Pencarian

Istana Sembilan Iblis 2

Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis Bagian 2


"Itu lebih baik. Jadi tidak ada yang me-
nyamai ku! Eh, Hitam! Bagaimana kalau kita ber-
tanya pada gadis berbaju Kuning yang kalau berjalan mengegol-egolkan pinggulnya!
Barangkali saja dia tahu, di mana Andika?"
Lelaki Berbulu Hitam mendengus. "Payah!"
*** Lima sosok tubuh yang berwajah menye-
ramkan keluar dari Istana Sembilan Iblis. Pagi
yang menusuk tulang seakan siap menyebarkan
kematian. Mereka tak lain Iblis Kaki Seribu, Iblis Cakar Harimau, Iblis Juling,
Iblis Kahyangan, dan Iblis Lidah Api. Sesuai perintah Raja Akherat, mereka
keluar dari Istana Sembilan Iblis untuk mencari Pendekar Slebor.
Sebenarnya keinginan untuk membunuh
Pendekar Slebor sudah merupakan rencana mere-
ka. Tetapi kini, atas perintah orang lain. Dan mereka pun menjadi jengkel.
Meskipun, rencana itu
akan tetap dijalankan.
Mereka melangkah menyusuri lembah yang
panjang. Alang-alang tinggi yang tumbuh diterobos
begitu saja. Beberapa ekor burung yang hinggap
terjuntai segera berterbangan lincah.
"Kita akan membuat perhitungan kembali
dengan Raja Akherat," dengus Majenar alias Iblis Cakar Harimau dengan hati
panas. Bagi Majenar ini adalah kekalahan yang
sangat pahit. Seumur hidupnya, belum pernah dia
mengalami masalah yang sangat menjengkelkan
seperti ini. Diperintah layaknya budak belaka!
"Kau benar, Majenar," sahut Bresatar alias Iblis Kaki Seribu. "Aku sudah muak
melihat sikapnya! Sayang, racun itu telah masuk ke tubuh
kita! Setelah kita mendapatkan Pendekar Slebor
baik hidup atau mati, barulah bisa meminta obat
pemusnah dari Raja Akherat."
"Memang! Raja Akherat harus menerima
pembalasan dari kita!" seru Wediwoso alias Iblis Juling dengan tatapan mata
sukar diartikan. "Aku benar-benar merasa heran dengan ajian 'Melayang
Dua'nya itu. Bukan hanya dahsyat, namun juga
menakjubkan!"
Lima dari Sembilan Iblis itu terus melang-
kah dengan hati panas. Keinginan untuk me-
nyingkirkan Raja Akherat semakin menjadi-jadi
saja, tanpa boleh sirna dari hati mereka. Apalagi setelah di perut masing-masing
tertanam racun yang dipaksa masuk oleh Raja Akherat.
"Setelah Pendekar Slebor tewas, kita akan
segera menghancurkan raja tengik itu!" desis Kahyunputi alias Iblis Lidah Api.
"Tetapi, bagaimana cara mengatasinya bila
mempergunakan ajian 'Melayang Dua'nya?" tanya Sridorsa alias Iblis Kahyangan.
"Ajian 'Mambang Kahyangan'ku saja tidak banyak membawa arti.
Terbukti aku pun dibuatnya pingsan! Kalau dia
hanya seorang diri, dengan mudah tubuhnya akan
kita rencah menjadi beberapa bagian. Namun, bila telah mempergunakan ajian
'Melayang Dua'nya
yang sangat dahsyat, kita seperti menghadapi dua kelompok yang sama-sama ganas,
tangguh, dan kejam." Kini tak ada yang bersuara. Mereka terus melangkah.
"Apakah di antara kalian ada yang tahu
rahasia ajian 'Melayang Dua' milik Raja Akherat?"
tanya Iblis Kahyangan lagi.
Sekali lagi tak ada yang bersuara. Mereka
kemudian sama-sama mendengus ketika menya-
dari kehebatan Raja Akherat memang tangguh,
Apalagi saat ini racun yang dalam waktu seminggu akan terus bekerja, telah
bersemayam di perut
mereka. Inilah yang sangat menyulitkan.
Mereka pun tiba di tepi Hutan Angosko, se-
telah menempuh perjalanan dua penanak nasi.
Matahari pun sudah menggeser dari ubun-ubun
kepala mulai miring ke kanan.
"Kalau begitu, kita tidak perlu membicara-
kannya lagi. Bila kita mendapatkan kunci dari
ajiannya, maka akan bisa mengalahkannya," tandas Majenar. "Bahkan, bisa
menjadikannya seorang budak!"
Rombongan itu tertawa-tawa. Dan tanpa
disadari, sepasang mata tengah memperhatikan
seksama. Sesekali keningnya berkerut. Tangannya
menghitung jumlah orang-orang itu.
"Heran," desis si pengintai dengan kening berkerut. "Menurut mimpi Pendekar
Dungu, jumlah mereka sembilan orang. Kok ini hanya lima?"
Si pengintai menghitung sekali lagi agar
jangan meleset. Tetapi hasilnya tetap sama. Jan-
gan-jangan mereka bukan Sembilan Iblis. Huh! Di
mana sih sebenarnya mereka berada"
Belum lagi si pengintai berpakaian hijau
pupus dengan selembar kain bercorak catur yang
melingkar di bahunya mendapatkan jawaban dari
pertanyaannya sendiri, tiba-tiba saja telinganya menangkap ringkik kuda yang
keras. Menyusul,
satu sosok tubuh berpakaian putih-putih dengan
ikat pinggang berwarna merah, melenting ke arah
lima orang itu.
Begitu mendarat di tanah dengan ringan,
sosok ramping itu berdiri gagah dengan sikap me-
nantang di hadapan lima dari Sembilan Iblis.
"Busyet! Kenapa Lasni menghadang lang-
kah orang-orang itu?" desis si pengintai lagi yang tak lain Pendekar Slebor.
Untuk keluar dari hutan yang lebat dan panjang
itu membutuhkan waktu berhari-hari. Dan pengli-
hatan Pendekar Slebor yang tajam tadi pun meli-
hat lima sosok tubuh bertampang menyeramkan
sedang melangkah ke arahnya.
Pendekar Slebor yang tidak ingin mencari urusan, segera melenting ke atas pohon
dan mengintai. Tetapi yang tak disangka sekarang ini, justru gadis yang memang
Lasni, terlihat sudah berdiri menghadang langkah orang-orang itu yang sekarang
terbahak-bahak saling pandang.
"Ha ha ha.... Ayam bulat mana yang bera-
ni-beraninya menghalangi langkah kita?" seru Wediwoso, alias Iblis Juling sambil
tertawa. Matanya yang tidak kompak jadi kelihatan lucu ketika menatap Lasni.
Gadis baju putih bisa melihat kalau tata-
pan itu penuh sinar birahi. Akan tetapi, Lasni adalah gadis gagah dan tabah.
Dendamnya atas ke-
matian kakeknya telah berakar di hatinya, tekad-
nya tidak akan pudar sebelum menemukan Sem-
bilan Iblis. "Hhh! Orang-orang menyeramkan! Siapa-
kah kalian"!" tanya Lasni, berusaha berwibawa.
"Ha ha ha.... Nona Manis..., mengapa kau
bertanya seperti itu?" sahut Sridosa sambil menyeringai. "Sudah tentu kami
berlima ini adalah ka-kang masmu yang akan membuatmu gembira.
Mari sini, Manis.... Mari.... Kau bisa menghibur kami, kan?"
Lasni jijik mendengar kata-kata itu. Se-
hingga telinganya memerah dan tatapannya sema-
kin nyalang. "Kurang ajar! Kalian rupanya orang-orang
busuk yang tak ubahnya seperti Sembilan Iblis!"
dengus gadis itu.
Mendengar julukan Sembilan Iblis disebut,
mereka berpandangan. Lalu sama-sama mereka
terbahak-bahak.
"Rupanya kau mencari Sembilan Iblis, No-
na Manis" Bagus! Bagus sekali.... Kebetulan, kami adalah lima orang dari anggota
Sembilan Iblis yang ditakuti. Nah, apakah kau sekarang akan lari ke pelukan kami?"
Mendengar kata-kata itu, dengan sigap
Lasni mencabut pecut Brajakirana nya dari ping-
gang. "Rupanya, kalianlah yang telah membunuh kakekku!" geramnya marah.
Sementara Andika tersenyum dingin.
"Ha ha ha.... Kami sudah banyak membu-
nuh orang! Bahkan tak terhitung banyaknya!" seru Bresatar jumawa. "Siapakah
kakekmu itu, Nona Manis?" "Nama kakekku Panembahan Reso Tunggal yang kalian
bunuh secara keji!"
Kelima Iblis ini terbahak-bahak.
"Rupanya dia cucu dari orang tua goblok
itu!" seru Bresatar.
"Ha ha ha...! Bagus sekali. Tetapi, rasanya sayang bila kita langsung
membunuhnya sebelum
dinikmati," tambah Kahyunputi sambil tertawa-tawa. "Kau benar, Kahyunputi. Kita
bisa men-gundinya sekarang," timpal Wediwoso sambil menelan ludahnya. "Siapa
yang pertama kali berhak menguliti ayam bulat itu?"
Ctaaarrr! Lasni yang tak tahan mendengar ocehan
itu sudah menggerakkan pecut pusakanya yang
menebarkan hawa dingin. Seketika, kelima orang
itu berlompatan sambil terbahak-bahak dan men-
gurungnya. Di atas pohon, Andika menepuk keningnya.
"Gila! Nekat juga si Lasni ini! Dia bukan
hanya bisa mati konyol, tetapi akan hancur luar
dalam!" Sementara Lasni dengan kemarahan luar biasa mengayunkan pecutnya
berkali-kali ke arah
lima orang yang telah membunuh kakeknya. Dia
tidak kelihatan takut sedikit pun. Bahkan wajah-
nya begitu tegas untuk membalas dendam.
"Ayo, maju kalian semua! Biar arwah ka-
kekku puas!" serunya, keras.
Ctar! Ctaarrr! Kelima anggota Sembilan Iblis berkelit
menghindari serangan sambil terbahak-bahak.
Terkadang, tubuh mereka sengaja dibiarkan untuk
terjilat pecut Brajakirana.
"Manis.... Mengapa kita harus membuang-
buang waktu lagi" Sebentar lagi malam akan men-
jelang. Dan kita bisa saling menghangatkan bu-
kan?" kata Wediwoso sambil balas menyerang
dengan kedua tangan terbuka, siap memegang ba-
gian-bagian terlarang tubuh Lasni.
Begitu pula yang lainnya, yang tak ubahnya se-
kumpulan elang sedang mengeliling anak ayam.
Hal ini justru membingungkan Lasni. Sehingga di-
am-diam kekeliruannya disadari karena terlalu
menganggap enteng lawan-lawannya. Semua ini
terjadi karena hatinya terlalu geram akibat kematian kakeknya.
Kalau tadi Lasni bisa mengumbar setiap
serangannya, namun kali ini justru merapatkan
pecutnya. Karena begitu tangannya mengibas pa-
da salah seorang lawannya, para iblis yang lain
segera memburu dengan kedua tangan terbuka.
Mereka berusaha menyentuh bagian-
bagian terlarang dari tubuh Lasni cara ini mem-
buat gadis itu benar-benar kalang kabut.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" seru Lasni ketika tangan Majenar berhasil memegangi
kedua tan- gannya dan merangkul dari belakang. Sementara,
yang lain mendekati sambil menyeringai lebar.
"Ha ha ha.... Kita berpesta malam ini!" kata Majenar sambil terbahak-bahak.
