Kalung Setan 2
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan Bagian 2
Pandangannya begitu kosong, tak terdapat tandatanda kehidupan lagi!" dengus
Andika dalam hati.
Setelah dilihatnya kepala Sumarta mengangguk,
dia segera berkata, "Sumarta, memang tak mungkin rasanya melihat perubahan yang
terjadi terhadap diri adikmu bila tanpa sebab yang sangat berarti. Sekarang,
jawab pertanyaanku. Apakah kau
pernah melihat kalung yang dikenakan adikmu?"
Masih dengan pandangan kosong, Sumarta
menggeleng. "Kau yakin itu?"
Sumarta mengangguk.
"Atau kau tidak tahu karena dia tak pernah
menunjukkannya padamu?"
Kembali Sumarta menggeleng.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembar Kutukan ini tak segera lanjutkan
pertanyaannya. Dia
berharap Sumarta bukan hanya menggeleng atau
mengangguk, tetapi juga memberi jawaban yang
dapat diterimanya.
Kendati agak tidak sabar menunggu, Andika
mencoba bertahan untuk tak lanjutkan tanyanya.
Setelah beberapa lama, dilihatnya Sumarta bergerak. Terlontar kata-katanya, agak
gemetar "Aku
yakin... kalau Sumiati tak pernah memiliki kalung
seperti itu. Dia tak pernah menyembunyikan sesu-
atu dariku. Apapun yang akan atau dilakukannya,
apa pun yang akan atau dimilikinya pasti dia akan
mengatakannya padaku."
"Dan kau melihat kalung itu?"
Sumarta menganggukkan kepalanya, lemah.
Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Kening anak muda dari Lembah Kutukan ini berkerut, dan beberapa lama dia tak
keluarkan suara.
Namun batinnya berkata, "Keanehan yang terjadi pada diri Sumiati, aku menduga
kalau berasal dari kalung yang pancarkan sinar hitam. Dan penjelasan Sumarta menambah jelas
keyakinanku akan hal itu. Kalau memang demikian, kalung
apakah yang mampu membuat seseorang berubah" Dari sikap maupun kekuatannya"
Apakah... monyet pitak! Dari mana sih dia mendapatkan kalung aneh itu?"
Kembali Pendekar Slebor garuk-garuk kepalanya. Wajah tampannya menekuk karena
otaknya mulai dipusingkan pikiran yang singgah.
"Aku harus cari kejelasan dari masalah ini. Tapi, meninggalkan Sumarta yang
seperti kehilangan
pegangan hidup, apakah suatu cara yang terbaik
saat ini" Kutu landak! Seharusnya aku terus berusaha mendapatkan kalung aneh
itu" Tapi ya... lebih baik menyingkir dulu sebelum bahaya menghadang."
Habis berpikir demikian, pemuda berambut
gondrong acak-acakan ini berkata, "Sumarta, aku
punya satu pikiran yang mungkin aneh."
Sumarta hanya memandangnya.
Andika melanjutkan, "Keanehan yang dialami
adikmu itu, menurut dugaanku, dikarenakan oleh
kalung yang pancarkan sinar hitam itu."
Andika melihat kening pemuda yang masih bersandar di bawah pohon itu berkerut.
"Kenapa?" ucapnya tanpa suara.
"Karena ya... sungguh aneh bukan, kalau adikmu mendadak menjadi beringas seperti
itu" Dan dugaanku itu, semuanya dikarenakan oleh kalung
yang melingkar di lehernya. Kalung... Setan. Ya,
Kalung Setan!"
"Kalung Setan?" Sumarta melengak. Tetapi dia
seperti kehilangan pegangannya lagi. "Apakah itu
memang kalung pemberian setan?"
Andika tak menjawab, karena dia sendiri masih
belum bisa menentukan jalan pikirannya lebih jelas.
Sumarta berkata lagi, "Kalau memang itu kalung pemberian setan, apakah kau
berpikir adikku
sedang memuja sesuatu"'"
Andika segera gelengkan kepalanya.
"Tidak! Aku tidak berpikir ke arah sana dan aku
yakin adikmu tidak melakukan hal itu. Yang menjadi pikiranku, kemungkinan besar
dia tak sengaja
menemukan kalung itu. Bukankah sebelumnya
kau kehilangan adikmu?"
Sumarta mengangguk ragu-ragu. "Dan kalung
itu yang membuatnya menjadi beringas?"
"Ini baru dugaan. Tapi, tak ada dugaan lain
yang lebih pantas untuk menjawab keanehan ini.
Sumarta, adikmu telah dikuasai oleh Kalung Setan
yang tentunya akan membahayakan dirinya sendiri. Mungkin juga akan membahayakan
orang lain."
"Apa maksudmu, Andika?"
"Karena dia dikuasai oleh Kalung Setan, kemungkinan besar dia hanya menjadi alat
belaka, Apakah kau lupa kalau Sumiati selalu berbicara
soal darah" Itu berarti, Kalung Setan membutuhkan darah. Entah dengan cara
bagaimana."
Sumarta terdiam beberapa saat. Perasaan pemuda gagah ini sungguh tak menentu.
Bahkan dia agak sedikit terguncang mendengar keterangan
Andika. Kemudian katanya, "Andika... dapatkah kau
menolong adikku dari bahaya yang mengancamnya?"
"Aku akan berusaha."
"Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat sekarang juga untuk mencari adikku,"
kata Sumarta sambil berdiri.
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan maksudku untuk melarangmu ikut. Tapi, sebaiknya kau kembali ke dusun
Gelagah. Maksudku, aku tak ingin penduduk di sana akan
mencari-carimu dan adikmu. Sebaiknya kau kembali ke dusun Gelagah dan
menceritakan nasib
yang menimpa adikmu. Paling tidak, berilah kejelasan pada mereka, untuk
menghindari adikmu
untuk saat ini."
Sumarta hanya tarik napas pendek sambil tundukkan kepala. Perasaannya makin
dibuncah rasa tak tenang. Hatinya sungguh gelisah. Ingin rasanya dia berteriak keras, berlari
menjauh dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya
untuk melampiaskan segala perasaan yang ber-
tumpuk. Tapi itu tak dilakukannya.
Dipandanginya pemuda berpakaian hijau pupus
yang masih berdiri di hadapannya. Cukup lama
hal itu dilakukan sebelum akhirnya membuka mulut,
"Andika, apa yang kau katakan memang benar.
Kendati hatiku agak terpukul mendengar ucapanmu, tetapi aku membenarkannya. Akan
sungguh berbahaya bila seseorang berjumpa dengan Sumiati yang telah dikuasai kalung aneh
itu. Yah, dengan berat hati, aku akan kembali ke dusun Gelagah. Dan mengabarkan
berita buruk ini. Tapi Andika...."
Sumarta memutus kata-katanya. Setelah
menghela napas panjang dia berkata, "Berjanjilah
padaku... untuk menyelamatkan adikku. Aku tahu
kau seorang yang berilmu, dan kuminta, janganlah
kau melukai adikku, Andika. Karena, dia tak tahu
apa yang sedang terjadi pada dirinya...."
Andika menganggukkan kepalanya. "Ya, aku
berjanji padamu. Aku berjanji untuk menjaga
adikmu...."
Sumarta tersenyum, lemah.
"Terima kasih, Andika...," katanya. Setelah melihat anggukan kepala pemuda di
hadapannya, Sumarta segera melangkah meninggalkan tempat
itu. Langkahnya seperti dibebani oleh bandul besi
yang cukup berat. Hati pemuda ini retak tak karuan.
Tinggal Andika yang memandang sosok Sumarta yang terus melangkah. Perasaan anak
muda da- ri Lembah Kutukan ini pun tak enak ketika memikirkan apa yang dijanjikannya pada Sumarta.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sebenarnya. Tapi, aku akan berusaha untuk
menyelamatkan Sumiati...."
Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya. Setelah mengira-ngira arah mana yang
harus ditempuh, anak muda berambut gondrong ini sudah
melangkah ke arah timur.
*** Pada saat yang bersamaan dari balik sebuah
ranggasan semak setinggi dada yang terletak seratus tombak ke timur dari tempat
di mana Andika dan Sumarta berada sebelumnya, terdengar suara
kikikan, disusul dengan tawa diserati dengusan birahi.
"Ih! Geli, geli! Jangan, jangan itu...," suara kikikan tadi diselingi oleh
ucapan-ucapan yang mengembangkan birahi.
"Biar geli, tapi kau suka, kan?" suara seorang
pemuda yang bernada tersekat di tenggorokan terdengar.
"Iya, aku suka, suka sekali. Tapi... ih, jangan di
situ... ah, geli... geli...."
"Masa bodoh, ah!"
Dua remaja yang sedang dimabuk birahi itu
semakin diburu oleh birahi yang tinggi. Saat ini, si
gadis yang bertubuh sintal dengan payudara cukup besar itu mengelinjang tatkala
tangan kekasihnya
menjamah payudaranya. Menekan- nekannya sedikit disertai ucapan,
"Hayo! Bilang sekarang, geli apa nikmat"!"
"Ih! Kau ini, ah!" seru si gadis dengan wajah
memerah, antara malu dan diamuk birahi. Tapi
dibiarkan saja tangan nakal kekasihnya itu bermain-main.
Pakaian biru yang dikenakannya sudah terbuka
di sana-sini. Kain panjang yang dipakainya sudah
tersingkap hingga memperlihatkan bungkahan paha mulus yang gempal. Sementara
itu, kekasihnya
sudah bertelanjang dada, memperlihatkan betapa
bidang dadanya.
Sesekali si pemuda mengecup bibir kekasihnya
yang makin lama makin gelisah. Tiga kejapan mata
kemudian, disingkapnya kain panjang yang dikenakan kekasihnya. Dan mulailah
kedua remaja itu
mereguk apa yang sebenarnya bukan menjadi milik mereka, diperhatikan oleh
burung-burung yang
terbang dan pepohonan yang menjadi saksi bisu.
Dari balik ranggasan semak itu yang kemudian
terdengar hanyalah rintihan, kikikan dan dengusan senang. Mereka terus mengayuh
sampai terhempas di pesisir pantai disertai tarikan napas
panjang. Dua tarikan napas kemudian, keduanya terlentang dengan tubuh polos menghadap
langit. Si gadis rupanya masih memiliki rasa malu. Terburuburu diraih kainnya
untuk tutupi tubuhnya. Si
pemuda hanya melirik sesaat, lalu pejamkan matanya, meresapi apa yang baru saja
diraihnya. Dan keduanya sama-sama tersentak kaget, begitu mendengar suara, "Sejak tadi aku
tak sabar untuk membunuh kalian, menghirup darah kalian!
Tapi, kalian kuberi kesempatan untuk meraih apa
yang kalian inginkan lebih dulu."
Laksana ditarik setan, masing-masing orang segera tegakkan tubuh walau kedua
kaki masih berselonjor.
Dan seperti datangnya bahaya kebakaran, keduanya segera meraih pakaian masing-
masing. Mengenakannya asal saja dengan wajah memerah.
Kejap itu pula si pemuda berdiri tegak. Pandangannya tajam pada seorang gadis
berpakaian putih
agak kusam yang tadi keluarkan suara.
Tatapan gadis itu begitu dingin. Sorotnya pancarkan kematian yang tak bisa
ditahan lagi. "Gadis keparat! Mau apa kau berada di sini,
hah"! Apa urusannya denganmu tentang apa yang
kami lakukan?" hardik si pemuda dengan wajah
masih mendongkol dan malu.
Di lain pihak, kekasihnya sudah tutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak
pernah disangkanya, perbuatan yang telah tiga kali mereka lakukan akan diketahui
orang. Kendati si gadis tak mengenal siapa adanya gadis yang menegur itu, biar
bagaimanapun juga dia
merasa malu. "Meskipun aku tak punya urusan dengan apa
yang telah kalian perbuat, tapi aku mencium darah segar! Darah yang bisa
membuatku bertahan
lebih lama."
Sepasang mata si pemuda mendelik gusar. Napasnya mendengus-dengus, masih tersisa
sebagian birahinya. Dengan gusar tangannya menuding dis-
ertai bentakan,
"Pergi dari sini! Atau, kau akan menyesal!!"
Gadis berpakaian putih agak kusam yang tak
lain Sumiati adanya, menatap tajam. Kalung yang
dikenakannya mendadak saja keluarkan sinar hitam yang agak redup.
"Manusia-manusia keparat yang berani menantang Kalung Setan! Lebih baik kau
mampus!!" Si pemuda bukanlah sebangsa orang pengecut.
Dia termasuk orang yang berani. Apalagi perbuatan yang telah dilakukannya
bersama kekasihnya,
perbuatan yang sudah tentu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, diketahui orang lain. Makanya, dia tak dapat lagi kuasai
amarahnya. "Ketimbang kau akan menjadi duri, lebih baik
kau yang kubunuh!!" bentaknya meradang.
Kejap itu pula dia melompat kedepan dengan
kedua tangan siap mencengkeram leher gadis yang
melingkar kalung yang pancarkan sinar hitam. Gerakan yang dilakukan si pemuda
hanyalah sebuah
naluri saja. Dia yakin kalau kedua tangannya akan
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat mencengkeram leher si gadis. Dan dia tak
akan menyesal membunuh orang yang memergoki
perbuatannya. Kedua tangannya memang berhasil mencengkeram leher si gadis. Saat itu pula dia
berusaha untuk mencekiknya kuat-kuat. Tetapi si gadis hanya
tenang-tenang saja, sementara sepasang matanya
menatap tajam. Di lain pihak, gadis yang masih mengenakan
pakaiannya asal saja, palingkan kepala. Dia terkejut melihat betapa kekasihnya
sedang berusaha
untuk membunuh gadis yang menegur mereka.
"Kang Surya! Jangan, jangan kau lakukan itu
Kang!" serunya keras sambil memburu.
Pemuda yang bernama Surya tak menghiraukannya. Hatinya sudah direjam kemarahan.
