Lembah Kutukan 3
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan Bagian 3
"Ketika aku sedang mencari damar, melintas
seseorang. Timbul keinginanku untuk mengetahui
maksudnya. Karena, aku pikir ada hubungannya dengan
Andika. Tapi, usahaku dalam membuntuti ternyata
diketahui. Dan aku malah dituduh sebagai mata-mata.
karena telah menguntit wanita yang ternyata seorang
pendekar kepercayaan prabu untuk menyelidiki pemberontakan-pemberontakan yang belakangan ini kerap
terjadi," tutur Ningrum.
Sebentar Ningrum menghentikan ceritanya, untuk
mengambil napas. Sedangkan Andika dan Naga Wanita
hanya diam saja.
"Aku tentu saja menyanggah tuduhan itu. Sementara,
dia tidak mau menerima begitu saja. Lalu, dia
menyerangku. Maka, pertarungan pun berlangsung,"
Ningrum menghentikan ceritanya.
Andika mengangguk-angguk paham.
"Lalu, siapa kalian sebenarnya" Dan, apa tujuan
kalian ke tempat ini?" selidik Naga Wanita. Saat bertanya,
wajahnya penuh sinar kecurigaan.
Mendengar pertanyaan yang diajukan Naga Wanita,
Andika jadi menyadari sesuatu yang sempat dilu-pakannya
sesaat tadi. Dan dia jadi mengumpat diri sen-diri, seraya
menghentakkan tangan menyapu udara. Kenapa tujuannya
semula jadi terlupakan" Lebih bodoh lagi, kenapa tadi
bersikap kurang ajar pada perempuan yang kini berdiri
beberapa tombak di depannya" Bisa saja, dialah orang
yang dimaksud kakek dalam mimpinya.
Andika segera menjura, mencoba memperbaiki
kesalahan yang tadi dibuatnya pada Naga Wanita.
"Maafkan sikapku tadi, Nyai," ucap Andika.
Wanita cantik itu menyambutnya dengan senyum
meledek. "Sebenarnya, hanya aku saja yang mempunyai tujuan
khusus datang ke tempat ini. Sedangkan dia kebetulan
hanya ikut aku...," urai Andika. Tangannya menunjuk sopan
pada Ningrum. "Lantas apa tujuanmu?" ulang Naga Wanita.
Andika segera menghampiri perempuan cantik itu
"Bisakah aku mengatakan tujuanku itu agak jauh dari
tempat ini?"
Naga Wanita beberapa saat hanya menatap Andika.
Kecurigaan masih tampak di wajah itu. Namun, akhirnya
dituruti juga permintaan Andika. Mereka berjalan be
berapa puluh langkah dari tempat itu, meninggalkan
Ningrum yang memandang dengan hati bertanya-tanya.
"Apakah Nyai memiliki Kipas Naga?" tanya Andika
setelah mereka cukup jauh dari tempat Ningrum berdiri.
Kipas Naga sebenarnya ciri-ciri 'Penjaga Pintu' yang
disebutkan dalam syair kitab kayu yang kini ada dalam
jubah hitam Andika.
Belum lagi Naga Wanita menjawab pertanyaan yang
diajukan Andika, wajah cantik itu berubah mendadak
Kesannya seperti orang yang baru ingat sesuatu.
"Tunggu dulu.... Bukankah kau yang dulu menghabisi
si Jari Iblis di panggung pertandingan kotapraja?" tanya
Naga Wanita. Sejak tadi, tampaknya Naga Wanita pangling dengan
penampilan Andika yang lain. Dulu, dia hanya berpakaian
seperti layaknya rakyat biasa. Namun sekarang, dengan
jubah hitam milik Ki Sanca serta dua trisula diselipkan di
kedua belah pinggang. Penampilan nya pun jadi lain. Tidak
lagi terlihat begitu kurus. Juga, berkesan lebih tua.
"Benar, Nyai. Tapi Nyai belum menjawab pertanyaan
tadi," mulai Andika kembali.
"Oh, ya maaf. Kau menanyakan apa tadi?"
"Apa Nyai memiliki Kipas Naga?" ulang Andika.
"Kipas Naga" Aku memang berjuluk Naga Wanita. Tapi
mengenai itu, aku sama sekali tidak pernah memilikinya.
Hanya pedang ini saja senjataku," ungkap Naga Wanita.
"Jadi, Nyai ini bukan 'Penjaga Pintu'!
"Ah! 'Penjaga Pintu' apa" Aku sama sekali tidak
mengerti pertanyaanmu...."
"Aneh!" pikir Andika. Malam sudah berubah menjadi
dini hari. Berarti sudah melampaui waktu yang dikatakan
kakek dalam mimpinya. Sedangkan wanita yang
ditemuinya kini mengaku kalau bukan 'Penjaga Pintu'. Lalu,
wanita yang mana lagi"
Mendadak sontak mata Andika tertuju pada Ningrum
yang masih berdiri di tempatnya. Hanya dia satu-satunya
wanita selain Naga Wanita yang ada di sekitar lembah
malam ini. Kedigdayaannya saat bertarung dengan Naga
Wanita pun, nampaknya dapat dijadikan penguat
prasangka Andika. Kalau begitu....
Pantas saja, selama ini Ningrum seperti menyembunyikan sesuatu saat Andika menanyakan
tentang Lembah Pandam. Bisa jadi juga, alasannya untuk
mencari damar di sekitar situ, sengaja dibuat untuk
menutupi tujuan yang sesungguhnya.
Kini, Andika melangkah kembali ke tempat semula.
Sedang Naga Wanita mengikutinya. Ketidaksabarannya
untuk segera menanyakan Ningrum, membuatnya bagai
tidak mempedulikan Naga Wanita.
"Hei, Anak Muda! Tunggu dulu! Aku masih harus
bicara tentang sesuatu padamu," cegah Naga Wanita.
"Maaf, Nyai.... Tunda dulu pembicaraan itu. Aku ada
sedikit keperluan." Masih dengan langkah cepat dan lebar,
Andika menyahuti tanpa menoleh.
Dalam hati Naga Wanita menggerutu panjang pendek.
"Kalau saja tidak punya kepentingan dengan anak muda
ini, dia tak akan sudi lama-lama di sini". Memang, sejak
menyaksikan bagaimana Andika menghabisi nyawa Jari
Iblis dulu, Naga Wanita jadi tertarik untuk mengajaknya
gabung dalam memberantas para pemberontak!
Begitu sampai di depan Ningrum, Andika menatap
dalam-dalam wajah ayu ini.
"Katakan yang sebenarnya tentang dirimu, Ningrum"
Kau tidak hanya sekadar tabib wanita yang tak memiliki
kesaktian apa pun, bukan" Kau hanya menyamar, agar
dapat melaksanakan tujuanmu tanpa dicurigai...," kata
Andika di depan hidung Ningrum yang mungil melancip.
"Apa-apaan kau ini, Andika" Mestinya aku yang curiga
padamu! Buktinya tanpa kusangka, di balik sikapmu yang
terkadang kekanak-kanakan itu terdapat kedigdayaan yang
dimiliki tokoh atas dunia persilatan," serang Ningrum tak
mau kalah. Mata setajam sembilu milik Andika, masih menatap
tepat di kedua bola mata berbulu lentik Ningrum.
"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan.
Katakan saja kalau kau adalah 'Penjaga Pintu' tegas
Andika. "'Penjaga Pintu' apa"!" tanya Ningrum tidak mau
kalah. "Mana buntalan milikmu!"
"Kenapa dengan buntalan itu?"
Tak perlu Ningrum menjawab di mana buntalan ini
diletakkan karena Andika ingat benda itu masih di dalam
semak tempatnya mengintai tadi. Dan sebelum habis
kalimat terakhir Ningrum tadi, Andika sudah melesat
seakan menghilang dari tempatnya berpijak. Tampaknya,
ilmu meringankan tubuhnya sudah demikian tinggi. Hanya
bayangannya saja yang terlihat berkelebat demikian cepat.
Bahkan tak lama kemudian, Andika sudah kembali dengan
wajah menegang kaku.
'Tidak ada benda itu dalam buntalanmu. Di mana kau
sembunyikan"!" dengus Andika.
"Benda apa"!" tanya Ningrum lagi, masih saja tetap
bersikeras. "Baik...," kata Andika geram, oleh rasa penasaran
yang menggelegak sampai ke ubun-ubun. "Kalau memang
begitu maumu."
Sekali lagi Andika berkelebat. Dalam kecepatan
dahsyat, dia menyergap tubuh Ningrum yang sintal. Gadis
yang tidak siap menerima sergapan itu hanya terkejut,
tidak sempat berbuat apa-apa.
"Dapat!" sorak Andika sambil mengacungkan kipas
lipat yang didapat dari balik pakaian Ningrum. Itu tadi
merupakan gabungan ilmu mencopet dengan meringankan
tubuh! "Kembalikan padaku!" teriak Ningrum, karena
menyadari rahasianya akan segera terbongkar.
"Jangan marah-marah seperti itu. Aku tadi tidak
sempat menyentuh apa-apa di balik bajumu. Kecuali kipas
ini. He he he...."
Maka dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya, Ningrum balik menyergap Andika
untuk merebut kipasnya. Namun dia kalah cepat, sehingga
kipas itu tidak berhasil kembali ke tangannya. Malah, kini
Andika sudah membuka lipatan kipas itu. Dan....
Tampaklah gambar seekor naga merah menyala
diterpa sinar bulan....
"Jadi, kau 'Penjaga Pintu' itu, Ningrum!" pekik Andika
girang. Dengan serta-merta, diraihnya tangan Ningrum yang
masih jengkel setengah mati diperlakukan barusan. Lalu,
gadis ayu itu digandengnya.
"Kau mau bukan, mengantarku ke Lembah Kutukan?"
rayu Andika amat halus, saat Ningrum baru saja hendak
mengangkat tangan untuk menamparnya.
*** Matahari hampir turun di ujung barat. Biar begitu,
kegarangan sinarnya masih cukup menyengat kulit. Angin
mengangkat ke udara debu-debu jalan. Tanah memang
amat kering. Malah, hujan sudah begitu lama tidak
membasahinya. Kota Kabupaten Banyugerabak lengang ketika Andika,
Ningrum, dan Purwasih alias Naga Wanita tiba. Tak sesuai
dengan nama kabupaten itu yang berarti air bercucuran,
daerah itu tampak begitu kerontang. Pepohonan yang
bertahan hidup di sisi-sisi jalan hanya tinggal batang-
batang meliuk tanpa daun. Kemarau panjang rupanya
tengah menggasak habis-habisan daerah ini.
Sudah tiga hari mereka berkuda. Itu pun atas jasa
Purwasih yang membeli tiga ekor kuda gagah di kotapraja.
Menurutnya perjalanan ke Lembah Kutukan akan
memakan waktu yang terlalu lama bila berjalan kaki.
Apalagi, dalam kemarau yang melanda seperti sekarang
ini. Jelas, akan teramat menyiksa.
Andika dan Ningrum sebenarnya tidak setuju kalau
Purwasih bersama mereka. Bagi Andika maupun Ningrum,
perjalanan yang harus dilakukan mengandung kerahasiaan. Tentu saja Andika tidak mau terang-terangan
kalau dirinya adalah salah seorang keturunan Pendekar
Lembah Kutukan sebelum benar-benar siap untuk itu Bagi
Ningrum sendiri, tugas yang dijalaninya dari guru nya juga
hal yang tabu untuk dicampuri orang lain termasuk
Purwasih. Namun karena Purwasih sudah telanjur terlibat ketika
berada di Lembah Pandam, mereka berdua akhir nya
hanya bisa memberi satu syarat agar Purwasih dapat
mengunci mulut tentang diri Andika dan Ningrum. Da
ternyata, Purwasih tidak keberatan. Dia sendiri sebenar nya
amat memiliki kepentingan dengan keluarga Pendekar
Lembah Kutukan. Dalam hal ini, Andika. Lalu, siapakah
Ningrum sebenarnya" Tepat seperti dugaan Andika,
Ningrum meman 'Penjaga Pintu' seperti yang tertulis dalam
kitab kayi Lembah Kutukan adalah suatu tempat rahasia.
M mang, di lembah itulah keturunan keluarga Pendeka
Lembah Kutukan menjalani penyempurnaan. Khusus-nya,
bagi salah seorang keturunan yang mewarisi kesaktian
para pendekar yang hidup beberapa abad lalu itu Orang-
orang di dunia persilatan hanya tahu kalau lembah itu
berada di salah satu kabupaten wilayah barat, di sebuah
deretan pegunungan yang sulit dijarah.
Penjaga Pintu' adalah sebutan untuk orang-orang
perguruan wanita Naga Merah yang mendapat tugas dari
gurunya untuk mencari seorang keturunan Pendekar
Lembah Kutukan yang mendapat warisan kesaktian, lalu
mengantarnya ke Lembah Kutukan untu menjalani
penyempurnaan. Dan perguruan itu sendi berada tepat di
gerbang masuk Lembah Kutukan. Untuk menjalani tugas
tanpa dicurigai, Ningrum memang menyamar sebagai
seorang tabib muda yang tampak hanya sedikit memiliki
ilmu olah kanuragan.
Hingga sampai saat ini, Ningrum belum sekalipun
menjelaskan penyempurnaan macam apa yang harus
dijalani Andika. Sewaktu di Lembah Pandam, dia hanya
meminta bukti pada Andika kalau dirinya memang benar
salah seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Dan
Andika menceritakan semua kejadian yang dialami,
termasuk menunjukkan pada Ningrum kitab kayu
pemberian Ki Sanca. Baru setelah itu, Ningrum lebih
banyak diam. Meski, Andika kerap kali menggoda dan
merayunya. Sewaktu di perjalanan tiga hari berkuda, Andika mau
tak mau jadi lebih banyak bertanya pada Purwasih. Dan
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selaku seorang pendekar kerajaan yang berkepentingan
dengan keturunan Pendekar Lembah Kutukan, nyatanya
Purwasih lebih banyak tahu mengenai kisah-kisah kewiraan
keluarga itu, ketimbang Andika sendiri yang merupakan
keturunan Iangsung. Lucu memang. Tapi biar bagaimanapun, hal itu wajar saja bagi Andika. Jangankan
untuk mengetahui asal-usulnya, sedang orang tuanya saja
hingga kini tidak pernah dikenalnya.
Kata Purwasih, seluruh keturunan Pendekar Lembah
Kutukan yang menjadi pewaris kesaktian pendekar itu
selalu muncul dengan jurus-jurus berbeda. Termasuk, Ki
Panji Agung yang baru diketahui Andika kalau dialah orang
tua yang datang dalam mimpinya, saat Purwasih
menggambarkan sosok orangnya.
Cerita Purwasih itu amat membuat penasaran Andika.
Kenapa mereka memiliki jurus-jurus berbeda"
Yang diketahuinya selama ini, seorang yang mewarisi
kedigdayaan keluarganyabiasanya tetap memiliki jurus-
jurus sama. Dan Andika belum bisa menjawab rasa
penasarannya. Agak jauh memasuki kota kabupaten, mereka
berhenti di sebuah kedai untuk beristirahat.
