Dendam Jasad Dedemit 1
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit Bagian 1
Pendekar Slebor
Dendam Jasad Dedemit
Djvu oleh Nova (catutsana-sini.blogspot.com)
Edit teks oleh Rayno ld (www.tagtag.com/tamanbacaan)
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
DENDAM JASAD DEDEMIT
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
dalam episode: Dendam Jasad Dedemit
128 hal 1 Dunia persilatan memang tak bisa untuk tenang sedikit.
Selalu saja ada persoalan yang membuat darah tumpah di
mana-mana. Tapi dunia memang selalu begitu. Ada hitam
ada putih. Ada baik dan ada buruk. Ada kebaikan dan ada
kejahatan. Selalu bergulir di setiap waktu dan di setiap
tempat. Adanya persoalan itu pula yang membuat beberapa
orang pengendara kuda memacu tunggangannya kencang-
kencang. Padahal kalau kuda-kuda itu bisa bicara, mereka
pasti akan merutuki para penunggangnya. Bayangkan saja,
sudah terkentut-kentut tapi masih dipacu cepat oleh keenam
orang berpakaian sebagaimana tokoh persilatan.
Paling depan adalah seorang lelaki yang badannya mirip
papan penggilasan. Kurus seperti orang kurang makan.
Pakaiannya serba hitam dengan jubah abu-abu berlukisan
kerangka manusia warna putih. Di pergelangan tangan
kanan dan kirinya melilit senjatanya yang berupa rantai besi
berujung tengkorak manusia. Aneh sekali kesukaan lelaki
ini. Ia suka mengganti tengkorak itu dengan kepala orang
taklukannya yang telah dikuliti. Siapa lagi tokoh ini kalau
bukan Jasad Dedemit.
Di belakang lelaki bertampang menyebalkan itu berkuda
empat orang lainnya dengan beriring-iringan. Paling kiri
adalah lelaki berbadan tegap. Tubuhnya dibiarkan telanjang
tanpa baju. Mungkin ingin hidup irit. Lengannya dibalut
dengan logam untuk menangkis senjata lawan. Tidak ada
senjata di tubuhnya, karena kesukaannya memang
bertarung tangan kosong. Julukannya cukup menggetarkan
juga. Betot Nyawa!
Di sebelah Betot Nyawa adalah lelaki berkulit hitam
legam. Seperti Betot Nyawa, ia juga tidak suka memakai
baju. Konon, lelaki ini bisa merubah-rubah wajahnya
dengan bentuk yang menakutkan. Kali ini yang dipasang
adalah wajah manusia penghisap darah dengan dua buah
taring runcing di sudut-sudut bibirnya. Lelaki ini dikenal
sebagai Lampor Ireng.
Sebaliknya,lelaki di sebelah Lampor Ireng justru
berwajah putih cerah dan manis. Bahkan terkadang
mengumbar senyum ramah bak malaikat kebaikan. Maka
tak heran kalau dunia persilatan menjulukinya Malaikat
Siluman. Dijuluki begitu, karena wajah itu sewaktu-waktu
berubah menjadi demikian menggiriskan, penuh nafsu
membunuh. Terutama saat menghujamkan pukulan
mematikan, dan menghunuskan pedang panjangnya di
tubuh lawan. Yang terakhir adalah satu-satunya wanita dalam
rombongan berkuda ini. Seperti Malaikat Siluman, wanita
ini juga berpakaian serba putih. Senjatanya juga berupa
pedang panjang. Rambutnya yang panjang disanggul. Dan
sebenarnya, wanita lumayan cantik itu istri dari Malaikat
Siluman. Sementara, dunia persilatan menjuluki pasangan
itu adalah Suami-Istri Beradat Setan.
Lantas siapakah lelaki yang berkuda di sebelah Jasad
Dedemit" Dialah Togap. Lelaki ini telah dijadikan
penuntun untuk menunjukkan tentang keberadaan Pendekar Slebor yang menurut kabar berada di Perguruan
Kemangi Sariadi. Dan bila pendekar urakan itu tidak ada di
tempat, maka Togap harus rela untuk kehilangan
kepalanya. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode:
"Alengka Bersimbah Darah").
Sebelumnya Jasad Dedemit, Belot Nyawa, Lampor
Ireng, dan Suami Istri Beradat Setan memang telah
membulatkan tekad untuk bersatu melawan Pendekar
Slebor yang dianggap sebagai penghalang segala sepak
terjang golongan hitam.
Awalnya, mereka cukup kesulitan untuk menemui
Pendekar Slebor. Bahkan waktu itu, mereka tega-teganya
membuat keonaran di Kerajaan Alengka. Maksudnya untuk
memancing kehadiran Pendekar Slebor. Sekaligus, mengancam Prabu Alengka untuk ikut membantu mencari
pendekar urakan itu.
Dalam sepak terjang itulah mereka mendapatkan Togap
yang ternyata bisa menunjukkan di mana adanya Pendekar
Slebor. Togap sendiri memang mempunyai dendam pribadi
pada Pendekar Ulas Sakti. Menurut perhitungannya,
dengan membawa kelima tokoh sesat itu ke Perguruan
Kemangi Sariadi untuk menemui Pendekar Slebor, pasti
akan terjadi pertarungan. Dia yakin jika Pendekar Slebor
bertarung pasti Pendekar Ulos Sakti akan ikut turun tangan.
Dan bisa dipastikan, kedua pendekar itu akan tewas di
tangan kelima tokoh sesat ini.
(Oodwkz-ray-novooO)
Tiba di halaman Perguruan Kemangi Sariadi mata Jasad
Dedemit yang cekung jelalatan mengawasi ke sekitarnya.
Demikian pula keempat kawannya.
Di halaman, murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi
tampak sedang berkerumun di depan sebuah pengumuman
yang ditempel oleh salah. seorang panglima Kerajaan
Alengka tadi pagi. Dalam pengumuman itu dinyalakan
bahwa Ketua Perguruan Kemangi Sariadi yang berjuluk
Pendekar Penjaga Langit dinyatakan sebagai penjahat
berbahaya. Untuk itu terpaksa pihak kerajaan harus
melenyapkannya atas bantuan seorang pendekar utusan
Kerajaan Toba yang berjuluk Pendekar Ulos Sakti.
Untungnya, para murid Perguruan Kemangi Sariadi
yang dikenal berjalan lurus, cukup dewasa menerima
kenyataan itu. Sehingga, mereka tidak merasa dendam
terhadap Prabu Alengka yang dikenal sebagai raja yang arif
dan bijaksana. Tapi sebagai murid, tentu saja mereka
merasa prihatin alas kematian guru mereka. (Baca serial
Pendekar Slebor dalam episode: "Alengka Bersimbah
Darah"). Dua murid Perguruan Kemangi Sariadi segera datangi
enam orang berkuda yang baru saja tiba di perguruan
mereka. Wajah mereka tampak masih berselimut duka.
"Maaf, Kisanak semua. Ada yang bisa kami bantu?" sapa
salah seorang murid.
"Ya, ada! Apakah kalian melihat pemuda sontoloyo
berjuluk Pendekar Slebor"!" sahut Jasad Dedemit.
"Maaf, Kisanak. Kami sedang berduka. Guru kami telah
meninggal dunia. Beliau terbunuh oleh Pendekar Ulos
Sakti," sahut murid satunya.
"Apa..."!"
Sebelum Jasad Dedemit membuka suara, Togap telah
lebih dulu tersentak. Cepat ia turun dari kuda dan langsung
menghambur ke ruang utama, sebuah tempat yang biasa
untuk menyemayamkan mayat.
Sebenarnya Jasad Dedemit ingin mencegah. Tapi
gerakan Togap cepat bukan main, pertanda ilmu
meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi.
Togap tiba di ruang utama. Dan begitu melihat mayat
abangnya, berteriaklah ia sekuat tenaga. Tentu saja hal ini
membuat murid-murid di ruangan itu terheran-heran.
Apalagi melihat Togap menangis sambit memeluki mayat
Pendekar Penjaga Langit.
"Siapakah kau, Kisanak?" tanya seorang murid.
"Aku adalah adik kandungnya," jawab Togap tersengal-
sengal. Murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi tersentak
kaget. Mereka tak menyangka kalau guru mereka
mempunyai adik kandung. Tapi sebelum mereka menjura
memberi hormat, Togap telah kembali berdiri tegak, dan
langsung berkelebat lewat pintu belakang.
Memang, tentu saja Togap tak ingin kepalanya hilang di
tangan Jasad Dedemit dan keempat kawan-kawannya.
Apalagi, saat ini siasatnya untuk mempertemukan kelima
tokoh sesat itu dengan Pendekar Slebor serta Pendekar Ulos
Sakti gagal. Bahkan Pendekar Penjaga Langit yang ternyata
kakak kandungnya telah tewas di tangan Pendekar Ulos
Sakti. Maka dengan membawa dendam kesumat, Togap
pergi dari tempat ini, untuk membalas dendam di kemudian
hari. Sementara itu Jasad Dedemit yang mendengar teriakan
Togap tadi sudah tiba di ruang utama.
"Ke mana Togap"!" sentak Jasad Dedemit penuh
kegeraman. "Dia... dia keluar lewat pintu belakang, Tuan!" sahut
seorang murid. "Bajingan!"
Jasad Dedemit segera mengejar lewat pintu belakang.
Tapi, Togap sudah tak nampak lagi. Tentu saja membuat
Jasad Dedemit murka. Tanpa menghiraukan murid-murid
Perguruan Kemangi Sariadi yang terlongong tak mengerti,
Jasad Dedemit berkelebat keluar menemui empat orang
temannya yang menunggu di luar.
"Kunyuk sialan! Ia menipu kita," maki Jasad Dedemit
begitu berada di luar langsung dinaikinya kuda tunggangannya. "Bajingan kurap! Akan kupotong-potong jadi seratus dia!
Ayo kita kejar!" seru Nyai Bengis, beringas.
"Jangan!" tahan Jasad Dedemit. "Biarkan dia pergi. Itu persoalan kecil."
Beberapa murid perguruan yang masih berada di luar
hanya memandang tak mengerti pada kelima tokoh sesat
itu. Ketika Jasad Dedemit memanggil dengan lambaian
tangan, salah seorang segera menghampiri.
"Siapa yang menewaskan guru kalian" Pendekar Slebor?"
tanya Jasad Dedemit, langsung saja.
"Bukan. Dia memang ada tadi. Tetapi yang membunuh
Guru adalah seorang utusan Kerajaan Toba, tempat guru
kami berasal. Namanya, Pendekar Ulos Sakti," sahut si
murid, lugu. "Hm...." Jasad Dedemit menggumam tak jelas.
Betot Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat Siluman dan Nyai
Bengis menyimak, mencoba menangkap apa yang
dipikirkan Jasad Dedemit.
"Siapa saja yang bersama Pendekar Slebor selain
Pendekar Ulos Sakti?" tanya Jasad Dedemit.
"Panglima Andrayana serta lima puluh prajurit berkuda
Kerajaan Alengka."
"Ada lagi seorang wanita," tambah salah seorang murid
lain. "Tapi, namanya kami tak tahu."
"Baiklah. Untuk sementara, kami tak ingin menurunkan
tangan kejam pada kalian. Tapi kalau keterangan yang
kalian berikan dusta, maka kami akan kembali untuk
meminta kepala kalian!" ancam Jasad Dedemit, seraya
membalikkan arah kudanya, diikuti keempat kawannya.
(Oodwkz-ray-novooO)
2 Dua orang lelaki dan seorang wanita melangkah
beriringan di halaman depan Kerajaan Alengka. Mereka tak
lain dari Pendekar Slebor, Mirah, dan Patniraga yang
dikenal sebagai Pendekar Ulos Sakti.
"Enaknya kita jalan-jalan dulu, yuk," Andika buka suara.
Walaupun bernada mengajak, tapi wajahnya dihadapkan
pada Mirah. Pendekar Ulos Sakti tahu gelagat. Sementara
Mirah diam saja.
"Aku pergi istirahat dulu, Andika," kata Patniraga, tahu
diri. "Ya, kau memang perlu pergi istirahat, Kawan!" sambar
Andika dengan mata mengerling sebelah.
"Biarlah aku dan Mirah cari angin dulu."
"Sehari semalam kita sudah makan angin di luar.
Sekarang, kalian masih mau cari angin pula. Apa belum
puas?" goda Patniraga.
"Ah, kau! Seperti tidak pernah muda saja," sahut Andika
enteng. "Brengsek, kau. Apa aku ini sudah tua?"
Mirah cuma senyum simpul mendengar pembicaraan itu.
"Kalau begitu mengertilah sedikit," Andika kembali
mengedipkan mata pada Patniraga.
"Bah! Mengerjapkan mata pula. Genit sekali kau ini
mengerjapkan mata padaku."
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Patniraga ngeloyor masuk ke dalam kamar. Sementara
kuping Andika sempat panas juga.
"Sontoloyo! Tak bisa pegang rahasia itu orang!" umpat
pendekar urakan itu dalam hati.
Sepeninggal Patniraga, Andika mengajak Mirah jalan-
jalan mengitari halaman istana. Cahaya sinar bulan
purnama menerangi. Para prajurit Istana Alengka tampak
sedang asyik berlatih di sana.
"Mirah... Aku belum mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu setelah aku terkena pukulan 'Tenaga Langit'
kemarin," ucap Andika, membuka pembicaraan.
"Ah, lupakanlah. Dan lagi, berarti sudah tunas, kan?"
sahut Mirah, mendesah.
"Lunas bagaimana?" Andika pura-pura bodoh.
"Lho" Kan kau juga telah menolongku waktu peristiwa si
Biludak Tengik."
"Oh, itu toh" Ah, rasanya aku lebih banyak enaknya."
"Tuh, kan. Mulai lagi."
"Iya, deh. Oh ya, Mirah kita ke dalam saja. Yuk. Di sini
banyak orang," ajak Andika ketika tepat di depan pintu
masuk kembali. Mirah menurut saja.
Mereka kini berjalan kembali masuk ke dalam ruang
utama istana. Ada tempat duduk dan sebuah meja di situ.
Mereka duduk berhadap-hadapan.
"Akhirnya Patniraga berhasil juga melaksanakan
tujuannya menghukum Pendekar Penjaga Langit," kata
Andika. "Kurasa tidak lama lagi ia akan pulang ke Tanah
Toba." "Kurasa tidak, Andika. Orang seperti Patniraga tidak
akan mengingkari janji. Ia akan tinggal di sini hingga selesai
membantumu. Lagi pula,
kau kan telah banyak menolongnya," sanggah Mirah.
"Menolong apa?"
"Ah, kau berlagak lupa. Waktu dia hampir terbunuh oleh
Pendekar Penjaga Langit, kau menolongnya memberikan
siasat serta memberitahukan rahasia menaklukkan pukulan
'Tenaga Langit'," urai Mirah.
"Ah, itu sih biasalah," tepis Andika sambil mengulapkan
tangan. Enteng sekali gayanya. Lagaknya bagai seorang
guru di depan muridnya.
"Tapi harus diakui bahwa bantuan dia kini amat berarti
bagi kita semua. Ya bagimu, dan bagi Kerajaan Alengka
juga." Andika tidak menjawab. Namun, dalam hati dia
mengiyakan. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan ulos sakti
Patniraga, ya" Sudah koyak-moyak begitu. Kita berdua
telah saksikan, kalau keampuhan senjata itu berkurang jauh,
setelah koyak-moyak menghadapi Pendekar Penjaga
Langit," Andika mengalihkan pembicaraan.
"Aku yakin pasti ada jalan mengatasinya, An."
Andika tersenyum kecil menatap Mirah. Suasana hening
kembali. Andika melahap wajah Mirah yang cantik dengan
sepasang mata elangnya. Sedang si gadis sendiri memain-
mainkan jarinya.
Dan saat yang sama mata elang Andika menangkap
sebuah bayangan orang berkelebat. Begitu ringan dan cepat.
"Sst.... Aku melihat ada seseorang berkelebat di lorong
itu," bisik Andika, memberi tahu Mirah. "Aku curiga
maksudnya tidak baik. Mari kita ikuti, Mir."
Andika seketika berkelebat ke lorong. Ringan sekali
gerakannya sehingga tak menimbulkan suara sedikit pun.
Di belakangnya, Mirah mengikuti. Tiba di sebuah tikungan
sosok hitam yang tadi berkelebat tak terlihat lagi. Tapi itu
bukan berarti Andika dan Mirah patah semangat. Mereka
segera berkelebat lagi ke pertigaan lorong. Di tikungan,
mereka berhenti. Andika mengintip. Benar rupanya.
Seseorang berpakaian ketat serba hitam dengan penutup
kepala berwarna hitam juga tengah mengintai di ujung
untuk belok ke tikungan lain, ke tempat di mana kamar
mereka berada. Begitu sosok hitam itu bergerak, Andika dan Mirah
mengekori. Tentu saja dengan i!mu meringankan tubuh
agar gerakan mereka tak tertangkap.
Ternyata sosok itu berhenti di depan kamar Mirah.
Dibukanya pintu kamar dan masuk. Tapi tak lama
kemudian.... "Ufs!"
Andika cepat-cepat menarik kepalanya saat sosok
berpakaian ketat serba hitam itu keluar. Hampir saja
kehadirannya ketahuan. Namun seketika terbersit sebuah
rencana di kepala Andika.
"Kalau dia masuk lagi ke kamarku, kita sergap saja,
Mirah! Orang itu tak kan bisa ke mana-mana lagi," bisik
Andika. Pendekar Slebor melongok lagi ke lorong itu. Benar! Dari
pintu kamarnya yang tampak terbuka sedikit, jelas sosok
hitam itu telah masuk ke kamar Andika. Padahal, di situ
ada Patniraga yang sedang tidur.
Andika memberi tanda dengan telunjuknya pada Mirah
agar mengikutinya.
"Hup!"
Dengan sekali lompat Andika dan Mirah telah berada di
muka kamar. Kejap berikutnya Andika telah melabrak
masuk. Brakk! Patniraga yang mendengar suara gaduh dari pintu yang
diterjang Andika kontan terbangun dan segera duduk.
Sementara sosok hitam yang baru saja mengendap-endap
ke tempat tidur Patniraga kontan menoleh pada Andika.
Dari sinar matanya yang tak tertutup kain hitam di
kepalanya jelas kalau sosok itu terkejut setengah mati.
"Hiaaat!"
Merasa yakin kalau sosok itu hendak bermaksud jahat,
tanpa bicara lagi Pendekar Slebor langsung menyerang.
Sedangkan Mirah berdiri di pintu berjaga-jaga.
Sebelum Andika sampai, sosok itu telah mengibaskan
tangannya ke arah Patniraga.
Benda-benda kecil berkilatan yang tak lain berupa pisau-
pisau kecil langsung meluncur mengancam keselamatan
Patniraga. Sambil melempar senjata rahasia, sosok itu
membuang diri, menghindari serangan Andika.
"Uts!"
Patniraga yang telah terjaga berusaha berkelit. Tapi
karena jarak yang dekat, tak urung lengannya terserempet
senjata rahasia.
Cras! "Aaah.."
Baru saja Patniraga mengeluh kecil karena terserempet
senjata rahasia sebuah senjata rahasia lain kembali
meluncur ke arahnya. Terpaksa Pendekar Ulos Sakti
mengenyahkan tubuhnya kembali.
Sosok hitam itu kini telah mencabut goloknya,
menyadari dirinya telah terkepung. Sambil berdiri tegang,
dia mencoba membaca keadaan.
"Heaaaa..!"
Dengan suatu lompatan cepat, sosok hitam itu
menerjang Mirah disertai sambaran golok. Tentu saja
Mirah tak sudi tubuhnya tersambar golok. Langsung saja
disongsongnya serangan.
"Hiaaat!"
Sambil bergeser ke kiri Mirah menangkis dengan
memapak pergelangan tangan orang itu yang memegang
golok. Dan tiba-tiba tubuhnya berputar dengan kaki
melepas tendangan melingkar ke leher lawan.
"Uts!"
Sosok hitam itu menarik tubuhnya sedikit ke belakang,
sehingga sabetan kaki Mirah luput.
"Hiaaa..."
Namun belum juga sosok itu sempat bernapas, Andika
telah datang menerjang. Cepat sekali datangnya serangan
Andika yang menggunakan tangan kosong.
"Hup...!"
