Pencarian

Runtuhnya Samurai Iblis 1

Pedang Siluman Darah 28 Runtuhnya Samurai Iblis Bagian 1


RUNTUHNYA SAMURAI IBLIS Oleh Sandro S. Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Runtuhnya Samurai Iblis
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Jaka Ndableg dengan ketiga temannya
yang tengah menuju ke tempat di mana para Ninja berkumpul, nampak terus
mengajukan kereta
mereka. Hamparan salju seakan tiada mereka hiraukan. Hari makin larut malam,
sehingga gelap pun kini menyelimuti tempat tersebut. Untung saja hamparan salju mampu
memantulkan cahaya.
"Kita istirahat di sini," perintah Panglima
Perang pertama pada rekan-rekannya. "Kusir,
hentikan kereta."
Sang kusir tiada membantah, hentikan keretanya.
"Apakah kita akan di sini sampai menunggu pagi?" tanya yang lainnya agak jengah,
lebihlebih Meimora.
"Tidak usahlah kalian pikirkan," jawab
Panglima pertama, memberikan keyakinan
"Bukankah ada Tuan Pendekar Pedang Siluman Darah di sini?"
"Benar!" sambung Panglima kedua. "Tapi
apakah kita akan dalam gelap?"
"Memang kita perlu api," ulas Jaka. "Bukankah di sini suasana begitu dingin?"
Semuanya mengangguki, lalu Jaka pun
meneruskan. "Di samping itu pula, kita tentunya
tidak ingin adanya binatang buas mengusik diri
kita." "Tepat! Mari kita cari ranting kering."
"Di mana kita mencarinya, Kakak Mozeta?"
tanya Perwira kedua. "Bukankah kini saatnya
musim salju?"
"Benar, benar."
Semua yang ada di situ tampak agak kecut, karena merasa bahwa usahanya untuk
mendapatkan kayu-kayu kering akan mengalami kegagalan. Sementara Jaka Ndableg
agaknya hanya diam, membiarkan mereka berpikir. Meimora sepertinya enggan untuk beranjak jauh
dari Jaka, yang seakan merupakan perlindungan bagi dirinya. Entah karena apa, kini Meimora
benarbenar merasakan adanya suatu getaran aneh di
hatinya. Hati kecilnya sebagai seorang wanita merasakan hentakan untuk
mengutarakan katakata. Namun begitu, keadaannyalah yang selalu
menyembunyikan hal tersebut.
"Kalian carilah kayu-kayu itu, walau basah."
Tercengang dua Panglima dan Kusir mendengar perintah Jaka yang dirasa aneh.
Ketiganya kerutkan kening, lalu Panglima pertama pun bertanya. "Untuk apa, Tuan Pendekar?"
"Yang jelas, tentunya untuk api unggun,
bukan?" Jaka balik menanya, menjadikan ketiganya terbengong makin melongo tiada
mengerti. Dengan penuh ketidakmengertian akhirnya ketiganya pun pergi juga mencari kayu
untuk api unggun. Sementara itu Jaka kini tinggal berdua
dengan Meimora. Meimora nampak memandangnya dalam dan penuh arti. Mata Meimora
berkaca-kaca, sepertinya hendak mengutarakan akan
apa yang ada di hatinya. Bibirnya, bergerak-
gerak, namun tiada kata yang terucapkan.
Jaka yang tahu keadaan Meimora nampak
kasihan. Di sisi lain, dirinya benar-benar ingin
menjadi seorang lelaki yang setia pada seorang
wanita yang pernah dan sampai kini masih ia cintai. Lelaki mana pun, tentunya
akan begitu saja
lupa pada kekasihnya bila digoda wanita. Apalagi
wanita itu begitu cantik, pasrah padanya walau
tiada terucap lewat kata. Jaka tahu itu, tapi ia
benar-benar ingin setia pada kekasihnya.
"Oooooh....! Miranti, sedang apakah engkau di
Tanah Jawa malam ini?" tanya Jaka dalam hati.
Lama keduanya diam, sampai akhirnya ketiga orang yang mencari kayu datang
kembali ke tempat mereka. Ketiganya telah membawa sebopongan kayu basah.
"Braaak...!" Kayu-kayu itu dilempar begitu
saja menjadi satu timbunan. Kini kelimanya terdiam, sebab kelimanya tiada yang
membawa korek api.
"Bagaimana membakarnya" Sedangkan kita tidak seorang pun yang memiliki korek
api?" tanya ketiganya bingung.
Jaka tersenyum, lalu katanya tenang. "Kalian menyingkirlah agak jauh, biarkan
aku di sini sendiri." "Mau apa?" tanya ketiganya kembali, tak
mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Jaka Ndableg. "Apakah Tuan Pendekar
membawa korek api?"
Jaka Ndableg terdiam. Sebenarnya ia tidak
ingin mengatakan bahwa dirinya akan menggu-
nakan ajian Banyu Geni untuk menyalakan kayukayu basah tersebut, namun
dikarenakan memang agak sukar juga, maka Jaka akhirnya berterus terang. "Kalian
tahu apa yang telah terjadi
denganku tadi sore tatkala menghalau musuh?"
Kesemuanya yang ada di situ saling pandang.
"Ooooh, benar! Rupanya Tuan Pendekar
hendak menggunakan ilmu yang Tuan miliki?"
tanya Panglima kedua. "Wah, mengapa kita tidak
berpikir sampai di situ?"
"Benar!" tambah Panglima pertama.
"Nah, kalian menyingkirlah agak jauh sebab aku tidak menghendaki kalian tersiksa
oleh panasnya api yang aku keluarkan."
Tanpa banyak kata lagi keempatnya pun
mundur beberapa tombak untuk menjaga jarak
dari sengatan api Banyu Geni. Sementara Jaka
Ndableg kini nampak terpekur duduk bersila.
Tangannya menyilang di depan dada, sedangkan
mulutnya nampak komat kamit membaca mantera-mantera yang dipelajarinya dari
kitab Banyu Geni. Perlahan dari tubuh Jaka keluar asap mengepul. Tubuh Jaka Ndableg membara.
Mulanya bara api yang keluar dari tubuh Jaka tidak terlalu
panas, namun makin lama makin terasa panasnya, bahkan membara bagaikan tiada
terkira. "Hooooaaaarrrr...!" Dewa Api mengoar, dari
mulutnya dan mata semburkan api ke arah tumpukan kayu-kayu basah tersebut. Dan
dikarenakan kayu-kayu itu basah, maka Dewa Aji benarbenar harus menguras tenaga
benar-benar. Bara
api terus menyembur dari mata dan mulutnya.
Mengeringkan kayu-kayu yang berada di tempat
tersebut. Hawa panas kini benar-benar terasa
menyengat oleh keempat rekannya yang berdiri
sepuluh tombak darinya. Semuanya terkesiap,
mereka baru melihat kejadian yang seperti dalam
dongeng saja. Mereka memang mengenal Dewa
Api, namun baru kini mereka benar-benar berhadapan dengan Dewa Api sesungguhnya.
"Tidak aku sangka, ternyata aku dapat melihat Dewa Api," Meimora berkata dalam
hati. Ia begitu kagum pada Jaka Ndableg, yang sebenarnya adalah Dewa Api menurutnya. Kini
Meimora benar-benar bagaikan terhanyut oleh khayalan
yang tercipat lewat kekagumannya pada Jaka serta cinta yang memang tumbuh.
"Tapi, apakah aku
akan diterimanya" Sedangkan menurut cerita, titisan Dewa Api tidaklah
menghendaki gadis yang
sudah tidak perawan..." Oooo...." Meimora hanya
mampu mengeluh dalam hati.
Rupanya kekaguman pada Jaka Ndableg
yang merupakan titisan Dewa Api bukan pada
Meimora saja, akan tetapi semua yang kini menyaksikannya juga terkagum-kagum.
Dalam hati ketiga lelaki tersebut berkata, "Seandainya aku
dapat mengabdi padanya, sungguh aku akan menunjukkan darma baktiku. Rupanya Dewa
Api benar-benar datang dan menitis lewat seorang
Pendekar muda yang tampan dan tidak sombong,
yang berasal dari Tanah Jawa Dwipa."
Api kini membakar sedikit demi sedikit
tumpukan kayu yang menjadi tumpahan seran-
gan Jaka Ndableg si Dewa Api. Makin lama makin
membara api tersebut, sehingga hawa dingin yang
tadinya menggigil kini lambat laun menghilang
berganti dengan rasa hangat yang mampu membuat orang-orang yang berada di situ
seakan hilang keletihannya.
Sementara itu keempat orang yang berada
sekitar sepuluh tombak tiada berani mendekat.
Sedangkan Jaka Ndableg sendiri kini nampak
masih terpaku bersemedi. Lambat laun api yang
tadi menyelimuti tubuhnya hilang. Jaka Ndableg
pun kembali ke bentuk asalnya, sebagai seorang
pemuda tampan. Keberingasan sebagai Dewa Api
kini menghilang, berganti dengan wajah penuh
kasih Jaka Ndableg.
"Kalian ke marilah!" Jaka berseru, manakala melihat keempatnya masih nampak
terpaku diam di tempatnya. "Kalian datanglah mendekat,
kini tak akan kalian celaka."
Keempat orang Jepang itu segera mendekat, dan dengan tanpa diduga oleh Jaka,
keempatnya segera menjura. Serempak keempatnya
berkata. "Terimalah sembah hormat kami, Dewa
Api?" "Ah.,.!" Jaka terpekik. "Mengapa kalian
berbuat begitu?"
Namun ucapan Jaka bagaikan tiada terdengar oleh keempatnya, yang masih menjura.
Bahkan kini mereka makin mendalamkan hormatnya. Hal tersebut makin menjadi rasa
jengah bagi Jaka. Baru sekali ini ia mendapat penghormatan yang begitu tinggi dari
orang-orang Jepang
yang biasanya tidak mengenal rasa rendah diri.
"Hem, mereka mengira aku benar-benar titisan
Dewa Api. Seorang Dewa yang menurut mereka
sangat berarti," gumam Jaka dalam hati.
"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?"
tanya Jaka. "Kami tidak menghendaki apa-apa dari Pukulun. Kami hanya menghendaki sudilah
Pukulun menerima kami sebagai hamba setia, Pukulun. Hingga dengan begitu,
kiranya kami akan
benar-benar telah mengabdi dengan tulus pada
Pukulun Dewa Api. Dewa Agung bagi kehidupan,"
yang berkata Panglima pertama, sepertinya mewakili apa yang ada di dalam hati
ketiga rekannya.
"Aku bukan Dewa," jawab Jaka.
"Ah, mengapa Pukulun mesti menyembunyikan diri?" keluh keempatnya bareng, makin
menjadikan Jaka bertambah tidak mengerti saja.
Namun Jaka tidak mengingini mereka merasa
disepelekan, maka dengan tersenyum-senyum
menahan geli Jaka akhirnya berkata.
"Baiklah, kalau kalian memang menganggap aku Dewa. Tapi, aku tidak ingin kalian
melebihkan diriku. Saat ini, aku adalah teman kalian,
maka kalian sepantasnyalah bersikap sebagai
seorang teman biasa."
"Daulat, Pukulun...." jawab mereka semua.
