Pencarian

Batu Belah 2

Batu Belah Karya Mj Melalatoa Bagian 2


merelakannya, dan aku memahaminya."
" Kau sakit rupanya, Terus Mata."
" Sakit" Aku amat sehat, Ibunda Sidang ini yang sakit dan akan menyakiti
rakyatnya. " Betapa naif tuduhanmu, Terus M ata" Ayahnya menjadi agak marah.
"Tuduhanmu tidak berdasar."
"Ayahanda telah membedah ikan kirimannya dengan gegabah telah
memakannya. Itulah dasarnya Ayahandamalah merasamendapat kehormatan.
Gih!" Raja merasa kena tikam tentang hulu hatinya, mukanya menatap lantai.
Tapi anaknya kembali tenang meneruskan.
"Sekarang semua sudah terj adi, semua sudah harus berj alan. Dan tak ada
yang mustahil bila sudah terj adi," sudut matanya mencopet muka ibunya.
au & "Tapi. Ayahanda," seperti melembuti, "Aku tidak menyalahkan Ayahanda
dan siapa pun. Semua ini mungkin memang sudah harus terjadi pada diriku,
padaAyah Bunda, pada kita dan pada bumi ini. "Ledakan tangis ibunya tak
tertahankan lagi. Sang Putritarnpak mendekati ibunya, keduanya berangkulan.
Sidang tumt terharu biro.
"Tidaklah ada jalan lain untuk ini, Terus Mata." Pelukan mereka
merenggang. "Ada Bunda" "Apa Anakku," bersemangat seperti hendak merangkul kembali, tapi Terus
Mata undur selangkah. "J alan lain ialah kita semua menerima bencana,"ibunya kembali undur
sendirinya dan terperosok ke sudut hatinya
" Dan sekarang kuminta dengan hormat Ayahanda." Raja menatapnya
kuyu, angkat palu dan ketokkan ke meja suaranya bergetar ham dalarn nada
memerintah. Raja terpaku.
"Agkat!" Raja mengangkat diluar kehendaknya. " Dan ketokkan!" Palu jatuh
sendirinya lamban. Sidang sunyi senyap. Terus M atatertunduk danmeneteskan
kesedihan melalui sepasang matanya. Isakan ibunya mengisi kesenyapan.
Sidang. bubar tak teratur.
Dalam beberapa hari kerajaan telah menyiapkan bekal keberangkatan,
termasuk kuda, kerbau, ayam, itik, dan tetek bengek.
Setelah sampai pada hari yang dinujunrkan. Putri Terus Mata pun
berangkatlah menuju negeri baru bersama pengiringnya Air mata kerajaan
terutama Ayah dan Bunda tercurah di pelabuhan.
Sebelum semua lambaian lenyap ditelan kabut, Putri Terus Mata bernyanyi
duka di atas geladak kapal yang merayap gontai.
"Tinggallah langit junjungan kepala, bumi Ibunda yang aman, damailah
engkau memeluk segalanya, aku pun akan mengembarai masa depanku."
Sebulan suntuk sudah, kapal ini merayap dengan tabahnya di antara kabut.
Para jemaah yang di atas pun dengan tabah pula menghadapi negeri baru.
Dari jauh, onggokan hitam di tengah laut raya telah membayang. Bayanganitu
mengencangkan degap-degapnya jantung Putri Terus M ata Betapa nanti.
Kapal ini menyerah ihlas padasebuahtepi pantai. Pantai pulau kecil mungil
yang disebut oleh para awak kapal yang terdampar ke sana dulunya dengan
pulau "Linge". Kata inilah yang terdengar ketika Genali memanggil"manggil
mereka 31 Dari kapal jelas kelihatan sesosok manusia. Manusia telanjang bulat. Para
wanita menutup mukanya dengan kudung. Seorang pergi meng antar selembar
kain pesanan Genali bu at menutup auratnya.
Dengan muka tersipu dan kemerah"merahan, Terus Mata turun ke darat.
Para pengiring ada juga yang masih tinggal di kapal dengan tugasnya masing-
masing. Pertemuaan pertama yang membuka sejarah baru dimulai dengan satu
jabat tangan yang enggan di bawah dua sinar wajah kemalu-maluan. Lama-
lama antara keduanya terjadi suasana keintiran, tampak dari keramahannya,
air muka serta gerak"geriknya
Di satu sore yang cerah rupanya Genali mengajaknyake satu tepian di mana
pernah ikan yang dikirimnya dulu ditambatkan. Terus Mata bertanya dalam
sikap yang sopan. "BagaimanaAbang sampai di sini?"
" Semuaterjadi diluar kehendakku, barangkali atas kehendak dari yang lebih
kuasa." Dari sela pembicaraannya ia mencuri wajah redup dengan pandangan
kagum. " Dan bolehkah hamba tahu siapa namaAbang yang sebenarnya?" Yang satu
menyebut namanya "Tapi aku pun tak pasti apakah itu namaku yang sebenarnya. Itulah yang
pernah kudengar kalau Ibu Bapak memang gilku." Genali tertunduk. Ing atannya
dig er ayangi bayang an keluarganya terutama or ang tuanya.
"Maafkan aku. Ingatanku kembali menjangkau Ibu dan Bapak, dan semua.
Barangkali sampai sekarang mereka masih mencariku. Mungkin mereka sudah
amat tua. Tua karena selalu memikirkanku, dan hatinya tetap menangis. Kalau
mereka akan ziarah merekapun tak tahu ke mana."
Terus Mata menyeka mata. Rasa harunya rupanya tak terbendung, ia
teris ak-isak hancur. "Aku terpaksa bercerita kepadamu, karena kita sudah bicara tentang itu,"
sambung Genali. "Tapi, kalau Tuhan menghendaki tentu bisa kita bertemu kembali." Terus
Mata mencoba menghibur dalam satu keyakinan.
" Entahlah, mudah-mudahan: Tapi, kalau ibuku sudah tiadakarenarindunya
kepadaku, terasa beban hidupku terlalu berat. Bila ketiadaannya karena
usia lanjut, aku pun tetap berkehendak menziarahi kuburnya. Tapi ke mana,
32 C: sedangaku tak tahu dari mana arahku datang. Sebaliknya, dengan merapatnya
kapal ini, aku merasa Ibu Bapa dan saudara"saudaraku semua sudah di sini."
Mata Terus Mata berkaca"kaca oleh ucapan Genali yang terakhir tadi;
menyatakan rasa pu asnya.
Syukurlah, Bang, kau telah mampu mengatasi semua ini, dan karena itulah
aku datang menemuimu kemari."
Dari pertemuan ini mereka selalu terbuka dalam pergaulan selanjutnya,
apalagi kemudian pada saat yang telah dipilih, kedua makhluk ini dinikahkan
oleh seorang kadi yang telah datang pula dengan rombongan Terus Mata.
Pernikahan mereka ini disusul dengan keriahan yang beragam selama tujuh
hari tujuh malam, seperti yang telah diresamkan di negeri mereka.
Pada akhir pesta perkawinan ini atas keinginan dan musyawarah antara
mereka diangkatlah Genali sebagai pimpinan di negeri Linge. Dalam jabatan ini
ia mendapat julukan "kejurun," yaitu kejurun Linge" dengan dibantu oleh dua
orang bijaksana dengan gelar " Petue" dan "Imem". Dalam semuakebijaksanaan
selalu didampingi oleh kedua pejabat ini.
Hampir tidak disadari olehrakyat dan kejurun Negeri Linge, negeri semakin
lamasem akin luas. Luasnyakarena air yang tampakmenyusut, sehingga daratan
seperti makin menjamah ke tengah lautan. Di atas pulau ini sudah ditanam
beragam tetumbuhan yang dulu dibawa dari negeri Terus Mata Demikian
binatang sudah beranak pinak. Cahaya kemakmuran semakin membayang
terang di hadapan mata rakyat negeri Linge di bawah satu pimpinan yang
bijaksana Di tengah-tengah kedamaian dan kemakmuran Neg eri Linge, kejurun mem-
peroleh karunia seorang putra dengan nama J ohansah. Kemudian menyusul
deng an putra, putrinya yang dib eri nama J ohansah dan M erah Abuk.
Betapa bahagia Genali dan Terus Mata sebagai manusia memperoleh putra"
putri sebagai buah hati yang dikasihinya. Tetapi betapa lebih bahagianya lagi
se orang pemimpin yang dipercayakan memimpin rakyatnya, di mana rakyat itu
sendiri diberkahi kedamaian dan kemakmuran.
33 Sungai Pes angan berliku-liku di antara hutan belantara bagai ular raksasa.
Semakin ke hulu airnya semakin jernih membiru. Semakin ke hulu semakin
lebat hutan belantara meng awalnya.
Malim Dewa tengah inenyusur sungai ini arah ke hulu. Ia hanya seorang din
dengan bekal sebuah harapan yang indah. Di tangannya masih terkepal sebuah
buntelan rambut sebesar telor itik. Buntelan itu adalah gulungan selembar
rambut yang dipintalnya selama beberapa hari perjalanan.
Hatinya telah ditawan oleh seraut wajah cantik yang belum dikenalnya.
Itu diyakininya seorang gadis. Dialah yang memiliki rambut yang sekarang
dalam kepalan tangannya Lamunan"lamunan yang indah membuat perjalanan
bertambah bergairah. Perjalanan yang sudah amat jauh itu ditempuhnya dengan berbagai
kesulitan. Ia harus menyuruki jaringan hutan yang penuh duri. la meniti pohon
yang rebah licin berlumut, untuk melintasi sebuah tebing yang meng ang a.
Seb alilmya nyanyianbunang -burung terdengar indah mempesona jiwanya.
