Pencarian

Rahasia Di Balik Abu 2

Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu Bagian 2


sul tangan kirinya dikibaskan ke depan.
Serta merta melesat lima larik sinar hitam yang
mengerikan. Udara yang dingin, kali ini seperti tertindih gelombang hawa panas
yang cukup terasa. Ru-
panya, Dewi Selendang Hitam langsung lipat gandakan
tenaga dalamnya, tanda dia tak mau bertindak ayal.
Blaaaammm!! Benturan keras terjadi dengan muncratnya sinar-
sinar hitam ke udara. Sosok Bidadari Tangan Bayan-
gan surut tiga tindak ke belakang, sementara Dewi Selendang Hitam masih tegak di
tempatnya. "Huh! Dengan kemampuan hanya seujung kuku
seperti itu kau telah berani jual lagak di hadapanku!
Sungguh tindakan tak tahu malu!!"
Di seberang, Bidadari Tangan Bayangan merasa-
kan dadanya cukup sesak. Segera saja dialirkan hawa
murninya guna menghilangkan rasa sakit.
Kejap kemudian, sambil gerakkan kedua tangan
diatas lalu membentuk rangkapan di depan dada, dia
berseru dingin, "Berarti... kau harus mencoba menghadapi ilmuku yang seujung
kuku ini!!"
Sebelum dia lakukan serangan, terdengar suara
Tri Sari, "Bibik... perempuan kejam itulah yang telah lakukan pembantaian di
Kuil Putra Langit, orang yang telah membunuh ayah dan saudara-saudaraku
lainnya...."
Mendengar ucapan si gadis, sesaat Bidadari Tan-
gan Bayangan melengak kaget. Sejenak dipandanginya
si gadis yang menganggukkan kepalanya. Di lain kejap dia arahkan pandangannya
kembali pada Dewi Selendang Hitam yang sedang berkata,
"Hmmm... rupanya kau sedang mencari pemban-
tai di Kuil Putra Langit! Hhh! Tak perlu bersusah
payah lagi! Karena, akulah orang yang telah membu-
nuh seluruh isi penghuni Kuil Putra Langit! Dan masih beruntung gadis berambut
kuncir kuda itu dapat lolos dari kematian! Tetapi sekarang, bukan hanya gadis
itu yang akan mampus! Karena dirimu pun akan mampus
di tanganku!!"
Di seberang Bidadari Tangan Bayangan masih te-
gak di tempatnya. Lamat-lamat terlihat tubuhnya agak bergetar tanda kemarahan
semakin naik. Dia sama sekali tak menyangka tentang kenyataan ini.
"Celaka! Kalau begitu... aku telah lakukan kesalahan yang sulit dimaafkan.
Kepala Besi yang kutuduh
dan kuburu, ternyata bersih dari tuduhan itu.
Hmmm... ternyata apa yang dikhawatirkan Pendekar
Slebor saat aku bertemu dengannya waktu lalu, men-
jadi kenyataan. Jahanam terkutuk! Perempuan celaka
ini adalah biang keladi dari segala urusan!!"
Habis membatin begitu, dengan kertakkan ra-
hangnya segera saja perempuan berbaju kuning bersih
ini mengangkat kedua tangannya ke atas. Menyusul
kedua tangan itu diputar-putar yang semakin lama
bertambah cepat. Menyusul terdengarnya angin yang
menderu-deru memekakkan telinga.
Bukan hanya menyambar dedaunan yang seketika
berguguran, tetapi juga mematahkan ranting dan da-
han pohon yang beterbangan dan bertabrakan satu
sama lain. Perubahan angin yang terjadi, membuat Dewi Se-
lendang Hitam membatin, "Nampaknya dia telah keluarkan jurus yang tentunya
sangat dahsyat. Keparat!
Padahal aku harus secepatnya memecahkan rahasia
Patung Kepala Singa, mumpung belum ada lagi orang
yang menghendakinya dan akan membuang waktuku!
Huhh!! Akan kuhancurkan dia sekarang juga!"
Di seberang, diiringi teriakan mengguntur, men-
dadak saja Bidadari Tangan Bayangan mendorong tan-
gan kanan kirinya ke depan. Seketika menggebah ge-
lombang angin raksasa yang menyeret tanah dan rang-
gasan semak belukar.
Kejap berikutnya dia sudah hempos tubuhnya ke
depan. Kedua tangannya bergerak cepat, mencecar ba-
gian tubuh mematikan dari Dewi Selendang Hitam.
Gebrakan maut yang dilancarkan Bidadari Tangan
Bayangan untuk sesaat berhasil membuat Dewi Selen-
dang Hitam tunggang langgang. Namun perempuan ke-
jam yang memiliki ilmu dua tingkat di atas Bidadari
Tangan Bayangan, segera lakukan gerakan yang me-
nakjubkan. Tetap dengan tangan kanan yang masih mende-
kap erat Patung Kepala Singa, dia mencelat ke depan.
Begitu kaki kirinya menjejak tanah, tubuhnya sudah
mencelat lagi ke samping. Sambaran gelombang angin
yang dilancarkan Bidadari Tangan Bayangan berhasil
dihindari. Menyusul kaki kanannya dilepaskan dengan
cara berputar, siap menyambar leher Bidadari Tangan
Bayangan. Bila saja perempuan yang di pinggangnya melilit
kain warna merah itu tidak bertindak sigap, tak mus-
tahil lehernya akan patah seketika.
Cepat pula Bidadari Tangan Bayangan mundur
lima tindak ke belakang. Nafasnya agak memburu. Wa-
jahnya nampak mulai kelihatan pias. Belum lagi dia
lakukan tindakan apa-apa, Dewi Selendang Hitam te-
lah menderu kembali, didahului lima larik sinar hitam yang menggebah.
"Celaka! Perempuan ini terlalu tangguh untukku!"
seru Bidadari Tangan Bayangan dalam hati. Seketika
dia bergulingan ke samping kiri.
Tatkala dirasakan Dewi Selendang Hitam terus
memburunya, Bidadari Tangan Bayangan segera
menggerakkan kedua tangannya kembali. Entah kare-
na dia telah kehilangan banyak tenaga atau tidak, gerakannya nampak mulai
melambat. Begitulah yang ada
di pikiran Dewi Selendang Hitam.
Namun perempuan tua berpakaian hitam ini di-
am-diam menyadari kalau itu adalah gerakan pancin-
gan belaka. Karena di balik gerakan lambat yang diperlihatkan lawan, tersimpan
satu kekuatan dahsyat.
Menyusul sinar putih bening menghampar dengan
kekuatan besar dan hawa panas yang tinggi. Rupanya
Bidadari Tangan Bayangan telah lepaskan jurus
'Bayangan Matahari' nya yang dahsyat.
Dewi Selendang Hitam urungkan niat menyerang
dan surut satu tindak ke belakang. Kejap itu pula dia sudah mengibaskan tangan
kirinya. Blaaammm! Entah yang keberapa kali benturan keras itu ter-
jadi. Menyusul muncratnya sinar putih dan hitam ke
udara disertai terbongkarnya tanah dan ranggasan
semak belukar. Suasana di sekitar sana semakin ber-
tambah panas. Belum lagi semuanya luruh, mendadak saja ter-
dengar gemuruh angin dahsyat ke arah Bidadari Tan-
gan Bayangan yang masih belum kuasai keseimban-
gannya. Memekik tertahan perempuan berpakaian
kuning bersih ini tatkala merasakan hawa panas men-
deru ke arahnya.
Serta merta dia membuang tubuh ke samping ka-
nan. Dan... Blaaarrr! Gelombang angin panas yang dilepaskan Dewi Se-
lendang Hitam menghantam sebuah batang pohon
yang langsung pecah rengkah dan tumbang berdebam.
Merasa serangan lawan luput dan bersamaan se-
muanya nampak kembali di pandangan, Bidadari Tan-
gan Bayangan segera berdiri dengan penuh kesiagaan.
Agak sempoyongan dengan dada yang terasa sesak.
Namun di depan, sosok Dewi Selendang Hitam
sudah tak nampak lagi di pandangannya.
"Jahanam sial!!" serunya geram dan bermaksud memburu. Namun tatkala terdengar
suara Tri Sari le-
mah, perempuan berbaju kuning bersih ini mengu-
rungkan niatnya.
Segera dia mendekati Tri Sari yang nampak sema-
kin kepayahan. Apalagi tatkala benturan demi bentu-
ran terjadi yang menggoncangkan tanah hingga tu-
buhnya terkadang terlontar ke atas, membuatnya se-
makin kesakitan.
Bidadari Tangan Bayangan mendesah pendek. La-
lu segera diobatinya putri Pendekar Sutera ini.
Setelah Tri Sari nampak pulih dari keadaannya,
Bidadari Tangan Bayangan berkata, "Tri Sari... kita harus segera mengejar Dewi
Selendang Hitam...."
Tri Sari menganggukkan kepalanya. "Bibik... apakah kau sudah bertemu dengan Dewa
Suci?" Bidadari Tangan Bayangan menggelengkan kepa-
lanya. "Tidak. Orangtua itu tidak ada di tempatnya," sa-hutnya pendek. Lalu mendesah,
"Aku telah lakukan kesalahan pada Kepala Besi...."
"Bibik... menurut perempuan kejam itu, dia telah membunuh Kepala Besi...."
"Oh! Berarti... aku belum meminta maaf atas ke-
salahanku ini...."
"Sudahlah, Bibik... kita harus segera mengambil kembali Patung Kepala Singa...,"
kata Tri Sari. Bidadari Tangan Bayangan menganggukkan kepa-
lanya. Lalu katanya, "Bila kau sudah merasa lebih baik, kita berangkat
sekarang...."
Tri Sari mengangguk dan berdiri.
Kejap kemudian, mereka segera meninggalkan
tempat itu. *** 7 Orang yang keluarkan bentakan yang membuat
Pendekar Slebor dan Kepala Besi segera palingkan ke-
pala ke arah kanan, telah berdiri tegak sejarak lima langkah. Pandangan orang
ini begitu dingin sekali.
Sesaat sunyi merebak sebelum terdengar benta-
kannya yang penuh ancaman, "Pendekar Slebor! Kau harus membayar nyawa sahabatku
si Ganda Maung!!"
Pendekar Slebor yang mengenali siapa orang ber-
pakaian biru gelap yang di dadanya terdapat selendang putih bersilangan cuma
keluarkan dengusan.
"Busyet! Rupanya kau belum puas juga kugebuk,
ya" Ayo, sini, sini! Biar kujitak kepalamu hingga jadi benjol tujuh! Atau...
kumis jelekmu itu ingin ditarik"!"