Tidak ada jalan lain bagi orang itu selain bersalto ke
belakang untuk menghindari serangan Pendekar Slebor.
Ringan sekali tubuhnya bergerak, pasti ilmu meringankan
tubuhnya telah cukup tinggi.
Namun baru saja sosok itu menginjakkan kakinya di
lantai, Patniraga telah melompat dengan sebuah tendangan
yang tidak mungkin dapat dielakkan.
Dukk! Telak sekali wajah sosok itu terhajar kaki Patniraga.
Kepalanya kontan terbentur dinding. Tubuhnya langsung
melorot bagai kolor putus. Pingsan.
Andika mendekati dan membuka kain penutup di wajah
sosok itu. "Togap!" seru Patniraga.
(Oodwkz-ray-novooO)
Keributan di dalam kamar Andika dan Patniraga tentu
saja terdengar oleh para prajurit di dekat situ. Mereka
segera berdatangan, namun hanya melihat Togap telah
pingsan di lantai.
"Tolong ikat dan amankan dia," ucap Andika. "Sekalian
laporkan peristiwa ini pada Prabu Alengka."
Sebelum dibawa pergi Togap telah dibuat siuman
kembali oleh Andika. Baru kemudian, para prajurit
menyeretnya untuk dibawa ke penjara istana.
"Aku akan menuntut kematian abangku di lain waktu,
Patniraga!" kata Togap ketika melewati Patniraga dengan
digiring oleh dua orang prajurit. Nada suaranya penuh
dendam. Melihat hal itu terbit rasa kasihan Patniraga padanya.
Kemampuan silat Togap sebenarnya tidak tinggi. Selain
malas berlatih, ia memang tidak terlalu berminat. Kecuali,
ilmu meringankan tubuhnya yang selalu dilatih. Tak heran
kalau untuk jenis ilmu itu ia tergolong piawai. Dengan
mengandalkan kemampuannya itu,
ia telah nekat menyusup masuk ke dalam Istana Alengka untuk
menyerang Patniraga.
"Mungkin ia tak tahu dosa apa yang telah dilakukan
abangnya," pikir Patniraga. "Baringin Pati rupanya telah
mengelabuinya dengan mengarang-ngarang cerita palsu
mengapa ia sampai melarikan diri. Kalau benar demikian,
kasihan sekali si Togap."
Sementara itu Prabu Alengka baru saja tiba di pintu
kamar Andika dan Patniraga. Di kanan kirinya, mengawal
dua prajurit gagah.
"Tolong jelaskan, siapa penyusup itu padaku, Patniraga,"
ujar prabu Alengka, langsung saja. Rupanya, ia telah
mendapat laporan dari prajuritnya.
"Dia adalah adik kandung Pendekar penjaga Langit,
Prabu. Yang kutahu, ia telah menguntitku sepanjang
perjalanan. Bahkan ada kemungkinan sejak aku berangkat
dari Kerajaan Toba. Aku memergokinya beberapa kali.
Pendekar Slebor juga. Hm.... Rupanya dia telah mengetahui
kematian abangnya. Hatinya dirasuki amarah dan dendam.
Itulah sebabnya dia nekat menyusup kemari untuk
menuntut balas padaku," papar Pendekar Ulos Sakti.
"Kau telah mengenalnya sejak di daerahmu?" tanya
Prabu Alengka. "Benar, Prabu."
"Lalu mengapa ketika memergokinya tidak kau
tangkap"!"
"Itulah, Prabu. Ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi
sehingga selalu dapat melarikan diri. Itu sebabnya pula,
mengapa dia masih dapat menyusup ke kamarku melalui
penjagaan yang ketat di sini. Sayang, kemampuan
bertarungnya kurang baik. Setelah Pendekar Slebor
memergokinya, kami dengan mudah menangkapnya. Oh
ya. Terima kasih ya, Bor!" ucap Patniraga menganggukkan
kepala pada Andika.
Andika mencibir melihat gaya Patniraga di hadapan
Prabu Alengka. "Auk, ah! Gelap!" oceh Pendekar Slebor, seenaknya.
Prabu Alengka manggut-manggut. Ia mengerti kini,
mengapa para prajurit jaganya bisa kecolongan.
"Kalau boleh, ada satu permohonanku, Prabu," kata
Patniraga lagi.
"Apa itu?"
"Aku punya dugaan, si Togap tidak mengetahui duduk
perkara sesungguhnya. Si Baringin Pati itu licik, Prabu. Ada
kemungkinan ia mengarang-ngarang cerita pada si Togap
kenapa sampai melarikan diri. Selain itu, mungkin pula
karena ia telah menjejali adiknya dengan uang hasil
kejahatannya. Aku ingin berbicara padanya, sekiranya
diizinkan."
"Hm.. Baiklah, besok kau boleh menemuinya di penjara.
Sekarang, istirahat saja. Aku permisi dulu," ucap Prabu
Alengka seraya berbalik meninggalkan kamar ini.
(Oodwkz-ray-novooO)
3 "Whooaahh..."
Andika menguap lebar. Untung saja tak ada lalat lewat.
Kalau ada, tak mustahil akan tersedot oleh mulutnya yang
masih bau naga. Si pemuda berbaju hijau pupus dengan
kain bercorak catur di pundaknya ini duduk. Tangannya
direntangkan selebar-lebarnya dengan mata mengerjap-
ngerjap. Ngulet. Mentari pagi telah menerangi dunia. Ia
menemukan Patniraga tengah
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
duduk di lantai membelakangi. "Wah... Sudah siang ya, Sobat?" sapa Andika,
sekenanya. Orang yang ditanya tidak menjawab. Mungkin malas
menanggapi kata-kata Andika yang nyerocos begitu saja.
Sudah tahu sinar matahari yang lewat dari jendela menerpa
wajahnya. Pakai bilang sudah siang segala! Kebangetan
sekali pemuda satu ini.
"Sedang apa kau, Sobat?" ulang Andika, agak mangkel
juga didiamkan seperti itu. Memang enak dianggap angin
lewat" Tapi Patniraga tidak juga menjawab.
Saking mangkelnya, Andika turun dari tempat tidur.
Dihampirinya Patniraga yang tengah duduk berada.
Matanya terpejam. Kedua telapak tangannya mengatup di
muka, mengepit ulos saktinya yang koyak moyak.
Andika lantas mengibas-ngibaskan tangan di depan mata
Patniraga. Jahil juga pemuda urakan ini. Tapi Patniraga
tidak bergeming juga. .
Andika menghela napas, tanpa mempedulikan Pendekar
Ulos Sakti lagi. Ia bergerak keluar kamar, hendak pergi
mandi. . Di luar, si pemuda bertemu Mirah. Gadis itu
membiarkan rambutnya tergerai lepas. Di telinganya
terselip sekuntum bunga kamboja. Cantik sekali.
"Baru bangun, An?" sapa Mirah.
"Oh, sudah dari tadi," jawab Andika, seenaknya.
"Kok wajahmu masih kucel begitu?"
"Maksudku Patniraga yang sudah bangun. Kalau aku
sih, baru saja bangun."
"Mana Patniraga?"
"Itu sedang bersemadi. Cari ilham buat pasang dadu
kali," jawab Andika, lalu ngeloyor pergi.
Mirah mengerutkan keningnya sambil menahan senyum.
Memang, pemuda satu ini kalau bicara tak pernah dipikir
dua kali. Asal nyeplos saja.
(Oodwkz-ray-novooO)
Patniraga terus dengan semadinya. Dengan mata dan
telinga tertutup, ia berusaha menyatukan jiwanya dalam
satu titik. Dengan demikian, dia tak peduli dengan segala
sesuatu yang terjadi di sekelilingnya.
Menanti dan menanti. Itulah yang dilakukannya sejak
subuh tadi. Menanti kehadiran gurunya yang dihubungi
lewat indra keenamnya. Padahal, sang Guru yang sudah
renta tinggal di sebuah gua di pegunungan Bukit Barisan.
"Bagaimana kau bisa sampai membiarkan ulos saktimu
kayak, hah"!" tiba-tiba terdengar suara amat berwibawa,
mengandung kemarahan. Itulah suara sang Guru.
"Beribu-ribu maaf sekali lagi, Guru. Aku dalam keadaan
terdesak waktu itu. Si Baringin Pati hampir saja
membunuhku dengan pukulan 'Tenaga Langit'-nya. Kalau
tidak kutangkis dengan Ulos Sakti, tak tahulah apa jadinya
aku," ucap Pendekar Ulos Sakti lewat tenaga batinnya.
"Aku tidak perlu penjelasan itu! jangan mengelak
kenyataan bahwa itu semua adalah bukti kalau kau masih
kurang dalam berlatih!" semprot sang Guru.
"Ya, Guru. Aku mengakuinya."
"Yang bandel kalilah kau ini, bah! Sudah kubilang
jangan turuti dendam dan amarah. Sekarang nyata, bukan"
Kau tidak turuti apa yang kubilang. Yang ada di otakmu itu
cuma nafsu untuk membunuh si Baringin Pati. Tak kau
pikir dan tak kau ingat lagi yang kubilang. Hah! Matilah
kau sekarang! Sudah begini, kau desak-desak pula aku...."
"Ampun, Guru. Aku mengakui semua kesalahan itu.
Aku berjanji, setelah ini hendak berlatih silat kembali. Tapi
tolonglah, Guru. Sambungkanlah lagi ulosku yang telah
koyak ini," ratap sang murid, nyaris bersifat kekanak-
kanakan. "Kalau kau tak tepati janjimu, apa hukumannya," sang
Guru memberi penawaran.
"Aku bersedia dihukum apa saja."
"Hm...."
Guru Patniraga sejenak tak bersuara. Mungkin sedang
berpikir, hukuman apa yang akan dikenakan pada
muridnya bila mengingkari kata-katanya sendiri.
"Jika kau tak lakukan apa yang kubilang, aku tak akan
pernah menolongmu lagi," kata sang Guru, sarat ancaman.
Tek! Jantung Patniraga berdenyut keras. Ini hukuman yang
tidak main-main.
Itu berarti gurunya tidak mau menganggapnya sebagai murid lagi.
"Kau paham itu, Patniraga?" lanjut sang Guru.
"Berat kali hukuman ini!, Guru," keluh Pendekar Ulos
Sakti. Aku tidak mau kau main-main, Patniraga. Ingat selalu
kataku dulu. Sekali aku menerimamu sebagai murid, kau
harus berusaha yang terbaik!"
"Baiklah, Guru. Aku akan menuruti kata-katamu."
"Hm! Sekarang bersiaplah. Pegang erat ulosmu. Erat-
erat! Salurkan semua tenaga dalam yang kau miliki
padanya. Nanti, akan datang musuh kita, Sibolis
Anggarjago! Dia akan menyerangmu. Taklukkan dia.
Maka, ulosmu akan tersambung kembali. Jika kau kalah,
kau akan mati."
Indra keenam Patniraga mendadak buntu. Itu artinya,
gurunya telah menutup pembicaraan. Padahal, ia belum
sempat mengucapkan terima kasih. Namun Pendekar Ulos
Sakti tidak ingin lagi mempersoalkannya. Karena bisa jadi
gurunya akan marah. Maka segera dia berbuat apa yang
diperintah gurunya. Dipegangnya erat-erat Ulos Sakti. Saat
itu pula tenaga dalamnya mulai disalurkan ke ulos.
Kini, ulos di tangan Pendekar Ulos Sakti seolah tampak
hidup. Benda sakti itu meliuk-liuk perlahan, seperti seekor
ular merayap. Makin lama makin cepat. Patniraga
merasakan, tetapi tidak membiarkan dirinya terpengaruh.
Tetap digenggamnya erat-erat ulos itu.
Pyas! Tiba-tiba Patniraga merasa seperti sedang berdiri di
tengah-tengah sebuah padang pasir yang luas. Mentari terik
menyengat. Dinantinya, apa yang akan terjadi kemudian.
Dan kening Pendekar Ulos Sakti mendadak berkerut ketika
samar-samar terlihat sesuatu bergerak ke arahnya.
Makin mendekat, Patniraga jadi terkesiap. Ternyata
makhluk itu bertubuh seekor binatang yang serba hitam.
Kupingnya tegak mirip kuping anjing. Mukanya mirip
serigala. Tinggi besar. Pantatnya berekor yang ujungnya
seperti mata anak panah. Di tangannya tergenggam sebuah
trisula. Tanpa basa-basi lagi, binatang itu langsung menyerang
Patniraga dengan senjata trisulanya.
Wheeess..'! Patniraga mengenyahkan tubuhnya ke samping, membuat serangan lawan anehnya yang bernama Sibolis
Anggarjago tak menemui sasaran. Binatang itu berbalik lalu
menyerang lagi.
Wesss.... "Hup...!"
Patniraga berkelit dan berjumpalitan ke sana kemari. Ia
sama sekali tidak diberi kesempatan sedikit pun oleh Sibolis
Anggarjago. Jika bertahan terus, bukan mustahil tenaganya
akan terkuras. "Hap!"
Begitu mendapat kesempatan Patniraga melompat
sejauh-jauhnya untuk mengambil jarak. Begitu mendarat,
kedua tangannya menghentak, melontarkan sebuah pukulan
jarak jauh. "Gherrr...!"
Binatang itu menghindar disertai gerengan menyeramkan. Tubuhnya berguling-guling di pasir, maju ke
arah Patniraga. Saat mendapat jarak memungkinkan,
Sibolis Anggarjago bangkit loncat, langsung menerkam
seperti singa. "Grauuungng...!"
Pendekar Ulos Sakti bergeser ke kanan seraya
menghujamkan kepalan tangan kanan ke iga lawan. Tak
dinyana, Sibolis Anggarjago menggerakkan tangan kiri,
menangkis. Sementara tangan kanannya menyabetkan
trisula. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Crass! "Akh!"
Patniraga menjerit tertahan begitu trisula lawan
menggores panjang dari pundak hingga ke perut. Darah
tampak merembes keluar. Patniraga menyeringai menahan
perih. Sementara itu dalam pandangan nyata ulos dalam
pegangan tangan Patniraga meliuk-liuk tak karuan setiap
kali terjadi bentrokan. Mungkin bila Andika masih berada
di kamar, akan melihat tubuh Patniraga yang sedang duduk
bersila ikut bergerak ke sana sini Dan pasti pemuda urakan
itu akan terbengong-bengong.
Dalam pandangan batin patniraga, tubuh makhluk itu
kini berdebum jatuh di pasir. Punggungnya dibiarkan
menghantam bumi, dan langsung berguling-guling ke arah
Patniraga. Begitu dekat, senjatanya disabetkan.
Bett! Patniraga mundur tiga langkah seraya mencabut golok.
Langsung ditangkisnya trisula yang mengancam dirinya.
Trang! Suara berdentang dari kedua senjata yang beradu
terdengar memekakkan telinga. Setiap kali senjatanya
beradu tangan Pendekar Ulos Sakti bergetar. Ini berarti
tenaga Sibolis Anggarjago lebih tinggi daripada tenaganya.
Tentu saja Patniraga tidak kuat terus-terusan menangkis
dengan senjatanya. Apalagi, genggamannya pada golok
terasa melemah akibat benturan barusan. Maka kini
goloknya kembali dimasukkan ke dalam warangkanya.
Patniraga yang sebenarnya ada di kamar kini tidak
duduk bersila lagi, peluh mulai membasahi sekujur
tubuhnya. Ia kini tidak hanya memegang ulos dengan
tangan kanan, tetapi dengan kedua tangannya. Ada tenaga
kuat dari ulos yang ingin melepaskan diri dari
genggamannya. Rumbai-rumbai ulas yang koyak meliuk-
liuk hebat. Pertarungan terus berlangsung seru dan menegangkan.
Namun sampai sejauh itu, belum ada yang unggul.
(Oodwkz-ray-novooO)
Setelah beberapa jurus berlangsung, Patniraga yang terus
mencari kelemahan lawan mulai mendapat titik terang.
Ternyata Sibolis Anggarjago tidak pernah menghindar
dengan jalan melompat, kecuali saat menerkam. Kelihatannya, di sinilah kelemahan lawan.
"Heaaa...!"
Dalam satu kesempatan Patniraga menyerang setelah
mencabut goloknya kembali. Goloknya diayunkan dari atas
ke bawah. Tapi Sibolis Anggarjago cepat menangkis dengan
trisula. Trang! Saat itulah Patniraga segera menyodok dada lawan
dengan kaki kanan ketika binatang itu mundur selangkah,
Patniraga menekan goloknya yang masih tertahan oleh
trisula lawan. Lalu tiba-tiba tangan kirinya bergerak
memapak tangan lawan yang memegang trisula.
Begitu trisula lepas, Patniraga memutar tubuhnya.
Seketika kakinya membuat satu gerakan berputar yang
berisi tenaga dalam penuh. Begitu cepat gerakannya, dan....
Beg! Sibolis Anggarjago terjajar mundur ke belakang sambil
memegang tulang rusuknya yang terhantam kaki Patniraga.
Bukan main! Kalau lawan biasa, pasti sudah mampus
dengan paru-paru dan jantung pecah. Tetapi tampaknya
binatang itu jadi susah bernapas. Dadanya terasa sesak
sekali. Melihat hal ini Patniraga tidak membuang waktu. Segera
tubuhnya menerjang sambil menyabet golok dari samping.
Ketika binatang itu berusaha menghindar, dengan sebuah
gerak tipuan lelaki itu pun segera melepas tendangan
dengan kaki kanannya ke wajah lawan.
Dess..! Kepala Sibolis Anggarjago kontan tersentak ke belakang
terkena tendangan Patniraga. Dan belum binatang itu
sempat berbuat sesuatu, telapak tangan kiri Patniraga telah
telak mendarat di dada.
Desss! Binatang itu kontan terjengkang empat tombak ke
belakang, lalu terhempas di pasir. Sebentar kemudian
Sibolis Anggarjago melejang-lejang.
"Ngik.... Ngik...!"
Sementara itu, ulos dalam genggaman kedua tangan
Patniraga menegang kaku. Lalu, suatu pemandangan yang
mengherankan muncul. Di sepanjang dan sekeliling ulos,
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampak sinar putih melingkupi.
Lantas perlahan-lahan setiap bagian ulas yang telah
koyak merapat satu sama lain. Sedangkan rumbai-rumbai
ulos menyambung kembali, menjadi utuh seperti semula.
Bahkan, tanpa sedikit pun bekas-bekas koyakan. Begitu ulos
utuh, perlahan-lahan sinar putih meredup. Dan akhirnya,
sirna. Barulah setelah itu, ulos melemas dan tergerai di
lantai. "Aaung...."
Seiring dengan terdengarnya lolongannya, Sibolis
Anggarjago telah dijemput maut. Patniraga melihat darah
hitam mengalir dari mulut dan telinga binatang aneh itu.
Paru-paru dan jantungnya ternyata telah pecah.
"Dasar iblis!"
Bersamaan dengan rutukan Pendekar Ulos Sakti,
gambaran yang ibarat mimpi itu hilang. Patniraga pun
merasakan telah berpindah ke alam nyata kembali.
Perlahan-lahan kelopak matanya membuka.
(Oodwkz-ray-novooO)
Setelah mendapat izin dari Prabu Alengka, Patniraga
ditemani Andika pergi menemui Togap di ruangan penjara.
Pagi itu, Togap sedang melamun. Dan mukanya
langsung ditekuk begitu melihat kedatangan kedua
pendekar itu. Bahkan kemudian berbalik, membelakangi.
"Mau apa kalian kemari"!" tanyanya tanpa menoleh.
"jangan berprasangka buruk, Togap. Aku hendak
menjelaskan duduk persoalan, mengapa aku sampai
membunuh abangmu," jelas Pendekar Ulos Sakti.
Patniraga lalu menceritakan secara lengkap apa yang
telah dilakukan Baringin Pati terhadap Kerajaan Alengka.
Juga, terhadap kekasih yang akan dinikahinya (Baca serial
Pendekar Slebor dalam episode: "Alengka Bersimbah
Darah"). "Tidak!" teriak Togap begitu Pendekar Ulos Sakti selesai
dengan ceritanya. "Kalian membual! Tidak mungkin
abangku melakukan itu semua! Kalianlah yang iri padanya.
Iri pada keberhasilannya! Iri pada kemampuannya!"