Kedai itu tak begitu luas dan agak kotor. Namun,
mereka tetap turun dari kuda masing-masing, dan
menambatkannya di depan kedai. Dengan agak terpaksa.
mereka masuk juga karena memang hanya kedai itu satu-
satunya yang ada di kota Kabupaten Banyugerabak.
Lima orang berwajah tak ramah tampak duduk
terpencar di beberapa meja kayu bundar. Hampir
semuanya memegang gelas bambu berisi tuak. Rupanya
hari yang kelewat panas membuat mereka hanya berselera
untuk minum. Andika, Ningrum, dan Purwasih lalu menuju sebuah
meja kosong yang terletak di sudut. Sebentar kemudian
mereka sudah duduk melingkari meja itu.
"Pelayan, berikan kami makanan!" seru Andika tanpa
membuka caping yang dikenakan.
Tak lama menunggu, makanan dengan lauk
sederhana disediakan seorang pelayan tua dengan sikap
sopan. "Terima kasih, Ki...," ucap Andika ramah.
Dan belum lagi pelayan di sampingnya beranjak,
Andika sudah mengangkat kaki di atas kursi. Lalu,
disantapnya makanan tanpa niat mencuci tangannya yang
berdaki. Padahal, Purwasih yang bersedia membayar
seluruh makanan pun belum sempat mempersilakan.
Dan sesaat kemudian, terdengarlah alunan mulut
Andika yang sibuk mengunyah makanan penuh nafsu.
Seakan, dia baru menemukannya selama seminggu.
"Memalukan kau, Andika! Apa kau tidak bisa makan
dengan tata cara yang baik?" gerutu Ningrum.
Andika tetap tidak peduli.
"Apa salahnya kau menghormati Purwasih...," lanjut
Ningrum. Wajahnya tertekuk kesal.
"Aku bukan dari kalangan istana yang bisa
menghormat dengan cara mereka. Aku rasa, Nyai Purwasih
bisa maklum," sahut Andika yakin.
"Huh, tapi...."
"Pak Pelayan!" panggil Andika, memotong gerutuan
Ningrum lebih lanjut.
Pelayan tua yang baru saja hendak beranjak,
menghentikan langkah.
"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan berusia tujuh puluh
tiga tahun itu.
"Apa Aki punya persediaan ayam?" tanya Andika.
"O, tentu.... Kedai kami ini sebenarnya menyediakan
Iauk-pauk yang cukup lengkap, Tuan. Ada belut, kambing
bakar, lele, dan ikan-ikanan. Apalagi, hanya ayam...," jawab
pelayan itu dengan wajah bangga.
"Kalau begitu, biar ayamnya diadu dengan ayam
betina cerewet ini," tukas Andika seraya mencibir kearah
Ningrum. Pelayan itu jadi tertawa geli setelah mengerti guyonan
Andika. Sedangkan Ningrum tambah mangkel. Wajahnya
merah padam seperti dilanda kebakaran.
Purwasih hanya tersenyum kecil. Setelah cukup
mengenal, hatinya harus mengakui kalau pemuda
tanggung itu menyenangkan. Terkadang dia bisa amat
berwibawa, tapi terkadang bisa menjengkelkan. Kekaguman lain yang mesti diakuinya adalah, pesona diri
pemuda tanggung itu. Kalau saja Andika bukan seorang
pemuda belasan tahun, tentu Purwasih akan cepat jatuh
hati. "Hhem...," Ningrum mendehem ketika mendapatkan
mata Purwasih sedang menatap lekat pada wajah Andika
yang sebagian tertutup caping.
Menyadari dirinya tertangkap basah, Purwasih cepat-
cepat mengalihkan perhatian.
"K i, aku minta tuaknya...," ujar Purwasih pada pelayan
yang kebetulan belum beranjak.
"Baik, Nini.... Beruntung sekali, karena ini persediaan
tuak kami yang tersisa."
Pelayan tadi segera melangkah ke belakang. Dan, tak
lama dia kembali lagi membawa satu kendi kecil tuak.
Kini mereka menyantap makanan yang tersuguh di
atas meja. Saat itu, terdengar ringkik kuda yang dihentikan
mendadak bersama kepulan debu yang sebagian sempat
singgah ke dalam kedai. Sebentar kemudian, terdengar
langkah orang menuju kedai.
Kini di pintu kedai, berdiri angkuh tiga orang berwajah
bengis tanpa sedikit pun garis keramahan. Dua orang di
antaranya yang berkepala gundul serta bermata sipit,
menerabas dengan pandangan langsung ke dalam kedai
Seorang lagi nampak tetap rapih, meski tampak habis
melakukan perjalanan jauh. Berpakaian hitam-hitam
seperti halnya Andika, namun pinggangnya dihiasi cemeti
kasar. Wajahnya cukup kasar dan amat dingjn.
Purwasih yang duduk menghadap pintu jadi
terperangah. Amat dikenalinya ketiga orang itu. Begal
Ireng, pemberontak besar yang sedang diselidikinya,
bersama dua orang kaki tangannya, si Kembar dari
Tiongkok. Maka cepat-cepat Purwasih memalingkan wajah,
me-nyembunyikannya dari tatapan Begal Ireng.
"Keparat itu ada di sini...," bisik Purwasih amat hati-
hati. Andika dan Ningrum yang membelakangi pintu se-
rentak menatap mata Purwasih.
"Siapa?" tanya Andika dengan suara wajar.
"Ssst..., Begal Ireng dan dua orang Tiongkok jahanam
itu," bisik Purwasih lagi.
Andika mengernyitkan wajah. Dia memang merasa
asing dengan nama-nama itu. Begitu juga Ningrum, meski
termasuk orang dunia persilatan, dia sedikit pun tidak
tahu-menahu mengenai Begal Ireng. Yang diketahuinya
hanya tugas untuk mencari pendekar pewaris kesaktian
Pendekar Lembah Kutukan. Itu saja!
"Kau tidak tahu siapa dia?" tanya Purwasih tetap
berbisik. "Dialah dalang semua kekacauan di dunia
persilatan belakangan ini. Tokoh nomor satu dari golongan
hitam. Dan, dialah yang membunuh Ki Panji Agung. Bahkan
belum lama ini, kudengar dia membantai habis satu
perguruan kecil di suatu bukit. Kalau tidak salah,
Perguruan Trisula Kembar...."
Andika kontan terperangah. Tanpa terasa, ingatannya
dibawa kembali .kepada peristiwa beberapa waktu lalu.
Tentang api yang berkobar ganas, tentang tubuh Soma
yang sudah seperti kakaknya sendiri dalam keadaan
tercabik di sana-sini. Juga, tentang tubuh tua Ki Sanca
yang menyedihkan. Mayat lelaki dan perempuan yang
berserakan bagai tak berarti apa-apa, teriakan anak-anak
kecil dan wanita yang masih hidup, semuanya amat
menyesakkan dadanya. Mereka telah dihancurkan pada
saat Andika merasa telah menemukan keluarga yang
selama ini dirindukan.
Napas Andika jadi kembang-kempis akibat sesak dari
dendam dan rasa kehilangan yang saat itu menyerang
sekujur dadanya. Otot-otot di tangannya yang kurus
mengejang dalam satu kepalan geram.
"Ningrum! Apakah orang-orang itu yang kau lihat
waktu bekerja di kedai kotapraja?" tanya Andika ber-getar.
Hati-hati wanita muda itu menoleh pada tiga orang
yang baru masuk. Mereka kini sudah menempati satu meja
tepat di sisi pintu keluar. Tak lama, Ningrum mengangguk.
Dan gadis itu dapat melihat, bagaimana terbakarnya mata
Andika dengan warna merah.
"Aku harus menuntut balas," geram Andika.
Menyadari hal itu, Ningrum cepat meraih tangan
Andika. Digenggamnya tangan itu erat-erat, berusaha
menenangkan kerusuhan dalam dada pemuda tanggung di
sebelahnya. . "Jangan bertindak sebodoh itu, selama belum
menjalani penyempurnaanmu, Andika...," bisik Ningrum
mencoba meyakinkan pemuda yang sudah naik darah itu.
Namun bayangan-bayangan menyakitkan itu lebih
kuat menguasainya.
"Mereka tidak bisa seenaknya membunuh orang-
orang yang aku sayangi, seperti membunuh anjing
gelandangan. Mereka tidak bisa membunuh mereka kalau
hanya aku yang dicari...," gumam Andika saat itu juga
terdengar giginya yang bergemeletuk.
"Andika, benar kata Ningrum.... Mereka bukan tokoh
golongan hitam yang sembarangan. Untuk menghadapi
Begal Ireng saja, kita bertiga pun belum tentu mampu. Kau
harus siap dulu Andika...," sergah Purwasih menenangkan
Andika yang semakin kalap. Dia menye-sal, kenapa sudah
selancang itu mengatakan tentang mereka pada Andika.
"Mereka tentu datang kesini untukmencari aku dan
untuk membunuhku, seperti mereka membunuh Ki Panji
Agung.... Keparat-keparat itu rupanya mendapat hari bagus
menemukanku di sini!"
Sehabis berkata demikian, Andika bangkit. Sehingga
menimbulkan bunyi tak beraturan akibat meja yang
terdorong. "Andika!" tahan Ningrum dengan wajah demikian
khawatir. "Demi aku, tolonglah tunda kemarahanmu
sampai sudah menjalani penyempurnaan...," pinta
Ningrum, memelas sekali.
Sia-sia. Andika malah sudah bertolak pinggang,
menghadap ke arah tiga tokoh hitam itu.
"Begal Ireng keparat!"
Tubuh Andika berputar langsung melenting dan
berputaran di udara, lalu hinggap dua meja di dekat meja
ketiga orang itu duduk.
Kemudian, langsung ditatap ketiga orang itu satu
persatu dengan sinar mata jalang tak terkendali.
"Kau mencari keturunan Pendekar Lembah Kutukan,
bukan"! Hari ini kau beruntung...."
*** Sementara itu, lima orang yang sedari tadi asyik
menikmati tuaknya seketika keluar kedai dengan wajah
pucat, begitu mendengar nama Begal Ireng diteriakkan
Andika. Sementara ketiga manusia busuk itu bagai tak
merasa terusik oleh kehadiran Andika.
"Pelayan, sediakan kami tuak!" ujar Begal Ireng.
Bibir Begal Ireng tersenyum amat sinis, kemudian
kembali tidak mempedulikan pemuda berang itu.
"Ayo, tunggu apa lagi bajingan"!" hardik Andika makin
mata gelap. Dan Andika sudah membuka caping yang masih
menutup kepalanya. Dibantingnya benda itu persis di meja
mereka. Sengaja Andika melakukan itu, dengan harapan
kemarahan mereka akan terpancing.
Prakkk! Caping yang dibanting tanpa sedikit pun pengerahan
tenaga dalam, langsung menghantam permukaan meja,
lantas terpantul ke arah wajah Begal Ireng. Amat mudah
bagi Begal Ireng untuk menggelengkan kepalanya sedikit,
sehingga terhindar dari benda nyasar itu. Namun, Begal
Ireng kembali seperti biasa.
Sementara pelayan tua itu sudah datang ke hadapan
tiga tokoh hitam ini bagai seekor kera menghampiri
harimau. Badannya menciut demikian rupa, sebagai
pertanda kalau demikian ketakutan.
"Ma..., maaf Tuan. Kami kehabisan persediaan tuak,"
ucap pelayan itu tergagap.
"Kalau begitu, kau bisa ambil kendi tuak di meja dua
perempuan itu," ujar Begal Ireng.
"Tapi, Tuan.... Tapi, mereka sudah memesannya lebih
dahulu." "Kau mau ambilkan atau tidak"!" ancam Begal Ireng.
Matanya menatap dingin pada pelayan itu, menusukkan
sinar kengerian.
"Keterlaluan! Apa kau pikir dunia ini milikmu!" geram
Andika. Kemarahannya kini benar-benar sampai pada
batas yang tidak bisa lagi ditahan. "Hiaaat...!"
Tiba-tiba teriakan mengguntur keluar dari mulut
Andika. Kekuatan tenaga dalam yang kini berada di
tubuhnya, tanpa disadari terikut dalam teriakan. Akibatnya,
kendi-kendi tuak kosong itu pecah berkeping. Bahkan
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelayan tua yang nampaknya tak memiliki kepandaian apa-
apa menutup telinganya dengan wajah kesakitan. Sedang
Ningrum dan Purwasih pun sempat merasakan tusukan
nyeri pada telinga, tapi mampu diatasi dengan
menyalurkan hawa murni pada telinga masing-masing.
Kedua tangan Andika sudah menggenggam keras
sepasang trisula yang dicabut dari pinggangnya. Dengan
satu terkaman harimau, diserangnya ubun-ubun Begal
Ireng! Singngng! Namun dengan egosan ke belakang yang manis
sekali, tusukan sepasang trisula itu hanya menyambar
angin di depan Begal Ireng. Sedangkan tubuh Andika
meluncur deras, melabrak dinding kayu kedai, hingga
membuat lubang besar. Dan begitu mendaratkan kakinya
di luar, Andika sudah siap dengan kuda-kuda tempurnya.
"Keluarlah kau, Begal Ireng! Apakah kau sejenis anjing
buduk pengecut"!" teriak Andika.
Tak ada lagi yang dipikirkan anak muda tanggung itu,
kecuali segera menghabisi nyawa manusia-manusia yang
telah merusak kebahagiaan yang baru saja dikenyamnya
saat berada di Perguruan Trisula Kembar. Manusia-
manusia yang tidak hanya membunuh harapannya untuk
memiliki keluarga besar seperti saat itu, tapi juga
membunuh orang-orang yang sudah menjadi keluarga
sendiri secara keji. Untuk sedikit memikirkan keselamatannya sendiri saja, sudah tidak ada di benaknya
saat ini. Dan kalaupun harus mati, Andika sudah siap.
Dengan langkah tenang teratur, Begal Ireng
melangkah keluar, diikuti dua orang botak kaki tangannya.
"Hiaaat!"
Andika langsung menyerang kembali. Ujung runcing
trisula di tangan kanannya menyabet ke arah leher Begal
Ireng. Namun dengan kecepatan mengagumkan, Begal
Ireng melenting dan berputaran beberapa kali ke belakang.
Lalu dengan amat ringan kakinya menjejak tanah kembali.
Sikapnya masih tetap menganggap enteng Andika, dengan
kedua tangan terlipat di dada.
Andika bagai tak mau memberi kesempatan.
Diserbunya kembali Begal Ireng. Jurus-jurus 'Trisula
Kembar'nya menyabet ke sana kemari tanpa aturan.
Memang, pengalamannya yang terlalu hijau dalam dunia
persilatan, membuat Andika tidak tahu kalau kekalapan
pada saat bertempur bisa berarti kelemahan.