Orang yang muncul dan tak lain Gendala Maung
adanya menggeram dingin, "Jahanam keparat! Tak lagi kupersoalkan masalah Patung
Kepala Singa! Yang
kuinginkan, adalah nyawa busukmu!"
"Huh! Bila saja ada yang menjual nyawa... pasti nyawaku akan kuberikan padamu!
Tapi ya... soalnya
tidak ada yang menjual sih" Eh, ngomong-ngomong...
bagaimana kalau nyawamu yang kutukar dengan ubi
rebus" Perutku sudah keroncongan nih!"
Sementara wajah lelaki berkumis baplang itu se-
makin mengkelap, Kepala Besi diam-diam melirik Pen-
dekar Slebor. Dia sungguh tidak mengerti melihat si-
kap pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur itu. Menilik sikap
lelaki yang baru muncul begitu garang dan penuh ancaman, jelas kalau memang ada
masalah di antara keduanya. Tetapi sikap Pendekar
Slebor" Bah! Begitu santainya!
Gendala Maung yang memang sedang mencari
Pendekar Slebor untuk membalas kematian sahabat-
nya, jelas tak akan mau melepaskan kesempatan. Na-
mun diam-diam disadarinya kalau pemuda ini bukan-
lah tandingannya. Mengingat di saat bersama-sama
dengan Ganda Maung saja, mereka dibuat tak berku-
tik, apalagi kini menghadapi seorang diri.
Namun dendam telah membatu di hatinya. Den-
gan licik lelaki ini berkata, "Pertarungan jelas tak bisa dihindari lagi! Kita
selesaikan dalam dua jurus! Bila kau tak bisa mengalahkanku dalam dua jurus,
berarti kau harus membunuh diri"!"
"Bagaimana bila aku berhasil mengalahkanmu?"
sahut Andika yang diam-diam menyadari apa maksud
Gendala Maung. "Aku akan membunuh diri di hadapanmu."
"Wah! Mana bisa begitu" Aku tidak mau susah
payah mengubur mayatmu! Eh! Mengapa tidak dibalik
saja" Bagaimana bila kau yang harus mengalahkanku
dalam dua jurus?"
"Jahanam! Pemuda ini terlalu cerdik! Dia seperti tahu maksudku! Sudah tentu aku
tidak akan sanggup
mengalahkannya dalam waktu yang sesingkat itu! Ka-
laupun tadi aku berani berkata demikian, karena aku
yakin mampu menahannya dalam dua jurus!"
Habis membatin begitu, Gendala Maung mengge-
ram, "Keputusan tak bisa diubah lagi! Aku yang telah buat peraturan!"
"Wah! Mana bisa begitu" Bagaimana kalau kita jalankan gagasanku" Kau menandak
seperti monyet. Bi-
la berhasil, aku akan membunuh diri di hadapanmu"
Tetapi... tidak jadi, ah. Kau inikan keturunan bangsa monyet! Pasti kau bisa
melakukannya! Ya, ya... kita lakukan saja apa yang kau usulkan tadi!"
Gendala Maung benar-benar mengkelap menden-
gar kata-kata orang. Tak kuasa menahan amarahnya
lebih lama lagi, dia segera menerjang ke depan.
Namun sebelum serangan itu sampai pada Andi-
ka, mendadak saja Kepala Besi sudah memapakinya.
Desss!! Masing-masing orang surut dua tindak ke bela-
kang. Sementara Gendala Maung bertambah murka,
Kepala Besi berkata, "Andika... kau tak boleh membuang waktu untuk mendapatkan
Patung Kepala Sin-
ga! Lebih baik segera berangkat sekarang!"
"Huh! Kau mengganggu kesenanganku saja! Pa-
dahal kan aku ingin menjitak kepalanya!"
Sebelum Kepala Besi menyahuti kata-kata si pe-
muda, Gendala Maung sudah keluarkan bentakan,
"Pemuda keparat! Kubunuh kau!!"
Menyusul tubuhnya melesat ke depan.
Namun Kepala Besi kembali memapakinya seraya


Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata, "Jangan buang waktu lagi, Andika!"
Di tempatnya, Andika cuma garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal.
"Kalau begitu maumu ya... boleh saja. Eh! Aku ti-tip jitakan di kepalanya, ya"!"
Setelah berkata begitu, pemuda urakan ini pun
segera berlalu. Itu memang lebih baik. Karena Andika berpikir, dia tak boleh
membuang waktu lagi. Segala
latar belakang Patung Kepala Singa telah didengarnya.
Berarti, dia memang harus memecahkan rahasia Pa-
tung Kepala Singa.
Sepeninggal Andika, Gendala Maung segera me-
numpahkan kemarahannya pada Kepala Besi. Seran-
gan demi serangan yang dilancarkannya begitu ganas
dan mengerikan. Setiap kali dia gerakkan tangan atau kakinya, seketika menderu
angin yang keras menggemuruh.
Namun Kepala Besi pun bukan orang sembaran-
gan. Dengan gerakan-gerakan aneh di mana dia selalu
menyerang dengan kepalanya, Gendala Maung dibuat
surut berulangkali.
Lima belas jurus pun berlalu begitu cepatnya, se-
mentara tempat yang tadi tenang itu kini telah porak poranda disertai teriakan-
teriakan membahana.
Tiga jurus kemudian, Kepala Besi sengaja mulai
mengendurkan serangannya. Karena sesungguhnya
dia memang tidak ingin melancarkan serangan lebih
lama. Yang dilakukannya, hanyalah menahan Gendala
Maung belaka dan memberikan kesempatan pada An-
dika untuk berlalu.
Padahal bila Kepala Besi tahu, usul yang dilontar-
kan oleh Gendala Maung tadi dengan mudahnya dapat
dilakukan Andika. Hanya saja, pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan itu sadar apa yang akan
terjadi nanti. Bila dia berhasil mengalahkan Gendala Maung da-
lam dua jurus, tak mustahil Gendala Maung akan
membunuh diri di hadapannya. Hal ini jelas tak dihendaki oleh Andika. Makanya,
dia sengaja membiarkan
Kepala Besi yang menghadapi Gendala Maung.
Sementara itu, Kepala Besi yang memang sengaja
mengurangi serangannya mencoba mencari kesempa-
tan untuk meloloskan diri. Karena dia memang tidak
mau meneruskan pertarungan itu lebih lama.
Namun apa yang dihendakinya itu telah terbaca
oleh Gendala Maung. Lelaki berkumis baplang yang
murka ini, tak mau membiarkan Kepala Besi lolos dari setiap serangannya. Dan
menilik apa yang telah masing-masing orang lakukan, jelas kalau keduanya be-
rimbang. Dengan gusar disertai makian-makian yang me-
merahkan telinga, lelaki berbaju biru gelap ini terus mencecar dengan ganas.
Mendapati lawan terus menyerangnya, membuat Kepala Besi pun tak dapat ber-
tindak ayal. Kembali dipergencar serangannya pula. Hingga le-
tupan demi letupan yang terdengar, benturan keras
yang menyakitkan, berulang kali terjadi.
Akan tetapi, Kepala Besi tetap berkeinginan tidak
meneruskan pertarungan itu. Dalam satu kesempatan,
dia meluruk dengan kepala tertunduk.
Gendala Maung sejenak terkesiap, sebelum akhirnya
melompat ke muka dengan sikut kanan ditekuk dan
siap dihantamkan pada kepala lawan.
Memang itulah yang diharapkan oleh Kepala Besi.
Serangan kepalanya yang dilakukan kali ini, hanyalah merupakan sebuah pancingan
belaka. Karena begitu
tubuh Gendala Maung melayang naik dan siap han-
tamkan sikut kanannya, mendadak saja dengan kaki
kanan menjejak tanah, tubuh Kepala Besi berbalik ke
belakang. Saat itulah jotosannya dilepaskan.
Bukkk! Telak menghantam dada Gendala Maung yang ter-
suruk ke belakang. Bila saja Kepala Besi menghendaki nyawanya, maka dengan
mudahnya dilakukan. Selagi
lawan masih tak mampu kuasai keseimbangannya,
bukanlah hal yang sulit untuk lepaskan pukulan kem-
bali. Tetapi lelaki berkepala plontos ini justru putar tubuh dan kejap itu pula
dia berkelebat menjauh.
Sadar kalau telah terjebak oleh serangan lawan,
Gendala Maung berteriak garang. Tangan kanannya
dikibaskan ke depan. Gelombang angin yang menderu
gagal menghantam Kepala Besi karena lelaki itu telah menjauh.
"Jahanam terkutuk!!" maki Gendala Maung keras tetapi tidak mengejar, karena
dadanya dirasakan cukup nyeri.
Sesaat lelaki berkumis baplang ini keluarkan ge-
raman dingin. Menyusul dia segera alirkan tenaga da-
lamnya guna menghilangkan rasa sakit di dadanya.
Setelah beberapa saat, lelaki ini angkat kepalanya lagi.
"Pendekar Slebor dan Kepala Besi... tunggulah
pembalasanku kelak...."
Habis keluarkan ucapan yang seperti ditujukan
pada angin yang berhembus, salah seorang dari Dua
Iblis Lorong Maut ini segera berlalu meninggalkan
tempat itu. *** 8 Pagi kembali datang. Burung-burung beterbangan
kian kemari dan keluarkan suara bercicitan yang enak didengar. Beberapa dedaunan
berguguran dan terbang
menjauh dari asalnya. Dalam kesejukan udara dan si-
nar matahari yang masih terasa suam-suam kuku,
Dewi Selendang Hitam tiba di tempat itu.
Sejenak perempuan yang dari kepala hingga seba-
gian wajahnya tertutup selendang warna hitam ini,
perhatikan sekelilingnya. Mendadak dikertakkan ra-
hangnya seraya mendesis, "Kurang ajar! Seharusnya kubunuh saja Bidadari Tangan
Bayangan dan gadis
bernama Tri Sari itu! Sungguh tak kusangka kalau ada yang luput dari pembantaian
yang kulakukan di Kuil
Putra Langit! Tetapi... nasibku masih beruntung... karena bila gadis itu mati
kubunuh, niscaya aku tetap
tak akan mengetahui di mana Patung Kepala Singa be-
rada!" Perlahan-lahan diarahkan pandangannya pada
Patung Kepala Singa yang berada di tangannya. Me-
nyusul dia segera melompat ke balik ranggasan semak
belukar. Pancaran matanya berbinar-binar gembira
tatkala kembali pandangi Patung Kepala Singa.
