Pencarian

Alengka Bersimbah Darah 1

Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah Bagian 1


ALENGKA BERSIMBAH DARAH Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Gerombolan yang terdiri dari enam orang itu ber-
jalan mengendap-endap. Kadang-kadang mereka berla-
ri dengan cepat di antara pohon-pohon hutan. Lagipula mereka juga seperti telah
mengetahui keadaan hutan
ini dan letak setiap pohon yang tumbuh di sana. Buk-
tinya, masing-masing mereka telah tahu kapan harus
mengendap-endap dan kapan harus melesat ke balik
pohon. Bahkan setiap mereka bergerak seperti telah
mengerti giliran siapakah yang harus maju ke balik setiap pohon di depannya di
sisi jalan sempit yang mem-
belah hutan itu. Formasi gerakan-gerakan mereka te-
lah terlatih. Meski berlari atau berjalan mengendap-endap, ti-
dak satu pun ranting atau daun kering yang banyak
berserakan di tanah berderik terinjak kaki mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka
memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik.
Pakaian mereka macam-macam. Pandangan mata
mereka tajam memperhatikan sesosok tubuh yang ba-
dannya cuma berselempang sebuah kain gelap kasar.
Sebuah golok terselip di ikat pinggang lebarnya, yang juga mengikat celana
panjang hitamnya. Kepalanya dililit kain sejenis dengan selempangnya hingga
mirip sorban. Sosok itu berjalan tenang sekali, sebagaimana tenangnya suasana hutan.
la seolah-olah tidak menyadari sedang dibuntuti.
Namun sebenarnya tidak demikian. Walaupun ti-
dak ada ranting atau daun kering yang berderik, kiba-
san angin dari tubuh-tubuh yang berkelebat semakin
mendekati dapat tertangkap telinganya. Ketika tiga
orang dari mereka telah berada di balik pohon-pohon
di depannya pun ia tahu. Tapi tidak sedikit pun ia
mengubah kecepatan langkahnya.
Pagi yang tenang dan sejuk itu akhirnya diusik
dengan sebuah bentakan.
"Berhenti!" Dan tiga orang menghadangnya. Saat ia mematuhi bentakan itu,
kupingnya menangkap ke-basan angin dari tiga kelebatan tubuh di belakangnya.
Berarti ia telah dikepung. Tiga di depan dan tiga di belakang.
"Mau kemana kamu, heh?" Salah satu dari ketiga orang di depannya bertanya.
Sebelum menjawab ia membuka kain selempang
dan mengikatnya di pinggang. Golok yang terselip di si-tu jadi cuma kelihatan
gagangnya saja serta bagian
bawah dari sarungnya.
"Aku mau ke desa Sariadi." Keenam orang yang mengepung itu jadi terkesima
sejenak. Begitu terdengar suaranya, Semua orang pasti segera tahu bahwa
dia bukan berasal dari daerah ini. Logatnya terdengar kasar. Persis kain
selempangnya tadi. Juga wajahnya
itu. Segala-galanya dari orang ini jadi terkesan kasar.
"Hei, Barbar! Kamu tahu di mana desa Sariadi?"
"Tidak"
"Maukah kalian memberitahukan padaku?"
Kontan ketiga orang di muka itu terkekeh-kekeh,
kayak para kakek ompong yang sedang menertawai
cucu-cucu mereka yang masih kecil dan lucu.
"Dengan senang hati.. Dengan senang hati. Asal-
kan kamu mau memberikan seluruh uangmu pada
kami. Hehehe...."
"Tunggu," sahut temannya yang satu lagi. "Aku juga mau selendangnya. Juga kain
yang melilit di kepalanya itu Hehehe... Bukankah kain itu unik sekali"
Tidak ada yang punya sejenis itu di daerah kita ini.
Siapa tahu aku ketemu dengan orang yang suka ko-
leksi. Aku bisa menjualnya dengan harga tinggi."
"Ya, ya. Benar juga kamu." Mereka terkekeh lagi.
Akan tetapi ketiga orang yang di belakang sama sekali tidak memperdengarkan
suara. Paling banyak mereka
cuma tersenyum mendengar ocehan teman mereka.
Salah seorang mendekati si Barbar. "Mana. Beri-
kan semua yang kami katakan tadi. Jangan khawatir,
kami pasti memberitahukan di mana Desa Sariadi pa-
damu." Dengan lugu si Barbar mengambil kantung ua-
ngnya dari dalam celana, kemudian mengangsurkan-
nya dengan tangan kanan. Orang itu, memandang
sambil tersenyum meremehkan wajah si Barbar yang
tertunduk, hendak mengambil kantung uangnya.
Sekonyong-konyong tangan kiri si Barbar bergerak
dengan amat cepat dari bawah untuk menepak tangan
yang sudah hampir mencapai kantung uangnya. Ber-
samaan dengan tersentaknya tangan orang itu ke atas,
kaki kiri si Barbar maju ke depan, dan tangan kirinya yang baru saja menepak
tangan orang itu bergerak lurus memukul iga kanan lawan dengan telapak tangan.
Lalu ia mundur selangkah dan menyimpan kembali
kantung uangnya.
Tak seorang pun dari mereka menyangka seran-
gan itu. Sikap meremehkan sering kali mendatangkan
kecelakaan sendiri. Mereka cuma terlongo menyaksi-
kan tubuh teman mereka mematung selama tiga detik,
kemudian memuntahkan darah segar dari mulut dan
tumbang seperti pohon. Pukulan itu telah menjadikan
paru-paru dan jantungnya pecah.
"Hiaatt!"
"Hiaatt!"
"Hiaatt!"
Hampir serentak teriakan dari ketiga orang di be-
lakang si Barbar ketika menyerang dengan golok. Te-
riakan mereka mengandung kemarahan besar.
Namun si Barbar telah siap sejak tadi. Dengan
ringan ia bersalto di udara menyongsong penyerang-
nya. Ketika berada di atas mereka, dengan cepat tela-
pak-telapak tangannya memukul kepala yang di ten-
gah dan di pinggir. Meski kaget dengan gerakan itu keduanya masih sempat
menghindar dengan membuang
tubuh mereka ke samping. Yang satu berjumpalitan
dan segera bangkit siaga kembali. Namun malang bagi
yang di tengah. Ia menabrak temannya. "Mfthh...."
Cuma itu suara yang mampu dikeluarkannya ke-
tika hidung dan mulutnya terasa benyek menghantam
lengan atas temannya, lalu melorot ke tanah. Yang di-
tabrak pun terhuyung-huyung hampir jatuh akibat
benturan itu. Selagi kedua-duanya berusaha bangkit kembali, si
Barbar telah menyerang lagi. Melihat teman-temannya
terpojok, dua orang yang belum bergerak sejak tadi
merangsek ke depan. Si Barbar melambatkan gerak
maju kakinya. Saat kedua orang yang menyerang den-
gan golok tegak di tangan itu telah cukup dekat, ia melompat dengan arah
menyamping menyambut mereka.
Tak pelak lagi, salah seorang terkena tendangan-
nya dari samping kiri di bagian kepala. Ia terjengkang ke samping kanan,
membentur tubuh temannya. Akibatnya, dua-duanya yang terjengkang.
Yang tadi wajahnya menabrak lengan atas teman-
nya, sedang bertumpu pada kedua tangan dan dengkul
untuk bangun. Belum lagi sempat ia bangkit, kedua
tubuh temannya yang terjengkang itu telah menimpa
punggungnya. Ia terjerembab mencium tanah lembab.
"Mffhhh...."
Lagi-lagi cuma itu suara yang mampu dikelua-
rkannya. Dengan menggunakan gaya lenting ketika kakinya
mendarat di kepala lawan, si Barbar melesat ke arah
orang yang tadi berjumpalitan dan telah berdiri kemba-li. Melihat serangan ke
arahnya, ia menyambut golok
selagi si Barbar masih di udara. Tetapi cepat si Barbar mencabut golok di
pinggang dengan tangan kiri dan
menangkis sabetan itu, sambil telapak tangan kanan-
nya menyodok. Kali ini ia tidak kuasa menyelamatkan kepalanya.
Hantaman telapak tangan si Barbar lalu membuat ia
telentang di bumi. Tak bergerak lagi. Darah mengalir
keluar dari hidung dan telinganya.
Dengan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi si
Barbar mendarat di tanah tanpa suara. Kemudian ia
berdiri menatap keempat kawanan lain yang masih hi-
dup. Seorang yang masih tegak segera mengambil
langkah seribu. Dua lainnya yang baru saja bangkit
berdiri mengikuti keputusan teman mereka melarikan
diri. Yang terkena tendangan si Barbar masih terkapar pingsan.
"Dasar perampok pengecut!" gerutunya.
Dimasukkannya kembali golok ke sarung kemu-
dian melepaskan kain selempang dari pinggang. Sesu-
dah memasang kain itu ke atas pundaknya, ia melan-
jutkan perjalanannya lagi dengan tenang.
Suasana hutan seolah turut tenang kembali.
*** 2 Tengah hari bolong. Sampai juga akhirnya Andika
di desa Sariadi. Beberapa helai rambut gondrongnya
melambai-lambai kecil ditiup angin sepoi desa itu. Kain kotak-kotaknya
sebagaimana biasa tergantung begitu
saja di lehernya. Kain pengikat pinggang kuning yang
kontras dengan baju hijau serta celana panjang biru
sungguh merupakan perpaduan yang menarik.
Tenggorokannya sudah terasa kering dan perut-
nya sudah berkruik-kruik sejak tadi. Seperti dituntun haus dan lapar itu kakinya
melangkah ke kedai nasi.
Ia sudah banyak mengenal desa itu, dan kali ini ia
ingin menuju kedai yang masakannya paling enak.
Meski agak mahal tetapi sesekali menikmati masakan
yang benar-benar lezat tak ada salahnya, bukan" Ter-
bayang di kepalanya berapa piring nasi yang akan di-
lahapnya bersama lauk-pauk lezat itu di tengah-tengah rasa lapar begini.
Ia tidak peduli dengan orang-orang yang banyak
memperhatikannya begitu muncul di mulut desa. Me-
reka mulai berbisik-bisik. Tidak heran. Itu karena Pendekar Slebor memang telah
mereka kenal betul (Lihat
episode: "Lembah Kutukan" dan "Dendam Dan Asma-ra"). Sesekali jika ada yang
tepat berpapasan dengannya, orang itu akan menganggukkan kepala pada An-
dika. Dan Andika pun mau tak mau membalasnya
sambil memberikan senyum.
Bapak pemilik kedai nasi itu pun memberikan se-
nyum kecil pada Andika ketika ia masuk.
"Lama tidak kelihatan, Nak," sapa si bapak. Jika dilihat dari suara sapaan dan
sikap tubuh pemiliknya, hal itu menyiratkan rasa hormat yang ada dalam hatinya
pada Pendekar Slebor. Pendekar yang pernah
berjasa menolong orang-orang desa di situ.
"Iya nih, Pak," balas Andika sambil senyum dengan wajah agak menunduk. Maklum,
ia masih saja ri-
sih menerima perlakuan orang tua semacam bapak ini.
Mungkin perasaan sebagai bekas anak gelandanganlah
yang membuatnya demikian.
"Saya pesan lele dan ayam panggang, Pak," lanjut Andika.
