Rahasia Bunga Cubung Biru 2
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru Bagian 2
di sini," kata Bayu sopan.
"Orang yang kau cari tidak ada di sini. Sebaiknya cepat pergi!"
Bayu mengangkat bahunya. Tapi belum juga
berbalik, terlintas satu pikiran di benaknya.
"Apa lagi yang kau tunggu?" sentak gadis itu ketus.
"Maaf, boleh bertanya?" pinta Bayu ramah.
"Katakan, sebelum aku berubah pikiran untuk
membunuhmu!"
"Apakah ada orang yang tinggal di sekitar Gunung Cakal ini?" tanya Bayu
memanfaatkan kesempatan yang sedikit ini.
"Tidak!" sahut gadis itu singkat.
'Terima kasih."
Bayu langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.
"Huh! Tidak ada orang lain di sini. Sebaiknya aku kembali saja ke Padepokan
Tongkat Sakti!" dengus Bayu tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"He! Tunggu...!" sentak gadis itu tiba-tiba.
Bayu menghentikan langkahnya, lalu berbalik
menghadap ke arah gadis berbaju putih itu kembal
"Kau tadi bilang apa?" tanya gadis itu.
'Tidak. Aku hanya bicara sendiri," jawab Baya
"Kalau tidak salah, kau tadi menyebut-nyebut
Padepokan Tongkat Sakti. Apakah kau berasal dari
sana?" "Bukan. Bahkan aku sendiri tidak tahu tentang Padepokan Tongkat Sakti."
"Kisanak, aku belum tuli dan mendengar jelas kalau kau ingin kembali ke
Padepokan Tongkat Sakti!" agak ketus nada suara gadis itu. "Katakan yang
sebenarnya, apa maksudmu datang ke sini?"
Bayu tidak langsung menyahuti. Diangkat bahunya
dan diperhatikannya gadis itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pendekar
Pulau Neraka itu jadi teringat akan pesan Adilangu menjelang ajal. Kotak kayu
yang berada di dalam buntalan kain ini harus diberikan pada seseorang yang
tinggal di Gunung Cakal. Dia memang tidak tahu siapa orangnya, kecuali namanya
saja. "Kisanak! Jika kau memang berasal dari Padepokan Tongkat Sakti, kau pasti hendak
menemuiku," tegas gadis itu lagi.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja, dan belum mau percaya begitu saja pada
kata-kata gadis ini.
"Atau kau hanya seorang utusan saja" Katakan, apa yang kau bawa dari Padepokan
Tongkat Sakti?"
desak gadis itu.
Bayu masih belum membuka mulut, dan malah
semakin tajam memperhatikan gadis ini. Sedangkan
gadis berbaju putih itu semakin penasaran karena
pemuda di depannya belum juga mau menjawab setiap
pertanyaannya. Sorot matanya mencerminkan ketidaksabaran. Tapi tampaknya gadis itu masih
berusaha menahan diri.
"Nisanak, apakah kau yang bernama Rampita?"
Bayu malah bertanya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu tertawa
renyah. Begitu lepasnya sehingga baris-baris gigi yang putih rapi terlihat
jelas. Bayu sampai menelan ludahnya memandangi kecantikan gadis di depannya ini.
Begitu cantik dan sempurnanya, seakan-akan tanpa cacat
sedikit pun *** Bayu mengayunkan kakinya mengikuti langkah
gadis itu yang masuk ke dalam gua. Kalau saja gadis itu tidak memberi isyarat
agar mengikutinya, Pendekar Pulau Neraka itu tidak akan ikut masuk kembali ke
dalam gua. Bukannya takut bertemu lagi beruang putih raksasa itu, tapi tidak
ingin mencelakakan binatang cantik yang liar itu.
Bayu melangkah di belakang gadis itu. Diperhatikannya setiap relung gua ini. Sebuah gua yang cukup panjang dan
berliku. Bahkan banyak cabang
yang bisa membuatnya bingung jika harus keluar lagi seorang diri. Sepanjang
lorong yang dilewati bentuknya serupa, bahkan sukar dicari perbedaannya.
Mereka berhenti melangkah setelah tiba di suatu
rongga yang cukup luas dan diterangi beberapa obor yang terpancang di setiap
sudut. Ada sekitar lima mulut cabang gua di dalam sini, dan keadaannya serupa
persis. Bahkan yang dilewatinya juga sama persis baik ukuran maupun bentuknya.
Bayu menatap sebuah
batu pipih yang terletak di bagian tengah ruangan ini.
Sementara gadis itu lalu duduk di atas batu itu. Ditatap dan dipersilakannya
Pendekar Pulau Neraka itu agar duduk di sebuah batu yang terletak tidak jauh di
samping mulut gua yang tadi dilaluinya. Bayu
kemudian duduk bersila di sana.
"Kisanak Jika kau mencari Rampita, maka kini
sudah bertemu orangnya," tegas gadis itu lembut
"Kau, Rampita...?" Bayu ingin menegaskan.
"Benar. Aku Rampita."
"Bagaimana bisa kupercayai kalau kau benar-benar Rampita," Bayu meminta bukti.
"Jika kau memang utusan Padepokan Tongkat
Sakti, kau pasti kenal ayahku," tegas Rampita lagi.
Bayu hanya diam saja. Sebenarnya dia tidak tahu
tentang Padepokan Tongkat Sakti, tapi harus berpura-pura tahu untuk meyakinkan
diri kalau gadis itu
memang benar Rampita.
"Padepokan Tongkat Sakti letaknya tidak jauh dari Lembah Bunga. Ayahku bernama
Anom Sura, Ketua
Padepokan Tongkat Sakti. Nah, apakah sudah yakin
sekarang?"
"Kau tahu, kenapa aku datang ke sini?" tanya Bayu.
'Tidak," sahut Rampita.
Bayu kembali terdiam. Waktu itu dia hanya
bertemu Adilangu. Dan menjelang ajalnya, Adilangu
hanya memberikan satu kalimat tanpa penjelasan rinci.
Tapi dari nada suaranya,Bayu bisa memastikan kalau Adilangu ingin menyerahkan
kotak kayu tanpa pem-beritahuan lebih dahulu.
Pendekar Pulau Neraka itu melepaskan ikatan
buntalan kain di bahu, lalu meletakkan benda itu di depannya. Sementara Rampita
hanya memandangi!
saja tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Terus terang, aku bukan dari Padepokan Tongkat Sakti. Dan aku sendiri tidak
tahu, di mana Padepokan Tongkat Sakti itu," kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau ingin bertemu denganku"'
tanya Rampita. Bayu langsung menceritakan perjalanannya. Dari
pertemuannya dengan Adilangu, hingga pemuda itu
tewas di tangan laki-laki tua berjubah hitam yang
mengaku bernama Sureng Rana atau berjuluk si Kobra Hitam. Sedikit pun Pendekar
Pulau Neraka itu tidak mengurangi atau melebihkan ceritanya. Sementara
Rampita hanya diam mendengarkan sampai pemuda
berbaju kulit harimau itu menyelesaikan ceritanya.
Untuk sementara keheningan menyelimuti mereka
berdua. "Pasti telah terjadi sesuatu, sehingga Ayah harus memberikan kotak pusaka itu
padaku," ujar Rampita memecahkan keheningan.
Rampita turun dari atas batu yang didudukinya,
kemudian berjalan menghampiri Bayu dan membungkuk mengambil buntalan kain di depan
Pendekar Pulau Neraka itu. Gadis itu kemudian
berbalik sambil membawa buntalan kain itu dan duduk kembali di tempatnya.
Hati-hati sekali gadis itu membuka ikatan kain.
Dikeluarkannya sebuah kotak kayu berukir yang sudah kelihatan tua, namun
warnanya belum pudar. Rampita tersenyum begitu membuka tutup kotak kayu itu,
kemudian menutupnya kembali dan meletakkan di
sampingnya. Ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
"Kau tahu apa isi kotak kayu ini?" tanya Rampita.
"Tidak. Aku tidak membukanya sama sekali," jawab Bayu jujur.
"Hmmm..., sejak tadi aku belum mengetahui
namamu. Siapa namamu?"
"Bayu."
"Ke mana tujuanmu setelah ini?" tanya Rampita lagi.
"Tidak ada tujuan. Aku pergi ke mana saja aku suka, mengikuti langkah kakiku."
"Baiklah. Aku berterima kasih karena kau sudah bersusah payah mengantarkan benda
ini. Sebaiknya besok siang saja kau lanjutkan perjalananmu. Dan kau boleh menginap di sini,
tapi tempatnya tidak layak."
"Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup."
"Hmmm...," Rampita tersenyum manis.
*** 4 Pagi-pagi sekali Bayu sudah meninggalkan gua di
Puncak Gunung Cakal. Sungguh aneh sekali! Puncak
gunung ini kini tidak ada salju sedikit pun, tidak seperti kemarin. Tapi Bayu
tidak ambil peduli. Bergegas
ditinggalkannya tempat itu sambil mempergunakan
ilmu meringankan tubuhnya. Sementara gadis cantik
berbaju putih ketat yang mengaku bernama Rampita
mengantarkan sampai di depan mulut gua.
Gadis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke
atas setelah bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka
itu tidak terlihat lagi. Dan ketika jari-jari tangannya menjentik, mendadak saja
bertiup angin kencang.
Seketika seluruh puncak gunung ini berselimut kabut Tak berapa lama saja, dari
langit berhamburan benda-benda putih yang halus bagai kapas.
Dalam waktu tidak berapa lama, seluruh permukaan tanah di Puncak Gunung Cakal ini sudah
terselimut salju. Sepanjang mata memandang hanya
warna putih yang teriihat, bagai berada di ladang kapas yang sangat luas. Gadis
itu menyunggingkan senyum, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah masuk
ke dalam gua. Dengan langkah yang sangat ringan, gadis yang
mengaku bernama Rampita itu berjalan menyusuri gua tempat tinggalnya. Ayunan
kakinya ringan sekali,
namun terlihat cepat Karena telah sangat hafal dengan liku-liku gua ini. Maka
dalam waktu tidak berapa lama saja dia sudah tiba di ruangan yang cukup luas dan
diterangi cahaya api obor yang tidak kunjung padam.
Gadis itu duduk kembali di batu pipih berwarna putih berkilat Diambil kotak kayu
berukir dan dibuka
tutupnya. "Huh! Pasti pemuda itu yang mengambilnya!"
dengus Rampita sambil menutup kotak itu.
Seketika dilemparkannya kotak itu, hingga hancur
berkeping-keping begitu menghantam dinding gua.
Wajah gadis itu memerah, dan bibirnya terkatup rapat.
Gerahamnya bergemeletuk seakan menahan kemarahan. Matanya tajam memandangi kotak kayu
berukir yang sudah hancur berkeping-keping. Kini
tinggal kayu-kayu saja, tanpa ada satu benda lain.
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali gadis itu menepuk tangan, maka tidak
lama kemudian dari mulut-mulut lorong gua bermun-
culan sekitar sepuluh orang wanita berpakaian putih-putih. Di pinggang mereka
melilit sehelai selendang berwarna biru. Di punggung masing-masing tersampir
sebilah pedang. Gadis-gadis itu berkumpul dan duduk bersila di depan Rampita.
"Dengar! Aku tidak akan banyak bicara. Hari ini juga kalian turun gunung dan
bunuh laki-laki bernama Bayu! Dia mengenakan baju kulit harimau, tanpa
membawa senjata apa pun juga. Kalian jangan banyak tanya. Bunuh saja laki-laki
itu dan hancurkan
Padepokan Tongkat Sakti. Paham...!" tegas nada suara Rampita.
"Paham, Gusti Ayu...," sahut sepuluh gadis itu serempak.
"Berangkatlah sekarang!"
Tanpa ada yang membantah, sepuluh gadis berbaju
putih itu bergegas pergi. Sedangkan Rampita masih
tetap duduk di atas batu pipih. Ditariknya napas
panjang setelah sepuluh orang gadis itu tidak terlihat lagi
"Beruang Putih, kemarilah!" seru Rampita keras.
"Grhauuughk...!"
Bersamaan terdengarnya gerungan keras, dari
sebuah mulut gua di depan gadis itu muncul seekor
beruang berbulu putih bagai kapas. Binatang bertubuh besar yang tingginya hampir
menyamai pohon cemara
itu mendekam di depan Rampita. Suara genangannya
terdengar pelan, bahkan bisa dikatakan lirih.
"Sudah saatnya kita hancurkan Padepokan Tongkat Sakti, Beruang Putih," tegas
Rampita seraya bergerak turun dari atas batu.
"Ghrrr...!" beruang putih hanya menggerung pelan.
"Ayo!"
Sekali lesatan saja, Rampita sudah duduk di
punggung binatang raksasa itu. Kemudian beruang
putih itu melompat meninggalkan tempat itu. Sungguh cepat, bagai kilat. Dalam
sekejap saja, binatang itu sudah lenyap di lorong gua menuju keluar.
Sementara itu Bayu baru saja sampai di Kaki
Gunung Cakal. Pendekar Pulau Neraka itu menghenyakkan tubuhnya duduk di bawah sebatang
pohon yang cukup rindang, sehingga melindungi
dirinya dari sengatan
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cahaya matahari. Angin berhembus lembut, membuat kelopak mata Pendekar
Pulau Neraka itu terasa berat. Kepalanya terangguk menahan rasa kantuk yang
tiba-tiba menyerang
dahsyat "Oaaah..., kenapa berat sekali mataku ini," keluh Bayu seraya menggosok-gosok
matanya. Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba
mengusir rasa kantuk yang menyerang begitu dahsyat Rasanya kantuknya tidak kuat
lagi ditahan. Baru kali ini Pendekar Pulau Neraka mengalami kantuk demikian
hebat. Padahal, semalaman dia tidur nyenyak dalam
kehangatan gua.
"Uh! Aku merasa ada kelainan...," dengus Bayu.
Mendapat pikiran demikian, Pendekar Pulau Neraka itu langsung saja menggerak-
gerakkan tangannya di depan dada. Kemudian diletakkan kedua tangannya di depan
dada dengan tangan kanan berada di tangan kiri.
Punggung telapak tangan menyatu rapat dan jari
telunjuk mengacung ke atas.
"Ufh! Hsss...!" Bayu mengatur jalan napasnya.
Pelahan namun pasti, Pendekar Pulau Neraka itu
menyalurkan hawa murni ke seluruh urat syaraf. Dan perasaannya semakin yakin
kalau ada yang tidak beres di tempat ini. Dirasakan adanya suatu perlawanan
halus yang hampir tidak terasakan.
"Ilmu 'Sirep'...," desis,Bayu bisa mengenali adanya penyebaran suatu ilmu di
sekitarnya. Pendekar Pulau Neraka itu menolehkan kepalanya
ke kanan, dan tiba-tiba saja dihentakkan kedua
tangannya ke samping kanan.
"Hiyaaa...!"
Satu hembusan angin keras muncul dari telapak
tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan seketika itu juga sebatang pohon
yang cukup besar tumbang
terhantam pukulan jarak jauh yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka.
Tepat saat pohon itu tumbang, berkelebat satu
bayangan putih ke angkasa. Dan begitu Bayu
melompat berdiri, dari balik pohon dan semak belukar bermunculan gadis-gadis
berbaju putih mengenakan
selendang biru pada pinggangnya. Gadis-gadis berwajah cantik itu langsung bergerak mengepung.