Desau angin yang mengelana antara pepohonan, terasa menambah kemesraan
perj alanannya. Lamunannya bertambah jauh. Di ujung lamunannya itu seraut
wajah dengan mata berkerjap-kerj ap sedang tersenyum kepadanya
Ketika ia bertemu dengan sebuah percabangan sungai, pikirannya pun
bercabang. Ia sangsi ke kanan atau ke kid. Lama ia berpikir. Jika pilihanku
salah, mungkin akan sial untuk selamanya.
Pikirannya penat. Ia duduk merasakan kepenatan itu. Tiba"tiba ia teringat
bagaimana caranya mencari sesuatu yang hilang. Itu pernah dilakukannya pada
masa kanak"kanaknya. Ia senang menemukan pikiran itu.
Ia meludahi telapak tangan kirinya Kemudian ia melihat ke atas seperti
mencari ilham. Ludah itu ditatapnya kembali. Telunjuk tangan kanan
didepakkannya ke ludah itu. Ke mana ludah itu akan terpercik" Ia gagal.
Ludahnya terlalu kental sehingga tidak ada percikan. Ia tidak mengulanginya
lagi. J engkel. Jalan ke sebelahkananbias anya akanm enguntungkan, b egitu keputus annya.
Ia berj alan lagi. Ingatannya kembali pada bayangan mata berkej ap-kej ap tadi.
34 "T?"" 6P
0, aku ini tentu semakin dekat kepadanya. Mendekati seorang gadis yang tak
bertara di bumi ini. Karena kakinya terasa letih ia duduk bersandar pada sebuah pohon.
Padangannya berlabuh di atas riak-riak sungai yang menari-nari. Dan dalam
jinjingan kain yang terletak di sampingnya ia mengambil sebuah bangsi.
Mulailah ia meniupnya dalam satu irama romantik. Suaranya melengking
tinggi melampau pucuk-pucuk pohon menembus angaksa. Pada saat demikian
hatinya juga melayang-layang ke angkasa. Betapa bahagia bila saja ia dapat
mendengar suara jiwaku ini. Betapakah, O, semoga ia mendengarnya, semoga
saja! Tapi barangkali masih terlalu sayup bagi telinganya. Aku mesti dekat lagi
kepadanya biar ia lebih gairah.
Malim Dewa beranjak dari duduknya Jinjingannya disangkutkan ke bahu.
Ia melangkahlebih pasti dan licah.
Su atu subuhp adas aat dinihari , kokok ayam bers ahutannyaring keteling anya.
Pada mulanya ia cuma merasa suara itu hanya sebagai pertanda pagi hari akan
berkembang. Dengan menggosok"gosok mata ia bangkit. Telinganya terpasang,
mukanya mencongak. Hatinya bergejolak riang. Ini pertanda sebuah kampung
sudah dekat dari sini. Kokok ayam yang bertalu-talu di perut kesunyian ini dirasakannya bagai
panggilan-panggilan gairah terhadapnya. Suara itu telah menyapu segala
kantuknya Kegairahan dan keg elisahanberg anti "g antimenindihnya Sementara
itu fajar pagi telah mengintai dari sebalik bukit di sebelah timur. Fajar itu bagai
mata sunyi menatap orang yang sedang ditindih rasa gairah dan gelisah ini.
Malim Dewa berjalan pelan"pelan. Matanya pandang"memandang dengan
fajar yang menari"nari di antara dedaunan. Hutan itu berangsur senggang
dirasanya. Tidak lagi selebat yang biasa dilaluinya selama ini. Warna subuh
pun berangsur- angsur menerangi bumi. Burung-burung terdengar ribut seperti
bersiap"siap mencari nafkahnyamasing"masing.
Malim Dewamengam ati duniasekelilingnya. Iaingintahu dimana kampung
asal kokok ayam tadi. Pertanda yang meyakinkan belum ada di matanya Di
arah selatan bukit memanjang mendidingi pemandangan. Jauh di arah timur
bukit melingkar samar. Hari sangat dinginnya Angin pegunungan yang halus menusuk-nusuk
hingga ke tulang. Pada langkah"langkah yang kaku, tiba"tiba Malim Dewa
mendengar kikih"kikih di kejauhan. Dengan hati"hati suara itu dijarnahinya
dengantelinganya. Suara orang-orangtertetawa. Suara orang-orangperempuan.
Walau suara itu masih terdengar jauh, langkah-langkah Malim Dewa tampak
seperti langkah kucing sedang mengintai tikus. Suara itu semakin pasti; suara
perempuan. ;"- d-p as J antugnyaberdenyut kencang, sedang napasnyaterulurpelan"pelan, seperti
napas orang yang sedang ketakutan. la seolah takut kalau desah napasnya akan
terdengar oleh orang"orang terkikih"kikih itu.
Dan balik rumpunsemak, dimanaiamenyelinap. Malim Dewamenyaksikan
sebuah panorama. Ada satu bagian sungai yang lebar, airnya mengalir tenang.
Di tengah"tengah terbaring sebuah batu berbentuk apam. Batu apam ini besar
sekali, mencuat di atas permukaan air. M alim Dewabeku terpesonamenyaksikan
tujuh tubuh emas yang mulus, tanpa selembar benang pun menyangkut di
tubuhnya M ereka sedang mandi, dengan senda gurau kekanak-kanakan. Yang
satu mencipratkan air ke muka yang lain. Yang lain menarik kaki seorang
yang tengah tergolek di atas batu, sehingga meluncur ke dalam air. Bersama
luncurannya ini ia menjerit dengan suara manja. Di antaranya ada yang sedang
berlangir di atas batu, menggerai-geraikan rambutnya yang ujungnya hanyut
dimainkan arcs sung ai. Melihat rambut yang panjang mengurai ini, Malim Dewa teringat pada
buntelan rambut yang tersimpan dalam bungkusannya. Ia mengambil buntelan
itu dan menatapnya Tiada lain inilah orang yang memiliki rambut ini. Ia
menelan air liurnya Dadaremaj anyatarnbah kencang. Napasnyasesak dikuasai
perasaannya Akhirnya di antara putri"putri bertubuh emas ini, tampak sudah bersiap"
siap dengan pakaiannya. Pakaian warna-warni berkilau disambar cahaya
mentari pagi. Ada pula yang sedang mengeringkan tubuhnya, berdiri di atas
batu, seolah memamerkan diri kepada alam sekitarnya. Melihat itu Malim Dewa
terasa dijangkiti demam panas sekujur tubuhnya. Iatak pu as "pu as menyaksikan
adegan demi adegan. Tengah diamuk lamunan yang warna-warni, tiba-tiba Malim Dewa
terbelalak lebar. Semua yang disaksikannya tadi, di luar sadarnyalenyap dari
pemandangan. Matanya sibuk mencari ke sekitar. Ia tak menemukannya lagi.
Ia bangkit dengan mulut menganga Dirinya terasa dibohongi oleh sebuah
mimpi. Senyampang terkilas satu bayangan di jurusan yang tak diduganya. Ketika
ia melihat ke atas, putri-putri tadi seperti sebuah runtunan buah telah sejajar
denganpuncak bukit yang di arahselatan. Pakaianmereka terkembang menjadi
sayap"sayap tanpa kepakan, berkilauan, beradu dengan cahaya mentari.
Runtunan itu semakin jauh menembus cakrawala Kemudian menjadi bintik-
bintik cahaya, bag ai bint ang kesiangan. Dalam menatap bintik"bintik itu Malim
Dewa terdengar mendesis. "Mereka ke langit." Kemudian disusul satu lamunan, jauh sekali.
36 C: Bangkit dari lamunan itu tampak Malim Dewa berjalan lagi arah ke hulu.
Langkah-langkahnya ter omb ang-ambing oleh bayang-bayang tubuh emas yang
menggerogoti otaknya. Di sebuah tempat yang agak ternaung iaberhenti lagi.
Tempat itu merupakan anak bukit yang bertaut dengan tepi sungai. Ketika ia
menoleh ke puncak yang tingginya kira"kira seratus meter, ia melihat sebuah
rumah mungil di atasnya Tak lama kemudian dari atas rumah itu turun seorang
perempuan. Perempuan tua rupanya. Tangannya menjinjing sesuatu. la turun
ke arah sungai melalui jalan kecil berbelok"belok di badan anak bukit ini.
Malim Dewa merasa was-was. Ia seorang asing di daerah ini. Kalaulah
perempuan tua ini yang menjadi pengawal putri"putri langit tadi, aku pasti
dicurigainya, begitu tuduhnya kepada dirinya Dan ia tidak hanya sampai pada
curiga saj a, mungkin akan lebih jauh dari itu.
Buru-buru ia mencari akal sebelum perempuan itu datang. la memetik
"buah lemantu" yang ada di dekat tempatnya berteduh. Buah itu diikatnya
dengan selembar benang dan dijadikan semacam pancing bergagang. Pancing
itu dijatuhkannya dan gagangnya tertancap di mukanya Kepura"puraan ini
ditutupinya dengan meniup bangsinya Tiupan itu pada mulanya lemah sekali
semakin dekat perempuan tua itu, semakin tinggi suaranya. Ia bermain dalam
sate perasaan keharuan. Dirinya seolahtenggelam dalam gerak"gerik jemarinya
yang lincah, hingga tak mengetahui kehadiran perempuan tua itu.


Batu Belah Karya Mj Melalatoa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuantuaitu memperhatikan or ang yang tidak dikenalnyaitu. Ias endiri
hanyut dalam irama bangsi Malim Dewa, bersama arus sungai di hadapannya.
Dengan rasa tersayat perempuan itu mendekati Malim Dewa Karena kresek-
kresek kakiyang bergesek dengan rerumputan. Malim Dewa seolah"olah kaget.
Ia menghentikan gansinya dan berbuat seperti malu"malu.
"Teruskan, Anak muda. Teruskan!" Suaranya lembut.