"Kalau kau tidak percaya, aku membawa surat perintah
langsung dari raja kita, Raja Sahala," tegas Patniraga sambit
merogoh saku di balik bajunya. Di tangannya kini
tergenggam secarik surat dan dijulurkan melalui jeruji.
"Tidak mau! Aku tidak perlu semua itu!" tolak Togap,
keras kepaJa. Patniraga membiarkan surat itu terjatuh ke dalam ruang
tahanan Togap. "Togap," Andika buka suara. "Kau mau percaya kek,
mau tak percaya kek, itu urusanmu. Tak perlu berteriak-
teriak begitu. Memangnya kami budek" Begini saja. Coba
kau pikir, Raja Sahala mengutus Patniraga untuk mencari
abangmu hingga ke Tanah Jawa dengan biaya cukup
banyak jika semua yang di ceritakan tadi tidak benar?"
"Aku tidak percaya semua itu! Aku tidak percaya.
Semuanya bohong..!" teriakan Togap semakin kencang.
"Pergiii..., pergi kaliaaan..!"
Andika dan Patniraga saling berpandangan. Setelah
menghela napas, Patniraga mengajak Andika meninggalkan
tempat ini. (Oodwkz-ray-novooO)
Dua hari berlalu begitu saja. Saat ini Patniraga tengah
melatih ilmu silat sebagaimana janjinya pada gurunya. Dan
barn saja ia memainkan jurus terakhir, seorang prajurit
dalang menemuinya.
"Maaf, Pendekar Ulos Sakti. Hamba datang hendak
menyampaikan keinginan Togap untuk berbicara padamu,"
ucap si prajurit.
"Tolong bawa dia kemari," perintah Pendekar Ulos Sakti
sambil terus melanjutkan latihannya tanpa menoleh sedikit
pun. Peluh di tubuh Patniraga telah membanjir. Tapi lelaki ini
seperti tidak mengenal lelah melatih jurus-jurusnya. Hingga
tak terasa, Togap telah hadir dengan tangan terikat diantar
dua orang prajurit.
Pendekar Ulos Sakti menutup jurus terakhirnya dengan
kedua telapak tangan menangkup di dada. Lalu sambil
membasuh keringat, dihampirinya Togap.
"Apa yang akan kau katakan, Togap?" tanya Patniraga
langsung saja. "Lepaskan dulu ikatanku ini," pinta Togap.
"Asal kau berjanji tak akan lari."
"Aku takkan lari."
Patniraga meminta pada kedua prajurit itu untuk
membuka ikatan tangan Togap dengan jaminan dirinya.
Apabila Togap lari, patnitaga bersedia bertanggung jawab.
"Telah kupikirkan apa yang kau ceritakan padaku
tentang Abang Baringin Pati," buka Togap, begitu ikatan
pada tangannya terlepas.
"Lalu?"
"Kau benar mengatakan itu semua, Patniraga?"
"Apa ada kemungkinan aku berbohong?" Patniraga balik
bertanya. . . Togap melihat bahwa Patniraga berkata jujur. Apalagi, ia
mengenal cap Kerajaan Toba dan tanda tangan Raja Sahala
dalam surat perintah yang ditinggalkan Patniraga dalam
ruang tahanan. Ia tahu, Raja Sahala tak mungkin
berbohong. Babkan tak mungkin berbuat begitu rupa,
hingga mengutus Patniraga jauh-jauh ke Tanah Jawa hanya
untuk mengejar seseorang belaka.
"Aku telah dibohongi oleh abangku sendiri rupanya,"
desah Togap. Patniraga menghela napas. Hatinya melunak. Firasatnya
mengatakan bahwa Togap telah sadar akan kekeliruannya.
"Apa yang dikatakannya padamu?" tanya Patniraga
seraya mendekati Togap dengan tatapan tajam.
Togap membuang pandangannya. Dihindarinya tatapan
mata Patniraga yang seolah menusuk nuraninya.
"Ia mengatakan padaku bahwa Raja Sahala khawatir
pada kemampuan dan pengaruh abangku di dalam istana
yang akan merebut kekuasaan di Kerajaan Toba. Raja
Sahala iri pada Abang Baringin dan bermaksud membunuhnya. Itulah sebabnya dia melarikan diri ketika
mengetahui rencana Raja Sahala," papar Togap.
"Jika Raja Sahala hendak membunuhnya karena alasan
itu, buat apa menyuruhku mengejar abangmu hingga ke
ujung bumi sekalipun?" tukas Pendekar Ulos Sakti.
"Itulah. Aku juga akhirnya berpikir demikian, setelah
membaca surat perintah Raja yang kau tinggalkan di kamar
tahanan." "Lalu, apa katanya pula tentang aku?"
"Ia mengatakan bahwa kau mengejarnya karena disuruh
Raja Sahala yang benar-benar ingin melenyapkannya."
Patniraga mendengus mendengarkan penuturan Togap.
Cerita itu tidak sedikit pun menyinggung nasib Ulima,
calon istri Pendekar Ulos Sakti yang dicintainya.
"Aku ingin minta maaf atas kesalahanku telah
menganggapmu sebagai kaki tangan Raja Sahala yang jahat
selama ini," desah Togap, lirih.
"Yang kutahu, kau sangat sayang pada abangmu. Tapi,
begitu cepat pikiranmu berubah," kata Patniraga.
"Benar. Aku sayang pada abangku si Baringin. Tetapi
aku lebih sayang pada negeriku. Juga, pada Rajaku yang
ternyata tidak sejahat yang kukira."
Patniraga memegang bahu Togap lalu tersenyum.
"Aku percaya pada pengakuanmu. Lalu apa maumu
kini?" tanyanya, lembut.
Togap menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tak tahu. Terserah padamulah. Mungkin aku ingin
pulang. Dan kalau boleh, aku ingin pulang bersama-sama
denganmu. Cuma aku tahu, kau sekarang punya urusan
membantu Pendekar Slebor untuk membasmi Jasad
Dedemit dan kawan-kawannya. Aku ingin membantumu
sebisaku. Anggaplah ini penebus dosa atas kesalahanku."
"Ah, itu tidak perlu. Tetapi kalau kau senang untuk
membantu Pendekar Slebor bersamaku, akan sangat
kuhargai. Ilmu meringankan tubuhmu yang tinggi mungkin
bisa bermanfaat."
Mata Togap berkaca-kaca. Dengan perasaan sedih
kehilangan abang yang bercampur perasaan terharu atas
pemberian maaf dari orang yang hendak dibunuhnya
karena termakan fitnah, langsung dipeluknya Patniraga.
"Maafkan aku, Sobat," ucap Togap di tengah
keharuannya. Patniraga balas memeluk Togap dengan tulus. Ditepuk-
tepuknya punggung lelaki itu.
(Oodwkz-ray-novooO)
4 Bukit Dedemit di waktu malam. Para tokoh persilatan
golongan hitam kembali berkumpul, membahas bagaimana
caranya melenyapkan Pendekar Slebor. Di situ terlihat
Jasad Dedemit, Betot Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat
Siluman, dan Nyi Bengis.
Mereka semua duduk bersila melingkari api unggun, di
depan sebuah pondok besar, tempat tinggal Jasad Dedemit.
Sementara para murid mereka masing-masing berjaga-jaga
di sekitar tempat ini.
"Karena di belakang Pendekar Slebor ada pendekar-
pendekar lain, aku pikir sebaiknya kita mengincar mereka
satu persatu. Kita tunggu kesempatan yang baik ketika
pendekar-pendekar itu sedang sendirian. Lalu, kita serang
dan bunuh. Dengan demikian, dukungan terhadap
Pendekar Slebor semakin berkurang," cetus Malaikat
Siluman, membuka suara.
"Boleh juga," tanggap Lampor Ireng.
"Menurut keterangan murid-murid Perguruan Kemangi
Sariadi, di belakang Pendekar Slebor ada Pendekar Ulos
Sakti dan seorang wanita yang belum kita ketahui,"
sambung Malaikat Siluman. "Nah! Apabila keduanya telah
disingkirkan, barulah kita serang Pendekar Slebor di Istana
Alengka." "Kenapa mesti dua-duanya" Menurutku, kalau salah satu
telah dapat dibunuh, kita sudah bisa mengalahkan Pendekar
Slebor," sergah Betot Nyawa.
"Aku pikir belum," jawab Malaikat Siluman, lugas.
"Ya! Kupikir juga begitu," dukung Nyi Bengis.
"Bagaimana pendapatmu, Jasad Dedemit," tanya Betot
Nyawa. "Entahlah. Aku rasa, pendapat Malaikat Siluman ada
baiknya. Cuma saja, mungkin bisa memakan waktu lama."
"Aku kurang jelas maksudmu," tukas Nyi Bengis.
"Begini. Cara itu akan membuat kita harus mengamati
terus menerus. Kita harus menunggu saat sampai salah satu
dari mereka lengah dan berada sendirian. Sampai kapan itu
bisa terjadi" Dalam keadaan semacam ini, kupikir mereka
akan lebih banyak bersama-sama. Lagi pula, bisa saja kita
kepergok saat mengamati. Kalau tidak terkepung, mungkin
kita bisa melarikan diri. Tetapi hal ini akan membuat siasat
kita diketahui."
Keempat tokoh sesat lain mencerna pendapat Jasad
Dedemit. "Cara itu juga terlalu berbahaya," sambung Jasad
Dedemit. "Kenapa" Karena, selagi kita menunggu
kesempatan, mereka bisa saja mengambil keputusan untuk
menyerang Bukit Dedemit ini."
"Kalau begitu kita lakukan saja lagi kekisruhan pada
desa-desa lainnya. Lalu, kita menuntut Prabu Alengka
menyerahkan Pendekar Slebor," usul Nyi Bengis.
"Tidak! Itu hanya akan memancing mereka lebih cepat
menyerang kita," tolak Jasad Dedemit.
"Jadi bagaimana" Apa yang mesti kita lakukan" Tidak
mungkin kita cuma kongkow-kongkow begini saja, bukan?"
desak Lampor Ireng.
"Aku lebih cenderung agar kita mencari bantuan
tambahan!" jelas Jasad Dedemit.
"Bantuan tambahan" Maksudmu?"
"Kita menghubungi teman-teman sealiran untuk bergabung bersama kita. Kalau kita bisa menarik dua orang
saja dari mereka, aku rasa sudah cukup untuk mengalahkan
Pendekar Slebor sekaligus para pendukungnya," papar
Jasad Dedemit. Sejenak para tokoh persilatan aliran hitam itu hening
memperlimbangkan pendapat Jasad Dedemit.
"Bagaimana" Apakah kalian setuju?"
Keempat rekan Jasad Dedemit mengangguk-anggukkan
kepala tanda setuju.
"Tetapi kita harus cepat! Karena, Jasad Dedemit telah
mengatakan bahwa mungkin saja Pendekar Slebor dan
teman-temannya akan menyerang kita," tambah Betot
Nyawa. "Kamu benar, Betot Nyawa," sambut Jasad Dedemit.
"Siapa yang akan kita tarik?" tanya Malaikat Siluman
kemudian. Jasad Dedemit diam sebentar. Berpikir.
"Bagaimana kalau salah satunya si Pendeta Gadungan
yang berjuluk Pandita Perangai Setan?"
"Lalu satu lagi?"
"Apa ada usulan dari kalian?" Jasad Dedemit balik
bertanya. "Bagaimana kalau temanku yang bernama si Nyai
Bongkreng?" cetus Nyi Bengis, langsung saja.
"Hm.. Boleh juga," sahut Jasad Dedemit. "Apakah yang
lain setuju?"
Tak ada yang bersuara. Diam, berarti setuju.
"Baiklah. Akan menghubungi Pandita Perangai Setan.
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara, Nyi Bengis akan menghubungi Nyai Bongkreng," kata Jasad Dedemit.
"Aku siap," jawab Nyi Bengis, semangat.
Baru saja mereka hendak beranjak, tiba-tiba Jasad
Dedemit mengangkat tangannya.
"Sekarang dengarlah," ujar Jasad Dedemit. "Jangan
kalian beranjak dulu. Aku merasa ada orang gelap yang
memata-matai kita."
"Di mana dia" Akan kutebas kepalanya!" desis Nyi
Bengis seraya melihat ke sekeliling.
"Sst.... Jangan celingukan begitu, Nyi Bengis! Dia akan
curiga," Jasad Dedemit memperingatkan. "Tadi aku melihat
satu bayangan berkelebat dan melompat ke atas pohon.
Gerakannya begitu mulus. Dari caranya melompat dan
hinggap di pohon itu, sudah jelas kalau ilmu meringankan
tubuhnya cukup tinggi!"
Sejenak Jasad Dedemit terdiam. Berpikir keras bagaimana caranya menangkap si penyusup. "Betot Nyawa!
Kau bersama Lompar Ireng, dan Malaikat Siluman berpura-
pura masuk ke dalam pondok satu persatu, lalu keluar dari
pintu belakang dan memutar ke arah tempat persembunyiannya. Kita kepung dia agar tak bisa
meloloskan diri. Pohon tempatnya bersembunyi tepat lurus
di hadapanku. Pohon yang paling besar. Setelah kalian
mengepung, aku dan Nyi Bengis akan menyerangnya. Nah!
Mari kita lakukan tanpa mengundang kecurigaan," cetus
Jasad Dedemit. Satu demi satu. mereka meninggalkan api unggun tempat
berkumpul untuk menjalankan perintah yang diberikan
Jasad Dedemit. Sementara Jasad Dedemit sendiri dan Nyi Bengis segera
bangkit berdiri. Dan dengan gerakan cepat, mereka
berkelebat ke arah pohon itu.
"Hei! Turun kau dari situ, Lutung! Jangan macam-
macam! Kau telab terkepung!" teriak Jasad Dedemit sambil
berkacak pinggang begitu tiba satu tombak di dekat pohon
yang paling besar bersama Nyi Bengis.
Di tempat persembunyian, Betot Nyawa, Lampor Ireng,
dan Malaikat Siluman berdiri mengawasi untuk membuktikan perkataan Jasad Dedemit tadi.
"Turun! Atau aku akan memaksamu"!" bentak Jasad
Dedemit seraya mengibaskan tangannya.
Set! Sel! Set! Tiga benda putih berbentuk segi tiga melesat dari tangan
Jasad Dedemit. Tiga senjata rahasia yang siap merajam
tubuh si penyusup.
"Hup!"
Ternyala, si penyusup yang berpakaian serba hitam
mampu menghindar dengan mudah setelah melompat ke
dahan lain. "Lutung pengecut! Mau lari ke mana kamu, heh"!"
bentak Jasad Dedemit seraya kembali melontarkan senjata-
senjata rahasianya.
"UtS...!"
Si bayangan hitam menghindar lagi, namun kali ini ke
pohon lain. Namun begitu kakinya mendarat, Malaikat
Siluman, Betot Nyawa, dan Lampor Ireng telah melepaskan
pukulan jarak jauh.
Bet! Bet! Bet! Melihat datangnya serangan yang beruntun, kembali si
bayangan hitam melompat dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi.
Blarr! Blar! Akibatnya, dahan pohon yang jadi sasaran ketiga
pukulan jarak jauh hancur dan berguguran ke tanah.
Sementara sosok bayangan hitam itu telah mendarat di
pohon lain. "Mampuslah kau, Lutung!" teriak Nyi Bengis, begitu
melihat si penyusup bisa menyelamatkan diri.
Namun baru saja hendak menghentakkan tangannya...
"Hentikan permainan kalian!"
(Oodwkz-ray-novooO)
Semua yang ada di tempat itu langsung menoleh ke arah
dalangnya suara bentakan barusan. Dan kesempatan ini
digunakan si penyusup untuk melompat ke pohon lain, lalu
berkelebat pergi.
"Pandita Perangai Setan!" sebut Jasad Dedemit, begitu
mengenali sosok lelaki tua yang terbungkus pakaian warna
kuning yang dilibatkan begitu saja.
Lelaki tua gundul yang dipanggil Pandita Perangai Setan
ternyata memang telah berdiri tidak jauh dari situ. Tanpa
seorang pun yang tahu, bagaimana kehadiran Pandita
Perangai Setan di markas Jasad Dedemit ini.
"Huahaha...," tawa Pandita Perangai Setan. "Kau masih
mengetahui betul suara sahabatmu ini, Jasad Dedemit."
"Sedang apa kamu di situ. Mari mendekat, Sobat!
Kedatanganmu tepat pada waktunya," ujar Jasad Dedemit.
Pandita Perangai Setan mendekat sambil terus mengumbar tawa. Seolah dengan ketawa ingin menunjukkan ketenangan hatinya. Padahal, bukan. Ia
justru ingin menunjukkan perangai setannya!
"Tidak baik mempermainkan seorang anak kecil, Jasad
Dedemit. Kulihat penyusup itu
bukanlah apa-apa dibandingkan diri kalian. Masa untuk menghadapinya saja
kalian sampai mengeroyok begitu?" kata Pandita Perangai
Setan, kalem. "Ah, sudahlah. Kami baru saja membicarakanmu. Ayo,
masuk ke pondokku," ajak Jasad Dedemit menggamit
Pandita Perangai Setan.
"Hahaha..."
Pandita Perangai Setan tertawa lagi. Sementara Betot
Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat Siluman, dan Nyi Bengis
jadi cemberut, karena kehilangan buruan setelah lelaki
gundul itu datang. Dan wajah mereka tak luput terlihat oleh
Pandita Perangai Setan.
"Biarlah dia pergi. Kalian tidak keberatan, bukan?" ujar
Pandita Perangai Setan, menyadari apa yang membuat
keempat kawan Jasad Dedemit terlihat cemberut begitu.
"Rencana kalian untuk membinasakan Pendekar Slebor
tidak akan terganggu hanya karena bocah begitu.
Percayalah."
"Oh, tentu! Tentu, Sahabatku," jawab Jasad Dedemit,
berusaha untuk tidak mengubah keceriaan wajahnya.
Padahal, hatinya sedikit berat menuruti permintaan Pandita
Perangai Setan. "Aku selalu ingat bahwa kau adalah
seorang yang tidak suka membunuh orang yang ilmunya di
bawah kita, bukan" Hahaha...."
Dan untuk menghilangkan kekakuan di antara mereka,
Jasad Dedemit kemudian memperkenalkan teman- temannya yang lain kepada Pandita Perangai Setan.
"Sudahlah. Jangan kalian berkecil hati karena kehilangan
seorang cecunguk begitu," kata Pandita Perangai Setan lagi,
berusaha membesarkan hati mereka.
"Tapi, Pandita Perangai Setan. Si penyusup itu telah
menipu kami. Namanya Togap. Jadi, dia harus menerima
pembalasan kami," sergah Nyi Bengis.
"Ah, sudahlah, Nyi. Aku ke sini karena mendengar
rencana kalian dan ingin bergabung. Percayalah, mendapatkan seorang seperti aku jauh lebih berarti
daripada kehilangan dia. Hahaha...," jawab Pandita
Perangai Setan.
"Wah... kalau begitu kebetulan sekali. Jasad Dedemit tak
perlu pergi ke tempatmu. Benar-benar pucuk dicinta ulam
tiba...." (Oodwkz-ray-novooO)
Togap menceritakan semua kejadian yang dialaminya di
Bukit Dedemit pada Prabu Alengka serta Patniraga.
Pendekar Slebor, Mirah, dan semua yang hadir di mangan
utama Istana Alengka.
"Jadi bagaimana sekarang, Paduka Prabu?" tanya
seorang lelaki gagah berpakaian perwira kerajaan.
Togap yang telah selesai memberi laporan hasil
pengamalannya di markas para tokoh persilatan golongan
hitam tersenyum bangga. Karena dari laporannya itu, dia
berharap Prabu Alengka sudah melupakan kesalahannya.
Apalagi, ia memang bertekad untuk menebus dosa-dosanya
selama ini. "Apakah kita sanggup melawan mereka, Parameswara?"
