Pencarian

Selir Raja 2

Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja Bagian 2


segala penjuru mata angin. Eyang Wanari mengedar-
kan pandangan ke sekeliling, namun memang keliha-
tan sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya. "Hm..., siapa kau?"
terdengar dalam nada suara Eyang Wanari.
"Sudah lima orang yang jadi korban. Dan aku tidak ingin kau ikut jadi korban,
Eyang Wanari," kembali terdengar suara tanpa ujud.
Eyang Wanari menajamkan telinga. Matanya juga
tajam, memandang sekitarnya. Jelas, itu suara seorang wanita. Dan nampaknya,
suara itu dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga bisa meng-
gema. Seakan-akan suara itu datang dari segala penju-ru mata angin. Eyang Wanari
segera meningkatkan
kewaspadaannya. Dia sadar kalau orang yang menge-
luarkan. suara itu memiliki kepandaian tinggi sekali.
Dia telah mampu mengeluarkan suara, tanpa diketa-
hui dari mana asalnya.
"Sebaiknya kembali saja ke pertapaan, Eyang Wa-
nari. Dan Jangan sekali-kali ikut campur masalah ini,"
terdengar lagi suara keras menggema.
'Tunjukkan dirimu, Nisanak!" teriak Eyang Wanari.
"Ha ha ha...! Apa kau tidak bisa mengetahui, di mana aku berada, Eyang Wanari"
Atau memang kau
sudah pikun, sehingga sama sekali tidak bisa meli-
hatku...?"
Eyang Wanari memutar tubuhnya. Maka laki-laki
tua itu terkejut bukan main. Karena, tahu-tahu tidak jauh darinya sudah berdiri
seseorang mengenakan ba-ju serba hitam. Yang membuat mata laki-laki tua per-
tapa ini terbeliak, karena wajah orang itu menghitam hangus seperti baru saja
terbakar. Di dalam hati, Eyang Wanari mengagumi kepan-
daian orang itu. Dia bisa hadir tanpa diketahui. Dan ini sudah memberi satu
peringatan padanya untuk tetap berwaspada penuh.
"Nisanak, siapa kau" Dan apa tujuanmu mengacau
Kerajaan Balungan?" tanya Eyang Wanari, agak perlahan suaranya.
"Untuk apa bertanya begitu, Eyang Wanari..." Kau
sudah tahu, siapa aku, dan apa tujuanku berbuat be-
gini," sahut wanita serba hitam itu agak sinis nada suaranya.
"Kau yang bernama Nini Anjar...?" Eyang Wanari ingin meyakinkan.
"Semua orang memanggilku begitu. Tapi kau lebih tahu, siapa aku sebenarnya,
Eyang Wanari," sahut wanita itu tetap sinis.
"Wajahmu hitam sekali. Dan aku tidak mungkin
bisa mengenalimu. Hm.... Siapa kau sebenarnya, Nisa-
nak?" "Kau lihat ini, Eyang Wanari."
"Heh..."!"
Eyang Wanari terkejut setengah mati ketika wanita
berwajah hitam itu mengeluarkan sebuah benda dari
balik lipatan bajunya. Begitu terkejutnya, sampai-
sampai laki-laki tua itu terlompat ke belakang sejauh tiga langkah. Seketika
kedua bola matanya terbeliak, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kau...?"
"Ha ha ha...!"
Wanita berwajah hitam hangus bagai terbakar itu
tertawa terbahak-bahak Sedangkan Eyang Wanari se-
perti tidak percaya dengan penglihatannya. Dia hanya dapat terpaku. Matanya
terbeliak, dan mulutnya terbuka lebar. Tawa wanita berwajah hitam itu semakin
keras dan panjang.
*** 5 "Ha ha ha....'"
Sukar dipercaya bagi Eyang Wanari. Laki-laki itu
tidak akan pernah melupakan benda berbentuk keris
kecil berwarna keemasan yang berada dalam gengga-
man tangan wanita berwajah hitam ini. Dan sampai
ajal datang pun, tidak akan mungkin bisa terlupakan
"Jadi..., kau..," terputus suara Eyang Wanari.
"Sekarang kau sudah tahu siapa aku, Eyang Wana-
ri. Maka sebaiknya kembali saja ke pertapaan dan jangan campuri urusanku!"
dingin sekali nada suara wanita berwajah hitam itu.
"Bagaimana mungkin kau bisa hidup lagi. Nyai Legok?" masih terbata suara Eyang
Wanari. Dia masih belum yakin kalau wanita berwajah hi-
tam yang berdiri sekitar tiga tombak di depannya ada-
lah Nyai Legok, seorang wanita yang sangat dikenal-
nya. Dan Eyang Wanari tahu, siapa Nyai Legok itu. Dia dulunya adalah seorang
penari berwajah cantik, dan
bertubuh sintal menggiurkan. Setiap lelaki yang me-
mandangnya, pasti tidak akan melewatkan begitu saja
untuk menatapnya. Dan semua lelaki pasti berangan-
angan bisa mendapatkannya. Namun Nyai Legok juga
membuat setiap wanita merasa iri dan sakit hati. Terlebih lagi wanita yang sudah
mempunyai suami.
Karena suami-suami mereka selalu lupa daratan
apabila melihat Nyai Legok menari. Menyadari kalau
dirinya menjadi pusat perhatian banyak laki-laki, ma-ka Nyai Legok
memanfaatkannya. Akibatnya tidak se-
dikit rumah tangga berantakan karena ulahnya. Bah-
kan kecantikan perempuan itu sampai mengusik hati
Prabu Wijaya. Nyai Legok tak mampu berkutik, ketika Prabu Wi-
jaya memintanya agar menari di istana. Bahkan sela-
ma tiga tahun, Nyai Legok tinggal di istana menjadi selir Prabu Wijaya. Namun
entah kenapa, diam-diam pe-
rempuan itu selalu membawa laki-laki lain ke dalam
kamarnya. Tidak sedikit pembesar kerajaan, para pan-
geran, dan pejabat-pejabat kerajaan lainnya, tergila-gila pada wanita ini.
Akibatnya anak dan istri mereka telantar. Bahkan mereka sampai tidak peduli
kalau Nyi Legok adalah selir Prabu Wijaya.
Kebiasaan Nyi Legok membawa laki-laki lain ke da-
lam kamarnya, ternyata tercium juga oleh Prabu Wi-
jaya. Dan pada suatu malam, dia tertangkap basah ke-
tika tengah bermesraan di dalam kamarnya dengan sa-
lah seorang putra pembesar yang masih belia usianya.
Kemarahan Prabu Wijaya tidak tertahankan lagi. Den-
gan keris kecil berwarna emas, Prabu Wijaya menikam
dada wanita itu, lalu merusak wajahnya. Tidak sampai
di situ saja. Prabu Wijaya juga membakar Nyi Legok la-lu membuangnya ke sungai
deras. "Mustahil...," desis Eyang Wanari seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Dia masih belum percaya kalau wanita yang berada
di depannya adalah Nyai Legok. Dulu Legok begitu
cantik. Tapi wanita di depannya wajahnya begitu men-
gerikan. Hitam pekat bagaikan arang. Apakah mung-
kin dia Nyai Legok, dan sekarang membalas dendam
atas perbuatan Prabu Wijaya" Pertanyaan ini masih
menjadi teka-teki yang sukar diungkapkan.
*** "Seharusnya kau tidak perlu berbuat seperti ini
Nyai Legok," ujar Eyang Wanari.
"Sudah kukatakan, jangan ikut campur urusanku,
Eyang Wanari!" dengus wanita berwajah hitam itu.
"Semula aku sudah ingin melupakan. Tapi laki-laki itu malah hendak membunuh
anaknya sendiri."
"Membunuh anak sendiri... " Apa maksudmu, Nyai
Legok?" "Kau hanya seorang pertapa. Sebaiknya, tidak per-lu mencampuri urusan dunia.
Kembali saja ke perta-
paanmu." terdengar kasar nada suara Nyai Legok.
"Kata-katamu sudah mulai kasar, Nyai Legok, "
Eyang Wanari tersinggung.
"Kau yang menginginkan, dan aku sebenarnya ti-
dak ingin berlaku kasar padamu."
"Hm...," Eyang Wanari menggumam kecil.
Laki-laki tua pertapa itu memandangi Nyai Legok
dalam-dalam. Meskipun sudah menyebut perempuan
berwajah hitam itu dengan nama Nyai Legok, namun di
hatinya masih belum yakin kalau dia benar-benar Nyai
Legok. Karena dilihatnya sendiri, bagaimana Prabu Wijaya menikamkan keris kecil
berwarna emas ke dada
wanita itu. Juga disaksikannya, bagaimana mayat Nyi
Legok dihanyutkan ke sungai yang berair deras.
Rasanya memang tidak mungkin kalau seseorang
yang sudah tertikam senjata, lalu dihanyutkan ke da-
lam sungai, masih bisa hidup.
"Kukatakan sekali lagi, Eyang Wanari. Kembalilah ke pertapaan, dan jangan
mencampuri urusan ini,"
kembali Nyai Legok memberi peringatan.
"Maaf. Aku harus menangkap orang yang telah
membunuh muridku, dan mengadilinya di depan si-
dang kerajaan," sahut Eyang Wanari tegas.
"Itu berarti kau harus berhadapan denganku,
Eyang Wanari."
Setelah berkata demikian, Nyai Legok menggeser
kakinya ke kanan tiga langkah. Kedua tangannya dis-
ilangkan di depan dada. Keris kecil berwarna kuning
keemasan, masih tergenggam di tangan kanannya.
"Kau yang memaksa, Eyang Wanari," desis Nyai Legok dingin.
"Hm...," Eyang Wanari hanya menggumam kecil sa-ja. "Bersiaplah. Kita tentukan,
siapa yang lebih dahulu meninggalkan dunia ini. Hiyaaat..!"
Nyai Legok langsung melompat memberi serangan
cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang sudah bersiap sejak tadi, segera
mengegoskan tubuhnya sedikit untuk
menghindari pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi
yang dilepaskan perempuan berwajah hitam itu.
Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi. Dan
mereka langsung melakukan pertarungan tingkat ting-
gi. Jurus-jurus yang digunakan begitu dahsyat dan
mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Dan setiap kali tangan mereka berbenturan, selalu
menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.
Pertarungan berjalan semakin sengit. Jurus demi
jurus berlalu cepat namun belum nampak tanda-tanda
ada bakal yang terdesak. Dan Eyang Wanari sendiri tidak sempat untuk bermain-
main. Disadari betul kalau
lawan yang dihadapinya memiliki tingkat kepandaian
tinggi. Diakui, sukar baginya untuk mengetahui, sam-
pai di mana tingkat kepandaian perempuan berwajah
hitam ini. Karena memang baru sekali ini mereka me-
lakukan pertempuran.