Bersamaan dengan selesainya Andika memesan
makanan, seorang-laki-laki tegap berdiri di pintu ke-
dai. Tampaknya dia orang asing. Bukan. Bukan karena
tampangnya seperti belum pernah dilihat Andika, teta-
pi dugaannya kuat karena melihat pakaian yang dike-
nakan. Ia memakai celana panjang hitam. Badannya cu-
ma dihiasi sebuah selendang kasar dan berwarna ge-
lap. Corak tenunannya juga aneh bagi masyarakat sini.
Kepalanya dililit pula oleh selendang kecil yang mirip dengan selendang pada
tubuhnya. Andika memandangnya dan berpikir-pikir dari
mana gerangan orang asing ini berasal. Empat orang
lain yang sedang makan di situ juga meliriknya.
Setelah beberapa jenak berdiri di sana, orang as-
ing itu berjalan ke sebuah meja yang kosong. Meski
kekerasan di wajahnya membuat ia tampak seram,
namun langkah-langkahnya menunjukkan kejuma-
waan. Pesanan Andika segera datang diantar oleh seo-
rang pelayan. Ia cuma sempat melihat si bapak pemilik kedai menghampiri orang
asing itu untuk menanyakan
pesanannya. Selebihnya Andika telah mengangkat kaki
kirinya ke atas kursi dan menyantap makan siangnya
dengan lahap. Selagi Andika menyuap nasi yang kesekian kali,
dua laki-laki muda, kira-kira sebaya dengannya, da-
tang dengan menjura.
"Salam hormat kami, Pendekar Slebor."
Andika serta-merta berdiri dari bangku dengan
mulut penuh. Setelah mencuci tangan ia membalas ju-
ra, tetapi tidak mampu membalas salam mereka. Da-
hinya mengernyit-ngernyit dan sisi pinggir kedua ma-
tanya berkerut-kerut. Mulutnya terus memaksa maka-
nan di sana untuk bisa ditelan cepat-cepat.
Tanpa sepengetahuan Andika orang asing itu
mendongakkan kepalanya.
"Rupanya ini Pendekar Slebor yang telah didengar kabar kehebatannya hingga ke
kampungku," pikirnya.
"Maafkan kami mengganggu makan siangmu. Ka-
mi adalah murid Perguruan Kemangi Sariadi."
"Salam," balas Andika setelah menelan gumpalan makanan terakhir ke perutnya.
"Sudah lama kami mencari Anda, Pendekar. Guru
kami ingin mengundang Anda datang berkunjung ke
perguruan kami. Beliau ingin menjamu Anda sambil
berkenalan lebih jauh."
"Oh, ya?" Andika menggaruk-garuk kepala. "Kalau boleh, sudilah menunggu sebentar
di sini. Kami akan


Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberitahukan pada Guru. Beliau pasti akan datang
menemui kemari."
"Terima kasih. Ini suatu kehormatan buat saya.
Bagaimana, ya" Ng.... Yah, baiklah. Saya tunggu di si-ni." Setelah saling
menjura kembali, kedua orang itu meninggalkan Andika. Sejenak kemudian ia menge-
rutkan kening. Perguruan Kemangi Sariadi" Rasa-
rasanya ia baru sekali ini mendengar nama perguruan
itu. Andika meninggalkan mejanya, menghampiri ba-
pak pemilik kedai. Orang asing itu cepat-cepat menun-
dukkan kembali kepalanya dan menyantap makanan.
"Pak, apa benar Perguruan Kemangi Sariadi itu"
Aku belum pernah mendengarnya."
Orang asing itu lagi-lagi tertegun mendengar per-
tanyaan Andika. Ia mengunyah perlahan-lahan maka-
nannya dan memasang kupingnya baik-baik.
"Itulah. Anak sudah lama tidak datang kemari, ja-di ketinggalan berita.
Perguruan itu tidak jauh dari si-ni. Itu sebabnya namanya juga mengambil nama
desa ini." "Ah, aku kan baru kira-kira setahun tidak datang."
"Memang. Perguruan itu berdiri juga belum ada
setahun, Nak. Kebanyakan muridnya dari desa ini dan
beberapa desa sekitar."
"Siapa nama guru mereka?"
"Namanya Pendekar Penjaga Langit. Yang kuden-
gar dia orang seberang. Tapi orangnya baik, kok."
Andika manggut-manggut.
"Terima kasih, Pak," katanya lalu balik ke meja.
Ada sebuah harapan dan pertanyaan dalam hati
orang asing yang duduk di pojok itu. Benarkah ini
orangnya" Setelah sekian lama mencari-cari, menyebe-
rang laut dan berjalan kesana kemari, ia berharap kali ini akan menemukan.
Memang, ia masih kuat kalau
pun harus mencari lagi nantinya. Uang yang diberikan
Raja Sahala masih lebih dari cukup untuk membiayai
hidup selama perjalanan selanjutnya. Tetapi akan le-
bih baik jika sekarang ia dapat bertemu.
Di pundaknya ada sebuah beban yang diberikan
Raja Sahala. Cuma, bukan itu saja. Dan rasa-rasanya
bagi dia juga bukan itu yang terutama.
Di hatinya ada sebuah gumpalan yang terus-
menerus mengganjal. Gumpalan dendam. Gumpalan
yang tidak akan sirna jikalau hasratnya belum terpe-
nuhi. Dendam yang tidak akan lenyap sebelum ter-
bayar. Begitulah jika hati manusia telah dirasuki oleh sesuatu yang dinamakan
dendam. Didongakkannya kepala. Ia melirik ke arah Pende-
kar Slebor. Masih ada di sana, melanjutkan makan
yang terhenti barusan. Rencana yang segera muncul di
kepala berputar-putar. Setiap hal yang mungkin me-
rupakan kesempatan tidak boleh dilewatkan. Barang-
kali inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu.
Ia bangkit meninggalkan makanannya yang masih ter-
sisa. Membayar dan melangkah keluar kedai nasi. Di-
carinya tempat yang agak tersembunyi tidak jauh dari
sana. Sambil duduk ia menunggu.
Ah, Seandainya ketamakan dan keculasan ti-
dak ada dalam dunia ia tidak perlu repot-repot begini.
Seandainya peristiwa itu tidak terjadi, sekarang pasti ia sudah bersanding
dengan gadis yang dicintai.
Pikiran itu memunculkan bayangan wajah. Wa-
jah yang manis. Wajah yang menyiratkan kesederha-
naan dan tidak banyak menuntut, yang tidak pantas
menerima kejinya perlakuan seorang laki-laki laknat.
Peristiwa itu terjadi kira-kira dua tahun yang
lalu. Malam yang takkan bisa dilupakannya seumur-
umur. Malam yang telah memporak-porakkan hatinya.
Betapa tidak" Begitu senang hatinya malam itu tiba
kembali di kampung halaman sesudah tiga bulan pergi
menjalankan tugas yang diberikan Raja Sahala. Tidak
ada lain yang ada di benak kala itu selain untuk cepat-cepat bertemu dengan
kekasihnya. Tidak juga untuk
melaporkan pada Raja Sahala semua hasil yang telah
diperoleh dalam menjalankan tugas. Hanya ingin me-
lepas rindu pada kekasih sesegera mungkin! Laporan
itu baru akan disampaikannya esok pagi.
Tetapi apa yang didengarnya kemudian" Pe-
rempuan tua itu menceritakan semua dengan terisak-
isak. "Dia sudah tidak ada lagi, Nak Patniraga. Ulima sudah tidak ada lagi."
Dia masih belum berpikir sejauh itu. Meski ter-
cengang melihat perempuan tua itu langsung menan-
gis, dia belum menangkap maksud sebenarnya.
"Ke mana, Bu" Kenapa dia sampai pergi?"
"Tidak, Nak. Ulimamu sudah tiada. Sudah me-
ninggal." "Hah?"
Bagai disambar petir sekujur tubuhnya men-
dengar. Tiba-tiba seluruh tenaganya seperti hilang. Pelan-pelan ia merambat
mencari pegangan lalu duduk
di tumbukan padi yang ditelungkupkan. Dunianya hi-
lang, hatinya nelangsa. Sekian detik ia tidak dapat
berkata apa pun. Demikian pula perempuan tua itu. Ia
menyadari bagaimana hancur hati anak muda di ha-
dapannya. Barangkali lebih hancur dari hatinya sendi-
ri. Dia tahu betapa dalam cinta pemuda ini pada putri tunggalnya.
Patniraga menutup wajah dengan kedua tan-
gan. Perlahan-lahan pundaknya terguncang-guncang.
Makin lama makin hebat. Suara sesunggukannya ma-
kin keras. Ibu itu menghampiri dan memeluknya. Jadilah
gubuk itu dipenuhi oleh tangisan kedua calon mertua
dan calon mantu itu.
Rentetan kenangan itu segera terhenti.
Patniraga melihat kedua murid Perguruan Ke-
mangi Sariadi tadi muncul bersama seorang yang be-
rusia lima puluhan. Kedua murid itu berjalan di bela-
kangnya. Laki-laki itu brewok dengan kumis melin-
tang. Air mukanya berseri-seri. Mereka berjalan cepat ke kedai nasi.
Apakah benar dia" Ia mengamati seksama si
brewok. Namun mereka terlalu cepat menghilang ma-
suk ke dalam kedai nasi. Tidak ada yang tidak men-
genal orang ini dulu di kerajaan Raja Sahala, karena ia cukup terkenal sebagai
pejabat kerajaan. Tetapi sein-gatnya dulu tidak berkumis dan tidak brewokan.
Mungkinkah sekarang ia sengaja menumbuhkan ku-
misnya" "Aku tak boleh cepat-cepat menyangka dialah
orangnya," gumamnya. "Aku cuma baru mengetahui
bahwa dia orang seberang. Dan itu belum bisa kupakai
untuk memastikan."
"Pendekar Slebor" Ah! Hahaha. Aku sudah la-
ma mencari-carimu. Kau tentu belum mengenalku.
Kenalkan, aku Pendekar Penjaga Langit."
Andika menerima jabatan tangannya. Sama se-
kali tidak terdengar keasingan dalam logat bicaranya
yang menandakan dia orang seberang. Pakaian yang
dikenakanpun sama dengan pakaian yang dikenakan
orang-orang daerah sini. Rupanya dia betul-betul telah bisa beradaptasi dengan
bumi yang dipijak.
"Ada apakah gerangan Kisanak mencari-
cariku." "Ah, Anda ini. Siapakah sekarang yang tidak mengenal akan namamu" Kau
telah menjadi seorang
pendekar yang terkenal. Namamu harum dimana-
mana." Mendengar pujian itu Pendekar Slebor cuma melengoskan kepalanya ke kiri
sambil mendengus.
"Itu kan kata orang," katanya.
"Ya. Kata orang pula kau suka menolong yang
lemah dan memberantas kekejaman dan kezaliman.
Tidak heran jika semua orang memuji-mujimu."
Kedua murid yang terus di belakang Pendekar
Penjaga Langit senyum-senyum sambil mengangguk-
anggukkan kepala, mengiyakan semua perkataan guru
mereka. "Sudahlah," kata Andika merasakan kejenga-
han mulai melanda dirinya. "Jangan teruskan lagi oce-hanmu yang setinggi langit
itu, Pendekar Penjaga Lan-
git. Makin tinggi pujianmu, makin sakit kalau aku ja-
tuh nanti," lanjutnya seraya duduk mengangkat kaki di bangku panjang.
Pendekar Penjaga Langit menanggapi dengan
tertawa lepas. "Silakan duduk, Pendekar Penjaga Langit," Andika mengajaknya duduk.