Prabu Alengka balik bertanya. "Apalagi dengan bergabungnya Pandita Perangai Setan"
Lelaki berpakaian perwira setingkat menteri yang
dipanggil Parameswara tak menjawab. Agaknya ia berusaha
berpikir keras, sambil menunggu kesanggupan anak
buahnya. Untuk itu kepalanya lantas menoleh pada lelaki
lain yang berpakaian panglima. Namanya Panglima
Andipati. Menurutku sanggup, Paduka," jawab Panglima Andipati,
setelah mendapat tatapan dari Parameswara. "Justru
sekaranglah saatnya kita bertindak. Karena kalau menunggu waktu lagi, sama saja akan memberi waktu pada
mereka guna menghubungi Nyai Bongkreng yang akan
membuat mereka tambah kuat. Kalau itu sampai terjadi,
kita akan semakin sulit mengalahkan. Lagi pula kurasa,
semua kami di sini siap untuk bertempur mengganyang para
tokoh persilatan aliran hitam itu. Dan kami siap mati bagi
negeri tercinta ini."
"Baiklah. Kupikir juga demikian," kata Prabu Alengka.
"Sekarang, marilah kita mempersiapkan segala sesuatunya
untuk pergi ke Bukit Dedemit meminta pertanggungjawaban para perusuh terkutuk itu."
(Oodwkz-ray-novooO)
5 Pasukan Kerajaan Alengka beserta Pendekar Slebor,
Patniraga, dan Mirah yang hendak menggempur persekutuan tokoh-tokoh hitam yang selama ini membuat
rusuh tiba di dekat kaki Bukit Dedemit menjelang tengah
hari. Kepulan debu yang membubung tinggi akibat
terterjang kaki-kaki kuda, tentu saja terlihat oleh murid-
murid para tokoh hitam itu yang menjaga markas.
"Hoi! Ada segerombolan pasukan cukup besar datang
kemari!" teriak seorang murid penjaga dari atas pohon.
"Pasukan apa?" sambut murid lain.
"Barangkali pasukan Kerajaan Alengka!"
"Cepat laporkan pada Guru!"
Bagaikan kilat murid yang berada di bawah berlari ke
dalam pondok besar. Begitu tiba di pintu, langsung
dilaporkannya tentang kedatangan pasukan berkuda itu
pada Jasad Dedemit. Sekejap kemudian ia telah kembali
berlari menuju tempat penjagaan.
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita belum sempat menghubungi Nyai Bongkreng. Tapi
tidak akan terlalu mengganggu bagi kemenangan kita. Mari
kita hancurkan mereka. Kawan-kawan!" kata Jasad
Dedemit begitu murid yang melaporkan tadi berlalu.
Saat itu juga Betot Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat
Siluman, Nyi Bengis, dan Pandita Perangai Setan
berkelebat keluar pondok. Gerakan mereka diikuti Jasad
Dedemit. Mereka langsung menuruni bukit, setelah Jasad
Dedemit memberi perintah pada murid-muridnya untuk
bersiaga di tempat masing-masing lengkap dengan senjata.
Demikian pula murid-murid keempat tokoh hitam lainnya.
Sementara itu di kaki bukit, para prajurit Alengka juga
telah bersiap. Perisai di tangan kiri, pedang di tangan
kanan. Anak panah dipasang, busur ditarik. Para panglima
pasukan juga lelah siap. Andika alias Pendekar Slebor telah
menyampirkan sarung kotak caturnya dari leher ke
punggung. Sementara Mirah telah mencabut pedang dari
punggung. Sedangkan Patniraga lelah menggenggam erat
ulos saktinya. Matahari di atas kepala terik menyengat ubun-ubun.
Parameswara, sang Perwira Keamanan yang bertindak
sebagai panglima perang utama, memandang ke atas bukit.
Matanya tajam mengamati murid-murid para tokoh
persilatan aliran hitam yang menuruni bukit.
"Pasukan panah! Arahkan senjata kalian pada setiap
lawan!" seru Parameswara.
Lengan setiap prajurit panah bergerak mengarahkan
senjata mereka pada titik-titik sasaran yang tampak.
"Hiaa!"
Begitu aba-aba yang diberikan sang panglima perang
utama terdengar, serentak melesat puluhan anak panah ke
arah murid-murid para tokoh persilatan golongan hitam di
atas bukit. "Akh!" terdengar jeritan para korban yang terkena
hujaman anak panah.
Begitu satu baris prajurit panah selesai melaksanakan
tugasnya, mereka berjongkok dan memasang anak panah
lagi. Sedangkan di belakang telah siap satu barisan yang
langsung menarik busur.
Trang! Trang! Puluhan anak panah berikutnya melesat. Maka kembali
terdengar jeritan yang terkena. Ketika barisan kedua selesai,
maka barisan ketiga telah siap pula. Begitu seterusnya.
Inilah yang disebut siasat perang Panah-panah Berlapis.
Serangan dengan cara ini membuyarkan keinginan para
murid-murid tokoh persilatan aliran hitam untuk dapat
menyerang balik. Mereka tidak berani nekat, kalau tidak
mau menjadi bulan-bulanan panah Alengka.
Dalam keadaan yang tidak menguntungkan tersebut,
Jasad Dedemit, Betot Nyawa. Lampor Ireng, Malaikat
Siluman, Nyi Bengis, dan Pandita Perangai Setan segera
berlompatan ke depan.
"Hei, para kunyuk Kerajaan Alengka! Kedatangan kalian
kemari hanya mengantarkan nyawa saja!" teriak Jasad
Dedemit begitu mendarat secara berjajar dengan kawan-
kawannya menantang prajurit-prajurit Alengka di bawah.
"Hentikan panah!" perintah Parameswara lain, segera
menatap ke atas bukit. "Hei orang-orang tidak berhati!
Jangan berpura-pura bodoh! Kedatangan kami justru
hendak menjemput nyawa kalian berenam sebagai bayaran
ratusan nyawa rakyat yang kalian jagal tanpa perikemanusiaan!"
"Huahahaha....
Sudah pandai bicara si Parameswarainya," jawab Jasad Dedemit yang rupanya
telah mengenal siapa lelaki gagah itu. "Apa kau dilatih
untuk ini oleh Prabu Alengka, Parameswara?"
Bergemeletuk gigi-gigi Parameswara menahan amarah
mendengar nama Prabu Alengka dibawa-bawa dalam
ejekan itu. "Jangan banyak bacot, Jasad Dedemit Serahkan dirimu
dan kawan-kawanmu sekalian. Atau, kami sendiri yang
akan membinasakan kalian" Ingat, kalian sudah terkepung!"
Keenam tokoh persilatan aliran hitam itu malah tertawa
terbahak-bahak.
"Dia kira kita ini anak kemarin sore yang dapat
diperdaya dengan gertakan sambal seperti itu. Hahahaha...," teriak Betot Nyawa, menambahi ejekan
Jasad Dedemit. "Hiaa...!"
Parameswara memberi aba-aba dengan teriakan dan
kibasan tangannya. Maka melesat lagi puluhan anak panah
yang mengarah pada keenam tokoh sesat itu.
Tas! Tas! Tas! Tapi mudah sekali anak-anak panah ditepis oleh Jasad
Dedemit, Pandita Perangai Setan, dan Lampor Ireng.
Bahkan mereka menangkapi setiap anak panah.
Melihat hal ini keberanian murid-murid tokoh sesat itu
bangkit dan mencoba maju. Tapi malang, lesatan panah-
panah berikutnya menembus raga sebagian mereka.
Clap! Clap! "Aaakh...."
Melihat murid-muridnya dipecundangi demikian, Jasad
Dedemit dan kawan-kawan jadi beringas. Tangan mereka
langsung menghentak, melontarkan pukulan-pukulan jarak
jauh. Wuss! Wusss! Blakk! Blakk! Tak ada waktu untuk menghindar bagi pasukan panah
Kerajaan Alengka tersambar pukulan-pukulan jarak jauh
itu. Mereka kontan terjungkal ketika barisan di belakang
mereka siap membalas, tetapi segera pula mengalami nasib
yang sama. "Serang!" seru Parameswara.
"Maju...!"
Para prajurit lain yang sejak tadi menunggu perintah
tanpa buang waktu bergerak maju ke atas dengan teriakan-
teriakan penuh semangat. Tindakan itu segera disongsong
oleh para murid tokoh-tokoh hitam yang masih hidup.
Perwira Parameswara, Panglima Andipat dan para
perwira lain pun bergerak maju. Sedangkan Mirah dan
Patniraga tak mau ketinggalan. Mereka dan para prawira
Kerajaan Alengka menerjang para tokoh persilatan aliran
hitam itu. Sementara Andika tetap berdiri di tempatnya
memperhatikan. Mirah mendapat lawan Nyi Bengis. Langsung dibabatnya perempuan itu guna mencegahnya lebih jauh
membunuhi prajurit Alengka. Gadis itu dibantu pula oleh
para panglima lainnya.
Patniraga langsung menghadang Lampor Ireng. Parameswara menyongsong Betot Nyawa. Sedangkan
Panglima Andipati menghadapi Malaikat Siluman.
Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan yang melihat
Pendekar Slebor masih belum beranjak dari tempatnya,
menahan diri untuk mengikuti anak buah mereka.
Ke mana Togap"
Prabu Alengka tadi meminta Togap untuk tidak usah
ikut. Tetapi diam-diam, Togap keluar menyelinap dan
meloncat tembok istana,langsung mengikuti pasukan
Alengka. Kegemarannya memang memata-matai. Buktinya
sekarang, dia sudah nangkring di atas pohon mengamati
jalannya pertempuran.
"Panglima Wesi Wungu! Dan kau, Panglima Butong Aji!
Kerahkan segenap kemampuan kalian!" teriak Mirah pada
dua panglima yang membantunya.
Dua panglima yang dipanggil Panglima Wesi Wungu
serta Panglima Butong Aji tak ragu-ragu lagi mengeluarkan
segenap kemampuan untuk membekuk Nyi Bengis. Mereka
bertiga hingga kini cukup mampu mengimbangi wanita tua
berpedang panjang
Barangkali jika bukan Nyi Bengis, tidak mungkin
sanggup menggunakan pedang yang kelewat panjang
melebihi ukuran biasa dengan begitu cekatan. Sekali saja
pedang itu menebas, telah dapat membuat pemegangnya
yang berkepandaian rendah terhuyung-huyung dan jatuh
terbawa tarikannya.
Suara dentang dari pedang yng beradu terdengar
memekakkan telinga. Berganti-ganti Mirah, Panglima Wesi
Ungu serta Panglima Butong Aji menyerang, dan saling
melindungi satu sama lain ketika Nyi Bengis menyerang.
Hal ini membuat serangan-serangan perempuan tua itu
selalu dapat diredam.
Sebaliknya, ketika mereka menyerang, Nyi Bengis pun
dapat mematahkan.
Di tempatnya, Patniraga ketika membuka serangan
dengan kepretan Ulos Sakti yang memperdengarkan suara
menggiriskan. Tapi, itu cuma sekali saja membuat kaget
para tokoh persilatan aliran hitam. Selanjutnya mereka
telah melindungi gendang pendengaran masing-masing
dengan tenaga dalam. Alhasil, suara kepretan Ulos Sakti
tokoh dari Toba yang dapat memecahkan telinga itu tidak
berpengaruh apa-apa lagi.
Kehebatan para tokoh hitam menahan gempuran suara
Ulos Sakti tidak membuat Patniraga ciut hati. Lelaki ini
terus maju menyerang Lampor Ireng yang dapat berganti-
ganti wajah berbentuk menyeramkan.
Setelah beberapa jurus lewat, Lampor Ireng menjadi
kesal dengan permainan ulos Palniraga.
"Hei, Manusia Tengik! Kau pikir aku ini kuda lumping
apa" Hi... hi... hi...," ejek Lampor Ireng dengan tawa
menggiriskan. "Cepat masukkan kembali kain butut itu.
Atau kau kulebur bersama gombal bau itu?"
Patniraga masih terkesiap oleh suara tawa Lampor Ireng.
Kesadarannya baru bangkit setelah mendengar bentakan
lawan. "Eh, diberi tahu malah bengong. Dasar goblok! Terima
pukulan 'Panas Sinar Melebur Bumi'...! Heaaa...!"
Lampor Ireng langsung saja mempertemukan kedua
telapak tangan di depan dada, lalu memutarnya. Satu ke
atas, dan satu ke bawah. Lantas mendorong kedua telapak
tangan ke muka.
Wuss! Wuss! Dua cahaya berwarna kelabu melesat dari kedua telapak
tangan Lampor Ireng. Mula-mula merambat perlahan, tapi
sekonyong-konyong menjadi cepat. Itulah pukulan 'Panas
Sinar Melebur Bumi' yang dikeluarkan Lampor Ireng.
Patniraga sempat terlongo, namun nalurinya segera
bekerja ketika kedua garis cahaya amat panas itu hampir
menghantamnya. Tubuhnya segera berjumpalitan ke
samping. Lampor Ireng tidak berhenti di situ. Ketika Pendekar
Ulos Sakti baru saja bangkit, pukulan 'Panas Sinar Melebur
Bumi'-nya yang kedua langsung saja meluruk cepat keluar
dari kedua telapak tangannya.
"Hup!"
Kembali Patniraga harus melompat untuk menghindar
dengan arah menyilang sambil mengibaskan ulos pada
wajah musuhnya. Lampor Ireng menarik kepalanya kalau
kepalanya tak ingin terlepas dari leber. Namun bersamaan
dengan itu kedua tangannya menghentak kembali, tepat
ketika Patniraga telab menapak di tanah.
Kali ini Patniraga harus merunduk untuk menghindar.
Tapi kejap kemudian, tubuhnya menggenjot lagi ke arah
Lampor Ireng sambil mengkepretkan Ulos Sakti-nya ketika
berada di udara sebanyak tiga kali. Ini berarti Pendekar
Ulos Sakti telah berhasil meningkatkan kecepatan jurus
'Jalan Katak Menembus Sarang Nyamuk' sebelum berlatih
di istana. Di tempat lain, Parameswara tampaknya agak kewalahan menghadapi Betot Nyawa. Sabetan pedangnya
terus saja dapat ditahan oleh balutan logam di pergelangan
tangan Betot Nyawa yang senantiasa membara merah bila
dalam sebuah pertarungan.
Malaikat Siluman yang ilmunya sedikit di bawah Betot
Nyawa meladeni Panglima Andipati dengan wajah penuh
senyum keramahan. Siapa nyana wajah yang putih, tampan
dan tampak selalu senyum ramah persis malaikat itu adalah
milik seorang jahanam yang menyebut dirinya Siluman"
Wajah itu bisa berubah bengis secara sekonyong-konyong
apabila menusukkan pedang
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjangnya. Apabila tusukannya gagal, maka wajah itu akan kembali tersenyum.
Ramah sekali! Panglima Andipati sendiri tak habis pikir, kenapa ada
orang-orang telengas macam Malaikat Siluman ini.
Beruntung pertarungan mereka berlangsung seimbang.
Coba kalau tidak" Hatinya bergidik juga jika terbunuh di
tangan manusia satu ini.
Pada pertarungan lain, agaknya para prajurit Alengka
berada di atas angin dalam menghadapi murid-murid para
tokoh hitam itu. Sebab, jumlah mereka lebih banyak.
Betapa tidak. Satu orang murid dari salah satu tokoh hitam
itu harus menghadapi dua sampai tiga orang prajurit. Jadi
sudah bisa diduga kalau prajurit Alengka akan memetik
kemenangan. Melihat keadaan yang tampaknya tidak menguntungkan
ini Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan mulai
bergerak hendak turun tangan. Tapi baru saja mereka
hendak melepas pukulan. satu bayangan hijau telah
berkelebat menghadang sekaligus memapak.
Plak! Plak! Begitu habis memapak, bayangan hijau itu membuat
salto ke belakang, dan mendarat manis sejauh tiga tombak
di hadapan Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan.
Siapa lagi bayangan itu kalau bukan Pendekar Slebor"
"He he he.... Garing ya, tangkisanku...?" ejek Pendekar
Slebor. Biasa, lagak konyolnya mulai kambuh. Padahal,
lawan-lawan yang dihadapi berilmu amat tinggi. "Tapi,
kupikir lebih garing kepala plontos lelaki di sebelahmu,
Jasad Dedemit. Terkena sinar matahari begini kepala itu
jadi mengkeret seperti biji..., ha ha ha...!"
Andika tak kuat lagi menahan ledakan tawanya. Apalagi
bila membayangkan 'benda' yang ada di benaknya.
"Akhirnya kita bertemu juga, Pendekar Slebor. Sudah
lama aku ingin melumatkan tubuhmu. Ke mana saja kau
bersembunyi, Pengecut" Rupanya kau enak-enakan berada
di bawah ketiak Prabu Alengka, ya?" balas Jasad Dedemit.
Pandita Perangai Setan yang diejek berusaha menahan
kegeramannya. Namun begitu tak urung jemari tangannya
telah membentuk kepalan.
"Hei, Jasad Dedemit! Yang jadi pengecut itu siapa" Buat
apa kau membunuhi orang tak berdosa hanya lantaran ingin
bertemu dengan orang ganteng macam aku ini" Jika bukan
pengecut, apa lagi julukan buatmu, Jasad Kurapan"
Kalaupun tubuhmu kubuat berkeping-keping nanti, itu
masih terlalu murah untuk membayar nyawa mereka
semua, tahu"!"
"Phuah! Bicaramu bau busuk! Berapa banyak tokoh
aliranku yang mati di tanganmu" Berapa rupanya kau
hargai setiap nyawa mereka" Berapa lembar nyawa yang
kau miliki untuk menebus kematian mereka, hah"!"
"Bagaimana kalau setiap nyawa mereka kuhargai dengan
sebutir telur busuk" Adil, kan?"
"Kurang ajar! Anak muda sepertimu tidak pernah diajar
bicara sedikit sopan pada orang yang lebih tua. Biar
kurajam mulutmu itu. Hih!" dengus Jasad Dedemit sambil
mengibaskan tangannya.
Set! Set! Senjata-senjata rahasia Jasad Dedemit yang berbentuk
segitiga meluruk dahsyat, membuat Andika harus melenting
tinggi. Senjata-senjata rahasia yang terbuat dari tulang
manusia itu terbuang sia-sia disaksikan oleh Pandita
Perangai Setan yang masih diam saja.
"Akh, Orang Tua! Kenapa tulang-tulang itu kau berikan
padaku" Masa makanan anjing dipakai untuk melawanku?"
ledek Andika habis-habisan.
Darah Jasad Dedemit jadi mendidih diejek begitu.
Hidungnya kembang kempis dengan dengusan napas keras.
"Sekarang kau rasakan jurus 'Memapak Bumi Menipu
Lawan', Keparat!"
Jasad Dedemit menggeser kakinya cepat, tanpa terlepas
dari tanah. Tiba-tiba tubuhnya meluruk maju dengan
pukulan-pukulan beruntun. Bila sekali saja terkena pukulan
itu, tulang-tulang lawan dipastikan akan remuk.
Tapi justru saat ini Pendekar Slebor telah mengandalkan
kecepatannya menghindari serangan. Tubuhnya berkelebat
begitu cepat luar biasa.
"Lho" Ke mana Pendekar Slebor" Kok tahu-tahu dia
sudah tidak ada?" Jasad Dedemit jadi celingukan sendirian.
"Jangan linglung, Orang Tua. Penasaran ya denganku?"
Terdengar suara dari belakang, membuat Jasad Dedemit
berbalik. Mata si tua ini kontan melotot melihat Pendekar
Slebor ternyata berada di belakangnya sambil menggoyang-
goyangkan kepala.
"Heaaa...!"
Jasad Dedcmit segera melabrak kembali dengan pukulan
beruntun. Kali ini si pemuda urakan tak hendak
menghindar. Iseng-iseng, dicobanya menangkis.
Plak! Plak! Begitu tangannya beradu, Andika merasa bagai
menghantam kerasnya batu cadas. Keras sekali! Sedangkan
Jasad Dedemit pun terheran-heran. Karena selama ini tak
seorang pun yang dapat menahan pukulannya. Meskipun
ditangkis, biasanya tetap saja tangannya akan melaju ke
tubuh lawan. Di sinilah biasanya lawan sering tertipu.
Tetapi ini" Di tangan Pendekar Slebor, pukulannya
bagaikan tertemu baja saja.
Andika yang baru saja bisa menyadari keadaan segera
balik menyerang. Satu sodokan yang tak disangka-sangka
Jasad Dedemit meluncur deras.
Bless! "Heh..."!"
