
"Tidak!" tegas Prabu Dewa Rimba menolak.
Branta Ireng diam.
"Setiap orang yang ingin tinggal di sini, sudah disumpah untuk meninggalkan
semua urusan dunia dari segala perbuatan keji dan dendam. Bayu, sebenarnya kau
harus diberi hukuman karena telah menodai kesucian tempat ini dengan pertumpahan
darah. Tapi aku akan membebaskan dari segala hukuman, bila kau sanggup membawa
kepala orang yang ingin menghancurkan Istana Dewa Rimba ini!"
tegas kata-kata Prabu Dewa Rimba.
"Gusti Prabu...."
"Tidak apa-apa, Paman. Tugas ini memang sudah seharusnya kupikul," kata Bayu
cepat "Maaf kalau kedatanganku telah mengacaukan ketentraman
seluruh penghuni istana ini."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua yang terjadi hanya kesalahpahaman saja,"
kata Prabu Dewa Rimba.
"Jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, sebaiknya aku mohon diri," pamit
Bayu. "Silakan."
Sejenak Bayu memandangi istana di Puncak Bukit Batu itu. Kemudian dia berbalik
dan melangkah melintasi padang rumput yang luas. Namun baru saja Pendekar Pulau
Neraka itu berjalan beberapa depa, langkahnya mendadak terhenti. Telinganya
mendengar suara langkah kaki cepat mengejar di belakangnya. Buru-buru Bayu
berbalik, tampak Branta Ireng berjalan cepat menghampirinya.
"Paman...," sambut Bayu setelah Branta Ireng dekat. "Ada apa Paman menyusulku?"
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Bayu,"
sahut Branta Ireng.
"Tentang apa?"
"Keselamatanmu."
Bayu sedikit mengerutkan keningnya.
"Meskipun kau tidak mengatakan siapa orang yang telah membuat kacau itu, tapi
aku sudah bisa menebak. Kau harus hati-hati karena dia sangat tangguh, dan
memiliki ilmu yang bisa membuat mata orang lain tidak dapat membedakan antara
tipuan dan kenyataan," kata Branta Ireng.
"Ilmu sihir, maksud Paman?"
"Semacam itu."
"Hm...," Bayu bergumam tidak jelas. "Paman tahu, siapa orang itu?"
"Aku hanya menduga, mungkin benar, mungkin juga salah. Tapi dugaanku sangat
beralasan."
"Siapa?"
"Pendeta Pasanta."
"Ah...!" Bayu tersentak kaget. Dia memang sudah menduga, kalau orang di balik
semua kemelut ini adalah Pendeta Pasanta. Dan itu pernah diucapkan oleh Lastri
padanya. "Kau sudah tahu, Bayu?"
"Belum," sahut Bayu cepat.
"Beberapa tahun lalu, Pendeta Pasanta memang berada di istana ini. Dia adalah
seorang pendeta murtad yang ingin bertobat. Tapi kedatangannya rupanya bukan
untuk bertobat, melainkan punya maksud tersembunyi. Dan hal itu dapat diketahui
dengan cepat oleh Prabu Dewa Rimba. Dan atas kesepakatan bersama, kami mengusir
Pendeta Pasanta, dan tidak boleh kembali lagi sebelum dia benar-benar bertobat," Branta
Ireng menjelaskan.
"Hm..., aku mengerti sekarang. Rupanya Pendeta Pasanta membalas dendam pada
Istana Dewa Rimba," gumam Bayu.
"Benar, dan itu sudah diketahui oleh Prabu Dewa Rimba."
"Kalau sudah tahu, kenapa tidak mengambil tindakan?" agak heran juga Bayu dengan
sikap orang-orang di Istana Dewa Rimba itu.
"Bayu..., kami semua yang datang dan tinggal di Istana Dewa Rimba sudah berniat
untuk meninggalkan semua urusan dunia, dan melebur segala dosa-dosa yang telah
diperbuat. Kau lihat, si Kembar Iblis Biru, baru dua purnama dia berada di sini.