"Nah, karena kalian sudah mengakui, maka kalian aku perintahkan untuk
memanggilku dengan sebutan namaku saja."
Ke empatnya mengangguk.
"Sekarang kalian istirahatlah."
Mendengar ucapan Jaka Ndableg, dengan
tidak membangkang karena merasa yang bicara
adalah Dewanya. Dengan bersender pada pohon-pohon pinus yang berada di situ,
keempatnya melepas lelah. Namun begitu, keempatnya seperti
tiada mau pejamkan mata, bahkan Meimora yang
hatinya telah benar-benar terpaut oleh Jaka perlahan-lahan mendekati Jaka
Ndableg yang tengah
duduk. Jaka yang sedang duduk tersentak kaget
tatkala tanpa sepengetahuannya Meimora telah
berdiri di sampingnya. "Nona Mei...?"
Meimora tersenyum manis penuh arti,
menjadikan Jaka hanya mampu membalas senyumannya. "Boleh aku duduk...?" tanyanya
merdu. "Boleh, mengapa tidak?" jawab Jaka. "Tapi,
apakah Nona tidak lelah?" tanya Jaka kemudian.
Meimora gelengkan kepala, lalu duduk di
samping Jaka. Mata Meimora kini tajam memandang Jaka, sedangkan Jaka sendiri bagaikan tiada
mengerti. Jaka Ndableg kini tengah asik dengan lamunannya, di mana kini
bayangannya terlintas
wajah-wajah gadis yang pernah dikenalnya. Namun dari sekian gadis yang pernah
dikenalnya, hanya tiga gadis yang kini benar-benar melekat
erat di hatinya. Gadis pertama adalah Ayu Sakiti,
kedua Miranti, dan yang ketiga adalah gadis yang
kini berada duduk di sampingnya. Dengan Meimora Jaka hanyalah kasihan. Ya! Jaka
merasa terpanggil untuk menyayanginya, dikarenakan
kini hidup Meimora bagaikan hidup dalam liputan
badai. Kalau hatinya tiada tentram, maka sudah
dipastikan dirinya akan nekad. Meimora benarbenar merasakan hidupnya tiada arti
lagi setelah diperkosa oleh kesepuluh orang Ninja anak buah


Pedang Siluman Darah 28 Runtuhnya Samurai Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Taka Nata. "Kau melamun, Jaka...?" Tersentak Jaka
ditanya begitu. "Siapa yang engkau lamuni" Apakah gadis-gadismu yang ada di
Tanah Jawa sana?" kembali Meimora bertanya, nadanya terselip
rasa cemburu. Dan kembali Jaka tersenyum, rasa
ingin menghibur hati Meimora menjadikan Jaka
harus mampu membawa ketabahan hati gadis
itu. "Aku...?" Jaka bertanya, diangguki oleh
Meimora dengan matanya memandang tiada lepas
ke arah Jaka. "Aku kini memikirkan dirimu, Mei."
Tersipu-sipu Meimora mendengar jawaban
Jaka, sebab ia tiada mengira Jaka akan berkata
begitu. "Mengapa mesti aku, Jaka" Tidakkah masih banyak gadis yang belum rusak
sepertiku yang mencintai dirimu?"
Jaka tarik nafas panjang demi mendengar
ucapan Meimora yang seakan tiada gairah untuk
menikmati kehidupan. Rasa keputusasaan karena
menganggap dirinya tiada harga menjadikan
Meimora benar-benar menjadi seorang gadis yang
sensitif dan cepat perasa. Hal tersebut dilukiskannya dengan tetesan air mata di
kedua belah pipinya yang putih. Hal tersebut makin trenyuh menyengat di hati
Jaka yang benar-benar
merasa kasihan pada nasib Meimora.
"Mengapa engkau mesti menangis?" Disapunya air mata Meimora hingga menjadikan
Meimora tatap kembali wajahnya. Pelan jari jemarinya Meimora yang halus itu
menempel di tangan
Jaka, dan pelan-pelan juga tangan Meimora hentikan ulasan tangan Jaka.
Ditekankannya tangan
Jaka di pipinya, lalu tanpa memperhatikan Jaka
dikecupnya tangan Jaka mesra.
Ketiga lelaki lainnya sebenarnya tidak tidur. Mereka pura-pura tidur dikarenakan
mereka tidak ingin mengganggu kedua muda mudi yang
diketahui mereka tengah terjerat api cinta. Maka
sebagai seorang sepuh yang mengerti, ketiga lelaki itu pun pura-pura tidur
dengan palingkan muka ke arah lain.
"Benarkah kau mau menerima diriku yang
sudah tiada arti?"
Jaka tersenyum, gelengkan kepala dan
berkata. "Kau masih memiliki arti, Mei. Mungkin
di mata manusia, kesucian seorang gadis sangat
berarti. Tapi di mata Tuhan, segalanya sama. Dan
bukankah semua itu bukan engkau yang menghendaki?"
"Oooooh.... Jaka...." Meimora mendesis, rebahkan kepala di pundak Jaka Ndableg.
"Baru kali ini aku melihat seorang lelaki gagah yang berjiwa gagah pula."
Meimora terus genggam tangan Jaka. Perlahan, muka Meimora mendekat dan makin
lama makin dekat. Jaka tiada mampu untuk menolak,
sebab dia sendiri tiada ingin membuat Meimora
kecewa. Maka manakala Meimora tempelkan bibirnya ke bibir Jaka, Jaka pun hanya
membalas dengan lembut. Tiada terasa, kini keduanya benar-benar terhanyut dalam alunan
syair. Malam pun makin mengerti, desahkan lagu lewat angin
yang sejuk. Sedangkan api kini membara, seakan
memberi semangat cinta pada keduanya.
*** Jaka tersentak, lepaskan pelukan Meimora
yang juga tersentak kaget. Namun kekagetan keduanya berbeda. Jaka kaget
dikarenakan mendengar gemereseknya suara langkah kaki yang
mendekat ke arahnya, sedangkan Meimora kaget
karena Jaka melepaskan pelukannya.
"Ada apa, Jaka?" tanya Meimora, matanya
memandang tajam ke arah pandangan Jaka. Namun matanya tiada melihat apa-apa. dan
hanya gelap saja yang terpampang di sana. Sedangkan
Jaka, dengan mata batinnya yang tajam mampu
melihat bayangan yang berdiri agak jauh dari mereka. Bayangan tersebut,
merupakan wujud dari
seorang lelaki tua. Bukan hanya Meimora dan Jaka yang tersentak, akan tetapi
ketiga lelaki yang
tadinya pura-pura tidur pun kini terbangun demi
mendengar gesekan langkah berat. Namun seperti
Meirmora, ketiga lelaki itu pun tiada melihat wujud dari orang yang melangkah.
"Ada apakah, Tuan Pendekar?" tanya Panglima pertama.
"Ya! Sepertinya Tuan Pendekar tengah
memperhatikan sesuatu," lanjut Panglima kedua,
dan keduanya pancarkan mata mereka ke arah
yang dipandang Jaka Ndableg. Namun sampai
mata mereka dibuat mendelik, keduanya tiada
mampu melihat apa yang sebenarnya kini dilihat
oleh Jaka. Keempatnya makin belalakkan mata, manakala Jaka perlahan bangkit dari duduknya
dan berjalan ke arah yang dipandanginya sejak tadi.
Keempatnya hanya terpaku dengan ketakutan
yang teramat sangat, namun bila mengingat bahwa di situ ada Pendekar Pedang
Siluman Darah yang mereka anggap Dewa, ketakutan mereka
pun hilang dengan sendirinya.
Jaka makin mendekat ke tempat yang dituju, lalu setelah jarak tinggal dua tombak
Jaka pun berkata. "Siapakah engkau adanya, Ki?"
"Aku Penguasa hutan ini, Tuan Pendekar,"
jawab bayangan tua yang berpakaian serba merah
menyala. "Aku sengaja datang menemuimu, Tuan
Pendekar. Aku diutus oleh Siluman Darah dari
Tanah Jawa untuk mengawasi dan membantumu."
"Terimakasih sebelumnya," jawab Jaka
hormat. "Lalu siapakah sebenarnya dirimu, Ki?"
Lelaki tua renta berpakaian merah menyala
dehem sesaat, kemudian menjawab. "Aku Ki Daetokoyono, atau si Siluman Api."
"Hem, tentunya engkau telah mengenalku.
Nah, apa yang menjadikan engkau tampakkan
ujud, Siluman Api?" tanya Jaka masih menghormat. "Kalau kau ingin menolongku,
tentunya kau mau mengatakannya padaku apa yang akan kau
lakukan, bukan?"
"Demi engkau si Dewa Api, atau Pendekar
Pedang Siluman Darah, aku sebagai abdimu,
bermaksud memberikan sebuah kabar pada engkau Dewa Api. Kabar itu, tidak lain
bahwa sesaat lagi, musuh akan datang menjarah tempat ini."
"Oooooh, benarkah?"
"Sungguh aku tiada berani mendusta padamu."
"Lalu apa yang perlu aku lakukan?" tanya
Jaka kembali. "Musuh akan datang bersama seorang sakti yang bergelar Iblis Kebal Pukulan.
Hadapilah dia dengan senjatamu, niscaya dia akan dapat
engkau kalahkan. Nah, hati-hatilah. Aku hanya
membantu memberikan informasi, sedangkan
penjalanannya terserah padamu, Pendekar Pedang Siluman Darah." Habis berkata
begitu, tibatiba tubuh Siluman Api pun hilang dari pandangan, sementara Jaka
kini kembali melangkah menuju ke tempat di mana rekan-rekannya berada.
"Ada apakah" Seperti Tuan bercakapcakap?" tanya ketiga lelaki Jepang tersebut.
"Tidak ada apa-apa. Sekarang kalian di sini
dulu, aku akan pergi menangkap hewan hutan
yang akan dapat menjadi pengganjal perut kita
yang telah kosong ini."
Belum juga keempatnya menjawab, tibatiba Jaka telah berkelebat pergi
meninggalkan mereka. Keempat orang Nippon tersebut hanya
mampu bengong. Namun kebengongan mereka
hanya sesaat, manakala tiada begitu lama Jaka
telah kembali dengan empat ekor burung hutan.
"Nah, kiranya burung-burung ini akan mampu
menangkal lapar kalian," ucap Jaka seraya duduk
kembali di tempatnya. Diambilnya cabang pohon
yang berada di situ, lalu diputuskannya rantingranting cabang pinus tersebut.
Dengan dibantu oleh keempatnya Jaka mengkulit bulu-bulu burung tersebut. Sebenarnya bukan
karena perut lapar hingga Jaka mencari burung-burung hutan
yang besarnya sebesar ayam, akan tetapi Jaka
sengaja hendak mengundang musuh yang dikatakan oleh Siluman Api datang. Dengan
mencium bau bakaran daging, tentunya para musuh akan
mudah mengetahui keberadaan dirinya.
"Tuan Pendekar, kami merasa heran dengan Tuan," celoteh Kusir kereta.
"Mengapa?" tanya Jaka tak mengerti. "Bagaimana mungkin dalam waktu cepat Tuan
mampu mendapatkan lima ekor burung ayam-ayaman
ini?" Jaka tersenyum, sepertinya menertawakan
dirinya sendiri. Memang benar akan apa yang dikatakan Kusir kereta tersebut.
