Pencarian

Cinta Dalam Kutukan 1

Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan Bagian 1


CINTA DALAM KUTUKAN Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Masing-masing orang yang berada di tempat yang
dipenuhi pepohonan namun kini sudah banyak yang
tumbang itu, tak ada yang membuka suara. Pandan-
gan mereka ditujukan pada sebuah lubang yang terjadi akibat meledaknya Patung
Kepala Singa. Dan di atas
lubang itu nampak luruhan abu yang pancarkan ca-
haya perak bergerak turun naik.
Saat ini hari semakin senja. Udara agak dingin.
Dan tak seorang pun yang berniat meninggalkan tem-
pat itu. Nawang Wangi yang masih tergeletak akibat lilitan hawa dingin yang
dilepaskan oleh Bocah Liar pun berusaha untuk angkat kepalanya. Sementara itu,
Tri Sari yang mengalami nasib yang sama pun berbuat se-rupa.
Pendekar Slebor yang berdiri sejarak tujuh lang-
kah dari luruhan abu yang turun naik itu diam-diam
menarik napas pendek seraya membatin, "Seperti yang kuduga selama ini, jelas
rahasia Patung Kepala Singa berada di balik abu itu. Luruhan abu... luruhan
abu.... Tetapi, tak ada yang menarik selain luruhan abu yang bergerak turun naik...."
Sementara itu, lelaki tua namun bertampang bo-
cah yang tingginya hanya sebahu Andika pun memba-
tin dengan pandangan tak berkedip pada luruhan abu
itu, "Patung Kepala Singa telah menjadi abu.... Tetapi yang mengherankan,
mengapa luruhan abu itu turun
naik?" Di sebelah kiri lelaki yang tingginya sebahu yang
tak Iain Bocah Liar adanya, berdiri Dewi Selendang Hitam yang juga sedang
arahkan pandangan pada luru-
han abu itu. "Celaka! Patung Kepala Singa telah menjadi abu!
Sulit menentukan rahasia apa yang ada sebenarnya?"
Sementara itu, perempuan berpakaian kuning
bersih yang di pinggangnya melilit selendang warna hitam pun membatin, "Sungguh
sangat disayangkan....
Patung Kepala Singa telah menjadi abu. Padahal, ra-
hasia yang tersimpan di dalamnya belum terbuka. Ra-
sanya... rahasia itu telah dan akan tertutup rapat dalam-dalam...."
Di sebelah perempuan berpakaian kuning bersih
yang tak lain Bidadari Tangan Bayangan yang sedang
mengatur nafasnya, lelaki tinggi besar berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan
membatin dengan tubuh
agak gemetar, "Nampaknya... aku melihat apa yang pernah diceritakan Eyang Kapi
Pitu puluhan tahun
yang lalu. Sebuah pohon aneh yang pancarkan cahaya
perak, lalu dari dalam cahaya itu seperti terdapat luruhan abu, dan kemudian
saat ditebang mendadak
muncul Patung Kepala Singa. Dan sekarang... patung
itu telah menjadi abu. Apakah sesungguhnya rahasia
Patung Kepala Singa ada di balik abu itu?"
Untuk beberapa lamanya orang-orang yang berada
di sana tak keluarkan suara. Masing-masing orang
masih terpaku dengan kejadian yang ada di hadapan
mereka. Seperti pernah diceritakan dalam episode, "Rahasia Di Balik Abu", pertarungan
sengit terjadi. Saat itu Dewi Selendang Hitam yang telah berhasil merebut Patung
Kepala Singa dari tangan Tri Sari sekaligus mengalahkan Bidadari Tangan
Bayangan, bermaksud un-
tuk menghancurkan Patung Kepala Singa, karena ber-
pikir kalau rahasia patung itu terdapat di dalamnya.
Namun sebelum dilakukannya, mendadak saja
muncul Bocah Liar yang ternyata adalah gurunya na-
mun tak mau disebut guru. Bocah Liar ternyata men-
cintai Dewi Selendang Hitam. Kemudian muncul Na-
wang Wangi yang sebelumnya diselamatkan oleh Dewa
Suci dari perbuatan terkutuk Gendala Maung.
Dengan kesaktiannya yang tinggi, Bocah Liar ber-
hasil menjatuhkan Nawang Wangi. Sebelum dia mem-
permalukan Nawang Wangi, muncul Bidadari Tangan
Bayangan dan Tri Sari. Pertarungan sengit terjadi.
Tri Sari dengan mudah berhasil dijatuhkan oleh
Bocah Liar. Sementara Bidadari Tangan Bayangan
yang tak kuasa lagi untuk hindari serangan maut Dewi Selendang Hitam,
diselamatkan oleh Pendekar Slebor.
Saat itulah Pendekar Slebor yang telah menyam-
bar Patung Kepala Singa dari tangan Dewi Selendang
Hitam, membuka kedok perempuan berpakaian hitam
gombrang yang ternyata adalah Nyi Dungga Ratih. Pertarungan sengit pun terjadi
kembali sampai muncul-
nya Kepala Besi yang menyambar Patung Kepala Singa
tatkala Andika melemparkannya pada Bidadari Tangan
Bayangan dan Bocah Liar bermaksud mendapatkan-
nya. Hingga kemudian Patung Kepala Singa terpental.
Bocah Liar cepat menyambarnya. Bersamaan den-
gan itu, Andika pun menangkapnya. Patung Kepala
Singa kini dipegang oleh masing-masing orang yang
sama-sama kerahkan tenaga dalam. Karena kuatnya
pengaruh tarik menarik antara tenaga dalam kedua-
nya, patung itu pun pecah menjadi luruhan abu yang
sekarang turun naik dan keluarkan cahaya perak.
Suasana hening itu terpecahkan oleh suara Nyi
Dungga Ratih alias Dewi Selendang Hitam, "Patung Kepala Singa telah menjadi
luruhan abu yang tak ber-guna! Rasanya tak perlu lagi perpanjang urusan soal
Patung Kepala Singa!" Lalu perlahan-lahan pandangannya ditujukan pada Pendekar
Slebor. Sambil me-
nuding dia berseru dengan suara menggeram, "Pemuda celaka! Kaulah perusak dari
semua rencanaku ini! Be-
rarti, kau tetap akan mampus, Pendekar Slebor!!"
Pemuda berbaju hijau pupus yang di lehernya me-
lilit kain bercorak catur itu cuma nyengir saja. Ancaman maut Nyi Dungga Ratih
seolah dianggap angin la-
lu belaka. Menyusul terdengar suaranya sambil garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal, "Mau mampus atau tidak sih itu urusan Yang Maha
Kuasa! Eh, bagaimana kalau kau dulu yang mampus" Setelah itu, baru kau ajak
aku!" Lalu sambungnya dalam hati, "Ternyata... begitu banyaknya orang-orang yang
dibutakan oleh nafsu mereka sendiri. Pertumpahan darah hampir terjadi gara-gara
Patung Kepala Singa! Dan sekarang, setelah pa-
tung itu hancur menjadi luruhan abu yang cukup
mengherankan karena naik turun seperti itu, semua-
nya seperti dilupakan! Padahal aku yakin... sesung-
guhnya rahasia Patung Kepala Singa terdapat pada luruhan abu itu...."
Di seberang, Dewi Selendang Hitam kian mengke-
lap. "Pemuda celaka! Kau telah menantang badai!!"
"Busyet! Sejak tadi kan kita belum bertarung"
Nah! Ayolah kita mulai sekarang! Jadi gatal nih tanganku ingin menutup mulutmu
yang nyinyir itu! Cuma
tidak, ah! Banyak penyakit!"
Bergetar tubuh Dewi Selendang Hitam tanda ke-
marahan kian menanjak mendengar ejekan pemuda di
hadapannya. Namun sebelum dia membuka mulut dan
lancarkan serangan, mendadak saja terdengar suara
Bocah Liar, "Dewi... atau siapa pun namamu.... Jangan berlaku bodoh! Kau tak
boleh melepaskan niat dari Patung Kepala Singa yang telah menjadi luruhan abu!
Tidakkah kau lihat pandangan lelaki berkepala plontos itu" Dia sepertinya seolah
melihat sesuatu di balik abu
itu!" Kepala Besi yang dimaksud oleh Bocah Liar melengak sesaat. Lalu buru-buru
diubah cara meman-
dangnya pada luruhan abu yang masih turun naik.
Lelaki tinggi besar berkepala plontos ini sebenar-
nya sedang memikirkan rahasia apa yang sesungguh-
nya ada pada Patung Kepala Singa. Dia sedang men-
gingat-ingat apa yang pernah diceritakan oleh gu-
runya, Eyang Kapi Pitu. Kepala Besi pun tiba pada ke-simpulan, kalau rahasia itu
memang terletak pada luruhan abu yang turun naik.
Lalu dia berkata, "Lelaki tua bertampang bocah!
Manusia dianugerahkan sepasang mata untuk melihat!
Urusan bagaimana caraku memandang luruhan abu
itu, bukan urusanmu! Lebih baik kau tinggalkan tem-
pat ini sebelum celaka!!"
Meradang Bocah Liar mendengar kata-kata orang.
Namun untuk sesaat ditahan segala amarahnya kecua-
li kertakkan rahang. Kemudian terdengar kata-
katanya, "Jangan berlaku bodoh hingga dapat dikela-bui orang-orang itu! Dewi...
periksa luruhan abu itu!
Aku yakin, di balik luruhan abu itulah terdapat rahasia Patung Kepala Singa!!"
Dewi Selendang Hitam yang mendendam pada
Pendekar Slebor karena pemuda itulah yang mengga-
galkan semua rencananya, sesaat pandangi dulu Bo-
cah Liar. Diam-diam perempuan tua ini membatin, "Raha-
sia itu terdapat di balik abu" Rahasia apa sebenarnya"
Aku tak menangkap sesuatu yang menarik dalam lu-
ruhan abu itu...."
"Dewi! Turuti kata-kataku!!" terdengar bentakan Bocah Liar cukup keras.
Dewi Selendang Hitam alias Nyi Dungga Ratih me-
lotot gusar. Namun tatkala pandangannya bentrok
dengan pancaran tajam mata Bocah Liar, buru-buru
diarahkan pandangannya ke tempat lain.
Kejap berikutnya, dia sudah bergerak untuk men-
dekati luruhan abu yang turun naik. Namun baru dua
langkah, mendadak saja satu gelombang angin telah
menggebrak ke arahnya.
Seketika itu pula Dewi Selendang Hitam angkat ke-
palanya. Menyusul digerakkan kakinya setengah ling-
karan. Hamparan angin pun menderu dan melabrak
gelombang angin yang siap menghantamnya tadi.
