Dendam Dan Asmara 3
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara Bagian 3
itu, kami semua akan berembuk untuk mencari jalan keluar agar dapat menemukan si
pengkhianat. Kami tak segan-segan akan memancung kepalanya jika telah jelas
terbukti."
Prabu Bratasena mengangguk berwibawa, menyetujui ucapan Patih Ranggapati.
*** Taman Anjangsana keluarga istana temaram di
malam hari. Bunga beraneka warna tertunduk menikmati udara malam. Hanya bunga
sedap malam yang bermekaran, menebar keharuman ke seluruh taman.
Sejak Ningrum datang, Andika lebih sering bersamanya daripada bersama Purwasih.
Termasuk, malam ini. Mereka tampak asyik berbincang-bincang dalam siraman cahaya
purnama. "Aku dendam sekali pada gerombolan Begal Ireng, Andika," kata Ningrum.
"Aku tahu. Aku juga pernah merasa kehilangan, kan" Meski Perguruan Naga Merah
bukan keluarga-mu sendiri, tapi mereka sudah menjadi bagian dari dirimu. Begitu,
kan?" timpal Andika. Tapi, bukan berarti kau harus berbuat bodoh dengan
mendatangi gerombolan itu untuk menuntut balas. Serahkan semuanya pada Yang Maha
Kuasa. Kalau kita tak mampu menuntut keadilan dari orang-orang yang telah
merampas sesuatu yang kita cintai, Tuhan tak akan mengharuskan kita. Berbuatlah
hal-hal yang bisa diperbuat, sebatas kemampuanmu."
"Tapi aku tidak bisa begitu saja melupakan pem-bantaian mereka terhadap orang-
orang yang kucintai.
Bagaimana mereka menghabisi guru, dan saudara seperguruanku," ucap Ningrum penuh
desakan dendam. "Aku ingin melihat mereka mati di tanganku, Andika."
"Ssst... ssst!" Andika menggeleng-gelengkan kepala, mencoba untuk meredupkan
kemarahan Ningrum dengan lembut. "Aku tidak mau kehilangan-mu. Kalau kau berbuat
nekat, maka hidupku akan
seperti neraka...."
Andika langsung meraih bahu Ningrum, lalu mengajaknya berjalan ke ruang
kehormatan yang bersebelahan dengan Taman Anjangsana keluarga raja. Dan saat
kaki mereka melangkah beriringan, mendadak Andika memperdengarkan tawa kecil.
"Kenapa tertawa?" tanya Ningrum, heran.
"Aku hanya teringat kenekatanku dulu, sewaktu ingin membunuh Begal Ireng di Desa
Banyu Gerabak. Saat itu, aku juga tak memikirkan apa-apa, kecuali membunuh keparat itu.
Sekarang, bisa-bisanya aku menasihatimu. Aku merasa diriku mendadak menjadi
orang bijak karbitan," kata Andika, seraya tertawa lagi.
Ningrum tak juga terikut keriangannya.
"Ayolah, Ningrum.... Kenapa tidak tertawa sedikit saja untukku?" bujuk Andika.
"Kalaupun tawamu sejelek cengiran kuda, aku tetap bahagia...."
Kali ini Ningrum tampak memperlihatkan senyum kecil.
Kini mereka sampai di dalam ruang kehormatan.
Sambil tetap bergandengan, mata keduanya memperhatikan lukisan-lukisan yang
terpajang di dinding ruangan.
Ketika mata Andika tertumbuk pada satu lukisan keluarga kerajaan, mendadak
keningnya berkerut rapat. Alisnya yang legam menukik, turut bertaut.
Wajah lelaki tua dalam lukisan itu seperti dikenalinya.
Dan tiba-tiba pula tangannya dilepas dari bahu Ningrum.
"Kau tunggu di sini sebentar, Ningrum...," ujar Andika terburu.
"Kau mau ke mana, Andika?"
Tapi Andika sudah melesat, melalui pintu keluar.
7 "Purwasih! Dari mana saja kau" Aku mencari-cari kau ke mana-mana!" Andika datang
tergesa-gesa. Pemuda itu memang tengah mencari-cari Purwasih yang menghilang entah ke mana
setelah melihat Andika dan Ningrum selalu berdua. Dan ternyata gadis itu tengah
berdiri di halaman istana. Entah, apa yang diperbuatnya.
Sementara, orang yang dipanggil tampak tak peduli dan terus mematung.
Pandangannya menerawang ke arah bintang-bintang yang saling menger-dip.
"Aku harus bicara padamu," kata Andika setelah berada di sisinya.
Purwasih tetap tak peduli. Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu. Andika
berusaha menduga-duga, tapi tak dilanjutkannya. Masalahnya, ada hal yang lebih
penting yang harus disampaikan pada Purwasih.
"Kau kemasukan setan pusing, ya" Aku ingin bicara denganmu, Purwasih. Ada hal
penting yang mesti kutanyakan!" seru Andika persis di telinga Purwasih.
"Aku tak mau bicara denganmu!" dengus
Purwasih, ketus. Dan hal ini membuat Andika menggaruk-garuk kepala tak mengerti.
"Kenapa kau jadi aneh begitu" Apa tindakanku salah?"
"Apa pedulimu"!"
"Wah, tambah gawat...," gumam Andika.
Kembali tangan pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Sungguh-sungguh
sulit dimengerti perubahan sikap Purwasih yang tiba-tiba ini.
"Apa sikapmu yang panas seperti kotoran kerbau ini karena kedatangan Ningrum?"
duga Andika asal bunyi.
Purwasih tak menjawab, dan hanya sibuk menyembunyikan wajahnya yang mendadak
memerah. Pertanyaan Andika barusan rupanya tepat mengusik sudut hatinya. Memang,
kecemburuannya pada Ningrum membuatnya merasa dibuang oleh pemuda itu. Dia
sendiri sering bertanya pada diri sendiri,
"Kenapa harus mencintai seseorang yang usianya jauh di bawahnya" Andika berusia
delapan belas tahun. Sedangkan dirinya berusia dua puluh sembilan tahun. Apakah
itu pantas?"
Pantas tidak pantas, hati Purwasih tetap mengakui kalau pribadi Andika
membuatnya terjatuh dalam kubangan cinta yang ganjil. Ya! Ganjil karena
mencintai pemuda yang usianya terpaut jauh. Tapi, bukankah cinta tak mengenal
kata ganjil" Karena, cinta itu sendiri pun aneh. Bisa datang tiba-tiba, dan
menimpa siapa saja.
"Apakah aku sungguh-sungguh mencintai pemuda ini?" keluh gadis itu dalam hati.
Terkadang Ningrum memang bersikap seperti remaja belasan tahun ketika bersama
Andika. Apakah itu tanda cintanya pada Andika"
"Ah, aku bingung...," desah Purwasih, tak sabar.
Pemuda tampan di sisinya yang menangkap
gumaman tadi langsung saja mengernyitkan keningnya.
"Mestinya aku yang bilang begitu! Apa kita memang sama-sama bingung" Daripada
kau bingung dan aku bingung, lalu kita seperti orang yang ber-lomba bingung, ah...! Kenapa
omonganku malah jadi bikin bingung! Pokoknya kau mesti ikut aku!" ujar Andika.
Lantas tangan Purwasih ditarik Andika. Tak peduli apakah nanti wanita itu akan
mengamuk. "Mau dibawa ke mana aku?" jerit Purwasih
jengkel. "Yang pasti tidak ke kamar!"
"Kunyuk jorok!"
"Hua ha ha...!"
Dengan langkah terseret-seret, Purwasih mengikuti Andika. Dan tak lama keduanya
sampai di ruang kehormatan. Di tempat itu, Ningrum masih menunggu kedatangan
Andika. Dan melihat pemuda yang ditunggunya telah datang terburu-buru bersama
Purwasih. Ningrum jadi agak heran. Apalagi Andika menarik pergelangan tangan
Purwasih yang tampak sewot.
Tanpa mempedulikan Ningrum yang terpaku.
Andika langsung menarik Purwasih ke tempat lukisan yang menarik perhatiannya.
"Kau tahu, siapa orang dalam lukisan ini?" tanya Andika pada Purwasih.
"Ada perlu apa kau bertanya tentang lukisan itu?"
Purwasih malah balik bertanya. Suaranya terdengar makin ketus, saat melihat
Ningrum juga berdiri di ruang ini.
"Ini penting, Purwasih!" tegas Andika sungguh-sungguh.
Namun. Purwasih malah menatapnya tajam.
"Baik..., baik. Aku memang suka konyol, suka bergurau keterlaluan. Tapi, kali
ini aku tidak main-main, Purwasih!" ujar Andika lagi.
"Kenapa aku harus mempercayaimu?" cibir
Purwasih. Pandangan gadis itu dibuang ke arah lain. Dan ini membuat Andika digelayuti
kejengkelan, yang terasa sekali di tenggorokannya.
"Kalau aku bilang ini menyangkut kepentingan negeri Alengka, berkaitan dengan
pemberontakan Begal Ireng dan gerombolannya, kau mau percaya?"
desah Andika agak kasar.
Sekali lagi, mata lentik Purwasih menghujam manik-manik mata pemuda itu. Kalau
tadi binarnya diwarnai kejengkelan, kini binar matanya memperlihatkan
keterkejutan. "Kenapa kau menatapku seperti melihat naga gondrong" Cepat katakan padaku, siapa
orang dalam lukisan ini?" hardik Andika, tidak sabar.
"Lelaki tua itu bernama Saptacakra. Dia adik buyutku, raja keturunan kesembilan
Kerajaan Alengka," jawab Purwasih, akhirnya. "Sekarang jelaskan padaku, ada apa
sebenarnya?"
"Yah! Sudah kuduga!"
Bukannya menjawab pertanyaan Purwasih, Andika malah berteriak seperti orang
edan! Tangannya ter-kepal keras seraya meninju angin. Saat itu, dia teringat
pada lelaki tua di Lembah Kutukan.
"Kau menduga apa"!" tanya Purwasih, penasaran.
Ningrum pun melangkah mendekati keduanya.
Gadis itu ikut tertarik mendengar pembicaraan Andika dan Purwasih. Kemudian dia
berdiri di sisi kanan Andika.
"Kau ingat pembicaraan kita dulu" Kau bilang padaku, Begal Ireng sebenarnya
memiliki kekuatan yang cukup untuk menyerbu ke istana ini. Tapi, itu tak
dilakukannya. Kenapa hal itu terjadi...?" tanya Andika.
Ucapannya dihentikan, membuat Purwasih makin penasaran setengah mati.
"Kenapa"!" desak Purwasih sengit.
"Karena tujuan Begal Ireng sebenarnya hanya ingin membunuh ayahmu, Prabu
Bratasena," jawab Andika, sambil menatap Purwasih dengan ekor mata yang naik ke
atas kelopak mata.
Purwasih kontan menautkan alis. Gadis cantik itu masih belum menangkap maksud
Andika. "Kenapa tak dijelaskan secara gamblang, Andika!
Jangan buat Purwasih mati berdiri karena
penasaran!" timpal Ningrum.
"Baik..., baik. Kenapa kalian jadi kelewat tolol, sih?"
"Aku bukan tolol! Aku hanya tidak tahu, apa yang kau maksudkan!" selak Purwasih,
tersinggung oleh ucapan Andika yang asal bunyi.
Andika cengar-cengir seraya mengangkat-angkat kedua alisnya yang lebat.
"Iya, ya. Mana ada putri raja yang tolol?" ejek pemuda itu.
"Diam! Jelaskan saja padaku!" bentak Purwasih.
Wajahnya merah padam, seperti baru dipanggang.
"Ki Saptacakra yang kau kenal sebagai paman buyutmu, sebenarnya adalah Pendekar
Lembah Kutukan. Rupanya, beliau memilih untuk hidup di antara rakyat, daripada
di dalam kemewahan istana.
Lalu, dia menuntut kesaktian agar dapat melindungi rakyat dari angkara murka,"
urai Andika. "Dari mana kau tahu?" tanya Purwasih, heran.
Andika memelototi Purwasih. Memang pertanyaan wanita itu terdengar seperti tidak
mempercayai keterangannya.
"Aku pernah bertemu langsung dengan beliau!"
tukas Andika. "Jangan ngigau! Pendekar Lembah Kutukan lebih dari seratus tahun yang lalu.
Kisah kependekarannya pun tinggal menjadi cerita rakyat. Bagaimana mungkin dia
masih hidup?"
Andika tambah dongkol. Dibukanya ikatan kain bercorak catur dari lehernya.
"Ini buktinya! Aku dapat kain ini dari tempat bersemadi beliau!" tegas Andika
ngotot, sampai urat lehernya tertarik.
Tangan Purwasih menyambar kain yang dipegang Andika.
"Kain lusuh ini" Di pasar bisa didapat dengan harga amat murah!" cemooh
Purwasih. Lalu sepasang tangannya bergerak hendak mengoyak kain itu.
"Hey, jangan! Itu kain tanda mata milikku dari Lembah Kutukan!" cegah Andika.
Tapi, tangan Purwasih sudah telanjur bergerak.
Dan.... Kain itu ternyata tidak terkoyak! Sekali lagi Purwasih merentangkannya kuat-
kuat. Tapi, tetap juga kain di tangannya tidak terkoyak. Bahkan ketika mencoba
mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghancurkan benda itu, tetap saja hasilnya
nihil. Purwasih jadi kesal. Pedang besar dikeluarkannya dari punggung. Lalu, kain yang
terpegang di tangan kiri dilemparkannya ke udara. Dan sebentar saja, tangannya
sudah membabatkan pedangnya ke arah kain itu.
Wut! Wut! Wut! Andika dan Ningrum melihat, bagaimana pedang itu membabat kain bercorak catur
milik Andika beberapa kali. Tapi, apa yang terjadi"
Kain itu hanya melayang ringan, lalu jatuh terkulai
di lantai tanpa cacat sedikit pun. Tentu saja mata Andika dan Ningrum jadi
terbelalak lebar menyaksikan kenyataan itu. Lebih-lebih Purwasih.
"Jadi tanpa sengaja, aku telah membawa kain pusaka Lembah Kutukan?" desis
Andika. Wajahnya masih terlolong, disarati kesan keterkejutan.
"Sekarang aku baru percaya," ujar Purwasih lemah dan menyerah.
"Jadi, apa kaitannya Begal Ireng dengan Prabu Bratasena, Andika?" tanya Ningrum
saat Andika memungut kain miliknya.
Andika tidak menjawab. Matanya masih me-
melototi kain gombal di tangannya. Sementara. dari mulutnya terdengar decakan
beberapa kali. "Cepat jawab, Andika! Bukankah kau bilang ini adaah persoalan keselamatan negeri
ini"!" omel Purwasih.
Andika tetap mematung. Sepertinya pemuda di sisinya kehilangan akal. Namun,
Purwasih tidak peduli. Asal Andika bisa menjelaskan hubungan antara
pemberontakan Begal Ireng dengan ayahnya.
Tapi, pemuda konyol itu terlihat lebih bodoh dari orang yang kehilangan akal.
Itulah yang membuatnya jadi mangkel. Maka tiba-tiba saja Purwasih menggunakan
tangannya yang masih memegang pedang.
Dan.... Tak! Gagang pedang Purwasih mendarat gemas di
kening Andika. "Aouw!"
"Cepat katakan, atau kau kupukul lagi!" ancam Purwasih, setengah berteriak.
"Jangan berteriak-teriak, aku tidak tuli! Baik, akan kujelaskan. Ayahmu, Prabu
Bratasena, hendak
dibunuh Begal Ireng karena termasuk keluarga Ki Saptacakra. Atau...."
"Cucu dari saudara Ki Saptacakra!" duga Ningrum.
"Pintar! Begal Ireng sebenarnya tidak sungguh-sungguh bermaksud merebut
kekuasaan Prabu Bratasena. Kepentingannya hanyalah melenyapkan seluruh garis
keturunan Pendekar Lembah Kutukan.