"Uts!"
Hampir saja keris di tangan Nyai Legok menembus
dada laki-laki tua pertapa itu. Untung saja Eyang Wanari segera berkelit dengan
menarik tubuhnya ke
samping. Namun sebelum bisa menegakkan tubuhnya,
satu tendangan menggeledek menyamping telah cepat
dilepaskan Nyai Legok.
"Yeaaah...!"
"Heh!"
Eyang Wanari terkejut. Cepat-cepat kakinya ditarik
ke belakang. Namun tanpa diduga sama sekali, Nyai
Legok mampu melenting sedikit tanpa menarik kembali
tendangannya. Akibatnya, Eyang Wanari jadi semakin
terkejut. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk
menghindari tendangan itu. Sehingga....
Bek! "Akh...!" Eyang Wanari menjerit keras tertahan.
Tendangan yang dilepaskan Nyai Legok telak
menghantam dada laki-laki tua pertapa itu. Tak pelak lagi, tubuh tua berjubah
putih itu terpental deras ke belakang. Tendangan yang dilancarkan Nyai Legok
memang dahsyat bukan main. Terlebih lagi, tendangan
itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Bruk! Keras sekali tubuh Eyang Wanari menghantam ta-
nah. Dua kali laki-laki tua pertapa itu bergulingan di tanah, kemudian cepat
melompat bangkit berdiri. Namun tubuhnya terhuyung, dan dari mulutnya menge-
luarkan gumpalan darah kehitaman.
"Hiyaaa...!"
Saat itu Nyai Legok sudah kembali melompat
memberi serangan. Sementara Eyang Wanari belum
mampu menguasai tubuhnya. Dadanya masih terasa
sesak, dan jalan nafasnya seakan tersumbat, akibat
tendangan yang mendarat telak di dadanya.
"Modar...!"
Des! "Akh...!" kembali Eyang Wanari menjerit keras.
Satu pukulan yang dilepaskan Nyai Legok dapat la-
gi dihindari, meskipun Eyang Wanari berusaha berke-
lit. Namun gerakannya memang sudah lamban, akibat
pernafasannya belum sempurna. Seketika, tubuh laki-
laki tua pertapa itu kembali terlontar jauh ke belakang, sekitar lima barang
tombak. Di saat Eyang Wanari tengah bergulingan di tanah,
Nyai Legok sudah kembali melompat sambil menghu-
nus keris kecil berwarna kuning keemasan di tangan
kanan. Memang tidak ada lagi kesempatan menghin-
dar bagi Eyang Wanari. Pukulan yang dilepaskan Nyali Legok, membuatnya benar-
benar tidak berdaya lagi.
"Mampus kau, Eyang Wanari! Hiyaaat..!"
Namun begitu ujung keris hampir saja menghun-
jam dada Eyang Wanari, mendadak saja....
Slap! Plak! "Ah...!"
*** Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sebuah
bayangan kuning kehitaman berkelebat cepat menjegal
maksud Nyai Legok. Perempuan berwajah hitam itu
terpental balik sambil memekik keras. Namun keseim-
bangan tubuhnya cepat dikuasai, dengan berputaran
beberapa kali di udara. Dengan manis sekali kakinya
mendarat di tanah. Kini di depan Eyang Wanari, berdi-ri seorang pemuda tampan
mengenakan baju kulit ha-
rimau. Pada saat itu, dari balik sebuah pohon yang cukup
besar, muncul seorang pemuda lain yang mengenakan
baju putih. Dia bergegas berlari, menghampiri Eyang
Wanari. "Eyang..., Eyang tidak apa-apa...?" tanya pemuda itu seraya membantu Eyang
Wanari duduk.

Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh! Terimakasih, Prayoga," ucap Eyang Wanari gembira melihat Raden Prayoga
membantunya duduk.
Laki-laki pertapa tua itu memandang pemuda lain
yang mengenakan baju kulit harimau. Pemuda itu ber-
paling sedikit, lalu memberi senyuman. Kemudian per-
hatiannya kembali dipusatkan pada perempuan berwa-
jah hitam di depannya.
"Siapa dia, Prayoga?" tanya Eyang Wanari pelan.
"Bayu, Eyang. Temanku," sahut Raden Prayoga.
Eyang Wanari mengangguk-anggukkan kepala. Dia
memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu. Bibir-
nya kemudian mengembang, membentuk senyuman.
Namun sebentar kemudian terbatuk, lalu memuntah-
kan darah kental agak kehitaman. Raden Prayoga ter-
kejut. Dia ingin melakukan sesuatu, tapi keburu dicegah laki-laki tua pertapa
ini. "Aku tidak apa-apa. Hanya sesak sedikit di dada."
"Tapi Eyang terluka. Sebaiknya Eyang ke tempat yang lebih teduh lagi."
"Baiklah. Bantu aku berdiri."
Sementara Raden Prayoga membantu Eyang Wana-
ri pindah dari tempat itu, Bayu melangkah hendak ke
depan. Sedangkan Nyai Legok sudah menguasai penuh
keadaan dirinya. Ludahnya disemburkan, sambil me-
natap tajam Pendekar Pulau Neraka.
"Heh! Siapa kau"! Berani benar mencampuri uru-
sanku!" bentak Nyai Legok geram.
"Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya tidak suka ada orang menganiaya orang yang
sudah tua," sahut Bayu kalem.
"Apa pedulimu, heh"!" bentak Nyai Legok makin geram.
"Memang tidak ada. Tapi kurasa, tidak ada baiknya kau menganiaya orang tua,
Nisanak," tetap kalem suara Bayu.
"Kau terlalu banyak mulut!" desis Nyai Legok menggeram.
Kemudian perempuan itu menatap Raden Prayoga
yang kini berada di tempat yang cukup aman bersama
Eyang Wanari. Dan kini, tatapannya kembali pada
Bayu. Bibirnya yang hitam, menyunggingkan senyu-
man menyeringai.
"Apakah kau salah seorang jawara dari istana" terdengar sinis nada suara Nyai
Legok. "Bukan," sahut Bayu.
"Kau datang bersama bocah ingusan itu. Pasti kau adalah seorang jawara yang
mengawalnya. Bagus....
Jika memang demikian, aku bisa memusnahkan seka-
lian keturunan tidak syah Prabu Wijaya. Dan kau....
berani menghalangi, aku tidak segan-segan membuat-
mu jadi dendeng!" Nyai Legok menuding Bayu.
"Nisanak! Kenapa kau menyangka aku jawara ista-
na" Aku tidak ada hubungan dengan orang-orang ista-
na manapun juga."
"Tidak ada waktu bersilat lidah, Kisanak! Jika kau masih melindungi orang tua
itu dan Raden Prayoga,
maka kau harus berhadapan denganku!"
"Raden Prayoga...?" Bayu benar-benar tidak mengerti.
Pendekar Pulau Neraka melirik Raden Prayoga.
Sungguh dia tidak tahu kalau pemuda berbaju putih
itu ternyata seorang putra mahkota. Baru beberapa
saat Pendekar Pulau Neraka mengenalnya. Dan lagi,
Raden Prayoga memang tidak pernah mengatakan ten-
tang dirinya yang sebenarnya.
"Sebaiknya kau menyingkir, Kisanak!" bentak Nyai Legok.
Sehabis berkata demikian, Nyai Legok langsung
melompat ke arah Eyang Wanari dan Raden Prayoga
yang tengah duduk di bawah pohon. Bayu tersentak
kaget. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat,
mencoba menghadang arus wanita serba hitam itu.
"Hiyaaa...!"
"Uts! Keparat..!"
Kalau saja Nyai Legok tidak cepat melentingkan tu-
buh ke belakang dan berputaran dua kali, terjangan
Bayu yang memotong itu akan melanda tubuhnya
kembali. Sambil mendengus geram, perempuan berwa-
jah hitam itu menatap tajam Pendekar Pulau Neraka.
Dia begitu marah, karena maksudnya sudah dua kali
terhalang oleh tindakan pemuda berbaju kulit harimau ini. "Keparat! Rupanya kau
ingin lebih dahulu ke nera-ka, heh!" bentak Nyai Legok.
"Hm...," Bayu hanya menggumam perlahan saja.
"Hih!"
Nyai Legok melintangkan keris kecil keemasan
yang berada di dalam genggaman, di depan dadanya.
Sorot matanya begitu tajam, langsung menusuk mata
Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan kakinya ber-
geser ke kanan. Sementara Bayu hanya memperhati-
kan tanpa berkedip, setiap gerakan kaki perempuan
berwajah hitam itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Nyai Legok melompat ce-
pat bagai kilat dengan keris terhunus ke depan. Bayu segera menarik kakinya ke
belakang. Lalu, cepat sekali tubuhnya melenting ke udara, menyambut serangan
wanita berwajah hitam itu.
Bayu mengegoskan tubuhnya sedikit ke kanan, la-
lu secepat itu pula tangannya dihentakkan, langsung
menyodok ke arah dada. Namun Nyai Legok. cepat ber-
gerak gesit. Sodokan tangan Pendekar Pulau Neraka
itu ditangkis dengan tangan kiri, sementara hunjaman kerisnya tidak bisa
mengenai sasaran.
Plak! Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tingkat ting-
gi, beradu keras di udara. Saat itu terdengar pekikan keras agak tertahan.
Kemudian, mereka sama-sama
memutar tubuh ke belakang, lalu meluruk turun ma-
nis sekali. Hampir bersamaan kaki mereka menjejak
tanah. Begitu mendarat, Bayu langsung memberi satu pu-
kulan lurus ke arah dada. Melihat hal itu Nyai Legok cepat berkelit, memiringkan
tubuhnya. Begitu pukulan Bayu lewat, segera diberikannya serangan balasan.
Kerisnya langsung dihunjamkan ke arah perut,
"Uts! Yeaaah...!"
Bayu cepat melompat ke belakang, menghindari
tusukan keris kecil keemasan itu. Namun Nyai Legok
terus mencecar dengan hunjaman keris beberapa kali
ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Mau tak mau
Bayu harus berjumpalitan, berputaran ke belakang
menghindari hunjaman keris yang datang secara be-
runtun. "Hup! Yeaaah...!"
Begitu mempunyai kesempatan, Bayu cepat mele-
sat ke udara. Dan secepat itu pula dilontarkan satu
tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan te-
naga dalam yang sudah mencapai tahap kesempur-
naan. Namun tendangan Pendekar Pulau Neraka dapat
dielakkan Nyai Legok dengan memiringkan tubuh ke
kanan. Dua kali Bayu berputaran di udara, kemudian
mendarat manis dan ringan sekali, sekitar satu tom-
bak jauhnya di depan perempuan bermuka hitam itu.