Blaaarrr!! Tanah di mana bertemunya dua gelombang angin
itu muncrat ke udara. Belum lagi sirap, orang yang ta-di lepaskan hantaman untuk
menahan gerakan Dewi
Selendang Hitam sudah berkelebat ke arah luruhan
abu. Namun mendadak saja dia memutar tubuh dan
kembali ke tempat semula, tatkala merasakan hawa
dingin menderu dan siap melilit kedua kakinya.
"Keparat!!" maki orang ini yang tak lain Kepala Be-si adanya pada Bocah Liar.
"Kau membuat kegusaranku menjadi naik, Kepala
Besi! Tak seorang pun kuizinkan mencelakakan pe-
rempuan yang kucintai!!" maki Bocah Liar keras.
Kepala Besi yang merasa harus cepat menda-
patkan luruhan abu itu (sesungguhnya dia tak tahu
mengapa), tak mau membuang waktu. Saat itu pula
tubuhnya meluruk dengan kepala agak membungkuk,
menderu ke arah Bocah Liar.
Sebelum Bocah Liar menghindar atau bergerak
memapaki, dua sinar putih bening yang keluarkan ha-
wa panas sudah menggebrak. Rupanya, Bidadari Tan-
gan Bayangan yang sebelumnya menuduh Kepala Besi
adalah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit sudah lancarkan
serangan pula. (Untuk
mengetahui soal tuduhan itu, silakan baca: "Patung Kepala Singa").
Bocah Liar menggeram murka. Mendadak saja dia
melompat ke samping kanan, menyusul lakukan satu
putaran cepat. Tatkala hinggap di atas tanah, dia bukan bertumpu pada kedua
kakinya, melainkan pada
kedua tangannya!
Kejap itu pula kedua kakinya yang kini tegak lu-
rus dengan langit membuat gerakan memutar-mutar.
Hamparan angin dingin menderu-deru kencang ke
arah Kepala Besi dan Bidadari Tangan Bayangan yang
cepat menghindar.
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam yang sejak
lama mendendam pada Kepala Besi dan pernah dike-
labui oleh lelaki itu yang disangkanya telah tewas padahal belum, segera
menggebrak ke arah Kepala Besi
yang sedang membuang tubuh.
Terkesiap Kepala Besi mendapati serangan ganas
itu. Dan diam-diam lelaki tinggi besar yang beberapa kali dipecundangi oleh Dewi
Selendang Hitam menjadi pias. Namun dia berusaha tindih segala kejeriannya.
Dengan gerakan-gerakan cepat yang sebenarnya
mengandung kenekatan, Kepala Besi mencoba memba-
las. Sementara itu, menghadapi Bocah Liar seorang di-ri, sudah tentu sangat
tidak menguntungkan bagi Bi-
dadari Tangan Bayangan. Dalam dua jurus saja dia
sudah dibuat pontang-panting dengan serangan-
serangan ganas itu.
Di tempatnya, pemuda urakan dari Lembah Kutu-
kan menarik napas pendek.
"Urusan ini ternyata memang belum tuntas. Kare-na rahasia apa yang terdapat pada
luruhan abu itu belum diketahui. Aku harus menolong keduanya. Teta-
pi... lebih baik kubebaskan dulu Nawang Wangi dan
Tri Sari...."
Memutuskan demikian, dengan cepat Andika ber-
gerak mendekati Nawang Wangi dan Tri Sari. Dia men-
coba membebaskan masing-masing gadis dengan
mempergunakan tenaga 'Inti Petir' tingkat ketiga belas.
Namun di luar dugaannya, tak semudah itu dilakukan.
Sementara dilihatnya bagaimana Bidadari Tangan
Bayangan yang sudah terdesak hebat.
Tak mau mengambil resiko yang berbahaya, Andi-
ka lakukan satu tindakan yang mengejutkan. Tangan
kirinya memegang ibu jari Nawang Wangi seraya alirkan tenaga 'Inti Petir'
tingkat kesepuluh. Sementara itu, tangan kanannya dengan cepat melepaskan
lilitan kain bercorak catur dari lehernya.
Kejap itu pula dikibaskannya kain bercorak catur
itu. Wrrrrr!! Suara gemuruh laksana ribuan tawon marah
mendengung mengerikan. Menyusul gelombang angin
yang sangat dahsyat menggebrak ke arah Bocah Liar


Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang siap lepaskan tendangan mautnya ke kepala Bi-
dadari Tangan Bayangan.
Desss!! Gelombang angin dahsyat yang keluar dari kain
bercorak catur milik Andika, tepat menghantam tubuh Bocah Liar yang sesaat
nampak terseret dan goyah
saat berdiri tegak di atas tanah. Sementara itu, tanah dan ranggasan semak
belukar yang tercabut akibat derasnya gelombang angin yang ditimbulkan kain
berco- rak catur, terlempar jauh. Menyusul terdengar suara berderak dan menggemuruh.
Sebuah pohon telah
tumbang. Saat itu pula nampak wajah Bocah Liar berubah
memerah. Parasnya begitu dingin dengan rahang ter-
katup rapat. Kejap berikutnya, mendadak saja dia gerakkan kedua tangannya ke
atas. Lalu perlahan-lahan
dirangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Kejap itu juga terjadi perubahan sekaligus keane-
han pada diri lelaki bertampang bocah itu. Kalau sejak semula nampak kulitnya
berwarna agak putih, kali ini lambat laun berubah menjadi hijau. Dan seluruh
tubuhnya berubah menjadi hijau. Rupanya lelaki ini telah kerahkan ajian
pamungkasnya 'Hutan Perangkap
Harimau'! Di tempatnya, Andika yang telah berhasil membe-
baskan Nawang Wangi dari lilitan hawa dingin Bocah
Liar berdiri tegak dengan pandangan tak berkedip. La-lu dilihatnya Bidadari
Tangan Bayangan yang sem-
poyongan sambil memegang dadanya. Menyusul pe-
rempuan berpakaian kuning bersih itu ambruk, tepat
jatuh di sebuah pohon hingga dia mau tak mau harus
bersandar dengan napas mendengus-dengus.
Andika mengarahkan pandangannya pada Kepala
Besi yang sedang kalang kabut akibat sinar-sinar hitam yang dilepaskan Nyi
Dungga Ratih. Kejap berikutnya, pandangannya diarahkan pada luruhan abu yang
sejak tadi tetap turun naik.
Mendadak pandangan Andika berubah dengan se-
pasang mata menyipit. Baru disadarinya kalau luru-
han abu itu tak berubah sama sekali. Padahal tadi, gelombang angin dahsyat yang
keluar dari kain bercorak catur, tentunya melewati luruhan abu itu.
"Luar biasa! Sungguh menakjubkan! Aku semakin
yakin... kalau rahasia Patung Kepala Singa terdapat pada luruhan abu itu...,"
desisnya dalam hati dan perlahan-lahan pandangannya diarahkan pada Bocah Liar
yang seluruh tubuhnya telah berubah menjadi hijau.
Wajahnya pun kian mengangker. Andika sadar betul
apa yang akan terjadi. "Nampaknya... bahaya sudah datang. Kalau begitu
keadaannya, sulit bagiku untuk menyelamatkan orang-orang yang berada di
sini...." Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini mendesah masygul dan membatin lagi, "Biar bagaimanapun juga, aku harus bisa
menyelamatkan se-
muanya...." Kemudian dia berkata pada Nawang Wangi yang telah berdiri. "Nawang
Wangi... bawa Tri Sari menjauh dari sini.... Setelah itu, bawa tubuh gurumu
menjauh pula dari sini...."
Nawang Wangi yang sebenarnya mendendam pada
Bocah Liar, hanya menganggukkan kepalanya. Disada-
rinya betul kesaktian yang dimiliki lelaki bertampang bocah itu. Gurunya saja
dapat dikalahkan, bagaimana dengan dirinya.
Berpikir demikian, murid Bidadari Tangan Bayan-
gan ini perlahan-lahan membopong tubuh Tri Sari
yang juga terkena lilitan hawa dingin Bocah Liar.
Namun begitu dia melangkah dua tindak, menda-
dak saja terdengar suara menggelegar yang seolah co-ba rentakkan tempat itu,
"Diam di tempatmu!!"
Menyusul kabut berwarna hijau pekat bergulung-
gulung dan keluarkan suara menggidikkan ke arah
Nawang Wangi. *** 2 Terkesiap alang kepalang Nawang Wangi menda-
pati kabut-kabut hijau itu telah meluncur deras ke
arahnya, hingga tanpa sadar dia menjerit nyaring. Bagai seekor kelinci yang
terjebak perangkap serigala, Nawang Wangi hanya terpaku di tempatnya. Bidadari
Tangan Bayangan cepat palingkan kepalanya dengan
kedua mata terpentang lebih lebar, nampak dia beru-
saha untuk menolong namun kelihatan tak sanggup.
Bersamaan dengan itu, Tri Sari yang berada dalam bopongan Nawang Wangi
berteriak, "Menghindar!! Cepat menghindar!!"
Tetapi Nawang Wangi seperti tergugu, hingga tak
mampu gerakkan kedua kakinya untuk hindari seran-
gan kabut hijau pekat itu.
Dalam keadaan yang kritis bagi gadis berpakaian
biru kehijauan itu, mendadak saja terdengar suara
mendengung laksana ribuan tawon murka, menyusul
dengan menyambarnya angin dahsyat ke arah kabut
hijau itu. Kejap berikutnya terdengar letupan yang
sangat luar biasa dan muncratnya kabut hijau ke berbagai arah.
Blaaammm! Rupanya Andika sudah menyabetkan kain berco-
rak caturnya. Seperti disadarkan oleh letupan yang keras itu,
Nawang Wangi seolah mendapat kekuatannya kembali.
Dengan cepat murid Bidadari Tangan Bayangan
ini, melompat ke samping kiri. Bila tidak dilakukan, maka muncratnya kabut hijau
itu akan menghantamnya. Terbukti beberapa pohon langsung hangus tatkala
terhantam muncratan kabut hijau itu. Berhasil menghindar, Nawang Wangi membawa
tubuh Tri Sari men-
jauh. Kemudian kembali lagi dan menyambar tubuh
gurunya. "Kita menghindar dulu. Guru...."
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Bidadari Tangan
Bayangan kecuali menganggukkan kepala. Diam-diam
perempuan berpakaian kuning bersih ini mendesah le-
ga melihat muridnya tak kurang suatu apa.
Sementara itu kendati berhasil menggagalkan niat
keji Bocah Liar, Pendekar Slebor sendiri harus ter-
huyung ke belakang. Astaga! Padahal di saat mengge-
rakkan kain bercorak catur yang sebenarnya memiliki kesaktian sendiri, Andika
telah alirkan tenaga 'Inti Pe-
tir'. Namun akibat benturan tadi itu, dia merasa tangan kanannya seperti
tersengat hawa panas. Padahal
tak terasa ada hawa panas yang keluar di saat kabut hijau itu dilepaskan. Ini
menandakan betapa dahsyat-nya tenaga yang terpancar dari kabut hijau ganas tadi.