Namun mendadak Iblis Cakar Harimau ter-
sentak seketika.
Dukk! "Augh...!" sebuah pukulan keras menghantam pangkal lengannya. Saat itu juga
tubuhnya sempoyongan ke belakang.
"Siapa kau, Manusia Lancang?" bentak
Bresatar sambil bersiaga.
Sementara Lasni yang merasa terbebas dari
rangkulan Majenar segera berbalik. Pecutnya langsung diayunkan ke arah Majenar.
Ctarr! Majenar yang masih sempoyongan ternyata
memang memiliki kemampuan cukup tinggi. Se-
rangan Lasni berhasil dihindari. Namun teman-
teman Majenar menjadi terkejut, karena tidak me-
nyangka gadis itu akan mempergunakan kesempa-
tan selagi mereka kebingungan mencari siapa pe-
nyerang Majenar.
Tetapi nasib Majenar kali ini sungguh ma-
lang. Meskipun berhasil menghindari serangan
Lasni, tetapi kembali suatu bayangan berkelebat
dan langsung menghantam dadanya hingga tu-
buhnya kembali sempoyongan.
Begitu bisa mengembalikan keseimban-
gannya, begitu teman-temannya membuka mata,
maka lima anggota Sembilan Iblis melihat di sisi Lasni telah berdiri seorang
pemuda tampan dengan sepasang alis menukik bagaikan kepakan
sayap elang! *** "Oh, kau?" desah Lasni begitu mengenali penolongnya.
Sosok bayangan yang tak lain Pendekar
Slebor hanya tersenyum saja.
"Ini akibatnya bila terlalu nekat dan tidak memperhitungkan akibatnya!!" kata
Pendekar Slebor seperti mengomeli.
"Pendekar Slebor!"
Kelima anggota Sembilan Iblis secara se-
rempak berseru.
Andika menjura bagaikan seorang petinju yang
baru memenangkan sebuah pertandingan.
"Terima kasih, terima kasih. Rupanya ka-
lian menaruh hormat pula padaku. Baik, baik....
Kuterima hormat kalian," lanjut pemuda urakan ini.
Lasni yang terkejut sekaligus senang meli-
hat kehadiran Pendekar Slebor, jadi tersenyum ge-li. Tetapi dia pun segera
bersikap waspada, berdiri berdampingan dengan Pendekar Slebor. Sementara pecut
pusakanya siap diayunkan kembali, keti-
ka kelima anggota Sembilan Iblis mendengus pe-
nuh kegeraman. "Rupanya kami tidak perlu mencarimu
jauh-jauh, Pendekar Slebor karena, kau datang
untuk mengantarkan nyawa!" seru Kahyunputi
dengan tatapan dingin.
Andika hanya nyengir saja, sambil meng-
gunakan otaknya yang cerdik untuk memperhi-


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tungkan segala sesuatu.
"Lho" Jadi kalian selama ini sudah me-
mendam keinginan yang dalam untuk berkenalan
denganku, ya" Wah, bagus! Bagus! Perkenalan ka-
lian kuterima! Sini, sini semuanya.... Biar ku jitak!" "Jangan banyak tingkah!"
dengus Kahyunputi. "He he he.... Kudengar kalian berjumlah sembilan orang. Nah,
mengapa sekarang cuma li-ma" Apakah yang empat orang lagi sedang
mengerami telurnya yang cuma dua?" ejek Andika.
Mata Pendekar Slebor terus bekerja, mem-
perhitungkan jaraknya. Dia tahu Lasni akan
mampu menjaga diri. Namun, dia pun tahu kalau
kelima orang ini memiliki kesaktian di atas rata-rata. Bisa repot kalau harus
bertarung sambil
memikirkan Lasni.
Bukannya sahutan yang didapatkan Andi-
ka. Mendadak Kahyunputi membuka mulutnya.
Dan.... Wrrr! Api besar bagaikan keluar dari mulut naga,
siap menyambar wajah Andika dan Lasni. Dengan
sigap Pendekar Slebor memiringkan tubuhnya.
Sementara, Lasni melompat dua tindak ke samp-
ing. Dan gerakan yang dilakukan secara serem-
pak itu pun menemukan ganjalan berarti. Karena,
Kahyunputi, Wediwoso, Majenar, dan Bresatar se-
cara serempak menyerang. Mereka langsung
mempergunakan ajian pamungkas yang dimiliki.
Sementara Sridorsa menyerang Lasni. Namun ga-
dis ini segera menyambutnya dengan pecut pusa-
kanya. Menghadapi satu orang, ternyata Lasni
masih mampu mengimbanginya, meskipun berka-
li-kali harus keteter pula.
Sedangkan Andika sudah berkelit kesana
kemari. Pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan itu mempergunakan kecepatan-
nya untuk menghindari serangan dari empat ang-
gota Sembilan Iblis yang cepat dan beruntun.
Menghadapi keempat orang dari Sembilan Iblis sa-
ja, Andika sudah bisa merasakan kedahsyatannya.
Apalagi mereka tergabung dalam Sembilan
Iblis" Tetapi, pendekar urakan itu tidak mempedu-likannya lagi. Baginya mereka
harus bisa diatasi.
Maka dengan mempergunakan tenaga 'inti
petir' tingkat kedelapan belas, Andika mencoba
menerobos ruang gerak serangan para iblis itu.
Wuuut! "Heeaaa!"
Namun hal itu tidak gampang dilakukan.
Karena selain serangan yang rapat dan cepat,
keempat lawan Iblis itu pun dapat merapat sekaligus. "Edan! Konyol!" maki
Pendekar Slebor
jengkel. Dan kembali Andika harus menghindari serangan beruntun itu. Berkali-
kali dicoba untuk
menerobos ruang gerak serangan keempat lawan-
nya. Pendekar Slebor memang berhasil, dengan
cara mengirimkan pukulan telak ke dada Wediwo-
so. Sehingga ruang gerak serangan lawan sedikit
terbuka. Akan tetapi, hal itu harus dibayar dengan pukulan Majenar dan tendangan
Bresatar. Buk! Des! Pendekar Slebor kontan terjajar, namun
cepat menguasai keseimbangannya lagi.
"Yeee..., tidak sakit! Tidak sakit!" ejeknya sambil mengulurkan lidahnya seperti
anak kecil. Ejekan Andika membuat kemarahan empat
dari Sembilan Iblis semakin menjadi-jadi. Teruta-ma, Majenar dan Wediwoso.
Keduanya menyerang
gencar, membuat Andika jadi kewalahan. Belum
lagi menghadapi serangan Bresatar yang menggu-
nakan jurus 'Kaki Seribu'nya. Juga, ditambah
semburan lidah api Kahyunputi.
Semuanya membuat Andika melompat-lompat se-
perti monyet kebakar ekornya.
"Gawat! Bisa-bisa aku yang konyol nih!"
maki Pendekar Slebor dalam hati.
Memang serangan yang datang semakin
lama semakin terasa dahsyat dan mengerikan.
Sementara itu, Sridorsa berusaha menekan Lasni
dengan serangan-serangan rapat, cepat, dan ber-
bahaya. Karena bila jaraknya merenggang maka
pecut yang berada di tangan Lasni bisa memakan
tubuhnya. Lasni pun seorang gadis cerdik. Dia tahu lawan
memaksanya bertarung dari jarak lebih dekat.
Makanya setiap kali Sridorsa merapatkan seran-
gan, gadis itu langsung melompat mundur sambil
mengibaskan pecutnya.
"Setaaannn!" maki Sridorsa.
Iblis ini menyadari kalau gadis itu menge-
tahui maksudnya. Namun dia tetap berusaha me-
rapatkan serangan, kalau tak ingin salah satu
anggota tubuhnya dimakan pecut Lasni.
Ctaaar! "Hei"! Mengapa kau seperti anak kecil yang
ketakutan seperti itu, ha ha ha..."!" ejek Lasni.
Sudah tentu kata-kata gadis itu membuat
Sridorsa bertambah murka. Mendadak saja, tan-
gannya dikibaskan ke depan.
Wress! Seketika serangkum angin panas menderu
ke arah Lasni. Akan tetapi, menghadapi lawan seorang di-
ri seperti itu, bagi Lasni lebih mudah. Apalagi ilmu pecutnya memang sudah
sangat terlatih.
Tiba-tiba saja sambil melenting ke atas,
Lasni membuat lingkaran cepat dari pecutnya,
yang digerakkan hingga menimbulkan hawa din-
gin. Maka hawa panas yang dilancarkan Sridorsa
pun harus runtuh oleh hawa dingin yang keluar
dari pecut Lasni.
Semakin bertambah murka saja Sridorsa
dibuatnya. Dia benar-benar marah, karena meng-
hadapi seorang gadis saja belum juga berhasil me-naklukkannya.
"Kau memang harus diajar adat!" geram-
nya. "Hei" Apakah tadi kau hanya main-main saja?" kata Lasni, mengejek.
"Atau..., memang hanya begitu saja kemampuanmu?"
Wajah Sridorsa memerah mendengar eje-
kan yang menjengkelkannya. Tiba-tiba saja tu-
buhnya meluruk ke arah Lasni dengan gerakan
bagai meluncur.
"Kau akan membayar ucapanmu itu den-
gan nyawamu! Heaaaa!" seru Iblis Kahyangan dengan hati jengkel.
*** 7 Lasni cepat mengibaskan pecut Brajakira-
na nya begitu Sridorsa meluruk dengan kedua
tangan terkepal.
Ctar! Pecut yang mampu menghancurkan batu
karang sebesar kerbau, ternyata tidak membawa
hasil yang diharapkan. Bahkan tubuh Sridorsa te-
rus meluncur deras!
Gadis itu melenguh pelan. Baru disadari
kalau lawan yang dihadapinya ini benar-benar
tangguh. Mau tak mau tubuhnya melenting ke
atas. Namun yang membuatnya terkejut, tubuh
Sridorsa terus melayang mengejarnya.
"Setan alas!" maki gadis itu.
Seketika Lasni memutar tubuhnya, seraya menen-
dang ke arah Sridorsa. Namun, Iblis Kahyangan
segera mengibaskan tangannya saja.
Plak! Lasni hampir saja terpental karena kehi-
langan keseimbangan. Namun untungnya dia ma-
sih bisa menguasai dirinya, sehingga jatuh dengan ringan. Ketika celananya
disingkap terlihat kaki kanannya membiru.
Namun gadis itu tidak bisa berlama-lama
menyesali kakinya yang putih mulus berubah
membiru, karena Sridorsa terus meluruk ke arah-
nya. Tak ada jalan lain lagi baginya selain memutar pecut dengan putaran cepat.
Rrrrt...! Sridorsa masuk ke dalam lingkaran pecut.
Dan secepat kilat, Lasni menarik pecutnya yang
melilit tubuh Sridorsa, hingga terjerunuk ke depan. Dan dengan gerakan lincah
sekali, tubuhnya
berputar sambil mengibaskan kaki kirinya.
Des! "Ughh...!"
Tubuh Sridorsa makin tersuruk ke depan.
Sementara itu Andika kini benar-benar ke-
walahan menghadapi serangan-serangan gencar
kaki Sembilan Iblis. Terutama, menghadapi sem-
buran api Kahyunputi yang membakar semak be-
lukar. Saat itu juga sekitar tempat itu jadi terang benderang, karena malam
sudah datang. Andika
juga harus pontang-panting menghindari serbuan
'Kaki Seribu' yang dilakukan Bresatar.