Dan belum lagi Bayu menarik napas, Nyai Legok sudah
kembali melompat menyerang.
"Hiyaaa...!"
"Hait! Yeaaah...!"
*** 6 Hanya sedikit saja keris kecil keemasan di tangan
Nyai Legok lewat di samping tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka. Cepat pemuda berbaju kulit harimau itu menarik tubuh ke samping, lalu
tangannya bergerak cepat menyodok ke dada wanita berwajah hitam itu. Sodokan
yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat Nyai
Legok jadi terperangah. Dia cepat berusaha menghin-
dari. Namun sebelum melakukan tindakan, sodokan
tangan Bayu sudah mendarat telak sekali di dadanya.
Des! "Akh...!"
Nyai Legok terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap dadanya yang terkena sodokan. Untung saja
Bayu tidak penuh mengerahkan tenaga dalam, sehing-
ga hanya sesak saja yang dirasakan wanita bermuka
hitam itu. "Setan...!" geram Nyai Legok mendesis sengit.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung
bola mata Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali dia
mendengus sambil menyemburkan ludah. Sebentar
kemudian ditatapnya Eyang Wanari dan Raden Prayo-
ga yang berada di tempat aman.
"Phuih! Satu saat kau akan menyesal, bocah keparat...!"
Setelah melontarkan ancaman, Nyai Legok segera
berbalik, lalu cepat melesat pergi. Begitu cepatnya sehingga dalam sekejapan
saja bayangan tubuhnya su-
dah lenyap tak berbekas lagi. Bayu menarik napas
panjang, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah
menghampiri Raden Prayoga dan Eyang Wanari.
"Bagaimana keadaanmu, Ki Tua?" tanya Bayu setelah dekat.
'Terima kasih. Aku tidak apa-apa," sahut Eyang
Wanari seraya berdiri dibantu Raden Prayoga.
Bayu melirik sedikit pemuda yang membantu
Eyang Wanari bangkit berdiri. Sedangkan yang dilirik seperti tidak mengetahui.
Perhatian Bayu kembali tertuju pada laki-laki tua yang terlihat tengah
kepayahan. Tampak ada bulatan hitam di dada Eyang Wanari.
"Kau mendapat luka, Ki," kata Bayu.
"Tidak apa-apa. Hanya luka biasa saja," sahut
Eyang Wanari seraya melihat noda hitam di dadanya.
"Maaf...."
Bayu meraba dada laki-laki tua itu sebentar. Kem-
bali ditatapnya Eyang Wanari, lalu menarik napas panjang. Dia tahu kalau noda
hitam di dada laki-laki tua itu akibat pukulan bertenaga dalam penuh dan
mengandung racun. Tapi rupanya Eyang Wanari sudah
mencegahnya dengan menotok beberapa titik jalan da-
rah. Sehingga racun di dadanya tidak menyebar. Dan
racun itu memang tidak membahayakan. Hanya den-
gan semadi sebentar, lalu menyayat kulit dadanya se-
dikit, racun itu bisa keluar.
"Sebaiknya jangan terlalu lama racun itu di dalam, Ki," kata Bayu
memperingatkan.
Eyang Wanari tersenyum. Ada rasa kagum terselip
dihatinya mendengar peringatan anak muda yang be-
lum dikenalnya ini. Dia bisa tahu kalau luka itu beracun, hanya dengan meraba
saja. Rasa kagum Eyang
Wanari terlihat jelas dari sinar matanya tatkala me-
mandang wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.
"Aku akan lakukan sekarang, Anak Muda. Eh, sia-
pa namamu tadi...?" ujar Eyang Wanari diiringi senyuman.
"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan diri.
Eyang Wanari menepuk pundak Pendekar Pulau
Neraka, kemudian berbalik dan melangkah menuju ke
sebatang pohon yang cukup besar dan rindang. Raden
Prayoga tidak jadi membantu, karena Eyang Wanari
sudah menolaknya. Terpaksa pemuda itu hanya me-
mandanginya saja.
"Kenapa kau tidak berterus terang padaku, Raden"
Kenapa harus menutupi kenyataan...?" Bayu langsung menegur Raden Prayoga.
"Maaf, Bayu. Dalam keadaan seperti sekarang ini,
aku tidak bisa begitu saja mengatakan sesuatu yang
benar," sahut Raden Prayoga.
Bayu menarik napas panjang. Jawaban Raden
Prayoga begitu tepat. Memang tidak mungkin Raden
Prayoga menceritakan suatu keadaan yang sebenarnya
pada seseorang yang baru saja dikenalnya. Keadaan
memang perlu, dan Bayu menyadari betul itu.
"Baiklah, Raden. Aku memang tidak punya urusan
denganmu. Apalagi untuk tahu tentang apa yang terja-
di sesungguhnya. Tapi jika Raden percaya padaku ceritakan saja. Apa sebenarnya
yang sedang terjadi, mu-
dah-mudahan, aku dapat membantu menyelesaikan-
nya," tegas Bayu, setelah menarik napas panjang,
"Aku memang memerlukan bantuan seseorang
berkepandaian tinggi, Bayu. Kau sudah mengalami
sendiri. Orang yang sedang kami hadapi memiliki kepandaian tinggi sekali. Bahkan
Eyang Wanari sendiri
tidak dapat mengatasinya," jelas Raden Prayoga.
Bayu melirik Eyang Wanari yang sudah melakukan
semadi di bawah pohon yang cukup rindang. Tampak
di dada laki-laki tua itu mengalir darah kental kehitaman. Rupanya Eyang Wanari
sudah menyayat kulit
yang bernoda hitam untuk mengeluarkan darah yang
mengeram di dadanya. Cara yang dilakukan Eyang
Wanari, sama persis dengan apa yang dipikir Bayu se-
belumnya. "Mari, Bayu. Kita cari tempat yang lebih enak. Nanti kuceritakan semuanya
padamu. Aku percaya kau
memiliki kemampuan tinggi dan dapat menandingi pe-
rempuan berwajah hitam itu," ajak Raden Prayoga.
Bayu tidak menjawab. Diikutinya saja Raden
Prayoga yang berjalan perlahan mencari tempat tenang dan nyaman untuk
menceritakan semua peristiwa di
kerajaannya. *** Tepat setelah Raden Prayoga selesai menceritakan
semua yang terjadi di kerajaannya, Eyang Wanari juga selesai bersemadi. Laki-
laki tua itu menghampiri kedua anak muda ini. Raden Prayoga memperkenalkan
Bayu pada Eyang Wanari lebih jauh lagi. Begitu Raden Prayoga menyebutkan julukan
Bayu, Eyang Wanari ja-di berkerut keningnya.
"Ada apa, Eyang?" tanya Raden Prayoga melihat Eyang Wanari mengamati Bayu begitu
dalam. "Aku sering mendengar nama Pendekar Pulau Ne-
raka. Tidak kusangka, ternyata orangnya masih muda
dan gagah," ungkap Eyang Wanari.
"Ah! Mungkin yang Eyang dengar sangat berlebi-
han," ucap Bayu merendah.
Eyang Wanari memandangi pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka. Di situ, menempel sebuah
benda berbentuk cakra bersegi enam yang berkilat ke-


Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perakan. Bayu agak risih juga dipandangi demikian, tapi mendiamkan saja.
"Apakah itu Cakra Maut..?" tanya Eyang Wanari.
"Benar," sahut Bayu jadi heran.
"Apa hubunganmu dengan Gardika si Maut?" tanya Eyang Wanari lagi.
Bayu tersentak kaget mendengar pertanyaan dan
tidak langsung menjawab. Tatapan matanya berubah
lain, dan memancarkan sinar kecurigaan. Pendekar
Pulau Neraka memang selalu curiga setiap kali ada
orang yang mengenal gurunya. Karena, dia sendiri juga mengembara untuk mencari
orang-orang yang telah
membuat gurunya cacat dan sengsara di Pulau Neraka
yang gersang dan angker. Di samping itu, dia juga tetap berusaha mencari kabar
tentang ibunya yang ka-
tanya masih hidup dan entah ada mana.
"Dulu aku kenal seorang tokoh persilatan yang
tangguh. Dia juga menggunakan senjata seperti milik-
mu, Bayu. Julukannya si Cakra Maut," kata Eyang Wanari mengenang.
"Apakah kau bermusuhan dengannya?" tanya
Bayu. "Jalan hidupku memang berbeda jauh dengan Ca-
kra Maut. Tapi aku tidak pernah mencampuri urusan-
nya, selama dia tidak mencampuri urusanku. Jalan
hidup kami memang berbeda, tapi tetap bersahabat
dan saling menghormati. Yaaah.... Aku sendiri menye-
salkan kejadian yang menimpa dirinya. Dan hingga
sampai saat ini, aku tidak pernah lagi mendengar ka-
barnya," kembali Eyang Wanari mengenang.
Bayu terdiam. Tatapan matanya masih tetap men-
gandung kecurigaan. Hatinya belum yakin kalau
Eyang Wanari bersahabat dengan gurunya. Namun,
sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak menampak-
kan kecurigaannya terhadap laki-laki tua ini. Bahkan berharap kalau Eyang Wanari
bukan salah seorang da-ri mereka yang membuat Eyang Gardika jadi cacat
seumur hidup, dan harus menderita di Pulau Neraka.
"Eyang, bagaimana kalau kita kembali dulu ke istana...?" selak Raden Prayoga,
mencoba mengusir ke-kakuan yang terjadi.
"Itu lebih baik lagi, Raden. Hm.... Bagaimana,
Bayu" Kau bersedia ikut ke istana" Nanti kita bisa bicara banyak di sana,"
sambut Eyang Wanari.
"Bagaimana, Bayu?" desak Raden Prayoga.
Bayu tidak bisa lagi menolak, dan hanya bisa men-
gangkat bahu untuk menyetujui permintaan ini. Tanpa
banyak membuang-buang waktu lagi, mereka kemu-
dian berangkat meninggalkan tempat itu menuju Ista-
na Balungan. *** Selama dua hari Bayu tinggal di Istana Balungan,
tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi. Namun Pendekar Pulau Neraka sempat
mendapat suatu kesan
janggal dari Permaisuri Retna Nawangsih. Kesan yang
sukar dikatakan, karena perempuan setengah baya itu
seperti tidak menyukai kehadirannya di lingkungan istana ini.
Bukan hanya Bayu saja yang merasakan ketidak-
senangan Permaisuri Retna Nawangsih, tapi Eyang
Wanari yang merasakan demikian. Bahkan sikap Per-
maisuri Retna Nawangsih terhadap Eyang Wanari juga
berubah. Sempat juga Permaisuri Retna Nawangsih
menegur keras Eyang Wanari, agar tidak terlalu dekat dengan Bayu. Malah laki-
laki tua diminta untuk melarang Raden Prayoga banyak bicara dengan Pendekar
Pulau Neraka. Hal ini membuat Eyang Wanari jadi tidak mengerti. Dan dia
berpendapat, hal ini harus dibicarakan terlebih dahulu pada Bayu, sebelum bicara
pada Raden Prayoga.