Di tempatnya, si pemilik ajian 'Hutan Perangkap
Harimau' tertawa nyaring.
"Sungguh menyenangkan sekali! Permainan akan
segera dimulai!!"
Habis seruannya, mendadak saja dia menerjang ke
arah Andika dengan lepaskan ajian 'Hutan Perangkap
Harimau' lagi. Saat itu pula menggebrak beberapa kabut hijau yang keluarkan
suara mengerikan ke arah
Andika. Sadar akan bahaya yang datang, pemuda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera bertindak
sigap. Kain bercorak caturnya kembali digerakkan berulang kali. Hingga kemudian
beberapa kali terdengar letupan-letupan yang sangat keras. Menyusul reng-kahnya
tanah dan terbongkarnya ranggasan semak be-
lukar. Belum lagi akibat pecahnya kabut-kabut hijau itu, yang bagaikan anak
panah menghantam ke sana
kemari. Sementara itu, serangan Dewi Selendang Hitam
yang sedang mencecar Kepala Besi justru menjadi ka-
cau balau, setelah pecahan kabut hijau itu melesat
dan siap menghantam kepalanya. Bila saja perempuan
tua ini tak merunduk, niscaya kepalanya akan reng-
kah seketika. Saat itu pula terdengar makiannya gusar menyu-
sul dihentikan serangannya pada Kepala Besi. Kepala Besi sendiri yang terengah-
engah mendapati serangan ganas tadi, perlahan-lahan surut lima langkah ke
belakang. Kesempatan itu dipergunakan untuk mengatur
jalan nafasnya. Sekujur tubuhnya terasa ngilu bukan
main. Terutama kaki kanannya yang sempat terserem-
pet sinar hitam yang dilepaskan Dewi Selendang Hi-
tam. Kalau tadi pandangan Dewi Selendang Hitam alias Nyi Dungga Ratih mengkelap
karena niatnya secara
tak sengaja terhalang, kali ini sepasang matanya memancarkan sinar berkilat-
kilat tatkala melihat bagaimana lelaki bertampang bocah itu mencecar ganas ke
arah Pendekar Slebor.
Senyumannya mengembang saat berkata dalam
hati, "Nama besarmu akan terpuruk saat ini juga, Pendekar Slebor...."
Pendekar Slebor sendiri yang dibuat kalang kabut
oleh serangan-serangan ganas Bocah Liar, memaki-
maki sendiri sambil terus menggerakkan kain bercorak caturnya, "Kutu monyet!
Bisa-bisa... bukan mereka yang harus kuselamatkan mampus, justru aku sendiri
yang bergemang tanah!! Perkedel busuk! Aku tidak boleh mampus dulu! Aku belum
kawin!!" Lalu dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya
yang kesohor, pemuda urakan ini terus menghindar.
Sementara itu Bocah Liar terus mencecar sambil ter-
tawa-tawa, "Rupanya... hanya begini saja kebisaan pemuda yang julukannya begitu
kesohor! Kau lebih
pantas menjadi badut di rumah juragan tanah! Hhh!!
Seperti kata-kataku tadi, siapa yang mencoba melukai Dewi Selendang Hitam, maka
dia akan mampus!!"
Kian ganas serangan yang dilancarkan Bocah Liar.
Keganasan itu bukan hanya dirasakan oleh Andika,
Dewi Selendang Hitam yang masih segar bugar pun
harus menyingkir bila tak ingin muncratan kabut hijau akibat bentrokan dengan
kain bercorak catur yang digerakkan Andika.
Nasib malang rupanya harus menimpa Kepala Be-
si. Lelaki tinggi besar berkepala plontos itu melolong
setinggi langit tatkala gagal hindari muncratan kabut hijau yang menyerempet
kaki kanannya. Kalau tadi dia sudah merasakan nyeri akibat sambaran sinar hitam
milik Nyi Dungga Ratih, kali ini bertambah nyeri luar biasa merasakan akibat
sambaran kabut hijau lelaki
tua bertampang bocah itu. Tubuh Kepala Besi pun
ambruk dan bergulingan menahan sakit disertai lolongan keras.
Keadaan yang dialaminya membuat Andika men-
jadi tercekat. Apalagi dilihatnya bagaimana Dewi Selendang Hitam yang
mempergunakan kesempatan itu
langsung meluruk untuk menghabisi Kepala Besi.
Tak ada jalan lain lagi bagi Andika kecuali beru-
saha menyelamatkan Kepala Besi. Tatkala kabut-kabut hijau yang dilepaskan Bocah
Liar mencecar terus ke
arahnya, dengan alirkan ajian 'Guntur Selaksa' pada kain bercorak caturnya,
digerakkan tangan kanannya.
Terdengar suara salakan guntur yang sangat ke-
ras, hingga menghanguskan dedaunan. Menyusul sua-
ra mendengung laksana ribuan tawon murka meme-
kakkan telinga. Lalu menggebraknya gelombang angin
yang dipadu dengan tenaga yang sungguh luar biasa.
Bocah Liar nampak terkesiap. Mendadak saja le-
laki bertampang bocah ini melompat ke samping ka-
nan. Blaaammm!!
Kabut hijau yang dilepaskannya pecah diterobos
tenaga dahsyat yang dilepaskan Andika. Bahkan tidak hanya sampai di sana saja,
karena tenaga itu terus
mengarah pada Bocah Liar yang lagi-lagi harus mem-
buang tubuhnya disertai makian jengkel. Tanah di
mana Bocah Liar hinggap tadi, langsung terbongkar ke udara dan membentuk sebuah
lubang yang cukup besar dan keluarkan asap.
Bersamaan dengan itu, Andika meluruk dengan
pencalan satu kaki ke arah Dewi Selendang Hitam.
Tangan kirinya yang telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa' digerakkan.
Blaaarrr!! "Heeiiii!!" Dewi Selendang Hitam keluarkan pekikan tertahan, sambil melompat ke
samping kanan. Ajian 'Guntur Selaksa' yang dilepaskan Andika meng-
hantam sebuah pohon besar yang langsung berderak
tumbang menggemuruh.
Bersamaan dengan itu, Andika cepat menyambar
tubuh Kepala Besi. Namun hal itu tak mudah dilaku-
kannya, karena begitu terbebas dari serangan yang dilancarkan Pendekar Slebor,
Bocah Liar yang telah ada pada kedudukan semula, kembali lancarkan serangan.
Dalam waktu yang sempit, Andika kembali gerak-
kan tangan kanannya. Gebrakan yang dilakukannya
membuat Bocah Liar surutkan serangan dan dengan
gerakan yang luar biasa cepat, Andika segera me-
nyambar tubuh Kepala Besi. Lalu memutar tubuh dan
hinggap di atas tanah seolah tanpa beban padahal tubuh Kepala Besi cukup berat.
Kendati begitu dan dalam keadaan napas kem-
bang-kempis, mulutnya yang usilan berkata juga, "Busyet! Aku mengangkat karung
beras atau tong sampah
nih!" Di seberang Dewi Selendang Hitam sudah berdiri di samping kiri Bocah Liar.
Pandangannya lurus ke
arah Pendekar Slebor seraya berkata, "Benar-benar pemuda celaka!!" Setelah
melirik Bocah Liar sejenak, dia berseru kembali, "Tak perlu mengasihani pemuda
celaka itu! Dia telah bikin semua yang kuimpikan hancur berantakan!"
Bocah Liar kertakkan rahangnya. "Tak usah kau
katakan, akan kulakukan semuanya!"
Sebelum Dewi Selendang Hitam buka mulut, An-
dika sudah menyahut, "O... jadi serius nih mau mem-bunuhku"! Kupikir sejak tadi
kalian main-main, soalnya aku belum mampus juga sih! Tetapi kalau me-
mang kalian maunya begitu... ya, tidak apa-apa! Ayo sini kalian bunuh aku!
Tapi... jangan sakit-sakit ya?"
Tak ada yang keluarkan suara. Selorohan Andika
sudah membuat darah masing-masing orang kian
mendidih. Sementara itu, senja mulai menghilang dan berganti dengan malam yang
cukup pekat. Angin kian
dingin berhembus.
Andika yang habis berseloroh, diam-diam melirik
luruhan abu yang tetap turun naik dan tak terganggu sedikit pun juga padahal
beberapa kali terjadi letupan dan benturan yang keras. Cahaya perak yang
terpancar membuat tempat itu seperti disinari tiga buah len-tera. "Keanehan
semakin dalam... namun penyelesaian agaknya justru tiba pada jalan buntu.
Tetapi, aku tak memungkiri kalau di balik luruhan abu itulah rahasia Patung
Kepala Singa berada.... Hanya saja, sulit untuk memecahkannya, karena jelas
kedua orang itu tak
akan memberi kesempatan...."
Diam-diam Dewi Selendang Hitam juga membatin,
"Bocah Liar nampaknya tulus mencintaiku, karena dia mau terlibat dalam urusan
ini, padahal seperti katanya, dia tak menghendaki Patung Kepala Singa. Ba-


Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gus! Aku bisa memanfaatkannya. Tetapi yang kuingin-
kan... adalah mengetahui rahasia Patung Kepala Singa.
Hhh! Apa Sebenarnya yang ada di balik luruhan abu
itu" Bagaimana caraku untuk mengetahuinya?"
Dan sebelum ada yang membuka suara, di saat
masing-masing orang mulai merasakan kelelahan,
mendadak saja terdengar suara yang keras dan dalam
laksana keluar dari dalam sebuah sumur, "Aku mencium uraian darah dari manusia
keparat bernama Sap-
tacakra! Manusia celaka yang telah memantekku den-
gan ilmu anehnya pada sebuah pohon! Siapa pun
adanya orang yang punya hubungan dengan Saptaca-
kra dia harus mampus!!"
Belum lagi suara itu habis terdengar, mendadak
saja luruhan abu yang pancarkan sinar perak itu, semakin meninggi. Kira-kira
sampai sepinggang dan bergerak turun naik!
*** Suasana semakin hening dan angker. Tak ada
yang membuka suara kecuali membuka mata lebar-
lebar tatkala menyadari kalau suara itu berasal dari luruhan abu!
Di tempatnya, tanpa disadarinya Andika merasa
buluromanya merinding. Jelas sekali kalau dirinyalah yang dimaksud oleh suara
tadi. Diam-diam dia pun
sadar kalau suara itu berasal dari luruhan abu perak yang kini setinggi pinggang
dan bergerak turun naik.
