Pencarian

Dendam Dan Asmara 2

Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara Bagian 2


"Kau sendiri bagaimana?" Andika malah balik bertanya.
"Aku sendiri sudah kebingungan mencarinya. Dia sulit sekali ditemukan. Lebih-
lebih karena markasnya tidak tetap. Gerombolannya selalu berpindah-pindah dari
satu hutan ke hutan lain, dari satu kampung ke kampung lain," jawab Purwasih.
Tubuh gadis itu agak menjauh dari api unggun yang mulai menjilat-jilat. Rasa
hangat perlahan menebar, sedikit mengusir dingin yang dirasakan.
"Kalau kau telah menemukan, apa yang akan kau lakukan?" tanya Andika.
Purwasih menggeleng.
"Tak tahu," jawab gadis itu singkat. "Untuk melawan Begal Ireng dan
gerombolannya, paling tidak seluruh prajurit beserta perwira kerajaan harus
dikerahkan. Itu pun tidak menjamin akan menang."
"Aneh," desah Andika, setelah mendengar
penjelasan Purwasih.
Telinga wanita itu sempat menangkap desahan Andika.
"Aneh bagaimana?" tanya Purwasih ingin tahu pikiran Andika saat itu.
Andika lalu mendekati api unggun, dan duduk di depan Purwasih.
"Apa kau tak heran" Mengapa Begal Ireng tidak menyerbu kerajaan, sementara
kekuatan gerombolan yang dimiliki bisa saja menghancurkan kerajaan?"
Andika mengajukan pertanyaan.
Purwasih menatap Andika dengan mata menyipit.
Diakui perkataan pemuda di depannya memang benar.
"Begal Ireng ingin merebut kekuasaan Prabu Bratasena, kan?"
Purwasih mengangguk.
"Nah! Tunggu apa lagi kalau kekuatannya sudah sanggup merebut kekuasaan prabu?"
Purwasih mengangguk-angguk. Hatinya diam-diam memuji kecerdasan Andika dalam
mencium hal itu.
Dia sendiri tak pernah berpikir sampai sejauh itu, meski menyelidiki setiap
gerakan pasukan Begal Ireng dari waktu ke waktu. Ditatapnya kembali mata pemuda
tampan itu dengan sinar kekaguman.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Andika, tanpa diduga Purwasih.
Wanita mana yang tidak menjadi merah padam kalau tertangkap basah seperti itu"
Purwasih juga demikian. Buru-buru wajahnya disembunyikan dengan menunduk.
"Anak muda brengsek!" umpatnya dalam hati.
"Eit... eit.... Kenapa wajahmu jadi kebakaran?"
goda Andika. "Kau naksir aku, ya" Kalau naksir, kenapa tidak bilang dari dulu?"
Purwasih menatap saja. Dan seketika tangannya bergerak. Maka....
Tak! "Aduh!"
Andika mengusap-usap jidatnya yang dicium gagang pedang Purwasih. Memang
ledekannya sudah kelewatan.
"Itu bukan cara orang naksir, Purwasih. Mestinya kau cium aku di kening, di
pipi, atau di dengkul juga boleh," lanjut Andika belum kapok.
Mata Purwasih membelalak, memelototi Andika.
Dia tidak peduli lagi pada warna wajahnya yang semakin matang.
"Kau ingin kupukul lagi, ya"!" bentak gadis itu sewot.
"Ampun... ampun!"
Dan Andika menyingkir ngeri.
Pagi terus berlanjut tanpa peduli pada dua insan yang sedang bercanda.
Sepenggalan demi
sepenggalan, matahari merangkak menuju puncak tahtanya. Mestinya, setiap manusia
bisa berbagi suka seperti mereka. Bercanda, saling memperhatikan dan saling
membagi kebahagiaan satu sama lain.
Kalau saja manusia memiliki berjuta benih kasih yang dapat ditebarkan di dunia
ini.... *** 4 Andika dan Purwasih sepakat untuk mengunjungi Kerajaan Alengka. Rencananya,
Purwasih akan memperkenalkan Andika pada Prabu Bratasena.
Mulanya Andika menolak tawaran Purwasih. Alasan-nya, dia tidak mau masuk istana,
sehingga terpaksa harus mengikuti tata cara dalam hal menghadap prabu. Apalagi,
Andika benci penghormatan yang berlebihan terhadap seorang raja. Tapi karena
Purwasih terus mendesak, akhirnya pemuda itu menyerah.
"Tapi sebelum kita berangkat ke kerajaan, kau harus ganti baju dulu," ujar
Purwasih pada Andika.
"Ganti baju?" tanya Andika. Ditatapnya pakaian yang compang-camping. Memang,
selama menjalani penyempurnaan, pakaiannya sering tersambar petir atau terkoyak
akibat gerakan-gerakan silatnya yang terlalu cepat luar biasa. "Ini masih
lumayan kok, ketimbang telanjang seperti kambing."
"Tapi kambing tidak akan menghadap prabu,"
tukas Purwasih cepat. "Jangan khawatir, kita akan singgah dulu di Desa Sariadi.
Lalu akan kubelikan kau pakaian yang pantas."
"Sebenarnya aku enggan melepas pakaianku.
Benda ini adalah warisan dari Ki Sanca, lelaki tua yang sudah seperti ayahku
sendiri," desah Andika dengan mata menerawang, mengenang gurunya tatkala berada
di Perguruan Trisula Kembar (baca episode pertama: 'Lembah Kutukan').
"Gimana kau akan bertemu prabu kalau pakaian-mu seperti ini?" Purwasih
memperhatikan pakaian
Andika. "Kau lebih semrawut dari keranjang sampah!"
"Kau yang malu, apa karena malu sama Prabu Bratasena?" sindir Andika.
"Dua-duanya, lah!" jawab Purwasih, kesal.
"Tapi kau berjanji?" tawar Andika.
"Janji" Janji apa?"
"Kalau aku sudah ganti pakaian, kau harus memperkenalkan diriku sebagai
tunanganmu pada Prabu ratasena...."
"Apa"!"
*** Akhirnya anak muda keras kepala itu bisa juga digiring Purwasih ke Desa Sariadi.
Mereka kini memasuki pasar di desa ini untuk membeli beberapa keperluan di
perjalanan nanti, sekaligus membeli pakaian untuk Andika.
Seperti biasa, pasar pagi itu ramai oleh pedagang dan pengunjung. Kedai
kelontong yang terbakar kemarin siang, tampak mulai dibersihkan oleh beberapa
orang. Ketika tubuh Purwasih dan Andika sudah menyatu dalam arus manusia di pasar,
beberapa orang di pinggir jalan terdengar berbisik-bisik. Sementara, mata mereka
menatap Andika lekat-lekat. Andika yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian di
pasar itu. tentu saja mengusik keingintahuan Purwasih. Tapi sebelum bertanya langsung pada
anak muda di sampingnya, kasak-kusuk yang ditangkap telinganya sudah cukup
menjelaskan, kenapa Andika diperhatikan mereka begitu rupa.
"Itu kan, pendekar yang kemarin mengusir lima pengacau, ya?" tunjuk salah
seorang. "O, iya... si Pendekar Slebor, kan?" timpal yang lain.
"Hus!"
Kasak-kusuk makin seru.
Mendengar semua itu, Purwasih jadi tersenyum sendiri.
"Rupanya kau sudah terkenal sekali, ya" Kau pun mendapat gelar kehormatan
Pendekar Slebor! Hm, gelar yang bagus," ledek Purwasih sambil menahan tawa yang
hendak meledak saat itu juga.
Andika pura-pura tidak dengar. Dia melangkah terus tanpa menoleh. Sampai
akhirnya, mereka tiba di salah satu kedai kelontong.
Setelah menyelesaikan urusan di kedai kelontong, mereka singgah di kedai makan
untuk memenuhi tuntutan perut mereka yang mulai bernyanyi.
Kebetulan, kedai itu bersebelahan dengan kedai kelontong. Andika sudah berganti
baju dan celana baru, hadiah dari Purwasih. Wanita itu pula yang memilihkannya
untuk Andika. Menurut Purwasih, Andika cocok mengenakan pakaian warna hijau
pupus. Dan Andika menerimanya. Sedangkan pada punggung Andika tersampir kain
bercorak seperti papan catur, sehingga kain itu terlihat seperti jubah.
Sebelum makanan pesanan tiba, Purwasih terus menatap anak muda itu lekat-lekat.
Hatinya tak habis-habisnya memuji kegagahan pemuda di hadapannya dalam pakaian
baru. Biarpun usia antara dirinya dengan Andika bertaut cukup jauh, tetap saja
Purwasih tidak bisa mendustai perasaan kagumnya pada Andika.
