Dendam Dan Asmara 1
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara Bagian 1
1 Waktu datang dan pergi. Sejarah hadir dan berganti.
Manusia lahir dan mati. Roda kehidupan terus berjalan tanpa ada yang dapat
menghentikannya. Dan selama itu pula dunia persilatan selalu diwarnai berjuta
kisah. Tentang darah dan nyawa, tentang cinta, tentang perjuangan, dan tentang
pengorbanan. Sejak Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa berani unjuk taring kembali
dalam dunia persilatan, hari-hari makin tersaput warna merah karena terlalu
banyak darah tertumpah. Tidak hanya pemberontakan pada Prabu Bratasena yang
dilakukannya. Tapi, juga keangkaramurkaan yang membumi-hanguskan orang-orang tak
berdaya. Pembantaian yang terjadi di mana-mana, kini bukan lagi kisah luar
biasa. Di setiap tempat dan di setiap waktu, bisa saja terjadi secara tiba-tiba.
Lengking kematian kerap terdengar, seiring isak tangis pilu para korban yang
teraniaya. Saat ini, dunia persilatan memang tengah mem-butuhkan 'Sang Penyelamat'! Karena
hukum kerajaan yang diberlakukan Prabu Bratasena pun ternyata tidak memiliki
kekuatan dalam menghadapi
kebuasan Begal Ireng dan kawanannya.
Sementara itu, di Lembah Kutukan yang jauh dari hingar-bingar dunia persilatan,
seorang pemuda tampan bermuka tirus tampak tengah menjalani perjuangan antara
hidup dan mati. Dan orang itu adalah Andika. Setelah beberapa tahun menekuni
ilmu olah kanuragan di lembah itu, dia sudah menjadi pemuda
berbadan tegap berotot. Rambutnya sebatas bahu tak teratur. Wajahnya yang tampan
dihiasi oleh mata tajam menusuk. Sedangkan alis mata yang menukik bagai sayap
elang, memperlihatkan ketajaman muka-nya. Kini, dalam masa penyempurnaannya
sebagai seorang pendekar keturunan keluarga Lembah Kutukan. Dan dia harus
menerima sesuatu yang tak terduga.
Saat itu, Andika baru menyelesaikan jurus ketiga puluh yang bernama 'Petir
Selaksa' hasil ciptaannya.
Di antara gencarnya juluran lidah petir, tubuhnya tampak berkelebat kian kemari
dalam satu rangkaian gerakan ganjil. Seluruh tubuhnya sudah dibanjiri keringat
yang tak henti-hentinya mengalir dari lubang pori-porinya.
Kini tampak, juluran lidah petir yang amat menyilaukan mata menghujam ke arah
Andika dari arah samping kanan. Dan pemuda itu dapat merasakan kalau sambaran
petir kali ini memiliki kekuatan beberapa kali lipat lebih dahsyat, beda dari
biasanya. Tentu saja anak muda itu tidak sudi tubuhnya ter-panggang, karena keganjilan
yang baru kali ini ditemui. Dengan sigap, tubuhnya berkelebat ke samping dengan
kecepatan melebihi suara. Kekuatan lidah api yang hendak mengganyangnya memang
luput sejengkal dari tubuhnya. Namun ketika kaki kirinya menjejak salah satu
dari susunan batu yang teratur rapi, mendadak tanah di sekitar batu itu amblas!
Belum sempat Andika menyadari apa yang terjadi, tubuhnya tersedot ke lubang
besar yang kini tercipta.
Srrr! Anak muda bertubuh gagah itu benar-benar tidak bisa lagi menguasai
keseimbangannya. Tubuhnya
terus meluncur dalam lubang menurun yang panjang berliku. Bunyi kerikil dan
pasir yang ikut terseret tubuhnya, terdengar seperti desis ribuan ular berbisa.
Sampai suatu ketika....
Buk! Tubuh kekar Andika terbanting keras di tanah dasar lubang itu. Karena pantatnya
yang jatuh lebih dulu, maka bagian itu pula yang mengalami rasa sakit paling
parah. Wajahnya langsung meringis-ringis seperti orang telat buang air. Dengan
terduduk menahan sakit, tangannya meraba bagian pantatnya yang berdenyut-denyut
bukan kepalang.
"Huh! Daripada pantatku terbentur seperti ini, lebih baik tersambar petir...,"
keluh pemuda itu, jengkel.
"Kalau tahu jadi pendekar sakti harus sesengsara ini, rasanya lebih baik jadi
tukang sayur saja."
Selesai menggerutu panjang pendek, Andika mulai mengawasi keadaan sekitarnya.
Rupanya, di sekelilingnya merupakan sebuah ruangan yang sama sekali asing.
Ruangan ini cukup luas, berdinding batu cadas yang melingkar hingga ke bagian
atas. Pada beberapa bagian dinding tertancap obor-obor yang tampaknya dihidupi
oleh gas alam. Hawa di dalam ruangan itu sangat sejuk, seolah-olah ada saluran
udara khusus yang tersembunyi.
Namun, bukan hal itu yang menarik perhatian Andika. Rupanya ada sesuatu yang
membuat keningnya berkernyit dalam. Di salah satu sudut ruangan ini, ternyata
ada seorang lelaki tua bertubuh kurus. Dia tengah duduk tenang dengan mata
terpejam di atas sebuah batu yang permukaannya pipih. Seluruh pakaian yang
dikenakannya berwarna putih. Amat
pantas dengan keadaannya yang begitu menggambarkan ketenangan. Dari caranya
duduk dengan tangan terlipat di dada, Andika yakin kalau laki-laki tua itu
sedang bersemadi.
Dan ada satu lagi yang membuat Andika terheran-heran. Ternyata di depan lelaki
tua itu terdapat meja beralaskan kain kotak-kotak hitam dan putih seperti papan
catur. Bahkan di atasnya tampak pula beberapa buah catur.
Andika jadi terheran-heran sendiri seraya mendekati lelaki tua itu dengan
langkah hati-hati. Ber-macam-macam dugaan berkecamuk dalam benaknya saat ini.
Tapi, tak satu pun yang terjawab, sehingga makin membangkitkan rasa ingin
tahunya yang terkadang liar.
Andika melangkah makin dekat. Hatinya semakin tegang, hingga tanpa disadari,
napasnya diatur sedemikian rupa, agar tidak terdengar oleh lelaki tua yang kini
dihampirinya. "Ki...," tegur Andika setengah berbisik ketika telah berada di sisi orang tua
berbaju putih itu.
Andika diam sebentar, sambil terus mengamati tindakan orang tua itu.
"Ki...! Hey, Kisanak," ulang Andika lebih keras.
Tapi orang yang ditegur tetap saja mematung tanpa gerak sedikit pun.
Andika mencoba memanggil lagi. Bahkan tangannya pun sudah bergerak-gerak nakal
di depan wajah orang tua itu. Hasilnya, tetap nihil. Orang tua itu belum juga
memberi tanggapannya. Sekali lagi di-cobanya untuk menegur dengan suara lebih
keras, sampai akhirnya, dia jadi menggerutu sendiri.
"Huh!"
Andika mulai jengkel, karena orang yang di-
tegurnya seakan menganggapnya sekadar nyamuk buduk.
"Apa kau memang tuli, Ki" Apa aku harus berteriak tepat di telingamu" Ya...,
baiklah!" gumam pemuda bermuka tirus ini, seperti orang kehilangan akal.
Lalu.... "Kisanak...! Oooi, Kisanak!" jerit Andika tak tanggung-tanggung, tepat di
telinga lelaki tua yang mulai menjengkelkannya.
Tanpa disadarinya, kekuatan sakti dalam tubuh Andika mengalir bersama
jeritannya. Hal itu meng-akibatkan dinding batu cadas di sekelilingnya bergetar,
lalu runtuh sebagian.
"Uf, maaf tak sengaja. He he he...," ucap Andika cepat, saat menyadari akibat
teriakan gilanya.
Dan lagi-lagi, pemuda ini harus jengkel. Bagaimana mungkin laki-laki jompo itu
tidak mendengar teriakannya" Kalau dinding cadas saja dapat berantakan seperti
kerupuk, kenapa gendang telinga laki-laki itu tidak pecah" Andika makin diseret
kedongkolan, karena rasa herannya.
"Kau sudah mati ya, Kisanak" Ya...! Pasti kau sudah mati!"
Kini Andika mendekatkan telinganya ke dada kurus lelaki tua. Beberapa saat
diperhatikannya denyut jantung laki-laki tua yang terus diam seperti patung.
Cukup lama juga, sampai dia benar-benar yakin kalau telinganya tidak menangkap
detak jantung orang tua itu sedikit pun.
"Kasihan kau, Kisanak. Rupanya kau memikirkan langkah-langkah catur ini, sampai
mati karenanya,"
oceh Andika seraya melirik ke buah catur di hadapannya.
Sebentar kening Andika berkerut, melihat langkah-
langkah buah catur di hadapannya. Otaknya terus bekerja, seperti mengotak-atik
biji-biji catur berwarna putih, agar dapat mematikan raja hitam.
"Padahal langkah biji catur hitam amat mudah untuk menghindari kematian. Kalau
saja dari dulu kau katakan hal ini padaku, tentu tak akan mati pusing seperti
ini," celoteh Andika sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan-akan, dialah
orang terhebat dalam permainan catur.
Tiba-tiba.... "Siapa yang mengatakan aku sudah mati"!"
Andika terlonjak bukan main, begitu tiba-tiba terdengar suara berat mendengus.
Bahkan tubuhnya sampai terlempar tiga tindak ke belakang. Wajahnya tampak pucat-
pasi karena terkejut. Alis matanya yang hitam terangkat tinggi-tinggi.
Ditatapnya lelaki tua tadi dengan sinar mata ngeri.
"Arwah gentayangan, ini pasti hantunya!" bisiknya dengan bahu menciut. "Hiy...!"
"Siapa yang kau katakan hantu"!" hardik lelaki tua yang matanya kini telah
terbuka. "K... kau, Kisanak! Kau pasti arwah gentayangan.
Kau..., kau sudah mati. Kau har... rus kembali ke alammu. Ayo, sssana! Husss!"
ujar Andika tergagap.
Tangannya mengibas-ngibas, seperti mengusir.
"Bocah goblok! Baru pertama kali ini aku bertemu seorang yang ingin jadi
pendekar, tapi bernyali kodok!" bentak orang tua itu lagi. Kali ini matanya
menatap Andika.
"Aku bukannya takut, Hanya...."
"Hanya apa"!"
Andika menelan ludah. "Cuma seram...," tambah Andika setelah menelan ludah,
dengan mata masih terbelalak seperti hendak keluar.
"Apa kau kira aku ini arwah gentayangan?"
Andika tidak menjawab. Dia sendiri sudah begitu yakin kalau orang tua di
depannya sudah mati dan arwahnya kini kembali karena dia telah mengusiknya.
"Aku bukan setan, Tolol! Kenapa kau masih melotot seperti orang cacingan"!"
bentak orang tua itu lagi. Jenggot putihnya tampak tergetar saat mem-bentak.
"Jadi kau bukan arwah gentayangan" Ah, bohong!
Kau pasti setan yang suka berbohong!" tukas Andika.
Lelaki tua itu malah tertawa.
"Ke sini kau!" perintah laki-laki tua itu tiba-tiba.
"Tidak mau...," tolak Andika, seraya menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Kesini!"
"Tidak mauuu...!"
"Kalau tidak ke sini, kau akan kucekik sampai mati. Ingat, aku adalah arwah
gentayangan yang paling suka mencekik orang!" ancam lelaki tua ber-jenggot
putih. Lagi-lagi Andika menelan ludah. Dia berpikir, "Daripada dicekik, lebih baik
menuruti kemauannya saja".
Kakinya mulai beringsut, mendekati orang tua itu.
"Sekarang duduk!" perintah orang tua itu kembali, sewaktu anak muda itu sudah
selangkah di depannya.
Andika meringis ngeri, mendengar permintaan orang tua itu. "Setelah aku duduk,
mau diapakan lagi?"
"Duduklah. Jangan takut, aku tak akan men-cekikmu!" ujar orang tua itu, seperti
dapat membaca pikiran Andika.
Akhirnya, Andika menurut. Sambil tetap menatap orang tua itu, dia duduk takut-
takut. "Dengarkan baik-baik," ujar orang tua itu, saat Andika sudah duduk menciut.
"Namaku, Ki
Saptacakra. Aku tahu, kau belum kenal padaku. Maka itu, akan kuperkenalkan
diriku kalau aku adalah buyutmu, Pendekar Lembah Kutukan...."
Wajah Andika langsung menengadah, bagai baru saja mendapat mimpi. Bagaimana
hatinya tidak tersentak seperti sedang bermimpi, kalau orang tua di depannya
mengaku sebagai Pendekar Lembah
Kutukan yang tinggal menjadi cerita rakyat selama lebih dari seabad.
Namun Andika juga berpikir, "Kalau orang tua yang mengaku bernama Ki Saptacakra,
pasti arwah gentayangan yang sinting! Masalahnya, dia mengaku sebagai buyutku."
"Jangan sembarangan mengaku-ngaku sebagai buyutku, Kisanak!" bentak Andika
kesal. Tiba-tiba saja harga diri Andika sebagai keturunan langsung pendekar tersohor
itu terusik. Dia berpikir, Ki Saptacakra sedang mengejek keluarganya.
Padahal, Andika sendiri belum pernah mengenal satu pun dari anggota keluarga
Pendekar Lembah Kutukan."
Sementara, Ki Saptacakra terkekeh.
"Rupanya kau tidak terlalu pengecut, ya?" sindir orang tua itu.
"Pengecut" Hei, bagaimana mungkin keturunan Pendekar Lembah Kutukan bisa
pengecut?" sergah Andika seraya membusungkan dada, biarpun
sebenarnya masih gemetar juga. "Dan aku tidak terima kalau kau mengaku-ngaku
seenaknya!"
"Kalau kau tidak percaya, terserah," kata Ki Saptacakra amat tenang. Setenang
bias wajahnya yang ditumbuhi jenggot putih panjang. "Tapi kau
mesti tahu, aku akan mewariskan sesuatu yang belum kau miliki...."
"Terima kasih, aku sudah hebat," sela Andika, seenak dengkul.
"Bagiku. kau hanya anak bawang. Anak pengecut yang pongah dan keras kepala,"
kata Ki Saptacakra kembali sambil terkekeh.
Andika langsung bangkit, lalu berkacak pinggang.
Hatinya benar-benar mangkel.
"Ngomong-ngomong soal pengecut, sebenarnya tadi aku hanya agak kaget..., itu pun
hanya sedikit sekali. Ingat itu," ujar Andika membela diri. "Dan soal anak
bawang itu. Bisa kubuktikan kalau aku ini biangnya bawang! Eh..., maksudku aku
memang hebat. Bagaimana aku harus membuktikannya" Apa mesti menggigit telingamu
sampai mengejang mati?"
"Kau bisa main catur?" tanya Ki Saptacakra.
"Main catur" Apa hubungannya dengan kesaktian-ku" Percuma saja selama enam
purnama, aku pontang-panting di Lembah Kutukan kalau hanya ditantang main
catur," remeh Andika.
"Itulah sikap keras kepalamu!" ejek Ki Saptacakra.
"Aku tidak keras kepala!" teriak Andika. Ke-dongkolannya sudah naik sampai ke
ubun-ubun. "Baik, baik. Tantangan konyolmu kuterima...."
Akhirnya Andika menerima tantangan itu. Dia tidak mau disebut keras kepala,
meski memang begitu.
"Kau bereskan dulu buah caturnya!" perintah Ki Saptacakra.
Mata Andika jadi menyipit. Alisnya bertaut amat erat. Masalahnya, Ki Saptacakra
seenaknya menyuruh Andika membereskan buah catur. Andika jadi menggerutu. Tapi
karena tidak mau disebut keras kepala lagi, akhirnya menyerah.
Dengan malas-malasan, tangan anak muda itu menjulur ke buah catur yang masih
tersusun pada tempatnya masing-masing. Begitu hendak mengangkat satu buah catur,
keningnya langsung berkernyit. Ternyata buah catur itu sulit diangkat.
Digenggamnya buah catur itu kuat-kuat, lalu di-hentakkan. Ajaib! Buah catur kayu
itu tetap saja tidak bergeming. Apalagi terangkat.
Andika baru sadar. Tentu buah catur itu telah disalurkan tenaga dalam oleh Ki
Saptacakra. Dengan bibir menyeringai kesal, tenaga saktinya segera dikerahkan.
"Hiaaat!"
Usaha pertama tidak berhasil.
"Hiaaat!"
Kembali tenaga saktinya. Dan ternyata usaha kedua pun nihil.
"Hiaaat!"
Usaha ketiga pun sia-sia.
Dut... bret... bret... bruuut! Nah, itu usaha selanjutnya. Andika sampai
terkentut-kentut.
"Sialan!" maki Andika putus asa. "Terang saja, ini di tempatmu sendiri, Ki.
Kalau tidak...."
Walaupun tidak berhasil, Andika masih berkilah mencari-cari alasan. Sementara Ki
Saptacakra hanya tersenyum-senyum mengejek.