Dia begitu dendam pada Ki Panji Agung yang telah menggagalkan rencananya saat
pertama kali hendak merebut kekuasaan prabu." (Mengenai Ki Panji Agung, lihat
kembali episode: 'Lembah Kutukan').
"Jadi, kali ini rencananya untuk merebut
kekuasaan hanya sebagai topeng untuk menutupi niat sesungguhnya?" tanya
Purwasih, ingin memastikan.
"Ya! Kalau dia sungguh-sungguh ingin merebut kekuasaan Prabu Bratasena, tentu
sudah mengerahkan seluruh kekuatannya yang mampu meng-
hancurkan kerajaan ini. Dan dia hanya menunggu kesempatan yang tepat untuk
membunuh ayahmu.
Dengan begitu, kekuatan gerombolannya bisa tetap terjaga," jelas Andika lagi.
"Ya..., ya. Tanpa meruntuhkan kerajaan ini, Begal Ireng pun sebenarnya sudah
lebih berkuasa daripada Prabu Bratasena. Tokoh aliran sesat yang dikumpul-kannya
begitu banyak. Sehingga, kekuatan
gerombolannya bisa jadi lebih hebat daripada seluruh pasukan tempur istana,"
selak Ningrum. "Lalu, bagaimana dia tahu kalau ada kesempatan yang tepat untuk membunuh
ayahku?" tanya
Purwasih, cemas.
"Kau tidak ingat pengkhianat kerajaan ini" Tentu orang itu yang akan
memberitahukan, kapan bajingan Begal Ireng dapat menghabisi Prabu Bratasena
tanpa membuang-buang nyawa pasukannya," jawab Andika pasti.
"Oh, Tuhan...," desah Purwasih bergetar.
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hati gadis itu langsung didera lecutan kekhawatiran terhadap keselamatan
ayahnya. "Aku takut, ayahku akan terbunuh, Andika," desah gadis itu lirih, nyaris
terisak. "Jangan cengeng! Apa kau lupa dengan julukan si Naga Wanita yang disegani?"
bentak Andika, tidak sungguh-sungguh.
Pemuda itu sebenarnya hanya ingin menekan kekhawatiran yang berlebihan pada diri
wanita itu. Andika sendiri dapat maklum kalau Purwasih seperti itu. Biar bagaimanapun dia
tetap tak lepas dari kodratnya sebagai seorang wanita yang berhati halus dan
peka. Apalagi, ini menyangkut orang yang paling dicintainya.
"Jangan khawatir, aku punya rencana bagus. Kalau Tuhan mengizinkan, kita akan
segera menumpas Begal Ireng keparat itu." janji Andika pada Purwasih, sambil
menepuk-nepuk pipinya yang halus.
*** Malam makin terlelap kegelapan. Bulan sepotong masih menebar cahaya temaram,
meski telah condong sepenggalan. Di kamarnya, Andika tidak bisa memicingkan mata
sedikit pun. Pikirannya masih terseret pada rencananya untuk menumpas Begal
Ireng, biang kekacauan negeri.
Dari rebahnya, Andika bangkit. Sedikit udara segar memang diperlukan untuk
menenangkan pikirannya.
Perlahan kakinya berjalan menuju pintu. Perlahan pula dikuaknya pintu kamar,
lalu kembali melangkah
keluar. Dari serambi kamarnya di Istana Kerajaan Alengka, Andika bisa melihat jelas
Taman Anjangsana keluarga istana, serta bagian lain. Tapi matanya lebih suka
memperhatikan bintang yang bertaburan di langit lepas. Keindahan alam tak
mungkin ditandingi oleh karya manusia mana pun! Kemegahan langit yang dihampar
Tuhan, seakan mengingatkan tentang kelemahan manusia. Tentang ketidakberdayaan
manusia, dan tentang kekerdilan manusia dibanding kekuasaanNya.
Ingat ketidakberdayaan manusia, Andika tiba-tiba teringat kembali pada asal-usul
dirinya. Banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai dirinya sendiri.
Meskipun beberapa saat lalu Andika telah mengetahui kalau buyutnya yang bernama
Ki Saptacakra, adalah seorang keluarga istana, bukan berarti bisa mengetahui
pasti siapa orangtuanya.
Silsilah keluarga istana pada keturunan kesembilan ternyata tidak lengkap. Dalam
buku riwayat keluarga kerajaan di perpustakaan istana, keturunan Ki Saptacakra
memang tidak tercantum di dalamnya.
Ya! Andika merasakan ketidakberdayaannya untuk menemukan orangtua yang selama
ini dirindukan.
Juga tentang penyebab, kenapa dirinya dibuang di pinggir hutan (baca serial
Pendekar Slebor, dalan episode: 'Lembah Kutukan'). Hatinya hanya bisa berharap
pada Tuhan, agar dirinya dipertemukan kembali. Tanpa pertolonganNya, Andika
memang tidak mampu berbuat apa-apa.
Lama Andika memperhatikan tanda berbentuk bintang berwarna merah di tangan
kanannya yang didapat sejak lahir. Mudah-mudahan Tuhan akan menjadikan tanda ini
menjadi satu titik terang untuk
menemukan mereka, seperti bintang yang menunjuk-kan arah bagi nahkoda kapal
dalam malam gelap.
Lalu matanya kembali menatap kerlip bintang yang tetap bercahaya selama berjuta
tahun. Ditariknya napas dalam-dalam, seakan hendak memuji secara tak langsung ke
hadapan Yang Maha Kuasa. "Memang bodoh sekali manusia yang
menyombongkan kekuasaan yang hakikatnya hanya bernilai setitik debu di luasnya
alam semesta!" bisik hatinya.
Di saat hatinya terhanyut dalam renungan yang dalam, tiba-tiba saja perhatiannya
teralih pada sesosok bayangan yang mengendap-endap di atas istana. Dari
kejauhan, Andika bisa melihat orang itu mengenakan caping lebar. Sinar bulan
yang cukup terang juga membuatnya bisa mengenali warna pakaian orang di atap
itu. "Heh"! Itu orang yang telah membokong Patih Ranggapati di hutan cemara...,"
bisik Andika, setelah mengenali pakaian merah darah orang yang mengendap-endap.
"Mau apa dia menyantroni istana" Mau cari koreng?"
Dalam sekejap, tubuh pemuda yang telah dijuluki Pendekar Slebor itu sudah berada
di atap istana. Kali ini, orang itu tidak akan dibiarkan lolos begitu saja.
Andika menduga, dia adalah kaki tangan Begal Ireng.
Dengan menangkapnya, barangkali bisa mengorek keterangan tentang gerombolan
pemberontak itu.
"Bakikuk!" seru Andika ketika tubuhnya sudah berdiri tepat di belakang orang
yang dicurigainya.
Tentu saja orang bercaping menjadi tersentak.
Tubuhnya langsung berbalik, seraya memasang kuda-kuda sigap. Tapi Andika sudah
raib entah ke mana.
Sesaat orang itu hanya terpaku, seperti tidak
mempercayai pendengarannya.
"Bakikuk!" seru Andika lagi.
Tubuh Pendekar Slebor sudah berdiri di belakang orang bercaping. Sudah pasti
kecepatan seperti itu sangat sulit dilakukan orang berkepandaian tanggung.
Dan sekali lagi orang bercaping itu bergerak cepat berbalik. Dan sekali lagi dia
terkecoh. Matanya ternyata tidak menemukan seorang pun.
"Keparat," desis orang itu, setelah mengetahui ada seseorang yang sedang
mempermainkannya.
"Bakikuknya sekarang pakai jurus 'Ular Iseng Menotok Babi'," ucap seseorang di
belakang orang bercaping itu.
Belum sempat tubuh orang bercaping bergeming, sebuah totokan sudah mendarat di
bagian punggungnya. Tuk!
Tubuh orang bercaping itu kontan terkulai lemas, tanpa sempat menghindar. Dan
sebelum orang itu menyentuh tanah, Andika cepat menyambarnya.
"Wah! Rupanya kau sudah mengantuk berat, ya"
Apa kau mabuk" Kapan minumnya" Kemarin?" oceh Pendekar Slebor, saat memanggul
tubuh orang bercaping dengan senyum lebar di bibirnya.
Secepat bayangan setan, tubuh Pendekar Slebor berkelebat. Orang itu memang akan
dibawanya ke kamar, agar bisa dipaksa bicara. Mudah-mudahan dia termasuk orang
yang tidak pelit dengan keterangan.
"Nah, sekarang kau boleh beristirahat di sini...,"
kata Andika sesampai di kamar. Lalu....
Buk! Tubuh orang bercaping menggeloso di lantai kamar. Andika rupanya berusaha
bersikap sekasar mungkin pada orang yang telah membokong Patih
Ranggapati waktu itu. Buktinya, tubuh itu dilempar begitu saja ke lantai.
"Aku cukup ramah, bukan" Tapi kalau memasuki kamar orang lain, harus membuka
capingmu...," kata Pendekar Slebor.
Setelah itu, tangan Andika menyambar caping lebar tawanannya.
"Setan buntung gantung diri!" seru Andika.
Mata Pendekar Slebor langsung terbelalak lebar saat melihat wajah orang itu.
"Ningrum...?" desis Andika, nyaris tak percaya.
Ningrum hanya bisa menatap Andika. Sebenarnya, dia bisa bicara. Tapi karena
kartunya sudah terbuka, mulutnya jadi malas berkata-kata.
"Apa-apaan kau ini"!" gerutu Andika.
Segera dibebaskannya totokan di tubuh Ningrum.
Dan gadis itu segera bangkit. Tangannya memegangi pinggangnya yang terasa
berdenyut-denyut nyeri akibat menghantam lantai kamar. Dan bibirnya juga
meringis-ringis.
"Jadi, kau yang menyerang Patih Ranggapati waktu itu?" tanya Andika.
Ningrum hanya menyembunyikan wajah ayunya dengan kepala yang tertunduk. Memang,
gadis itulah yang telah membokong Patih Ranggapati dengan pisau-pisau terbang
saat Andika, Purwasih, Bayureksa, dan Patih Ranggapati menembus hutan cemara di
atas bukit. "O, bagus!" rutuk Andika. "Kau telah menyerang pembesar istana. Itu tindakan
bagus! Kau tahu artinya itu" Kalau ketahuan, kau bisa dianggap bersekongkol
dengan gerombolan Begal Ireng!"
"Tapi Andika...!"
"Tapi apa"! Aku tidak mengerti, apa maumu
sebenarnya!" potong Pendekar Slebor.
"Kau akan mengerti kalau memberiku kesempatan bicara!"
Andika melotot, lalu membanting caping di tangannya keras-keras.
"Baik, bicaralah! Tapi, ingat. Kalau kau mengarang cerita yang bukan-bukan, aku
tak segan-segan menyerahkanmu pada Patih Ranggapati supaya bisa menerima
hukumanmu!" ancam Andika, sungguh-sungguh.
Dalam hal menegakkan keadilan, Pendekar Slebor tidak mau pandang bulu. Meski
yang harus menerima hukuman adalah orang yang amat dicintai. Selama orang itu
memang terbukti bersalah, Andika tak peduli.
Sebelum mulai bicara, Ningrum menarik napas beberapa kali. Seakan, dia hendak
mempersiapkan sesuatu yang hendak didorong tenggorokannya.
"Sejak Begal Ireng dan gerombolannya membantai perguruanku, aku menyimpan dendam
yang tak dapat kukuasai lagi. Lalu, aku bertekad menuntut balas.
Untuk muncul terang-terangan, aku takut kaki tangan Begal Ireng mengenali.
Bahkan bisa-bisa mereka menangkapku untuk dijadikan sandera, agar kau
menyerahkan diri pada Begal Ireng. Maka itu, aku menyamar dengan pakaian lelaki
dan caping lebar ini.
Sengaja senjata kipasku tak kugunakan dengan alasan tadi. Sebagai gantinya,
kugunakan pisau-pisau kecil sebagai senjataku," jelas Ningrum.
"Tapi bagaimana kalau tokoh-tokoh golongan hitam yang bergabung dengan Begal
Ireng menangkap, kemudian menyerahkan dirimu pada pemimpin mereka" Bukankah Begal
Ireng sudah mengenalimu" Kalau sudah begitu, kau tetap akan
dijadikan sandera!" penggal Andika keras.
Pendekar Slebor bukan takut menghadapi tokoh aliran sesat itu, tapi hanya
khawatir keselamatan Ningrum.
Ningrum kembali menancapkan pandangan ke
lantai kamar. Mulutnya membisu, seperti juga lantai kamar yang ditatapnya. Dalam
hati diakui kebenaran ucapan Andika barusan. Betapa bodohnya dia, hanya
mengikuti gejolak dendam tanpa berpikir panjang!
"Lalu, kenapa kau menyerang Patih Ranggapati?"
cukil Andika kembali.
"Pembesar itu berkhianat, Andika. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri,
dia sedang mengadakan pertemuan rahasia bersama seorang kaki tangan Begal Ireng.
Aku mengenal kaki tangan Begal Ireng, karena dia juga ikut membantai Perguruan
Naga Merah...."
"Astaga...," desis Andika.
*** "Purwasih! Kau tahu, siapa yang berkhianat dalam kerajaan ini?" tanya Andika
berbisik, ketika menemukan Purwasih sedang melatih jurus-jurus silat di halaman
istana. Saat itu matahari tidak begitu ganas, karena memang belum lama lagi.
Purwasih langsung menghentikan gerakan. Tanpa memasukkan pedang ke sarungnya
kembali, ditatapnya Andika penuh keingintahuan.
"Siapa?" tanya gadis itu.
"Patih Ranggapati...," jawab Andika hati-hati.
"Ha ha ha...."
Wanita itu mendadak tertawa keras-keras. Tentu saja Andika jadi kelimpungan
menahan suara tawa
yang begitu keras-.
"Ssst! Gila, kau! Bisa dicurigai pengkhianat itu!"
Pendekar Slebor memperingatkan.
"Kau yang gila, Andika. Aku kenal betul lelaki itu.
Dia sudah seperti pamanku sendiri. Itu sebabnya, kenapa dia memanggilku Purwasih
saja, tanpa embel-embel tuan putri yang memuakkan itu," tukas Purwasih, dan
hendak melanjutkan latihannya.
"Hey! Aku sedang tidak ingin bercanda!" tegas Andika dengan wajah sungguh-
sungguh. "Kau sungguh-sungguh?" tanya Purwasih seraya menatap lelaki di depannya lekat-
lekat. "Ningrum yang menyaksikan Patih Ranggapati sedang mengadakan pertemuan rahasia
bersama seorang kaki tangan Begal Ireng...."
Secara singkat, Andika menguraikan cerita tentang Ningrum pada Purwasih.
"Ah! Rasanya sulit sekali kupercayai berita ini, Andika," desah Purwasih setelah
Andika selesai bicara.
"Tapi, begitulah kenyataannya."
"Tapi Patih Ranggapati sudah seperti keluargaku sendiri!" ucap Purwasih tak mau
kalah. "Aku yakin, pernah terjadi bentrokan antara ayahmu dengan lelaki itu," duga
Pendekar Slebor.
Lama mata Purwasih terhujam pada dinding
benteng istana. Tampaknya dia sedang diusik sesuatu yang tersembul di benaknya.
Beberapa kali wanita itu menghempas napas galau.
"Kau ingat sesuatu, Purwasih?" usik Andika.
"Ya. Patih Ranggapati memang pernah ber-
sengketa dengan ayahku. Dia mencintai seorang wanita bernama Tanjungsari.
Bertahun-tahun wanita itu berusaha untuk diperistrinya, tapi tidak berhasil.
Dan wanita itu malah terpincut pada ayahku, sampai akhirnya keduanya
menikah...," cerita Purwasih.
Matanya tetap menerawang jauh.
"Wanita itu ibumu?" Purwasih mengangguk lamat.
Jelas sudah bagi Andika, alasan Patih Ranggapati berkhianat pada Kerajaan
Alengka... *** 8 Pagi baru berlalu sekian saat. Sang Raja Siang merayap perlahan menuju
puncaknya. Panas terasa mulai tak bersahabat. Di sebuah jalan rumput yang
membelah padang luas, terlihat arak-arakan kecil.