Bagaimana mungkin dalam secepat itu Jaka mampu mendapatkan
lima ekor burung ayam-ayaman" Dan bukankah
di hutan pinus ini tiada suara burung seekor
pun" Sebenarnya Jaka tidak mencari burung
ayam-ayaman. Dan sebenarnya yang kini tengah
mereka bakar adalah ayam kampung. Waktu Jaka pamit mencari burung, dengan
menggunakan ilmu larinya yaitu ajian Angin Puyuh, Jaka men-
datangi rumah-rumah penduduk yang jaraknya
hampir dua puluh mil. Namun dikarenakan Jaka
lari bagaikan terbang dengan ajian Angin Puyuh
tingkat pamungkas, maka hanya dalam waktu lima menit saja Jaka telah sampai di
perkampungan dan mencuri lima ekor ayam tersebut. Di
samping itu pula, maksud Jaka sebenarnya
hanya ingin berjaga, dan ingin mengawasi kedatangan musuh.
Manakala Jaka melihat bahwa musuhnya
masih belum nampak, Jaka kembali lagi dengan
membawa ayam-ayam tersebut. Jaka beranggapan bahwa musuhnya mungkin tiada tahu
tempat mereka, sehingga dengan cara membakar daging
baunya akan menyebar ke seantero tempat tersebut, juga akan terbawa angin. Namun
untuk menutupi bahwa dirinya telah berpatroli, Jaka pun
menjawab kalem. "Yah, kebetulan burung-burung
tersebut tengah tidur, sehingga aku tidak sulit
menangkapnya."
Jawaban Jaka memang masuk akal, sehingga keempatnya tiada lagi bertanya-tanya.
Kini mereka pun disibukkan oleh ayam-ayam yang kini mereka panggang. Bau ayam
panggang benarbenar menjadikan kelimanya kini leletkan lidah.
Rasa lapar pun seketika mengucak perut mereka.
Sedangkan asap dari pembakaran tersebut
benar-benar tersebar ke segenap penjuru hutan.
Bahkan asap bakaran tersebut tersebar sampai di
luar hutan, di mana alam gelap menghampar menyelimuti muka bumi. Asap bakaran
daging memang mampu menjadikan hidung yang mencium-
nya akan dapat segera mengetahui di mana keberadaan tempat tersebut. Seperti
halnya orangorang yang nampak berlari-lari dengan ringannya,
seakan mereka tengah terburu-buru oleh waktu.
Orang-orang tersebut berpakaian hitam dengan
tutup muka yang juga berwarna hitam. Di pundak mereka nampak samurai melekat,
sedangkan di tangan mereka tergenggam senjata lain yang
beraneka ragamnya. Jumlah mereka hampir
mencapai lima puluh orang. Mereka tiada lain dari pasukan Ninja yang
diperintahkan oleh Taka
Nata untuk menyerang orang-orang kerajaan.
Sebenarnya para Ninja tersebut belum
mengerti apa yang telah terjadi dengan rekanrekannya yang mati di tangan Jaka
Ndableg sore itu. Mereka hanya diutus untuk membantu para
Ninja yang menghadang kepergian setiap prajurit
kerajaan, atau pun para pendekar yang hendak
mendatangi pertemuan di sebelah Timur Gunung
Fujiyama. "Kawan-kawan, apakah kalian mencium
bau bakaran daging?" tanya pimpinan Ninja seraya hentikan larinya, hingga semua
anak buahnya pun seketika turut menghentikan lari mereka. Hidung mereka kembang
kempis, merasakan
aroma yang sangat merangsang selera mereka.
"Hem, rupa-rupanya bau ini dari dalam hutan."
"Benar!" jawab Ninja yang berdiri di sampingnya. "Mari kita ke sana."
Dengan segera kelima puluh Ninja tersebut
kembali berlari ke arah datangnya aroma bakaran
daging. Kelima puluh Ninja tersebut kini me-
nyembunyikan diri mereka ke dalam tanah, dan
ada pula yang berlompatan naik ke atas pohon.
Jaka Ndableg yang sudah mendapat petunjuk dari Siluman Api kini nampak waspada,
walaupun ia kini nampak menyantap makannya
dengan tanpa berpaling ke mana pun. Di sisi kanan kirinya keempat orang Nippon
juga kini menyantap makan. Namun seketika kedua Panglima
kerajaan tersebut tersentak.
"Kreseeek...!"
"Tuan Pendekar, apakah Tuan mendengar
suara gemeresek?"
Jaka Ndableg dengan pura-pura tak mendengar segera pasang telinganya untuk mampu
menangkap suara tersebut, namun sebenarnya
Jaka telah mendengar terlebih dahulu. Jaka
sunggingkan senyum, sepertinya mengiyakan
akan apa kata Panglima pertama.
"Rupanya mereka benar-benar datang,"
gumam Jaka dalam hati.
"Bagaimana, Jaka?" Meimora nampak agak
ketakutan. Namun menakala melihat Jaka tersenyum, nampak agak sedikit memiliki
ketenangan. Meimora percaya bahwa Jaka tidak akan membiarkan dirinya dan ketiga orang istana
itu begitu saja. Tentunya Pendekar Tanah Jawa yang titisan
Dewa tersebut akan berusaha mereka.
"Hai orang-orang yang ada di atas pohon,
mengapa kalian tidak cepat turun"!" tiba-tiba Jaka dengan keras berseru,
menjadikan kedua Panglima dan Kusir serta Meimora tersentak kaget.
"Kalau kalian benar-benar orang baik-baik, ten-


Pedang Siluman Darah 28 Runtuhnya Samurai Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tunya kalian akan berbuat baik pula. Janganlah
kalian bertingkah laku begitu!"
"Suiiiitttt...!" terdengar suitan
"Hem, kalian rupanya ingin mempermainkan kami!" bentak Jaka.
"Suuuuuiiiiiittttt...!" kali ini kembali terdengar suitan panjang, dan bersamaan
dengan akhir suitan tersebut, beberapa sosok tubuh hitam berkelebat menghadang di
hadapan kelima orang tersebut.
Keempat orang Jepang yang berdiri di
samping Jaka nampak agak gemetaran. Namun
Jaka berusaha memberikan ketenangan bagi
keempatnya dengan berkata, "Kalian tidaklah perlu takut, sebab mereka aku rasa
hanyalah cecurut-cecurut yang lapar."
"Bejero!" bentak pimpinan Ninja marah,
demi mendengar ucapan Jaka yang menyebut dirinya cecurut atau tikus. "Siapa kau,
Bajero! Bukankah engkau orang asing, hah!!"
Jaka Ndableg kembali tersenyum, lalu dengan masih tenang kembali berkata, "Kalau
kalian tidak mau dianggap cecurut, mengapa kalian bertindak mirip cecurut!"
"Bajero! Orang asing tidak tahu adat! Seraaaaanggg...!"
Mendengar seruan pimpinannya, seketika
beberapa Ninja yang tadinya belum nampak, ikut
nongol ke permukaan. Semua Ninja yang berjumlah lima puluh orang tersebut dengan
cepat mengurung kelima orang utusan kerajaan.
"Kalian tentunya orang-orang istana, maka
kalian akan kami jadikan jalan pertama bagi tujuan kami!" kata ketua Ninja,
nampaknya merendahkan kelima orang di situ. Sementara kelima
puluh anak buahnya kini dengan tangan siap
menggenggam samurai masih mengurung.
"Jangan asal ngomong!" balik membentak
Jaka. "Heh, rupanya kau ingin jadi pahlawan,
Orang asing!"
"Kalianlah Iblis-iblis yang harus dibasmi!"
Jaka nampak benar-benar tidak ingin main-main.
Kini Jaka berdiri dengan berusaha melindungi
keempatnya. Sedangkan Meimora nampak dengan
tubuh ketakutan dan disertai kebencian yang
amat sangat. Mata Meimora liar memandang ke
arah Ninja-Ninja, sedangkan di antara kelima puluh Ninja tersebut nampak ada
sekitar enam orang yang mengawasi dirinya. Rupanya Ninjaninja tersebut orang yang pernah
memperkosanya. "Jaka, keenam orang tersebut...." Meimora
tak meneruskan kata-kata. Namun begitu Jaka
mampu menangkap apa yang sebenarnya berada
di dalam hati Meimora. Sebenarnya Meimora ingin
memberitahukan padanya tentang siapa adanya
keenam orang yang nampak memandang terus ke
arahnya. Rasa kemanusiaan Jaka seketika bagaikan terbakar, sehingga kini Jaka
Ndableg tatapkan mata ke arah keenam orang tersebut.
"Hua, ha, ha....! Rupanya di antara kalian
ada Iblis-iblis yang terlalu rakus melebihi kalian
semua," Jaka berkata bagaikan tiada hiraukan
ucapan pimpinan Ninja. "Aku akan mendahului
memenggal kepala mereka daripada kalian semua!"
"Bajero" Jangan biarkan pemuda gila
itu...!" orang yang merasa tertuduh membentak
marah, lalu tanpa diperintah terlebih dahulu oleh
ketuanya, keenam orang tersebut seketika berkelebat menyerang.
"Wuuuuuttt...!" Samurai mereka berkelebat.
"Awas...!" Jaka Ndableg segera dorongkan
keempatnya, lalu dirinya sendiri melompat hindari serangan. Kakinya dijulurkan
menendang ke arah musuh. "Wuuuuttt...!"
Samurai keenam Ninja itu membabat kaki
Jaka yang menyerang, sehingga mau tidak mau
Jaka pun tarik kembali serangan. Manakala kaki
ditarik, dengan cepat tangannya mengaju ke muka. Keenam musuhnya terjengah, dan
dengan cepat kembali babatkan samurai.
"Wuuuuttt...!"
"Kalian minggirlah dulu, dan jaga Nona
Meimora!" Jaka perintahkan pada keempat rekannya untuk menepi. Keempat rekannya
tanpa banyak kata segera menurut, namun dengan cepat Ninja-ninja yang lainnya segera
menghadang. Walaupun begitu, kedua Panglima utama kerajaan bukanlah orang-orang sembarangan.
Keduanya merupakan tokoh-tokoh samurai yang sudah
mumpuni. Melihat dirinya dihadang, dengan cepat kedua Panglima itu tarik
samurainya. "Wuuuuuttt...!" Samurai kedua Panglima
bergerak cepat, menjadikan orang-orang yang
menghadangnya tersentak, melompat mundur ke
belakang mengelak.
"Bajero! Kalian menantang!" maki Ninja
yang menjadi pimpinan. Dengan sebat pimpinan
Ninja itu segera kirim tendangan ke arah Panglima pertama. Panglima yang
merupakan orangorang seleksian kerajaan nampak dengan entengnya mengimbangi.
Kakinya digerakkan ke samping. Tubuhnya sesuai dengan arah kaki, mengegos ke
samping menghindar. Dan manakala samurai lawan berkelebat di sebelah kirinya,
dengan cepat kaki kanan berkelebat menendang.