"Akhirnya... kudapatkan pula Patung Kepala Singa yang sejak lama membuatku
bertanya-tanya, ada apa
di balik semua ini...," desisnya gembira. "Hmmm... Kepala Besi yang dulu
memiliki benda ini telah mampus
di tanganku. Memang sayang, karena aku tak bisa ber-
tanya lebih lanjut tentang rahasia yang ada pada Pa-
tung Kepala Singa ini...."
Sejenak perempuan ini terdiam sebelum melan-
jutkan kata-katanya, "Kendati demikian... apa yang kudengar selama ini tentang
Patung Kepala Singa, tak akan kubiarkan begitu saja. Satu-satunya jalan untuk
memecahkan rahasia apa yang ada pada benda ini,
adalah dengan jalan menghancurkannya. Ya, dengan
cara menghancurkannya...."
Kembali dipandanginya patung yang keluarkan
cahaya perak itu dengan pancaran mata kian berbinar.
Lalu diperhatikan sekelilingnya lagi.
Tatkala disadarinya tak ada orang lain di sana, se-
gera saja perempuan ini angkat tangan kanannya, siap untuk memukul hancur Patung
Kepala Singa. Namun sebelum dilakukannya, mendadak telin-
ganya menangkap satu kelebatan tubuh dari kejau-
han. Sambil keluarkan dengusan, segera diurungkan
niatnya dan mengintip dari balik ranggasan semak be-
lukar. "Pendekar Slebor...," desisnya begitu melihat siapa orang yang berkelebat.
"Celaka! Urusanku akan menjadi panjang. Pemuda itu sedang mencari pembantai di
Kuil Putra Langit, sekaligus mencari Patung Kepala
Singa. Keparat betul! Bila menuruti kata hatiku, sudah kuhajar dia sekarang!
Tetapi... aku tak boleh membuang waktu! Rahasia Patung Kepala Singa harus ku-
pecahkan...."
Sesaat perempuan kejam ini terdiam, sebelum ak-
hirnya memutuskan untuk segera meninggalkan tem-
pat itu. Tak lama kemudian, pemuda dari Lembah Kutu-
kan tiba sejarak tujuh langkah dari tempat Dewi Se-
lendang Hitam bersembunyi tadi. Sejenak pemuda ini
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Patung Kepala Singa... Patung Kepala Singa...
huh! Pusing amat kepalaku ini dibuatnya"!" makinya pada diri sendiri, karena di
sana memang tidak ada
siapa pun. "Menurut cerita Kepala Besi yang ternyata pemilik sah dari Patung
Kepala Singa, patung itu me-nyimpan sebuah rahasia yang memang sungguh me-
nakjubkan. Ada luruhan dalam cahaya perak yang
pernah dilihat Eyang Kapi Pitu... Luruhan abu... luruhan yang tentunya berasal
dari abu patung itu sendi-
ri...." Sejenak Pendekar Slebor terdiam. Otaknya diperas untuk memecahkan
rahasia apa yang ada pada Patung
Kepala Singa. Kemudian desisnya, "Luruhan abu... apakah ra-
hasia itu terdapat pada luruhan abu Patung Kepala
Singa" Tetapi menurut cerita Eyang Kapi Pitu yang
kudengar dari Kepala Besi... tak terdapat apa-apa pada luruhan abu itu.
Lantas... apa maksud cahaya yang
menggambarkan kepala singa kemudian menjadi luru-
han abu. Atau jangan-jangan...."
"Rupanya pemuda konyol lagi yang bertemu den-
ganku! Hei! Apakah kau sedang memikirkan betapa
bahenolnya janda yang baru saja bertemu dengan-
mu"!" terdengar seruan bernada nyaring itu yang memutus jalan pikiran Andika.
Serta merta Andika palingkan kepalanya ke arah
kiri. Dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian hitam
gombrang yang di pinggangnya melilit selendang hitam
sedang melangkah. Wajah perempuan itu dipenuhi ke-
riput. Di kepalanya yang berambut putih terdapat se-
buah sanggul kecil.
Andika tertawa. Lalu membalas, "Bagaimana aku
bisa bertemu dengan janda bahenol, bila yang muncul
justru nenek peot jelek yang bau tanah"!"
Perempuan tua yang muncul itu tertawa pula dan
berhenti sejarak tiga tindak dari hadapan Andika.
"Huh! Pemuda seperti kau ini... kambing diberi
bedak pun bisa disikat!"
"Wah! Kalau kambing itu jeleknya seperti kau...
mana aku mau Nek!"
Perempuan tua itu keluarkan dengusan. "Dasar
urakan! Ngomong-ngomong... apakah kau sudah men-
dapatkan Patung Kepala Singa dari tangan Kepala Be-
si?" Andika menggelengkan kepalanya. "Nek! Kau telah lakukan kesalahan bila
mengatakan Kepala Besi lah
orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di
Kuil Putra Langit!"
Perempuan tua yang bukan lain Nyi Dungga Ratih
adanya, mengerutkan kening. Lalu bertanya heran,
"Mengapa kau berpikir seperti itu?"
"Siapa dulu dong" Andika...," sahut Andika sambil menepuk dadanya. Lalu
melanjutkan, "Orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit adalah
perempuan tua berjuluk Dewi Selendang Hitam...."
"Dewi Selendang Hitam" Setahuku... bukankah
dia telah mengundurkan diri dari rimba persilatan setelah dipecundangi oleh
Kepala Besi?"
"Kau benar! Tetapi perempuan itu muncul kembali dan mengalahkan si Kepala Besi,
juga menghendaki
Patung Kepala Singa yang ternyata Kepala Besi lah
pemilik sah benda itu!"
"Jangan bicara ngawur!" bentak Nyi Dungga Ratih.
"Apa-apaan kau bilang Kepala Besi pemilik sah dari Patung Kepala Singa"!"
"Kenyataannya memang seperti itu!"
"Huh! Mengapa kau tiba-tiba seperti membe-
lanya"!" sentak Nyi Dungga Ratih dengan mata melotot. "Busyet! Mana bisa aku
membelanya" Sejak pertama pun aku sudah menduga kalau bukan lelaki ber-
kepala plontos itu yang telah lakukan pembantaian...."
Nyi Dungga Ratih tak segera menjawab. Justru
pandangannya tak berkedip pada Andika.
"Dari mana kau tahu semua itu" Dan bagaimana
kau bisa tahu kalau Kepala Besi tak memiliki sehelai rambut pun?"
"Pertanyaan pertamamu dengan mudah bisa ku-
jawab. Semuanya kuketahui... dari Kepala Besi sendiri.
Pertanyaanmu yang kedua pun mudah kujawab, kare-
na aku telah bertemu dengannya...."
"Hei!!" tiba-tiba saja Nyi Dungga Ratih keluarkan seruan tertahan. Bahkan dia
sampai surut satu tindak ke belakang. Wajahnya sejenak menampakkan kehe-ranan
yang sangat. Namun kejap berikutnya, sudah
diubah lagi mimik wajahnya.
Andika yang memperhatikan diam-diam membatin
heran, "Aneh! Mengapa dia begitu terkejut" Apa yang sebenarnya terjadi" Hmmm...
bisa jadi keterkejutannya itu dikarenakan dia tetap menyangka Kepala Besi lah
orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra
Langit." Lalu terdengar suara Nyi Dungga Ratih, "Kapan
kau berjumpa dengannya?"
"Aneh lagi! Pertanyaannya itu seolah menggam-
barkan kalau dia merasa Kepala Besi sudah mampus!
Huh! Dasar sudah bau tanah, sudah mulai pikun ru-
panya!" kata Andika dalam hati. Kemudian berkata,
"Nek... kau ini kenapa sih" Sepertinya kau begitu heran mendengar apa yang
kukatakan."
"Kapan kau berjumpa dengannya?" ulang Nyi Dungga Ratih, kali ini agak menekan.
"Baru kemarin aku berjumpa dengannya! Nah,
nah... menilik suaramu... nampaknya kau begitu tak
sabar ingin berjumpa dengannya! Jangan-jangan... le-
laki plontos itu kekasihmu ya. Nek" Tapi ya... kalau kekasihmu, mengapa kau
pernah menuduhnya" Ih!
Bagaimana sih ini?"
Nyi Dungga Ratih tak menjawab. Jelas sekali ka-


Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lau dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Tahu-tahu perempuan tua ini
mengangkat kepalanya dan berkata,
"Di mana kau bertemu dengannya?"
"Busyet! Kau benar-benar sudah tidak sabar un-
tuk bertemu dengannya, ya" Wah... bila kau menghen-
daki jawaban, carikan aku makanan dulu deh! Perutku
lapar! Tidak usah yang mahal-mahal... ubi rebus juga boleh!"
Di luar dugaan Andika, Nyi Dungga Ratih justru
keluarkan bentakan, "Jangan bertele-tele! Jawab pertanyaanku itu!!"
"Kutu monyet! Apa-apaan sih nenek ini" Mengapa
dia tahu-tahu jadi beringas begitu" Huh! Ini pasti disebabkan karena dia tidak
percaya mendengar kata-
kataku tadi! Dan jelas pula kalau dia sebenarnya ma-
sih menyangka Kepala Besi lah yang telah membunuh
orang-orang Kuil Putra Langit. Hmm... ini harus dibe-reskan dulu sebelum
akhirnya jadi salah paham, se-
perti yang pernah dilakukan Bidadari Tangan Bayan-
gan pada Kepala Besi."
Berpikir begitu Andika segera menjawab, "Kalaupun kukatakan tempat di mana aku
bertemu dengan Kepala Besi, sudah bisa dipastikan kalau lelaki itu sudah tidak ada di sana.
Berarti, kau akan percuma
mendatanginya...."
Nyi Dungga Ratih hanya mendengus.
Andika membatin lagi, "Aku tidak tahu apakah
Kepala Besi berhasil mengatasi Gendala Maung. Teta-
pi... lelaki tinggi besar itu telah pulih tenaganya setelah bertarung dengan
Dewi Selendang Hitam. Paling tidak, bila dia memang tidak mampu mengatasi
Gendala Maung, dia bisa meloloskan diri."
Habis membatin begitu Andika berkata lagi,
"Nek... apa yang kukatakan tadi adalah sebuah kebenaran. Orang yang telah
lakukan pembantaian di Kuil
Putra Langit berjuluk Dewi Selendang Hitam. Bukan
Kepala Besi. Sementara saat berjumpa dengannya, Ke-
pala Besi dalam keadaan terluka parah akibat perta-
rungannya dengan Dewi Selendang Hitam. Lelaki itu
menceritakan, lalu dia berlagak mampus setelah diha-
jar oleh Dewi Selendang Hitam! Bila dia tidak melakukan seperti itu, bisa
terjadi...."