" Hmm," tersipu"sipu.
"Aku senang sekali dengan tiupanmu."
Malim Dewa tak menduga akan datang pujian semacam itu. Seharusnya
aku menerima hardikan"hardikan dengan sikap yang kejam. Alangkah baiknya
perempuan tua ini, pikimya.
"Apa kerjamu di sini, Anak muda?"
"Memancing, Nek." Matanya mempelajari sikap orang tua ini.
"Tapi engkau bermain bangsi kulihat."
"Ya, Nek." " Di mana rumahmu?"
"Tak punya rumah." suaranya haru.
" Hah?" sungguh"sungguh.
;: dp 3; "Aku tak punya rumah, Nek."
"J adi?" Bersemangat dan ingin tahu lebih jauh.
Malim Dewa merasa punya kesempatan untuk mengibuli perempuan ini,
sekalipun dari mula ia tidak bermaksud berbuat bagitu.
"Aku kehilangan sesuatu sejak lama."
Perempuan itu tertarik deng an masalah anak muda yang tampak sung guh"
sungguh. Ia duduk bersimpuh di sisi Malim Dewa. Malim Dewamembuat wajah
lebih sungguh"sungguh lagi.
" Engkau kehilangan, Anak muda?"
"Meng enangkan kehilangan," jawabnya
Perempuan ini tak mengerti maksudnya, tapi ia terseret ke tengah-tengah
keharuan Malim Dewa " Kenangan" Mengenangkan katamu" Mengenangkan siapa Anak muda?"
"Mengenangkan kekasihku. Ee, ibu, ibuku." Suara tertahan"tahan "Kalau
nenek tidak bosan mendengarnya".?"
" D, teruskan, teruskanlah. Aku malah gembira bila engkau suka bercerita,
apalagi tentang sesuatu kesulitan." ke du anya diar. Malim Dewa rupanya tengah
menyiapkan ceritanya. " Dulu, hampir setiap hari ibuku pergi ke sungai. Sungai ini. Di kuala sana,
di kampung Kala J emer. Suatu hari dia tidak pulang ke rumah. Kami anak"
anaknya menunggu hingga malam larut. Keesokan harinya aku mencari ke
mana"mana juga tak ketemu." ia berhenti bercerita suaranya tersekat.
"Jika tadi aku memancing dan meniup bangsi menghadapi riak-riak sungai
ini, karena kenang an pada kehilangan itu belum padam"padamnya. Dan bangsi
ini, Nek satu"satunya temanku dalam perburuan kenangan itu. Jika aku telah
mengembara sampai kemari, diriku menjadi agak lalai."
"Maafkan aku, Anak muda! Rupanya aku telah melukaimu. Telah
kubangkitkan kenanganmu yang membuat engkau lebih terbuka. Aku minta
maaf!" "'Tidak! 'Tidak, Nek! Aku malahgembirabilakenanganitu bisaterus menyala
dalam hatiku." "Baiklah, Anak muda Baiklah." Perempuan tua itu tampak mengangguk-
anggukan kepalanya Kemudian perempuan itu mengundang Malim Dewa
datang ke rumahnya Ia memperkenalkan namanya. Inen Keben, yang tinggal
di Buntu] Kubu, di puncak bukit kecil.
Walaupun pada mulanya Malim Dewa berat"b erat menerima undangan itu,
tapi kemudian keduanya tampak berjalan menuju puncak bukit yang bernama
Buntul Kubu itu. as ;; a Keduamakhluk ini akhirnyamenj adi intim sekali. Hubung anmerekasep erti
seorang nenek dengan cucunya. Kalau Inen Keben pergi ke sungai menangkap
ikan, atau menjajakan bunga ke mana"mana. Malim Dewa tinggal menjaga
rumah. Menjajakan bunga sudah menjadi pekerjaan Inen Keben sejak lama.
Karena ini namanya dikenal di mana"mana.
Karena suasana keintiman antara mereka, suatu hari Malim Dewa
menyatakan maksud yang telah lama dikandungnya Inen Keben merasa
gembira sekali kalau memang cucunya dapat merebut seorang dari putri itu.
Inen Keben mengatakan, putri-putri itu turun ke Atu Pepangiren, tempat
mereka mandi hanya pada hari Senin dan Kamis. Ia mengharapkan agar Malim
Dewa berhati-hati. " Bila engkau gagal mengambil bajunya, karena mereka tahu maksudmu
mungkin mereka tidak akan turun lagi ke bumi ini. Dan engkau akan sia-sia
selama"lamanya" "Baiklah, Nek aku akan berhati"hati."
Suatu pagi, waktu itu hari Senin, Malim Dewa telah siap di tempat
pengintaiannya, sebelum matahari terbit. Dipilihnya tempat di mana dulu
dilihatnya putri"putri itu men aruh bajunya.
Saat yang mendebarkan hati pun tibalah. M alim Dewa merangkak di antara
semak"semak yang menebal di pinggir sungai.
Para putri"putri ini masing"masing menanggalkan pakaian terbangnya.
Satu-satu turun ke sungai dengan penuh keriangan.
Malim Dewa tampak meraba dadanya, mungkin untuk menenangkan
debar-debar kegelisahannya. Tangannya gemetaran dan bibir kering seperti
daging kena j emur. Ia menggeser tubuhnya pelan"pelan.
Ketika tangannya mulai menjamah satu tumpukan pakaian, matanya taj am
menyoroti gerak-gerik putri-putri itu satu demi satu. Tangannya menggigil
seperti menderita penyakit malaria. Tepian sudah dalam genggamannya lalu
ditariknya cepat-cepat. Alangkah takutnyaketika kain itu sangkut dan berbunyi
krak. Rupanya kain itu menyangkut pada sebuah batang kayu dan ketika
ditariknya kayu itu patah. Seorang putri yang sedang menggeliat"geliatkan
badannya di atas batu, melirik dengan sudut matanya ke arah suara itu. Malim
Dewa merapatkan kepalanya ke tanah. Lama ia menunggu putri yang curiga itu
surut dari pengawasannya.
Setelah kecurigaannya hilang, putri"putri itu turun ke air dan tenggelam
dalam kikih"kikih yang lain, dengan canda kekanak-kanakannya Malim Dewa
tampak mengusap dada, karenabebas dari pengamatan musuhnya. Ia mencoba
menariknya dengan sangat hati-hati. Baju telah diraihnya dan ia surut dengan
sisa debaran jantungnya. ;"- d-p 39 Di tempat yang sangat aman baginya, ia duduk mengamati baju curiannya
ini. Ia belum pernah melihat baju seindah itu di bumi. Wewangian yang
menyegarkan menyusup ke ruang hidungnya, lalu turun ke sanubarinya.
Wewangian dari langit, pikirnya.
Di kejauhan terdengar suara tangisan sendu. Buru"buru ia mengintai arah
suara tangis itu. Tampak seorang sedang dikerumuni yang lain. Di antaranya
melihat sekeliling, pada rumpun-rumpun semak-semak. Semua wajah dan
gerak"gerik mereka menunjukkan gelisah terhadap nasib salah seorang
saudaranya yang malang itu. Ada yang datang menciumnya ada yang hanya
mengusap"usap kepalanya.
Malim Dewa telah siap di tempat pengintaiannya
Kerumunan itu akhirnya bubar, karena hari telah ditudungi warna langit
senja. Mereka terpaksa meninggalkanbumf. Mereka lebih merasa terpaksa lagi
meninggalkan saudaranya di tengah kesepian ini. Malam akan menjelang di
sini, seorang diri. Dan mereka tiada tahu lagi bagaimana nasib adiknya nanti.
Yang ditinggal bertambah sedih. Tangisannya semakin deras mengisi
kesunyian di sekitarnya. Ia menyimpan waj ah di antara kedua lututnya.
Malim Dewa tersayat juga perasaannya menyaksikan orang yang menjadi
korbannya ini. Ia menyadari kekejamannya atas manusialemah ini.
Dari pihak lain Inen Keb en muncul dengan durungnyait. Rupanya si Nenek
ini, ketika asik mencari ikan, mendengar tangisan Sang Putri. Dengan langkah
bergegas ia menghampiri Inen Keben, tampak bicara sungguh"sungguh.
Badannya membungkuk-bungkuk sambil mengelus-elus rambut Sang Putri.
Belaian rambut ini membuktikan nenek ini tentu turut berduka cita atas
kej adian itu. Kedatangan Inen Keben melegakan perasaan Malim Dewa di tempat
persembunyiannya. Ia merasa dosanya jadi berkurang. Bagaimana pun orang
yang malang ini sudah tertolong dari cengkeraman malam di tempat sunyi ini.
Dengan gerak merayu, dari Inen Keben, Putri itu kelihatannya bangkit.
Tangannya dipegang Inen Keben. Keduanya berjalan perlahan"lahan. Inen
Keben memapahnya. Mereka menuju Buntul Kubu, Malim Dewa mengintai
dari belakang. Sejak itu Malim Dewa tak pernah lagi mucul di rumah neneknya di puncak
bukit itu. Setiap sorenya, Inen Keben merangkai bunga yang dipetiknya pada petang
harinya Sekarang ini ia dibantu oleh cucu barunya yang bernama Putri Bensu.
3 Dumngan : Alat penagkap ikan
40 C: Di antara Putri"putri yang mandi di Atu Pepangiren, Putri ini rupanya yang
paling bungsu. Suatu sore sambil merangkai bunga Putri Bensu dengan wajah
malu"malu bertanya pada neneknya.
"Nek, siapakah yang selalu memancing di sungai itu, di bawah rumah kita?"
"Mengapa engkau bertanya begitu, Nak. "
" Dia nakal sekali. "
Inen Keben tergerak hatinya dengan ucapan cucunya ini. Ia melihat ada
kelainan pada gerak wajah cucunya.