Beberapa orang terlihat berjalan di belakang kereta kuda yang dihela seorang
kusir bertubuh ramping.
Empat orang di antaranya mengendarai kuda. Dua berada paling depan, sedangkan
sisanya berada di barisan paling belakang. Melihat dari bendera yang dibawa,
bisa ditebak kalau arak-arakan itu adalah rombongan kerajaan.
Dua hari yang lalu, Prabu Bratasena merencana-kan pergi untuk menemui raja dari
negeri tetangga yang akan bekerjasama dengannya memberantas gerombolan Begal
Ireng. Menurut Prabu Bratasena, raja negeri tetangga mulai merasa khawatir oleh
meluasnya kekuasaan Begal Ireng ke wilayahnya.
Makanya, dia mengirim pesan rahasia pada Prabu Bratasena untuk mengadakan
kerjasama. Tawaran itu tentu saja diterima gembira.
Agar kepergian ini tidak dicurigai mata-mata Begal Ireng, Prabu Bratasena
memerintah para prajurit pengawal untuk mengenakan pakaian biasa. Pakaian
kerajaan yang menandakan mereka sebagai prajurit istana harus ditanggalkan.
Sementara pembesar kerajaan yang ikut bersama rombongan adalah Mahapatih Guntur
Slaksa. Lima belas prajurit khusus serta tiga perwira istana langsung
dipimpinnya. Dan seorang perwira yang
menyertainya adalah Patih Ranggapati.
"Berjalanlah perlahan, agar kita tidak dicurigai!"
seru Prabu Bratasena dari dalam kereta kudanya yang tertutup. "Mudah-mudahan
pengkhianat kerajaan tidak mengetahui rencana kita."
Tapi, apa benar begitu"
*** Di ujung padang rumput yang dibatasi deretan bukit kecil, Begal Ireng bersama
beberapa orang pilihannya ternyata telah menunggu. Wajah pemimpin pemberontak
itu terlihat berapi-api, diberontaki hasrat membunuh. Bibirnya sesekali
menyeringai, seakan seekor serigala menunggu mangsa.
Lelaki itu berpakaian hitam-hitam, terbuat dari sutera. Wajahnya tampan dan
kelimis, namun berkesan amat dingin. Di bagian pinggangnya melilit sebuah cemeti
pusaka yang terbuat dari akar tumbuhan langka berduri tajam, seperti ekor ikan
pari. Dia duduk gagah di punggung kuda putihnya.
Di sisi kanan dan kirinya, berdiri dua lelaki tangan kanannya. Mereka adalah, si
Kembar dari Tiongkok yang berpenampilan serupa. Baik dari wajah, hingga pakaian
mereka. Kepala mereka juga sama-sama gundul, dan mata mereka juga sipit.
Ditambah oleh keadaan kulit yang kuning, sudah dapat diduga kalau keduanya
berasal dari daratan Tiongkok. Dan sebenarnya, si Kembar dari Tiongkok adalah
dua tokoh aliran sesat yang lari dari negerinya, karena menjadi buronan pihak
kerajaan di Tiongkok. Bekal mereka ke nusantara ini adalah ilmu bela diri yang
tinggi dan kekejaman.
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat lelaki lain tampak berdiri dengan wajah
tegang di belakang Begal Ireng. Mereka adalah tokoh sesat aliran hitam yang akan
membantu penyerangan Begal Ireng terhadap rombongan kerajaan.
Seperti juga Begal Ireng, keempat orang itu berpakaian hitam-hitam pula. Itu
memang salah satu ciri khas gerombolan pemberontak di bawah perintah Begal
Ireng. Dua orang yang tidak mengenakan pakaian hitam-hitam dalam gerombolan ini
hanyalah si Kembar dari Tiongkok. Mereka justru berpakaian putih-putih.
Di balik bebatuan besar di kaki bukit, ketujuh lelaki itu mengintai. Mata mereka
lepas ke padang rumput yang terhampar di depan. Dan ketika rombongan kerajaan
mulai terlihat seperti titik kecil di kejauhan, Begal Ireng mengangkat
tangannya. "Saat Bratasena keparat dan pasukannya tiba di celah bukit, kita habisi mereka. Ingat! Habisi! Jangan biarkan ada
yang tersisa!"
Si Kembar dari Tiongkok hanya mengangguk-
angguk lamat. Sedangkan empat lelaki lain menjawab dengan suara dingin dan
datar, seakan sedang menikmati gelora nafsu membunuh.
Sehari lalu, seorang kaki tangan Begal Ireng menyampaikan berita tentang
kepergian Prabu Bratasena yang didapat dari si pengkhianat. Tak heran kalau kini
mereka menghadang rombongan.
Sementara itu, rombongan kerajaan makin dekat menuju tempat persembunyian Begal
Ireng dan pengikutnya yang berjumlah enam orang itu. Dugaan Andika beberapa
waktu yang lalu memang tidak meleset. Begal Ireng memang tidak ingin membuang
nyawa pasukannya. Tujuan sebenarnya adalah membunuh Prabu Bratasena, yang
memiliki garis keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Dia tak akan
menyerang kerajaan secara langsung, dan hanya menunggu kesempatan yang baik
untuk menghabisi raja bijaksana itu.
Setombak demi setombak, rombongan kerajaan makin menghampiri perangkap yang
dipasang Begal Ireng. Saat mereka berada di celah antara dua bukit yang menjadi
jalan tembus, Begal Ireng dan kaki tangannya siap akan menyergap.
Saat itu, rombongan kerajaan sudah memasuki mulut celah bukit. Dan....
"Maju!" perintah Begal Ireng pada anak buahnya, penuh nafsu.
Seketika dari bebatuan besar yang menyembunyikan tubuh mereka, Begal Ireng dan
anak buahnya berhamburan keluar. Bersama si Kembar dari Tiongkok, dia menghadang
di depan. Sementara, empat anak buahnya yang lain menghadang di belakang.
Rombongan kerajaan kini benar-benar terjepit, tanpa dapat meloloskan diri lagi.
Bagaimana mereka bisa meloloskan diri kalau di sisi-sisi adalah tebing terjal
menjulang yang mustahil didaki. Sedangkan di depan dan di belakang mereka, musuh
sudah siap merencah.
Celah bukit sepi, maut yang akan menjemput.
Hanya desir angin yang meluncur di antara dinding cadas.
"Bratasena! Akhirnya kau akan menyusul
saudaramu Panji Agung ke dasar neraka!" seru Begal Ireng keras, namun dingin.
Tak ada perubahan sedikit pun di wajahnya. Sementara, anak rambut dan ujung
pakaiannya dipermainkan angin.
Tak ada jawaban dari pihak kerajaan.
"Bratasena! Apakah kau sudah siap untuk
menerima kematianmu. Atau, kau memang tuli?"
bentak Begal Ireng sekali lagi.
"Hua ha ha...!"
Kali ini, terdengar tanggapan dari kereta kuda.
Tapi hanya tawa.
"Kau pikir ini lucu, hah"!" bentak Begal Ireng kembali.
"Ya. Tapi aku tak tertawa karena ucapanmu. Aku hanya teringat pada syair Iagu.
Kau mau dengar"
Begini...." Kemudian dari dalam kereta kuda terdengar senandung berisi pantun.
"Debrut-brut-brut kentut kuda.
Bikin ngantuk sejuta angsa.
'Cecurut tua 'yang awet muda.
Mengira mampu berkuasa...?"
"Keparat!" hardik Begal Ireng. Memang, usia Begal Ireng sebenarnya hampir
mencapai sembilan puluh tahun, tapi karena menganut ilmu awet muda,
penampilannya masih tampak seperti lelaki berusia tiga puluhan.
Tanpa memerintah anak buahnya, Begal Ireng langsung meluruk ke arah kereta kuda.
Tentu saja ini sangat mengejutkan Mahapatih Guntur Slaksa. Maka lelaki itu
segera ikut melesat ke arah kereta kuda.
Namun sebelum Begal Ireng atau Mahapatih
Guntur Slaksa benar-benar sampai, tiba-tiba sesosok tubuh mencelat bagai
bayangan hantu. Setelah berputar beberapa kali di udara, orang yang melesat dari
kereta kerajaan itu menjejak persis setombak di depan Begal Ireng yang mendadak
menghentikan larinya.
"Bakikuk!" seru orang itu.
Ternyata, dia adalah Andika! Tentu saja Begal Ireng terkesiap. Matanya
terbelalak bagai kelereng.
Sungguh tak diduga. Ternyata orang yang berada dalam kereta kuda itu bukan Prabu
Bratasena. Memang, inilah rencana yang pernah dijanjikan Andika pada Purwasih. Dengan
rencananya ini, dia berhasil memancing Begal Ireng keluar dari sarang-nya.
Sengaja Andika mengatur agar Prabu Bratasena tampak sungguh-sungguh hendak me-
nemui raja negeri tetangga. Dan hal itu, lalu dibicarakan di depan para pembesar
kerajaan. Ternyata perhitungan Andika berjalan lancar. Rencana kepergian itu
buktinya bocor, sampai ke telinga Begal Ireng. Hanya saja, orang yang berada
dalam kereta sudah berganti.
Bukan Prabu Bratasena, tapi Andika sendiri.
Bukan hanya Begal Ireng yang terkejut. Mahapatih Guntur Slaksa pun demikian.
Bahkan telah melompat dari punggung kudanya, lalu melesat menuju kereta kuda.
Namun langkahnya dihentikan seperti halnya Begal Ireng. Bahkan dua perwira dan
lima belas prajurit kerajaan tadi membelalakkan mata. Apalagi, Patih Ranggapati.
Kenapa mereka bisa ikut terkecoh" Sekali lagi, ini akal bulus Pendekar Slebor
itu. Andika memang mengatur rapi, agar kusir kereta kuda digantikan Ningrum yang
mengenakan pakaian lelaki. Pada saat Prabu Bratasena sudah masuk ke dalam kereta
kuda di hadapan para pembesar istana, Andika men-jentikkan kerikil kecil ke
tubuh salah seekor kuda.
Akibatnya kuda itu langsung terkejut dan berlari sehingga ketiga kuda lain yang
mengikutinya. Ketika kuda berlari sekian langkah di dekat sebuah pohon besar, Andika segera
masuk ke dalam.
Sedangkan, Prabu Bratasena keluar dan bersembunyi di balik pohon besar itu.
Kejadian ini begitu cepat.
Sehingga, beberapa perwira yang memburu untuk menghentikan lari kuda tak sempat
melihatnya. "Wah wah wah...! Kenapa matamu melotot seperti orang banyak hutang, Begal
Ireng?" ejek Andika seraya memutar-mutar kain bercorak catur di depan dada,
seperti orang kepanasan.
"Kau..., ternyata kau belum mati?" kata Begal Ireng, geram.
"Aku selalu punya nyawa cadangan yang kusimpan dalam perutku. Kau mau lihat
nyawa cadanganku?"
ujar Andika acuh. "Nih...."
Truut... dut! Du... brot!
Andika mengeluarkan angin yang dikatakannya tadi sebagai nyawa cadangan. Dan
angin itu dikeluarkan melalui lubang pantatnya!
"Hebat, bukan?"
"Keparat!" geram Begal Ireng amat memuncak.
Mata tokoh hitam ini mendadak memerah.
Wajahnya pun terbakar kemurkaan. Karena dirinya telah dipermainkan anak muda bau
kencur berpakaian hitam pupus ini.
"Kali ini kau tak akan lolos lagi dari maut, Anak Babi!" umpat Begal Ireng.
"Tapi kalau aku lolos lagi, bisa jadi kau yang akan dijemput maut, Bapak Babi!"
timpal Andika, semakin membakar kemarahan lawannya.
Sampai di situ Begal Ireng tidak bisa lagi menahan kemurkaannya. Dengan satu
genjotan, tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Slebor. Di benaknya hanya terbayang
bagaimana anak muda kurus itu tergeletak menjadi mayat.
"Adouw, tidak kena!" teriak Andika seraya bergeser ke samping. Namun, kaki
kirinya yang masih tetap di tempat semula langsung menyapu kaki lawan.
Begal Ireng yang menyerang Andika dengan jurus
'Terkaman Naga', segera menghentak kakinya yang hendak disapu lawan. Tubuhnya
langsung melenting ke udara. Setelah berputar di udara beberapa kali, kakinya
kembali menjejak mantap di tanah. Dari sini bisa dilihat kehebatan ilmu
meringankan tubuhnya.
"Kau bertempur menggunakan jurus apa, Begal Ireng" Apakah nama jurus itu 'Kodok
Bisul Cari Makan'" Kalau begitu, aku harus menghadapimu dengan jurus 'Kupu-kupu
Bingung'," kata Andika, pendekar muda yang mendapat julukan Pendekar Slebor ini.
Tubuh tegap pemuda itu bergerak. Kain bercorak papan catur yang tergenggam di
tangannya terlihat dibentangkan. Sepasang kakinya melekuk keluar seperti seorang
yang menahan sakit perut. Lalu, tubuhnya mulai berputar-putar setengah terhuyung
dalam satu lingkaran kecil.
"Anak sinting cari mampus!" maki Begal Ireng ketika melihat lawannya mulai
mengejek kembali.
Serangan selanjutnya dilancarkan Begal Ireng, langsung memasuki jurus kesepuluh
'Terkaman Naga'. Di samping karena sudah menduga kalau lawannya telah menjalani
penyempurnaan, lelaki itu juga ingin secepatnya menyudahi pertarungan ini.
Sementara itu tanpa diduga Patih Ranggapati, dari kereta kuda meluncur seseorang
berpakaian merah menyala dengan kepala ditutup caping pelepah kelapa. Dan dia
tepat mendarat di depan Patih Ranggapati.
Memang, rupanya Andika tidak mau tanggung-
tanggung menjalankan rencananya untuk memancing pengkhianat Kerajaan Alengka.
Secara sembunyi-sembunyi, Purwasih disuruhnya untuk naik kereta, setelah diminta
untuk mengenakan pakaian Ningrum berikut capingnya.
Lagi-lagi semua orang di sekitar tempat itu menjadi terperanjat. Terlebih Patih
Ranggapati. Dan matanya jadi terbelalak untuk yang kedua kali!
"Kau terkejut, Paman Patih?" tanya Purwasih seraya membuka caping penutup
wajahnya. "Purwasih?" sahut Patih Ranggapati, tanpa sadar.
"Ya, aku Purwasih, putri Prabu Bratasena yang kau khianati. Aku juga seorang
yang menganggap kau adalah pamanku, tapi mulai saat ini dengan berat hati kau
kuanggap sebagai musuh negeri Alengka...."
"Purwasih! Apa-apaan kau ini"!" kata Patih Ranggapati, bergetar.
"Paman Guntur Slaksa, periksalah bahu kiri Patih Ranggapati! Sewaktu pulang
bersamaku dulu, dia mengatakan kalau luka di bahunya adalah akibat serangan
orang-orang Begal Ireng. Sesungguhnya, luka itu akibat sayatan Kipas Naga milik
Ningrum, yang kini menjadi kusir kereta kuda kita...," sambung Purwasih pada
Mahapatih Guntur Slaksa, tanpa mempedulikan keterkejutan Patih Ranggapati.
Rupanya, Purwasih sudah mulai mempercayai siasat yang diterapkan Andika, untuk
membuktikan keterlibatan Patih Ranggapati dalam menebar bencana di Kerajaan
Alengka. Lelaki tinggi besar bernama Mahapatih Guntur Slaksa menatap Patih Ranggapati
dengan sinar mata tidak percaya. Bagaimana mungkin orang yang selama ini dikenal
baik sebagai perwira kerajaan dengan kesetiaannya yang tak diragukan itu ber-
khianat" Namun mengingat yang memerintah adalah putri raja, mau tak mau
Mahapatih Guntur Slaksa mengabulkannya.
"Kemarilah, Patih Ranggapati!" ujar Mahapatih Guntur Slaksa.