Kata-kata Andika terputus tatkala mendengar su-
ara Nyai Dungga Ratih, "Kita berpisah di sini!"
Gondok juga Andika kata-katanya diputus seperti
itu. Makanya dia berkata, "Berpisah di sini atau di sa-na juga sama saja!
Tetapi... kau ini kenapa" Jangan-
jangan... kau lagi sakit gigi, ya?"
Tak menjawab selorohan Pendekar Slebor, perem-
puan berbaju hitam itu justru arahkan pandangannya
lekat-lekat pada Andika. Diam-diam pemuda urakan
dari Lembah Kutukan ini, menangkap sinar tak senang
dari pancaran mata itu, jelas dikarenakan pertanyaannya barusan. Menyusul
didengarnya suara Nyi Dungga
Ratih, tajam dan tegas, "Masih ada beberapa hal yang harus kubuktikan dari
penjelasanmu, Pendekar Slebor.... Dan nampaknya, aku tak bisa menjelaskannya
sekarang...."
"Bisa atau tidak bisa toh bukan urusanku! Sudah-
lah, kau pergi sana! Bila kau terus menerus berada di hadapanku, jangan-jangan
orang-orang yang meli-hatku menyangka aku sedang bicara dengan orang-
orangan sawah!"
Nyi Dungga Ratih tak hiraukan selorohan Andika.
Setelah keluarkan dengusan, perempuan tua ini segera berkelebat meninggalkan
tempat itu. Sepeninggal Nyi Dungga Ratih, Andika membatin,
"Ada sesuatu yang aneh di sini... sesuatu yang harus mendapatkan kejelasan dari
semua ini...."
Habis membatin demikian, pemuda yang di leher-
nya melilit kain bercorak catur ini segera tinggalkan tempat Itu, yang saat itu
pula direjam sepi menggigit.
*** 9 Di sebuah tempat yang cukup jauh dari perte-
muan Pendekar Slebor dan Nyi Dungga Ratih, Dewi Se-
lendang Hitam menggeram sendirian di balik rangga-
san semak. Patung Kepala Singa masih berada di tan-
gan kanannya. "Jahanam terkutuk! Rupanya Kepala Besi belum
tewas! Sial! Menilik kata-kata Pendekar Slebor, jelas kalau sebelumnya Kepala
Besi memang belum tewas!
Keparat Plontos! Dia mengelabuiku dengan berlagak
mampus! Jahanam sial!!"
Perempuan yang dari kepala hingga sebagian wa-
jahnya tertutup selendang hitam itu menggeram pan-
jang pendek. Mendadak dia keluarkan dengusan di-
iringi kata-kata, "Peduli setan dengan semua itu! Aku harus secepatnya
memecahkan rahasia Patung Kepala
Singa sebelum ada urusan lain datang."
Setelah memperhatikan tempat di sekitarnya, pe-
rempuan ini segera angkat tangan kirinya dan siap
memukul hancur patung yang memancarkan sinar pe-
rak. Namun sebelum dilakukannya, mendadak terden-
gar suara, "Apakah kau hanya memandang sebelah mata kepadaku" Atau... kau tak
lagi menganggapku
sebagai sahabat?"
Seketika Dewi Selendang Hitam palingkan kepala
membuka lebih lebar. Di belakangnya, satu sosok tu-
buh berpakaian hijau pekat telah berdiri. Bukan den-
gan kedua kaki, melainkan dengan kedua tangannya
sementara kedua kakinya menjulang ke atas.
"Bocah Liar...," desisnya dalam hati. "Gila! Sejak kapan lelaki jahanam
bertampang bocah ini hadir di
sini" Sejak tadi aku tidak melihat dirinya...."
Orang yang keluarkan suara tadi, tertawa pelan.
Suaranya tidak enak didengar. Lalu dengan gerakan
lincah, dia putar tubuh dan berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Tatkala berdiri itu, sosoknya hanya setinggi bahu
Dewi Selendang Hitam. Rambutnya panjang berombak
hingga bahu. Hidungnya mancung dengan bibir tipis
yang agak memerah. Namun matanya begitu dingin
dan kejam, bahkan berkilat-kilat seperti pancarkan
niat membunuh. Julukan Bocah Liar bukan julukan kosong belaka.
Lelaki yang sebenarnya berusia tidak jauh berbeda
dengan Dewi Selendang Hitam ini dikenal sebagai
pembunuh keji yang tak pernah memikirkan rasa belas
kasihan. Siapa pun orang yang ingin dibunuhnya, ma-
ka dia harus mati saat itu pula.
Tiga puluh tahun yang lalu, Dewi Selendang Hi-
tam memang telah menjalin persahabatan dengan Bo-
cah Liar. Karena sesungguhnya, Bocah Liar secara ti-
dak langsung adalah gurunya. Setelah dulu dikalah-
kan oleh Kepala Besi, Dewi Selendang Hitam memang
berguru pada lelaki bertampang bocah itu. Namun Bo-
cah Liar tak pernah mau dianggap sebagai guru. Hal
itu bagi Dewi Selendang Hitam sendiri memang lebih
baik, ketimbang dia harus tinggikan segala sopan santun dan tetek bengek
peradaban. Namun kehadiran Bocah Liar yang tak disang-
kanya, jelas tak membuatnya suka. Padahal seta-
hunya, lelaki bertampang bocah itu sudah memu-
tuskan untuk mengundurkan diri dari rimba persila-
tan. Kalaupun sekarang tahu-tahu muncul, sudah ten-
tu ada urusan yang tak bisa dilepaskan. Pandangan-
nya pun berubah dingin dan penuh kebencian.
"Mau apa kau muncul di hadapanku, hah"!" har-diknya segera.
Lelaki bertampang bocah itu hanya keluarkan ta-
wa pendek. "Bila saja dulu aku tidak pernah berkata, bahwa kau akan kujadikan
sahabatku, bukan muridku, sudah kuhajar kau sekarang, Dewi!!"
"Jahanam terkutuk! Kendati aku yakin dia tak
menurunkan ilmu-ilmunya padaku... tetapi aku tak
peduli! Bila dia bertindak macam-macam, akan kubu-
nuh dia!" Habis membatin begitu, Dewi Selendang Hitam
berkata, "Lantas apa maumu, hah"!"
"Kulihat... di tanganmu ada sebuah benda yang
begitu indah dan pancarkan cahaya perak. Kalau tidak salah, bukankah itu Patung
Kepala Singa?"
"Bila iya kau mau apa, bila tidak kau mau apa"!"
sahut Dewi Selendang Hitam dan diam-diam dialirkan
tenaga dalam pada tangan kirinya.
Bukannya sahuti ucapan orang, Bocah Liar justru
tertawa keras-keras. Seperti ada hamparan angin yang
menghantam, tanah di mana dia berdiri berhamburan.
Menyusul ranting-ranting pohon yang patah beterban-
gan serta bertabrakan satu sama lain, hingga timbul-
kan suara berderak-derak.
Diam-diam Dewi Selendang Hitam jeri juga meli-
hat sebagian kecil tenaga dalam yang dipamerkan lela-ki bertampang bocah itu.
Tetapi rasa tidak sukanya
karena kehadiran Bocah Liar, membuatnya tak peduli
dengan semua itu!
"Bocah sialan! Menilik kata-katanya, dia juga
mempunyai keinginan untuk mendapatkan Patung Ke-
pala Singa! Hhhh! Biar bagaimanapun juga, akan ku
pertahankan benda yang kudapatkan dengan susah
payah ini!!" makinya dalam hati.
Lalu didengarnya kata-kata Bocah Liar di sela-sela
tawanya, "Kau nampaknya tak menyukai kehadiranku, Dewi! Peduli setan kau suka
atau tidak! Dan menilik
ketidaksukaanmu itu, jelas dikarenakan Patung Kepa-
la Singa, bukan?"
"Kalau kau sudah tahu, lebih baik menyingkir!
Hubungan kita bukanlah murid dengan guru!"
"Kupahami sekali kata-katamu itu! Kita hanya sahabat! Karena persahabatan itulah
maka aku pu- tuskan untuk tidak mengganggu apa yang kau hendaki
dari Patung Kepala Singa! Dan sekarang, bukankah le-
bih baik bila aku berada di sini ketimbang kau seorang diri, Dewi?"
"Sial! Kata-katanya seperti menunjukkan kalau
dia memang tidak tertarik. Tetapi di balik semua itu, tentunya dia akan merebut
bila aku telah berhasil
memecahkan rahasia Patung Kepala Singa. Jahanam
terkutuk!!"
Kendati membatin demikian, perempuan ini ber-
kata juga, "Bila kau pegang ucapanmu itu, maka aku akan menghargaimu!"
"Sudah tentu aku akan memenuhinya! Karena...
aku mencintaimu, Dewi!!"
Sampai surut satu langkah Dewi Selendang Hitam
mendengar kata-kata orang. Sejenak dia tak keluarkan suara, hanya sepasang
matanya menatap tak berkedip
pada lelaki bertampang bocah yang sedang tersenyum
di hadapannya. "Gila! Pernyataan gila yang pernah kudengar! Tetapi... suara dan pancaran
matanya begitu polos! Huh!
Kendati demikian, aku tak boleh terpengaruh!"
Habis membatin begitu, Dewi Selendang Hitam
berkata, "Bila kau memang jujur dengan yang kau katakan, bantu aku memecahkan
rahasia patung ini!"
"Sudah tentu aku akan membantumu.... Tetapi...."
Bocah Liar nampak seperti sengaja memutus ka-
ta-katanya sendiri. Sementara Dewi Selendang Hitam
menggeram dalam hati, "Peranan apa lagi yang akan dimainkannya" Benar-benar
manusia celaka yang
hanya membuang waktuku saja! Bila bukan dia yang
hadir, sudah kubunuh sekarang juga! Tetapi... tenaga dan kesaktiannya dapat
kupergunakan bila sesuatu
yang tak kuinginkan terjadi...."
"Apa maumu?" serunya kemudian.
Bocah Liar hanya tertawa sambil berkata, "Dewi...
apakah kedua telingamu kini sudah tuli, hingga kau
tidak menangkap gerakan yang datang ke sini" Menilik gerakannya, orang yang
datang ini memiliki ilmu yang lumayan. Dan menilik desah nafasnya, dia jelas
seorang gadis...."
Seketika kepala Dewi Selendang Hitam menegak.