Dia makin menambah tenaganya untuk dapat mematahkan leher gadis yang masih berdiri
tegak dengan tatapan makin dingin.
Kekasihnya menjadi cemas. Dia berkata terburu-buru, "Kang Surya! Hentikan!
Hentikan!"
"Diam kau, Darsih! Gadis celaka ini harus
mampus!!" desis Surya keras dengan suara makin
sengau. Keringat telah mengaliri sekujur tubuhnya. Tenaganya hampir terkuras.
Dan tatkala menyadari kalau dia belum berhasil
mematahkan leher gadis di hadapannya, dia menjadi tersentak sendiri. Untuk
beberapa saat pemuda ini seperti melupakan maksudnya.
"Gila! Aku bukan hanya tak dapat mematahkan
lehernya, tetapi dia sedikit pun nampak tak kesakitan!" makinya dalam hati dan
dikerahkan seluruh tenaganya untuk menjalankan maksud.
Sumiati hanya memandang dingin. Sinar hitam
yang terpancar dari kalungnya makin kuat.
Mendadak terdengar suara Sumiati dingin, kejam dan tebarkan hawa kematian, "Aku
tak ingin berlama-lama lagi!"
Hanya itu ucapan yang terdengar, karena mendadak saja sinar hitam yang terpancar
dari bandul kalung yang dikenakannya melesat ke arah jantung Surya.
Si pemuda seketika tersentak, sebelum, kelojo-
tan laksana disengat listrik. Lain halnya dengan si
pemuda, lain halnya dengan Darsih.
"Oh! Kang Surya! Kau kenapa, Kang" Kau kenapa"!" serunya panik. Lalu dengan
kalap dia menerjang ke arah Sumiati, "Gadis celaka! Siapa kau
sebenarnya, siapa kau"!"
Tetapi sinar hitam yang terpancar dari kalung
Sumiati terpecah menjadi dua. Dan langsung masuk tepat ke jantung Darsih yang
kini mengalami hal yang sama dengan kekasihnya.
Sementara kedua orang itu sedang meregang
nyawa, Sumiati memejamkan matanya. Kepalanya
agak sedikit diangkat. Layaknya orang orgasme,
Sumiati nampak agak menggigil penuh nikmat.
Lima kejapan mata berikutnya, sinar-sinar hitam itu lepas dari jantung dua orang
korbannya yang seketika jatuh menggelosoh dengan dada bolong! Seluruh kulit kedua orang
itu memucat dan
tanpa darah! Sumiati masih berada dalam sikap seperti orang
mabuk. Lidahnya beberapa kali menjilat bibirnya.
Lalu terdengar ucapannya, "Menyenangkan, sangat menyenangkan...."
Tanpa mempedulikan kedua korbannya yang telah menjadi mayat, Sumiati
meninggalkan tempat
itu. Kalau sebelumnya kalung yang dikenakannya
pancarkan sinar hitam, kali ini nampak percikan
sinar merah laksana darah.
*** 7 Andika yang sore harinya tiba di tempat itu, harus kerutkan kening saat meneliti
keadaan dua sosok tubuh yang dilihatnya.
"Landak dungu! Siapa orang yang telah lakukan
tindakan keji seperti ini"!" desisnya setelah memeriksa kedua mayat itu
bergantian. Dan anak muda
ini terkejut tatkala melihat kalau di balik pakaian
yang dikenakan kedua mayat itu, dalam keadaan
polos. "Kutu monyet! Rupanya habis asyik nih! Tapi ya... siapa sih yang tega
berbuat kayak begini"!"
Anak muda dari Lembah Kutukan ini gelenggelengkan kepalanya. Dan mendadak saja
keningnya berkerut. Sepasang matanya menatap tajam
tak berkedip pada mayat-mayat itu.
"Edan! Menilik bau hangus jantung masingmasing orang yang masih tercium, aku
yakin kalau rentang waktu kematiannya dengan kedatanganku tak terlalu lama.
Tapi, bagaimana bisa darahnya secepat ini mengering" Ini tak masuk akal.
Darah masing-masing orang seperti telah tersedot!
Tersedot" Kadal buntung! Masa iya sih tersedot"
Siapa yang nyedot"!"
Menggeleng-geleng pemuda berambut gondrong
acak-acakan ini. Dan dia kembali meneliti kedua
mayat itu. Sekarang makin diyakininya kalau darah pada kedua mayat itu mengering
sama sekali. Dengan kata lain, kedua mayat itu tak memiliki
darah sama sekali!
"Monyet pitak! Siapa orang yang suka nyedot
darah" Kalau nyedot susu sih enak!" habis ucapannya yang terakhir si urakan ini
cengar-cengir sendirian. Dan berkata sendirian pula, "Jangan
ngeres. Maksudku susu kambing."
Diperhatikannya kembali kedua mayat itu sebelum akhirnya dia memutuskan untuk
segera menguburkannya. Pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan ini hanya membutuhkan waktu
singkat untuk menguburkan kedua mayat itu.
Tak ada napas terengah yang terdengar. Tak
ada keringat yang keluar.
"Rupanya, ada orang yang suka nyedot darah!
Orang yang suka... hei!!" memutus kata-katanya
sendiri, Pendekar Slebor terdiam. Sejurus kemudian terlihat wajahnya menekuk
persis orang yang
telat buang hajat.
Lalu desisnya terbata, "Apakah ini ada hubungannya dengan Kalung Setan" Bukankah
saat itu kudengar Sumiati yang telah dipengaruhi Kalung
Setan, meminta darah. Darah" Ya, ya! Darah! Sial!
Apakah ini perbuatan Sumiati yang telah dikuasai
Kalung Setan" Laknat! Sungguh laknat!!"
Anak muda urakan ini memaki-maki tak karuan. Hatinya menjadi geram bukan
kepalang. Untuk beberapa saat dia masih merasa dibaluri kemarahan tinggi.
"Kerbau bunting! Aku harus segera menemukan
Sumiati! Teror yang akan diturunkannya sudah jelas kalung setan akan
membahayakan siapa pun
juga! Ah, urusan jadi panjang!!"
Pemuda urakan ini tarik napas panjang. Ketegangan yang menjabani pikirannya
membayang- kan teror yang akan diturunkan oleh Kalung Setan
dengan perantara Sumiati, makin membuatnya tak
enak. Ditindih rasa tidak enaknya itu dengan pikiran pada hal-hal yang
menggembirakan.
"Ketimbang jadi kambing dungu, lebih baik kuteruskan perjalanan saja."
"Ya! Kau benar, anak muda! Sebaiknya kau teruskan perjalanan saja, karena toh
tidak akan ada yang mengetahui perbuatan celakamu itu!" satu
suara keras yang menggema tanda orang yang
bersuara kerahkan tenaga dalamnya, menyelinap
di gendang telinga Pendekar Slebor.
Serta-merta anak muda ini hentikan langkahnya. Sejurus kemudian, dilihatnya satu
sosok tubuh berpakaian putih tipis telah berdiri sejarak delapan langkah dari
tempatnya. Kehadiran perempuan jelita berpakaian putih
tipis yang memperlihatkan bentuk tubuh serta
payudaranya yang tak tertutup apa-apa lagi,
membuat anak muda urakan itu kerutkan kening
untuk beberapa saat.
Di lain pihak, perempuan jelita yang diperkirakan berusia sekitar empat puluh
tahun, pentangkan senyum. Bibir tipisnya yang memerah sungguh memancing
perhatian siapapun yang melihatnya. terutama kaum laki-laki. Apalagi tatkala
lidahnya dengan gerakan merangsang, menjilati bibirnya. Mata perempuan berhidung
mancung dan berkulit putih mulus ini, pancarkan sinar bening
yang mengandung daya tarik yang kuat.
"Busyet!" desis Andika dalam hati sambil garukgaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Tidak salah
nih" Aku berjumpa dengan bidadari atau sebangsa
penunggu tempat ini?"
Perempuan berpakaian putih panjang yang tipis
itu maju tiga tindak ke muka. Saat melangkah, terlihat pakaian panjangnya yang
terbelah hingga
pangkal paha, memperlihatkan bungkahan mulus
dan gempal paha miliknya.
Glek! Tanpa sadar Pendekar Slebor menelan ludah.
"Kutu monyet! Bisa teler nih kalau aku terus
menerus melihat paha yang mulus itu" Dadanya...
wah, wah! Seperti kelapa, bulat dan menantang.
Cihui banget nih sebenarnya! Tapi, siapa sih perempuan ini" Dan apa maksud
ucapannya tadi?"
Sambil coba menahan gemuruh hatinya dari
pemandangan indah yang sukar untuk dilewati, si
Urakan pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini berkata, "Perempuan cekap! Kau ini siapa ya"
Muncul begitu saja tanpa diketahui! Juga, aku tak
mengerti dengan ucapanmu barusan?"
Perempuan itu pamerkan senyumnya.
Mau copot rasanya jantung Andika melihat senyuman yang benar-benar merangsang
itu (Untungnya, jantung anak muda urakan ini ditempel
pakai power glue, jadi nggak copot betulan deh!
Apa coba")
"Pemuda tampan...," desis si perempuan, suaranya mendayu-dayu, penuh rangsangan
kuat. "Mengapa kau bertanya seperti itu" Seharusnya
kau tanyakan pada dirimu sendiri, mengapa kau
membunuh kedua orang yang telah kau kuburkan?"
Sampai surut satu tindak anak muda berpakaian hijau pupus itu mendengar ucapan
orang. Sesaat dia melotot pada si perempuan sebelum
mendengus dalam hati,
"Enaknya ngomong! Jadi dipikirnya aku yang
telah membunuh kedua remaja yang sepertinya
habis ehm-ehm itu" Kutu landak!"
Kemudian katanya, "Kau pikir, aku yang telah
membunuh kedua orang itu?"
Si perempuan terkikik, suaranya tetap penuh
rangsangan. "Di tempat ini, hanya kita berdua. Aku sendiri
baru datang. Sementara kau sudah sejak tadi.
Bahkan, aku melihat kau yang menguburkan kedua mayat itu. Apakah ini belum jelas
sebagai bukti?" "Monyet pitak! Ucapannya bikin aku tak sabar
untuk menjitak kepalanya! Tapi ya sayang. Perempuan ini begitu cantik. Kalau ada
benjol di jidatnya, jadi lucu dong!" kata Andika dalam hati. Lalu
berkata, "Kau salah besar bila menuduhku seperti
itu. Aku juga baru tiba di sini dan sudah dihadapankan pada dua sosok tubuh yang
menjadi mayat. Apakah kau...."
"Terlepas dari apakah kau yang membunuh keduanya atau tidak, aku tak peduli!"
desis si perempuan penuh rangsangan. Dengan gerakan tak
kentara, dia gerakkan kedua bahunya. Hingga
payudaranya yang besar dan sangat jelas pada
pandangan Andika karena tak mengenakan pelapis
apa-apa selain pakaian tipis yang dikenakannya,
bergoyang lembut.
Lagi-lagi anak muda berambut gondrong acakacakan ini menelan ludahnya. Dan
tatkala menyadari sesuatu dia mendengus.
"Landak bau! Jelas sekali kalau dia coba pengaruhiku dengan tindakan lembut yang
sama sekali tak kentara. Dan kurasakan kalau ada pesona
magis yang mencoba menarikku dalam lingkarannya."
Merasakan ada yang tidak beres, perlahanlahan Andika alirkan hawa murninya agar
tak terkena pengaruh pesona yang sedang dilepaskan si
perempuan. Terlihat paras si perempuan agak melengak sedikit. Pandangannya yang penuh
rayuan itu mendadak menyorot tajam.
"Aneh!" desisnya dalam hati, "Mengapa mendadak saja kurasakan ada hawa yang
menolak pancaran mata gaibku untuk mengikatnya. Pemuda
yang nampaknya jenaka dan sedikit urakan ini
berwajah tampan. Sangat sayang bila kulewatkan
kesempatan untuk mendapatkannya. Aku tak peduli apakah memang dia yang telah
membunuh kedua orang itu atau bukan. Yang penting... akan
kutambah pesona mata gaibku biar dia tahu rasa."
Lalu sambil berbicara, perempuan berambut hitam indah dan panjang ini kerahkan
pancaran mata gaibnya.
Di seberang, Andika nampak terkesiap. Seluruh
darahnya seperti menggumpal pada kepala. Ada
dorongan kuat yang seperti memaksanya untuk
mendekati perempuan itu.
Namun begitu menyadari kalau keadaan ini tak
wajar, Andika mendengus.
"Brengsek! Apa sih yang sebenarnya dilakukan
dan diinginkan perempuan itu" Kok nampaknya
dia berusaha keras memaksaku untuk masuk pada pesonanya" Brengsek betul! Yang
kayak begini, harus diberi pelajaran."
Sambil terus kerahkan hawa murninya, anak
muda urakan ini berkata sambil kerahkan tenaga
dalamnya, "Perempuan berpakaian putih tipis! Kita
tak saling kenal sebelumnya. Dan aku... ya, tak ingin kenal siapa kau
sebenarnya. Apakah tidak lebih baik kita berpisah saja di sini?"
"Berpisah?" si perempuan tersenyum lembut.
"Untuk apa kita berpisah" Bukankah kita bisa melewati hari ini dengan satu
kenikmatan?"
"Wah, wah! Omongannya sedap betul" Enak juga sih kalau sekali-sekali kurasakan
apa yang ditawarkannya" Soalnya, aku belum pernah melakukannya. Tapi ya... mbok
jangan dulu. Dosa. Tidak baik. Lagi pula, mana bisa aku menikmatinya
dengan perempuan seperti ini."
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu sambil nyengir, Pendekar Slebor berkata,
"Kenikmatan bagaimana nih?"
Si perempuan makin tersenyum, "Kau akan tahu nanti. Atau, sebenarnya kau berlaku
bodoh?" "Wah!" Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Aku tidak tahu tuh."
"Kau pandai memancing, Anak muda."