Dia berusaha menjangkau pakaian Patih
Ranggapati untuk melihat bahu sebelah kirinya, tapi ternyata lelaki yang
dicurigai sebagai pengkhianat kerajaan ini menghindar cepat.
"Kenapa kau menghindar, Patih Ranggapati" Apa memang benar ucapan Tuan Putri
Purwasih kalau kau adalah pengkhianat kerajaan?" desis Mahapatih Guntur Slaksa
penuh tekanan. Melihat tindakan Patih Ranggapati, Purwasih makin yakin kalau laki-laki yang
selama ini sudah dianggap pamannya adalah seorang pengkhianat.
Pantas saja selama ini segala kegiatan kerajaan selalu bocor ke telinga Begal
Ireng. Dan kini, jelas pancingan Andika mengena.
Sementara Patih Ranggapati hanya menatap
Mahapatih Guntur Slaksa dengan wajah memerah.
Setapak demi setapak kudanya melangkah ke belakang seperti siap hendak melarikan
diri. "Tangkap pengkhianat itu, Paman Guntur Slaksa!"
seru Purwasih. "Hiaaa...!"
Tubuh Mahapatih Guntur Slaksa langsung
melenting tinggi ke arah Patih Ranggapati.
Sementara, orang yang diserang juga tidak tinggal diam. Dia juga langsung
melenting, memapak serangan Mahapatih Guntur Slaksa.
Kini kancah pertempuran makin hingar-bingar karena pertarungan meluas menjadi
beberapa bagian. Andika melawan Begal Ireng, Mahapatih
Guntur Slaksa dengan Patih Ranggapati, menyusul Purwasih dan Ningrum yang
menyerbu ke arah si Kembar dari Tiongkok. Sedangkan prajurit khusus kerajaan
menyerang empat kaki tangan Begal Ireng yang lain.
Sementara itu, pertempuran Andika melawan Begal Ireng makin sengit. Keduanya
bertukar jurus bertubi-tubi dalam satu kelebatan yang sulit ditangkap mata orang
awam. Berkali-kali Begal Ireng dibuat penasaran oleh jurus-jurus Pendekar Slebor
yang tampak seperti main-main. Dan setiap kali Begal Ireng melabrak, selalu saja
dapat dipatahkan Andika.
Sampai suatu saat....
Begal Ireng mencoba melepaskan tendangan
tipuan ke arah pinggang Pendekar Slebor. Dan begitu melihat lawannya menghindar
dengan melenting ke atas, Begal Ireng tak menyia-nyiakannya. Seketika tenaga
dalamnya kini digenjot. Lalu, tubuhnya melesat sambil melepaskan pukulan maut ke
arah Andika yang masih berputaran di udara.
Melihat serangan mendadak ini, Pendekar Slebor rupaya memang sudah menduga.
Dalam keadaan masih di udara, langsung dipapaknya serangan Begal Ireng dengan
tangan kanannya. Sehingga.... Plak!
Begitu kuat tenaga dalam yang dikerahkan
Pendekar Slebor, sehingga tangan kanannya yang tak tergoyah langsung meluruk
dengan jari-jari lurus ke arah dada Begal Ireng. Tak ada kesempatan bagi tokoh
hitam ini untuk menghindar. Apalagi, keseimbangannya cukup goyah akibat benturan
tangan tadi. Akibatnya.... Des!
Tak ayal lagi, dada Begal Ireng kontan terhantam jari-jari tangan kanan Andika
dengan telak. Tubuhnya terdorong deras, dan jatuh keras di tanah,
menimbulkan debu-debu yang berterbangan di sekitarnya. Bukan main terkejutnya
Begal Ireng menerima totokan jari Pendekar Slebor. Sambil menahan sesak luar
biasa, dia berusaha bangkit.
Sebenarnya jurus-jurus Pendekar Slebor memang sulit diduga. Bahkan seringkali
terlihat ngawur.
Namun akibat yang dihasilkannya sungguh sulit dipercaya. Padahal, benteng
pertahanan Begal Ireng selama ini tidak bisa ditembus oleh tokoh sakti mana pun.
Ki Panji Agung lawannya dulu pun harus bertempur lebih dari ratusan jurus untuk
bisa menembus pertahanannya. Tapi lawannya yang berusia belasan tahun ini mampu
membobol pertahanan Begal Ireng tak kurang dari tiga puluh jurus!
"Kenapa kaget" Sekarang kau baru berkenalan dengan Pendekar Slebor yang baru
turun gunung. Kau ingin lihat kekonyolanku" Lihatlah...."
Selesai berkata demikian, Andika melabrak lawan seperti orang gila yang sedang
mengamuk sejadi-jadinya. Sepasang tangannya mengebut kian kemari dengan telapak
dan jari tangan terbuka lebar-lebar.
Kakinya menendang-nendang kacau seperti seekor kuda liar. Sedangkan kepalanya
berputar-putar, sehingga rambutnya berantakan tak karuan.
"Hus... hus! Hus... hus!" Andika menggusah.
Seakan-akan menganggap Begal Ireng, tokoh sakti papan atas aliran hitam itu
sebagai ayam miliknya yang hendak digiring ke dalam kandang.
Begal Ireng menjadi kalang kabut menghadapi serangan ganjil lawannya. Selama
menjadi tokoh sakti, dia hanya berhadapan dengan lawan yang mengerahkan jurus-
jurus terarah. Tapi lawannya kali ini sungguh membingungkan. Serangan yang
dikira mengarah ke biji mata, ternyata menyempong ke biji
'terlarang'. Serangan yang mengarah ke ulu hati, ternyata meliuk ke ubun-ubun.
Gerakannya seperti daun kering tertiup angin, sewaktu-waktu dapat berubah arah
tanpa terduga! Itulah jurus 'Memapak Petir Membabibuta'! Jurus yang berhasil
dicipta-kannya dalam purnama kedua di Lembah Kutukan.
Maka akibatnya....
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Duk! Plak! Plak! Secara beruntun, serangan gencar Pendekar Slebor bersarang di tubuh lawan.
Kepalanya berhasil menyeruduk kening lawan. Sedangkan telapak tangannya yang
terbuka mengenai dua belahan pantat lawan.
Tubuh Begal Ireng langsung terjengkang, lalu kembali menghantam tanah dengan
keras. Sesaat mata tokoh hitam ini mengerjap-ngerjap dan kepalanya digerak-gerakkan.
Kepalanya pusing bukan kepalang akibat benturan kepala lawannya pada bagian
kening. Sedangkan kedua tangannya memegangi bagian pantatnya yang terasa seperti
tersayat. "Hua ha ha...!" Andika tergelak-gelak sambil memegangi perut. "Kau seperti anak
kecil yang sedang antri di jamban, Begal Ireng!"
"Anjing kurap!" Begal Ireng bangkit kembali.
Kemarahan tokoh sesat ini sudah membakar
seluruh dadanya. Ubun-ubunnya pun sudah seperti mau meledak. Segera dilepasnya
cemeti dari pinggang. Dia tak mau tanggung-tanggung lagi menghadapi lawannya
yang ganjil ini.
"Waduh! Kau mulai main-main dengan buntut
tuyulmu itu, ya" Hati-hati, nanti bisa dimarahi abahmu!" Andika berkoar seenak
udel. "Hiaaat!"
Wut! Pertempuran berlanjut. Tapi kali ini lebih ganas, karena masing-masing telah
mengeluarkan senjata.
Begal Ireng yang telah kalap, tak peduli lagi dengan lawannya yang masih muda.
Yang jelas, keturunan Pendekar Lembah Kutukan harus
dilenyapkan. Begal Ireng ccpat mengebutkan cemetinya ke bagian kepala Andika, lewat jurus
ketujuh 'Sabetan Ekor Iblis". Namun, tubuh Pendekar Slebor itu justru mencelat
ke atas menuju kepala lawan. Di udara, tangannya yang telah memegangi kain catur
pusaka memecutkan senjata itu ke tangan Begal Ireng.
setelah terlebih dahulu meliukkan tubuhnya menghindari jilatan cemeti.
Ctar! Cemeti di tangan Begal Ireng terlepas seketika.
Sedangkan tubuh Pendekar Slebor meluncur turun di belakang Begal Ireng. Begitu
mendarat, dengan satu gerakan sulit dihindari, kain catur pusakanya menyergap
wajah Begal Ireng saat masih di udara.
Akibatnya Begal Ireng tidak dapat melihat apa-apa lagi. Kain itu berusaha
dilepaskan dari wajahnya dengan melempar tubuh ke belakang. Tapi, dengan segera
Andika mengikuti gerakannya. Beberapa kali tubuh mereka bergantian berputaran.
Dan ternyata Begal Ireng tetap tak dapat melepaskan cengkeraman kain catur
pusaka yang membelit seluruh wajahnya.
Sampai suatu ketika....
"Aaakh!"
Dalam keadaan begitu, mata Pendekar Slebor melihat tubuh Ningrum melayang
mengerikan. Rupanya, seorang dari si Kembar dari Tiongkok berhasil menghempaskan tubuh gadis
itu dengan pukulan jarak jauh yang pernah dipakai untuk melumpuhkan Ki Panji
Agung dulu. "Ningrum!" teriak Andika terkejut. Pada saat itu, perhatiannya pada Begal Ireng
buyar. Sehingga, pegangan pada kain catur pusaka mengendor.
"Hiaaat!"
Berbareng satu gerakan berputar, Begal Ireng yang berjuluk Pencabut Nyawa
berhasil melepaskan kain catur pusaka milik Andika dari wajahnya. Setelah
tubuhnya menghadap ke arah Pendekar Slebor, tangannya bergerak bergantian secara
beruntun. Des! Des! Des! Des!
Empat pukulan sakti ajian 'Brajamusti' menghantam dada pendekar itu. Jika satu
pukulan itu dapat meremukkan batu karang sebesar benteng, bisa dibayangkan
bagaimana parahnya luka yang diderita Andika menerima empat pukulan sekaligus!
"Aaakh!"
Tubuh Andika terjengkang menyusul Ningrum yang lebih dulu menghantam sisi bukit
karang. Tubuh Pendekar Slebor lunglai setelah menabrak tebing terlebih dahulu. Dari
celah bibirnya mengalir darah kental kehitam-hitaman. Sedangkan dari dadanya
tampak mengepul asap tipis.
"Andikaaa!" pekik Purwasih, melihat pemuda yang dicintainya tergeletak tanpa
gerak. "Hua ha ha...! Jangan dikira dapat mengalahkanku, Bocah Ingusan," ledek Begal
Ireng puas. Pertempuran terhenti ketika Purwasih berlari menuju tubuh Andika dengan derai
air mata di pipi.
Semuanya tertegun menyaksikan seorang pendekar dari keluarga Pendekar Lembah
Kutukan ternyata mengalami nasib mengerikan di tangan Begal Ireng.
Di langit, awan gelap yang pekat berarak menutupi seluruh celah bukit. Warnanya
yang menyeramkan, sedikit pun tidak membiarkan sinar matahari menerobos.
Gumpalan raksasa berkekuatan
sengatan alam yang mana dahsyat itu saling berbenturan. Dan....
Jlegar! Jlegar! Jlegar! Jlegar!
Empat jilatan lidah petir mengkerjap, menyengat tubuh lunglai Andika, sebelum
Purwasih sempat memeluknya. Bahkan tubuh wanita itu terhempas karena ledakan
petir yang merasuki tubuh Andika secara aneh.
Krttt! Dari tempat yang agak jauh, semua mata
menyaksikan bagaimana tubuh pendekar muda itu menyala terang bagai disinari
ribuan lidah api.
Warnanya merah kebiru-biruan, memancar hingga sepuluh tombak dari tubuhnya.
Purwasih yang berada paling dekat dengan Andika langsung memekik nyaring, seraya
menutupi kedua mata dengan tangan.
Bahkan para prajurit yang berada di ujung celah ikut menyipitkan mata karena
silau. Sesaat berikutnya tubuh Andika mengejang, lalu bergetar hebat. Sebuah kekuatan
alam yang maha dahsyat telah bergolak dalam tubuhnya. Itulah akibat yang
terjadi, setelah beberapa waktu lalu Pendekar Slebor ini memakan buah langka
Inti Petir warisan Ki Saptacakra. Dan mendadak saja tubuhnya bangkit dalam satu
erangan panjang.
"Ngrh!"
Dengan tubuh masih berpijar menyilaukan,
sepasang tangan Pendekar Slebor menyilang ke depan dalam getaran keras. Dari
sepasang telapaknya, tiba-tiba saja meluncur dua larik sinar tebal berwarna kebiru-biruan
seperti petir, menuju ke arah Begal Ireng.
Tokoh berjuluk si Pencabut Nyawa yang tertegun menyaksikan keajaiban itu, tak
mampu lagi menghindar. Dia benar-benar terpaku melihat kejadian itu.
Ctarrr! "Aaakh!"
Lengkingan tinggi menguak angkasa terdengar.
Hanya sesaat mulut tokoh sakti itu melontarkan teriakan menggidikkan. lalu
tubuhnya ambruk dan telah hangus matang di atas tanah. Asap tipis berbau
menjijikkan menyebar di celah bukit, lalu hilang tersapu angin.
Melihat kenyataan yang mengendorkan
keberanian mereka, anak buah Begal Ireng langsung mengambil keputusan untuk
melarikan diri.
Termasuk, si Kembar dari Tiongkok. Mereka tidak mau menjadi korban berikutnya
dari ilmu aneh Pendekar Slebor!
Begitu cepat mereka melesat, sesaat kemudian keenam lelaki itu sudah menghilang
di balik bukit tanpa ada yang bisa mencegahnya.
Sementara, tubuh Andika kini telah biasa kembali.
Sinar menyilaukan telah menghilang perlahan beberapa saat lalu, bagai diisap
bumi. Lalu, Pendekar Slebor melangkah menghampiri Ningrum.
"Bawa Patih Panggapati ke istana, Paman Guntur Slaksa," ujar Purwasih memecah
kesunyian celah bukit.
Mahapatih Guntur Slaksa mengangguk. Dengan cukup hormat, diajak Patih Ranggapati
yang telah menyerah untuk ikut ke istana untuk diadili. Bersama dua perwira dan
sembilan prajurit yang masih hidup, mereka meninggalkan celah bukit.
Di pangkuan Andika, Ningrum tersengal-sengal mempertahankan nyawa yang di ambang
maut. Darah membasahi sebagian pakaiannya, setelah mengalir dari mulutnya yang tersapu
warna merah. "Andika. Rupanya takdir akan memisahkan kita.
Kalau dulu aku bisa diselamatkan guruku, kini aku tak yakin akan ada orang yang
bisa menyelamat-kanku. Aku mencintaimu, Andika. Dan aku yakin, kau memang
mencintaiku. Tapi ketika aku tahu kalau kau ternyata seorang keluarga kerajaan,
aku merasa tidak berharga di matamu. Dan itu kuketahui sewaktu berada di ruang
kehormatan untuk melihat lukisan Ki Saptacakra. Barangkali, kau harus menerima
cinta Purwasih, Andika...."
Setelah itu, Ningrum meregang. Nyawanya pun hanyut dalam alunan irama kematian.
Kelopak matanya yang mengatur perlahan bersama
hembusan napas terakhir.
"Ningrum...," desis Andika.
Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal dada Andika. "Walaupun dia keluarga
kerajaan, tapi siapakah orangtuanya yang sebenarnya" Dan mengapa dia dibuang di
pinggir hutan?" ini yang menjadi beban pikirannya.
Awan gelap beringsut diatas sana. Sinar matahari sore menerabas lembut di celah
bukit yang bisu, menyinari Andika yang memeluk tubuh Ningrum. Tak ada kata yang
ingin diucapkannya. Tak ada sesuatu
pun yang ingin diperbuatnya. Kecuali, memeluk erat tubuh beku Ningrum, untuk
mengantar kepergiannya ke alam abadi.