Sementara, orang yang sedang diperhatikan malah sibuk melirik kian kemari.
Terutama pada beberapa wanita yang berada dalam kedai.
"Bagaimana, Andika?" tanya Purwasih, mengusik keasyikan Andika.
"Wah, cantik-cantik...," jawab Andika cepat.
"Aku tidak menanyakan gadis-gadis itu! Aku tanya, apa kau merasa lebih nyaman
dengan pakaian itu?"
tukas Purwasih.
"Ooo, itu. Pakaian hadiahmu ini boleh jugalah,"
ucap Andika jujur. "Paling tidak, aku bisa dilirik beberapa gadis di tempat
ini...." Purwasih geleng-geleng kepala. Dia jadi menggerutu dalam hati. Masalahnya,
kenapa pemuda ini sulit sekali sungguh-sungguh. Pantas saja penduduk desa di
pasar tadi menyebutnya Pendekar Slebor....
Beberapa saat kemudian, makanan pesanan tiba.
Lalu mereka mulai menyantap, setelah hidangan diletakkan di meja oleh pelayan.
Sebagai orang kerajaan, ternyata selera makan Purwasih tidak berlebihan. Yang
dipesannya hanya makanan sederhana yang murah meriah. Padahal kalau mau, dia
bisa makan lebih mewah dari yang tersedia sekarang ini.
"Oya, Andika...," kata Purwasih saat mereka hampir menyelesaikan makan. "Aku
turut prihatin atas nasib Ningrum waktu itu."
Andika menarik napas dalam-dalam. Setiap kali ingat akan gadis yang disebutkan
Purwasih, hatinya langsung terasa dijepit gunung karang. Sesak seketika melanda
dadanya. "Maaf, Andika. Aku tak bermaksud mengganggu selera makanmu," sesal Purwasih
ketika menemukan wajah Andika dikurung mendung.
"Tidak apa-apa," sahut Andika perlahan. "Kenapa waktu itu kau hendak
menyelamatkan aku dengan melempar senjata rahasiamu ke diriku?" Andika
seperti sengaja mengalihkan pembicaraan tentang diri Ningrum yang terlalu
menyakitkan baginya.
"Karena kerajaan perlu dirimu. Begitu juga rakyat.
Begal Ireng sudah terlalu membawa petaka bagi negeri ini. Sementara untuk
menyingkirkannya, pihak kerajaan tak bisa berbuat banyak. Banyak pendekar
golongan lurus yang menjadi marah, lalu mencoba melenyapkannya. Tapi, usaha
mereka hanya membuang nyawa. Kau sebagai seorang keturunan Pendekar Lembah
Kutukan yang diwarisi ilmu kedigdayaan tinggi, tentu menjadi satu-satunya
harapan rakyat untuk membebaskan mereka dari cengkeraman kuku-kuku kekuasaan
Begal Ireng," urai Purwasih panjang.
Andika mengangguk-angguk. Bukan karena
bangga terhadap keberadaan dirinya yang begitu dibutuhkan. Tapi, karena memahami
betapa berat tugas yang dibebankan ke pundaknya, mengemban suara hati rakyat
yang menderita.
"Kenapa kau tanyakan itu?" tanya Purwasih ingin tahu.
"Tadinya kukira kau menyelamatkan aku karena naksir...," jawab Andika, sambil
mengangkat bahu.
"Kau mulai slebor lagi, Andika!" hardik Purwasih tertahan.
Kemudian jemari lentik gadis itu mencubit gemas perut Andika. Dia sendiri tidak
tahu, kenapa tiba-tiba ingin berbuat seperti itu. Apa mungkin mulai dirasuki
keinginan bermanja-manja dengan pemuda tampan itu"
Sementara di meja lain yang tak jauh dari meja mereka, seseorang duduk
memperhatikan tanpa geming. Dari balik caping yang menyembunyikan wajahnya, mata
orang itu terus mengawasi Purwasih
dan Andika. Sinar matanya berkobar-kobar tajam.
Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, dan tidak pula terlalu tegap, terbungkus
pakaian berwarna merah darah.
Memang tanpa diketahui Purwasih maupun
Andika, orang itu telah mengikuti mereka berdua selama beberapa hari. Siapa dia"
*** Perjalanan menuju Kerajaan Alengka memakan
waktu sehari perjalanan. Setelah melewati beberapa kampung, mereka harus
melewati hutan cemara di bukit yang membelah wilayah utara dengan kotapraja.
Ketika mulai berjalan mendaki, hari sudah menjelang petang.
Matahari mulai tersungkur lebih di kaki langit sebelah barat. Lembayung pun
melukis langit dengan warna jingga. Dan sinarnya menerabas di antara pucuk-pucuk
cemara yang bersusun tak teratur.
"Kita terpaksa bermalam di tempat ini dulu, Andika," ujar Purwasih. "Kalau kita
teruskan perjalanan, tidak mustahil kita akan tersesat dalam kegelapan hutan
cemara." "Aku setuju saja apa katamu," sambut Andika.
"Kita masih punya waktu untuk mencari tempat yang cukup nyaman agar...."
Belum lagi tuntas ucapan Purwasih, dari arah selatan terdengar ringkik kuda,
seiring derap sayup-sayup tertangkap di telinga.
"Rupanya ada orang lain di tempat ini," bisik Andika kepada Purwasih.
"Ah! Mungkin hanya penduduk yang hendak pergi ke kotapraja," duga Purwasih.
Andika menggeleng.
"Kau salah," kata Andika. "Berapa ekor kuda yang terdengar olehmu?"
Purwasih menajamkan pendengarannya sesaat.
"Tampaknya dua ekor," jawab Purwasih.
"Apa mungkin dua orang penduduk biasa berani melintasi hutan ini menjelang malam
seperti sekarang" Bukankah kau pernah mengatakan kalau gerombolan Begal Ireng
sering menjelajah hutan-hutan seperti ini?"
"Jadi, menurutmu siapa mereka?"
"Apa kau dengar langkah lain, selain langkah kuda?" tanya Andika lagi.
Purwasih menggeleng.
"Itu artinya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup bagus. Bukankah
di jalan mendaki yang cukup curam ini para pengendara kuda hanya menuntun kuda
mereka?" lanjut Andika, membuat Purwasih harus mengakui kecerdasannya.
"Jadi mereka orang persilatan?" tebak Purwasih.
"Tepat!" sambut Andika, tetap berbisik. "Hanya kita belum tahu apakah mereka
dari golongan hitam atau putih. Untuk itu, kita harus mengintai. Siapa tahu
mereka adalah salah seorang pengikut Begal Ireng keparat itu...."
Selesai berkata demikian, Andika memberi isyarat pada Purwasih untuk bersembunyi
di semak-semak lebat. Sementara langkah kuda semakin jelas terdengar. Langkah
itu kian dekat, sampai akhirnya terlihatlah dua orang lelaki yang sedang
menuntun kuda, tepat seperti dugaan Andika.
Salah seorang tampak mengenakan pakaian Iurik ketat, membungkus tubuhnya yang
demikian gempal berotot. Wajahnya terlihat angker dengan rahang
berbentuk persegi. Hidungnya yang agak pendek, mata yang berkelopak besar serta
bibir yang tebal, menggambarkan kekerasan kehidupan yang dijalani.
Terlebih ditambah kulitnya yang legam.
Orang itu berbeda dengan lelaki yang berjalan di sebelahnya. Wajah orang itu
terlihat berwibawa dan bersih. Dapat diduga, kalau dia termasuk orang kalangan
atas. Apalagi, pakaiannya sepertinya hanya dimiliki pembesar. Kumisnya
melengkung rapih di atas bibir. Walau usia sekitar lima puluh tahun, tapi
wajahnya masih tampak muda serta tampan.
"Patih Ranggapati...," bisik Purwasih di tempat persembunyian ketika melihat
lelaki yang berbaju pembesar itu.
Segera Purwasih mengajak Andika keluar dari persembunyiannya. Gadis itu memang
kenal lelaki tadi, sebagai perwira kerajaan yang memimpin pasukan khusus
berkuda. "Jadi kau mengenal orang itu, Purwasih?" tanya Andika seraya mengikuti Purwasih
yang telah menggenjot tubuh, keluar dari semak-semak.
"Ratih Ranggapati!" panggil Purwasih.
Lelaki yang ditegur, seketika menoleh. Wajahnya tampak agak terkejut ketika
mendengar seruan Purwasih. Namun ketika matanya sudah menangkap sosok orang yang
memanggilnya, malah diper-lihatkannya senyum.