Melihat musuhnya hendak menendang, segera pimpinan Ninja itu tarik samurai dan
kibaskan ke arah kaki. Tujuannya hanya satu,
membabat kaki Panglima. Tapi dugaannya meleset, sebab ternyata Panglima
menendang hanya
tipuan belaka, sedang serangan yang sebenarnya
tidak lain dari kekuatan tangan kanannya. Dengan Jodang Ukai, atau pukulan lurus
ke arah muka, tangan kanan Panglima melesat ke muka.
"Wuuuuttt...!"
"Bug! Bug! Bug...!"
"Ah...!" Pimpinan Ninja itu memekik, manakala jotosan Jodang Ukai yang
dilancarkan Panglima pertama mendarat telak di mukanya.
Hal tersebut menjadikan pimpinan Ninja terhuyung-huyung, dengan pipinya terasa
sakit. Sedangkan dari mulut dan hidungnya keluar darah
meleleh. "Bajero! Kubunuh, kau!" Pimpinan Ninja
segera bangkit, lalu dengan gerakan cepat kembali berkelebat babatkan samurainya
ke arah musuh. Namun kiranya segala gerakan lawan telah
diketahui kuncinya oleh Panglima pertama, maka
pada saat samurai lawan menyerang, dengan cepat Panglima pertama babatkan
samurainya. "Wuuuuttt...!"
"Trang....!"
"Wuuuutttt....!"
"Craaaasss...!"
"Aaaaaaa....!" Pimpinan Ninja itu memekik,
manakala samurai Panglima pertama membabat
lengan tangan kanannya. Tanpa ampun lagi, tangan kanan pimpinan Ninja seketika
puntung jatuh ke tanah. Pimpinan Ninja menggerug-gerung
kesakitan, darah keluar deras dari puntungan
tangannya. Dan karena banyak darah keluar,
menjadikan pimpinan Ninja itu seketika pingsan.
*** Terbelalak semua anak buahnya menyaksikan pimpinannya dapat dengan mudah
ditundukkan. Namun sebagai seorang yang telah disumpah, para Ninja tersebut
tiada mau mengalah.
Dengan bareng anak buahnya segera menyerang
ke arah Panglima pertama.
Di pihak lain, Jaka Ndableg yang dikeroyok
oleh enam orang Ninja nampaknya tidak mengalami kesulitan. Keenamnya bagaikan
tiada arti bagi Jaka. Setiap tebasan-tebasan samurai mere-
ka, dengan mudah dielakkan oleh Jaka Ndableg.
Tapi rupanya keenamnya tidak menyadari siapa
adanya orang yang dikeroyok, mereka terus berusaha mencerca Jaka.
"Wuuuuutttt...!"
Enam samurai itu bareng menyerang, menjadikan desingan yang mampu kejutkan orang
yang diserang. Jaka segera lompat ke udara, tendangkan kaki ke arah mereka
dengan jurus Sapuan Angin. Kaki Jaka Ndableg begitu cepat, sukar untuk diikuti
oleh pandangan keenam musuhnya.
"Wuuuuttt...!"
"Hiiiaaaattt...!" Jaka memekik balik menyerang, kakinya bergerak menyambar.
"Bug! Bug!
Bug...!" Kaki Jaka menyepak keenam musuhnya.
Seketika musuhnya tersentak, lalu mereka pun
berusaha memapakinya dengan tebasan samurai.
Namun rupanya gerakan mereka kalah cepat, sehingga tanpa ayal lagi kaki Jaka pun
mendarat telak ke muka mereka. Bagaikan dihantam godam, muka mereka seketika melenguh
manakala kaki Jaka berhasil menghantam.
Keenam Ninja itu sempoyongan. Melihat
hal tersebut, Meimora yang memang mendendam
dengan tanpa diduga berhasil merampas salah
satu samurai di tangan mereka, lalu bagaikan kesetanan Meimora pun babatkan
samurainya ke tubuh Ninja-ninja tersebut.
"Kalian harus mati...!"
"Wuuuuttt.,.! Wuuuutt..! Wuuuuuuttt...!"
"Bret! Bret! Bret...!" Enam kali terdengar
suara sabetan samurai di tangan Meimora ke tubuh mereka.
"Wuuuuuaaa...!" Keenam orang itu pun seketika memekik. Darah muncrat dari
punggung mereka, sepertinya punggung mereka kini tak
mampu untuk pertahankan keseimbangan. Dan
karena banyaknya darah yang keluar, sehingga
keenamnya seketika terluka. Dan hal tersebut rupanya tidak disia-siakan oleh
Meimora. Dengan
sadis kembali Meimora kibaskan samurainya.
"Wuuuuttt...!"
"Cras! Cras! Cras...!"
Enam kali Meimora sebatkan samurai ke
leher mereka, dan enam kali pula leher Ninjaninja tersebut puntung. Darah makin
membanjir saja. Keenamnya hanya memekik sesaat, sebelum
akhirnya mati dengan kepala memisah dari badannya.
Jaka tak mampu mencegah, dan rupanya
Jaka tidak bermaksud mencegah, Jaka tahu kalau tindakan Meimora dilandasi oleh
rasa dendam dan emosi. Dan manakala semuanya berhasil dibunuh, seketika Meimora menangis
sesenggukan. Kenangan pahit atas tindakan biadab mereka sukar untuk dihapuskan walau keenam
Ninja tersebut telah mati.
Melihat keenam temannya mati, para Ninja
yang masih hidup segera bermaksud menyerang.
Namun Jaka Ndableg segera papaki serangan mereka. Kalau saja Jaka tidak mampu,
maka sudah pasti nyawa Meimorlah yang sebagai gantinya.
Dan manakala lima orang hendak menjarah tubuh Meimora dengan Samurai, secepat
itu pula Jaka papaki mereka dengan sabetan Pedang Siluman Darah.
"Wuuuuutttt...!"
"Awas, Nona Mei...!" Jaka peringatkan
Meimora, sementara tangan kirinya segera dorong
tubuh Meimora. Sedangkan tangan kanannya
dengan cepat tebaskan Pedang Siluman. "Wuuuuuutttt....!"
"Trang, trang, trang...!"
"Prak, prak, prak...!"
Empat kali terdengar suara beradunya senjata, dan empat kali terdengar suara
senjata patah. Empat Ninja itu belalakkan matanya kaget,
manakala melihat samurainya dengan enteng dibabat putus oleh pedang di tangan
Jaka Ndableg. Belum juga keempatnya sadar, dengan cepat samurai di tangan Meimora kembali
berkelebat. Tanpa ampun lagi...
"Wuuuuutttt...!"
"Bret! Bret! Bret....!"
"Aaaaaaaa....!" empat orang itu memekik
sesaat, lalu tubuh mereka pun ambruk. Perut mereka sobek terkoyak oleh samurai
di tangan Meimora. Meimora benar-benar bagaikan Dewi Kematian saja. Samurai di
tangannya sungguh sangat
sadis, tanpa kenal ampun untuk Ninja-ninja tersebut.
Kini para Ninja itu benar-benar kalang kabut dibikin repot dan terdesak oleh
keempat orang utusan istana tersebut. Satu persatu para
Ninja itu berguguran, terbabat oleh senjata yang
berada di tangan mereka. Dan manakala hari
menginjak pagi, tinggallah hanya tiga dari lima
puluh Ninja tersebut yang masih hidup! Ketiganya
dibiarkan hidup untuk mengadukan segalanya
pada ketua mereka Taka Nata si Iblis Nippon.
*** 2 Betapa gusar dan marahnya Taka Nata
mendengar penuturan ketiga anak buahnya tentang kegagalan mereka. Taka Nata kini
betapa mendendam sekali pada pemuda pendekar yang
orang asing tersebut. Taka Nata juga sangat gusar
pada kerajaan yang mengundang pendekar tersebut.
"Mumpung para pendekar termasuk pendekar muda itu berada di tempat Eyang guru,
maka hari ini juga kita mesti mengadakan pembalasan pada pihak kerajaan!" Taka
Nata berkata dengan suara berapi-api penuh dendam. Ya, dendamnya sangat mendalam pada orang-
orang yang dianggapnya telah merintangi cita-citanya. "Pendekar itu harus aku singkirkan!"
Semua anak buahnya tiada berani yang bicara, semuanya diam.
"Kau Maitzo. Pimpin pasukan, serang kera-
jaan. Dan sebagian lagi, ikut aku untuk membuat


Pedang Siluman Darah 28 Runtuhnya Samurai Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keributan di mana-mana agar seluruh pendekar
terpecah pikirannya!"
"Daulat, Ketua," jawab Maitzo.
"Sekarang laksanakan! Ingat! Jangan sampai gagal untuk yang ketiga kalinya!"
"Daulat, Pimpinan!"
Maitzo sebagai tangan kanan Taka Nata
dengan tanpa banyak komentar lagi segera pergi
ke luar untuk mengumpulkan setiap prajurit. Kini
tekad yang ada di hati para Ninja hanya satu,
menggulingkan kekaisaran.
"Prajuriiiiiittt... kumpuuuuuulll...!"
Mendengar seruan wakil pimpinannya, para Ninja yang mempunyai disiplin tinggi
tersebut dengan segera berkumpul. Semuanya bagaikan
tiada mengeluh, tanpa tanya bakalan apa yang ditugaskan pada mereka.
"Kalian tahu apa yang akan kami tugaskan?" tanya Maitzo.
"Belum...!" jawab prajurit Ninja.
Maitzo berjalan perlahan memeriksa pasukannya yang mencapai ratusan prajurit
Ninja yang sudah dididik dan dilatih.
"Kalian hari ini juga akan ditugaskan untuk melakukan apa yang selama ini kita
rencanakan," Maitzo memberitahukan. "Tentunya kalian
telah mengerti, bukan?"
"Mengertiiii...!" kembali mereka serempak
menjawab. ''Nah, kali ini kami uji kesetiaan kalian pada pimpinan. Tunjukkan apa yang
kalian mampu! Tunjukkan pula bahwa kalian bukanlah prajurit
sembarangan!"
Ucapan Maitzo bagaikan penyebar semangat. Hal tersebut terlihat jelas dari
keceriaan para Ninja, yang seakan hendak mendapatkan bonus
saja. Itulah kepatriotan Ninja, serta rasa kedisiplinan yang tinggi.
"Nah, ucapkan janji kalian!"
"Janji Ninja! Kami akan selalu menjunjung
tinggi setiap amanat pimpinan! Kami rela mati
untuk keberhasilan cita-cita semuanya! Kami tak
akan mau menyerah pada musuh, kecuali hanya
kematian!"
Maitzo tersenyum, dan katanya. "Bagus!
Nah, aku mohon, ketiga prajurit Ninja yang kemarin gagal segera maju ke muka,"
Dengan tegar bagaikan tak mengenal rasa
takut, ketiganya segera melangkah ke muka. Wajah mereka tidak mencerminkan
adanya rasa takut, bahkan di wajah mereka kini nampak ketenangan. Mereka tahu
dan sadar, bahwa diri mereka kini tiada lagi artinya bagi kehidupan seorang
Ninja. Tiga orang temannya yang dengan tangan
siap menghunus samurai berjalan di belakangnya. Wajah ketiga Ninja lainnya
seakan tiada ekspresi. Bagi mereka, hukuman semacam itu
bukanlah sebuah pemandangan yang baru, akan
tetapi sering mereka saksikan. Dan kadangkala
mereka sendiri yang menjadi algojonya.