Begitu Andika menyabetkan trisulanya ke dada, Begal
Ireng cepat menangkis dengan punggung tangan.
Plakkk! Dua kekuatan tenaga dalam luar biasa beradu pada
satu titik, menghasilkan benturan yang amat keras.
Dan ternyata, hal ini mengakibatkan Begal Ireng
terseret dalam keadaan berdiri lima depa ke belakang!
Tampak kepulan debu menyebar di sekitar kakinya.
Begal Ireng terperangah. Tak pernah diduga kalau
kekuatan tenaga tusukan tangan Andika yang bau kencur
itu setingkat dengan tokoh kelas atas.
"Gila!" umpat Begal Ireng dalam hati sambil
memegangi punggung tangannya yang terasa nyeri bukan
main. Memang, keturunan keluarga Pendekar Lembah
Kutukan sering kali sulit dipahami. Dia sendiri tidak dapat
menebak, kenapa jenazah Ki Panji Agung yang dihabisinya
dulu mengeluarkan cahaya kemilau. Dan belum tuntas
kebingungan itu terjawab, kini pemuda yang diburunya
belakangan ini memperlihatkan tingkat tenaga dalam yang
tidak mungkin bisa didapat secara mudah oleh anak
ingusan macam Andika.
Begal Ireng memang tahu kalau kecepatan gerak
Andika benar-benar menakjubkan. Itu diketahuinya saat
melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Andika
menamatkan riwayat Jari Iblis di kota Praja.
Sebenarnya, itu pun sudah membuatnya terheran-
heran, di samping kagum dan benci. Makanya, Begal Ireng
langsung dapat menduga kalau Andika adalah salah
seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan, dan
langsung menguntit untuk membunuhnya.
Sementara, Andika sendiri terpelanting ke belakang,
karena kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulingan
bermandikan debu di jalan panas. Tak beda dengan Begal
Ireng, dia pun merasakan nyeri yang bukan kepalang di
bagian tangannya. Namun tak lama kemudian, pemuda
tanggung itu sudah bangkit kembali.
Serangan berikut dari Andika kembali datang ke Begal
Ireng dengan lebih menggila. Jurus-jurus 'Trisula Kembar'
tergabung menjadi satu, membuat tubuh Andika terlihat
hanya kelebatan yang meluncur ngawur.
Kali ini, Begal Ireng tidak ingin lagi menganggapnya
enteng. Dia tahu, serangan kalap itu akan banyak memberi
keuntungan adanya. Namun, kecepatan dan kekuatan
tenaga dalam Andika bukan berarti tidak membahayakan!
"Hiaaat!"
Beberapa saat, serangan membabi buta Andika cukup
merepotkan Begal Ireng. Namun dibanding Andika, jelas
Begal Ireng jauh berpengalaman. Malang melintang di
dunia persilatan membuatnya benar-benar matang sebagai
tokoh kelas atas golongan hitam. Ditambah, kekalapan
Andika yang banyak memberi keuntungan baginya. Tak
heran ketika suatu saat, Andika harus menelan pil pahit!
Saat itu Andika melesat cepat sambil menyabetkan
'Trisula Kembar'-nya. Namun dengan hanya melenting ke
atas, sebentar trisula itu berhasil dihindari Begal Ireng. Dan
baru saja kakinya mendarat, kembali datang serangan
kalap dari Andika. Maka cepat Begal Ireng merunduk.
Seketika di luar dugaan, Begal Ireng cepat melepaskan
satu gedoran telapak tangan berisi tenaga dalam tinggi.
Begitu cepatnya, sehingga Andika tak mampu berkelit.
Sehingga.... Desss! "Aaakh!"
Trisulanya terpencar jauh dari tubuhnya. Begitu jatuh
di tanah, Andika meringis kesakitan. Tangannya
memegangi dada yang telak terhajar telapak tangan Begal
Ireng. Sedangkan dari mulutnya, darah kehitam-hitaman
menciprati tanah berdebu.
"Andika...!"
Jerit Ningrum tatkala matanya melihat, bagaimana
tubuh kurus Andika melayang tak beda selembar daun
kering diterpa angin. Maka dari dalam kedai dia berlari
mendekati Andika yang tersuruk mencoba bangkit kembali.
Dua orang botak dan sipit kaki tangan Begal Ireng
yang berdiri tak jauh dari pintu kedai, sama sekali tidak
mencegahnya. Dengan amat dingin dan kaku, mereka
hanya melirik tubuh Ningrum yang sintal.
"Keparat kau, Begal Ireng!" jerit Ningrum menyayat,
setelah merangkul tubuh Andika yang limbung.
Bagi Ningrum, Andika adalah segalanya. Andika
berarti satu tugas amat berat yang diembannya dari
Perguruan Naga Merah. Andika berarti seorang sahabat
yang amat menyenangkan. Dan Andika juga berarti cinta
pertamanya yang tumbuh subur, semenjak pertama kali
turun dalam dunia persilatann. Cinta yang kini tak lagi bisa
dianggapnya sebagai rasa kasihan belaka. Cinta yang
mekar semerbak di kedalaman hati gadis ini.
Sambil memapah tubuh Andika, mata Ningrum yang
legam indah menjadi beringas. Dari bagian bawah bulu
mata lentiknya, garis-garis bening mengambang berbaur
murka yang tak terbendung. Dan setelah merebahkan
kembali tubuh Andika yang tak berdaya, Ningrum bangkit.
Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah Begal Ireng.
"Kubunuh kau, Begal Ireng!"
Bersama lengking kemarahan, Ningrum mencabut
senjata kipasnya yang selama ini selalu disembunyikan.
Kini kembali Begal Ireng melayani seorang yang kalap.
Maka pertarungan sengit tak dapat dihindari lagi. Jurus-
jurus mereka bertemu, menerbangkan angin dan
menimbulkan bunyi-bunyian mendebarkan.
Mata Andika yang berkunang-kuang memperhatikan
pertarungan dengan perasaan kekhawatiran yang sangat.
Ingin dia berteriak pada Ningrum agar tidak berurusan
dengan Begal Ireng. Tapi rasa sesak yang demikian
mendera dada, membuatnya tak bisa menggetarkan pita
suara sedikit pun.
Hal yang amat tak diharapkan pun terjadi juga.
Sebentar saja Ningrum sudah terdesak. Bahkan tiba-tiba
saja satu hantaman tangan Begal Ireng mendarat tepat di
dagunya, sehingga membuatnya terpental. Bunyi rahang
yang remuk terdengar keras. Tidak hanya menyayat telinga,
tapi juga hati Andika!
Pemuda tanggung itu tergagap, berusaha meneriak-
kan nama Ningrum. Namun dari mulutnya hanya keluar
suara serak tak berarti.
Ketika Andika melihat bagaimana Ningrum jatuh
keras dan tak berkutik lagi di sisi jalan, rasa sesak di
dadanya tidak lagi dihiraukan. Kerongkongan yang semula
bagai terkunci, tiba-tiba meledak menciptakan teriakan
yang terdengar seperti lolongan menyayat.
"Aaa...!"
Andika berusaha bangkit, tapi lantas tubuhnya
limbung. Perlahan-lahan dia mencoba tegak. Mata tajam
Andika menyambar langsung ke mata Begal Ireng, bagai
seekor rajawali terluka.
Sebelum Andika sempat menggerakkan otot-ototnya
yang mengejang untuk menyerang Begal Ireng, suatu
benda keras mendadak menembus dada kiri bagian
belakang. Dan bumi tiba-tiba terayun di mata Andika. Lalu,
gelap... gelap.
* ** "Disorgakah aku?"
Pertanyaan pertama di hati Andika muncul, ketika
matanya membuka. Pandangannya sedikit kabur. Tampak
ruangan di sekitarnya berwarna merah menyala. Sebuah
meja kayu jati berukir indah, berada tak jauh dari
tempatnya tergeletak. Dari jendela besar di ruang itu,
Andika dapat melihat taman indah, di latar belakangi
deretan pegunungan.
Pemuda tanggung itu mencoba bangkit. Tapi......
"Uuuh...," keluh Andika.
Memang masih terasa sakit di beberapa bagian di
tubuhnya. Ketika merasa bagian dadanya, didapati kain
putih membalut rapat.
Berarti aku masih hidup. Tapi, di mana aku?" tanya
Andika dalam hati.
"Kau sudah siuman, rupanya...." Tiba-tiba terdengar
suara dari belakangnya. Ketika Andika menoleh agak
susah, tampaklah seseorang yang amat dikenalnya, baru
saja masuk dari satu pintu. "Ningrum?" bisik Andika ragu.
Perempuan itu tersenyum ramah. Sambil berjalan
mendekati Andika.
"Bukan. Aku bukan Ningrum. Aku Ningsih, saudara
kembarnya...," kata gadis yang baru datang. Ternyata dia
memang bukan Ningrum.
"Lalu...."
"Dia kutemukan tewas di depan sebuah kedai. Ter
geletak tak jauh dari tubuhmu," jelas gadis yang mengaku
bernama Ningsih, sebelum Andika tuntas dengan
pertanyaannya. Dada Andika mendadak jadi bertambah sakit
mendengar penjelasan itu. Rasanya seperti sayatan beribu
sembilu. Napasnya sesak, tatkala membayangkan
bagaimana Ningrum dihabisi Begal Ireng saat itu. Semua
tentang diri gadis muda itu pun satu persatu tergambar
jelas di benaknya. Keayunannya, pandangan matanya,
kelembutannya....
"Ah! Mengapa dia harus mati" Ini semua salahku,"
desah Andika, menyalahkan diri sendiri. "Aku tak mau
mendengar pertimbangannya waktu itu. Kalau saja aku
mendengarnya, tentu dia tidak mati. Bodoh! Aku memang
teramat bodoh!"
"Jangan salahkan dirimu. Kalau memang maut datang
pada waktunya, tak ada seorang pun yang dapat
menghindar," ucap Ningsih lembut.
Andika menatap gadis yang semula dikiranya Ningrum
itu. Amat lekat.
"Kau mirip sekali dengan Ningrum."
"Kalau kau merasa lebih senang untuk mengang-
gapku Ningrum, silakan saja," kata gadis itu seperti paham
apa yang ada dalam pikii an Andika.
"Tapi kau tetap bukan Ningrum...," keluh Andika
penuh rasa kehilangan.
Beberapa saat, setelah Andika mampu menguasai
diri, barulah pikiran jernihnya mulai terbuka.
"Sekarang, di mana aku?" tanya Andika.
"Perguruan Naga Merah."
"'Penjaga Pintu?"
"Ya."
"Bagaimana kau bisa menemukan kami waktu itu?"
"Waktu itu, aku sedang memulai tugas dari guruku
untuk menyusul Ningrum. Dia sudah begitu lama
meninggalkan tempat ini, namun belum ada kabar sedikit
pun. Ketika melewati kota kabupaten, aku temukanmu dan
Ningrum," jelas Ningsih.
Andika mendapatkan suatu keganjilan dari penuturan
Ningsih. "
"Hanya aku dan Ningrum" Lalu, bagaimana nasib
Purwasih, si Naga Wanita itu?" Andika bertanya-tanya
sendiri dalam hati.
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesaat kening pemuda tanggung itu berkerut,
memikirkan kejadianyang menimpanya. Dia berusaha
meyakinkan diri, kalau saat itu ada gadis lain yang
bersamanya. "Kau yakin tidak melihat wanita lain, selain saudara
kembarmu itu?" tanya Andika lagi.
Gadis seayu dan seanggun Ningrum di hadapannya
menggelengkan kepala.
"Aneh!" gumam Andika. "Apakah dia ditahan Begal
Ireng" Kalau melarikan diri, rasanya tak mungkin untuk
pendekar wanita macam dia."
"Boleh aku tanya sesuatu...."
"Andika," potong Andika, memperkenalkan diri agar
Ningsih tidak begitu canggung memanggilnya.
"Boleh aku tanya sesuatu, Andika?" ulang Ningsih.
Andika mengangguk.
"Ada urusan apa sebenarnya kau dengan Naga
Wanita?" tanya Ningsih, sehingga membuat Andika heran.
"Dari mana kau tahu?"
Ningsih lalu mengeluarkan sesuatu dari balik pa-kaian
berwarna putih bersulam naga merah miliknya. Tampak
sebuah belati berukir naga tanpa gagang. Pang-kalnya
hanya diberi semacam pita berwarna keemasan.
"Senjata rahasia Naga Wanita ini kutemukan
menembus punggungmu...."
"Apa"!" Andika membelalakkan matanya.
"Sedikit saja benda ini menembus lebih ke bawah,
maka jantungmu berhenti bekerja. Untung hal itu tak
terjadi," lanjut Ningsih.
Andika jadi bingung. Timbul ah pertanyaan dalam
hatinya, "Kenapa Purwasih ingin membunuhnya" Benarkah
dia sungguh-sungguh orang kepercayaan prabu" Atau, dia
adalah salah seorang kaki tangan Begal Ireng yang telah
berusaha menggiring dirinya dan Ningrum ke kedai itu,
agar dapat dihabisi?"
Dada Andika jadi sesak kembali. Pukulan telak Begal
Ireng rupanya membuat luka dalam yang cukup parah di
dadanya. Dan seketika mulutnya memperdengarkan
erangan tertahan. Sedangkan tangannya meraba dadanya
yang sakit. Tstirahatlah dulu, Andika. Luka dalammu mungkin
baru akan sembuh lima hari ini dengan obat-obatan kami,"
saran Ningsih seraya memberi seulas senyum bening pada
Andika. Mirip sekali dengan senyum Ningrum yang amat
dikagumi Andika.
*** 8 Lembah Kutukan memang tempat yang mengerikan.
Dari namanya saja, orang bisa saja memperkirakan kalau
tempat itu menyeramkan. Kenyataannya, bahkan lebih
menyeramkan dari bayangan orang. Dan di tempat itulah
Andika akan menjalani penyempurnaan ilmu ke
saktiannya. Dari bangunan Perguruan Naga Merah yang diapit dua
bukit terjal yang membentuk gerbang masuk ke Lembah
Kutukan. Andika dilepas oleh guru Perguruan Naga Merah.
Dia adalah seorang wanita tua berwibawa. Dan keluarga
wanita tua berjuluk Naga Biru itu adalah sahabat turun-
temurun keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Tugasnya
adalah menjaga pintu masuk Lembah Kutukan, sekaligus
mengantar setiap keturunan pewaris kesaktian Pendekar
Lembah Kutukan untuk menjalani penyempurnaan.
"Ikuti terus celah yang diapit bukit yang memanjang
ini," pesan Naga Biru. "Setelah kau sampai pada suatu
lembah yang dikelilingi gunung, bersiaplah untuk
melewatinya. Itulah Lembah Kutukan yang tak pernah ada
satu manusia pun berhasil melaluinya, kecuali para
pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan."
Sejenak wanita itu menatap Andika, lalu kembali
menatap ke arah Lembah Kutukan.