SELESAI Created ebook by
Sean & Conyert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Kisah Pendekar Bongkok 3 Tiga Maha Besar Karya Khu Lung Pendekar Pedang Pelangi 14
itu, kami semua akan berembuk untuk mencari jalan keluar agar dapat menemukan si
pengkhianat. Kami tak segan-segan akan memancung kepalanya jika telah jelas
terbukti."
Prabu Bratasena mengangguk berwibawa, menyetujui ucapan Patih Ranggapati.
*** Taman Anjangsana keluarga istana temaram di
malam hari. Bunga beraneka warna tertunduk menikmati udara malam. Hanya bunga
sedap malam yang bermekaran, menebar keharuman ke seluruh taman.
Sejak Ningrum datang, Andika lebih sering bersamanya daripada bersama Purwasih.
Termasuk, malam ini. Mereka tampak asyik berbincang-bincang dalam siraman cahaya
purnama. "Aku dendam sekali pada gerombolan Begal Ireng, Andika," kata Ningrum.
"Aku tahu. Aku juga pernah merasa kehilangan, kan" Meski Perguruan Naga Merah
bukan keluarga-mu sendiri, tapi mereka sudah menjadi bagian dari dirimu. Begitu,
kan?" timpal Andika. Tapi, bukan berarti kau harus berbuat bodoh dengan
mendatangi gerombolan itu untuk menuntut balas. Serahkan semuanya pada Yang Maha
Kuasa. Kalau kita tak mampu menuntut keadilan dari orang-orang yang telah
merampas sesuatu yang kita cintai, Tuhan tak akan mengharuskan kita. Berbuatlah
hal-hal yang bisa diperbuat, sebatas kemampuanmu."
"Tapi aku tidak bisa begitu saja melupakan pem-bantaian mereka terhadap orang-
orang yang kucintai.
Bagaimana mereka menghabisi guru, dan saudara seperguruanku," ucap Ningrum penuh
desakan dendam. "Aku ingin melihat mereka mati di tanganku, Andika."
"Ssst... ssst!" Andika menggeleng-gelengkan kepala, mencoba untuk meredupkan
kemarahan Ningrum dengan lembut. "Aku tidak mau kehilangan-mu. Kalau kau berbuat
nekat, maka hidupku akan
seperti neraka...."
Andika langsung meraih bahu Ningrum, lalu mengajaknya berjalan ke ruang
kehormatan yang bersebelahan dengan Taman Anjangsana keluarga raja. Dan saat
kaki mereka melangkah beriringan, mendadak Andika memperdengarkan tawa kecil.
"Kenapa tertawa?" tanya Ningrum, heran.
"Aku hanya teringat kenekatanku dulu, sewaktu ingin membunuh Begal Ireng di Desa
Banyu Gerabak. Saat itu, aku juga tak memikirkan apa-apa, kecuali membunuh keparat itu.
Sekarang, bisa-bisanya aku menasihatimu. Aku merasa diriku mendadak menjadi
orang bijak karbitan," kata Andika, seraya tertawa lagi.
Ningrum tak juga terikut keriangannya.
"Ayolah, Ningrum.... Kenapa tidak tertawa sedikit saja untukku?" bujuk Andika.
"Kalaupun tawamu sejelek cengiran kuda, aku tetap bahagia...."
Kali ini Ningrum tampak memperlihatkan senyum kecil.
Kini mereka sampai di dalam ruang kehormatan.
Sambil tetap bergandengan, mata keduanya memperhatikan lukisan-lukisan yang
terpajang di dinding ruangan.
Ketika mata Andika tertumbuk pada satu lukisan keluarga kerajaan, mendadak
keningnya berkerut rapat. Alisnya yang legam menukik, turut bertaut.
Wajah lelaki tua dalam lukisan itu seperti dikenalinya.
Dan tiba-tiba pula tangannya dilepas dari bahu Ningrum.
"Kau tunggu di sini sebentar, Ningrum...," ujar Andika terburu.
"Kau mau ke mana, Andika?"
Tapi Andika sudah melesat, melalui pintu keluar.
7 "Purwasih! Dari mana saja kau" Aku mencari-cari kau ke mana-mana!" Andika datang
tergesa-gesa. Pemuda itu memang tengah mencari-cari Purwasih yang menghilang entah ke mana
setelah melihat Andika dan Ningrum selalu berdua. Dan ternyata gadis itu tengah
berdiri di halaman istana. Entah, apa yang diperbuatnya.
Sementara, orang yang dipanggil tampak tak peduli dan terus mematung.
Pandangannya menerawang ke arah bintang-bintang yang saling menger-dip.
"Aku harus bicara padamu," kata Andika setelah berada di sisinya.
Purwasih tetap tak peduli. Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu. Andika
berusaha menduga-duga, tapi tak dilanjutkannya. Masalahnya, ada hal yang lebih
penting yang harus disampaikan pada Purwasih.
"Kau kemasukan setan pusing, ya" Aku ingin bicara denganmu, Purwasih. Ada hal
penting yang mesti kutanyakan!" seru Andika persis di telinga Purwasih.
"Aku tak mau bicara denganmu!" dengus
Purwasih, ketus. Dan hal ini membuat Andika menggaruk-garuk kepala tak mengerti.
"Kenapa kau jadi aneh begitu" Apa tindakanku salah?"
"Apa pedulimu"!"
"Wah, tambah gawat...," gumam Andika.
Kembali tangan pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Sungguh-sungguh
sulit dimengerti perubahan sikap Purwasih yang tiba-tiba ini.
"Apa sikapmu yang panas seperti kotoran kerbau ini karena kedatangan Ningrum?"
duga Andika asal bunyi.
Purwasih tak menjawab, dan hanya sibuk menyembunyikan wajahnya yang mendadak
memerah. Pertanyaan Andika barusan rupanya tepat mengusik sudut hatinya. Memang,
kecemburuannya pada Ningrum membuatnya merasa dibuang oleh pemuda itu. Dia
sendiri sering bertanya pada diri sendiri,
"Kenapa harus mencintai seseorang yang usianya jauh di bawahnya" Andika berusia
delapan belas tahun. Sedangkan dirinya berusia dua puluh sembilan tahun. Apakah
itu pantas?"
Pantas tidak pantas, hati Purwasih tetap mengakui kalau pribadi Andika
membuatnya terjatuh dalam kubangan cinta yang ganjil. Ya! Ganjil karena
mencintai pemuda yang usianya terpaut jauh. Tapi, bukankah cinta tak mengenal
kata ganjil" Karena, cinta itu sendiri pun aneh. Bisa datang tiba-tiba, dan
menimpa siapa saja.
"Apakah aku sungguh-sungguh mencintai pemuda ini?" keluh gadis itu dalam hati.
Terkadang Ningrum memang bersikap seperti remaja belasan tahun ketika bersama
Andika. Apakah itu tanda cintanya pada Andika"
"Ah, aku bingung...," desah Purwasih, tak sabar.
Pemuda tampan di sisinya yang menangkap
gumaman tadi langsung saja mengernyitkan keningnya.
"Mestinya aku yang bilang begitu! Apa kita memang sama-sama bingung" Daripada
kau bingung dan aku bingung, lalu kita seperti orang yang ber-lomba bingung, ah...! Kenapa
omonganku malah jadi bikin bingung! Pokoknya kau mesti ikut aku!" ujar Andika.
Lantas tangan Purwasih ditarik Andika. Tak peduli apakah nanti wanita itu akan
mengamuk. "Mau dibawa ke mana aku?" jerit Purwasih
jengkel. "Yang pasti tidak ke kamar!"
"Kunyuk jorok!"
"Hua ha ha...!"
Dengan langkah terseret-seret, Purwasih mengikuti Andika. Dan tak lama keduanya
sampai di ruang kehormatan. Di tempat itu, Ningrum masih menunggu kedatangan
Andika. Dan melihat pemuda yang ditunggunya telah datang terburu-buru bersama
Purwasih. Ningrum jadi agak heran. Apalagi Andika menarik pergelangan tangan
Purwasih yang tampak sewot.
Tanpa mempedulikan Ningrum yang terpaku.
Andika langsung menarik Purwasih ke tempat lukisan yang menarik perhatiannya.
"Kau tahu, siapa orang dalam lukisan ini?" tanya Andika pada Purwasih.
"Ada perlu apa kau bertanya tentang lukisan itu?"
Purwasih malah balik bertanya. Suaranya terdengar makin ketus, saat melihat
Ningrum juga berdiri di ruang ini.
"Ini penting, Purwasih!" tegas Andika sungguh-sungguh.
Namun. Purwasih malah menatapnya tajam.
"Baik..., baik. Aku memang suka konyol, suka bergurau keterlaluan. Tapi, kali
ini aku tidak main-main, Purwasih!" ujar Andika lagi.
"Kenapa aku harus mempercayaimu?" cibir
Purwasih. Pandangan gadis itu dibuang ke arah lain. Dan ini membuat Andika digelayuti
kejengkelan, yang terasa sekali di tenggorokannya.
"Kalau aku bilang ini menyangkut kepentingan negeri Alengka, berkaitan dengan
pemberontakan Begal Ireng dan gerombolannya, kau mau percaya?"
desah Andika agak kasar.
Sekali lagi, mata lentik Purwasih menghujam manik-manik mata pemuda itu. Kalau
tadi binarnya diwarnai kejengkelan, kini binar matanya memperlihatkan
keterkejutan. "Kenapa kau menatapku seperti melihat naga gondrong" Cepat katakan padaku, siapa
orang dalam lukisan ini?" hardik Andika, tidak sabar.
"Lelaki tua itu bernama Saptacakra. Dia adik buyutku, raja keturunan kesembilan
Kerajaan Alengka," jawab Purwasih, akhirnya. "Sekarang jelaskan padaku, ada apa
sebenarnya?"
"Yah! Sudah kuduga!"
Bukannya menjawab pertanyaan Purwasih, Andika malah berteriak seperti orang
edan! Tangannya ter-kepal keras seraya meninju angin. Saat itu, dia teringat
pada lelaki tua di Lembah Kutukan.
"Kau menduga apa"!" tanya Purwasih, penasaran.
Ningrum pun melangkah mendekati keduanya.
Gadis itu ikut tertarik mendengar pembicaraan Andika dan Purwasih. Kemudian dia
berdiri di sisi kanan Andika.
"Kau ingat pembicaraan kita dulu" Kau bilang padaku, Begal Ireng sebenarnya
memiliki kekuatan yang cukup untuk menyerbu ke istana ini. Tapi, itu tak
dilakukannya. Kenapa hal itu terjadi...?" tanya Andika.
Ucapannya dihentikan, membuat Purwasih makin penasaran setengah mati.
"Kenapa"!" desak Purwasih sengit.
"Karena tujuan Begal Ireng sebenarnya hanya ingin membunuh ayahmu, Prabu
Bratasena," jawab Andika, sambil menatap Purwasih dengan ekor mata yang naik ke
atas kelopak mata.
Purwasih kontan menautkan alis. Gadis cantik itu masih belum menangkap maksud
Andika. "Kenapa tak dijelaskan secara gamblang, Andika!
Jangan buat Purwasih mati berdiri karena
penasaran!" timpal Ningrum.
"Baik..., baik. Kenapa kalian jadi kelewat tolol, sih?"
"Aku bukan tolol! Aku hanya tidak tahu, apa yang kau maksudkan!" selak Purwasih,
tersinggung oleh ucapan Andika yang asal bunyi.
Andika cengar-cengir seraya mengangkat-angkat kedua alisnya yang lebat.
"Iya, ya. Mana ada putri raja yang tolol?" ejek pemuda itu.
"Diam! Jelaskan saja padaku!" bentak Purwasih.
Wajahnya merah padam, seperti baru dipanggang.
"Ki Saptacakra yang kau kenal sebagai paman buyutmu, sebenarnya adalah Pendekar
Lembah Kutukan. Rupanya, beliau memilih untuk hidup di antara rakyat, daripada
di dalam kemewahan istana.
Lalu, dia menuntut kesaktian agar dapat melindungi rakyat dari angkara murka,"
urai Andika. "Dari mana kau tahu?" tanya Purwasih, heran.
Andika memelototi Purwasih. Memang pertanyaan wanita itu terdengar seperti tidak
mempercayai keterangannya.
"Aku pernah bertemu langsung dengan beliau!"
tukas Andika. "Jangan ngigau! Pendekar Lembah Kutukan lebih dari seratus tahun yang lalu.
Kisah kependekarannya pun tinggal menjadi cerita rakyat. Bagaimana mungkin dia
masih hidup?"
Andika tambah dongkol. Dibukanya ikatan kain bercorak catur dari lehernya.
"Ini buktinya! Aku dapat kain ini dari tempat bersemadi beliau!" tegas Andika
ngotot, sampai urat lehernya tertarik.
Tangan Purwasih menyambar kain yang dipegang Andika.
"Kain lusuh ini" Di pasar bisa didapat dengan harga amat murah!" cemooh
Purwasih. Lalu sepasang tangannya bergerak hendak mengoyak kain itu.
"Hey, jangan! Itu kain tanda mata milikku dari Lembah Kutukan!" cegah Andika.
Tapi, tangan Purwasih sudah telanjur bergerak.
Dan.... Kain itu ternyata tidak terkoyak! Sekali lagi Purwasih merentangkannya kuat-
kuat. Tapi, tetap juga kain di tangannya tidak terkoyak. Bahkan ketika mencoba
mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghancurkan benda itu, tetap saja hasilnya
nihil. Purwasih jadi kesal. Pedang besar dikeluarkannya dari punggung. Lalu, kain yang
terpegang di tangan kiri dilemparkannya ke udara. Dan sebentar saja, tangannya
sudah membabatkan pedangnya ke arah kain itu.
Wut! Wut! Wut! Andika dan Ningrum melihat, bagaimana pedang itu membabat kain bercorak catur
milik Andika beberapa kali. Tapi, apa yang terjadi"
Kain itu hanya melayang ringan, lalu jatuh terkulai
di lantai tanpa cacat sedikit pun. Tentu saja mata Andika dan Ningrum jadi
terbelalak lebar menyaksikan kenyataan itu. Lebih-lebih Purwasih.
"Jadi tanpa sengaja, aku telah membawa kain pusaka Lembah Kutukan?" desis
Andika. Wajahnya masih terlolong, disarati kesan keterkejutan.
"Sekarang aku baru percaya," ujar Purwasih lemah dan menyerah.
"Jadi, apa kaitannya Begal Ireng dengan Prabu Bratasena, Andika?" tanya Ningrum
saat Andika memungut kain miliknya.
Andika tidak menjawab. Matanya masih me-
melototi kain gombal di tangannya. Sementara. dari mulutnya terdengar decakan
beberapa kali. "Cepat jawab, Andika! Bukankah kau bilang ini adaah persoalan keselamatan negeri
ini"!" omel Purwasih.
Andika tetap mematung. Sepertinya pemuda di sisinya kehilangan akal. Namun,
Purwasih tidak peduli. Asal Andika bisa menjelaskan hubungan antara
pemberontakan Begal Ireng dengan ayahnya.
Tapi, pemuda konyol itu terlihat lebih bodoh dari orang yang kehilangan akal.
Itulah yang membuatnya jadi mangkel. Maka tiba-tiba saja Purwasih menggunakan
tangannya yang masih memegang pedang.
Dan.... Tak! Gagang pedang Purwasih mendarat gemas di
kening Andika. "Aouw!"
"Cepat katakan, atau kau kupukul lagi!" ancam Purwasih, setengah berteriak.
"Jangan berteriak-teriak, aku tidak tuli! Baik, akan kujelaskan. Ayahmu, Prabu
Bratasena, hendak
dibunuh Begal Ireng karena termasuk keluarga Ki Saptacakra. Atau...."
"Cucu dari saudara Ki Saptacakra!" duga Ningrum.
"Pintar! Begal Ireng sebenarnya tidak sungguh-sungguh bermaksud merebut
kekuasaan Prabu Bratasena. Kepentingannya hanyalah melenyapkan seluruh garis
keturunan Pendekar Lembah Kutukan.
Dia begitu dendam pada Ki Panji Agung yang telah menggagalkan rencananya saat
pertama kali hendak merebut kekuasaan prabu." (Mengenai Ki Panji Agung, lihat
kembali episode: 'Lembah Kutukan').