"Ah, Purwasih.... Kebetulan," desah orang berwibawa itu, menyambut Purwasih.
"Kenapa Patih ke tempat ini?" tanya Purwasih saat sudah berdiri di depan lelaki
setengah baya itu.
"Aku memang hendak mencarimu," jawab Patih Ranggapati pada Purwasih.
"Mencariku" Ada apa?" tanya Purwasih, agak
heran. "Bukankah selama sebulan ini kau belum memberi laporan tentang penyelidikanmu
terhadap Mahapatih Guntur Slaksa?"
"Astaga! Kenapa aku jadi lupa" O, iya. Ini Andika,"
kata Purwasih memperkenalkan pemuda yang kini berdiri di sampingnya. "Dialah
pendekar muda yang kita tunggu-tunggu selama ini. Pendekar dari keturunan keluarga...."
"Ah! Senang sekali berjumpa denganmu, Patih Ranggapati," potong Andika, tidak
ingin mendengar sanjungan Purwasih.


Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sama-sama aku pun demikian. Hm..., dan ini Bayureksa," kata Patih Ranggapati
memperkenalkan lelaki bersamanya. "Dia seorang prajurit khusus kerajaan yang
menjadi tangan kananku."
Orang yang bernama Bayureksa itu merundukkan kepala sebagai tanda hormat, meski
wajahnya tak memperlihatkan senyum.
Mau tak mau, Andika turut menundukkan kepala seperti nenek-nenek latah. Bukan
apa-apa. Bagi Andika, seorang yang sudah memberi penghormatan, mestinya memang
dihormati pula. Padahal ketika menyapa Patih Ranggapati, tak ada acara demikian.
Kecuali, senyumnya yang lebih mirip cengengesan orang tolol.
Sementara Bayureksa juga menjura pada
Purwasih, yang dibalas dengan menjura juga. Seperti saat menjura pada Andika,
Bayureksa pun tak memperlihatkan senyumnya. Bahkan sekadar sepatah kata pun
tidak. Dia memang termasuk prajurit yang jarang berbicara. Sifatnya pun agak
kaku. Tapi dalam hal pengabdian pada negara, patut mendapat acungan jempol
beratus kali. "Kebetulan sekali, kami juga hendak ke istana.
Karena hari mulai gelap, kami terpaksa hendak bermalam dulu di hutan ini," tutur
Purwasih kembali.
"Apa tak sebaiknya kita lanjutkan saja?" usul Patih Ranggapati. "Bayureksa
adalah prajurit khusus yang memiliki keahlian merambah hutan, meski di malam
buta sekalipun."
"Kalau memang begitu, baiklah," jawab Purwasih.
Mereka mulai melanjutkan perjalanan. Sekarang, Purwasih tidak perlu terlalu
khawatir akan tersesat di hutan cemara ini. Lain halnya Andika. Belum lama
mereka beriringan, dia kelihatan bersungut-sungut saja.
"Kenapa kau menyetujui tawaran Patih
Ranggapati, sih" Kita kan bisa jalan berdua saja. Itu lebih indah. Kita bisa
berjalan bergandengan tangan di bawah sinar bintang gemerlap dan di antara
gigitan nyamuk-nyamuk hutan. Indahkan?" oceh Andika setengah berbisik, agar tak
sampai di telinga dua lelaki yang berjalan beberapa tombak di depan mereka.
Purwasih langsung menyikut perut Andika.
Duk! "Ukh.... Ssst, Purwasih. Bayureksa itu orang benar, apa hanya orang-orangan,
sih" Kenapa kaku sekali."
Belum lagi sakit di perutnya hilang, mulut Andika sudah cuap-cuap kembali.
Terpaksa Purwasih meng-gerakkan tangannya kembali ke perut Andika.
Duk! "Ukh!"
Dalam sinar bulan sabit yang temaram mereka terus menyusuri jalan mendaki dalam
hutan cemara lebat. Jangkrik terus bersenandung memainkan lagu alam bersama
binatang malam lain.
Sampai suatu saat....
Kresk! Terdengar ranting kering yang patah terpijak. Maka serempak keempat orang itu
langsung menoleh ke asal suara. Mata masing-masing bergerak-gerak waspada,
berusaha menemukan sesuatu yang mencurigakan. Dalam keadaan seperti saat itu,
seringkali mereka dikecoh oleh binatang hutan yang menginjak ranting. Namun,
bukan berarti lengah terhadap bunyi-bunyi mencurigakan seperti tadi. Bisa juga
bunyi itu disebabkan injakan kaki manusia yang bermaksud tidak baik.
"Siapa itu"!" bentak Bayureksa keras.
Tak ada jawaban. Hanya terdengar derik jangkrik di sana-sini. Sesaat
kemudian.... Zing! Zing! Dua berkas sinar di bawah siraman cahaya bulan tampak melesat menuju Patih
Ranggapati. Mata Andika yang amat terlatih dalam menangkap gerakan kilat, tentu
saja dapat mengenali benda itu. Rupanya, dua bilah pisau kecil meluncur deras ke
arah Patih Ranggapati. Meski begitu, Andika memang tidak mungkin lagi bisa
mendahului kecepatan pisau terbang ini. Di samping karena jaraknya dengan Patih
Ranggapati cukup jauh, juga karena lesatan pisau terbang itu lebih dekat ke
tubuh Patih Ranggapati, sehingga....
"Haaakh!"
Untung saja Patih Ranggapati juga waspada. Dia berkelit dengan membuang tubuh ke
sisi kiri. Hanya itu cara menghindari pisau terbang yang hendak memangsa
tubuhnya. Tapi untuk itu, bahunya langsung membentur sebuah batang pohon cemara
amat keras. "Aaakh!"
Sementara itu, Andika dengan sigap menyerbu ke arah si pelempar pisau. Sekali
genjot saja, tubuhnya sudah melenting ringan di antara rerimbunan daun cemara.
"Hei, jangan lari! Kujadikan makanan tikus, kau!"
seru Andika ketika matanya menangkap kelebatan seseorang berbaju merah darah,
bercaping di kepala.
Dan orang itu akhirnya menghilang di balik tebing curam.
*** 5 Kerajaan Alengka mempunyai wilayah kekuasaan cukup luas. Sebelum Begal Ireng
muncul kembali, rakyat di bawah kekuasaan Prabu Bratasena yang memerintah merasa
sangat aman, tentram, dan berkecukupan.
Namun sejak Begal Ireng kembali dengan
kesaktian yang dimiliki, semuanya jadi kacau. Rakyat menderita dalam tekanan
yang menyengsarakan.
Kerusuhan demi kerusuhan, pembunuhan demi pembunuhan. berlangsung di bawah
tindak-tanduk Begal Ireng dan gerombolannya. Hukum yang selama ini dijalankan
jadi limbung. Sedangkan kekuatan gerombolan Begal Ireng rupanya tidak mudah
dilumpuhkan. Apalagi, tatkala pemimpin kerusuhan itu merangkul tokoh-tokoh
golongan hitam. Maka gelombang petaka pun terus berlanjut.
Sementara itu, di bawah siraman cahaya matahari pagi. Andika, Purwasih, Patih
Ranggapati, dan Bayureksa tiba di kotapraja. Dari gerbang masuk, mereka hanya
perlu berjalan sekitar dua jam untuk tiba di Kerajaan Alengka.
Karena peristiwa semalam, Patih Ranggapati terluka kembali. Dan sebenarnya, luka
di bahunya yang banyak mengeluarkan darah, bukan karena tertumbuk batang cemara.
Purwasih sendiri agak heran ketika memeriksa luka yang diderita Patih
Ranggapati. Karena, luka itu tampak seperti luka sayatan benda tajam! Menurut
Patih Ranggapati, luka itu memang akibat sabetan golok ketika harus ber-
hadapan dengan orang-orang Begal Ireng. Sebenarnya, lukanya sudah mengering
andai saja tidak terbentur batang pohon cemara semalam.
Kini keempat orang itu tiba di pintu gerbang Kerajaan Alengka, yang dijaga ketat
oleh enam prajurit dengan sikap siaga. Ketika melihat kedatangan empat orang
itu, mereka segera menjura dalam-dalam.
Memasuki lingkungan istana, puluhan prajurit yang sedang berlatih perang-
perangan langsung menghormat. Andika mengira, karena para prajurit menghormati
Patih Ranggapati sebagai seorang perwira tinggi kerajaan. Tapi ketika lelaki
setengah baya itu dibawa Bayureksa dan beberapa prajurit untuk dirawat, prajurit
lain yang bertemu Purwasih dan Andika tetap menjura khidmat. Andika yakin,
Purwasih memang memiliki pengaruh yang cukup besar di kerajaan itu. Dan Andika
tak bisa menghindar dari keterpanaan ketika....