"Hmmm..., siapa kalian?" tanya Bayu seraya mengamati sepuluh gadis cantik yang
kini sudah mengepungnya. "Jangan banyak omong! Seraaang...!" salah seorang gadis berseru keras.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Seketika itu juga gadis cantik berbaju putih yang
berjumlah sepuluh orang itu berlompatan menyerang
Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat dan tiba-tiba
sekali, sehingga Bayu tidak sempat lagi menghalau.
Bergegas diegoskan tubuhnya ketika salah seorang
yang berada di depan melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Dan
belum juga pemuda
berbaju kulit harimau itu bisa menarik pulang
tubuhnya, datang lagi serangan dari arah kiri. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka
melompat ke belakang menghindari pukulan keras itu. Dan pada saat yang
hampir bersamaan, seorang gadis yang berada di
belakangnya melontarkan tendangan keras menggeledek Kali ini Bayu tak sempat lagi berkelit Bughk!
"Ugh...!" Bayu melenguh pendek. Pendekar Pulau Neraka itu terhuyung ke depan.
Pada saat itu satu
pukulan kembali datang dari arah depan. Dan Bayu
hanya bisa terpekik saat pukulan keras bertenaga
dalam cukup tinggi itu menghantam telak dadanya. Tak ampun lagi, tubuh Pendekar
Pulau Neraka itu
terjungkal keras ke belakang, hingga bergulingan di tanah.
"Edan...!" dengus Bayu memalu. Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu bisa bangkit
berdiri, salah seorang
lawan sudah menghunus pedang dan membabatkan ke tubuhnya. Terpaksa Bayu harus
bergulingan di tanah menghindari tebasan pedang itu.
Pendekar Pulau Neraka benar-benar kewalahan, karena tidak diberi kesempatan sama
sekali untuk bangkit
berdiri. Hunjaman pedang datang silih berganti bagai hujan mengurung tubuhnya,
sehingga terpaksa harus
bergelimpangan menghindar.
"Keparat! Hih...!"
Darah Pendekar Pulau Neraka itu langsung
mendidih. Tepat ketika sebatang pedang lawan
mengarah ke dada, secepat kilat Pendekar Pulau
Neraka itu merapatkan kedua tangannya menjepit
pedang itu kuat-kuat Dan pada saat pemilik pedang
itu menghentakkan senjatanya, Bayu mempergunakan kesempatan yang hanya sedikit ini
dengan baik. Tubuhnya dibuat ringan bagai kapas,
sehingga ikut terpental naik.
Pada saat yang tepat dengan kecepatan bagai kilat
Bayu melepaskan satu tendangan bertenaga dalam
sempurna. Tendangan keras dan riba-riba itu tidak
dapat terhindari lagi. Gadis yang pedangnya terkunci di tangan Pendekar Pulau
Neraka itu kontan terpekik
terkena tendangan keras bertenaga dalam sempurna.
"Akh...!"
Gadis itu terpental jauh ke belakang sampai
menabrak pohon. Bersamaan dengan itu, Bayu
menjentikkan pedang yang dirampasnya. Seketika
pedang itu meluncur deras ke arah gadis yang sedang melorot turun dengan
punggung menempel pada
batang pohon. Tak pelak lagi, pedang itu menancap di dadanya hingga tembus ke
punggung. "Aaa...!"
Jeritan melengking tinggi itu mengejutkan kesembilan gadis lainnya. Mereka langsung berlompatan mundur, dan seketika terkejut melihat
salah seorang temannya tewas dengan dada tertembus pedangnya sendiri. Tubuh
gadis itu tertahan di pohon, karena pedang itu tembus hingga menancap di pohon.
"Siapa kalian" Kenapa menyerangku...?" Pendekar Pulau Neraka mengambil
kesempatan ini untuk
bertanya. Tak ada seorang pun dari sembilan gadis itu yang
menjawab. Mereka hanya mendesis bagai ular. Tatapan mereka begitu tajam,
memancarkan amarah yang
menggelegak tak tertahankan lagi. Dan Bayu merasa
tidak ada gunanya bertanya. Siapa pun gadis-gadis ini, pasti berniat hendak
membunuhnya. Pendekar Pulau
Neraka itu begitu yakin, karena tadi telah merasakan ilmu 'Sirep' yang hampir
membuatnya tertidur.
"Seraaang...!" riba-riba salah seorang berteriak memberi perintah.
Sembilan orang gadis cantik berbaju putih itu
kembali menyerang. Kali ini serangannya semakin
dahsyat dan tidak mengenal kompromi lagi Tapi untuk kali ini persiapan Bayu
sudah matang. Tubuhnya
meliuk-liuk bagai belut menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang para
pengeroyoknya. Kedua kakinya
bergerak lincah mengimbangi gerakan tubuh.
Pertarungan yang sebenarnya tidak seimbang, tapi
Pendekar Pulau Neraka
bukanlah pemuda kosong.
Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, sehingga sukar diukur. Berbagai macam pola
serangan telah dijalankan gadis-gadis berbaju putih itu, tapi tetap saja
mengalami kesukaran mendesak pemuda itu. Bahkan beberapa
kali mereka kelabakan menerima serangan balik
Pendekar Pulau Neraka yang selalu datang tiba-tiba dan cepat luar biasa.
Trang! Bayu menangkis satu sabetan pedang yang
mengarah ke leher dengan pergelangan tangan
kanannya. Gadis yang pedangnya beradu dengan
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu tampak meringis dan tangannya
bergetar. Pada saat itu, Bayu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan
kecepatan luar biasa, pemuda berbaju kulit harimau itu melompat seraya
melontarkan satu tendangan kilat
menggeledek. "Hiyaaat..!"
Des! "Aaakh...!" gadis itu menjerit keras melengking.
Satu tendangan saja sudah membuat lawannya
terpelanting keras ke tanah. Dari mulutnya menyemburkan darah kental berwarna merah segar.
Hanya sebentar mampu menggeliat, sesaat kemudian,
gadis itu diam tak bergerak-gerak lagi. Dia tewas
dengan dada remuk terkena tendangan geledek
bertenaga dalam sangat sempurna dari Pendekar Pulau Neraka itu.
Kematian seorang temannya lagi tidak menyurutkan tekad yang lainnya. Bahkan mereka
malah semakin berang, dan terus
melancarkan serangan gencar dan berbahaya. Pedang-pedang
berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan,pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
punya kesempatan untuk menggunakan senjatanya
yang terkenal dahsyat dan mematikan. Senjata di
tangan kanan itu hanya bisa dipergunakan untuk
menangkis pedang yang tak mungkin dihindari lagi.
*** "Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras. Seketika
itu juga pertarungan berhenti. Delapan orang gadis cantik berbaju putih yang
semuanya menggenggam
pedang terhunus berlompatan mundur. Dan mereka
langsung menjatuhkan diri, dan berlutut ketika melihat seorang laki-laki
bertubuh gemuk yang tingginya tidak lebih dari seorang bocah berusia sepuluh
tahun. Laki-laki itu mengenakan jubah putih, sedangkan kepalanya gundul. Tapi
seluruh wajahnya hampir tertutup kumis dan berewok tebal berwarna dua.
"Mundur kalian!" bentak laki-laki cebol itu. Suaranya terdengar besar dan berat
sekali, namun nadanya penuh kewibawaan.
Delapan orang gadis cantik berbaju putih ketat itu bergegas bergerak mundur.
Mereka segera berdiri di belakang
laki-laki cebol itu, dan serempak memasukkan pedang ke dalam warangka di punggung.
Sementara Bayu hanya berdiri tegak memandangi
orang tua cebol itu. Keningnya berkerut, mencoba
mengingat-ingat Tapi rasanya belum pernah bertemu
orang cebol seperti ini.
"Anak Muda, kenapa kau membantai murid-
muridku?" tanya orang tua cebol itu dingin nada suaranya.
"Tanyakan saja pada mereka! Aku tidak mendahului, tapi merekalah yang memulai lebih
dahulu!" jawab Bayu mendengus.
"Murid-muridku tidak akan pernah menyerang
seseorang jika tidak didahului."
"Aku tidak akan menjawab! Kau bisa tanyakan
sendiri pada mereka!"
Laki-laki tua cebol itu berbalik dan memandangi
delapan orang gadis cantik yang langsung berlutut
sambil menundukkan kepala. Sementara Bayu hanya
diam saja, dan wajahnya tampak memberengut kesal.
"Benar kalian yang memulai?" tanya laki-laki tua cebol itu dingin.
"Ampun, Eyang Banadu. Laki-laki ini telah
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengotori tempat suci, dan mencoba mengganggu
Gusti Ayu Seruni," jawab salah seorang gadis yang berada paling kanan.
"Dusta...!" bentak Bayu menahan geram.
Laki-laki tua cebol yang dipanggil Eyang Banadu
membalikkan tubuhnya kembali. Ditatapnya tajam-
tajam Pendekar Pulau Neraka itu. Pengaduan salah
seorang gadis itu membuat wajah Bayu memerah bagai kepiting rebus, dan hanya
bisa menggeram mendengar tuduhan tanpa bukti itu. Dia sendiri tidak mengenal
gadis-gadis ini yang tiba-tiba saja menyerang tanpa bicara lagi.
"Kau mengatakan muridku berkata dusta. Itu sama artinya menghinaku, Anak Muda!"
dengus Eyang Banadu. "Huh! Guru dan murid sama saja!" dengus Bayu sengit "Baik, apa keinginan kalian
sebenarnya?"
Eyang Banadu terperangah mendapatkan tantangan begitu terbuka dari seorang pemuda yang
baru berusia sekitar dua puluh tahunan lebih. Tapi orang tua cebol itu
tersenyum, dan mendadak tertawa terbahak-bahak.
Begitu lepas tawanya sehingga perutnya yang buncit terguncang-guncang.
Bayu jadi tertegun melihat sikap orang tua cebol itu, namun hanya diam saja
dengan mata tajam tak
berkedip. Meskipun orang tua cebol itu kelihatan tenang dan tertawa renyah, tapi
Bayu tetap berwaspada.
Bagaimanapun juga, seorang guru pasti memiliki
tingkat kepandaian tinggi. Bayu jadi teringat gurunya sendiri. Meskipun cacat,
tapi ilmu olah kanuragannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya.
"Aku kagum atas keberanianmu, Anak Muda. Siapa namamu?" tanya Eyang Banadu.
"Bayu," sahut Bayu singkat
"Selama ini belum pernah aku bertemu seorang
anak muda yang berani menantangku. Hm.... Anak
muda, jika kau tidak keberatan, aku ingin sedikit
bermain denganmu," halus sekali kata-kata Eyang Banadu, tapi maksudnya jelas dan
tegas. "Baiklah. Tapi maaf, apakah ini berarti kau berniat membela muridmu?"
"Ha ha ha.... Itu urusanku, Anak muda. Tapi kalau muridku bersalah, aku yang
akan memberikan
hukumannya. Dan jika kau memang bersalah, aku
tidak akan segan-segan membunuhmu. Paham..."!"
"Aku terima dengan baik."
"Bagus! Bersiaplah! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Eyang Banadu melompat cepat bagai
kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka sambil
melontarkan dua pukulan beruntun. Sementara Bayu
yang memang sudah siap sejak tadi, langsung
menggeser kaki ke samping sambil meliukkan tubuhnya untuk berkelit Serangan orang tua cebol itu hanya mengenai tempat
kosong, tapi secepat kilat
menyerang kembali sebelum Bayu bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya.
Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan
orang tua cebol itu. Dan Bayu tidak punya kesempatan berkelit lagi. Dengan
mengerahkan tenaga dalamnya, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kiri
menyampok tendangan Eyang Banadu.
Des! "Ikh...!" Eyang Banadu terperanjat
Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang
beberapa tindak. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki anak
muda berbaju kulit harimau itu luar biasa sekali. Persendian kakinya sampai
nyeri, dan tulang-tulang kakinya bagai remuk.
"Bagus! Ternyata kau punya kemampuan juga,
Anak Muda!" puji Eyang Banadu tulus.
'Terima kasih. Sekarang giliranku. Bersiaplah,
yeaaah...!"
Setelah menyelesaikan perkataannya, Bayu langsung menggeser kakinya menyusur tanah menghampiri orang tua cebol itu. Dan secepat kilat dilepaskan satu pukulan
bertenaga dalam sempurna.
Eyang Banadu terperanjat. Buru-buru dibuang tubuhnya ke samping menghindari serangan pemuda
berbaju kulit harimau itu. Tapi tanpa diduga sama
sekali, Bayu menghentakkan kakinya sambil memutar
tubuh dan bertumpu pada sebelah kakinya lagi.
"Hiyaaa...!"
Ufs...!" Kalau saja Eyang Banadu tidak cepat merunduk,
barangkali kepalanya akan terpisah terkena sambaran kaki yang begitu keras
bertenaga dalam sempurna.
Namun demikian, orang tua cebol itu sempat juga
terhuyung terkena sambaran angin tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan kedua tokoh tangguh itu terus
berlangsung sengit Semakin lama jurus-jurus dikeluarkan semakin dahsyat dan berbahaya. Kelengahan sedikit saja pasti berakibat dahsyat.
Sementara delapan orang gadis berbaju putih hanya
menyaksikan penuh ketegangan. Tentu saja mereka
berharap agar gurunya dapat memenangkan pertarungan ini. Tapi sampai sejauh ini belum ada
tanda-tanda yang bakal terdesak. Kedua orang itu
masih terus bertarung dalam irama tingkat tinggi
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa
mereka sudah menghabiskan tidak kurang dari dua
puluh jurus. Namun kelihatannya pertarungan belum
akan cepat berakhir. Keduanya masih sama-sama
tangguh, dan masih banyak memiliki jurus berbahaya.
Hanya saja sampai sejauh ini, mereka tetap menggunakan tangan kosong, tanpa senjata sama
sekali. Bet! Tepat pada jurus keempat puluh, Eyang Banadu
melepaskan kalung untaian batu hitam yang dikenakannya, dan langsung dikebutkan ke arah kaki Bayu. Secepat kilat Pendekar
Pulau Neraka melompat menghindari sabetan untaian batu hitam itu. Dua kali
tubuhnya berputaran di udara sebelum hinggap atas
sebongkah batu.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Eyang Banadu melentingkan tubuhnya, langsung menghantamkan untaian kalung
batu hitam itu pada Pendekar Pulau Neraka. Tepat
ketika untaian kalung batu hitam hampir menghantam tubuhnya, Bayu melesat ke
atas, sehingga kalung
hitam itu hanya menghantam batu.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar tepat saat bongkahan batu
sebesar kerbau hancur berantakan. Serpihan batu dan debu mengepul, membumbung
tinggi ke angkasa. Bayu
sampai terpana menyaksikan kedahsyatan senjata
aneh orang tua cebol itu. Memang kalung hitam itu
adalah senjata sangat dahsyat, sehingga mampu
menghancurkan sebongkah batu sebesar badan ker-
bau. Bayu buru-buru menyilangkan tangan kanan di
depan dada begitu kakinya mendarat di tanah. Pada
saat itu, Eyang Banadu sudah kembali melompat
sambil mengayunkan untaian kalung hitamnya. Dan
ketika orang tua cebol itu berada di udara, bagai kilat Bayu
melompat sambil mengebutkan tangan kanannya. "Hiyaaa...!"