"Aneh! Menilik suara itu...jelas kalau ada yang mendendam pada Eyang Saptacakra!
Ah, urusan kian
berkembang jauh. Tentunya... ada sebuah masalah la-
lu yang dihadapi Eyang Saptacakra dengan orang yang entah siapa.... Jangan-
jangan... ada sebuah dendam
yang terpendam dan terkurung dalam luruhan abu
itu." Andika memutus kata batinnya sendiri seraya mendesah, lalu melanjutkan,
"Di muka bumi ini, terlalu banyak ilmu-ilmu aneh. Tak mustahil bila ada se-
buah kutukan yang masuk ke dalam Patung Kepala
Singa...."
Kepala Besi yang berada dalam bopongan Andika
yang semakin lama keadaannya bertambah lemah ber-
kata dalam hati, "Apakah rahasia yang dimaksudkan oleh Eyang Kapi Pitu suara
orang yang nampaknya be-
rasal dari luruhan abu itu" Tetapi mengapa" Dan siapa Saptacakra yang
dimaksudnya" Siapa pula di antara
kami yang punya hubungan erat dengan Saptacakra"!"
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam membatin
bingung, "Aneh! Siapa orangnya yang keluarkan suara seperti berasal dari luruhan
abu itu" Dan tahu-tahu luruhan abu itu naik setinggi pinggang" Jangan-
jangan...."
Mendadak saja kata batin Dewi Selendang Hitam
terputus, tatkala luruhan abu itu semakin lama semakin meninggi dan tetap
bergerak turun naik. Andika
sendiri sampai surutkan langkah satu tindak ke belakang melihatnya.
Sementara itu, Bocah Liar yang sejak tadi terdiam
diam-diam membatin, "Aku seperti pernah mendengar suara itu... tetapi... di mana
dan siapa" Nampaknya suara itu berasal dari luruhan abu yang bertambah
tinggi...."
Mendadak saja terdengar suara aneh itu kembali,
"Bau darah Saptacakra telah dekat dengan hidungku!
Siapa pun yang membebaskan diriku dari kutukan ini, kuucapkan terima kasih!
Tetapi... nyawa tetap harus kubayar! Terutama... pada orang yang ada hubungan
dengan Saptacakra!"
Habis terdengar suara itu, mendadak saja luruhan
abu yang semakin meninggi dan bergerak turun naik,
memutar-mutar laksana seorang penari. Cahaya perak
yang memancar bergerak melenggak-lenggok dengan
indahnya, semakin terangi malam yang gelap.
Belum lagi ada yang mengerti apa yang terjadi,
mendadak saja luruhan abu itu bertambah tinggi. Dan tahu-tahu mengarah pada Dewi
Selendang Hitam.
Memekik kaget perempuan peot berpakaian hitam
gombrang ini melihatnya. Tanpa sadar dia angkat kedua tangannya untuk menahan
laju luruhan abu itu.
Namun luruhan abu itu justru melilit pada kedua lengannya.
Mendadak nampak tubuh Nyi Dungga Ratih alias
Dewi Selendang Hitam meregang. Terdengar jeritannya yang menyayat hati laksana
orang yang sedang seka-rat. Tahu-tahu luruhan abu yang melilit pada kedua
lengannya mencelat naik dan masuk melalui ubun-
ubun kepala perempuan tua itu.
Hanya dalam satu tarikan napas saja luruhan abu
itu telah lenyap. Tubuh Dewi Selendang Hitam nampak terdiam. Napasnya terdengar
memburu dengan kedua
mata membeliak lebar. Satu tarikan napas berikutnya tubuhnya bergetar laksana
dipegangi oleh puluhan
orang. Kedua tangan dan kakinya menyentak-nyentak
keras hingga debu-debu yang diinjaknya naik ke uda-
ra. Tak ada yang berani untuk mencoba hentikan ge-
rakan aneh yang mendadak diperlihatkan Dewi Selen-
dang Hitam setelah dimasuki luruhan abu yang telah
lenyap itu. Namun Bocah Liar bertindak juga akhirnya. Den-
gan cepat dia coba tangkap kedua tangan Dewi Selen-
dang Hitam. Namun sebelum berhasil dilakukannya,
mendadak saja tangan kanan perempuan itu mengi-
bas. Desss!! Astaga! Bocah Liar yang memiliki ilmu dua tingkat
di atas Dewi Selendang Hitam, justru terlempar ke belakang dengan derasnya. Dan
berhenti setelah mena-
brak semua pohon. Dia memang tak kurang suatu apa.
Namun akibat yang baru saja terjadi, membuatnya me-
randek gusar sekaligus heran.
Di tempatnya Andika membatin, "Sesuatu telah
terjadi... petaka akan terjadi...."
Apa yang diduganya ternyata benar. Karena sete-
lah beberapa kali meregang-regang dengan kedua tan-
gan dan kaki menyentak-nyentak, mendadak saja ke-
dua tangan Dewi Selendang Hitam terangkat naik lalu bersedekap di dada.
Sosoknya nampak lebih tinggi, karena dadanya
dibusungkan. Kepalanya tegak lurus dengan langit.
Pancaran matanya bersinar angker dan mengerikan.
Menyusul terdengar suaranya yang keras dan da-
lam, "Bau amis darah Saptacakra telah tercium! Aliran darah itu dekat di
hadapanku!! Pemuda berpakaian hijau pupus... kaulah orang yang kupilih mati
untuk membebaskanku dari kutukan yang pernah kuu-
capkan sendiri!!"
Sadar kalau ucapan itu ditujukan padanya, Andi-
ka melengak kaget. Tanpa sadar dia mendesis, "Sebuah kutukan... dan itu bukan
suara Nyi Dungga Ra-
tih...." *** 3 Belum lagi habis pemuda urakan pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini membatin, mendadak
saja dirasakan satu gelombang angin yang semakin
lama. membesar menggebrak ke arahnya.
"Astaga!!" serunya dengan mulut menganga dan kedua mata terbeliak.
Kejap itu pula, masih mentanggul tubuh Kepala
Besi, Andika sudah kibaskan kain bercorak catur yang dirangkum dengan ajian
'Guntur Selaksa'.
Terdengar suara salakan guntur dan dengungan
laksana ribuan tawon yang menyusul menggebraknya
angin dahsyat. Namun justru dia yang memekik sendi-
ri sambil melompat, "Heeeiiii!!"
Karena serangan yang dilakukannya seperti nyep-
los begitu saja laksana masuk ke dalam gulungan
asap. Sementara itu gelombang angin yang menderu
dari tubuh Dewi Selendang Hitam yang tadi gerakkan
tangan kanannya begitu kaku seperti robot, terus
menderu ke arah Andika.
Tak mau mendapatkan nasib sial, Andika segera
melompat ke samping kiri. Gelombang angin yang
menderu tadi tanpa keluarkan hawa panas mau pun
dingin, menabrak sebuah pohon yang langsung terca-
but dan melayang jauh. Menabrak dua pohon di bela-
kangnya sekaligus yang timbulkan suara berderak dan tumbang dengan keluarkan
suara menggemuruh.
"Kura-kura bau!! Jelas tak mungkin kalau serangan itu berasal dari ilmu yang
dimiliki Nyi Dungga Ratih! Serangan itu... tentunya berasal dari orang yang
terkena kutukannya sendiri yang arwah dan ilmunya
telah menjelma menjadi Patung Kepala Singa! Orang
yang pernah dikalahkan oleh Eyang Saptacakra dan
kini menitiskan rohnya pada Nyi Dungga Ratih!!"
Menyusul keanehan yang terjadi, Dewi Selendang
Hitam melangkah dua tindak ke depan. Langkahnya
begitu kaku. Dan begitu kakinya menginjak tanah saat melangkah, tanah yang
masing-masing orang pijak seperti bergetar.
"Astaga! Jelas yang kudapati adalah bangsa siluman!" desis Andika terkejut.
"Kutu loncat! Kalau tahu begini akibatnya, tak mau aku susah payah memecahkan
rahasia Patung Kepala Singa yang terdapat di balik luruhan abu!"
Habis makiannya, pemuda berpakaian hijau pu-
pus ini segera melompat lagi bila tak ingin gelombang angin yang dilepaskan Dewi
Selendang Hitam meng-
hantamnya. Lagi-lagi sebuah pohon tercabut dan me-
nabrak pohon lain begitu gagal mengenai sasarannya.
Suara yang ditimbulkan sangat mengerikan.
"Kadal buntung! Jelas tak mungkin kuhadapi
dengan ilmu dari Lembah Kutukan! Apakah harus ku-
pergunakan ajian bangsa siluman yang pernah ditu-
runkan oleh Eyang Sangsoko Murti?" desis Andika dengan wajah tegang. Keringat
mendadak saja menga-liri sekujur tubuhnya. (Untuk mengetahui siapa Eyang
Sangsoko Murti silakan baca: "Neraka di Keraton Barat" dan untuk mengetahui
bagaimana Andika diturunkan ilmu bangsa siluman oleh Eyang Sangsoko
Murti baca: "Siluman Hutan Waringin").
Namun pemuda urakan ini urung melakukan,
tatkala dirasakan desah napas Kepala Besi menjadi sa-tu-satu. Keadaan ini
membuatnya jadi keblingsatan
sendiri. Sadar akibatnya bila dia tak segera menolong lela-
ki tinggi besar ini, membuat Andika berpikir lain.
"Terpaksa harus kuselamatkan dulu nyawa Kepala Besi. Tubuhnya kini terasa panas
sekali. Mungkin karena terkena sambaran kabut hijau yang dilepaskan
Bocah Liar tadi. Hmm... bahaya telah datang mengan-
cam. Aku yakin, roh yang masuk ke dalam tubuh Dewi
Selendang Hitam akan mencari Eyang Saptacakra. Dan
bisa kubayangkan apa yang akan terjadi bila dia gagal melakukannya...."
Karena merasa harus menyelamatkan nyawa Ke-
pala Besi, Andika memutuskan untuk meninggalkan
tempat itu. Diperhitungkannya saat yang tepat. Tatka-la didapatinya, dia segera
berkelebat. Namun bersa-
maan dengan itu, Bocah Liar justru lepaskan ajian
'Hutan Perangkap Harimau'. Serta merta menderu ka-
but-kabut hijau yang ganas.
"Kutu monyet!!"
Namun sebelum Andika menghindar atau lakukan
satu papakan, mendadak saja kabut-kabut hijau itu
pecah berantakan disertai suara letupan yang sangat keras. Menyusul terdengar
suara keras dan dalam,
"Tak seorang pun kuizinkan membunuh orang yang punya hubungan dekat dengan
Saptacakra!! Dan ke-lancangan itu harus ditebus dengan nyawa!!"