"Jadi, kali ini rencananya untuk merebut
kekuasaan hanya sebagai topeng untuk menutupi niat sesungguhnya?" tanya
Purwasih, ingin memastikan.
"Ya! Kalau dia sungguh-sungguh ingin merebut kekuasaan Prabu Bratasena, tentu
sudah mengerahkan seluruh kekuatannya yang mampu meng-
hancurkan kerajaan ini. Dan dia hanya menunggu kesempatan yang tepat untuk
membunuh ayahmu.
Dengan begitu, kekuatan gerombolannya bisa tetap terjaga," jelas Andika lagi.
"Ya..., ya. Tanpa meruntuhkan kerajaan ini, Begal Ireng pun sebenarnya sudah
lebih berkuasa daripada Prabu Bratasena. Tokoh aliran sesat yang dikumpul-kannya
begitu banyak. Sehingga, kekuatan
gerombolannya bisa jadi lebih hebat daripada seluruh pasukan tempur istana,"
selak Ningrum. "Lalu, bagaimana dia tahu kalau ada kesempatan yang tepat untuk membunuh
ayahku?" tanya
Purwasih, cemas.
"Kau tidak ingat pengkhianat kerajaan ini" Tentu orang itu yang akan
memberitahukan, kapan bajingan Begal Ireng dapat menghabisi Prabu Bratasena
tanpa membuang-buang nyawa pasukannya," jawab Andika pasti.
"Oh, Tuhan...," desah Purwasih bergetar.
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hati gadis itu langsung didera lecutan kekhawatiran terhadap keselamatan
ayahnya. "Aku takut, ayahku akan terbunuh, Andika," desah gadis itu lirih, nyaris
terisak. "Jangan cengeng! Apa kau lupa dengan julukan si Naga Wanita yang disegani?"
bentak Andika, tidak sungguh-sungguh.
Pemuda itu sebenarnya hanya ingin menekan kekhawatiran yang berlebihan pada diri
wanita itu. Andika sendiri dapat maklum kalau Purwasih seperti itu. Biar bagaimanapun dia
tetap tak lepas dari kodratnya sebagai seorang wanita yang berhati halus dan
peka. Apalagi, ini menyangkut orang yang paling dicintainya.
"Jangan khawatir, aku punya rencana bagus. Kalau Tuhan mengizinkan, kita akan
segera menumpas Begal Ireng keparat itu." janji Andika pada Purwasih, sambil
menepuk-nepuk pipinya yang halus.
*** Malam makin terlelap kegelapan. Bulan sepotong masih menebar cahaya temaram,
meski telah condong sepenggalan. Di kamarnya, Andika tidak bisa memicingkan mata
sedikit pun. Pikirannya masih terseret pada rencananya untuk menumpas Begal
Ireng, biang kekacauan negeri.
Dari rebahnya, Andika bangkit. Sedikit udara segar memang diperlukan untuk
menenangkan pikirannya.
Perlahan kakinya berjalan menuju pintu. Perlahan pula dikuaknya pintu kamar,
lalu kembali melangkah
keluar. Dari serambi kamarnya di Istana Kerajaan Alengka, Andika bisa melihat jelas
Taman Anjangsana keluarga istana, serta bagian lain. Tapi matanya lebih suka
memperhatikan bintang yang bertaburan di langit lepas. Keindahan alam tak
mungkin ditandingi oleh karya manusia mana pun! Kemegahan langit yang dihampar
Tuhan, seakan mengingatkan tentang kelemahan manusia. Tentang ketidakberdayaan
manusia, dan tentang kekerdilan manusia dibanding kekuasaanNya.
Ingat ketidakberdayaan manusia, Andika tiba-tiba teringat kembali pada asal-usul
dirinya. Banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai dirinya sendiri.
Meskipun beberapa saat lalu Andika telah mengetahui kalau buyutnya yang bernama
Ki Saptacakra, adalah seorang keluarga istana, bukan berarti bisa mengetahui
pasti siapa orangtuanya.
Silsilah keluarga istana pada keturunan kesembilan ternyata tidak lengkap. Dalam
buku riwayat keluarga kerajaan di perpustakaan istana, keturunan Ki Saptacakra
memang tidak tercantum di dalamnya.
Ya! Andika merasakan ketidakberdayaannya untuk menemukan orangtua yang selama
ini dirindukan.
Juga tentang penyebab, kenapa dirinya dibuang di pinggir hutan (baca serial
Pendekar Slebor, dalan episode: 'Lembah Kutukan'). Hatinya hanya bisa berharap
pada Tuhan, agar dirinya dipertemukan kembali. Tanpa pertolonganNya, Andika
memang tidak mampu berbuat apa-apa.
Lama Andika memperhatikan tanda berbentuk bintang berwarna merah di tangan
kanannya yang didapat sejak lahir. Mudah-mudahan Tuhan akan menjadikan tanda ini
menjadi satu titik terang untuk
menemukan mereka, seperti bintang yang menunjuk-kan arah bagi nahkoda kapal
dalam malam gelap.
Lalu matanya kembali menatap kerlip bintang yang tetap bercahaya selama berjuta
tahun. Ditariknya napas dalam-dalam, seakan hendak memuji secara tak langsung ke
hadapan Yang Maha Kuasa. "Memang bodoh sekali manusia yang
menyombongkan kekuasaan yang hakikatnya hanya bernilai setitik debu di luasnya
alam semesta!" bisik hatinya.
Di saat hatinya terhanyut dalam renungan yang dalam, tiba-tiba saja perhatiannya
teralih pada sesosok bayangan yang mengendap-endap di atas istana. Dari
kejauhan, Andika bisa melihat orang itu mengenakan caping lebar. Sinar bulan
yang cukup terang juga membuatnya bisa mengenali warna pakaian orang di atap
itu. "Heh"! Itu orang yang telah membokong Patih Ranggapati di hutan cemara...,"
bisik Andika, setelah mengenali pakaian merah darah orang yang mengendap-endap.
"Mau apa dia menyantroni istana" Mau cari koreng?"
Dalam sekejap, tubuh pemuda yang telah dijuluki Pendekar Slebor itu sudah berada
di atap istana. Kali ini, orang itu tidak akan dibiarkan lolos begitu saja.
Andika menduga, dia adalah kaki tangan Begal Ireng.
Dengan menangkapnya, barangkali bisa mengorek keterangan tentang gerombolan
pemberontak itu.
"Bakikuk!" seru Andika ketika tubuhnya sudah berdiri tepat di belakang orang
yang dicurigainya.
Tentu saja orang bercaping menjadi tersentak.
Tubuhnya langsung berbalik, seraya memasang kuda-kuda sigap. Tapi Andika sudah
raib entah ke mana.
Sesaat orang itu hanya terpaku, seperti tidak
mempercayai pendengarannya.
"Bakikuk!" seru Andika lagi.
Tubuh Pendekar Slebor sudah berdiri di belakang orang bercaping. Sudah pasti
kecepatan seperti itu sangat sulit dilakukan orang berkepandaian tanggung.
Dan sekali lagi orang bercaping itu bergerak cepat berbalik. Dan sekali lagi dia
terkecoh. Matanya ternyata tidak menemukan seorang pun.
"Keparat," desis orang itu, setelah mengetahui ada seseorang yang sedang
mempermainkannya.
"Bakikuknya sekarang pakai jurus 'Ular Iseng Menotok Babi'," ucap seseorang di
belakang orang bercaping itu.
Belum sempat tubuh orang bercaping bergeming, sebuah totokan sudah mendarat di
bagian punggungnya. Tuk!
Tubuh orang bercaping itu kontan terkulai lemas, tanpa sempat menghindar. Dan
sebelum orang itu menyentuh tanah, Andika cepat menyambarnya.
"Wah! Rupanya kau sudah mengantuk berat, ya"
Apa kau mabuk" Kapan minumnya" Kemarin?" oceh Pendekar Slebor, saat memanggul
tubuh orang bercaping dengan senyum lebar di bibirnya.
Secepat bayangan setan, tubuh Pendekar Slebor berkelebat. Orang itu memang akan
dibawanya ke kamar, agar bisa dipaksa bicara. Mudah-mudahan dia termasuk orang
yang tidak pelit dengan keterangan.
"Nah, sekarang kau boleh beristirahat di sini...,"
kata Andika sesampai di kamar. Lalu....
Buk! Tubuh orang bercaping menggeloso di lantai kamar. Andika rupanya berusaha
bersikap sekasar mungkin pada orang yang telah membokong Patih
Ranggapati waktu itu. Buktinya, tubuh itu dilempar begitu saja ke lantai.
"Aku cukup ramah, bukan" Tapi kalau memasuki kamar orang lain, harus membuka
capingmu...," kata Pendekar Slebor.
Setelah itu, tangan Andika menyambar caping lebar tawanannya.
"Setan buntung gantung diri!" seru Andika.
Mata Pendekar Slebor langsung terbelalak lebar saat melihat wajah orang itu.
"Ningrum...?" desis Andika, nyaris tak percaya.
Ningrum hanya bisa menatap Andika. Sebenarnya, dia bisa bicara. Tapi karena
kartunya sudah terbuka, mulutnya jadi malas berkata-kata.
"Apa-apaan kau ini"!" gerutu Andika.
Segera dibebaskannya totokan di tubuh Ningrum.
Dan gadis itu segera bangkit. Tangannya memegangi pinggangnya yang terasa
berdenyut-denyut nyeri akibat menghantam lantai kamar. Dan bibirnya juga
meringis-ringis.
"Jadi, kau yang menyerang Patih Ranggapati waktu itu?" tanya Andika.
Ningrum hanya menyembunyikan wajah ayunya dengan kepala yang tertunduk. Memang,
gadis itulah yang telah membokong Patih Ranggapati dengan pisau-pisau terbang
saat Andika, Purwasih, Bayureksa, dan Patih Ranggapati menembus hutan cemara di
atas bukit. "O, bagus!" rutuk Andika. "Kau telah menyerang pembesar istana. Itu tindakan
bagus! Kau tahu artinya itu" Kalau ketahuan, kau bisa dianggap bersekongkol
dengan gerombolan Begal Ireng!"
"Tapi Andika...!"
"Tapi apa"! Aku tidak mengerti, apa maumu
sebenarnya!" potong Pendekar Slebor.
"Kau akan mengerti kalau memberiku kesempatan bicara!"
Andika melotot, lalu membanting caping di tangannya keras-keras.
"Baik, bicaralah! Tapi, ingat. Kalau kau mengarang cerita yang bukan-bukan, aku
tak segan-segan menyerahkanmu pada Patih Ranggapati supaya bisa menerima
hukumanmu!" ancam Andika, sungguh-sungguh.
Dalam hal menegakkan keadilan, Pendekar Slebor tidak mau pandang bulu. Meski
yang harus menerima hukuman adalah orang yang amat dicintai. Selama orang itu
memang terbukti bersalah, Andika tak peduli.
Sebelum mulai bicara, Ningrum menarik napas beberapa kali. Seakan, dia hendak
mempersiapkan sesuatu yang hendak didorong tenggorokannya.
"Sejak Begal Ireng dan gerombolannya membantai perguruanku, aku menyimpan dendam
yang tak dapat kukuasai lagi. Lalu, aku bertekad menuntut balas.
Untuk muncul terang-terangan, aku takut kaki tangan Begal Ireng mengenali.
Bahkan bisa-bisa mereka menangkapku untuk dijadikan sandera, agar kau
menyerahkan diri pada Begal Ireng. Maka itu, aku menyamar dengan pakaian lelaki
dan caping lebar ini.
Sengaja senjata kipasku tak kugunakan dengan alasan tadi. Sebagai gantinya,
kugunakan pisau-pisau kecil sebagai senjataku," jelas Ningrum.
"Tapi bagaimana kalau tokoh-tokoh golongan hitam yang bergabung dengan Begal
Ireng menangkap, kemudian menyerahkan dirimu pada pemimpin mereka" Bukankah Begal
Ireng sudah mengenalimu" Kalau sudah begitu, kau tetap akan
dijadikan sandera!" penggal Andika keras.
Pendekar Slebor bukan takut menghadapi tokoh aliran sesat itu, tapi hanya
khawatir keselamatan Ningrum.
Ningrum kembali menancapkan pandangan ke
lantai kamar. Mulutnya membisu, seperti juga lantai kamar yang ditatapnya. Dalam
hati diakui kebenaran ucapan Andika barusan. Betapa bodohnya dia, hanya
mengikuti gejolak dendam tanpa berpikir panjang!
"Lalu, kenapa kau menyerang Patih Ranggapati?"
cukil Andika kembali.
"Pembesar itu berkhianat, Andika. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri,
dia sedang mengadakan pertemuan rahasia bersama seorang kaki tangan Begal Ireng.
Aku mengenal kaki tangan Begal Ireng, karena dia juga ikut membantai Perguruan
Naga Merah...."
"Astaga...," desis Andika.
*** "Purwasih! Kau tahu, siapa yang berkhianat dalam kerajaan ini?" tanya Andika
berbisik, ketika menemukan Purwasih sedang melatih jurus-jurus silat di halaman
istana. Saat itu matahari tidak begitu ganas, karena memang belum lama lagi.
Purwasih langsung menghentikan gerakan. Tanpa memasukkan pedang ke sarungnya
kembali, ditatapnya Andika penuh keingintahuan.
"Siapa?" tanya gadis itu.
"Patih Ranggapati...," jawab Andika hati-hati.
"Ha ha ha...."
Wanita itu mendadak tertawa keras-keras. Tentu saja Andika jadi kelimpungan
menahan suara tawa
yang begitu keras-.
"Ssst! Gila, kau! Bisa dicurigai pengkhianat itu!"
Pendekar Slebor memperingatkan.
"Kau yang gila, Andika. Aku kenal betul lelaki itu.
Dia sudah seperti pamanku sendiri. Itu sebabnya, kenapa dia memanggilku Purwasih
saja, tanpa embel-embel tuan putri yang memuakkan itu," tukas Purwasih, dan
hendak melanjutkan latihannya.
"Hey! Aku sedang tidak ingin bercanda!" tegas Andika dengan wajah sungguh-
sungguh. "Kau sungguh-sungguh?" tanya Purwasih seraya menatap lelaki di depannya lekat-
lekat. "Ningrum yang menyaksikan Patih Ranggapati sedang mengadakan pertemuan rahasia
bersama seorang kaki tangan Begal Ireng...."
Secara singkat, Andika menguraikan cerita tentang Ningrum pada Purwasih.
"Ah! Rasanya sulit sekali kupercayai berita ini, Andika," desah Purwasih setelah
Andika selesai bicara.
"Tapi, begitulah kenyataannya."
"Tapi Patih Ranggapati sudah seperti keluargaku sendiri!" ucap Purwasih tak mau
kalah. "Aku yakin, pernah terjadi bentrokan antara ayahmu dengan lelaki itu," duga
Pendekar Slebor.
Lama mata Purwasih terhujam pada dinding
benteng istana. Tampaknya dia sedang diusik sesuatu yang tersembul di benaknya.
Beberapa kali wanita itu menghempas napas galau.
"Kau ingat sesuatu, Purwasih?" usik Andika.
"Ya. Patih Ranggapati memang pernah ber-
sengketa dengan ayahku. Dia mencintai seorang wanita bernama Tanjungsari.
Bertahun-tahun wanita itu berusaha untuk diperistrinya, tapi tidak berhasil.
Dan wanita itu malah terpincut pada ayahku, sampai akhirnya keduanya
menikah...," cerita Purwasih.
Matanya tetap menerawang jauh.
"Wanita itu ibumu?" Purwasih mengangguk lamat.
Jelas sudah bagi Andika, alasan Patih Ranggapati berkhianat pada Kerajaan
Alengka... *** 8 Pagi baru berlalu sekian saat. Sang Raja Siang merayap perlahan menuju
puncaknya. Panas terasa mulai tak bersahabat. Di sebuah jalan rumput yang
membelah padang luas, terlihat arak-arakan kecil.