"Aku tak memiliki kail dan umpan."
"Tubuh dan parasmu menjanjikan hal itu."
"Kalaupun kulakukan, bukan, kau ikan yang
akan kutangkap."
Tak ada suara yang keluar. Paras si perempuan
mendadak mengkelap. Pandangannya menjadi tajam. Terlebih lagi tatkala menyadari
kalau sejak tadi anak muda itu masih dapat bertahan. Tak
terkena pengaruh apa-apa dari pesona gaib pancaran matanya.
"Kurang ajar! Ucapannya benar-benar melecehkanku! Tak pernah kulakukan tindakan
seperti ini sebelumnya! Dan siapa pun orangnya, tanpa kucoba untuk memikatnya, akan bersedia
menjadi budakku demi nafsu sesaat! Kurang ajar! Siapa
pemuda ini sebenarnya?"
Sementara si perempuan membatin geram, Andika justru kelihatan tenang-tenang
saja. Dia tahu betul kalau ucapannya menyinggung perasaan si
perempuan. Tapi baginya, apa yang ada di hadapannya ini bukanlah sesuatu yang
menarik, kecuali sebenarnya ingin mengetahui siapa adanya
orang. Keheningan itu dipecahkan oleh suara si perempuan, agak geram, "Kau benar-benar
telah memancing amarahku, Pemuda celaka! Baik! Kau
harus pertanggung jawabkan perbuatan terkutukmu yang telah membunuh kedua orang
itu!" "Lagi-lagi dia menyinggung soal itu. Dan jelas
kalau sebelumnya dia memang berada di sini.
Mungkin hanya melihat saat aku mengubur kedua
mayat yang entah siapa adanya. Menilik keadaan
ini, jelas kalau dia memiliki ilmu yang cukup tinggi. Karena, aku tak menyadari
kehadirannya. Monyet bau!"
Di seberang, si perempuan kembangkan se-
nyumnya. "Sekarang... bersiaplah untuk mampus! Kecuali...."
"Kecuali apa?" tanya Andika langsung.
"Ada dua pilihanmu. Pertama, melewati kenikmatan bersamaku. Kedua, menjawab
pertanyaanku."
Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Lalu dengan suara agak sewot dia berkata, "Ya jelas aku pilih yang kedua!
Enaknya memberi pilihan seperti itu!"
Si perempuan nampak berusaha untuk tindih
amarahnya. Terlihat dari gerakan matanya yang
dicoba untuk tetap bersinar jernih.
"Bila kau dapat menjawab pertanyaanku, maka
kau akan bebas," katanya seperti memancing Andika untuk mempertimbangkan
keputusannya. Dan ini membuat Andika menjadi jengkel. "Kok
betul-betul enak dia bicara! Dipikirnya aku akan
terpengaruh ucapannya" Brengsek!" makinya dalam hati dan berkata agak menyentak,
"Cepat deh
kalau kau mau bicara!"
Si perempuan tersenyum, "Pertama, siapakah
kau adanya?"
"Aku?" Andika menunjuk dirinya sendiri. "Aku
ya aku. Namaku Andika."
"Sebutkan julukanmu dan dari mana asalmu?"
"Julukanku Pangeran Tampan dari Kayangan.
Asalku... ya, dari Kayangan."
Si perempuan nampak tidak percaya. Tetapi dia
sepertinya tak mau ambil peduli.
"Pertanyaanku berikutnya, kenalkah kau den-
gan seorang kakek berpakaian merah yang berjuluk Datuk Merah?"
Kali ini Andika kerutkan keningnya. Untuk beberapa saat dia masih coba untuk
rangkaikan pertanyaan si perempuan. Kemudian katanya, "Kakek
berjuluk Datuk Merah" Tidak, aku tidak mengenalnya. Siapakah kakek itu?"
"Aku yang bertanya!!" mendadak saja menggelegar suara si perempuan. Rupanya dia
sudah tak dapat menahan amarahnya lagi melihat sikap santai pemuda di hadapannya. "Dan
satu hal yang perlu kau ketahui, bila kau tak bisa mengatakan di
mana Datuk Merah berada, maka kau akan mampus di tanganku!"
Sebenarnya Andika sudah tak sabar untuk
memberi pelajaran pada si perempuan. Namun
pemuda tampan ini masih bisa menahan amarahnya.
Sambil tertawa kecil dia berkata, "Ah, kau ini.
Rupanya termasuk golongan orang pemarah juga"
Ya jelas aku tahu di mana Datuk Merah berada.
Tapi ya... kenapa sih kau menanyakannya" Apa
kau ingin minta duit buat jajan ya?"
"Jangan banyak tanya! Katakan, di mana kakek
itu berada"!"
Asal menyahut saja Andika berkata, "Di mana
lagi kalau bukan di Jurang Trah Gering"!"
Mendengar jawaban si pemuda, perempuan
berpayudara besar itu kerutkan keningnya. Sejurus kemudian dia berkata, "Jurang
Trah Gering"
Ada urusan apa dia di tempat itu?"
"Masa kau tidak tahu sih" Ya jelas dia sedang
menunggumu di Jurang Trah Gering."
"Oh! Benarkah?" sahut si perempuan dengan
pancaran mata penuh bahagia. Bibirnya mengulas
senyum ceria. Andika yang tak menyangka akan melihat perubahan wajah yang menjadi gembira itu,
sesaat menjadi keheranan.
"Busyet! Perempuan ini benar-benar sukar ditebak apa maunya. Kok dia jadi
seperti anak kecil
yang diberi gula-gula?" desisnya dalam hati.
Didengarnya lagi suara si perempuan yang agak
memburu, "Apa, apa lagi yang dikatakannya?"
"Katakan apa?" Andika berlagak tidak tahu, padahal dia tengah memikirkan mengapa
sikap si perempuan berubah tatkala dia mengatakan tentang
orang yang ditanya. Padahal sungguh mati, mengenal julukannya saja baru
sekarang! "Tentang diriku!" sahut si perempuan makin tak
sabar. Andika sengaja tak buka mulut. Diperas otaknya untuk menjabarkan sebab-sebab si
perempuan begitu gembira.
"Jelas sekali kalau sebenarnya perempuan berpayudara besar ini sedang mencari
orang berjuluk Datuk Merah. Mencari dalam arti bukan sebagai
musuh, melainkan... mungkin sebagai kekasihnya.
Terbukti sikapnya yang begitu bergembira. Hem,
ketimbang dia jadi urusanku sebaiknya kuteruskan saja ucapanku."
Lalu sambil tersenyum, si Urakan ini berkata,
"O... soal itu. Dia begitu tak sabar hendak bertemu
denganmu. Katanya, kau adalah perempuan yang
paling dicintainya dan paling cantik sedunia."
Paras si perempuan memerah.
"Benar dia berkata begitu?"
Andika mengangguk sambil acungkan jcmpolnya.
"Ah, kekasihku... sebentar lagi kita akan bertemu. Katakan, katakan di mana
Jurang Trah Gering berada?"
"Wah! Kalau dari sini, aku tak begitu paham.
Tapi ya... kau silakan saja menuju ke barat."
"Ya, ya... aku akan ke barat!" sahut si perempuan tetap dengan bibir semringah.
Habis ucapannya, perempuan berpakaian putih
tipis ini segera berkelebat.
Andika berseru, "Hei! Aku belum tahu siapa kau
adanya"!"
"Panggil aku dengan sebutan Dayang Gunung
Putih!" sahut si perempuan dan dalam dua kejapan mata berikutnya, sosoknya telah
lenyap dari pandangan. Andika geleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh! Sikapnya tadi penuh rangsangan, buaian
sekaligus kemarahan. Tapi setelah mendengar tentang Datuk Merah yang sama sekali
tak kuketahui siapa dia adanya sikapnya jauh berubah. Hem,
tentunya dia adalah kekasih orang berjuluk Datuk
Merah yang sudah sekian lama tak berjumpa. Atau
karena dia sudah ngebet buat ehm-ehm?"
Andika nyengir sendiri membayangkan katakata yang diucapkannya terakhir.
"Masa bodoh, ah! Itu kan urusannya! Urusanku
adalah mencari Sumiati yang telah dikuasai Ka-
lung Setan. Dan nampaknya urusan tentang Kalung Setan belum berkembang, karena
terbukti belum ada orang yang mencari benda itu. Tapi paling
tidak, aku yakin teror Kalung Setan akan semakin
banyak memakan korban.",
Setelah tarik napas pendek, anak muda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera berkelebat ke arah timur.
Meninggalkan tempat itu yang seketika lembah
direjam sepi. Meninggalkan dua gundukan makam
orang-orang yang terkena teror Kalung Setan.
*** 8 Senja yang terus memayungi dan siap menjemput sang ratu malam, pun menggayuti
suasana di Jurang Trah Gering. Datuk Merah yang masih berusaha meneruskan pencariannya
terhadap Kalung Setan namun belum juga menemukan tandatanda yang berarti,
hentikan pencariannya.
Paras kakek berwajah tirus ini sudah dibuncah
kegeraman tinggi. Hatinya begitu mangkel.
"Terkutuk! Sejak tadi pagi aku mengitari tempat
celaka ini, tapi belum juga mendapatkan Kalung
Setan! Jahanam sial! Nasibku memang sedang sial!"
Datuk Merah meneruskan umpatannya dengan
kemarahan yang tak terkira. Tatkala teringat pada
Datuk Biru, kemarahan itu rasanya sudah tak bisa
ditahan lagi. "Akan kubunuh dia! Akan kubunuh dia!!" desisnya megap-megap dengan tangan
terkepal. Setelah sebelumnya, semalaman dia berharap
Datuk Biru akan muncul kembali di tempat di
mana sebelumnya dia melihat Datuk Biru berada,
Datuk Merah langsung putuskan untuk segera turun ke Jurang Trah Gering tatkala
matahari sudah pancarkan bias-biasnya di ufuk timur. Karena, dia
merasa Datuk Biru sudah mengambil jalan lain
untuk tiba di Jurang Trah Gering.
Mencari sesuatu yang tidak diketahui tempatnya memang bukanlah perbuatan yang
menyenangkan. Tetapi kakek berwajah tirus ini tak mau
menyerah. Keinginannya untuk mendapatkan Kalung Setan dan tak mau didahului oleh
Datuk Biru memperkeras tekadnya. Dan dia berharap, dapat
kembali melihat Datuk Biru di Jurang Trah Gering.
"Jahanam! Apakah aku harus bermalam di
tempat celaka ini"!" makinya dengan tatapan dingin pada satu tempat. "Huh! Sejak
pagi hingga senja di mana tempat ini cukup diberi penerangan
oleh sinar matahari, aku belum juga dapat menemukan Kalung Setan. Apalagi bila
malam hari"
Keparat! Sungguh perbuatan sia-sia yang kulakukan ini!!"
Kendati mulutnya berbunyi tak karuan, namun
Datuk Merah tak segera tinggalkan tempat itu. Matanya dipicingkan ke berbagai
arah. Pertama, untuk menangkap isyarat dari Kalung Setan yang diyakininya akan
memancarkan sinar hitam hingga
dapat dijadikan sebagai patokan di mana kalung
itu berada. Kedua, mencari bayangan Datuk Biru
yang sangat diharapkannya.
Setelah beberapa lama tak mendapatkan apa
yang diinginkannya, Datuk Merah segera melangkah kembali. Matanya terus dibuka
lebih lebar. Malam pun akhirnya memayungi sekitar Jurang
Trah Gering, bertepatan dengan mata Datuk Merah tertuju pada sebuah gubuk yang
agak terhalang oleh sebuah pohon.
Untuk beberapa saat kakek berpakaian merah
ini terdiam tanpa melanjutkan langkahnya.
"Hemm, ada sebuah gubuk di sini. Gubuk siapakah itu" Dari sini nampaknya cukup
nyaman untuk dijadikan sebagai tempat beristirahat. Paling
tidak, tempat itu akan kupergunakan untuk menunggu pagi kembali."
Memutuskan demikian, Datuk Merah segera
melangkah mendekati gubuk yang bukan lain milik Sumarta. Diperhatikan sesaat
tempat itu. Setelah diyakini tak seorang pun yang berada di sana,
kakek berpakaian merah ini segera masuk.
"Hem, tempat yang lumayan untuk beristirahat," desisnya. Hanya sekali lompat
tanpa timbulkan suara, dia sudah duduk di atas dipan yang
ada di dalam gubuk itu.
Ditarik napas dan dihembuskannya perlahan.
Datuk Merah memutuskan untuk bersemadi sejenak.
Perlahan-lahan dikosongkan pikirannya dan
kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Namun baru saja dia lakukan, pendengarannya
yang tajam menangkap suara berkelebat.
Menegak kepala kakek berwajah tirus ini. "Dari
gerakannya, jelas kalau gerakan itu tak mungkin
ditimbulkan oleh hewan tempat ini. Gerakan itu
adalah gerakan seseorang yang memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi,"
desisnya dalam hati. Dan kegeramannya mendadak saja muncul.
"Keparat! Siapa lagi kalau bukan Datuk Biru"!"
makinya dan saat itu pula dia melompat keluar.
Pandangannya menyapu tempat yang telah diliputi kegelapan. Dipicingkannya mata
untuk menangkap bayangan orang.
Tiga kejapan mata kemudian, dia melihat
bayangan putih berkelebat ke arahnya.
Kening Datuk Merah berkerut.
"Bayangan putih" Rasanya... orang itu bukanlah Datuk Biru. Agar jelas semuanya,
sebaiknya kutunggu orang itu sampai mendekat."
Dengan kedua kaki sedikit dibuka dan tangan
disedekapkan di depan dada, Datuk Merah menunggu dengan mata tetap dipicingkan.
Di lain pihak, bayangan putih yang berkelebat tadi juga sudah melihat sosoknya,
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kejap itu pula si bayangan putih hentikan kelebatannya.