"Selamat datang Tuan Putri, Paduka Bratasena telah menunggu kedatangan
Paduka...," sambut seorang kepala prajurit, ketika mereka menuju ruang
kehormatan Prabu Bratasena. Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu
membungkuk dalam-dalam.
"Jadi, kau putri Prabu Bratasena sendiri?" cetus Andika seraya menatap Purwasih
lekat-lekat. Matanya tampak membesar tanpa berkedip.
"Ah! Jangan terlalu dipersoalkan," tukas Purwasih tenang, sambil terus
melangkah. "Tapi kau telah membohongi aku selama ini,"
sungut Andika, agak kesal.
"Memangnya sikapmu akan berbeda kalau tahu aku ini anak raja?" sergah Purwasih
tanpa menoleh. "Tentu saja tidak. Buat apa aku memperlakukan-
mu berlebihan. Biar kau anak raja sekalipun, kau tetap makan seperti yang aku
makan juga," jawab Andika, lebih mirip menggerutu.
*** Desa Karangwesi terletak di wilayah selatan, masih kekuasaan Kerajaan Alengka.
Hamparan sawah luas mengelilingi desa itu. Padi yang menguning dan bergerak
tertunduk-tunduk ditiup angin, adalah harapan penduduk desa yang memeras
keringat demi melanjutkan hidup keluarga.
Setiap orang yang singgah di Desa Karangwesi harus mengakui keindahannya. Sungai
berarus deras yang membelah desa, bagai ular raksasa yang meliuk-liuk. Rumah-
rumah tersusun dalam jarak teratur. Dan pepohonan hijau tumbuh di pekarangan
setiap rumah. Suasana damai desa itu tiba-tiba dipecahkan oleh gemuruh derap puluhan
pengendara kuda yang memasuki gerbang perbatasan bersama kepulan asap yang
merambah udara. Wajah para penunggang kuda itu menyimpan kebengisan. Sinar mata
mereka pun berkilat garang. Terlebih, saat berteriak untuk menghela kuda yang
ditunggangi. Pada pinggang masing-masing penunggang kuda, terselip senjata
berlainan jenis yang membersit saat sinar matahari menimpa.
Dari cara memasuki desa terlihat jelas kalau niat mereka tidak baik. Dan itu
makin jelas saja, ketika beberapa orang di antaranya turun di depan rumah
pertama yang ditemui. Tanpa banyak cakap. mereka langsung mendobrak pintu rumah
secara paksa. "Jangan, tolong...! Tolong...!"
"Aaakh...!"
Beberapa saat kemudian, terdengar jerit
mengenaskan seorang wanita tua. Kemudian disusul erangan seorang lelaki.
Tak lama setelah itu, keempat lelaki tadi keluar dengan membopong barang-barang
berharga. Sudah dapat diduga, apa yang dilakukan oleh para penunggang kuda itu.
"Perampoook!" jerit wanita tua pemilik rumah.
Jeritan itu merambah ke seluruh desa, mengusik telinga penduduknya. Dari sawah,
puluhan lelaki desa yang kebetulan sedang istirahat siang, segera memburu ke
asal jeritan. Namun belum lagi mereka sempat menyadari apa yang terjadi, para
penunggang kuda sudah menyambut dengan sabetan-sabetan senjata haus darah.
Wet! Sing! Bret! "Aaakh!"
Teriakan mengerikan kembali melengking ke angkasa. Kali ini tidak hanya sekali
atau dua kali. Tapi, puluhan jeritan susul-menyusul terdengar dari orang-orang tak berdosa yang
dijagal. Bau anyir darah membasahi tanah. Warna merah mulai menodai bumi,
sebagai tanda keangkaramurkaan manusia.
Tak cukup hanya membantai jiwa-jiwa manusia.
Para penunggang kuda berjiwa iblis itu juga menjarah harta penduduk. Selesai
menguras harta, rumah pun dibakar. Maka seketika api membumbung ke langit,
memberi warna merah jelaga bercampur hitam di cakrawala.
Suasana makin hingar-bingar. Gemeletak kayu termakan api, jeritan ngeri para
wanita, tangisan
meninggi anak-anak kecil, ringkik derap kaki kuda, serta teriakan penunggangnya.
telah membaur dalam sebuah untai kekacauan.
Apakah jiwa manusia sudah terlalu tak berarti bagi sementara pihak" Atau nilai
manusia sudah lebih hina daripada seekor anjing" Dalam setiap peperangan dan
kezaliman pertanyaan itu selalu pantas dilontarkan.
Tapi bagi mereka yang telah menyatu dengan sifat durjana iblis, pertanyaan
seperti tadi tak pernah hadir dalam hati. Mereka terus membantai. Dan liur haus
darah mereka yang lebih menjijikkan daripada liur anjing kudis, terus menetes
mengiringi. Pada saat pesta pora gila tersebut makin menjadi....
"Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar lantang seseorang lewat penyaluran tenaga dalam tingkat
sempurna. Akibatnya, para penunggang kuda kontan menghentikan semua kegilaan
itu. Di ujung jalan dekat gerbang desa, tampaklah seseorang berpakaian merah darah.
Sulit ditentukan, siapa orang itu karena wajahnya tertutup caping pelepah kelapa
lebar. Dia berdiri jumawa menghadap para begal, dengan sikap menantang!
"Manusia mana yang mencari mati ini?" geram pemimpin pasukan berkuda itu.
Dia seorang lelaki bertampang buruk, lebih buruk daripada seekor tikus buduk.
Matanya yang besar terlihat seperti mata barong. Hidungnya melebar, seperti
bibirnya. Sementara, garis matanya menampakkan kekejian dalam dirinya. Pakaian
yang dikenakannya perlente, tapi tetap tak dapat menutupi kebusukan hatinya.
"Aku tak sekadar menyuruh kalian meninggalkan desa ini secepatnya. Aku juga akan
memaksa kalian meninggalkan dunia ini sesegera mungkin," kata orang yang baru
datang penuh nada ancaman.
"Hua ha ha...!" laki-laki bertampang buruk yang merupakan pemimpin pasukan
berkuda itu tertawa riuh. "Apakah kau sudah merasa menjadi malaikat maut yang
mampu mencabut nyawa kami?"
"Membunuh kalian sama mudahnya, seperti tikus-tikus sawah!"
"Bangsat!"
"Ya! Makilah aku, selama masih sempat memaki!"
Dua lelaki penunggang kuda diperintahkan
pemimpinnya untuk segera menghabisi orang yang baru datang itu. Keduanya segera
menghentakkan kekang, sehingga kuda mereka meluncur bergemuruh seiring teriakan
murka. Tapi sebelum keduanya mencapai lima tombak, pisau-pisau kecil sudah
terlepas dari tangan lelaki bercaping yang berkelebat cepat ini.
Zing! Jep! Begitu cepat kebutan tangan orang bercaping itu, sehingga....
"Huaaa!"
Kuda mereka kontan terlonjak diiringi satu ringkikan panjang, melemparkan tubuh
penunggangnya yang tertikam pisau-pisau yang melesat cepat.
Tubuh keduanya pun mencium tanah tanpa nyawa, dengan darah mengucur dari bagian
dada yang tertembus pisau.
"Kalian lihat! Aku telah menepati janjiku terhadap dua kawan kalian?" cemooh
orang bercaping, dingin.
Menyadari kalau orang bercaping tak bisa
diremehkan, pemimpin pasukan berkuda ini memberi
perintah agar anak buahnya menyerbu orang bercaping itu.
Maka lima belas ekor kuda yang membawa
penunggangnya seketika menyerbu serempak.
Sehingga, gemuruh dahsyat dari derap kaki kuda langsung tercipta. Dengan senjata
terhunus, mereka berteriak liar dalam satu serangan maut.
"Hiaaat!"
"Hiaaat!"
Meski serbuan kelima belas lelaki itu makin dekat, tapi orang bercaping itu
tampak masih berdiri tenang.
Sedikit pun tak terlihat tubuhnya bergerak. Tapi ketika para penyerangnya
tinggal tiga tombak dari tempatnya berdiri, tubuhnya melenting cepat, lalu
berputar ke depan beberapa kali. Pada saat melayang di udara itulah, tangannya
kembali bergerak. Dan....
Zing! Zing! Enam orang penyerang seketika rontok seperti daun kering, terhujam senjata
rahasia orang bercaping ini. Tepat di dada masing-masing tampak menancap pisau
kecil yang langsung menghentikan kerja jantung mereka. Kuda-kuda mereka menjadi
panik, ketika enam tubuh berdebum menimpa tanah.