"Nenek tidak tahu siapa. Tapi di sini, setahu Nenek, tak ada orang nakal.
Engkau tak usah khawatir."
Pertama kali Malim Dewa Mendaki bukit Buntul Kubu, semenjak Putri
Bensu tinggal di sana, tubuhnya bergetar kedinginan. Semakin mendaki
jalan kecil yang berkelok-kelok, angin kencang dari arah barat mengusutkan
rambutnya Badannya meliuk"liuk juga di kebas"kebas angin itu.
Tiba di dekat rumah Nenek itu angin bertiup lebih kencang lagi. Gemuruh
dadaM alim Dewajugabertamb ah-tamb ah. Deng ansuarabergetar, iamem anggil
yang punya rumah. "Nek, Nek." " Siapaitu?" tuan rumah menyahut dari dalam.
"Aku, Nek!" "Mau apa?" lembut berirama.
"Minta api, Nek."
" 0, ada. Masuklah! Karni lagi repot."
Sekarang tanpa aku pun Nenek ini sudah dapat berkata, kami lagi repot.
Alangkah mesra dirasannya.
Untuk melangkah ke dalam rumah itu, kaki Malim Dewa terasa diganduli
sekarung pasir di kedua belah betisnya Langkahnya di seretnyajuga, karena ia
telah terlanjur datang dan meminta sesuatu. "
Begitu mucul di pintu, ia terpesona seperti melihat bulan di malam sunyi.
Matanya berlaga dengan mata Putri Bensu dalam beberapa detik, lalu rubuh ke
tengah-tengah detak jantugnya. Putri Bensu yang lagi asik merangkai bunga,
merasa sudah pernah melihat tamu ini. Padamata Malim Dewa, ia menemukan
sesuatu yang indah yang tersimpan dalam hatinya.
" Itu apinya, Nak. Ambillah!"
"Terima kasih, Nek."
Sorot mata yang bersambung dalam beberapa detik tadi, dalam pertemuan"
pertemuan berikutnya karena peranan perempuan tuaini, dengan diam-diam
mereka telah bersabung saling memperebutkan hati. Perebutan ini berakhir
42 ;; a dengan datangnya hari bahagia bagi keduanya Inen Keben merasa turut
berbahagia juga, karena usahanya berhasil. Lebih berbahagia lagi ketika pada
suatu saat mereka telah dikaruniai seorang putra. Putra ini mereka beri nama
Amat Banta. Anak ini berangkat besar di bawah naungan kebahagiaan orang
tuanya. Amat Banta punya pembawaan yang lincah dan kenes. Ia seorang
menjadi tumpuan ksih sayang dan tiga manusia dalam rumahnya
Suatu ketika Amat Banta tinggal berdua denganibunya di rumah. Ayahnya
pergimemancing danneneknyasedangmenj aj akanbunga. KetikaituAnrat Banta
sudah berumur tiga tahunan. Putri Bensu ke luar rumah dengan menenteng
sebuah ember. Amat Banta mengorek"ngorek dapur. Abunya berserakan di atas
tikar. Ia merasa senang sekali dengan perbuatannya itu, apalagi tak ada yang
melarangnya. Ibunya pun asik menyiram bunga di luar.
Ketika ibunyamasuk, melihat abu yang berserakanitu ibunyasang at marah.
Tapi kemudian Putri Bensu terkejut, jantungnya seperti berhenti bekerja. Dari
bawah dapur tempat anaknya mengorek"ngorek abunya, tergerai ujung potong
kain. Kain yang hilang dan ditangisinya beberapa tahun yang lalu. Kain itu
ditariknya pelan"pelan menjaga jangan sampai robek. Dib ersihk annya abu"abu
yang melekat pada kain itu. Tapi warnanya sudah jauh berubah karena terlalu
lama tersimpan di tempat yang tak terpelihara. Baju kesayanganya itu lalu
dipakainya Sementara itu Amat Banta memperhatikan ibunya dengan muka
keheran-heranan. Ia belum pernah menyaksikan Ibunya berpakaian demikian
cantiknya. Itulah yang diherankannya barangkali.
Putri Bensu kelihatannya sibuk setelah memakai pakaian itu. Mukanya
berubah j adi geram. Mondar"mandir di dalam rumah itu, hampir tak ada yang
tampak diurusnya. Dengan langkah seperti pencuri, iakeluar rumah meng"
gendong. Amat Banta Di luar rumah matanya liar meng awasi sekelilingnya.
Angin bertiup halus sekali. Dedaunan bergerak"gerak dielus"elus angin ini.
Pandangan Putri Bensu berubah menjadi lunak, mencicipi dunia sekelilingnya.
Seri wajahnya diselubungi rasa berat membebaninya. Matanya berkaca"kaca
memandang pada pintu rumahnya. Amat Banta dipeluknya erat"erat dan
menciumnya mesra. Lepas dari ciuman itu, ia seperti kaget mengebaskan
bajunya. Baju itu terkembang seperti payung. Mereka terangkat pelan-pelan.
Ia memeluk anaknya lebih erat lagi, yang tampak keheran"heranan. Mereka
semakin ke atas, semakin j auh meninggalkan Buntul Kubu. Meninggalkan bumi
yang telah dicintainya selama beberapa tahun.
Dari tengah angkasa Putri Bensu melihat ke bawah, ke Buntul Kubu, ia
belum melihat Malim Dewa dan Inen Keben pulang. Rumah itu tampak sangat
sepi dan semakin sepi. ;"- d-p 43 Sebelum pagi mengembang. Inen J empret bias anya sudah berada di tengah
perj alanan menuju kincir padi, yang terletak beberapa kilo dari rumahnya. Ini
hampir setiap pagi dilakukannya. Bisanya ia menjinjing nyiru dan mengepit
selembar karung tua di ketiaknya.
Di antar pematang-pematang sawah yang dilaluinya langkah-langkahnya
kelihatan selalu bergegas. Langkah"langkah yang demikian rupanya sudah
menjadikebiasaannya. Kadang "kadang iaharuspulamelomp ati bendar"bendar,
tapi kakinya begitu cekatan.
Kalu matahari sudah menyeringai dari balik bukit"bukit di sebelah timur,
biasanya ia sudah bersiap"siap untuk kembali, dengan membawa beberapa
genggam beras cair yang ditampinya dari onggokan"onggokan sekam, bekas
orang menumbuk padi kemarennya Beras inilah yang dia makan bersama
suaminya. Aman J empret, setiap harinya.
Mereka adalah keluarga tak punya. Tak memiliki sebidang tanah pun
selain tanah tempat rumah mereka yang sudah doyong itu. Sebenarnya mereka
tidaklah merasa amat miskin hanya karena tak memiliki tanah. Yang penting
mereka masih bisa hidup, masih bisa makan walau dengan jalan menyedihkan
itu. Tapi mereka merasa begitu papa karena kesepian yang menguasai mereka.
Kesepian yang tak kuasa mereka ubah bagaimana pun.
Mereka tak punya anak, tempat menurunkan kasih sayang, dan tak punya
tempat bernaung yang bisa diteduhi pada saat-saat menghadapi hari tua Pada
saat sekarang pun mereka terasa membutuhkan hal itu.
Harapan untuk ini telah mereka gantungkan di langit sejak bertahun-tahun.
Sejak beberapa tahun setelah pertemuan mereka, telah mereka gelisahkan.
Cuma saja kesabaran pun terus mer eka suburkan di hati masing "masing sedang
keputusasaan mereka singkirkan dari tengah kehidupannya.
Pada setiap harinya, kalau Inen J empret pulang mencari beras, ia tak lagi
menemukan suaminya di rumah. Begitu ia pergi suaminya pun menyusul
meninggalkan rumah, dengan menyadang sebuah bubu. Ia menuju kali kecil di
mana ia dapat memasang bubunya Kadang-kadang ia sampai sehari penuh di
sana. Sambil pulang ia merenteng segenggam daun pakis pakal sayur yang
dicampurnya deng an ikan yang ditangkapnya Biasanya sayur yang bercampur
daun pakis ini dikeringkan oleh Inen J arnpret, sehingga ikannyamenjadi garing.
Itulah sayur yang paling mereka gerari.
Satu sore sehabis menikmati sayur garing ya Aman Jempret bicara pada
istrinya

Batu Belah Karya Mj Melalatoa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Inen jempret," katanya lembut. Ucapan itu ke luar dari celah-celah
lamunannya "Ya," jawab istrinya tak bersemangat dari balik dapur yang membatasi
merekabergolek. Dapur ini kalau siang digunakan InenJempret untukmenanak
nasi, se dang malam hari tempat mer eka berdiang.
"Aku ada rencana untuk besok."
Inen J empret diam saja, tak mengacuhkan berita yang akan keluar itu.
"Aku besok tidak ke kali. Aku ada rencana lain." Ia menegaskan ucapannya
semula, karena dilihatnya istrinya tak menghiraukannya.
" Rencana apa" masih dalam keadaan dingin menghadapi suaminya. "Tadi
siang sampai pulang, aku ada memikirkan sesuatu."
"J angan terialu banyak rencana dan pikir, pikir, Pak. Nanti kita bisa tak
makan." " Kau jangan khawatir. Di tempat aku biasa memasang bubu ada beberapa
pohon damar." "J adi?" seperti tersentak.
"Aku akan memasang bubuku di atasnya."
"Astaga! Bapak sudah sinting barangkali," suaranya kesal.
" D, maaf maafkan aku, Inen J empret. Luni, perangkap, maksudku."
" Ikan apa yang akan berenang di udara. Di atas pohon itu, Pak! Sinting"
katanya sekali lagi dengan nada yang lebih jengkel lagi.