"Kalian telah siaaaappp...!?" tanya Maitzo.
"Siaaaappp...!" jawab ketiga algojo.
"Nah! Hari ini kalian semua akan melihat
bagaimana ketiga orang anggota kita yang pengecut akan menerima hukuman! Kalian
jadikanlah ini semua sebagai pelajaran!"
Semuanya terdiam, tanpa ada seorang pun
yang menjawab. Maitzo kembali meneruskan ucapannya, "Sebagai seorang Ninja, tak
patut jika kalian mengalah pada musuh, takut mati! Maka, jika kalian menemui
musuh yang berat dan sekiranya tidak mampu kalian hadapi, lebih baik kalian
lakukan harakiri, mengerti...!"
"Mengerti....!" jawab semuanya.
Tiga orang Ninja tersebut kini jongkok,
tundukkan kepala seperti siap menerima hukuman. Sementara ketiga algojo yang
akan melakukan hukumannya, nampak masih berdiri di sisisisi mereka. Samurainya
kini nampak mengangkat ke atas, pertanda bahwa mereka benar-benar
telah siap untuk menerima perintah.
"Lakukan...!"
Bersamaan dengan akhir dari kata-kata
Maitzo, maka tangan ketiga Ninja yang memegang
senjata samurai itu berkelebat ke bawah tanpa
dapat dicegah. "Wuuuuutttt...!"
"Crraaaaaasssssss...!"
"Aaaaaaaaaaaa...!" ketiga orang terhukum
itu memekik panjang, sebelum akhirnya kepala
mereka puntung dan menggelinding dari pangkal
lehernya. Sungguh tragis kematian mereka, dan
rupanya itulah hukum yang mesti berlaku bagi
para Ninja. Walaupun begitu, nampak Ninja yang
lainnya tundukkan kepala. Mereka benar-benar
menghormati rekan-rekannya. Khidmat mereka
tundukkan kepala, seperti sedih untuk berpisah
selama-lamanya.
"Itulah hukum kita." Maitzo kembali berkata. "Nah, kalian harus tahu itu. Kini
kita akan mengadakan sebuah gerakan gerilya untuk dapat
merongrong kerajaan. Seperti biasanya, kita akan
melakukan perampokan dan pemerasan. Dan mulai hari ini, operasi kita akan
langsung dipimpin
oleh ketua kita, Taka Nata!"
"Hidup Taka Nata...!"
"Hidup Samurai Iblis...!"
Sorak pekikan menggema manakala Taka
Nata keluar dari tempat kediamannya untuk memeriksa pasukannya yang berjumlah
ratusan Ninja tersebut. Taka Nata dengan pakaian kebesarannya yang berwarna
putih perak itu melangkah
dengan diapit dua tangan kanannya memeriksa
para prajuritnya.
"Kalian tahu mengapa kalian dikumpulkan?"
"Tahu, Ketua...!" jawab Ninja-ninja tersebut.
"Hem, bagus! Hari ini, adalah puncak dari
Revolusi kita!" Taka Nata menerangkan. "Revolusi
Ninja, yang kelak akan mengukir sejarah. Dan bila kita berhasil, maka kalian
akan menjadi orangorang yang disegani dan dihormati. Jadi, kalian
hendaknya berjuang dengan sungguh-sungguh.
Kalian harus percaya, bahwa akulah orang yang
paling sakti di tanah Nippon ini!"
"Hidup Ketua Taka Nata...!"
"Hidup Samurai Iblis...!"
"Nah, kalian akan dibagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama, ikut dengan Maitzo menyerang kerajaan. Sedangkan bagian
kedua, ikut dengan aku membuat kerusuhan."
Hari itu juga dua prajurit yang tergabung
dalam Persekutuan Samurai Iblis dipecah menjadi
dua bagian. Bagian pertama dengan dipimpin oleh
Maitzo akan menyerang kerajaan, dan bagian kedua yang dipimpin oleh Taka Nata,
akan membuat kerusuhan di dunia persilatan. Tujuan mereka hanya satu, menjadi
pimpinan di setiap sektor yang memegang peranan penting di tanah
Nippon. "Nah, sekarang juga, bagian yang ikut
Maitzo berangkat! Serang kerajaan.... Bila perlu,
bunuh Kaisar...!" suara Taka Nata berapi-api,
memberikan semangat pada para prajuritnya.
"Jangan kalian gagal, sebab kalian adalah orangorang berilmu tinggi. Gunakan
segala cara untuk
dapat menguasai kerajaan!"
"Siiiiiiaaappp...!" jawab semuanya.
"Maitzo berangkatlah!"
"Daulat, Pimpinan." Maitzo menjura, lalu
pada prajuritnya ia pun berkata. "Prajurit...!
Siiiiiaaaap! Kita jalan...!"
"Siiiiiaaaapp...!" jawab mereka.
Setelah memberikan penghormatan pada
Taka Nata, maka hari itu juga anak buah Taka
Nata yang dipimpin oleh Maitzo berangkat menuju
arah Barat di mana kerajaan berada. Jarak kera-
jaan dengan markas mereka memang cukup jauh.
Seminggu bila ditempuh dengan jalan kaki, tapi
bagi mereka tiada masalah. Di hati mereka yang
ada hanyalah rasa ingin menang.
Taka Nata nampak sunggingkan senyum
demi melihat sebagian pasukannya telah berjalan
untuk menunaikan tugas. Sedangkan dia sendiri
kini akan langsung mengepalai sebagian pasukan
lainnya guna mengaco para pendekar.
Tak berapa lama kemudian, "Pasukan, kita
berangkat! Kita jadikan wilayah sekitar kerajaan
untuk ajang kita. Kita bikin semua penduduk resah!"
"Akuuuuuuurrr...!" jawab semua Ninja.
Taka Nata kembali tersenyum, lalu dengan
tanpa kata lagi ia pun melangkah pergi diikuti
oleh anak buahnya. Tempat markas Samurai Iblis
pun kini sepi, hanya tinggal tiga orang Ninja yang
ditugasi untuk menjaganya.
*** "Masih jauhkah tempat pertemuan para
Pendekar?" tanya Jaka pada kedua Panglima kerajaan yang mengikutinya untuk
menemui para Pendekar yang saat itu tengah berkumpul dalam
usahanya mencari jalan keluar mengatasi Taka
Nata. "Kita tinggal memerlukan waktu dua hari
perjalanan lagi, Tuan Pendekar," jawab Panglima
pertama. Terbelalak mata Jaka Ndableg demi men-
dengar jawaban dari Panglima perang kerajaan
tersebut. Hingga karena saking kagetnya, sampaisampai Jaka bergumam, "Dua hari
perjalanan...?"
"Ya," jawab Panglima pertama lagi.
"Apa tidak dapat dipercepat?"
"Tidak, Tuan."
Sebenarnya Jaka dapat saja mengambil jalan cepat untuk mencapai tempat tersebut,
bukankah ia memiliki ilmu lari Angin Puyuh yang
tiada tandingannya" Namun jika ia ingat bahwa
dirinya sangat diperlukan oleh keempat orang
Nippon tersebut, Jaka urungkan niatnya dan tetap menurut ikut bersama mereka.
"Kalau aku tahu tempatnya, tidak perlu
aku harus meminta mereka menemaniku," Jaka
membatin. "Tapi jika aku meninggalkan mereka,
aku khawatir mereka akan mendapat tantangan
dari para Ninja anak buah Tak Nata."
Kereta melaju dengan kencang, sehingga
bila kereta tersebut berguncang, maka kelima
orang yang berada di dalamnya pun ikut terguncang-guncang pula.
"Tuan Pendekar, benarkah Jawa Dwipa
terkenal dengan keramah-tamahan penduduknya?" tanya Meimora memecahkan kebisuan.
"Benar," jawab Jaka.
"Tapi kami mendengar bahwa para Ninja
hitam banyak yang mati oleh pendekar-pendekar
Tanah Jawa," Panglima pertama menyambung sepertinya ingin mengetahui hal
kebenaran cerita
dari mulut ke mulut yang ia dengar. "Sebab me-
nurut yang saya dengar. Para Ninja tersebut menemui kematian di Tanah Jawa oleh
para Pendekar Tanah Jawa."
Jaka tarik nafas panjang, sepertinya ingin
menggambarkan pada mereka bahwa segalanya
memang benar. Dan sebagai jawabnya Jaka kini
tersenyum. Hal tersebut menambah keyakinan
para sahabatnya yang berada di dalam kereta.
"Apakah Ninja-ninja tersebut atas perintah
Kaisar?" tanya Jaka, seakan ingin mengorek berita yang mampu menjadi bukti.
"Bukan! Kaisar tadinya melarang, namun
dikarenakan mereka memaksa, maka Kaisar pun
meluluskannya," Panglima kedua menjawab, mewakili rekannya. "Sungguh, kami
sebenarnya menganggap orang-orang Tanah Jawa sebagai
saudara kami sendiri."
Jaka Ndableg angguk-anggukkan kepalanya.
Kembali kebisuan menyelimuti, sepertinya
perjalanan mereka tiada tersirat kegembiraan.
Masih terbayang di benak mereka Ninja-ninja
yang sewaktu-waktu akan menghadang perjalanan mereka. Namun bila keempat orang
tersebut ingat bahwa di situ ada Jaka, maka keempatnya
tampak aman. Kereta terus melaju, menyusuri jalanan
salju yang kian menebal hingga terasa kereta jalan lamban. Roda-roda kereta
nampak mencakarcakar, menjadikan lukisan garis tebal yang tertekan kuat. Rasa
dingin terus menyelimuti, dan
makin naik ke Gunung Fuji, hawa dingin makin
menjadi-jadi. Hal tersebut menjadikan keempatnya nampak menggigil, tinggal Jaka
saja yang nampaknya tiada terpengaruh sama sekali, bahkan pendekar kita itu tanpa sehelai
benang pun yang menutup tubuhnya.
"Dingin...?" tanyanya.
Keempat orang Jepang itu mengangguk,
malah Meimora makin merapat tanpa malu-malu
ke tubuh Jaka Ndableg. Jaka yang melihatnya secara diam-diam salurkan hawa
panas, menjadikan ruangan kereta tersebut tiba-tiba menjadi
hangat kembali. Hal tersebut menjadikan keempatnya terjerengah, mata mereka
membeliak tak yakin pada keadaan seketika itu. Namun manakala mereka memandang pada Jaka
Ndableg yang masih terdiam, mereka pun kini sadar bahwa karena pendekar tersebut mereka
merasakan kehangatan. "Tentunya Pendekar muda ini yang
memberikan kehangatan." gumam Panglima pertama dalam hati. Begitu juga dengan
ketiga orang lainnya, mereka yakin bahwa Jakalah yang telah
membuat hawa hangat di dalam kereta.
Tengah kereta melaju, tiba-tiba kuda-kuda
penarik kereta meringkik. Kuda-kuda tersebut
bagaikan ketakutan saja, angkat kaki-kaki mereka dengan ringkikkan keras.
"Hanyeeee...! Hanyeeee...!"
"Hai! Ada apakah, Kusir?" tanya Panglima


Pedang Siluman Darah 28 Runtuhnya Samurai Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua. "Sepertinya kuda-kuda itu ketakutan?"