"Dari tempat ini, aku agak samar untuk melihat
siapa adanya orang yang berdiri di depan gubuk
itu. Tapi menurut pemuda berpakaian hijau pupus, aku bisa menemukan Datuk Merah
di Jurang Trah Gering. Dan dari orang yang kutanyakan,
tempat inilah yang dinamakan Jurang Trah Gering. Biar kucoba keberuntunganku
sekarang."
Memutuskan demikian, si bayangan putih per-
lahan-lahan mendekat. Dari jarak enam langkah
mendadak saja dia berseru, "Kekasih!"
Telinga Datuk Merah menegak sesaat. Sejurus
kemudian dia berseru, "Dayang Gunung Putih!"
Si bayangan putih yang bukan lain adalah perempuan jelita berpakaian putih tipis
yang memperlihatkan bentuk tubuh indahnya, segera melompat mendekat dengan
pekikan gembira. Dia
langsung merangkul kakek berpakaian merah itu."
"Kekasih... ke mana saja kau selama ini?" desisnya penuh kerinduan sambil
menciumi paras keriput Datuk Merah.
Di lain pihak, Datuk Merah sendiri menyambut
kehadiran perempuan itu dengan gembira. Bahkan
sambil tertawa-tawa senang dia membalas merangkul dan menciumi si perempuan yang
dari tubuhnya menebarkan aroma merangsang.
"Hahaha... tak kusangka akan berjumpa lagi
denganmu, Kekasih!" desisnya dan tangannya
dengan liar menjamah serta meremas payudara
besar milik Dayang Gunung Putih, yang sedikit
menggelinjang namun hanya membiarkan saja.
"Bawa aku ke surga, Kekasih... bawa aku segera...," desisnya sambil menggeliat.
Datuk Merah yang sedang jengkel karena belum
juga menemukan Kalung Setan dan jejak Datuk
Biru kembali, sambil tertawa segera membopong
tubuh lembut yang menggairahkan itu. Saat dia
mengangkat tubuh Dayang Gunung Putih, pakaian
panjang si perempuan yang terbuka hingga pangkal paha terbuka turun dan
memperlihatkan sesuatu yang membuat dada Datuk Merah makin ber-
debar tak menentu.
Tanpa membuang waktu lagi, dia segera masuk
ke gubuk dan merebahkan tubuh Dayang Gunung
Putih ke atas dipan. Lalu mulailah dia mencium
serta meraba apa yang ada di hadapannya. Terdengar suara mengikik penuh
kerinduan dan rangsangan dari mulut Dayang Gunung Putih.
Dan yang terdengar kemudian, hanyalah suara
merintih dan napas mendengus-dengus. Ditemani
malam yang dingin dan suara hewan-hewan malam, keduanya terus berpacu untuk tiba
di pantai terakhir. Waktu bergulir perlahan-lahan seiring dengan
tarikan napas panjang. Sampai akhirnya terdengar
suara Datuk Merah agak terengah,
"Tak kusangka... kita akan bertemu lagi."
"Ya, ya... dan aku sangat rindu padamu. Kau
tak pernah lagi memberi kabar padaku. Kau langsung pergi setelah perjumpaan kita
dulu...." Terdengar suara Dayang Gunung Putih yang memejamkan matanya.
Tubuhnya yang polos dibiarkan terbuka. Napasnya agak turun naik hingga
payudaranya yang
besar bergoyang lembut.
Tangan kurus Datuk Merah menjamah payudara si perempuan sebelah kanan.
Meremasnya lembut hingga terdengar desisan Dayang Gunung Putih.
"Kau selalu pandai memberi kepuasan kepadaku," desisnya sengau. "Itulah
sebabnya, aku tak
bisa bertahan lama bila tidak bersamamu...."
"Bukankah kau bisa mencari pemuda atau lela-
ki lain untuk memuaskan nafsumu?" ucap Datuk
Merah tanpa ada rasa cemburu sedikit pun.
Dayang Gunung Putih membuka matanya.
Mengerling genit dan berkata, "Ah, kau membuatku tidak enak. Biarpun aku
melakukannya, tetapi
aku tak pernah mendapatkan apa yang kudapatkan bila bersamamu...."
Datuk Merah tertawa dan bangkit mengenakan
pakaiannya lagi.
"Kau hendak ke mana?" tanya Dayang Gunung
Putih sambil duduk di atas dipan. Tubuhnya yang
polos laksana mutiara yang bersinar indah. Berpijar bagaikan terkena sinar
redup. Datuk Merah melirik sejenak. Ada keinginan
untuk mengulangi lagi apa yang didapatkannya.
Namun keinginan untuk mendapatkan Kalung Setan kembali muncul. Membuatnya
melupakan untuk bersemadi dan meninggalkan sesaat kenikmatan yang baru
diraihnya. Kepalanya menggeleng.
"Aku tidak ke mana-mana."
"Lantas, mengapa kau mengenakan pakaianmu" Bukankah biasanya kita melakukan
sampai beberapa kali?"
Datuk Merah tersenyum. "Sudah tentu iya."
Tangan lembut Dayang Gunung Putih menggapai lembut bahunya.
"Sekarang, mengapa kau tidak melakukannya
lagi?" "Masih ada waktu lain."
"Mengapa?"
Kali ini pandangan Datuk Merah menajam. Ada
kemuakan yang mendadak muncul melihat sikap
perempuan yang tak pernah puas ini. Biar bagaimanapun juga, Datuk Merah bukanlah
orang yang dapat diperbudak nafsu. Tidak seperti si perempuan.
Tetapi, dia tak lontarkan umpatan. Malah berkata, "Karena... aku masih punya
sedikit urusan."
Kendati wajahnya menyiratkan kekecewaan,
namun Dayang Gunung Putih tersenyum. Perempuan ini sangat mencintai Datuk Merah.
Bahkan dia akan melakukan apa saja demi kepuasan
orang yang dicintainya.
Bila menilik jauhnya perbedaan usia antara dirinya dengan Datuk Merah, tak
seharusnya Dayang Gunung Putih memiliki sikap seperti itu.
Tetapi ya namanya cinta"
Tanpa mengenakan pakaiannya kembali dia
berkata, "Bila kau tak keberatan, maukah kau
menceritakan tentang urusanmu itu?"
Datuk Merah terdiam, hanya matanya yang
memandangi perempuan jelita di hadapannya.
"Kesaktian perempuan ini cukup tinggi. Dan dia
juga memiliki kepatuhan yang luar biasa terhadapku. Tak mungkin dia jauh-jauh ke
tempat ini untuk mencariku, bila dia tidak mencintaiku. Apakah... hei, dari mana dia tahu
aku berada di sini?"
Merasa heran dengan keadaan itu, Datuk Merah
lontarkan pertanyaannya yang disahuti Dayang
Gunung Putih sambil tersenyum, "Seorang pemuda tampan bernama Andika mengatakan
semua ini. Bahkan dia mengatakan, kalau kau merindukanku. Apakah kau benar
merindukanku?"
Datuk Merah tak segera menjawab. Malah keningnya berkerut.
"Pemuda bernama Andika" Siapa dia" Apa yang
dimaksudnya" Rasa-rasanya... aku belum mengenal pemuda itu. Tapi, bagaimana dia
bisa tahu aku berada disini" Dan ucapan Dayang Gunung
Putih tadi, pemuda itu mengatakan kalau aku merindukan perempuan ini" Bah!
Urusan apa lagi ini!
Kalaupun aku mau, karena aku membutuhkan pelampiasan terhadapnya!"
Tetapi sudah tentu Datuk Merah tak ungkapkan
apa yang menjadi keheranannya. Malah sambil
tertawa dan meraba payudara yang terbuka menantang itu dia berkata, "Sudah tentu
aku sangat merindukanmu."
"Oh! Aku harus berterima kasih pada pemuda
itu!" desis Dayang Gunung Putih sambil merangkul Datuk Merah.
Kendati perasaannya mulai diliputi kejengkelan,
tetapi Datuk Merah membiarkan saja tubuhnya dirangkul seperti itu.
Setelah beberapa saat, dia baru berkata, "Bukankah kau hendak mendengar
urusanku?"
Perlahan-lahan Dayang Gunung Putih lepaskan
rangkulannya. Sambil tersenyum dia berkata,
"Apakah aku harus berpakaian saat mendengarkan ceritamu, atau polos seperti
ini?" Datuk Merah mendengus dalam hati.
"Kenakan pakaianmu."
Sementara Dayang Gunung Putih kenakan lagi
pakaiannya yang sebenarnya tak bisa untuk tutup
tubuhnya. Datuk Merah menceritakan apa yang
sedang dilakukannya. Paling tidak, kakek berwajah tirus ini berharap, agar
kiranya Dayang Gunung Putih dapat membantunya. Atau tepatnya,
dijadikan sebagai kaki tangannya untuk tuntaskan
urusan. "Kalung Setan?" desis Dayang Gunung Putih selesai si kakek bercerita. "Kalung
apakah itu" Aku
baru kali ini mendengarnya?"
"Kau pikirkanlah tentang sebuah benda sakti
yang sangat hebat. Tetapi yang harus kau pikirkan
sekarang, adalah mencari Datuk Biru untuk dibunuh. Kakek keparat itu telah
melukai perasaanku!"
kata Datuk Merah sengit.
"Bukankah kalian bersahabat?"
"Lain dulu lain sekarang! Aku ingin melihatnya
mampus dengan tubuh tak terbentuk!"
Dayang Gunung Putih merangkul si kakek dengan penuh kebahagiaan dan kerinduan.
"Tak perlu kau cemaskan soal itu. Tak lama lagi, kakek keparat itu akan mampus,
Kekasih!" desisnya.
Memang itulah yang diharapkan oleh Datuk Merah.
"Hem, bagus. Memang tak kusangka kalau aku
akan bertemu dengannya. Dan tak kusangka pula
kalau dia masih mencariku. Hem, cinta perempuan ini padaku memang besar."
Kendati hatinya berkata demikian, tetapi mulutnya berbunyi, "Aku tak ingin
melibatkanmu dalam urusan ini sebenarnya."
"Jangan merasa berat hati, Kekasih. Untukmu,
aku akan melakukan apa saja. Tak terkecuali
membunuh Datuk Biru."
Datuk Merah tersenyum dalam hati. Tetapi dia
memasang wajah menolak "Tidak usah. Biar aku
yang...." Tangan lembut Dayang Gunung Putih telah menekap mulutnya. Sambil tersenyum dia
berkata, "Jangan berkata begitu. Kau akan melihat bukti
dari ucapanku."
Datuk Merah mengangguk-angguk. Di otaknya
telah terpikir satu rencana yang menurutnya sangat matang.
"Kalau begitu... apakah kau bersedia menjalankan rencanaku?" tanyanya kemudian.
Lalu buruburu menyambung, "Tetapi aku tak akan marah
bila kau menolaknya."
"Kekasih... sejak semula kau tentunya tahu bukan, kalau aku bersedia melakukan
apa saja untukmu. Tak perlu kau memikirkan hal-hal lain.
Katakan padaku, apa rencanamu."
Datuk Merah memandang perempuan di hadapannya, yang segera menganggukkan
kepalanya. Dengan hati dibuncah tawa membahana, Datuk
Merah menceritakan semua rencananya. Bahkan
dia menyinggung tentang Andika.
"Apa hubungannya dengan pemuda bernama
Andika?" tanya Dayang Gunung Putih di sela-sela
Datuk Merah menceritakan segala rencananya.
"Aku ingin tahu, sebenarnya dia berpihak pada
siapa," kata Datuk Merah yang merasa yakin kalau
dia tidak mengenal atau pernah bertemu dengan
pemuda bernama Andika. Dan yang dikhawatirkannya, kalau pemuda itu adalah orang
Datuk Bi- ru. Mendengar cerita Dayang Gunung Putih sebelumnya, Datuk Merah yakin kalau
pemuda itu bukan orang sembarangan.
Di lain pihak, Dayang Gunung Putih tak segera
buka mulut. Diperhatikannya Datuk Merah dengan seksama.
Lalu dia ajukan tanya, "Siapakah sebenarnya
pemuda itu?"
Datuk Merah buru-buru berkata, "Seperti pengakuannya. Dia adalah sahabatku."
"Mengapa kau mencurigainya?"
"Dalam suasana seperti ini, sepatutnya kita
mencurigai orang yang belum kita kenal secara
akrab. Kau paham maksudku, bukan?"
Dayang Gunung Putih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia bertekad untuk memperlihatkan
bukti atas cintanya pada kakek berpakaian merah
ini. Lalu sambil tertawa, dia membuka lagi pakaiannya, "Apakah kau akan melewati
malam dengan segala rencana dan udara dingin seperti itu?"
Datuk Merah menyambutnya sambil tertawa
dan merebahkan kembali tubuh montok Dayang
Gunung Putih. *** 9 Malam terus merambat dengan segala dingin
dan gelisah alam. Dan kegelisahan itu pun dirasa-
kan oleh seorang lelaki berjubah putih panjang.
Wajahnya nampak agak menegang. Pikirannya melayang dan yang merasuk hanyalah
hal-hal yang tak menyenangkan.
"Aneh," desisnya tanpa mengubah duduknya
dari sebuah batu berbentuk altar. Anehnya, dia
berada di .sebuah tempat yang terbuka. Membiarkan tubuhnya didera dingin dan
kesunyian. Hanya
hewan-hewan malam yang menemaninya. "Mengapa malam ini kurasakan lain dari
malam-malam sebelumnya" Apakah akan ada sesuatu yang terjadi, atau hanya perasaanku saja
yang mengatakan demikian?"
Lelaki berwajah bijak kelimis ini tarik napas
pendek. Rambutnya yang hitam panjang tertiup
angin, hingga makin tak beraturan.
Pandangannya dibawa ke depan, menatap kegelapan semata. Jauh dari tempatnya,
terdapat hutan yang sangat lebat. Lelaki ini picingkan matanya. "Tak ada sesuatu
yang nampak di pelupuk
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mataku selain kegelapan. Tapi rasa gelisah makin
membesar di hatiku. Pertanda apakah ini?"