Andika yang telah hinggap kembali di atas tanah,
melihat betapa pucatnya wajah Bocah Liar tatkala satu gelombang angin dahsyat
menderu ke arah lelaki itu.
Bocah Liar segera bergulingan disertai seruan tertahan. Namun gelombang-
gelombang angin yang berasal
dari gerakan kaku tangan kanan Dewi Selendang Hi-
tam terus mencecarnya.
Kian pucat laksana tanpa darah wajah Bocah Liar.
Dia menghindar seraya berseru, "Dewi! Ingat, ini aku!
Sahabat dan sekaligus gurumu! Tahan seranganmu,
Dewi!!" Namun Dewi Selendang Hitam yang telah kema-
sukan roh entah milik siapa itu terus menyerang dengan gerakan-gerakan kakunya.
Mulutnya bersuara ke-
jam, "Kematian layak untuk orang yang ganggu urusanku!!"
"Terkutuk! Dewi, sadarlah! Jangan memancingku
untuk menurunkan tangan!!" maki Bocah Liar keras, namun hatinya kebat-kebit.
Karena dia pun menyadari kalau yang lakukan serangan itu bukanlah Dewi Selendang
Hitam. Tetapi perempuan berpakaian hitam itu tak pedu-
li. Dengan gerakan-gerakan kaku dia terus lancarkan serangan ganasnya pada Bocah
Liar yang berkali-kali kertakkan rahangnya.
"Keparat! Terpaksa aku harus membunuhmu!!"
Kendati dia berusaha melakukannya, namun ju-
stru dia yang terdesak. Bahkan kali ini pekikan-
pekikan tertahan disertai rasa ketakutan terdengar da-ri mulutnya.
Sementara itu melihat betapa Bocah Liar telah
masuk ke dalam lingkaran maut yang diciptakan Dewi
Selendang Hitam, Andika mengurungkan niatnya un-
tuk segera meninggalkan tempat itu. Dia segera men-
celat ke muka sambil gerakkan kain bercorak catur-
nya, "Menjauh dari sini!!"
Namun serangan yang dilakukannya tak berarti
banyak. Hanya dengan gerakkan tangan kirinya saja,
serangan yang dilakukan Andika putus. Sementara
tangan kanan Dewi Selendang Hitam terus lancarkan
serangan pada Bocah Liar yang menghindar sambil
berseru-seru mencoba menyadarkan perempuan itu.
Kendati mulutnya sampai berbusa, namun Dewi
Selendang Hitam yang telah berubah dari nurani as-
linya, justru kini menggerakkan kedua tangannya. Sa-tu tarikan napas berikutnya,
satu gelombang angin
menghantam kaki Bocah Liar yang melolong setinggi
langit. Sementara gelombang angin lainnya menghan-
tam telak dadanya,
Terseret ke belakang Bocah Liar disertai pekikan
terputus. Seretan tubuhnya terhenti tatkala menghantam sebuah pohon besar yang
langsung tumbang. Saat
tubuhnya ambruk, terlibat dadanya bolong besar den-
gan jantung hangus. Lelaki bertampang bocah itu
langsung tewas tanpa keluarkan suara sepatah kata
pun lagi.

Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tempatnya, Andika menggigil melihat kekeja-
man yang terpampang di depan matanya. Sebenarnya
pemuda dari Lembah Kutukan ini masih mencoba un-
tuk menahan setiap serangan yang dilakukan Dewi Se-
lendang Hitam. Namun begitu dirasakan gerak napas
Kepala Besi kian melemah, diputuskannya untuk me-
nyelamatkan Kepala Besi lebih dulu.
Sambil hindari serangan yang dilakukan Dewi Se-
lendang Hitam, pemuda ini bergerak cepat meninggal-
kan tempat itu. Sepeninggal Pendekar Slebor, nampak kegeraman meliputi wajah
Dewi Selendang Hitam yang
sejak tadi tak sekali pun kedipkan matanya. Pancaran matanya kian dingin dan
dalam. Mendadak terdengar tawanya yang keras. Saking
kerasnya, membongkar ranggasan semak belukar yang
semakin lama kian habis dan di tempat itu telah ter-bentuk sebuah tanah kosong
yang cukup luas.
"Setelah puluhan tahun, sekarang aku telah bebas dari kuncian yang dilakukan
Saptacakra! Kutukan
yang kulontarkan akan kubalas kepada cucu buyut
Saptacakra! Kini saatnya menghirup udara bebas!!"
Tawa yang terdengar kian mengeras disusul suara
kembali, "Jala Kunti telah terbebas dari kuncian! Kini tinggal melaksanakan
kutukan yang pernah terucap!!"
Habis seruannya, sosok Dewi Selendang Hitam
yang telah kerasukan roh seorang tokoh sesat bernama Jala Kunti, bergerak
meninggalkan tempat itu. Dan setiap kali melangkah, terdengar suara berdebam dan
tanah yang sedikit bergetar.
Tempat itu pun kembali direjam sepi. Keheningan
dan hawa dingin menyelimuti mayat Bocah Liar.
*** Pagi kembali mengalunkan gita lembutnya dalam
semaian sinar mentari yang redup memerah. Angin
berhembus sejuk, seolah lambungkan sukma ke langit
tujuh. Di sebuah batang pohon yang terdapat di depan
sebuah sungai, nampak satu sosok tubuh berpakaian
abu-abu terbuka di bahu kanan, sedang duduk ber-
sandar. Sosok tubuh lelaki tinggi besar yang tak lain
Kepala Besi adanya nampak lemah. Bibirnya rapat
menutup sementara pancaran matanya seolah tak me-
natap apa pun, tanda dia sedang berpikir.
Kepala Besi yang setelah diobati oleh Pendekar
Slebor akibat hantaman sinar hitam Nyi Dungga Ratih kemudian terkena serempetan
kabut hijau Bocah Liar
pada kaki yang sama, nampak sudah merasa lebih
baik. Bahkan kaki kanannya dapat digerakkan seperti biasa kendati masih agak
lemah. "Rupanya... apa yang tersimpan pada Patung Ke-
pala Singa... sungguh sesuatu yang mengerikan... sebuah kutukan yang kini
merasuk pada diri Dewi Se-
lendang Hitam...," desisnya masygul tatkala teringat bagaimana perubahan terjadi
pada diri Dewi Selendang Hitam.
Angin berhembus, membelai wajahnya, menggu-
gurkan beberapa dedaunan yang sebagian melayang
jauh dan sebagian jatuh ke sungai yang segera berlalu mengikuti alirannya.
"Guru... puluhan tahun rahasia itu terpendam,
dan yang muncul hanyalah sebuah kutukan.... Kutu-
kan yang mengerikan, kutukan yang mendendam pada
orang yang bernama Saptacakra.... Ah, siapakah orang itu" Dan kudengar... Dewi
Selendang Hitam yang telah kemasukan roh entah milik siapa, memburu Pendekar
Slebor.... Apakah benar kalau pemuda urakan itu ke-
turunan atau ada hubungan erat dengan Saptacakra?"
Sebelum Kepala Besi teruskan berpikirnya, men-
dadak saja satu sosok tubuh menyeruak dari dalam
sungai. Byuurrrr! "Wuaaaahhh!! Segar, segar betul!!" terdengar seruan itu bersamaan dengan satu
kepala berambut
gondrong yang kini basah. Lalu berteriak pada Kepala Besi, "Hei, Gundul! Ayo,
sini mandi dulu! Bau badan-
mu lebih gawat dari kambing buduk!!"
Kepala Besi cuma tersenyum saja pada Andika
yang barusan tadi berteriak. Lalu berseru, "Aku tidak mandi, karena tubuhku
tidak bau! Justru kau yang
sedang coba hilangkan bau busuk tubuhmu itu!"
"Jangkrik!!" maki Andika sambil tersenyum konyol. Setelah garuk-garuk kepalanya,
dia menyelam la-gi dan berenang gaya bebek.
Kepala Besi cuma memperhatikan saja. Begitu pu-
la tatkala pemuda dari Lembah Kutukan itu tahu-tahu melompat dari dalam air dan
hinggap di balik ranggasan semak belukar. Tiga kejapan mata berikutnya, dia
sudah keluar lagi, berpakaian lengkap sambil tertawa-tawa.
"Segar, segar!!" desisnya sambil angkat kedua tangannya, lalu mencium ketiaknya.
Dengan sikap yang
kian konyol dia berseru, "Kalau jumpa dengan gadis manis, tidak perlu malu,
nih!!" "Itu namanya tidak tahu malu!!"
Andika cuma nyengir sambil gerak-gerakkan ram-
butnya yang basah. Butiran air berlompatan dan se-
perti berlian yang terkena cahaya mentari.
"Masa bodoh, ah!" katanya sambil duduk bersila di hadapan Kepala Besi. Sesaat
dipandanginya lelaki berkepala plontos ini sebelum berkata, "Aku ingin mendengar
sekali lagi tentang Patung Kepala Singa yang dikatakan oleh gurumu, Kepala
Besi." Kepala Besi terdiam sejenak. Kendati dia merasa
heran dengan kata-kata itu, diulanginya lagi apa yang pernah diberitahukan
gurunya tiga puluh tahun yang
lalu (Silakan baca: "Rahasia di Balik Abu").
Dilihatnya pemuda urakan dari Lembah Kutukan
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesungguh-
nya, Andika mencoba mencari rangkaian dari rahasia
Patung Kepala Singa dengan kutukan yang terdapat di
patung itu. Kemudian katanya, "Rahasia yang terpendam be-
berapa puluh tahun itu, rupanya adalah sebuah kutu-
kan. Kutukan dari orang yang pernah dikalahkan oleh Ki Saptacakra. Mendapatkan
kejelasan dari semua pe-ristiwa ini, satu-satunya jalan adalah mencari tahu
masalah apa yang dulu pernah terjadi..."
"Andika... siapakah sesungguhnya Ki Saptacakra dan apa hubungannya denganmu?"
Andika mendesah pendek sebelum berkata, "Dia...
adalah eyang buyutku sekaligus guruku...." Lalu dice-ritakannya sedikit tentang
Ki Saptacakra. (Untuk mengetahui siapa gerangan Ki Saptacakra adanya, silakan
baca: "Lembah Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").
"Menilik kata-kata Dewi Selendang Hitam yang telah kerasukan roh dari Patung
Kepala Singa yang telah lebur menjadi luruhan debu, jelas engkaulah sasarannya
sebelum menuntaskan seluruh dendamnya pada
Eyang buyutmu itu."
"Kau betul. Jelas dia tak akan melepaskan niatnya untuk membantai semua
keturunan dari Ki Saptacakra. Dalam hal ini... adalah aku...."
Tak ada yang keluarkan suara.
Kepala Besi mendesah dalam hati, "Aku tak enak melibatkannya waktu lalu dalam
urusan Patung Kepala Singa, yang ternyata justru sebuah ancaman pada
Andika sendiri...."