Tanpa dapat dikendalikan, kuda-kuda itu menendang-nendang dengan kaki depan
disertai ringkikan riuh.
Pada saat itu orang bercaping ini sudah menjejakkan kaki di antara lawan-
lawannya. Dan tanpa banyak kesulitan, sepasang pisau kecil di tangannya merobek
perut para penunggang kuda itu.
Sret! Sret! "Aaakh!"
Darah kembali berhamburan dari perut dua lelaki
yang terbabat pisau orang bercaping ini. Tidak hanya itu. Isi perut mereka pun
terburai melalui sayatan tadi. Tanpa dapat menarik napas untuk kedua kali,
mereka ambruk kehilangan nyawa.
Dan seperti tak ingin memberi peluang pada para lawan untuk hidup lebih lama,
orang bercaping terus menyabetkan pisau kecilnya, ke arah sisa penunggang kuda
yang lain. Dengan begitu, makin besar kesempatan orang bercaping untuk membantai
seluruh lawan. Maka satu persatu mereka tertebas dan mati, dengan darah
berhamburan dari bagian yang terluka.


Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di antara ringkikan kuda, teriakan mengerikan ikut mengimbangi. Sampai akhirnya,
kuda-kuda itu berlarian liar tanpa penunggang sama sekali. Dan kini, tinggal
pemimpin pasukan yang terpaku di atas kudanya, melihat seluruh anak buahnya
berkalang tanah!
"Cepatlah kau ke sini! Aku tak mau membuang-buang waktu!" seru orang bercaping
itu pada si pemimpin.
Menyadari keadaannya terjepit, pemimpin
pasukan itu segera menghentakkan tali kekang kuda, hendak lari.
"Hiaaa...!"
Begitu kudanya berbalik ke belakang dengan kecepatan penuh, si pemimpin itu
melesat cepat. Namun belum lagi jauh dia sudah terpental dari punggung kuda. Rupanya, orang
bercaping telah melemparkan sepasang pisau di tangannya lalu menembus bokong
pemimpin pasukan.
"Aaakh!"
Brukkk! Sekali lagi, bumi dihantam oleh tubuh tak
bernyawa. Darah mengalir tampak dari lubang tembusan pisau di tubuh pemimpin
pasukan yang menyusul anak buahnya ke neraka.
Suasana kembali lengang. Sayup-sayup terdengar gemeretak puing-puing rumah yang
habis termakan api. Di angkasa, asap hitam merayap dalam satu iring-iringap
panjang. Demikian pula isak tangis kehilangan dari para istri, anak, atau
saudara penduduk Desa Karangwesi.
"Mereka pantas membayar semua perbuatan ini dengan nyawa. Kalaupun mereka
memiliki sepuluh nyawa tetap saja belum bisa melunasi petaka yang diciptakan,"
desah orang bercaping.
Setelah itu, dia melangkah gontai di bawah terpaan terik mentari.
*** Waktu berlalu tanpa dapat ditahan. Suka atau tidak hari bergulir terus. Dan
sudah sepuluh hari ter-lewati, sejak kejadian di Desa Karangwesi.
Sementara di Kerajaan Alengka sedang diadakan pertemuan di dalam ruang
kehormatan, setelah Purwasih mengusulkan untuk mengadakan penyam-butan sederhana
untuk kedatangan Andika. Itu pun tanpa sepengetahuan Andika. Purwasih tahu,
Andika tidak bakal menyukainya. Dalam pribadinya yang sering ugal-ugalan. Andika
memang menyimpan kerendahan hati.
Ruang kehormatan yang luas ini terletak di tengah istana, berbatasan dengan
Taman Anjangsana keluarga raja. Di tengah ruangan tampak meja persegi yang besar
dan panjang. Di sisinya tersusun kursi-kursi jati berukir, ditambah kursi khusus
untuk Bayureksa di ujung meja. Dinding ruang itu diperindah oleh lukisan keluarga
istana dan lukisan-lukisan panorama negeri Alengka.
Setelah para dayang menyajikan makanan serta minuman yang ditata dengan apik,
para undangan memasuki ruangan besar ini. Satu persatu mereka masuk, termasuk
Patih Ranggapati yang sudah tampak segar kembali setelah luka di bahunya dirawat
dengan baik oleh tabib istana. Mahapatih Guntur Slaksa, dan beberapa pembesar
lain juga terlihat di situ. Sedangkan Bayureksa masuk paling akhir, beriringan
dengan Purwasih dan Andika.
Begitu tiba di istana, Purwasih langsung memperkenalkan Andika pada ayahandanya,
Prabu Bratasena. Tentu saja beliau menjadi gembira ketika putrinya
memberitahukan kalau anak muda yang bersamanya adalah seorang keturunan keluarga
Pendekar Lembah Kutukan. Jadi tidak heran kalau ketika orang itu nampak sudah
akrab ketika memasuki ruang kehormatan.
Andika dan Purwasih duduk di kursi di depan Prabu Bratasena, satu baris dengan
undangan lain. Saat ketiganya mengambil tempat duduk, para pembesar kerajaan serentak berdiri
seraya menjura hormat.
Dan Prabu Bratasena membalas penghormatan, dengan senyum serta anggukan kepala.
Begitu juga Purwasih. Kecuali, Andika. Anak muda itu malah ikut menjura.
Purwasih berusaha menahan, karena menurutnya Andika adalah tamu kehormatan yang
tak pantas menjura seperti itu.
Dengan tangan kanannya, Purwasih menahan
tubuh Andika yang bergerak membungkuk. Tapi bukan Andika kalau tidak keras
kepala. Dalam hatinya, orang yang menghormati seseorang sudah semestinya dibalas dengan
penghormatan setimpal.
Jadi, dengan acuh tak acuh, dipegangnya pergelangan tangan Purwasih. Lalu,
tubuhnya digeser ke samping agar bisa tetap membungkuk untuk
menjura. Purwasih langsung memperlihatkan wajah asam.
"Huh! Dasar kepala batu!" umpat gadis itu dalam hati.
Setelah Prabu Bratasena mempersilakan duduk, semua yang hadir pun meletakkan
tubuh di kursi masing-masing. Beberapa saat suasana sunyi. Para pembesar
kerajaan menatap wajah Prabu Bratasena yang berumur sekitar enam puluh delapan
tahun. Tak heran kalau rambut, alis, dan kumisnya sudah memutih. Namun, kerutan
di kening dan pipinya sama sekali tidak menghapus kewibawaan yang terpancar di
wajahnya. Apalagi, dengan mata yang bergaris ramah serta hidung mancung.
Sehingga menambah kesan kalau dia memiliki keteguhan hati.
Tubuhnya tidak terlalu gemuk, terlihat dari pakaian kebesarannya yang agak
longgar. "Saudara-saudara sekalian, para pembesar
Kerajaan Alengka yang sangat aku kasihi. Hari ini kita berkumpul di sini untuk
menyambut kedatangan seorang pendekar yang patut dipuji sebagai pendekar bagi
kaum tertindas...," kata Prabu Bratasena memulai. "Namanya, Andika. Dia adalah
pendekar muda dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan yang amat dekat di hati
rakyat. Pendekar yang menjadi cerita kepahlawanan hingga saat ini...."
Mendengar sanjungan yang menurutnya ber-
lebihan, Andika hanya dapat menundukkan kepala.
Sedangkan Purwasih yang melihat sikap Andika
menjadi suka melihat kerendahan hati pemuda itu.
Memang di dunia yang dipenuhi beragam watak manusia, sikap rendah hati sangat
jarang ditemui.
Manusia seringkali lebih suka terkagum-kagum pada setiap kelebihan diri sendiri,
ketimbang harus menyembunyikannya.
Sementara itu, Patih Ranggapati tampak terkejut ketika Prabu Bratasena
memperkenalkan Andika sebagai keturunan Pendekar Lembah Kutukan.
Sungguh sama sekali tidak disangka akan hal itu.
Melihat penampilannya saja, orang tentu tidak yakin kalau pemuda itu seorang
pendekar sakti! Apalagi melihat wajahnya yang terlalu muda dan terkadang
terlihat agak bodoh.
Memang, sewaktu pertama kali Purwasih mem-perkenalkannya pada anak muda itu,
Andika langsung memotong ucapan Purwasih. Sehingga, Purwasih tidak sempat
menyebutkan, siapa Andika sebenarnya.
"Pendekar muda kita ini berniat membantu kita memecahkan masalah pemberontakan
Begal Ireng dan gerombolannya. Mereka telah terlalu banyak menimbulkan
penderitaan rakyat. Terlalu banyak membuat keangkaramurkaan. Karena itu, hati
anak muda ini rupanya tergerak untuk segera mengulurkan tangan. Bukan begitu,
Andika?" sambung Prabu Bratasena.