Lelaki berjuluk Pendekar Kebajikan ini kembali
tarik napas pendek. Dua puluh tahun yang lalu,
julukannya sangat dikenal orang sebagai pendekar
yang banyak membela kebenaran. Tindak tanduknya begitu santun dan tak sekali pun
dia pernah mengucapkan kata-kata kasar.
"Apakah kegelisahanku ini pertanda dia akan
datang?" desisnya lagi. Menyusul kepalanya digeleng-gelengkan. "Tidak. Tak
mungkin dia akan datang sekarang. Aku sangat tahu kalau dia selalu
meninggikan perjanjian yang telah diucapkan. Masih ada waktu satu purnama lagi
untuk tuntaskan
urusan lama. Kalau bukan dia yang datang, lantas
mengapa perasaanku kian gelisah?"
Pendekar Kebajikan terdiam kembali. Mulutnya
dirapatkan. Di angkasa, timbunan awan hitam tak
bergeser dari tempatnya. Menghalangi sinar rembulan yang menjadi redup.
Sejarak seratus tombak dari kirinya, terdapat
sebuah dusun permai yang asri dan damai. Namun malam ini, petaka telah
mendatangi dusun
itu. Seorang gadis jelita berpakaian putih agak kusam, telah datang dan menteror
seisi dusun itu
dengan sinar-sinar hitam yang meluncur dari kalung yang dikenakannya.
Dusun yang tenang itu pun tertimbun gelombang teriakan dan jeritan. Banyak
korban berjatuhan. Beberapa orang masih berusaha menyelamatkan diri, keluarga
dan sebagian hartanya. Namun mereka menerima nasib naas karena gadis jelita itu
tak memberi ampun lagi.
Hanya dalam waktu singkat saja, dusun itu telah porak poranda dengan mayat
bergeletakan. Beberapa mayat tewas dengan tubuh memucat
tanda darahnya telah mengering.
Sementara si gadis yang tak lain adalah Sumiati
yang telah dikuasai oleh Kalung Setan, segera meninggalkan dusun yang telah
dihancurkannya sambil terkikik panjang.
Kembali ke tempat luas di mana sosok Pendekar
Kebajikan masih duduk dengan dibuncah pikiran,
lelaki berjubah putih itu tetap berpikir keras untuk
mencari kejelasan dari pikirannya yang benarbenar gelisah.
"Tak seperti biasanya keadaanku seperti ini.
Apakah memang akan terjadi sesuatu yang buruk?" desisnya lagi. Lalu dia menghela
napas panjang. "Dua puluh tahun aku hidup di padang ini
tanpa gangguan apa pun. Bahkan tak pernah terlintas sebuah kegelisahan seperti
saat ini. Dan kalaupun sekarang perasaanku makin tak enak, jelas
ini pertanda buruk. Apakah memang dia yang
akan datang?"
Lagi-lagi Pendekar Kebajikan mencoba memikirkan kemungkinan demi kemungkinan.
"Walau dia selalu menepati janji, bisa jadi dia
sudah tak sabar untuk bangkitkan kembali persoalan lama. Tapi, apakah memang ini
penyebabku gelisah?"
Angin malam terus berhembus dingin, membelai
seluruh tubuhnya dan membuat jubahnya sedikit
berkibar-kibar.
Mendadak saja dengan gerakan yang tak terlihat, tahu-tahu sosok lelaki berjubah
putih ini sudah berdiri di atas tanah. Kali ini pandangannya
dibawa berkeliling.
"Ketimbang aku diperbudak oleh rasa gelisahku,
lebih baik aku segera menyelidik. Sudah cukup
lama aku berada di sini dan sudah saatnya untuk
menengok dunia luar."
Tetapi dia tak segera lakukan maksud. Justru
dia menimbang-nimbang lagi apa yang akan dilakukannya.
Dua kejapan mata kemudian terlihat kepalanya
mengangguk-angguk.
"Sudah saatnya bagiku untuk tinggalkan tempat
ini. Kalaupun dia datang sekarang, bukan salahku
karena tak menyambut atau menyalahi janji. Karena, masih ada waktu satu purnama
mendatang untuk tuntaskan segala urusan," katanya pasti.
Namun kejap itu pula dia mendesis, "Tapi, apakah
ini perlu kulakukan?"
Dipikirkannya lagi keputusannya itu. Ditimbangkan baik-baik sampai terlihat dia
anggukkan kepala. "Satu purnama mendatang, aku akan kembali
ke tempat ini."
Memutuskan demikian, dengan membawa rasa
gelisahnya, Pendekar Kebajikan segera melangkah
meninggalkan padang itu. Tanpa sekali pun berpaling.
Tepat matahari sudah sepenggalan, Pendekar
Slebor hentikan langkahnya disebuah jalan setapak. Untuk sesaat anak muda
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini perhatikan sekelilingnya.
Kejap kemudian dia berkata sambil garuk-garuk
kepalanya, "Aku masih penasaran untuk mengetahui siapa sesungguhnya Dayang
Gunung Putih"
Sebelumnya, nampak sekali kalau dia coba pengaruhku dengan pesona gaibnya yang
memang sangat sulit ditepiskan. Tapi ya... setelah kujawab pertanyaannya, kok
dia seperti anak kecil ya" Kenapa
ya" Kenapa?"
Tak tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri,
Andika nyengir.
"Mungkin orang berjuluk Datuk Merah itu memang kekasihnya, dan dia sudah lama
tak berjumpa dengan kekasihnya. Dooo... begitu bersemangatnya" Tapi ya... kalau
soal cinta sih, semua
orang juga akan begitu. Cuma aku sajakah yang
tidak begitu. Apa ini... huh! Siapa orangnya yang
mau denganku, sih"!"
Makin lebar cengiran di bibir anak muda berpakaian hijau pupus ini.
"Bodoh betul kalau gadis-gadis tidak mau denganku yang tampan bin keren kayak
begini!" Dari cengirannya tadi, Andika mendadak tertawa keras. Merasa lucu dengan
ucapannya sendiri.
Dan mendadak saja tawanya terhenti, tatkala
angin timur bergerak ke arahnya. Kejap itu pula
nampak cuping hidungnya bergerak-gerak karena
mencium bau yang tidak sedap, bau yang terbawa
angin. "Busyet! Bau apa ini?" desisnya dengan kening
berkerut. "Kayak bau bangkai! Tapi bangkai apa
yang baunya sangat menyengat" Di sekelilingku
hanya terdapat ranggasan semak belukar dan pepohonan. Tak ada tanda-tanda ada
bangkai di sini" Jangan-jangan...."
Anak muda urakan ini garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Kejap kemudian dia mendengus,
"Landak mati! Bau busuk yang terbawa angin ini
datangnya dari arah timur! Berarti... ada bangkai
di sana! Dan rasanya... bukan bangkai hewan! Melainkan... mayat manusia!"
Pendekar Slebor sampai surut satu tindak sete-
lah tiba pada kesimpulan pikirannya. Untuk beberapa saat dia masih termangu
memikirkan kemungkinan itu.
Lalu desisnya terbata, "Jangan-jangan... mayatmayat itu dibunuh oleh Sumiati
yang telah dikuasai Kalung Setan" Tapi ya... aku tak boleh ambil
kesimpulan langsung seperti itu. Bisa jadi kalau
bau busuk yang kemungkinan berasal dari mayatmayat disebabkan karena wabah
penyakit. Wah! Bisa-bisa aku yang akan kena penyakit!"
Tapi wabah penyakit atau bukan, Andika sudah
berkelebat ke arah timur untuk membuktikan dugaannya. Dan pemuda tampan ini
harus menggeram keras dengan rahang merapat tatkala melihat
apa yang ada dihadapannya.
"Terkutuk! Terkutuk! Siapa orang yang telah lakukan pembantaian keji seperti
ini"!" desisnya
dengan mata membeliak lebar. Hawa amarah
mendadak saja naik ke ubun-ubunnya membuatnya tak melakukan tindakan apa-apa.
Bahkan dia sampai lupa untuk menahan napas dari bau busuk yang menyengat!
Lalu hati-hati Andika melangkah, melewati satu
mayat ke mayat lain. Dan dia kembali menggeram
setelah melihat beberapa mayat yang tewas dengan
tubuh memucat. "Menilik keadaan ini, tak bedanya dengan dua
sosok mayat yang kulihat sebelumnya. Dan ini jelas perbuatan Sumiati yang telah
dikuasai Kalung
Setan! Celaka tujuh belas setengah! Seperti apa
yang kukhawatirkan, kalau Kalung Setan itu akan
lepaskan teror! Terkutuk! Terkutuk!!"
Untuk beberapa saat Andika masih dibawa kemarahan di hatinya. Tangan anak muda
ini mengepal kuat. Matanya menatap liar mayat-mayat itu
satu persatu. "Monyet pitak! Bila terus menerus seperti ini,
apa jadinya kehidupan ini kelak" Aku harus hentikan tindakan kejam Kalung
Setan!" Masih dibawa rasa amarahnya, Andika mengumpulkan mayat-mayat itu dengan hati
nelangsa. Nuraninya seperti disayat-sayat menyaksikan keadaan di hadapannya.
''Aku harus hentikan tindakan Sumiati! Harus,
kendati apa pun yang terjadi!!" desisnya geram.
Dan dengan gerakan yang sangat cepat, Andika
merubuhkan rumah-rumah yang berada di sana,
untuk dijadikan sebagai kuburan mayat-mayat
yang berserakan.
Suara gegap gempita saat itu pula terdengar, diiringi teriakan-teriakan geram
Pendekar Slebor.
Cukup lama dia melakukan tindakan seperti itu,
sampai semua mayat-mayat yang ada di sana tertindih reruntuhan rumah, dan
menjadi kuburan
teraneh yang pernah terjadi.
Ditarik napasnya dalam-dalam, dihapus keringatnya dengan punggung tangannya.
"Jalan satu-satunya untuk hentikan tindakan
kejam Sumiati, adalah dengan cara merebut Kalung Setan! Entah kalung siapa itu
sebenarnya dan masih kupikirkan, mengapa kalung itu bisa mempengaruhi orang" Jelas ini ada
rahasianya! Dan
aku bertekad untuk memecahkan rahasia itu!"
Dengan napas masih megap-megap, Andika
mencoba memikirkan apa yang masih menjadi
tanda tanya. Namun dia tak bisa menemukan jalan keluar dari pikirannya. Dan ini
membuatnya sangat gemas bukan main!
"Kerbau bunting! Orang utan! Berpikir terus
menerus akan membuang waktu! Bisa jadi Sumiati
akan terus lancarkan teror mengerikannya!!"
Andika coba tenangkan jalan pikirannya. Diatur
napasnya setenang mungkin. Setelah pikiran jernihnya hinggap kembali di
benaknya, diperhatikan
gundukan bangun rumah yang telah hancur dan
menimbun mayat-mayat yang tadi dikumpulkannya.
"Aku harus bergerak cepat sebelum terlambat.
Dua kali aku telah kecolongan. Mungkin, bukan
hanya dua kali. Tetapi entah sudah beberapa kali,
karena aku tak mengetahuinya! Monyet pitak!
Akan kujitak kepala Sumiati!"
Habis mendesis demikian, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur
ini, segera balikkan tubuh. Kejap itu pula dihentikan langkahnya dengan kepala
menegak. Pandangannya lurus pada satu sosok tubuh
berjubah putih yang telah berdiri sejarak sepuluh
langkah dari tempatnya!
*** 10 Sebelum Andika terbebas dari keterkejutannya,
orang yang telah berdiri di hadapannya sudah
membuka mulut, "Kesabaran adalah jenjang terbaik baik seseorang untuk lakukan
satu tindakan. Karena dengan kesabaran, maka akan tersimpan
nurani kebaikan yang dapat mempertimbangkan
segala perbuatan. Anak muda, dari paras wajahmu, aku melihat kalau kau berada
dalam kegeraman. Apakah kau sudah memikirkan tindakanmu
selanjutnya?"
Di tempatnya Andika masih terdiam. Pandangannya masih tertuju pada lelaki
berjubah putih yang barusan buka suara.
"Dari ucapannya, jelas kalau dia orang baikbaik. Dan dari cara munculnya yang
tak kuketahui, jelas kalau dia bukanlah orang sembarangan.
Hem, siapa dia sebenarnya?"
Lalu sambil nyengir, si Urakan ini berkata,
"Wah! Memang betul tuh apa yang kau katakan!
Aku memang sedang geram! Tapi sekarang sudah
tidak lagi, kok. Ngomong-ngomong... ini kalau kau
tidak keberatan ya, boleh aku tahu siapa kau
adanya" Sebangsa jin atau orang" Kok aku tidak
tahu kau datang ke sini sih?"
Lelaki berjubah putih yang bukan lain Pendekar
Kebajikan adanya tersenyum. Angin pagi mengibarkan jubah bagian bawahnya.
"Cara bicara pemuda ini sungguh jenaka, terkandung sedikit kekonyolan yang
sebenarnya dapat memancing tawa. Dan nampaknya dia cepat
sekali berubah. Tadi kulihat dia masih dilingkupi
kegeraman, tetapi sekarang sudah bersikap seperti
itu. Jelas kalau sifat jenaka adalah sifat aslinya."
Habis berkata demikian, Pendekar Kebajikan
berkata, "Bila kau ingin tahu siapa aku adanya,
panggil aku dengan sebutan Pendekar Kebajikan."
"Sebuah julukan yang mulia. Dan sudah barang
tentu orang-orang rimba persilatan tak akan menjulukinya seperti itu bila dia
bukan orang bijak,"
kata Andika dalam hati. Lalu katanya, "Pendekar
Kebajikan, sangat senang berkenalan denganmu.
Tapi ya... aku tak bisa berlama-lama di sini, karena masih ada urusan lain."
Kembali Pendekar Kebajikan tersenyum.