Andika segera melepaskan genggaman tangannya pada buah catur tadi dengan wajah
tertekuk. "Aku tak sudi melanjutkan permainan konyol ini,"
gerutu pemuda itu.
"Itu artinya kau menyerah," cemooh Ki Saptacakra.
"Suka-sukamulah, Ki. Toh, tak ada seorang pun yang menyaksikan kekalahanku...,"
kata Andika, lesu.
"Jadi kau mau menerima warisanku, kan?"
Ki Saptacakra tersenyum geli. Sedangkan Andika makin menekuk wajah.
"Tapi sebelum menerimanya, kau harus berusaha mencari jalan keluar dari tempat
ini," kata Ki Saptacakra kembali. Wajahnya yang semula cerah karena tersenyum,
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kini mulai memutih lagi.
"Permainan macam apa lagi yang kau berikan padaku, Ki?" tanya Andika. "Kalau
begitu caranya, aku lebih suka tidak menerima warisanmu."
Sementara, Andika terus mondar-mandir di depan Ki Saptacakra yang masih duduk
tenang. "Itu sama artinya kau tidak ingin keluar dari tempat ini."
"Apa maksudmu?" Andika menghentikan langkahnya.
"Ya! Karena hanya dengan menerima per-
syaratanku tadi, kau bisa keluar dari tempat ini.
Sekaligus, menerima warisanku," jelas Ki Saptacakra datar.
"Ini benar-benar menyebalkan! Menjengkelkan!
Mendongkolkan!" umpat Andika seraya melanjutkan langkah.
Kembali pemuda itu mondar-mandir. Sementara, tangannya mengacak-ngacak rambut
sendiri, seakan mulai dirasuki setan kudis.
"Aku tidak mau tinggal di tempat ini sepanjang hidup. Aku masih ingin makan
tempe. Dan, aku juga mau kawin!" teriak Andika.
"Kalau begitu, cari jalan keluarnya. Aku akan melanjutkan semadiku," ujar Ki
Saptacakra. Laki-laki tua itu seperti tidak mengindahkan kesewotan Andika yang memuncak.
Matanya kembali terpejam, lalu perlahan napasnya tak terdengar.
"Hei, Ki. Kau harus memberitahuku jalan keluar
dari tempat ini."
Tapi, Ki Saptacakra sudah larut kembali dalam kekhusyukan semadinya.
"Aku tak ingin kurang ajar dengan orang tua sepertimu, Ki. Tapi kau
mempermainkanku, maaf kalau aku sampai memakimu.... Setan Belang! Kentut Tuyul!
Tua bangka brengsek, kau!"
*** Telah dua hari dua malam Andika terkurung di dalam goa, tempat Ki Saptacakra
bersemadi. Selama itu, tak ada sepotong makanan pun yang dapat dimakan, kecuali
menelan air yang merembas di antara dinding cadas. Selama itu pula, dia telah
berusaha mencari jalan keluar. Tentu saja hasilnya sia-sia.
Kini Andika terduduk lesu di salah satu sudut ruangan. Dipandangnya Ki
Saptacakra dengan tatapan kesal. Kalau saja masih punya tenaga, akan dimakinya
orang tua yang tetap tenang dalam semadi itu. Sekarang, jangankan untuk
berteriak-teriak mengumpat. Untuk berdiri saja, dia sudah begitu lemah. Perutnya
yang kosong jelas membuatnya demikian.
Berkali-kali Andika menarik napas, melepas rasa putus asa yang mulai menelusup
dalam rongga hatinya. Untunglah dia anak muda keras kepala.
Meski tubuhnya sudah lemas, namun otaknya masih tetap bekerja.
"Kalau aku mencoba keluar dari lubang yang membawa tubuhku ke tempat ini, belum
tentu masih terbuka. Bisa saja lubang itu telah tertimbun reruntuhan tanah
kembali. Apa mungkin tidak ada jalan keluar
lagi" Ah, mustahil! Udara yang tetap sejuk dan tak pengap di ruangan ini jelas
membuktikan kalau ada bagian terbuka yang menjadi tempat keluar masuk-nya udara.
Itu pasti pintu keluar yang dimaksud orang tua brengsek ini. Tapi di mana?"
gumam Andika, bicara pada diri sendiri.
Lama pemuda itu memutar otak, mencari
kemungkinan letak pintu keluar. Sampai suatu saat, matanya terantuk pada meja
catur di depan Ki Saptacakra.
"Catur itu!" pekik pemuda itu girang. "Langkah-langkah catur itu pasti petunjuk
menuju jalan keluar!"
Bergegas Andika menghampiri meja catur kembali.
Diperhatikannya buah catur di atasnya. Tampak buah catur hitam milik Ki
Saptacakra dalam keadaan terdesak. Rajanya terancam dalam beberapa jurus.
Otaknya yang memang cerdas mulai berjalan lagi.
"Dengan membebaskan buah raja, pasti aku akan mendapat arah menuju pintu
keluar," gumam pemuda itu yakin.
Mulailah pemuda itu mereka-reka buah catur yang mana yang harus digerakkan untuk
menyelamatkan buah raja. Beberapa waktu kemudian....
"Dapat!"
Segera tangan pemuda itu bergerak menuju buah catur. Kali ini tak ada kesulitan
dalam mengangkat buah catur itu. Setelah memindahkan beberapa buah catur, Andika
dapat membebaskan buah raja yang terancam.
"Kuda makan prajurit. Prajurit maju satu langkah, perdana menteri selangkah ke
kanan, dan raja maju selangkah ke depan," bisik Andika, mengingat-ingat.
Tak lama, Andika bangkit berdiri. Dan dia mulai melangkah sesuai langkah catur
yang telah dijalan-
kannya. Sampai akhirnya, berdiri tepat di belakang tubuh Ki Saptacakra.
"Sekarang bagaimana lagi?" gumam pemuda itu.
Andika terdiam dengan otak mereka-reka kembali.
Matanya menyipit. Sementara telunjuk tangan kanannya menempel di pelipis.
"Tanah yang kupijak ini pasti merupakan kunci pembuka jalan keluar."
Andika memperhatikan tanah tempat yang
dipijaknya. Semakin diperhatikan, semakin tampak jelas kalau ada bagian yang
menjorok ke dalam di tanah itu. Dan bagian itu segera diinjaknya.
Kemudian.... Grrr! Dinding di sisi kiri Andika perlahan terkuak, memperdengarkan deram bagai
geraman naga. "Yah! Aku berhasil, Ki! Aku berhasil! Aku bisa kawin!" teriak Andika seperti
orang gila. Kakinya cepat melangkah mendekati Ki Saptacakra.
Andika menjulurkan kedua tangannya, memegang bahu Ki Saptacakra.
"Ki...! Hei, Ki! Aku berhasil!" seru Andika seraya menggoyang-goyangkan tubuh Ki
Saptacakra. Namun, tubuh Ki Saptacakra tetap terdiam seperti patung.
"Aaah! Kau jangan berpura-pura mati lagi, Ki! Aku sudah tahu...."
Ketika tangan Andika melepaskan tubuh orang tua itu, Ki Saptacakra terjatuh dari
duduknya dalam keadaan kaku.
"Ki...."
*** 2 Andika berhasil keluar dari tempat Ki Saptacakra, dan segera memasuki sebuah
ruang lain dengan melewati pintu batu yang terbuka, setelah menginjak bagian
yang menjorok ke bawah.
Di ruangan yang baru dimasukinya itu, Andika melihat sebuah kolam alam kecil
seperti dalam Goa Lembah Kutukan. Kalau tepian kolam di Goa Lembah Kutukan
dipenuhi tumbuhan berbuah seperti tomat, maka di ruang ini tepian kolam itu
dipenuhi peti-peti berukir.
Pemuda itu segera melangkah mendekati tepi kolam. Tubuhnya segera membungkuk,
mengambil sebuah peti. Begitu seterusnya. Dan setiap kali satu peti dibuka, mata
pemuda itu terbelalak lebar. Andika benar-benar terperangah, karena peti-peti
itu ternyata berisi tumpukan emas permata.
Dan pada peti terakhir yang dibukanya, ternyata ada satu peti yang isinya
berbeda. Di dalamnya hanya ada buah ranum berwarna hijau pekat, sebesar kepalan
tangan. Saat itu Andika benar-benar dibuat bingung. Apa maksud Ki Saptacakra
dengan mengatakan kalau mau memberi warisan" Kalau emas permata yang bertumpuk dalam
peti, Andika benar-benar tak berminat. Sebab disadari banyak manusia yang
menjadi bejat karena harta.
Otak Andika sudah demikian lelah diperas terus-menerus untuk memecahkan teka-
teki agar dapat keluar dari ruang semadi Ki Saptacakra. Sehingga,
dia tidak peduli lagi dengan warisan yang dikatakan orang tua itu. Yang jelas,
dia ingin secepatnya pergi dari tempat itu. Apalagi, perutnya terasa sangat
lapar, maka tanpa pikir panjang, tangannya langsung mengambil buah dari peti
itu. Sebentar kemudian, mulutnya telah mengunyah dengan nikmat.
Tanpa disadari, Andika sebenarnya telah memakan buah langka bernama Inti Petir.
Buah itu tumbuh di Lembah Kutukan dalam waktu seratus tahun sekali. Seseorang
yang memakan buah berwarna merah yang tumbuh di Goa Lembah Kutukan, sekaligus
memakan buah hijau dari dalam peti itu, tubuhnya akan mampu menyerap kekuatan
petir! Sesungguhnya, itulah yang hendak diwariskan Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah
Kutukan yang telah menjadi cerita rakyat.
Ketika menemukan buah Inti Petir, Ki Saptacakra sudah mulai menyingkir dari
hingar-bingar dunia persilatan. Dia kemudian bersemadi berpuluh tahun.
Tujuannya adalah memohon pada Tuhan, agar diberi kesempatan untuk bertemu salah
seorang keturunan-nya yang akan diwarisi buah langka itu. Sebagai salah seorang
keturunan Ki Saptacakra, Andika beruntung.
Hanya dia yang rupanya dapat bertemu langsung dengan buyutnya yang sudah menjadi
dongeng kepahlawanan itu. Sekaligus menerima warisan ter-akhirnya yang amat
dahsyat! Maka ketika Andika telah berhasil membuka pintu batu dalam ruang semadinya, Ki
Saptacakra pun menyerahkan jiwanya ke hadirat Tuhan. Dia wafat bersama senyum
puas di bibir keriputnya.
Setelah perutnya tidak lapar lagi, Andika harus menemui jalan keluar kembali.
Sebentar matanya beredar ke sekeliling ruang yang hanya diterangi
nyala obor yang terpancar di dinding. Sebenarnya, pemuda itu heran juga, karena
obor itu seperti tak kunjung padam.
Pemuda itu jadi tertarik, kemudian mendekati obor. Lalu, diraihnya tangkai obor.
Dan begitu tangannya mencabut obor, tiba-tiba....
Derrr! Mendadak, dinding batu cadas di hadapan Andika bergeser ke kiri bersama obor
yang baru saja ditarik.
Perlahan-lahan dinding itu bergerak, hingga akhirnya membentuk lubang yang
menembus langsung ke dunia luar.
"He"!"
Andika terhenyak kaget. Buru-buru kakinya melangkah, mendekati lubang itu.
Tubuhnya lalu membungkuk, karena lubang itu hanya setinggi anak kecil berusia
tujuh tahun, dengan lebar tak lebih dari setengah tombak. Dan begitu diterobos,
ternyata Andika telah berada di puncak bukit, di atas Lembah Kutukan!
*** Di kaki langit sebelah timur, matahari tersembul memantulkan sinar rona jingga.
Ayam jantan liar mengumandangkan kokoknya yang gagah, menyapa hari di ambang
pagi. Gumpalan awan berarak di cakrawala. Sementara, tiupan angin sejuk
melengkapi lahirnya hari ini.
Dalam terpaan lembut hawa pagi, Andika mematung di puncak bukit yang memagari
Lembah Kutukan. Tubuhnya terlihat bagai tonggak kayu tak bernyawa saja. Di bawah
sana, di Lembah Kutukan, dia telah menyelesaikan masa penyempurnaannya
sebagai seorang pendekar dari Lembah Kutukan. Ya!
Penyempurnaan dirinya memang telah selesai. Tapi hatinya tak pernah berhenti
bertanya, "Benarkah aku telah benar-benar sempurna?" Andika takut kalau telah
melalaikan sesuatu saat di Lembah Kutukan, hingga tidak mampu mengemban amanat
yang di-serahkan padanya. Sementara amanat tersebut bukanlah sesuatu yang
ringan. Panji-panji keadilan dan kebenaran harus ditegakkan. Betapa takut Andika
jika ternyata gagal dalam tugas suci itu, hanya karena kelalaiannya dalam
menjalani penyempurnaan.
"Telah sempurnakah aku"!" bisik hati pemuda itu.
Namun sisi hatinya yang lain berbisik, kalau penyempurnaan kedigdayaan yang
telah dilakukannya di Lembah Kutukan memang tidak menjamin.
Bukankah di dunia ini tak ada manusia yang sempurna"
"Ya! Aku tak perlu mengkhawatirkan kegagalan dalam setiap langkah perjuanganku.
Yang penting aku mesti melaksanakan yang terbaik sebatas kemampuan," tekad batin
Andika dalam bisik samar yang tersapu angin lalu.
Kakinya mulai melangkah menuruni pegunungan berbatu.
*** Siang di Desa Sariadi. Pasar di tengah desa itu masih ramai oleh kesibukan. Para
pedagang tetap gigih menjajakan barang, meski sinar matahari terus menusuk di
atas kepala. Sama halnya para pembeli yang datang kesiangan. Mereka menyatu
dalam satu irama bising.
Di antara orang-orang yang lalu-lalang, tampak seorang pemuda berjubah putih
yang sudah sangat lusuh. Dan orang itu ternyata Andika yang baru saja tiba di
desa ini. Penampilannya amat tak sedap dipandang. Jubah peninggalan Ki Saptacakra yang
dikenakannya sudah.
seperti kain lusuh. Di samping karena sering dibakar sambaran petir ketika di
Lembah Kutukan, juga karena selama dia menciptakan jurus-jurus silat.
Gerakannya yang dahsyat, berkali-kali mengoyak pakaiannya.
Langkah pemuda itu tampak gontai ketika memasuki bagian pasar yang agak ramai.
Di kanan kirinya, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing tanpa
mempedulikan kehadirannya. Barangkali mereka sudah terlalu sering menemukan
pengemis yang berpakaian compang-camping seperti Andika di pasar ini.
Andika tidak tahu, apa tujuannya ke pasar yang memusingkan ini. Bahkan tidak
tahu ke mana tujuannya yang pasti. Dia hanya ingin berjalan sampai benaknya
menemukan rencana untuk memulai tugas yang diemban.
Lebih jauh memasuki pasar, beberapa pedagang yang tak mendapat pembeli
memperhatikan Andika.
Mereka berbisik satu sama lain, lalu memperdengarkan tawa tertahan sampai ke
telinga Andika.
Makin memasuki pasar, makin banyak orang yang memperhatikannya. Seakan-akan,
dirinya adalah tontonan menarik. Sialnya lagi, ada beberapa orang yang tak
sungkan-sungkan tertawa terbahak-bahak persis di depan hidung Andika.
Jelas saja Andika kebingungan. Alis legamnya terangkat tinggi. Sementara,
tangannya terangkat ke
depan dada dengan telapak terbuka, seperti hendak bertanya.
"Hua ha ha...! Pengemis sinting!" ledek seorang pedagang sayur.
"Pengemis" Sinting pula" Sialan! Mimpi apa semalam, sampai orang menganggap aku
pengemis sinting...," gumam Andika dongkol.
Kedongkolan Andika makin memuncak tatkala banyak gadis cantik yang terkikik
menahan tawa, saat melihat dirinya. Wajahnya yang tirus dan agak pucat, mendadak
merah matang. Hidungnya pun sudah kembang-kempis seperti hidung kelinci.
Rasanya, saat itu dia ingin mendengus berkali-kali agar panas dalam dirinya bisa
terbuang. "Apa salahku"!" bentak Andika tiba-tiba.
Dua gadis desa yang menggendong bakul sayur langsung terlonjak kaget. Wajah
mereka meringis ngeri, saat menemukan mata Andika membelalak sejadi-jadinya.
"Kalau kalian naksir aku, kenapa tidak bicara langsung saja"! Atau kalian tidak
pernah menemukan lelaki setampan aku?" omel Andika seraya mencak-mencak.
Dua gadis desa itu menatap Andika takut-takut, dengan wajah pucat.
"Maaf, Kang. Anu...," kata salah seorang gadis, mencoba menjawab.
"Anunya siapa"! Eh, anu apa"!" potong Andika, galak.
Gadis itu tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi, karena mulutnya sibuk menelan
ludah. Hanya jari tangannya saja yang bergerak, menunjuk bagian belakang tubuh
Andika. Setelah itu, tubuhnya langsung berbalik dan kabur bersama kawannya yang
menjerit-jerit minta ditunggu.