Karena Bayu sendiri sudah berterus terang, dirinya
adalah murid Eyang Gardika, sahabat Eyang Wanari.
Bayu membuka rahasia setelah merasa yakin kalau
Eyang Wanari bukan orang yang telah membuat gu-
runya menderita cacat seumur hidup.
Saat senja telah menyelimuti seluruh bumi Kera-
jaan Balungan, Eyang Wanari sudah berada di depan
pintu kamar yang disediakan untuk Bayu menginap di
Istana Balungan ini. Pintu yang tertutup rapat itu di-ketuk perlahan, seakan-
akan takut ada orang lain
yang mengetahuinya.
"Siapa...?" terdengar suara dari balik pintu.
"Aku," sahut Eyang Wanari.
Pintu itu terbuka sedikit. Muncul seraut wajah
tampan dari baliknya. Begitu mengetahui siapa yang
berada di depan pintu, pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu membuka pintu lebar-lebar. Eyang Wanari
bergegas masuk, lalu menutup kembali pintu kamar
itu. Segera didekatinya jendela yang terbuka lebar, dan melongok keluar.
Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja dengan kening berkerut.
"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu heran melihat ting-kah laki-laki tua pertapa yang
demikian aneh. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak ingin ada
orang lain yang tahu aku berada di sini," sahut Eyang Wanari seraya
menghempaskan dirinya di kursi.
"Kenapa harus takut?" tanya Bayu. Dia duduk di tepi pembaringan.
"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa mem-
percayai seorang pun di dalam istana ini."
Bayu mengangkat bahunya. Bisa dimengerti, men-
gapa Eyang Wanari begitu khawatir. Laki-laki tua pertapa itu sudah mengatakan
kecurigaannya pada Pen-
dekar Pulau Neraka. Dia curiga kalau semua peristiwa yang terjadi di Kerajaan
Balungan didalangi Permaisuri Retna Nawangsih.
Bagi Bayu sendiri, kecurigaan itu memang berala-
san. Ini setelah Eyang Wanari menceritakan riwayat
Permaisuri Retna Nawangsih, hingga sampai menjadi
seorang permaisuri, mendampingi Prabu Wijaya meme-
rintah kerajaan ini.
"Ada sesuatu yang hendak kau bicarakan dengan-
ku, Eyang?" tanya Bayu setelah melihat raut wajah Eyang Wanari mulai agak
tenang. "Ya, dan penting sekali," sahut Eyang Wanari.
"Masalahnya...?"
'Terus terang, Bayu. Ini menyangkut keselamatan-
mu sendiri. Bahkan bukannya tidak mungkin, kebera-
daanmu di sini menimbulkan ketidaksenangan seseo-
rang," pelan sekali suara Eyang Wanari, seperti khawatir kalau ada orang lain
yang mendengar.
"Maksud Eyang, Gusti Permaisuri tidak menyukai
kehadiranku?" tebak Bayu langsung.
"Aku tidak mengatakan demikian, Bayu. Tapi pe-
rasaanku mengatakan begitu," kata Eyang Wanari.
"Mungkin dari situlah aku bisa memulai, Eyang.
Atau mungkin itu merupakan suatu petunjuk yang
nyata untuk mencari pembunuh Prabu Wijaya," jelas Bayu kalem.
"Bagaimana kau bisa berpendapat demikian,
Bayu?" tanya Eyang Wanari tidak mengerti.
Bayu tidak segera menjawab, dan hanya senyum
saja. Segera Pendekar Pulau Neraka bangkit dari pem-
baringan, lalu melangkah mendekati jendela. Dia berdiri memandang ke luar,
menikmati udara senja ini
dan menikmati harumnya bunga-bunga yang bermeka-
ran di bawah jendela. Sementara Eyang Wanari terus
menunggu jawaban pemuda berbaju harimau ini.
"Hal yang sangat mudah, Eyang. Kegelisahan se-
seorang, merupakan satu petunjuk berarti yang tidak
bisa diabaikan begitu saja. Rasanya sangat tidak bera-lasan bila Gusti
Permaisuri tidak menyukai kehadiran-ku. Kalau dia merasa kehilangan atas
kematian sua- minya, tentu sangat berharap dapat menemukan pem-
bunuhnya. Tapi apa yang dilakukan malah sebaliknya.
Bahkan seperti melupakan begitu saja, dan terus men-
desak Raden Prayoga naik tahta," Bayu mencoba menjelaskan pengamatannya.
"Hebat..! Sungguh aku tidak pernah berpikir sam-
pai ke sana, Bayu," puji Eyang Wanari, tulus.
"Kecurigaan Eyang Wanari yang membuatku berpi-
kir ke sana," Bayu merendah.
"Sebaiknya teruskan saja hasil pengamatan mu, Bayu," pinta Eyang Wanari. Dia
tahu kalau Pendekar Pulau Neraka tidak ingin dipuji.
"Dari pengamatanku selama dua hari ini, tidak ada seorang pun pembesar istana
yang terlibat. Dan peristiwa ini bukan bertujuan untuk meruntuhkan Kera-
jaan Balungan, tapi lebih tepat bila dikatakan sebuah balas dendam," lanjut
Bayu. "Maksudmu...?" Eyang Wanari meminta penjelasan.
Secara rinci, Bayu menjelaskan hasil pengamatan-
nya selama dua hari berada di Istana Balungan ini.
Sementara Eyang Wanari mendengarkan penuh perha-
tian. Dan mereka terus mengobrol sampai jauh malam.
Pembicaraan itu berkisar dari peristiwa yang terjadi di istana ini.
Bahkan Eyang Wanari secara gamblang membuka
semua rahasia keluarga istana. Baik tentang sebuah
kutukan yang datang dari para Dewata terhadap Prabu
Wijaya, maupun asal-usul Permaisuri Retna Nawang-
sih, dan kedua putranya. Mereka saling bertukar keterangan selama di Kerajaan
Balungan. Dan ini mem-
buat mereka menemukan suatu kesimpulan yang san-
gat mengejutkan.
*** 7 Hingga jauh malam, Eyang Wanari berada dalam
kamar Pendekar Pulau Neraka. Walaupun laki-laki tua
pertapa itu telah membeberkan riwayat Prabu Wijaya
serta Permaisuri Retna Nawangsih dan kedua anaknya,
tapi Bayu belum begitu yakin akan hal ini. Masih sulit dipercaya kalau Prabu
Wijaya melakukan persekutuan
dengan iblis, hanya untuk menutupi rasa malu karena
tidak mendapatkan keturunan.
Setelah kokok ayam jantan terdengar, Eyang Wa-
nari baru keluar dari kamar itu. Bayu mengantarkan-
nya sampai di depan pintu. Laki-laki tua pertapa itu sempat memberi pesan agar
Pendekar Pulau Neraka
berhati-hati. Dan Bayu menanggapinya dengan se-
nyuman saja. Eyang Wanari melangkah menuju ka-
marnya sendiri. Namun begitu sampai di depan pintu
kamarnya, dia tidak jadi membuka pintu.
"Aku ingin berjalan-jalan sebentar," desah Eyang Wanari.
Kembali kakinya melangkah, tidak jadi masuk ke
dalam kamar yang disediakan untuk istirahatnya. La-
ki-laki tua pertapa itu melangkah ke bagian belakang bangunan istana. Dia terus
berjalan sambil menikmati udara segar di pagi buta ini. Suara kokok ayam jantan
semakin ramai terdengar, ditambah kicauan burung
yang merdu, menyambut datangnya pagi.
"Hhh...! Kejadian ini membuatku selalu merasa te-gang. Udara bersih, kicauan
burung, membuat jernih
pikiranku," kembali Eyang Wanari bergumam, bicara sendiri.
"Akan lebih jernih lagi bila ditemani, Eyang Wanari...."
"Heh..."!" Eyang Wanari terperanjat ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari
belakang. Begitu tubuhnya diputar berbalik, mendadak se-
buah bayangan hitam berkelebat menerjangnya. Eyang
Wanari semakin terkejut, dan tidak sempat lagi bertin-
dak menghindar. Hingga....
Begkh! "Akh...!" Eyang Wanari terpekik.
Tubuh laki-laki tua berjubah putih itu terpental de-
ras kebelakang. Seketika punggungnya menghantam
sebongkah batu sebesar perut kerbau. Namun dia ce-
pat melompat bangkit berdiri. Kepalanya digeleng-
gelengkan untuk mengusir rasa pening yang tiba-tiba
saja menyerang kepala. Ditambah lagi, dadanya jadi
terasa sesak, sukar untuk bernapas.
Pada saat itu, kembali terlihat satu bayangan hi-
tam berkelebat cepat menyambarnya. Eyang Wanari
bergegas menjatuhkan tubuh ke tanah, lalu bergulin-
gan beberapa kali untuk menghindari terjangan
bayangan hitam itu. Kemudian dia cepat melompat
bangkit berdiri, sebelum bayangan hitam itu menye-
rang kembali. "Hap!"
Eyang Wanari segera bersikap menyambut seran-
gan lawan. Namun orang berbaju hitam itu malah ber-
diri saja di atas sebatang dahan pohon yang cukup
tinggi. Dia berdiri membelakangi laki-laki tua pertapa itu, seakan-akan tidak
ingin wajahnya dikenali.
"Kau sudah diperingatkan, Eyang Wanari. Tapi kau terlalu keras kepala. Terpaksa
aku harus membunuh-mu!" terdengar dingin suara orang itu.
Dari nada suaranya, Eyang Wanari sudah menge-
tahui kalau orang itu adalah wanita. Dan sebelum bisa memastikan siapa yang
berdiri di atas dahan pohon,
mendadak saja orang berbaju hitam itu sudah melen-
tingkan tubuhnya. Dia berputaran di udara, lalu meluruk deras ke arah laki-laki
tua pertapa itu.
"Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Tubuh Eyang Wanari cepat melenting ke udara.
Dan secara bersamaan, mereka menghentakkan kedua
tangannya ke depan dengan jari-jari tangan terbuka
lebar. Tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan bera-du keras di udara, hingga
menimbulkan ledakan keras
menggelegar. Glarrr...! Mereka sama-sama terpental balik ke belakang, la-
lu berputaran di udara sebelum mendarat kembali di
tanah. Eyang Wanari agak terhuyung ke belakang.
Sedangkan wanita berbaju hitam itu mendarat ma-
nis di tanah. Dan dengan kecepatan tinggi, tubuhnya kembali melompat menerjang
laki-laki tua pertapa itu.