"Aku pun tak bisa berlama-lama di tempat ini,
karena aku juga mempunyai satu urusan. Dan
kau sudah mengetahui siapa aku adanya. Apakah
tidak sebaiknya kau sebutkan siapa dirimu?"
Kali ini Andika garuk-garuk kepalanya sambil
nyengir. "Namaku Andika," sahutnya singkat.
"Dari cara berpakaianmu dan gerakan kedua
kaki yang nampak sangat ringan, aku yakin kau
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan orang kebanyakan. Siapakah julukanmu?"
Cengiran Andika makin lebar.
"Wah! Kalau itu sih tidak usah saja, deh, Tapi
ya... aku ini memang tergolong orang baik-baik,
lho. Jadi kukatakan saja. Cuma kau jangan anggap terlalu serius ya" Karena aku
tidak se slebor
yang orang duga."
Justru terdengar ucapan Pendekar Kebajikan,
"Dan tentunya kau berasal dari Lembah Kutukan,
bukan?" "Lho! Kok tahu" Wah! Tidak nyangka nih kalau
aku begitu ngetop!"
"Dan kau dikenal dengan julukan Pendekar Slebor."
"Tapi jangan anggap aku slebor ya" Tidak lho!
Kalaupun slebor ya... cuma sedikitlah."
Pendekar Kebajikan tersenyum. "Kendati dua
puluh tahun aku berdiam di Padang Sunyi, tetapi
julukan Pendekar Slebor telah sampai ke telingaku
akhir-akhir ini. Sungguh tak kusangka kalau dia
masih sedemikian muda. Sebenarnya, aku tidak
tahu siapa pemuda di hadapanku ini bila dia tidak
mengatakan tentang masalah kesleborannya. Dan
rupanya, yang menjadi kegelisahanku adalah peristiwa mengerikan yang terpampang
di hadapanku."
Habis membatin demikian, Pendekar Kebajikan
berkata, "Anak muda... siapakah orang yang telah
melakukan pembantaian ini?"
Mendengar pertanyaan orang, sesaat kemarahan Andika naik kembali. Tapi segera
ditindihnya dan sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dia menceritakan apa yang
telah terjadi. "Kalung Setan... baru kali ini kudengar ada
benda mengerikan seperti itu. Apakah kau tidak
salah?" Andika menggeleng.
"Aku pernah menyaksikan kekejaman Kalung
Setan yang telah mempengaruhi seorang gadis tak
berdosa, yang membuatnya menjadi sekejam setan
dan memiliki kesaktian yang luar biasa."
"Berbahaya."
"Ya, sangat berbahaya."
"Lantas... di manakah gadis malang bernama
Sumiati itu berada sekarang?"
Andika menggeleng.
"Aku tak punya gagasan lain di mana gadis itu
berada kecuali dia akan terus turunkan teror demi
teror yang mengerikan. Kalung Setan merupakan
sebuah benda yang sangat jahat. Dan tak akan
pernah mengenal kata puas."
Pendekar Kebajikan terdiam dan mengeluh dalam hati.
"Rupanya, aku memang terlalu lama berdiam di
Padang Sunyi. Dan pikiranku hanya terpusat pada
dia yang akan datang menuntut balas. Pada kenyataannya, rimba persilatan saat
ini sedang dikacaukan oleh sebuah benda bernama Kalung Setan,
yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi sekejam iblis," kata Pendekar
Kebajikan dalam
hati. Lalu sambil pandangi pemuda berpakaian hijau
pupus di hadapannya dia berkata, "Pendekar Slebor... aku mungkin termasuk salah
seorang yang tak pernah membiarkan kejahatan merajalela. Beri
tahu padaku ciri gadis itu dan Kalung Setan."
Andika segera menerangkannya. Kemudian
sambungnya, "Terima kasih bila kau hendak lakukan tindakan seperti itu. Dan
kuharap, kau masih
bisa memberi belas kasihan pada gadis itu...."
"Sudah tentu yang akan kurebut adalah kalung
celaka yang telah menyesatkan gadis itu."
Andika mengangguk-anggukkan kepala. Pandangannya lekat pada Pendekar Kebajikan.
"Hem, lelaki gagah ini termasuk salah seorang
yang pandai menyembunyikan sesuatu. Namun
kendati dia lakukan hal itu, dari sorot matanya
aku menangkap kilasan kalau dia sendiri sedang
ada masalah. Seperti yang dikatakannya sebelumnya. Apakah aku perlu menanyakan
soal itu?"
Andika terdiam beberapa saat sebelum memutuskan untuk bertanya."
Pendekar Kebajikan hanya tersenyum mendengar pertanyaan Andika. Masih tersenyum
dia berkata, "Apa yang kau katakan tadi memang benar.
Saat ini ada persoalan yang berkutat di benakku.
Tapi, apakah pantas bila ku kemukakan persoalanku ini yang akan menjadi
pikiranmu?"
"Cara dia berucap sungguh santun sekali. Ah,
tidak enak rasanya karena telah lancang campuri
urusannya," kata Andika dalam hati. Lalu buruburu berkata, "Maafkan sikapku
tadi." "Tak jadi masalah. Apakah tidak sebaiknya kita
berpisah di sini?"
Andika menganggukkan kepalanya. "Ya. Dan
sebelumnya, aku ucapkan terima kasih karena
kau mau memikul sebagian bebanku."
Pendekar Kebajikan tersenyum.
"Aku bukanlah ahli meramal. Tapi aku bisa
mengatakan, kalau kelak, urusanmu bukan hanya
terpusat pada masalah Kalung Setan. Melainkan,
ada masalah besar yang akan kau hadapi."
"Kutu loncat! Ucapannya membuatku jadi penasaran. Tapi masa bodoh ah, besar atau
kecil urusan yang akan menghadangku, toh akan kuhadapi
juga." Habis membatin demikian Andika berkata,
"Mudah-mudahan, kelak kita akan berjumpa lagi."
Tetap tersenyum Pendekar Kebajikan angguk-
kan kepala. Kejap kemudian dia sudah berkelebat
meninggalkan tempat itu, diantar oleh pandangan
Andika. Setelah sosok lelaki gagah berjubah putih lenyap dari pandangannya, Andika tarik
napas pendek. "Kerbau bunting! Kok aku jadi makin penasaran
sih" makinya dalam hati. "Apa maksud ucapan
Pendekar Kebajikan tadi" Masalah besar" Masalah
apa ya?" Sesaat anak muda urakan ini terdiam sebelum cengengesan sendiri,
"Jangan-jangan... masalah karena aku belum makan kali ya" Perutku
sudah keroncongan! Huh! mendingan cabut ah,
sembari mencari makanan!"
Memutuskan demikian, Andika segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Sejarak
dua puluh tombak dia berlalu dari dusun yang telah dikacaukan Kalung Setan mendadak saja
anak muda ini hentikan langkahnya.
Lima langkah di hadapannya, telah berdiri seorang kakek berwajah tirus dan
berpakaian merah!
SELESAI ikuti kelanjutan serial ini:
MALAIKAT KEADILAN
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Wanita Gagah Perkasa 13 Dewa Arak 24 Pertarungan Raja-raja Arak Pedang Sinar Emas 17
Pandangannya begitu kosong, tak terdapat tandatanda kehidupan lagi!" dengus
Andika dalam hati.
Setelah dilihatnya kepala Sumarta mengangguk,
dia segera berkata, "Sumarta, memang tak mungkin rasanya melihat perubahan yang
terjadi terhadap diri adikmu bila tanpa sebab yang sangat berarti. Sekarang,
jawab pertanyaanku. Apakah kau
pernah melihat kalung yang dikenakan adikmu?"
Masih dengan pandangan kosong, Sumarta
menggeleng. "Kau yakin itu?"
Sumarta mengangguk.
"Atau kau tidak tahu karena dia tak pernah
menunjukkannya padamu?"
Kembali Sumarta menggeleng.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembar Kutukan ini tak segera lanjutkan
pertanyaannya. Dia
berharap Sumarta bukan hanya menggeleng atau
mengangguk, tetapi juga memberi jawaban yang
dapat diterimanya.
Kendati agak tidak sabar menunggu, Andika
mencoba bertahan untuk tak lanjutkan tanyanya.
Setelah beberapa lama, dilihatnya Sumarta bergerak. Terlontar kata-katanya, agak
gemetar "Aku
yakin... kalau Sumiati tak pernah memiliki kalung
seperti itu. Dia tak pernah menyembunyikan sesu-
atu dariku. Apapun yang akan atau dilakukannya,
apa pun yang akan atau dimilikinya pasti dia akan
mengatakannya padaku."
"Dan kau melihat kalung itu?"
Sumarta menganggukkan kepalanya, lemah.
Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Kening anak muda dari Lembah Kutukan ini berkerut, dan beberapa lama dia tak
keluarkan suara.
Namun batinnya berkata, "Keanehan yang terjadi pada diri Sumiati, aku menduga
kalau berasal dari kalung yang pancarkan sinar hitam. Dan penjelasan Sumarta menambah jelas
keyakinanku akan hal itu. Kalau memang demikian, kalung
apakah yang mampu membuat seseorang berubah" Dari sikap maupun kekuatannya"
Apakah... monyet pitak! Dari mana sih dia mendapatkan kalung aneh itu?"
Kembali Pendekar Slebor garuk-garuk kepalanya. Wajah tampannya menekuk karena
otaknya mulai dipusingkan pikiran yang singgah.
"Aku harus cari kejelasan dari masalah ini. Tapi, meninggalkan Sumarta yang
seperti kehilangan
pegangan hidup, apakah suatu cara yang terbaik
saat ini" Kutu landak! Seharusnya aku terus berusaha mendapatkan kalung aneh
itu" Tapi ya... lebih baik menyingkir dulu sebelum bahaya menghadang."
Habis berpikir demikian, pemuda berambut
gondrong acak-acakan ini berkata, "Sumarta, aku
punya satu pikiran yang mungkin aneh."
Sumarta hanya memandangnya.
Andika melanjutkan, "Keanehan yang dialami
adikmu itu, menurut dugaanku, dikarenakan oleh
kalung yang pancarkan sinar hitam itu."
Andika melihat kening pemuda yang masih bersandar di bawah pohon itu berkerut.
"Kenapa?" ucapnya tanpa suara.
"Karena ya... sungguh aneh bukan, kalau adikmu mendadak menjadi beringas seperti
itu" Dan dugaanku itu, semuanya dikarenakan oleh kalung
yang melingkar di lehernya. Kalung... Setan. Ya,
Kalung Setan!"
"Kalung Setan?" Sumarta melengak. Tetapi dia
seperti kehilangan pegangannya lagi. "Apakah itu
memang kalung pemberian setan?"
Andika tak menjawab, karena dia sendiri masih
belum bisa menentukan jalan pikirannya lebih jelas.
Sumarta berkata lagi, "Kalau memang itu kalung pemberian setan, apakah kau
berpikir adikku
sedang memuja sesuatu"'"
Andika segera gelengkan kepalanya.
"Tidak! Aku tidak berpikir ke arah sana dan aku
yakin adikmu tidak melakukan hal itu. Yang menjadi pikiranku, kemungkinan besar
dia tak sengaja
menemukan kalung itu. Bukankah sebelumnya
kau kehilangan adikmu?"
Sumarta mengangguk ragu-ragu. "Dan kalung
itu yang membuatnya menjadi beringas?"
"Ini baru dugaan. Tapi, tak ada dugaan lain
yang lebih pantas untuk menjawab keanehan ini.
Sumarta, adikmu telah dikuasai oleh Kalung Setan
yang tentunya akan membahayakan dirinya sendiri. Mungkin juga akan membahayakan
orang lain."
"Apa maksudmu, Andika?"
"Karena dia dikuasai oleh Kalung Setan, kemungkinan besar dia hanya menjadi alat
belaka, Apakah kau lupa kalau Sumiati selalu berbicara
soal darah" Itu berarti, Kalung Setan membutuhkan darah. Entah dengan cara
bagaimana."
Sumarta terdiam beberapa saat. Perasaan pemuda gagah ini sungguh tak menentu.
Bahkan dia agak sedikit terguncang mendengar keterangan
Andika. Kemudian katanya, "Andika... dapatkah kau
menolong adikku dari bahaya yang mengancamnya?"
"Aku akan berusaha."
"Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat sekarang juga untuk mencari adikku,"
kata Sumarta sambil berdiri.
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan maksudku untuk melarangmu ikut. Tapi, sebaiknya kau kembali ke dusun
Gelagah. Maksudku, aku tak ingin penduduk di sana akan
mencari-carimu dan adikmu. Sebaiknya kau kembali ke dusun Gelagah dan
menceritakan nasib
yang menimpa adikmu. Paling tidak, berilah kejelasan pada mereka, untuk
menghindari adikmu
untuk saat ini."
Sumarta hanya tarik napas pendek sambil tundukkan kepala. Perasaannya makin
dibuncah rasa tak tenang. Hatinya sungguh gelisah. Ingin rasanya dia berteriak keras, berlari
menjauh dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya
untuk melampiaskan segala perasaan yang ber-
tumpuk. Tapi itu tak dilakukannya.
Dipandanginya pemuda berpakaian hijau pupus
yang masih berdiri di hadapannya. Cukup lama
hal itu dilakukan sebelum akhirnya membuka mulut,
"Andika, apa yang kau katakan memang benar.
Kendati hatiku agak terpukul mendengar ucapanmu, tetapi aku membenarkannya. Akan
sungguh berbahaya bila seseorang berjumpa dengan Sumiati yang telah dikuasai kalung aneh
itu. Yah, dengan berat hati, aku akan kembali ke dusun Gelagah. Dan mengabarkan
berita buruk ini. Tapi Andika...."
Sumarta memutus kata-katanya. Setelah
menghela napas panjang dia berkata, "Berjanjilah
padaku... untuk menyelamatkan adikku. Aku tahu
kau seorang yang berilmu, dan kuminta, janganlah
kau melukai adikku, Andika. Karena, dia tak tahu
apa yang sedang terjadi pada dirinya...."