Diam-diam dikaguminya kesaktian yang diperlihatkan
lelaki bertampang bocah itu.
"Seorang gadis" Apakah bukan putri Pendekar Su-
tera" Tetapi, bukankah saat kutinggalkan dia bersama dengan Bidadari Tangan
Bayangan?" batinnya dan
berkata, "Bila memang dia seorang gadis, apakah kau masih memikirkan atau
bertanya kepadaku tindakan
apa yang akan kau lakukan?"
Bocah Liar tertawa keras.
"Kau memang pandai mengetahui apa yang kuin-
ginkan! Seperti dulu, kau tidak pernah marah atau
cemburu saat kuculik gadis-gadis dan kucumbu, yang
terkadang kulakukan di hadapanmu!"
"Mengapa kau tidak menyambarnya sekarang?"
"Mengapa harus kulakukan, kalau gadis itu justru sedang menuju ke sini"!"
Habis kata-katanya, lelaki bertampang bocah yang
kenakan pakaian warna hijau gelap itu, melangkah
santai keluar dari balik ranggasan semak belukar.
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam menjadi pe-
nasaran untuk mengetahui siapa yang datang. Dipan-
danginya sesaat Patung Kepala Singa.
"Terpaksa harus kutunda lagi keinginanku untuk
memecahkan rahasia patung ini. Biar bagaimanapun
juga, aku tak bisa mempercayai lelaki bertampang po-
los itu. Hmmm.. biarlah dia bersenang-senang dengan
gadis yang datang ini, sementara akan kupergunakan
kesempatan itu untuk memukul hancur patung ini!
Mudah-mudahan apa yang menjadi rahasia itu me-
mang ada di dalamnya...."
Memutuskan demikian, perempuan yang kepa-
lanya tertutup selendang hitam dan nampak ada sedi-
kit tonjolan, segera menyusul Bocah Liar.
Masing-masing orang tak ada yang keluarkan sua-
ra. Tegak bersisian sejarak tiga tindak.
Lima kejapan mata berikutnya, nampak satu so-
sok tubuh berpakaian ringkas biru kehijauan tiba di
tempat itu yang segera hentikan larinya. Bibir gadis berambut dikuncir dua ini


Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tipis memerah, terkatup ra-pat saat sepasang mata jernihnya pandangi kedua
orang yang berbeda jenis di hadapannya.
Di hadapannya, Bocah Liar tertawa dan berkata,
"Dewi Selendang Hitam... kau lihat apa yang kukatakan tadi, bukan" Bagaimana"
Apakah bila kugeluti ga-
dis itu kau tidak cemburu dan tetap menerima cinta-
ku?" "Cinta taik kucing!!" maki Dewi Selendang Hitam dalam hati. Lalu berkata
dingin sementara pandangannya tak berkedip pada gadis yang baru muncul,
"Apa yang hendak kau lakukan, bukanlah urusanku!
Bila kau memang menghendakinya, mengapa kau ti-
dak segera melakukan sekarang?"
"Sudah tentu akan kulakukan sekarang! Terlalu
bodoh bila kutinggalkan kenikmatan yang satu ini!"
sahut Bocah Liar tertawa. Lalu seraya maju satu langkah, lelaki bertampang bocah
ini berkata pada si gadis,
"Anak manis... hendak ke manakah kau ini" Nampaknya be-
gitu tergesa-gesa sekali?"
Gadis yang tak lain Nawang Wangi adanya terdiam
dengan pandangan tak berkedip pada kedua orang di
hadapannya. Murid Bidadari Tangan Bayangan yang
baru lepas dari perbuatan terkutuk yang hendak dila-
kukan Gendala Maung membatin dalam hati, "Celaka!
Nampaknya kedua orang ini bukan orang baik-baik!
Oh.. Mengapa Dewi Suci justru mengarahkanku ke
mereka" Padahal yang kuharapkan adalah berjumpa
dengan Guru seperti yang dikatakannya."
Karena tak mendapati sahutan, Bocah Liar berka-
ta lagi, "Kendati siang sudah melangkah... tetapi udara begitu dingin. Aku
menghendakimu sebagai penghan-gat, gadis manis?"
Memerah wajah Nawang Wangi mendengar kata-
kata orang. Saat itu pula hatinya tersinggung. Teruta-ma tatkala teringat
perlakuan Gendala Maung kepa-
danya. Sambil maju selangkah dan alirkan tenaga dalam
pada tangan kanan dan kirinya, dia berseru keras,
"Manusia terkutuk! Ucapanmu begitu kotor dan menjijikkan! Lebih baik menyingkir
dari hadapanku, sebe-
lum kau menyesal!!"
Bukannya segera sahuti ucapan orang, Bocah Liar
justru palingkan kepala pada Dewi Selendang Hitam,
agak mendongak, "Kau dengar kata-katanya, Dewi?"
Dewi Selendang Hitam mendengus. "Hhhhh! Bila
kau menghendakinya, mengapa masih banyak bica-
ra"!" "Kau benar-benar sudah tak sabar ingin melihat pertunjukan masyuk, ya"
Akan kulakukan untukmu!!"
Habis kata-katanya, tanpa mempedulikan wajah
perempuan di sampingnya mengkelap gusar, menda-
dak saja lelaki yang tingginya hanya sebahu itu, menggerakkan tangan kanannya ke
depan. Nawang Wangi yang sejenak tadi sudah bersiaga,
ternyata harus dibuat terkejut pula tatkala merasakan hawa dingin seperti
menyergap kedua kakinya. Cepat
murid Bidadari Tangan Bayangan ini angkat kedua
kakinya dan berpindah tempat.
Namun sebelum dia kembali jejakkan tanah, men-
dadak saja kedua kakinya kembali disergap hawa din-
gin. "Heeiii!!" jeritnya tertahan dan segera hempos tubuh kembali.
Rupanya Bocah Liar memang tak mau membuang
waktu. Selagi tubuh si gadis semakin melambung,
dengan ringan saja kembali digerakkan tangan kanan-
nya. Kali ini serangkum hawa dingin bukan hanya siap untuk menyergap kaki kanan
dan kiri, melainkan sekujur tubuh si gadis.
Sudah tentu Nawang Wangi kalang kabut dibuat-
nya. Dan gadis ini benar-benar tak mampu untuk
menghindar kembali. Maka saat itu pula tubuhnya se-
perti digulung oleh hawa dingin. Anehnya, tubuhnya
tidak ambruk, melainkan turun perlahan-lahan yang
kemudian seperti tangan lembut membaringkannya di
atas tanah. Kejap itu pula terdengar makiannya, "Lepaskan
aku! Lepaskan aku!"
Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam diam-diam
membatin, "Luar biasa! Kesaktian lelaki tua bangka bertampang bocah ini memang
hebat! Hhhh! Aku tahu
apa maksudnya dia perlihatkan ilmu seperti itu! Tentunya untuk melecehkanku, karena
dia tak menurunkannya
kepadaku!"
Sementara Nawang Wangi mencoba berontak
sambil keluarkan makian-makian keras, Bocah Liar
sedang tertawa sendirian. Lalu sambil tengadahkan
kepalanya pada Dewi Selendang Hitam dia berkata,
"Bagaimana?"
"Jahanam! Dari pertanyaannya itu jelas kalau dia sedang mengejekku!" maki Dewi
Selendang Hitam dalam hati. Lalu berseru ketus, "Apa maksudmu dengan bagaimana?"
"Apakah kau sengaja tidak segera menjauh dari
sini memang untuk melihat aku menggeluti gadis itu,
atau kau berharap aku akan melakukannya juga pa-
damu?" Sebelum Dewi Selendang Hitam yang siap lontar-
kan makiannya, lelaki berbaju hijau pekat itu sudah
melanjutkan kata-katanya, "Jangan kuatir... aku masih sanggup untuk melayanimu!!
Bahkan... berkali-kali kau minta, akan kulayani... ha ha ha ha!!"
"Bangsat keparat!" maki Dewi Selendang Hitam dalam hati. Hampir saja dia
mengangkat tangan ki-
rinya untuk mengepruk kepala Bocah Liar. Namun
masih disadarinya kalau dia harus mempergunakan
kesempatan itu untuk memecahkan rahasia Patung
Kepala Singa. Makanya dia berkata, "Silakan kau tun-taskan segala keinginanmu!!"
Di luar dugaannya, Bocah Liar justru berkata,
"Dan tentunya... di dasar hatimu kau senang dengan yang akan kulakukan ini,
bukan" Karena kau dapat
pergunakan kesempatan ini untuk meneruskan niat-
mu pada patung itu! Tetapi... he he he... ingatlah, kau tak akan lepas dari
tanganku kendati kau berada di
seberang lautan sekalipun!"
Dewi Selendang Hitam hanya kertakkan rahang-
nya saja. Kejap kemudian, perempuan yang dari kepa-
la hingga sebagian wajahnya tertutup oleh selendang
warna hitam itu, segera berkelebat cepat. Namun baru tiga tindak dia bergerak,
mendadak saja satu gelombang angin menderu dahsyat, menyusul hamparan si-
nar putih terang menggebubu ke arahnya.
"Heeeiiii!!" memekik tertahan Dewi Selendang Hitam sambil membuang tubuh ke
belakang. Blaaaammm!! Gemuruh angin yang melesat mendahului sinar
putih terang itu menghantam tanah yang seketika ter-
bongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara.
Sementara sinar putih terang tadi, seperti menambah
kedahsyatan akibat gemuruh angin yang pertama. Se-
ketika itu pula tanah yang telah terbongkar tadi, semakin lebar membentuk lubang
yang keluarkan asap.
Kejap berikutnya, dua sosok tubuh telah tiba di
tempat itu. Yang berdiri di sebelah kanan, seorang gadis jelita berambut
dikuncir ekor kuda dan mengena-
kan pakaian putih-putih. Sementara yang di sebelah
kirinya, yang tadi lepaskan serangan ganasnya pada
Dewi Selendang Hitam, kenakan pakaian berwarna
kuning bersih. Perempuan setengah baya ini yang di pinggangnya
melilit selendang warna merah, langsung keluarkan
bentakan, "Perempuan sesat! Kembalikan Patung Kepala Singa kepada kami!! Jangan
sampai... oh!!"
Seruannya terputus tatkala melihat satu sosok
tubuh yang dikenalnya tergolek tak berdaya di atas tanah menyusul terdengar
seruannya terkesiap, "Nawang Wangi.."
*** 10 Dewi Selendang Hitam segera putar tubuh meng-
hadap ke masing-masing orang yang baru datang. Se-
mentara itu, Bocah Liar hanya tersenyum sendirian
dengan pancaran mata yang dingin dan kejam.