"Ya, kau berhak mengatakan aku sinting, tapi mudah"mudahan aku akan
membawa hasilnya nanti." Suaranya cukup rendah menyambut kejengkelan
istrinya Lalu keduanya lama diam dengan pikiran masing-masing.
Pagi"pagi sekali Aman J empret tampak memotong"motong bambu dan
membelah-belahnya. Belahan-belahan yang sebesar kelingking itu dijalinnya
dengan belahan-belahan rotan, sehingga berbentuk sebuah kerucut. Kemudian
ia meninggalkan rumah tanpa pamit pada istrinya.
Inen J empr et yang memperhatikannya sejak tadi tidak bisa bicara sepatah
pun karena dongkol, melepaskan suaminya dengan gelengan-gelengan kepala.
la merasakhawatir kal au dalam usia begini suaminyaharus menderita penyakit
;"- d-p 45 sinting. Tapi barangkali juga sudah harus terj adi, karena tekanan batin datang
dari berbagai penjuru kehidupannya
Dalam lamunannya ia berpikir, alangkah aibnya kalau orang-orang
di kampungnya mengetahui laku suaminya. Betapa malunya kalau orang
sekelilingnya tahu, bahwa Aman J empret sekarang sudah mulai menangkap
ikan di atas pohon. Dan orang pasti akan berkata: pantas! Aduh alangkah
sedihnya Begitulah pikiran Inen J empret melepas suaminya hingga hilang dari
pandangannya. Seperti biasanya kalau Inen J empret pulang cari beras, ia tidak menjumpai
suaminya di rumah. Seperti biasanya pula terus masak dan begitu suaminya
nantipulang hanyatinggalnyayur. Sambilmasakiamasihmemikirkansuaminya
yang akan jadi buah mulut orang. Dan kali ini ia tidak mengharapkan suaminya
yang j adi sinting ini, bakal membawa ikan. Karena ia juga sambil mencari beras
telahmemb awapakis dari sawah. Sem entaraiaberpikir"pikir tent ang suaminya,
tiba-tiba terdengar suara kaki orang berlari tiada jauh dari rumahnya Ianongol
di pintu karena ingin tahu. Ia kaget memperhatikan suaminya dengan napas
terengah"engah. Aman J empret bertanya kepada istrinya "Sudah sampai dia
kemari?" " Siapa?" istrinya menjawab bertanya.
"Mana dia" Tadi ia berj anji akan duluan kemari!"
"Siapa" jengkel. "Siapa yang datang kemari?"
" Enggang! Burung Enggang," Napas Aman J empret masih naik turun yang
kelihatan di dadanya. " Enggang" "Ya, apakah dia sudah sampai kemari," Matanya menyala"nyala seperti
mengharap"harapkan sesuatu dari istrinya. Sekali"kali melihat ke arahlangit.
" Pak! Aku tidak mengerti ini semua. Enggang apa yang musti datang
kemari dan apa urusan seekor enggang ke rumah kita ini." Inen Jempret
amat heran memperhatikan laku suaminya Kadang-kadang ia merasa ngeri
memikirkannya, kadang-kadang ia merasa kasihan, meng apa su arninya begitu
berubah tingkahnya. Dalam hatinya ia menuduh suaminya ini sudah gila. Tapi
itu tak akan dikatakannya pada suaminya dan juga tidak kepada orang lain.
Aman J empret masih menatap langit di kejauhan ke jurusan dari mana
arahnya datang tadi. la nyeletuk dengan ucapan seperti kepada dirinya sendiri.
"Penipu, enggang penipu!"
"Meng apa engkau begitu tib a"tibamenj adi gila " ucapnya jengkel bercampur
sedih. 46 ;; a "Diam, kau, aku tidak gila Sembarangan saja kau menuduhku. Dia yang
mengatakannya begitu tadi kepadaku di atas puncak damar itu." Mendengar ini
semua istrinya bertambah ngeri. Ia merasa mendengar cerita ini dari seorang
yang tidak waras. Perasaan ini dapat dibaca Aman J empret di wajah istrinya,
apalagi dengan tuduhan-tuduhan seperti tadi. Karenanya ia bercerita dengan
jujurnya. " Perangkap yang kubu at tadi pagi telahberhasilmenangkap seekor enggang.
Itu tidak lama setelah kupasang di atas pohon damar yang kukatakan kemaren.
Aku sembunyi di bawah rumpun-rumpun kayu di bawahnya. Setelah kudengar
menggelepar"gelepar segera kupanj at dan waktu itujuga kubawa turun dengan
memegang paruhnya yang tajam itu. Ia meronta"ronta dan berjanji kepadaku.
Katanya "Aku tak usah kaubawa, aku akan datang sendiri ke rumahmu sekarang juga
dan kita akan bertemu di sana." Begitu katanya kepadaku dan aku percaya.
Si istri bertambah bingung dengan cerita itu. Bingung memikirkan
kesintingan suaminya. Tapi diusahakannya juga untuk turut campur dalam
urusan yang meng gelisahkannya ini.
"Alangkah tololnya engkau, Aman J empret. Mustahillah ia akan
menyerahkan nyawanya kepadamu. Rupanya engkau lebih tolol dari seekor
enggang saj a." "Terserah kepadamu. Barangkali juga aku ini tolol karena terlalu jujur."
" Engkau tak usah membela diri lagi."
AmanJempret tidak menjawab istrinyalagi. Dengan langkahkalah iamasuk
ke dalam rumahnya Setelah pagi mengembang, dengan langkah"langkah yang pasti Aman
J empret kembali meninggalkan rumahnya Kali ini dibekali ketetapan hati
yang keras dan bengis. Kalau perangkapnya kembali mengena ia tak akan
melepaskannya lagi walau pun dengan seribu macam dalih.
Berjam"jarn ia menunggu di bawah lindungan semak yang kemarin. Yang
ditunggunya tak juga datang. Ketololan yang dituduhkan isitrinya berulang"
ulang dihafalkannya. Otaknya menjadi penat memikirkannya. Kepenatan itu
membuat dirinya diselimuti kantukyang tergantung di matanya, dengan belaian
angin gunung yang dingin datang menj amahnya dari sebalik semak-semak itu.
Ia pun tertidur pulas sekali.
Kepulasan yang ditindih kepenatan otaknya tiba"tiba terusik oleh suara
geleparan di puncak pohon damar. Ia tersentak dan berdiri linglung sambil
;: dp 4; mengusap"usap matanya Dengan disertai perasaan dendam ia memanjat
dengan tangkasnya. Kaki mangsanya ini segera dicengkeramnya erat"erat dan
ia mengomel. "Penipu!" suara tegang dan giginya gemertak. "Kali ini kau tak
akan kulepaskan lagi. Karena kau, aku telah dihina istriku."
"Maafkan aku, Pak." suara mengharap dengan mata berkej ap-kejap.
"Hm, gampang sekali minta maaf. 'Tidak mungkin kumaafkan, penipu."
suara Aman J empret lantang dan pasti.
Deng ansuaraserak, karenatangan Aman J empr etbegitu eratmeng g eng g am
lehernya, ia memaksakan ucapannya.
" Kalau Bapak tidak bisa memafkan, maka" suaranya putus karena tangan
Aman J empr et semakin erat. Enggang ini hampir tak dapat menarik napas dan
meronta"ronta. "Maka apa" ulang Aman Jempret.
"Maka kami akan memberikan apa yang Bapak minta"
"Penipu! Kau penipu."
"'Tidak! Sekali ini tidak. Mintalah apa yang Bapak mau." Aman Jempret
berpikir, tapi penat. Kerongkonganya seperti tersumbat, untuk mengajukan
sebuah usul. Ia kebingungan. Kadang-kadang ia merasa tak mungkin. la takut
tertipu untuk kedua kalinya.
Kau tidak akan menipu Bapak lagi." Enggang itu seolah dapat merasakan
apa yang dipikirkan oleh orang yang sedang dihadapinyaini.
"Mintalah, Pak. Kalau memang mungkin akan kami penuhi." Yang ter-
cengkam lehernya ini agak merasa gembira karena nyata tangan yang mencekik
lehernya semakin renggang. Dilihatnya Aman J empret seperti terpesona.
" Kalau memang Bapak tidak dapat memikirkannya, saya akan memberikan
sesuatu. Sekarang pulanglah dulu ke rumah." Enggang ini tak memberikan
peluang lagi untuk bicara kepada orang yang dihadapinya ini. Kalau ia masih
sempat bicara kemarahannya mungkin akan bangkit lagi.
" Dan nanti kalau Bapak punya waktu datanglah ke rumah kami. Dari sini
Bapak menuju barat. Setelah melewati tujuh buah sungai, Bapak pasti akan
sampai ke rumah ke rumah kami, asal tidak menyimpang ke kiri ke kanan."
Mendengar dongengan ini Aman J empret lalai dan setengah melamun.
Genggamannya sudah begitu renggang tanpa disadarinya. Ini dirasakan sang
Enggang, yang membuat detik"detik jantungnya menjadi tak normal.
Pada detik yang dirasanya tepat, sang Engg ang tak meronta. Aman J empret
pun kaget, raja angkasa ini pun kembali melayang dengan kepak"kepaknya
48 ;; a yang gesit. Aman Jempret melongo dan menahan napas beberapa detik. Lama
burung ini ditatapnya. Semakin lama semakin mengecil dan akhirnya menjadi
sebuah titik saj a Lalu hilang di arah barat.
Yang ditinggal ini merasa amat sedih sekali. Dirinya dirasakanya amat
kecil di puncak pohon damar ini. Ia merasa amat hina. Seekor burung saja
dapat menipunya hingga dua kali. Alangkah lesunya ia menuruni pohon itu.