"Hiyaaat..!"
Bet! Mendadak saja wanita berbaju hitam itu mencabut
sebilah pedang dari balik lipatan baju, dan secepat itu pula dikibaskan ke arah
leher Eyang Wanari. Namun
laki-laki tua pertapa itu cepat bertindak, dengan menarik kepala ke belakang.
Maka tebasan pedang kepe-
rakan yang tipis dan pendek itu hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya.
"Hup!"
Cepat Eyang Wanari melentingkan tubuh ke bela-
kang, lalu berputaran dua kali sebelum mendarat


Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali di tanah. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, orang berbaju serba hitam
itu sudah kembali menyerang. Bahkan kini di kedua tangannya tergenggam se-
pasang pedang yang tipis, sepanjang tiga jengkal.
Serangan-serangan yang dilakukan orang itu cepat
luar biasa, membuat Eyang Wanari agak kewalahan
menghadapinya. Namun berkat pengalamannya berta-
rung dalam rimba persilatan, ditambah lagi tingkat kepandaiannya yang tinggi,
laki-laki tua itu masih mam-
pu meredam setiap serangan yang datang mengancam
nyawanya. Hingga suatu ketika, Eyang Wanari melentingkan
tubuh ke udara, tepat saat sebuah pedang berkelebat
mengarah ke kaki. Bagaikan kilat, tangan laki-laki tua itu bergerak cepat
menjambret kain yang menutupi
kepala orang itu.
Bret! "Auw...!" orang berbaju hitam itu terpekik kaget.
Cepat tubuhnya berjumpalitan ke belakang tiga kali.
Penutup kepalanya telah terenggut, dan kini berada di tangan Eyang Wanari. Kini
wajah orang itu dapat jelas terlihat. Eyang Wanari terperanjat begitu dapat
melihat muka orang itu.
"Heh...! Kau...?"
Belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak saja
wanita berbaju hitam itu sudah melontarkan satu pe-
dangnya cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang tengah terpana, tidak dapat lagi
berkelit. Dan....
Bles! "Aaakh...!"
Pedang itu menancap tepat di dada yang kurus ke-
rempeng tertutup jubah putih panjang. Eyang Wanari
menjerit melengking tinggi. Begitu dalamnya pedang
itu menembus dada Eyang Wanari, hingga ujungnya
mencuat sampai ke punggung.
Dan sebelum Eyang Wanari menyadari apa yang
terjadi, wanita berbaju hitam itu sudah melompat ce-
pat bagaikan kilat disertai teriakan keras menggetarkan jantung.
"Hiyaaat...!"
Bet! Cras! Darah langsung muncrat keluar begitu satu pedang
lagi dibabatkan ke leher laki-laki tua pertapa itu.
Eyang Wanari tidak dapat bersuara lagi. Hanya seben-
tar dia mampu berdiri tegak. Dan begitu wanita berba-ju hitam itu mencabut
pedang yang tertanam dalam di
dadanya, tubuh Eyang Wanari ambruk ke tanah. Ke-
palanya terpisah dari leher. Darah seketika menyem-
bur deras sekali dari leher yang terpenggal buntung.
"Kau tidak akan mati kalau menuruti kata-kataku, Eyang Wanari," desis wanita itu
dingin. Dibersihkannya darah yang melekat pada pedang,
kemudian disimpannya kembali di balik lipatan baju.
Kepalanya langsung terdongak begitu mendengar lang-
kah-langkah kaki yang berlarian cepat menuju ke
arahnya. Tampak sekitar dua puluh prajurit berlarian mengikuti Raden Prayoga
menuju ke tempat ini.
"Hup!"
Wanita berbaju hitam itu cepat melentingkan tu-
buh, meninggalkan mayat Eyang Wanari yang terbujur
tak bernyawa dengan kepala terpisah dari leher. Ber-
samaan dengan lenyapnya bayangan tubuh hitam itu,
Raden Prayoga dan prajurit-prajurit yang mengikuti ti-ba. Mereka terkejut begitu
melihat tubuh Eyang Wana-
ri terbujur kaku tak berkepala lagi.
"Eyang...!" pekik Raden Prayoga terkesiap.
*** Sementara itu, jauh di sebelah Timur Istana Ba-
lungan, seseorang berpakaian serba hitam berlari
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi
tingkatannya. Begitu cepatnya berlari, seaakan kedua kakinya tidak menjejak
tanah sama sekali.
Dia terus berlari cepat, menerobos hutan yang ada
di sebelah Timur perbatasan kota kerajaan ini. Sedikit
pun kecepatan larinya tidak dikurangi, meskipun su-
dah berada di dalam hutan yang cukup lebat dan ge-
lap. Pagi ini matahari memang belum menampakkan
diri, meskipun kokok ayam jantan dan kicauan burung
sudah sejak tadi memanggilnya.
Setelah cukup jauh masuk ke dalam hutan, ayu-
nan kakinya berhenti. Sebentar kepalanya menoleh ke
belakang, seakan-akan takut kalau ada yang membun-
tuti. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling.
Kakinya kembali terayun beberapa tindak, mendekati
semak belukar. Tangannya menyibakkan semak itu.
Tampak sebuah mulut gua yang cukup besar berada di
balik semak belukar kering. Bergegas dimasukinya gua itu. "Siapa itu...?"
terdengar suara dari dalam gua.
"Aku," sahut orang berbaju serba hitam itu.
Gua ini tidak terlalu panjang, tapi cukup besar.
Seonggok api unggun terlihat menyala di bagian ten-
gah, membuat gua ini terasa hangat dan terang. Tam-
pak di salah satu sudut, duduk seorang wanita yang
juga mengenakan pakaian hitam. Seluruh kulit tan-
gan, kaki, dan wajahnya mengelupas, seperti bekas
terkena api. Juga terdapat benjolan-benjolan seperti bisul di wajahnya. Dan di
sudut lain, tampak seorang gadis tengah berbaring dengan tangan terikat meren-
tang. Di samping gadis itu berdiri seorang pemuda
berwajah cukup tampan. Bajunya indah dari bahan
sutra halus berwarna biru muda.
"Ibu...," ucap pemuda itu seraya bergegas menghampiri orang berbaju hitam yang
baru saja datang.
"Bagaimana dia?" tanya wanita berbaju serba hitam itu seraya. melirik gadis yang
terbaring dengan tangan terikat.
"Tadi menjerit-jerit. Terpaksa dia kuberi totokan,"
sahut pemuda itu.
"Dan kau, Anjar?" wanita berbaju hitam itu memandang gadis berwajah buruk.
"Tidak ada masalah. Hanya saja mungkin wajahku
tetap begini," sahut wanita itu yang ternyata adalah Nini Anjar.
"Maaf, kau harus menanggung semuanya."
"Ah! Jangan berkata seperti itu, Gusti Permaisuri.
Semua ini aku lakukan demi membalas budi Gusti
Permaisuri yang begitu besar. Gusti telah menyela-
matkan ayahku dari hukuman gantung, menjadi hu-
kuman buang"
"Tapi aku belum bisa mendapat kabar tentang
ayahmu yang menjalankan hukuman buang."
"Tidak mengapa, Gusti. Aku sudah tidak memikir-
kannya lagi."
Wanita berbaju serba hitam yang ternyata memang
Permaisuri Retna Nawangsih, kembali mengalihkan
pandangan pada pemuda tampan di depannya. Pemu-
da ini tadi memanggil dirinya dengan sebutan ibu.
Sebenarnya, Nini Anjar memang orang suruhan
Permaisuri Retna Nawangsih. Untuk melaksanakan
niat permaisuri itu, wanita berwajah buruk itu diha-
ruskan menyebarkan kutukan kepada seluruh rakyat.
Itulah sebabnya, dia dihukum bakar oleh Prabu Wi-
jaya. Namun, di luar dugaan Nini Anjar bisa bebas, walaupun juga menderita luka
bakar. "Sebentar lagi kau akan jadi raja, Widura. Wajah-mu mirip sekali dengan Prayoga.
Dan dengan sedikit
perubahan saja, tidak ada seorang pun yang bisa
membedakan antara kau dan Prayoga," ujar Permaisuri Retna Nawangsih.
Pemuda yang dipanggil Widura itu hanya terse-
nyum saja. Dia memang mirip sekali dengan Raden
Prayoga. Hanya sedikit saja perbedaannya. Kalau Ra-
den Prayoga memiliki kumis tipis di atas bibirnya, Widura sama sekali tidak
mempunyai. Dan kalau dia
memiliki kumis, tidak ada seorang pun yang bisa
membedakan antara pemuda ini dengan Prayoga.
"Kapan aku akan menduduki tahta, Bu?" tanya Widura.
"Sehari setelah penobatan Prayoga, kau akan
menggantikannya. Dan untuk selamanya kau akan
menjadi raja di Balungan."
"Tapi, bukankah Prayoga juga anak Ibu..."'
"Kenapa kau selalu menanyakan hal itu, Widura"
Prayoga bukanlah anakku. Waktu aku mengandung
dirimu, ada seorang selir yang juga mengandung. Dan
kami melahirkan dalam waktu berselisih satu hari sa-
ja. Mungkin karena kehendak Yang Maha Kuasa, wa-
jahmu begitu mirip Prayoga, Anakku."
'Tapi, kenapa Ibu harus melakukan semua ini" Ju-
ga kenapa aku diasingkan. Bahkan Ibu mengangkat
Prayoga sebagai anak?" kembali Widura meminta penjelasan.
"Karena kau juga bukan putra Prabu Wijaya,
Anakku. Seperti juga Prayoga yang lahir dari selir. Dia juga bukan putra Prabu
Wijaya. Kau tahu, Anakku.
Prabu Wijaya tidak akan mendapatkan keturunan. Dia
mendapat kutukan dari Dewata, karena telah membu-
nuh anak seekor ular jelmaan Dewa. Seumur hidup,
dia tidak akan memiliki keturunan. Itulah sebabnya,
kenapa aku mau melakukan penyelewengan hingga
kau lahir."
'Tapi, bukankah Ayahanda Prabu Wijaya tahu?"
"Memang benar. Dan aku terbebas dari hukuman
setelah berjanji tidak akan berbuat lagi. Maka aku terpaksa membunuh ayah
kandungmu yang sebenarnya.
Dia adalah salah seorang pembesar istana. Hal ini ku-lakukan demi kau. Agar kau
bisa menjadi Raja Balun-
gan. Sebab untuk menghindari hal-hal yang tak diin-
ginkan, Prabu Wijaya menunjuk Prayoga menjadi putra
mahkota. Di lain hal, Prabu Wijaya memang sudah ti-
dak kuat lagi menanggung malu karena tidak memiliki
keturunan. Bahkan dia juga tidak melakukan tugas-
nya sebagai seorang suami. Itu pula sebabnya, kenapa selir-selirnya selalu
melakukan penyelewengan. Tapi mereka yang merasa hamil, langsung bunuh diri
sebelum dihukum mati Prabu Wijaya. Hanya satu yang bisa
hidup. Dan itu karena aku memintanya agar membiar-
kan selir itu melahirkan Prayoga. Meskipun nantinya aku harus mengasingkan mu.