"Terima kasih." Pendekar Penjaga Langit mele-katkan pantatnya pada bangku di
hadapan Andika.
Wajahnya terus saja berseri-seri. Tampaknya dia seje-
nis orang yang optimistik dan penuh keyakinan diri.
"Adalah suatu kehormatan bagiku dapat berte-
mu dan berkenalan dengan pendekar besar sepertimu,
Pendekar Slebor."
"Tunggu-tunggu. Apanya yang besar" Aku ini
masih muda. Belum banyak yang kuperbuat. Aku
mendengar Pak Tua juga seorang pendekar yang baik
hati. Mungkin kebajikan yang Anda lakukan, seten-
gahnya pun belum ada kuperbuat. Sudahlah, biasa-
biasa saja, Pak Tua," kata Andika pula. "Jangan memuji-mujiku lagi. Pak Tua baru
mengenalku. Jadi be-
lum tahu bahwa aku pun punya banyak sekali kele-
mahan." Dalam hati, Andika mulai merasa curiga juga.
Baru kenal, orang ini sudah sedemikian 'galak' memu-
jiku. Jangan-jangan ada maunya, nih.
"Baiklah, Pendekar Slebor. Maafkan aku jika
kau tidak suka. Tapi aku justru tambah kagum men-
getahui kerendahan hatimu itu."
"Begini," lanjut Pendekar Penjaga Langit tanpa memberi kesempatan Pendekar
Slebor bereaksi sebab
ia tidak mau berhenti menyanjung, "Karena kekagu-manku, perkenankanlah aku
mengundangmu ke per-
guruanku. Aku ingin menjamu."
"Ahh..., tidak usah pakai jamu-jamuan segala
deh, Pak Tua. Aku tidak biasa. Lagi pula aku merasa
sungkan menerima penghormatan semacam ini dari
seorang yang lebih dua kali lipat umurnya dariku."
"Tidak, Pendekar Slebor. Ini bukan soal mana
yang lebih tua atau mana yang lebih muda. Ayolah.
Aku akan kecewa sekali jika kau menolak."
Pendekar setengah baya itu bangkit dan mem-
persilakan Andika dengan tangannya, sambil tak lupa
mengumbar senyum simpatik. Kedua muridnya ikut-
ikutan melakukan hal yang sama.
Diperlakukan begitu ramah, Andika sukar un-
tuk menolak. Bagaimanapun darah sebagai orang ti-
mur yang menghormati orang yang lebih tua masih
kental meskipun dahulu dia sempat menjadi tukang
copet. Di luar, mata Patniraga mengamati tajam wajah Pendekar Penjaga Langit
kembali, sekeluarnya mereka
berempat dari kedai nasi.
*** 3 Bulan bersinar bulat penuh.
Bukit Dedemit terpaku kaku. Dalam siraman te-
rang rembulan, dari kejauhan tampak tertidur. Tetapi orang-orang di sekitarnya
yang masih bisa memandang
bukit itu akan selalu mempunyai kesan seram. Bukan
hanya namanya saja yang mengesankan demikian, te-
tapi juga karena mereka tahu di situlah tinggal Jasad Dedemit bersama para
pengikutnya. Dalam kekelaman malam, tak satu makhluk pun
yang melintas dekat-dekat dengan bukit itu. Para pen-
duduk telah mahfum, siapa yang berani dekat-dekat
Bukit Dedemit sejak matahari tenggelam akan menga-
lami bencana yang ditimbulkan oleh Jasad Dedemit.
Seolah-olah malam sudah dimonopolinya untuk Bukit
Dedemit. Seolah-olah malam ingin dijaganya tenang
sehingga Bukit Dedemit dapat tidur tanpa gangguan.
Akibatnya sering penduduk sekitar menjuluki bukit itu dengan Bukit Sunyi Malam.
Namun kali ini sesungguhnya tidak demikian.
Malam ini justru sedang ramai. Tanpa diketahui para
penduduk sekitar yang telah terlelap, di tempat tinggal Jasad Dedemit justru
sedang terjadi kesibukan lebih
dari biasa. Para murid Jasad Dedemit berlalu lalang
melayani tamu mereka. Penjagaan di sekitar bukit juga diperketat.
Malam ini sedang terjadi pertemuan seluruh to-
koh persilatan golongan hitam di sana. Lihatlah wajah-wajah serius dari Lampor
Ireng, Betot Nyawa, Malaikat Siluman dan istrinya Nyi Bengis, Biludak Tengik dan
lain-lain. Mereka duduk setengah lingkaran mengha-
dap Jasad Dedemit, sang Tuan rumah.
"Saudara-saudara sekalian. Pertama-tama saya
mengucapkan terima kasih atas kesediaan saudara-
saudara hadir dalam pertemuan kita," Jasad Dedemit membuka pembicaraan.
"Sebagaimana yang kita mak-lumi bersama bahwa masa kini merupakan masa yang
memprihatinkan bagi golongan kita. Terutama hal ini
disebabkan karena munculnya seorang tokoh muda
dari golongan putih yang bernama Pendekar Slebor.
Dia adalah keturunan keluarga Pendekar Lembah Ku-
tukan." Jasad Dedemit menarik napas panjang sejenak
sebelum meneruskan perkataannya.
"Keadaan ini tidak boleh kita biarkan berkelanjutan. Akan tetapi kita juga tidak
boleh terus-menerus
berjalan sendiri-sendiri. Kita telah mengetahui, atau paling tidak mendengar,
bagaimana hebatnya ilmu
yang dimiliki Pendekar Slebor. Saya berani menjamin,
kita tidak akan menang menghadapinya jika sendiri-
sendiri." Sebagian dari para tokoh persilatan aliran hitam
itu menundukkan kepala. Mereka itulah yang telah
mengalami langsung bagaimana hebatnya ilmu Pende-
kar Slebor bahkan nyaris terbunuh.
"Karena itu saya mengajak saudara-saudara se-
kalian untuk bersatu. Kita harus bahu-membahu me-
lawannya. Hanya dengan cara ini baru kita memiliki


Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peluang untuk mengalahkannya."
"Tidak! Aku tidak sudi bekerja sama dengan si
Lampor Ireng." Nyi Bengis langsung memotong perkataan Jasad Dedemit.
"Nyi!" tegur Malaikat Siluman pada istrinya itu.
"Biarin! Biar dia tahu."
"Siapa yang mengatakan aku ingin bekerja sama
denganmu, Bawel"!" balas Lampor Ireng sinis.
Mata Malaikat Siluman melirik tajam pada Lam-
por Ireng. Ia merasa tersinggung juga istrinya disebut si Bawel. Lampor Ireng
tidak peduli. "Saya harap semua kita bisa tenang dan men-
gendalikan diri," cepat-cepat Jasad Dedemit menengahi dengan penuh wibawa.
"Inilah pula salah satu hamba-tan yang perlu kita atasi sekarang, yakni
persaingan dan permusuhan kita. Kita harus bisa mengatasinya
jika ingin bersatu dan mengalahkan Pendekar Slebor."
"Ya. Tetapi bagaimana caranya, Jasad Dedemit"
Ini kenyataan di antara kita," Betot Nyawa membuka suara.
"Kita pasti bisa melakukannya. Yaitu dengan cara menaruh ke belakang semua
persaingan dan permusuhan itu untuk sementara waktu. Ingatlah, tujuan ki-
ta adalah membuat mampus si Pendekar Slebor. Kita
singkirkan dulu penghalang-penghalang di antara kita
sampai tujuan tercapai."
Rapat itu terus berlangsung hingga jauh malam.
*** Bulan tidak cuma bulat penuh di Bukit Dedemit,
tetapi juga di Perguruan Kemangi Sariadi. Kesibukan
bukan cuma tampak pada Bukit Dedemit, tetapi juga
pada Perguruan Kemangi Sariadi. Bedanya kalau di
Bukit Dedemit penuh dengan keseriusan, di Perguruan
Kemangi Sariadi penuh dengan keramah-tamahan. Ka-
lau di Bukit Dedemit penjagaan sekitar diperketat, ma-ka di Perguruan Kemangi
Sariadi justru longgar karena kebanyakan murid turut serta dalam acara perjamuan
yang diberikan bagi Pendekar Slebor.
Akan tetapi justru karena penjagaan yang longgar
itu, sepasang mata dengan leluasa mengawasi. Khu-
susnya, mata pengintai itu melekat terus pada Pende-
kar Penjaga Langit yang asyik ngobrol dengan Andika.
Mata yang sejak tadi terus mengamatinya. Mata yang
sarat dendam. Mata Patniraga.
Semakin ia mengamati, semakin yakinlah hatinya
bahwa inilah orang yang ia cari. Ingin segera rasanya ia melompat ke hadapan
orang yang menamakan dirinya Pendekar Penjaga Langit itu.
Pendekar Slebor sedang ngobrol dengan Pendekar
Penjaga Langit di pelataran.
Siuuut...! Tiba-tiba sebuah pisau kecil melesat dari balik
rerimbunan pohon. Pendekar Penjaga Langit menarik
sedikit kepalanya ke belakang. Lehernya selamat dari terkaman senjata rahasia
itu, yang selanjutnya menancap di tiang rumah.
Serta-merta Pendekar Penjaga Langit bangkit
bersiaga dan menyapu semua pepohonan yang ada di
depan rumah dengan matanya. Murid-murid pergu-
ruan belum menyadari kejadian tersebut. Mereka tetap
dengan kegiatannya masing-masing.
Andika lebih tangkas berpikir. Ia melihat posisi
pisau yang menancap di tiang dan dapat memperkira-
kan dari mana arah datangnya senjata.
Dari balik rerimbunan Patniraga terperangah me-
lihat perubahan mendadak itu. Telinganya yang terla-
tih memang mendengar gerakan angin lesatan senjata
rahasia tadi. Tapi ia tidak dapat menangkap gerakan si pelempar pisau rahasia
meninggalkan tempat persembunyiannya. Ia cuma melihat Pendekar Slebor melom-
pat dengan ringan ke arah rerimbunan lain yang agak
jauh dari dirinya.
Barulah setelah Pendekar Slebor bergerak demi-
kian, beberapa murid di situ menyadari sesuatu yang
tak beres. "Hei, hei!" teriak salah seorang pada rekan-rekannya. "Ada apa-apa!"
Murid-murid yang lain menengok padanya den-
gan bingung. "Apa-apa bagaimana?"
Yang ditanya gelagapan. Ia melulu tahu Pendekar
Slebor melompat. Lain tidak. Dan menurutnya itu be-
rarti ada apa-apa.
"Anu.... Alah! Pake banyak tanya lagi. Sudah sini semua ngumpul!" Kontan para
murid Perguruan Kemangi Sariadi beranjak mengikuti rekannya itu meng-
hampiri guru mereka.
"Ada apa kalian berkumpul di sini semua, hah"!"
Bentak Pendekar Penjaga Langit. "Cepat menyebar dan waspada!"
Maka mereka pun beranjak kembali ke seluruh
pelataran perguruan sambil mengeluarkan senjata me-
reka. Beberapa orang ngedumel.
Pletak! Pletak! Pletak!
Murid yang memanggil rekan-rekannya berkum-
pul tadi mengusap-usap kepalanya. Sempat-
sempatnya tiga tangan sigap menjitaknya, melam-
piaskan kegemasan.
Andika berjalan gontai keluar dari rerimbunan.