Dengan kepala menunduk, ia berjalan menuju rumahnya dengan membawa
beban kesedihan yang amat berat. Tanpa disadarinya ia telah sampai di
depan rumahnya Tak dapat rasanya ia berhadapan dengan istrinya. Lebih tak
dapat lagi ia menceritakan kegagalannya kedua kalinya ini. Dan sangat tidak
dapat menerima ucapan "tolo " yang keluar dari mulut istrinya. Istrinya telah
melihat Aman J empret di kejauhan. Ia memperhatikan suaminya sangat lesu
dengan kepala menunduk ke bumi seperti memikirkan sesuatu. Memang ia tak
menenteng sesuatu apa pun. Karenaitukah dia lesu, atau berpura-pura saja.
Begitu telah dekat istrinya menyambar, "Hei, Aman J empret!" Suaminya
mengangkat muka Ia gugup dengan hardikan itu. "Engkau jangan berpura"
pura Berlagak bodoh!"
Orang lesu ini bertambah bingung. Ia tak mengerti mengapa istrinya begitu
galak. Ia menatap istrinya dengan mata seperti mengharap.
" Dari mana kau bawa ini semua. Harta siapa yang sudah kau rarnpas."
Aman J empret mau menangis rasanya. Alangkah tidak mengertinya ia.
Alangkah kalutnya menerima hardikan-hardikan itu. Matanya menyorot wajah
istrinya yang galak. "Mengapa engkau begitu kejam padaku sore ini," lembut
dan tertekan. "Jangan pura-pura "
Kelesuannya berubah kini. Ia menjadi geram seperti harimau yang akan
menerkam. Giginya gemeretak dengan pandangan tajam menusuk wajah
istrinya Kekesalannya sudah bertindih"tindih
"Apamaksudmu. Apayang pura-pura Kau yang berpura-pura" Iamendekati
istrinya "Kau yang berpura"pura Jangan kau seret"seret nanti aku dalam soal
ini. Aku tidak mau. Harus kau j elaskan kepadaku sekarang."
Suara Inen J empret semakin lantang, kemudian seperti terharu. "Aku
sudah biasa dengan kemiskinanku. Dan aku lebih senang dengan tatap dalam
kemiskinan, daripada merebut hak orang lain. Aku tidak mau menjadi ocehan
orang lain." "Siapa bilang kau tidak miskin!" Kemarahan suaminya tak terkuasainya.
Darahnya mendidih. " Dan siapa yang telah mengatakan engkau kaya dengan
;"- d-p 49 keadaan begini. Gila kau! Kau menghinaku sebagai suamimu. Siapa lagi yang
bisa menghormatiku selain engkau dalam rumah kita, dalam hidup kita ini.
Anak pun tak ada, apa pun tak ada dan.. .." ia tak bisa melanjutkannya lagi.
Melihat ini istrinya menjadi bingung. Ia melihat sesuatu yang murni dalam
ucap an suaminya Ya, kemurnian yang bi asa dilihatnya dalam perj alanan hidup
mereka selama ini. Keganasannya turun pelan-pelan dari waj ahnya. Kemudian
kesangsian datang, lalu menatap suaminya dengan rasa belas yang dalam.
Suaminya heran kembali melihat perubahan ini.
" Pakmari kitamasukke dalam." Inem J empr et memegang tangan suaminya
serta menuntunnya. Suami mengikut seperti kerbau dicucuk hidung. Begitu
mereka berada di ambang pintu Inen J empret berkata, "Nih!" Inen Jempret
menunjuk dengan jari terbuka kerang dalam rumahnya.
Aman J empret terbelalak menyaksikan perubahan dalam rumahnya.
Mulutnya setengah terbuka. Ia melihat sesuatu yang tadi ditinggalkannya tak
ada. Iatelah melihat perabot rumahyang serba ada, yang selama ini dan seumur
hidupnya belum pernah diimpik annya. Gerak waj ah yang sung guh"sung guh ini
diperhatikan istrinya deng an amat cermat. Lalu ia memandang istrinya dengan
peras aan tak tentu. " Dari mana ini semua " ia bertanya pada istrinya tak sadar.
"Maafkan aku, Pak. Rupanya di antara kita tidak ada kepura"puraan."
" Kepura"puraan itu memang tidak pernah ada di antara kita. Dan kita tidak
pernah mengharapkan kedatangannya di dalam hidup ini."
Aman J empret kemudian tercenung-cenung, seperti tenggelam dalam satu
masalah. Lalu setengah mengangkat muka mengingat-ingat sesuatu. Matanya
berkaca"kaca memandang istrinya Istrinya ingin tahu, apa yang terj adi di balik
mata yang berkaca"kaca itu.
"Ada apa, Pak," lembut berbisik.
Aman J empret menceritakan dialognya dengan Enggang di atas pucuk
damar tadi siang. Mendengar ini istrinya diam, tapi matanya menatap satu
arah Ker ongkong annya tampak satu kali menelan sesuatu. Rupanya ia menelan
keharu an dan menyodorkan kebisuan ke hadap an suaminya.
" Kau tentu tidak marah lagi kepadaku."
Istrinya mengangguk-angguk kecil dalam muka jernih dan mesra
" Dan aku sekarang lapar Inen J empret."
Keduanya makan sangat lahapnya dengan nasi yang tersedia sendirinya.
Seumur hidup mereka belum menikmati masakan begini.
su & Malam itu mereka tidur amat pulasnya, karena perut mereka telah terisi
dengan nasi putih dan lauk yang lezat. Ya tidak seperti biasanya, tidak seperti
seumur hidup mereka yang telah berlalu.
Keesokan harinya Aman J empret telah siap dengan pakaian-pakaian
barunya dengan perasaan yang segar. Pagi ini ia tidak lagi menjinjing bubu
ke sungai. Ia berjalan ke arah barat untuk memenuhi undangan sahabatnya.
Istrinya melepasnya bagai dalam mimpi. Ia mengulurkan sebuah senyum
dengan hati -hatinya, senyum kerendahan hati.
Setelah melewati tujuh sungai dan gunung-gunung selama tujuh hari
perjalanan, Aman J empret tiba di sebuah kampung yang indah, kampung ini
sangat lengang. Tak ada satu makhluk pun yang melintas. Hanya angin yang
menyilir menyapa pohon demi pohon, yang memperkuat suasana sepi itu.
Aman J empret belum pernah melihat keindahan kampung yang begitu, tapi ia
juga belum pernah menikmati kesepian yang mengelana dari sudut ke sudut
kampung itu. Aman J empret denganlangkah satu-satu memandang ke sekitar,
diantar oleh kesepian itu. Dalam hatinya ia menyangsikankarnpung itu. Apakah
ini bukan perkampung an j in"jin yang dulu pernah didengarnya dalam satu cerita
yang mengerikan. Ia juga menyangsikan undangan yang pernah diterimanya.
Apakah itu bukan semacam perangkap baginya. Ia kembali mengingat"ingat
apa yang terj adi di rumahnya kemarin. Ia juga mengenang istrinya yang telah
berpuluh"puluh tahun dikasihinya. Ia telah memikirkan segalanya, termasuk
maut yang akan menggerayanginya.
Langkah-langkah yang berat diseretnya juga ke arah sebuah pintu gerbang
yang megah. Ketika ia sudah berhadapan dengan gerbang itu, tiba"tiba darahnya
tersirap karena pandangannya tertumbuk pada makhluk yang tergolek di sisi
sebelah dalamnya Seekor harimau. Dari kejauhan ia tak melihat penjaga yang
gagah itu. Begitu mereka berpandangan, penjaga itu menyeringai ke arahnya.
Dirasakan oleh Aman J empret bahwa itu bukan sebuah senyum. Aman J empret
undur beberapalangkah. Penjaga itu bangun dengan sikap menantang.
"Apakah di sini istana raja yang telah mengundang kami?" Pertanyaan itu
keluar dari dadayang gugup. Di selakegugupanitu sebuahaumanmenggugurkan


Batu Belah Karya Mj Melalatoa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semangat Aman Jempret. Harimau ini galak mendekatinya dengan seringai
yang memamerkan saingnya yang lancip tajam. Tubuh Aman J empret gemetar
menghadapinya, tapi ia tak beranjak dari tempatnya.
SI Seringaian itu disusul dengan larinya yang bergegas dan menyambar tubuh
Aman J empret. Pergumulan sengit terj adilah.
Aman J empret dalam pergumulan ini, masih sadar dan untuk ini ia heran
sekali. Badan harimau ini dirasakannya seperti karung berisi kapas. Dengan
mudahnya ia meng angkat tubuh harimau yang biasanya dit akutinya Rupanya
harimau ini juga merasa kagum terhadap kekuatan musuh yang dihadapinya
ini. Kekaguman ini membuatnya tak melanjutkan perlawannannya. Ia undur
dan berj alan dengan nyengar-nyengir.
Lepas dari pertarungan ini, Aman J empret berjalan dengan langkahnya
lebih pasti. Kesangsian dan kegugupan yang menggerayanginya dari tadi tiada
lagi pada dirinya Ia sampai pada pintu istana yang cantik molek itu. Beberapa
tangga dilaluinya. Begitu ia sampai pada ruangan depan, seekor banteng
menyambutnya dengan serodokan yang menggila. Serodokan itu ditangkis
Aman Jempret dengan keredahan hati. Tangkisan kerendahan itu membuat
banteng ini undur sendirinya seperti harimau tadi.
Untuk melalui pintu"pintu yang berpuluh"puluh banyaknya, Aman J empret
harus pula menerima hantaman"hantaman yang mengerikan dari berbagai
kekuatan yang seharusnya maha dahsyat. Kekuatan-kekuatan ini seharusnya
telah membikin tubuhnya lumat seperti bubur.
" Sambutan"sambutan ini adalah satu tugas yang harus dijalankan oleh
penjaga"penjagaini," begitu pikirAman J empret dalam dirinya. "Barangkali ini
akan terjadi bagi siapa-siapa yang tak dikenalnya seperti aku ini."