"Hei! Tunggu!" seru Andika.
Namun, mereka makin tunggang-langgang.
Sementara, puluhan pasang mata lain memandang Andika dengan takut. Sedangkan
Andika hanya ter-bengong-bengong. Lalu, tangan kirinya mencoba meraba pantatnya.
"Kutu koreng! Rupanya ini penyakitnya," gerutu Andika. "Tentu kain ini
tersangkut di ikat pinggangku sewaktu membopong tubuh Ki Saptacakra untuk
dikuburkan."
Pantas saja mereka menganggap Andika sebagai orang sinting. Bagaimana tidak"
Ternyata persis di pantatnya menjulur kain bercorak papan catur yang terlihat
seperti ekor. Kain itulah yang dimaksud gadis tadi.
Andika menggoyang-goyangkan pantatnya, membuat kain itu bergerak-gerak gemulai.
"Ah! Ekor kuda pun tak sebagus ekorku," gumam pemuda itu, menghibur diri di sela
kejengkelan. Setelah kain alas catur milik Ki Saptacakra dipindahkan ke bahu, Andika
melanjutkan langkahnya. Tidak dipedulikannya lagi beberapa orang yang masih
menertawakan di sepanjang jalan. Perutnya sudah berontak minta diisi.
Menurutnya, perut inilah yang lebih baik diurus.
Belum sempat menemukan kedai nasi, Andika dikejutkan oleh kegaduhan yang
mendadak tercipta beberapa puluh tombak di belakangnya.
Semula pemuda berpenampilan mengharukan ini tidak peduli. Karena dipikirnya,
orang-orang di pasar mulai meledek lagi. Tapi ketika keramaian itu diwarnai
jeritan-jeritan ngeri, tubuhnya lantas berbalik.
Saat itu mata tajam Andika dapat menangkap kepulan asap hitam mulai menodai
angkasa. Lalu, para pengunjung pasar berhamburan kian kemari tanpa terkendali.
Suasana sudah seperti dilabrak gempa!
Andika tidak yakin kalau kejadian itu hanya kebakaran biasa. Pasti ada sesuatu
yang tidak beres di balik kebakaran itu!
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jiwa kependekaran Andika kontan tergetar. Pijar keksatriaannya meletup di
dadanya. Bisikan dari relung hati terdalamnya menyemangati, kalau tugas telah
menanti. Tanpa menunggu teriakan menyayat melabrak telinganya lagi, tubuh Andika melesat
cepat menuju asal kericuhan. Di antara puluhan orang yang berlari simpang-siur,
tubuh Andika berkelebat lincah disertai ilmu meringankan tubuh seperti walet di
antara batu-batu karang.
Tak heran dalam sekejap saja, Andika sudah tiba di tempat kejadian. Dan tubuhnya
langsung melenting ke udara. Lalu, sepasang kakinya menjejak mantap di atas
sebuah kedai, dekat bangunan yang dilahap api.
Beberapa tombak di bawah, tampak lima lelaki kasar sedang menghajar seorang
pemuda. Mereka memukul, menendang, menginjak, dan menyeret secara bergantian. Bagi kelima
lelaki itu, pemuda yang dihajar habis-habisan tidak lebih dari anjing geladak.
"Aaakh!" rintih pemuda yang dikeroyok itu. Wajah pemuda yang usianya tak lebih
dari dua puluh lima tahun itu sudah habis dihiasi memar dan darah.
Bajunya yang berwarna kuning cerah, harus dinodai darah yang tersembur dari
mulutnya. "Kau harus memohon ampun pada kami! Lalu akui
kesalahanmu. Maka, nyawamu akan terbebas dari maut!" perintah salah satu dari
lima lelaki. Wajah orang itu nampak bersih. Namun sinar matanya mencorong kejam. Hidungnya
yang melancip terlihat seperti paruh burung pemakan bangkai.
Sedangkan bibirnya tebal. Menilik pakaian yang dikenakannya yang sama dengan
keempat lelaki temannya, tentu dia berasal dari perkumpulan yang sama.
"Aku tak akan sudi memohon ampun padamu! Kau bisa membunuhku. Tapi tak akan bisa
membuat aku memohon belas kasihan padamu!" jawab si pemuda itu bersama erangan.
"Rupanya kau lebih suka mati, ya"! Kau lebih menghargai harga dirimu ketimbang
nyawamu?" cemooh lelaki berwajah bersih itu.
"Aku bukan menghargai harga diriku. Tapi aku menjunjung tinggi nilai kebenaran!"
sahut pemuda itu, tak mempedulikan rasa sakitnya.
"Hei..., hei! Kau minta aku mempercepat
kematianmu" Baik, jika itu yang kau minta."
Sring! Lelaki berhidung lancip itu mengeluarkan pisau kecil dari balik bajunya. Ketika
sinar matahari menerabas, terbersitlah pantulan sinar menyilaukan dari mata
pisau yang setajam taring harimau itu.
"Pisau ini akan menyayatmu sedikit demi sedikit, sampai mau mengakui
kesalahanmu," ancam lelaki berhidung lancip dengan mata berbinar-binar
mengerikan. "Atau menyayat burungmu yang belum disunat itu, ya"!" selak seseorang di
belakangnya. Laki-laki berhidung lancip ini kontan tersentak.
Jelas, suara itu bukan suara temannya. Matanya
segera mencari sumber suara. Berbareng dengan dengusan keras, tubuhnya berbalik
ke arah suara di belakangnya.
"Apa kabar?" sapa Andika seraya melambaikan tangan kirinya.
Memang, Andikalah yang tadi menyelak keasyikan lima lelaki yang kini tepat di
hadapannya dalam jarak lima tombak.
"Siapa kau"!" bentak lelaki berhidung lancip.
"Aku" O, aku tukang daging yang pisaunya tadi kau pinjam. Masa' lupa?" jawab
Andika asal bunyi.
"Keparat!"
"Iya, babat. Aku akan memotong daging babat.
Jadi, aku mau minta pisauku kembali...."
"Jangan melawak di sini, Gembel! Lebih baik pergi sebelum nasibmu seperti pemuda
itu!" seru lelaki yang lain.
Andika menarik napas dalam-dalam. Satu alisnya terangkat. Setelah itu, dia malah
melepas kain bercorak catur yang tersampir di pundaknya.
Digelarnya kain itu di tanah berdebu.
"Kalau pisauku belum juga dikembalikan, aku akan tunggu di sini," kata Andika
seraya duduk di atasnya sambil memeluk lutut.
Habis sudah kesabaran lelaki berhidung lancip itu.
Lewat lambaian tangan, diperintahkannya empat lelaki lain untuk menghajar
Andika. "Langsung dihabisi saja, ya Kang" Gembel ini hanya mengganggu acara kita," ujar
seorang lelaki yang bertubuh paling kurus, yang disambut anggukan berat dari
laki-laki berhidung lancip di sampingnya.
Keempatnya kemudian melangkah makin dekat pada Andika. Mereka benar-benar
menganggap Andika kecoak yang mudah diinjak begitu saja, lalu
mati. Hal itu terlihat dari bibir mereka yang berlekuk meremehkan.
"Lho... lho, tunggu dulu!" seru Andika sambil bangkit tergesa.
Empat lelaki itu menduga anak muda di hadapan mereka hendak lari. Dan mereka
memang lebih suka begitu. Dengan demikian urusan lebih cepat selesai.
Maka seketika itu juga mereka menghentikan langkah.
"Nanti kalau menyerang, kalian bergerak
sekaligus, ya" Jangan satu-satu! Aku biasa kerja borongan, kok...," oceh Andika
seraya bangkit berdiri.
Langsung dikebutkannya kain yang tadi dihampar-kan. Maka debu seketika
berhamburan dari kain itu.
Akibatnya, empat lelaki yang sudah tidak jauh dari Andika langsung terbatuk-
batuk diserbu gulungan debu.
"Ukh! Ukh!"
"Ukh..., brengsek!"
Mereka kini bisa menikmati akal bulus Andika.
"Hua ha ha...!"
Di lain pihak, anak muda itu terpingkal-pingkal diberondong tawanya yang
membludak. Badannya yang tegap bergelinjang kian kemari, seakan dikelitiki
sekawanan tuyul.
"Hiaaat!"
Sebelum Andika puas tertawa, keempat lelaki itu melabraknya penuh nafsu. Dibenak
masing-masing hanya berkobar keinginan untuk mencincang menjadi potongan-
potongan kecil tubuh pemuda yang telah mempermainkan mereka.
Dua lelaki serempak membabat. Satu ke bagian kepala dan yang lain ke bagian dada
Andika. "Eit!"
Andika hanya menggeser tubuhnya ke belakang, maka sabetan ganas itu hanya
memakan angin. Sedangkan tangan kanannya yang masih memegang kain catur bergerak sekejap,
menyabet ke bawah.
Ctat! Ctat! Begitu cepat gerakan Andika, sehingga tak seorang pun yang mampu menghindari.
Kedua lelaki yang ingin merencah tubuh Andika lebih dulu, mendapat rejeki
lumayan. Kantung menyan di selangkangan masing-masing kontan terasa pedih
berdenyut-denyut, terkena sabetan kain Andika. Bahkan ngilunya sampai ke ulu
hati. Dan keduanya langsung melompat-lompat belingsatan sambil memegangi bagian
rahasia yang terkena itu.
Sementara itu, dua lelaki lain mencoba membokong. Golok mereka berdesing deras
di belakang Andika. Namun belum sempat senjata mereka merejam punggung, pemuda
itu sudah berjumpalitan ke depan. Lagi-lagi, dilepaskannya serangan balasan yang
nakal. Sambil berguling ke depan, jari tangannya menjentik selangkangan kedua
lawannya yang masih meluncur. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Tuk! Tuk! Dua buah sentilan keras mendarat telak di bagian rahasia milik kedua laki-laki
yang akan membokong Andika. Kini mereka melompat-lompat seperti anak kodok
terinjak. "Hap! Hap! Hap!" seru Andika.
Begitu bangkit, Andika mengikuti gerakan
melompat mereka. Setelah puas meledek, tubuhnya bergerak lagi. Kali ini,
gerakannya amat santai.
Dihampiri lawannya satu persatu, lalu ditotoknya
aliran darah mereka.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Tubuh keempat laki-laki itu langsung ambruk, begitu mendapat totokan di punggung
masing-masing. Bruk!
"Kalian istirahat dulu ya, Manis. Aku akan mengurus kawan kalian yang belum
kebagian jatah...," ucap Andika seraya mengelus jenggot seorang lawannya.
Mendengar perkataan Andika barusan, tentu saja lelaki berhidung lancip yang
tidak ikut menyerang jadi tergagap. Matanya mendelik seperti hendak melompat
keluar, membayangkan ketakutan yang amat sangat. Dia membayangkan, benda-benda
rahasia kawannya sudah pecah semua. Padahal, Andika hanya menyalurkan sedikit
tenaga dalamnya saat itu.
Meski begitu, mereka tetap mengerang-erang dengan mata melotot. Dan ini dikira
laki-laki berhidung lancip itu, keempat temannya sedang mengalami sekarat.
Pikir punya pikir, akhirnya lelaki itu memutuskan untuk lari. Dengan wajah
bertekuk-tekuk ketakutan, kakinya bergerak lebar-lebar. Dia berusaha kabur,
namun.... "Kena!" teriak Andika.
Tuk! Andika memang telah melesat cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi,
melewati orang yang kabur itu. Lalu, langsung dilepaskannya sebuah totokan di
punggung. Akibatnya, orang itu kontan ambruk.
*** Setelah kelima bajingan tengik itu dibereskan,
orang-orang di pasar mulai berani berkumpul. Satu demi satu mereka menghampiri
tempat kejadian. Dari kejauhan tadi, sebenarnya mereka menyaksikan ulah Andika
terhadap kelima lawannya. Kalaupun orang-orang itu menghampiri tempat kejadian,
karena memang ingin menegaskan wajah Andika. Wajah anak muda tampan yang
membereskan kericuhan dengan amat mudah. Lucu, tapi juga konyol. Maka kasak-
kusuk kemudian menyebar ketika mereka sudah membentuk kerumunan.
"Siapa dia, ya" Kalau dia pendekar, kenapa tingkahnya slebor" Apa ada Pendekar
Slebor?" kata salah seorang dari mereka.
"Hus! Nanti dia dengar, lho! Kamu mau 'perkutut'
kamu disentil!"
"Hiiiy!"
Mendapati orang-orang yang berkumpul seperti itu, Andika jadi geleng-geleng
kepala. "Hey! Kenapa kalian jadi senang nonton sejak aku sampai di sini" Kalau kalian
ingin terus nonton, silakan. Tapi aku tidak mau disalahkan bila pasar milik
kalian habis terbakar!"seru Andika, seraya menunjuk api besar yang melalap
sebuah kedai kelontong.
Seperti baru disadarkan dari mimpi, orang-orang itu langsung serabutan kian
kemari, mereka langsung mencari ember dan air untuk memadamkan api yang sudah
berhasil menghanguskan satu bangunan.
"Air! Air! Ambil air!"
"Ember, ember! Ambil ember!"
Teriak mereka kalang kabut.
"Goblok.... Goblok! Kalian goblok!" rutuk Andika setengah mangkel. Kemudian,
dihampirinya pemuda yang menjadi bulan-bulanan tadi.
"Ada apa sebenarnya, Kisanak?" tanya Andika sopan, setelah tiba di depan pemuda
yang umurnya lebih tua darinya.
"Aku juga tidak tahu," jawab pemuda itu seraya menyapu sudut bibirnya yang masih
mengalirkan darah.
"Hm..., boleh aku panggil Kakang?" tanya Andika.
"Boleh. Tapi, aku lebih suka kalau dipanggil Jaka,"
sahut pemuda yang ternyata bernama Jaka, diiringi anggukan.
"O, iya. Aku Andika," sambut Andika. Tangannya langsung disodorkan.
Mereka berjabat tangan.
Dan Andika segera membantu Jaka untuk bangkit.
"Bisa kau ceritakan, kenapa mereka memukulimu?" tanya Andika.
Mulailah Jaka menceritakan kejadian naas yang menimpanya.
"Tadi aku melihat seorang gadis cantik di pasar ini.
Sebagai pemuda yang ingin disebut laki-laki, aku langsung tertarik oleh
keayuannya. Namun sebelum-nya, aku agak ragu, karena wanita itu menyandang
pedang bergagang kepala naga di punggung. Dan kupikir, hanya wanita-wanita
pendekar saja yang menyandang senjata seperti itu. Tapi aku berusaha nekat.
Akhirnya kuikuti juga wanita itu. Pada suatu kesempatan, aku berhasil
mendekatinya. Wanita itu kutegur dengan sikap ramah," tutur Jaka, seraya
menghentikan ceritanya sebentar.
Sementara, Andika masih menatap wajah Jaka.
Ada sesuatu yang mengganjal dadanya. Tapi dia berusaha menahan, sampai Jaka
memutuskan ceritanya. "Sikap ramahku ternyata mendapat sambutan
yang baik dari wanita itu. Dan dia memintaku untuk mengantarkan ke kedai
kelontong yang menyediakan pakaian wanita. Tentu saja membuat hatiku mekar,"
lanjut Jaka. "Maka aku mengantarkannya ke kelontong terdekat. Sesampainya di
tempat itu, dia membeli beberapa keperluan. Usai urusannya, dia memberiku uang.
Benar-benar sial nasibku hari itu.
Rupanya wanita yang kutaksir menyangka kalau aku adalah pesuruh pasar. Tapi,
lebih sial lagi ketika datang lima orang bertampang seram yang
menuduhku mata-mata."
"Mata-mata siapa?" tanya Andika, memotong cerita Jaka.
"Aku juga tidak tahu. Mereka lalu menanyakan tujuanku bersama wanita itu. Bahkan
mereka, membakar begitu saja kedai kelontong tempat belanja wanita yang
kudekati. Ah! Aku jadi tidak mengerti...,"
keluh Jaka. Tiba-tiba Andika ingat tentang ganjalan hatinya, dari cerita Jaka tadi.
"Tadi kau katakan, wanita itu menyandang pedang bergagang kepala naga?" tanya
Andika. Jaka mengangguk pertanyaan Andika.
"Pedang bergagang kepala naga" Siapa lagi pendekar wanita yang memiliki pedang
seperti itu, kalau bukan Purwasih yang berjuluk si Naga Wanita!
Hm..., rupanya kita akan bertemu di sekitar daerah ini, Naga Wanita keparat!"
desis Andika tak sabar (untuk lebih jelasnya, silakan baca episode: 'Lembah
Kutukan'). "Kenapa, Andika?" tanya Jaka, terheran-heran.
*** 3 Senja merayap. Sinar matahari telah meredup merata. Hamparan langit terlihat
kian sayu. Bersama jangkrik yang mulai berderik, hari akhirnya rebah dalam
singgasana malam.
Dan Andika sekarang sudah mempunyai rencana untuk memulai tugas sucinya. Setelah
kejadian siang tadi, dia memutuskan untuk mencari Purwasih yang lebih terkenal
berjuluk Naga Wanita. Sejak sepanjang siang tadi, dijelajahinya daerah sekitar
itu. Tapi, wanita yang dicarinya belum juga ditemukan.