Justru kali ini Andika yang terheran-heran. Pukulannya
yang telah dialiri tenaga dalam tinggi tak membuat Jasad
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 18 Dewa Linglung 4 Mengganasnya Siluman Gila Guling Golok Sakti 2
Pendekar Slebor
Dendam Jasad Dedemit
Djvu oleh Nova (catutsana-sini.blogspot.com)
Edit teks oleh Rayno ld (www.tagtag.com/tamanbacaan)
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
DENDAM JASAD DEDEMIT
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
dalam episode: Dendam Jasad Dedemit
128 hal 1 Dunia persilatan memang tak bisa untuk tenang sedikit.
Selalu saja ada persoalan yang membuat darah tumpah di
mana-mana. Tapi dunia memang selalu begitu. Ada hitam
ada putih. Ada baik dan ada buruk. Ada kebaikan dan ada
kejahatan. Selalu bergulir di setiap waktu dan di setiap
tempat. Adanya persoalan itu pula yang membuat beberapa
orang pengendara kuda memacu tunggangannya kencang-
kencang. Padahal kalau kuda-kuda itu bisa bicara, mereka
pasti akan merutuki para penunggangnya. Bayangkan saja,
sudah terkentut-kentut tapi masih dipacu cepat oleh keenam
orang berpakaian sebagaimana tokoh persilatan.
Paling depan adalah seorang lelaki yang badannya mirip
papan penggilasan. Kurus seperti orang kurang makan.
Pakaiannya serba hitam dengan jubah abu-abu berlukisan
kerangka manusia warna putih. Di pergelangan tangan
kanan dan kirinya melilit senjatanya yang berupa rantai besi
berujung tengkorak manusia. Aneh sekali kesukaan lelaki
ini. Ia suka mengganti tengkorak itu dengan kepala orang
taklukannya yang telah dikuliti. Siapa lagi tokoh ini kalau
bukan Jasad Dedemit.
Di belakang lelaki bertampang menyebalkan itu berkuda
empat orang lainnya dengan beriring-iringan. Paling kiri
adalah lelaki berbadan tegap. Tubuhnya dibiarkan telanjang
tanpa baju. Mungkin ingin hidup irit. Lengannya dibalut
dengan logam untuk menangkis senjata lawan. Tidak ada
senjata di tubuhnya, karena kesukaannya memang
bertarung tangan kosong. Julukannya cukup menggetarkan
juga. Betot Nyawa!
Di sebelah Betot Nyawa adalah lelaki berkulit hitam
legam. Seperti Betot Nyawa, ia juga tidak suka memakai
baju. Konon, lelaki ini bisa merubah-rubah wajahnya
dengan bentuk yang menakutkan. Kali ini yang dipasang
adalah wajah manusia penghisap darah dengan dua buah
taring runcing di sudut-sudut bibirnya. Lelaki ini dikenal
sebagai Lampor Ireng.
Sebaliknya,lelaki di sebelah Lampor Ireng justru
berwajah putih cerah dan manis. Bahkan terkadang
mengumbar senyum ramah bak malaikat kebaikan. Maka
tak heran kalau dunia persilatan menjulukinya Malaikat
Siluman. Dijuluki begitu, karena wajah itu sewaktu-waktu
berubah menjadi demikian menggiriskan, penuh nafsu
membunuh. Terutama saat menghujamkan pukulan
mematikan, dan menghunuskan pedang panjangnya di
tubuh lawan. Yang terakhir adalah satu-satunya wanita dalam
rombongan berkuda ini. Seperti Malaikat Siluman, wanita
ini juga berpakaian serba putih. Senjatanya juga berupa
pedang panjang. Rambutnya yang panjang disanggul. Dan
sebenarnya, wanita lumayan cantik itu istri dari Malaikat
Siluman. Sementara, dunia persilatan menjuluki pasangan
itu adalah Suami-Istri Beradat Setan.
Lantas siapakah lelaki yang berkuda di sebelah Jasad
Dedemit" Dialah Togap. Lelaki ini telah dijadikan
penuntun untuk menunjukkan tentang keberadaan Pendekar Slebor yang menurut kabar berada di Perguruan
Kemangi Sariadi. Dan bila pendekar urakan itu tidak ada di
tempat, maka Togap harus rela untuk kehilangan
kepalanya. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode:
"Alengka Bersimbah Darah").
Sebelumnya Jasad Dedemit, Belot Nyawa, Lampor
Ireng, dan Suami Istri Beradat Setan memang telah
membulatkan tekad untuk bersatu melawan Pendekar
Slebor yang dianggap sebagai penghalang segala sepak
terjang golongan hitam.
Awalnya, mereka cukup kesulitan untuk menemui
Pendekar Slebor. Bahkan waktu itu, mereka tega-teganya
membuat keonaran di Kerajaan Alengka. Maksudnya untuk
memancing kehadiran Pendekar Slebor. Sekaligus, mengancam Prabu Alengka untuk ikut membantu mencari
pendekar urakan itu.
Dalam sepak terjang itulah mereka mendapatkan Togap
yang ternyata bisa menunjukkan di mana adanya Pendekar
Slebor. Togap sendiri memang mempunyai dendam pribadi
pada Pendekar Ulas Sakti. Menurut perhitungannya,
dengan membawa kelima tokoh sesat itu ke Perguruan
Kemangi Sariadi untuk menemui Pendekar Slebor, pasti
akan terjadi pertarungan. Dia yakin jika Pendekar Slebor
bertarung pasti Pendekar Ulos Sakti akan ikut turun tangan.
Dan bisa dipastikan, kedua pendekar itu akan tewas di
tangan kelima tokoh sesat ini.
(Oodwkz-ray-novooO)
Tiba di halaman Perguruan Kemangi Sariadi mata Jasad
Dedemit yang cekung jelalatan mengawasi ke sekitarnya.
Demikian pula keempat kawannya.
Di halaman, murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi
tampak sedang berkerumun di depan sebuah pengumuman
yang ditempel oleh salah. seorang panglima Kerajaan
Alengka tadi pagi. Dalam pengumuman itu dinyalakan
bahwa Ketua Perguruan Kemangi Sariadi yang berjuluk
Pendekar Penjaga Langit dinyatakan sebagai penjahat
berbahaya. Untuk itu terpaksa pihak kerajaan harus
melenyapkannya atas bantuan seorang pendekar utusan
Kerajaan Toba yang berjuluk Pendekar Ulos Sakti.
Untungnya, para murid Perguruan Kemangi Sariadi
yang dikenal berjalan lurus, cukup dewasa menerima
kenyataan itu. Sehingga, mereka tidak merasa dendam
terhadap Prabu Alengka yang dikenal sebagai raja yang arif
dan bijaksana. Tapi sebagai murid, tentu saja mereka
merasa prihatin alas kematian guru mereka. (Baca serial
Pendekar Slebor dalam episode: "Alengka Bersimbah
Darah"). Dua murid Perguruan Kemangi Sariadi segera datangi
enam orang berkuda yang baru saja tiba di perguruan
mereka. Wajah mereka tampak masih berselimut duka.
"Maaf, Kisanak semua. Ada yang bisa kami bantu?" sapa
salah seorang murid.
"Ya, ada! Apakah kalian melihat pemuda sontoloyo
berjuluk Pendekar Slebor"!" sahut Jasad Dedemit.
"Maaf, Kisanak. Kami sedang berduka. Guru kami telah
meninggal dunia. Beliau terbunuh oleh Pendekar Ulos
Sakti," sahut murid satunya.
"Apa..."!"
Sebelum Jasad Dedemit membuka suara, Togap telah
lebih dulu tersentak. Cepat ia turun dari kuda dan langsung
menghambur ke ruang utama, sebuah tempat yang biasa
untuk menyemayamkan mayat.
Sebenarnya Jasad Dedemit ingin mencegah. Tapi
gerakan Togap cepat bukan main, pertanda ilmu
meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi.
Togap tiba di ruang utama. Dan begitu melihat mayat
abangnya, berteriaklah ia sekuat tenaga. Tentu saja hal ini
membuat murid-murid di ruangan itu terheran-heran.
Apalagi melihat Togap menangis sambit memeluki mayat
Pendekar Penjaga Langit.
"Siapakah kau, Kisanak?" tanya seorang murid.
"Aku adalah adik kandungnya," jawab Togap tersengal-
sengal. Murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi tersentak
kaget. Mereka tak menyangka kalau guru mereka
mempunyai adik kandung. Tapi sebelum mereka menjura
memberi hormat, Togap telah kembali berdiri tegak, dan
langsung berkelebat lewat pintu belakang.
Memang, tentu saja Togap tak ingin kepalanya hilang di
tangan Jasad Dedemit dan keempat kawan-kawannya.
Apalagi, saat ini siasatnya untuk mempertemukan kelima
tokoh sesat itu dengan Pendekar Slebor serta Pendekar Ulos
Sakti gagal. Bahkan Pendekar Penjaga Langit yang ternyata
kakak kandungnya telah tewas di tangan Pendekar Ulos
Sakti. Maka dengan membawa dendam kesumat, Togap
pergi dari tempat ini, untuk membalas dendam di kemudian
hari. Sementara itu Jasad Dedemit yang mendengar teriakan
Togap tadi sudah tiba di ruang utama.
"Ke mana Togap"!" sentak Jasad Dedemit penuh
kegeraman. "Dia... dia keluar lewat pintu belakang, Tuan!" sahut
seorang murid. "Bajingan!"
Jasad Dedemit segera mengejar lewat pintu belakang.
Tapi, Togap sudah tak nampak lagi. Tentu saja membuat
Jasad Dedemit murka. Tanpa menghiraukan murid-murid
Perguruan Kemangi Sariadi yang terlongong tak mengerti,
Jasad Dedemit berkelebat keluar menemui empat orang
temannya yang menunggu di luar.
"Kunyuk sialan! Ia menipu kita," maki Jasad Dedemit
begitu berada di luar langsung dinaikinya kuda tunggangannya. "Bajingan kurap! Akan kupotong-potong jadi seratus dia!
Ayo kita kejar!" seru Nyai Bengis, beringas.
"Jangan!" tahan Jasad Dedemit. "Biarkan dia pergi. Itu persoalan kecil."
Beberapa murid perguruan yang masih berada di luar
hanya memandang tak mengerti pada kelima tokoh sesat
itu. Ketika Jasad Dedemit memanggil dengan lambaian
tangan, salah seorang segera menghampiri.
"Siapa yang menewaskan guru kalian" Pendekar Slebor?"
tanya Jasad Dedemit, langsung saja.
"Bukan. Dia memang ada tadi. Tetapi yang membunuh
Guru adalah seorang utusan Kerajaan Toba, tempat guru
kami berasal. Namanya, Pendekar Ulos Sakti," sahut si
murid, lugu. "Hm...." Jasad Dedemit menggumam tak jelas.
Betot Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat Siluman dan Nyai
Bengis menyimak, mencoba menangkap apa yang
dipikirkan Jasad Dedemit.
"Siapa saja yang bersama Pendekar Slebor selain
Pendekar Ulos Sakti?" tanya Jasad Dedemit.
"Panglima Andrayana serta lima puluh prajurit berkuda
Kerajaan Alengka."
"Ada lagi seorang wanita," tambah salah seorang murid
lain. "Tapi, namanya kami tak tahu."
"Baiklah. Untuk sementara, kami tak ingin menurunkan
tangan kejam pada kalian. Tapi kalau keterangan yang
kalian berikan dusta, maka kami akan kembali untuk
meminta kepala kalian!" ancam Jasad Dedemit, seraya
membalikkan arah kudanya, diikuti keempat kawannya.
(Oodwkz-ray-novooO)
2 Dua orang lelaki dan seorang wanita melangkah
beriringan di halaman depan Kerajaan Alengka. Mereka tak
lain dari Pendekar Slebor, Mirah, dan Patniraga yang
dikenal sebagai Pendekar Ulos Sakti.
"Enaknya kita jalan-jalan dulu, yuk," Andika buka suara.
Walaupun bernada mengajak, tapi wajahnya dihadapkan
pada Mirah. Pendekar Ulos Sakti tahu gelagat. Sementara
Mirah diam saja.
"Aku pergi istirahat dulu, Andika," kata Patniraga, tahu
diri. "Ya, kau memang perlu pergi istirahat, Kawan!" sambar
Andika dengan mata mengerling sebelah.
"Biarlah aku dan Mirah cari angin dulu."
"Sehari semalam kita sudah makan angin di luar.
Sekarang, kalian masih mau cari angin pula. Apa belum
puas?" goda Patniraga.
"Ah, kau! Seperti tidak pernah muda saja," sahut Andika
enteng. "Brengsek, kau. Apa aku ini sudah tua?"
Mirah cuma senyum simpul mendengar pembicaraan itu.
"Kalau begitu mengertilah sedikit," Andika kembali
mengedipkan mata pada Patniraga.
"Bah! Mengerjapkan mata pula. Genit sekali kau ini
mengerjapkan mata padaku."
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Patniraga ngeloyor masuk ke dalam kamar. Sementara
kuping Andika sempat panas juga.
"Sontoloyo! Tak bisa pegang rahasia itu orang!" umpat
pendekar urakan itu dalam hati.
Sepeninggal Patniraga, Andika mengajak Mirah jalan-
jalan mengitari halaman istana. Cahaya sinar bulan
purnama menerangi. Para prajurit Istana Alengka tampak
sedang asyik berlatih di sana.
"Mirah... Aku belum mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu setelah aku terkena pukulan 'Tenaga Langit'
kemarin," ucap Andika, membuka pembicaraan.
"Ah, lupakanlah. Dan lagi, berarti sudah tunas, kan?"
sahut Mirah, mendesah.
"Lunas bagaimana?" Andika pura-pura bodoh.
"Lho" Kan kau juga telah menolongku waktu peristiwa si
Biludak Tengik."
"Oh, itu toh" Ah, rasanya aku lebih banyak enaknya."
"Tuh, kan. Mulai lagi."
"Iya, deh. Oh ya, Mirah kita ke dalam saja. Yuk. Di sini
banyak orang," ajak Andika ketika tepat di depan pintu
masuk kembali. Mirah menurut saja.
Mereka kini berjalan kembali masuk ke dalam ruang
utama istana. Ada tempat duduk dan sebuah meja di situ.
Mereka duduk berhadap-hadapan.
"Akhirnya Patniraga berhasil juga melaksanakan
tujuannya menghukum Pendekar Penjaga Langit," kata
Andika. "Kurasa tidak lama lagi ia akan pulang ke Tanah
Toba." "Kurasa tidak, Andika. Orang seperti Patniraga tidak
akan mengingkari janji. Ia akan tinggal di sini hingga selesai
membantumu. Lagi pula,
kau kan telah banyak menolongnya," sanggah Mirah.
"Menolong apa?"
"Ah, kau berlagak lupa. Waktu dia hampir terbunuh oleh
Pendekar Penjaga Langit, kau menolongnya memberikan
siasat serta memberitahukan rahasia menaklukkan pukulan
'Tenaga Langit'," urai Mirah.
"Ah, itu sih biasalah," tepis Andika sambil mengulapkan
tangan. Enteng sekali gayanya. Lagaknya bagai seorang
guru di depan muridnya.
"Tapi harus diakui bahwa bantuan dia kini amat berarti
bagi kita semua. Ya bagimu, dan bagi Kerajaan Alengka
juga." Andika tidak menjawab. Namun, dalam hati dia
mengiyakan. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan ulos sakti
Patniraga, ya" Sudah koyak-moyak begitu. Kita berdua
telah saksikan, kalau keampuhan senjata itu berkurang jauh,
setelah koyak-moyak menghadapi Pendekar Penjaga
Langit," Andika mengalihkan pembicaraan.
"Aku yakin pasti ada jalan mengatasinya, An."
Andika tersenyum kecil menatap Mirah. Suasana hening
kembali. Andika melahap wajah Mirah yang cantik dengan
sepasang mata elangnya. Sedang si gadis sendiri memain-
mainkan jarinya.
Dan saat yang sama mata elang Andika menangkap
sebuah bayangan orang berkelebat. Begitu ringan dan cepat.
"Sst.... Aku melihat ada seseorang berkelebat di lorong
itu," bisik Andika, memberi tahu Mirah. "Aku curiga
maksudnya tidak baik. Mari kita ikuti, Mir."
Andika seketika berkelebat ke lorong. Ringan sekali
gerakannya sehingga tak menimbulkan suara sedikit pun.
Di belakangnya, Mirah mengikuti. Tiba di sebuah tikungan
sosok hitam yang tadi berkelebat tak terlihat lagi. Tapi itu
bukan berarti Andika dan Mirah patah semangat. Mereka
segera berkelebat lagi ke pertigaan lorong. Di tikungan,
mereka berhenti. Andika mengintip. Benar rupanya.
Seseorang berpakaian ketat serba hitam dengan penutup
kepala berwarna hitam juga tengah mengintai di ujung
untuk belok ke tikungan lain, ke tempat di mana kamar
mereka berada. Begitu sosok hitam itu bergerak, Andika dan Mirah
mengekori. Tentu saja dengan i!mu meringankan tubuh
agar gerakan mereka tak tertangkap.
Ternyata sosok itu berhenti di depan kamar Mirah.
Dibukanya pintu kamar dan masuk. Tapi tak lama
kemudian.... "Ufs!"
Andika cepat-cepat menarik kepalanya saat sosok
berpakaian ketat serba hitam itu keluar. Hampir saja
kehadirannya ketahuan. Namun seketika terbersit sebuah
rencana di kepala Andika.
"Kalau dia masuk lagi ke kamarku, kita sergap saja,
Mirah! Orang itu tak kan bisa ke mana-mana lagi," bisik
Andika. Pendekar Slebor melongok lagi ke lorong itu. Benar! Dari
pintu kamarnya yang tampak terbuka sedikit, jelas sosok
hitam itu telah masuk ke kamar Andika. Padahal, di situ
ada Patniraga yang sedang tidur.
Andika memberi tanda dengan telunjuknya pada Mirah
agar mengikutinya.
"Hup!"
Dengan sekali lompat Andika dan Mirah telah berada di
muka kamar. Kejap berikutnya Andika telah melabrak
masuk. Brakk! Patniraga yang mendengar suara gaduh dari pintu yang
diterjang Andika kontan terbangun dan segera duduk.
Sementara sosok hitam yang baru saja mengendap-endap
ke tempat tidur Patniraga kontan menoleh pada Andika.
Dari sinar matanya yang tak tertutup kain hitam di
kepalanya jelas kalau sosok itu terkejut setengah mati.
"Hiaaat!"
Merasa yakin kalau sosok itu hendak bermaksud jahat,
tanpa bicara lagi Pendekar Slebor langsung menyerang.
Sedangkan Mirah berdiri di pintu berjaga-jaga.
Sebelum Andika sampai, sosok itu telah mengibaskan
tangannya ke arah Patniraga.
Benda-benda kecil berkilatan yang tak lain berupa pisau-
pisau kecil langsung meluncur mengancam keselamatan
Patniraga. Sambil melempar senjata rahasia, sosok itu
membuang diri, menghindari serangan Andika.
"Uts!"
Patniraga yang telah terjaga berusaha berkelit. Tapi
karena jarak yang dekat, tak urung lengannya terserempet
senjata rahasia.
Cras! "Aaah.."
Baru saja Patniraga mengeluh kecil karena terserempet
senjata rahasia sebuah senjata rahasia lain kembali
meluncur ke arahnya. Terpaksa Pendekar Ulos Sakti
mengenyahkan tubuhnya kembali.
Sosok hitam itu kini telah mencabut goloknya,
menyadari dirinya telah terkepung. Sambil berdiri tegang,
dia mencoba membaca keadaan.
"Heaaaa..!"
Dengan suatu lompatan cepat, sosok hitam itu
menerjang Mirah disertai sambaran golok. Tentu saja
Mirah tak sudi tubuhnya tersambar golok. Langsung saja
disongsongnya serangan.
"Hiaaat!"
Sambil bergeser ke kiri Mirah menangkis dengan
memapak pergelangan tangan orang itu yang memegang
golok. Dan tiba-tiba tubuhnya berputar dengan kaki
melepas tendangan melingkar ke leher lawan.
"Uts!"
Sosok hitam itu menarik tubuhnya sedikit ke belakang,
sehingga sabetan kaki Mirah luput.
"Hiaaa..."
Namun belum juga sosok itu sempat bernapas, Andika
telah datang menerjang. Cepat sekali datangnya serangan
Andika yang menggunakan tangan kosong.
"Hup...!"
Tidak ada jalan lain bagi orang itu selain bersalto ke
belakang untuk menghindari serangan Pendekar Slebor.