Sementara itu Andika membatin, "Bila saja aku tidak terlibat dalam urusan ini,
sudah tentu aku tak
akan tahu kalau ada dendam membara pada Eyang
buyutku...."
Kemudian terdengar kata-katanya, "Kepala Besi...
urusan kian membentang panjang. Dan tak mungkin
kita bisa berpangku tangan saja. Jelas-jelas Dewi Selendang Hitam yang telah
kemasukan roh dari luruhan
abu Patung Kepala Singa tak akan berdiam diri. Ten-
tunya dia akan turunkan segala murkanya. Hmmm...
apakah keadaanmu sudah baikan sekarang?"
Kepala Besi menganggukkan kepalanya.
"Bagus!" sahut Andika sambil acungkan jempol, lalu menyambung dengan suara
seperti menggerutu,
"Kalau belum juga sih, kebangetan!"
Sementara Kepala Besi mendengus, Pendekar Sle-
bor berkata lagi, "Rasanya... kita harus berpisah di si-ni. Kita menempuh jalan
masing-masing. Tujuanku
saat ini, tetap mencoba untuk patahkan setiap keinginan sesat dari roh yang
masuk ke tubuh Dewi Selen-
dang Hitam...."
Kepala Besi mendesah dulu sebelum berkata, "Bagaimana bila kita menghadapinya
bersama-sama?"
Andika yang mempunyai rencana sendiri, mengge-
lengkan kepalanya. Kemudian sambil nyengir dia ber-
kata, "Busyet! Betul-betul aneh kau ini! Masa kau harus ikut denganku" Bah!
Kalau kau perempuan jelita, montok dan menggiurkan sih boleh juga.... Tetapi
ini... ya, ampun... nenek-nenek peot juga nggak nafsu buat jadi lawan ehm-ehmmu...."
"Dasar urakan! Dalam keadaan seperti ini dia masih bisa bicara seenak jidatnya
saja...," maki Kepala Besi dalam hati. Lalu berkata, "Apa yang hendak kau
lakukan sekarang?"
"Busyet! Banyak tanya banget! Tetapi ya... terus terang, aku tak bisa
mengatakannya! Soalnya... nanti kau contek lagi... ha ha ha!!"
Sementara Andika, terbahak-bahak, Kepala Besi
keluarkan dengusan. Dua kejapan berikutnya, pemuda
yang di lehernya melilit kain bercorak catur sudah berdiri.
Pandangannya kali ini serius pada Kepala Besi.
"Jaga dirimu baik-baik... jangan sampai kau di-
kawini oleh Dewi Selendang Hitam...."
"Urakan!!" seru Kepala Besi sambil berdiri kembali. Kaki kanannya dirasakan
sudah tidak terlalu ngilu.
Andika sendiri cuma tertawa saja dan masih tertawa-
tawa berlalu meninggalkan Kepala Besi yang kemudian juga berkelebat ke arah yang
berlawanan dengan pemuda itu.
*** 4 Malam kian dalam bergerak, membentuk keguli-
taan semata. Gumpalan awan putih telah sirna diganti awan hitam yang
menggelembung, tanda sebentar lagi
hujan akan turun bila angin tak gerakkan awan-awan
hitam itu berlalu.
Dan mendadak saja kandungan awan-awan hitam
itu tumpah. Laksana air bah, hujan turun dengan de-
rasnya. Angin berubah bergulung-gulung dengan uda-
ra yang terasa kian dingin menusuk tulang. Petir sambar menyambar seolah hendak
luluh-lantakan kehidu-
pan di muka bumi ini. Kilat sesekali menerangi puncak sebuah bukit terjal yang
mengerikan. Dalam keadaan alam yang murka, nampak satu
sosok tubuh bergerak cepat. Dari gerakannya yang sejak semula memang cepat,
nampak tak ada tanda-
tanda orang itu akan hentikan kelebatannya. Bahkan
sejenak pun dia tak berhenti atau tengadahkan kepa-
lanya. Jelas sekali kalau orang yang tak pedulikan betapa derasnya butiran hujan
yang membasahi tubuh-
nya, memiliki satu urusan yang tak mau ditinggalkan barang sekejap.
Dan menilik gerakannya yang seperti tak terha-
lang oleh kabut tebal, menandakan kalau bayangan
yang kenakan pakaian berwarna biru gelap dengan se-
lendang putih yang berselempangan di dadanya, san-
gat hafal dengan jalan menuju ke bukit yang dipenuhi batu-batu terjal yang
setiap saat bisa berjatuhan.
Tiba di lereng bukit, tanpa hentikan gerakannya
sekali pun, lelaki yang berkumis baplang dan tak lain Gendala Maung adanya,
segera melesat naik ke bukit
itu. Kabut tebal kian menutupi pandangannya, namun
dia tak peduli. Bahkan lereng bukit terjal itu pun terus didekatinya dengan
penuh kepercayaan diri. Bila salah seorang dari Dua Iblis Lorong Maut ini tidak
hafal betul jalan yang harus dilaluinya, niscaya dia akan jatuh terguling atau
paling tidak tersesat.
Setelah gagal mencoba kelicikannya pada Pende-
kar Slebor dan maksudnya untuk membalas sakit hati
sahabatnya yang tewas di tangan pemuda itu karena
dihadang oleh Kepala Besi, Gendala Maung kerahkan
segenap kebisaannya untuk membunuh Kepala Besi.
Namun rupanya, dia memiliki ilmu yang seimbang
dengan Kepala Besi. Sementara itu, Kepala Besi sendiri tak menghendaki
pertarungan itu diteruskan lebih la-ma mengingat dia hanya bermaksud untuk
menahan Gendala Maung saja, agar Pendekar Slebor dapat me-
neruskan mencari Patung Kepala Singa.
Di saat bentrokan terjadi, Kepala Besi mempergu-
nakan kesempatan itu untuk meninggalkan Gendala
Maung. Gendala Maung sendiri kian meradang, lalu
dia pun segera meninggalkan tempat itu (Baca: "Rahasia Di Balik Abu").
Lelaki berkumis baplang yang mendendam pada
Pendekar Slebor karena telah membunuh sahabatnya
yang bernama Ganda Maung dan sekarang menden-
dam pula pada Kepala Besi, tak mau menunda segala
keinginannya untuk membalas dendam. Gendala
Maung yang sebelumnya menginginkan Patung Kepala
Singa kini benar-benar menindih segala keinginannya itu. Sambil berkelebat dia
berpikir untuk menjumpai gurunya di Bukit Balu-Balu. Karena sesungguhnya,
keinginannya bersama Ganda Maung untuk menda-
patkan Patung Kepala Singa atas perintah gurunya
yang berjuluk Dedemit Tapak Akhirat.
Dan sekarang, lelaki yang tengah dirasuk dendam
ini telah tiba di puncak Bukit Akhirat. Begitu kedua kakinya menginjak puncak
bukit itu, dia langsung
berkelebat ke arah sebuah bangunan kecil yang nam-
pak tak terganggu sama sekali akibat angin dahsyat.
Bahkan petir yang menyambarnya seolah berbelok.
Menghantam gugusan puncak bukit hanya sejarak sa-
tu langkah dari gubuk reot itu.
Tak mau membuang waktu lagi, Gendala Maung
langsung masuk ke dalam gubuk itu seraya berseru,
"Guru...."
Sesaat tak ada suara yang terdengar, bahkan
Gendala Maung tak bisa melihat seisi gubuk itu. Namun dia hafal betul dengan bau
tubuh gurunya yang
seperti menebarkan aroma kemenyan.
Setelah beberapa saat terdiam, terdengar suara,
"Sudah kuduga kau akan datang tanpa membawa hasil yang kuperintahkan...."
Mendengar kata-kata orang yang bernada dingin
itu, Gendala Maung langsung jatuhkan tubuh. Baru
sekarang dirasakan betapa penat dan lelah sekujur tubuhnya. Apalagi ditingkahi


Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh rasa takut yang mendadak muncul.
Saat berkata nafasnya agak terengah, "Maafkan aku, Guru.... Seorang pemuda telah
menggagalkan semua ini...."
"Seorang pemuda" Apakah kau hanya sebangsa
tikus air yang tak mampu menghadapinya?" Suara yang kian dingin itu semakin
menciutkan hati Gendala Maung.
Tetapi ditahan rasa takutnya. Lalu berkata, "Ku akui... kalau dia memiliki ilmu
yang lebih tinggi,
Guru...." "Siapa pemuda itu?"
Gendala Maung mengatur nafasnya dulu sebelum
menjawab, "Pendekar Slebor...." Sesaat tak ada sahutan. "Pendekar Slebor....
Sebuah julukan yang nampak kosong belaka...." Terdengar sahutan itu lalu
menyambung, "Tetapi... bisa tunda urusan itu sesaat. Sekarang, pejamkan kedua
matamu...."
Menuruti perintah gurunya, Gendala Maung sege-
ra memejamkan kedua matanya. Lamat-lamat dirasa-
kan hawa panas melingkupi tubuhnya yang nampak
mulai menggigil. Rasa dingin pun dirasakan perlahan-lahan menghilang. Lalu
seperti ada satu sentuhan halus, kedua matanya yang terpejam nampak sesaat ber-
gerak. "Buka kedua matamu sekarang...."
Lamat-lamat Gendala Maung membuka sepasang
matanya kembali. Saat dibuka, dirasakan satu peru-
bahan yang berbeda. Kalau tadi sebelumnya dia tak
melihat apa-apa karena seisi gubuk itu hanya kegelapan semata, kali ini dia
dapat melihat dengan terang.
Seolah di tempat itu matahari sedang berada tepat di tengah-tengah kepala.
Sejarak tiga langkah dari hadapannya, nampak
satu sosok tubuh kurus sedang duduk bersila. Wajah
orang itu demikian mengerikan, karena seperti tak ter-lapis daging dan kulit.
Begitu kurusnya hingga wajahnya nampak seperti tengkorak belaka. Rambut orang
itu panjang tak beraturan. Sepasang matanya menjo-
rok ke dalam dan pancarkan warna kelabu pekat.
Orang yang berusia kira-kira sekitar tujuh puluh
tahun ini, mengenakan pakaian hitam-hitam yang ter-
buka di dada dan memperlihatkan dadanya yang ku-
rus agak membungkuk. Dari wujudnya yang mengeri-
kan ini, ada juga ketakjuban bagi orang yang meman-
dangnya. Karena orang tua itu bersila dengan kedudukan satu jengkal di atas
tanah! Orang inilah yang berjuluk Dedemit Tapak Akhi-
rat, orang yang puluhan tahun lalu julukannya pernah menggemparkan rimba
persilatan karena sepak ter-jangnya yang ganas, orang yang menjadi guru dari Dua
Iblis Lorong Maut, yang selama berguru padanya telah menjadi manusia-manusia
kejam yang dapat diperin-tah apa saja.