Badan Andika mulai menuntut istirahat. Pegal dan linu melantakkan seluruh
persendiannya. Yang terbaik baginya saat itu hanya istirahat. Kalaupun pencarian
terus dilakukan, akan sia-sia saja karena kegelapan malam akan mempersulitnya.
Dan saat ini, dia tengah berada di bawah sebuah pohon besar.
Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu bibirnya tersenyum. Kemudian....
Hup! Andika langsung melesat ke atas, disertai ilmu meringankan tubuhnya yang telah
tinggi tingkatannya.
Dan manis sekali kakinya menjejak salah satu cabang pohon yang sangat kuat
menahan tubuhnya.
"Huaaah...!"
Di atas sebuah batang pohon randu yang besar, Andika menguap. Tubuhnya langsung
direbahkan di cabang pohon itu. Dia memang tidak punya uang untuk menyewa
penginapan. Makan tadi siang saja
harus dibayarnya dengan mencuci piring di kedai.
Malah tadi sempat dibentak oleh pemilik kedai yang piringnya mau sebersih
cermin. Tapi bagi Andika itu tidak apa-apa, yang penting bisa mengisi perut.
Mata pemuda itu seolah demikian berat.
Kerdipannya mulai lambat. Sebentar saja Andika terpulas dalam selimut alam.
"Aaakh...!"
Namun belum beberapa lama terbang ke alam mimpi, Andika dikejutkan oleh teriakan
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seseorang. Maka sontak matanya terbuka lebar-lebar. Sesaat matanya mengerjap-ngerjap,
mengusir rasa pening akibat bangun mendadak. Kemudian telinganya dipasang tajam-
tajam, berharap dapat mendengar teriakan berikutnya, dan dapat menentukan
asalnya. Beberapa saat Andika terdiam. Suara yang
ditunggu-tunggunya ternyata tidak kunjung terdengar.
Dan dia mulai ragu dengan telinganya.
"Ah! Pasti hanya mimpi," gumam Andika.
Mata pemuda itu mulai terpejam lagi.
"Aaakh...!"
Dan pada saat itu juga, kembali terdengar teriakan membahana, menguak udara
malam yang dingin.
"Dari sebelah utara," desis Andika.
Bergegas Andika menggenjot tubuhnya dan melenting turun. Lalu seketika tubuhnya
melesat cepat ke arah utara. Tak lama dia sudah menembus hutan randu yang cukup
lebat. Dan sebentar saja, matanya sudah menangkap cahaya api unggun sebelas
tombak di depannya.
Andika mengendap hati-hati, mendekati api unggun. Kakinya baru berhenti
melangkah, ketika melihat seorang wanita sedang berdiri di depan api unggun.
Beberapa tombak di hadapannya, tampak
seorang lelaki tengah tergantung di atas pohon dengan kepala di bawah. Di balik
semak-semak, Andika menyembunyikan tubuhnya sambil terus memperhatikan.
Melihat penampilan wanita itu, Andika seperti pernah mengenalnya. Tubuhnya yang
agak mungil terbungkus baju hijau lumut. Rambutnya yang panjang dikepang ekor
kuda. Karena Andika berdiri di belakangnya, anak muda itu tidak bisa jelas
melihat wajahnya. Tapi dia tetap yakin pernah bertemu dengannya.
Pedang berkepala naga di punggung, membuat Andika memastikan kalau gadis yang
diintainya dari sepanjang siang tadi dicarinya, pasti Purwasih.
Andika memutuskan untuk bertahan dulu
beberapa saat di tempat persembunyiannya. Dia ingin tahu, apa yang dikerjakan
Purwasih terhadap lelaki yang digantungnya di atas pohon.
"Kau masih bertahan untuk tidak bicara?" kata Purwasih di antara gemeretak kayu
yang terbakar. "Kau pikir aku akan mudah bersuara untukmu, Naga Merah?" jawab lelaki yang
digantung. Tubuhnya dipenuhi koyak akibat sayatan pedang. Masih dengan meringis
menahan pedih, dia menatap berbalik pada Purwasih. "Tanyakan saja pada iblis
hutan randu ini!"
"Ooo, kau ingin diberi sedikit paksaan lagi?" tukas Purwasih, dingin. "Baik...."
Kemudian Purwasih bangkit. Dihampirinya lelaki itu. Lalu.... Sret!
Purwasih mencabut pedangnya di punggung.
Langsung dibabatkan pedangnya ke arah paha laki-laki yang digantung.
"Aaakh!"
Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak
darah meleleh dari paha yang tersayat itu.
"Bagaimana, apa kau masih tidak ingin bicara?"
desak Purwasih.
Orang yang dipaksa bicara hanya menatap dengan sinar mata dendam.
Sementara di tempat persembunyian, Andika mengutuk perbuatan Purwasih yang
telengas itu. Ternyata dugaannya dulu bahwa Naga Wanita adalah bajingan perempuan yang
mengaku-ngaku sebagai utusan adipati, kini terbukti.
Darah Andika menggelegak hingga ke ujung
kepala. Dadanya berderu keras dilanda kemarahan yang tiba-tiba membakar.
Terlebih, saat benaknya dibawa kembali pada peristiwa pembokongan dirinya oleh
Purwasih ketika bertempur melawan Begal Ireng dulu. Seketika saja, tangannya
meraba sesuatu di tanah. Lalu....
Singngng! Tes! Tali pengikat lelaki yang digantung terputus, begitu Andika mengebutkan
tangannya. Rupanya, kerikil yang dijentikkan bersama tenaga dalam membuat tali
terputus, sehingga orang yang digantung meluncur ke tanah.
Brukkk! Lelaki tadi jatuh menghantam tanah.
Sementara Purwasih terkesiap. Sinar matanya terlihat garang saat mencari orang
yang hendak ikut campur urusannya.
"Siapa setan busuk yang berani lancang"! Keluar!"
bentak gadis berbaju hijau lumut penuh amarah.
Jawaban yang muncul justru kelebatan sesosok tubuh yang datang dari samping.
Dan, Purwasih langsung membabatkan pedangnya yang masih
tergenggam di tangan, untuk memapak serangan itu.
Tapi hatinya jadi terkejut, karena tebasannya seperti mengenai angin. Padahal
dia sudah yakin kalau penyerangnya akan segera menggelepar terbabat.
Ternyata orang yang berkelebat tiba-tiba melenting ke atas, seraya mengebutkan
tangannya. Dan.... Tuk!
Keterkejutan Purwasih bertambah dua kali lipat, ketika menyadari tubuhnya terasa
tak memiliki tulang lagi. Rupanya si penyerang telah menotok jalan darahnya!
Sebentar saja, tubuh Purwasih telah ambruk ke tanah.
"Apa kabar, Naga Wanita" Masih ingat padaku yang tampan ini?" sapa Andika,
begitu menjejakkan kakinya di depan Purwasih.
Mulanya, gadis itu hanya menatap Andika dengan alis merapat dan mata yang
menyipit geram.
Penampilan Andika yang sudah seperti gembel itu sudah tidak dikenalinya. Baju
pemuda itu koyak-koyak dan mengenakan kain bercorak catur yang menutupi bagian
belakang tubuhnya. Tapi ketika matanya tertumbuk pada wajah pemuda itu....
"Kau... Andika?" desis Purwasih, ingin
memastikan. "Ya! Aku Andika, anak muda yang pernah kau bokong dulu...," kata Andika penuh
getaran pada setiap kata-katanya.
"Ah! Kau masih saja slebor seperti dulu, Andika.
Kalau ingin mengucapkan salam pertemuan, kenapa harus menotok" Dasar slebor...,"
kata Purwasih, tanpa bisa bergerak sedikit pun di tanah.
"Diam!" hardik Andika mengguntur. Purwasih langsung tercekat.
"Apa-apaan kau ini"!" dengus Purwasih, makin tercekat bercampur heran.
"Jangan berpura-pura, Perempuan Tengik! Kukira kau benar-benar utusan Prabu
Bratasena yang sedang menyelidiki pemberontakan Begal Ireng. Tapi, ternyata kau
tak lebih dari penipu!" desis Andika.
"Apa"! Gila! Gila kau, Andika! Tak pantas kau menuduhku seperti itu!" balas
Purwasih, tak kalah sengit.
Mata Andika melotot. Sambil berjalan mengelilingi Purwasih yang tergeletak tanpa
gerak, matanya terus terpaku pada gadis itu.
"Tak pantas" Setelah kau berusaha membunuhku saat bertempur melawan Begal Ireng
dulu" Setelah aku tahu, kalau kau ternyata dicari-cari lima lelaki dari
kerajaan, karena kau adalah mata-mata" Setelah kau menyiksa secara keji lelaki
tadi?" kata Andika lagi, sinis.
"Hi hi hi...!"
Mendadak Purwasih tertawa tertahan.
"Kenapa tertawa"! Aku tidak sedang melucu!"
Dibentak Andika seperti itu, wajah Purwasih kembali mengejang.
"Tolol! Tak kukira, ternyata pikiranmu masih tolol...," dengus Purwasih.
"Diaaam!" potong Andika.
"Kau yang diam! Dengarkan aku!" balas Purwasih, tak kalah sengit. "Aku memang
utusan Prabu Bratasena. Dan aku pula yang dulu membokongmu.
Tapi...." "Tapi kau hanya bajingan perempuan!" potong Andika sekali lagi.
Mata Purwasih meredup. Sakit hatinya dikatakan bajingan.
"Andika.... Bukalah totokanmu. Akan kujelaskan semuanya," ratap gadis itu agak
perlahan. Dia berusaha menguasai kejengkelan yang mem-
berontaki dirinya.
"Setelah kau kubebaskan, lalu akan buron" Huh!
Nanti dulu...."
"Apa kau pikir aku bisa menandingi kehebatanmu"
Apa kau lupa, kalau kau adalah keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang diwarisi
kecepatan gerak yang sulit tertandingi?"
Andika menggaruk-garuk kepala seperti orang bodoh. "Memang benar apa yang
dikatakan perempuan brengsek ini. Ilmu meringankan tubuhku sudah demikian sempurna."
Kepala pemuda itu jadi mengangguk-angguk.
"Kenapa hanya mengangguk-angguk seperti
burung kakaktua" Bebaskan aku!" seru Purwasih.
"Baik... baik. Kenapa jadi begitu sewot" Aku tak akan menciummu atau berbuat
yang macam-macam padamu," ucap Andika, mulai timbul lagi sifat ugal-ugalan
seorang anak gelandangan yang sudah tertanam dalam dirinya.
Pemuda itu segera merunduk. Seketika tangannya bergerak cepat ke arah punggung
gadis itu. Dan....
Tuk! Purwasih seketika terbebas dari totokan itu. Gadis itu segera bangkit seraya
menepuk-nepuk baju hijaunya yang dipenuhi kotoran. Dan ini membuat Andika jadi
tidak sabar. "Cepat buktikan ucapanmu! Kenapa kau jadi lambat kayak pesinden"!" rutuk Andika.
"Iya..., iya!" omel Purwasih.
Tangan gadis itu segera bergerak mengeluarkan pisau-pisau kecil dari balik
bajunya. "Hey! Kau mau main api padaku, ya"!"
"Ah, dasar anak tolol! Apa kau tak mau kubuktikan
kalau aku tidak bermaksud membunuhmu waktu itu?" tukas wanita itu seraya
mengacungkan pisau tanpa gagang, namun terdapat rumbai-rumbai di ujung
belakangnya. Pisau seperti itulah yang dulu menancap di badan Andika dulu.
"Baik..., buktikanlah! Tapi kalau main curang, kau akan kucium sampai mati!"
Di antara sinar api unggun yang menerpa wajah cantik Purwasih, seketika rona
merah dadu merayapinya. Ucapan terakhir Andika yang sedikit nakal, membuatnya
mati kutu. Mulutnya terkunci rapat, tak dapat lagi berkata apa-apa.
"Ayo, tunggu apa lagi"!" sentak Andika.
Tiba-tiba tangan Purwasih bergerak.
Zing...! Zing...! Zing...! Tiga pisau kecil langsung meluncur pada sisa tali yang dipakai untuk menggantung
lelaki yang kini telah lenyap entah lari ke mana.
Tes! Tes! Tes! Tali itu langsung terpotong tiga bagian dengan ukuran sama. Namun Andika
mengernyitkan kening, tidak mengerti maksud Purwasih.
"Apa maksudmu sebenarnya" Kalau hanya jengkel dengan ucapanku tadi, aku akan
menariknya kembali. Aku tak akan mengancam dengan menciummu sampai mati.
Tapi...." "Diam, Andika!" selak Purwasih. Gadis itu tidak ingin wajahnya bertambah merah,
lalu diketahui pemuda tampan ini.
"Kau sudah lihat, aku dapat memutuskan tali itu
dengan senjata rahasia, bukan" lanjut Purwasih.
Andika mengangguk-angguk dengan tangan
memegangi dagu. Sementara Purwasih mengira Andika sudah mengerti maksudnya.
Makanya ditariknya napas lega beberapa saat.
"Jadi apa maksudmu?" tanya Andika sambil menggaruk kepala.
Purwasih menarik napas lagi. Tapi kali ini karena jengkel.
"Kalau aku ingin membunuhmu waktu itu, akan mudah kulaksanakan. Sengaja aku
membokongmu, agar Begal Ireng menyangka kau mati sehingga selamat dari
tangannya," urai Purwasih menjelaskan.
"O, jadi kau tidak mengarahkan pisau itu ke jantungku?"
"Ya! Aku hanya mengarahkan pada titik yang menghentikan gerakan jantung sesaat.
Sehingga, Begal Ireng menyangka kau mati."
Andika mengangguk-angguk kembali. Dia mulai percaya penjelasan wanita cantik
yang kini kembali duduk di dekat api unggun. Karena dia sendiri pernah bertemu
seseorang yang mampu menghentikan denyut jantungnya. Siapa lagi kalau bukan Ki
Saptacakra. Dihampirinya Purwasih yang terduduk kesal.
Bagaimana wanita itu tidak kesal, kalau lelaki yang sedang dipaksa bicara tadi
akhirnya kabur karena perbuatan yang dilakukan Andika. Dan sementara Andika
sudah duduk di sisinya.
"Lalu siapa lima lelaki yang kutemui siang tadi"
Apa mereka dari kerajaan?" tanyanya, mulai lembut.
Saat bertanya, mata Andika yang setajam mata naga memperhatikan wajah Purwasih
di dalam selimut cahaya merah api unggun. Dan tentu saja
gadis itu jadi salah tingkah. Dia bangkit, seraya melangkah perlahan.
"Mereka memang orang-orang kerajaan, anak buah seorang perwira yang berkhianat.
Makanya aku memaksa lelaki tadi berbicara tentang perwira itu.
Karena sampai saat ini, dia tetap menjadi musuh dalam selimut...," jelas
Purwasih, sambil terus melangkah memutari api unggun.
Andika ikut bangkit.
"Aduh! Jadi, lelaki tadi antek-anteknya Begal Ireng"
Ck ck ck.... Tolol sekali aku, ya?" tutur Andika kebodoh-bodohan.
"Lelaki itu pantas mendapat perlakuan yang tadi kuperbuat padanya. Karena, dia
sendiri kerapkali berlaku keji pada orang-orang lemah dan tak berdosa," lanjut
Purwasih, seperti tidak mendengar ucapan Andika.
Sesaat gadis cantik berusia sekitar dua puluh sembilan tahun itu mematung dalam
diam. Sedangkan Andika mendekatinya.
"Gara-garamu, aku gagal mencari tahu siapa perwira yang berkhianat di kerajaan!"
bentak gadis itu tiba-tiba saat Andika baru saja berdiri di sampingnya.
Andika tersentak. Cepat-cepat dadanya diusap.
"Bangun-bangun... makan nasi sama racun....
*** Pagi bangkit kembali bersama senyum mentari di sudut timur. Hawa dingin
mengepung hutan randu tempat Andika dan Purwasih bermalam. Kabut tipis bergerak
lamban, seperti iring-iringan peri hutan.
"Huaaah...."
Andika menguap panjang. Bersama satu geliat
tubuhnya, dia terjaga.
"Pagi, Andika," salam seseorang di sampingnya.
Rupanya. Purwasih bangun lebih dahulu, dan sedang meletakkan kayu bakar yang
baru saja dicari di sekitar hutan randu itu.
"Pagi...," sahut Andika agak malu, karena tidur seperti orang mati sehingga
bangun kesiangan.
"Apa rencanamu hari ini, Andika?" tanya Purwasih, sementara tangannya memutar
kayu sebesar jari yang berujung lancip di atas kayu lain untuk menyalakan api
unggun. Dan begitu api telah tercipta, maka semakin berkobar membakar kayu
bakar. Jadilah api unggun.
"Aku tidak tahu," sahut Andika singkat.
"Bukankah kau akan mencari Begal Ireng?"
"Memang."
"Kau hendak mencarinya ke mana?"