Andika sebentar terkesiap.
"Oh! Ng... iya. Begitulah..., kira-kira," jawab pemuda itu terbata.
"Apa kau tak ingin memperkenalkan julukanmu pada para pembesar kerajaan" Agar
kami bisa lebih dekat mengenalmu?" tambah Prabu Bratasena.
Andika segera berdiri. Dan dia sendiri tak tahu,
kenapa harus berdiri. Pokoknya, hanya ingin berdiri saja.
"Aku sebenarnya tidak pernah dijuluki oleh tokoh persilatan dengan sebutan apa
pun. Karena, aku sendiri baru terjun ke dunia persilatan, setelah...,"
Andika ragu. "Setelah apa, Andika?" desak Prabu Bratasena.
Sementara pandangan Purwasih dan para
pembesar kerajaan tertuju lurus ke arah Andika, seperti menanti kelanjutannya.
"Setelah aku menjalani penyempurnaan di
Lembah Kutukan...," sambung Andika akhirnya.
Seketika terdengarlah decakan kagum yang susul-menyusul memenuhi ruang
kehormatan. Bagi orang lain di luar keluarga Pendekar Lembah Kutukan, lembah
yang baru saja disebut Andika memang amat mengerikan. Tak seorang pun yang
pernah kembali, ketika secara kebetulan menemukan tempat itu.
Mereka pernah mendengar cerita dari mulut ke mulut, kalau lembah itu dihujani
petir setiap saat.
Pernah juga seorang tokoh aliran sesat tanpa sengaja menemukan lembah itu,
melalui jajaran pegunungan selatan yang terkenal ganas. Ketika melihat
kedahsyatan lembah itu, dia kembali dalam keadaan gila dengan mulut terus
mengoceh tentang ribuan lidah petir.
"Jadi, aku belum menerima julukan," lanjut Andika, mengusik ketercengangan para
pembesar istana.
"Tapi. beberapa orang menyebutku..."
Para pembesar istana dan Prabu Bratasena
menunggu kelanjutan ucapan Andika. Dalam benak masing-masing, terdapat dugaan
kalau julukan yang diberikan orang-orang yang disebutkan Andika tadi berkesan
garang, segarang Lembah Kutukan.
"Ng.... Aku disebut sebagai Pendekar Slebor. He he he...."
Mendadak saja, semua orang yang hadir di situ memegang perut masing-masing,
menahan tawa yang mau meletus!
"Yang Mulia!"
Tiba-tiba seorang prajurit berdiri di ambang pintu masuk ruang kehormatan.
"Ada apa?" tanya Prabu Bratasena. "Ada seorang yang mengaku kenal baik dengan
Tuan Andika. Dia ingin bertemu Tuan Andika," lapor si prajurit.
Andika mengernyitkan kening. Rasanya, dia memang belum banyak mengenal orang
selama terjun ke dunia persilatan. Bahkan hanya Purwasih yang dikenalnya.
"Kalau begitu, suruh dia masuk!" titah Prabu Bratasena.
Prajurit tadi segera berlari dari ambang pintu. Tak lama kemudian, dia datang
lagi bersama seorang wanita.
Mata Andika terbelalak. Lebih-lebih, Purwasih.
"Ningsih?" ucap Andika.
"Ningrum?" ucap Purwasih.
Lalu keduanya saling berpandangan. Ningrum atau Ningsih"
*** 6 Andika sulit mengerti, mengapa Ningsih menyusulnya hingga ke istana.
Sepengetahuannya, Ningsih maupun Perguruan Naga Merah telah menyelesaikan
tugasnya, mengantarkan Andika dalam menjalani penyempurnaan kesaktian.
Setelah memohon diri pada Prabu Bratasena dan para pembesar kerajaan, Andika dan
Purwasih segera menemui wanita itu lalu mengajaknya ke taman istana. Mereka lalu
berjalan beriring menuju taman istana.
"Ada apa Ningsih?" tanya Andika, begitu tiba di taman istana.
"Ningrum! Rupanya kau...," timpal Purwasih.
Purwasih lalu memandang Andika. Dia masih bingung kenapa Andika memanggil wanita
itu Ningsih"
Bukankah dia bernama Ningrum"
"Sudah dua kali kau menyebut Ningrum dengan panggilan Ningsih. Apa memang dia
punya dua nama?" tanya Purwasih pada Andika.
"Ah! Aku hampir lupa," tukas Andika bergegas.
Andika memang lupa untuk menjelaskan pada Purwasih tentang saudara kembar
Ningrum, yaitu Ningsih. "Ini Ningsih, saudara kembar Ningrum."
(Lihat episode pertama: 'Lembah Kutukan').
"Jadi Ningrum benar-benar telah mati di tangan Begal Ireng" Ah! Kasihan sekali
dia.... Kukira kau Ningrum. Habis mirip sekali dengan dia," tutur Purwasih pada
wanita di sisinya dengan wajah prihatin.
Wanita yang diajak bicara malah menggelengkan kepala.
"Aku memang Ningrum," kata gadis yang justru malah mengaku Ningrum, perlahan.
Kini giliran Andika yang dibuat bingung. Bibirnya ditekuk seperti sedang
meringis. "Kau sedang bercanda kan, Ningsih?" tanya Andika seraya menggaruk-garuk kepala.
"Sungguh! Aku memang Ningrum," jawab gadis itu lagi.
Dipandangnya wajah pemuda tampan itu lekat-lekat. Wajah dan bias mata gadis itu
sulit digambar-kan dengan kata-kata, bagai memendam sebongkah kekalutan serta
kehilangan. Andika mengernyitkan kening dalam-dalam. "Aku pasti salah dengar," gumam Andika.
"Tapi Andika...," sela Ningrum. "Bisa kubuktikan kalau aku adalah Ningrum! Aku
kenal Purwasih atau Naga Wanita. Dia pernah bertempur denganku sewaktu pertama
kali berjumpa di Lembah Pandam.
Waktu itu, kau hendak menunggu si 'Penjaga Pintu'.
Dan ternyata orangnya, aku. "Kalau aku Ningsih, mana mungkin kenal Purwasih?"
Andika menghentikan langkahnya. Tubuhnya
mematung, membelakangi Ningrum dan Purwasih.
Tampak, hatinya masih belum percaya kalau Ningrum masih hidup. Masih dapat
dirasakan puing-puing kehancuran dalam hatinya, ketika mendengar berita kematian
Ningrum, orang yang menanam benih cinta pertamanya. Sampai kini, luka di hatinya
masih menganga. Dan tiba-tiba saja, wanita di belakangnya mengaku Ningrum"
Semestinya Andika gembira. Tapi kenapa yang hadir dalam hatinya pada saat itu
justru setumpuk
kekecewaan" Dia sendiri tak tahu. Atau, barangkali karena merasa telah
dibohongi" Dengan kebohongan itu, harapan dan kebeningan cintanya pada Ningrum
hancur. "Kau tak gembira kalau aku masih hidup Andika?"
desah Ningrum, dibebani rasa penyesalan. "Aku mengaku salah. karena telah
membohongimu. Dan tentang saudara kembarku yang sebenarnya, memang tak pernah
ada. Tapi itu terpaksa kulakukan, agar kau memiliki semangat berapi-api untuk
menjalani penyempurnaan, karena dorongan dendam terhadap Begal Ireng yang telah
berusaha membunuhku...."
"Aku sudah memiliki dendam pada Begal Ireng waktu itu!" penggal Andika kasar.
"Kau ingat pada Ki Sanca, guru Perguruan Trisula Kembar yang kuanggap sebagai
orangtuaku" Atau, pada Kang Soma yang sudah menjadi kakak bagi diriku" Mereka
dibunuh oleh keparat itu! Dan itu cukup menjadi pembakar semangatku untuk
menjalani penyempurnaan!"
Dada Andika turun naik. Napasnya kontan ber-hembus cepat. Kegusaran yang tiba-
tiba membludak berusaha dihelanya.
Sementara Purwasih jadi tercekat. Sungguh tidak disangka Andika yang selama ini
dikenal sebagai anak muda ugal-ugalan, ternyata dapat meledak-ledak seperti itu.
Sementara itu, Ningrum menundukkan kepala dalam-dalam. Matanya terhujam pada
rerumputan halus di sekitar kakinya. Taman yang asri, berhias ragam bunga aneka
warna tidak membuatnya
menjadi nyaman. Kegalauan seketika mengepungnya dari setiap sudut.