Lelaki berwajah tengkorak ini mendehem lalu ber-
kata, "Urusan sekarang sudah berkembang.... Ceritakan apa yang telah
terjadi...."
Laksana seorang anak kecil yang mengadu pada
ayahnya karena dicurangi bermain kelereng, Gendala
Maung menceritakan apa yang telah terjadi.
"Jadi sampai saat ini, kau sesungguhnya belum
tahu pada siapa Patung Kepala Singa berada?" tanya Dedemit Tapak Akhirat setelah
Gendala Maung habis
bercerita. Gendala Maung menganggukkan kepalanya. Di-
dengarnya lagi suara gurunya, kali ini lebih sengit,
"Sekarang... apa maksud kedatanganmu ke sini" Lari pulang seperti perawan
dicegat seorang perjaka?"
Gendala Maung tak segera membuka mulut. Dis-
adarinya betul bila dia salah berucap maka akibatnya akan fatal. Namun dendamnya
atas kematian Ganda
Maung membuatnya menindih segala ketakutannya.
Perlahan-lahan diangkat kepalanya.
Hanya sesaat. Karena begitu bentrok dengan se-
pasang mata kelabu milik gurunya itu, Gendala Maung segera tertunduk. Setelah
tarik napas dia berkata,
"Saya datang ke sini, justru ingin meminta pelajaran lagi dari Guru. Saya akui,
karena saya tak mampu untuk menandingi kehebatan Pendekar Slebor."
"Hhhh! Seperti apa kesaktian pemuda celaka itu"!"
"Bila dibandingkan dengan kesaktian yang Guru
miliki, tentunya Pendekar Slebor bukanlah tandingan Guru," sahut Gendala Maung
mencoba menjilat.
Namun dia kecele karena gurunya justru mem-
bentak, "Jangan menjadi manusia dungu di hadapanku, Gendala Maung!"
Gendala Maung langsung bungkam mendengar
bentakan itu. Di dasar hatinya, dia jengkel bukan
main. Namun dia benar-benar tak berani lakukan tin-
dakan apa-apa. Bahkan menunjukkan kejengkelannya
melalui dengusan saja tak berani dilakukannya.
Sesaat di dalam gubuk itu hening. Di luar gubuk,
hujan terus turun dengan derasnya. Berulang kali kilat menyambar, entah yang
kali keberapa hingga menerangi Bukit Balu-Balu beberapa kejap. Menyusul petir
yang salak menyalak. Kendati alam seperti didera kiamat kecil, gubuk yang
didiami kedua orang itu tak bergerak sedikit juga!
Masing-masing orang yang terdiam itu, akhirnya
dipecahkan oleh suara Gendala Maung, "Guru... menurut kabar yang kudengar...
Pendekar Slebor berasal dari Lembah Kutukan...."
Begitu habis kata-kata Gendala Maung, terdengar
seruan tertahan Dedemit Tapak Akhirat, "Gila! Apakah aku tidak salah mendengar
apa yang kau katakan itu, hah"!!"
Kendati agak terkejut mendapati kekagetan gu-
runya, Gendala Maung buru-buru menggeleng, "Tidak, Guru.... Berita itulah yang
kudengar...."
Sesaat tak ada lagi yang keluarkan suara. Gendala
Maung yang kini matanya telah dapat melihat dalam
gelap, melihat gurunya nampak seperti tercenung.
Namun pancaran sinar kelabu sepasang matanya begi-
tu nyalang. Mendadak terdengar suara makiannya yang keras,
"Jahanam sial! Hanya seorang yang tinggal di Lembah Kutukan... dan dia bernama
Saptacakra! Orang yang
telah mengalahkan kakak seperguruanku puluhan ta-
hun lalu! Orang yang telah menguncinya pada sebuah
pohon hingga kakak seperguruanku itu mampus! Te-
tapi... sebelum dia mampus, dia telah keluarkan satu kutukan! Kelak, rohnya akan
menitis pada pohon itu!"
Mendengar kata-kata gurunya, Gendala Maung
nampak kerutkan kening. "Apa maksud Guru berkata-kata seperti itu" Baru kali ini
kudengar dia memiliki kakak seperguruan. Hmm... siapakah orangnya?"
Kendati hatinya diliputi tanya, Gendala Maung tak
berani mengajukannya. Lalu didengarnya kembali sua-
ra gurunya, "Gendala Maung... tahukah kau mengapa aku memerintahkanmu untuk
mencari Patung Kepala
Singa?" Lelaki berkumis baplang itu buru-buru mengge-
lengkan kepala. "Tidak, Guru...."
"Hmmm... kini tiba saatnya kuceritakan padamu.
Kakak seperguruanku bernama Jala Kunti, seorang
perempuan yang mudah sekali tersinggung. Emosinya
selalu meluap. Bahkan aku tak pernah berani mem-
bantahnya. Dia pun berani melawan guruku yang se-
kaligus gurunya. Namun, Guru sangat sayang pa-
danya... karena sesungguhnya, Jala Kunti adalah pu-
trinya sendiri...."
Dedemit Tapak Akhirat terdiam dulu, seolah men-
gingat masa lalunya. Setelah beberapa saat dia berkata lagi, "Kala itu... Jala
Kunti selalu hidup dalam setiap
amarahnya. Terlebih lagi... tatkala dia mencintai seorang pemuda yang bernama
Saptacakra. Dan sungguh
malang nasibnya, karena Saptacakra tak pernah mau
membalas cintanya. Jala Kunti marah besar. Dia berusaha untuk membunuh
Saptacakra... namun Saptaca-
kra selalu berhasil mengalahkannya. Sebagai pelam-
piasan amarahnya, dia membunuhi pemuda-pemuda
yang ditemuinya. Siapa pun pemuda itu...."
Dedemit Tapak Akhirat menghela napas dulu se-
belum melanjutkan, "Karena tindakannya yang telengas itu. Guru memerintahkanku
untuk mengatasi se-
mua tindakannya. Namun aku tak mampu mengata-
sinya. Kendati aku dihajar habis-habisan, namun aku tidak marah sama sekali.
Justru aku mendendam pa-da Saptacakra yang semakin membuatnya bertambah
beringas. Dan kuputuskan untuk mencari Saptacakra.
Setelah berbulan-bulan lamanya, aku berhasil bertemu dengannya. Kuminta dengan
sangat, bahkan aku sampai berlutut padanya, agar dia mau mencintai Jala
Kunti. Paling tidak, berpura-pura. Tetapi Saptacakra yang kala itu berusia
sekitar lima belas tahun di
atasku, tetap menolak. Aku menjadi murka. Dan aku
pun menyerangnya. Tetapi aku berhasil dikalahkan-
nya. Pada saat Saptacakra hendak meninggalkanku,
muncul Jala Kunti yang dengan membabi buta menye-
rangnya. Pertarungan yang terjadi berlangsung sekitar tiga
kali penanakan nasi dan kemenangan berada di pihak
Saptacakra. Karena Jala Kunti begitu nekat terus
mencoba menyerangnya kendati sudah kepayahan,
Saptacakra akhirnya memantek Jala Kunti dengan il-
munya di sebuah pohon. Saat itu, aku mencoba meno-
longnya, namun karena keadaanku sendiri sudah
payah aku tak mampu melakukannya. Saptacakra pun
meninggalkanku dan Jala Kunti yang menempel di se-
buah pohon. Sebelum Saptacakra meninggalkan tem-
pat itu dan sebelum aku pingsan, Jala Kunti telah
lemparkan kutukan, bila dia mendapatkan kesempa-
tan hidup kedua dia akan membunuh Saptacakra
hingga tujuh turunannya. Aku pun terbangun setelah
pingsan yang tak kuketahui berapa lama. Saat itulah kulihat Jala Kunti telah
tewas membunuh diri dengan cara menggigit lidahnya sendiri...."
Dedemit Tapak Akhirat mendesah masygul, "Den-
gan hati pedih, akhirnya kukuburkan mayatnya. Dan
kuceritakan semua itu pada guruku yang hanya ter-
diam. Lalu, entah karena umur guru yang sudah tua
atau karena pedih memikirkan nasib Jala Kunti... akhirnya Guru pun meninggal.
Tinggal aku yang kemu-
dian selalu mendatangi pohon di mana Jala Kunti
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Setelah beberapa tahun aku selalu mendatangi
tempat itu, akhirnya kuputuskan untuk mencari Sap-
tacakra. Tetapi, aku selalu gagal bertemu dengannya.
Akhirnya kuputuskan untuk kembali melihat pohon
tempat Jala Kunti menemui ajalnya. Saat itulah baru kusadari kalau pohon itu
telah ditebang oleh seseorang yang kuketahui bernama Kapi Pitu yang lalu
kudengar memiliki Patung Kepala Singa.... Aku tak pernah memikirkan soal itu,
karena tak kuingat sama sekali tentang kutukan Jala Kunti. Tatkala aku teringat
akan kutukan Jala Kunti, kucoba untuk mencari Kapi Pitu guna mendapatkan Patung
Kepala Singa. Tetapi aku
pun gagal mendapatkannya... hingga kemudian ku-
dengar, kalau Patung Kepala Singa dimiliki oleh seseorang yang berjuluk Pendekar
Sutera... Makanya, kutugaskan kau dan Ganda Maung un-
tuk mendapatkannya. Karena aku yakin, pada Patung
Kepala Singa tersimpan roh Jala Kunti yang membawa
kutukan...."
Mendengar cerita gurunya yang panjang lebar,
Gendala Maung terdiam dengan kening dikernyitkan
berkali-kali. "Tak kusangka kalau persoalan Patung Kepala Singa ada hubungannya
dengan Guru. Hmmm... pada siapakah patung itu berada sekarang"
Atau jangan-jangan... rahasia itu telah terbuka dan kutukan Jala Kunti telah
menyebar?"
Di luar gemuruh hujan belum mereda juga. Bah-
kan terdengar semakin ganas. Di lereng bukit sebelah kanan, tiga batang pohon
kelapa hangus tersambar petir. Dedemit Tapak Akhirat tarik napas. Pancaran
matanya kian tajam menusuk. Berkilat-kilat kelabu.
"Kini... Saptacakra nampaknya telah menurunkan ilmunya pada seorang pemuda yang
berjuluk Pendekar
Slebor! Mencari manusia itu sendiri tak akan mudah
dilakukan! Berarti... Pendekar Slebor lah satu-satunya jalan untuk mendapatkan
manusia celaka itu! Pejamkan matamu!!"