Tersiapkan seluruh kesaktian yang telah diwarisi
padamu untuk melewatinya hingga mencapai satu goa.
Dan setelah berhasil melewatinya, kau akan mendapatkan
jurus-jurus sakti yang akan menjadi milikmu," jelas Nyi
Nagageni. Maka dengan dilepas saudara kembar Ningrum,
Andika melangkah masuk pada celah yang dibentuk oleh
apitan dua bukit. Sebenarnya, Andika sudah tidak lagi
berkeinginan untuk menjalani hal itu. Semangat hidupnya
pun bahkan telah pupus, sejak kehilangan orang terakhir
yang dicintainya. Ningrum!
Kalau dulu Soma dan Ki Sanca yang sudah dirasakan
sebagai keluarganya, disingkirkan secara keji oleh Begal
Ireng, kini menyusul orang yang sudah dianggap sebagai
kekasihnya! Andika merasa kematian mereka disebabkan
semata-mata oleh dirinya. Itulah yang membuatnya
menjadi enggan untuk terus hidup. Rasa kehilangan yang
berbaur dendam dan perasaan bersalah, menghantui
dirinya.Kalau saja Nyi Naga geni yang tak hanya berwibawa
namun juga bijak itu tidak mencegahnya dan memberikan
wejangan yang meresap sampai ke akar hatinya, tentu
Andika akan pergi lagi untuk mencari dan mengadu jiwa
dengan Begal Ireng tanpa berharap suatu kemenangan
pun, kecuali menyusul orang-orang yang dicintainya.
Kini mulailah Andika melangkahkan kaki selangkah
demi selangkah. Dadanya yang kini sudah pulih, berdetak
keras. Otot-otot di tubuh kurusnya menegang, menyadari
dirinya harus menjalani ujian antara hidup dan mati. Meski
masih ada keinginannya untuk mati saja, namun itu sama
sekali tidak membuatnya sembarangan.
Belum berapa jauh Andika melangkah, peluh sudah
bersimbah membanjiri wajah dan tubuhnya. Raut wajah
tampan yang tirus itu bagai seorang yang melihat malaikat
maut tepat di depan mata.
Setelah sekian jauh melangkah menyusuri celah
sempit selebar rentangan tangan dan berliku, barulah
Andika tiba pada ujung celah. Dari ujung celah itu, tampak
suatu pemandangan yang tampak sebagai suatu alam lain.
Sementara langit di atas lembah ini sama sekali
dikepung gumpalan-gumpalan awan hitam raksasa yang
bergerak berputar di tempat itu juga. Setiap kali segumpal
besar menabrak gumpalan lain, lidah petir langsung
menukik ke dataran lembah. Dalam satu kedipan mata
saja, beberapa petir menyalak sahut-menyahut.
Tak kalah mengerikan sekaligus menakjubkan, petir
itu satu demi satu menyambar batu-batu sebesar telapak
kaki yang tersusun dalam jarak teratur di selur uh dataran
lembah. Pantas, belum ada seorang manusia pun selamat
melewati lembah itu untuk tiba di dalam goa. Mereka harus
memiliki ketajaman mata dan kecepatan gerak, yang
mampu menandingi sambaran-sambaran lidah petir.
Tampaknya, kecepatan dari kesaktian yang telah
diwariskan pada Andika, mampu menandingi sambaran
lidah petir itu. Dan Andika benar-benar mengaguminya.
Pantas pula kalau hanya para pewaris kesaktian itu yang
mampu melewati lembah ini, termasuk Ki Panji Agung.
Namun, itu bukan berarti menjamin Andika secara
pasti untuk bisa melewati lembah mengerikan itu.
Segalanya harus dipersiapkan, dan
perhatiannya dipusatkan habis-habisan, jika tidak ingin dipanggang lidah
petir. Sebenarnya, Andika jadi bergidik juga. Tapi kebulatan
tekadnya untuk dapat menjalani penyempurnaan ilmu
kesaktian agar dapat mengenyahkan iblis jahanam Begal
Ireng, membuatnya tidak begitu peduli terhadap kengerian
yang sebentar-sebentar memberon-tak.
Mulailah Andika menenangkan dirinya. Seluruh
perhatian dipusatkan pada matanya. Pada taraf puncak
pemusatan pikirannya, hingga merasa dirinya benar-benar
kosong, barulah ia mulai menggerakkan kakinya kembali.
Perlahan-lahan tubuhnya keluar dari celah, dan mulai
menjejakkan kaki di permukaan lembah yang dipenuhi
batu-batu tersusun rata dan teratur.
Pada celah antara dua batu itu, Andika menjejakkan
kaki untuk melangkah. Pada langkah ketiga, satu
sambaran berkelebat dari arah depan.
"Uts!"
Namun dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh,
Andika bisa menghindari, meski harus mundur dua langkah
ke belakang. Kembali Andika mulai melangkah. Kali ini, dia tidak
mau tanggung-tanggung. Dilangkahinya beberapa deret
batu untuk tiba pada satu sela batu. Baru saja kakinya
menjejak, satu lidah petir melesat dari arah samping,
mengarah kehagian kepalanya.
Srattt! Andika tidak mau lagi melangkah mundur, karena
berarti harus mengulangi melewati beberapa deret balu
yang kini sudah terlampaui. Maka....
"Hiaaat...!"
Andika langsung melenting, seraya meliukkan
tubuhnya. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tidak beru
bah pada deret batu itu.
Setombak demi setombak, Andika maju. Semakin
maju menuju goa di kejauhan sana, semakin gencar pula
sambaran-sambaran lidah petir ke arahnya. Sehingga, dia
harus begerak meliuk-liuk dalam satu gerakan aneh
Namun tiba-tiba datang sambaran kilat lagi, sebelum
Andika bersiap.
Srat! Glarrr! Satu sambaran ternyata tidak bisa dihindarinya lagi.
Tangannya yang terpentang seketika tersambar kilat.
Tangannya seketika terasa bagai ditempeli baja membara,
menghanguskan sebagian kulitnya. Bukan hanya itu,
seluruh bagian tubuhnya bagai disengat kekuatan yang
membuatnya merasa dipereteli sebagian demi sebagian.
Andika menjerit sejadi-jadinya, bersahutan dengan
petir yang terus saja menyalak di sekeliling lembah. Tanpa
menunggu lebih lama, kakinya dihentakkan penuh
kekuatan. Maka tubuhnya seketika berputaran beberapa
kali di udara dalam kesakitan yang masih mendera di
sekujur tubuhnya. Andika melenting mundur beberapa
langkah. Itu berarti dia gagal lagi. Anehnya, dalam keadaan
mundur seperti itu tak ada satu lidah petir pun yang
mengarah ke tubuhnya.
Masih dengan tubuh limbung, Andika berhasil
menjejakkan kaki di ujung celah yang tadi ditinggalkan.
Diperiksa segera tangannya. Ada bagian yang terpanggang
hangus. Kulit itu tersobek tanpa darah sedikit pun. Wajah
Andika meringis menahan pedih. Mulutnya sendiri
mengumpat kesal.
"Sompret! Baru saja beberapa tombak, aku sudah
seperti ini. Bagaimana lagi kalau sudah hampir tiba di goa
itu" Bisa-bisa aku sudah jadi kambing guling!" dengus
Andika. Tak lama kemudian, pemuda tanggung itu sudah
mencoba kembali. Untunglah, dia termasuk anak keras
kepala. Jadi, kata kapok tidak pernah mampir di benaknya.
Usahanya kali ini makin membuat Andika lebih
berhati-hati dan lebih memusatkan perhatian. Itu tak sia-
sia. Andika telah tiba di tengah-tengah lembah. Di sana,
makin menggila saja serangan dari kekuatan alam itu.
Semakin disambar bertubi-tubi, Andika semakin gesit
menggerakkan tubuhnya, membentuk gerakan demi
gerakan yang sudah tidak disadarinya lagi. Dan dia makin
terbiasa. "Hiaaat...!"
Gerakan pemuda itu makin mantap untuk berkelit dari
sambaran lidah petir. Bahkan gerakannya sampai terlihat
seperti menghilang karena begitu cepatnya. Dan ketika goa
yang ditujunya hampir dijangkau, tubuhnya jadi tidak
terlihat lagi, kecuali bersit-bersit lidah petir yang tak putus-
putus di kuti gelegarnya yang angkuh.
Teppp! "Fhuuuh...."
Andika membuang napas lega. Akhimya tiba juga dia
di muka goa tanpa harus jadi kambing guling.
Diperhatikannya rongga goa itu. Tampak remang di
dalamnya, dan hanya diterangi pelita-pelita kecil yang
kelihatannya dihidupi oleh gas alam. Goa itu nampak tidak
terlalu dalam. "Hm.... Ada kejutan apa lagi di dalamnya"!" tanya hati
Andika. Sejenak dia hanya mengusap-usap tangan yang
tersambar petir tadi. Masih terasa pedih.
Andika kembali melangkah. Kewaspadaan tetap
dijaga seperti saat melewati lembah di belakangnya.
Matanya bergerak ke sana kemari, menjaga setiap
kemungkinan yang bisa mencelakakan dirinya.
"Aku yakin, di sinilah Pendekar Lembah Kutukan yang
kesohor hingga sekarang ini menyembunyikan kitab jurus-
jurus saktinya," duga Andika yakin.
Tapi, belum ada sesuatu pun yang mencurigakan
meski dia sudah hampir tiba di ujung goa.
"Hm.... Kenapa goa ini tampaknya tidak menampakkan tanda-tanda kalau tempat ini berbahaya?"
tanya Andika lagi, dalam hati.
Keadaan itu tak berubah sampai Andika tiba di ujung
goa. Matanya lurus memandang sekeliling goa yang kini
melebar. Luasnya kira-kira seluas padepokan. Pelita-pelita
kecil menyala di pinggir-pinggirnya, membentuk lingkaran.
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tepat di tengah ruang goa, tampak ada mata air yang luar
biasa jernihnya. Begitu jernihnya, hingga dasarnya jelas
terlihat. Di tepi mata air itu, tum-buh-tumbuhan menjalar
yang menyelimuti batuan di sekitarnya. Buahnya amat
mengundang selera. Merah ranum, mirip tomat.
"Pohon apa ini" Kalau tomat, aku jelas tahu...,"
gumam Andika lagi.
Mulut Andika berdecak-decak seperti kagum. Padahal,
dia tidak peduli pada sebentuk keindahan yang
terpampang di depan hidungnya. Dan mulutnya berdecak
karena kecewa. Tidak ada satu kitab pun yang terlihat di
tempat itu. "Huh! Mana jurus-jurus sakti seperti yang dikatakan
guru besar Naga Merah?" cibir Andika dengan wajah kecut.
Tubuhnya yang lemas, segera diletakkan di sebuah
batu yang menjorok keluar.
"Tapi, tak mungkin guru Naga Merah itu berbohong
padaku!" gumam pemuda itu setelah cukup lama duduk
merenung. Andika terus bertanya-tanya sendiri dalam hati.
"Kalaupun ada kitab jurus-jurus sakti itu, tak mungkin para
pendekar keturunan Pendekar Lembah Kutukan memiliki
jurus-jurus yang berbeda satu dengan yang lain," pikir
Andika lagi, ketika ingat penjelasan Purwasih dulu,
mengenai tokoh-tokoh keturunan Pendekar Lembah
Kutukan. Termasuk, Ki Panji Agung, orang tua yang datahg
dalam mimpinya. Dan mendadak saja Andika terlonjak.
Wajahnya memancarkan kesan kegembiraan teramat
sangat. "Kenapa aku jadi bodoh!" maki Andika dengan bibi
tersungging lebar.
Memang tidak ada kitab jurus-jurus sakti itu. Sampai
goa ini runtuh pun, kitab itu tak akan didapat! Jurus-jurus
sakti itu justru lahir dari setiap gerakan menghindar dari
serangan sambaran lidah petir! Dengan kata lain, setiap
pendekar keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang
mengalami penyempurnaan, dituntun oleh alam untuk
menciptakan jurus-jurus baru. Makanya, mereka memiliki
jurus-jurus yang berbeda satu dengan lain.
Dari duduknya yang tadi tak bergairah, Andika
langsung melompat-lompat tak beda dengan tingkah orang
kesetanan. "Yaaa...! Aku dapat! Aku dapat!" teriak Andika,
menggema ke seluruh ruangan goa.
Dua goa ini memang bukan tempat jurus-jurus itu
tersimpan. Di sini, bukan tempat penyempurnaan itu. Di
sini hanya tempat untuk beristirahat dan makan!
*** Enam purnama berlalu. Selama itu, di Lembah
Kutukan yang merupakan tempat bunuh diri selain bagi
pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan, seseorang
berkelebat dalam gencamya tukikan-tukikan lidah petir. Di
tempat itu, tidak bisa dibedakan antara siang dan malam.
Gelap dengan kerjap-kerjap petir yang datang bertubi-tubi.
Dari sanalah akan lahir seorang pendekar belia yang
akan menggemparkan seluruh napas dunia persilatan.
Anak muda tanggung yang akan muncul didahului oleh
cemoohan dan anggapan enteng. Kemudian, dia terus
membuat goncangan di dunia persilatan, lewat jurus-jurus
aneh yang telah berhasil diciptakannya sendiri dengan
tuntunan alam dan ketajaman otaknya.
Berkat keganjilan jurus-jurusnya, serta kesleboran
tingkahnya yang seringkali memaksa kawan tertawa atau
lawan menggeram jengkel, dia akan dikenal sebagai
Pendekar Slebor! Pendekar yang malang melintang dengan
seribu satu akal bulus!
*** Lalu, bagaimanakah rencana jahat Begal Ireng untuk
menggulingkan prabu" Apakah Andika akan benar-benar
mampu menandingi kesaktian tokoh nomor satu golongan
hitam itu"
Bagaimana dengan Purwasih alias Naga Merah"
Mengapa dia mencoba membunuh Andika" Lalu, kenapa
hal yang sebenarnya tentang perbedaan jurus-jurus tokoh
keturunan Pendekar Lembah Kutukan diceritakannya pada
Andika" Sehingga, anak muda tanggung itu mampu
memecahkan teka-teki di Lembah Kutukan" Benarkah dia
adalah orang kepercayaan prabu yang ditugaskan untuk
menyelidiki pemberontakan Begal Ireng"
Bagaimana nasib Ningrum" Benarkah dia telah mati
seperti yang dikatakan saudara kembarnya, Ningsih! Dan
bagaimana dengan kitab kayu milik Andika" Siapa yang
mencurinya"
Apakah kerahasiaan tempat Perguruan Naga Merah
dan Lembah Kutukan akan terbongkar oleh Begal Ireng
yang bertekad akan menghabisi seluruh keturunan
keluarga Pendekar Lembah Kutukan"
Lalu, siapakah orangtua Andika sesungguhnya"
Silakan simak kelanjutan pada episode: 'Dendam dan
Asmara SELESAI Membabat Kiyai Murtad 2 Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Suramnya Bayang Bayang 23
"Ketika aku sedang mencari damar, melintas
seseorang. Timbul keinginanku untuk mengetahui
maksudnya. Karena, aku pikir ada hubungannya dengan
Andika. Tapi, usahaku dalam membuntuti ternyata
diketahui. Dan aku malah dituduh sebagai mata-mata.
karena telah menguntit wanita yang ternyata seorang
pendekar kepercayaan prabu untuk menyelidiki pemberontakan-pemberontakan yang belakangan ini kerap
terjadi," tutur Ningrum.