"Kampret bau! Kentut busuk! Bisa mampus nih!"
dengus Andika. Kali ini Pendekar Slebor benar-
benar tidak diberi kesempatan lagi untuk memba-
las. Namun si pemuda yang kepribadiannya sudah
tertempa oleh kehidupan keras di kotapraja itu
masih berusaha meloloskan diri dari kepungan se-
rangan beruntun dan membabi buta. Karena ka-
lau terus menerus berada dalam pusaran seran-
gan lawan-lawannya, bisa dipastikan ajalnya akan lebih cepat tiba.
Dan mendadak saja, Andika bergulingan ke
depan. Sejenak tadi Pendekar Slebor terkejut juga melihat serangan Sridorsa pada
Lasni. Tetapi dia bisa menarik napas lega setelah melihat Lasni
berhasil meloloskan diri dari sergapan maut Iblis Kahyangan. Bahkan mampu
mengirimkan seran-
gan balasan yang tak kalah hebat.
Sambil bergulingan Pendekar Slebor men-
gibaskan tangannya yang telah terangkum tenaga
'inti petir' pada tingkat kesepuluh. Dengan serangan balasan ini, ia berhasil
meloloskan diri.
Meskipun, cakar harimau Majenar sempat meng-
gores kulit lengan kanannya.
Kali ini memang tak ada jalan lain lagi.
Mendadak saja, Andika melenting ke atas ketika
sergapan yang datang berikutnya meluruk begitu
cepat. Dan seketika di tangannya telah tergenggam kain pusaka warisan Ki
Saptacakra. Dengan kain pusaka Andika mengibaskan-
nya ke arah semburan api Kahyunputi.
Wutt...! Api yang menyambar ke arah Andika ter-
lempar ke arah Wediwoso. Iblis Juling langsung
bergulingan kalau tidak mau ajian andalan ka-
wannya menjilat-jilat tubuhnya.
Dan Andika tidak mau lagi membuang ke-
sempatan yang cukup sempit itu. Hanya sebuah
celah sedikit. Seketika kain pusakanya dikebutkan pada Wediwoso yang masih
bergulingan. Brrt! "Aaakh...!"
Iblis Juling menjerit keras bagai lolongan
serigala. Lalu terlihat sesuatu terlepas dari tubuhnya. Ternyata tangan kirinya
yang tersambar kain pusaka Andika putus! Darah seketika mengalir da-ri
tangannya. Melihat Iblis Juling bergulingan menahan
sakit, ketiga temannya semakin ganas.
Serangan-serangan mereka bertambah cepat dan
berbahaya. Namun kesempatan yang sangat lang-
ka, setelah berhasil menjatuhkan Wediwoso, seca-
ra tidak langsung Andika mendapatkan celah se-
rangan. Pendekar Slebor melihat serangan empat
penjuru yang dilakukan lawan-lawannya menjadi
terbuka. Maka dengan cepat tubuhnya bergerak ke
kiri dan kanan sambil mengebutkan kain pusa-
kanya. Wurrr...!
Wutt...! Lagi-lagi api semburan Kahyunputi berha-
sil dibuang Andika. Bahkan tubuhnya cepat me-
lenting cepat ke depan sambil mengibaskan kain
pusakanya. Kakinya terangkat dengan gerakan
memutar, memapaki serangan Iblis Kaki Seribu
yang bergerak cepat.
Des! Tubuh Bresatar yang bergerak dalam kea-
daan kepala ke bawah dan kaki ke atas langsung
tersungkur cepat. Andika pun bergerak cepat pula.
Langsung diinjaknya leher Bresatar, sehingga....
Krekk...! Seketika, patahlah leher Bresatar. Dan
nyawanya pun melayang-layang meninggalkan ja-
sadnya. Sudah tentu Majenar dan Kahyunputi se-
makin marah. Namun, dua serangan yang mereka
lakukan secara serempak, sepertinya telah kehi-
langan gigi. Karena dua penjuru yang bebas itu mem-
buat Andika melompat ke sana kemari, sambil
menghindari setiap serangan.
"Ayo, ayo! Mau ke mana kalian?" seru Pendekar Slebor sambil mengebut-ngebutkan
kain pusakanya, hingga menimbulkan angin keras yang
menderu-deru. Kahyunputi yang merasa semburan lidah apinya
sudah tidak banyak gunanya, kini menyerang


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tangan dan kaki, mengikuti gerakan Iblis
Cakar Harimau. Melihat kalau kedua lawannya kini sudah
'kehilangan' kepandaiannya, Andika cepat me-
nyampirkan kembali kain pusakanya yang berco-
rak catur ke punggungnya. Dan dengan tenaga
'inti petir' tingkat ke delapan langsung disambutnya setiap serangan.
"He he he.... Mau ke mana sih, Kang?" ejek Andika ketika Iblis Lidah Api
berkali-kali berlompatan menghindari setiap serangan.
Sementara Iblis Cakar Harimau masih den-
gan gencar mengibaskan tangannya. Namun tak
satu pun serangannya yang masuk!
Kelicikan memang begitu lekat dengan
orang-orang golongan sesat. Melihat Andika tidak menggunakan kain pusakanya
lagi, Kahyunputi
mendadak saja menyemburkan lidah apinya.
Namun kelicikan itu pun harus dibayar
mahal. Karena dengan gerakan tak terduga dan
cepat sekali, tahu-tahu kain bercorak catur sudah berada di tangan Pendekar
Slebor. Bahkan dengan
cepatnya dikebutkannya, sehingga api yang menji-
lat-jilat itu justru pulang ke pemiliknya sendiri!
Waaa.... "Hah..."!"
Kahyunputi terkejut melihatnya. Namun
api yang menderu ke arahnya lebih cepat. Sehing-
ga.... Blap! Iblis Lidah Api sendiri termakan oleh api
yang menjilat-jilat ganas. Tubuhnya kontan bergulingan sambil menjerit-jerit
keras. Melihat hal itu, keberanian Iblis Cakar Ha-
rimau menjadi surut. Kepengecutannya yang se-
lama ini disembunyikannya terlihat. Selama ini dia telah merasa besar bersama
anggota Sembilan Ib-
lis. Dan mendadak saja disambarnya tangan We-
diwoso yang terdiam pingsan, karena tak kuasa
menahan rasa sakit. Seketika dia lari lintang pu-kang. Sedangkan Andika hanya
terkekeh saja. "Enteng!" kata Andika, padahal tadi sudah hampir mampus! Dan mendadak saja
telinga Pendekar Slebor mendengar geraman keras di bela-
kang. "Gadis setan! Mampuslah kau!"
*** Andika melihat tubuh Sridorsa menderu
dengan tenaga hebat terangkum di tangan ke arah
Lasni. Namun dengan lincahnya gadis itu meng-
hindar lima tindak ke belakang hanya sekali lom-
pat. Lalu pecutnya diayunkan.
Ctaaarr! Bagaikan telah kehilangan rasa sakit, tu-
buh Sridorsa terus meluruk ke arah Lasni. Seje-
nak gadis itu terkejut. Sudah dua kali dia melihat Sridorsa begitu kebal
terhadap pecutnya. Lasni tidak tahu kalau Iblis Kahyangan kembali memper-
gunakan ajian 'Mambang Kahyangan'nya yang
sanggup mematahkan serangan siluman.
Melihat gadis itu terdesak, Andika pun se-
gera bergerak. Tubuhnya langsung meluruk deras.
"Lasni! Menghadapi manusia seperti ini sih
encer! Serahkan dia padaku!" seru Andika dengan pukulan tenaga 'inti petir'nya.
Sridorsa yang merasakan gerakan Andika
di belakang segera membatalkan serangan. Seke-
tika tubuh berbalik langsung dipapakinya seran-
gan Andika. Plak! Plak. Tubuh Sridorsa terpental dua tindak. Se-
mentara Andika yang sudah sok hebat, melirik
tangannya yang memerah.
"Busyet!" makinya. "Yang ini sih benar-benar kedot rupanya!"
Pendekar Slebor langsung mencerna kalau
ternyata kekuatan anggota Sembilan Iblis tidak
sama. Kini, dia bisa menilai kalau mereka itu merupakan kekuatan sangat sukar
untuk dikalah- kan. Jalan satu-satunya sekarang ini, memang
memusnahkan satu persatu.
Andika sendiri langsung melenting ke de-
pan, melewati tubuh Sridorsa yang sudah meluruk
kembali dengan cepatnya.
"Pendekar sialan! Kau harus mampus di
tanganku malam ini juga?" geram Iblis Kahyangan.
"Ah, masa?" sahut Andika ringan. "Jangan-jangan kau yang iri ingin ikut kedua
temanmu yang telah menjadi mayat itu! Tidak usah berkecil hati. Aku akan berbaik hati
untuk mengirimmu
menyusul kedua temanmu tanpa ongkos sepeser
pun!" Sridorsa yang merasa kalau tenaga Pendekar Slebor biasa-biasa saja,
setelah memapak se-
rangan tadi kembali mengerahkan ajian 'Mambang
Kahyangan'nya. Hatinya tidak khawatir lagi kalau terjadi benturan. Karena
diyakini tenaga dalamnya lebih kuat.
Tetapi secara diam-diam, Andika telah me-
rangkum ajian 'Guntur Selasa', salah satu dari
ajian yang sangat dibanggakannya. Dibiarkannya
saja Iblis Kahyangan menyerangnya dengan bertu-
bi-tubi. Dan pada satu kesempatan, Pendekar Sle-
bor pun mengempos tubuhnya menerjang.
Lasni yang tengah mengatur pernafasannya
kontan terbelalak. Meskipun hanya sekejap, dia
tahu kalau kekuatan Pendekar Slebor tadi kalah
oleh tenaga Sridorsa.
"Hati-hati!!" serunya memperingatkan.
Glarr...! Tetapi, benturan sudah terjadi. Terdengar
suara salakan petir yang cukup keras. Dan dari
pusat benturan tampak mengepul asap cukup pe-
kat. Namun keadaan masih bisa terlihat karena
api yang dikeluarkan Iblis Lidah Api tadi semakin merembet memakan pohon-pohon
kecil dan ilalang. Tiba-tiba, terlihat satu sosok tubuh terlontar deras ke
belakang, menabrak sebuah pohon
besar! Tubuh Sridorsa!
Seluruh tulang Iblis Kahyangan langsung
patah-patah. Dan nyawanya pun melayang me-
nyusul kedua rekannya. Sedangkan Andika masih
berdiri tegak di tempatnya.
"Andika!" seru Lasni gembira. Gadis ini tadi khawatir sekali kalau sampai
terjadi apa-apa terhadap Andika. Andika hanya cengengesan saja.
"Kecil! Itu urusan kecil!" katanya jumawa.
Lasni tersenyum. "Kau memang hebat."
"Itu sih kecil! Masa buat Andika yang
kayak begitu jadi takut, sih"! Eh, maaf!"
Andika mendadak melompat ke balik se-
mak. Di sana dia mengibas-ngibaskan tangan ka-
nannya. "Wadoooww! Sakit sekali!" teriak Pendekar Slebor. Lasni terkejut mendengar
jeritan itu. Namun dia menjadi cekikikan geli. Rupanya, Andika
menyembunyikan rasa sakitnya tadi.
Kini Andika tampak keluar dengan langkah
gagah. "Kenapa" Digigit semut?" sambar gadis itu, membuat Andika tersenyum
kecut. "Biasa," sahut Pendekar Slebor enteng.
"Makanya, jangan sok!"
"Kau yang jangan sok!" sergah Andika tiba-tiba. "Sudah ketahuan kalau Sembilan
Iblis itu terdiri dari orang-orang sakti. Tapi, kau masih nekat juga untuk
mencari mereka! Kau tahu, Las-
ni.... Hampir saja kau menjadi sasaran empuk me-
reka!" Lasni menghela napas panjang. Kini apa yang dikatakan Andika dibenarkan.