"Aku tak berhasil menemukannya, Pak Tua. Dia
sudah keburu lari."
"Tak apa, Pendekar Slebor," jawabnya sambil berbalik mengambil surat yang
tertancap bersama pisau di tiang. Ia membaca.
"Sejak dari kampung aku telah mengikuti si Patni-
raga. Dia sekarang berada di balik rimbunan dekat pohon Kamboja. Aku tidak mau
menunjukkan diri agar dia tidak tahu keberadaanku, sehingga aku bisa terus
menguntit dengan mudah. Setelah dia mati nanti, aku baru akan bertemu muka
denganmu."
Dari bentuk tulisannya ia segera tahu siapa yang
mengirimkan surat itu.
Patniraga tidak dapat melihat bagaimana terke-
siap darah Pendekar Penjaga Langit membaca surat
tersebut. Dari persembunyiannya ia hanya mampu
memperhatikan bagaimana Pendekar Penjaga Langit
memasukkan surat itu ke balik bajunya dengan amat
tenang. Dan....
Set! Set! Set! Set! Set!
Setengah mati kagetnya Patniraga. Sebisa mung-
kin ia bergulingan ke samping untuk menghindari satu
dari lima senjata rahasia yang tepat mengarah pa-
danya. Dengan menggenjot tenaga dalam dari tangannya
Pendekar Penjaga Langit sengaja mengirim lima senjata rahasianya ke rerimbunan
dekat pohon Kamboja. Ia
yakin dari kelimanya pasti ada salah satu yang menuju ke arah Patniraga dan
mengacau persembunyiannya.
Dugaannya betul.
"Bunuh pembokong pengecut itu!" Perintah Pendekar Penjaga Langit pada murid-
muridnya. Percaya
pada gurunya, mereka berhamburan menyerbu Patni-
raga. Andika mengernyitkan kening menatap Pendekar
Penjaga Langit.
Kepalang sudah ketahuan, Patniraga berdiri dan
melompat ke tengah pelataran mempertunjukkan di-
rinya. Murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi men-
gepungnya rapat.
"Tahan!" seru Andika.
"Apa maksudmu, Pak Tua?" tanya Andika pada
Pendekar Penjaga Langit. "Aku tahu betul dari posisi pisau yang menancap di
tiang tadi, bukan berasal pohon kamboja itu. Jadi bukan orang ini yang membo-
kongmu." "Jangan bercanda, Pendekar Slebor. Tak ada
orang lain di balik rerimbunan sini kecuali si pengecut itu." "Tidak, Pak Tua.
Ketika aku pergi memeriksa, aku masih bisa melihat sekelebat bayangan orang yang
membokongmu melarikan diri."
"Pendekar Slebor, aku tak bermaksud merusak
pertemuan yang penuh keramah-tamahan ini. Tetapi
kita berbeda pendapat. Semuanya gara-gara kehadiran
orang asing ini, yang bermaksud jahat padaku!" jawab Pendekar Penjaga Langit
dengan suara meninggi.
Pendekar Slebor masih mencari kebenaran di ma-
ta Pendekar Penjaga Langit. Ketika ia menoleh, agak
terkejut hatinya.
"Bukankah kamu yang berada di kedai nasi tadi
siang?" tanyanya pada Patniraga.
"Benar. Tetapi aku tidak ada urusan denganmu,
Pendekar Slebor. Aku baru mengenalmu di kedai itu.
Menyingkirlah. Aku cuma punya urusan dengan si Ba-
ringin, orang tua yang kau kenal dengan nama Pende-
kar Penjaga Langit itu. Dia tidak pantas menerima ju-
lukan pendekar karena perilaku jahat yang disembu-
nyikannya."
"Hei, Baringin!" lanjutnya pada Pendekar Penjaga
Langit, "Walaupun kau sekarang menyebut dirimu
Pendekar Penjaga Langit, walaupun kau menumbuh-
kan brewokmu dan memelintangkan kumismu, dan
walaupun pakaianmu sudah sama seperti orang-orang
daerah sini, aku tidak silap. Mataku tidak bisa diperdaya untuk mengenal orang
yang telah membawa ka-
bur uang Raja Sahala dan memperkosa serta membu-
nuh calon istriku."
"Kurang ajar!" Pendekar Penjaga Langit berjalan mendekati Patniraga. ."Siapa
kau" Berani-beraninya kau menuduh orang sembarangan!"
Patniraga membuka kain selempangnya dan
mengikat di pinggang. Golok yang terselip di situ jadi cuma kelihatan gagang
saja serta bagian bawah dari
sarungnya. Semua murid Perguruan Kemangi Sariadi terlon-
go-longo mendengar saling silang bicara antara guru
mereka dan orang asing yang masih belum mereka
kenal tersebut. Pendekar Slebor terus menyimak dan
berpikir. "Jangan berpura-pura, Baringin. Tidak seperti
kau, sama sekali tidak ada yang berubah pada diriku.
Wajahku sama seperti dulu. Pakaianku pun sama.
Namaku juga masih tetap Pendekar Ulos Sakti."
"Kau sudah keterlaluan, Pendekar Ulos Sakti. Se-
bagaimana kasarnya kain-kain yang melilit tubuhmu
itu, begitu rupanya kasar hatimu. Kau orang asing
yang tak tahu diri. Fitnahan ini harus kau bayar den-
gan nyawa mu."
"Minggir semua!" Perintah Pendekar Penjaga Langit pada murid-muridnya.
Para murid Perguruan Kemangi Sariadi menying-
kir dengan harap-harap cemas. Harap-harap, karena
ingin melihat ilmu yang lebih hebat lagi yang akan di-tunjukkan guru mereka.
Maklum, baru hampir seta-
hun mereka bersama-sama guru mereka. Cemas, jan-
gan-jangan ilmu lawan lebih tinggi sehingga mungkin
menewaskan guru mereka.
Pendekar Penjaga Langit menatap dingin Pende-
kar Ulos Sakti. Yang ditatap balas melakukan hal yang sama. "Kaulah yang akan
mati menebus segala dosa-dosamu, Baringin."
Selesai berkata begitu, Pendekar Ulos Sakti ingin
maju menyerang lawannya. Tetapi Pendekar Penjaga
Langit telah mendahului.
"Hiaaa!"
Whassh.... Sebuah pukulan tenaga dalam dilakukan Pende-
kar Penjaga Langit dari jarak jauh. Pendekar Ulos Sakti yang telah siaga segera
melentingkan tubuhnya dari
tanah. Ia bersalto di udara dengan manisnya dan me-
napak di jarak yang makin dekat dengan Pendekar
Penjaga Langit.
"Hiiaaa!"
Whusssh.... Dengan sengaja ingin tidak memberi kesempatan
bernapas pada lawan, Pendekar Penjaga Langit kemba-
li melepas pukulan jarak jauh yang kedua.
Pendekar Ulos Sakti menunjukkan bahwa dirinya
adalah sungguh-sungguh seorang pendekar berilmu
tinggi. Begitu kakinya menyentuh bumi, ia lagi-lagi melentingkan dirinya
menyilang di hadapan Pendekar
Penjaga Langit.
Ctaaar! Bunyi mirip suara cemeti terdengar. Murid-murid
Perguruan Kemangi Sariadi sampai tersentak dan me-
nutup telinga. Gendang telinga mereka seperti mau pe-
cah! Secara refleks Pendekar Slebor menyalurkan te-
naga dalamnya ke kuping untuk menahan suara ter-
sebut. Rupanya saat berada di udara Pendekar Ulos
Sakti melepaskan kain kasar yang melilit di pinggang-
nya dan mengkepretkannya kepada Pendekar Penjaga
Langit. Ia langsung menggunakan serangan yang dah-
syat, melihat Pendekar Penjaga Langit juga tidak tanggung-tanggung mengeluarkan
ilmunya. Akan runyamlah tubuh Pendekar Penjaga Langit
jika tidak cepat-cepat bersalto ke belakang.
Sejenak kedua pendekar yang bertarung itu tegak
dengan kuda-kuda masing-masing.
Ctaaar! Ctaaar! Ctaaar!
Berkali-kali Pendekar Ulos Sakti mengkepretkan
senjata kainnya ke bumi sambil memperhatikan reaksi
lawan. Pendekar Penjaga Langit menahan napas dan
menyalurkan tenaga dalam melindungi gendang telin-
ga. Sebaliknya dengan para murid Perguruan Kemangi
Sariadi itu. Mereka berlarian menjauhkan diri dengan
kedua tangan yang tak lepas dari kuping.
Setiap kain kasar itu menghantam bumi, ber-
hamburanlah tanah meninggalkan lubang sebesar
buah kelapa. Bayangkan jika yang dihantam adalah
tubuh manusia! Debu beterbangan ke arah Pendekar
Penjaga Langit dibantu angin kecil yang ditimbulkan
kepretan. Pendekar Penjaga Langit terpaksa menutup
matanya dan memasang daun telinga baik-baik guna
menangkap setiap gerakan lawan.
Sementara itu Pendekar Ulos Sakti mendekati
Pendekar Penjaga Langit. Ia sudah siap dengan puku-
lan tangan kiri.
Whesssh! Kibasan tangannya menerpa kekosongan. Pende-


Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kar Penjaga Langit telah meloncat menghindar. Sebe-
lum mendarat di belakang Pendekar Ulos Sakti, ia me-
nendang ke belakang dengan sasaran kepala lawan-
nya. Pendekar Ulos Sakti menelengkan kepalanya se-
dikit dan dengan gerakan memutar ia mencoba memu-
kul kaki itu dengan tangan kiri untuk menggoyahkan
keseimbangan Pendekar Penjaga Langit.
Pendekar Penjaga Langit menarik kakinya dan
merangsek masuk. Maka pertarungan jarak dekat pun
tidak dapat tidak terjadi. Ini merupakan strategi yang dipasangnya, berhubung ia
memperkirakan akan sangat kerepotan dengan senjata selempang kain Pende-
kar Ulos Sakti bila meladeni dalam jarak jauh.
Jurus-jurus kelas tinggi dilewati satu demi satu.
Gerakan-gerakan mereka pun sedemikian cepat se-
hingga hanya bayangan mereka saja yang tampak.
Andika yang sejak tadi memikirkan, mulai mena-
ruh curiga pada Pendekar Penjaga Langit. Kenalan ba-
runya ini sejak dari kedai nasi memang sudah tidak
disukainya. Coba, baru bertemu dan kenal sudah
mengumbar pujian yang selangit.
Memang sih, tidak salah memuji orang. Tetapi
kalau berlebihan, kan orang juga berpikir. Jangan-
jangan ada maksud yang kurang baik. Andika belum
tahu 'udang di balik batu'nya. Cuma saja, ia jadi mera-sa bahwa apa yang
dituduhkan Pendekar Ulos Sakti
boleh jadi benar. Mungkin saja Pendekar Penjaga Lan-
git ini adalah pelarian yang menyamar dan berpura-
pura baik. Apalagi Andika begitu yakin, bukan Pendekar
Ulos Sakti yang membokong dengan senjata raha-
sianya. Ia betul-betul memergoki kelebatan bayang
orang yang melarikan diri di balik rerimbunan sana.
Lalu apa isi surat yang dibaca Pendekar Penjaga
Langit tadi" Mengapa ia tidak memberitahukan isi su-
rat itu padanya atau murid-muridnya, dan tiba-tiba ia tahu harus melepas lima
senjata rahasianya ke rerim-
bunan dekat pohon Kamboja" Dari mana ia tahu bah-
wa Pendekar Ulos Sakti bersembunyi di sana" Itulah
pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di otaknya.