Sang Kusir masih berusaha mengendalikan
kuda-kudanya dengan menarik kaisnya kuatkuat. Namun nampaknya kuda-kuda itu
benar- benar ketakutan hingga sang Kusir terpelanting
jatuh. Melihat hal itu, secepat kilat Jaka Ndableg
yang waktu itu tengah berkonsentrasi penuh salurkan hawa panas tersentak. Tanpa
banyak kata segera Jaka pun berkelebat ke depan. Ditariknya
kais, lalu berusaha mengendalikan kuda-kuda
tersebut. Kedua mahluk itu pun saling tarik untuk menentukan kemenangan emosi
mereka. Namun tampaknya tenaga Jaka jauh lebih besar,
sehingga kuda-kuda tersebut pun dapat dihentikannya
"Hia, hia...!"
"Hanyeeee....!" Kuda-kuda itu meringkik,
lalu ambruk dengan nafas yang memburu, Jaka
dengan cepat turun, periksa keadaan kuda yang
kini tergeletak. Mata Jaka seketika terpancang
pada tubuh kuda-kuda tersebut. Di tubuh kudakuda itu kini tertancap dua senjata
rahasia yang menjadikan lambang khusus para Ninja.
"Ninja...! Hem, ternyata mereka telah datang ke mari." gumam Jaka dalam hati,
diambilnya dua buah senjata berbentuk bintang tersebut,
menjadikan kuda-kuda itu merintih kesakitan.
Darah keluar dari tubuh kuda-kuda itu. Seketika
kuda-kuda itu mengejang, lalu akhirnya mati tergolek. Dengan ambruknya kuda-kuda
tersebut, maka ambruk pula kereta yang mereka tumpangi.
Seketika keempat orang yang berada di dalam
pun melompat ke luar.
"Ada apa, Tuan Pendekar?" tanya mereka.
Jaka tunjukkan senjata rahasia di tangannya. "Ninja-ninja itu kini berada di
sekitar tempat ini, maka hati-hatilah."
"Seraaaang!" kedua Panglima itu cabut samurainya. "Kita harus menumpasnya!"
Panglima pertama berkata, langkahkan kaki hendak mencari. Namun sebelum jauh, dengan
cepat Jaka pun melarangnya.
"Tuan Panglima, jangan!"
"Kenapa, Tuan Pendekar?" tanya keduanya,
sedangkan Meimora yang nampak ketakutan kini
makin menempel dekat dengan Jaka, Meimora
kini benar-benar merasakan bahwa dia sangat
membutuhkan diri pendekar muda tersebut. "Bukankah mereka harus dibasmi?" lanjut
Panglima kedua. "Benar! Tapi bukan cara nekad seperti kalian! Kalian tentu tidak mau menjadi
korban seperti kuda-kuda ini, bukan?" Jaka kembali berkata, menyadarkan kedua
Panglima Perang tersebut
yang seketika itu juga menurut dan balik ke tempatnya.
"Suuuuuuiiiiiiittttt.....!"
Suitan terdengar panjang, yang menjadikan kelima orang tersebut belalakkan mata.
"Hati-hati, mereka datang!" ucap Jaka.
"Benar, Tuan. Aku rasa, mereka sebentar
lagi tunjukkan diri mereka!" Panglima kedua
nampak menggertak marah. Kekesalannya atas
tindakan-tindakan Ninja yang telah berusaha merongrong kerajaan membuatnya tak
mampu menahan kekesalannya. Sebagai pembela kerajaan,
jelas ia sangat membenci tindakan-tindakan para
Ninja tersebut. "Hem, jangan harapkan kami akan
membiarkan mereka hidup!" tambahnya.
Ketiga pendekar itu nampak memasang
mata tajam ke arah datangnya suara suitan tersebut. Kedua Panglima kerajaan
tersebut telah siap dengan samurainya, sementara Jaka Ndableg
nampak masih berusaha tenang. Pedang Siluman
Darah masih tergantung di dalam sarungnya di
pundak, hanya mata dan telinga Jaka saja yang
tajam memperhatikan sekelilingnya.
"Suuuuuuuiiiiiitttt...!" kembali terdengar
suitan panjang, dan bersamaan itu berkelebat sosok-sosok bercadar ala Ninja
mengurung mereka.
Namun orang-orang ini jelas menunjukkan perbedaan para Ninja yang menjadi anak
buah Tak Nata. Kalau biasanya anak buah Taka Nata
menggunakan pakaian serba hitam, akan tetapi
orang-orang ini terdiri dari beraneka ragam pakaiannya. Hal tersebut menjadikan
kedua Panglima kerajaan makin kebingungan, menjadikan
Jaka yang melihatnya sempat terheran-heran dan
bertanya. "Apa yang menjadikan Tuan Panglima terkejut?"
"Mereka bukan anak buah Taka Nata," jawab Panglima pertama.
"Ah, mengapa bisa begitu?" Jaka belum
mengerti. "Kau bisa lihat, Tuan. Bukankah pakaian
mereka menunjukkan corak lain?"
Jaka Ndableg pandang tajam orang-orang
Ninja yang jumlahnya mencapai lima puluh orang
tersebut. Memang pakaian mereka beraneka ra-
gam. Hal itu memang berlainan dengan pakaian
yang biasa dikenakan oleh Ninja anak buah Samurai Iblis yang selalu menggunakan
warna hitam legam.
"Mungkin ini sebuah taktik," Jaka berkata
pada diri sendiri dalam hati. "Dari cara-cara mereka keluar, jelas cara mereka
sama persis. Hem,
jangan kira aku mudah kalian kibuli."
"Bajero! Seraaaanggg....!" terdengar teriakan pimpinan Ninja.
"Hiiiiiiiiaaaaatttttt...!"
Seketika kelima puluh Ninja tersebut berkelebat menyerang ke arah mereka.
Samuraisamurai di tangan mereka bagaikan haus darah
membabat ke arah lawan. "Wuuuuttt...!"
Jaka Ndableg tersentak, elakkan serangan
dan segera melompat ke arah Meimora yang nampaknya ketakutan tanpa dapat berbuat
apa-apa. "Tenang, Nona. Kau jangan khawatir dan takut,
aku akan berusaha menjagamu. Nah, aku akan
mengambil pedang mereka."
Jaka kembali berkelebat menyerang.
"Wuuuuuutttt...!"
"Wuuuuuuuttttt...!"
Dua orang Ninja menyerang ke arahnya,
segera Jaka Ndableg elakkan. Tubuhnya dorong
ke samping hingga samurai Ninja tersebut mendesing di samping tubuhnya. Habis
mengelak, segera Jaka ayunkan kakinya menendang.
"Hiiiiiaaattt....!"
"Wet! Dest...!"
Tendangan kaki Jaka telak menghantam
ulu hati Ninja tersebut, menjadikan salah seorang
yang terkena seketika terpental dengan dada remuk. Hal itu menjadikan rekannya
tersentak kaget, yang segera babatkan samurainya untuk melindungi diri dari
serangan tendangan kaki Jaka
Ndableg. "Wuuuuutttt...!"
Samurai melesat, membabat ke arah kaki
Jaka yang mengayun. Namun rupanya serangan
Jaka bersifat pancingan belaka. Manakala samurai lawan membabat, segera Jaka pun
tarik kembali kaki kanannya diganti dengan jotosan tangan
kiri serta sikut. "Wes...!"
"Dug! Bug...!"
"Ayaaaa...!" Ninja itu menjerit, tulang pipinya terasa remuk tersikut dan
terpukul tangan
Jaka. Belum Ninja itu roboh, segera Jaka rebut
samurainya. "Ini Nona, kau perlu jaga diri." Jaka lemparkan samurai ke arah Meimora yang
dengan cepat menangkapnya. Dengan samurai di tangannya Meimora bagaikan orang kalap,
dengan liar dan penuh kemarahan Meimora pun berkelebat
menyerang para Ninja tersebut. Babatan samurainya begitu liar, dengan jeritan-
jeritan pelampias kemarahan yang terus keluar dari mulutnya.
Diincarnya salah seorang dari empat orang yang
ia kenal adalah mereka yang memperkosanya.
Dari suara orang itu, Meimora tahu bahwa orangorang itulah yang dulu
memperkosanya. Juga dari tatapan mata mereka, yang tiada terputus-nya
memandang ke arahnya.
Jaka sebenarnya sangat meragukan tindakan Meimora yang nampaknya begitu nekad.
Namun untuk menghalangi atau mencegah, jelas
Jaka tidak berani. Ia yang menghargai setiap
emosional orang lain yang terdorong oleh faktor
kebencian dan dendam sukar untuk bertindak. Ia
juga tidak ingin dikatakan sebagai seorang yang
terlalu meninggi diri. Namun bila dibiarkan berlarut-larut, jelas hal ini akan
menjadikan bahaya
bagi diri Meimora.
Jaka Ndableg terus mencoba menuju ke
arah di mana Meimora dan Kusir kereta yang
bernama Takasima Jucaba yang kini tengah
membabi buta menyerang musuh.
"Wuuuuuutttt...!"
Jaka Ndableg tersentak manakala sebuah
samurai lawan berkelebat menyerang. Hampir saja tubuhnya menjadi sasaran, kalau
saja Jaka tidak segera lompat ke belakang. Demi dua orang
tersebut, kini Jaka Ndableg harus melompatlompat bagaikan katak melepaskan
terkaman ular beracun. Samurai lawan-lawannya terus mencerca menjadikan Jaka harus menepiskan
perhatiannya pada kedua orang tersebut.
"Wuuuuutttt...!" kembali samurai lawan
menderu. Jaka miringkan tubuh, tangkis serangan
dengan kebatan tangannya yang mampu menimbulkan angin besar. Kelima Ninja
penyerangnya tersentak, tarik serangan mundur. Hal tersebut
tidak disia-siakan Jaka, yang dengan segera kembali mencercanya dengan serangan
kilat pukulan Dewa Badai. "Hiiiiiiaaaatttt...!"
"Wuuuuuttt...!"
Tangan Jaka bergerak memutar, lalu dengan cepat bergerak lurus ke arah lima
orang musuhnya.
"Wuuuuussss...!" Angin menderu, manakala tangan Jaka mengkiblat ke arah musuh.
Angin itu untuk kedua kalinya menggoyahkan kelima
musuhnya. Kelima Ninja itu seketika tersurut
mundur, mata mereka melotot kaget. Namun belum juga mereka mampu berbuat, dengan
cepat Jaka sodokkan kaki kanannya menendang dengan gaya Elang Mencakar.
"Wuuuuuttt..!"
"Dest....!"
"Bret...!"
"Aaaaaaaaaaaaaaa...!" satu dari kelimanya
memekik, manakala sepatu Jaka menghantam
perutnya. Perut Ninja itu seketika koyak dan darah pun menyembur ke luar.
Keempat rekannya
tersentak, namun dengan cepat keempatnya
kembali menyerang Jaka. Dibabatkannya samurai
mereka ke arah Jaka.
"Wuuuuuttt!"