Dia memang terburu nafsu, karena rasa dendam dan marah
yang menyelimutinya ketika menemukan mayat
kakeknya. "Hei, kenapa diam" Kau bersedia ya, dija-
dikan 'hidangan' mereka" Memang enak sih, ya"
Itu juga barangkali, lho!" ledek Andika sambil terkekeh, seperti menyembunyikan
sesuatu. Lasni tersenyum. "Aku mengerti. Tetapi
Kang Andika, aku tidak pernah tenang sebelum
melihat manusia-manusia biadab itu mampus se-
muanya!" "Siapa bilang aku tenang" Aku juga ingin
menumpas mereka! Tetapi pakai otak. Bukan pa-
kai dengkul!"
"Sialan! Siapa yang bilang otakku di deng-
kul"!" Mendadak terdengar suara sahutan bernada memaki.
"Hitam, kau yang bilang ya?" lanjut suara itu.
Lalu muncul dua sosok tubuh yang mem-
buat Andika mendengus. Lagi-lagi dua tokoh aneh
yang memang Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar
Dungu. Lelaki Berbulu Hitam melotot.
"Kau ini sudah aku tidak bilang apa-apa
kok!" "Jangan banyak omong! Kau berani menghina hanya dari belakang! Ayo, bilang
sekali lagi! Bilang!" seru Pendekar Dungu ngotot.
Lelaki Berbulu Hitam hendak menyahut,
tetapi urung ketika melihat sosok yang dikena-
linya. "Nah, ini dia orangnya!" teriaknya.
Pendekar Dungu pun melihat Andika.
"Tuhkan, apa kubilang" Kita pasti akan
bertemu dengannya lagi! Hei, Bor! Sudah lama ya, kita tidak bertemu?" kata
Pendekar Dungu.
Andika tertawa. Padahal baru tiga hari yang lalu mereka bertemu. Tetapi Pendekar
Dungu sudah lupa. Pendekar Dungu lantas menoleh ke arah
Lasni. "Lho" Mengapa gadis itu sudah mengenakan pakaian putih" Seingatku...,
kalau tidak salah dia kan memakai baju kuning ya, Hitam" Iya tidak?" "Tauk!"
sembur Lelaki Berbulu Hitam.
"Pemarah!"
Andika semakin tertawa melihat dua tokoh
aneh itu yang selalu bertengkar, namun selalu beriringan.
"Hei, mayat-mayat siapakah itu?" tanya Lelaki Berbulu Hitam, menunjuk tiga mayat
yang tergolek tak jauh dari tempat ini.
"Tiga orang dari Sembilan Iblis!" sahut Pendekar Slebor.
"Kan dalam mimpi ku Pendekar Slebor akan mati di Istana Sembilan Iblis! Tidak
bisa! Bor! Hidupkan mereka lagi! Aku ingin wangsit mimpi ku benar!"
tuntut Pendekar Dungu.
Andika hanya cekakakan saja. Sementara
Lasni yang baru mengenal keduanya mau tak mau
mengerutkan kening. Menurutnya, baru kali ini di-jumpainya tokoh-tokoh aneh
seperti itu. "Dungunya! Mana ada orang sudah mam-
pus dihidupkan lagi!" sahut Lelaki Berbulu Hitam, mendengus.
"Kalau tidak ada, ya diadakan!"
Andika langsung menarik lengan Lasni, un-
tuk meninggalkan tempat itu. Karena bila berla-
ma-lama berhadapan dengan dua tokoh aneh itu,
bisa-bisa jadi gila!
*** Bukan main marahnya Raja Akherat men-
dapatkan laporan kalau lima orang dari Sembilan
Iblis yang ditugaskan mencari Pendekar Slebor justru hanya pulang dua orang. Itu
pun dalam kea- daan terluka. Sementara tiga orang sudah mam-
pus di tangan Pendekar Slebor!
Bukan kematian dari ketiga anggota Sem-
bilan Iblis yang membuatnya marah, akan tetapi
kegagalan dalam menangkap atau membunuh
Pendekar Slebor!
Tangan Raja Akherat yang kekar, terkepal
seketika menghantam meja di hadapannya.
Prak! Meja itu langsung hancur berantakan.
"Bodoh! Nama Sembilan Iblis hanya omong
kosong belaka!" makinya murka. "Majenar! Di ma-na dia berada?"
"Dekat, dekat sekali dari sini," sahut Majenar alias Iblis Cakar Harimau sambil
menatap ta- jam Raja Akherat. Kalau saja tidak ada manusia
ini, sudah bisa dipastikan mereka akan mencari
Pendekar Slebor bersama-sama.
"Jangan bertele-tele! Di mana"!" bentak Ra-ja Akherat.
"Di Hutan Angsoko!"
"Upasonto! Cari dia, dan bunuh! Bawa se-
mua kawan-kawanmu keluar dari sini! Dan si Jul-
ing yang telah buntung lengannya pasti akan me-
nyusahkan kalian saja!"
Tanpa terduga Raja Akherat mengibaskan
tangannya. Wuusss!
"Aaakh...!"
Wediwoso kontan menjerit kesakitan tu-
buhnya terjengkang dan kelojotan karena dadanya
bagaikan dihantam benda yang tajam dan kuat
sekali. Dari gerakan kesakitan yang keras dan
menyentak tadi, perlahan-lahan pun melemah dan
tidak bergerak lagi.
Majenar langsung menderu ke arah Raja
Akherat dengan kedua tangan terbuka. Seruannya
yang keras itu menyadarkan yang lain kalau We-
diwoso sudah tewas.
"Keparat! Kau harus membayar nyawa We-
diwoso dengan nyawamu!" bentak Majenar tak
mampu menahan amarahnya. Kedua tangannya
yang membentuk cakar harimau mengibas.
Namun Raja Akherat hanya mengibaskan
tangan kanannya saja Dua kali.
Plak! Des! Pukulan pertama menghalau cakar hari-
mau Majenar yang memburu kepalanya. Sedang-
kan pukulan kedua menghantam tepat di dada Ib-
lis Cakar Harimau yang terluka dalam akibat ber-


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tarung dengan Pendekar Slebor.
Tubuh Majenar langsung terlempar deras
ke belakang dan menabrak dinding. Lalu bagai di-
pantulkan, tubuhnya terlempar lagi ke depan, tak begitu jauh. Namun sentakan
tubuh yang terjadi
itu terasa sangat menyakitkan. Itu menandakan
kekuatan lemparan yang dilakukan Raja Akherat
begitu dahsyat.
Majenar jatuh tergolek tak berdaya. Mati!
Upasonto dan yang lain hanya bisa meng-
geram marah saja, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Padahal di hati mereka, sudah tidak sabar untuk
menghancurkan kepala laki-laki berpakaian me-
rah menyala itu.
Tetapi, kali ini mereka lebih baik mengalah dulu.
Karena keadaan jelas tidak memungkinkan. Di
samping memang sudah merencanakan untuk
membunuh Pendekar Slebor, mereka juga akan
mencari sela untuk menghancurkan Raja Akherat!
Memang, mereka tidak merasakan adanya
Raja Akherat sebagai pimpinan. Dan yang dirasa-
kan justru sesuatu yang menikam dari belakang.
Belum lagi dengan racun yang bersemayam di tu-
buh mereka. Karena tak ada yang bergerak, Raja Akhe-
rat terbahak-bahak.
"Jangan coba-coba melalaikan tugas dari-
ku! Bunuh Pendekar Slebor!"
Upasonto dan ketiga kawannya tidak lagi
banyak cakap. Sambil menatap dingin dan sikap
tak puas, ketiga kawannya diajak untuk segera
meninggalkan Istana Sembilan Iblis, di mana me-
reka sebelumnya berada dalam alam kebebasan
yang sangat mengasyikkan. Tetapi sekarang" Hhh!
Melihat keempatnya berlalu, Raja Akherat
terbahak-bahak.
"Pendekar Slebor! Sampai di mana pun ju-
ga, kau akan kucari! Kau harus membayar semua
perbuatanmu padaku! Ha..., ha..., ha! Kau akan
mampus, Pendekar Slebor!"
Raja Akherat kembali terbahak-bahak den-
gan perut terguncang. Rasanya akan puas me-
nyaksikan Pendekar Slebor mampus!
*** "Sebenarnya, siapakah kedua tokoh aneh
itu, Kang Andika?" tanya Lasni ketika mereka sudah menjauh dari Lelaki Berbulu
Hitam dan Pen- dekar Dungu yang masih berdebat mulut. Hari
pun sudah berganti pagi. Ah! Betapa cepatnya
sang waktu berjalan.
Andika nyengir. mereka berhenti di sebuah
tempat yang cukup luas. Samar dalam pandan-
gannya yang tajam, matanya melihat sebuah ban-
gunan besar di kejauhan. Itukah Istana Sembilan
Iblis" "Kenapa sih, kau ingin tahu tentang mereka" Naksir, ya" Wah, wah...! Masa
iya sih, kau doyan sama orang-orang yang sudah bau tanah!
Kan di sini ada yang lebih ganteng lagi?" tukas Andika, meledek.
Lasni yang tahu kalau digoda Andika, tiba-
tiba celingukan seperti mencari sesuatu.
"Lho" Di sini cuma ada kita berdua, Kang,"
sahut Lasni. Andika yang tidak mengerti sekarang.
"Memangnya kenapa?"
"Kalau aku, sudah tentu cantik. Kang An-
dika jelek. Lalu, siapa yang ganteng itu, kang?"
Andika menepuk keningnya. Dan dia jadi
terkekeh-kekeh ketika sadar kalau sedang dibalas Lasni. "Kalau manusia yang
banyak bulunya itu
aku tidak tau namanya. Yang jelas dia Lelaki Berbulu Hitam. Seorang aneh yang
berilmu tinggi. Sedangkan yang seorang lagi bernama Pendekar
Dungu." "Kang Andika tau namanya?"
"Kata siapa" Aku hanya tai julukannya sa-
ja. Keduanya memang sama-sama membingung-
kan. Bahkan sama-sama memusingkan. Pertama,
mereka berjalan beriringan tak ubahnya sahabat
kental. Akan tetapi, di setiap perjalanan akan dis-elingi pertengkaran yang
langsung dilanjutkan
dengan pertarungan yang tidak dianggap ringan.
Jurus-jurus tinggi pasti akan segera muncul."
Lasni hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. "Eh, dimana kudamu itu?" kata Andika ti-ba-tiba. Ku tinggalkan disana,
ketika melihat kelima orang laki-laki itu datang."
"Kasihan kudamu itu"
"Dia bisa mengurus diri sendiri."
"Tidak seperti majikannya ya?" kata Andika sambil tertawa-tawa.
Lasni hanya tersenyum kecut.
"Aku tidak seperti yang kau bayangkan."
Dengusnya. "Saat itu amarahku terpancing dengan dendam para pembunuh kakek! Aku
tidak in- gin mereka berkeliaran di muka bumi ini, semen-
tara kakekku sudah menjadi mayat."
"Lasni, jika kau menghadapi sesuatu na-
mun masih terbawa arus amarah mu sendiri, su-
dah bisa dipastikan justru kau sendirilah yang
akan hancur, maka akan celaka," kata Andika, bi-sa berkata bijak juga. Tetapi
kemudian kepalanya digaruk-garuk sambil nyengir. "Kadang-kadang aku juga suka
marah, sih!"
Lasni tersenyum. Dia tidak mengerti, men-
gapa bisa begitu cepat akrab dengan pemuda ini.