Pendekar Pengejar Nyawa 22 Gento Guyon 17 Setan Sableng Keruntuhan Netra Dahana 2
1 Waktu datang dan pergi. Sejarah hadir dan berganti.
Manusia lahir dan mati. Roda kehidupan terus berjalan tanpa ada yang dapat
menghentikannya. Dan selama itu pula dunia persilatan selalu diwarnai berjuta
kisah. Tentang darah dan nyawa, tentang cinta, tentang perjuangan, dan tentang
pengorbanan. Sejak Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa berani unjuk taring kembali
dalam dunia persilatan, hari-hari makin tersaput warna merah karena terlalu
banyak darah tertumpah. Tidak hanya pemberontakan pada Prabu Bratasena yang
dilakukannya. Tapi, juga keangkaramurkaan yang membumi-hanguskan orang-orang tak
berdaya. Pembantaian yang terjadi di mana-mana, kini bukan lagi kisah luar
biasa. Di setiap tempat dan di setiap waktu, bisa saja terjadi secara tiba-tiba.
Lengking kematian kerap terdengar, seiring isak tangis pilu para korban yang
teraniaya. Saat ini, dunia persilatan memang tengah mem-butuhkan 'Sang Penyelamat'! Karena
hukum kerajaan yang diberlakukan Prabu Bratasena pun ternyata tidak memiliki
kekuatan dalam menghadapi
kebuasan Begal Ireng dan kawanannya.
Sementara itu, di Lembah Kutukan yang jauh dari hingar-bingar dunia persilatan,
seorang pemuda tampan bermuka tirus tampak tengah menjalani perjuangan antara
hidup dan mati. Dan orang itu adalah Andika. Setelah beberapa tahun menekuni
ilmu olah kanuragan di lembah itu, dia sudah menjadi pemuda
berbadan tegap berotot. Rambutnya sebatas bahu tak teratur. Wajahnya yang tampan
dihiasi oleh mata tajam menusuk. Sedangkan alis mata yang menukik bagai sayap
elang, memperlihatkan ketajaman muka-nya. Kini, dalam masa penyempurnaannya
sebagai seorang pendekar keturunan keluarga Lembah Kutukan. Dan dia harus
menerima sesuatu yang tak terduga.
Saat itu, Andika baru menyelesaikan jurus ketiga puluh yang bernama 'Petir
Selaksa' hasil ciptaannya.
Di antara gencarnya juluran lidah petir, tubuhnya tampak berkelebat kian kemari
dalam satu rangkaian gerakan ganjil. Seluruh tubuhnya sudah dibanjiri keringat
yang tak henti-hentinya mengalir dari lubang pori-porinya.
Kini tampak, juluran lidah petir yang amat menyilaukan mata menghujam ke arah
Andika dari arah samping kanan. Dan pemuda itu dapat merasakan kalau sambaran
petir kali ini memiliki kekuatan beberapa kali lipat lebih dahsyat, beda dari
biasanya. Tentu saja anak muda itu tidak sudi tubuhnya ter-panggang, karena keganjilan
yang baru kali ini ditemui. Dengan sigap, tubuhnya berkelebat ke samping dengan
kecepatan melebihi suara. Kekuatan lidah api yang hendak mengganyangnya memang
luput sejengkal dari tubuhnya. Namun ketika kaki kirinya menjejak salah satu
dari susunan batu yang teratur rapi, mendadak tanah di sekitar batu itu amblas!
Belum sempat Andika menyadari apa yang terjadi, tubuhnya tersedot ke lubang
besar yang kini tercipta.
Srrr! Anak muda bertubuh gagah itu benar-benar tidak bisa lagi menguasai
keseimbangannya. Tubuhnya
terus meluncur dalam lubang menurun yang panjang berliku. Bunyi kerikil dan
pasir yang ikut terseret tubuhnya, terdengar seperti desis ribuan ular berbisa.
Sampai suatu ketika....
Buk! Tubuh kekar Andika terbanting keras di tanah dasar lubang itu. Karena pantatnya
yang jatuh lebih dulu, maka bagian itu pula yang mengalami rasa sakit paling
parah. Wajahnya langsung meringis-ringis seperti orang telat buang air. Dengan
terduduk menahan sakit, tangannya meraba bagian pantatnya yang berdenyut-denyut
bukan kepalang.
"Huh! Daripada pantatku terbentur seperti ini, lebih baik tersambar petir...,"
keluh pemuda itu, jengkel.
"Kalau tahu jadi pendekar sakti harus sesengsara ini, rasanya lebih baik jadi
tukang sayur saja."
Selesai menggerutu panjang pendek, Andika mulai mengawasi keadaan sekitarnya.
Rupanya, di sekelilingnya merupakan sebuah ruangan yang sama sekali asing.
Ruangan ini cukup luas, berdinding batu cadas yang melingkar hingga ke bagian
atas. Pada beberapa bagian dinding tertancap obor-obor yang tampaknya dihidupi
oleh gas alam. Hawa di dalam ruangan itu sangat sejuk, seolah-olah ada saluran
udara khusus yang tersembunyi.
Namun, bukan hal itu yang menarik perhatian Andika. Rupanya ada sesuatu yang
membuat keningnya berkernyit dalam. Di salah satu sudut ruangan ini, ternyata
ada seorang lelaki tua bertubuh kurus. Dia tengah duduk tenang dengan mata
terpejam di atas sebuah batu yang permukaannya pipih. Seluruh pakaian yang
dikenakannya berwarna putih. Amat
pantas dengan keadaannya yang begitu menggambarkan ketenangan. Dari caranya
duduk dengan tangan terlipat di dada, Andika yakin kalau laki-laki tua itu
sedang bersemadi.
Dan ada satu lagi yang membuat Andika terheran-heran. Ternyata di depan lelaki
tua itu terdapat meja beralaskan kain kotak-kotak hitam dan putih seperti papan
catur. Bahkan di atasnya tampak pula beberapa buah catur.
Andika jadi terheran-heran sendiri seraya mendekati lelaki tua itu dengan
langkah hati-hati. Ber-macam-macam dugaan berkecamuk dalam benaknya saat ini.
Tapi, tak satu pun yang terjawab, sehingga makin membangkitkan rasa ingin
tahunya yang terkadang liar.
Andika melangkah makin dekat. Hatinya semakin tegang, hingga tanpa disadari,
napasnya diatur sedemikian rupa, agar tidak terdengar oleh lelaki tua yang kini
dihampirinya. "Ki...," tegur Andika setengah berbisik ketika telah berada di sisi orang tua
berbaju putih itu.
Andika diam sebentar, sambil terus mengamati tindakan orang tua itu.
"Ki...! Hey, Kisanak," ulang Andika lebih keras.
Tapi orang yang ditegur tetap saja mematung tanpa gerak sedikit pun.
Andika mencoba memanggil lagi. Bahkan tangannya pun sudah bergerak-gerak nakal
di depan wajah orang tua itu. Hasilnya, tetap nihil. Orang tua itu belum juga
memberi tanggapannya. Sekali lagi di-cobanya untuk menegur dengan suara lebih
keras, sampai akhirnya, dia jadi menggerutu sendiri.
"Huh!"
Andika mulai jengkel, karena orang yang di-
tegurnya seakan menganggapnya sekadar nyamuk buduk.
"Apa kau memang tuli, Ki" Apa aku harus berteriak tepat di telingamu" Ya...,
baiklah!" gumam pemuda bermuka tirus ini, seperti orang kehilangan akal.
Lalu.... "Kisanak...! Oooi, Kisanak!" jerit Andika tak tanggung-tanggung, tepat di
telinga lelaki tua yang mulai menjengkelkannya.
Tanpa disadarinya, kekuatan sakti dalam tubuh Andika mengalir bersama
jeritannya. Hal itu meng-akibatkan dinding batu cadas di sekelilingnya bergetar,
lalu runtuh sebagian.
"Uf, maaf tak sengaja. He he he...," ucap Andika cepat, saat menyadari akibat
teriakan gilanya.
Dan lagi-lagi, pemuda ini harus jengkel. Bagaimana mungkin laki-laki jompo itu
tidak mendengar teriakannya" Kalau dinding cadas saja dapat berantakan seperti
kerupuk, kenapa gendang telinga laki-laki itu tidak pecah" Andika makin diseret
kedongkolan, karena rasa herannya.
"Kau sudah mati ya, Kisanak" Ya...! Pasti kau sudah mati!"
Kini Andika mendekatkan telinganya ke dada kurus lelaki tua. Beberapa saat
diperhatikannya denyut jantung laki-laki tua yang terus diam seperti patung.
Cukup lama juga, sampai dia benar-benar yakin kalau telinganya tidak menangkap
detak jantung orang tua itu sedikit pun.
"Kasihan kau, Kisanak. Rupanya kau memikirkan langkah-langkah catur ini, sampai
mati karenanya,"
oceh Andika seraya melirik ke buah catur di hadapannya.
Sebentar kening Andika berkerut, melihat langkah-
langkah buah catur di hadapannya. Otaknya terus bekerja, seperti mengotak-atik
biji-biji catur berwarna putih, agar dapat mematikan raja hitam.
"Padahal langkah biji catur hitam amat mudah untuk menghindari kematian. Kalau
saja dari dulu kau katakan hal ini padaku, tentu tak akan mati pusing seperti
ini," celoteh Andika sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan-akan, dialah
orang terhebat dalam permainan catur.
Tiba-tiba.... "Siapa yang mengatakan aku sudah mati"!"
Andika terlonjak bukan main, begitu tiba-tiba terdengar suara berat mendengus.
Bahkan tubuhnya sampai terlempar tiga tindak ke belakang. Wajahnya tampak pucat-
pasi karena terkejut. Alis matanya yang hitam terangkat tinggi-tinggi.
Ditatapnya lelaki tua tadi dengan sinar mata ngeri.
"Arwah gentayangan, ini pasti hantunya!" bisiknya dengan bahu menciut. "Hiy...!"
"Siapa yang kau katakan hantu"!" hardik lelaki tua yang matanya kini telah
terbuka. "K... kau, Kisanak! Kau pasti arwah gentayangan.
Kau..., kau sudah mati. Kau har... rus kembali ke alammu. Ayo, sssana! Husss!"
ujar Andika tergagap.
Tangannya mengibas-ngibas, seperti mengusir.
"Bocah goblok! Baru pertama kali ini aku bertemu seorang yang ingin jadi
pendekar, tapi bernyali kodok!" bentak orang tua itu lagi. Kali ini matanya
menatap Andika.
"Aku bukannya takut, Hanya...."
"Hanya apa"!"
Andika menelan ludah. "Cuma seram...," tambah Andika setelah menelan ludah,
dengan mata masih terbelalak seperti hendak keluar.
"Apa kau kira aku ini arwah gentayangan?"
Andika tidak menjawab. Dia sendiri sudah begitu yakin kalau orang tua di
depannya sudah mati dan arwahnya kini kembali karena dia telah mengusiknya.
"Aku bukan setan, Tolol! Kenapa kau masih melotot seperti orang cacingan"!"
bentak orang tua itu lagi. Jenggot putihnya tampak tergetar saat mem-bentak.
"Jadi kau bukan arwah gentayangan" Ah, bohong!
Kau pasti setan yang suka berbohong!" tukas Andika.
Lelaki tua itu malah tertawa.
"Ke sini kau!" perintah laki-laki tua itu tiba-tiba.
"Tidak mau...," tolak Andika, seraya menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Kesini!"
"Tidak mauuu...!"
"Kalau tidak ke sini, kau akan kucekik sampai mati. Ingat, aku adalah arwah
gentayangan yang paling suka mencekik orang!" ancam lelaki tua ber-jenggot
putih. Lagi-lagi Andika menelan ludah. Dia berpikir, "Daripada dicekik, lebih baik
menuruti kemauannya saja".
Kakinya mulai beringsut, mendekati orang tua itu.
"Sekarang duduk!" perintah orang tua itu kembali, sewaktu anak muda itu sudah
selangkah di depannya.
Andika meringis ngeri, mendengar permintaan orang tua itu. "Setelah aku duduk,
mau diapakan lagi?"
"Duduklah. Jangan takut, aku tak akan men-cekikmu!" ujar orang tua itu, seperti
dapat membaca pikiran Andika.
Akhirnya, Andika menurut. Sambil tetap menatap orang tua itu, dia duduk takut-
takut. "Dengarkan baik-baik," ujar orang tua itu, saat Andika sudah duduk menciut.
"Namaku, Ki
Saptacakra. Aku tahu, kau belum kenal padaku. Maka itu, akan kuperkenalkan
diriku kalau aku adalah buyutmu, Pendekar Lembah Kutukan...."
Wajah Andika langsung menengadah, bagai baru saja mendapat mimpi. Bagaimana
hatinya tidak tersentak seperti sedang bermimpi, kalau orang tua di depannya
mengaku sebagai Pendekar Lembah
Kutukan yang tinggal menjadi cerita rakyat selama lebih dari seabad.
Namun Andika juga berpikir, "Kalau orang tua yang mengaku bernama Ki Saptacakra,
pasti arwah gentayangan yang sinting! Masalahnya, dia mengaku sebagai buyutku."
"Jangan sembarangan mengaku-ngaku sebagai buyutku, Kisanak!" bentak Andika
kesal. Tiba-tiba saja harga diri Andika sebagai keturunan langsung pendekar tersohor
itu terusik. Dia berpikir, Ki Saptacakra sedang mengejek keluarganya.
Padahal, Andika sendiri belum pernah mengenal satu pun dari anggota keluarga
Pendekar Lembah Kutukan."
Sementara, Ki Saptacakra terkekeh.
"Rupanya kau tidak terlalu pengecut, ya?" sindir orang tua itu.
"Pengecut" Hei, bagaimana mungkin keturunan Pendekar Lembah Kutukan bisa
pengecut?" sergah Andika seraya membusungkan dada, biarpun
sebenarnya masih gemetar juga. "Dan aku tidak terima kalau kau mengaku-ngaku
seenaknya!"
"Kalau kau tidak percaya, terserah," kata Ki Saptacakra amat tenang. Setenang
bias wajahnya yang ditumbuhi jenggot putih panjang. "Tapi kau
mesti tahu, aku akan mewariskan sesuatu yang belum kau miliki...."
"Terima kasih, aku sudah hebat," sela Andika, seenak dengkul.
"Bagiku. kau hanya anak bawang. Anak pengecut yang pongah dan keras kepala,"
kata Ki Saptacakra kembali sambil terkekeh.
Andika langsung bangkit, lalu berkacak pinggang.
Hatinya benar-benar mangkel.
"Ngomong-ngomong soal pengecut, sebenarnya tadi aku hanya agak kaget..., itu pun
hanya sedikit sekali. Ingat itu," ujar Andika membela diri. "Dan soal anak
bawang itu. Bisa kubuktikan kalau aku ini biangnya bawang! Eh..., maksudku aku
memang hebat. Bagaimana aku harus membuktikannya" Apa mesti menggigit telingamu
sampai mengejang mati?"
"Kau bisa main catur?" tanya Ki Saptacakra.
"Main catur" Apa hubungannya dengan kesaktian-ku" Percuma saja selama enam
purnama, aku pontang-panting di Lembah Kutukan kalau hanya ditantang main
catur," remeh Andika.
"Itulah sikap keras kepalamu!" ejek Ki Saptacakra.
"Aku tidak keras kepala!" teriak Andika. Ke-dongkolannya sudah naik sampai ke
ubun-ubun. "Baik, baik. Tantangan konyolmu kuterima...."
Akhirnya Andika menerima tantangan itu. Dia tidak mau disebut keras kepala,
meski memang begitu.
"Kau bereskan dulu buah caturnya!" perintah Ki Saptacakra.
Mata Andika jadi menyipit. Alisnya bertaut amat erat. Masalahnya, Ki Saptacakra
seenaknya menyuruh Andika membereskan buah catur. Andika jadi menggerutu. Tapi
karena tidak mau disebut keras kepala lagi, akhirnya menyerah.
Dengan malas-malasan, tangan anak muda itu menjulur ke buah catur yang masih
tersusun pada tempatnya masing-masing. Begitu hendak mengangkat satu buah catur,
keningnya langsung berkernyit. Ternyata buah catur itu sulit diangkat.
Digenggamnya buah catur itu kuat-kuat, lalu di-hentakkan. Ajaib! Buah catur kayu
itu tetap saja tidak bergeming. Apalagi terangkat.
Andika baru sadar. Tentu buah catur itu telah disalurkan tenaga dalam oleh Ki
Saptacakra. Dengan bibir menyeringai kesal, tenaga saktinya segera dikerahkan.
"Hiaaat!"
Usaha pertama tidak berhasil.
"Hiaaat!"
Kembali tenaga saktinya. Dan ternyata usaha kedua pun nihil.
"Hiaaat!"
Usaha ketiga pun sia-sia.
Dut... bret... bret... bruuut! Nah, itu usaha selanjutnya. Andika sampai
terkentut-kentut.
"Sialan!" maki Andika putus asa. "Terang saja, ini di tempatmu sendiri, Ki.
Kalau tidak...."
Walaupun tidak berhasil, Andika masih berkilah mencari-cari alasan. Sementara Ki
Saptacakra hanya tersenyum-senyum mengejek.