Andika menganggukkan kepalanya. "Ya, aku
berjanji padamu. Aku berjanji untuk menjaga
adikmu...."
Sumarta tersenyum, lemah.
"Terima kasih, Andika...," katanya. Setelah melihat anggukan kepala pemuda di
hadapannya, Sumarta segera melangkah meninggalkan tempat
itu. Langkahnya seperti dibebani oleh bandul besi
yang cukup berat. Hati pemuda ini retak tak karuan.
Tinggal Andika yang memandang sosok Sumarta yang terus melangkah. Perasaan anak
muda da- ri Lembah Kutukan ini pun tak enak ketika memikirkan apa yang dijanjikannya pada Sumarta.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sebenarnya. Tapi, aku akan berusaha untuk
menyelamatkan Sumiati...."
Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya. Setelah mengira-ngira arah mana yang
harus ditempuh, anak muda berambut gondrong ini sudah
melangkah ke arah timur.
*** Pada saat yang bersamaan dari balik sebuah
ranggasan semak setinggi dada yang terletak seratus tombak ke timur dari tempat
di mana Andika dan Sumarta berada sebelumnya, terdengar suara
kikikan, disusul dengan tawa diserati dengusan birahi.
"Ih! Geli, geli! Jangan, jangan itu...," suara kikikan tadi diselingi oleh
ucapan-ucapan yang mengembangkan birahi.
"Biar geli, tapi kau suka, kan?" suara seorang
pemuda yang bernada tersekat di tenggorokan terdengar.
"Iya, aku suka, suka sekali. Tapi... ih, jangan di
situ... ah, geli... geli...."
"Masa bodoh, ah!"
Dua remaja yang sedang dimabuk birahi itu
semakin diburu oleh birahi yang tinggi. Saat ini, si
gadis yang bertubuh sintal dengan payudara cukup besar itu mengelinjang tatkala
tangan kekasihnya
menjamah payudaranya. Menekan- nekannya sedikit disertai ucapan,
"Hayo! Bilang sekarang, geli apa nikmat"!"
"Ih! Kau ini, ah!" seru si gadis dengan wajah
memerah, antara malu dan diamuk birahi. Tapi
dibiarkan saja tangan nakal kekasihnya itu bermain-main.
Pakaian biru yang dikenakannya sudah terbuka
di sana-sini. Kain panjang yang dipakainya sudah
tersingkap hingga memperlihatkan bungkahan paha mulus yang gempal. Sementara
itu, kekasihnya
sudah bertelanjang dada, memperlihatkan betapa
bidang dadanya.
Sesekali si pemuda mengecup bibir kekasihnya
yang makin lama makin gelisah. Tiga kejapan mata
kemudian, disingkapnya kain panjang yang dikenakan kekasihnya. Dan mulailah
kedua remaja itu
mereguk apa yang sebenarnya bukan menjadi milik mereka, diperhatikan oleh
burung-burung yang
terbang dan pepohonan yang menjadi saksi bisu.
Dari balik ranggasan semak itu yang kemudian
terdengar hanyalah rintihan, kikikan dan dengusan senang. Mereka terus mengayuh
sampai terhempas di pesisir pantai disertai tarikan napas
panjang. Dua tarikan napas kemudian, keduanya terlentang dengan tubuh polos menghadap
langit. Si gadis rupanya masih memiliki rasa malu. Terburuburu diraih kainnya
untuk tutupi tubuhnya. Si
pemuda hanya melirik sesaat, lalu pejamkan matanya, meresapi apa yang baru saja
diraihnya. Dan keduanya sama-sama tersentak kaget, begitu mendengar suara, "Sejak tadi aku
tak sabar untuk membunuh kalian, menghirup darah kalian!
Tapi, kalian kuberi kesempatan untuk meraih apa
yang kalian inginkan lebih dulu."
Laksana ditarik setan, masing-masing orang segera tegakkan tubuh walau kedua
kaki masih berselonjor.
Dan seperti datangnya bahaya kebakaran, keduanya segera meraih pakaian masing-
masing. Mengenakannya asal saja dengan wajah memerah.
Kejap itu pula si pemuda berdiri tegak. Pandangannya tajam pada seorang gadis
berpakaian putih
agak kusam yang tadi keluarkan suara.
Tatapan gadis itu begitu dingin. Sorotnya pancarkan kematian yang tak bisa
ditahan lagi. "Gadis keparat! Mau apa kau berada di sini,
hah"! Apa urusannya denganmu tentang apa yang
kami lakukan?" hardik si pemuda dengan wajah
masih mendongkol dan malu.
Di lain pihak, kekasihnya sudah tutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak
pernah disangkanya, perbuatan yang telah tiga kali mereka lakukan akan diketahui
orang. Kendati si gadis tak mengenal siapa adanya gadis yang menegur itu, biar
bagaimanapun juga dia
merasa malu. "Meskipun aku tak punya urusan dengan apa
yang telah kalian perbuat, tapi aku mencium darah segar! Darah yang bisa
membuatku bertahan
lebih lama."
Sepasang mata si pemuda mendelik gusar. Napasnya mendengus-dengus, masih tersisa
sebagian birahinya. Dengan gusar tangannya menuding dis-
ertai bentakan,
"Pergi dari sini! Atau, kau akan menyesal!!"
Gadis berpakaian putih agak kusam yang tak
lain Sumiati adanya, menatap tajam. Kalung yang
dikenakannya mendadak saja keluarkan sinar hitam yang agak redup.
"Manusia-manusia keparat yang berani menantang Kalung Setan! Lebih baik kau
mampus!!" Si pemuda bukanlah sebangsa orang pengecut.
Dia termasuk orang yang berani. Apalagi perbuatan yang telah dilakukannya
bersama kekasihnya,
perbuatan yang sudah tentu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, diketahui orang lain. Makanya, dia tak dapat lagi kuasai
amarahnya. "Ketimbang kau akan menjadi duri, lebih baik
kau yang kubunuh!!" bentaknya meradang.
Kejap itu pula dia melompat kedepan dengan
kedua tangan siap mencengkeram leher gadis yang
melingkar kalung yang pancarkan sinar hitam. Gerakan yang dilakukan si pemuda
hanyalah sebuah
naluri saja. Dia yakin kalau kedua tangannya akan
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat mencengkeram leher si gadis. Dan dia tak
akan menyesal membunuh orang yang memergoki
perbuatannya. Kedua tangannya memang berhasil mencengkeram leher si gadis. Saat itu pula dia
berusaha untuk mencekiknya kuat-kuat. Tetapi si gadis hanya
tenang-tenang saja, sementara sepasang matanya
menatap tajam. Di lain pihak, gadis yang masih mengenakan
pakaiannya asal saja, palingkan kepala. Dia terkejut melihat betapa kekasihnya
sedang berusaha
untuk membunuh gadis yang menegur mereka.
"Kang Surya! Jangan, jangan kau lakukan itu
Kang!" serunya keras sambil memburu.
Pemuda yang bernama Surya tak menghiraukannya. Hatinya sudah direjam kemarahan.
Dia makin menambah tenaganya untuk dapat mematahkan leher gadis yang masih berdiri
tegak dengan tatapan makin dingin.
Kekasihnya menjadi cemas. Dia berkata terburu-buru, "Kang Surya! Hentikan!
Hentikan!"
"Diam kau, Darsih! Gadis celaka ini harus
mampus!!" desis Surya keras dengan suara makin
sengau. Keringat telah mengaliri sekujur tubuhnya. Tenaganya hampir terkuras.
Dan tatkala menyadari kalau dia belum berhasil
mematahkan leher gadis di hadapannya, dia menjadi tersentak sendiri. Untuk
beberapa saat pemuda ini seperti melupakan maksudnya.
"Gila! Aku bukan hanya tak dapat mematahkan
lehernya, tetapi dia sedikit pun nampak tak kesakitan!" makinya dalam hati dan
dikerahkan seluruh tenaganya untuk menjalankan maksud.
Sumiati hanya memandang dingin. Sinar hitam
yang terpancar dari kalungnya makin kuat.
Mendadak terdengar suara Sumiati dingin, kejam dan tebarkan hawa kematian, "Aku
tak ingin berlama-lama lagi!"
Hanya itu ucapan yang terdengar, karena mendadak saja sinar hitam yang terpancar
dari bandul kalung yang dikenakannya melesat ke arah jantung Surya.
Si pemuda seketika tersentak, sebelum, kelojo-
tan laksana disengat listrik. Lain halnya dengan si
pemuda, lain halnya dengan Darsih.
"Oh! Kang Surya! Kau kenapa, Kang" Kau kenapa"!" serunya panik. Lalu dengan
kalap dia menerjang ke arah Sumiati, "Gadis celaka! Siapa kau
sebenarnya, siapa kau"!"
Tetapi sinar hitam yang terpancar dari kalung
Sumiati terpecah menjadi dua. Dan langsung masuk tepat ke jantung Darsih yang
kini mengalami hal yang sama dengan kekasihnya.
Sementara kedua orang itu sedang meregang
nyawa, Sumiati memejamkan matanya. Kepalanya
agak sedikit diangkat. Layaknya orang orgasme,
Sumiati nampak agak menggigil penuh nikmat.
Lima kejapan mata berikutnya, sinar-sinar hitam itu lepas dari jantung dua orang
korbannya yang seketika jatuh menggelosoh dengan dada bolong! Seluruh kulit kedua orang
itu memucat dan
tanpa darah! Sumiati masih berada dalam sikap seperti orang
mabuk. Lidahnya beberapa kali menjilat bibirnya.
Lalu terdengar ucapannya, "Menyenangkan, sangat menyenangkan...."
Tanpa mempedulikan kedua korbannya yang telah menjadi mayat, Sumiati
meninggalkan tempat
itu. Kalau sebelumnya kalung yang dikenakannya
pancarkan sinar hitam, kali ini nampak percikan
sinar merah laksana darah.
*** 7 Andika yang sore harinya tiba di tempat itu, harus kerutkan kening saat meneliti
keadaan dua sosok tubuh yang dilihatnya.
"Landak dungu! Siapa orang yang telah lakukan
tindakan keji seperti ini"!" desisnya setelah memeriksa kedua mayat itu
bergantian. Dan anak muda
ini terkejut tatkala melihat kalau di balik pakaian
yang dikenakan kedua mayat itu, dalam keadaan
polos. "Kutu monyet! Rupanya habis asyik nih! Tapi ya... siapa sih yang tega
berbuat kayak begini"!"
Anak muda dari Lembah Kutukan ini gelenggelengkan kepalanya. Dan mendadak saja
keningnya berkerut. Sepasang matanya menatap tajam
tak berkedip pada mayat-mayat itu.
"Edan! Menilik bau hangus jantung masingmasing orang yang masih tercium, aku
yakin kalau rentang waktu kematiannya dengan kedatanganku tak terlalu lama.
Tapi, bagaimana bisa darahnya secepat ini mengering" Ini tak masuk akal.
Darah masing-masing orang seperti telah tersedot!
Tersedot" Kadal buntung! Masa iya sih tersedot"
Siapa yang nyedot"!"
Menggeleng-geleng pemuda berambut gondrong
acak-acakan ini. Dan dia kembali meneliti kedua
mayat itu. Sekarang makin diyakininya kalau darah pada kedua mayat itu mengering
sama sekali. Dengan kata lain, kedua mayat itu tak memiliki
darah sama sekali!
"Monyet pitak! Siapa orang yang suka nyedot
darah" Kalau nyedot susu sih enak!" habis ucapannya yang terakhir si urakan ini
cengar-cengir sendirian. Dan berkata sendirian pula, "Jangan
ngeres. Maksudku susu kambing."
Diperhatikannya kembali kedua mayat itu sebelum akhirnya dia memutuskan untuk
segera menguburkannya. Pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan ini hanya membutuhkan waktu
singkat untuk menguburkan kedua mayat itu.
Tak ada napas terengah yang terdengar. Tak
ada keringat yang keluar.
"Rupanya, ada orang yang suka nyedot darah!
Orang yang suka... hei!!" memutus kata-katanya
sendiri, Pendekar Slebor terdiam. Sejurus kemudian terlihat wajahnya menekuk
persis orang yang
telat buang hajat.
Lalu desisnya terbata, "Apakah ini ada hubungannya dengan Kalung Setan" Bukankah
saat itu kudengar Sumiati yang telah dipengaruhi Kalung
Setan, meminta darah. Darah" Ya, ya! Darah! Sial!
Apakah ini perbuatan Sumiati yang telah dikuasai
Kalung Setan" Laknat! Sungguh laknat!!"
Anak muda urakan ini memaki-maki tak karuan. Hatinya menjadi geram bukan
kepalang. Untuk beberapa saat dia masih merasa dibaluri kemarahan tinggi.
"Kerbau bunting! Aku harus segera menemukan
Sumiati! Teror yang akan diturunkannya sudah jelas kalung setan akan
membahayakan siapa pun
juga! Ah, urusan jadi panjang!!"
Pemuda urakan ini tarik napas panjang. Ketegangan yang menjabani pikirannya
membayang- kan teror yang akan diturunkan oleh Kalung Setan
dengan perantara Sumiati, makin membuatnya tak
enak. Ditindih rasa tidak enaknya itu dengan pikiran pada hal-hal yang
menggembirakan.
"Ketimbang jadi kambing dungu, lebih baik kuteruskan perjalanan saja."
"Ya! Kau benar, anak muda! Sebaiknya kau teruskan perjalanan saja, karena toh
tidak akan ada yang mengetahui perbuatan celakamu itu!" satu
suara keras yang menggema tanda orang yang
bersuara kerahkan tenaga dalamnya, menyelinap
di gendang telinga Pendekar Slebor.