"Kalau begitu, maafkan aku, Andika. Aku
mengira...."
Ningrum terdiam sesaat. Seperti ada sesuatu yang berat hendak diangkat ke
tenggorokannya.
"Aku mengira kau mencintaiku. Sehingga, aku mengarang cerita itu agar kau benar-
benar memiliki kekerasan hati untuk menjalani penyempurnaan,"
tutur Ningrum, lirih. "Rupanya aku salah. Ternyata, kau tidak mencintaiku.
Maafkan aku, Andika...."
Kali ini kata-kata gadis itu dibarengi dengan isak halus.
"Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk meminta belas kasihanmu, Andika. Yang
jelas, ada sesuatu yang mesti kusampaikan. Begal Ireng dan
gerombolannya dua minggu lalu berhasil menemukan perguruan kami. Bahkan semua
murid Perguruan Naga Merah dibantainya tanpa belas kasihan.
Termasuk, guru besar kami sendiri. Meski sebenarnya aku ingin mati saja bersama
mereka, tapi guru menyuruhku lari dari sebuah jalan rahasia agar aku dapat
menyampaikan kabar ini kepadamu," sambung Ningrum.
Ningrum tak kuasa lagi membendung tangisnya.
Dua tetes bening merambat perlahan di kedua belah pipinya yang putih.
"Begal Ireng keparat!" bentak Andika meledak, tiba-tiba. Tubuhnya langsung
berbalik menghadang Ningrum dan Purwasih. "Dari mana dia tahu letak perguruan
itu" Bukankah letaknya dirahasiakan?"
"Kau ingat kitab kayu warisan Pendekar Lembah Kutukan yang dulu kau miliki?"
tanya Ningrum, masih tersendat.
"Astaga! Tentu dia mencurinya dari balik bajuku, ketika aku tergeletak sehabis
bertempur dengannya
di Desa Banyu Gerabak!"
"Ya! Itu sebabnya, dia tahu tentang 'Penjaga Pintu'
yang memiliki Kipas Naga. Ketika seorang murid perguruan kami turun gunung untuk
mencari kebutuhan sandang, pasukan Begal Ireng berhasil mengikutinya sampai di


Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perguruan kami. Entah bagaimana, anak buah Begal Ireng dapat melihat Kipas Naga
milik murid itu. Sehingga, salah seorang murid Perguruan Naga Merah itu dapat
mengenalinya sebagai 'Penjaga Pintu' juga," sambung Ningrum masih menutup
wajahnya dengan kedua tangan.
Tangisnya makin kentara.
Saat itu, kegusaran Andika terhadap Ningrum perlahan-lahan surut. Bahkan sudah
diganti dengan rasa iba melihat gadis yang terseguk-seguk di hadapannya. Hatinya
yang sebenarnya lembut ter-sentuh. Hatinya benar-benar terenyuh.
"Kini aku sebatang kara, Andika," kata Ningrum lirih, nyaris tak kentara.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Andika segera menghampiri dan mendekapnya. Lalu,
dibiarkannya Ningrum menumpahkan segala duka yang kini merejamnya di dada
Andika. "Maafkan aku, Ningrum. Aku tidak bermaksud kasar padamu. Sebenarnya, aku juga
mencintaimu,"
bisik Andika, di antara anak rambut Ningrum yang dipermainkan angin.
Purwasih yang ada di dekat mereka hanya memperhatikan. Sinar matanya sulit
dijabarkan. Sebuah tatapan yang didorong rasa iba dan cemburu, berbaur jadi
satu. *** Desa Umbulwetan direbahi cahaya jingga.
Matahari memang telah begitu redup tanda datang-nya senja. Di saat seperti itu,
penduduk desa itu seorang demi seorang meninggalkan sawah, memanggul cangkul
masing-masing. Mereka me-
lenggang ke rumah, menemui keluarga tercinta yang telah menunggu.
Desa Umbulwetan yang berbatasan dengan
kotapraja bagian utara ini memerlukan waktu beberapa hari perjalanan untuk
menuju ke pusat pemerintahan Alengka. Karena letaknya cukup dekat dengan
pelabuhan di pesisir selatan, maka Desa Umbulwetan selalu menjadi jalan tembus
bagi kereta-kereta kerajaan yang datang dari dermaga.
Seperti juga hari ini, sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda meluncur cepat
di jalan tanah yang membelah Desa Umbulwetan. Di belakangnya, enam prajurit
berkereta mengawal penuh waspada.
"Hiaaa...!"
Kusir kereta kuda berteriak lantang, seraya menghentakkan tali kekang. Memang
muatan ini mesti secepatnya dibawa ke kerajaan. Dorongan tangung jawab
membuatnya begitu bersemangat.
Lagi pula, dia tidak ingin pasukan Begal Ireng mengetahui perjalanan ini, lalu
merampok muatan keretanya.
Tanah yang digenangi air karena baru saja diguyur hujan sesaat, menghamburkan
percikan berwarna coklat ketika kaki-kaki kuda menghantamnya.
Tapi laju kereta kuda itu tiba-tiba terhenti, ketika sepasukan orang berkuda
menghadang. Kusir seketika menarik tali kekang dan kuda pun berhenti.
Sebagai orang yang berpengalaman membawa
muatan, dia amat hafal gelagat orang-orang yang
berniat tak baik. Segera tali kekangnya ditarik ke kiri, agar kuda-kudanya
berbalik untuk menghindari penghadangan. Sementara, enam prajurit pengawal terus
melaju menuju para penghadang.
"Usahakan agar muatan itu benar-benar sampai!
Sampaikan pada pasukan Bratasena, kalau kami menghadapi kawanan Begal Ireng!"
teriak pemimpin prajurit pengawal, pada kusir kereta kuda.
Kemudian, keenam prajurit gagah itu berhenti sekitar tujuh tombak di depan para
penghadang berkuda yang terdiri dari lima belas orang. Keenam prajurit itu sudah
tahu, kalau sedang menghadapi gerombolan Begal Ireng yang memang memiliki ciri
khas. Mereka berpakaian hitam, seperti juga Begal Ireng.
"Rupanya kalian memilih mati, Prajurit-Prajurit dungu!" bentak seorang anak buah
Begal Ireng kasar.
"Kami tidak akan membiarkan kalian merampok muatan kereta yang amat dibutuhkan
rakyat!" sahut pemimpin prajurit kerajaan.
Dia seorang lelaki gagah berkumis melintang.
Umurnya masih muda, sekitar tiga puluh tahun.
Wajahnya tampan, dengan raut mencerminkan keberanian dan kegagahan.
"Apa kau kira akan menang melawan kami"!"
"Aku tak berharap menang! Aku hanya ingin, muatan itu sampai kepada rakyat.
Untuk itu, kami rela mempertaruhkan nyawa!"
"Hua ha ha...! Benar-benar Tikus-tikus tolol! Kalian hanya buang nyawa saja!"
"Kami cukup tahu, mana yang benar dan mana yang harus ditumpas!" seru pemimpin
pasukan pengawal.
"Babi congek! Bantai mereka!" perintah laki-laki
setengah baya yang berwajah seram. Dialah pemimpin para penghadang ini. Maka
seketika para penghadang berseragam hitam itu menyerang para pengawal barang.
Dan pertempuran meletus. Diawali oleh gemuruh langkah kuda, dua pasukan pun
bertemu. "Hiaaat...!"
Trang! Trang! Sebentar saja sudah terdengar senjata yang berbenturan ganas. Dalam kancah
pertempuran di punggung kuda seperti itu, gerakan mereka jadi terbatas. Tapi
bagi enam prajurit istana, pertempuran di punggung kuda memang suatu keahlian
khusus. Meski dikeroyok lima belas lawan, mereka nyatanya mampu mengadakan perlawanan
sengit. Trang! Trang! Suasana jadi gegap gempita oleh denting senjata, ringkik kuda, dan teriakan
perang. Biarpun matahari bersinar redup, cahaya yang menimpa senjata masing-
masing menghasilkan kelebatan-kelebatan menggidikkan. Setiap kelebatan mengarah
pada bagian yang mematikan. Namun sampai sejauh itu, belum ada yang menjadi
korban. Dan itu bukan berarti tidak ada pihak yang terdesak. Menghadapi kekuatan yang
tidak seimbang, tentu saja para prajurit kerajaan mulai kerepotan.
Meskipun sudah mencoba beberapa siasat perang berkuda, harus tetap diakui kalau
tenaga mereka sedikit demi sedikit terkuras menghadapi kekuatan yang lebih
besar. Siasat perang terakhir yang dikerahkan kini adalah
'Benteng Melingkar'. Bentuk seperti itu biasanya
hanya digunakan pada saat-saat terdesak. Mereka menggiring kuda dalam bentuk
lingkaran rapat, sehingga ekor kuda masing-masing hampir bertemu.