Swing! Dari pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka itu melesat sebuah benda berbentuk cakra
bersegi enam. Cakra Maut itu melesat, melebihi
sebatang anak panah lepas dari busur ke arah untaian kalung yang berada dalam
genggaman tangan Eyang
Banadu. Cring! "Akh...!" Eyang Banadu terpekik tertahan ketika Cakra Maut menghantam kalung
hitamnya. Bahkan orang tua cebol itu sampai terpental ke
belakang sejauh dua batang tombak, namun manis
sekali berhasil mendarat dengan kedua kakinya. Pada saat yang sama, Bayu sudah
menghentakkan tangan
kanannya kembali ke depan begitu kakinya menyentuh tanah.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Buru-buru Eyang Banadu berlompatan memutar
tubuhnya ke belakang menghindari terjangan Cakra
Maut bersegi enam itu. Tapi belum juga kakinya
menyentuh tanah, Cakra Maut itu sudah menyerang
kembali bagai kilat. Eyang Banadu terperangah. Buru-buru diegoskan tubuhnya
mencoba menghindar.
Namun.... Cras! "Akh...!" lagi-lagi orang tua eebol itu memekik.
Ujung Cakra Maut berhasil merobek bahu kanan
Eyang Banadu. Darah segar kontan muncrat keluar tak terbendung lagi Laki-laki
cebol itu terhuyung ke
belakang beberapa langkah. Ditekap bahunya yang
terluka dengan tangannya. Sementara Bayu berdiri
tegak dan mengangkat tangan kanannya. Seketika
Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana, Orang Tua?" tanya Bayu.
"Kau hebat, Anak Muda. Kali ini aku mengaku
kalah," sahut Eyang Banadu. "Tapi satu saat nanti, aku akan kembali
menantangmu!"
"Aku tunggu tantanganmu, Orang Tua," sambut Bayu sambil tersenyum manis.
Eyang, Banadu langsung melesat pergi. Demikian
pula delapan orang gadis cantik berbaju putih yang ikut meninggalkan
tempat itu. Mereka pergi mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara
Bayu hanya memandangi sambil tersenyum. Dalam
hati diakui juga ketangguhan orang tua cebol itu.
*** 5 Bayu tersentak bangun dari tidurnya ketika tiba-
tiba mendengar suara pertarungan. Pendekar Pulau
Neraka itu bergegas menggelinjang bangkit. Sebentar didongakkan kepalanya,
mencoba mencari arah suara
pertarungan itu. Dan begitu bisa menemukan arah
suara itu, langsung melesat ke sana.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dalam
sekejap saja sudah tiba di bagian Barat Lereng Gunung Cakal ini. Pemuda berbaju
kulit harimau itu terkejut saat melihat dua orang tengah bertarung sengit.
Seorang laki-laki tua berbaju biru tua kehitam-hitaman tengah menggempur seorang
gadis muda berwajah
cantik. Dari tongkat yang digunakan, Bayu sudah bisa
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenali kalau laki-laki tua itu adalah Sureng Rana atau berjuluk si Kobra
Hitam. Sedangkan lawannya....
Belum pernah Bayu melihatnya di sekitar Gunung
Cakal ini. Tapi kelihatannya gadis berbaju hijau muda itu kewalahan menghadapi
gempuran Sureng Rana.
Bayu mengedarkan pandangannya ke selatar pertarungan. Tampak tidak kurang dari dua puluh
orang bergelimpangan berlumuran darah.
"Akh...!" Bayu tersentak ketika tiba-tiba mendengar pekikan tertahan. Tampak
gadis berbaju hijau muda
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada
sebelah kiri bagian atas. Dan pada saat itu Sureng Rana sudah melompat sambil
mengibaskan tongkat
ular kobranya Sudah dapat dipastikan, gadis itu tak mungkin dapal berkelit lagi.
Tapi.... Trak! 71 "He...!" Sureng Rana terkejut ketika tiba-tiba saja tongkatnya berbalik saat
hampir menghantam kepala
gadis itu. Dan belum lagi keterkejutan Sureng Rana hilang,
tahu-tahu di depan gadis berbaju hijau muda itu sudah berdiri Pendekar Pulau
Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu menggenggam sebatang ranting kering
yang besarnya tidak lebih dari sebesar jari. Dan
panjangnya hanya sekitar lima jengkal saja.
"Bayu...," desis Sureng Rana mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Tidak jera-jeranya kau membantai orang, Kobra Hitam!" desis Bayu dingin.
"Heh...! Apa urusanmu, bocah" Minggir!" bentak Sureng Rana sengit.
"Sudah kukatakan, aku selalu berurusan dengan manusia kejam sepertimu!"
"Phuih! Kemarin kau boleh berbesar hati, bocah!
Tapi sekarang jangan harap bisa lolos dari kematian!']
"Hidup dan matiku bukan di tanganmu, Kobra
Hitam. Aku khawatir malah kaulah yang lebih dahulu ke neraka," dingin sekali
nada suara Bayu.
Sureng Rana menggeram marah. Gerahamnya
bergerut-gerut pertanda laki-laki tua bertongkat ular kobra itu tidak dapat lagi
menahan amarahnya.
Sementara Bayu sempat melirik gadis berbaju hijau
muda di belakang agak ke samping. Gadis itu tampak duduk bersila, dan kedua
tangannya merapat di depan dada. Melihat gadis itu sedang menjalankan semadi,
Bayu menggeser kakinya lebih ke depan lagi.
"Hmmm.... Kau tidak membawa benda itu, Pendekar Pulau Neraka. Di mana kau
sembunyikan kotak kayu
itu?" suara Sureng Rana terdengar setengah menggumam. "Sudah sampai pada pemiliknya" sahut Bayu kalem
"Apa..."!" Sureng Rana terperanjat bukan main. Dan Pendekar Pulau Neraka juga
berkerut keningnya. Tidak diduga kalau jawabannya akan membuat laki-laki tua
bertongkat ular kobra itu demikian terperanjat Bahkan matanya sampai mendelik
bagai hendak mencelat
keluar. Bayu melirik gadis berbaju hijau kembali ketika Sureng Rana menatap
tajam pada gadis itu.
"Kau jangan main-main, bocah setan! Kepada siapa kau berikan kotak kayu itu?"
dengus Sureng Rana menggeram.
"Sudah kukatakan pada pemiliknya! Apa masih
kurang percaya pada kata-kataku?" bentak Bayu mulai sengit.
"Bocah! Kau tahu Siapa itu Rampita?" tanya Sureng Rana.
Bayu tidak langsung menjawab. Pertanyaan Sureng
Rana dianggapnya aneh dan terlalu mengada-ada. Tapi kening Pendekar Pulau Neraka
itu berkerut juga.
"Hh! Aku yakin, kau juga berminat memiliki benda itu, Anak Muda. Baiklah. Jika
demikian, kau harus
berhadapan denganku!" desis Sureng Rana.
Setelah berkata demikian, Sureng Rana langsung
memutar tongkatnya. Begitu cepat putaran tongkat itu, sehingga
yang terlihat hanya bulatan hitam membentuk tameng di depan laki-laki tua itu. Dan
Bayu langsung bersiap. Digeser kakinya sedikit
Matanya tajam tak berkedip memperhatikan setiap
gerak yang dilakukan si Kobra Hitam.
"Tahan seranganku! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat dan tongkatnya terus diputar-putar bagai baling-baling.
Bayu yang sudah siap sejak tadi, bergegas menggeser kakinya ke samping sejauh
lima langkah. Seketika
dimiringkan tubuhnya menghindari sabetan tongkat
yang berputar kencang itu.
"Uts!"
Angin putaran tongkat hitam itu demikian keras,
sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka sedikit
terhuyung. Tapi cepat-cepat pemuda berbaju kulit
harimau itu menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan
seketika itu juga dikibaskan tangan kanannya sambil melompat mundur beberapa
tindak. Tampak satu kilatan keemasan melesat dari
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Ternyata pemuda berbaju kulit harimau
itu sudah melepaskan
senjata Cakra Mautnya. Senjata bersegi enam yang ujung-ujungnya runcing
melengkung itu, tepat menghantam
bagian tengah putaran tongkat si Kobra Hitam.
Trang! "Akh...!"
Seketika itu juga putaran tongkat berhenti bersa-
maan terdengarnya pekikan tertahan. Dan Bayu
mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Seketika Cakra Maut kembali melekat
di pergelangan tangan
kanannya. "Keparat..!" desis Sureng Rana menggeram.
Tampak darah mengucur dari jari-jari tangan yang
menggenggam tongkat berbentuk ular kobra mengembang. Ternyata Cakra Maut bukan hanya
menghentikan putaran tongkat itu, tapi juga berhasil melukai tangan pemiliknya.
'Pergilah, sebelum pikiranku berubah!" dengus Bayu dingin.
"Phuih!" Sureng Rana menyemburkan ludahnya.
Tanpa mempedulikan luka pada tangannya, laki-laki
tua itu kembali menggerak-gerakkan tongkatnya,
membuka jurus-jurus penyerangan. Dan Bayu kembali
siap dengan tangan melipat di depan dada. Matanya
sangat tajam memperhatikan setiap gerakan yang
dilakukan si Kobra Hitam itu.
"Mampus kau, bocah keparat! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Sureng Rana melompat
menerjang Pendekar Pulau, Neraka.
Tongkatnya dikebutkan beberapa kali disertai pengerahan tenaga da lam tinggi. Sungguh
dahsyat luar biasa! Setiap kali tongkat itu dikebutkan menimbulkan suara angin
menderu bagai terjadi badai.
"Hup...!"
Sungguh manis gerakan-gerakan yang dilakukan
Pendekar Pulau Neraka saat menghindari setiap
serangan si Kobra Hitam. Tubuhnya meliuk-liuk seperti karet, diimbangi gerakan
kaki yang lincah dan cepat namun terasa ringan. Bahkan telapak kaki pemuda
berbaju kulit harimau itu seperti tidak menyentuh
tanah. "Hiya! Yeaaah...!"
Sureng Rana semakin berang melihat lawannya
yang masih berusia muda seperti mempermainkan.
Sudah lebih dari lima jurus dikerahkan, tapi tak satu pun Bayu balas menyerang.
Pendekar Pulau Neraka itu hanya berkelit dan menghindar sambil terus bergerak
mundur menjauhi gadis berbaju hijau muda yang
masih bersemadi. Hal ini memang disengaja, agar
Sureng Rana tidak bermain licik. Bayu tahu betul
watak orang golongan hitam macam Sureng Rana ini.
"Aku masih memberimu kesempatan, Sureng
Rana!" seru Bayu seraya memiringkan tubuhnya
menghindari tebasan tongkat si Kobra Hitam.
"Phuih! Mampus kau, keparat..!"
Sureng Rana semakin sengit. Giginya bergemeletuk
tak dapat lagi menahan amarah. Wajah tua keriput itu jadi memerah, dan matanya
liar bernyala-nyala bagai sepasang bola api. Serangan-serangan yang dilakukan
semakin terlihat berbahaya. Bahkan kini Bayu tampak kerepotan menghindarinya.
Beberapa kali Pendekar
Pulau Neraka itu
mengendus dan gerahamnya menggeretak, tapi masih berusaha mengendalikan diri.
*** Namun menghadapi kenyataan bahwa Sureng Rana
tidak lagi bermain-main dan ingin membunuhnya,
Bayu tak dapat lagi mengekang diri. Darahnya seketika menggelegak ketika satu
pukulan keras lawan bersarang di punggung dan membuatnya tersuruk jatuh
mencium tanah. Saat berada di tanah, kemarahan Bayu langsung
mencapai puncak Sureng Rana malah mencecarnya
habis-habisan. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka itu
bergulingan menghindari setiap tebasan dan tusukan tongkat berbentuk ular kobra
berwarna hitam kelam
itu. Hingga pada satu tusukan yang tepat mengarah ke dada, Bayu tidak berusaha
menghindar. Dan tepat
ketika ujung tongkat si Kobra Hitam hampir mencapai dadanya, cepat bagai kilat
Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan kedua telapak tangannya untuk menjepit
ujung tongkat yang runcing itu.
Tap! "Hup!"
Sungguh cerdik Pendekar Pulau Neraka. Tepat pada
saat Sureng Rana menghentakkan tongkat diringankan tubuhnya sehingga ikut
terbawa naik dan melenting ke udara. Pada saat itu Bayu menghentakkan tangannya
melepaskan jepitan pada tongkat itu. Dan tanpa diduga sama sekali kakinya
melayang deras ke arah punggung si Kobra Hitam.
Des! "Akh."!" Sureng Rana terpekik tertahan.
Sepakan kaki Bayu tepat menghantam punggungnya. Untung saja Bayu tidak penuh mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga Sureng Rana
hanya sempat terdorong ke depan beberapa langkah.
Tapi bibirnya meringis juga menahan sakit pada
punggungnya. "Yaaah...!"
Sambil berteriak keras, Sureng Rana cepat memutar
tubuhnya. Dan secepat itu pula tongkat ular kobra itu diputar untuk menyampok
kaki Pendekar Pulau Neraka yang baru saja mendarat di tanah.
"Uts! Hup...!"
Terpaksa Bayu melentingkan tubuhnya kembali ke
udara. Pada saat yang sama, Sureng Rana menghentakkan tangan kirinya ke atas. Seketika dari tangannya keluar benda bulat
hitam yang meluncur
bagai kilat ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Wusss! "Yeaaah...!"
Tak ada pilihan lain lagi bagi Bayu yang berada di udara. Sambil memutar
tubuhnya yang berjumpalitan, dihentakkan tangan kanannya. Seketika itu. juga
Cakra Maut melesat menyambut benda hitam yang dilontarkan Sureng Rana.
Glaaarrr...! Ledakan keras terjadi ketika dua benda dahsyat
beradu di udara. Tampak asap tebal menyebar disertai percikan
bunga api. Bayu mengangkat tangan
kanannya ke atas ketika kakinya mendarat di tanah.
Maka Cakra Maut itu kembali melesat balik dan
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu. Namun secepat
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu pula Bayu menghentakkan tangannya kembali dengan tubuh
membungkuk agak miring ke kiri.
"Yeaaah...!"
Wut! Cakra Maut kembali melesat dari pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka. Lesatannya demikian
cepat, melebihi lesatan anak panah lepas dari busur.
Hal ini membuat Sureng Rana terperangah. Buru-buru dikibaskan tongkatnya
menyampok senjata cakra
bersegi enam itu.
Trang! Satu benturan keras terjadi.
"Akh...!" lagi-lagi Sureng Rana terpekik.
Laki-laki tua itu terdorong ke belakang beberapa
tindak. Tampak tangannya bergetar dan wajahnya agak memucat Sedangkan bibirnya
bergetar, dan matanya
membeliak lebar. Si Kobra Hitam itu hampir tidak
percaya kalau tenaga dalamnya masih di bawah
pemuda berbaju kulit harimau itu.
Tapi Sureng Rana tidak sempat berpikir jauh lagi.
Karena, Cakra Maut yang masih berada di udara cepat berputar
bagai memiliki mata, dan langsung menyambar ke arah kepala laki-laki tua itu.
"Uts!"
Buru-buru Sureng Rana merundukkan kepalanya,
maka Cakra Maut bersegi enam itu lewat sedikit di atas kepalanya. Tapi ikat
kepala laki-laki itu sempat terbabat dan lepas terbawa angin lesatan Cakra Maut
Pendekar Pulau Neraka. Bahkan Sureng Rana sampai memegangi
kepalanya. Laki-laki tua itu tak bisa lagi berpikir, karena Cakra Maut sudah
kembali berbalik dan
menyerangnya. Namun matanya sempat melirik ke
arah Bayu yang tengah menggerak-gerakkan tangannya mengendalikan senjata andalan
itu. "Yeaaah...!"
Sambil mengecutkan tongkatnya untuk menyampok senjata Cakra Maut bersegi enam itu,
Sureng Rana melesat ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Kaki kirinya terhentak memberi tendangan keras ke
arah kepala. "Yaaah...!"