Andika segera melepaskan genggaman tangannya pada buah catur tadi dengan wajah
tertekuk. "Aku tak sudi melanjutkan permainan konyol ini,"
gerutu pemuda itu.
"Itu artinya kau menyerah," cemooh Ki Saptacakra.
"Suka-sukamulah, Ki. Toh, tak ada seorang pun yang menyaksikan kekalahanku...,"
kata Andika, lesu.
"Jadi kau mau menerima warisanku, kan?"
Ki Saptacakra tersenyum geli. Sedangkan Andika makin menekuk wajah.
"Tapi sebelum menerimanya, kau harus berusaha mencari jalan keluar dari tempat
ini," kata Ki Saptacakra kembali. Wajahnya yang semula cerah karena tersenyum,
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kini mulai memutih lagi.
"Permainan macam apa lagi yang kau berikan padaku, Ki?" tanya Andika. "Kalau
begitu caranya, aku lebih suka tidak menerima warisanmu."
Sementara, Andika terus mondar-mandir di depan Ki Saptacakra yang masih duduk
tenang. "Itu sama artinya kau tidak ingin keluar dari tempat ini."
"Apa maksudmu?" Andika menghentikan langkahnya.
"Ya! Karena hanya dengan menerima per-
syaratanku tadi, kau bisa keluar dari tempat ini.
Sekaligus, menerima warisanku," jelas Ki Saptacakra datar.
"Ini benar-benar menyebalkan! Menjengkelkan!
Mendongkolkan!" umpat Andika seraya melanjutkan langkah.
Kembali pemuda itu mondar-mandir. Sementara, tangannya mengacak-ngacak rambut
sendiri, seakan mulai dirasuki setan kudis.
"Aku tidak mau tinggal di tempat ini sepanjang hidup. Aku masih ingin makan
tempe. Dan, aku juga mau kawin!" teriak Andika.
"Kalau begitu, cari jalan keluarnya. Aku akan melanjutkan semadiku," ujar Ki
Saptacakra. Laki-laki tua itu seperti tidak mengindahkan kesewotan Andika yang memuncak.
Matanya kembali terpejam, lalu perlahan napasnya tak terdengar.
"Hei, Ki. Kau harus memberitahuku jalan keluar
dari tempat ini."
Tapi, Ki Saptacakra sudah larut kembali dalam kekhusyukan semadinya.
"Aku tak ingin kurang ajar dengan orang tua sepertimu, Ki. Tapi kau
mempermainkanku, maaf kalau aku sampai memakimu.... Setan Belang! Kentut Tuyul!
Tua bangka brengsek, kau!"
*** Telah dua hari dua malam Andika terkurung di dalam goa, tempat Ki Saptacakra
bersemadi. Selama itu, tak ada sepotong makanan pun yang dapat dimakan, kecuali
menelan air yang merembas di antara dinding cadas. Selama itu pula, dia telah
berusaha mencari jalan keluar. Tentu saja hasilnya sia-sia.
Kini Andika terduduk lesu di salah satu sudut ruangan. Dipandangnya Ki
Saptacakra dengan tatapan kesal. Kalau saja masih punya tenaga, akan dimakinya
orang tua yang tetap tenang dalam semadi itu. Sekarang, jangankan untuk
berteriak-teriak mengumpat. Untuk berdiri saja, dia sudah begitu lemah. Perutnya
yang kosong jelas membuatnya demikian.
Berkali-kali Andika menarik napas, melepas rasa putus asa yang mulai menelusup
dalam rongga hatinya. Untunglah dia anak muda keras kepala.
Meski tubuhnya sudah lemas, namun otaknya masih tetap bekerja.
"Kalau aku mencoba keluar dari lubang yang membawa tubuhku ke tempat ini, belum
tentu masih terbuka. Bisa saja lubang itu telah tertimbun reruntuhan tanah
kembali. Apa mungkin tidak ada jalan keluar
lagi" Ah, mustahil! Udara yang tetap sejuk dan tak pengap di ruangan ini jelas
membuktikan kalau ada bagian terbuka yang menjadi tempat keluar masuk-nya udara.
Itu pasti pintu keluar yang dimaksud orang tua brengsek ini. Tapi di mana?"
gumam Andika, bicara pada diri sendiri.
Lama pemuda itu memutar otak, mencari
kemungkinan letak pintu keluar. Sampai suatu saat, matanya terantuk pada meja
catur di depan Ki Saptacakra.
"Catur itu!" pekik pemuda itu girang. "Langkah-langkah catur itu pasti petunjuk
menuju jalan keluar!"
Bergegas Andika menghampiri meja catur kembali.
Diperhatikannya buah catur di atasnya. Tampak buah catur hitam milik Ki
Saptacakra dalam keadaan terdesak. Rajanya terancam dalam beberapa jurus.
Otaknya yang memang cerdas mulai berjalan lagi.
"Dengan membebaskan buah raja, pasti aku akan mendapat arah menuju pintu
keluar," gumam pemuda itu yakin.
Mulailah pemuda itu mereka-reka buah catur yang mana yang harus digerakkan untuk
menyelamatkan buah raja. Beberapa waktu kemudian....
"Dapat!"
Segera tangan pemuda itu bergerak menuju buah catur. Kali ini tak ada kesulitan
dalam mengangkat buah catur itu. Setelah memindahkan beberapa buah catur, Andika
dapat membebaskan buah raja yang terancam.
"Kuda makan prajurit. Prajurit maju satu langkah, perdana menteri selangkah ke
kanan, dan raja maju selangkah ke depan," bisik Andika, mengingat-ingat.
Tak lama, Andika bangkit berdiri. Dan dia mulai melangkah sesuai langkah catur
yang telah dijalan-
kannya. Sampai akhirnya, berdiri tepat di belakang tubuh Ki Saptacakra.
"Sekarang bagaimana lagi?" gumam pemuda itu.
Andika terdiam dengan otak mereka-reka kembali.
Matanya menyipit. Sementara telunjuk tangan kanannya menempel di pelipis.
"Tanah yang kupijak ini pasti merupakan kunci pembuka jalan keluar."
Andika memperhatikan tanah tempat yang
dipijaknya. Semakin diperhatikan, semakin tampak jelas kalau ada bagian yang
menjorok ke dalam di tanah itu. Dan bagian itu segera diinjaknya.
Kemudian.... Grrr! Dinding di sisi kiri Andika perlahan terkuak, memperdengarkan deram bagai
geraman naga. "Yah! Aku berhasil, Ki! Aku berhasil! Aku bisa kawin!" teriak Andika seperti
orang gila. Kakinya cepat melangkah mendekati Ki Saptacakra.
Andika menjulurkan kedua tangannya, memegang bahu Ki Saptacakra.
"Ki...! Hei, Ki! Aku berhasil!" seru Andika seraya menggoyang-goyangkan tubuh Ki
Saptacakra. Namun, tubuh Ki Saptacakra tetap terdiam seperti patung.
"Aaah! Kau jangan berpura-pura mati lagi, Ki! Aku sudah tahu...."
Ketika tangan Andika melepaskan tubuh orang tua itu, Ki Saptacakra terjatuh dari
duduknya dalam keadaan kaku.
"Ki...."
*** 2 Andika berhasil keluar dari tempat Ki Saptacakra, dan segera memasuki sebuah
ruang lain dengan melewati pintu batu yang terbuka, setelah menginjak bagian
yang menjorok ke bawah.
Di ruangan yang baru dimasukinya itu, Andika melihat sebuah kolam alam kecil
seperti dalam Goa Lembah Kutukan. Kalau tepian kolam di Goa Lembah Kutukan
dipenuhi tumbuhan berbuah seperti tomat, maka di ruang ini tepian kolam itu
dipenuhi peti-peti berukir.
Pemuda itu segera melangkah mendekati tepi kolam. Tubuhnya segera membungkuk,
mengambil sebuah peti. Begitu seterusnya. Dan setiap kali satu peti dibuka, mata
pemuda itu terbelalak lebar. Andika benar-benar terperangah, karena peti-peti
itu ternyata berisi tumpukan emas permata.
Dan pada peti terakhir yang dibukanya, ternyata ada satu peti yang isinya
berbeda. Di dalamnya hanya ada buah ranum berwarna hijau pekat, sebesar kepalan
tangan. Saat itu Andika benar-benar dibuat bingung. Apa maksud Ki Saptacakra
dengan mengatakan kalau mau memberi warisan" Kalau emas permata yang bertumpuk dalam
peti, Andika benar-benar tak berminat. Sebab disadari banyak manusia yang
menjadi bejat karena harta.
Otak Andika sudah demikian lelah diperas terus-menerus untuk memecahkan teka-
teki agar dapat keluar dari ruang semadi Ki Saptacakra. Sehingga,
dia tidak peduli lagi dengan warisan yang dikatakan orang tua itu. Yang jelas,
dia ingin secepatnya pergi dari tempat itu. Apalagi, perutnya terasa sangat
lapar, maka tanpa pikir panjang, tangannya langsung mengambil buah dari peti
itu. Sebentar kemudian, mulutnya telah mengunyah dengan nikmat.
Tanpa disadari, Andika sebenarnya telah memakan buah langka bernama Inti Petir.
Buah itu tumbuh di Lembah Kutukan dalam waktu seratus tahun sekali. Seseorang
yang memakan buah berwarna merah yang tumbuh di Goa Lembah Kutukan, sekaligus
memakan buah hijau dari dalam peti itu, tubuhnya akan mampu menyerap kekuatan
petir! Sesungguhnya, itulah yang hendak diwariskan Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah
Kutukan yang telah menjadi cerita rakyat.
Ketika menemukan buah Inti Petir, Ki Saptacakra sudah mulai menyingkir dari
hingar-bingar dunia persilatan. Dia kemudian bersemadi berpuluh tahun.
Tujuannya adalah memohon pada Tuhan, agar diberi kesempatan untuk bertemu salah
seorang keturunan-nya yang akan diwarisi buah langka itu. Sebagai salah seorang
keturunan Ki Saptacakra, Andika beruntung.
Hanya dia yang rupanya dapat bertemu langsung dengan buyutnya yang sudah menjadi
dongeng kepahlawanan itu. Sekaligus menerima warisan ter-akhirnya yang amat
dahsyat! Maka ketika Andika telah berhasil membuka pintu batu dalam ruang semadinya, Ki
Saptacakra pun menyerahkan jiwanya ke hadirat Tuhan. Dia wafat bersama senyum
puas di bibir keriputnya.
Setelah perutnya tidak lapar lagi, Andika harus menemui jalan keluar kembali.
Sebentar matanya beredar ke sekeliling ruang yang hanya diterangi
nyala obor yang terpancar di dinding. Sebenarnya, pemuda itu heran juga, karena
obor itu seperti tak kunjung padam.
Pemuda itu jadi tertarik, kemudian mendekati obor. Lalu, diraihnya tangkai obor.
Dan begitu tangannya mencabut obor, tiba-tiba....
Derrr! Mendadak, dinding batu cadas di hadapan Andika bergeser ke kiri bersama obor
yang baru saja ditarik.
Perlahan-lahan dinding itu bergerak, hingga akhirnya membentuk lubang yang
menembus langsung ke dunia luar.
"He"!"
Andika terhenyak kaget. Buru-buru kakinya melangkah, mendekati lubang itu.
Tubuhnya lalu membungkuk, karena lubang itu hanya setinggi anak kecil berusia
tujuh tahun, dengan lebar tak lebih dari setengah tombak. Dan begitu diterobos,
ternyata Andika telah berada di puncak bukit, di atas Lembah Kutukan!
*** Di kaki langit sebelah timur, matahari tersembul memantulkan sinar rona jingga.
Ayam jantan liar mengumandangkan kokoknya yang gagah, menyapa hari di ambang
pagi. Gumpalan awan berarak di cakrawala. Sementara, tiupan angin sejuk
melengkapi lahirnya hari ini.
Dalam terpaan lembut hawa pagi, Andika mematung di puncak bukit yang memagari
Lembah Kutukan. Tubuhnya terlihat bagai tonggak kayu tak bernyawa saja. Di bawah
sana, di Lembah Kutukan, dia telah menyelesaikan masa penyempurnaannya
sebagai seorang pendekar dari Lembah Kutukan. Ya!
Penyempurnaan dirinya memang telah selesai. Tapi hatinya tak pernah berhenti
bertanya, "Benarkah aku telah benar-benar sempurna?" Andika takut kalau telah
melalaikan sesuatu saat di Lembah Kutukan, hingga tidak mampu mengemban amanat
yang di-serahkan padanya. Sementara amanat tersebut bukanlah sesuatu yang
ringan. Panji-panji keadilan dan kebenaran harus ditegakkan. Betapa takut Andika
jika ternyata gagal dalam tugas suci itu, hanya karena kelalaiannya dalam
menjalani penyempurnaan.
"Telah sempurnakah aku"!" bisik hati pemuda itu.
Namun sisi hatinya yang lain berbisik, kalau penyempurnaan kedigdayaan yang
telah dilakukannya di Lembah Kutukan memang tidak menjamin.
Bukankah di dunia ini tak ada manusia yang sempurna"
"Ya! Aku tak perlu mengkhawatirkan kegagalan dalam setiap langkah perjuanganku.
Yang penting aku mesti melaksanakan yang terbaik sebatas kemampuan," tekad batin
Andika dalam bisik samar yang tersapu angin lalu.
Kakinya mulai melangkah menuruni pegunungan berbatu.
*** Siang di Desa Sariadi. Pasar di tengah desa itu masih ramai oleh kesibukan. Para
pedagang tetap gigih menjajakan barang, meski sinar matahari terus menusuk di
atas kepala. Sama halnya para pembeli yang datang kesiangan. Mereka menyatu
dalam satu irama bising.
Di antara orang-orang yang lalu-lalang, tampak seorang pemuda berjubah putih
yang sudah sangat lusuh. Dan orang itu ternyata Andika yang baru saja tiba di
desa ini. Penampilannya amat tak sedap dipandang. Jubah peninggalan Ki Saptacakra yang
dikenakannya sudah.
seperti kain lusuh. Di samping karena sering dibakar sambaran petir ketika di
Lembah Kutukan, juga karena selama dia menciptakan jurus-jurus silat.
Gerakannya yang dahsyat, berkali-kali mengoyak pakaiannya.
Langkah pemuda itu tampak gontai ketika memasuki bagian pasar yang agak ramai.
Di kanan kirinya, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing tanpa
mempedulikan kehadirannya. Barangkali mereka sudah terlalu sering menemukan
pengemis yang berpakaian compang-camping seperti Andika di pasar ini.
Andika tidak tahu, apa tujuannya ke pasar yang memusingkan ini. Bahkan tidak
tahu ke mana tujuannya yang pasti. Dia hanya ingin berjalan sampai benaknya
menemukan rencana untuk memulai tugas yang diemban.
Lebih jauh memasuki pasar, beberapa pedagang yang tak mendapat pembeli
memperhatikan Andika.
Mereka berbisik satu sama lain, lalu memperdengarkan tawa tertahan sampai ke
telinga Andika.
Makin memasuki pasar, makin banyak orang yang memperhatikannya. Seakan-akan,
dirinya adalah tontonan menarik. Sialnya lagi, ada beberapa orang yang tak
sungkan-sungkan tertawa terbahak-bahak persis di depan hidung Andika.
Jelas saja Andika kebingungan. Alis legamnya terangkat tinggi. Sementara,
tangannya terangkat ke
depan dada dengan telapak terbuka, seperti hendak bertanya.
"Hua ha ha...! Pengemis sinting!" ledek seorang pedagang sayur.
"Pengemis" Sinting pula" Sialan! Mimpi apa semalam, sampai orang menganggap aku
pengemis sinting...," gumam Andika dongkol.
Kedongkolan Andika makin memuncak tatkala banyak gadis cantik yang terkikik
menahan tawa, saat melihat dirinya. Wajahnya yang tirus dan agak pucat, mendadak
merah matang. Hidungnya pun sudah kembang-kempis seperti hidung kelinci.
Rasanya, saat itu dia ingin mendengus berkali-kali agar panas dalam dirinya bisa
terbuang. "Apa salahku"!" bentak Andika tiba-tiba.
Dua gadis desa yang menggendong bakul sayur langsung terlonjak kaget. Wajah
mereka meringis ngeri, saat menemukan mata Andika membelalak sejadi-jadinya.
"Kalau kalian naksir aku, kenapa tidak bicara langsung saja"! Atau kalian tidak
pernah menemukan lelaki setampan aku?" omel Andika seraya mencak-mencak.
Dua gadis desa itu menatap Andika takut-takut, dengan wajah pucat.
"Maaf, Kang. Anu...," kata salah seorang gadis, mencoba menjawab.
"Anunya siapa"! Eh, anu apa"!" potong Andika, galak.
Gadis itu tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi, karena mulutnya sibuk menelan
ludah. Hanya jari tangannya saja yang bergerak, menunjuk bagian belakang tubuh
Andika. Setelah itu, tubuhnya langsung berbalik dan kabur bersama kawannya yang
menjerit-jerit minta ditunggu.
"Hei! Tunggu!" seru Andika.