Andika belum menemukan jawaban secara pasti.
Tetapi jelas, ini ada suatu permainan!
"Terus..., terus.... Ya, sikat!" suara Andika tiba-tiba. "Goo, salah. Harusnya
totok urat ketawanya, tub!
Baru modar!"
"Salah, salah, Pendekar Penjaga Langit! Bukan
begitu jurusnya." Andika nyerocos terus dengan konyol. "Begini, nih. Lihat, ya.
Hup..., hup...." Andika lalu mendemonstrasikan sendiri jurus-jurusnya. Sayang-
nya, jurus-jurus itu adalah jurus-jurus silat tingkat dasar. Lagaknya mirip guru
silat kampung yang sedang mengajar muridnya.
"Dan kamu, Pendekar Ulos Sakti, kamu juga sa-
lah. Mudah sekali nanti lawan memapakmu. Lihat,
nih, begini. Hup..., hup...." Kembali Andika memper-tontonkan jurus-jurus
blo'onnya. Kedua pendekar yang sedang mati-matian itu
menghentikan pertarungan mereka.
Andika segera menyelesaikan gerakan-gerakan
yang dipertontonkannya.
"Nah, kalau begitu kan bagus...," katanya bermaksud menunjuk kepada jurus-jurus
konyolnya. Air muka Pendekar Penjaga Langit sangat tidak
senang. Ia tidak senang ada orang lain yang meng-
ganggu urusannya. Terlebih ia merasa baru saja mulai
dapat mendesak lawan dan melihat secercah harapan
untuk menang. "Apa maksudmu, Pendekar Slebor" Kami sedang
punya urusan!" kata Pendekar Penjaga Langit dengan berang.
"Kalian bertarung terus," Andika meneruskan perkataannya. "Barangkali baru
berhenti jika sudah
ada salah satu dari kalian berdua yang tewas. Akan tetapi sebab-musababnya
sendiri belum jelas."
"Tidak, Pendekar Slebor. Aku kenal betul...," belum lagi Pendekar Ulos Sakti
selesai berbicara.
Beg! "Aaakh!"
Tubuh Pendekar Ulos Sakti tiba-tiba terpental
beberapa tongkat ke belakang. Sebuah pukulan jarak
jauh Pendekar Penjaga Langit tiba-tiba mengenai da-
danya. Pukulan itu demikian telak karena ia menggu-
nakan kesempatan selagi Pendekar Ulos Sakti tidak
waspada. Benar-benar suatu tindakan yang tidak ter-
puji! Pendekar Ulos Sakti terjengkang dengan luka dalam yang parah. Tapi ia
berusaha bangun lagi. Pende-
kar Penjaga Langit sudah akan mengirim pukulan ja-
rak jauhnya kembali, dan lawannya hampir bisa dipas-
tikan tidak bisa menghindarkan diri. Ia meluruskan
tangan kanannya tegak ke langit. Tampaknya yang ke-
dua ini merupakan pukulan pamungkas dan akan
mengakhiri hidup Pendekar Ulos Sakti.
"Hiiiaaa!"
Pendekar Penjaga Langit melepaskan pukulan-
nya. Matilah Pendekar Ulos Sakti!
Oh... tidak, tidak. Malah Pendekar Penjaga Langit
sekarang yang terjengkang. Gantian. Dan Pendekar
Slebor tampak terhuyung-huyung beberapa langkah
mundur lalu jatuh terduduk.
Melihat Pendekar Ulos Sakti sudah tidak berdaya
lagi, rupanya Andika cepat-cepat melompat ke tengah
serta menahan pukulan Pendekar Penjaga Langit. Ia
telah merasakan kedahsyatan pukulan kenalan ba-
runya, yang didahului dengan menegak-luruskan tan-
gannya ke langit. Berarti pendekar ini benar-benar tidak bisa dianggap enteng.
Tetapi tujuan Andika bukan untuk melawan Pen-
dekar Penjaga Langit. Lagi pula ia belum mengetahui
duduk perkaranya secara jelas. Maka ia langsung
bangkit menghampiri Pendekar Ulos Sakti. Digotong-
nya, kemudian melompat serta menghilang di kegela-
pan malam. Pendekar Penjaga Langit yang sudah duduk
hanya terpana menyaksikan tindakan tamu yang baru
dijamunya itu. "
*** 4 "Sekarang tahanlah untuk tetap duduk begini,"
kata Andika pada Patniraga yang sedang mengalami
luka dalam yang parah. "Aku akan menolong penyem-buhan lukamu."
Lalu Andika duduk bersila di belakang Patniraga.
Ia menyilangkan kedua tangannya dimuka untuk ber-
konsentrasi sejenak.
Set! Set! Set! Tangannya bergerak cepat.
Plak! Plak! Kedua telapak tangannya menempel
pada punggung Patniraga.
"Hhh...."
Andika menghembuskan napasnya dengan berat
tatkala ia mulai menyalurkan tenaganya ke dalam tu-
buh Patniraga. Detik demi detik berlalu. Keduanya memejamkan
mata. Asap putih tipis mulai mengepul dari kedua tan-
gan Andika. Makin lama makin tebal. Wajah dan dada
Andika pun basah dengan keringat. Hingga Patniraga
mengejang dan menjerit kesakitan.
"Aaakh!"
Tubuh Patniraga terkulai. Ia tak sadarkan diri.
Andika membujurkannya telentang dan menutup da-
danya dengan kain kotak-kotaknya. Kain kasar milik
Patniraga diletakkannya di samping.
Matahari menjelang pada puncaknya tatkala Pat-
niraga siuman. "Dimana aku?" tanyanya begitu siuman.
"Ssst! Tenang, tenang. Kamu berada di tempat
yang aman," jawab Andika seraya membantunya du-
duk. Patniraga masih celingak-celinguk kesana kemari.
"Dan masih berada di dunia, kok," lanjut Andika cengangas-cengingis karena
memperhatikan tingkah
laku Patniraga.
"Kau yang menolongku?"
"Nggak. Tadi ada malaikat lewat yang menolong-
mu." Patniraga menatap Andika sejenak.
"Oya, kau yang menolongku," kata Patniraga persis orang yang sembuh dari sakit
ingatan. "Terima kasih, Kawan."
"Panggil saja aku Andika."
"Kalau begitu, aku juga. Panggil saja aku dengan Patniraga."
"Ah, sudahlah. Nanti kalau aku kemalangan, gili-ranmu yang menolongku. Iya, kan"
Hehehe.... Sudah-
lah. Minumlah dulu. Nih...," kata Andika mengulurkan minuman.
Kemudian Andika memberinya makanan dan
membiarkannya menyantap dengan lahap.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Andika setelah Patniraga selesai makan.
"Rasanya segar dan kuat."
Keduanya lalu tersenyum.
"Boleh aku bertanya, Ga?"
Patniraga menghela napas.
"Sudah dua tahun aku mencari-carinya...," jawab Patniraga seolah telah tahu apa
yang akan ditanya Andika. Ia menceritakan semua dengan panjang lebar.
"Begitulah. Aku mengetahui bahwa pelakunya adalah si Baringin. Ibu Ulima yang
memberitahukan padaku.
Sebenarnya si Baringin sudah lama menginginkan
Ulima menjadi istrinya. Namun Ulima tidak mau, Ia
sudah telanjur mencintaiku, dan memilih aku menjadi
calon suaminya."
"Lalu aku mengajak ibu Ulima dan menumpahkan
segala kesedihanku di atas tanah kubur Ulima. Aku
sama sekali tak menyangka akan begitu akhir seluruh
harapan kami."
Andika tertunduk dalam merasakan betapa pe-
dihnya ditinggalkan kekasih demikian tragis. Diperko-
sa dan dibunuh!
"Laki-laki itu laknat sejati! Ia pantas menerima hukuman dengan kematian." Tak
sadar Andika berkata sendiri.
"Masih dengan kesedihan mendalam aku harus
melapor tentang pelaksanaan tugasku pada Raja Saha-
la. Kau tahu" Di istana, beliau mengatakan bahwa si
Baringin keparat itu sudah mencuri uang kerajaan.
Korupsi, An!"
Jadi, ia telah membuat rencana rapi terlebih da-
hulu. Selain korupsi, ia bermaksud melampiaskan
keinginannya yang tak tercapai pada Ulima. Bagi dia
mungkin, lebih baik wanita yang di inginkannya dibu-
nuh dari pada menjadi milik orang lain."
"Dasar laknat biadab!" maki Andika" sebrengsek-brengseknya aku dulu sebagai
pencopet, tak pernah
terlintas di otakku pikiran sejahat itu."
Keduanya lalu diam terhanyut dengan perasaan-
nya masing-masing.
"Ngomong-ngomong, kamu belum memberitahu-
kan asalmu, Ga." Andika memutus hening.
"Aku dari tanah Toba, An. Dari daerah dalam ke-
rajaan Raja Sahala".
"Oh, ya. Sesudah itu Raja Sahala memerintahkan
aku untuk pergi mencari dan menghukum si Baringin.
Beliau memberi bekal lebih dari cukup. Hanya saja,
aku tidak boleh kembali sebelum berhasil membunuh
si Baringin."
"Dari mana kamu tahu kalau Pendekar Penjaga
Langit itu adalah si Baringin yang kamu maksud?"
"Dia adalah pejabat istana, An. Aku sendiri sebenarnya cuma pendekar yang sering
diminta bantuan
oleh raja guna melakukan tugas tertentu. Aku sering
keluar masuk istana dan mengenal si Baringin. Tidak
jarang kami juga berbicara berdua. Jadi, aku mengenal betul tampangnya. Aku
masih ingat sampai kini bagaimana tebal alisnya, bentuk hidungnya, garis-garis
di dahinya serta lekuk-lekuk di wajahnya."
"Ah, masa'..." Suka gitu...," pancing Andika dengan gaya bercanda. "Nuduh orang
tanpa tahu pasti, dosa lho...."
"Aku kenal pasti. An!" jawab Patniraga tegas.
"Dia tidak punya saudara kembar. Itu juga aku
tahu pasti!"
"Atau mungkin Pendekar Penjaga Langit cuma mi-
rip-mirip dengan si Baringin." Andika terus menyelidik.
"Baiklah, kalau kau kurang percaya."
"Tidak. Bukan itu maksudku. Aku cuma mau tahu
seberapa pastinya kau kenal Pendekar Penjaga Langit
itu orang yang membunuh calon istrimu."
"Kau tentu melihat bagaimana dia memukulku
dengan pukulan jarak jauhnya. Itu ciri khasnya. Ba-
nyak mengandalkan pukulan jarak jauh."
"Dan kau tahu An, sewaktu dia hendak memukul-
ku yang kedua kalinya, dia menegakkan tangan ka-
nannya ke langit, bukan" Itu adalah pukulan yang
cuma dimiliki si Baringin. Namanya pukulan 'Tenaga
Langit'. Menurutnya ia mengambil kekuatan dari langit untuk kemudian
menggunakannya memukul lawan."
Andika manggut-manggut. Sekarang ia baru per-
caya dengan pernyataan Patniraga.
"Sejak berkenalan, aku memang sudah menyang-
sikan Pendekar Penjaga Langit. Aku sudah menduga
bahwa kebaikan yang dikatakan bapak pemilik kedai
nasi kemarin siang adalah palsu."