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Ternyata Bayu
tidak berkelit sedikit pun. Bahkan dengan sigapnya diangkat kedua tangannya
menyilang di atas kepala, sehingga tendangan kaki si Kobra Hitam menghantam
tangan pendekar Pulau Neraka.
Tepat ketika terjadi benturan keras, Bayu memutar
tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah, disangga oleh kedua tangannya. Lalu
kaiti Pendekar Pulau
Neraka menghentak keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Satu
serangan balik yang
meminjam tenaga lawan itu sungguh tidak terduga
sama sekali. Dan....
Des! "Aaakh...!" Sureng Rana terpekik keras.
Sepasang telapak kaki Pendekar Pulau Neraka tepat
menjejak perut si Kobra Hitam. Begitu kerasnya,
sehingga orang tua bertongkat ular kobra itu terpental deras dan jauh. Luncuran
tubuhnya baru berhenti
setelah menghantam sebatang pohon hingga hancur
berkeping-keping
Sementara Bayu tidak ingin menunggu lama lagi
Segera diangkat tangannya, maka Cakra Maut yang
sejak tadi melayang-layang di udara langsung melesat balik Begitu senjata
bersegi enam itu melekat di
pergelangan tangan. Dengan cepat Bayu menghentakkan kembali ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wusss! Seketika Cakra Maut kembali melesat dengan
kecepatan luar biasa. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu melunak deras ke
arah si Kobra Hitam yang tengah berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga laki-
laki tua itu mampu berdiri tegak, Cakra Maut sudah menghantam dadanya.
Crab! "Aaa...!" kembali Sureng Rana menjerit keras.
Sebentar laki-laki tua itu masih mampu berdiri, tapi sesaat kemudian ambruk ke
tanah berkelojotan. Begitu Cakra Maut yang terbenam dalam dada Sureng Rana
keluar balik pada pemiliknya, darah langsung muncrat dari dada yang terbelah
itu. Bayu berdiri tegak sambil melipat tangan di depan
dada. Senjata saktinya kini sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka.
Sesaat dipandanginya si Kobra Hitam
yang menggelepar meregang nyawa. Memang tak ada
seorang pun yang tahan jika terhunjam senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu.
Demikian pula nasib
Sureng Rana. Dia tewas dengan dada berlubang
berlumuran darah segar.
*** Bayu mengalihkan pandangannya ke arah gadis
berbaju hijau muda yang masih duduk bersila
meskipun tidak lagi bersemadi. Wajah gadis itu tampak pucat. Malah pandangan
matanya begitu sayu bagai
tak memiBki gairah hidup. Bayu menghampiri, lalu
duduk di depan gadis itu. Sebentar dipandanginya
wajah gadis itu, kemudian pandangannya beralih pada dada sebelah kiri atas,
tempat terdapatnya luka memar menghitam sebesar kepalan tangan.
"Kau terluka, Nisanak," ujar Bayu pelahan.
"Hanya sedikit Sebentar lagi juga hilang," sahut gadis itu seraya mencoba
tersenyum. 'Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku."
"Lupakan itu. Tampaknya kau membutuhkan
pertolongan."
Gadis berbaju hijau itu mencoba tersenyum, tapi
tiba-tiba berubah jadi meringis seperti menahan sakit Bayu menggeser duduknya
lebih mendekat, lalu
menjulurkan tangannya ke arah noda hitam sebesar
kepalan tangan di dada kiri gadis itu.
"Maaf," ucap Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan telapak tangannya di
dada kiri gadis
berbaju hijau. Kelopak mata gadis itu terpejam, seraya menggigit-gigit bibirnya
sendiri. Sementara Bayu terus menatap tangannya yang menutup noda hitam di dada
kiri itu. Tampak wajah Pendekar Pulau Neraka
kelihatan menegang dan memerah, lalu seluruh
tubuhnya bergetar bagai tersengat lebah.
"Hoek...!"
Gadis berbaju hijau muda itu tiba-tiba memuntahkan segumpal darah kental berwarna hitam
pekat Wajahnya semakin memucat Namun Bayu tepat
menekan dada kiri gadis itu kuat-kuat Asap tipis
mengepul dari sela-sela jari Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Bayu berteriak keras. Dan seketika itu juga
dihentakkan tangannya, dan langsung ditarik kembali. Tubuh gadis itu berguncang
hebat, dan kembali memuntahkan darah. Kali ini berwarna merah, namun masih ada
sedikit gumpalan kehitaman.
"Hsss...!" Bayu menarik napas dalam-dalam melalui mulut.
Tangan kanannya terbuka sejajar dada. Sedangkan
tangan kiri terkepal sejajar pinggangnya. Tatapan
matanya masih terlihat tajam. Dan kembali Pendekar Pulau Neraka itu berteriak
keras. Dengan cepat dada kiri gadis itu digedor, dan secepat itu pula ditarik
kembali tangannya. Tampak tubuh gadis itu berguncang hebat lalu memekik tertahan.
"Akh! Hoeeek....'"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang melihat muntahan yang sudah bersih.
Muntahan yang ketiga
kali ini hanya berupa darah.
"Ohhh...," gadis itu merintih lirih.
"Jika tidak segera dikeluarkan, racun itu bisa merusak seluruh jaringan urat
syarafmu. Hhh.... Untung saja belum merambat sampai ke pembuluh darah,"
jelas Bayu. 'Terima kasih," hanya itu yang bisa keluar dari mulut gadis ini.
"Sebentar lagi kau akan pulih kembali," jelas Bayu lagi:
Gadis itu hanya tersenyum saja.
Bayu menggeser duduknya menjauh. Diperhatikannya gadis itu yang kini sedang bersemadi untuk memulihkan kondisi
tubuhnya. Hanya sebentar saja gadis itu bersemadi, dan kini
wajahnya sudah kembali segar. Belahan pipinya
kembali diwarnai rona merah. Bibirnya tersenyum
seakan-akan hendak mengucapkan terima kasih sekali lagi pada pemuda berbaju
kulit harimau itu. Tapi
tampaknya gadis itu tahu kalau pemuda di depannya
tidak memerlukan ucapan terima kasih.
"Kenapa kau menolongku?" tanya
gadis itu kemudian. "Karena kau butuh pertolongan," sahut Bayu kalem.
Kembali gadis itu tersenyum manis.
"Boleh aku tahu, kenapa kau bisa bentrok dengan si Kobra Hitam?" tanya Bayu.
"Hhh..., sudah lama Sureng Rana jadi musuh besar keluargaku. Entah kenapa dia
selalu menginginkan
kotak kayu yang disimpan Ayah," desah gadis itu pelan.
"Kotak kayu...".'" Bayu tersentak kaget.
"Iya, kenapa" Tampaknya kau terkejut..."
"Oh! Apakah...,"
suara Bayu terputus, lalu mendesah menghembuskan napas panjang.
Pendekar Pulau Neraka itu mengamati wajah gadis
di depannya dalam-dalam. Mendapat pandangan
seperti itu, gadis berbaju hijau itu menjadi jengah juga.
Wajahnya bersemu merah, dan bola matanya berputar.
Hanya saja dia tidak ingin memalingkan ke arah lain, meskipun hatinya berdetak
kencang "Nisanak! Boleh aku tahu namamu?" pinta Bayu.
'Tentu saja boleh. Namaku Rampita," jawab gadis itu senang hati.
"Ohhh...," Bayu mendesah panjang sambil menepak keningnya.
"Eh! Kau kenapa...?" tanya gadis yang mengaku bernama Rampita itu tidak mengerti
akan tingkah pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Ah! Kenapa ada dua Rampita di dunia ini...?" keluh Bayu.
*** 6 Rampita benar-benar tak mengerti mendengar
keluhan pemuda berbaju kulit harimau itu. Kini malah berbalik, dia yang kini
memandangi wajah tampan di depannya. Sedangkan Bayu hanya mendongakkan
kepala, dan beberapa kali menghembuskan napas
panjang. "Kisanak...," sapa Rampita, pelan suaranya.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," potong Bayu memperkenalkan diri.
"Hm..., tampaknya kau kebingungan. Ada apa"
Kenapa mengatakan ada dua Rampita?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Hhh..., sukar dijelaskan. Aku jadi tidak mengerti, apakah kau ini memang
Rampita atau malah hanya
mengaku-aku saja. Tapi aku juga tidak yakin kalau dia benar," ujar Bayu
terdengar mengeluh.
"Siapa yang kau maksudkan, Ki...?"
"Bayu."
"Oh, iya. Hmmm..., boleh memanggilmu Kakang
Bayu" Kelihatannya kau lebih tua usianya dariku."
"Boleh saja."
"Hm..., Kakang Siapa yang dimaksudkan dengan
Rampita satunya lagi?" gadis berbaju hijau muda itu mengulangi, pertanyaannya.
"Hhh...! Sukar mengatakannya...," desah Bayu lirih.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka itu
menceritakan semua yang dialami. Mulai dari pertemuannya dengan Adilangu yang telah berpesan
sebelum ajal menjemput, sampai pertemuannya dengan seorang gadis yang tinggal di
Puncak Gunung Cakal.
Gadis itu juga mengaku bernama Rampita. Saat itu
Bayu percaya saja dan menyerahkan kotak kayu yang
diamanatkan Adilangu padanya.
"Hm..., aku tahu kini. Kau pasti bertemu Seruni si Gadis
Salju,"
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gumam Rampita setelah Bayu menyelesaikan ceritanya.
"Oh! Kalau begitu, aku telah salah memberi kotak yang diamanatkan Adilangu,"
lagi-lagi Bayu mengeluh.
"Bukan salahmu, Kakang. Aku bisa mengerti.
Seruni memang mengetahui persis keluargaku. Makanya tidak ada kesulitan baginya untuk mengelabuimu," ujar Rampita membesarkan hati
Pendekar Pulau Neraka.
"Rampita. Boleh aku tahu,
kenapa mereka menginginkan kotak kayu itu?" pinta Bayu.
"Aku sendiri tidak tahu, Kakang. Kotak kayu itu sudah ada sebelum aku lahir.
Yaaah..., yang kuketahui, hanya si Kobra Hitam saja yang begitu ingin
menguasainya. Sedangkan Ayah selalu mempertahankan. Sudah bertahun-tahun si Kobra
Hitam mencoba merebutnya, tapi baru sekarang
rupanya berhasil membunuh ayahku. Untung saja dia
tidak berhasil menguasai kotak kayu itu," ujar Rampita memberitahu.
"Oh, jadi ayahmu sudah...?"
Bayu tidak meneruskan pertanyaannya.
"Mereka yang memberitahu," jelas Rampita seraya menunjuk mayat-mayat yang
bergelimpangan.
Bayu memandangi mayat-mayat itu.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Mereka adalah murid setia ayahku yang sengaja meninggalkan
Padepokan Tongkat Sakti untuk menemuiku di sini. Mereka juga mengatakan kalau
Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur oleh gerombolan Barong Codet"
Bayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gerombolan Barong Codet memang pernah didengarnya dari Adilangu. Bahkan Pendekar Pulau
Neraka sempat menyelamatkan pemuda itu dari
cengkeraman tangan iblis si Barong Codet. Meskipun tidak sempat bentrok, karena
saat itu keadaan Adilangu cukup gawat
"Rampita. Kalau boleh tahu, kenapa kau tinggal di sini dan tidak bersama-sama
ayahmu?" tanya Bayu jadi ingin tahu lebih banyak lagi.
"Ayahku yang menghendaki. Aku tinggal tidak jauh dari sini, bersama Paman dan
Bibi. Tapi mereka sudah meninggal. Bibi lebih dahulu meninggal. Dan setahun
kemudian, Paman menyusul. Sebenarnya ayahku ingin
mengambilku kembali, tapi aku menolak. Aku lebih
senang tinggal di tempat sunyi seperti ini sambil
memperdalam ilmu yang kumiliki."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Rampita.
"Kau tidak ingin merebut kembali warisan ayahmu?" "Mungkin tidak. Biarlah Seruni yang memilikinya."
"Aneh sekali...," gumam Bayu tidak mengerti sikap gadis ini.
'Tidak ada yang aneh, Kakang. Bagiku benda itu
hanya membawa malapetaka saja. Aku bisa merebutnya kembali dari tangan Seruni. Tapi, apakah itu akan menyelesaikan
masalah" Tidak, Kakang Malah menurutku akan menimbulkan masalah baru lagi.
Bukannya tidak mungkin mereka akan mengejarku
untuk merebut kotak itu. Bahkan guru Seruni pasti
ikut campur tangan."
Bayu terdiam membisu. Secara jujur memang di-
akui kebenaran kata-kata Rampita. Sudah banyak
darah tertumpah hanya
karena memperebutkan
sebuah benda yang dianggap memiliki pamor dahsyat
Bahkan seluruh orang rimba persilatan mempermasalahkannya. Sebagian besar dari mereka,
bentrok hanya karena memperebutkan sebuah benda
pusaka. Tapi Bayu juga tidak menyetujui sikap gadis ini,
yang kelihatannya menunjukkan kurang berbakti pada orang tua. Tidak seharusnya
Rampita menyepelekan
sebuah benda peninggalan orang tuanya. Sesuatu yang menjadi keramat dan
diwasiatkan sudah selayaknya
dipertahankannya, meskipun dengan darah dan nyawa.
Tapi Rampita sepertinya tidak ambil peduli, walaupun sudah mempunyai pegangan
hidup yang diyakini
memiliki kebenaran.
"Rampita, apakah kau tidak berhasrat membalas kematian ayahmu?" tanyai Bayu jadi
ingin lebih tahu lagi tentang gadis ini.
"Untuk apa" Orang yang membunuh ayahku sudah
tewas, meskipun bukan dengan tanganku sendiri,"
jawab Rampita tegas.
"Lalu bagaimana dengan pedepokan ayahmu?"
"Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur. Murid-
murid yang tersisa pun sudah tewas semuanya di sini.
Untuk apa mempersoalkannya lagi" Maaf, Kakang.
Dendam tidak akan menyelesaikan semua persoalan.
Bahkan akan melahirkan dendam baru yang tidak
akan berhenti sampai salah satu pihak musnah tanpa meninggalkan keturunan lagi."
"Bukan maksudku menyuruhmu membalas dendam. Tapi paling tidak kau bisa membangun
Padepokan Tongkat Sakti kembali."
"Ah! Rasanya aku lebih suka hidup begini.
Kehidupan yang damai, menyatu dengan alam dan
mendekatkan diri pada Hyang Widi. Rasanya hidup
seperti itu lebih nikmat daripada harus selalu cemas dan
bergelimang darah," kembali Rampita mengemukakan prinsip hidupnya.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Tidak ada
hak baginya untuk mempengaruhi gadis ini. Gaya
hidup yang diinginkan memang berbeda jauh dengan
dirinya. Sampai sekarang Pendekar Pulau Neraka
masih terus mencari pembunuh-pembunuh ayahnya.
Bahkan sampai sekarang belum diyakini kalau ibunya tewas. Bayu percaya kalau
ibunya masih hidup dan
sekarang berada di suatu tempat.
*** Dua hari lamanya Bayu tinggal di sebuah pondok
kecil milik Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu
mengakui kalau cara hidup yang dijalankan gadis ini sungguh damai. Jauh dari
persoalan-persoalan duniawi yang menyeret ke arah napsu keserakahan jika tidak
bisa mengendalikan diri. Tapi Bayu tidak mungkin bisa hidup seperti ini sebelum
bertemu ibunya.
Pagi-pagi sekali Pendekar Pulau Neraka sudah
Pedang Keadilan 41 Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah Pahlawan Dan Kaisar 16
di sini," kata Bayu sopan.