Namun, mereka makin tunggang-langgang.
Sementara, puluhan pasang mata lain memandang Andika dengan takut. Sedangkan
Andika hanya ter-bengong-bengong. Lalu, tangan kirinya mencoba meraba pantatnya.
"Kutu koreng! Rupanya ini penyakitnya," gerutu Andika. "Tentu kain ini
tersangkut di ikat pinggangku sewaktu membopong tubuh Ki Saptacakra untuk
dikuburkan."
Pantas saja mereka menganggap Andika sebagai orang sinting. Bagaimana tidak"
Ternyata persis di pantatnya menjulur kain bercorak papan catur yang terlihat
seperti ekor. Kain itulah yang dimaksud gadis tadi.
Andika menggoyang-goyangkan pantatnya, membuat kain itu bergerak-gerak gemulai.
"Ah! Ekor kuda pun tak sebagus ekorku," gumam pemuda itu, menghibur diri di sela
kejengkelan. Setelah kain alas catur milik Ki Saptacakra dipindahkan ke bahu, Andika
melanjutkan langkahnya. Tidak dipedulikannya lagi beberapa orang yang masih
menertawakan di sepanjang jalan. Perutnya sudah berontak minta diisi.
Menurutnya, perut inilah yang lebih baik diurus.
Belum sempat menemukan kedai nasi, Andika dikejutkan oleh kegaduhan yang
mendadak tercipta beberapa puluh tombak di belakangnya.
Semula pemuda berpenampilan mengharukan ini tidak peduli. Karena dipikirnya,
orang-orang di pasar mulai meledek lagi. Tapi ketika keramaian itu diwarnai
jeritan-jeritan ngeri, tubuhnya lantas berbalik.
Saat itu mata tajam Andika dapat menangkap kepulan asap hitam mulai menodai
angkasa. Lalu, para pengunjung pasar berhamburan kian kemari tanpa terkendali.
Suasana sudah seperti dilabrak gempa!
Andika tidak yakin kalau kejadian itu hanya kebakaran biasa. Pasti ada sesuatu
yang tidak beres di balik kebakaran itu!
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jiwa kependekaran Andika kontan tergetar. Pijar keksatriaannya meletup di
dadanya. Bisikan dari relung hati terdalamnya menyemangati, kalau tugas telah
menanti. Tanpa menunggu teriakan menyayat melabrak telinganya lagi, tubuh Andika melesat
cepat menuju asal kericuhan. Di antara puluhan orang yang berlari simpang-siur,
tubuh Andika berkelebat lincah disertai ilmu meringankan tubuh seperti walet di
antara batu-batu karang.
Tak heran dalam sekejap saja, Andika sudah tiba di tempat kejadian. Dan tubuhnya
langsung melenting ke udara. Lalu, sepasang kakinya menjejak mantap di atas
sebuah kedai, dekat bangunan yang dilahap api.
Beberapa tombak di bawah, tampak lima lelaki kasar sedang menghajar seorang
pemuda. Mereka memukul, menendang, menginjak, dan menyeret secara bergantian. Bagi kelima
lelaki itu, pemuda yang dihajar habis-habisan tidak lebih dari anjing geladak.
"Aaakh!" rintih pemuda yang dikeroyok itu. Wajah pemuda yang usianya tak lebih
dari dua puluh lima tahun itu sudah habis dihiasi memar dan darah.
Bajunya yang berwarna kuning cerah, harus dinodai darah yang tersembur dari
mulutnya. "Kau harus memohon ampun pada kami! Lalu akui
kesalahanmu. Maka, nyawamu akan terbebas dari maut!" perintah salah satu dari
lima lelaki. Wajah orang itu nampak bersih. Namun sinar matanya mencorong kejam. Hidungnya
yang melancip terlihat seperti paruh burung pemakan bangkai.
Sedangkan bibirnya tebal. Menilik pakaian yang dikenakannya yang sama dengan
keempat lelaki temannya, tentu dia berasal dari perkumpulan yang sama.
"Aku tak akan sudi memohon ampun padamu! Kau bisa membunuhku. Tapi tak akan bisa
membuat aku memohon belas kasihan padamu!" jawab si pemuda itu bersama erangan.
"Rupanya kau lebih suka mati, ya"! Kau lebih menghargai harga dirimu ketimbang
nyawamu?" cemooh lelaki berwajah bersih itu.
"Aku bukan menghargai harga diriku. Tapi aku menjunjung tinggi nilai kebenaran!"
sahut pemuda itu, tak mempedulikan rasa sakitnya.
"Hei..., hei! Kau minta aku mempercepat
kematianmu" Baik, jika itu yang kau minta."
Sring! Lelaki berhidung lancip itu mengeluarkan pisau kecil dari balik bajunya. Ketika
sinar matahari menerabas, terbersitlah pantulan sinar menyilaukan dari mata
pisau yang setajam taring harimau itu.
"Pisau ini akan menyayatmu sedikit demi sedikit, sampai mau mengakui
kesalahanmu," ancam lelaki berhidung lancip dengan mata berbinar-binar
mengerikan. "Atau menyayat burungmu yang belum disunat itu, ya"!" selak seseorang di
belakangnya. Laki-laki berhidung lancip ini kontan tersentak.
Jelas, suara itu bukan suara temannya. Matanya
segera mencari sumber suara. Berbareng dengan dengusan keras, tubuhnya berbalik
ke arah suara di belakangnya.
"Apa kabar?" sapa Andika seraya melambaikan tangan kirinya.
Memang, Andikalah yang tadi menyelak keasyikan lima lelaki yang kini tepat di
hadapannya dalam jarak lima tombak.
"Siapa kau"!" bentak lelaki berhidung lancip.
"Aku" O, aku tukang daging yang pisaunya tadi kau pinjam. Masa' lupa?" jawab
Andika asal bunyi.
"Keparat!"
"Iya, babat. Aku akan memotong daging babat.
Jadi, aku mau minta pisauku kembali...."
"Jangan melawak di sini, Gembel! Lebih baik pergi sebelum nasibmu seperti pemuda
itu!" seru lelaki yang lain.
Andika menarik napas dalam-dalam. Satu alisnya terangkat. Setelah itu, dia malah
melepas kain bercorak catur yang tersampir di pundaknya.
Digelarnya kain itu di tanah berdebu.
"Kalau pisauku belum juga dikembalikan, aku akan tunggu di sini," kata Andika
seraya duduk di atasnya sambil memeluk lutut.
Habis sudah kesabaran lelaki berhidung lancip itu.
Lewat lambaian tangan, diperintahkannya empat lelaki lain untuk menghajar
Andika. "Langsung dihabisi saja, ya Kang" Gembel ini hanya mengganggu acara kita," ujar
seorang lelaki yang bertubuh paling kurus, yang disambut anggukan berat dari
laki-laki berhidung lancip di sampingnya.
Keempatnya kemudian melangkah makin dekat pada Andika. Mereka benar-benar
menganggap Andika kecoak yang mudah diinjak begitu saja, lalu
mati. Hal itu terlihat dari bibir mereka yang berlekuk meremehkan.
"Lho... lho, tunggu dulu!" seru Andika sambil bangkit tergesa.
Empat lelaki itu menduga anak muda di hadapan mereka hendak lari. Dan mereka
memang lebih suka begitu. Dengan demikian urusan lebih cepat selesai.
Maka seketika itu juga mereka menghentikan langkah.
"Nanti kalau menyerang, kalian bergerak
sekaligus, ya" Jangan satu-satu! Aku biasa kerja borongan, kok...," oceh Andika
seraya bangkit berdiri.
Langsung dikebutkannya kain yang tadi dihampar-kan. Maka debu seketika
berhamburan dari kain itu.
Akibatnya, empat lelaki yang sudah tidak jauh dari Andika langsung terbatuk-
batuk diserbu gulungan debu.
"Ukh! Ukh!"
"Ukh..., brengsek!"
Mereka kini bisa menikmati akal bulus Andika.
"Hua ha ha...!"
Di lain pihak, anak muda itu terpingkal-pingkal diberondong tawanya yang
membludak. Badannya yang tegap bergelinjang kian kemari, seakan dikelitiki
sekawanan tuyul.
"Hiaaat!"
Sebelum Andika puas tertawa, keempat lelaki itu melabraknya penuh nafsu. Dibenak
masing-masing hanya berkobar keinginan untuk mencincang menjadi potongan-
potongan kecil tubuh pemuda yang telah mempermainkan mereka.
Dua lelaki serempak membabat. Satu ke bagian kepala dan yang lain ke bagian dada
Andika. "Eit!"
Andika hanya menggeser tubuhnya ke belakang, maka sabetan ganas itu hanya
memakan angin. Sedangkan tangan kanannya yang masih memegang kain catur bergerak sekejap,
menyabet ke bawah.
Ctat! Ctat! Begitu cepat gerakan Andika, sehingga tak seorang pun yang mampu menghindari.
Kedua lelaki yang ingin merencah tubuh Andika lebih dulu, mendapat rejeki
lumayan. Kantung menyan di selangkangan masing-masing kontan terasa pedih
berdenyut-denyut, terkena sabetan kain Andika. Bahkan ngilunya sampai ke ulu
hati. Dan keduanya langsung melompat-lompat belingsatan sambil memegangi bagian
rahasia yang terkena itu.
Sementara itu, dua lelaki lain mencoba membokong. Golok mereka berdesing deras
di belakang Andika. Namun belum sempat senjata mereka merejam punggung, pemuda
itu sudah berjumpalitan ke depan. Lagi-lagi, dilepaskannya serangan balasan yang
nakal. Sambil berguling ke depan, jari tangannya menjentik selangkangan kedua
lawannya yang masih meluncur. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Tuk! Tuk! Dua buah sentilan keras mendarat telak di bagian rahasia milik kedua laki-laki
yang akan membokong Andika. Kini mereka melompat-lompat seperti anak kodok
terinjak. "Hap! Hap! Hap!" seru Andika.
Begitu bangkit, Andika mengikuti gerakan
melompat mereka. Setelah puas meledek, tubuhnya bergerak lagi. Kali ini,
gerakannya amat santai.
Dihampiri lawannya satu persatu, lalu ditotoknya
aliran darah mereka.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Tubuh keempat laki-laki itu langsung ambruk, begitu mendapat totokan di punggung
masing-masing. Bruk!
"Kalian istirahat dulu ya, Manis. Aku akan mengurus kawan kalian yang belum
kebagian jatah...," ucap Andika seraya mengelus jenggot seorang lawannya.
Mendengar perkataan Andika barusan, tentu saja lelaki berhidung lancip yang
tidak ikut menyerang jadi tergagap. Matanya mendelik seperti hendak melompat
keluar, membayangkan ketakutan yang amat sangat. Dia membayangkan, benda-benda
rahasia kawannya sudah pecah semua. Padahal, Andika hanya menyalurkan sedikit
tenaga dalamnya saat itu.
Meski begitu, mereka tetap mengerang-erang dengan mata melotot. Dan ini dikira
laki-laki berhidung lancip itu, keempat temannya sedang mengalami sekarat.
Pikir punya pikir, akhirnya lelaki itu memutuskan untuk lari. Dengan wajah
bertekuk-tekuk ketakutan, kakinya bergerak lebar-lebar. Dia berusaha kabur,
namun.... "Kena!" teriak Andika.
Tuk! Andika memang telah melesat cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi,
melewati orang yang kabur itu. Lalu, langsung dilepaskannya sebuah totokan di
punggung. Akibatnya, orang itu kontan ambruk.
*** Setelah kelima bajingan tengik itu dibereskan,
orang-orang di pasar mulai berani berkumpul. Satu demi satu mereka menghampiri
tempat kejadian. Dari kejauhan tadi, sebenarnya mereka menyaksikan ulah Andika
terhadap kelima lawannya. Kalaupun orang-orang itu menghampiri tempat kejadian,
karena memang ingin menegaskan wajah Andika. Wajah anak muda tampan yang
membereskan kericuhan dengan amat mudah. Lucu, tapi juga konyol. Maka kasak-
kusuk kemudian menyebar ketika mereka sudah membentuk kerumunan.
"Siapa dia, ya" Kalau dia pendekar, kenapa tingkahnya slebor" Apa ada Pendekar
Slebor?" kata salah seorang dari mereka.
"Hus! Nanti dia dengar, lho! Kamu mau 'perkutut'
kamu disentil!"
"Hiiiy!"
Mendapati orang-orang yang berkumpul seperti itu, Andika jadi geleng-geleng
kepala. "Hey! Kenapa kalian jadi senang nonton sejak aku sampai di sini" Kalau kalian
ingin terus nonton, silakan. Tapi aku tidak mau disalahkan bila pasar milik
kalian habis terbakar!"seru Andika, seraya menunjuk api besar yang melalap
sebuah kedai kelontong.
Seperti baru disadarkan dari mimpi, orang-orang itu langsung serabutan kian
kemari, mereka langsung mencari ember dan air untuk memadamkan api yang sudah
berhasil menghanguskan satu bangunan.
"Air! Air! Ambil air!"
"Ember, ember! Ambil ember!"
Teriak mereka kalang kabut.
"Goblok.... Goblok! Kalian goblok!" rutuk Andika setengah mangkel. Kemudian,
dihampirinya pemuda yang menjadi bulan-bulanan tadi.
"Ada apa sebenarnya, Kisanak?" tanya Andika sopan, setelah tiba di depan pemuda
yang umurnya lebih tua darinya.
"Aku juga tidak tahu," jawab pemuda itu seraya menyapu sudut bibirnya yang masih
mengalirkan darah.
"Hm..., boleh aku panggil Kakang?" tanya Andika.
"Boleh. Tapi, aku lebih suka kalau dipanggil Jaka,"
sahut pemuda yang ternyata bernama Jaka, diiringi anggukan.
"O, iya. Aku Andika," sambut Andika. Tangannya langsung disodorkan.
Mereka berjabat tangan.
Dan Andika segera membantu Jaka untuk bangkit.
"Bisa kau ceritakan, kenapa mereka memukulimu?" tanya Andika.
Mulailah Jaka menceritakan kejadian naas yang menimpanya.
"Tadi aku melihat seorang gadis cantik di pasar ini.
Sebagai pemuda yang ingin disebut laki-laki, aku langsung tertarik oleh
keayuannya. Namun sebelum-nya, aku agak ragu, karena wanita itu menyandang
pedang bergagang kepala naga di punggung. Dan kupikir, hanya wanita-wanita
pendekar saja yang menyandang senjata seperti itu. Tapi aku berusaha nekat.
Akhirnya kuikuti juga wanita itu. Pada suatu kesempatan, aku berhasil
mendekatinya. Wanita itu kutegur dengan sikap ramah," tutur Jaka, seraya
menghentikan ceritanya sebentar.
Sementara, Andika masih menatap wajah Jaka.
Ada sesuatu yang mengganjal dadanya. Tapi dia berusaha menahan, sampai Jaka
memutuskan ceritanya. "Sikap ramahku ternyata mendapat sambutan
yang baik dari wanita itu. Dan dia memintaku untuk mengantarkan ke kedai
kelontong yang menyediakan pakaian wanita. Tentu saja membuat hatiku mekar,"
lanjut Jaka. "Maka aku mengantarkannya ke kelontong terdekat. Sesampainya di
tempat itu, dia membeli beberapa keperluan. Usai urusannya, dia memberiku uang.
Benar-benar sial nasibku hari itu.
Rupanya wanita yang kutaksir menyangka kalau aku adalah pesuruh pasar. Tapi,
lebih sial lagi ketika datang lima orang bertampang seram yang
menuduhku mata-mata."
"Mata-mata siapa?" tanya Andika, memotong cerita Jaka.
"Aku juga tidak tahu. Mereka lalu menanyakan tujuanku bersama wanita itu. Bahkan
mereka, membakar begitu saja kedai kelontong tempat belanja wanita yang
kudekati. Ah! Aku jadi tidak mengerti...,"
keluh Jaka. Tiba-tiba Andika ingat tentang ganjalan hatinya, dari cerita Jaka tadi.
"Tadi kau katakan, wanita itu menyandang pedang bergagang kepala naga?" tanya
Andika. Jaka mengangguk pertanyaan Andika.
"Pedang bergagang kepala naga" Siapa lagi pendekar wanita yang memiliki pedang
seperti itu, kalau bukan Purwasih yang berjuluk si Naga Wanita!
Hm..., rupanya kita akan bertemu di sekitar daerah ini, Naga Wanita keparat!"
desis Andika tak sabar (untuk lebih jelasnya, silakan baca episode: 'Lembah
Kutukan'). "Kenapa, Andika?" tanya Jaka, terheran-heran.
*** 3 Senja merayap. Sinar matahari telah meredup merata. Hamparan langit terlihat
kian sayu. Bersama jangkrik yang mulai berderik, hari akhirnya rebah dalam
singgasana malam.
Dan Andika sekarang sudah mempunyai rencana untuk memulai tugas sucinya. Setelah
kejadian siang tadi, dia memutuskan untuk mencari Purwasih yang lebih terkenal
berjuluk Naga Wanita. Sejak sepanjang siang tadi, dijelajahinya daerah sekitar
itu. Tapi, wanita yang dicarinya belum juga ditemukan.