Meskipun kelihatan agak urakan, namun Andika
begitu baik. Dan belum ada yang membuka suara la-
gi.... "Wah, wah...! Memang enak kalau pacaran di sini! Terlindung dari
pandangan mata, dari sinar matahari, dan dari segala-galanya. Dibelai angin
sejuk yang mampu melenakan! Ih! Sialan! Ke-
napa sih dengan bajuku ini!"
Tiba-tiba terdengar suara kekehan keras,
membuat Pendekar Slebor dan Lasni langsung
bersiaga. Keduanya sama-sama mengerutkan ke-
ningnya ketika melihat sosok yang tahu-tahu
muncul di depan.
Dia adalah seorang laki-laki yang sangat
pendek. Boleh dikatakan kuntet. Bentuk tubuhnya
sangat lucu dengan sebuah anggota tubuh serba
kecil. Kepalanya bulat dengan rambut panjang dan hidung pesek. Pakaiannya biru
dan panjang sekali. Sepertinya pakaian itu bukan miliknya. Entah dicurinya dari
mana. Ketika lelaki kerdil ini melangkah lagi,
mendadak saja tubuhnya berguling, karena pa-
kaiannya terinjak kakinya sendiri.
"Heit! Heit! Sialan!" makinya setelah beberapa kali bergulingan dan berdiri
tegak kembali. Andika dan Lasni tak kuasa menahan ta-
wanya melihat sesuatu yang menggelikan.
"Hei! Jangan tertawa!" bentak si kontet.
"Kurang ajar kalian, ya?"
"Paman Kerdil.... Siapakah kau ini?" tanya Andika sambil menahan tawa.
Si Kontet tersenyum-senyum mendengar
panggilan yang bernada hormat.
"Bagus, bagus! Namaku Srundul! Tetapi
orang-orang lebih mengenalku sebagai Tapak Da-
rah! Bagaimana" Hebat bukan" Makanya jangan
main-main denganku! Kau bisa kubuat nyungsep
tahu! Eiiit! Sialan banget nih baju. Eh, Gondrong!
Buka bajumu untukku! Baju yang kupakai ini ke-
panjangan, jadinya selalu ku injak ujungnya!"
Andika tersenyum geli. "Sama saja, Paman
Srundul. Toh, pakaian yang kau kenakan itu seu-
kuran denganku."
Srundul alias si Tapak Darah mengangguk-
anggukkan kepalanya mengerti. Tetapi kemudian
pandangannya tertuju kepada Lasni yang tanpa
sadar menjadi kecut.
"He he he.... Gadis itu kan tubuhnya lebih
kecil dari kau" Pasti pakaiannya cocok untukku.
Ayo, mintakan padanya agar pakaian itu diberikan kepadaku!" ujar Srundul.
Andika terbahak-bahak begitu melihat wa-
jah Lasni yang memerah padam.
"Hei, Tapak Darah! Hati-hati kalau ngo-
mong!" sentak Lasni.
"Lho, kenapa" Apa aku salah?" tukas Tapak Darah sambil melotot. "Aku hanya
minta, kan" Kalau tidak dikasih ya..., akan kurebut sendiri!" Semakin terbahak-
bahak Andika mendengar kata-kata itu. Apalagi begitu melihat perubahan wajah
Lasni yang menunjukkan kegeraman.
"Kalau kau memang menginginkan pa-
kaiannya, mengapa tidak minta sendiri saja" Ba-
rangkali saja dia berbaik hati hendak memberi-
kannya kepadamu?"
"Kang Andika!" teriak Lasni sewot.
"Hei, Manis! Cepat buka bajumu untukku!
Pakaianku ini kebesaran! Tidak tahu pakaian sia-
pa, kutemukan di sungai saat mandi! Setelah ku-
pakai, sekarang sudah kering, kan" Hei, kenapa
diam saja! Ayo, buka bajumu!" ujar Tapak Darah.
Lasni tidak kuasa lagi menahan geramnya.
"Brengsek! Apa kau pikir aku bersedia melakukannya, hah"!" bentaknya.
"Lho, kenapa" Malu" Ala, kan hanya ada
kita bertiga saja. Tidak usah malu. Tidak ada
orang lain lagi kok di sini," kata Tapak Darah sambil menggoyang-goyangkan
tangannya. "Ayo, cepat! Aku ingin mencocokannya! Ka-
lau cocok, biar untukku. Dan yang ini untukmu!
Itu juga kalau kau mau! Kalau kau tidak mau ya,
tidak apa-apa. Kedua baju ini untukku saja! Ayo, buka! Kenapa masih bengong
saja, sih?"
Justru Andika yang semakin terpingkal-
pingkal. Sejenak dibayangkannya sesuatu yang
hanya diketahuinya sendiri. Lalu tiba-tiba tawanya semakin keras.
Lasni yang tak kuasa menahan malu dan
marahnya dikerjai seperti itu, langsung men-
gayunkan pecut Brajakirana nya dengan cepat.
Ctaaarr! "Hei! Kenapa jadi bermain kuda-kudaan
seperti ini" Ayo, lebih baik serahkan saja pa-
kaianmu kepadaku! Atau, kau malah menyuruhku
untuk merebutnya" He he he.... Baik, baik.... Kau boleh mengetahui, siapa Tapak
Darah yang tampan ini sesungguhnya," desak Tapak Darah, membuat Pendekar Slebor
semakin terpingkal-pingkal
mendengarnya. Lasni yang jengkel karena Pendekar Slebor
justru memojokkannya, mengibaskan pecutnya,
"Brengsek!"
Ctar! Pecut itu menghantam sebuah batu di de-
pan Andika, hingga pecah berantakan, sementara
Andika masih nyengir.
"Jangan mempermainkan aku!"
"Lho" Siapa yang mempermainkan?" sahut Andika. "Yang kau hadapi kan bukan aku,
tetapi si Tapak Darah," sergah Pendekar Slebor.
"Tetapi kau tidak menolongku?"
"Apa yang harus kutolong" Membukakan
pakaianmu untuknya" Baik, sini!"
Andika langsung melangkah dan bersikap
seolah-olah hendak membuka baju Lasni. Tetapi
Pendekar Slebor langsung melompat ke samping
ketika ayunan pecut yang berada di tangan Lasni
kembali menyambar cepat.
Ctaaar! Ctaaarr!
Lasni terus mencecar Andika karena jeng-
kel dipermainkan begitu.
"Hei! Katanya kau ingin bertarung dengan-
ku" Ayo, sini! Pemuda berbaju hijau itu tidak usah diladeni! Dia masih kalah
ganteng denganku,
kan?" kata Tapak Darah.
Sambil menghindari sambaran-sambaran
pecut Lasni, Andika terbahak-bahak mendengar
kata-kata Tapak Darah. Luar biasa, dia kembali
bertemu tokoh aneh lagi!
"Hei, Tapak Darah! Kalau memang ingin
mengambil sendiri pakaian yang kau inginkan itu, mengapa masih diam saja" Ayo,
bukai pakaiannya!" teriak Andika, keterlaluan.
"Kang Andika!"
Andika mengedipkan matanya.
Seketika Tapak Darah mengempos tubuh-
nya. "Baik! Lihat, dalam dua kali gebrak, pakaiannya sudah terlepas dari
tubuhnya!"
Tubuh yang kuntet itu bergerak luar biasa
cepat. Andika sendiri sampai terkejut melihat ge-
rakan Tapak Darah.
Sementara Lasni menghentikan serangan pada
Andika cepat pecutnya diayunkan ke arah Tapak
Darah. Namun dengan sigapnya lelaki kuntet itu
menghindari serangan.
"Hei, Gondrong! Kau lihat nih! Satu!"
Tiba-tiba saja tubuh Tapak Darah berputar
mengelilingi Lasni. Dan gadis itu menjadi kebin-
gungan. Sementara Andika sendiri sangat sulit me-
nangkap gerakan si Tapak Darah. Tahu-tahu ge-
rakan memutari tubuh Lasni itu terhenti. Dan ke-
tika sudah berdiri kembali, di tangannya tergenggam pecut Brajakirana milik
Lasni. Lasni sungguh-sungguh tidak menyangka
kalau pecut kesayangannya akan pindah tangan.
Seketika gadis itu langsung menyerang ganas.
"Kuntet jelek! Kembalikan pecut ku!"
Tapak Darah segera mengempos tubuhnya.
"Dua!" serunya keras.


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu mendengar teriakan, Andika dengan
cepat melenting ke depan. Meskipun habis-
habisan menggoda Lasni, tetapi dia tidak mau cu-
cu Panembahan Reso Tunggal itu dibuat malu.
Makanya ketika Tapak Darah sudah siap
melucuti pakaian Lasni, Andika cepat memotong
gerakannya. Wuuuut! Des! Plak! Pecut Brajakirana yang dipegang Tapak
Darah langsung terlepas, ketika Pendekar Slebor
cepat menyambarnya. Lalu disambarnya pula tu-
buh Lasni, dan dibopongnya.
"Hei, apa-apaan ini?" bentak Tapak Darah sambil bergulingan ke belakang, dan
berdiri tegap kembali. Andika pun hinggap ringan di tanah.
Lasni sendiri tidak menyangka kalau Andi-
ka yang tadi terus menerus mengerjainya akan
menolongnya. Dan kini gadis itu tersenyum lega.
Rupanya pemuda ini tergolong baik juga.
Dan terus terang, Lasni sangat senang be-
rada dalam rangkulan pemuda tampan yang ura-
kan, namun baik hati ini. Makanya matanya kini
terpejam menikmati pesona rangkulan itu.
"Auuuw...!"
Tetapi tiba-tiba saja Lasni menjerit keras.
Dan tubuhnya tahu-tahu jatuh ke tanah.
Brukkk! "Kang Andika!" makinya jengkel. Andika terkejut.
"Oh! Kupikir tidak ada orang tadi dalam
rangkulan ku," sahutnya dengan nyengir kuda.
Sementara Lasni berdiri sambil merengut. Diam-
bilnya pecut Brajakirananya yang berada di tan-
gan Pendekar Slebor.
"Hei, Gondrong! Kau ini bagaimana, sih"
Tadi, kau sudah setuju dengan rencanaku untuk
mengambil pakaian gadis itu, lalu sekarang malah melarang?"
"Tapak Darah.... Biarpun kau memakai ba-
junya, pasti kebesaran juga," sahut Pendekar Slebor, kalem.
"Mana bisa! Tubuhnya ramping seperti itu,
kok" Tetapi, di dadanya itu ada benjolan besar
yang montok, ya" Boleh kupegang?" tanya Tapak Darah lugu.
Lasni langsung menyumpah-nyumpah.
"Serba salah!" maki Tapak Darah. "Meminta pakaiannya tidak boleh. Sekarang
memegang yang montok-montok di dadanya, tidak boleh.
Huh! Apalagi yang montok itu kuminta, ya?"
Andika terbahak-bahak.
"Hei, Tapak Darah! Kau ini lugu atau bego,
sih" Sudah tentu yang montok-montok itu tidak
akan diberikannya."
"Pelit!"
Tapak Darah melipat kedua tangannya
dengan wajah mendongak ke atas.
"Kalau tidak diperbolehkan ya, sudah! Ti-
dak kusangka, gadis seperti dia itu pelit sekali!
Dasar! Tetapi tidak apa-apa, kok! Sudah, sudah!
Aku mau pergi saja...." Segera Srundul melangkah.