"Benar. Kukira ia memang sengaja menutupi ke-
busukannya dengan menunjukkan kebaikan-kebaikan
pada masyarakat." _ "Lalu bagaimana rencanamu sekarang, Ga?"
"Aku akan mempersiapkan diri kembali untuk,
bertarung ulang dengannya."
"Maksudmu?"
"Dalam pertarungan kemarin aku sudah terdesak.
Ternyata ilmu silatku masih sedikit di bawah dia. Ka-
renanya aku ingin berlatih lagi untuk meningkatkan
ilmuku." "Aku mendukung, Ga."


Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, An. Tapi biarkan aku sendiri yang bertarung dengannya."
"Tentu. Tapi ada lagi yang mau kutanyakan."
"Apa itu?"
"Kau tahu siapa orang yang mengirim surat den-
gan melemparkannya bersama senjata rahasia kepada
Pendekar Penjaga Langit?"
"Begini. Dalam perjalananku sebelum ini aku telah merasa dibuntuti oleh
seseorang. Pernah aku memer-gokinya. Sayang, dia cepat sekali melarikan diri."
"Iya. Sewaktu aku memeriksa ke balik rerimbunan
itu juga cepat sekali dia menghilang. Aku Cuma sem-
pat melihat bayangannya saja. Seperti hantu."
"Dari situ, aku punya dugaan bahwa orang itu
adalah adik si Baringin. Namanya Togap. Di daerahku
dia terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
sempurna."
"Ooo.. aku tau sekarang!" potong Andika. Ia segera mengerti. "Pantas saja
Pendekar Penjaga Langit langsung tahu tempat persembunyianmu dan melempar
senjata rahasia. Jadi dialah yang memberitahukan ke-
beradaanmu pada Pendekar Penjaga Langit. Itu sebab-
nya juga ia seperti merahasiakan isi suratnya. Ya.. ya..
Aku mengerti sekarang."
"Akupun makin yakin sekarang, si Togaplah yang
membuntutiku. Kemungkinan besar malah dari kebe-
rangkatanku ia sudah melakukannya."
"Wah, wah, wah. Kurang kerjaan itu orang. Dua
tahun membuntutimu" Ck,ck, ck...."
"Tidak usah heran. Mungkin ia memperoleh uang
jasa yang lumayan dari abangnya. Korupsi yang dila-
kukan abangnya besar lho, An."
"Fuih! Boleh juga dong kalau kubunuh si Togap.
Siapa tahu aku dapat menggantikan tugasnya. Kan,
lumayan." "Dasar kau!"
Andika terbahak-bahak.
*** Beberapa hari telah berlalu.
Andika dan Patniraga sedang berjalan dengan san-
tainya menyusuri sungai kecil yang jernih tempat me-
reka mandi tadi. Pagi terasa hangat karena cerah di
langit. "Pagi seperti ini enak sekali. Langit biru tak ada awan. Matahari sepuas-puasnya
menyiram kita," kata Patniraga.
"He-eh. Juga baik untuk kesehatan tubuh kita."
"Aku heran pada orang-orang dari golongan hitam.
Mereka lebih banyak yang berlatih silat pada malam
hari. Kan, lebih baik kalau pagi-pagi."
"Memangnya kamu sudah menyelidiki, apa?"
"Jangan menghina, ya. Di daerahku juga ada ali-
ran hitam."
"Hehehe. Namanya juga hitam. Gelap. Ya, maunya
yang gelap-gelap."
"Apa tidak cepat keropos itu badan latihan malam-malam."
"Mereka bisa mempelajari ilmu yang memperpan-
jang umur serta menjaga awet muda, kok."
"Benar juga ya."
"Ya. Awet muda, sehingga bisa mencari daun mu-
da terus."
"Kambing apa?" tanggap Patniraga mesem.
"Mereka memang semua kambing-kambing kok.
Kalau tidak begitu, kenapa mereka selalu bikin onar dan berbuat jahat?"
"Dan kita cuma kebagian sisa-sisanya saja, ya."
"Kalau itu, sih, nggaklah ya. Nggak bakatan aku mau sisa-sisa kambing," jawab
Andika lalu beer he-hehe.
"Ssst!" kata Patniraga menyuruh Andika menghentikan tawanya. "Aku mendengar
jeritan wanita."
Andika ikut-ikutan memasang telinganya baik-
baik. "Ah, aku tidak mendengar apa-apa," kata Andika.
"Ssst! Aku mendengarnya lagi." Andika menautkan alis. "Ayo turuti aku," kata
Patniraga lalu melesat ke
arah datangnya suara yang didengarnya.
Tidak lama kemudian keduanya menemukan sua-
ra itu berasal dari seorang wanita yang hendak digaga-hi. Wanita itu tidak
berdaya sama sekali. Sepertinya ia telah ditotok sehingga tidak dapat
mcnggerakkan anggota tubuh yang mana pun. Laki-laki itu memper-
mainkan si wanita sambil tertawa-tawa senang.
"Binatang!" teriak Patniraga ketika menyerbu.
Laki-laki itu terpaksa membuang tubuhnya ke
samping lalu bergulingan di tanah untuk menjaga
pundaknya tidak terkena tangan kosong Patniraga.
Dengan lentur ia segera bangkit dan bersikap siaga.
"Heh, Bocah! Kamu kurang ajar sekali. Masa tidak ada yang mengajarmu untuk tidak
mencampuri urusan orang?"
Mendengar ucehan itu, darah Patniraga makin
mendidih. Tanpa pikir panjang lagi ia menyerang den-
gan beringas. Kemarahannya meluap-luap. Entah ke-
napa sekonyong-konyong ia menjadi dirasuki nafsu
membunuh laki-laki ini. Ternyata tidak mudah bagi
Patniraga untuk melampiaskan kemarahannya. Meski-
pun ia telah menyerang tanpa ampun dan tanpa mem-
beri kesempatan lawan bernafas, tetap saja lawannya
bisa meloncat kesana kemari serta menangkis pukulan
dan tendangannya.
"Hati-hati, Ga. Kendalikan dirimu!" teriak Andika setelah memperhatikan sobatnya
begitu emosi. Beg! "Ugh!"
Selesai Andika memperingatkan Patniraga, apa
yang dicemaskannya langsung terjadi. Ketika Patniraga maju dan memukul dengan
kedua tangannya ke dada
maupun kepala lawan, laki-laki itu berkelit se-dikit
dan menghujamkan pukulannya ke punggung Patnira-
ga. Pukulan itu tidak diberikan dengan tenaga mak-
simum, namun Patniraga cukup merasakan sakit aki-
batnya. Ia bergulingan dan bangkit pula. Dadanya te-
rasa sesak. Di pinggir bibirnya terdapat segaris darah yang keluar dari mulut.
Laki-laki itu tak bergerak. Biasanya dalam kea-
daan yang demikian, yang terpukul akan menerima se-
rangan kembali.
Ia cuma menoleh pada Andika.
"Kamu rupanya, Pendekar Slebor."
"Hallo, Biludak Tengik," sapa Andika seolah sedang bertemu dengan sobat lama.
Tiga kata sapaan itu saja yang sempat disimak la-
ki-laki bernama Biludak Tengik tersebut. Selebihnya ia sudah kerepotan
menghadapi serangan Andika.
Baru tiga jurus serangannya, Patniraga sudah ber-
teriak. "Biarkan aku yang meladeninya, Andika."
Andika menghentikan pukulan-pukulannya.
"Silakan, Ga. Dengan senang hati." Andika mem-bungkuk sedikit sambil
mempersilakan dengan tan-
gannya. "Manusia bau tengik ini tidak terlalu sulit, kok. Jangan cepat-cepat
kamu habisi. Main-mainkan
saja dulu, sebagaimana tadi dia mempermainkan wani-
ta yang tak berdaya."
Patniraga memegang kain kasar senjatanya.
"Heh, Biludak Tengik! Aku adalah Pendekar Ulos
Sakti. Kau akan segera merasakan pembalasan dari
ulosku ini atas perbuatanmu."
"Huahahaha.... Dengar dulu. Aku tidak punya
urusan denganmu, Pendekar Kain! Aku punya urusan
dengan Pendekar Slebor. Beri aku kesempatan bicara
dengannya."
Patniraga yang telah siap untuk mengkepretkan ulos-
nya tertegun dan melihat kepada Andika. Ada apa ge-
rangan" Patniraga membatin.
"Hei, Pendekar Slebor," lanjut Biludak Tengik.
"Sudah lama kami tokoh-tokoh golongan hitam tidak mendengar kemunculanmu. Ke
mana saja kamu?"
"Itu bukan urusanmu," jawab Andika.
"Huahahaha.... Baiklah. Itu bukan urusanku. Te-
tapi sekarang aku telah berhasil memancingmu keluar
dari persembunyian rupanya. Jangan heran jikalau
nanti kamu mendengar terjadi keonaran di mana-
mana. Itu memang kami lakukan untuk memancing
kemunculanmu. Ketahuilah bahwa kami para tokoh
aliran hitam telah bersatu untuk membunuhmu! Dan
setelah kita bertemu sekarang, aku rasa tidak lama la-gi kami akan mengirim
tantangan padamu untuk ber-
tarung." Agak terkesiap juga Andika mendengar perkataan
Biludak Tengik. Namun itu cuma satu detik.
"Waduh, hebat juga aku, ya," kata Andika seolah-olah kepada dirinya. "Hingga
para tokoh aliran sesat harus bersatu untuk melawanku." Perkataannya sangat
bernada mengejek.
"Kurang ajar kamu! Jangan menyebut kami den-
gan 'sesat'!"
"Memang sesat!" kata Patniraga tidak kalah keras. "Kalau tidak sesat, kenapa
sampai membuat keonaran" Kalau tidak sesat kenapa sampai kau tega
hendak menggagahi wanita ini"
"Jangan ikut-ikutan kamu, Bocah!" ejek Biludak Tengik.
"Hei, Biludak Tengik yang sombong!" sergah Andika sebelum Patniraga menjawab.
"Mengenai tantangan kalian, itu soal nanti. Tetapi sekarang kamu harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu."
Mendengar perkataan Andika, Patniraga segera
mengkepretkan ulos saktinya ke arah Biludak Tengik.
Ctaaar! Biludak Tengik menghindar ke kiri.
"Akh!" jeritnya kecil sambil meringis. Kedua tangannya menutup kuping yang
berdenyut-denyut. Sama
sekali tidak disangkanya suara kepretan ulos Patniraga begitu dahsyat. Beruntung
dia memiliki kepandaian silat yang tinggi, sehingga tidak mengalami akibat yang
fatal. Wanita malang yang masih telentang tak berdaya itu juga menjerit bersama
Biludak Tengik. Bedanya,
wanita ini menjerit lebih keras. Pengaruh suara kepretan itu lebih menyakitkan
bagi telinganya.
Ctaaar! Patniraga menyerang Biludak Tengik dengan ke-
pretan berikutnya. Biludak Tengik meloncat sejauh-
jauhnya agar dia mendapat kesempatan yang cukup
guna menyalurkan tenaga dalam melindungi gendang
pendengarannya.
Sementara itu Andika cepat-cepat bergerak ke
arah si wanita malang yang menjerit lagi. Sebelum
membebaskannya dari totokan Biludak Tengik, baru-
lah Andika sadar akan kecantikan wanita itu.
"Pantas saja Biludak Tengik tergiur," batin Andika. Walaupun si wanita sedang
meringis kesakitan,
ia tetap terpesona mengagumi keindahan salah satu
ciptaan Tuhan di jagat raya ini.