Ringan sekali tubuhnya bergerak, pasti ilmu meringankan
tubuhnya telah cukup tinggi.
Namun baru saja sosok itu menginjakkan kakinya di
lantai, Patniraga telah melompat dengan sebuah tendangan
yang tidak mungkin dapat dielakkan.
Dukk! Telak sekali wajah sosok itu terhajar kaki Patniraga.
Kepalanya kontan terbentur dinding. Tubuhnya langsung
melorot bagai kolor putus. Pingsan.
Andika mendekati dan membuka kain penutup di wajah
sosok itu. "Togap!" seru Patniraga.
(Oodwkz-ray-novooO)
Keributan di dalam kamar Andika dan Patniraga tentu
saja terdengar oleh para prajurit di dekat situ. Mereka
segera berdatangan, namun hanya melihat Togap telah
pingsan di lantai.
"Tolong ikat dan amankan dia," ucap Andika. "Sekalian
laporkan peristiwa ini pada Prabu Alengka."
Sebelum dibawa pergi Togap telah dibuat siuman
kembali oleh Andika. Baru kemudian, para prajurit
menyeretnya untuk dibawa ke penjara istana.
"Aku akan menuntut kematian abangku di lain waktu,
Patniraga!" kata Togap ketika melewati Patniraga dengan
digiring oleh dua orang prajurit. Nada suaranya penuh
dendam. Melihat hal itu terbit rasa kasihan Patniraga padanya.
Kemampuan silat Togap sebenarnya tidak tinggi. Selain
malas berlatih, ia memang tidak terlalu berminat. Kecuali,
ilmu meringankan tubuhnya yang selalu dilatih. Tak heran
kalau untuk jenis ilmu itu ia tergolong piawai. Dengan
mengandalkan kemampuannya itu,
ia telah nekat menyusup masuk ke dalam Istana Alengka untuk
menyerang Patniraga.
"Mungkin ia tak tahu dosa apa yang telah dilakukan
abangnya," pikir Patniraga. "Baringin Pati rupanya telah
mengelabuinya dengan mengarang-ngarang cerita palsu
mengapa ia sampai melarikan diri. Kalau benar demikian,
kasihan sekali si Togap."
Sementara itu Prabu Alengka baru saja tiba di pintu
kamar Andika dan Patniraga. Di kanan kirinya, mengawal
dua prajurit gagah.
"Tolong jelaskan, siapa penyusup itu padaku, Patniraga,"
ujar prabu Alengka, langsung saja. Rupanya, ia telah
mendapat laporan dari prajuritnya.
"Dia adalah adik kandung Pendekar penjaga Langit,
Prabu. Yang kutahu, ia telah menguntitku sepanjang
perjalanan. Bahkan ada kemungkinan sejak aku berangkat
dari Kerajaan Toba. Aku memergokinya beberapa kali.
Pendekar Slebor juga. Hm.... Rupanya dia telah mengetahui
kematian abangnya. Hatinya dirasuki amarah dan dendam.
Itulah sebabnya dia nekat menyusup kemari untuk
menuntut balas padaku," papar Pendekar Ulos Sakti.
"Kau telah mengenalnya sejak di daerahmu?" tanya
Prabu Alengka. "Benar, Prabu."
"Lalu mengapa ketika memergokinya tidak kau
tangkap"!"
"Itulah, Prabu. Ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi
sehingga selalu dapat melarikan diri. Itu sebabnya pula,
mengapa dia masih dapat menyusup ke kamarku melalui
penjagaan yang ketat di sini. Sayang, kemampuan
bertarungnya kurang baik. Setelah Pendekar Slebor
memergokinya, kami dengan mudah menangkapnya. Oh
ya. Terima kasih ya, Bor!" ucap Patniraga menganggukkan
kepala pada Andika.
Andika mencibir melihat gaya Patniraga di hadapan
Prabu Alengka. "Auk, ah! Gelap!" oceh Pendekar Slebor, seenaknya.
Prabu Alengka manggut-manggut. Ia mengerti kini,
mengapa para prajurit jaganya bisa kecolongan.
"Kalau boleh, ada satu permohonanku, Prabu," kata
Patniraga lagi.
"Apa itu?"
"Aku punya dugaan, si Togap tidak mengetahui duduk
perkara sesungguhnya. Si Baringin Pati itu licik, Prabu. Ada
kemungkinan ia mengarang-ngarang cerita pada si Togap
kenapa sampai melarikan diri. Selain itu, mungkin pula
karena ia telah menjejali adiknya dengan uang hasil
kejahatannya. Aku ingin berbicara padanya, sekiranya
diizinkan."
"Hm.. Baiklah, besok kau boleh menemuinya di penjara.
Sekarang, istirahat saja. Aku permisi dulu," ucap Prabu
Alengka seraya berbalik meninggalkan kamar ini.
(Oodwkz-ray-novooO)
3 "Whooaahh..."
Andika menguap lebar. Untung saja tak ada lalat lewat.
Kalau ada, tak mustahil akan tersedot oleh mulutnya yang
masih bau naga. Si pemuda berbaju hijau pupus dengan
kain bercorak catur di pundaknya ini duduk. Tangannya
direntangkan selebar-lebarnya dengan mata mengerjap-
ngerjap. Ngulet. Mentari pagi telah menerangi dunia. Ia
menemukan Patniraga tengah
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
duduk di lantai membelakangi. "Wah... Sudah siang ya, Sobat?" sapa Andika,
sekenanya. Orang yang ditanya tidak menjawab. Mungkin malas
menanggapi kata-kata Andika yang nyerocos begitu saja.
Sudah tahu sinar matahari yang lewat dari jendela menerpa
wajahnya. Pakai bilang sudah siang segala! Kebangetan
sekali pemuda satu ini.
"Sedang apa kau, Sobat?" ulang Andika, agak mangkel
juga didiamkan seperti itu. Memang enak dianggap angin
lewat" Tapi Patniraga tidak juga menjawab.
Saking mangkelnya, Andika turun dari tempat tidur.
Dihampirinya Patniraga yang tengah duduk berada.
Matanya terpejam. Kedua telapak tangannya mengatup di
muka, mengepit ulos saktinya yang koyak moyak.
Andika lantas mengibas-ngibaskan tangan di depan mata
Patniraga. Jahil juga pemuda urakan ini. Tapi Patniraga
tidak bergeming juga. .
Andika menghela napas, tanpa mempedulikan Pendekar
Ulos Sakti lagi. Ia bergerak keluar kamar, hendak pergi
mandi. . Di luar, si pemuda bertemu Mirah. Gadis itu
membiarkan rambutnya tergerai lepas. Di telinganya
terselip sekuntum bunga kamboja. Cantik sekali.
"Baru bangun, An?" sapa Mirah.
"Oh, sudah dari tadi," jawab Andika, seenaknya.
"Kok wajahmu masih kucel begitu?"
"Maksudku Patniraga yang sudah bangun. Kalau aku
sih, baru saja bangun."
"Mana Patniraga?"
"Itu sedang bersemadi. Cari ilham buat pasang dadu
kali," jawab Andika, lalu ngeloyor pergi.
Mirah mengerutkan keningnya sambil menahan senyum.
Memang, pemuda satu ini kalau bicara tak pernah dipikir
dua kali. Asal nyeplos saja.
(Oodwkz-ray-novooO)
Patniraga terus dengan semadinya. Dengan mata dan
telinga tertutup, ia berusaha menyatukan jiwanya dalam
satu titik. Dengan demikian, dia tak peduli dengan segala
sesuatu yang terjadi di sekelilingnya.
Menanti dan menanti. Itulah yang dilakukannya sejak
subuh tadi. Menanti kehadiran gurunya yang dihubungi
lewat indra keenamnya. Padahal, sang Guru yang sudah
renta tinggal di sebuah gua di pegunungan Bukit Barisan.
"Bagaimana kau bisa sampai membiarkan ulos saktimu
kayak, hah"!" tiba-tiba terdengar suara amat berwibawa,
mengandung kemarahan. Itulah suara sang Guru.
"Beribu-ribu maaf sekali lagi, Guru. Aku dalam keadaan
terdesak waktu itu. Si Baringin Pati hampir saja
membunuhku dengan pukulan 'Tenaga Langit'-nya. Kalau
tidak kutangkis dengan Ulos Sakti, tak tahulah apa jadinya
aku," ucap Pendekar Ulos Sakti lewat tenaga batinnya.
"Aku tidak perlu penjelasan itu! jangan mengelak
kenyataan bahwa itu semua adalah bukti kalau kau masih
kurang dalam berlatih!" semprot sang Guru.
"Ya, Guru. Aku mengakuinya."
"Yang bandel kalilah kau ini, bah! Sudah kubilang
jangan turuti dendam dan amarah. Sekarang nyata, bukan"
Kau tidak turuti apa yang kubilang. Yang ada di otakmu itu
cuma nafsu untuk membunuh si Baringin Pati. Tak kau
pikir dan tak kau ingat lagi yang kubilang. Hah! Matilah
kau sekarang! Sudah begini, kau desak-desak pula aku...."
"Ampun, Guru. Aku mengakui semua kesalahan itu.
Aku berjanji, setelah ini hendak berlatih silat kembali. Tapi
tolonglah, Guru. Sambungkanlah lagi ulosku yang telah
koyak ini," ratap sang murid, nyaris bersifat kekanak-
kanakan. "Kalau kau tak tepati janjimu, apa hukumannya," sang
Guru memberi penawaran.
"Aku bersedia dihukum apa saja."
"Hm...."
Guru Patniraga sejenak tak bersuara. Mungkin sedang
berpikir, hukuman apa yang akan dikenakan pada
muridnya bila mengingkari kata-katanya sendiri.
"Jika kau tak lakukan apa yang kubilang, aku tak akan
pernah menolongmu lagi," kata sang Guru, sarat ancaman.
Tek! Jantung Patniraga berdenyut keras. Ini hukuman yang
tidak main-main.
Itu berarti gurunya tidak mau menganggapnya sebagai murid lagi.
"Kau paham itu, Patniraga?" lanjut sang Guru.
"Berat kali hukuman ini!, Guru," keluh Pendekar Ulos
Sakti. Aku tidak mau kau main-main, Patniraga. Ingat selalu
kataku dulu. Sekali aku menerimamu sebagai murid, kau
harus berusaha yang terbaik!"
"Baiklah, Guru. Aku akan menuruti kata-katamu."
"Hm! Sekarang bersiaplah. Pegang erat ulosmu. Erat-
erat! Salurkan semua tenaga dalam yang kau miliki
padanya. Nanti, akan datang musuh kita, Sibolis
Anggarjago! Dia akan menyerangmu. Taklukkan dia.
Maka, ulosmu akan tersambung kembali. Jika kau kalah,
kau akan mati."
Indra keenam Patniraga mendadak buntu. Itu artinya,
gurunya telah menutup pembicaraan. Padahal, ia belum
sempat mengucapkan terima kasih. Namun Pendekar Ulos
Sakti tidak ingin lagi mempersoalkannya. Karena bisa jadi
gurunya akan marah. Maka segera dia berbuat apa yang
diperintah gurunya. Dipegangnya erat-erat Ulos Sakti. Saat
itu pula tenaga dalamnya mulai disalurkan ke ulos.
Kini, ulos di tangan Pendekar Ulos Sakti seolah tampak
hidup. Benda sakti itu meliuk-liuk perlahan, seperti seekor
ular merayap. Makin lama makin cepat. Patniraga
merasakan, tetapi tidak membiarkan dirinya terpengaruh.
Tetap digenggamnya erat-erat ulos itu.
Pyas! Tiba-tiba Patniraga merasa seperti sedang berdiri di
tengah-tengah sebuah padang pasir yang luas. Mentari terik
menyengat. Dinantinya, apa yang akan terjadi kemudian.
Dan kening Pendekar Ulos Sakti mendadak berkerut ketika
samar-samar terlihat sesuatu bergerak ke arahnya.
Makin mendekat, Patniraga jadi terkesiap. Ternyata
makhluk itu bertubuh seekor binatang yang serba hitam.
Kupingnya tegak mirip kuping anjing. Mukanya mirip
serigala. Tinggi besar. Pantatnya berekor yang ujungnya
seperti mata anak panah. Di tangannya tergenggam sebuah
trisula. Tanpa basa-basi lagi, binatang itu langsung menyerang
Patniraga dengan senjata trisulanya.
Wheeess..'! Patniraga mengenyahkan tubuhnya ke samping, membuat serangan lawan anehnya yang bernama Sibolis
Anggarjago tak menemui sasaran. Binatang itu berbalik lalu
menyerang lagi.
Wesss.... "Hup...!"
Patniraga berkelit dan berjumpalitan ke sana kemari. Ia
sama sekali tidak diberi kesempatan sedikit pun oleh Sibolis
Anggarjago. Jika bertahan terus, bukan mustahil tenaganya
akan terkuras. "Hap!"
Begitu mendapat kesempatan Patniraga melompat
sejauh-jauhnya untuk mengambil jarak. Begitu mendarat,
kedua tangannya menghentak, melontarkan sebuah pukulan
jarak jauh. "Gherrr...!"
Binatang itu menghindar disertai gerengan menyeramkan. Tubuhnya berguling-guling di pasir, maju ke
arah Patniraga. Saat mendapat jarak memungkinkan,
Sibolis Anggarjago bangkit loncat, langsung menerkam
seperti singa. "Grauuungng...!"
Pendekar Ulos Sakti bergeser ke kanan seraya
menghujamkan kepalan tangan kanan ke iga lawan. Tak
dinyana, Sibolis Anggarjago menggerakkan tangan kiri,
menangkis. Sementara tangan kanannya menyabetkan
trisula. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Crass! "Akh!"
Patniraga menjerit tertahan begitu trisula lawan
menggores panjang dari pundak hingga ke perut. Darah
tampak merembes keluar. Patniraga menyeringai menahan
perih. Sementara itu dalam pandangan nyata ulos dalam
pegangan tangan Patniraga meliuk-liuk tak karuan setiap
kali terjadi bentrokan. Mungkin bila Andika masih berada
di kamar, akan melihat tubuh Patniraga yang sedang duduk
bersila ikut bergerak ke sana sini Dan pasti pemuda urakan
itu akan terbengong-bengong.
Dalam pandangan batin patniraga, tubuh makhluk itu
kini berdebum jatuh di pasir. Punggungnya dibiarkan
menghantam bumi, dan langsung berguling-guling ke arah
Patniraga. Begitu dekat, senjatanya disabetkan.
Bett! Patniraga mundur tiga langkah seraya mencabut golok.
Langsung ditangkisnya trisula yang mengancam dirinya.
Trang! Suara berdentang dari kedua senjata yang beradu
terdengar memekakkan telinga. Setiap kali senjatanya
beradu tangan Pendekar Ulos Sakti bergetar. Ini berarti
tenaga Sibolis Anggarjago lebih tinggi daripada tenaganya.
Tentu saja Patniraga tidak kuat terus-terusan menangkis
dengan senjatanya. Apalagi, genggamannya pada golok
terasa melemah akibat benturan barusan. Maka kini
goloknya kembali dimasukkan ke dalam warangkanya.
Patniraga yang sebenarnya ada di kamar kini tidak
duduk bersila lagi, peluh mulai membasahi sekujur
tubuhnya. Ia kini tidak hanya memegang ulos dengan
tangan kanan, tetapi dengan kedua tangannya. Ada tenaga
kuat dari ulos yang ingin melepaskan diri dari
genggamannya. Rumbai-rumbai ulas yang koyak meliuk-
liuk hebat. Pertarungan terus berlangsung seru dan menegangkan.
Namun sampai sejauh itu, belum ada yang unggul.
(Oodwkz-ray-novooO)
Setelah beberapa jurus berlangsung, Patniraga yang terus
mencari kelemahan lawan mulai mendapat titik terang.
Ternyata Sibolis Anggarjago tidak pernah menghindar
dengan jalan melompat, kecuali saat menerkam. Kelihatannya, di sinilah kelemahan lawan.
"Heaaa...!"
Dalam satu kesempatan Patniraga menyerang setelah
mencabut goloknya kembali. Goloknya diayunkan dari atas
ke bawah. Tapi Sibolis Anggarjago cepat menangkis dengan
trisula. Trang! Saat itulah Patniraga segera menyodok dada lawan
dengan kaki kanan ketika binatang itu mundur selangkah,
Patniraga menekan goloknya yang masih tertahan oleh
trisula lawan. Lalu tiba-tiba tangan kirinya bergerak
memapak tangan lawan yang memegang trisula.
Begitu trisula lepas, Patniraga memutar tubuhnya.
Seketika kakinya membuat satu gerakan berputar yang
berisi tenaga dalam penuh. Begitu cepat gerakannya, dan....
Beg! Sibolis Anggarjago terjajar mundur ke belakang sambil
memegang tulang rusuknya yang terhantam kaki Patniraga.
Bukan main! Kalau lawan biasa, pasti sudah mampus
dengan paru-paru dan jantung pecah. Tetapi tampaknya
binatang itu jadi susah bernapas. Dadanya terasa sesak
sekali. Melihat hal ini Patniraga tidak membuang waktu. Segera
tubuhnya menerjang sambil menyabet golok dari samping.
Ketika binatang itu berusaha menghindar, dengan sebuah
gerak tipuan lelaki itu pun segera melepas tendangan
dengan kaki kanannya ke wajah lawan.
Dess..! Kepala Sibolis Anggarjago kontan tersentak ke belakang
terkena tendangan Patniraga. Dan belum binatang itu
sempat berbuat sesuatu, telapak tangan kiri Patniraga telah
telak mendarat di dada.
Desss! Binatang itu kontan terjengkang empat tombak ke
belakang, lalu terhempas di pasir. Sebentar kemudian
Sibolis Anggarjago melejang-lejang.
"Ngik.... Ngik...!"
Sementara itu, ulos dalam genggaman kedua tangan
Patniraga menegang kaku. Lalu, suatu pemandangan yang
mengherankan muncul. Di sepanjang dan sekeliling ulos,
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampak sinar putih melingkupi.
Lantas perlahan-lahan setiap bagian ulas yang telah
koyak merapat satu sama lain. Sedangkan rumbai-rumbai
ulos menyambung kembali, menjadi utuh seperti semula.
Bahkan, tanpa sedikit pun bekas-bekas koyakan. Begitu ulos
utuh, perlahan-lahan sinar putih meredup. Dan akhirnya,
sirna. Barulah setelah itu, ulos melemas dan tergerai di
lantai. "Aaung...."
Seiring dengan terdengarnya lolongannya, Sibolis
Anggarjago telah dijemput maut. Patniraga melihat darah
hitam mengalir dari mulut dan telinga binatang aneh itu.
Paru-paru dan jantungnya ternyata telah pecah.
"Dasar iblis!"
Bersamaan dengan rutukan Pendekar Ulos Sakti,
gambaran yang ibarat mimpi itu hilang. Patniraga pun
merasakan telah berpindah ke alam nyata kembali.
Perlahan-lahan kelopak matanya membuka.
(Oodwkz-ray-novooO)
Setelah mendapat izin dari Prabu Alengka, Patniraga
ditemani Andika pergi menemui Togap di ruangan penjara.
Pagi itu, Togap sedang melamun. Dan mukanya
langsung ditekuk begitu melihat kedatangan kedua
pendekar itu. Bahkan kemudian berbalik, membelakangi.
"Mau apa kalian kemari"!" tanyanya tanpa menoleh.
"jangan berprasangka buruk, Togap. Aku hendak
menjelaskan duduk persoalan, mengapa aku sampai
membunuh abangmu," jelas Pendekar Ulos Sakti.
Patniraga lalu menceritakan secara lengkap apa yang
telah dilakukan Baringin Pati terhadap Kerajaan Alengka.
Juga, terhadap kekasih yang akan dinikahinya (Baca serial
Pendekar Slebor dalam episode: "Alengka Bersimbah
Darah"). "Tidak!" teriak Togap begitu Pendekar Ulos Sakti selesai
dengan ceritanya. "Kalian membual! Tidak mungkin
abangku melakukan itu semua! Kalianlah yang iri padanya.
Iri pada keberhasilannya! Iri pada kemampuannya!"
"Kalau kau tidak percaya, aku membawa surat perintah
langsung dari raja kita, Raja Sahala," tegas Patniraga sambit
merogoh saku di balik bajunya. Di tangannya kini
tergenggam secarik surat dan dijulurkan melalui jeruji.