Akhirnya ia sampai pada sebuah pintu yang kukuh dan terkunci rapi.
Beberapalangkah lagi dari pintu yang kukuh rapi itu, tiba-tiba pintu itu seperti
menyerah. Terbukasen dirinya. Di hadap an matanya terhidang sebuah ruangan
seumpama surga. Ruangan yang mewah menakjubkan.
Di salah satu bagian paling ujung dari ruangan ini duduk sepasang makhluk
yang menyeringai ke arah Aman J empret. Tamu yang baru muncul dari pintu
itu menerima senyum ini dengan keragu"raguan. Dalam keragu"raguannya,
Aman J empret mendekati orang ini selangkah demi selangkah. Kedua oarang
ini bangun dari duduknya dan berjalan ke arah Aman J empret dengan
senyuman lebih mesra. Mereka berjabat tangan dan seorang di antaranya
memperkenalkan. " Ini istri saya, Pak." Dengan yang diperkenalkan ini Aman Jempret berj abat
tangan. 52 C: " Kalau boleh, saya ingin ketemu dengan Raja Beliau mengundang saya
kem ari. " Kedua orang yang dihadapinya itu tertawa di hadapan Aman J empret,
tertawa yang cukup sop an.
" Bapak tidak usah heran kalau yang Bapak cari adalah kami sendiri." Aman
Jempret agak kaget dan menatap waj ah-wajah itu satu demi satu. Yang baru
bi cara tertawa lebih mendalam.
"Ya, kadang"kadang kita menghadapi hal tak kita duga sebelumnya. Tapi
Bapak tak usah memikirkannya dan itu tak perlu, seperti barangkali Bapak
tidak memikirkan apa yang terjadi dalam kehidupan Bapak sebelumnya "
Tamu ini meng angguk" angguk, tapi dalam keadaan berpikir kelihatannya
"Ya, ya," mengangguk"angguk. Aku ingat, aku ingat suararnu."
"Syukurlah." "Aku datang kemari untuk memenuhi unadanganmu tempo hari. Tapi lebih
penting dari itu ialah untuk menyampaikan terima kasih kami suami istri."
"Tapi, sebenarnya kami tidak pantas menerimanya," kemudian dilanjutkan
dengan sebuah senyuman penuh isi.
Aman J empret ditahan di sana selama tujuh hari, untuk menerima pesta
keramahtamahan, deng an segala kemeriahan.
Pada saat itu Aman J empret kembali tercenung menyaksikan betapa
banyak rakyat kerajaan ini, di mana ketika ia datang kesunyi"senyapan telah
menyambutnya dengan sungguh"sungguh. Tapi semua yang tak disangkanya
tidak lagi dipikirkannya, karena kenyataannya memang sudah begitu.
Pada hari terakhir raja menyatakan supaya membawa seekor kuda untuk
kendaraannya pulang. Aman J empret memilih seekor kuda yang kebetulan
kakinya pincang. Walaupun raja menyuruh memilih yang lain, tapi ia tetap
pada pilihannya Aman J empret pulang dengan kuda pincangnya, yang dilepas dengan
muka yang berseri-seri oleh kalangan istana. Dengan sekejap mata saj a berkat
kegesitan kuda pincang ini ia telah berada di rumahnya kembali. Begitu sampai
ia menyiapkan kandang kudanya, sambil bercerita pada istrinya tentang
pengalaman di kerajaan yang dikunjungi.
Karena kudanya, Aman J empret jadi terkenal. Selama kuda ini ada or ang
yang tak pernah melihat lagi melihat Inen J empret menenteng nyiru ke kincir
padi. Drang tak pernah lagi melihat suaminya menyandang bubu ke kali. Aman
J empret suami istri benar"benar telah berubah sekarang. Tersiar di kampung
Aman J empret kudanya kalau berak mengeluarkan emas. Semua orang heran
;"- d-p 53 dan cemburu. Kabar ini di dengar juga oleh raja. Raj ajuga menjadi iri, walaupun
dia sendiri belum pernah menyaksikan kuda itu mengeluarkan barang berharga
dalam beraknya. Suatu hari rajanya memanggil beberapa orang tentaranya. Mereka
merencanakan akan mencuri kuda ajaib itu.
Pada tengah malam yang pekat, komplotan pencuri ini mendatangi rumah
Aman Jempret Ketika itu tuan rumah sedang tidur nyenyak. Komplotan ini
mendekati kandang di samping rumah. Sedang beberapa meter dari kandang
sang kuda pincang ini meringkik dengan gairahnya. Ringkikan itu menj agakan
tuan rumah yang sedang pulas. Aman J empret mengintip dari celah dinding,
karmaia juga memang mendengar suara telapak kaki. la menyaksikan dengan
dada berdebar"debar dan istrinya mencari"cari parang. Begitu kudanya
meringkik untuk ketiga kalinya dan komplotan tadi sudah mulai membuka
pintu pagar kandang itu, tiang-tiang itu pada bergerak dan tercabut sendiri.
Tiang-tiang itu satu demi satu menyerang anggota-anggota komplotan ini tanpa
perintah siapa pun. Dalam keheranan dan kekalutannya, komplotan ini pun mengadakan
perlawanan ala kadarnya. Mereka kocar-kacir lari terbirit-birit. Rupanya sambil
pulang masing"masing anggota sempat membawa kepala benjol"benjol. Ada
yang berat ada yang ringan. Yang membawa benjol berat ini rupanya anggota
yang sok berani dengan harapan mendapat penghargaan yang besar seperti
yang dijanjikan oleh raja Sedang yang benjol ringan masih sempat berpikir
buat apa susah-susah merugikan orang lain, dalam hal ini Aman J empret dan
menguntungkan orang lain atas dasar bukan haknya dalam hal ini raja.
Aman J empret yang menyaksikan kejadian ini turut menganga Kepada
istrinya ia membisikkan, "Alangkah kasihan mereka."
Istrinya menjawab dengan bisikan pula. "Tapi biarlah mereka tahu sekali"
sekali. Kita baru punya kuda itu mereka sudah tak sanggup melihatnya Tapi
kita pernah tak punya apa"apa puluhan tahun, tapi kita dapat merasakannya
tanpa menyakiti siapa pun.
" Kasihan mereka."
Kemudian diam dengan pikiran sendiri-sendiri. Keheningan itu terus
berkepangj ang an dengan mimpi mereka masing-m asing pula.
Sedang komplotan tadi langsung menghadap tuannyamembawa tubuh yang
benjol"benjol. Raja sangat marah kepada Aman Jempret. Keinginan memiliki
kuda itu semakin besar. Kali ini raja memilih beberapa jagoan. Di antaranya dua orang panglima
yang terkenal di kerajaannya. Perintah terakhir pun diberikan kepada pasukan
kedua ini. " Kalau kuda itu belum dibawa ke man, kalian tidak boleh pulang."
Pasukan ini berangkat dengan semangat yang tinggi. Masing-masing
meyakini dirinya akan dapat menggiring kuda itu ke hadapan raj a
Mereka mendekati pagar kandang kuda itu dengan hati-hati. Langkah
mereka pelan dijej akkan ke tanah, seperti kucing yang sedang mengintai tikus.
Kini seorang telah berhasil meraba pintunya. Lalu mendorongnya sebuah.
Kayu itu tergeser dan karena dorongannya tidak hati-hati kemudian jatuh.
Suaranya mengagetkan kuda pincang ini, dan ia pun meringkik. Ringkikan itu
menyebabkan tiang"tiang kandang itu kembali meng amuk.
Ada di antaranya yang menyingkirkan diri setelah mendengar ringkik
tadi. Tapi sebagian besar termasuk kedua panglima mengadakan perlawanan
dengan gigihnya Tiang-tiang itu satu demi satu patah ketikaberlanggar dengan
pedang-pedang mereka. Begitu tiang-ti ang itu habis, pasukan pun hanya tinggal
dua orang dengan napas terengah"engah. Kedua orang ini diantaranya adalah
seorang panglima tadi. Aman J empret yang telah mengintip sejak ringkik kudanya yang pertama,
berkata jelas kepada istrinya, "Biarlah mereka bawa, karena mereka telah
berjuang untuk itu." Inen Jempret tidak menjawab, karena ia pun memahami
ucap an suaminya. Dua orang yang masih dapat mempertahankan mautnya ini, seorang
mencoba membuka tali dan berhasil. Dalam keadaan lesu ia menarik kuda itu
denganharapanberjuta-juta dalam dadanya. Yang seorang berjalan di belakang
seperti mengiring tawanan. Aman J empret seperti terpesona melihat kejadian
itu. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Sedang kudanya berjalan pelan"
pelan mengikuti tuannya yang baru.
Aman J empret memejamkan mata pedih hatinya. Lama-lama ia tak tahan.
Ia berlari ke pintu dan membukanya. Dengan sepontan ia memanggil nama
kesayangannya, menembus kesepian pagi berfajar itu, "Cempang! Cempang!"
Demi mendengar panggilan ini tali yang dipegang panglima yang penuh
harap itu, meliliti tubuhnya hingga leher. Tarikan yang terakhir membuat
lehernya terjerat sampai menutup jalan napasnya buat selama-lamanya.
Sedangkan seorang yang mengiring di belakang mengambil langkah sekencang
angin topan ke arah yang tak tentu.
SS Si Cempang dengan langkah satu"satu menyeret mayat panglima yang sial
ini ke tempat ia tertarnbat tadinya. Keesokan harinya telah tersiar kabar Aman
J empr et telahmelakukan pembunuhanterhadap beberapa or ang. Pembunuhan
ini dilakukan dengan amat kejinya dalam satu malam saja. Mayat-mayatnya
masih bergelimpangan di sekitar rumahnya.