Badan Andika mulai menuntut istirahat. Pegal dan linu melantakkan seluruh
persendiannya. Yang terbaik baginya saat itu hanya istirahat. Kalaupun pencarian
terus dilakukan, akan sia-sia saja karena kegelapan malam akan mempersulitnya.
Dan saat ini, dia tengah berada di bawah sebuah pohon besar.
Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu bibirnya tersenyum. Kemudian....
Hup! Andika langsung melesat ke atas, disertai ilmu meringankan tubuhnya yang telah
tinggi tingkatannya.
Dan manis sekali kakinya menjejak salah satu cabang pohon yang sangat kuat
menahan tubuhnya.
"Huaaah...!"
Di atas sebuah batang pohon randu yang besar, Andika menguap. Tubuhnya langsung
direbahkan di cabang pohon itu. Dia memang tidak punya uang untuk menyewa
penginapan. Makan tadi siang saja
harus dibayarnya dengan mencuci piring di kedai.
Malah tadi sempat dibentak oleh pemilik kedai yang piringnya mau sebersih
cermin. Tapi bagi Andika itu tidak apa-apa, yang penting bisa mengisi perut.
Mata pemuda itu seolah demikian berat.
Kerdipannya mulai lambat. Sebentar saja Andika terpulas dalam selimut alam.
"Aaakh...!"
Namun belum beberapa lama terbang ke alam mimpi, Andika dikejutkan oleh teriakan
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seseorang. Maka sontak matanya terbuka lebar-lebar. Sesaat matanya mengerjap-ngerjap,
mengusir rasa pening akibat bangun mendadak. Kemudian telinganya dipasang tajam-
tajam, berharap dapat mendengar teriakan berikutnya, dan dapat menentukan
asalnya. Beberapa saat Andika terdiam. Suara yang
ditunggu-tunggunya ternyata tidak kunjung terdengar.
Dan dia mulai ragu dengan telinganya.
"Ah! Pasti hanya mimpi," gumam Andika.
Mata pemuda itu mulai terpejam lagi.
"Aaakh...!"
Dan pada saat itu juga, kembali terdengar teriakan membahana, menguak udara
malam yang dingin.
"Dari sebelah utara," desis Andika.
Bergegas Andika menggenjot tubuhnya dan melenting turun. Lalu seketika tubuhnya
melesat cepat ke arah utara. Tak lama dia sudah menembus hutan randu yang cukup
lebat. Dan sebentar saja, matanya sudah menangkap cahaya api unggun sebelas
tombak di depannya.
Andika mengendap hati-hati, mendekati api unggun. Kakinya baru berhenti
melangkah, ketika melihat seorang wanita sedang berdiri di depan api unggun.
Beberapa tombak di hadapannya, tampak
seorang lelaki tengah tergantung di atas pohon dengan kepala di bawah. Di balik
semak-semak, Andika menyembunyikan tubuhnya sambil terus memperhatikan.
Melihat penampilan wanita itu, Andika seperti pernah mengenalnya. Tubuhnya yang
agak mungil terbungkus baju hijau lumut. Rambutnya yang panjang dikepang ekor
kuda. Karena Andika berdiri di belakangnya, anak muda itu tidak bisa jelas
melihat wajahnya. Tapi dia tetap yakin pernah bertemu dengannya.
Pedang berkepala naga di punggung, membuat Andika memastikan kalau gadis yang
diintainya dari sepanjang siang tadi dicarinya, pasti Purwasih.
Andika memutuskan untuk bertahan dulu
beberapa saat di tempat persembunyiannya. Dia ingin tahu, apa yang dikerjakan
Purwasih terhadap lelaki yang digantungnya di atas pohon.
"Kau masih bertahan untuk tidak bicara?" kata Purwasih di antara gemeretak kayu
yang terbakar. "Kau pikir aku akan mudah bersuara untukmu, Naga Merah?" jawab lelaki yang
digantung. Tubuhnya dipenuhi koyak akibat sayatan pedang. Masih dengan meringis
menahan pedih, dia menatap berbalik pada Purwasih. "Tanyakan saja pada iblis
hutan randu ini!"
"Ooo, kau ingin diberi sedikit paksaan lagi?" tukas Purwasih, dingin. "Baik...."
Kemudian Purwasih bangkit. Dihampirinya lelaki itu. Lalu.... Sret!
Purwasih mencabut pedangnya di punggung.
Langsung dibabatkan pedangnya ke arah paha laki-laki yang digantung.
"Aaakh!"
Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak
darah meleleh dari paha yang tersayat itu.
"Bagaimana, apa kau masih tidak ingin bicara?"
desak Purwasih.
Orang yang dipaksa bicara hanya menatap dengan sinar mata dendam.
Sementara di tempat persembunyian, Andika mengutuk perbuatan Purwasih yang
telengas itu. Ternyata dugaannya dulu bahwa Naga Wanita adalah bajingan perempuan yang
mengaku-ngaku sebagai utusan adipati, kini terbukti.
Darah Andika menggelegak hingga ke ujung
kepala. Dadanya berderu keras dilanda kemarahan yang tiba-tiba membakar.
Terlebih, saat benaknya dibawa kembali pada peristiwa pembokongan dirinya oleh
Purwasih ketika bertempur melawan Begal Ireng dulu. Seketika saja, tangannya
meraba sesuatu di tanah. Lalu....
Singngng! Tes! Tali pengikat lelaki yang digantung terputus, begitu Andika mengebutkan
tangannya. Rupanya, kerikil yang dijentikkan bersama tenaga dalam membuat tali
terputus, sehingga orang yang digantung meluncur ke tanah.
Brukkk! Lelaki tadi jatuh menghantam tanah.
Sementara Purwasih terkesiap. Sinar matanya terlihat garang saat mencari orang
yang hendak ikut campur urusannya.
"Siapa setan busuk yang berani lancang"! Keluar!"
bentak gadis berbaju hijau lumut penuh amarah.
Jawaban yang muncul justru kelebatan sesosok tubuh yang datang dari samping.
Dan, Purwasih langsung membabatkan pedangnya yang masih
tergenggam di tangan, untuk memapak serangan itu.
Tapi hatinya jadi terkejut, karena tebasannya seperti mengenai angin. Padahal
dia sudah yakin kalau penyerangnya akan segera menggelepar terbabat.
Ternyata orang yang berkelebat tiba-tiba melenting ke atas, seraya mengebutkan
tangannya. Dan.... Tuk!
Keterkejutan Purwasih bertambah dua kali lipat, ketika menyadari tubuhnya terasa
tak memiliki tulang lagi. Rupanya si penyerang telah menotok jalan darahnya!
Sebentar saja, tubuh Purwasih telah ambruk ke tanah.
"Apa kabar, Naga Wanita" Masih ingat padaku yang tampan ini?" sapa Andika,
begitu menjejakkan kakinya di depan Purwasih.
Mulanya, gadis itu hanya menatap Andika dengan alis merapat dan mata yang
menyipit geram.
Penampilan Andika yang sudah seperti gembel itu sudah tidak dikenalinya. Baju
pemuda itu koyak-koyak dan mengenakan kain bercorak catur yang menutupi bagian
belakang tubuhnya. Tapi ketika matanya tertumbuk pada wajah pemuda itu....
"Kau... Andika?" desis Purwasih, ingin
memastikan. "Ya! Aku Andika, anak muda yang pernah kau bokong dulu...," kata Andika penuh
getaran pada setiap kata-katanya.
"Ah! Kau masih saja slebor seperti dulu, Andika.
Kalau ingin mengucapkan salam pertemuan, kenapa harus menotok" Dasar slebor...,"
kata Purwasih, tanpa bisa bergerak sedikit pun di tanah.
"Diam!" hardik Andika mengguntur. Purwasih langsung tercekat.
"Apa-apaan kau ini"!" dengus Purwasih, makin tercekat bercampur heran.
"Jangan berpura-pura, Perempuan Tengik! Kukira kau benar-benar utusan Prabu
Bratasena yang sedang menyelidiki pemberontakan Begal Ireng. Tapi, ternyata kau
tak lebih dari penipu!" desis Andika.
"Apa"! Gila! Gila kau, Andika! Tak pantas kau menuduhku seperti itu!" balas
Purwasih, tak kalah sengit.
Mata Andika melotot. Sambil berjalan mengelilingi Purwasih yang tergeletak tanpa
gerak, matanya terus terpaku pada gadis itu.
"Tak pantas" Setelah kau berusaha membunuhku saat bertempur melawan Begal Ireng
dulu" Setelah aku tahu, kalau kau ternyata dicari-cari lima lelaki dari
kerajaan, karena kau adalah mata-mata" Setelah kau menyiksa secara keji lelaki
tadi?" kata Andika lagi, sinis.
"Hi hi hi...!"
Mendadak Purwasih tertawa tertahan.
"Kenapa tertawa"! Aku tidak sedang melucu!"
Dibentak Andika seperti itu, wajah Purwasih kembali mengejang.
"Tolol! Tak kukira, ternyata pikiranmu masih tolol...," dengus Purwasih.
"Diaaam!" potong Andika.
"Kau yang diam! Dengarkan aku!" balas Purwasih, tak kalah sengit. "Aku memang
utusan Prabu Bratasena. Dan aku pula yang dulu membokongmu.
Tapi...." "Tapi kau hanya bajingan perempuan!" potong Andika sekali lagi.
Mata Purwasih meredup. Sakit hatinya dikatakan bajingan.
"Andika.... Bukalah totokanmu. Akan kujelaskan semuanya," ratap gadis itu agak
perlahan. Dia berusaha menguasai kejengkelan yang mem-
berontaki dirinya.
"Setelah kau kubebaskan, lalu akan buron" Huh!
Nanti dulu...."
"Apa kau pikir aku bisa menandingi kehebatanmu"
Apa kau lupa, kalau kau adalah keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang diwarisi
kecepatan gerak yang sulit tertandingi?"
Andika menggaruk-garuk kepala seperti orang bodoh. "Memang benar apa yang
dikatakan perempuan brengsek ini. Ilmu meringankan tubuhku sudah demikian sempurna."
Kepala pemuda itu jadi mengangguk-angguk.
"Kenapa hanya mengangguk-angguk seperti
burung kakaktua" Bebaskan aku!" seru Purwasih.
"Baik... baik. Kenapa jadi begitu sewot" Aku tak akan menciummu atau berbuat
yang macam-macam padamu," ucap Andika, mulai timbul lagi sifat ugal-ugalan
seorang anak gelandangan yang sudah tertanam dalam dirinya.
Pemuda itu segera merunduk. Seketika tangannya bergerak cepat ke arah punggung
gadis itu. Dan....
Tuk! Purwasih seketika terbebas dari totokan itu. Gadis itu segera bangkit seraya
menepuk-nepuk baju hijaunya yang dipenuhi kotoran. Dan ini membuat Andika jadi
tidak sabar. "Cepat buktikan ucapanmu! Kenapa kau jadi lambat kayak pesinden"!" rutuk Andika.
"Iya..., iya!" omel Purwasih.
Tangan gadis itu segera bergerak mengeluarkan pisau-pisau kecil dari balik
bajunya. "Hey! Kau mau main api padaku, ya"!"
"Ah, dasar anak tolol! Apa kau tak mau kubuktikan
kalau aku tidak bermaksud membunuhmu waktu itu?" tukas wanita itu seraya
mengacungkan pisau tanpa gagang, namun terdapat rumbai-rumbai di ujung
belakangnya. Pisau seperti itulah yang dulu menancap di badan Andika dulu.
"Baik..., buktikanlah! Tapi kalau main curang, kau akan kucium sampai mati!"
Di antara sinar api unggun yang menerpa wajah cantik Purwasih, seketika rona
merah dadu merayapinya. Ucapan terakhir Andika yang sedikit nakal, membuatnya
mati kutu. Mulutnya terkunci rapat, tak dapat lagi berkata apa-apa.
"Ayo, tunggu apa lagi"!" sentak Andika.
Tiba-tiba tangan Purwasih bergerak.
Zing...! Zing...! Zing...! Tiga pisau kecil langsung meluncur pada sisa tali yang dipakai untuk menggantung
lelaki yang kini telah lenyap entah lari ke mana.
Tes! Tes! Tes! Tali itu langsung terpotong tiga bagian dengan ukuran sama. Namun Andika
mengernyitkan kening, tidak mengerti maksud Purwasih.
"Apa maksudmu sebenarnya" Kalau hanya jengkel dengan ucapanku tadi, aku akan
menariknya kembali. Aku tak akan mengancam dengan menciummu sampai mati.
Tapi...." "Diam, Andika!" selak Purwasih. Gadis itu tidak ingin wajahnya bertambah merah,
lalu diketahui pemuda tampan ini.
"Kau sudah lihat, aku dapat memutuskan tali itu
dengan senjata rahasia, bukan" lanjut Purwasih.
Andika mengangguk-angguk dengan tangan
memegangi dagu. Sementara Purwasih mengira Andika sudah mengerti maksudnya.
Makanya ditariknya napas lega beberapa saat.
"Jadi apa maksudmu?" tanya Andika sambil menggaruk kepala.
Purwasih menarik napas lagi. Tapi kali ini karena jengkel.
"Kalau aku ingin membunuhmu waktu itu, akan mudah kulaksanakan. Sengaja aku
membokongmu, agar Begal Ireng menyangka kau mati sehingga selamat dari
tangannya," urai Purwasih menjelaskan.
"O, jadi kau tidak mengarahkan pisau itu ke jantungku?"
"Ya! Aku hanya mengarahkan pada titik yang menghentikan gerakan jantung sesaat.
Sehingga, Begal Ireng menyangka kau mati."
Andika mengangguk-angguk kembali. Dia mulai percaya penjelasan wanita cantik
yang kini kembali duduk di dekat api unggun. Karena dia sendiri pernah bertemu
seseorang yang mampu menghentikan denyut jantungnya. Siapa lagi kalau bukan Ki
Saptacakra. Dihampirinya Purwasih yang terduduk kesal.
Bagaimana wanita itu tidak kesal, kalau lelaki yang sedang dipaksa bicara tadi
akhirnya kabur karena perbuatan yang dilakukan Andika. Dan sementara Andika
sudah duduk di sisinya.
"Lalu siapa lima lelaki yang kutemui siang tadi"
Apa mereka dari kerajaan?" tanyanya, mulai lembut.
Saat bertanya, mata Andika yang setajam mata naga memperhatikan wajah Purwasih
di dalam selimut cahaya merah api unggun. Dan tentu saja
gadis itu jadi salah tingkah. Dia bangkit, seraya melangkah perlahan.
"Mereka memang orang-orang kerajaan, anak buah seorang perwira yang berkhianat.
Makanya aku memaksa lelaki tadi berbicara tentang perwira itu.
Karena sampai saat ini, dia tetap menjadi musuh dalam selimut...," jelas
Purwasih, sambil terus melangkah memutari api unggun.
Andika ikut bangkit.
"Aduh! Jadi, lelaki tadi antek-anteknya Begal Ireng"
Ck ck ck.... Tolol sekali aku, ya?" tutur Andika kebodoh-bodohan.
"Lelaki itu pantas mendapat perlakuan yang tadi kuperbuat padanya. Karena, dia
sendiri kerapkali berlaku keji pada orang-orang lemah dan tak berdosa," lanjut
Purwasih, seperti tidak mendengar ucapan Andika.
Sesaat gadis cantik berusia sekitar dua puluh sembilan tahun itu mematung dalam
diam. Sedangkan Andika mendekatinya.
"Gara-garamu, aku gagal mencari tahu siapa perwira yang berkhianat di kerajaan!"
bentak gadis itu tiba-tiba saat Andika baru saja berdiri di sampingnya.
Andika tersentak. Cepat-cepat dadanya diusap.
"Bangun-bangun... makan nasi sama racun....
*** Pagi bangkit kembali bersama senyum mentari di sudut timur. Hawa dingin
mengepung hutan randu tempat Andika dan Purwasih bermalam. Kabut tipis bergerak
lamban, seperti iring-iringan peri hutan.
"Huaaah...."
Andika menguap panjang. Bersama satu geliat
tubuhnya, dia terjaga.
"Pagi, Andika," salam seseorang di sampingnya.
Rupanya. Purwasih bangun lebih dahulu, dan sedang meletakkan kayu bakar yang
baru saja dicari di sekitar hutan randu itu.
"Pagi...," sahut Andika agak malu, karena tidur seperti orang mati sehingga
bangun kesiangan.
"Apa rencanamu hari ini, Andika?" tanya Purwasih, sementara tangannya memutar
kayu sebesar jari yang berujung lancip di atas kayu lain untuk menyalakan api
unggun. Dan begitu api telah tercipta, maka semakin berkobar membakar kayu
bakar. Jadilah api unggun.
"Aku tidak tahu," sahut Andika singkat.
"Bukankah kau akan mencari Begal Ireng?"
"Memang."
"Kau hendak mencarinya ke mana?"
Pendekar Pengejar Nyawa 22 Gento Guyon 17 Setan Sableng Keruntuhan Netra Dahana 2