Sebelum masing-masing orang ada yang buka mu-
lut, Nawang Wangi telah berseru keras, "Guruuuu!!"
Perempuan berpakaian kuning bersih itu cuma
menarik napas pendek. "Celaka! Mengapa Nawang
Wangi bisa berada di sini" Apakah dia tahu kalau wak-tu lalu aku memang sengaja
menahannya agar dia ti-
dak merengek untuk ikut denganku" Menilik gelagat,
nampaknya sulit bagiku untuk menghadapi apa yang
telah terjadi ini."
Dewi Selendang Hitam berkata, "Bidadari Tangan
Bayangan... kalau waktu lalu aku sengaja membiarkan
nyawamu masih melekat di badan, kali ini jangan ha-
rapkan kalau aku akan turunkan lagi belas kasihan
kepadamu...."
Perempuan yang tadi lepaskan serangan pada De-
wi Selendang Hitam dan memang Bidadari Tangan
Bayangan adanya, merandek dingin.
"Hhh! Kau boleh berbangga karena berhasil melo-
loskan diri dari tanganku! Tetapi sekarang... semua
yang kau inginkan akan pupus saat ini juga!!"
Sebelum Dewi Selendang Hitam sahuti ucapan
orang, terdengar suara Bocah Liar, "Dewi... siapakah kedua perempuan ini"
Sungguh, aku tertarik pada gadis berbaju putih itu" Hmmm... sekarang aku benar-
benar memiliki dua hidangan nikmat yang tak bisa ku-
lepaskan begitu saja...."
"Jahanam terkutuk! Tutup mulutmu!!" sambar Bidadari Tangan Bayangan keras. Diam-
diam disada- rinya kalau orang yang telah memperdayai muridnya
seperti itu adalah lelaki bertampang bocah yang barusan bicara. "Semua ini tak
ada urusannya denganmu!
Lepaskan muridku!"
"Hmmm... begitu bodoh bila kulepaskan muridmu
yang montok ini, Perempuan" Dan kau... ah, aku tahu
kau sebenarnya iri melihat keberuntungan muridmu
yang akan menerima kenikmatan dariku! Tetapi... kau
tak perlu iri dan gundah, karena... kuputuskan pula
untuk membagi kenikmatan ini kepadamu!!"
"Jahanam sial!!" maki Bidadari Tangan Bayangan keras. Saat itu pula didorong
kedua tangannya ke mu-ka. Segera saja menghampar dua gelombang angin
dahsyat ke arah Bocah Liar, yang hanya pandangi saja sambil keluarkan tawa.
Lalu dengan santainya, diangkat tangan kanan-
nya. Dibuat gerakan seperti mengusap dengan telapak
tangan membuka. Seperti ada sebuah tenaga yang tak
nampak, dua gelombang angin yang menggebrak ke
arahnya, putus di tengah jalan.
Blaaaammmm!! Terkesiap bukan alang kepalang Bidadari Tangan
Bayangan mendapati serangannya diputuskan dengan
cara yang paling santai. Kejap itu pula dikertakkan rahangnya. Pandangannya
menyipit tajam dengan sepa-
sang pelipis yang bergerak-gerak.
"Jahanam! Siapa lelaki bertampang bocah itu" Kesaktiannya melebihi Dewi
Selendang Hitam! Benar-
benar celaka! Menghadapi Dewi Selendang Hitam saja
aku sudah dibuat pontang-panting, apalagi ditambah
lelaki itu yang sepertinya kambrat dari Dewi Selendang Hitam?"
Untuk sesaat perempuan berpakaian kuning ber-
sih ini terdiam dengan pandangan mengira-ngira. Di
saat lain, dia membatin kembali, "Peduli setan! Siapa pun dan berapa pun tingkat
kesaktian kedua orang celaka itu, aku tak peduli! Bahkan nyawa pun akan ku-
korbankan untuk kebenaran!!"
Memutuskan demikian, Bidadari Tangan Bayan-
gan berbisik pada Tri Sari, "Tri... lebih baik kau menyingkir dari sini. Biar
aku yang menangani semua
ini...." Tri Sari tahu, kalau sesungguhnya Bidadari Tan-
gan Bayangan tak akan mampu menghadapi kedua
orang itu. Gadis ini pun tak mau melepaskan kesem-
patan untuk bertarung dengan orang yang telah mem-
bunuh ayah dan saudara-saudaranya, kendati disada-
rinya pula kalau dirinyalah yang memiliki ilmu paling rendah.
Makanya dia berkata, "Tidak, Bibik.... Biar bagaimanapun juga, kita akan
menghadapi bersama-sama.
Patung Kepala Singa harus kuserahkan pada pemilik-
nya yang sah, sesuai dengan amanat ayah sebelum
meninggal"
Diam-diam Bidadari Tangan Bayangan mendesah
masygul. Sebenarnya dia ingin mengulangi perintah-
nya lagi, tetapi tatkala disadarinya pancaran mata Tri
Sari yang begitu bersemangat dan tak akan mengu-
rungkan niat kendati terbentur dinding tebal, dia akhirnya diam saja.
Pandangannya kembali diarahkan pada Dewi Se-
lendang Hitam, "Rasanya... tak ada jalan lain untuk segera memulai pertarungan
ini!!" Bukannya Dewi Selendang Hitam yang sahuti ka-
ta-kata orang, Bocah Liar yang berkata sambil tertawa,
"Dia benar, Dewi! Perlihatkan kemampuanmu! Kalau bisa... jangan dibunuh! Ingin
kunikmati pula tubuhnya itu!!" "Lelaki terkutuk!!" hardik Bidadari Tangan
Bayangan dan segera menghempos tubuh ke arah Bocah
Liar. Dua jotosan yang mengandung tenaga dalam
tinggi siap dilepaskan.
Namun sebelum serangannya sampai pada sasa-
ran, satu bayangan hitam telah berkelebat dan mema-
pakinya. Plak! Plak!! Kejap berikutnya, masing-masing orang mundur
tiga tindak ke belakang. Pandangan mata Bidadari
Tangan Bayangan kian mengkelap tatkala mendapati
serangannya dipapaki oleh Dewi Selendang Hitam. Se-
belum dia berkata, perempuan tua itu sudah menda-
hului, "Sekarang... kematian ada di tanganmu!!"
Kejap berikutnya, dengan diiringi teriakan meng-
guntur, Dewi Selendang Hitam sudah menerjang ke
muka. Bidadari Tangan Bayangan pun tak mau ber-
tindak ayal. Sesungguhnya, perempuan berpakaian
kuning bersih ini masih dibingungkan oleh berbagai
pikiran yang datang.


Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Patung Kepala Singa harus dapat direbutnya
kembali. Nyawa Nawang Wangi harus diselamatkan.
Namun, dia juga harus memperhitungkan nyawanya
sendiri. Gebrakan demi gebrakan yang dilancarkan oleh
masing-masing, saat itu pula membuat suasana di se-
kitar sana dipenuhi dengan suara letupan-letupan ke-
ras. Menyusul rengkahnya tanah, terbongkarnya rang-
gasan semak belukar dan tumbangnya beberapa buah
pohon. Tri Sari sendiri bergeser agak menjauh, sementara
Bocah Liar telah membopong tubuh Nawang Wangi
yang masih dililit hawa dingin hingga tubuhnya tak bi-sa digerakkan.
Sesekali tangannya dengan menjijikkan menyen-
tuh bagian-bagian terlarang dari tubuh Nawang Wangi, yang memaki-maki keras.
Justru makiannya itu bera-kibat fatal bagi Bidadari Tangan Bayangan.
Perempuan berpakaian kuning bersih yang sedang
mencoba mencecar Dewi Selendang Hitam, jadi pecah
konsentrasinya. Dipikirnya, Bocah Liar telah melaku-
kan perbuatan terkutuk pada muridnya. Makanya dia
segera tolehkan kepala.
Saat itulah Dewi Selendang Hitam menderu ma-
suk, dengan jotosan yang telah menghantam dadanya.
Desss!! "Aaaakhhhh!!" teriakan tertahan terdengar cukup keras, menyusul tubuh Bidadari
Tangan Bayangan
yang terlempar ke belakang. Dia memang berhasil ku-
asai keseimbangannya. Namun terlihat wajahnya me-
merah. Kedua pipinya mendadak mengembung. Kejap
berikutnya, dia telah muntah darah.
Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam berseru din-
gin, "Sudah kukatakan tadi, kali ini tak akan kuampu-ni nyawamu, Perempuan
celaka!!" Habis kata-katanya, perempuan berpakaian hitam
itu telah menderu dahsyat ke arah Bidadari Tangan
Bayangan yang nampaknya mencoba untuk mematah-
kan serangan mengerikan itu.
Sementara itu, Tri Sari yang melihat gelagat tak
menguntungkan yang akan diterima oleh Bidadari
Tangan Bayangan, segera mencelat ke muka. Dia me-
lakukan hal itu dengan kumpulkan segenap kenekatan
dan keberaniannya. Maka....
Dess! Dess!! Dua jotosan Dewi Selendang Hitam yang dilancar-
kan secara beruntun mempergunakan tangan kiri,
berbenturan dengan dua pukulan Tri Sari. Dewi Selen-
dang Hitam sejenak terkesiap. Kejap kemudian terden-
gar bentakannya, "Gadis celaka! Susullah ayahmu ke akhirat!!"
Habis bentakannya, serta merta perempuan kejam
ini mengibaskan tangan kirinya. Saat itu pula mencelat lima larik sinar hitam
yang keluarkan hawa panas.
Tri Sari terkesiap kaget. Tanpa sadar dia kelua-
rkan pekikan tertahan. Tak berani untuk memapaki,
puteri Pendekar Sutera ini segera membuang tubuh ke
kanan. Lima larik sinar hitam itu terus menderu ganas,
yang justru berbenturan dengan sinar putih bening.
Dan begitu berbenturan, kedua sinar yang sama-sama
keluarkan hawa panas itu, menimbulkan letupan ke-
ras dan muncrat ke udara.
Rupanya, Bidadari Tangan Bayangan yang baru
saja diselamatkan Tri Sari telah lakukan serangan.
Mendapati kalau Bidadari Tangan Bayangan telah
buka serangan kembali, Dewi Selendang Hitam kemba-
li mencecar. Bila saja tangan kanannya tidak sedang
mendekap erat-erat Patung Kepala Singa, niscaya
hanya dalam delapan gebrakan saja Bidadari Tangan
Bayangan akan jatuh bangun.