Seisi kampung berbondong-bondong datang ke sana. Kebanyakan orang
hanya melihatnya dari jauh saja, karena orang"orang ngeri mendengar
beritanya. Di saat orang sedang banyak berkerumun, datanglah utusan raja
yang akan menemui pembunuh ini. Sesaat kernudian keluar menggiring Aman
Jepret. Kerumunan"kerumunan ini terkuak ketika Aman J empret lewat, disusul
dengan bisik "bisik.
Kebanyakan orang yang menyusul dari belakang karena perasaan ingin
tahu saja Banyak juga yang menduga kalau nanti telah sampai di hadapan raja,
ia akan dicincang oleh algojonya.
Di istana raja telah menunggunya dengan wajah bengis. Ketika Aman
J empret di hadapannya, ribuan mata menyaksikan dengan perasaan dendam,
benci seperti akan menelannya. Ada yang mengantar rasa kasihannya dan
tidak jarang seperti mencari hiburan saj a. Raja sendiri menunggu dengan mata
menyala"nyala. "Engkau yang jadi pembunuh orang"orang yang telah bergelimpangan
semalam?" Yang dituduh diam menatap bumi.
" Hei, pembunuh! "
"Aku bukan pembunuh," jawabnya agak tegas.
"Berani membela diri lagi, ya" Mayat-mayat sudah bertumpuk-tumpuk di
rumahmu." "Aku sendiri sedih melihatnya."
" Pengecut! Pembunuh kok bisa sedih. Pandai kau bermain dengan kata"
kata. Hei, mengapa kau bunuh kalau tahu akan sedih!"
" Sebelum terbunuh pun saya sudah sedih."
" Bagaimana" Raja kebingungan dengan ucapan"ucapan ini.
"Kemudian aku lebih sedih lagi setelah tahu, yang jadi korban adalah
panglima kebanggaan keraj aan." Suara itu ke luar sangat datar.
Raja merah mukanya matanya melotot pada Arnan Jempret.
"Engkau menghina panglimaku, ya," mukanya seperti akan menghajar
mangsanya 56 C: "Aku sedih. Tapi tak ada paduka" Ia bermaksud mau menyabarkan
lawannya dalam kata"kata.
"Tak apa, panglima yang baik seharusnya berkorban untuk rajanya,
walaupun yang sebenarnya adalah untuk rakyatnya"
"Diam kau, kau telah menghina kau di hadapan rakyatku." Ia bangkit dari
duduknya sambil menuding-nudingkan tangannya. Kelihatannya ia hanya
berani deng an laku begitu. Tidak berani kalau sampai menampar misalnya.
"Namamu siapa. hah! Nama itu harus lenyap dari bumi kerajaanku.
Narnarnu telah menodai nama kerajaanku. Dengar! Kau dengar itu semua!"
"Ya, dengar." " Kau akan kujadikan hiburan bagi rakyatku, dalam menghabiskan
riwayatrnu. Ya bersama istrimu, kalau ada anak cucumu. Kau dengar!"
"Ya, dengar!" " Besokbawakudarnu ke tanahlapang pacuankuda Engkau akan bertanding
dengan kuda kerajaan. Mengerti."
"Ya, mengerti."
" Kalau besok engkau menang, keraj aanku ini akan aku serahkan kepadamu
bulat-bulat." Orang-orang yang menyaksikan janji itu pada berbisik-bisik satu
dengan yang lain. "Dengarkan aku." Aman J empret memasang mata dan telinganya kurang
bernafsu. " Kalau engkau menang, bawa kerajaanku ini untukmu," raja menegaskan
lagi. "Tapi kalau engkau kalah, bagaimana?"
"Terserah kepada Paduka," menyambung tak sadar.
Raja tertawalebar seperti dibuat"buat demi mendengar jawaban itu.
"Ya, kalau engkau kalah, aku akanmenyerahkanmu padarakyat, biar engkau
dicincangnya lumat"lumat." Sorakan gemuruh pun pecahlah dari orang"orang
yang ikut menyaksikan. "Tenang, tenang! Kalian meyetujui ucapanku ini?" Jawaban setuju
meng geledek serempak. Aman J empret menundukkan mukanya.
" Dan kudarnu menjadi milik keraj aan. Berani kau" Mengapa engkau diam,
p embunuh p eng e cut "
"Terserah kepada Tuan," sambil mengangkat muka.
" Bukan terserah kepadaku!" Raja mebentak kuat. "Berani atau tidak! "
Aman J empret berbisik, ayo "Cempang"
S" " Berani, Tuan"
" Berikut istrimu !"
"Terserah kepada Tuan."
"Berani?" "Ya, Tuan." Kegemuruhan di sekeliling pecah lagi karena raja tampak memulai tepuk
tangan. Saat yang ditunggu pun tibalah. Seekor kudakerajaan yang sering dipanggil
"Mungkur Uten" telah turun ke lapangan, dengan seorang penunggang, anak
belasan tahun. Ketika kuda ini muncul, sorakan dari berbagai penjuru lapangan
bergema Kemudian menyusul Aman J empret dengan kuda " Cempang"nya
memasuki lapangan. Matanya memandang ke muka dengan wajah yang tampak
sopan dipandang. Raja dan Permaisuri yang duduk bergandengan di atas sebuah panggung
penuh dengan senyum yang kadang-kadang tampak dibuat-buat dan kaku.
Inen J empret tampak duduk di bagian lain panggung itu, pada sebuah kursi
yang terasing sendiri. Mukanya kuyu sekali. Pesakitan yang sedang menantikan
detik-detik penentuan hidupnya Orang-orang yang datang menyaksikan Inen
J empret sebagai barang yang lucu. Tapi ada juga yang turut merasakan apa
yang sedang dirasakannya Lapangan yang merupakan lingkaran itu berpagar keliling dengan jarak
lebih kurang satu batu. Seorang petugas bicara dengan lantangnya, menyatakan pertarungan ini
akan dimulai untuk dua kali keliling.
Kedua kuda itu sudah siap bergandengan di sebuah garis. Para penonton
semua tahan napas, terlebih lagi Inen J empret yang tampak meremas"remas
tangan di antara pahanya. Raj a berdiri gelisah menahan perasaan.
Ketika detik melepas kudaitu dari garis deng an teriakan "lepas" dari seorang
petugas. "Mungkur Uten" mengambil langkah pertaranya melompat seperti


Batu Belah Karya Mj Melalatoa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kijang diburu anjing. Penunggangnya melecut kudanya gesit sekali. Beberapa
detik saja telah menempuh hampir setengah lapangan.
Sorakan gemuruh seperti meledak dari permukaan bumi, memecahkan
ruang angkasa, karena kuda Aman J empret masih belum beranjak dari
tempatnya. Beberapa orang bersimpati mengusir kuda itu dari luar pagar. Kuda
itu tampak ketakutan. 53 C: Rajamelomp at"lompat seperti anak kecil, kegirangan. Perm aisurimenepuk"
nepuk punggung raja dengan muka berseri"seri. Inen J empret meremas"remas
tangan di dadanya dalam satu kecemasan yang amat sangat.
"Mungkur Uten" telah menempuh jarak dua pertiga lapangan. Penung-
gangnya mengangkat tangannya ke arah penonton dan raja
Aman J empret tampak mempererat tangannya pada tali kekang. Kudanya
tampak bersiap"siap mengayuh langkahnya. Aman Jempret berbisik ayo,
"Cempang." Demi mendengar komando itu, Si "Cempang" mengayuh
langkahnya. Kuda itu seolah terbang di gelanggang meyusul musuhnya Pada
saat "Mungkur Uten" tiba pada garis pertamanya, Si Cempang telah berada
disisinya mendahului beberapa tapak. Pada keliling yang kedua, Mungkur Ut en
tertinggal hingga separo lapangan dengan langkah"langkah yang semakinlesu.
Sorakan penonton lebih gemuruh dari semula. Entah perasaan apa yang
terkandung di hati mereka. Bersama sorakan-sorakan itu, perdu-perdu rumput
beterbangan arah ke langit oleh tangan yang penuh kegembiraan. Rumput-
rumput itu pun seperti meronta"r onta sendirinya.
Raja terhenyak di kursinya Pucat tak berdaya Permaisuri gelisah. Inen
J empret masih meremas-remas tangan di dadanya Entah perasaan apa yang
menguasai dirinya. Begitu si Cempang selesai dua kali keliling dengan kemenangan gemilang.
Aman J empret langsung membawanya menuju istrinya Aman J empret
menjangkau istrinya ke punggung kudanya. Dari atas kuda itu mereka
menyaksikan "Mungkur Uten" menyelesaikan tugasnya dengan lesu, seperti
perahu yang berkayuh ke hulu.
Mata orang semua terarah ke si Cempang dan mengenununinya. Aman
Jempret berdiri tegak di atas kudanya menghadap raja dengan ker ununan
khalayak. "Aku hanya berani menunggang kudaku dan bertarung dengan kuda lain,
seperti yang telah diperintahkan oleh Paduka Raja kepadaku. Tapi aku tidak
berani menjadi raja Tuan"tuan, seperti yang telah dijanjikan raj a kepadaku.
Ia turun dari kudanya dan menjangkau istrinya, kemudian berj aln pelan-
pelan pulang. Orang-orang melongo, rajapun melongo memandangnya
6!) C: Penerbitan dan Percetakan
PT Balai Pustaka [Peres-re)
6 Jalan Bunga Nata"SA.
Matraman, Jakarta Timu r 1 3140
V TeltFaks. taz-211353 sees
Website: http:!Mwwbalaipustakacoi-d
Pedang Tetesan Air Mata 7 Dewi Ular 77 Bulan Berdarah Kembang Kecubung 5
^