"Tidak mau! Aku tidak perlu semua itu!" tolak Togap,
keras kepaJa. Patniraga membiarkan surat itu terjatuh ke dalam ruang
tahanan Togap. "Togap," Andika buka suara. "Kau mau percaya kek,
mau tak percaya kek, itu urusanmu. Tak perlu berteriak-
teriak begitu. Memangnya kami budek" Begini saja. Coba
kau pikir, Raja Sahala mengutus Patniraga untuk mencari
abangmu hingga ke Tanah Jawa dengan biaya cukup
banyak jika semua yang di ceritakan tadi tidak benar?"
"Aku tidak percaya semua itu! Aku tidak percaya.
Semuanya bohong..!" teriakan Togap semakin kencang.
"Pergiii..., pergi kaliaaan..!"
Andika dan Patniraga saling berpandangan. Setelah
menghela napas, Patniraga mengajak Andika meninggalkan
tempat ini. (Oodwkz-ray-novooO)
Dua hari berlalu begitu saja. Saat ini Patniraga tengah
melatih ilmu silat sebagaimana janjinya pada gurunya. Dan
barn saja ia memainkan jurus terakhir, seorang prajurit
dalang menemuinya.
"Maaf, Pendekar Ulos Sakti. Hamba datang hendak
menyampaikan keinginan Togap untuk berbicara padamu,"
ucap si prajurit.
"Tolong bawa dia kemari," perintah Pendekar Ulos Sakti
sambil terus melanjutkan latihannya tanpa menoleh sedikit
pun. Peluh di tubuh Patniraga telah membanjir. Tapi lelaki ini
seperti tidak mengenal lelah melatih jurus-jurusnya. Hingga
tak terasa, Togap telah hadir dengan tangan terikat diantar
dua orang prajurit.
Pendekar Ulos Sakti menutup jurus terakhirnya dengan
kedua telapak tangan menangkup di dada. Lalu sambil
membasuh keringat, dihampirinya Togap.
"Apa yang akan kau katakan, Togap?" tanya Patniraga
langsung saja. "Lepaskan dulu ikatanku ini," pinta Togap.
"Asal kau berjanji tak akan lari."
"Aku takkan lari."
Patniraga meminta pada kedua prajurit itu untuk
membuka ikatan tangan Togap dengan jaminan dirinya.
Apabila Togap lari, patnitaga bersedia bertanggung jawab.
"Telah kupikirkan apa yang kau ceritakan padaku
tentang Abang Baringin Pati," buka Togap, begitu ikatan
pada tangannya terlepas.
"Lalu?"
"Kau benar mengatakan itu semua, Patniraga?"
"Apa ada kemungkinan aku berbohong?" Patniraga balik
bertanya. . . Togap melihat bahwa Patniraga berkata jujur. Apalagi, ia
mengenal cap Kerajaan Toba dan tanda tangan Raja Sahala
dalam surat perintah yang ditinggalkan Patniraga dalam
ruang tahanan. Ia tahu, Raja Sahala tak mungkin
berbohong. Babkan tak mungkin berbuat begitu rupa,
hingga mengutus Patniraga jauh-jauh ke Tanah Jawa hanya
untuk mengejar seseorang belaka.
"Aku telah dibohongi oleh abangku sendiri rupanya,"
desah Togap. Patniraga menghela napas. Hatinya melunak. Firasatnya
mengatakan bahwa Togap telah sadar akan kekeliruannya.
"Apa yang dikatakannya padamu?" tanya Patniraga
seraya mendekati Togap dengan tatapan tajam.
Togap membuang pandangannya. Dihindarinya tatapan
mata Patniraga yang seolah menusuk nuraninya.
"Ia mengatakan padaku bahwa Raja Sahala khawatir
pada kemampuan dan pengaruh abangku di dalam istana
yang akan merebut kekuasaan di Kerajaan Toba. Raja
Sahala iri pada Abang Baringin dan bermaksud membunuhnya. Itulah sebabnya dia melarikan diri ketika
mengetahui rencana Raja Sahala," papar Togap.
"Jika Raja Sahala hendak membunuhnya karena alasan
itu, buat apa menyuruhku mengejar abangmu hingga ke
ujung bumi sekalipun?" tukas Pendekar Ulos Sakti.
"Itulah. Aku juga akhirnya berpikir demikian, setelah
membaca surat perintah Raja yang kau tinggalkan di kamar
tahanan." "Lalu, apa katanya pula tentang aku?"
"Ia mengatakan bahwa kau mengejarnya karena disuruh
Raja Sahala yang benar-benar ingin melenyapkannya."
Patniraga mendengus mendengarkan penuturan Togap.
Cerita itu tidak sedikit pun menyinggung nasib Ulima,
calon istri Pendekar Ulos Sakti yang dicintainya.
"Aku ingin minta maaf atas kesalahanku telah
menganggapmu sebagai kaki tangan Raja Sahala yang jahat
selama ini," desah Togap, lirih.
"Yang kutahu, kau sangat sayang pada abangmu. Tapi,
begitu cepat pikiranmu berubah," kata Patniraga.
"Benar. Aku sayang pada abangku si Baringin. Tetapi
aku lebih sayang pada negeriku. Juga, pada Rajaku yang
ternyata tidak sejahat yang kukira."
Patniraga memegang bahu Togap lalu tersenyum.
"Aku percaya pada pengakuanmu. Lalu apa maumu
kini?" tanyanya, lembut.
Togap menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tak tahu. Terserah padamulah. Mungkin aku ingin
pulang. Dan kalau boleh, aku ingin pulang bersama-sama
denganmu. Cuma aku tahu, kau sekarang punya urusan
membantu Pendekar Slebor untuk membasmi Jasad
Dedemit dan kawan-kawannya. Aku ingin membantumu
sebisaku. Anggaplah ini penebus dosa atas kesalahanku."
"Ah, itu tidak perlu. Tetapi kalau kau senang untuk
membantu Pendekar Slebor bersamaku, akan sangat
kuhargai. Ilmu meringankan tubuhmu yang tinggi mungkin
bisa bermanfaat."
Mata Togap berkaca-kaca. Dengan perasaan sedih
kehilangan abang yang bercampur perasaan terharu atas
pemberian maaf dari orang yang hendak dibunuhnya
karena termakan fitnah, langsung dipeluknya Patniraga.
"Maafkan aku, Sobat," ucap Togap di tengah
keharuannya. Patniraga balas memeluk Togap dengan tulus. Ditepuk-
tepuknya punggung lelaki itu.
(Oodwkz-ray-novooO)
4 Bukit Dedemit di waktu malam. Para tokoh persilatan
golongan hitam kembali berkumpul, membahas bagaimana
caranya melenyapkan Pendekar Slebor. Di situ terlihat
Jasad Dedemit, Betot Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat
Siluman, dan Nyi Bengis.
Mereka semua duduk bersila melingkari api unggun, di
depan sebuah pondok besar, tempat tinggal Jasad Dedemit.
Sementara para murid mereka masing-masing berjaga-jaga
di sekitar tempat ini.
"Karena di belakang Pendekar Slebor ada pendekar-
pendekar lain, aku pikir sebaiknya kita mengincar mereka
satu persatu. Kita tunggu kesempatan yang baik ketika
pendekar-pendekar itu sedang sendirian. Lalu, kita serang
dan bunuh. Dengan demikian, dukungan terhadap
Pendekar Slebor semakin berkurang," cetus Malaikat
Siluman, membuka suara.
"Boleh juga," tanggap Lampor Ireng.
"Menurut keterangan murid-murid Perguruan Kemangi
Sariadi, di belakang Pendekar Slebor ada Pendekar Ulos
Sakti dan seorang wanita yang belum kita ketahui,"
sambung Malaikat Siluman. "Nah! Apabila keduanya telah
disingkirkan, barulah kita serang Pendekar Slebor di Istana
Alengka." "Kenapa mesti dua-duanya" Menurutku, kalau salah satu
telah dapat dibunuh, kita sudah bisa mengalahkan Pendekar
Slebor," sergah Betot Nyawa.
"Aku pikir belum," jawab Malaikat Siluman, lugas.
"Ya! Kupikir juga begitu," dukung Nyi Bengis.
"Bagaimana pendapatmu, Jasad Dedemit," tanya Betot
Nyawa. "Entahlah. Aku rasa, pendapat Malaikat Siluman ada
baiknya. Cuma saja, mungkin bisa memakan waktu lama."
"Aku kurang jelas maksudmu," tukas Nyi Bengis.
"Begini. Cara itu akan membuat kita harus mengamati
terus menerus. Kita harus menunggu saat sampai salah satu
dari mereka lengah dan berada sendirian. Sampai kapan itu
bisa terjadi" Dalam keadaan semacam ini, kupikir mereka
akan lebih banyak bersama-sama. Lagi pula, bisa saja kita
kepergok saat mengamati. Kalau tidak terkepung, mungkin
kita bisa melarikan diri. Tetapi hal ini akan membuat siasat
kita diketahui."
Keempat tokoh sesat lain mencerna pendapat Jasad
Dedemit. "Cara itu juga terlalu berbahaya," sambung Jasad
Dedemit. "Kenapa" Karena, selagi kita menunggu
kesempatan, mereka bisa saja mengambil keputusan untuk
menyerang Bukit Dedemit ini."
"Kalau begitu kita lakukan saja lagi kekisruhan pada
desa-desa lainnya. Lalu, kita menuntut Prabu Alengka
menyerahkan Pendekar Slebor," usul Nyi Bengis.
"Tidak! Itu hanya akan memancing mereka lebih cepat
menyerang kita," tolak Jasad Dedemit.
"Jadi bagaimana" Apa yang mesti kita lakukan" Tidak
mungkin kita cuma kongkow-kongkow begini saja, bukan?"
desak Lampor Ireng.
"Aku lebih cenderung agar kita mencari bantuan
tambahan!" jelas Jasad Dedemit.
"Bantuan tambahan" Maksudmu?"
"Kita menghubungi teman-teman sealiran untuk bergabung bersama kita. Kalau kita bisa menarik dua orang
saja dari mereka, aku rasa sudah cukup untuk mengalahkan
Pendekar Slebor sekaligus para pendukungnya," papar
Jasad Dedemit. Sejenak para tokoh persilatan aliran hitam itu hening
memperlimbangkan pendapat Jasad Dedemit.
"Bagaimana" Apakah kalian setuju?"
Keempat rekan Jasad Dedemit mengangguk-anggukkan
kepala tanda setuju.
"Tetapi kita harus cepat! Karena, Jasad Dedemit telah
mengatakan bahwa mungkin saja Pendekar Slebor dan
teman-temannya akan menyerang kita," tambah Betot
Nyawa. "Kamu benar, Betot Nyawa," sambut Jasad Dedemit.
"Siapa yang akan kita tarik?" tanya Malaikat Siluman
kemudian. Jasad Dedemit diam sebentar. Berpikir.
"Bagaimana kalau salah satunya si Pendeta Gadungan
yang berjuluk Pandita Perangai Setan?"
"Lalu satu lagi?"
"Apa ada usulan dari kalian?" Jasad Dedemit balik
bertanya. "Bagaimana kalau temanku yang bernama si Nyai
Bongkreng?" cetus Nyi Bengis, langsung saja.
"Hm.. Boleh juga," sahut Jasad Dedemit. "Apakah yang
lain setuju?"
Tak ada yang bersuara. Diam, berarti setuju.
"Baiklah. Akan menghubungi Pandita Perangai Setan.
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara, Nyi Bengis akan menghubungi Nyai Bongkreng," kata Jasad Dedemit.
"Aku siap," jawab Nyi Bengis, semangat.
Baru saja mereka hendak beranjak, tiba-tiba Jasad
Dedemit mengangkat tangannya.
"Sekarang dengarlah," ujar Jasad Dedemit. "Jangan
kalian beranjak dulu. Aku merasa ada orang gelap yang
memata-matai kita."
"Di mana dia" Akan kutebas kepalanya!" desis Nyi
Bengis seraya melihat ke sekeliling.
"Sst.... Jangan celingukan begitu, Nyi Bengis! Dia akan
curiga," Jasad Dedemit memperingatkan. "Tadi aku melihat
satu bayangan berkelebat dan melompat ke atas pohon.
Gerakannya begitu mulus. Dari caranya melompat dan
hinggap di pohon itu, sudah jelas kalau ilmu meringankan
tubuhnya cukup tinggi!"
Sejenak Jasad Dedemit terdiam. Berpikir keras bagaimana caranya menangkap si penyusup. "Betot Nyawa!
Kau bersama Lompar Ireng, dan Malaikat Siluman berpura-
pura masuk ke dalam pondok satu persatu, lalu keluar dari
pintu belakang dan memutar ke arah tempat persembunyiannya. Kita kepung dia agar tak bisa
meloloskan diri. Pohon tempatnya bersembunyi tepat lurus
di hadapanku. Pohon yang paling besar. Setelah kalian
mengepung, aku dan Nyi Bengis akan menyerangnya. Nah!
Mari kita lakukan tanpa mengundang kecurigaan," cetus
Jasad Dedemit. Satu demi satu. mereka meninggalkan api unggun tempat
berkumpul untuk menjalankan perintah yang diberikan
Jasad Dedemit. Sementara Jasad Dedemit sendiri dan Nyi Bengis segera
bangkit berdiri. Dan dengan gerakan cepat, mereka
berkelebat ke arah pohon itu.
"Hei! Turun kau dari situ, Lutung! Jangan macam-
macam! Kau telab terkepung!" teriak Jasad Dedemit sambil
berkacak pinggang begitu tiba satu tombak di dekat pohon
yang paling besar bersama Nyi Bengis.
Di tempat persembunyian, Betot Nyawa, Lampor Ireng,
dan Malaikat Siluman berdiri mengawasi untuk membuktikan perkataan Jasad Dedemit tadi.
"Turun! Atau aku akan memaksamu"!" bentak Jasad
Dedemit seraya mengibaskan tangannya.
Set! Sel! Set! Tiga benda putih berbentuk segi tiga melesat dari tangan
Jasad Dedemit. Tiga senjata rahasia yang siap merajam
tubuh si penyusup.
"Hup!"
Ternyala, si penyusup yang berpakaian serba hitam
mampu menghindar dengan mudah setelah melompat ke
dahan lain. "Lutung pengecut! Mau lari ke mana kamu, heh"!"
bentak Jasad Dedemit seraya kembali melontarkan senjata-
senjata rahasianya.
"UtS...!"
Si bayangan hitam menghindar lagi, namun kali ini ke
pohon lain. Namun begitu kakinya mendarat, Malaikat
Siluman, Betot Nyawa, dan Lampor Ireng telah melepaskan
pukulan jarak jauh.
Bet! Bet! Bet! Melihat datangnya serangan yang beruntun, kembali si
bayangan hitam melompat dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi.
Blarr! Blar! Akibatnya, dahan pohon yang jadi sasaran ketiga
pukulan jarak jauh hancur dan berguguran ke tanah.
Sementara sosok bayangan hitam itu telah mendarat di
pohon lain. "Mampuslah kau, Lutung!" teriak Nyi Bengis, begitu
melihat si penyusup bisa menyelamatkan diri.
Namun baru saja hendak menghentakkan tangannya...
"Hentikan permainan kalian!"
(Oodwkz-ray-novooO)
Semua yang ada di tempat itu langsung menoleh ke arah
dalangnya suara bentakan barusan. Dan kesempatan ini
digunakan si penyusup untuk melompat ke pohon lain, lalu
berkelebat pergi.
"Pandita Perangai Setan!" sebut Jasad Dedemit, begitu
mengenali sosok lelaki tua yang terbungkus pakaian warna
kuning yang dilibatkan begitu saja.
Lelaki tua gundul yang dipanggil Pandita Perangai Setan
ternyata memang telah berdiri tidak jauh dari situ. Tanpa
seorang pun yang tahu, bagaimana kehadiran Pandita
Perangai Setan di markas Jasad Dedemit ini.
"Huahaha...," tawa Pandita Perangai Setan. "Kau masih
mengetahui betul suara sahabatmu ini, Jasad Dedemit."
"Sedang apa kamu di situ. Mari mendekat, Sobat!
Kedatanganmu tepat pada waktunya," ujar Jasad Dedemit.
Pandita Perangai Setan mendekat sambil terus mengumbar tawa. Seolah dengan ketawa ingin menunjukkan ketenangan hatinya. Padahal, bukan. Ia
justru ingin menunjukkan perangai setannya!
"Tidak baik mempermainkan seorang anak kecil, Jasad
Dedemit. Kulihat penyusup itu
bukanlah apa-apa dibandingkan diri kalian. Masa untuk menghadapinya saja
kalian sampai mengeroyok begitu?" kata Pandita Perangai
Setan, kalem. "Ah, sudahlah. Kami baru saja membicarakanmu. Ayo,
masuk ke pondokku," ajak Jasad Dedemit menggamit
Pandita Perangai Setan.
"Hahaha..."
Pandita Perangai Setan tertawa lagi. Sementara Betot
Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat Siluman, dan Nyi Bengis
jadi cemberut, karena kehilangan buruan setelah lelaki
gundul itu datang. Dan wajah mereka tak luput terlihat oleh
Pandita Perangai Setan.
"Biarlah dia pergi. Kalian tidak keberatan, bukan?" ujar
Pandita Perangai Setan, menyadari apa yang membuat
keempat kawan Jasad Dedemit terlihat cemberut begitu.
"Rencana kalian untuk membinasakan Pendekar Slebor
tidak akan terganggu hanya karena bocah begitu.
Percayalah."
"Oh, tentu! Tentu, Sahabatku," jawab Jasad Dedemit,
berusaha untuk tidak mengubah keceriaan wajahnya.
Padahal, hatinya sedikit berat menuruti permintaan Pandita
Perangai Setan. "Aku selalu ingat bahwa kau adalah
seorang yang tidak suka membunuh orang yang ilmunya di
bawah kita, bukan" Hahaha...."
Dan untuk menghilangkan kekakuan di antara mereka,
Jasad Dedemit kemudian memperkenalkan teman- temannya yang lain kepada Pandita Perangai Setan.
"Sudahlah. Jangan kalian berkecil hati karena kehilangan
seorang cecunguk begitu," kata Pandita Perangai Setan lagi,
berusaha membesarkan hati mereka.
"Tapi, Pandita Perangai Setan. Si penyusup itu telah
menipu kami. Namanya Togap. Jadi, dia harus menerima
pembalasan kami," sergah Nyi Bengis.
"Ah, sudahlah, Nyi. Aku ke sini karena mendengar
rencana kalian dan ingin bergabung. Percayalah, mendapatkan seorang seperti aku jauh lebih berarti
daripada kehilangan dia. Hahaha...," jawab Pandita
Perangai Setan.
"Wah... kalau begitu kebetulan sekali. Jasad Dedemit tak
perlu pergi ke tempatmu. Benar-benar pucuk dicinta ulam
tiba...." (Oodwkz-ray-novooO)
Togap menceritakan semua kejadian yang dialaminya di
Bukit Dedemit pada Prabu Alengka serta Patniraga.
Pendekar Slebor, Mirah, dan semua yang hadir di mangan
utama Istana Alengka.
"Jadi bagaimana sekarang, Paduka Prabu?" tanya
seorang lelaki gagah berpakaian perwira kerajaan.
Togap yang telah selesai memberi laporan hasil
pengamalannya di markas para tokoh persilatan golongan
hitam tersenyum bangga. Karena dari laporannya itu, dia
berharap Prabu Alengka sudah melupakan kesalahannya.
Apalagi, ia memang bertekad untuk menebus dosa-dosanya
selama ini. "Apakah kita sanggup melawan mereka, Parameswara?"
Prabu Alengka balik bertanya. "Apalagi dengan bergabungnya Pandita Perangai Setan"
Lelaki berpakaian perwira setingkat menteri yang
dipanggil Parameswara tak menjawab. Agaknya ia berusaha
berpikir keras, sambil menunggu kesanggupan anak
buahnya. Untuk itu kepalanya lantas menoleh pada lelaki
lain yang berpakaian panglima. Namanya Panglima
Andipati. Menurutku sanggup, Paduka," jawab Panglima Andipati,
setelah mendapat tatapan dari Parameswara. "Justru
sekaranglah saatnya kita bertindak. Karena kalau menunggu waktu lagi, sama saja akan memberi waktu pada
mereka guna menghubungi Nyai Bongkreng yang akan
membuat mereka tambah kuat. Kalau itu sampai terjadi,
kita akan semakin sulit mengalahkan. Lagi pula kurasa,
semua kami di sini siap untuk bertempur mengganyang para
tokoh persilatan aliran hitam itu. Dan kami siap mati bagi
negeri tercinta ini."