Mereka adalah dua orang berhati iblis yang kejam. Tapi rupanya Dewata memberikan
jalan bagi mereka untuk bertobat. Mereka memang masih dalam tahap percobaan,
sebelum sepenuhnya diakui menjadi warga Istana Dewa Rimba. Jadi kau tidak perlu
heran, kenapa kami semua tidak melakukan tindakan apa-apa," jelas Branta Ireng.
"Rasanya sulit untuk dipercaya, Paman. Semua orang yang ada di sini tidak ingin
berlumuran darah.
Tapi kenapa kedatanganku malah disambut dengan serangan?"
"Semua orang yang datang pasti diuji dengan serangan mendadak dan berbagai
macam. Tapi kedatanganmu tidak dengan niat yang baik, sehingga Prabu Dewa Rimba segera
memerintahkan kami
untuk menangkapmu hidup atau mati. Bagi kami, setiap orang yang datang dengan
maksud tidak baik, adalah setan, iblis yang harus dibasmi. Kau beruntung, Bayu.
Prabu Dewa Rimba mengampunimu saat kau sudah berada di ambang maut."
"Aku masih belum mengerti, Paman...," Bayu semakin bertambah bingung saja.
"Ya, sudahlah. Kau memang tidak perlu mengerti semua tentang kami dan Istana
Dewa Rimba. Aku
bisa merasakan adanya ketidakpuasan hidup dalam hatimu. Baiklah, Bayu. Aku tidak
mau mengganggu perjalananmu lagi. Selesaikan semua urusan di dunia dengan caramu
sendiri," kata Branta Ireng tersenyum maklum.
"Paman.... Paman tidak ingin tahu lebih banyak tentang Eyang Gardika?" Bayu
buru-buru membelokkan persoalan.
"Oh, ya. Di mana pusaranya?" tanya Branta Ireng.
"Saat aku meninggalkannya, Eyang Gardika meminta agar dia ditinggalkan sendiri
di dalam goa. Eyang Gardika ingin membersihkan diri dalam sisa-sisa hidupnya, dengan
menyerahkan diri dan jiwa pada Hyang Widi," Bayu mulai menceritakan.
"Ah..., Gardika..., Gardika. Pada saat menjelang ajalmu kau masih belum juga mau
meninggalkan urusan dunia," desah Branta Ireng.
"Aku rasa, Eyang Gardika sudah meninggal, Paman," kata Bayu.
"Tidak! Raganya memang meninggal, tapi jiwanya masih hidup. Dan dia akan muncul
lagi pada saat kau memerlukannya, Bayu. Gardika hanya muksa,
memisahkan raga dari jiwa."
"Ah, kenapa Eyang memilih begitu, Paman?"
"Karena dia merasa urusannya dengan dunia belum selesai. Dan dia akan merasa
tenang, dan meninggalkan dunia, setelah semua urusannya selesai. Tapi selama
dunia masih ada, urusan manusia tidak akan pernah selesai. Dan selamanya dia
akan muksa, hingga dunia ini berakhir."
"Paman, Eyang Guru Gardika memang pernah cerita, bahwa sampai saat ini dia belum
bisa membalas sakit hatinya pada mereka yang telah membuatnya cacat dan hidup
terpencil di sebuah
pulau yang angker. Lagi pula, dia masih merasa kalau anaknya masih hidup."
"Ya..., mungkin itulah yang membuatnya memutuskan diri untuk muksa."
"Apakah aku bisa membantu agar sempurna, Paman?"
"Tidak. Mungkin kau bisa saja menemukan anaknya, dan membalaskan sakit hatinya
pada mereka yang telah menganiayanya sampai semua orang mengira kalau dia sudah
tewas. Tapi keturunan mereka masih ada, dan darah mereka masih
mengalir hidup. Mereka juga akan terus mencarimu, dan begitu seterusnya sampai
ke anak cucumu. Dan selama itu pula dendam tidak akan pernah berakhir, dan
Gardika tetap pada kemuksaannya."
"Ah..., kasihan, Eyang," desah Bayu.
"Tidak periu dikasihani. Itu sudah pilihan jalan hidupnya. Tidak sedikit orang
yang memilih muksa dengan alasan berbeda. Mungkin juga aku, atau kau sendiri
nanti juga akan memilih jalan yang sama, jika tidak mau merelakan urusan dunia."