Kendati hanya mempergunakan tangan kiri, Bida-
dari Tangan Bayangan pun dapat didesaknya. Bahkan
satu tendangan memutar telak menghantam dada pe-
rempuan berpakaian kuning itu yang langsung tersu-
ruk ke belakang. Menyusul dengan pencalan satu kaki, Dewi Selendang Hitam sudah
menderu, siap mengha-bisi nyawa Bidadari Tangan Bayangan.
Sementara itu, Tri Sari yang telah terbebas dari
ancaman maut, bermaksud untuk mengulangi lagi
perbuatannya. Namun satu gelombang hawa dingin te-
lah melingkari kakinya. Dan seperti disentak, tubuh-
nya ambruk terlungkup.
Bocah Liar yang lakukan serangan itu tertawa,
"Dua ekor kelinci gemuk telah kudapatkan! Dewi... bunuh perempuan celaka itu!!"
Hati Bidadari Tangan Bayangan semakin tak me-
nentu sekarang. Di samping dia sulit untuk hindari
gebrakan maut Dewi Selendang Hitam, juga dilihatnya
Tri Sari dalam keadaan tak berdaya. Dapat dibayang-
kan bagaimana bila dia tewas dalam pertarungan ini.
Niscaya nasib buruk akan menimpa Tri Sri dan Na-
wang Wangi, muridnya.
Diusahakan untuk mencoba memapaki serangan
Dewi Selendang Hitam. Untuk kali ini dia memang
berhasil. Namun tendangan kaki kiri Dewi Selendang
Hitam mendarat tepat di kaki kanannya, hingga mau
tak mau tubuhnya agak goyah.
Di saat dia sudah kehilangan keseimbangan, Dewi
Selendang Hitam segera memutar tubuh. Dengan pen-
calan kaki kanannya, dia meluruk deras dan siap han-
tamkan pukulannya ke kepala Bidadari Tangan
Bayangan yang terkesiap hingga kedua matanya terbe-
lalak lebar. Namun sebelum maut menerpanya, mendadak sa-
ja satu bayangan hijau telah berkelebat dari balik
ranggasan semak sebelah kanan. Tangan kiri bayan-
gan hijau itu menyambar tubuhnya, sementara tangan
kanannya dengan enak saja memapaki pukulan Dewi
Selendang Hitam. Menyusul dengan cara yang menak-
jubkan dia menyambar sesuatu dari tangan Dewi Se-
lendang Hitam. "Jahanam!!" maki perempuan berpakaian hitam itu seraya mundur tiga tindak ke
belakang. Wajahnya
nampak kian mengkelap, tatkala menyadari Patung
Kepala Singa sudah tidak berada di tangannya lagi.
Tatkala dia hendak keluarkan bentakan, mendadak sa-
ja suaranya seperti lenyap. Menyusul sepasang ma-
tanya membuka lebih lebar tatkala melihat siapa orang yang telah menyelamatkan
Bidadari Tangan Bayangan,
yang sekarang telah hinggap di atas tanah sejarak
sembilan langkah dari hadapannya, sementara Bidada-
ri Tangan berdiri di samping orang itu.
Kejap kemudian terdengar suaranya, geram dan
agak gemetar, "Pendekar Slebor...."
Bayangan hijau yang tadi selamatkan Bidadari
Tangan Bayangan dan tak lain memang Pendekar Sle-
bor. adanya, cuma nyengir. Lalu terdengar kata-
katanya yang konyol, "Wah! Kau sudah mengenalku rupanya" Hmmm... pasti kau
melihat lukisanku dipa-jang di Kotapraja, ya?"
Mengkelap wajah Dewi Selendang Hitam menden-
gar kata-kata orang.
"Selain urakan, pemuda ini kuketahui memiliki
ilmu yang tinggi. Rasanya... hmm, bukankah ada Bo-
cah Liar di sini" Akan kupergunakan tenaganya untuk
menghajar pemuda dari Lembah Kutukan itu!"
Memutuskan demikian, dengan pandangan tak
berkedip, Dewi Selendang Hitam membentak, "Berani lancang campuri urusanku
berarti hendak mampus!
Kembalikan Patung Kepala Singa kepadaku!!"
"Oh! Ini toh yang namanya Patung Kepala Singa?"
sahut Andika sambil memandangi patung yang kelua-
rkan cahaya perak di tangan kanannya. "Bagus sekali!
Tetapi ya... jelas tidak pantas benda sebagus ini berada di tangan kotor seperti
tanganmu! Ih! Sudah kotor, keriput lagi!"
"Jahanam! Kembalikan padaku!!"
"Enak saja main perintah! Patung ini milik Kepala Besi! Dialah orang yang berhak
memilikinya! Ngomong-ngomong... apakah kau tidak terkejut bila kukatakan
Kepala Besi belum tewas?"
Sebelum Dewi Selendang Hitam menyahut, Andika
sudah menyambung, "Atau... kau sudah mendengar
berita itu sebelumnya" Dan sudah tentu dari mulutku, bukan?"
"Jangan banyak mulut!"
"Benar-benar dungu nih nenek! Jelas mulutku
cuma satu, kok dibilang banyak" Mungkin kau...
aduh, sampai lupa! Kenapa sih kau menutupi wajah-
mu dengan selendang hitam itu" Atau... kau tak mau
kukenali, ya" Dan di kepalamu itu, memang penjol
atau ada sebuah sanggul?"
Sepasang mata Dewi Selendang Hitam seketika
membulat. Lagi-lagi sebelum dia membuka mulut,
Pendekar Slebor berkata, "Mengapa kau masih menutupi diri, Dewi Selendang Hitam"
Atau kau lebih suka bila kupanggil... Nyi Dungga Ratih"!"
Sampai surut satu tindak perempuan berpakaian
hitam gombrang mendengar kata-kata Andika. Kejap
kemudian terdengar makiannya keras, "Jahanam! Matamu telah tajam rupanya!"
Habis bentakannya, dengan kasar Dewi Selendang
Hitam merenggut selendang yang menutupi kepala dan
sebagian wajahnya. Saat itu pula nampak seraut wajah yang dipenuhi keriput,
dengan sepasang mata agak turun dan rambut putih yang disanggul ke atas. Wajah
Nyi Dungga Ratih!!
Terdengar suara Andika sambil bertepuk tangan,
"Wah! Dugaanku benar juga!"
Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam yang ternya-
ta adalah Nyi Dungga Ratih adanya menggeram dalam
hati. "Pemuda keparat! Patung Kepala Singa harus dapat kurebut kembali!"
Berpikir demikian, tanpa membuang waktu lagi,
perempuan kejam ini sudah menderu ke depan seraya
mengibaskan tangan kanan dan kirinya. Sepuluh larik
sinar hitam ganas yang keluarkan hawa panas meng-
gebrak dahsyat.
Di seberang, sejenak Andika terkesiap melihatnya.
Kejap itu pula dia segera membuang tubuh ke samping
kanan seraya lepaskan pukulan yang mengandung te-
naga 'Inti Petir' dengan tangan kanannya sementara
tangan kirinya memegang Patung Kepala Singa.
Dewi Selendang Hitam yang dalam wujud aslinya
sebagai Nyi Dungga Ratih dan sebelumnya pernah
mencoba mempermainkan pemuda urakan itu, tahu
betul akan tenaga yang dilepaskan oleh si pemuda.
Makanya dia mencoba untuk tidak memapaki. (Untuk
mengetahui kapan Dewi Selendang Hitam alias Nyai
Dungga Ratih mempermainkan Andika, silakan baca:
"Patung Kepala Singa").
Sepuluh larik sinar hitam yang dilepaskannya,
menghantam ranggasan semak belukar yang langsung
pecah. Tak mau membuang tempo, perempuan ini terus
mencecar Pendekar Slebor.
"Busyet! Ngotot amat, sih?" seru Andika sambil menghindar dan membalas.
"Ngomong-ngomong... kau tidak bertanya bagaimana aku bisa tahu kalau di dalam
diri Dewi Selendang Hitam terdapat sosok Nyi
Dungga Ratih"!"
"Tutup mulutmu!!"
"Ih! Jadi tidak enak nih melihat kau gusar seperti
itu! Tetapi ya... dasar aku orang baik, biar kukatakan saja!!"
"Diaaaammm!!" makin mengkelap Nyi Dungga Ratih mendengar ejekan si pemuda.
Dipergencar seran-
gan demi serangannya yang saat itu pula membuat
tempat itu seperti didatangi puluhan gajah liar.
Tetapi dasar urakan, sambil terus mencoba men-
cari sela serangannya, Andika berseru, "Aku memang belum mengenalmu sebagai Dewi
Selendang Hitam! Tetapi, ingat perjumpaan kita yang kedua" Saat itu kau
menanyakan tentang Patung Kepala Singa"! Dan kukatakan kalau Kepala Besi lah
pemilik sah dari patung
itu" Nah, nah! Kenapa kau heran tatkala kuceritakan
kalau aku tahu semua itu dari Kepala Besi sendiri"
Bahkan kau begitu ngotot untuk mengatakan di mana
dia berada" Wah! Saat itu pula aku menduga kalau
kau sebelumnya pernah bertemu dengan Kepala Besi!
Eiiittt! Jangan nafsu Nek!!"
Memutus kata-katanya sendiri, Andika membuang
tubuh ke belakang. Begitu kaki kanannya menjejak
tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan. Mele-
wati tubuh Dewi Selendang Hitam yang sedang le-
paskan jotosan.
Berada di atas tubuh Dewi Selendang Hitam, An-
dika gerakkan tangan kanannya tepat ke kepala pe-
rempuan itu, yang memaki-maki sambil bergulingan.
Di luar dugaan Dewi Selendang Hitam, Andika ju-
stru meluruk turun dengan kaki kanan siap menginjak
dada tipis perempuan itu.
"Jahanam!!" makinya keras sambil terus bergulingan. Pemuda urakan ini justru tak
teruskan serangan.
Dia berdiri tegak sambil cengar-cengir dan melihat De-wi Selendang Hitam yang
sedang berdiri. Menyusul dia berkata, "Nek! Kenapa aku menduga kau pernah ber-
temu dengannya" Ya... karena kau merasa heran itu!
Diam-diam kubayangkan seperti apa Dewi Selendang
Hitam! Tetapi... ya gagal! Soalnya yang terbayang cuma kambing peot saja, sih!