Beberapa orang terlihat berjalan di belakang kereta kuda yang dihela seorang
kusir bertubuh ramping.
Empat orang di antaranya mengendarai kuda. Dua berada paling depan, sedangkan
sisanya berada di barisan paling belakang. Melihat dari bendera yang dibawa,
bisa ditebak kalau arak-arakan itu adalah rombongan kerajaan.
Dua hari yang lalu, Prabu Bratasena merencana-kan pergi untuk menemui raja dari
negeri tetangga yang akan bekerjasama dengannya memberantas gerombolan Begal
Ireng. Menurut Prabu Bratasena, raja negeri tetangga mulai merasa khawatir oleh
meluasnya kekuasaan Begal Ireng ke wilayahnya.
Makanya, dia mengirim pesan rahasia pada Prabu Bratasena untuk mengadakan
kerjasama. Tawaran itu tentu saja diterima gembira.
Agar kepergian ini tidak dicurigai mata-mata Begal Ireng, Prabu Bratasena
memerintah para prajurit pengawal untuk mengenakan pakaian biasa. Pakaian
kerajaan yang menandakan mereka sebagai prajurit istana harus ditanggalkan.
Sementara pembesar kerajaan yang ikut bersama rombongan adalah Mahapatih Guntur
Slaksa. Lima belas prajurit khusus serta tiga perwira istana langsung
dipimpinnya. Dan seorang perwira yang
menyertainya adalah Patih Ranggapati.
"Berjalanlah perlahan, agar kita tidak dicurigai!"
seru Prabu Bratasena dari dalam kereta kudanya yang tertutup. "Mudah-mudahan
pengkhianat kerajaan tidak mengetahui rencana kita."
Tapi, apa benar begitu"
*** Di ujung padang rumput yang dibatasi deretan bukit kecil, Begal Ireng bersama
beberapa orang pilihannya ternyata telah menunggu. Wajah pemimpin pemberontak
itu terlihat berapi-api, diberontaki hasrat membunuh. Bibirnya sesekali
menyeringai, seakan seekor serigala menunggu mangsa.
Lelaki itu berpakaian hitam-hitam, terbuat dari sutera. Wajahnya tampan dan
kelimis, namun berkesan amat dingin. Di bagian pinggangnya melilit sebuah cemeti
pusaka yang terbuat dari akar tumbuhan langka berduri tajam, seperti ekor ikan
pari. Dia duduk gagah di punggung kuda putihnya.
Di sisi kanan dan kirinya, berdiri dua lelaki tangan kanannya. Mereka adalah, si
Kembar dari Tiongkok yang berpenampilan serupa. Baik dari wajah, hingga pakaian
mereka. Kepala mereka juga sama-sama gundul, dan mata mereka juga sipit.
Ditambah oleh keadaan kulit yang kuning, sudah dapat diduga kalau keduanya
berasal dari daratan Tiongkok. Dan sebenarnya, si Kembar dari Tiongkok adalah
dua tokoh aliran sesat yang lari dari negerinya, karena menjadi buronan pihak
kerajaan di Tiongkok. Bekal mereka ke nusantara ini adalah ilmu bela diri yang
tinggi dan kekejaman.
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat lelaki lain tampak berdiri dengan wajah
tegang di belakang Begal Ireng. Mereka adalah tokoh sesat aliran hitam yang akan
membantu penyerangan Begal Ireng terhadap rombongan kerajaan.
Seperti juga Begal Ireng, keempat orang itu berpakaian hitam-hitam pula. Itu
memang salah satu ciri khas gerombolan pemberontak di bawah perintah Begal
Ireng. Dua orang yang tidak mengenakan pakaian hitam-hitam dalam gerombolan ini
hanyalah si Kembar dari Tiongkok. Mereka justru berpakaian putih-putih.
Di balik bebatuan besar di kaki bukit, ketujuh lelaki itu mengintai. Mata mereka
lepas ke padang rumput yang terhampar di depan. Dan ketika rombongan kerajaan
mulai terlihat seperti titik kecil di kejauhan, Begal Ireng mengangkat
tangannya. "Saat Bratasena keparat dan pasukannya tiba di celah bukit, kita habisi mereka. Ingat! Habisi! Jangan biarkan ada
yang tersisa!"
Si Kembar dari Tiongkok hanya mengangguk-
angguk lamat. Sedangkan empat lelaki lain menjawab dengan suara dingin dan
datar, seakan sedang menikmati gelora nafsu membunuh.
Sehari lalu, seorang kaki tangan Begal Ireng menyampaikan berita tentang
kepergian Prabu Bratasena yang didapat dari si pengkhianat. Tak heran kalau kini
mereka menghadang rombongan.
Sementara itu, rombongan kerajaan makin dekat menuju tempat persembunyian Begal
Ireng dan pengikutnya yang berjumlah enam orang itu. Dugaan Andika beberapa
waktu yang lalu memang tidak meleset. Begal Ireng memang tidak ingin membuang
nyawa pasukannya. Tujuan sebenarnya adalah membunuh Prabu Bratasena, yang
memiliki garis keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Dia tak akan
menyerang kerajaan secara langsung, dan hanya menunggu kesempatan yang baik
untuk menghabisi raja bijaksana itu.
Setombak demi setombak, rombongan kerajaan makin menghampiri perangkap yang
dipasang Begal Ireng. Saat mereka berada di celah antara dua bukit yang menjadi
jalan tembus, Begal Ireng dan kaki tangannya siap akan menyergap.
Saat itu, rombongan kerajaan sudah memasuki mulut celah bukit. Dan....
"Maju!" perintah Begal Ireng pada anak buahnya, penuh nafsu.
Seketika dari bebatuan besar yang menyembunyikan tubuh mereka, Begal Ireng dan
anak buahnya berhamburan keluar. Bersama si Kembar dari Tiongkok, dia menghadang
di depan. Sementara, empat anak buahnya yang lain menghadang di belakang.
Rombongan kerajaan kini benar-benar terjepit, tanpa dapat meloloskan diri lagi.
Bagaimana mereka bisa meloloskan diri kalau di sisi-sisi adalah tebing terjal
menjulang yang mustahil didaki. Sedangkan di depan dan di belakang mereka, musuh
sudah siap merencah.
Celah bukit sepi, maut yang akan menjemput.
Hanya desir angin yang meluncur di antara dinding cadas.
"Bratasena! Akhirnya kau akan menyusul
saudaramu Panji Agung ke dasar neraka!" seru Begal Ireng keras, namun dingin.
Tak ada perubahan sedikit pun di wajahnya. Sementara, anak rambut dan ujung
pakaiannya dipermainkan angin.
Tak ada jawaban dari pihak kerajaan.
"Bratasena! Apakah kau sudah siap untuk
menerima kematianmu. Atau, kau memang tuli?"
bentak Begal Ireng sekali lagi.
"Hua ha ha...!"
Kali ini, terdengar tanggapan dari kereta kuda.
Tapi hanya tawa.
"Kau pikir ini lucu, hah"!" bentak Begal Ireng kembali.
"Ya. Tapi aku tak tertawa karena ucapanmu. Aku hanya teringat pada syair Iagu.
Kau mau dengar"
Begini...." Kemudian dari dalam kereta kuda terdengar senandung berisi pantun.
"Debrut-brut-brut kentut kuda.
Bikin ngantuk sejuta angsa.
'Cecurut tua 'yang awet muda.
Mengira mampu berkuasa...?"
"Keparat!" hardik Begal Ireng. Memang, usia Begal Ireng sebenarnya hampir
mencapai sembilan puluh tahun, tapi karena menganut ilmu awet muda,
penampilannya masih tampak seperti lelaki berusia tiga puluhan.
Tanpa memerintah anak buahnya, Begal Ireng langsung meluruk ke arah kereta kuda.
Tentu saja ini sangat mengejutkan Mahapatih Guntur Slaksa. Maka lelaki itu
segera ikut melesat ke arah kereta kuda.
Namun sebelum Begal Ireng atau Mahapatih
Guntur Slaksa benar-benar sampai, tiba-tiba sesosok tubuh mencelat bagai
bayangan hantu. Setelah berputar beberapa kali di udara, orang yang melesat dari
kereta kerajaan itu menjejak persis setombak di depan Begal Ireng yang mendadak
menghentikan larinya.
"Bakikuk!" seru orang itu.
Ternyata, dia adalah Andika! Tentu saja Begal Ireng terkesiap. Matanya
terbelalak bagai kelereng.
Sungguh tak diduga. Ternyata orang yang berada dalam kereta kuda itu bukan Prabu
Bratasena. Memang, inilah rencana yang pernah dijanjikan Andika pada Purwasih. Dengan
rencananya ini, dia berhasil memancing Begal Ireng keluar dari sarang-nya.
Sengaja Andika mengatur agar Prabu Bratasena tampak sungguh-sungguh hendak me-
nemui raja negeri tetangga. Dan hal itu, lalu dibicarakan di depan para pembesar
kerajaan. Ternyata perhitungan Andika berjalan lancar. Rencana kepergian itu
buktinya bocor, sampai ke telinga Begal Ireng. Hanya saja, orang yang berada
dalam kereta sudah berganti.
Bukan Prabu Bratasena, tapi Andika sendiri.
Bukan hanya Begal Ireng yang terkejut. Mahapatih Guntur Slaksa pun demikian.
Bahkan telah melompat dari punggung kudanya, lalu melesat menuju kereta kuda.
Namun langkahnya dihentikan seperti halnya Begal Ireng. Bahkan dua perwira dan
lima belas prajurit kerajaan tadi membelalakkan mata. Apalagi, Patih Ranggapati.
Kenapa mereka bisa ikut terkecoh" Sekali lagi, ini akal bulus Pendekar Slebor
itu. Andika memang mengatur rapi, agar kusir kereta kuda digantikan Ningrum yang
mengenakan pakaian lelaki. Pada saat Prabu Bratasena sudah masuk ke dalam kereta
kuda di hadapan para pembesar istana, Andika men-jentikkan kerikil kecil ke
tubuh salah seekor kuda.
Akibatnya kuda itu langsung terkejut dan berlari sehingga ketiga kuda lain yang
mengikutinya. Ketika kuda berlari sekian langkah di dekat sebuah pohon besar, Andika segera
masuk ke dalam.
Sedangkan, Prabu Bratasena keluar dan bersembunyi di balik pohon besar itu.
Kejadian ini begitu cepat.
Sehingga, beberapa perwira yang memburu untuk menghentikan lari kuda tak sempat
melihatnya. "Wah wah wah...! Kenapa matamu melotot seperti orang banyak hutang, Begal
Ireng?" ejek Andika seraya memutar-mutar kain bercorak catur di depan dada,
seperti orang kepanasan.
"Kau..., ternyata kau belum mati?" kata Begal Ireng, geram.
"Aku selalu punya nyawa cadangan yang kusimpan dalam perutku. Kau mau lihat
nyawa cadanganku?"
ujar Andika acuh. "Nih...."
Truut... dut! Du... brot!
Andika mengeluarkan angin yang dikatakannya tadi sebagai nyawa cadangan. Dan
angin itu dikeluarkan melalui lubang pantatnya!
"Hebat, bukan?"
"Keparat!" geram Begal Ireng amat memuncak.
Mata tokoh hitam ini mendadak memerah.
Wajahnya pun terbakar kemurkaan. Karena dirinya telah dipermainkan anak muda bau
kencur berpakaian hitam pupus ini.
"Kali ini kau tak akan lolos lagi dari maut, Anak Babi!" umpat Begal Ireng.
"Tapi kalau aku lolos lagi, bisa jadi kau yang akan dijemput maut, Bapak Babi!"
timpal Andika, semakin membakar kemarahan lawannya.
Sampai di situ Begal Ireng tidak bisa lagi menahan kemurkaannya. Dengan satu
genjotan, tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Slebor. Di benaknya hanya terbayang
bagaimana anak muda kurus itu tergeletak menjadi mayat.
"Adouw, tidak kena!" teriak Andika seraya bergeser ke samping. Namun, kaki
kirinya yang masih tetap di tempat semula langsung menyapu kaki lawan.
Begal Ireng yang menyerang Andika dengan jurus
'Terkaman Naga', segera menghentak kakinya yang hendak disapu lawan. Tubuhnya
langsung melenting ke udara. Setelah berputar di udara beberapa kali, kakinya
kembali menjejak mantap di tanah. Dari sini bisa dilihat kehebatan ilmu
meringankan tubuhnya.
"Kau bertempur menggunakan jurus apa, Begal Ireng" Apakah nama jurus itu 'Kodok
Bisul Cari Makan'" Kalau begitu, aku harus menghadapimu dengan jurus 'Kupu-kupu
Bingung'," kata Andika, pendekar muda yang mendapat julukan Pendekar Slebor ini.
Tubuh tegap pemuda itu bergerak. Kain bercorak papan catur yang tergenggam di
tangannya terlihat dibentangkan. Sepasang kakinya melekuk keluar seperti seorang
yang menahan sakit perut. Lalu, tubuhnya mulai berputar-putar setengah terhuyung
dalam satu lingkaran kecil.
"Anak sinting cari mampus!" maki Begal Ireng ketika melihat lawannya mulai
mengejek kembali.
Serangan selanjutnya dilancarkan Begal Ireng, langsung memasuki jurus kesepuluh
'Terkaman Naga'. Di samping karena sudah menduga kalau lawannya telah menjalani
penyempurnaan, lelaki itu juga ingin secepatnya menyudahi pertarungan ini.
Sementara itu tanpa diduga Patih Ranggapati, dari kereta kuda meluncur seseorang
berpakaian merah menyala dengan kepala ditutup caping pelepah kelapa. Dan dia
tepat mendarat di depan Patih Ranggapati.
Memang, rupanya Andika tidak mau tanggung-
tanggung menjalankan rencananya untuk memancing pengkhianat Kerajaan Alengka.
Secara sembunyi-sembunyi, Purwasih disuruhnya untuk naik kereta, setelah diminta
untuk mengenakan pakaian Ningrum berikut capingnya.
Lagi-lagi semua orang di sekitar tempat itu menjadi terperanjat. Terlebih Patih
Ranggapati. Dan matanya jadi terbelalak untuk yang kedua kali!
"Kau terkejut, Paman Patih?" tanya Purwasih seraya membuka caping penutup
wajahnya. "Purwasih?" sahut Patih Ranggapati, tanpa sadar.
"Ya, aku Purwasih, putri Prabu Bratasena yang kau khianati. Aku juga seorang
yang menganggap kau adalah pamanku, tapi mulai saat ini dengan berat hati kau
kuanggap sebagai musuh negeri Alengka...."
"Purwasih! Apa-apaan kau ini"!" kata Patih Ranggapati, bergetar.
"Paman Guntur Slaksa, periksalah bahu kiri Patih Ranggapati! Sewaktu pulang
bersamaku dulu, dia mengatakan kalau luka di bahunya adalah akibat serangan
orang-orang Begal Ireng. Sesungguhnya, luka itu akibat sayatan Kipas Naga milik
Ningrum, yang kini menjadi kusir kereta kuda kita...," sambung Purwasih pada
Mahapatih Guntur Slaksa, tanpa mempedulikan keterkejutan Patih Ranggapati.
Rupanya, Purwasih sudah mulai mempercayai siasat yang diterapkan Andika, untuk
membuktikan keterlibatan Patih Ranggapati dalam menebar bencana di Kerajaan
Alengka. Lelaki tinggi besar bernama Mahapatih Guntur Slaksa menatap Patih Ranggapati
dengan sinar mata tidak percaya. Bagaimana mungkin orang yang selama ini dikenal
baik sebagai perwira kerajaan dengan kesetiaannya yang tak diragukan itu ber-
khianat" Namun mengingat yang memerintah adalah putri raja, mau tak mau
Mahapatih Guntur Slaksa mengabulkannya.
"Kemarilah, Patih Ranggapati!" ujar Mahapatih Guntur Slaksa.