Tetapi tubuhnya harus bergulingan lagi, karena
pakaiannya yang kebesaran terinjak kakinya sen-
diri. Andika benar-benar geli sekali melihat
tingkah laku Tapak Darah itu. Ah! Siapa sebenar-
nya tokoh kontet yang aneh itu"
"Hati-hati kalau melangkah!" teriak Pendekar Slebor.
"Brengsek! Kau menghinaku ya" Aku bisa
langsung menghilang tahu!"
"Percaya, percaya!"
Tapak Darah membuktikan ucapannya. La-
lu.... Wwuuut! Tubuh Kontet itu pun menghilang, mem-
buat Pendekar Slebor menggaruk-garuk kepa-
lanya. Lalu tahu-tahu, tubuhnya berkelit ke kiri.
Ctaaar! "Hei, kenapa lagi ini?"
"Brengsek! Mata keranjang! Cabul! Jangan
mempergunakan kesempatan dalam kesempitan,
ya"!" maki Lasni sambil mengibaskan ayunan pecutnya berkali-kali.
"Heran! Tadi pacaran sekarang malah ber-
tengkar!" Lasni segera menghentikan serangan keti-
ka terdengar seruan keras.
"Kuntet! Mau apa lagi kau, hah"!" maki Lasni dengan mata melotot geram.
"He he he.... Cuma sebentar. Nanti setelah
itu kalian bisa berkelahi lagi."
"Apa yang ingin kau ketahui?" bentak Lasni lagi. Hatinya benar-benar jengkel
pada Tapak Darah. Srundul mengangkat bahunya. "Aku cuma ingin tahu, apakah
kalian mengenal Pendekar Slebor"! Tetapi, ah! Pasti kalian tidak tahu! Sudah
teruskan lagi deh, pertarungan kalian!"
Wussss! Tubuh Tapak Darah sudah lenyap kembali
dari pandangan. Andika sejenak melongo. Pende-
kar Slebor" Kan hanya dia saja yang berjuluk Pendekar Slebor"
"Hm.... Mau apa dia mencariku" Tetapi
yang terpenting, aku tidak pernah mengenal dia
sebelumnya." gumam Andika.
Tetapi pikiran itu buyar karena Lasni su-
dah menyerang kembali.
"Hei, Jelek! Kau harus merasakan pecut
ku!" Kembali Andika terkejut dan gelagapan menerima serangan Lasni yang begitu
gencar. Mendadak, Pendekar Slebor berkelebat,
membuat gadis itu menjadi gelagapan. Karena ta-
hu-tahu, Pendekar Slebor sudah merangkulnya.
Ketika akan memberontak....
"Jangan ribut. Ada yang datang ke sini," bisik Pendekar Slebor.
Lalu dengan ringan sambil membopong tu-
buh Lasni, Andika melenting ke atas pohon!
*** 9 Yang muncul tak lain dari Upasonto, Dwi-
polko, Grisoko, dan Jenggolo, wajah masing-
masing mencerminkan kemarahan yang teramat
sangat. Pertama, kepada Raja Akherat yang secara tidak langsung mengikat hidup
mereka. Dan kedua terhadap Pendekar Slebor, yang telah mem-
bunuh Kahyunputi, Sridorsa dan Bresatar. Bah-
kan secara tidak langsung Pendekar Slebor juga
penyebab kematian Majenar dan Wediwoso di tan-
gan Raja Akherat.
"Kang Andika.... Aku yakin, mereka pasti
anggota Sembilan Iblis pula. Bukankah waktu itu
jumlah mereka lima orang" Dan sekarang, empat
orang?" bisik Lasni sambil memperhatikan langkah bergegas orang-orang itu.
"Kau benar. Tetapi, ingat. Jangan gegabah.
Kau sudah menyaksikan kehebatan mereka, bu-
kan?" Lasni mengangguk.
Keempat Iblis itu terus melangkah tergesa-
gesa, seolah yang dicari akan lenyap hari ini juga.
Andika sendiri lebih suka menyelidik ke Istana
Sembilan Iblis sendiri. Dia ingin tahu, ada apa ge-rangan di sana.
Pendekar Slebor lantas membisiki renca-
nanya pada Lasni. Gadis itu mengangguk perlahan
tanda setuju. Kali ini setiap amarahnya harus di-tekan. Otaknya harus
dipergunakan daripada te-
naga dan amarahnya yang justru menjadi senjata
makan tuan. Namun belum lagi Pendekar Slebor dan
Lasni melompat turun, tiba-tiba saja....
"Hayyooo! Siapa kalian orang-orang jelek?"
Terdengar sebuah bentakan keras, disusul
munculnya satu sosok tua keropos yang tak lain
Pendekar Dungu.
Andika melihat Pendekar Dungu berusaha
memasang tampang garang, tapi hasilnya malah
seperti kakek telat buang air.
Sementara Lelaki Berbulu Hitam tak lama
muncul kemudian diperhatikannya keempat orang
itu dengan tatapan tajam.
Kening Upasonto berkerut. Dia merasa
aneh melihat dua laki-laki yang kira-kira tua
bangkotan itu di hadapannya.
"Dan kalian sendiri siapa"!" Upasonto balas membentak.
"Hei!! Dia bertanya namaku, Hitam?" tukas Pendekar Dungu. "Kau ingat namamu
sendiri?" Lelaki Berbulu Hitam menggelengkan kepa-
lanya. "Tidak."
"Aku juga tidak. Lalu, bagaimana menja-
wab pertanyaan orang berbaju sutera itu?" Pendekar Dungu menggaruk-garuk
kepalanya. "Bilang saja kita sudah lupa nama kita
sendiri," sahut Lelaki Berbulu Hitam sebenarnya.
Lelaki keturunan serigala itu berusaha
mengingat-ingat namanya sendiri. Namun, tak ke-
temu juga. Telah puluhan tahun dia tidak mema-
kai namanya yang asli, sehingga sudah sulit sekali mengingatnya.
"Nah! Kau dengar kata-kata temanku ini"
Kami sudah lupa dengan nama sendiri. Eh, benar
begitu, kan?"
Lelaki Berbulu Hitam mengangguk.
Pendekar Dungu melipat kedua tangannya
di dada dengan sikap puas.
Upasonto memicingkan matanya, mengira-
ngira siapa kedua orang aneh ini.
"Hhhh! Orangtua-orangtua aneh, katakan
kepada kami! Apakah kalian melihat Pendekar
Slebor" Kalau tidak, lebih baik segera pergi dari sini sebelum terjadi
pertumpahan darah!" kata Iblis Baju Sutera merandek.
Andika menegakkan telinga. Hmm.... Ru-
panya manusia-manusia ini ingin bermain-main
denganku" Sekarang biarkan saja mereka ber-
main-main dulu dengan Pendekar Dungu dan Le-
laki Berbulu Hitam. Kalau berhasil meloloskan di-ri, mereka akan sangat terkejut
sekali bila kembali karena Istana Sembilan Iblis sudah porak poran-da.
Andika sudah tersenyum-senyum geli
membayangkan rencana yang akan dilakukan. La-
lu, diajaknya Lasni untuk segera menuju Istana
Sembilan Iblis.
*** Pendekar Dungu menggaruk-garuk kepala.
"Memangnya di sini ada ayam yang akan dipotong, ya" Kok pakai darah tumpah
segala sih?" tanyanya lugu, menyahuti kata-kata Upasonto.
"Hei"! Kau dengar tidak, kalau dia menye-
butkan nama Tuan Penolong?"
"Aku tidak tuli!"
"Nah! Kalau begitu, aku bisa tahu siapa
dia" Pasti orang-orang jelek ini adalah anggota
Sembilan Iblis. Eh, kau yakin tidak dengan mim-
pimu waktu itu?" tanya Pendekar Dungu.
"Yakin sekali! Bisa jadi kau benar! Coba
aku tanya dulu. Manusia-manusia.... Heeiiittt!!
Lho" Kok, pakai serang-serangan segala sih?" seru Pendekar Dungu sambil
melenting ke belakang
dengan ringan ketika Upasonto menyerangnya.
Secara serempak pula Jenggolo alias Iblis
Tangan Dewa membantu mengeroyok Pendekar
Dungu. Sedangkan Grisoko, si Iblis Pincang dan
Dwipolko si Iblis Rembulan, secara serempak me-
nyerang Lelaki Berbulu Hitam.
Upasonto yang langsung bisa menebak sia-
pa kedua orang ini, tidak mau membuang waktu
lagi. Dalam perhitungannya, sangat mudah meng-
hadapi dua laki-laki aneh ini. Namun pada kenya-
taannya, justru tenaganya banyak terkuras meng-
hadapi Pendekar Dungu. Begitu pula Jenggolo
yang dengan telapak tangannya sudah bergetar-
getar. "Heran"! Kok ada orang yang tidak bosan-bosannya berkelahi, sih?" seru
Pendekar Dungu sambil melepas serangan-serangan cepat dan berbahaya. "Kau benar!
Lawan-lawan begini sih enteng banget!" sambut Lelaki Berbulu Hitam sambil
melenting ke sana kemari, mengirimkan serangan ba-
lasan. Namun rupanya, keadaan menguntungkan
yang dialami Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu
Hitam hanya sesaat saja. Karena kejap berikutnya, keempat iblis itu menyerang
secara bergantian.
Kalau tadi Upasonto dan Jenggolo yang
menyerang Pendekar Dungu, secara mendadak sa-
ja mereka menyerang Lelaki Berbulu hitam. Begitu pula Grisoka dan Dwipolko.
Serangan secara aneh
dan mendadak membuat Pendekar Dungu dan Le-
laki Berbulu Hitam menjadi terkejut pula.
Setiap kali kedua lelaki bangkotan itu hen-
dak membalas, lawannya sudah menghindar dan
berganti penyerang. Begitu seterusnya.
"Busyet, deh! Kita dimainkan seperti
ini!",maki lelaki Berbulu Hitam jengkel.
"Hitam! Kau ini terlalu sombong! Masa serangan maut begini di bilang main-main!"
seru Pendekar Dungu.
Sambil berkata demikian Pendekar Dungu
harus berjumpalitan menghindari serangan se-
rempak yang mematikan. Itu terlihat dari gerakan keempat iblis ini yang
mempersempit ruang gerak
Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam.
Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hi-
tam, benar-benar kelimpungan. Sehingga sulit ba-
gi mereka untuk menemukan jalan keluar dari pu-
saran empat serangan yang cepat itu.
Akan tetapi, meskipun terdesak, sikap aneh kedu-
anya pun tetap muncul.
"Busyet deh! Dungu! Apa kita akan mam-
pus sekarang?" kata Lelaki Berbulu Hitam.


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika lelaki keturunan serigala itu hendak
membalas, dua penyerang pertama sudah diganti-
kan dua lawan selanjutnya. Ini sangat menyu-
litkan sekali. "Brengsek! Kau mau mampus ya mampus
saja! Tidak usah mengajak-ajak!" maki Pendekar Dungu. "Tetapi..., maksudmu...,
apa kita akan mampus sekarang ini?"
"Kau betul."
"Barangkali saja. Aku juga ingin merasakan
mati. Bagaimana sih rasanya, ya" Kalau enak, aku akan terus saja mati. Tetapi
kalau tidak enak,
yang minta hidup kembali."
"Kalau kau ingin merasakan mati, biarkan
saja tubuhmu dihajar manusia-manusia ini!"
"Yee...! Keenakan mereka dong! Eh, masa
sih kita tidak bisa membalas" Apa kau sudah ke-
hilangan kepandaianmu, Hitam" Nah, nah.... Kini
kau mengakui kehebatanku, bukan?"
Lelaki Berbulu Hitam menoleh.
"Dungu! Coba gabung jurus-jurus yang kita
miliki menjadi satu!" usul Lelaki Berbulu Hitam.