Sebentar Ningrum menghentikan ceritanya, untuk
mengambil napas. Sedangkan Andika dan Naga Wanita
hanya diam saja.
"Aku tentu saja menyanggah tuduhan itu. Sementara,
dia tidak mau menerima begitu saja. Lalu, dia
menyerangku. Maka, pertarungan pun berlangsung,"
Ningrum menghentikan ceritanya.
Andika mengangguk-angguk paham.
"Lalu, siapa kalian sebenarnya" Dan, apa tujuan
kalian ke tempat ini?" selidik Naga Wanita. Saat bertanya,
wajahnya penuh sinar kecurigaan.
Mendengar pertanyaan yang diajukan Naga Wanita,
Andika jadi menyadari sesuatu yang sempat dilu-pakannya
sesaat tadi. Dan dia jadi mengumpat diri sen-diri, seraya
menghentakkan tangan menyapu udara. Kenapa tujuannya
semula jadi terlupakan" Lebih bodoh lagi, kenapa tadi
bersikap kurang ajar pada perempuan yang kini berdiri
beberapa tombak di depannya" Bisa saja, dialah orang
yang dimaksud kakek dalam mimpinya.
Andika segera menjura, mencoba memperbaiki
kesalahan yang tadi dibuatnya pada Naga Wanita.
"Maafkan sikapku tadi, Nyai," ucap Andika.
Wanita cantik itu menyambutnya dengan senyum
meledek. "Sebenarnya, hanya aku saja yang mempunyai tujuan
khusus datang ke tempat ini. Sedangkan dia kebetulan
hanya ikut aku...," urai Andika. Tangannya menunjuk sopan
pada Ningrum. "Lantas apa tujuanmu?" ulang Naga Wanita.
Andika segera menghampiri perempuan cantik itu
"Bisakah aku mengatakan tujuanku itu agak jauh dari
tempat ini?"
Naga Wanita beberapa saat hanya menatap Andika.
Kecurigaan masih tampak di wajah itu. Namun, akhirnya
dituruti juga permintaan Andika. Mereka berjalan be
berapa puluh langkah dari tempat itu, meninggalkan
Ningrum yang memandang dengan hati bertanya-tanya.
"Apakah Nyai memiliki Kipas Naga?" tanya Andika
setelah mereka cukup jauh dari tempat Ningrum berdiri.
Kipas Naga sebenarnya ciri-ciri 'Penjaga Pintu' yang
disebutkan dalam syair kitab kayu yang kini ada dalam
jubah hitam Andika.
Belum lagi Naga Wanita menjawab pertanyaan yang
diajukan Andika, wajah cantik itu berubah mendadak
Kesannya seperti orang yang baru ingat sesuatu.
"Tunggu dulu.... Bukankah kau yang dulu menghabisi
si Jari Iblis di panggung pertandingan kotapraja?" tanya
Naga Wanita. Sejak tadi, tampaknya Naga Wanita pangling dengan
penampilan Andika yang lain. Dulu, dia hanya berpakaian
seperti layaknya rakyat biasa. Namun sekarang, dengan
jubah hitam milik Ki Sanca serta dua trisula diselipkan di
kedua belah pinggang. Penampilan nya pun jadi lain. Tidak
lagi terlihat begitu kurus. Juga, berkesan lebih tua.
"Benar, Nyai. Tapi Nyai belum menjawab pertanyaan
tadi," mulai Andika kembali.
"Oh, ya maaf. Kau menanyakan apa tadi?"
"Apa Nyai memiliki Kipas Naga?" ulang Andika.
"Kipas Naga" Aku memang berjuluk Naga Wanita. Tapi
mengenai itu, aku sama sekali tidak pernah memilikinya.
Hanya pedang ini saja senjataku," ungkap Naga Wanita.
"Jadi, Nyai ini bukan 'Penjaga Pintu'!
"Ah! 'Penjaga Pintu' apa" Aku sama sekali tidak
mengerti pertanyaanmu...."
"Aneh!" pikir Andika. Malam sudah berubah menjadi
dini hari. Berarti sudah melampaui waktu yang dikatakan
kakek dalam mimpinya. Sedangkan wanita yang
ditemuinya kini mengaku kalau bukan 'Penjaga Pintu'. Lalu,
wanita yang mana lagi"
Mendadak sontak mata Andika tertuju pada Ningrum
yang masih berdiri di tempatnya. Hanya dia satu-satunya
wanita selain Naga Wanita yang ada di sekitar lembah
malam ini. Kedigdayaannya saat bertarung dengan Naga
Wanita pun, nampaknya dapat dijadikan penguat
prasangka Andika. Kalau begitu....
Pantas saja, selama ini Ningrum seperti menyembunyikan sesuatu saat Andika menanyakan
tentang Lembah Pandam. Bisa jadi juga, alasannya untuk
mencari damar di sekitar situ, sengaja dibuat untuk
menutupi tujuan yang sesungguhnya.
Kini, Andika melangkah kembali ke tempat semula.
Sedang Naga Wanita mengikutinya. Ketidaksabarannya
untuk segera menanyakan Ningrum, membuatnya bagai
tidak mempedulikan Naga Wanita.
"Hei, Anak Muda! Tunggu dulu! Aku masih harus
bicara tentang sesuatu padamu," cegah Naga Wanita.
"Maaf, Nyai.... Tunda dulu pembicaraan itu. Aku ada
sedikit keperluan." Masih dengan langkah cepat dan lebar,
Andika menyahuti tanpa menoleh.
Dalam hati Naga Wanita menggerutu panjang pendek.
"Kalau saja tidak punya kepentingan dengan anak muda
ini, dia tak akan sudi lama-lama di sini". Memang, sejak
menyaksikan bagaimana Andika menghabisi nyawa Jari
Iblis dulu, Naga Wanita jadi tertarik untuk mengajaknya
gabung dalam memberantas para pemberontak!
Begitu sampai di depan Ningrum, Andika menatap
dalam-dalam wajah ayu ini.
"Katakan yang sebenarnya tentang dirimu, Ningrum"
Kau tidak hanya sekadar tabib wanita yang tak memiliki
kesaktian apa pun, bukan" Kau hanya menyamar, agar
dapat melaksanakan tujuanmu tanpa dicurigai...," kata
Andika di depan hidung Ningrum yang mungil melancip.
"Apa-apaan kau ini, Andika" Mestinya aku yang curiga
padamu! Buktinya tanpa kusangka, di balik sikapmu yang
terkadang kekanak-kanakan itu terdapat kedigdayaan yang
dimiliki tokoh atas dunia persilatan," serang Ningrum tak
mau kalah. Mata setajam sembilu milik Andika, masih menatap
tepat di kedua bola mata berbulu lentik Ningrum.
"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan.
Katakan saja kalau kau adalah 'Penjaga Pintu' tegas
Andika. "'Penjaga Pintu' apa"!" tanya Ningrum tidak mau
kalah. "Mana buntalan milikmu!"
"Kenapa dengan buntalan itu?"
Tak perlu Ningrum menjawab di mana buntalan ini
diletakkan karena Andika ingat benda itu masih di dalam
semak tempatnya mengintai tadi. Dan sebelum habis
kalimat terakhir Ningrum tadi, Andika sudah melesat
seakan menghilang dari tempatnya berpijak. Tampaknya,
ilmu meringankan tubuhnya sudah demikian tinggi. Hanya
bayangannya saja yang terlihat berkelebat demikian cepat.
Bahkan tak lama kemudian, Andika sudah kembali dengan
wajah menegang kaku.
'Tidak ada benda itu dalam buntalanmu. Di mana kau
sembunyikan"!" dengus Andika.
"Benda apa"!" tanya Ningrum lagi, masih saja tetap
bersikeras. "Baik...," kata Andika geram, oleh rasa penasaran
yang menggelegak sampai ke ubun-ubun. "Kalau memang
begitu maumu."
Sekali lagi Andika berkelebat. Dalam kecepatan
dahsyat, dia menyergap tubuh Ningrum yang sintal. Gadis
yang tidak siap menerima sergapan itu hanya terkejut,
tidak sempat berbuat apa-apa.
"Dapat!" sorak Andika sambil mengacungkan kipas
lipat yang didapat dari balik pakaian Ningrum. Itu tadi
merupakan gabungan ilmu mencopet dengan meringankan
tubuh! "Kembalikan padaku!" teriak Ningrum, karena
menyadari rahasianya akan segera terbongkar.
"Jangan marah-marah seperti itu. Aku tadi tidak
sempat menyentuh apa-apa di balik bajumu. Kecuali kipas
ini. He he he...."
Maka dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya, Ningrum balik menyergap Andika
untuk merebut kipasnya. Namun dia kalah cepat, sehingga
kipas itu tidak berhasil kembali ke tangannya. Malah, kini
Andika sudah membuka lipatan kipas itu. Dan....
Tampaklah gambar seekor naga merah menyala
diterpa sinar bulan....
"Jadi, kau 'Penjaga Pintu' itu, Ningrum!" pekik Andika
girang. Dengan serta-merta, diraihnya tangan Ningrum yang
masih jengkel setengah mati diperlakukan barusan. Lalu,
gadis ayu itu digandengnya.
"Kau mau bukan, mengantarku ke Lembah Kutukan?"
rayu Andika amat halus, saat Ningrum baru saja hendak
mengangkat tangan untuk menamparnya.
*** Matahari hampir turun di ujung barat. Biar begitu,
kegarangan sinarnya masih cukup menyengat kulit. Angin
mengangkat ke udara debu-debu jalan. Tanah memang
amat kering. Malah, hujan sudah begitu lama tidak
membasahinya. Kota Kabupaten Banyugerabak lengang ketika Andika,
Ningrum, dan Purwasih alias Naga Wanita tiba. Tak sesuai
dengan nama kabupaten itu yang berarti air bercucuran,
daerah itu tampak begitu kerontang. Pepohonan yang
bertahan hidup di sisi-sisi jalan hanya tinggal batang-
batang meliuk tanpa daun. Kemarau panjang rupanya
tengah menggasak habis-habisan daerah ini.
Sudah tiga hari mereka berkuda. Itu pun atas jasa
Purwasih yang membeli tiga ekor kuda gagah di kotapraja.
Menurutnya perjalanan ke Lembah Kutukan akan
memakan waktu yang terlalu lama bila berjalan kaki.
Apalagi, dalam kemarau yang melanda seperti sekarang
ini. Jelas, akan teramat menyiksa.
Andika dan Ningrum sebenarnya tidak setuju kalau
Purwasih bersama mereka. Bagi Andika maupun Ningrum,
perjalanan yang harus dilakukan mengandung kerahasiaan. Tentu saja Andika tidak mau terang-terangan
kalau dirinya adalah salah seorang keturunan Pendekar
Lembah Kutukan sebelum benar-benar siap untuk itu Bagi
Ningrum sendiri, tugas yang dijalaninya dari guru nya juga
hal yang tabu untuk dicampuri orang lain termasuk
Purwasih. Namun karena Purwasih sudah telanjur terlibat ketika
berada di Lembah Pandam, mereka berdua akhir nya
hanya bisa memberi satu syarat agar Purwasih dapat
mengunci mulut tentang diri Andika dan Ningrum. Da
ternyata, Purwasih tidak keberatan. Dia sendiri sebenar nya
amat memiliki kepentingan dengan keluarga Pendekar
Lembah Kutukan. Dalam hal ini, Andika. Lalu, siapakah
Ningrum sebenarnya" Tepat seperti dugaan Andika,
Ningrum meman 'Penjaga Pintu' seperti yang tertulis dalam
kitab kayi Lembah Kutukan adalah suatu tempat rahasia.
M mang, di lembah itulah keturunan keluarga Pendeka
Lembah Kutukan menjalani penyempurnaan. Khusus-nya,
bagi salah seorang keturunan yang mewarisi kesaktian
para pendekar yang hidup beberapa abad lalu itu Orang-
orang di dunia persilatan hanya tahu kalau lembah itu
berada di salah satu kabupaten wilayah barat, di sebuah
deretan pegunungan yang sulit dijarah.
Penjaga Pintu' adalah sebutan untuk orang-orang
perguruan wanita Naga Merah yang mendapat tugas dari
gurunya untuk mencari seorang keturunan Pendekar
Lembah Kutukan yang mendapat warisan kesaktian, lalu
mengantarnya ke Lembah Kutukan untu menjalani
penyempurnaan. Dan perguruan itu sendi berada tepat di
gerbang masuk Lembah Kutukan. Untuk menjalani tugas
tanpa dicurigai, Ningrum memang menyamar sebagai
seorang tabib muda yang tampak hanya sedikit memiliki
ilmu olah kanuragan.
Hingga sampai saat ini, Ningrum belum sekalipun
menjelaskan penyempurnaan macam apa yang harus
dijalani Andika. Sewaktu di Lembah Pandam, dia hanya
meminta bukti pada Andika kalau dirinya memang benar
salah seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Dan
Andika menceritakan semua kejadian yang dialami,
termasuk menunjukkan pada Ningrum kitab kayu
pemberian Ki Sanca. Baru setelah itu, Ningrum lebih
banyak diam. Meski, Andika kerap kali menggoda dan
merayunya. Sewaktu di perjalanan tiga hari berkuda, Andika mau
tak mau jadi lebih banyak bertanya pada Purwasih. Dan
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selaku seorang pendekar kerajaan yang berkepentingan
dengan keturunan Pendekar Lembah Kutukan, nyatanya
Purwasih lebih banyak tahu mengenai kisah-kisah kewiraan
keluarga itu, ketimbang Andika sendiri yang merupakan
keturunan Iangsung. Lucu memang. Tapi biar bagaimanapun, hal itu wajar saja bagi Andika. Jangankan
untuk mengetahui asal-usulnya, sedang orang tuanya saja
hingga kini tidak pernah dikenalnya.
Kata Purwasih, seluruh keturunan Pendekar Lembah
Kutukan yang menjadi pewaris kesaktian pendekar itu
selalu muncul dengan jurus-jurus berbeda. Termasuk, Ki
Panji Agung yang baru diketahui Andika kalau dialah orang
tua yang datang dalam mimpinya, saat Purwasih
menggambarkan sosok orangnya.
Cerita Purwasih itu amat membuat penasaran Andika.
Kenapa mereka memiliki jurus-jurus berbeda"
Yang diketahuinya selama ini, seorang yang mewarisi
kedigdayaan keluarganyabiasanya tetap memiliki jurus-
jurus sama. Dan Andika belum bisa menjawab rasa
penasarannya. Agak jauh memasuki kota kabupaten, mereka
berhenti di sebuah kedai untuk beristirahat.