"Orang yang kau cari tidak ada di sini. Sebaiknya cepat pergi!"
Bayu mengangkat bahunya. Tapi belum juga
berbalik, terlintas satu pikiran di benaknya.
"Apa lagi yang kau tunggu?" sentak gadis itu ketus.
"Maaf, boleh bertanya?" pinta Bayu ramah.
"Katakan, sebelum aku berubah pikiran untuk
membunuhmu!"
"Apakah ada orang yang tinggal di sekitar Gunung Cakal ini?" tanya Bayu
memanfaatkan kesempatan yang sedikit ini.
"Tidak!" sahut gadis itu singkat.
'Terima kasih."
Bayu langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.
"Huh! Tidak ada orang lain di sini. Sebaiknya aku kembali saja ke Padepokan
Tongkat Sakti!" dengus Bayu tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"He! Tunggu...!" sentak gadis itu tiba-tiba.
Bayu menghentikan langkahnya, lalu berbalik
menghadap ke arah gadis berbaju putih itu kembal
"Kau tadi bilang apa?" tanya gadis itu.
'Tidak. Aku hanya bicara sendiri," jawab Baya
"Kalau tidak salah, kau tadi menyebut-nyebut
Padepokan Tongkat Sakti. Apakah kau berasal dari
sana?" "Bukan. Bahkan aku sendiri tidak tahu tentang Padepokan Tongkat Sakti."
"Kisanak, aku belum tuli dan mendengar jelas kalau kau ingin kembali ke
Padepokan Tongkat Sakti!" agak ketus nada suara gadis itu. "Katakan yang
sebenarnya, apa maksudmu datang ke sini?"
Bayu tidak langsung menyahuti. Diangkat bahunya
dan diperhatikannya gadis itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pendekar
Pulau Neraka itu jadi teringat akan pesan Adilangu menjelang ajal. Kotak kayu
yang berada di dalam buntalan kain ini harus diberikan pada seseorang yang
tinggal di Gunung Cakal. Dia memang tidak tahu siapa orangnya, kecuali namanya
saja. "Kisanak! Jika kau memang berasal dari Padepokan Tongkat Sakti, kau pasti hendak
menemuiku," tegas gadis itu lagi.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja, dan belum mau percaya begitu saja pada
kata-kata gadis ini.
"Atau kau hanya seorang utusan saja" Katakan, apa yang kau bawa dari Padepokan
Tongkat Sakti?"
desak gadis itu.
Bayu masih belum membuka mulut, dan malah
semakin tajam memperhatikan gadis ini. Sedangkan
gadis berbaju putih itu semakin penasaran karena
pemuda di depannya belum juga mau menjawab setiap
pertanyaannya. Sorot matanya mencerminkan ketidaksabaran. Tapi tampaknya gadis itu masih
berusaha menahan diri.
"Nisanak, apakah kau yang bernama Rampita?"
Bayu malah bertanya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu tertawa
renyah. Begitu lepasnya sehingga baris-baris gigi yang putih rapi terlihat
jelas. Bayu sampai menelan ludahnya memandangi kecantikan gadis di depannya ini.
Begitu cantik dan sempurnanya, seakan-akan tanpa cacat
sedikit pun *** Bayu mengayunkan kakinya mengikuti langkah
gadis itu yang masuk ke dalam gua. Kalau saja gadis itu tidak memberi isyarat
agar mengikutinya, Pendekar Pulau Neraka itu tidak akan ikut masuk kembali ke
dalam gua. Bukannya takut bertemu lagi beruang putih raksasa itu, tapi tidak
ingin mencelakakan binatang cantik yang liar itu.
Bayu melangkah di belakang gadis itu. Diperhatikannya setiap relung gua ini. Sebuah gua yang cukup panjang dan
berliku. Bahkan banyak cabang
yang bisa membuatnya bingung jika harus keluar lagi seorang diri. Sepanjang
lorong yang dilewati bentuknya serupa, bahkan sukar dicari perbedaannya.
Mereka berhenti melangkah setelah tiba di suatu
rongga yang cukup luas dan diterangi beberapa obor yang terpancang di setiap
sudut. Ada sekitar lima mulut cabang gua di dalam sini, dan keadaannya serupa
persis. Bahkan yang dilewatinya juga sama persis baik ukuran maupun bentuknya.
Bayu menatap sebuah
batu pipih yang terletak di bagian tengah ruangan ini.
Sementara gadis itu lalu duduk di atas batu itu. Ditatap dan dipersilakannya
Pendekar Pulau Neraka itu agar duduk di sebuah batu yang terletak tidak jauh di
samping mulut gua yang tadi dilaluinya. Bayu
kemudian duduk bersila di sana.
"Kisanak Jika kau mencari Rampita, maka kini
sudah bertemu orangnya," tegas gadis itu lembut
"Kau, Rampita...?" Bayu ingin menegaskan.
"Benar. Aku Rampita."
"Bagaimana bisa kupercayai kalau kau benar-benar Rampita," Bayu meminta bukti.
"Jika kau memang utusan Padepokan Tongkat
Sakti, kau pasti kenal ayahku," tegas Rampita lagi.
Bayu hanya diam saja. Sebenarnya dia tidak tahu
tentang Padepokan Tongkat Sakti, tapi harus berpura-pura tahu untuk meyakinkan
diri kalau gadis itu
memang benar Rampita.
"Padepokan Tongkat Sakti letaknya tidak jauh dari Lembah Bunga. Ayahku bernama
Anom Sura, Ketua
Padepokan Tongkat Sakti. Nah, apakah sudah yakin
sekarang?"
"Kau tahu, kenapa aku datang ke sini?" tanya Bayu.
'Tidak," sahut Rampita.
Bayu kembali terdiam. Waktu itu dia hanya
bertemu Adilangu. Dan menjelang ajalnya, Adilangu
hanya memberikan satu kalimat tanpa penjelasan rinci.
Tapi dari nada suaranya,Bayu bisa memastikan kalau Adilangu ingin menyerahkan
kotak kayu tanpa pem-beritahuan lebih dahulu.
Pendekar Pulau Neraka itu melepaskan ikatan
buntalan kain di bahu, lalu meletakkan benda itu di depannya. Sementara Rampita
hanya memandangi!
saja tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Terus terang, aku bukan dari Padepokan Tongkat Sakti. Dan aku sendiri tidak
tahu, di mana Padepokan Tongkat Sakti itu," kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau ingin bertemu denganku"'
tanya Rampita. Bayu langsung menceritakan perjalanannya. Dari
pertemuannya dengan Adilangu, hingga pemuda itu
tewas di tangan laki-laki tua berjubah hitam yang
mengaku bernama Sureng Rana atau berjuluk si Kobra Hitam. Sedikit pun Pendekar
Pulau Neraka itu tidak mengurangi atau melebihkan ceritanya. Sementara
Rampita hanya diam mendengarkan sampai pemuda
berbaju kulit harimau itu menyelesaikan ceritanya.
Untuk sementara keheningan menyelimuti mereka
berdua. "Pasti telah terjadi sesuatu, sehingga Ayah harus memberikan kotak pusaka itu
padaku," ujar Rampita memecahkan keheningan.
Rampita turun dari atas batu yang didudukinya,
kemudian berjalan menghampiri Bayu dan membungkuk mengambil buntalan kain di depan
Pendekar Pulau Neraka itu. Gadis itu kemudian
berbalik sambil membawa buntalan kain itu dan duduk kembali di tempatnya.
Hati-hati sekali gadis itu membuka ikatan kain.
Dikeluarkannya sebuah kotak kayu berukir yang sudah kelihatan tua, namun
warnanya belum pudar. Rampita tersenyum begitu membuka tutup kotak kayu itu,
kemudian menutupnya kembali dan meletakkan di
sampingnya. Ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
"Kau tahu apa isi kotak kayu ini?" tanya Rampita.
"Tidak. Aku tidak membukanya sama sekali," jawab Bayu jujur.
"Hmmm..., sejak tadi aku belum mengetahui
namamu. Siapa namamu?"
"Bayu."
"Ke mana tujuanmu setelah ini?" tanya Rampita lagi.
"Tidak ada tujuan. Aku pergi ke mana saja aku suka, mengikuti langkah kakiku."
"Baiklah. Aku berterima kasih karena kau sudah bersusah payah mengantarkan benda
ini. Sebaiknya besok siang saja kau lanjutkan perjalananmu. Dan kau boleh menginap di sini,
tapi tempatnya tidak layak."
"Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup."
"Hmmm...," Rampita tersenyum manis.
*** 4 Pagi-pagi sekali Bayu sudah meninggalkan gua di
Puncak Gunung Cakal. Sungguh aneh sekali! Puncak
gunung ini kini tidak ada salju sedikit pun, tidak seperti kemarin. Tapi Bayu
tidak ambil peduli. Bergegas
ditinggalkannya tempat itu sambil mempergunakan
ilmu meringankan tubuhnya. Sementara gadis cantik
berbaju putih ketat yang mengaku bernama Rampita
mengantarkan sampai di depan mulut gua.
Gadis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke
atas setelah bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka
itu tidak terlihat lagi. Dan ketika jari-jari tangannya menjentik, mendadak saja
bertiup angin kencang.
Seketika seluruh puncak gunung ini berselimut kabut Tak berapa lama saja, dari
langit berhamburan benda-benda putih yang halus bagai kapas.
Dalam waktu tidak berapa lama, seluruh permukaan tanah di Puncak Gunung Cakal ini sudah
terselimut salju. Sepanjang mata memandang hanya
warna putih yang teriihat, bagai berada di ladang kapas yang sangat luas. Gadis
itu menyunggingkan senyum, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah masuk
ke dalam gua. Dengan langkah yang sangat ringan, gadis yang
mengaku bernama Rampita itu berjalan menyusuri gua tempat tinggalnya. Ayunan
kakinya ringan sekali,
namun terlihat cepat Karena telah sangat hafal dengan liku-liku gua ini. Maka
dalam waktu tidak berapa lama saja dia sudah tiba di ruangan yang cukup luas dan
diterangi cahaya api obor yang tidak kunjung padam.
Gadis itu duduk kembali di batu pipih berwarna putih berkilat Diambil kotak kayu
berukir dan dibuka
tutupnya. "Huh! Pasti pemuda itu yang mengambilnya!"
dengus Rampita sambil menutup kotak itu.
Seketika dilemparkannya kotak itu, hingga hancur
berkeping-keping begitu menghantam dinding gua.
Wajah gadis itu memerah, dan bibirnya terkatup rapat.
Gerahamnya bergemeletuk seakan menahan kemarahan. Matanya tajam memandangi kotak kayu
berukir yang sudah hancur berkeping-keping. Kini
tinggal kayu-kayu saja, tanpa ada satu benda lain.
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali gadis itu menepuk tangan, maka tidak
lama kemudian dari mulut-mulut lorong gua bermun-
culan sekitar sepuluh orang wanita berpakaian putih-putih. Di pinggang mereka
melilit sehelai selendang berwarna biru. Di punggung masing-masing tersampir
sebilah pedang. Gadis-gadis itu berkumpul dan duduk bersila di depan Rampita.
"Dengar! Aku tidak akan banyak bicara. Hari ini juga kalian turun gunung dan
bunuh laki-laki bernama Bayu! Dia mengenakan baju kulit harimau, tanpa
membawa senjata apa pun juga. Kalian jangan banyak tanya. Bunuh saja laki-laki
itu dan hancurkan
Padepokan Tongkat Sakti. Paham...!" tegas nada suara Rampita.
"Paham, Gusti Ayu...," sahut sepuluh gadis itu serempak.
"Berangkatlah sekarang!"
Tanpa ada yang membantah, sepuluh gadis berbaju
putih itu bergegas pergi. Sedangkan Rampita masih
tetap duduk di atas batu pipih. Ditariknya napas
panjang setelah sepuluh orang gadis itu tidak terlihat lagi
"Beruang Putih, kemarilah!" seru Rampita keras.
"Grhauuughk...!"
Bersamaan terdengarnya gerungan keras, dari
sebuah mulut gua di depan gadis itu muncul seekor
beruang berbulu putih bagai kapas. Binatang bertubuh besar yang tingginya hampir
menyamai pohon cemara
itu mendekam di depan Rampita. Suara genangannya
terdengar pelan, bahkan bisa dikatakan lirih.
"Sudah saatnya kita hancurkan Padepokan Tongkat Sakti, Beruang Putih," tegas
Rampita seraya bergerak turun dari atas batu.
"Ghrrr...!" beruang putih hanya menggerung pelan.
"Ayo!"
Sekali lesatan saja, Rampita sudah duduk di
punggung binatang raksasa itu. Kemudian beruang
putih itu melompat meninggalkan tempat itu. Sungguh cepat, bagai kilat. Dalam
sekejap saja, binatang itu sudah lenyap di lorong gua menuju keluar.
Sementara itu Bayu baru saja sampai di Kaki
Gunung Cakal. Pendekar Pulau Neraka itu menghenyakkan tubuhnya duduk di bawah sebatang
pohon yang cukup rindang, sehingga melindungi
dirinya dari sengatan
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cahaya matahari. Angin berhembus lembut, membuat kelopak mata Pendekar
Pulau Neraka itu terasa berat. Kepalanya terangguk menahan rasa kantuk yang
tiba-tiba menyerang
dahsyat "Oaaah..., kenapa berat sekali mataku ini," keluh Bayu seraya menggosok-gosok
matanya. Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba
mengusir rasa kantuk yang menyerang begitu dahsyat Rasanya kantuknya tidak kuat
lagi ditahan. Baru kali ini Pendekar Pulau Neraka mengalami kantuk demikian
hebat. Padahal, semalaman dia tidur nyenyak dalam
kehangatan gua.
"Uh! Aku merasa ada kelainan...," dengus Bayu.
Mendapat pikiran demikian, Pendekar Pulau Neraka itu langsung saja menggerak-
gerakkan tangannya di depan dada. Kemudian diletakkan kedua tangannya di depan
dada dengan tangan kanan berada di tangan kiri.
Punggung telapak tangan menyatu rapat dan jari
telunjuk mengacung ke atas.
"Ufh! Hsss...!" Bayu mengatur jalan napasnya.
Pelahan namun pasti, Pendekar Pulau Neraka itu
menyalurkan hawa murni ke seluruh urat syaraf. Dan perasaannya semakin yakin
kalau ada yang tidak beres di tempat ini. Dirasakan adanya suatu perlawanan
halus yang hampir tidak terasakan.
"Ilmu 'Sirep'...," desis,Bayu bisa mengenali adanya penyebaran suatu ilmu di
sekitarnya. Pendekar Pulau Neraka itu menolehkan kepalanya
ke kanan, dan tiba-tiba saja dihentakkan kedua
tangannya ke samping kanan.
"Hiyaaa...!"
Satu hembusan angin keras muncul dari telapak
tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan seketika itu juga sebatang pohon
yang cukup besar tumbang
terhantam pukulan jarak jauh yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka.
Tepat saat pohon itu tumbang, berkelebat satu
bayangan putih ke angkasa. Dan begitu Bayu
melompat berdiri, dari balik pohon dan semak belukar bermunculan gadis-gadis
berbaju putih mengenakan
selendang biru pada pinggangnya. Gadis-gadis berwajah cantik itu langsung bergerak mengepung.
"Hmmm..., siapa kalian?" tanya Bayu seraya mengamati sepuluh gadis cantik yang
kini sudah mengepungnya. "Jangan banyak omong! Seraaang...!" salah seorang gadis berseru keras.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Seketika itu juga gadis cantik berbaju putih yang
berjumlah sepuluh orang itu berlompatan menyerang
Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat dan tiba-tiba
sekali, sehingga Bayu tidak sempat lagi menghalau.