Karena anak selir itu,
harus menggantikan mu sebagai anakku."
"Lalu, gadis itu...?"
"Empat tahun setelah kau dan Prayoga lahir, ada lagi seorang selir yang hamil.
Aku meminta pada Prabu Wijaya untuk mengasingkan saja selir itu. Kemudian
aku berpura-pura mengandung hingga selir itu mela-
hirkan" "Untuk apa Ibu melakukan hal itu?"
"Karena banyak orang yang tidak percaya kalau
Prabu Wijaya bisa memiliki keturunan. Apalagi semua
pembesar kerajaan tahu, kalau Prabu Wijaya tidak
mungkin memiliki keturunan karena dikutuk Dewata.
Dengan cara begini, keraguan semua orang jadi terha-
pus. Sebagai ungkapan rasa terima kasih Prabu Wijaya padaku, dia memperbolehkan
aku merawat dan mengangkat Prayoga serta Dian Lestari sebagai anak. Tan-pa
seorang pun yang mengetahuinya, kecuali Eyang
Wanari. Tapi dia sudah bersumpah untuk tidak mem-
bocorkan rahasia ini pada siapa pun juga. Dan jika rahasia ini diceritakan pada
orang lain, maka dia dan
orang itu harus mati."
"Tapi dia telah menceritakan semuanya pada Pen-
dekar Pulau Neraka, Gusti Permaisuri," selak Nini Anjar. "Hm, dari mana kau
tahu?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.
"Maaf, Gusti Permaisuri. Dalam beberapa hari ini aku sudah bisa ke luar. Dan aku
juga pernah bertemu
pemuda itu. Bahkan sempat bertarung melawan Eyang
Wanari." "Kenapa kau lakukan itu, Anjar?"
"Aku merasa harus membantumu, Gusti. Karena
kudengar mereka mulai mencurigaimu. Terutama se-
kali Eyang Wanari. Maafkan aku, Gusti. Semua ini ku-
lakukan demi membalas kebaikanmu. Aku banyak
berhutang budi padamu. Bukan saja kau menyela-
matkan ayahku dari hukuman mati. Tapi juga mera-
wat dan membesarkan ku, setelah Prabu Wijaya mem-
bunuh ibuku dan menghanyutkannya ke sungai. Aku
pun rela menanggung derita setelah menyebarkan ku-
tukan itu pada rakyat"
"Ah! Sudahlah. Kau tidak perlu mengingat-ingat itu lagi. Biarkan Nyai Legok,
ibumu itu tenang. Dan setelah ini, jika kau mau, kau bisa mencari ayahmu."
'Terima kasih, Gusti. Rasanya aku tidak ingin lagi
bertemu ayahku."
"Kenapa" Karena sekarang wajahmu rusak?"
Nini Anjar tidak menjawab, dan hanya diam saja.
Memang setelah Prabu Wijaya menjatuhi hukuman
bakar padanya, dia merasa tidak ada gunanya lagi bertemu ayahnya kembali, yang
kini berada di mana. Apa-
lagi tubuhnya sempat terjilat api. Untung saja Permaisuri Retna Nawangsih cepat
menyelamatkannya, tanpa
sepengetahuan siapa pun.
"Jika kau ingin memulihkan wajahmu kembali, aku kenal seorang tabib yang bisa
mengembalikan kecanti-kanmu, Anjar," jelas Permaisuri Retna Nawangsih, bisa
merasakan apa yang kini tengah dirasakan gadis itu.
"Seperti aku. Wajahku bisa berubah menjadi apa saja.
Bahkan aku sempat mengecoh orang-orang istana
dengan menyamar sebagai Nyai Legok. Dengan begitu,
mereka akan mengira kalau ibumu masih hidup. Jadi,
tidak ada yang memusatkan perhatian padamu, atau
padaku." "Terima kasih, Gusti Permaisuri," ucap Nini Anjar.
"Nah! Apa kau masih juga merasa tidak pantas
mencari ayahmu?"
Nini Anjar hanya diam saja. Baginya, tidak mung-
kin bisa memulihkan keadaan wajah dan kulit tubuh-
nya yang telah rusak begini, akibat terbakar.
"Pergilah ke Gunung Parungu. Temui Nyai Kempa-
la, seorang ahli obat-obatan. Aku pernah belajar beberapa ilmu pengobatan
padanya. Aku yakin, kau akan
diterima baik dan bisa kembali seperti semula. Kata-
kan saja kalau kau adalah muridku. Dan dia pasti ta-
hu," kata Permaisuri Retna Nawangsih memberi tahu.
"Aku akan ke sana setelah Adi Widura naik tahta, Gusti," sahut Nini Anjar.


Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, Nini Anjar. Kau baik sekali," ucap Widura.
Nini Anjar hanya tersenyum saja.
"Sudah pagi. Kalian pasti belum tidur semalaman,'
tidurlah. Aku akan kembali ke istana. Aku tidak ingin ada yang tahu, kalau aku
keluar dari kamar."
"Hati-hati, Ibu."
"Jaga Dian baik-baik. Jangan sampai dia terluka.
Aku tidak ingin dia jadi korban. Cukup sampai di situ saja pengorbanannya.
Hm.... Maafkan aku, Dian. Ter-
paksa aku harus mencari seseorang yang bisa kujadi-
kan boneka hidup," kata Permaisuri Retna Nawangsih.
"Akan kuperhatikan pesan Ibu," sahut Widura.
Permaisuri Retna Nawangsih tersenyum, kemudian
memutar tubuhnya. Dia langsung cepat melesat pergi.
Widura juga bergegas mengikuti, dan merapikan se-
mak yang menutupi mulut gua ini. Dia segera kembali, lalu melirik Nini Anjar
yang sudah membaringkan tubuhnya, di atas selembar permadani cukup tebal.
"Bangunkan aku tengah hari nanti, Widura," Nini Anjar berpesan.
"Kau akan keluar lagi?" tanya Widura.
"Aku penasaran pada pemuda itu."
'Pendekar Pulau Neraka...?"
"Benar. Aku ingin tahu, sejauh mana hubungannya dengan Raden Prayoga."
"Mungkin juga hanya teman biasa saja."
'Aku merasa kalau dia bukan hanya sekadar te-
man. Tampaknya dia telah tahu banyak, dan memba-
hayakan kita semua."
"Jangan menduga terlalu jauh, Kak Anjar."
"Aku hampir saja mati olehnya di hutan ini. Un-
tung saja kau cepat menolongku, Widura. Aku yakin
dia sudah tahu banyak. Aku akan menghentikan sega-
la pekerjaannya."
"Apa tidak sebaiknya dibicarakan dulu pada ibu"
Widura memberikan saran.
"Ibumu tidak akan mengizinkan. Biar semua in ku tangani sendiri," Nini Anjar
menolak. 'Terserah kau sajalah, asal hati-hati. Tampaknya
dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu.
Aku sendiri mungkin tidak akan mampu menghada-
pinya, meskipun ilmu meringankan tubuhku hampir
setara dengan ibu."
'Terima kasih. Kau tidak perlu khawatir tentang
aku, Widura," ucap Nini Anjar.
"Selama ini hanya kau yang kukenal. Tidak ada salahnya jika aku mencemaskan mu,
Kak." Nini Anjar hanya tersenyum saja. Ada sedikit keha-
ruan di hatinya mendengar kata-kata pemuda ini. Dia
menilai kalau sebenarnya Widura tidaklah seburuk
yang disangka orang. Dan pemuda ini pernah menge-
mukakan isi hatinya, kalau sebenarnya tidak menyetu-
jui tindakan ibunya. Tapi demi bakti terhadap orang
tua, dia tidak bisa menolak dan tetap akan membela
ibunya. Apa pun yang akan terjadi nanti.
"Tidur saja, Kak. Semalam aku sempat tidur." Tapi Nini Anjar memang sudah tidur.
Dengkurnya begitu
halus dan lembut sekali. Dia pasti lelah, karena semalaman tidak memejamkan mata
sedikit pun. Sedang-
kan Widura hanya duduk saja di dekat api unggun.
Beberapa kali matanya melirik Dian Lestari yang tam-
pak tertidur lelap.
"Kau cantik sekali, Dian. Sayang, Ibu tidak mengizinkan aku terlalu dekat
denganmu," desah Widura.
*** 8 Permaisuri Retna Nawangsih terkejut ketika mem-
buka pintu kamarnya. Ternyata di dalam kamar sudah
berkumpul Raden Prayoga, Pendeta Suratmaja, Patih
Laksana, Panglima Pangkar dan Pendekar Pulau Nera-
ka, serta sepuluh orang prajurit. Juga ada beberapa
pembesar lainnya.
Sementara buat Panglima Pangkar sendiri, sudah
bisa menghapus kecurigaan Pendeta Suratmaja yang
menyangka dirinya menyimpan rahasia dalam kemelut
ini. Ini dibuktikan di hadapan Raden Prayoga dan Pendekar Pulau Neraka.
Pembuktian itu berupa sumpah setia dengan an-
caman hukuman bakar. Dan pada kenyataannya, Pan-
glima Pangkar selalu bersama-sama dengan Raden
Prayoga. Jadi, tak ada alasan bagi Pendeta Suratmaja mencurigai Panglima
Pangkar. Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih lebih
terkejut lagi, karena di belakangnya kini sudah berdiri berjajar sekitar lima
puluh orang prajurit bersenjata tombak dan pedang terhunus.
"Prayoga! Ada apa ini" Kenapa mereka berkumpul semua di sini?" tanya Permaisuri
Retna Nawangsih.
"Maaf, Bu. Aku terpaksa menangkapmu," jelas Raden Prayoga perlahan. Nada
suaranya agak tertahan,
dan matanya sedikit merembang berkaca-kaca.
"Menangkapku..." Kau jangan gila, Anakku. Aku ini ibumu. Kenapa kau ingin
menangkapku...?" agak keras suara Permaisuri Retna Nawangsih.
"Kenapa Ibu masih menyebutku anak?" Raden
Prayoga balik bertanya.
"Prayoga...!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih, langsung memerah wajahnya.
"Dari mana Ibu sepagi ini?" tanya Raden Prayoga lagi. "Untuk apa kau bertanya
seperti itu?" sentak Permaisuri Retna Nawangsih, balik bertanya.
Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam
kamarnya. Dia mulai merasa kalau segala apa yang te-
lah dilakukannya, pasti sudah terbongkar. Tatapan
matanya langsung tertuju pada Pendekar Pulau Nera-
ka yang berdiri di samping Raden Prayoga. Sorot mata
penuh kebencian tersirat jelas saat menatap pemuda
berbaju kulit harimau itu. Permaisuri Retna Nawang-
sih yakin kalau Pendekar Pulau Nerakalah yang telah
membongkar semua kepalsuan dan keinginannya un-
tuk menguasai Kerajaan Balungan secara penuh.
"Keluar kalian semua!" bentak Permaisuri Retna Nawangsih.
Namun tidak ada seorang pun yang beranjak. Per-
maisuri Retna Nawangsih mulai mengepalkan tangan-
nya. Disadari kalau tidak mungkin lagi bisa berdalih.
Dan pasti mereka semua telah menunggunya kembali
dari hutan. "Mereka pasti sudah tahu kalau aku yang membu-
nuh Eyang Wanari," gumam Permaisuri Retna Na-
wangsih dalam hati. "Ini pasti perbuatan anak muda keparat itu...!"
Kembali Permaisuri Retna Nawangsih menatap ta-
jam Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan yang ditatap,
membalas tidak kalah tajam.
"Kenapa ini harus terjadi, Bu" Apakah Ibu tidak sadar, kalau niat buruk pasti
akan ketahuan juga...?"
terdengar jelas kalau suara Raden Prayoga semakin
tersendat. "Membalas kematian adikku!" sahut Permaisuri Retna Nawangsih tegas.
Dia merasa tidak ada gunanya lagi menutup-
nutupi. Dan ini memang sudah diperkirakan sejak se-
mula. Tapi sama sekali tidak disangka kalau akan terbongkar begitu cepat,
sebelum maksud utamanya
menguasai seluruh wilayah Kerajaan Balungan terlak-
sana. Di samping itu, dia ingin menempatkan putranya sebagai raja di kerajaan
ini. "Prabu Wijaya telah membunuh adikku yang ber-
nama Nyai Legok. Dan aku sudah bersumpah untuk,
membalas dendam. Nah! Kau sudah puas, Prayoga...?"
tetap lantang suara Permaisuri Retna Nawangsih.
Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut
mendengar pengakuan Permaisuri Retna Nawangsih.
Mereka tidak menyangka sama sekali kalau wanita ini
adalah kakak Nyai Legok, seorang penari yang diang-
kat selir oleh Prabu Wijaya. Tapi Nyai Legok melaku-
kan penyelewengan, sehingga Prabu Wijaya sendiri
yang memberikan hukuman mati. Lalu, panglimanya
diperintahkan membuangnya ke sungai. Selama itu
memang tidak ada yang tahu tentang asal-usul Nyai
Legok. Bahkan tidak ada yang tahu kalau penari yang
diangkat selir itu sudah mempunyai anak, yaitu Nini
Anjar. "Maaf, Bu. Aku harus menangkapmu. Dan sebaik-
nya ibu jangan melakukan perlawanan, agar huku-
mannya lebih ringan," kata Raden Prayoga, dengan perasaan berat.
"Ha ha ha...! Tidak semudah itu menangkapku,
Prayoga!" Selesai berkata demikian, Permaisuri Retna Na-
wangsih seketika bergerak cepat. Tubuhnya diputar
sambil mencabut pedang kembarnya yang tersembunyi
di balik lipatan baju. Wanita separuh baya ini sudah berganti baju, tidak lagi
mengenakan pakaian hitam-nya. "Hiya! Hiyaaa...!"
Begitu cepat gerakan yang dilakukan Permaisuri
Retna Nawangsih, sehingga tidak ada seorang pun
yang sempat menyadari. Dan tahu-tahu terdengar jeri-
tan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul am-
bruknya beberapa prajurit di belakang perempuan se-
paruh baya itu. Dan sebelum ada yang sempat berbuat
sesuatu, perempuan separuh baya itu sudah melompat
cepat keluar dari kamar ini.
Hihaaa....'"
Brak! Jendela kamar seketika hancur berantakan diter-
jang Permaisuri Retna Nawangsih. Di saat tubuh pe-
rempuan separuh baya itu melesat dengan menerobos
jendela, saat itu juga Bayu melesat cepat mengejar,
Gerakan Pendekar Pulau Neraka demikian cepat se-
hingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
"Kenapa kalian diam saja..." Kejar...!" teriak Panglima Pangkar, yang lebih
dahulu tersadar yang lain-
nya. Mereka semua tersentak kaget mendengar benta-
kan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka
langsung berlompatan menerobos jendela yang sudah
hancur untuk mengejar Permaisuri Retna Nawangsih.
"Bayu.... Heh! Di mana Bayu..." Kalian melihat-
nya...?" Raden Prayoga tersentak bangun dari keterpa-naannya, sehingga langsung
menanyakan Pendekar
Pulau Neraka. Lima orang prajurit dan seorang panglima yang
masih tinggal menemani, tidak ada yang menjawab.
Mereka juga baru tersadar, kalau Pendekar Pulau Ne-
raka tidak ada lagi di ruangan besar dan megah ini.
"Ke mana yang lainnya...?" tanya Raden Prayoga lagi. Dia seperti orang
kebingungan saja.
"Mengejar Gusti Permaisuri, Raden. Dan kami harus menjaga keselamatan Raden di
sini," sahut panglima yang sudah berusia sekitar empat puluh tahun
lebih. "Ke mana perginya?"
"Ke arah Timur."
Raden Prayoga tidak bertanya lagi. Sejenak dita-
tapnya jendela yang jebol berantakan. Tanpa berkata
apa pun lagi, pemuda yang senang mengenakan baju
warna putih itu melesat cepat menerobos jendela ka-
mar ini. Lima orang prajurit dan seorang panglima
yang berada di dalam kamar ini bergegas berlompatan
mengikuti Raden Prayoga. Sebentar saja, kamar itu
sudah sepi. Tak terlihat seorang pun, selain dua orang prajurit penjaga pintu
kamar ini. *** Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih sudah
jauh meninggalkan Istana Balungan. Dia terus menuju
ke arah Timur wilayah Kerajaan Balungan ini. Bebera-
pa kali kepalanya menoleh ke belakang. Tampak bebe-
rapa orang berlari cepat mengejarnya. Jarak mereka
memang terlalu jauh.
"Hiyaaa.,.!"
Permaisuri itu melompat indah begitu sampai di
hutan tempat persembunyiannya selama ini. Tubuh-
nya langsung lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Wa-
nita separuh baya itu berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Dia sengaja
tidak berlari untuk menghi-langkan jejak dari para pengejarnya.
"Hup....'"
Permaisuri Retna Nawangsih meluruk turun sam-
pai di sebuah tempat yang penuh semak kering. Tem-
pat ini agak sedikit lapang, dan pepohonan juga tidak begitu rapat. Sebentar
kepalanya menoleh ke kenan
dan ke kiri, lalu kakinya terayun menuju sebuah ge-
rumbul semak kering tepat di depannya. Ayunan ka-
kinya begitu cepat, dan tampak kalau amat tergesa-
gesa sekali. Srek! "Cukup nyaman juga tempat ini...."
"Heh..."!"
Permaisuri Retna Nawangsih terkejut bukan main
begitu menyibakkan semak, terdengar suara dari arah
belakangnya. Cepat tubuhnya berputar. Kedua bola
matanya semakin terbeliak begitu melihat Pendekar
Pulau Neraka tahu-tahu sudah berada di tempat ini.
Bisa saja tadi pagi aku menangkapmu. Tapi aku ingin
pihak kerajaan sendiri yang menangkapmu, Permaisuri
Retna Nawangsih," kata Bayu, terdengar sinis nada suaranya.
"Phuih! Kau pikir begitu mudah menangkapku
Pendekar Pulau Neraka...?" desis Permaisuri Retna Nawangsih geram.
"Semudah membalikkan telapak tangan."
"Setan..! Hiyaaa...!"
Permaisuri Retna Nawangsih tidak bisa lagi men-
gendalikan kemarahannya. Kini benar-benar jelas.
Ternyata Pendekar Pulau Neraka menguntitnya tadi
pagi hingga sampai ke tempat ini. Dan sekarang pe-
muda berbaju kulit harimau itu sudah menunggu di
sini. Hal itu membuat kemarahannya semakin bertam-
bah. Langsung diserangnya Pendekar Pulau Neraka itu
dengan jurus-jurus pedang yang ampuh, dan dahsyat
luar biasa. "Hup! Yeaaah...!"
Kali ini Permaisuri Retna Nawangsih benar-benar
tidak lagi memberi kesempatan bagi Bayu. Pendekar
Pulau Neraka itu terus dicecarnya, tanpa memberi se-
dikit pun kesempatan untuk mengambil napas. Sepa-


Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang pedang tipis kecil di tangan perempuan separuh baya itu berkelebatan cepat.
Begitu cepatnya, sehingga hanya kilatan sinar keperakan saja yang terlihat
mengurung tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan itu berjalan semakin sengit, karena
Permaisuri Retna Nawangsih langsung mengerahkan
jurus-jurus mautnya. Akibatnya Pendekar Pulau Nera-
ka agak kewalahan menghadapinya. Beberapa kali pe-
dang lawan hampir bersarang di tubuhnya, namun
pemuda berbaju kulit harimau itu masih mampu men-
gelakkannya. Bahkan mampu pula memberi serangan
balasan yang tidak kalah dahsyat.
Dan beberapa kali pula Bayu terpaksa menangkis
tebasan pedang itu dengan Cakra Maut yang berada di
pergelangan tangan kanannya. Setiap kali senjata beradu keras, selalu
menimbulkan percikan bunga api
disertai ledakan keras menggelegar, dentingan dua lo-gam beradu.
Suara ribut pertarungan itu membuat Widura dan
Nini Anjar yang berada di dalam gua yang tertutup semak belukar keluar dari
persembunyiannya. Mereka
terkejut bukan main melihat Permaisuri Retna Na-
wangsih tengah bertarung. Dan pada saat itu, Permai-
suri Retna Nawangsih mulai kewalahan menerima se-
rangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau
Neraka. "Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring melengking
tinggi. Dan seketika itu juga, tubuhnya meliuk ke kanan. Lalu dengan tubuh agak
berputar sedikit, Pende-
kar Pulau Neraka memberi satu pukulan disertai pen-
gerahan tenaga dalam penuh. Serangan yang dilaku-
kan Bayu begitu cepat bagaikan kilat. Sehingga, Per-
maisuri Retna Nawangsih tidak dapat lagi menghindar, karena baru saja
menghindari satu tendangan pancin-gan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.
Des! "Akh...!" Permaisuri Retna Nawangsih terpekik keras agak tertahan.