Kedai itu tak begitu luas dan agak kotor. Namun,
mereka tetap turun dari kuda masing-masing, dan
menambatkannya di depan kedai. Dengan agak terpaksa.
mereka masuk juga karena memang hanya kedai itu satu-
satunya yang ada di kota Kabupaten Banyugerabak.
Lima orang berwajah tak ramah tampak duduk
terpencar di beberapa meja kayu bundar. Hampir
semuanya memegang gelas bambu berisi tuak. Rupanya
hari yang kelewat panas membuat mereka hanya berselera
untuk minum. Andika, Ningrum, dan Purwasih lalu menuju sebuah
meja kosong yang terletak di sudut. Sebentar kemudian
mereka sudah duduk melingkari meja itu.
"Pelayan, berikan kami makanan!" seru Andika tanpa
membuka caping yang dikenakan.
Tak lama menunggu, makanan dengan lauk
sederhana disediakan seorang pelayan tua dengan sikap
sopan. "Terima kasih, Ki...," ucap Andika ramah.
Dan belum lagi pelayan di sampingnya beranjak,
Andika sudah mengangkat kaki di atas kursi. Lalu,
disantapnya makanan tanpa niat mencuci tangannya yang
berdaki. Padahal, Purwasih yang bersedia membayar
seluruh makanan pun belum sempat mempersilakan.
Dan sesaat kemudian, terdengarlah alunan mulut
Andika yang sibuk mengunyah makanan penuh nafsu.
Seakan, dia baru menemukannya selama seminggu.
"Memalukan kau, Andika! Apa kau tidak bisa makan
dengan tata cara yang baik?" gerutu Ningrum.
Andika tetap tidak peduli.
"Apa salahnya kau menghormati Purwasih...," lanjut
Ningrum. Wajahnya tertekuk kesal.
"Aku bukan dari kalangan istana yang bisa
menghormat dengan cara mereka. Aku rasa, Nyai Purwasih
bisa maklum," sahut Andika yakin.
"Huh, tapi...."
"Pak Pelayan!" panggil Andika, memotong gerutuan
Ningrum lebih lanjut.
Pelayan tua yang baru saja hendak beranjak,
menghentikan langkah.
"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan berusia tujuh puluh
tiga tahun itu.
"Apa Aki punya persediaan ayam?" tanya Andika.
"O, tentu.... Kedai kami ini sebenarnya menyediakan
Iauk-pauk yang cukup lengkap, Tuan. Ada belut, kambing
bakar, lele, dan ikan-ikanan. Apalagi, hanya ayam...," jawab
pelayan itu dengan wajah bangga.
"Kalau begitu, biar ayamnya diadu dengan ayam
betina cerewet ini," tukas Andika seraya mencibir kearah
Ningrum. Pelayan itu jadi tertawa geli setelah mengerti guyonan
Andika. Sedangkan Ningrum tambah mangkel. Wajahnya
merah padam seperti dilanda kebakaran.
Purwasih hanya tersenyum kecil. Setelah cukup
mengenal, hatinya harus mengakui kalau pemuda
tanggung itu menyenangkan. Terkadang dia bisa amat
berwibawa, tapi terkadang bisa menjengkelkan. Kekaguman lain yang mesti diakuinya adalah, pesona diri
pemuda tanggung itu. Kalau saja Andika bukan seorang
pemuda belasan tahun, tentu Purwasih akan cepat jatuh
hati. "Hhem...," Ningrum mendehem ketika mendapatkan
mata Purwasih sedang menatap lekat pada wajah Andika
yang sebagian tertutup caping.
Menyadari dirinya tertangkap basah, Purwasih cepat-
cepat mengalihkan perhatian.
"K i, aku minta tuaknya...," ujar Purwasih pada pelayan
yang kebetulan belum beranjak.
"Baik, Nini.... Beruntung sekali, karena ini persediaan
tuak kami yang tersisa."
Pelayan tadi segera melangkah ke belakang. Dan, tak
lama dia kembali lagi membawa satu kendi kecil tuak.
Kini mereka menyantap makanan yang tersuguh di
atas meja. Saat itu, terdengar ringkik kuda yang dihentikan
mendadak bersama kepulan debu yang sebagian sempat
singgah ke dalam kedai. Sebentar kemudian, terdengar
langkah orang menuju kedai.
Kini di pintu kedai, berdiri angkuh tiga orang berwajah
bengis tanpa sedikit pun garis keramahan. Dua orang di
antaranya yang berkepala gundul serta bermata sipit,
menerabas dengan pandangan langsung ke dalam kedai
Seorang lagi nampak tetap rapih, meski tampak habis
melakukan perjalanan jauh. Berpakaian hitam-hitam
seperti halnya Andika, namun pinggangnya dihiasi cemeti
kasar. Wajahnya cukup kasar dan amat dingjn.
Purwasih yang duduk menghadap pintu jadi
terperangah. Amat dikenalinya ketiga orang itu. Begal
Ireng, pemberontak besar yang sedang diselidikinya,
bersama dua orang kaki tangannya, si Kembar dari
Tiongkok. Maka cepat-cepat Purwasih memalingkan wajah,
me-nyembunyikannya dari tatapan Begal Ireng.
"Keparat itu ada di sini...," bisik Purwasih amat hati-
hati. Andika dan Ningrum yang membelakangi pintu se-
rentak menatap mata Purwasih.
"Siapa?" tanya Andika dengan suara wajar.
"Ssst..., Begal Ireng dan dua orang Tiongkok jahanam
itu," bisik Purwasih lagi.
Andika mengernyitkan wajah. Dia memang merasa
asing dengan nama-nama itu. Begitu juga Ningrum, meski
termasuk orang dunia persilatan, dia sedikit pun tidak
tahu-menahu mengenai Begal Ireng. Yang diketahuinya
hanya tugas untuk mencari pendekar pewaris kesaktian
Pendekar Lembah Kutukan. Itu saja!
"Kau tidak tahu siapa dia?" tanya Purwasih tetap
berbisik. "Dialah dalang semua kekacauan di dunia
persilatan belakangan ini. Tokoh nomor satu dari golongan
hitam. Dan, dialah yang membunuh Ki Panji Agung. Bahkan
belum lama ini, kudengar dia membantai habis satu
perguruan kecil di suatu bukit. Kalau tidak salah,
Perguruan Trisula Kembar...."
Andika kontan terperangah. Tanpa terasa, ingatannya
dibawa kembali .kepada peristiwa beberapa waktu lalu.
Tentang api yang berkobar ganas, tentang tubuh Soma
yang sudah seperti kakaknya sendiri dalam keadaan
tercabik di sana-sini. Juga, tentang tubuh tua Ki Sanca
yang menyedihkan. Mayat lelaki dan perempuan yang
berserakan bagai tak berarti apa-apa, teriakan anak-anak
kecil dan wanita yang masih hidup, semuanya amat
menyesakkan dadanya. Mereka telah dihancurkan pada
saat Andika merasa telah menemukan keluarga yang
selama ini dirindukan.
Napas Andika jadi kembang-kempis akibat sesak dari
dendam dan rasa kehilangan yang saat itu menyerang
sekujur dadanya. Otot-otot di tangannya yang kurus
mengejang dalam satu kepalan geram.
"Ningrum! Apakah orang-orang itu yang kau lihat
waktu bekerja di kedai kotapraja?" tanya Andika ber-getar.
Hati-hati wanita muda itu menoleh pada tiga orang
yang baru masuk. Mereka kini sudah menempati satu meja
tepat di sisi pintu keluar. Tak lama, Ningrum mengangguk.
Dan gadis itu dapat melihat, bagaimana terbakarnya mata
Andika dengan warna merah.
"Aku harus menuntut balas," geram Andika.
Menyadari hal itu, Ningrum cepat meraih tangan
Andika. Digenggamnya tangan itu erat-erat, berusaha
menenangkan kerusuhan dalam dada pemuda tanggung di
sebelahnya. . "Jangan bertindak sebodoh itu, selama belum
menjalani penyempurnaanmu, Andika...," bisik Ningrum
mencoba meyakinkan pemuda yang sudah naik darah itu.
Namun bayangan-bayangan menyakitkan itu lebih
kuat menguasainya.
"Mereka tidak bisa seenaknya membunuh orang-
orang yang aku sayangi, seperti membunuh anjing
gelandangan. Mereka tidak bisa membunuh mereka kalau
hanya aku yang dicari...," gumam Andika saat itu juga
terdengar giginya yang bergemeletuk.
"Andika, benar kata Ningrum.... Mereka bukan tokoh
golongan hitam yang sembarangan. Untuk menghadapi
Begal Ireng saja, kita bertiga pun belum tentu mampu. Kau
harus siap dulu Andika...," sergah Purwasih menenangkan
Andika yang semakin kalap. Dia menye-sal, kenapa sudah
selancang itu mengatakan tentang mereka pada Andika.
"Mereka tentu datang kesini untukmencari aku dan
untuk membunuhku, seperti mereka membunuh Ki Panji
Agung.... Keparat-keparat itu rupanya mendapat hari bagus
menemukanku di sini!"
Sehabis berkata demikian, Andika bangkit. Sehingga
menimbulkan bunyi tak beraturan akibat meja yang
terdorong. "Andika!" tahan Ningrum dengan wajah demikian
khawatir. "Demi aku, tolonglah tunda kemarahanmu
sampai sudah menjalani penyempurnaan...," pinta
Ningrum, memelas sekali.
Sia-sia. Andika malah sudah bertolak pinggang,
menghadap ke arah tiga tokoh hitam itu.
"Begal Ireng keparat!"
Tubuh Andika berputar langsung melenting dan
berputaran di udara, lalu hinggap dua meja di dekat meja
ketiga orang itu duduk.
Kemudian, langsung ditatap ketiga orang itu satu
persatu dengan sinar mata jalang tak terkendali.
"Kau mencari keturunan Pendekar Lembah Kutukan,
bukan"! Hari ini kau beruntung...."
*** Sementara itu, lima orang yang sedari tadi asyik
menikmati tuaknya seketika keluar kedai dengan wajah
pucat, begitu mendengar nama Begal Ireng diteriakkan
Andika. Sementara ketiga manusia busuk itu bagai tak
merasa terusik oleh kehadiran Andika.
"Pelayan, sediakan kami tuak!" ujar Begal Ireng.
Bibir Begal Ireng tersenyum amat sinis, kemudian
kembali tidak mempedulikan pemuda berang itu.
"Ayo, tunggu apa lagi bajingan"!" hardik Andika makin
mata gelap. Dan Andika sudah membuka caping yang masih
menutup kepalanya. Dibantingnya benda itu persis di meja
mereka. Sengaja Andika melakukan itu, dengan harapan
kemarahan mereka akan terpancing.
Prakkk! Caping yang dibanting tanpa sedikit pun pengerahan
tenaga dalam, langsung menghantam permukaan meja,
lantas terpantul ke arah wajah Begal Ireng. Amat mudah
bagi Begal Ireng untuk menggelengkan kepalanya sedikit,
sehingga terhindar dari benda nyasar itu. Namun, Begal
Ireng kembali seperti biasa.
Sementara pelayan tua itu sudah datang ke hadapan
tiga tokoh hitam ini bagai seekor kera menghampiri
harimau. Badannya menciut demikian rupa, sebagai
pertanda kalau demikian ketakutan.
"Ma..., maaf Tuan. Kami kehabisan persediaan tuak,"
ucap pelayan itu tergagap.
"Kalau begitu, kau bisa ambil kendi tuak di meja dua
perempuan itu," ujar Begal Ireng.
"Tapi, Tuan.... Tapi, mereka sudah memesannya lebih
dahulu." "Kau mau ambilkan atau tidak"!" ancam Begal Ireng.
Matanya menatap dingin pada pelayan itu, menusukkan
sinar kengerian.
"Keterlaluan! Apa kau pikir dunia ini milikmu!" geram
Andika. Kemarahannya kini benar-benar sampai pada
batas yang tidak bisa lagi ditahan. "Hiaaat...!"
Tiba-tiba teriakan mengguntur keluar dari mulut
Andika. Kekuatan tenaga dalam yang kini berada di
tubuhnya, tanpa disadari terikut dalam teriakan. Akibatnya,
kendi-kendi tuak kosong itu pecah berkeping. Bahkan
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelayan tua yang nampaknya tak memiliki kepandaian apa-
apa menutup telinganya dengan wajah kesakitan. Sedang
Ningrum dan Purwasih pun sempat merasakan tusukan
nyeri pada telinga, tapi mampu diatasi dengan
menyalurkan hawa murni pada telinga masing-masing.
Kedua tangan Andika sudah menggenggam keras
sepasang trisula yang dicabut dari pinggangnya. Dengan
satu terkaman harimau, diserangnya ubun-ubun Begal
Ireng! Singngng! Namun dengan egosan ke belakang yang manis
sekali, tusukan sepasang trisula itu hanya menyambar
angin di depan Begal Ireng. Sedangkan tubuh Andika
meluncur deras, melabrak dinding kayu kedai, hingga
membuat lubang besar. Dan begitu mendaratkan kakinya
di luar, Andika sudah siap dengan kuda-kuda tempurnya.
"Keluarlah kau, Begal Ireng! Apakah kau sejenis anjing
buduk pengecut"!" teriak Andika.
Tak ada lagi yang dipikirkan anak muda tanggung itu,
kecuali segera menghabisi nyawa manusia-manusia yang
telah merusak kebahagiaan yang baru saja dikenyamnya
saat berada di Perguruan Trisula Kembar. Manusia-
manusia yang tidak hanya membunuh harapannya untuk
memiliki keluarga besar seperti saat itu, tapi juga
membunuh orang-orang yang sudah menjadi keluarga
sendiri secara keji. Untuk sedikit memikirkan keselamatannya sendiri saja, sudah tidak ada di benaknya
saat ini. Dan kalaupun harus mati, Andika sudah siap.
Dengan langkah tenang teratur, Begal Ireng
melangkah keluar, diikuti dua orang botak kaki tangannya.
"Hiaaat!"
Andika langsung menyerang kembali. Ujung runcing
trisula di tangan kanannya menyabet ke arah leher Begal
Ireng. Namun dengan kecepatan mengagumkan, Begal
Ireng melenting dan berputaran beberapa kali ke belakang.
Lalu dengan amat ringan kakinya menjejak tanah kembali.
Sikapnya masih tetap menganggap enteng Andika, dengan
kedua tangan terlipat di dada.
Andika bagai tak mau memberi kesempatan.
Diserbunya kembali Begal Ireng. Jurus-jurus 'Trisula
Kembar'nya menyabet ke sana kemari tanpa aturan.
Memang, pengalamannya yang terlalu hijau dalam dunia
persilatan, membuat Andika tidak tahu kalau kekalapan
pada saat bertempur bisa berarti kelemahan.