Bergegas diegoskan tubuhnya ketika salah seorang
yang berada di depan melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Dan
belum juga pemuda
berbaju kulit harimau itu bisa menarik pulang
tubuhnya, datang lagi serangan dari arah kiri. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka
melompat ke belakang menghindari pukulan keras itu. Dan pada saat yang
hampir bersamaan, seorang gadis yang berada di
belakangnya melontarkan tendangan keras menggeledek Kali ini Bayu tak sempat lagi berkelit Bughk!
"Ugh...!" Bayu melenguh pendek. Pendekar Pulau Neraka itu terhuyung ke depan.
Pada saat itu satu
pukulan kembali datang dari arah depan. Dan Bayu
hanya bisa terpekik saat pukulan keras bertenaga
dalam cukup tinggi itu menghantam telak dadanya. Tak ampun lagi, tubuh Pendekar
Pulau Neraka itu
terjungkal keras ke belakang, hingga bergulingan di tanah.
"Edan...!" dengus Bayu memalu. Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu bisa bangkit
berdiri, salah seorang
lawan sudah menghunus pedang dan membabatkan ke tubuhnya. Terpaksa Bayu harus
bergulingan di tanah menghindari tebasan pedang itu.
Pendekar Pulau Neraka benar-benar kewalahan, karena tidak diberi kesempatan sama
sekali untuk bangkit
berdiri. Hunjaman pedang datang silih berganti bagai hujan mengurung tubuhnya,
sehingga terpaksa harus
bergelimpangan menghindar.
"Keparat! Hih...!"
Darah Pendekar Pulau Neraka itu langsung
mendidih. Tepat ketika sebatang pedang lawan
mengarah ke dada, secepat kilat Pendekar Pulau
Neraka itu merapatkan kedua tangannya menjepit
pedang itu kuat-kuat Dan pada saat pemilik pedang
itu menghentakkan senjatanya, Bayu mempergunakan kesempatan yang hanya sedikit ini
dengan baik. Tubuhnya dibuat ringan bagai kapas,
sehingga ikut terpental naik.
Pada saat yang tepat dengan kecepatan bagai kilat
Bayu melepaskan satu tendangan bertenaga dalam
sempurna. Tendangan keras dan riba-riba itu tidak
dapat terhindari lagi. Gadis yang pedangnya terkunci di tangan Pendekar Pulau
Neraka itu kontan terpekik
terkena tendangan keras bertenaga dalam sempurna.
"Akh...!"
Gadis itu terpental jauh ke belakang sampai
menabrak pohon. Bersamaan dengan itu, Bayu
menjentikkan pedang yang dirampasnya. Seketika
pedang itu meluncur deras ke arah gadis yang sedang melorot turun dengan
punggung menempel pada
batang pohon. Tak pelak lagi, pedang itu menancap di dadanya hingga tembus ke
punggung. "Aaa...!"
Jeritan melengking tinggi itu mengejutkan kesembilan gadis lainnya. Mereka langsung berlompatan mundur, dan seketika terkejut melihat
salah seorang temannya tewas dengan dada tertembus pedangnya sendiri. Tubuh
gadis itu tertahan di pohon, karena pedang itu tembus hingga menancap di pohon.
"Siapa kalian" Kenapa menyerangku...?" Pendekar Pulau Neraka mengambil
kesempatan ini untuk
bertanya. Tak ada seorang pun dari sembilan gadis itu yang
menjawab. Mereka hanya mendesis bagai ular. Tatapan mereka begitu tajam,
memancarkan amarah yang
menggelegak tak tertahankan lagi. Dan Bayu merasa
tidak ada gunanya bertanya. Siapa pun gadis-gadis ini, pasti berniat hendak
membunuhnya. Pendekar Pulau
Neraka itu begitu yakin, karena tadi telah merasakan ilmu 'Sirep' yang hampir
membuatnya tertidur.
"Seraaang...!" riba-riba salah seorang berteriak memberi perintah.
Sembilan orang gadis cantik berbaju putih itu
kembali menyerang. Kali ini serangannya semakin
dahsyat dan tidak mengenal kompromi lagi Tapi untuk kali ini persiapan Bayu
sudah matang. Tubuhnya
meliuk-liuk bagai belut menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang para
pengeroyoknya. Kedua kakinya
bergerak lincah mengimbangi gerakan tubuh.
Pertarungan yang sebenarnya tidak seimbang, tapi
Pendekar Pulau Neraka
bukanlah pemuda kosong.
Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, sehingga sukar diukur. Berbagai macam pola
serangan telah dijalankan gadis-gadis berbaju putih itu, tapi tetap saja
mengalami kesukaran mendesak pemuda itu. Bahkan beberapa
kali mereka kelabakan menerima serangan balik
Pendekar Pulau Neraka yang selalu datang tiba-tiba dan cepat luar biasa.
Trang! Bayu menangkis satu sabetan pedang yang
mengarah ke leher dengan pergelangan tangan
kanannya. Gadis yang pedangnya beradu dengan
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu tampak meringis dan tangannya
bergetar. Pada saat itu, Bayu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan
kecepatan luar biasa, pemuda berbaju kulit harimau itu melompat seraya
melontarkan satu tendangan kilat
menggeledek. "Hiyaaat..!"
Des! "Aaakh...!" gadis itu menjerit keras melengking.
Satu tendangan saja sudah membuat lawannya
terpelanting keras ke tanah. Dari mulutnya menyemburkan darah kental berwarna merah segar.
Hanya sebentar mampu menggeliat, sesaat kemudian,
gadis itu diam tak bergerak-gerak lagi. Dia tewas
dengan dada remuk terkena tendangan geledek
bertenaga dalam sangat sempurna dari Pendekar Pulau Neraka itu.
Kematian seorang temannya lagi tidak menyurutkan tekad yang lainnya. Bahkan mereka
malah semakin berang, dan terus
melancarkan serangan gencar dan berbahaya. Pedang-pedang
berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan,pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
punya kesempatan untuk menggunakan senjatanya
yang terkenal dahsyat dan mematikan. Senjata di
tangan kanan itu hanya bisa dipergunakan untuk
menangkis pedang yang tak mungkin dihindari lagi.
*** "Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras. Seketika
itu juga pertarungan berhenti. Delapan orang gadis cantik berbaju putih yang
semuanya menggenggam
pedang terhunus berlompatan mundur. Dan mereka
langsung menjatuhkan diri, dan berlutut ketika melihat seorang laki-laki
bertubuh gemuk yang tingginya tidak lebih dari seorang bocah berusia sepuluh
tahun. Laki-laki itu mengenakan jubah putih, sedangkan kepalanya gundul. Tapi
seluruh wajahnya hampir tertutup kumis dan berewok tebal berwarna dua.
"Mundur kalian!" bentak laki-laki cebol itu. Suaranya terdengar besar dan berat
sekali, namun nadanya penuh kewibawaan.
Delapan orang gadis cantik berbaju putih ketat itu bergegas bergerak mundur.
Mereka segera berdiri di belakang
laki-laki cebol itu, dan serempak memasukkan pedang ke dalam warangka di punggung.
Sementara Bayu hanya berdiri tegak memandangi
orang tua cebol itu. Keningnya berkerut, mencoba
mengingat-ingat Tapi rasanya belum pernah bertemu
orang cebol seperti ini.
"Anak Muda, kenapa kau membantai murid-
muridku?" tanya orang tua cebol itu dingin nada suaranya.
"Tanyakan saja pada mereka! Aku tidak mendahului, tapi merekalah yang memulai lebih
dahulu!" jawab Bayu mendengus.
"Murid-muridku tidak akan pernah menyerang
seseorang jika tidak didahului."
"Aku tidak akan menjawab! Kau bisa tanyakan
sendiri pada mereka!"
Laki-laki tua cebol itu berbalik dan memandangi
delapan orang gadis cantik yang langsung berlutut
sambil menundukkan kepala. Sementara Bayu hanya
diam saja, dan wajahnya tampak memberengut kesal.
"Benar kalian yang memulai?" tanya laki-laki tua cebol itu dingin.
"Ampun, Eyang Banadu. Laki-laki ini telah
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengotori tempat suci, dan mencoba mengganggu
Gusti Ayu Seruni," jawab salah seorang gadis yang berada paling kanan.
"Dusta...!" bentak Bayu menahan geram.
Laki-laki tua cebol yang dipanggil Eyang Banadu
membalikkan tubuhnya kembali. Ditatapnya tajam-
tajam Pendekar Pulau Neraka itu. Pengaduan salah
seorang gadis itu membuat wajah Bayu memerah bagai kepiting rebus, dan hanya
bisa menggeram mendengar tuduhan tanpa bukti itu. Dia sendiri tidak mengenal
gadis-gadis ini yang tiba-tiba saja menyerang tanpa bicara lagi.
"Kau mengatakan muridku berkata dusta. Itu sama artinya menghinaku, Anak Muda!"
dengus Eyang Banadu. "Huh! Guru dan murid sama saja!" dengus Bayu sengit "Baik, apa keinginan kalian
sebenarnya?"
Eyang Banadu terperangah mendapatkan tantangan begitu terbuka dari seorang pemuda yang
baru berusia sekitar dua puluh tahunan lebih. Tapi orang tua cebol itu
tersenyum, dan mendadak tertawa terbahak-bahak.
Begitu lepas tawanya sehingga perutnya yang buncit terguncang-guncang.
Bayu jadi tertegun melihat sikap orang tua cebol itu, namun hanya diam saja
dengan mata tajam tak
berkedip. Meskipun orang tua cebol itu kelihatan tenang dan tertawa renyah, tapi
Bayu tetap berwaspada.
Bagaimanapun juga, seorang guru pasti memiliki
tingkat kepandaian tinggi. Bayu jadi teringat gurunya sendiri. Meskipun cacat,
tapi ilmu olah kanuragannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya.
"Aku kagum atas keberanianmu, Anak Muda. Siapa namamu?" tanya Eyang Banadu.
"Bayu," sahut Bayu singkat
"Selama ini belum pernah aku bertemu seorang
anak muda yang berani menantangku. Hm.... Anak
muda, jika kau tidak keberatan, aku ingin sedikit
bermain denganmu," halus sekali kata-kata Eyang Banadu, tapi maksudnya jelas dan
tegas. "Baiklah. Tapi maaf, apakah ini berarti kau berniat membela muridmu?"
"Ha ha ha.... Itu urusanku, Anak muda. Tapi kalau muridku bersalah, aku yang
akan memberikan
hukumannya. Dan jika kau memang bersalah, aku
tidak akan segan-segan membunuhmu. Paham..."!"
"Aku terima dengan baik."
"Bagus! Bersiaplah! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Eyang Banadu melompat cepat bagai
kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka sambil
melontarkan dua pukulan beruntun. Sementara Bayu
yang memang sudah siap sejak tadi, langsung
menggeser kaki ke samping sambil meliukkan tubuhnya untuk berkelit Serangan orang tua cebol itu hanya mengenai tempat
kosong, tapi secepat kilat
menyerang kembali sebelum Bayu bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya.
Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan
orang tua cebol itu. Dan Bayu tidak punya kesempatan berkelit lagi. Dengan
mengerahkan tenaga dalamnya, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kiri
menyampok tendangan Eyang Banadu.
Des! "Ikh...!" Eyang Banadu terperanjat
Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang
beberapa tindak. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki anak
muda berbaju kulit harimau itu luar biasa sekali. Persendian kakinya sampai
nyeri, dan tulang-tulang kakinya bagai remuk.
"Bagus! Ternyata kau punya kemampuan juga,
Anak Muda!" puji Eyang Banadu tulus.
'Terima kasih. Sekarang giliranku. Bersiaplah,
yeaaah...!"
Setelah menyelesaikan perkataannya, Bayu langsung menggeser kakinya menyusur tanah menghampiri orang tua cebol itu. Dan secepat kilat dilepaskan satu pukulan
bertenaga dalam sempurna.
Eyang Banadu terperanjat. Buru-buru dibuang tubuhnya ke samping menghindari serangan pemuda
berbaju kulit harimau itu. Tapi tanpa diduga sama
sekali, Bayu menghentakkan kakinya sambil memutar
tubuh dan bertumpu pada sebelah kakinya lagi.
"Hiyaaa...!"
Ufs...!" Kalau saja Eyang Banadu tidak cepat merunduk,
barangkali kepalanya akan terpisah terkena sambaran kaki yang begitu keras
bertenaga dalam sempurna.
Namun demikian, orang tua cebol itu sempat juga
terhuyung terkena sambaran angin tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan kedua tokoh tangguh itu terus
berlangsung sengit Semakin lama jurus-jurus dikeluarkan semakin dahsyat dan berbahaya. Kelengahan sedikit saja pasti berakibat dahsyat.
Sementara delapan orang gadis berbaju putih hanya
menyaksikan penuh ketegangan. Tentu saja mereka
berharap agar gurunya dapat memenangkan pertarungan ini. Tapi sampai sejauh ini belum ada
tanda-tanda yang bakal terdesak. Kedua orang itu
masih terus bertarung dalam irama tingkat tinggi
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa
mereka sudah menghabiskan tidak kurang dari dua
puluh jurus. Namun kelihatannya pertarungan belum
akan cepat berakhir. Keduanya masih sama-sama
tangguh, dan masih banyak memiliki jurus berbahaya.
Hanya saja sampai sejauh ini, mereka tetap menggunakan tangan kosong, tanpa senjata sama
sekali. Bet! Tepat pada jurus keempat puluh, Eyang Banadu
melepaskan kalung untaian batu hitam yang dikenakannya, dan langsung dikebutkan ke arah kaki Bayu. Secepat kilat Pendekar
Pulau Neraka melompat menghindari sabetan untaian batu hitam itu. Dua kali
tubuhnya berputaran di udara sebelum hinggap atas
sebongkah batu.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Eyang Banadu melentingkan tubuhnya, langsung menghantamkan untaian kalung
batu hitam itu pada Pendekar Pulau Neraka. Tepat
ketika untaian kalung batu hitam hampir menghantam tubuhnya, Bayu melesat ke
atas, sehingga kalung
hitam itu hanya menghantam batu.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar tepat saat bongkahan batu
sebesar kerbau hancur berantakan. Serpihan batu dan debu mengepul, membumbung
tinggi ke angkasa. Bayu
sampai terpana menyaksikan kedahsyatan senjata
aneh orang tua cebol itu. Memang kalung hitam itu
adalah senjata sangat dahsyat, sehingga mampu
menghancurkan sebongkah batu sebesar badan ker-
bau. Bayu buru-buru menyilangkan tangan kanan di
depan dada begitu kakinya mendarat di tanah. Pada
saat itu, Eyang Banadu sudah kembali melompat
sambil mengayunkan untaian kalung hitamnya. Dan
ketika orang tua cebol itu berada di udara, bagai kilat Bayu
melompat sambil mengebutkan tangan kanannya. "Hiyaaa...!"