Busyet! Jangan melotot begitu, dong! Lalu aku tiba pada pikiran, mengapa kau
men-jumpaiku dengan wujud Nyi Dungga Ratih" Jelas kau
mencoba mengorek setiap keterangan yang kau perlu-
kan! Tetapi ya... dasar nasib! Makanya kuikuti ke ma-na kau pergi setelah
bertemu denganku! Ya dasar na-
sib juga, baru kutemukan sekarang dan kuyakini ka-
lau di balik sosok Dewi Selendang Hitam, juga terdapat sosok Nyi Dungga Ratih!
Dan kulihat ada tonjolan di
balik selendang di kepalamu! Sama seperti sanggul
yang kulihat pada Nyi Dungga Ratih! Eh, betul lagi! Ar-tinya apa?" Mendadak
Andika tertawa sendirian. Lalu katanya tandas, masih tertawa, "Kepalamu
penjol!!" "Jahanam terkutuk! Mampuslah kauuu!!" menggeram Nyi Dungga Ratih sambil mencelat
kembali. Kali ini dilipatgandakan tenaga dalamnya. Serangan demi
serangannya lebih ganas sekarang. Dan ini membuat


Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andika harus berhati-hati. Dengan mempergunakan
satu tangan untuk menyerang sementara tangan yang
satu memegang Patung Kepala Singa, membuatnya
menjadi agak kerepotan.
Diliriknya Bidadari Tangan Bayangan yang sedang
mengatur napas dengan wajah tegang.
"Hmmm... patung ini harus diselamatkan dulu...."
Memutuskan demikian, dilemparkannya Patung
Kepala Singa pada Bidadari Tangan Bayangan, "Selamatkan patung ini!!"
Bidadari Tangan Bayangan dengan sigap segera
menyambarnya. Namun mendadak saja dirasakan satu
gelombang angin menderu ke arahnya. Urung me-
nyambar Patung Kepala Singa, perempuan berpakaian
kuning bersih ini segera gerakkan tangan kanannya.
Blaammm! Letupan yang cukup keras terjadi. Rupanya, Bo-
cah Liar yang paham akan gelagat, tak mau mem-
buang kesempatan untuk mendapatkan Patung Kepala
Singa. Sesungguhnya, lelaki bertampang bocah ini
memang tak menginginkan Patung Kepala Singa.
Hanya dikarenakan dia mencintai Nyi Dungga Ratih
alias Dewi Selendang Hitam, makanya dia segera men-
celat ke depan.
Namun sebelum lelaki yang tingginya hanya seba-
hu itu menyambar Patung Kepala Singa, mendadak di-
rasakan deru angin ke arahnya.
"Hei!!" Cepat dia putar tubuh bila tak mau dirinya terkena hamparan angin keras
yang datang dari arah
kiri. Kejap itu pula Patung Kepala Singa disambar oleh orang yang lancarkan
serangan pada Bocah Liar.
Tatkala masing-masing orang hinggap kembali di atas
tanah, mereka melihat siapa orang yang menyambar
Patung Kepala Singa.
"Kepala Besi...," mendesis Bidadari Tangan Bayangan. Disesahnya kini kesalahan
yang pernah dibuat-
nya. Sementara itu, Dewi Selendang Hitam yang meli-
hat siapa yang datang dan tak lain memang Kepala Be-
si adanya, menggeram gusar. Dia mencoba memu-
tuskan serangannya pada Andika dan bersiap membu-
ru Kepala Besi. Tetapi sudah tentu Andika tak akan
membiarkannya, "Lho, Iho" Mau ke mana" Sudah bosan bermain-main" Kalau begitu...
kujitak kepalamu
sekarang!!"
Habis kata-katanya, pemuda urakan dari Lembah
Kutukan itu segera memburu dengan lepaskan puku-
lan-pukulan yang mengandung tenaga 'Inti Petir'. Be-
berapa kali terdengar suara salakan yang menggetar-
kan. Sementara itu, Bocah Liar menggeram dingin den-
gan pandangan tajam. Tanpa buang tempo lagi, lelaki
bertampang bocah ini sudah mengebrak ke muka, ke
arah Kepala Besi. Tangan kirinya lancarkan serangan, tangan kanannya mencoba
merebut Patung Kepala
Singa. Kepala Besi yang setelah bertarung dengan Gen-
dala Maung dan segera mencari Andika, segera gerak-
kan pula tangan kirinya. Bersamaan dengan itu, dia
melompat ke belakang guna hindari sergapan tangan
kanan Bocah Liar.
Sementara itu Bidadari Tangan Bayangan yang
merasa lebih beruntung karena kehadiran Kepala Besi, segera masuk dalam
pertarungan sengit itu. Kini masing-masing orang yang sebelumnya pernah terlibat
ke- salahpahaman segera bersatu untuk menggempur Bo-
cah Liar. Namun di luar dugaan mereka, kendati dikeroyok
berdua, Bocah Liar tetap bukanlah lawan yang dapat
dipandang sebelah mata. Lima jurus sebelumnya me-
reka memang berhasil mendesak Bocah Liar. Namun
tiga jurus berikutnya, justru mereka yang menjadi ce-caran serangan-serangan
beruntun dari lelaki bertam-
pang bocah itu.
Gebrakan demi gebrakan yang dilakukan Bocah
Liar sungguh di luar dugaan. Karena, tak ada gelom-
bang angin yang keluar, tak ada suara yang terdengar, namun hasil setiap
gebrakannya sungguh mengerikan.
Merasa sangat berbahaya, Bidadari Tangan
Bayangan berseru, "Kepala Besi! Pergi kau menjauh dari sini! Patung Kepala Singa
telah kembali padamu, sebagai pemilik yang sah! Lebih baik kau pecahkan rahasia
patung itu!!"
Kepala Besi yang sedang mencoba menyerang
dengan gerakan-gerakan kepalanya yang aneh itu ber-
seru pula, "Tidak! Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi bersama-sama!"
"Jangan lakukan tindakan bodoh!!"
"Benar! Kalian memang orang-orang bodoh yang
akan mampus!!" putus Bocah Liar sambil pergencar serangannya, kali ini ke arah
Kepala Besi. Mendapati serangan semakin ganas, Kepala Besi
harus dibuat morat-marit. Dia bukan hanya berusaha
untuk selamatkan Patung Kepala Singa, tetapi juga
nyawanya sendiri.
Bidadari Tangan Bayangan keluarkan dengusan
melihat kekeraskepalaan lelaki tinggi besar berpakaian abu-abu terbuka di bahu
kanan itu. Dengan lepaskan
sinar-sinar putih bening yang mengandung hawa pa-
nas dan bikin terang tempat itu beberapa saat, perempuan berpakaian kuning
bersih ini dapat memperjauh
jarak serangan Bocah Liar pada Kepala Besi.
Akan tetapi, Bocah Liar justru perlihatkan kelas-
nya. Mendadak saja dia putar tubuh dan hingga den-
gan kedua tangan di atas tanah sementara kedua kaki
di atas. Menyusul gerakan aneh yang diperlihatkannya itu, dia mencecar dengan
kedua kakinya. Gelombang
angin yang bergulung-gulung menderu-deru dahsyat.
Menyeret tanah dan membongkar ranggasan semak.
Bidadari Tangan Bayangan seketika menjadi pu-
cat. Begitu pula dengan Kepala Besi yang kelihatan tak berdaya menghadapi
serangan aneh Bocah Liar.
Sekali waktu, dia tersuruk jatuh tatkala dengan
gerakan yang benar-benar menakjubkan, tangan ka-
nan Bocah Liar terangkat hingga kini dia bertumpu
dengan tangan kirinya saja sementara kedua kakinya
tetap menjulang ke atas.
Satu tenaga yang tak nampak namun mengan-
dung hawa dingin, melilit kedua kaki Kepala Besi. Lalu
seperti dibetot, tubuh Kepala Besi terseret.
"Heeeiiii!!" tanpa sadar lelaki berkepala plontos ini memekik tertahan.
Kedua matanya membuka lebih lebar tatkala dili-
hatnya bagaimana kedua kaki Bocah Liar yang menju-
lang ke atas, membuat gerakan memutar. Mendadak
saja dirasakan dua gelombang angin deras menderu ke
arahnya. Sementara itu, sadar akan bahaya yang mengan-
cam Kepala Besi, Bidadari Tangan Bayangan membuat
gerakan nekat. Tubuhnya meluruk ke depan. Dan....
Tanpa ampun lagi tubuhnya terhantam telak dua
gelombang angin yang dilepaskan Bocah Liar. Tubuh
perempuan ini terseret jauh ke belakang. Begitu am-
bruk ke tanah, dia muntah darah.
"Gurruuuu!!" terdengar jeritan Nawang Wangi yang tetap tak bisa menggerakkan
tubuhnya. Bukan hanya itu saja yang terjadi. Kendati Kepala
Besi selamat, namun tangan kanan Bocah Liar telah
menepak Patung Kepala Singa.
Patung itu mencelat ke atas. Dalam waktu yang
singkat, Bocah Liar melompat untuk menyambar pa-
tung itu. Akan tetapi, satu bayangan hijau telah melompat
ke depan. Bersamaan bayangan hijau yang tak lain
Pendekar Slebor adanya memegang patung itu, kedua
tangan Bocah Liar pun memegangnya.
Kejap itu pula terjadi tarik menarik yang kuat dis-
ertai tenaga dalam yang tinggi. Menyusul masing-
masing orang kerahkan hawa panas dalam tubuh me-
reka. Hawa panas itu berpendar dan membuat suasana
di sekitar berubah menjadi panas pula. Cukup lama
hal itu terjadi, sementara dari tubuh masing-masing
orang keluar keringat.
Lalu mendadak saja masing-masing orang terpen-
tal ke belakang disertai teriakan tertahan. Patung Kepala Singa terlepas dan
jatuh ke tanah.
Begitu menyentuh tanah, terdengar letupan yang
sangat keras. Menyusul muncratnya cahaya keperakan
yang menerangi segenap penjuru.
Tak ada yang berpindah dari tempatnya, tak ada
yang keluarkan suara. Patung Kepala Singa tegak di
atas tanah. Sementara itu cahaya keperakan tadi lam-
bat laun mulai menghilang dan hanya melingkari pa-
tung itu belaka.
Sebelum ada yang lakukan tindakan, mendadak
saja Patung Kepala Singa pecah seperti meledak. Ta-
nah di sekitar tempat itu muncrat naik ke udara dan
membentuk sebuah lubang kecil.
Tatkala semuanya sirap, Patung Kepala Singa tak
ada lagi di tempatnya. Yang ada hanya luruhan abu
berwarna perak yang turun naik....
SELESAI Segera menyusul:
CINTA DALAM KUTUKAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Tembang Tantangan 10 Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan Si Kangkung Pendekar Lugu 3
^