Begitu Andika menyabetkan trisulanya ke dada, Begal
Ireng cepat menangkis dengan punggung tangan.
Plakkk! Dua kekuatan tenaga dalam luar biasa beradu pada
satu titik, menghasilkan benturan yang amat keras.
Dan ternyata, hal ini mengakibatkan Begal Ireng
terseret dalam keadaan berdiri lima depa ke belakang!
Tampak kepulan debu menyebar di sekitar kakinya.
Begal Ireng terperangah. Tak pernah diduga kalau
kekuatan tenaga tusukan tangan Andika yang bau kencur
itu setingkat dengan tokoh kelas atas.
"Gila!" umpat Begal Ireng dalam hati sambil
memegangi punggung tangannya yang terasa nyeri bukan
main. Memang, keturunan keluarga Pendekar Lembah
Kutukan sering kali sulit dipahami. Dia sendiri tidak dapat
menebak, kenapa jenazah Ki Panji Agung yang dihabisinya
dulu mengeluarkan cahaya kemilau. Dan belum tuntas
kebingungan itu terjawab, kini pemuda yang diburunya
belakangan ini memperlihatkan tingkat tenaga dalam yang
tidak mungkin bisa didapat secara mudah oleh anak
ingusan macam Andika.
Begal Ireng memang tahu kalau kecepatan gerak
Andika benar-benar menakjubkan. Itu diketahuinya saat
melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Andika
menamatkan riwayat Jari Iblis di kota Praja.
Sebenarnya, itu pun sudah membuatnya terheran-
heran, di samping kagum dan benci. Makanya, Begal Ireng
langsung dapat menduga kalau Andika adalah salah
seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan, dan
langsung menguntit untuk membunuhnya.
Sementara, Andika sendiri terpelanting ke belakang,
karena kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulingan
bermandikan debu di jalan panas. Tak beda dengan Begal
Ireng, dia pun merasakan nyeri yang bukan kepalang di
bagian tangannya. Namun tak lama kemudian, pemuda
tanggung itu sudah bangkit kembali.
Serangan berikut dari Andika kembali datang ke Begal
Ireng dengan lebih menggila. Jurus-jurus 'Trisula Kembar'
tergabung menjadi satu, membuat tubuh Andika terlihat
hanya kelebatan yang meluncur ngawur.
Kali ini, Begal Ireng tidak ingin lagi menganggapnya
enteng. Dia tahu, serangan kalap itu akan banyak memberi
keuntungan adanya. Namun, kecepatan dan kekuatan
tenaga dalam Andika bukan berarti tidak membahayakan!
"Hiaaat!"
Beberapa saat, serangan membabi buta Andika cukup
merepotkan Begal Ireng. Namun dibanding Andika, jelas
Begal Ireng jauh berpengalaman. Malang melintang di
dunia persilatan membuatnya benar-benar matang sebagai
tokoh kelas atas golongan hitam. Ditambah, kekalapan
Andika yang banyak memberi keuntungan baginya. Tak
heran ketika suatu saat, Andika harus menelan pil pahit!
Saat itu Andika melesat cepat sambil menyabetkan
'Trisula Kembar'-nya. Namun dengan hanya melenting ke
atas, sebentar trisula itu berhasil dihindari Begal Ireng. Dan
baru saja kakinya mendarat, kembali datang serangan
kalap dari Andika. Maka cepat Begal Ireng merunduk.
Seketika di luar dugaan, Begal Ireng cepat melepaskan
satu gedoran telapak tangan berisi tenaga dalam tinggi.
Begitu cepatnya, sehingga Andika tak mampu berkelit.
Sehingga.... Desss! "Aaakh!"
Trisulanya terpencar jauh dari tubuhnya. Begitu jatuh
di tanah, Andika meringis kesakitan. Tangannya
memegangi dada yang telak terhajar telapak tangan Begal
Ireng. Sedangkan dari mulutnya, darah kehitam-hitaman
menciprati tanah berdebu.
"Andika...!"
Jerit Ningrum tatkala matanya melihat, bagaimana
tubuh kurus Andika melayang tak beda selembar daun
kering diterpa angin. Maka dari dalam kedai dia berlari
mendekati Andika yang tersuruk mencoba bangkit kembali.
Dua orang botak dan sipit kaki tangan Begal Ireng
yang berdiri tak jauh dari pintu kedai, sama sekali tidak
mencegahnya. Dengan amat dingin dan kaku, mereka
hanya melirik tubuh Ningrum yang sintal.
"Keparat kau, Begal Ireng!" jerit Ningrum menyayat,
setelah merangkul tubuh Andika yang limbung.
Bagi Ningrum, Andika adalah segalanya. Andika
berarti satu tugas amat berat yang diembannya dari
Perguruan Naga Merah. Andika berarti seorang sahabat
yang amat menyenangkan. Dan Andika juga berarti cinta
pertamanya yang tumbuh subur, semenjak pertama kali
turun dalam dunia persilatann. Cinta yang kini tak lagi bisa
dianggapnya sebagai rasa kasihan belaka. Cinta yang
mekar semerbak di kedalaman hati gadis ini.
Sambil memapah tubuh Andika, mata Ningrum yang
legam indah menjadi beringas. Dari bagian bawah bulu
mata lentiknya, garis-garis bening mengambang berbaur
murka yang tak terbendung. Dan setelah merebahkan
kembali tubuh Andika yang tak berdaya, Ningrum bangkit.
Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah Begal Ireng.
"Kubunuh kau, Begal Ireng!"
Bersama lengking kemarahan, Ningrum mencabut
senjata kipasnya yang selama ini selalu disembunyikan.
Kini kembali Begal Ireng melayani seorang yang kalap.
Maka pertarungan sengit tak dapat dihindari lagi. Jurus-
jurus mereka bertemu, menerbangkan angin dan
menimbulkan bunyi-bunyian mendebarkan.
Mata Andika yang berkunang-kuang memperhatikan
pertarungan dengan perasaan kekhawatiran yang sangat.
Ingin dia berteriak pada Ningrum agar tidak berurusan
dengan Begal Ireng. Tapi rasa sesak yang demikian
mendera dada, membuatnya tak bisa menggetarkan pita
suara sedikit pun.
Hal yang amat tak diharapkan pun terjadi juga.
Sebentar saja Ningrum sudah terdesak. Bahkan tiba-tiba
saja satu hantaman tangan Begal Ireng mendarat tepat di
dagunya, sehingga membuatnya terpental. Bunyi rahang
yang remuk terdengar keras. Tidak hanya menyayat telinga,
tapi juga hati Andika!
Pemuda tanggung itu tergagap, berusaha meneriak-
kan nama Ningrum. Namun dari mulutnya hanya keluar
suara serak tak berarti.
Ketika Andika melihat bagaimana Ningrum jatuh
keras dan tak berkutik lagi di sisi jalan, rasa sesak di
dadanya tidak lagi dihiraukan. Kerongkongan yang semula
bagai terkunci, tiba-tiba meledak menciptakan teriakan
yang terdengar seperti lolongan menyayat.
"Aaa...!"
Andika berusaha bangkit, tapi lantas tubuhnya
limbung. Perlahan-lahan dia mencoba tegak. Mata tajam
Andika menyambar langsung ke mata Begal Ireng, bagai
seekor rajawali terluka.
Sebelum Andika sempat menggerakkan otot-ototnya
yang mengejang untuk menyerang Begal Ireng, suatu
benda keras mendadak menembus dada kiri bagian
belakang. Dan bumi tiba-tiba terayun di mata Andika. Lalu,
gelap... gelap.
* ** "Disorgakah aku?"
Pertanyaan pertama di hati Andika muncul, ketika
matanya membuka. Pandangannya sedikit kabur. Tampak
ruangan di sekitarnya berwarna merah menyala. Sebuah
meja kayu jati berukir indah, berada tak jauh dari
tempatnya tergeletak. Dari jendela besar di ruang itu,
Andika dapat melihat taman indah, di latar belakangi
deretan pegunungan.
Pemuda tanggung itu mencoba bangkit. Tapi......
"Uuuh...," keluh Andika.
Memang masih terasa sakit di beberapa bagian di
tubuhnya. Ketika merasa bagian dadanya, didapati kain
putih membalut rapat.
Berarti aku masih hidup. Tapi, di mana aku?" tanya
Andika dalam hati.
"Kau sudah siuman, rupanya...." Tiba-tiba terdengar
suara dari belakangnya. Ketika Andika menoleh agak
susah, tampaklah seseorang yang amat dikenalnya, baru
saja masuk dari satu pintu. "Ningrum?" bisik Andika ragu.
Perempuan itu tersenyum ramah. Sambil berjalan
mendekati Andika.
"Bukan. Aku bukan Ningrum. Aku Ningsih, saudara
kembarnya...," kata gadis yang baru datang. Ternyata dia
memang bukan Ningrum.
"Lalu...."
"Dia kutemukan tewas di depan sebuah kedai. Ter
geletak tak jauh dari tubuhmu," jelas gadis yang mengaku
bernama Ningsih, sebelum Andika tuntas dengan
pertanyaannya. Dada Andika mendadak jadi bertambah sakit
mendengar penjelasan itu. Rasanya seperti sayatan beribu
sembilu. Napasnya sesak, tatkala membayangkan
bagaimana Ningrum dihabisi Begal Ireng saat itu. Semua
tentang diri gadis muda itu pun satu persatu tergambar
jelas di benaknya. Keayunannya, pandangan matanya,
kelembutannya....
"Ah! Mengapa dia harus mati" Ini semua salahku,"
desah Andika, menyalahkan diri sendiri. "Aku tak mau
mendengar pertimbangannya waktu itu. Kalau saja aku
mendengarnya, tentu dia tidak mati. Bodoh! Aku memang
teramat bodoh!"
"Jangan salahkan dirimu. Kalau memang maut datang
pada waktunya, tak ada seorang pun yang dapat
menghindar," ucap Ningsih lembut.
Andika menatap gadis yang semula dikiranya Ningrum
itu. Amat lekat.
"Kau mirip sekali dengan Ningrum."
"Kalau kau merasa lebih senang untuk mengang-
gapku Ningrum, silakan saja," kata gadis itu seperti paham
apa yang ada dalam pikii an Andika.
"Tapi kau tetap bukan Ningrum...," keluh Andika
penuh rasa kehilangan.
Beberapa saat, setelah Andika mampu menguasai
diri, barulah pikiran jernihnya mulai terbuka.
"Sekarang, di mana aku?" tanya Andika.
"Perguruan Naga Merah."
"'Penjaga Pintu?"
"Ya."
"Bagaimana kau bisa menemukan kami waktu itu?"
"Waktu itu, aku sedang memulai tugas dari guruku
untuk menyusul Ningrum. Dia sudah begitu lama
meninggalkan tempat ini, namun belum ada kabar sedikit
pun. Ketika melewati kota kabupaten, aku temukanmu dan
Ningrum," jelas Ningsih.
Andika mendapatkan suatu keganjilan dari penuturan
Ningsih. "
"Hanya aku dan Ningrum" Lalu, bagaimana nasib
Purwasih, si Naga Wanita itu?" Andika bertanya-tanya
sendiri dalam hati.
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesaat kening pemuda tanggung itu berkerut,
memikirkan kejadianyang menimpanya. Dia berusaha
meyakinkan diri, kalau saat itu ada gadis lain yang
bersamanya. "Kau yakin tidak melihat wanita lain, selain saudara
kembarmu itu?" tanya Andika lagi.
Gadis seayu dan seanggun Ningrum di hadapannya
menggelengkan kepala.
"Aneh!" gumam Andika. "Apakah dia ditahan Begal
Ireng" Kalau melarikan diri, rasanya tak mungkin untuk
pendekar wanita macam dia."
"Boleh aku tanya sesuatu...."
"Andika," potong Andika, memperkenalkan diri agar
Ningsih tidak begitu canggung memanggilnya.
"Boleh aku tanya sesuatu, Andika?" ulang Ningsih.
Andika mengangguk.
"Ada urusan apa sebenarnya kau dengan Naga
Wanita?" tanya Ningsih, sehingga membuat Andika heran.
"Dari mana kau tahu?"
Ningsih lalu mengeluarkan sesuatu dari balik pa-kaian
berwarna putih bersulam naga merah miliknya. Tampak
sebuah belati berukir naga tanpa gagang. Pang-kalnya
hanya diberi semacam pita berwarna keemasan.
"Senjata rahasia Naga Wanita ini kutemukan
menembus punggungmu...."
"Apa"!" Andika membelalakkan matanya.
"Sedikit saja benda ini menembus lebih ke bawah,
maka jantungmu berhenti bekerja. Untung hal itu tak
terjadi," lanjut Ningsih.
Andika jadi bingung. Timbul ah pertanyaan dalam
hatinya, "Kenapa Purwasih ingin membunuhnya" Benarkah
dia sungguh-sungguh orang kepercayaan prabu" Atau, dia
adalah salah seorang kaki tangan Begal Ireng yang telah
berusaha menggiring dirinya dan Ningrum ke kedai itu,
agar dapat dihabisi?"
Dada Andika jadi sesak kembali. Pukulan telak Begal
Ireng rupanya membuat luka dalam yang cukup parah di
dadanya. Dan seketika mulutnya memperdengarkan
erangan tertahan. Sedangkan tangannya meraba dadanya
yang sakit. Tstirahatlah dulu, Andika. Luka dalammu mungkin
baru akan sembuh lima hari ini dengan obat-obatan kami,"
saran Ningsih seraya memberi seulas senyum bening pada
Andika. Mirip sekali dengan senyum Ningrum yang amat
dikagumi Andika.
*** 8 Lembah Kutukan memang tempat yang mengerikan.
Dari namanya saja, orang bisa saja memperkirakan kalau
tempat itu menyeramkan. Kenyataannya, bahkan lebih
menyeramkan dari bayangan orang. Dan di tempat itulah
Andika akan menjalani penyempurnaan ilmu ke
saktiannya. Dari bangunan Perguruan Naga Merah yang diapit dua
bukit terjal yang membentuk gerbang masuk ke Lembah
Kutukan. Andika dilepas oleh guru Perguruan Naga Merah.
Dia adalah seorang wanita tua berwibawa. Dan keluarga
wanita tua berjuluk Naga Biru itu adalah sahabat turun-
temurun keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Tugasnya
adalah menjaga pintu masuk Lembah Kutukan, sekaligus
mengantar setiap keturunan pewaris kesaktian Pendekar
Lembah Kutukan untuk menjalani penyempurnaan.
"Ikuti terus celah yang diapit bukit yang memanjang
ini," pesan Naga Biru. "Setelah kau sampai pada suatu
lembah yang dikelilingi gunung, bersiaplah untuk
melewatinya. Itulah Lembah Kutukan yang tak pernah ada
satu manusia pun berhasil melaluinya, kecuali para
pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan."
Sejenak wanita itu menatap Andika, lalu kembali
menatap ke arah Lembah Kutukan.