Pukulan yang dilepaskan Bayu tepat menghantam
dada perempuan separuh baya itu, hingga terlempar
sejauh tiga batang tombak ke belakang.
"Ibu...!" seru Widura terperanjat.
Sebentar pemuda itu memandang Permaisuri Retna
Nawangsih, lalu mendesis menatap Pendekar Pulau
Neraka. "Keparat! Kau sakiti ibuku...! Hiyaaat..!"
"Widura, jangan...!" teriak Permaisuri Retna Nawangsih.
Namun Widura sudah keburu melompat menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya langsung dicabut,
dan ditebaskan ke arah leher Bayu. Namun manis se-
kali Pendekar Pulau Neraka menarik kepala ke bela-
kang, sehingga tebasan pedang Widura hanya lewat
sedikit di depan tenggorokannya.
Sebelum Widura bisa menarik pulang pedangnya,
Bayu sudah memberi satu sodokan keras ke arah pe-
rut. Widura terperanjat. Sungguh tidak disangka kalau Bayu bisa melakukan
serangan cepat di saat tengah
menghindari satu serangan.
Begkh! "Hegk...!" Widura mengeluh pendek.
Sodokan tangan kiri Bayu tepat mendarat di perut
Widura, sehingga membuat pemuda itu terbungkuk.
Dan pada saat itu, Bayu cepat melontarkan satu puku-
lan keras ke wajah pemuda itu. Tak pelak lagi, Widura meraung keras begitu
pukulan yang dilepaskan Bayu
menghantam wajahnya.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung
memberikannya satu tendangan keras menggeledek ke
tubuh Widura. Akibatnya pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahunan itu deras sekali terpental jauh be-
lakang, diiringi jeritan panjang melengking tinggi.
"Hiyaaat..!"
Belum lagi bisa menarik napas lega, Nini Anjar su-
dah melompat menyerang cepat bagai kilat. Pada saat
yang sama, Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah
bisa bangkit juga kembali menerjang Pendekar Pulau
Neraka. Kali ini Bayu harus menghadapi dua serangan
sekaligus. Namun dua orang wanita itu memiliki ke-
pandaian yang tidak bisa dianggap enteng. Hal ini terbukti dari serangan-
serangan yang datang, sehingga
membuat Bayu benar-benar kewalahan dibuatnya.
Pada saat Bayu benar-benar kewalahan, datang
para panglima, patih, dan prajurit Balungan yang tadi mengejar Permaisuri Retna
Nawangsih. Kedatangan
mereka membuat kedua wanita yang tengah menye-
rang itu menjadi terkejut. Bahkan kini serangan-
serangan mereka tidak terkendali lagi. Kesempatan itu dimanfaatkan Bayu untuk
balas memberi serangan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Cepat tubuh Bayu melenting ke udara. Dan secepat
itu pula, Pendekar Pulau Neraka meluruk deras sambil melontarkan beberapa
pukulan beruntun yang disertai
pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Nini Anjar berhasil menghindari serangan yang di-
lancarkan Pendekar Pulau Neraka dengan memiring-
kan tubuh ke kanan. Tapi Permaisuri Retna Nawang-
sih terlambat bertindak. Sehingga satu pukulan keras yang dilancarkan Pendekar
Pulau Neraka bersarang di
dadanya. Begkh! "Akh...!" Permaisuri Retna Nawangsih menjerit kencang.
Perempuan setengah baya itu kembali terlontar de-
ras ke belakang. Pada saat itu, Panglima Pangkar me-
lompat cepat meluruk ke arah Permaisuri Retna Na-
wangsih yang tengah bergulingan di tanah. Tapi sebe-
lum pedangnya sempat dihunjamkan ke tubuh perem-
puan separuh baya itu, Widura sudah lebih dahulu
melompat. Pedangnya langsung dibabatkan ke pedang
Panglima Pangkar.
Trang! "Hup!"
Panglima Pangkar cepat melompat ke belakang dua
tindak. Belum lagi panglima itu melakukan sesuatu,
dua puluh prajurit ditambah tiga panglima lain serta dua orang patih, sudah
meluruk menyerang Widura.
Sedangkan yang lainnya langsung meluruk ke arah
Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah mampu ber-
diri kembali. "Kalian selamatkan Dian di dalam gua...!" teriak Bayu lantang.
Pendeta Suratmaja dan Patih Laksana yang dengar
teriakan Bayu, bergegas masuk ke dalam gua, Semen-
tara Bayu terus menghadapi Nini Anjar. Namun gadis
itu kelihatan mulai goyah setelah melihat sekelilingnya sudah terkepung puluhan
prajurit bersenjata lengkap.
"Aaa...!" terdengar jeritan panjang melengking"
tinggi dan menyayat
"Ibu...!" teriak Widura begitu melihat ibunya terka-par bersimbah darah.
Sebatang pedang seorang panglima, telah meng-
hunjam dalam di dada Permaisuri Retna Nawangsih.
Jeritan Widura ternyata membuat Nini Anjar lengah.
Gadis itu tidak bisa menghindar lagi ketika Pendekar Pulau Neraka memberi satu
pukulan keras bertenaga
dalam penuh ke dadanya.
Dieghk! "Aaakh...!" Nini Anjar menjerit.
"Hiyaaa...!"
Di saat tubuh Nini Anjar terpental ke belakang,
Bayu cepat menghentakkan tangan kanannya. Seketi-
ka itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu meluncur de-
ras. Dan.... Crab! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang mengiringi kematian Nini An-
jar begitu dadanya tertembus Cakra Maut. Bayu
menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Ma-
ka Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Begitu
Cakra Maut terlepas, darah langsung muncrat dari da-
da Nini Anjar. "Hiyaaa...!"
Bayu langsung melompat ke arah Widura. Sempat
disambarnya pedang salah seorang prajurit. Satu ten-
dangan dilepaskan Pendekar Pulau Neraka itu. Widura
yang tengah terguncang perasaannya akibat kematian
ibunya di tangan salah seorang panglima, tak dapat la-gi menghindari tendangan
Bayu. Degkh! "Akh...!"
Tendangan Pendekar Pulau Neraka tepat menghan-
tam dada Widura, hingga terpental ke belakang. Bayu
cepat memburu. Ditempelkannya ujung pedang ke leh-
er Widura, sehingga tidak mampu berkutik lagi. Dua
orang prajurit bergegas mendekat langsung meringkus
pemuda itu. Widura benar-benar tak berdaya lagi. Dia hanya bisa memandang lesu
mayat ibunya yang tergeletak dengan pedang menembus dada.
Tepat di saat Pendeta Suratmaja dan Patih Laksana
membawa keluar Dian Lestari, Raden Prayoga, seorang
panglima dan prajurit pengawalnya sampai di tempat
ini. Raden Prayoga bergegas menghampiri gadis yang
kelihatan lemah dan pucat itu.
"Oh! Syukurlah kau selamat, Rayi...," ujar Raden Prayoga.
Dian Lestari hanya tersenyum tipis dan lemah se-
kali. Pendeta Suratmaja tetap memapahnya agar bisa
berdiri. Raden Prayoga memandangi mayat Permaisuri
Retna Nawangsih dan mayat Nini Anjar. Kemudian,
pandangannya beralih pada Widura. Dia agak terkejut
melihat wajah Widura mirip dengannya.
"Siapa dia?" tanya Raden Prayoga.
"Namanya Widura. Anak kandung Gusti Permaisuri
Retna Nawangsih," sahut Patih Laksana.
"Ooo.... Jadi dia ini yang akan dijadikan raja?" terdengar sinis nada suara
Raden Prayoga. "Bawa dia pergi, dan masukkan ke penjara!"
Widura digiring dengan tangan terikat tambang.
Raden Prayoga kemudian menghampiri Pendekar Pu-
lau Neraka. Ditepuk-tepuknya pundak Bayu dengan
hangat, kemudian dipeluknya bagai seorang saudara.
Sementara Bayu membiarkan saja.
"Terima kasih. Tanpa mu, mungkin saat ini aku
sudah mati," ucap Raden Prayoga.
"Ah! Ini semua berkat kesigapan mereka juga, Raden," Bayu merendah.
"Mari. Kau jadi tamu kehormatanku di istana. Kau tidak ingin menolaknya,
kan...?" Bayu tidak mungkin lagi menolak, karena tawaran
Raden Prayoga bernada memaksa. Raden Prayoga ter-
senyum senang melihat Bayu mengangguk. Setelah
memerintahkan beberapa prajurit untuk menguburkan
mayat Permaisuri Retna Nawangsih dan Nini Anjar,
kemudian Bayu dan Dian diajak untuk kembali ke is-
tana. "Bayu, apakah aku pantas menduduki tahta?"
tanya Raden Prayoga berbisik.
'Tentu saja, Raden. Bagaimanapun juga, kau putra
Prabu Wijaya," sahut Bayu.
'Tapi aku anak selir yang menyeleweng."
"Tidak ada yang tahu, Raden. Dan rahasia ini akan terbawa bersama kepergianku."
"Kau akan meninggalkan Balungan?"
Bayu mengangguk pasti.
Raden Prayoga hanya mengangkat bahunya saja.
Pendekar Pulau Neraka tidak mungkin ditahan untuk
tetap tinggal di Istana Balungan. Dia tahu, seorang
pendekar kelana tidak akan bisa menetap pada satu
tempat. "Kuharap kau sudi berkunjung suatu saat, Bayu,"
pinta Raden Prayoga penuh harap.
"Akan ku usahakan, Raden."
"Aku akan mengangkat saudara padamu. Dan itu
akan ku umumkan pada hari penobatan ku nanti. Un-
tuk itu, Kau harus tetap berada di istana sampai pada hari penobatan. Setelah
itu, aku tidak bisa lagi menahan jika memang pengembaraanmu hendak kau lan-
jutkan. Hanya itu yang kuminta, Bayu. Sebagai rasa
terima kasihku padamu."
Bayu diam saja. Pendekar Pulau Neraka tidak bisa
cepat memutuskan permintaan Raden Prayoga. Dan
sebenarnya dia ingin terus melanjutkan pengemba-
raannya. Namun hati kecilnya tidak ingin membuat
Raden Prayoga kecewa.
"Akan ku pikirkan dulu, Raden," ujar Bayu.
"Ya. Aku juga tidak memaksamu"
Bayu hanya tersenyum saja. Sementara mereka te-
rus berjalan menuju Kotaraja Balungan. Sepanjang
perjalanan mereka, matahari ikut mengiringi. Mendung telah terhapus dari langit
Balungan. Seluruh rakyat bi-sa bernapas lega. Dan mereka tinggal menunggu saat
penobatan raja baru mereka yang sempat gagal.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely peace
Di Sini Ada Iblis 2 Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka Memburu Iblis 9
^