Empat samurai itu kembali mencerca, namun Jaka bagaikan tidak ada mengalami
kesulitan dengan cepat mengelak. Sementara keempat
rekannya yang juga masih bertarung nampak
mengalami kesulitan. Keempat orang tersebut walaupun membabi buta, namun mereka
tidak menyadari kalau serangan mereka yang membabi
buta itu malah menjadikan tenaga mereka berkurang. Hal itu diketahui musuh, yang
dengan cepat merangseknya. Dua Panglima perang kerajaan seperti tidak mau mengalah begitu saja. Samurai di
tangan keduanya yang memang jago-jago dalam
penggunaan samurai terus menderu-deru menyerang balik. Namun dikarenakan tenaga
mereka telah terkuras, menjadikan mereka kini bagaikan
singa yang ompong. Serangan mereka makin lama
makin melemah, bahkan kini tiada arti sama sekali.
"Wuuuuuutttt...!"
"Trang!"
Samurai di tangan Panglima pertama mental, tertangkis oleh pimpinan Ninja yang
dengan keenam anak buahnya menyerang.
"Ah...!" Panglima pertama memekik, melompat mundur hindari serangan.
Namun rupanya pimpinan Ninja itu tidak
mau memberikan kesempatan sedikit pun pada
Panglima tersebut. Dengan samurainya ketujuh
Ninja itu terus mencerca Panglima pertama yang
hanya mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.
"Bahaya...!" Jaka berseru dalam hati, segera dengan cepat ia kibaskan tangannya
menyerang dengan maksud merampas salah sebuah
samurai musuh. "Wuuuuuttt...!"
"Yap!"
"Tap...!"
Jaka dengan gerak cepat rampas samurai
lawan, sehingga orang tersebut beliakkan mata
kaget. Betapa pun, gerakan Jaka yang begitu cepatnya sukar diikuti atau
dielakkan oleh musuh.
Dan bukan hanya orang tersebut saja yang kaget,
akan tetapi kelima orang temannya juga membeliakkan mata juga. Belum juga
kelimanya sempat
hilang kagetnya, segera Jaka pun hantamkan
tangannya dengan Jurus Tangan Dewa Menghantam Karang. Gerakan tangan Jaka begitu
cepat, menjadikan tangannya bagaikan berubah banyak.
"Wuuuutt! Wuuuuuttt...!"
"Bug! Bug! Bug....!"
Lima kali suara hantaman menggema, dan
lima kali itu pula tangan Jaka mendarat ke muka
musuhnya. Seketika kelima musuhnya menjerit,
berguling-guling di atas tanah bersalju yang dingin. Melihat musuhnya dapat
dikalahkan, Jaka
bermaksud membantu keempat rekannya, namun
belum juga Jaka mampu bertindak, tiba-tiba terdengar pekikkan menyayat.
"Wuaaaaaa...!"


Pedang Siluman Darah 28 Runtuhnya Samurai Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wuuuuttt...!"
"Breett...!"
Panglima pertama menjerit, samurai lawan
telah mampu membeset tubuhnya. Seketika tubuh Panglima pertama goyah,
sempoyongan dengan perut menganga oleh besetan samurai
Jaka yang melihatnya begitu gusar, sehingga dengan penuh amarah dicabutnya
Pedang Siluman Darah.
"Sraaaangg...!"
"Bedebah! Kalian memang harus mampus,
hiiiiaaaattt....!"
Jaka melompat ke arah Panglima pertama
yang telah terhuyung-huyung dengan wajah pucat. Namun begitu para Ninja tersebut
tiada hentikan serangannya. Kembali Samurai-samurai
mereka membabat tubuh Panglima pertama.
"Wuuuuutttt,..!"
"Cras! Cras! Cras....!"
"Wuuuuaaa...!" Tiga kali samurai ketiga
Ninja itu menggores tubuh Panglima pertama,
menjadikan Panglima pertama benar-benar tak
mampu pertahankan nyawanya. Panglima pertama yang telah banyak mengeluarkan
darah ambruk seketika.
"Bajero kerajaan! Mampus! Hiiiiiaaaatttt....!" Samurai
para Ninja yang mengeroyok Panglima hendak mengakhiri hidupnya, manakala dengan cepat Jaka
berkelebat. "Bangsat! Hiaaaaattttt....!"
"Wuuuuuusssss....!"
"Trang! Trang! Trang....!" Enam kali terdengar beradunya suara benda-benda
logam. Keenam Ninja yang tadinya bermaksud
mencincang tubuh Panglima seketika melompat
mundur. Mata mereka membeliak, tatkala melihat
samurai-samurai di tangannya. Samurai-samurai
di tangan mereka puntung menjadi dua.
"Kalian harus mampus! Hiaaat.....! "
"Ah...! Mundur...,!"
Jaka yang sudah marah oleh rasa tanggung jawabnya untuk melindungi Panglima tak
hiraukan keenam Ninja yang tersentak kaget. Dan
manakala keenamnya hendak mundur, dengan
ganas dan cepat Jaka babatkan Pedang Siluman
Darahnya. Gerakan Pedang Siluman Darah yang
mempunyai kekuatan magis itu begitu cepat, sehingga sukar bagi keenamnya untuk
mengelakkannya.
"Wuuuuutttt...!"
Pedang Siluman darah menderu, lalu...!
"Wuuuuuuaaaa...!" keenam orang itu memekik, tubuh mereka seketika ambruk. Tubuh
mereka sesaat kejang, sebelum akhirnya tidak
berkutik dan mati. Kepala mereka tanggal, dengan darah yang telah mengering
terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Jaka bermaksud menolong Panglima pertama, namun belum juga berhasil, terdengar
pekikkan dari arah lain. Dan manakala Jaka menengok, tampak tukang Kusir saat
itu menjadi bulan-bulanan para Ninja. Tubuh Tukang Kusir
itu terbeset-beset oleh sabetan-sabetan samurai
di tangan Ninja-ninja tersebut. Darah Jaka Ndableg benar-benar mendidih.
Bersamaan dengan
ambruknya tubuh Kusir kereta, seketika itu pula
Jaka yang memegang Pedang Siluman Darah melompat menyerang.
"Bedebah! Hiiiiaaaattt...!"
Ketujuh Ninja yang mengeroyok Tukang
Kusir itu tersentak, palingkan muka memandang
pada teriakan seseorang yang berada di belakangnya. Namun ketika mereka
menengok, dengan cepat Jaka yang sudah benar-benar marah
babatkan Pedang Siluman Darahnya. Dua orang
dari mereka dapat meloloskan diri, namun lima
orang lainnya tanpa mampu menghindar. Hingga...!
"Wuuuuuttt...!"
"Dest...!"
"Cras! Cras! Cras!"
"Wuuuuaaaaaaaa...!"
Lima orang Ninja puntung kepalanya, tergolek lepas dari leher. Mata kelima orang
Ninja itu membeliak, sepertinya mereka tiada kuat menahan siksa manakala Pedang Siluman
Darah membabat leher mereka. Dua orang lainnya segera nekad menyerang, sebatkan
samurai ke arah
Jaka. "Bajero! Hiiiaaata....!"
"Wuuuuttt...!"
Jaka melompat mundur, lalu dibalasnya
serangan mereka dengan Pedang Siluman Darah.
"Wuuuuttt...!"
"Trang...!"
"Prak! Prak!" Dua pedang samurai di
tangan musuhnya patah, manakala keduanya
bertemu dengan Pedang Siluman Darah di tangan
Jaka. Belum juga keduanya hilang kaget, dengan
cepat Jaka kembali babatkan pedangnya ke arah
mereka. "Wuuuuut...!" Gerakan Pedang Siluman
Darah yang cepat sukar untuk dihindari mereka.
Hingga tanpa ampun lagi...
"Cras! Cras....!"
"Wuuuuuaaaa...!" kedua orang Ninja itu
memekik untuk yang terakhir, sebelum kemudian
tubuh mereka terkulai dengan tubuh puntung
menjadi dua. Dua puluh lima lebih, dan bahkan
kini tiga puluh dua lebih Ninja-ninja tersebut menemui ajalnya di tangan Jaka
Ndableg. Sedangkan Panglima kedua telah menewaskan tujuh
orang Ninja, sementara kini Meimora tampak
menghadapi musuh-musuh yang bukan sembarangan. Keempat orang Ninja tersebut yang
telah memperkosanya serta membunuh keluarganya.
Tekad di hati Meimora untuk membunuh keempatnya, seakan tiada bakal tercapai.
Dan kini malah dirinya sendiri yang terdesak hebat.
"Wuuuuutt...!"
Samurai di tangan keempat Ninja tersebut
menyabet ke arah tubuh Meimora.
"Ah...!" Meimora tersentak.
"Bret...!"
Beruntung Meimora masih mampu melompat mundur, kalau tidak, tentunya daging
perutnya akan terbeset. Namun tak urung, kini pakaiannya yang tersobek lebar,
menjadikan keempat Ninja tersebut kini memandang ke arah tubuh
yang sensitif itu dengan liar. Keempatnya kini teringat kembali akan apa yang
pernah mereka lakukan.
"Hua, ha, ha...! Nona, janganlah engkau galak-galak. Lebih baik menurutlah
dengan kami!"
salah seorang dari keempatnya berkata, kakinya
melangkah mendekat. Tangannya perlahan hendak membeset makin lebar sobekan kain
Meimora. Namun belum juga tangan itu berhasil, tiba-
tiba sebuah bayangan berkelebat.
"Wuuuuuusssttt...!"
"Wuuuuutttt...!"
"Cras! Cras! Cras...!" Sebuah sinar kuning
kemerah-merahan berkelebat membabat tangan
orang tersebut. Tanpa dapat dihindari, sehingga
tangan orang tersebut pun seketika puntung.
Orang itu pun menjerit menahan sakit, darah
muncrat dari tangan yang puntung. Dan mungkin
karena terlalu banyak darah keluar, menjadikan
orang tersebut seketika itu pula pingsan.
Melihat semuanya jatuh, tiga Ninja lainnya
dengan segera mendekap tubuh Meimora.
"Mundur engkau, atau Nona ini yang akan
kami gorok, hah!"
Mendengar ancaman orang yang menyandera Meimora, Jaka nampak hentikan
langkahnya. Sementara ketiga Ninja itu perlahan menyurut mundur dengan masih
menyandera tubuh
Meimora. Kini Jaka benar-benar serba salah harus berbuat apa. "Hem, jangan kira
aku akan membiarkan kalian bertindak semaunya," gerutu
Jaka dalam hati. Dipalingkan mukanya memandang pada Panglima kedua yang kini
masih dikeroyok oleh sepuluh Ninja.
"Aku akan membantu Panglima dulu, baru
nanti mengejar mereka!"
Bagaikan tidak memperdulikan Meimora
yang meronta-ronta minta tolong, Jaka Ndableg
berkelebat menuju ke tempat pertarungan Panglima.
"Jakaaaaaaaa.... Toloooooonggg...!" Meimo-
ra terus berteriak-teriak sambil memberontak.
Namun ketiga Ninja itu bagaikan tiada perduli,
dan terus saja mereka menyeret tubuh Meimora
pergi. Konsentrasi Jaka kini bercabang, antara
membebaskan Meimora dengan membantu Panglima. Hingga pada saat sebuah samurai
lawan yang tiba-tiba menyerangnya berkelebat membabat, tanpa ampun lagi Jaka Ndableg
tak dapat hindari. "Wuuuuuuttttt...!"