"Mungkin aku bisa, tapi Paman tidak."
"Kenapa?"
"Karena Paman telah memilih tempat yang tepat.
Meninggalkan semua urusan dunia dengan
mensucikan diri, mendekatkan diri pada Hyang Widi."
"Ha ha ha...! Rupanya kau telah mengerti juga, Bayu."
"Sedikit, Paman."
Tanpa terasa dari tadi mereka telah bicara sambil berjalan. Dan mereka baru
menyadari setelah tiba di perbatasan padang rumput itu, dengan Puncak Bukit Batu
yang seperti gurun. Kemudian mereka berhenti di ambang gerbang batu.
"Bayu, hati-hati. Jangan sampai terpancing oleh tipuannya," pesan Branta Ireng.
"Jangan khawatir, Paman," sahut Bayu.
"Ingat pesanku, Bayu. Jangan sekali-sekali kau memandang matanya. Kau akan
lemah, dan dapat dikuasainya."
"Ya, Paman."
"Nah, berangkatlah. Ingat pesan Prabu Dewa Rimba. Bawa kepalanya padanya, karena
akan menjadi contoh bagi penghuni Istana Dewa Rimba lainnya."
"Aku akan usahakan, Paman."
Branta Ireng segera tersenyum, dan menepuk
pundak Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Bayu membungkukkan badannya sedikit
dengan tangan melipat di depan dada. Kemudian mereka pun
berpisah untuk menjalani hidup dengan cara masing-masing.
Bayu terus menuruni Lereng Bukit Batu itu dengan langkah pelan tanpa terburu-
buru. Otaknya terus berputar memikirkan persoalan yang tengah
dihadapinya. Semakin jauh dia melangkah masuk ke dalam kemelut ini, semakin
sulit untuk bisa dimengerti. Tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka itu tersentak, dan
mengangkat kepalanya. Sayup-sayup dia mendengar suara pertarungan dari arah kaki
bukit. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu segera berlari
cepat menuruni Lereng Bukit Batu itu. Cepat sekali gerakannya, sehingga yang
terlihat hanya bayangannya saja yang meluncur menuruni Bukit Batu.
"Pengemis Tongkat Hitam...," desis Bayu begitu sampai di tempat pertempuran.
Tampak seorang laki-laki tua yang berbaju kumal dan memegang tongkat hitam,
tengah bertarung dengan tiga orang laki-laki berbaju putih bersih. Dan tidak
jauh dari tempat pertarungan itu, terlihat seseorang berpakaian putih
menggeletak dengan dada sobek bersimbah darah. Juga ada empat ekor kuda yang
tengah asyik merumput, sepertinya tidak peduli dengan pertarungan itu.
"Kelihatannya Pengemis Tongkat Hitam mampu menandingi mereka," gumam Bayu dalam
hati. Pendekar Pulau Neraka itu kemudian duduk di bawah pohon. Dia terus memperhatikan
jalannya pertarungan itu. Dugaannya memang tidak meleset.
Dalam beberapa gebrakan saja, satu orang sudah terjungkal dengan bersimbah
darah. Dan disusul dengan satu orang lagi ambruk dengan leher
menganga leibar.
"Hebat...!" seru Bayu seraya bertepuk tangan seperti anak kecil.
Pengemis Tongkat Hitam menoleh saat dia sudah menewaskan lawan terakhirnya. Dia
segera mendengus kurang senang melihat Pendekar Pulau Neraka menyaksikan
pertarungannya. Dan dengan sekali lompatan saja, laki-laki tua itu sudah berada
di depan Bayu. "Bocah setan! Apa saja kerjamu di sini?" dengus Pengemis Tongkat Hitam.
"Lho! Kok, marah..." Sejak tadi aku duduk di sini.
Aku kagum padamu, Kek. Kau hebat!"
"Bukan waktunya untuk bergurau!"
"Heh...!"
"Huh! Menyesal aku telah menyelamatkanmu.
Neraka Hitam 8 Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung Wanita Gagah Perkasa 9
^