Ctaaar! Si wanita menjerit lagi.
Barulah Andika sadar akan ketololannya. Mak-
lumlah, laki-laki. Segera dibukanya totokan Biludak
Tengik, membangunkannya duduk, dan menekap ke-
dua telinga si wanita.
Sebenarnya Andika bisa saja menyalurkan tenaga
dalam untuk melindungi gendang pendengaran si wa-
nita belaka. Tetapi, kok, ia khawatir jangan-jangan tidak cukup. Ia lebih
percaya dengan menekap terus te-
linga si wanita, sehingga tak satu pun gelombang sua-
ra dapat masuk.
"Lagi pula lebih enak begini," katanya dalam hati.
Pikirannya yang nakal terbit.
Karena wajah mereka berhadap-hadapan dan cu-
kup dekat, tak urung si wanita memandang juga pada
Andika. "Hai...," sapa Andika.
Tentu saja si wanita tidak mendengar apa-apa.
Cuma melihat gerak mulut Andika yang disertai den-
gan senyum nakal wajahnya yang tampan, wanita itu
tertunduk merona. Rasanya ia ingin berontak karena
jengah. "Tapi bagaimana" Aku memang membutuhkan
perlindungan tangan laki-laki ini," benaknya.
Dan itu berarti Andika dapat puas-puas meman-
dangi kecantikan wajahnya.
*** 5 Desa Tulodong berada di sebelah utara. Sampai
hari ini dikenal sebagai desa yang aman tentram. Wa-
laupun penduduknya hidup lebih sederhana dibanding
kebanyakan desa-desa lain, namun mereka hampir ti-
dak pernah mengalami gangguan yang berarti Kehidu-
pan bertetangga berlangsung dengan baik. Praktek go-
tong-royong masih amat kental.
Kepala desanya, Pradana Wesa, dikenal hingga ke de-
sa-desa yang jauh karena kepemimpinannya yang arif
dan bijaksana. Sikap hidupnya yang sederhana pun
menjadi teladan bagi rakyat yang dipimpinnya. Bahkan
Prabu Bratasena sekali waktu pernah menawarkan
padanya sebuah jabatan dalam kerajaan. Tak mungkin
Prabu Bratasena menawarkan jika tidak melihat bukti
kepemimpinan Pradana Wesa.
Akan tetapi justru desa seperti inilah yang menja-
di sasaran Malaikat Siluman bersama istrinya, Nyi
Bengis. Sengaja mereka berdua memilih desa Tulodong
serta mengajak para pengikutnya untuk mengacau. Ji-
ka desa yang terkenal paling aman tentram mereka po-
rak-porandakan, pasti kabarnya akan cepat meluas.
Harapan mereka, akan cepat pula terdengar oleh Pen-
dekar Slebor sehingga ia muncul.
Begitu memasuki mulut desa mereka sudah me-
nunjukkan kekejaman khasnya. Setiap laki-laki dewa-
sa yang mereka jumpai pasti celaka. Boleh dikata, sa-
saran mereka adalah semua laki-laki dewasa di desa
Tulodong. Yang di halaman disikat. Yang berada di da-
lam rumah dikejar.
Kegemparan tiba-tiba merebak. Para ibu serta
anak-anak perempuan dewasa menjerit-jerit dan me-


Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nangisi suami atau ayah mereka yang dibunuh secara
mengenaskan. Anak-anak kecil menangis ketakutan.
Bayi-bayi ikut-ikutan meraung karena mendengar
riuh-rendah antara jeritan dan tangisan di sekitar mereka. Bagaimanakah
menggambarkan keadaan ini seca-
ra lengkap" Sulit. Kengerian! Hanya kengerian belaka
yang tampak. Jika ada orang yang mungkin melihat
peristiwa ini dari kejauhan, barangkali bulu kuduknya akan berdiri. Terlebih
lagi jika melihat ketidakber-dayaan orang-orang sederhana macam mereka ditin-
das oleh kekuatan manusia-manusia tanpa hati.
Tak usah menggeleng-gelengkan kepala. Ketidaka-
dilan, penindasan maupun penganiayaan yang mirip
dengan kejadian di desa Tulodong tersebut hingga kini masih berlangsung. Hanya
mungkin bentuknya saja
yang lain. Kalau dulu dilakukan dengan kekuatan, se-
karang lebih banyak dilakukan dengan kekuasaan.
Baik kekuasaan birokrasi maupun kekuasaan dalam
ekonomi. Barangkali pula sampai dunia kiamat dan
suatu zaman baru datang, hal-hal seperti di atas baru berhenti.
Malaikat Siluman dan Nyi Bengis tertawa-tawa sa-
ja melihat nyawa-nyawa melayang sia-sia di tangan pa-
ra pengikutnya. Bahkan kemudian mereka menerjang
masuk ke dalam rumah Pradana Wesa, lalu membu-
nuh seluruh anggota keluarga!
Mau rasanya berteriak sekeras-kerasnya ke langit
melihat itu semua. Tetapi seperti para ibu dan wanita lainnya yang juga
melakukan hal yang sama, hal itu
tidak memberikan perubahan apa-apa. Para pengikut
Malaikat Siluman dan Nyi Bengis tidak sedikit pun
menunjukkan belas kasihan. Perikemanusiaan mereka
telah hilang direnggut oleh Iblis!
Golok dan bumi telah basah oleh darah. Manusia-
manusia tak berdosa telah mati dengan konyol oleh
nafsu kebinatangan sepasang suami-istri aliran sesat
itu. Mereka mati sebagai umpan, sekaligus tumbal!
Hanya karena mereka menginginkan kemunculan Pen-
dekar Slebor yang telah lama tak ada kabar sepak ter-
jangnya lagi. Hanya karena mereka ingin menakluk-
kannya, sekaligus menjadi yang terbesar dan berkuasa
kembali dalam rimba persilatan.
Asal tahu saja! Desa Tulodong bukan satu-
satunya yang mengalami petaka begini. Desa Tambak
Sari di selatan, desa Lebak Lestari di timur, desa Sentul Reja di barat dan
beberapa desa lainnya juga meradang dan menggelepar-gelepar dianiaya oleh tokoh-
tokoh sesat persilatan yang lain. Jelas, sudah mereka
rencanakan untuk mengacau di seluruh penjuru an-
gin! Setelah puas, sebelum meninggalkan desa, para
tokoh sesat itu selalu berkata,
"Kami mencari Pendekar Slebor. Beritahukan pa-
danya!" Tetapi tangisan dan jeritan tidak terhenti sejenak
pun untuk mendengar perkataan itu. Bahkan bebera-
pa ibu menjawab dengan sumpah serapah tidak ka-
ruan di tengah-tengah isakan. Sesudah itu mereka
bertumbangan pingsan di atas tubuh suami mereka
karena tiba-tiba melihat ketiadaan pengharapan.
Terus menangis, menjerit, dan pingsan, hingga
malam datang dan matahari terbit kembali.
*** Setelah sebentar terdesak oleh serangan-serangan
kepretan ulos yang merepotkannya, Biludak Tengik
melakukan cara yang sama dengan Pendekar Penjaga
Langit menghadapi Patniraga. Ia melakukan pertarun-
gan jarak dekat.
Berpuluh-puluh jurus berlalu tanpa tanda-tanda
salah satunya ada yang akan menang. Andika sejak
tadi turut menonton bersama si wanita. Tangan Andika
telah mulai terasa pegal menekap kupingnya. Tapi,
ya..., namanya juga Pendekar Slebor. Sehari semalam
pun dia betah disuruh begitu.
Entah karena iseng karena dari tadi tidak bisa bi-
cara, atau karena bosan menonton pertarungan Pen-
dekar Ulos Sakti dan Biludak Tengik yang tak kunjung
usai, Andika melepaskan tangannya. Tapi sebentar sa-
ja! Bisa-bisa dia menjerit kesakitan lagi di depan kuping Andika.
"Siapa namamu, Dik?" tanya Andika lalu kedua
tangannya kembali menekap. Yakin saja dia kalau wa-
nita itu lebih muda darinya.
"Mirah...." malu-malu.
Dilepaskannya lagi tangannya.
"Mirah tinggal di mana?" Ditekap lagi.
"Di desa Sentul Reja."
Dilepas lagi. "Boleh tidak aku mengatakan sesuatu?" Ditekap lagi. "Apa?"
"Kamu.... Ng, anu..., ng.... Apa, ya" Ng...." Andika ingin mengatakan bahwa
Mirah cantik sekali. Tetapi ia sendiri ragu apakah yang ingin dikatakannya itu
akan kedengaran gombal atau tidak. Wong baru kenalan,
kok. "Apaan, sih" Ngomong aja kok susah."
"Anu, ng...."
Ctaaar! Mirah menjerit. Andika refleks menekap kembali
telinganya. Refleks pula Mirah menarik kepalanya yang ia surukkan ke dada Andika
ketika menjerit.
Mirah membuang mukanya yang dijalari hangat
ke kiri untuk menjaga agar Andika tidak melihat ka-
lau-kalau wajahnya memerah. Andika membuang mu-
kanya ke kanan untuk menjaga agar Mirah tidak meli-
hat senyum senangnya.
Setelah semuanya itu reda, Andika dan Mirah
mengusir perasaan salah tingkah dengan menonton
kembali pertarungan Patniraga. Sobatnya itu didapa-
tinya belum kunjung dapat mendesak Biludak Tengik.
Tidak berapa lama, terbit gagasan di kepala Andika
tentang serangan-serangan Patniraga.
"Hindari pertarungan jarak dekat, Ga!" teriaknya.
Patniraga mendengar. Namun ia tidak segera me-
nurut. Diambilnya posisi bertahan sambil mempertim-
bangkan saran Andika. Setelah berpikir ada baiknya ia mencoba, barulah Patniraga
mulai merenggangkan jarak.
Jarak renggang ternyata membuat Patniraga dapat
lebih sering menggunakan senjata ulosnya. Makin ser-
ing ia menggunakan, makin keteteran Biludak Tengik.
Ctaaar! Ctaaar!
Suara kepretan ulos Patniraga membahana.
Benarlah jika dikatakan Biludak Tengik sekarang
sudah terdesak. Konsentrasinya betul-betul terpecah.
Di satu pihak ia harus menyalurkan tenaga dalam gu-
na menjaga gendang pendengaran, di pihak lain ia ha-
rus memperhatikan serangan-serangan Patniraga yang
datangnya bertubi-tubi.
Biludak Tengik sudah berusaha menghindar sebi-
sa mungkin. Tetapi akhirnya, sebuah pukulan tipuan
dari Patniraga dengan tenaga penuh mengenai tepat di
dahinya. Ia terjajar. Kepalanya serasa mau pecah. Du-
nia di sekitarnya berubah menjadi berwarna jingga te-
maram. Segalanya berwarna kuning!
Nalurinya sebagai seorang yang telah banyak ma-
kan asam garam dalam bertarung mengatakan bahaya
yang mengancam nyawanya segera akan datang. Ref-
leks ia membuang diri ke samping.
Ctaaar! Benarlah apa yang diduganya. Kepretan Patniraga
mengenai tempat kosong. Tetapi tak cukup sebegitu
saja. Patniraga terus memburu. Kali ini Biludak Tengik tidak sempat berbuat
lebih jauh. "Aaakh!" teriaknya keras. Ulos Patniraga menghantam punggungnya.