"Sreeeettt...!"
"Aaaah...!" Jaka memekik, dilihatnya pundak tangan kanannya terbeset, darah
mengucur ke luar. Kemarahan Jaka Ndableg seketika membludak. Hingga karena marahnya,
sampai-sampai Jaka keluarkan Ajian Banyu Geni tingkat pamungkas. "Goooooaaaaarrrr...!" suara
Jaka membahana, bersamaan dengan itu, tubuhnya berubah menjadi Dewa Api.
Terbelalak semua yang mencoba mengeroyok Panglima kedua, manakala melihat Jaka
telah berubah menjadi Dewa Api. Api seketika menyambar-nyambar tubuh ketujuh
Ninja tersebut.
Tujuh Ninja itu segera melompat mengelak, namun tidak urung, satu di antara
mereka kena juga.
"Wuuuuusssss...!"
"Bias...!"
"Wuuuuuuaaaaaa..,.!" orang yang terkena
memekik, tubuhnya seketika terbakar. Melihat
kepanikan keenam Ninja lainnya, dengan cepat
Panglima kedua serang mereka. Tanpa ampun lagi, keenam Ninja yang kini tengah
kalut oleh Jaka
Ndableg tanpa dapat menangkis serangan Panglima yang cepat. Samurai di tangan
Panglima kedua berkelebat, dan... "Wuuuuuuaaaaa....!"
Dua Ninja menjerit, terbabat samurai di
tangan Panglima.
"Wuuuuuuuaaaaa...!"
Bareng dengan dua rekannya yang menjerit
terbabat samurai di tangan Panglima Perang kedua, dua rekannya juga menjerit
dengan tubuh terbakar api Dewa Api. Kini tinggal dua orang
Ninja yang tertinggal. Dua Ninja itu kini benarbenar ngeri dan gentar menghadapi
Dewa Api. Keduanya hendak lari, namun api dari mulut Dewa Api tiba-tiba menghantam tubuh
mereka. "Wuuuussss....!"
"Besssttt...!"
"Wuuuuuaaaaaaa.....!" Keduanya menjerit.
Tubuh mereka terbakar oleh Inti Api. Mereka
mencoba memadamkannya dengan bergulingguling di atas salju, namun ternyata api
yang tercipta oleh intinya. Karena mereka terus berguling,
hingga mereka tidak menyadari bahwa tubuh mereka semakin mendekati jurang. Dan
manakala mereka terus berguling, tubuh mereka pun seketika terjatuh ke bawah jurang.
"Aaaaaaaaaa...!"
Dan akhirnya habis tertelan dalamnya jurang Fuji.
Sementara itu Jaka telah kembali dalam
bentuk asalnya.
Jaka. "Kau tidak apa-apa, Tuan Panglima?"
"Tidak, Tuan Pendekar."
"Kita harus menolong Nona Meimora," ucap
"Benar! Ayo kita memburu mereka!"
Dengan segera keduanya pun berkelebat
menuju ke arah di mana ketiga Ninja tersebut
menuju. Namun ternyata jejak Ninja-ninja itu kini
telah hilang entah ke mana, menjadikan Jaka benar-benar mengalami kekesalan.
Jaka tahu apa yang akan dilakukan ketiga Ninja tersebut pada
Nona Meimora. "Kita cari berpencar," Jaka menyarankan.
"Baiklah!" jawab Panglima kedua.
"Hati-hati, Panglima!"
Jaka kemudian berkelebat pergi dengan
mengambil jalan berlawanan dengan jalan yang
ditempuh Panglima kedua. Senja pun telah datang, terbukti hari tampak remang-
remang. Salju turun dengan derasnya, membasahi alam itu
dengan damai nan bisu.
*** 3 Di kerajaan, nampak Kaisar dengan didampingi oleh para sesepuh istana tengah
mengadakan rapat yang membahas tentang usaha-usaha
untuk mengakhiri sepak terjang Taka Nata si Iblis
Nippon. Sang Kaisar nampak duduk dengan
agungnya di singgasana, sementara para sesepuh
istana berdiri di samping kiri dan kanannya. Sedangkan para Panglima Perang dan
Perdana Mentrinya duduk di bawah, di atas permadani.
"Taka Nata dan perkumpulannya samurai
Iblis harus segera di hentikan," Kaisar membuka
kata, sementara yang lainnya nampak hanya terdiam tiada berkata. "Bagaimana
menurut pendapatmu, Kakek Meizora?"
Meizora terdiam, dia adalah sesepuh utama
Kaisar yang telah mengabdi pada Kaisar hampir
dua puluh lima tahun. Dan selama itu pula Meizora tiada pernah membuat kesalahan
dalam menentukan tindakan yang dianggap benar.
"Hamba rasa, kita perlu secepatnya menangkapi mereka," jawab Meizora setelah
terdiam

Pedang Siluman Darah 28 Runtuhnya Samurai Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa lama. "Kalau kita tidak segera bertindak, hamba takut mereka akan
mendahului."
Sang Kaisar termangu-mangu mendengar
ucapan Meizora.
"Lalu rencana apa yang hendak kita lakukan, Kek?" tanya Kaisar kembali.
"Besok sebelum mentari musim panas
muncul, kita harus segera melakukan penyergapan!"
Terbelalak mata semua yang hadir, mereka
tidak menyangka kalau harus segera menerima
perintah yang mendadak tersebut.
"Apakah tidak terburu-buru, Kek?" kembali
Kaisar bertanya.
"Aku rasa tidak, Kaisar."
"Hem, bagaimana dengan Perdana Mentri?"
Kaisar bertanya pada Perdana Mentrinya. "Apakah siap untuk menjalankannya?"
"Kami selalu siap membela Kaisar," jawab
Perdana Mentri.
"Baiklah kalau begitu," Sang Kaisar tampak
terdiam berpikir menganalisa kembali apa yang
menjadi saran Meizora. Memang Meizora selama
ini mempunyai wawasan yang jitu. Tetapi, untuk
mengadakan peperangan tidak begitu mudah. Biaya peperangan bukanlah sedikit. Hal
itu yang kini menjadi pemikiran sang Kaisar. Kaisar memang terkenal kikirnya, sehingga
banyak orangorang istana yang membenci dirinya termasuk Ketiga Naga dan Taka
Nata. Tengah semuanya sepi karena tiada seorang pun yang berani, dari luar terdengar
suara riuh. Beberapa orang prajurit nampak berserabutan dengan senjata di tangan masing-masing.
"Musuh menyerang...!"
Terkejut semua yang hadir demi mendengar seruan tersebut, lebih-lebih sang
Kaisar. Ternyata dugaan yang dijadikan argumentasi Eyang
Meizora benar adanya, bahkan lebih cepat dari
dugaannya. "Siapkan pasukan, kita balas serangan mereka!" Kaisar pelit yang membuat banyak
orang yang memusuhinya, akhirnya memberikan perintah. Kini rasa takut lebih banyak
menyadarkan dirinya bahwa segalanya memang harus dilakukan. "Cepat! Laksanakan...!"
"Daulat, Kaisar!" Perdana Mentri segera
laksanakan tugasnya, ia segera berkelebat ke
luar. Di luar telah menanti para prajurit Pendekar
Samurai, menanti dirinya dan sekaligus menanti
perintahnya. "Paman Mentri, bagaimana ini?" tanya para
prajuritnya dengan rasa was-was. Musuh sebentar lagi akan tiba, sehingga tanpa
dapat mereka mempersiapkan segalanya. "Musuh sebentar lagi
datang!" "Siapkan seluruhnya, kita sambut mereka.
Kaisar mengijinkan kita perang...!"
"Benarkah, Paman Mentri?" Tanya mereka
tidak yakin. "Aku bicara atas Kaisar...!"
"Horeeeeee...! Ganyang musuh...!" Bagaikan
minyak mendapatkan api, seketika semua prajurit
itu bersorak gembira. Dengan samurai di tangan,
mereka pun tanpa dipimpin bergerak maju untuk
menghadang prajurit Ninja. Tekad di hati mereka
hanya satu, menunjukkan darma bakti pada Kaisar yang mereka anggap turunan Dewa.
Dua pasukan itu seketika bertemu, lalu
ambruk menjadi satu dalam kancah peperangan.
Ya, peperangan tidak dapat dihindari lagi oleh
mereka. Nyawa kini tiada arti, bertumpah rumpah
untuk membela idiologi masing-masing.
Alun-alun kerajaan Nippon kini benarbenar membara, diikuti oleh pekik jeritan
orangorang yang meregang nyawa. Senjata kini yang bicara, bukan lagi mulut-mulut
mereka. Itulah perang, yang melupakan segalanya. Di antara itu,
semuanya tiada memandang siapa mereka. Entah
itu keturunan Brahmana, Satria, maupun Sudra.
Yang ada di tempat perang hanyalah kemenangan
atau kematian yang akan menjadikan diri mereka
berubah segalanya. "Hiiiiiiaaaattt...!"
"Ganyang musuh...!"
"Wuuuuutttt...!"
"Wuuuuttt...!"
"Trang! Trangg...!" Senjata-senjata tradisional mereka yang lebih banyak
menggunakan samurai saling beradu, memercikkan amarah
dan dendam serta nafsu saling membunuh, dan
memang itulah ketentuan perang. "Aaaah...!"
Tubuh-tubuh yang menjadi korban, seakan
tiada arti. Tubuh-tubuh itu terinjak, bahkan tertendang-tendang oleh teman
maupun lawan yang
masih hidup. Dua kekuatan yang jumlahnya tidak seimbang itu terus saling serang
dan berusaha mendesak. Namun walaupun jumlah Ninja penyerang itu kecil, tapi
semangat di hati merekalah
yang menjadikan Ninja-ninja tersebut bagaikan
kesetanan. Samurai-samurai di tangan mereka
bagaikan memiliki mata, membabat ke sana ke
mari. "Wuuuuttt...!"
"Bajero!"
"Anjing Kaisar! Aku bunuh kau, hiaaaat...!"
Dua orang Panglima Perang dari kedua pasukan itu kini saling berhadap-hadapan.
Keduanya kini telah siap untuk mempertaruhkan nyawa
mereka demi segala cita-cita. Bagi para Ninja, jelas keinginan mereka untuk
dapat menggulingkan
Kaisar, sedangkan bagi para Pendekar Samurai,
tugas lebih utama. Mereka ingin membuktikan
pada Kaisar mereka akan kesetiaan mereka
"Ninja sinting! Aku lumatkan kalian!"
"Wuuuuuuuutttt....!"
Samurai-samurai
mereka saling berserabutan, menyerang dengan
membabi buta. Dalam pertempuran ini, tidak
akan ada artinya lagi kehebatan individu, semua
tercurah pada kekuatan persatuan yang kokoh.
Dengan persatuan mereka akan menang, sedangkan dengan bercerai berai tentunya
sukar untuk menang, walau jumlahnya lebih besar.
*** Kita tinggalkan pertempuran yang terjadi di
kerajaan, dan kita lihat di tempat para pendekar
tengah mengadakan pertemuan. Tidak ubahnya
Pedang Pusaka Naga Putih 3 Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Tokoh Buronan 2
^