"Enak saja! Nanti kau mencurinya!" tuduh Pendekar Dungu, tak beralasan.
"Sialan! Ayo, cepat! Kita tidak banyak wak-
tu lagi! Serangan mereka semakin cepat dan dah-
syat!" Saat itu juga dua rangkaian jurus yang menakjubkan pun diperlihatkan
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Tiba-tiba saja dengan
gerakan cepat sekali tubuh lelaki keropos berotak bebal itu sudah berada di
punggung Lelaki Berbulu Hitam. Lalu dengan gerakan aneh dan menak-
jubkan, keduanya menyerang ganas.
Upasonto dan tiga kawannya terkejut meli-
hat penggabungan jurus yang aneh. Diam-diam
diakui, kalau mereka terpisah seperti ini, pasti bukanlah tokoh unggulan. Bila
saja masih tergabung dalam Sembilan Iblis, bisa dipastikan ilmu
mereka akan sulit ditumbangkan.
Dan kini justru keempatnya yang kocar-
kacir oleh rangkaian jurus Lelaki Berbulu Hitam
dan Pendekar Dungu. Dengan Pendekar Dungu
berada di punggung Lelaki Berbulu Hitam, pemu-
satan tenaga dalam yang biasanya dilakukan mas-
ing-masing melalui saluran tali pusar, kini terangkai menjadi satu. Dari tali
pusar Pendekar Dungu menuju tubuh Lelaki Berbulu Hitam demikian pu-la
sebaliknya. Gerakan itu memang sangat sukar dilaku-
kan. Tetapi bagi kedua tokoh aneh yang berilmu
tinggi itu bukanlah hal yang aneh. Sehingga per-
gantian tenaga dalam masing-masing berlangsung
begitu cepatnya. Dan yang terpenting lagi, dengan keadaan seperti itu, serangan
yang dilakukan ke
bagian atas bisa diatasi Pendekar Dungu yang
mengalirkan pula tenaga dalam pada Lelaki Ber-
bulu Hitam yang menjadi dasar tumpuan.
Empat dari anggota Sembilan Iblis ganti di-
buat kocar-kacir. Mereka benar-benar pontang-
panting. Hingga....
"Kawan-kawan! Lebih baik kita berpisah di
sini! Kita selamatkan nyawa masing-masing! Kare-
na, kita masih memiliki dendam pada Pendekar
Slebor dan Raja Akherat! Kelak, bila saatnya tiba, kita akan berkumpul kembali
untuk menghimpun
kekuatan!" teriak Upasonto, keras sekali.
Sesudah berkata seperti itu, Iblis Baju Su-
tera mengambil sesuatu dari pundi yang ada di
pinggangnya. "Aku telah mencuri obat pemusnah racun
di tubuh kita, selagi Raja Akherat lengah! Kalian bisa menelannya satu persatu!
Tangkap!" ujar Upasonto.
Dengan sigap, Bresatar, Dwipolko dan
Jenggolo menangkap obat pemusnah racun yang
masuk ke tubuh dan langsung menelannya.
Sementara itu, Iblis Baju Sutra langsung
melompat ke belakang dan lenyap dari pandangan.
Mendengar kata-kata yang diucapkan Upa-
sonto, ketiga temannya membenarkan pula. Maka
dengan segera mereka langsung memutuskan un-
tuk mengikuti jejak Upasonto. Mereka pun berla-
rian menyelamatkan diri dengan satu tujuan, ke-
lak akan kembali lagi untuk mencari Pendekar
Slebor dan menuntut dendam pada Raja Akherat.
"Hei, hei..."! Kenapa berhenti" Kan masih
asyik nih"! Kalian belum dapat memukul kami!"
seru Pendekar Dungu.
"Sudah, sudah! Turun dong!" ujar Lelaki Berbulu Hitam.
Pendekar Dungu melompat turun.
"Baru juga sebentar!" makinya sebal.
"Dungu! Apakah sekarang kau masih
membenarkan wangsit mimpimu kalau Pendekar
Slebor telah mampus di Istana Sembilan Iblis?"
Pendekar Dungu Nyengir.
"Sepertinya tidak."
"Kau tahu kenapa?"
"Kalau kau tahu, kenapa tidak segera men-
jelaskannya sih!"
"Karena, kulihat mereka sedang mencari
Pendekar Slebor. Dan kalau melihat jumlah mere-
ka yang tinggal empat orang, berarti Sembilan Iblis telah runtuh. Berarti,
wangsit dalam mimpi itu salah. Pasti Tuan Penolong dalam keadaan segar bu-
gar sekarang."
Pendekar Dungu mengangguk-angguk
layaknya orang yang mengerti kata-kata teman-
nya. "Kalau begitu, aku ingin meneruskan perja-lananku saja," kata lelaki
Berbulu Hitam. "Mau ke mana?"
"Kau mau ikut"
"Bersamamu" Hhh! Tidak usah, ya! Lebih
baik aku pergi sendiri!"
"Baiklah kau begitu! Dungu, sampai kete-
mu lagi!" pamit Lelaki Berbulu Hitam, bersiap hendak berlari.
"Hitam jelek! Kau mau meninggalkan aku,
ya" Tidak mengajak-ajak, ya" Padahal kalau tidak ada aku, tadi kau sudah mampus
tahu!" Lelaki Berbulu Hitam hanya melongo.
*** 10 Benarkah yang dikatakan Lelaki Berbulu
Hitam kalau bahaya tidak sedang mengancam
Pendekar Slebor" Padahal pendekar urakan itu se-
lalu saja hidupnya diintai bahaya. Dan kali ini, bahaya itu sudah menunggu di
Istana Sembilan
Iblis. Begitu kaki Andika menginjak halaman is-
tana besar yang megah bersama Lasni, malam su-
dah menjelang. Andika berdecak kagum melihat
kebesaran dan kemegahan istana itu.
"Edan! Enak banget ya, kalau tidur di sini,"
kata si pemuda, lalu nyengir pada Lasni. "Terutama kalau bersamamu. He... he...
he...!" "Ih! Jorok!" Maki Lasni cemberut. Tetapi entah mengapa, dia suka dengan
selorohan Pendekar Slebor.
"He he he.... Kita akan hancurkan istana
ini, biar Sembilan Iblis terbengong-bengong melihat istananya berantakan! Itu
pun kalau mereka
berhasil meloloskan diri dari tangan Lelaki Berbu-lu Hitam dan Pendekar Dungu!
Ayo, Lasni! Kita
segera ke sana! Makan dulu atau segera ke ka-
mar?" "Kang Andika!" jerit Lasni.
Andika sudah berlari ke arah Istana Sembi-
lan Iblis disusul Lasni yang mengejarnya. Kalau sepintas, mereka tak ubahnya
bagai sepasang re-maja yang tengah di mabuk asmara.
Biarpun kelihatannya tidak menduga bu-
ruk pada istana itu, sebenarnya Andika mencium
sesuatu yang tidak enak. Naluri kependekarannya
yang sangat terlatih mengatakan kalau ada anca-
man maut yang siap menghadang.
Tiba-tiba saja Pendekar Slebor menghenti-
kan larinya, tepat di pintu masuk Istana Sembilan Iblis yang terpentang lebar.
Dari luar matanya bisa melihat bangunan yang indah dengan lorong yang
panjang di istana itu.
"Mengapa kita tidak segera menghancur-
kan istana ini saja, Kang Andika?" tanya Lasni.
"Tunggu, Lasni. Aku mencium sesuatu
yang tidak enak. Ada bahaya yang tengah men-
gancam kita," sergah Andika.
"Ha.... Ha.... Ha.... Pendekar Slebor...! Selamat berjumpa kembali denganku!"
Tiba-tiba terdengar suara keras dari atap
Istana Sembilan Iblis.
"Raja Akherat!"
"Bagus, bagus! Kau masih mengingat ku,
bukan" Dan, bawalah nama besarku ini ke ku-
burmu!" Tiba-tiba saja Raja Akherat menggerakkan
tangannya ke arah Pendekar Slebor.
Wusss! Saat itu juga serangkum angin keras men-
deru ke arah Pendekar Slebor dengan cepatnya.
Dengan sigap Andika mendorong tubuh
Lasni. "Pergilah dari sini! Jangan dekat-dekat!"
ujar Andika. "Kenapa, Kang?"
"Aku tidak ingin melihat kau mati dan me-
nyesali diriku yang tak bisa menolongmu. Menger-
ti?" Andika menekan suaranya agar Lasni pa-
ham. Padahal, sebenarnya, dia tidak ingin kalau
gadis itu sampai terlibat pertikaiannya dengan Ra-ja Akherat. Andika sendiri
tahu kalau lawan yang dihadapinya memiliki kesaktian yang sangat luar
biasa. Lasni pun mengangguk.
"Kalau kukatakan lari, kau lari!" ujar Andika lagi. Seketika Pendekar Slebor
menggerakkan tangannya pada Raja Akherat yang berdiri kukuh
di wuwungan sana.
"Lari, Lasni!" teriak Pendekar Slebor.
Dengan cepat gadis jelita berbaju putih itu
mengikuti saran Pendekar Slebor. Padahal, dia ingin sekali membantu Pendekar
Slebor menghadapi
Raja Akherat. Namun, bagi Andika sendiri, kalau
bertarung ada perempuan, malah merepotkannya
saja. "Hei, Raja buduk! Kenapa tidak turun, hah"!" serunya keras sambil
mengejek. "Ha... ha... ha.... Pendekar Slebor! Rupanya kau memang ditakdirkan untuk mampus
di tanganku! Buktinya kau datang untuk mengantarkan
nyawamu, bukan?" ejek Raja Akherat.
"Sialan! Aku datang justru ingin meminta
nyawamu! Iya toh, iya toh?"
Raja Akherat rupanya tidak mau mem-
buang waktu lagi. Kebenciannya pada Pendekar
Slebor memang sudah sampai diujung ubun-
ubun, karena Pendekar Sleborlah yang mengga-
galkan rencananya untuk menguasai rimba persi-
latan. Baik dari golongan lurus maupun golongan
sesat. Dengan gerak meluncur Raja Akherat su-
dah langsung merangkum 'Himpunan Surya Bayu-
Tanah'nya. Dia tahu, pemuda itu bukanlah orang
sembarangan. Begitu pula Andika. Begitu tubuh Raja Ak-
herat meluruk ke arahnya, Pendekar Slebor segera melenting memapaki dengan
tenaga 'inti petir'
tingkat ketiga. Mengingat, lawan bukanlah orang
sembarang pula.
Benturan keras pun terjadi menimbulkan
suara ledakan keras. Andika merasakan tangan
kanannya bergetar. Dan perlahan-lahan terlihat
membiru. "Gila! Rupanya tenaga dalam raja buduk
ini semakin tinggi saja. Tentunya dia telah berlatih sebelum mencariku?" sentak
Pendekar Slebor.
Yang membuat Pendekar Slebor bertanya-
tanya, apakah di balik kekejaman Sembilan Iblis
berdiri Raja Akherat" Kalau memang iya, sungguh
hebat sekali Raja Akherat bisa menutupi semua-
nya ini. "Ha... ha... ha.... Kalau sekarang, tanganmu saja yang membiru. Tetapi
kini..., tanganmu
akan patah, Pendekar Slebor!" seru Raja Akherat.
Kini biang tokoh sesat itu sudah bergerak
lagi dengan cepatnya. Serangannya lebih dahsyat
dari yang pertama. Andika sendiri harus menaik-
kan tenaga 'inti petir'nya. Tingkat pamungkas
yang dirasakannya sangat berguna untuk mema-
paki serangan dari Raja Akherat.