Tersiapkan seluruh kesaktian yang telah diwarisi
padamu untuk melewatinya hingga mencapai satu goa.
Dan setelah berhasil melewatinya, kau akan mendapatkan
jurus-jurus sakti yang akan menjadi milikmu," jelas Nyi
Nagageni. Maka dengan dilepas saudara kembar Ningrum,
Andika melangkah masuk pada celah yang dibentuk oleh
apitan dua bukit. Sebenarnya, Andika sudah tidak lagi
berkeinginan untuk menjalani hal itu. Semangat hidupnya
pun bahkan telah pupus, sejak kehilangan orang terakhir
yang dicintainya. Ningrum!
Kalau dulu Soma dan Ki Sanca yang sudah dirasakan
sebagai keluarganya, disingkirkan secara keji oleh Begal
Ireng, kini menyusul orang yang sudah dianggap sebagai
kekasihnya! Andika merasa kematian mereka disebabkan
semata-mata oleh dirinya. Itulah yang membuatnya
menjadi enggan untuk terus hidup. Rasa kehilangan yang
berbaur dendam dan perasaan bersalah, menghantui
dirinya.Kalau saja Nyi Naga geni yang tak hanya berwibawa
namun juga bijak itu tidak mencegahnya dan memberikan
wejangan yang meresap sampai ke akar hatinya, tentu
Andika akan pergi lagi untuk mencari dan mengadu jiwa
dengan Begal Ireng tanpa berharap suatu kemenangan
pun, kecuali menyusul orang-orang yang dicintainya.
Kini mulailah Andika melangkahkan kaki selangkah
demi selangkah. Dadanya yang kini sudah pulih, berdetak
keras. Otot-otot di tubuh kurusnya menegang, menyadari
dirinya harus menjalani ujian antara hidup dan mati. Meski
masih ada keinginannya untuk mati saja, namun itu sama
sekali tidak membuatnya sembarangan.
Belum berapa jauh Andika melangkah, peluh sudah
bersimbah membanjiri wajah dan tubuhnya. Raut wajah
tampan yang tirus itu bagai seorang yang melihat malaikat
maut tepat di depan mata.
Setelah sekian jauh melangkah menyusuri celah
sempit selebar rentangan tangan dan berliku, barulah
Andika tiba pada ujung celah. Dari ujung celah itu, tampak
suatu pemandangan yang tampak sebagai suatu alam lain.
Sementara langit di atas lembah ini sama sekali
dikepung gumpalan-gumpalan awan hitam raksasa yang
bergerak berputar di tempat itu juga. Setiap kali segumpal
besar menabrak gumpalan lain, lidah petir langsung
menukik ke dataran lembah. Dalam satu kedipan mata
saja, beberapa petir menyalak sahut-menyahut.
Tak kalah mengerikan sekaligus menakjubkan, petir
itu satu demi satu menyambar batu-batu sebesar telapak
kaki yang tersusun dalam jarak teratur di selur uh dataran
lembah. Pantas, belum ada seorang manusia pun selamat
melewati lembah itu untuk tiba di dalam goa. Mereka harus
memiliki ketajaman mata dan kecepatan gerak, yang
mampu menandingi sambaran-sambaran lidah petir.
Tampaknya, kecepatan dari kesaktian yang telah
diwariskan pada Andika, mampu menandingi sambaran
lidah petir itu. Dan Andika benar-benar mengaguminya.
Pantas pula kalau hanya para pewaris kesaktian itu yang
mampu melewati lembah ini, termasuk Ki Panji Agung.
Namun, itu bukan berarti menjamin Andika secara
pasti untuk bisa melewati lembah mengerikan itu.
Segalanya harus dipersiapkan, dan
perhatiannya dipusatkan habis-habisan, jika tidak ingin dipanggang lidah
petir. Sebenarnya, Andika jadi bergidik juga. Tapi kebulatan
tekadnya untuk dapat menjalani penyempurnaan ilmu
kesaktian agar dapat mengenyahkan iblis jahanam Begal
Ireng, membuatnya tidak begitu peduli terhadap kengerian
yang sebentar-sebentar memberon-tak.
Mulailah Andika menenangkan dirinya. Seluruh
perhatian dipusatkan pada matanya. Pada taraf puncak
pemusatan pikirannya, hingga merasa dirinya benar-benar
kosong, barulah ia mulai menggerakkan kakinya kembali.
Perlahan-lahan tubuhnya keluar dari celah, dan mulai
menjejakkan kaki di permukaan lembah yang dipenuhi
batu-batu tersusun rata dan teratur.
Pada celah antara dua batu itu, Andika menjejakkan
kaki untuk melangkah. Pada langkah ketiga, satu
sambaran berkelebat dari arah depan.
"Uts!"
Namun dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh,
Andika bisa menghindari, meski harus mundur dua langkah
ke belakang. Kembali Andika mulai melangkah. Kali ini, dia tidak
mau tanggung-tanggung. Dilangkahinya beberapa deret
batu untuk tiba pada satu sela batu. Baru saja kakinya
menjejak, satu lidah petir melesat dari arah samping,
mengarah kehagian kepalanya.
Srattt! Andika tidak mau lagi melangkah mundur, karena
berarti harus mengulangi melewati beberapa deret balu
yang kini sudah terlampaui. Maka....
"Hiaaat...!"
Andika langsung melenting, seraya meliukkan
tubuhnya. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tidak beru
bah pada deret batu itu.
Setombak demi setombak, Andika maju. Semakin
maju menuju goa di kejauhan sana, semakin gencar pula
sambaran-sambaran lidah petir ke arahnya. Sehingga, dia
harus begerak meliuk-liuk dalam satu gerakan aneh
Namun tiba-tiba datang sambaran kilat lagi, sebelum
Andika bersiap.
Srat! Glarrr! Satu sambaran ternyata tidak bisa dihindarinya lagi.
Tangannya yang terpentang seketika tersambar kilat.
Tangannya seketika terasa bagai ditempeli baja membara,
menghanguskan sebagian kulitnya. Bukan hanya itu,
seluruh bagian tubuhnya bagai disengat kekuatan yang
membuatnya merasa dipereteli sebagian demi sebagian.
Andika menjerit sejadi-jadinya, bersahutan dengan
petir yang terus saja menyalak di sekeliling lembah. Tanpa
menunggu lebih lama, kakinya dihentakkan penuh
kekuatan. Maka tubuhnya seketika berputaran beberapa
kali di udara dalam kesakitan yang masih mendera di
sekujur tubuhnya. Andika melenting mundur beberapa
langkah. Itu berarti dia gagal lagi. Anehnya, dalam keadaan
mundur seperti itu tak ada satu lidah petir pun yang
mengarah ke tubuhnya.
Masih dengan tubuh limbung, Andika berhasil
menjejakkan kaki di ujung celah yang tadi ditinggalkan.
Diperiksa segera tangannya. Ada bagian yang terpanggang
hangus. Kulit itu tersobek tanpa darah sedikit pun. Wajah
Andika meringis menahan pedih. Mulutnya sendiri
mengumpat kesal.
"Sompret! Baru saja beberapa tombak, aku sudah
seperti ini. Bagaimana lagi kalau sudah hampir tiba di goa
itu" Bisa-bisa aku sudah jadi kambing guling!" dengus
Andika. Tak lama kemudian, pemuda tanggung itu sudah
mencoba kembali. Untunglah, dia termasuk anak keras
kepala. Jadi, kata kapok tidak pernah mampir di benaknya.
Usahanya kali ini makin membuat Andika lebih
berhati-hati dan lebih memusatkan perhatian. Itu tak sia-
sia. Andika telah tiba di tengah-tengah lembah. Di sana,
makin menggila saja serangan dari kekuatan alam itu.
Semakin disambar bertubi-tubi, Andika semakin gesit
menggerakkan tubuhnya, membentuk gerakan demi
gerakan yang sudah tidak disadarinya lagi. Dan dia makin
terbiasa. "Hiaaat...!"
Gerakan pemuda itu makin mantap untuk berkelit dari
sambaran lidah petir. Bahkan gerakannya sampai terlihat
seperti menghilang karena begitu cepatnya. Dan ketika goa
yang ditujunya hampir dijangkau, tubuhnya jadi tidak
terlihat lagi, kecuali bersit-bersit lidah petir yang tak putus-
putus di kuti gelegarnya yang angkuh.
Teppp! "Fhuuuh...."
Andika membuang napas lega. Akhimya tiba juga dia
di muka goa tanpa harus jadi kambing guling.
Diperhatikannya rongga goa itu. Tampak remang di
dalamnya, dan hanya diterangi pelita-pelita kecil yang
kelihatannya dihidupi oleh gas alam. Goa itu nampak tidak
terlalu dalam. "Hm.... Ada kejutan apa lagi di dalamnya"!" tanya hati
Andika. Sejenak dia hanya mengusap-usap tangan yang
tersambar petir tadi. Masih terasa pedih.
Andika kembali melangkah. Kewaspadaan tetap
dijaga seperti saat melewati lembah di belakangnya.
Matanya bergerak ke sana kemari, menjaga setiap
kemungkinan yang bisa mencelakakan dirinya.
"Aku yakin, di sinilah Pendekar Lembah Kutukan yang
kesohor hingga sekarang ini menyembunyikan kitab jurus-
jurus saktinya," duga Andika yakin.
Tapi, belum ada sesuatu pun yang mencurigakan
meski dia sudah hampir tiba di ujung goa.
"Hm.... Kenapa goa ini tampaknya tidak menampakkan tanda-tanda kalau tempat ini berbahaya?"
tanya Andika lagi, dalam hati.
Keadaan itu tak berubah sampai Andika tiba di ujung
goa. Matanya lurus memandang sekeliling goa yang kini
melebar. Luasnya kira-kira seluas padepokan. Pelita-pelita
kecil menyala di pinggir-pinggirnya, membentuk lingkaran.
Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tepat di tengah ruang goa, tampak ada mata air yang luar
biasa jernihnya. Begitu jernihnya, hingga dasarnya jelas
terlihat. Di tepi mata air itu, tum-buh-tumbuhan menjalar
yang menyelimuti batuan di sekitarnya. Buahnya amat
mengundang selera. Merah ranum, mirip tomat.
"Pohon apa ini" Kalau tomat, aku jelas tahu...,"
gumam Andika lagi.
Mulut Andika berdecak-decak seperti kagum. Padahal,
dia tidak peduli pada sebentuk keindahan yang
terpampang di depan hidungnya. Dan mulutnya berdecak
karena kecewa. Tidak ada satu kitab pun yang terlihat di
tempat itu. "Huh! Mana jurus-jurus sakti seperti yang dikatakan
guru besar Naga Merah?" cibir Andika dengan wajah kecut.
Tubuhnya yang lemas, segera diletakkan di sebuah
batu yang menjorok keluar.
"Tapi, tak mungkin guru Naga Merah itu berbohong
padaku!" gumam pemuda itu setelah cukup lama duduk
merenung. Andika terus bertanya-tanya sendiri dalam hati.
"Kalaupun ada kitab jurus-jurus sakti itu, tak mungkin para
pendekar keturunan Pendekar Lembah Kutukan memiliki
jurus-jurus yang berbeda satu dengan yang lain," pikir
Andika lagi, ketika ingat penjelasan Purwasih dulu,
mengenai tokoh-tokoh keturunan Pendekar Lembah
Kutukan. Termasuk, Ki Panji Agung, orang tua yang datahg
dalam mimpinya. Dan mendadak saja Andika terlonjak.
Wajahnya memancarkan kesan kegembiraan teramat
sangat. "Kenapa aku jadi bodoh!" maki Andika dengan bibi
tersungging lebar.
Memang tidak ada kitab jurus-jurus sakti itu. Sampai
goa ini runtuh pun, kitab itu tak akan didapat! Jurus-jurus
sakti itu justru lahir dari setiap gerakan menghindar dari
serangan sambaran lidah petir! Dengan kata lain, setiap
pendekar keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang
mengalami penyempurnaan, dituntun oleh alam untuk
menciptakan jurus-jurus baru. Makanya, mereka memiliki
jurus-jurus yang berbeda satu dengan lain.
Dari duduknya yang tadi tak bergairah, Andika
langsung melompat-lompat tak beda dengan tingkah orang
kesetanan. "Yaaa...! Aku dapat! Aku dapat!" teriak Andika,
menggema ke seluruh ruangan goa.
Dua goa ini memang bukan tempat jurus-jurus itu
tersimpan. Di sini, bukan tempat penyempurnaan itu. Di
sini hanya tempat untuk beristirahat dan makan!
*** Enam purnama berlalu. Selama itu, di Lembah
Kutukan yang merupakan tempat bunuh diri selain bagi
pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan, seseorang
berkelebat dalam gencamya tukikan-tukikan lidah petir. Di
tempat itu, tidak bisa dibedakan antara siang dan malam.
Gelap dengan kerjap-kerjap petir yang datang bertubi-tubi.
Dari sanalah akan lahir seorang pendekar belia yang
akan menggemparkan seluruh napas dunia persilatan.
Anak muda tanggung yang akan muncul didahului oleh
cemoohan dan anggapan enteng. Kemudian, dia terus
membuat goncangan di dunia persilatan, lewat jurus-jurus
aneh yang telah berhasil diciptakannya sendiri dengan
tuntunan alam dan ketajaman otaknya.
Berkat keganjilan jurus-jurusnya, serta kesleboran
tingkahnya yang seringkali memaksa kawan tertawa atau
lawan menggeram jengkel, dia akan dikenal sebagai
Pendekar Slebor! Pendekar yang malang melintang dengan
seribu satu akal bulus!
*** Lalu, bagaimanakah rencana jahat Begal Ireng untuk
menggulingkan prabu" Apakah Andika akan benar-benar
mampu menandingi kesaktian tokoh nomor satu golongan
hitam itu"
Bagaimana dengan Purwasih alias Naga Merah"
Mengapa dia mencoba membunuh Andika" Lalu, kenapa
hal yang sebenarnya tentang perbedaan jurus-jurus tokoh
keturunan Pendekar Lembah Kutukan diceritakannya pada
Andika" Sehingga, anak muda tanggung itu mampu
memecahkan teka-teki di Lembah Kutukan" Benarkah dia
adalah orang kepercayaan prabu yang ditugaskan untuk
menyelidiki pemberontakan Begal Ireng"
Bagaimana nasib Ningrum" Benarkah dia telah mati
seperti yang dikatakan saudara kembarnya, Ningsih! Dan
bagaimana dengan kitab kayu milik Andika" Siapa yang
mencurinya"
Apakah kerahasiaan tempat Perguruan Naga Merah
dan Lembah Kutukan akan terbongkar oleh Begal Ireng
yang bertekad akan menghabisi seluruh keturunan
keluarga Pendekar Lembah Kutukan"
Lalu, siapakah orangtua Andika sesungguhnya"
Silakan simak kelanjutan pada episode: 'Dendam dan
Asmara SELESAI Membabat Kiyai Murtad 2 Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Suramnya Bayang Bayang 23