Dengan siasat perang seperti itu, mereka bisa menghindari musuh yang menyerang
dari belakang dan samping. Dan musuh hanya bisa menyerang dari depan. Dan itu
jelas lebih mengurangi tenaga yang terbuang sia-sia.
Tapi, rupanya musuh benar-benar bisa membaca siasat ini. Dengan satu siasat
licik, tujuh orang di antara mereka mundur teratur. Sedangkan yang lain tetap
menggempur dari sisi yang berbeda. Tanpa takut terkena kawan sendiri, ketujuh
orang itu mengeluarkan senjata rahasia masing-masing. Begitu tangan mereka
mengebut, senjata rahasia itu melayang ke arah para prajurit istana.
Dalam keadaan yang rapat, tentu saja para prajurit mengalami kesulitan untuk
menghindari pisau-pisau kecil yang meluncur deras ke arah mereka. Prajurit
terdepan yang melihat, segera berkelit seraya memperingatkan kawannya yang
berada di belakang.
"Awas pisau terbang!"
Namun, terlambat bagi tiga kawannya yang membelakangi. Mereka tentu saja jadi
santapan empuk pisau-pisau terbang tadi.
Jep! Jep! Jep! "Aaakh!"
Tiga prajurit langsung rubuh dari punggung kudanya begitu tertembus pisau pada
badan bagian belakang masing-masing. Beberapa saat tubuh mereka meregang-regang,
kemudian diam dijemput maut. Ketiga lelaki gagah itu mati sebagai pahlawan
kerajaan. Dan akibat matinya tiga prajurit, bentuk perang
'Benteng Melingkar' menjadi kacau-balau. Tiga lelaki lain yang selamat dari
tikaman pisau terbang segera diserbu delapan lawan di belakangnya. Tanpa ampun,
mereka dibokong dengan pedang dan golok setajam taring iblis pada punggung.
Sret! Jep! "Aaakh...!"
Ketiga lelaki itu pun menyusul temannya yang lebih dahulu tewas sebagai ksatria
sejati, begitu ambruk di tanah.
Begitu tak ada lagi prajurit yang hidup, para penghadang berseragam hitam itu
segera meninggalkan tempat ini. Maka suasana kembali dikungkung sepi. Alam
membisu dalam seribu makna yang sulit dipahami! Mungkin mentari, bumi,
pepohonan, dan langit sedang meratapi kepergian enam lelaki gagah yang merelakan
nyawa demi rakyat menderita.
*** Senja telah ditelan malam. Kini alam dikuasai sepenuhnya oleh kegelapan. Angin
dingin berlari di permukaan bumi, sebagai sekutu malam yang setia.
Di singgasananya, Prabu Bratasena terduduk gelisah. Enam prajurit pilihan dan
seorang kusir yang ditugaskan menjemput rempah-rempahan dengan kereta kuda
mestinya sudah kembali sejak sore tadi.
Tapi hingga kini, belum juga menampakkan batang hidung.
"Pasti ada yang tidak beres," gumam Prabu Bratasena, setengah berbisik.
"Tampaknya ada gangguan dari pihak Begal Ireng,
Paduka," duga Mahapatih Guntur Slaksa, menang-gapi gumaman Prabu Bratasena yang
sempat tertangkap telinganya. Bersama beberapa pembesar kerajaan, patih bertubuh
tinggi besar itu duduk di hadapan raja mereka. Sementara Patih Ranggapati pun
tampak di sana.
"Itu yang kutakutkan, Mahapatih," sahut Prabu Bratasena pada lelaki bertubuh
tinggi besar. Wajah Mahapatih Guntur Slaksa amat angker, seangker namanya. Rahangnya yang
berbentuk persegi, bermata bulat dan besar, sungguh-sungguh memperjelas
keangkerannya. Saat itu, secara tiba-tiba datang kusir kuda yang membawa muatan rempah-rempah
dengan napas memburu.
"Ampun Paduka. Izinkan hamba melapor," pinta kusir itu tersengal seraya menjura.
"Katakanlah, Paman." pinta Prabu Bratasena.
berusaha setenang mungkin.
"Kami telah dijegal kawanan Begal Ireng di Desa Umbulwetan, Paduka," lanjut
lelaki tua berusia sekitar enam puluh tujuh tahun yang masih tetap gagah itu.
"Untunglah para prajurit pilihan berhasil menahan mereka. Kalau tidak, rempah-
rempah yang sangat dibutuhkan rakyat tidak akan sampai ke sini."
Demi mendengar laporan ini, Prabu Bratasena menjadi geram. Rahangnya mengeras
seketika. Seraya memegangi keningnya yang terasa berdenyut akibat luapan marah, Raja
Alengka itu merayapi para pembantunya dengan sapuan mata yang sulit diartikan.
"Pemberontak itu rupanya benar-benar ingin menghancurkan negeri ini...," kata
Prabu Bratasena, dengan suara bergetar.
"Yang hamba heran, Paduka," kata kusir kembali.
"Kenapa gerombolan Begal Ireng dapat mengetahui perjalanan kami" Sedangkan semua
prajurit pengawal sudah mengenakan pakaian biasa,
sehingga tidak tampak lagi sebagai prajurit kerajaan.
Lalu, dari mana gerombolan itu tahu tentang kami"
Dan, dari mana pula mereka tahu kalau kami akan menjemput muatan pada saat itu?"
"Karena di antara kita ada seorang pengkhianat.
Dia telah membocorkan rencana itu," jawab Prabu Bratasena cepat. Wajahnya
menegang demikian rupa, memperlihatkan kemurkaan.
Kembali mata Prabu Bratasena beredar tajam pada semua pembesar kerajaan yang
hadir di tempat itu. Warna merah mulai menyapu sepasang matanya.
"Di antara kita pasti ada seorang pengkhianat,"
ulang penguasa Kerajaan Alengka. "Setiap pembesar kerajaan, bisa saja jadi
manusia busuk itu!"
Para pembesar kerajaan tampak tertunduk, tidak kuasa beradu pandang dengan Prabu
Bratasena yang terlihat seperti seekor naga murka. Kecuali, seseorang Mahapatih
Slaksa Guntur! "Maaf, Paduka. Bukankah dengan begitu Paduka telah meragukan kesetiaan kami pada
kerajaan dan rakyat?" cetus Mahapatih Guntur Slaksa, agak risih mendengar ucapan
Prabu Bratasena.
Rupanya lelaki tinggi besar itu tersinggung oleh perkataan rajanya tadi. Di
antara pembesar kerajaan lain, Mahapatih Guntur Slaksa memang seorang yang
berwatak keras.
"Bukannya meragukan kalian semua, tapi hanya meragukan kesetiaan seorang di
antara kalian,"
sahut Prabu Bratasena.
"Sekali lagi hamba mohon maaf, Paduka. Tapi
bukankah itu sama saja artinya mencurigai setiap orang dari kami?" desak
Mahapatih Guntur Slaksa.
Dari getar ucapannya, tampak sekali kalau hatinya setengah gusar.
"Aku tahu, kalian memang telah banyak berjuang untuk kepentingan negeri ini.
Pantas saja kalau kau berkata seperti itu, Mahapatih. Tapi kalau merasa tidak
berkhianat, kenapa kau mesti tersinggung?"
sahut Prabu Bratasena.
Meski dirinya sedang dikecamuk kemurkaan, tapi selaku seorang raja, dia merasa
harus menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin. Dan ini membuat Mahapatih
Guntur Slaksa tersudut, sehingga tidak bisa membantah lagi. Matanya saja yang
berbinar gusar, namun hal itu tidak diperlihatkan pada Prabu Bratasena.
Kewibawaan rajanya, membuat dia hanya bisa menyembunyikan kegusaran dalam
hatinya. "Hamba mohon diperbolehkan angkat bicara, Paduka," selak Patih Ranggapati.
"Silakan, Patih," sahut Prabu Bratasena.
"Hamba rasa, Paduka maupun Mahapatih Guntur Slaksa dalam hal ini sama-sama tidak
salah. Di antara kami memang ada seorang pengkhianat. Itu pasti. Yang tak pasti,
kami semua berkhianat.
Mungkin Mahapatih Guntur Slaksa hanya mengingatkan Paduka, supaya tidak
melontarkan pendapat tadi terlalu dini," jelas Patih Ranggapati, bijak. "Untuk
Pendekar Pedang Pelangi 15 Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis Kisah Para Pendekar Pulau Es 13
^