"Baiklah. Kupikir juga demikian," kata Prabu Alengka.
"Sekarang, marilah kita mempersiapkan segala sesuatunya
untuk pergi ke Bukit Dedemit meminta pertanggungjawaban para perusuh terkutuk itu."
(Oodwkz-ray-novooO)
5 Pasukan Kerajaan Alengka beserta Pendekar Slebor,
Patniraga, dan Mirah yang hendak menggempur persekutuan tokoh-tokoh hitam yang selama ini membuat
rusuh tiba di dekat kaki Bukit Dedemit menjelang tengah
hari. Kepulan debu yang membubung tinggi akibat
terterjang kaki-kaki kuda, tentu saja terlihat oleh murid-
murid para tokoh hitam itu yang menjaga markas.
"Hoi! Ada segerombolan pasukan cukup besar datang
kemari!" teriak seorang murid penjaga dari atas pohon.
"Pasukan apa?" sambut murid lain.
"Barangkali pasukan Kerajaan Alengka!"
"Cepat laporkan pada Guru!"
Bagaikan kilat murid yang berada di bawah berlari ke
dalam pondok besar. Begitu tiba di pintu, langsung
dilaporkannya tentang kedatangan pasukan berkuda itu
pada Jasad Dedemit. Sekejap kemudian ia telah kembali
berlari menuju tempat penjagaan.
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita belum sempat menghubungi Nyai Bongkreng. Tapi
tidak akan terlalu mengganggu bagi kemenangan kita. Mari
kita hancurkan mereka. Kawan-kawan!" kata Jasad
Dedemit begitu murid yang melaporkan tadi berlalu.
Saat itu juga Betot Nyawa, Lampor Ireng, Malaikat
Siluman, Nyi Bengis, dan Pandita Perangai Setan
berkelebat keluar pondok. Gerakan mereka diikuti Jasad
Dedemit. Mereka langsung menuruni bukit, setelah Jasad
Dedemit memberi perintah pada murid-muridnya untuk
bersiaga di tempat masing-masing lengkap dengan senjata.
Demikian pula murid-murid keempat tokoh hitam lainnya.
Sementara itu di kaki bukit, para prajurit Alengka juga
telah bersiap. Perisai di tangan kiri, pedang di tangan
kanan. Anak panah dipasang, busur ditarik. Para panglima
pasukan juga lelah siap. Andika alias Pendekar Slebor telah
menyampirkan sarung kotak caturnya dari leher ke
punggung. Sementara Mirah telah mencabut pedang dari
punggung. Sedangkan Patniraga lelah menggenggam erat
ulos saktinya. Matahari di atas kepala terik menyengat ubun-ubun.
Parameswara, sang Perwira Keamanan yang bertindak
sebagai panglima perang utama, memandang ke atas bukit.
Matanya tajam mengamati murid-murid para tokoh
persilatan aliran hitam yang menuruni bukit.
"Pasukan panah! Arahkan senjata kalian pada setiap
lawan!" seru Parameswara.
Lengan setiap prajurit panah bergerak mengarahkan
senjata mereka pada titik-titik sasaran yang tampak.
"Hiaa!"
Begitu aba-aba yang diberikan sang panglima perang
utama terdengar, serentak melesat puluhan anak panah ke
arah murid-murid para tokoh persilatan golongan hitam di
atas bukit. "Akh!" terdengar jeritan para korban yang terkena
hujaman anak panah.
Begitu satu baris prajurit panah selesai melaksanakan
tugasnya, mereka berjongkok dan memasang anak panah
lagi. Sedangkan di belakang telah siap satu barisan yang
langsung menarik busur.
Trang! Trang! Puluhan anak panah berikutnya melesat. Maka kembali
terdengar jeritan yang terkena. Ketika barisan kedua selesai,
maka barisan ketiga telah siap pula. Begitu seterusnya.
Inilah yang disebut siasat perang Panah-panah Berlapis.
Serangan dengan cara ini membuyarkan keinginan para
murid-murid tokoh persilatan aliran hitam untuk dapat
menyerang balik. Mereka tidak berani nekat, kalau tidak
mau menjadi bulan-bulanan panah Alengka.
Dalam keadaan yang tidak menguntungkan tersebut,
Jasad Dedemit, Betot Nyawa. Lampor Ireng, Malaikat
Siluman, Nyi Bengis, dan Pandita Perangai Setan segera
berlompatan ke depan.
"Hei, para kunyuk Kerajaan Alengka! Kedatangan kalian
kemari hanya mengantarkan nyawa saja!" teriak Jasad
Dedemit begitu mendarat secara berjajar dengan kawan-
kawannya menantang prajurit-prajurit Alengka di bawah.
"Hentikan panah!" perintah Parameswara lain, segera
menatap ke atas bukit. "Hei orang-orang tidak berhati!
Jangan berpura-pura bodoh! Kedatangan kami justru
hendak menjemput nyawa kalian berenam sebagai bayaran
ratusan nyawa rakyat yang kalian jagal tanpa perikemanusiaan!"
"Huahahaha....
Sudah pandai bicara si Parameswarainya," jawab Jasad Dedemit yang rupanya
telah mengenal siapa lelaki gagah itu. "Apa kau dilatih
untuk ini oleh Prabu Alengka, Parameswara?"
Bergemeletuk gigi-gigi Parameswara menahan amarah
mendengar nama Prabu Alengka dibawa-bawa dalam
ejekan itu. "Jangan banyak bacot, Jasad Dedemit Serahkan dirimu
dan kawan-kawanmu sekalian. Atau, kami sendiri yang
akan membinasakan kalian" Ingat, kalian sudah terkepung!"
Keenam tokoh persilatan aliran hitam itu malah tertawa
terbahak-bahak.
"Dia kira kita ini anak kemarin sore yang dapat
diperdaya dengan gertakan sambal seperti itu. Hahahaha...," teriak Betot Nyawa, menambahi ejekan
Jasad Dedemit. "Hiaa...!"
Parameswara memberi aba-aba dengan teriakan dan
kibasan tangannya. Maka melesat lagi puluhan anak panah
yang mengarah pada keenam tokoh sesat itu.
Tas! Tas! Tas! Tapi mudah sekali anak-anak panah ditepis oleh Jasad
Dedemit, Pandita Perangai Setan, dan Lampor Ireng.
Bahkan mereka menangkapi setiap anak panah.
Melihat hal ini keberanian murid-murid tokoh sesat itu
bangkit dan mencoba maju. Tapi malang, lesatan panah-
panah berikutnya menembus raga sebagian mereka.
Clap! Clap! "Aaakh...."
Melihat murid-muridnya dipecundangi demikian, Jasad
Dedemit dan kawan-kawan jadi beringas. Tangan mereka
langsung menghentak, melontarkan pukulan-pukulan jarak
jauh. Wuss! Wusss! Blakk! Blakk! Tak ada waktu untuk menghindar bagi pasukan panah
Kerajaan Alengka tersambar pukulan-pukulan jarak jauh
itu. Mereka kontan terjungkal ketika barisan di belakang
mereka siap membalas, tetapi segera pula mengalami nasib
yang sama. "Serang!" seru Parameswara.
"Maju...!"
Para prajurit lain yang sejak tadi menunggu perintah
tanpa buang waktu bergerak maju ke atas dengan teriakan-
teriakan penuh semangat. Tindakan itu segera disongsong
oleh para murid tokoh-tokoh hitam yang masih hidup.
Perwira Parameswara, Panglima Andipat dan para
perwira lain pun bergerak maju. Sedangkan Mirah dan
Patniraga tak mau ketinggalan. Mereka dan para prawira
Kerajaan Alengka menerjang para tokoh persilatan aliran
hitam itu. Sementara Andika tetap berdiri di tempatnya
memperhatikan. Mirah mendapat lawan Nyi Bengis. Langsung dibabatnya perempuan itu guna mencegahnya lebih jauh
membunuhi prajurit Alengka. Gadis itu dibantu pula oleh
para panglima lainnya.
Patniraga langsung menghadang Lampor Ireng. Parameswara menyongsong Betot Nyawa. Sedangkan
Panglima Andipati menghadapi Malaikat Siluman.
Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan yang melihat
Pendekar Slebor masih belum beranjak dari tempatnya,
menahan diri untuk mengikuti anak buah mereka.
Ke mana Togap"
Prabu Alengka tadi meminta Togap untuk tidak usah
ikut. Tetapi diam-diam, Togap keluar menyelinap dan
meloncat tembok istana,langsung mengikuti pasukan
Alengka. Kegemarannya memang memata-matai. Buktinya
sekarang, dia sudah nangkring di atas pohon mengamati
jalannya pertempuran.
"Panglima Wesi Wungu! Dan kau, Panglima Butong Aji!
Kerahkan segenap kemampuan kalian!" teriak Mirah pada
dua panglima yang membantunya.
Dua panglima yang dipanggil Panglima Wesi Wungu
serta Panglima Butong Aji tak ragu-ragu lagi mengeluarkan
segenap kemampuan untuk membekuk Nyi Bengis. Mereka
bertiga hingga kini cukup mampu mengimbangi wanita tua
berpedang panjang
Barangkali jika bukan Nyi Bengis, tidak mungkin
sanggup menggunakan pedang yang kelewat panjang
melebihi ukuran biasa dengan begitu cekatan. Sekali saja
pedang itu menebas, telah dapat membuat pemegangnya
yang berkepandaian rendah terhuyung-huyung dan jatuh
terbawa tarikannya.
Suara dentang dari pedang yng beradu terdengar
memekakkan telinga. Berganti-ganti Mirah, Panglima Wesi
Ungu serta Panglima Butong Aji menyerang, dan saling
melindungi satu sama lain ketika Nyi Bengis menyerang.
Hal ini membuat serangan-serangan perempuan tua itu
selalu dapat diredam.
Sebaliknya, ketika mereka menyerang, Nyi Bengis pun
dapat mematahkan.
Di tempatnya, Patniraga ketika membuka serangan
dengan kepretan Ulos Sakti yang memperdengarkan suara
menggiriskan. Tapi, itu cuma sekali saja membuat kaget
para tokoh persilatan aliran hitam. Selanjutnya mereka
telah melindungi gendang pendengaran masing-masing
dengan tenaga dalam. Alhasil, suara kepretan Ulos Sakti
tokoh dari Toba yang dapat memecahkan telinga itu tidak
berpengaruh apa-apa lagi.
Kehebatan para tokoh hitam menahan gempuran suara
Ulos Sakti tidak membuat Patniraga ciut hati. Lelaki ini
terus maju menyerang Lampor Ireng yang dapat berganti-
ganti wajah berbentuk menyeramkan.
Setelah beberapa jurus lewat, Lampor Ireng menjadi
kesal dengan permainan ulos Palniraga.
"Hei, Manusia Tengik! Kau pikir aku ini kuda lumping
apa" Hi... hi... hi...," ejek Lampor Ireng dengan tawa
menggiriskan. "Cepat masukkan kembali kain butut itu.
Atau kau kulebur bersama gombal bau itu?"
Patniraga masih terkesiap oleh suara tawa Lampor Ireng.
Kesadarannya baru bangkit setelah mendengar bentakan
lawan. "Eh, diberi tahu malah bengong. Dasar goblok! Terima
pukulan 'Panas Sinar Melebur Bumi'...! Heaaa...!"
Lampor Ireng langsung saja mempertemukan kedua
telapak tangan di depan dada, lalu memutarnya. Satu ke
atas, dan satu ke bawah. Lantas mendorong kedua telapak
tangan ke muka.
Wuss! Wuss! Dua cahaya berwarna kelabu melesat dari kedua telapak
tangan Lampor Ireng. Mula-mula merambat perlahan, tapi
sekonyong-konyong menjadi cepat. Itulah pukulan 'Panas
Sinar Melebur Bumi' yang dikeluarkan Lampor Ireng.
Patniraga sempat terlongo, namun nalurinya segera
bekerja ketika kedua garis cahaya amat panas itu hampir
menghantamnya. Tubuhnya segera berjumpalitan ke
samping. Lampor Ireng tidak berhenti di situ. Ketika Pendekar
Ulos Sakti baru saja bangkit, pukulan 'Panas Sinar Melebur
Bumi'-nya yang kedua langsung saja meluruk cepat keluar
dari kedua telapak tangannya.
"Hup!"
Kembali Patniraga harus melompat untuk menghindar
dengan arah menyilang sambil mengibaskan ulos pada
wajah musuhnya. Lampor Ireng menarik kepalanya kalau
kepalanya tak ingin terlepas dari leber. Namun bersamaan
dengan itu kedua tangannya menghentak kembali, tepat
ketika Patniraga telab menapak di tanah.
Kali ini Patniraga harus merunduk untuk menghindar.
Tapi kejap kemudian, tubuhnya menggenjot lagi ke arah
Lampor Ireng sambil mengkepretkan Ulos Sakti-nya ketika
berada di udara sebanyak tiga kali. Ini berarti Pendekar
Ulos Sakti telah berhasil meningkatkan kecepatan jurus
'Jalan Katak Menembus Sarang Nyamuk' sebelum berlatih
di istana. Di tempat lain, Parameswara tampaknya agak kewalahan menghadapi Betot Nyawa. Sabetan pedangnya
terus saja dapat ditahan oleh balutan logam di pergelangan
tangan Betot Nyawa yang senantiasa membara merah bila
dalam sebuah pertarungan.
Malaikat Siluman yang ilmunya sedikit di bawah Betot
Nyawa meladeni Panglima Andipati dengan wajah penuh
senyum keramahan. Siapa nyana wajah yang putih, tampan
dan tampak selalu senyum ramah persis malaikat itu adalah
milik seorang jahanam yang menyebut dirinya Siluman"
Wajah itu bisa berubah bengis secara sekonyong-konyong
apabila menusukkan pedang
Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjangnya. Apabila tusukannya gagal, maka wajah itu akan kembali tersenyum.
Ramah sekali! Panglima Andipati sendiri tak habis pikir, kenapa ada
orang-orang telengas macam Malaikat Siluman ini.
Beruntung pertarungan mereka berlangsung seimbang.
Coba kalau tidak" Hatinya bergidik juga jika terbunuh di
tangan manusia satu ini.
Pada pertarungan lain, agaknya para prajurit Alengka
berada di atas angin dalam menghadapi murid-murid para
tokoh hitam itu. Sebab, jumlah mereka lebih banyak.
Betapa tidak. Satu orang murid dari salah satu tokoh hitam
itu harus menghadapi dua sampai tiga orang prajurit. Jadi
sudah bisa diduga kalau prajurit Alengka akan memetik
kemenangan. Melihat keadaan yang tampaknya tidak menguntungkan
ini Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan mulai
bergerak hendak turun tangan. Tapi baru saja mereka
hendak melepas pukulan. satu bayangan hijau telah
berkelebat menghadang sekaligus memapak.
Plak! Plak! Begitu habis memapak, bayangan hijau itu membuat
salto ke belakang, dan mendarat manis sejauh tiga tombak
di hadapan Jasad Dedemit dan Pandita Perangai Setan.
Siapa lagi bayangan itu kalau bukan Pendekar Slebor"
"He he he.... Garing ya, tangkisanku...?" ejek Pendekar
Slebor. Biasa, lagak konyolnya mulai kambuh. Padahal,
lawan-lawan yang dihadapi berilmu amat tinggi. "Tapi,
kupikir lebih garing kepala plontos lelaki di sebelahmu,
Jasad Dedemit. Terkena sinar matahari begini kepala itu
jadi mengkeret seperti biji..., ha ha ha...!"
Andika tak kuat lagi menahan ledakan tawanya. Apalagi
bila membayangkan 'benda' yang ada di benaknya.
"Akhirnya kita bertemu juga, Pendekar Slebor. Sudah
lama aku ingin melumatkan tubuhmu. Ke mana saja kau
bersembunyi, Pengecut" Rupanya kau enak-enakan berada
di bawah ketiak Prabu Alengka, ya?" balas Jasad Dedemit.
Pandita Perangai Setan yang diejek berusaha menahan
kegeramannya. Namun begitu tak urung jemari tangannya
telah membentuk kepalan.
"Hei, Jasad Dedemit! Yang jadi pengecut itu siapa" Buat
apa kau membunuhi orang tak berdosa hanya lantaran ingin
bertemu dengan orang ganteng macam aku ini" Jika bukan
pengecut, apa lagi julukan buatmu, Jasad Kurapan"
Kalaupun tubuhmu kubuat berkeping-keping nanti, itu
masih terlalu murah untuk membayar nyawa mereka
semua, tahu"!"
"Phuah! Bicaramu bau busuk! Berapa banyak tokoh
aliranku yang mati di tanganmu" Berapa rupanya kau
hargai setiap nyawa mereka" Berapa lembar nyawa yang
kau miliki untuk menebus kematian mereka, hah"!"
"Bagaimana kalau setiap nyawa mereka kuhargai dengan
sebutir telur busuk" Adil, kan?"
"Kurang ajar! Anak muda sepertimu tidak pernah diajar
bicara sedikit sopan pada orang yang lebih tua. Biar
kurajam mulutmu itu. Hih!" dengus Jasad Dedemit sambil
mengibaskan tangannya.
Set! Set! Senjata-senjata rahasia Jasad Dedemit yang berbentuk
segitiga meluruk dahsyat, membuat Andika harus melenting
tinggi. Senjata-senjata rahasia yang terbuat dari tulang
manusia itu terbuang sia-sia disaksikan oleh Pandita
Perangai Setan yang masih diam saja.
"Akh, Orang Tua! Kenapa tulang-tulang itu kau berikan
padaku" Masa makanan anjing dipakai untuk melawanku?"
ledek Andika habis-habisan.
Darah Jasad Dedemit jadi mendidih diejek begitu.
Hidungnya kembang kempis dengan dengusan napas keras.
"Sekarang kau rasakan jurus 'Memapak Bumi Menipu
Lawan', Keparat!"
Jasad Dedemit menggeser kakinya cepat, tanpa terlepas
dari tanah. Tiba-tiba tubuhnya meluruk maju dengan
pukulan-pukulan beruntun. Bila sekali saja terkena pukulan
itu, tulang-tulang lawan dipastikan akan remuk.
Tapi justru saat ini Pendekar Slebor telah mengandalkan
kecepatannya menghindari serangan. Tubuhnya berkelebat
begitu cepat luar biasa.
"Lho" Ke mana Pendekar Slebor" Kok tahu-tahu dia
sudah tidak ada?" Jasad Dedemit jadi celingukan sendirian.
"Jangan linglung, Orang Tua. Penasaran ya denganku?"
Terdengar suara dari belakang, membuat Jasad Dedemit
berbalik. Mata si tua ini kontan melotot melihat Pendekar
Slebor ternyata berada di belakangnya sambil menggoyang-
goyangkan kepala.
"Heaaa...!"
Jasad Dedcmit segera melabrak kembali dengan pukulan
beruntun. Kali ini si pemuda urakan tak hendak
menghindar. Iseng-iseng, dicobanya menangkis.
Plak! Plak! Begitu tangannya beradu, Andika merasa bagai
menghantam kerasnya batu cadas. Keras sekali! Sedangkan
Jasad Dedemit pun terheran-heran. Karena selama ini tak
seorang pun yang dapat menahan pukulannya. Meskipun
ditangkis, biasanya tetap saja tangannya akan melaju ke
tubuh lawan. Di sinilah biasanya lawan sering tertipu.
Tetapi ini" Di tangan Pendekar Slebor, pukulannya
bagaikan tertemu baja saja.
Andika yang baru saja bisa menyadari keadaan segera
balik menyerang. Satu sodokan yang tak disangka-sangka
Jasad Dedemit meluncur deras.
Bless! "Heh..."!"
Justru kali ini Andika yang terheran-heran. Pukulannya
yang telah dialiri tenaga dalam tinggi tak membuat Jasad
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 18 Dewa Linglung 4 Mengganasnya Siluman Gila Guling Golok Sakti 2