Swing! Dari pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka itu melesat sebuah benda berbentuk cakra
bersegi enam. Cakra Maut itu melesat, melebihi
sebatang anak panah lepas dari busur ke arah untaian kalung yang berada dalam
genggaman tangan Eyang
Banadu. Cring! "Akh...!" Eyang Banadu terpekik tertahan ketika Cakra Maut menghantam kalung
hitamnya. Bahkan orang tua cebol itu sampai terpental ke
belakang sejauh dua batang tombak, namun manis
sekali berhasil mendarat dengan kedua kakinya. Pada saat yang sama, Bayu sudah
menghentakkan tangan
kanannya kembali ke depan begitu kakinya menyentuh tanah.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Buru-buru Eyang Banadu berlompatan memutar
tubuhnya ke belakang menghindari terjangan Cakra
Maut bersegi enam itu. Tapi belum juga kakinya
menyentuh tanah, Cakra Maut itu sudah menyerang
kembali bagai kilat. Eyang Banadu terperangah. Buru-buru diegoskan tubuhnya
mencoba menghindar.
Namun.... Cras! "Akh...!" lagi-lagi orang tua eebol itu memekik.
Ujung Cakra Maut berhasil merobek bahu kanan
Eyang Banadu. Darah segar kontan muncrat keluar tak terbendung lagi Laki-laki
cebol itu terhuyung ke
belakang beberapa langkah. Ditekap bahunya yang
terluka dengan tangannya. Sementara Bayu berdiri
tegak dan mengangkat tangan kanannya. Seketika
Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana, Orang Tua?" tanya Bayu.
"Kau hebat, Anak Muda. Kali ini aku mengaku
kalah," sahut Eyang Banadu. "Tapi satu saat nanti, aku akan kembali
menantangmu!"
"Aku tunggu tantanganmu, Orang Tua," sambut Bayu sambil tersenyum manis.
Eyang, Banadu langsung melesat pergi. Demikian
pula delapan orang gadis cantik berbaju putih yang ikut meninggalkan
tempat itu. Mereka pergi mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara
Bayu hanya memandangi sambil tersenyum. Dalam
hati diakui juga ketangguhan orang tua cebol itu.
*** 5 Bayu tersentak bangun dari tidurnya ketika tiba-
tiba mendengar suara pertarungan. Pendekar Pulau
Neraka itu bergegas menggelinjang bangkit. Sebentar didongakkan kepalanya,
mencoba mencari arah suara
pertarungan itu. Dan begitu bisa menemukan arah
suara itu, langsung melesat ke sana.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dalam
sekejap saja sudah tiba di bagian Barat Lereng Gunung Cakal ini. Pemuda berbaju
kulit harimau itu terkejut saat melihat dua orang tengah bertarung sengit.
Seorang laki-laki tua berbaju biru tua kehitam-hitaman tengah menggempur seorang
gadis muda berwajah
cantik. Dari tongkat yang digunakan, Bayu sudah bisa
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenali kalau laki-laki tua itu adalah Sureng Rana atau berjuluk si Kobra
Hitam. Sedangkan lawannya....
Belum pernah Bayu melihatnya di sekitar Gunung
Cakal ini. Tapi kelihatannya gadis berbaju hijau muda itu kewalahan menghadapi
gempuran Sureng Rana.
Bayu mengedarkan pandangannya ke selatar pertarungan. Tampak tidak kurang dari dua puluh
orang bergelimpangan berlumuran darah.
"Akh...!" Bayu tersentak ketika tiba-tiba mendengar pekikan tertahan. Tampak
gadis berbaju hijau muda
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada
sebelah kiri bagian atas. Dan pada saat itu Sureng Rana sudah melompat sambil
mengibaskan tongkat
ular kobranya Sudah dapat dipastikan, gadis itu tak mungkin dapal berkelit lagi.
Tapi.... Trak! 71 "He...!" Sureng Rana terkejut ketika tiba-tiba saja tongkatnya berbalik saat
hampir menghantam kepala
gadis itu. Dan belum lagi keterkejutan Sureng Rana hilang,
tahu-tahu di depan gadis berbaju hijau muda itu sudah berdiri Pendekar Pulau
Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu menggenggam sebatang ranting kering
yang besarnya tidak lebih dari sebesar jari. Dan
panjangnya hanya sekitar lima jengkal saja.
"Bayu...," desis Sureng Rana mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Tidak jera-jeranya kau membantai orang, Kobra Hitam!" desis Bayu dingin.
"Heh...! Apa urusanmu, bocah" Minggir!" bentak Sureng Rana sengit.
"Sudah kukatakan, aku selalu berurusan dengan manusia kejam sepertimu!"
"Phuih! Kemarin kau boleh berbesar hati, bocah!
Tapi sekarang jangan harap bisa lolos dari kematian!']
"Hidup dan matiku bukan di tanganmu, Kobra
Hitam. Aku khawatir malah kaulah yang lebih dahulu ke neraka," dingin sekali
nada suara Bayu.
Sureng Rana menggeram marah. Gerahamnya
bergerut-gerut pertanda laki-laki tua bertongkat ular kobra itu tidak dapat lagi
menahan amarahnya.
Sementara Bayu sempat melirik gadis berbaju hijau
muda di belakang agak ke samping. Gadis itu tampak duduk bersila, dan kedua
tangannya merapat di depan dada. Melihat gadis itu sedang menjalankan semadi,
Bayu menggeser kakinya lebih ke depan lagi.
"Hmmm.... Kau tidak membawa benda itu, Pendekar Pulau Neraka. Di mana kau
sembunyikan kotak kayu
itu?" suara Sureng Rana terdengar setengah menggumam. "Sudah sampai pada pemiliknya" sahut Bayu kalem
"Apa..."!" Sureng Rana terperanjat bukan main. Dan Pendekar Pulau Neraka juga
berkerut keningnya. Tidak diduga kalau jawabannya akan membuat laki-laki tua
bertongkat ular kobra itu demikian terperanjat Bahkan matanya sampai mendelik
bagai hendak mencelat
keluar. Bayu melirik gadis berbaju hijau kembali ketika Sureng Rana menatap
tajam pada gadis itu.
"Kau jangan main-main, bocah setan! Kepada siapa kau berikan kotak kayu itu?"
dengus Sureng Rana menggeram.
"Sudah kukatakan pada pemiliknya! Apa masih
kurang percaya pada kata-kataku?" bentak Bayu mulai sengit.
"Bocah! Kau tahu Siapa itu Rampita?" tanya Sureng Rana.
Bayu tidak langsung menjawab. Pertanyaan Sureng
Rana dianggapnya aneh dan terlalu mengada-ada. Tapi kening Pendekar Pulau Neraka
itu berkerut juga.
"Hh! Aku yakin, kau juga berminat memiliki benda itu, Anak Muda. Baiklah. Jika
demikian, kau harus
berhadapan denganku!" desis Sureng Rana.
Setelah berkata demikian, Sureng Rana langsung
memutar tongkatnya. Begitu cepat putaran tongkat itu, sehingga
yang terlihat hanya bulatan hitam membentuk tameng di depan laki-laki tua itu. Dan
Bayu langsung bersiap. Digeser kakinya sedikit
Matanya tajam tak berkedip memperhatikan setiap
gerak yang dilakukan si Kobra Hitam.
"Tahan seranganku! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat dan tongkatnya terus diputar-putar bagai baling-baling.
Bayu yang sudah siap sejak tadi, bergegas menggeser kakinya ke samping sejauh
lima langkah. Seketika
dimiringkan tubuhnya menghindari sabetan tongkat
yang berputar kencang itu.
"Uts!"
Angin putaran tongkat hitam itu demikian keras,
sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka sedikit
terhuyung. Tapi cepat-cepat pemuda berbaju kulit
harimau itu menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan
seketika itu juga dikibaskan tangan kanannya sambil melompat mundur beberapa
tindak. Tampak satu kilatan keemasan melesat dari
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Ternyata pemuda berbaju kulit harimau
itu sudah melepaskan
senjata Cakra Mautnya. Senjata bersegi enam yang ujung-ujungnya runcing
melengkung itu, tepat menghantam
bagian tengah putaran tongkat si Kobra Hitam.
Trang! "Akh...!"
Seketika itu juga putaran tongkat berhenti bersa-
maan terdengarnya pekikan tertahan. Dan Bayu
mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Seketika Cakra Maut kembali melekat
di pergelangan tangan
kanannya. "Keparat..!" desis Sureng Rana menggeram.
Tampak darah mengucur dari jari-jari tangan yang
menggenggam tongkat berbentuk ular kobra mengembang. Ternyata Cakra Maut bukan hanya
menghentikan putaran tongkat itu, tapi juga berhasil melukai tangan pemiliknya.
'Pergilah, sebelum pikiranku berubah!" dengus Bayu dingin.
"Phuih!" Sureng Rana menyemburkan ludahnya.
Tanpa mempedulikan luka pada tangannya, laki-laki
tua itu kembali menggerak-gerakkan tongkatnya,
membuka jurus-jurus penyerangan. Dan Bayu kembali
siap dengan tangan melipat di depan dada. Matanya
sangat tajam memperhatikan setiap gerakan yang
dilakukan si Kobra Hitam itu.
"Mampus kau, bocah keparat! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Sureng Rana melompat
menerjang Pendekar Pulau, Neraka.
Tongkatnya dikebutkan beberapa kali disertai pengerahan tenaga da lam tinggi. Sungguh
dahsyat luar biasa! Setiap kali tongkat itu dikebutkan menimbulkan suara angin
menderu bagai terjadi badai.
"Hup...!"
Sungguh manis gerakan-gerakan yang dilakukan
Pendekar Pulau Neraka saat menghindari setiap
serangan si Kobra Hitam. Tubuhnya meliuk-liuk seperti karet, diimbangi gerakan
kaki yang lincah dan cepat namun terasa ringan. Bahkan telapak kaki pemuda
berbaju kulit harimau itu seperti tidak menyentuh
tanah. "Hiya! Yeaaah...!"
Sureng Rana semakin berang melihat lawannya
yang masih berusia muda seperti mempermainkan.
Sudah lebih dari lima jurus dikerahkan, tapi tak satu pun Bayu balas menyerang.
Pendekar Pulau Neraka itu hanya berkelit dan menghindar sambil terus bergerak
mundur menjauhi gadis berbaju hijau muda yang
masih bersemadi. Hal ini memang disengaja, agar
Sureng Rana tidak bermain licik. Bayu tahu betul
watak orang golongan hitam macam Sureng Rana ini.
"Aku masih memberimu kesempatan, Sureng
Rana!" seru Bayu seraya memiringkan tubuhnya
menghindari tebasan tongkat si Kobra Hitam.
"Phuih! Mampus kau, keparat..!"
Sureng Rana semakin sengit. Giginya bergemeletuk
tak dapat lagi menahan amarah. Wajah tua keriput itu jadi memerah, dan matanya
liar bernyala-nyala bagai sepasang bola api. Serangan-serangan yang dilakukan
semakin terlihat berbahaya. Bahkan kini Bayu tampak kerepotan menghindarinya.
Beberapa kali Pendekar
Pulau Neraka itu
mengendus dan gerahamnya menggeretak, tapi masih berusaha mengendalikan diri.
*** Namun menghadapi kenyataan bahwa Sureng Rana
tidak lagi bermain-main dan ingin membunuhnya,
Bayu tak dapat lagi mengekang diri. Darahnya seketika menggelegak ketika satu
pukulan keras lawan bersarang di punggung dan membuatnya tersuruk jatuh
mencium tanah. Saat berada di tanah, kemarahan Bayu langsung
mencapai puncak Sureng Rana malah mencecarnya
habis-habisan. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka itu
bergulingan menghindari setiap tebasan dan tusukan tongkat berbentuk ular kobra
berwarna hitam kelam
itu. Hingga pada satu tusukan yang tepat mengarah ke dada, Bayu tidak berusaha
menghindar. Dan tepat
ketika ujung tongkat si Kobra Hitam hampir mencapai dadanya, cepat bagai kilat
Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan kedua telapak tangannya untuk menjepit
ujung tongkat yang runcing itu.
Tap! "Hup!"
Sungguh cerdik Pendekar Pulau Neraka. Tepat pada
saat Sureng Rana menghentakkan tongkat diringankan tubuhnya sehingga ikut
terbawa naik dan melenting ke udara. Pada saat itu Bayu menghentakkan tangannya
melepaskan jepitan pada tongkat itu. Dan tanpa diduga sama sekali kakinya
melayang deras ke arah punggung si Kobra Hitam.
Des! "Akh."!" Sureng Rana terpekik tertahan.
Sepakan kaki Bayu tepat menghantam punggungnya. Untung saja Bayu tidak penuh mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga Sureng Rana
hanya sempat terdorong ke depan beberapa langkah.
Tapi bibirnya meringis juga menahan sakit pada
punggungnya. "Yaaah...!"
Sambil berteriak keras, Sureng Rana cepat memutar
tubuhnya. Dan secepat itu pula tongkat ular kobra itu diputar untuk menyampok
kaki Pendekar Pulau Neraka yang baru saja mendarat di tanah.
"Uts! Hup...!"
Terpaksa Bayu melentingkan tubuhnya kembali ke
udara. Pada saat yang sama, Sureng Rana menghentakkan tangan kirinya ke atas. Seketika dari tangannya keluar benda bulat
hitam yang meluncur
bagai kilat ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Wusss! "Yeaaah...!"
Tak ada pilihan lain lagi bagi Bayu yang berada di udara. Sambil memutar
tubuhnya yang berjumpalitan, dihentakkan tangan kanannya. Seketika itu. juga
Cakra Maut melesat menyambut benda hitam yang dilontarkan Sureng Rana.
Glaaarrr...! Ledakan keras terjadi ketika dua benda dahsyat
beradu di udara. Tampak asap tebal menyebar disertai percikan
bunga api. Bayu mengangkat tangan
kanannya ke atas ketika kakinya mendarat di tanah.
Maka Cakra Maut itu kembali melesat balik dan
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu. Namun secepat
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu pula Bayu menghentakkan tangannya kembali dengan tubuh
membungkuk agak miring ke kiri.
"Yeaaah...!"
Wut! Cakra Maut kembali melesat dari pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka. Lesatannya demikian
cepat, melebihi lesatan anak panah lepas dari busur.
Hal ini membuat Sureng Rana terperangah. Buru-buru dikibaskan tongkatnya
menyampok senjata cakra
bersegi enam itu.
Trang! Satu benturan keras terjadi.
"Akh...!" lagi-lagi Sureng Rana terpekik.
Laki-laki tua itu terdorong ke belakang beberapa
tindak. Tampak tangannya bergetar dan wajahnya agak memucat Sedangkan bibirnya
bergetar, dan matanya
membeliak lebar. Si Kobra Hitam itu hampir tidak
percaya kalau tenaga dalamnya masih di bawah
pemuda berbaju kulit harimau itu.
Tapi Sureng Rana tidak sempat berpikir jauh lagi.
Karena, Cakra Maut yang masih berada di udara cepat berputar
bagai memiliki mata, dan langsung menyambar ke arah kepala laki-laki tua itu.
"Uts!"
Buru-buru Sureng Rana merundukkan kepalanya,
maka Cakra Maut bersegi enam itu lewat sedikit di atas kepalanya. Tapi ikat
kepala laki-laki itu sempat terbabat dan lepas terbawa angin lesatan Cakra Maut
Pendekar Pulau Neraka. Bahkan Sureng Rana sampai memegangi
kepalanya. Laki-laki tua itu tak bisa lagi berpikir, karena Cakra Maut sudah
kembali berbalik dan
menyerangnya. Namun matanya sempat melirik ke
arah Bayu yang tengah menggerak-gerakkan tangannya mengendalikan senjata andalan
itu. "Yeaaah...!"
Sambil mengecutkan tongkatnya untuk menyampok senjata Cakra Maut bersegi enam itu,
Sureng Rana melesat ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Kaki kirinya terhentak memberi tendangan keras ke
arah kepala. "Yaaah...!"