Tubuh Biludak Tengik terlempar tiga tombak ba-
gai karung beras. Ia cuma mengejang sedikit lalu tidak bergerak lagi.
Patniraga menghela napas.
"Kau telah membayar lunas perbuatanmu, Bilu-
dak Tengik."
Andika berpura-pura melongo menatap badan Bi-
ludak Tengik yang remuk terkena hantaman ulos sakti
Patniraga. Ia terus saja menekap kuping Mirah.
"Sudah, dong," kata Mirah pelan.
"Eh,.... Oh iya. Jadi keterusan. Maaf, ya. Habis aku terkagum-kagum pada
kehebatan ulos si Patniraga." "Nggak apa. Terima kasih, ya."
"Ah. Mungkin aku yang harus berterima kasih."
"Maksudmu?" Mata Mirah sudah mau melotot.
"Eh, nggak, nggak...," jawab Andika mengangkat kedua telapak tangannya kepada
Mirah. Takut diapa-apakan olehnya. "Maksudku aku berterima kasih pada si
Patniraga yang telah berhasil mengatasi Biludak
Tengik. Soalnya kalau melihat ilmu Biludak Tengik,
wah..., aku bisa kewalahan menghadapi."
"Oh, begitu."
"Iya. Begitu...," kata Andika sambil memalingkan muka, menahan senyum. Tetapi
anehnya, Mirah juga
menahan senyum.
Mirah adalah sosok wanita yang boleh dibilang
tinggi, hampir setinggi Andika. Hal ini tampak jelas ketika ia bangkit berdiri
di hadapan Andika. Rambutnya
yang lurus tergerai sebahu juga kira-kira sama pan-
jang dengan rambut Andika.
"Kelihatannya sih, cocok nih dengan aku," desis Andika dalam hati.
Mirah membetulkan pakaiannya. Sebetulnya tidak
terlalu awut-awutan karena Biludak Tengik tadi tidak
sempat berbuat macam-macam, namun tak urung
perbuatannya membuat Andika berbalik dan menjauh.
Ia menghampiri Patniraga.
Setelah menepiskan debu yang menempel pada
pakaiannya, Mirah mengambil ikat kepalanya yang ter-
lepas dari tanah serta memakainya kembali. Kemudian
ia berjalan mendekati Andika. Dari sudut matanya An-
dika tahu bahwa Mirah mendatanginya, namun ia te-
rus saja bercakap-cakap dengan Patniraga.
"Pendekar Slebor." Mirah memotong pembicaraan mereka. Andika menoleh.
"Ah, panggil saja...." Andika tidak melanjutkan kalimatnya. Ia terpana memandang
penampilan Mirah.
Yang di hadapannya sekarang adalah seorang wa-
nita tegar. Sirna sama sekali pandangan tentang wani-
ta lemah tak berdaya yang baru saja ditolongnya. Bah-
kan sebuah pedang telah tersandang di punggung wa-
nita itu. "Aku sebenarnya tengah mencarimu, Pendekar
Slebor." "Oh ya, begitu ya?"
"Kamu tidak mendengar kabar buruk yang terja-
di?" "Tidak."
"Kabar buruk apa?" Patniraga nimbrung.
"Orang-orang persilatan dari aliran hitam menca-
rimu, Pendekar Slebor."
"Ah, biar saja mereka mencari-cariku. Paling-
paling mau mengajak bertempur. Apa sih kerja orang-
orang sesat itu" Ya, jauh dekat kan, cuma mau cari
perkara saja. Coba mereka tidak selalu bikin kejaha-
tan. Tidak perlu ada pertarungan dan tidak perlu ada
darah yang tumpah," jawab Andika.
"Memang bukan itu kabar buruknya, Pendekar
Slebor." "Eh, ngomong-ngomong, jangan panggil aku den-
gan itulah. Aku lebih suka kamu panggil aku dengan
namaku, Andika."
"Baiklah, Andika. Bukan itu kabar buruknya. Me-
reka sudah lama tidak mendengar kabar tentang diri-
mu. Karena itu untuk memancing kemunculanmu,
mereka melakukan keonaran di sana sini."
"Apa maksudnya?" tanya Patniraga.
"Beberapa desa telah mereka porak-porandakan.
Mereka menjagal semua laki-laki dewasa itu yang da-
pat mereka temui di setiap desa tanpa perikemanu-
siaan. Semua laki-laki, Andika! Mereka cuma menyisa-
kan anak-anak dan para wanita. Bumi desa kami telah
menjadi danau darah!"
"Jadi kau berasal dari salah satu desa itu?" tanya Patniraga lagi.
Mirah menganggukkan kepala sambil memandang
Patniraga. "Mirah berasal dari desa Sentul Reja," jawab Andika. "Kamu tadi mengatakan
beberapa desa yang diperlakukan demikian," lanjut Andika. "Dari mana ka-mu
tahu?" "Gerombolan Lampor Ireng lah yang menyerang
desa Sentul Reja. Sehabis puas menjagal dan merusak,
ia baru mengatakan bahwa mereka mencarimu, Andi-
ka. Ia berpesan, jika kamu mau bertemu dengan mere-
ka, markas mereka ada di Bukit Dedemit. Ia juga
memberitahukan bahwa ada desa-desa lain yang men-
galami nasib yang sama. Dari situlah aku tahu. Lalu
aku berpikir tidak ada jalan lain, selain harus mencarimu."
"Aku sudah berusaha menahan mereka. Namun
jumlah mereka terlalu banyak. Apalagi kemampuan si-
lat Lampor Ireng kunilai berada tiga tingkat di atasku.
Maka kupikir sebaiknya aku mundur dan menunggu
waktu lain untuk membalas. Sialnya, dalam perjalanan
mencarimu, aku bertemu dengan Biludak Tengik. Ke-
mampuannya ternyata setingkat dengan Lampor Ireng.
Tidak terlalu sulit baginya untuk menaklukkanku."
Andika menatap mata Mirah penuh selidik.
"Apa tujuanmu mencariku?"
Mirah balas menatap tajam mata Andika.
"Siapa lagi yang kamu pikir bisa menghadapi me-
reka" Dan apakah kamu pikir kamu akan berpangku
tangan saja?" tantang Mirah.
Beberapa jenak kemudian Andika tertunduk. Lalu
ia berbalik, menaruh kedua kepalan tangannya di
pinggang belakang dan berjalan beberapa langkah. Ti-
dak ada yang berbicara.
"Mungkin aku tidak akan menang menghadapi
mereka bersama," kata Andika.
"Aku akan membantumu, Andika," jawab Patnira-ga. "Ya. Aku juga akan membantumu,"
jawab Mirah.

Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andika belum memberi reaksi.
"Yang terpenting sekarang, peristiwa ini tentu telah sampai ke telinga Prabu
Alengka. Pasti beliau telah menjadi susah hati mengetahui rakyatnya dikacau
oleh biadab-biadab itu," kata Andika. "Langkah pertama yang harus diambil adalah
menemui beliau untuk
menjelaskan duduk perkara sesungguhnya. Aku tidak
mau ada kesalahpahaman antara aku dengan beliau."
"Benar katamu," Patniraga yang telah biasa dengan urusan-urusan kerajaan segera
menyetujui lang-
kah Andika. "Sekarang kau harus berangkat mene-
muinya. Aku akan menemanimu."
"Aku juga," tambah Mirah.
Andika berbalik menghadap mereka kembali. Ke-
palannya dilepaskan.
"Terima kasih, Sobat-sobatku."
"Sudahlah, bukankah katamu sendiri akan ada gi-
liranku untuk menolongmu" Ayo, mari kita berangkat
sekarang," ajak Patniraga.
Andika membalas senyum Patniraga. Ia merang-
kul Patniraga penuh keakraban.
"Yuk, Mirah. Kita berangkat sekarang," katanya sambil melangkah berdua dengan
Patniraga, seolah tidak begitu mempedulikan Mirah.
"Tunggu!" bentak Mirah.
Mereka berdua tercekat dan berbalik.
"Aku masih ada perlu dengan Pendekar Slebor."
Penuh tanda tanya di wajah Andika ketika ia
mendekati Mirah.
"Ya?" tanyanya mengandung keingintahuan.
Mirah mendekati Andika.
Plak! Tiba-tiba tangan Mirah menampar wajah Andika.
Tentu saja Andika menjadi bengong. Tidak ada angin
tidak ada hujan, tidak ada cemberut tidak ada marah,
tahu-tahu cewek cantik ini menamparnya begitu saja.
Sakit juga. Andika mengusap-usap pipinya dengan
kening berkerut.
"Kamu telah membuatku serba salah tadi ketika
menekap kupingku terus."
"Hah" Tapi kan, aku mau menolongmu."
"Ya. Tapi aku bukan cewek bodoh. Kamu kan, bisa
memberikan tenaga dalam saja untuk melindungi gen-
dang pendengaranku. Tidak usah pakai memegang te-
rus kupingku. Dan pipiku!"
Selesai berkata begitu Mirah melengos dan meng-
hampiri Patniraga.
"Yuk, kita jalan," katanya pada Patniraga.
Patniraga mau apa, coba" Ia cuma bisa nurut saja
perkataan cewek cantik itu sambil tertunduk menahan
tawanya melihat air muka si Andika.
"Dasar perempuan!" maki Andika dengan suara sekecil-kecil mungkin. Sebisik-bisik
mungkin. Takut kedengaran Mirah.
"Hei! Tungguin aku, dong...," teriak Andika berlari me-rendengi mereka. Ia tidak
mau berjalan di samping Mi-
rah. Akibatnya Patniraga menjadi di tengah-tengah, di-kawal Mirah dan Andika.
Andika melirik Patniraga. Melihat muka Patniraga
yang kerut-merut menahan tawa, segera disodoknya
rusak kawannya itu dengan telunjuk.
"Adouw!" Akhirnya lepaslah tawa yang setengah mati ditahan sejak tadi.
Andika melotot pada Patniraga.
Mirah senyum-senyum melihat Andika.
*** 6 Kerajaan Alengka memiliki daerah kekuasaan
yang relatif tidak terlalu luas. Prabu Alengka sendiri adalah seorang raja yang
cukup arif bijaksana serta
bertujuan pada kesejahteraan dan keamanan rakyat-
nya. Rakyatnya sendiri pun amat senang mempunyai
raja seperti dia.
Raja yang amat berdedikasi ini terkejut dengan
kabar yang disampaikan oleh Menteri Keamanan. Be-
berapa desa dari seluruh penjuru angin telah dikacau-
kan oleh sekumpulan tokoh persilatan jahanam. Keka-
cauan ini berakibat pula pada terjadinya keguncangan
di dalam istana.
Belum pernah terjadi sebelumnya peristiwa di
mana wilayah kekuasaan Alengka digerogoti oleh per-
tumpahan darah seperti sekarang. Bayangkan, seluruh
laki-laki dari desa-desa itu dikabarkan terbunuh seca-ra konyol tanpa ampun! Ini
semua dilakukan mereka
hanya karena mencari seorang manusia! Seorang ma-
nusia bernama Pendekar Slebor.
Segera saja Prabu Alengka memanggil para mente-
rinya untuk rapat mendadak. Setelah beberapa lama
berbicara Prabu Alengka segera mengetahui bahwa
pengaruh peristiwa, teror tersebut benar-benar telah mengguncangkan istananya.
Serikat Serigala Merah 3 Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab Teror Si Pedang Kilat 2
^