Dia berusaha menjangkau pakaian Patih
Ranggapati untuk melihat bahu sebelah kirinya, tapi ternyata lelaki yang
dicurigai sebagai pengkhianat kerajaan ini menghindar cepat.
"Kenapa kau menghindar, Patih Ranggapati" Apa memang benar ucapan Tuan Putri
Purwasih kalau kau adalah pengkhianat kerajaan?" desis Mahapatih Guntur Slaksa
penuh tekanan. Melihat tindakan Patih Ranggapati, Purwasih makin yakin kalau laki-laki yang
selama ini sudah dianggap pamannya adalah seorang pengkhianat.
Pantas saja selama ini segala kegiatan kerajaan selalu bocor ke telinga Begal
Ireng. Dan kini, jelas pancingan Andika mengena.
Sementara Patih Ranggapati hanya menatap
Mahapatih Guntur Slaksa dengan wajah memerah.
Setapak demi setapak kudanya melangkah ke belakang seperti siap hendak melarikan
diri. "Tangkap pengkhianat itu, Paman Guntur Slaksa!"
seru Purwasih. "Hiaaa...!"
Tubuh Mahapatih Guntur Slaksa langsung
melenting tinggi ke arah Patih Ranggapati.
Sementara, orang yang diserang juga tidak tinggal diam. Dia juga langsung
melenting, memapak serangan Mahapatih Guntur Slaksa.
Kini kancah pertempuran makin hingar-bingar karena pertarungan meluas menjadi
beberapa bagian. Andika melawan Begal Ireng, Mahapatih
Guntur Slaksa dengan Patih Ranggapati, menyusul Purwasih dan Ningrum yang
menyerbu ke arah si Kembar dari Tiongkok. Sedangkan prajurit khusus kerajaan
menyerang empat kaki tangan Begal Ireng yang lain.
Sementara itu, pertempuran Andika melawan Begal Ireng makin sengit. Keduanya
bertukar jurus bertubi-tubi dalam satu kelebatan yang sulit ditangkap mata orang
awam. Berkali-kali Begal Ireng dibuat penasaran oleh jurus-jurus Pendekar Slebor
yang tampak seperti main-main. Dan setiap kali Begal Ireng melabrak, selalu saja
dapat dipatahkan Andika.
Sampai suatu saat....
Begal Ireng mencoba melepaskan tendangan
tipuan ke arah pinggang Pendekar Slebor. Dan begitu melihat lawannya menghindar
dengan melenting ke atas, Begal Ireng tak menyia-nyiakannya. Seketika tenaga
dalamnya kini digenjot. Lalu, tubuhnya melesat sambil melepaskan pukulan maut ke
arah Andika yang masih berputaran di udara.
Melihat serangan mendadak ini, Pendekar Slebor rupaya memang sudah menduga.
Dalam keadaan masih di udara, langsung dipapaknya serangan Begal Ireng dengan
tangan kanannya. Sehingga.... Plak!
Begitu kuat tenaga dalam yang dikerahkan
Pendekar Slebor, sehingga tangan kanannya yang tak tergoyah langsung meluruk
dengan jari-jari lurus ke arah dada Begal Ireng. Tak ada kesempatan bagi tokoh
hitam ini untuk menghindar. Apalagi, keseimbangannya cukup goyah akibat benturan
tangan tadi. Akibatnya.... Des!
Tak ayal lagi, dada Begal Ireng kontan terhantam jari-jari tangan kanan Andika
dengan telak. Tubuhnya terdorong deras, dan jatuh keras di tanah,
menimbulkan debu-debu yang berterbangan di sekitarnya. Bukan main terkejutnya
Begal Ireng menerima totokan jari Pendekar Slebor. Sambil menahan sesak luar
biasa, dia berusaha bangkit.
Sebenarnya jurus-jurus Pendekar Slebor memang sulit diduga. Bahkan seringkali
terlihat ngawur.
Namun akibat yang dihasilkannya sungguh sulit dipercaya. Padahal, benteng
pertahanan Begal Ireng selama ini tidak bisa ditembus oleh tokoh sakti mana pun.
Ki Panji Agung lawannya dulu pun harus bertempur lebih dari ratusan jurus untuk
bisa menembus pertahanannya. Tapi lawannya yang berusia belasan tahun ini mampu
membobol pertahanan Begal Ireng tak kurang dari tiga puluh jurus!
"Kenapa kaget" Sekarang kau baru berkenalan dengan Pendekar Slebor yang baru
turun gunung. Kau ingin lihat kekonyolanku" Lihatlah...."
Selesai berkata demikian, Andika melabrak lawan seperti orang gila yang sedang
mengamuk sejadi-jadinya. Sepasang tangannya mengebut kian kemari dengan telapak
dan jari tangan terbuka lebar-lebar.
Kakinya menendang-nendang kacau seperti seekor kuda liar. Sedangkan kepalanya
berputar-putar, sehingga rambutnya berantakan tak karuan.
"Hus... hus! Hus... hus!" Andika menggusah.
Seakan-akan menganggap Begal Ireng, tokoh sakti papan atas aliran hitam itu
sebagai ayam miliknya yang hendak digiring ke dalam kandang.
Begal Ireng menjadi kalang kabut menghadapi serangan ganjil lawannya. Selama
menjadi tokoh sakti, dia hanya berhadapan dengan lawan yang mengerahkan jurus-
jurus terarah. Tapi lawannya kali ini sungguh membingungkan. Serangan yang
dikira mengarah ke biji mata, ternyata menyempong ke biji
'terlarang'. Serangan yang mengarah ke ulu hati, ternyata meliuk ke ubun-ubun.
Gerakannya seperti daun kering tertiup angin, sewaktu-waktu dapat berubah arah
tanpa terduga! Itulah jurus 'Memapak Petir Membabibuta'! Jurus yang berhasil
dicipta-kannya dalam purnama kedua di Lembah Kutukan.
Maka akibatnya....
Pendekar Slebor 02 Dendam Dan Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Duk! Plak! Plak! Secara beruntun, serangan gencar Pendekar Slebor bersarang di tubuh lawan.
Kepalanya berhasil menyeruduk kening lawan. Sedangkan telapak tangannya yang
terbuka mengenai dua belahan pantat lawan.
Tubuh Begal Ireng langsung terjengkang, lalu kembali menghantam tanah dengan
keras. Sesaat mata tokoh hitam ini mengerjap-ngerjap dan kepalanya digerak-gerakkan.
Kepalanya pusing bukan kepalang akibat benturan kepala lawannya pada bagian
kening. Sedangkan kedua tangannya memegangi bagian pantatnya yang terasa seperti
tersayat. "Hua ha ha...!" Andika tergelak-gelak sambil memegangi perut. "Kau seperti anak
kecil yang sedang antri di jamban, Begal Ireng!"
"Anjing kurap!" Begal Ireng bangkit kembali.
Kemarahan tokoh sesat ini sudah membakar
seluruh dadanya. Ubun-ubunnya pun sudah seperti mau meledak. Segera dilepasnya
cemeti dari pinggang. Dia tak mau tanggung-tanggung lagi menghadapi lawannya
yang ganjil ini.
"Waduh! Kau mulai main-main dengan buntut
tuyulmu itu, ya" Hati-hati, nanti bisa dimarahi abahmu!" Andika berkoar seenak
udel. "Hiaaat!"
Wut! Pertempuran berlanjut. Tapi kali ini lebih ganas, karena masing-masing telah
mengeluarkan senjata.
Begal Ireng yang telah kalap, tak peduli lagi dengan lawannya yang masih muda.
Yang jelas, keturunan Pendekar Lembah Kutukan harus
dilenyapkan. Begal Ireng ccpat mengebutkan cemetinya ke bagian kepala Andika, lewat jurus
ketujuh 'Sabetan Ekor Iblis". Namun, tubuh Pendekar Slebor itu justru mencelat
ke atas menuju kepala lawan. Di udara, tangannya yang telah memegangi kain catur
pusaka memecutkan senjata itu ke tangan Begal Ireng.
setelah terlebih dahulu meliukkan tubuhnya menghindari jilatan cemeti.
Ctar! Cemeti di tangan Begal Ireng terlepas seketika.
Sedangkan tubuh Pendekar Slebor meluncur turun di belakang Begal Ireng. Begitu
mendarat, dengan satu gerakan sulit dihindari, kain catur pusakanya menyergap
wajah Begal Ireng saat masih di udara.
Akibatnya Begal Ireng tidak dapat melihat apa-apa lagi. Kain itu berusaha
dilepaskan dari wajahnya dengan melempar tubuh ke belakang. Tapi, dengan segera
Andika mengikuti gerakannya. Beberapa kali tubuh mereka bergantian berputaran.
Dan ternyata Begal Ireng tetap tak dapat melepaskan cengkeraman kain catur
pusaka yang membelit seluruh wajahnya.
Sampai suatu ketika....
"Aaakh!"
Dalam keadaan begitu, mata Pendekar Slebor melihat tubuh Ningrum melayang
mengerikan. Rupanya, seorang dari si Kembar dari Tiongkok berhasil menghempaskan tubuh gadis
itu dengan pukulan jarak jauh yang pernah dipakai untuk melumpuhkan Ki Panji
Agung dulu. "Ningrum!" teriak Andika terkejut. Pada saat itu, perhatiannya pada Begal Ireng
buyar. Sehingga, pegangan pada kain catur pusaka mengendor.
"Hiaaat!"
Berbareng satu gerakan berputar, Begal Ireng yang berjuluk Pencabut Nyawa
berhasil melepaskan kain catur pusaka milik Andika dari wajahnya. Setelah
tubuhnya menghadap ke arah Pendekar Slebor, tangannya bergerak bergantian secara
beruntun. Des! Des! Des! Des!
Empat pukulan sakti ajian 'Brajamusti' menghantam dada pendekar itu. Jika satu
pukulan itu dapat meremukkan batu karang sebesar benteng, bisa dibayangkan
bagaimana parahnya luka yang diderita Andika menerima empat pukulan sekaligus!
"Aaakh!"
Tubuh Andika terjengkang menyusul Ningrum yang lebih dulu menghantam sisi bukit
karang. Tubuh Pendekar Slebor lunglai setelah menabrak tebing terlebih dahulu. Dari
celah bibirnya mengalir darah kental kehitam-hitaman. Sedangkan dari dadanya
tampak mengepul asap tipis.
"Andikaaa!" pekik Purwasih, melihat pemuda yang dicintainya tergeletak tanpa
gerak. "Hua ha ha...! Jangan dikira dapat mengalahkanku, Bocah Ingusan," ledek Begal
Ireng puas. Pertempuran terhenti ketika Purwasih berlari menuju tubuh Andika dengan derai
air mata di pipi.
Semuanya tertegun menyaksikan seorang pendekar dari keluarga Pendekar Lembah
Kutukan ternyata mengalami nasib mengerikan di tangan Begal Ireng.
Di langit, awan gelap yang pekat berarak menutupi seluruh celah bukit. Warnanya
yang menyeramkan, sedikit pun tidak membiarkan sinar matahari menerobos.
Gumpalan raksasa berkekuatan
sengatan alam yang mana dahsyat itu saling berbenturan. Dan....
Jlegar! Jlegar! Jlegar! Jlegar!
Empat jilatan lidah petir mengkerjap, menyengat tubuh lunglai Andika, sebelum
Purwasih sempat memeluknya. Bahkan tubuh wanita itu terhempas karena ledakan
petir yang merasuki tubuh Andika secara aneh.
Krttt! Dari tempat yang agak jauh, semua mata
menyaksikan bagaimana tubuh pendekar muda itu menyala terang bagai disinari
ribuan lidah api.
Warnanya merah kebiru-biruan, memancar hingga sepuluh tombak dari tubuhnya.
Purwasih yang berada paling dekat dengan Andika langsung memekik nyaring, seraya
menutupi kedua mata dengan tangan.
Bahkan para prajurit yang berada di ujung celah ikut menyipitkan mata karena
silau. Sesaat berikutnya tubuh Andika mengejang, lalu bergetar hebat. Sebuah kekuatan
alam yang maha dahsyat telah bergolak dalam tubuhnya. Itulah akibat yang
terjadi, setelah beberapa waktu lalu Pendekar Slebor ini memakan buah langka
Inti Petir warisan Ki Saptacakra. Dan mendadak saja tubuhnya bangkit dalam satu
erangan panjang.
"Ngrh!"
Dengan tubuh masih berpijar menyilaukan,
sepasang tangan Pendekar Slebor menyilang ke depan dalam getaran keras. Dari
sepasang telapaknya, tiba-tiba saja meluncur dua larik sinar tebal berwarna kebiru-biruan
seperti petir, menuju ke arah Begal Ireng.
Tokoh berjuluk si Pencabut Nyawa yang tertegun menyaksikan keajaiban itu, tak
mampu lagi menghindar. Dia benar-benar terpaku melihat kejadian itu.
Ctarrr! "Aaakh!"
Lengkingan tinggi menguak angkasa terdengar.
Hanya sesaat mulut tokoh sakti itu melontarkan teriakan menggidikkan. lalu
tubuhnya ambruk dan telah hangus matang di atas tanah. Asap tipis berbau
menjijikkan menyebar di celah bukit, lalu hilang tersapu angin.
Melihat kenyataan yang mengendorkan
keberanian mereka, anak buah Begal Ireng langsung mengambil keputusan untuk
melarikan diri.
Termasuk, si Kembar dari Tiongkok. Mereka tidak mau menjadi korban berikutnya
dari ilmu aneh Pendekar Slebor!
Begitu cepat mereka melesat, sesaat kemudian keenam lelaki itu sudah menghilang
di balik bukit tanpa ada yang bisa mencegahnya.
Sementara, tubuh Andika kini telah biasa kembali.
Sinar menyilaukan telah menghilang perlahan beberapa saat lalu, bagai diisap
bumi. Lalu, Pendekar Slebor melangkah menghampiri Ningrum.
"Bawa Patih Panggapati ke istana, Paman Guntur Slaksa," ujar Purwasih memecah
kesunyian celah bukit.
Mahapatih Guntur Slaksa mengangguk. Dengan cukup hormat, diajak Patih Ranggapati
yang telah menyerah untuk ikut ke istana untuk diadili. Bersama dua perwira dan
sembilan prajurit yang masih hidup, mereka meninggalkan celah bukit.
Di pangkuan Andika, Ningrum tersengal-sengal mempertahankan nyawa yang di ambang
maut. Darah membasahi sebagian pakaiannya, setelah mengalir dari mulutnya yang tersapu
warna merah. "Andika. Rupanya takdir akan memisahkan kita.
Kalau dulu aku bisa diselamatkan guruku, kini aku tak yakin akan ada orang yang
bisa menyelamat-kanku. Aku mencintaimu, Andika. Dan aku yakin, kau memang
mencintaiku. Tapi ketika aku tahu kalau kau ternyata seorang keluarga kerajaan,
aku merasa tidak berharga di matamu. Dan itu kuketahui sewaktu berada di ruang
kehormatan untuk melihat lukisan Ki Saptacakra. Barangkali, kau harus menerima
cinta Purwasih, Andika...."
Setelah itu, Ningrum meregang. Nyawanya pun hanyut dalam alunan irama kematian.
Kelopak matanya yang mengatur perlahan bersama
hembusan napas terakhir.
"Ningrum...," desis Andika.
Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal dada Andika. "Walaupun dia keluarga
kerajaan, tapi siapakah orangtuanya yang sebenarnya" Dan mengapa dia dibuang di
pinggir hutan?" ini yang menjadi beban pikirannya.
Awan gelap beringsut diatas sana. Sinar matahari sore menerabas lembut di celah
bukit yang bisu, menyinari Andika yang memeluk tubuh Ningrum. Tak ada kata yang
ingin diucapkannya. Tak ada sesuatu
pun yang ingin diperbuatnya. Kecuali, memeluk erat tubuh beku Ningrum, untuk
mengantar kepergiannya ke alam abadi.
SELESAI Created ebook by
Sean & Conyert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Kisah Pendekar Bongkok 3 Tiga Maha Besar Karya Khu Lung Pendekar Pedang Pelangi 14