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Ternyata Bayu
tidak berkelit sedikit pun. Bahkan dengan sigapnya diangkat kedua tangannya
menyilang di atas kepala, sehingga tendangan kaki si Kobra Hitam menghantam
tangan pendekar Pulau Neraka.
Tepat ketika terjadi benturan keras, Bayu memutar
tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah, disangga oleh kedua tangannya. Lalu
kaiti Pendekar Pulau
Neraka menghentak keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Satu
serangan balik yang
meminjam tenaga lawan itu sungguh tidak terduga
sama sekali. Dan....
Des! "Aaakh...!" Sureng Rana terpekik keras.
Sepasang telapak kaki Pendekar Pulau Neraka tepat
menjejak perut si Kobra Hitam. Begitu kerasnya,
sehingga orang tua bertongkat ular kobra itu terpental deras dan jauh. Luncuran
tubuhnya baru berhenti
setelah menghantam sebatang pohon hingga hancur
berkeping-keping
Sementara Bayu tidak ingin menunggu lama lagi
Segera diangkat tangannya, maka Cakra Maut yang
sejak tadi melayang-layang di udara langsung melesat balik Begitu senjata
bersegi enam itu melekat di
pergelangan tangan. Dengan cepat Bayu menghentakkan kembali ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wusss! Seketika Cakra Maut kembali melesat dengan
kecepatan luar biasa. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu melunak deras ke
arah si Kobra Hitam yang tengah berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga laki-
laki tua itu mampu berdiri tegak, Cakra Maut sudah menghantam dadanya.
Crab! "Aaa...!" kembali Sureng Rana menjerit keras.
Sebentar laki-laki tua itu masih mampu berdiri, tapi sesaat kemudian ambruk ke
tanah berkelojotan. Begitu Cakra Maut yang terbenam dalam dada Sureng Rana
keluar balik pada pemiliknya, darah langsung muncrat dari dada yang terbelah
itu. Bayu berdiri tegak sambil melipat tangan di depan
dada. Senjata saktinya kini sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka.
Sesaat dipandanginya si Kobra Hitam
yang menggelepar meregang nyawa. Memang tak ada
seorang pun yang tahan jika terhunjam senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu.
Demikian pula nasib
Sureng Rana. Dia tewas dengan dada berlubang
berlumuran darah segar.
*** Bayu mengalihkan pandangannya ke arah gadis
berbaju hijau muda yang masih duduk bersila
meskipun tidak lagi bersemadi. Wajah gadis itu tampak pucat. Malah pandangan
matanya begitu sayu bagai
tak memiBki gairah hidup. Bayu menghampiri, lalu
duduk di depan gadis itu. Sebentar dipandanginya
wajah gadis itu, kemudian pandangannya beralih pada dada sebelah kiri atas,
tempat terdapatnya luka memar menghitam sebesar kepalan tangan.
"Kau terluka, Nisanak," ujar Bayu pelahan.
"Hanya sedikit Sebentar lagi juga hilang," sahut gadis itu seraya mencoba
tersenyum. 'Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku."
"Lupakan itu. Tampaknya kau membutuhkan
pertolongan."
Gadis berbaju hijau itu mencoba tersenyum, tapi
tiba-tiba berubah jadi meringis seperti menahan sakit Bayu menggeser duduknya
lebih mendekat, lalu
menjulurkan tangannya ke arah noda hitam sebesar
kepalan tangan di dada kiri gadis itu.
"Maaf," ucap Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan telapak tangannya di
dada kiri gadis
berbaju hijau. Kelopak mata gadis itu terpejam, seraya menggigit-gigit bibirnya
sendiri. Sementara Bayu terus menatap tangannya yang menutup noda hitam di dada
kiri itu. Tampak wajah Pendekar Pulau Neraka
kelihatan menegang dan memerah, lalu seluruh
tubuhnya bergetar bagai tersengat lebah.
"Hoek...!"
Gadis berbaju hijau muda itu tiba-tiba memuntahkan segumpal darah kental berwarna hitam
pekat Wajahnya semakin memucat Namun Bayu tepat
menekan dada kiri gadis itu kuat-kuat Asap tipis
mengepul dari sela-sela jari Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Bayu berteriak keras. Dan seketika itu juga
dihentakkan tangannya, dan langsung ditarik kembali. Tubuh gadis itu berguncang
hebat, dan kembali memuntahkan darah. Kali ini berwarna merah, namun masih ada
sedikit gumpalan kehitaman.
"Hsss...!" Bayu menarik napas dalam-dalam melalui mulut.
Tangan kanannya terbuka sejajar dada. Sedangkan
tangan kiri terkepal sejajar pinggangnya. Tatapan
matanya masih terlihat tajam. Dan kembali Pendekar Pulau Neraka itu berteriak
keras. Dengan cepat dada kiri gadis itu digedor, dan secepat itu pula ditarik
kembali tangannya. Tampak tubuh gadis itu berguncang hebat lalu memekik tertahan.
"Akh! Hoeeek....'"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang melihat muntahan yang sudah bersih.
Muntahan yang ketiga
kali ini hanya berupa darah.
"Ohhh...," gadis itu merintih lirih.
"Jika tidak segera dikeluarkan, racun itu bisa merusak seluruh jaringan urat
syarafmu. Hhh.... Untung saja belum merambat sampai ke pembuluh darah,"
jelas Bayu. 'Terima kasih," hanya itu yang bisa keluar dari mulut gadis ini.
"Sebentar lagi kau akan pulih kembali," jelas Bayu lagi:
Gadis itu hanya tersenyum saja.
Bayu menggeser duduknya menjauh. Diperhatikannya gadis itu yang kini sedang bersemadi untuk memulihkan kondisi
tubuhnya. Hanya sebentar saja gadis itu bersemadi, dan kini
wajahnya sudah kembali segar. Belahan pipinya
kembali diwarnai rona merah. Bibirnya tersenyum
seakan-akan hendak mengucapkan terima kasih sekali lagi pada pemuda berbaju
kulit harimau itu. Tapi
tampaknya gadis itu tahu kalau pemuda di depannya
tidak memerlukan ucapan terima kasih.
"Kenapa kau menolongku?" tanya
gadis itu kemudian. "Karena kau butuh pertolongan," sahut Bayu kalem.
Kembali gadis itu tersenyum manis.
"Boleh aku tahu, kenapa kau bisa bentrok dengan si Kobra Hitam?" tanya Bayu.
"Hhh..., sudah lama Sureng Rana jadi musuh besar keluargaku. Entah kenapa dia
selalu menginginkan
kotak kayu yang disimpan Ayah," desah gadis itu pelan.
"Kotak kayu...".'" Bayu tersentak kaget.
"Iya, kenapa" Tampaknya kau terkejut..."
"Oh! Apakah...,"
suara Bayu terputus, lalu mendesah menghembuskan napas panjang.
Pendekar Pulau Neraka itu mengamati wajah gadis
di depannya dalam-dalam. Mendapat pandangan
seperti itu, gadis berbaju hijau itu menjadi jengah juga.
Wajahnya bersemu merah, dan bola matanya berputar.
Hanya saja dia tidak ingin memalingkan ke arah lain, meskipun hatinya berdetak
kencang "Nisanak! Boleh aku tahu namamu?" pinta Bayu.
'Tentu saja boleh. Namaku Rampita," jawab gadis itu senang hati.
"Ohhh...," Bayu mendesah panjang sambil menepak keningnya.
"Eh! Kau kenapa...?" tanya gadis yang mengaku bernama Rampita itu tidak mengerti
akan tingkah pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Ah! Kenapa ada dua Rampita di dunia ini...?" keluh Bayu.
*** 6 Rampita benar-benar tak mengerti mendengar
keluhan pemuda berbaju kulit harimau itu. Kini malah berbalik, dia yang kini
memandangi wajah tampan di depannya. Sedangkan Bayu hanya mendongakkan
kepala, dan beberapa kali menghembuskan napas
panjang. "Kisanak...," sapa Rampita, pelan suaranya.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," potong Bayu memperkenalkan diri.
"Hm..., tampaknya kau kebingungan. Ada apa"
Kenapa mengatakan ada dua Rampita?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Hhh..., sukar dijelaskan. Aku jadi tidak mengerti, apakah kau ini memang
Rampita atau malah hanya
mengaku-aku saja. Tapi aku juga tidak yakin kalau dia benar," ujar Bayu
terdengar mengeluh.
"Siapa yang kau maksudkan, Ki...?"
"Bayu."
"Oh, iya. Hmmm..., boleh memanggilmu Kakang
Bayu" Kelihatannya kau lebih tua usianya dariku."
"Boleh saja."
"Hm..., Kakang Siapa yang dimaksudkan dengan
Rampita satunya lagi?" gadis berbaju hijau muda itu mengulangi, pertanyaannya.
"Hhh...! Sukar mengatakannya...," desah Bayu lirih.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka itu
menceritakan semua yang dialami. Mulai dari pertemuannya dengan Adilangu yang telah berpesan
sebelum ajal menjemput, sampai pertemuannya dengan seorang gadis yang tinggal di
Puncak Gunung Cakal.
Gadis itu juga mengaku bernama Rampita. Saat itu
Bayu percaya saja dan menyerahkan kotak kayu yang
diamanatkan Adilangu padanya.
"Hm..., aku tahu kini. Kau pasti bertemu Seruni si Gadis
Salju,"
Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gumam Rampita setelah Bayu menyelesaikan ceritanya.
"Oh! Kalau begitu, aku telah salah memberi kotak yang diamanatkan Adilangu,"
lagi-lagi Bayu mengeluh.
"Bukan salahmu, Kakang. Aku bisa mengerti.
Seruni memang mengetahui persis keluargaku. Makanya tidak ada kesulitan baginya untuk mengelabuimu," ujar Rampita membesarkan hati
Pendekar Pulau Neraka.
"Rampita. Boleh aku tahu,
kenapa mereka menginginkan kotak kayu itu?" pinta Bayu.
"Aku sendiri tidak tahu, Kakang. Kotak kayu itu sudah ada sebelum aku lahir.
Yaaah..., yang kuketahui, hanya si Kobra Hitam saja yang begitu ingin
menguasainya. Sedangkan Ayah selalu mempertahankan. Sudah bertahun-tahun si Kobra
Hitam mencoba merebutnya, tapi baru sekarang
rupanya berhasil membunuh ayahku. Untung saja dia
tidak berhasil menguasai kotak kayu itu," ujar Rampita memberitahu.
"Oh, jadi ayahmu sudah...?"
Bayu tidak meneruskan pertanyaannya.
"Mereka yang memberitahu," jelas Rampita seraya menunjuk mayat-mayat yang
bergelimpangan.
Bayu memandangi mayat-mayat itu.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Mereka adalah murid setia ayahku yang sengaja meninggalkan
Padepokan Tongkat Sakti untuk menemuiku di sini. Mereka juga mengatakan kalau
Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur oleh gerombolan Barong Codet"
Bayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gerombolan Barong Codet memang pernah didengarnya dari Adilangu. Bahkan Pendekar Pulau
Neraka sempat menyelamatkan pemuda itu dari
cengkeraman tangan iblis si Barong Codet. Meskipun tidak sempat bentrok, karena
saat itu keadaan Adilangu cukup gawat
"Rampita. Kalau boleh tahu, kenapa kau tinggal di sini dan tidak bersama-sama
ayahmu?" tanya Bayu jadi ingin tahu lebih banyak lagi.
"Ayahku yang menghendaki. Aku tinggal tidak jauh dari sini, bersama Paman dan
Bibi. Tapi mereka sudah meninggal. Bibi lebih dahulu meninggal. Dan setahun
kemudian, Paman menyusul. Sebenarnya ayahku ingin
mengambilku kembali, tapi aku menolak. Aku lebih
senang tinggal di tempat sunyi seperti ini sambil
memperdalam ilmu yang kumiliki."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Rampita.
"Kau tidak ingin merebut kembali warisan ayahmu?" "Mungkin tidak. Biarlah Seruni yang memilikinya."
"Aneh sekali...," gumam Bayu tidak mengerti sikap gadis ini.
'Tidak ada yang aneh, Kakang. Bagiku benda itu
hanya membawa malapetaka saja. Aku bisa merebutnya kembali dari tangan Seruni. Tapi, apakah itu akan menyelesaikan
masalah" Tidak, Kakang Malah menurutku akan menimbulkan masalah baru lagi.
Bukannya tidak mungkin mereka akan mengejarku
untuk merebut kotak itu. Bahkan guru Seruni pasti
ikut campur tangan."
Bayu terdiam membisu. Secara jujur memang di-
akui kebenaran kata-kata Rampita. Sudah banyak
darah tertumpah hanya
karena memperebutkan
sebuah benda yang dianggap memiliki pamor dahsyat
Bahkan seluruh orang rimba persilatan mempermasalahkannya. Sebagian besar dari mereka,
bentrok hanya karena memperebutkan sebuah benda
pusaka. Tapi Bayu juga tidak menyetujui sikap gadis ini,
yang kelihatannya menunjukkan kurang berbakti pada orang tua. Tidak seharusnya
Rampita menyepelekan
sebuah benda peninggalan orang tuanya. Sesuatu yang menjadi keramat dan
diwasiatkan sudah selayaknya
dipertahankannya, meskipun dengan darah dan nyawa.
Tapi Rampita sepertinya tidak ambil peduli, walaupun sudah mempunyai pegangan
hidup yang diyakini
memiliki kebenaran.
"Rampita, apakah kau tidak berhasrat membalas kematian ayahmu?" tanyai Bayu jadi
ingin lebih tahu lagi tentang gadis ini.
"Untuk apa" Orang yang membunuh ayahku sudah
tewas, meskipun bukan dengan tanganku sendiri,"
jawab Rampita tegas.
"Lalu bagaimana dengan pedepokan ayahmu?"
"Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur. Murid-
murid yang tersisa pun sudah tewas semuanya di sini.
Untuk apa mempersoalkannya lagi" Maaf, Kakang.
Dendam tidak akan menyelesaikan semua persoalan.
Bahkan akan melahirkan dendam baru yang tidak
akan berhenti sampai salah satu pihak musnah tanpa meninggalkan keturunan lagi."
"Bukan maksudku menyuruhmu membalas dendam. Tapi paling tidak kau bisa membangun
Padepokan Tongkat Sakti kembali."
"Ah! Rasanya aku lebih suka hidup begini.
Kehidupan yang damai, menyatu dengan alam dan
mendekatkan diri pada Hyang Widi. Rasanya hidup
seperti itu lebih nikmat daripada harus selalu cemas dan
bergelimang darah," kembali Rampita mengemukakan prinsip hidupnya.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Tidak ada
hak baginya untuk mempengaruhi gadis ini. Gaya
hidup yang diinginkan memang berbeda jauh dengan
dirinya. Sampai sekarang Pendekar Pulau Neraka
masih terus mencari pembunuh-pembunuh ayahnya.
Bahkan sampai sekarang belum diyakini kalau ibunya tewas. Bayu percaya kalau
ibunya masih hidup dan
sekarang berada di suatu tempat.
*** Dua hari lamanya Bayu tinggal di sebuah pondok
kecil milik Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu
mengakui kalau cara hidup yang dijalankan gadis ini sungguh damai. Jauh dari
persoalan-persoalan duniawi yang menyeret ke arah napsu keserakahan jika tidak
bisa mengendalikan diri. Tapi Bayu tidak mungkin bisa hidup seperti ini sebelum
bertemu ibunya.
Pagi-pagi sekali Pendekar Pulau Neraka sudah
Pedang Keadilan 41 Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah Pahlawan Dan Kaisar 16