Saat itu pula Gendala Maung memejamkan ma-
tanya dengan dada berdebar. Dia berharap kalau gu-
runya akan menurunkan ilmunya kembali. Apa yang
diduga lelaki berkumis baplang ini memang benar, karena tiba-tiba saja dirasakan
hawa panas melingkupi tubuhnya, yang semakin lama semakin menguat. Dalam tiga
kejapan mata saja, dalam udara yang sedemikian dingin menusuk, Gendala Maung
telah alirkan keringat.
Menyusul lelaki ini berteriak mengaduh, disertai
makian Dedemit Tapak Akhirat, "Jangan bodoh! Sekali lagi kau berteriak, hawa
panas itu akan merejam jan-tungmu!! Tetapi bila kau memang sudah ingin mam-
pus sebelum membalas kematian Ganda Maung, itu
urusanmu!!"
Mendengar peringatan gurunya, Gendala Maung
berusaha untuk tindih segala kesakitannya. Tubuhnya pun mulai meregang-regang
dengan kepala tengadah.
Seluruh urat di tubuhnya seperti menonjol keluar,
tanda dia menahan rasa sakit.
Cukup lama Gendala Maung bagai berada dalam
satu siksaan pedih yang menyakitkan. Namun dia mu-
lai tak peduli. Dicobanya untuk lupakan segala yang menyakitkannya itu dengan
cara membayangkan wajah Pendekar Slebor.
Semakin dibayangkannya wajah pemuda itu, Gen-
dala Maung seakan lupa pada rasa sakitnya.
Setelah beberapa kejap kemudian, hawa panas
dan rasa sakit yang melingkupinya lenyap. Di depan, Dedemit Tapak Akhirat yang
sejak tadi mensejajarkan kedua tangannya di depan dada tetapi tidak menempel
pada salah satu anggota tubuh Gendala Maung, perlahan-lahan turunkan kedua
tangannya. Mulutnya menghembuskan angin pelan. Namun
akibatnya, tubuh Gendala Maung ambruk. Tatkala le-
laki berkumis baplang ini hendak bangkit kembali, Dedemit Tapak Akhirat telah
berkata, "Jangan bergerak, tetap pada kedudukan seperti itu!"
Gendala Maung yang kini tak lagi merasakan sa-
kitnya, bahkan dirasakan tubuhnya bertambah ringan, hanya menurut. Di tempatnya
mulut Dedemit Tapak
Akhirat nampak berkemak-kemik. Lalu menghem-
buskan udara ke wajah Gendala Maung yang sesaat
menjadi gelagapan.


Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus! Kini kau telah mewariskan ilmu 'Tapak
Akhirat' yang kumiliki, Gendala Maung! Sekarang juga kau tinggalkan tempat ini!
Cari dan tangkap Pendekar Slebor! Paksa dia untuk mengatakan di mana Saptacakra
tinggal! Satu hal yang terpenting lagi, jangan lupakan untuk mendapatkan Patung
Kepala Singa!"
Gendala Maung cuma menganggukkan kepalanya,
lalu perlahan-lahan duduk kembali di hadapan gu-
runya. Dari gerakan mulutnya, dia nampaknya hendak
berkata, tetapi terputus karena mendengar suara gurunya, "Tinggalkan tempat ini
sekarang!!"
Urung untuk berkata, Gendala Maung hanya
rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Kejap itu pula dia berkelebat keluar,
menerobos hujan badai
dahsyat. Kalau tadi saat dia datang dalam keadaan gelisah,
kali ini dia berkelebat dengan hati gembira. Mulutnya berkali-kali berucap, "Tak
lama lagi... tak lama lagi kau akan mampus, Pendekar Slebor...."
Sementara itu, di gubuk reyot yang tak mengalami
pengaruh apa-apa kendati berada dalam cuaca dah-
syat mengerikan itu, Dedemit Tapak Akhirat duduk
dengan kepala tegak. Matanya memancarkan sinar ke-
labu yang angker.
"Saptacakra... kini tiba saatnya untuk membalas semua perbuatanmu pada kakak
seperguruanku...,"
desisnya geram. Lalu menyambung, "Jala Kunti... aku telah bersumpah untuk
membalas semua sakit hati-mu! Dan kuharap... kutukan yang telah kau lontarkan
akan menjadi kenyataan!! Hhhh! Pemuda berjuluk
Pendekar Slebor... akan menjadi tumbal kematian Saptacakra!! Jala Kunti... biar
bagaimanapun sikapmu padaku, biar bagaimanapun kau suka menyakitiku, kau
tetaplah kakak seperguruanku, kakak yang sangat ku
sayangi...."
Habis kata-katanya, mendadak saja atap gubuk
reyot itu pecah berantakan dengan keluarkan suara
yang keras. Bukan dikarenakan sambaran petir atau
angin, melainkan kekuatan tenaga dalam dari tubuh
Dedemit Tapak Akhirat. Begitu atap gubuk itu bolong, lelaki berpakaian hitam-
hitam yang terbuka di dada dan menampakkan tulang belulangnya, segera melesat
ke atas. Dan seperti ditelan oleh gulungan angin, sosok lelaki ini telah lenyap
dari pandangan.
*** 5 Di tempat yang sangat jauh dari sana, Pendekar
Slebor hentikan kelebatannya. Kalau di Bukit Balu-
Balu hujan sedemikian ganas melabrak lama, di tem-
pat di mana Pendekar Slebor menginjakkan kakinya
sekarang, udara begitu cerah. Tak ada timbunan awan hitam di langit. Kendati
demikian, tempat yang dipenuhi ranggasan semak belukar dan pepohonan itu cu-
kup angker. "Gila! Ke mana perginya Dewi Selendang Hitam
yang kemasukan roh dari Patung Kepala Singa?" desis pemuda dari Lembah Kutukan
ini dengan mata berke-liling.
Setelah meninggalkan Kepala Besi, Andika me-
mang kembali lagi ke tempat semula. Dia bermaksud
mengikuti Dewi Selendang Hitam. Begitu tak dijum-
painya lagi, dia pun coba melacak jejaknya.
"Kutu monyet! Bahaya akan segera tumpah bila
tak segera dihentikan tindakan telengas Dewi Selen-
dang Hitam! Betul-betul kutu monyet! Mengapa aku
harus berhadapan dengan sebangsa roh segala" Dan
ada hubungan apa dengan Ki Saptacakra" Dasar gem-
blung! Apa...."
"Bicara sembarangan! Kau yang gemblung!!" terdengar makian keras itu memutus
kata-kata Andika.
Seketika Andika palingkan kepalanya ke belakang.
Tetapi tak ada siapa pun di sana. Andika kerutkan ke-ningnya seraya garuk-garuk
kepalanya. "Busyet! Apa aku salah dengar"!"
"Jangan konyol! Hei, Urakan! Telingamu tidak tuli sama sekali! Atau kau yang
berlagak tuli, hah"!" terdengar lagi bentakan itu.
Kali ini Andika melotot ke depan, tetapi tak ada
siapa pun di hadapannya. .
"E, benar-benar busyet! Siapa yang...."
Kata-katanya terputus tatkala kepalanya dijitak.
Menyusul terdengar jeritannya, "Wadaaooowwww!!"
"Gemblung! Apa kau memang jadi dungu seperti
itu hah, sampai tidak mengenaliku"!" terdengar lagi makian itu yang kali ini
berada di samping kanannya.
Andika yang tengah meringis sambil usap-usap
kepalanya, tak memalingkan wajah ke kanan. Justru
dia berkata menggerutu, "Enak banget main jitak begitu! Kalau kepalaku benjol,
kau mau menggantinya"!"
"Ya! Dengan batok kelapa!" sahutan orang terdengar lagi.
"Dasar tua bangka! Begitu muncul sudah main jitak kepala orang saja!!" gerutu
Andika lagi. Lalu seolah melihat orang itu di hadapannya dia berkata, "Eyang!
Kebetulan kau datang! Ada yang ingin kutanyakan pa-
damu!" "Soal janda bahenol atau perawan kebluk"!"
"Busyet! Sudah tua masih doyan daun muda ju-
ga," kata Andika dalam hati. Lalu sambil nyengir dia berkata, "Eyang! Apakah kau
mendengar tentang Patung Kepala Singa"!"
"Kalau Patung Kepala Monyet aku sudah menden-
gar! Tuh di hadapanku!!"
"Eh, busyet!" gerutu Andika lagi. "Aku serius!"
"Gemblung! Siapa bilang aku tidak serius, hah"!"
"Kalau aku monyet, kau ini sebangsa...."
"Manusia paling tampan sedunia!!" putus suara itu yang entah berada di mana
sambil terbahak-bahak.
Andika sendiri ngakak sejadi-jadinya. "Kalau kau tampan, bagaimana denganku yang
keren bin ganteng
ini, hah"!"
"Ya terserah bagaimana penilaianmu sendiri pada dirimu! Slebor! Urusan Patung
Kepala Singa yang telah pecah menjadi luruhan abu, adalah urusan masa lalu
yang pernah kuhadapi! Tetapi... ya dasar nasib! Justru kau yang ketiban sial!"
"Betul! Nasibku sungguh sial! Tolong deh, kau ceritakan padaku!" kata Andika
dengan nada suara seperti pada seorang sahabat.
Dia tahu kalau orang yang entah berada di mana
sekarang ini adalah Eyang buyutnya, Ki Saptacakra.
Majikan Lembah Kutukan. Kendati yang diajak bicara
adalah Eyang buyutnya sekaligus gurunya, tetapi da-
sar urakan, Andika tetap saja bicara seenak perutnya saja meskipun tak
menghilangkan adab kesopanan.
"Dengar baik-baik, aku khawatir telingamu sudah menjadi tuli!" kata orang itu
yang memang Ki Saptacakra adanya. Karena ketinggian ilmu yang dimilikinya,
Andika tidak bisa mengetahui di mana dia berada.
Lalu Andika mendengar kata-kata eyang buyutnya
kemudian. Setelah itu dia mendengus, "Sok kecakepan! Mengapa kau menolak cinta
Jala Kunti, Eyang"
Katamu tadi, dia cantik jelita! Huh! Sok menolak!"
"Busyet! Ingin rasanya kurobek mulutmu itu!"
"Kalau kau robek, bagaimana caranya aku ma-
kan?" "Ya, dari hidung!"
Andika cuma mendengus. Lalu katanya, "Jadi...
roh yang masuk pada diri Dewi Selendang Hitam ada-
lah roh Jala Kunti yang masih terbebas karena kutukannya sendiri?"
"Betul! Di samping itu... ada adik seperguruannya yang berjuluk Dedemit Tapak
Akhirat yang sejak dulu
mencari-cariku untuk membalas dendam kematian Ja-
Misteri Tuak Dewata 2 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Kemelut Di Cakrabuana 7
^