Blarr.... Kembali benturan terjadi. Suara yang di-
timbulkannya lebih kencang. Ternyata yang didu-
ga Andika benar. Kalau tadi tangannya gemetar
dan membiru, sekarang hanya gemetar saja. Se-
mentara Raja Akherat pun terlihat pias. Rupanya
dia terkejut dengan perubahan tenaga yang dila-
kukan Pendekar Slebor.
Namun belum lagi Andika menikmati ke-
menangan gebrakan yang kedua, tiba-tiba saja tu-
buh Raja Akherat berpisah. Dan kini berdiri tegap dua sosok berwajah mirip satu
sama lain. Kedua Raja Akherat kini sama-sama terba-
hak-bahak. "Inilah yang memusingkan kepalaku!" den-
gus Andika. Pendekar Slebor langsung berpikir keras
untuk mencari sela yang paling tepat untuk me-
musnahkan ajian yang cukup dikenalnya. Ajian
'Melayang Dua' yang pernah membuatnya tertipu.
Dia pikir saat itu Raja Akherat sudah tewas, justru ternyata belum. Yang tewas
adalah jelmaannya


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang segera kembali pada yang aslinya (Baca : "Ra-ja Akherat").
"Pendekar Slebor...! Apakah kau masih in-
gat ajian 'Melayang Dua'ku ini?"
"Iya, ya.... Bahkan kau akan kuhadapi
dengan ajian 'Melayang-layang'!" sahut Andika santai. Padahal, Pendekar Slebor
tengah berpikir keras bagaimana caranya mengatasi serangan
yang akan dilakukan Raja Akherat. Karena dia ta-
hu dan pasti, kalau dua Raja Akherat sama-sama
sakti luar biasa.
Kedua tubuh Raja Akherat mendadak saja
secara serempak meluruk ke arah Pendekar Sle-
bor. Dan Andika langsung menghindari seran-
gan. Namun pemuda ini harus tersungkur, karena
sebelah kakinya berhasil ditangkap Raja Akherat
yang berdiri di kanan. Bahkan tiba-tiba Raja Ak-
herat membantingnya!
"Heeigggkkk!"
Andika terjerembab, namun dengan cepat
bergulingan ketika merasakan satu sentakan kuat
siap menghujam dadanya.
"Ampun deh! Bisa mati konyol aku!" sentak Pendekar Slebor.
Andika merasa harus segera berdiri. Na-
mun baru saja bangkit, Raja Akherat satunya telah melepaskan tendangan dahsyat.
Dess...! "Augh...!"
Sekali lagi tendangan telak dari Raja Akhe-
rat mendarat di dada Pendekar Slebor.
Setelah bergulingan beberapa kali, Pende-
kar Slebor mengambil kain pusakanya yang berco-
rak catur. Dengan bantuan kain pusaka itu Andi-
ka masih bisa bertahan, meskipun lama kelamaan
kain pusakanya terasa panas sekali.
"Ha... ha... ha.... Kau akan mampus, Pen-
dekar Slebor! Kau akan mengakui kehebatan Raja
Akherat!" Tiba-tiba saja Andika bergerak ke depan,
seraya merangkum ajian 'Guntur Selaksa' yang
langsung dialirkan pada kain pusakanya. Dengan
cara seperti itu, kekuatannya bertambah.
Dengan gerakan mengagumkan Pendekar
Slebor melompat ke kiri, ketika Raja Akherat yang di sebelah kanan menyambar
kepalanya. Dan dengan seruan keras, kain pusakanya dikebutkan pa-
da Raja Akherat yang berada di sebelah kiri.
Blarr...! Seketika terdengar ledakan keras sekali.
Dan tubuh Raja Akherat yang berada di sebelah
kiri seperti pecah berantakan.
Namun yang membuat mata Andika terbe-
lalak, tiba-tiba saja tubuh yang terpecah-pecah
menghilang. Sementara Raja Akherat yang sa-
tunya lagi terbahak-bahak.
"Bodoh! Bodoh sekali!" ejek Raja Akherat keras. Sadarlah Andika kalau telah
tertipu lagi. Ternyata yang baru saja dibunuhnya adalah Raja
Akherat jelmaan. Untuk menentukan yang mana
yang asli dan yang jelmaan, memang sangat sulit.
Dan mendadak saja tubuh Raja Akherat
kembali menjadi dua. Bahkan sama-sama lang-
sung menyerang Pendekar Slebor dengan cepat.
Andika benar-benar kedodoran sekarang.
Ajian 'Guntur Selaksa' yang telah dialirkan pada kain pusaka saja sudah tidak
mampu menghadapi
serangan-serangan hebat Raja Akherat.
Dengan demikian Pendekar Slebor kini
hanya bisa menghindari serangan sebisanya sam-
bil mencoba membalas.
"Hiaa...!"
Dan tiba-tiba terdengar teriakan keras dari
dua Raja Akherat yang menyerang secara bersa-
maan. Untuk memapaki serangan itu, Andika me-
rasa sangat kesulitan. Karena dia tahu, bila nekat berarti hanya mengantarkan
nyawa percuma. Sementara untuk menghindari serangan sudah me-
rupakan hal yang tidak mungkin. Karena kea-
daannya benar-benar tersudut.
Dalam satu pikiran Andika, hanya ada dua
kata. Bertahan hidup! Namun sebelum serangan
dua Raja Akherat mengenai sasaran, tiba-tiba me-
lesat satu bayangan yang langsung memapak.
Blarr! Terjadi benturan keras, disusul mentalnya
dua tubuh Raja Akherat ke belakang.
Andika terkejut melihatnya. Lebih terkejut
lagi ketika melihat Srundul alias si Tapak Darah tahu-tahu telah berdiri di
dekatnya. Dia masih
berpakaian yang bukan ukuran tubuhnya. Ru-
panya, si kontet itulah yang telah menolongnya.
"He he he, Gondrong! Kau mempermainkan
aku, ya" Rupanya kau ini Pendekar Slebor, kan"
Bagus! Bagus! Aku sudah lama mendengar nama
besarmu itu. Tetapi, baru kali ini menjumpai mu!"
Andika masih terpaku melihat kenyataan
kalau Srundul bukan hanya mampu memapaki
serangan dua Raja Akherat yang dahsyat, bahkan
membuat biang tokoh sesat itu terpental ke belakang. Sementara itu Raja Akherat
yang terkejut karena serangannya justru terpental, membela-
lakkan matanya melihat sosok yang menyela-
matkan Andika. Dan sosoknya pun sudah kembali
menjadi satu. "Si Tapak Darah!" desisnya terkejut.
Dan tiba-tiba saja wajah Raja Akherat me-
mucat. Tubuhnya bergetar. Lalu seketika biang
tokoh sesat itu berlari meninggalkan tempat itu.
"Hei!" seru Andika keras.
"He he he.... Gondrong! Kau tidak akan bi-
sa membunuhnya sebelum mengetahui kelema-
hannya! Dia adalah adik seperguruanku di Goa
Akherat! Dia pula yang telah mencuri Kitab Me-
layang Dua yang dirahasiakan Guru. Bahkan den-
gan kejinya, meracuni ku dan guru dengan masa-
kan yang dibuatnya. Untungnya, aku berhasil se-
lamat dari maut. Hanya sayang, Guru menemui
ajalnya saat itu juga. Kau tahu, Gondrong! Telah berbulan-bulan aku mencari
manusia sesat yang
memuakkan itu hingga akhirnya kudengar kabar
kalau dia pernah bertarung melawan seorang pen-
dekar muda yang berjuluk Pendekar Slebor! Dan
sekarang, manusia itu sudah ada di depan mata-
ku!" urai Srundul.
Andika masih tetap terpaku seperti tak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Bunuh dia, Gondrong! Pukulkan tangan-
mu ke tangannya yang sebelah kanan! Mungkin
kau tidak pernah memperhatikan. Setiap kali
menggunakan * ajian 'Melayang Dua', dia tidak
pernah membiarkan tangan kanannya beradu
denganmu. Nah, bunuh dia sekarang! Aku akan
kembali ke Goa Akherat!" lanjut si Tapak Darah menyadarkan Pendekar Slebor.
Wussss! Tubuh si Tapak Darah pun melesat meng-
hilang dari pandangan. Andika yang mendapat pe-
tunjuk yang berharga, langsung mengejar Raja
Akherat yang belum jauh. Hingga sebentar saja,
Pendekar Slebor sudah berhasil menghadangnya.
"He he he.... Mau ke mana kau" Mengapa
kau jadi pengecut, sih?" ejek Andika yang langsung mempergunakan ajian 'Guntur
Selaksa'nya. Dan sasaran ajian Andika adalah tangan
kanan Raja Akherat. Seperti yang dikatakan Tapak Darah, Raja Akherat memang tak
sudi membiarkan tangannya beradu dengan tangan Pendekar
Slebor. Namun hal ini justru menguntungkan An-
dika. Karena biarpun Raja Akherat berusaha me-
nangkis, tetap saja yang diburu Andika adalah telapak kanannya. Yang lebih
mengerikan lagi, ka-
rena Pendekar Slebor mempergunakan ajian
'Guntur Selaksa'.
Raja Akherat kini benar-benar bagaikan
orang yang kehilangan kepercayaan diri lagi. Dia sudah begitu ketakutan dan
ngeri sekali menyadari kelemahan dari ajian 'Melayang Dua'nya yang
telah diketahui Pendekar Slebor.
Dengan masih mengandalkan jurus
'Himpunan Surya-Bayu-Tanah' biang tokoh sesat
itu berusaha mencecar Andika. Namun dengan
mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa', Andika
mampu membuat Raja Akherat kalang kabut.
Tiba-tiba Raja Akherat melenting ke bela-
kang. Begitu berbalik, dia melesat melarikan diri.
Andika yang tidak ingin membiarkannya lolos un-
tuk kedua kalinya segera mengejar.
Kejar-mengejar antara dua tokoh tinggi di
malam buta itu pun terjadi. Mereka menerobos
hutan dan ilalang tanpa sedikit pun ada hamba-
tan. Raja Akherat yang benar-benar sudah mati
kutu mendadak saja melemparkan suatu benda
sebesar telur burung puyuh ke arah Andika. Un-
tungnya dengan sigap Pendekar Slebor melompat.
Busss...! Dan ketika benda itu terjatuh ke tanah,
menimbulkan asap tebal pekat. Dan ini langsung
membuat pandangan Andika terhalang.
"Brengsek!" maki Andika.
Pendekar Slebor berusaha menajamkan
pandangannya. Namun, Raja Akherat sudah le-
nyap entah ke mana dengan membawa sakit hati
dan dendam untuk kedua kalinya.
Andika kesal bukan main. Untuk kedua
kalinya manusia sesat itu lolos dari tangannya. Bi-la terjadi pertempuran yang
ketiga, Pendekar Slebor tak akan membiarkannya lolos.
Pendekar Slebor kini tiba di Istana Sembi-
lan Iblis. Di sana sosok Lasni sudah menunggu.
Begitu melihat Andika, Lasni yang sudah cemas
ketika melihat Andika mengejar Raja Akherat, berlari memeluknya.
"Oh, Kang Andika.... Kau selamat, Kang?"
tanya gadis itu, mengandung kegembiraan teramat
sangat. "Aku beruntung, karena Tapak Darah ta-hu-tahu muncul. Eh! Ngomong-
ngomong, apa ke-
dua tanganku juga boleh ku lingkarkan di ping-
gangmu?" "Ih...!"
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Alap Alap Laut Kidul 5 Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Undangan Maut 1
^