Serta-merta anak muda ini hentikan langkahnya. Sejurus kemudian, dilihatnya satu
sosok tubuh berpakaian putih tipis telah berdiri sejarak delapan langkah dari
tempatnya. Kehadiran perempuan jelita berpakaian putih
tipis yang memperlihatkan bentuk tubuh serta
payudaranya yang tak tertutup apa-apa lagi,
membuat anak muda urakan itu kerutkan kening
untuk beberapa saat.
Di lain pihak, perempuan jelita yang diperkirakan berusia sekitar empat puluh
tahun, pentangkan senyum. Bibir tipisnya yang memerah sungguh memancing
perhatian siapapun yang melihatnya. terutama kaum laki-laki. Apalagi tatkala
lidahnya dengan gerakan merangsang, menjilati bibirnya. Mata perempuan berhidung
mancung dan berkulit putih mulus ini, pancarkan sinar bening
yang mengandung daya tarik yang kuat.
"Busyet!" desis Andika dalam hati sambil garukgaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Tidak salah
nih" Aku berjumpa dengan bidadari atau sebangsa
penunggu tempat ini?"
Perempuan berpakaian putih panjang yang tipis
itu maju tiga tindak ke muka. Saat melangkah, terlihat pakaian panjangnya yang
terbelah hingga
pangkal paha, memperlihatkan bungkahan mulus
dan gempal paha miliknya.
Glek! Tanpa sadar Pendekar Slebor menelan ludah.
"Kutu monyet! Bisa teler nih kalau aku terus
menerus melihat paha yang mulus itu" Dadanya...
wah, wah! Seperti kelapa, bulat dan menantang.
Cihui banget nih sebenarnya! Tapi, siapa sih perempuan ini" Dan apa maksud
ucapannya tadi?"
Sambil coba menahan gemuruh hatinya dari
pemandangan indah yang sukar untuk dilewati, si
Urakan pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini berkata, "Perempuan cekap! Kau ini siapa ya"
Muncul begitu saja tanpa diketahui! Juga, aku tak
mengerti dengan ucapanmu barusan?"
Perempuan itu pamerkan senyumnya.
Mau copot rasanya jantung Andika melihat senyuman yang benar-benar merangsang
itu (Untungnya, jantung anak muda urakan ini ditempel
pakai power glue, jadi nggak copot betulan deh!
Apa coba")
"Pemuda tampan...," desis si perempuan, suaranya mendayu-dayu, penuh rangsangan
kuat. "Mengapa kau bertanya seperti itu" Seharusnya
kau tanyakan pada dirimu sendiri, mengapa kau
membunuh kedua orang yang telah kau kuburkan?"
Sampai surut satu tindak anak muda berpakaian hijau pupus itu mendengar ucapan
orang. Sesaat dia melotot pada si perempuan sebelum
mendengus dalam hati,
"Enaknya ngomong! Jadi dipikirnya aku yang
telah membunuh kedua remaja yang sepertinya
habis ehm-ehm itu" Kutu landak!"
Kemudian katanya, "Kau pikir, aku yang telah
membunuh kedua orang itu?"
Si perempuan terkikik, suaranya tetap penuh
rangsangan. "Di tempat ini, hanya kita berdua. Aku sendiri
baru datang. Sementara kau sudah sejak tadi.
Bahkan, aku melihat kau yang menguburkan kedua mayat itu. Apakah ini belum jelas
sebagai bukti?" "Monyet pitak! Ucapannya bikin aku tak sabar
untuk menjitak kepalanya! Tapi ya sayang. Perempuan ini begitu cantik. Kalau ada
benjol di jidatnya, jadi lucu dong!" kata Andika dalam hati. Lalu
berkata, "Kau salah besar bila menuduhku seperti
itu. Aku juga baru tiba di sini dan sudah dihadapankan pada dua sosok tubuh yang
menjadi mayat. Apakah kau...."
"Terlepas dari apakah kau yang membunuh keduanya atau tidak, aku tak peduli!"
desis si perempuan penuh rangsangan. Dengan gerakan tak
kentara, dia gerakkan kedua bahunya. Hingga
payudaranya yang besar dan sangat jelas pada
pandangan Andika karena tak mengenakan pelapis
apa-apa selain pakaian tipis yang dikenakannya,
bergoyang lembut.
Lagi-lagi anak muda berambut gondrong acakacakan ini menelan ludahnya. Dan
tatkala menyadari sesuatu dia mendengus.
"Landak bau! Jelas sekali kalau dia coba pengaruhiku dengan tindakan lembut yang
sama sekali tak kentara. Dan kurasakan kalau ada pesona
magis yang mencoba menarikku dalam lingkarannya."
Merasakan ada yang tidak beres, perlahanlahan Andika alirkan hawa murninya agar
tak terkena pengaruh pesona yang sedang dilepaskan si
perempuan. Terlihat paras si perempuan agak melengak sedikit. Pandangannya yang penuh
rayuan itu mendadak menyorot tajam.
"Aneh!" desisnya dalam hati, "Mengapa mendadak saja kurasakan ada hawa yang
menolak pancaran mata gaibku untuk mengikatnya. Pemuda
yang nampaknya jenaka dan sedikit urakan ini
berwajah tampan. Sangat sayang bila kulewatkan
kesempatan untuk mendapatkannya. Aku tak peduli apakah memang dia yang telah
membunuh kedua orang itu atau bukan. Yang penting... akan
kutambah pesona mata gaibku biar dia tahu rasa."
Lalu sambil berbicara, perempuan berambut hitam indah dan panjang ini kerahkan
pancaran mata gaibnya.
Di seberang, Andika nampak terkesiap. Seluruh
darahnya seperti menggumpal pada kepala. Ada
dorongan kuat yang seperti memaksanya untuk
mendekati perempuan itu.
Namun begitu menyadari kalau keadaan ini tak
wajar, Andika mendengus.
"Brengsek! Apa sih yang sebenarnya dilakukan
dan diinginkan perempuan itu" Kok nampaknya
dia berusaha keras memaksaku untuk masuk pada pesonanya" Brengsek betul! Yang
kayak begini, harus diberi pelajaran."
Sambil terus kerahkan hawa murninya, anak
muda urakan ini berkata sambil kerahkan tenaga
dalamnya, "Perempuan berpakaian putih tipis! Kita
tak saling kenal sebelumnya. Dan aku... ya, tak ingin kenal siapa kau
sebenarnya. Apakah tidak lebih baik kita berpisah saja di sini?"
"Berpisah?" si perempuan tersenyum lembut.
"Untuk apa kita berpisah" Bukankah kita bisa melewati hari ini dengan satu
kenikmatan?"
"Wah, wah! Omongannya sedap betul" Enak juga sih kalau sekali-sekali kurasakan
apa yang ditawarkannya" Soalnya, aku belum pernah melakukannya. Tapi ya... mbok
jangan dulu. Dosa. Tidak baik. Lagi pula, mana bisa aku menikmatinya
dengan perempuan seperti ini."
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu sambil nyengir, Pendekar Slebor berkata,
"Kenikmatan bagaimana nih?"
Si perempuan makin tersenyum, "Kau akan tahu nanti. Atau, sebenarnya kau berlaku
bodoh?" "Wah!" Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Aku tidak tahu tuh."
"Kau pandai memancing, Anak muda."
"Aku tak memiliki kail dan umpan."
"Tubuh dan parasmu menjanjikan hal itu."
"Kalaupun kulakukan, bukan, kau ikan yang
akan kutangkap."
Tak ada suara yang keluar. Paras si perempuan
mendadak mengkelap. Pandangannya menjadi tajam. Terlebih lagi tatkala menyadari
kalau sejak tadi anak muda itu masih dapat bertahan. Tak
terkena pengaruh apa-apa dari pesona gaib pancaran matanya.
"Kurang ajar! Ucapannya benar-benar melecehkanku! Tak pernah kulakukan tindakan
seperti ini sebelumnya! Dan siapa pun orangnya, tanpa kucoba untuk memikatnya, akan bersedia
menjadi budakku demi nafsu sesaat! Kurang ajar! Siapa
pemuda ini sebenarnya?"
Sementara si perempuan membatin geram, Andika justru kelihatan tenang-tenang
saja. Dia tahu betul kalau ucapannya menyinggung perasaan si
perempuan. Tapi baginya, apa yang ada di hadapannya ini bukanlah sesuatu yang
menarik, kecuali sebenarnya ingin mengetahui siapa adanya
orang. Keheningan itu dipecahkan oleh suara si perempuan, agak geram, "Kau benar-benar
telah memancing amarahku, Pemuda celaka! Baik! Kau
harus pertanggung jawabkan perbuatan terkutukmu yang telah membunuh kedua orang
itu!" "Lagi-lagi dia menyinggung soal itu. Dan jelas
kalau sebelumnya dia memang berada di sini.
Mungkin hanya melihat saat aku mengubur kedua
mayat yang entah siapa adanya. Menilik keadaan
ini, jelas kalau dia memiliki ilmu yang cukup tinggi. Karena, aku tak menyadari
kehadirannya. Monyet bau!"
Di seberang, si perempuan kembangkan se-
nyumnya. "Sekarang... bersiaplah untuk mampus! Kecuali...."
"Kecuali apa?" tanya Andika langsung.
"Ada dua pilihanmu. Pertama, melewati kenikmatan bersamaku. Kedua, menjawab
pertanyaanku."
Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Lalu dengan suara agak sewot dia berkata, "Ya jelas aku pilih yang kedua!
Enaknya memberi pilihan seperti itu!"
Si perempuan nampak berusaha untuk tindih
amarahnya. Terlihat dari gerakan matanya yang
dicoba untuk tetap bersinar jernih.
"Bila kau dapat menjawab pertanyaanku, maka
kau akan bebas," katanya seperti memancing Andika untuk mempertimbangkan
keputusannya. Dan ini membuat Andika menjadi jengkel. "Kok
betul-betul enak dia bicara! Dipikirnya aku akan
terpengaruh ucapannya" Brengsek!" makinya dalam hati dan berkata agak menyentak,
"Cepat deh
kalau kau mau bicara!"
Si perempuan tersenyum, "Pertama, siapakah
kau adanya?"
"Aku?" Andika menunjuk dirinya sendiri. "Aku
ya aku. Namaku Andika."
"Sebutkan julukanmu dan dari mana asalmu?"
"Julukanku Pangeran Tampan dari Kayangan.
Asalku... ya, dari Kayangan."
Si perempuan nampak tidak percaya. Tetapi dia
sepertinya tak mau ambil peduli.
"Pertanyaanku berikutnya, kenalkah kau den-
gan seorang kakek berpakaian merah yang berjuluk Datuk Merah?"
Kali ini Andika kerutkan keningnya. Untuk beberapa saat dia masih coba untuk
rangkaikan pertanyaan si perempuan. Kemudian katanya, "Kakek
berjuluk Datuk Merah" Tidak, aku tidak mengenalnya. Siapakah kakek itu?"
"Aku yang bertanya!!" mendadak saja menggelegar suara si perempuan. Rupanya dia
sudah tak dapat menahan amarahnya lagi melihat sikap santai pemuda di hadapannya. "Dan
satu hal yang perlu kau ketahui, bila kau tak bisa mengatakan di
mana Datuk Merah berada, maka kau akan mampus di tanganku!"
Sebenarnya Andika sudah tak sabar untuk
memberi pelajaran pada si perempuan. Namun
pemuda tampan ini masih bisa menahan amarahnya.
Sambil tertawa kecil dia berkata, "Ah, kau ini.
Rupanya termasuk golongan orang pemarah juga"
Ya jelas aku tahu di mana Datuk Merah berada.
Tapi ya... kenapa sih kau menanyakannya" Apa
kau ingin minta duit buat jajan ya?"
"Jangan banyak tanya! Katakan, di mana kakek
itu berada"!"
Asal menyahut saja Andika berkata, "Di mana
lagi kalau bukan di Jurang Trah Gering"!"
Mendengar jawaban si pemuda, perempuan
berpayudara besar itu kerutkan keningnya. Sejurus kemudian dia berkata, "Jurang
Trah Gering"
Ada urusan apa dia di tempat itu?"
"Masa kau tidak tahu sih" Ya jelas dia sedang
menunggumu di Jurang Trah Gering."
"Oh! Benarkah?" sahut si perempuan dengan
pancaran mata penuh bahagia. Bibirnya mengulas
senyum ceria. Andika yang tak menyangka akan melihat perubahan wajah yang menjadi gembira itu,
sesaat menjadi keheranan.
"Busyet! Perempuan ini benar-benar sukar ditebak apa maunya. Kok dia jadi
seperti anak kecil
yang diberi gula-gula?" desisnya dalam hati.
Didengarnya lagi suara si perempuan yang agak
memburu, "Apa, apa lagi yang dikatakannya?"
"Katakan apa?" Andika berlagak tidak tahu, padahal dia tengah memikirkan mengapa
sikap si perempuan berubah tatkala dia mengatakan tentang
orang yang ditanya. Padahal sungguh mati, mengenal julukannya saja baru
sekarang! "Tentang diriku!" sahut si perempuan makin tak
sabar. Andika sengaja tak buka mulut. Diperas otaknya untuk menjabarkan sebab-sebab si
perempuan begitu gembira.
"Jelas sekali kalau sebenarnya perempuan berpayudara besar ini sedang mencari
orang berjuluk Datuk Merah. Mencari dalam arti bukan sebagai
musuh, melainkan... mungkin sebagai kekasihnya.
Terbukti sikapnya yang begitu bergembira. Hem,
ketimbang dia jadi urusanku sebaiknya kuteruskan saja ucapanku."
Lalu sambil tersenyum, si Urakan ini berkata,
"O... soal itu. Dia begitu tak sabar hendak bertemu
denganmu. Katanya, kau adalah perempuan yang
paling dicintainya dan paling cantik sedunia."
Paras si perempuan memerah.
"Benar dia berkata begitu?"
Andika mengangguk sambil acungkan jcmpolnya.
"Ah, kekasihku... sebentar lagi kita akan bertemu. Katakan, katakan di mana
Jurang Trah Gering berada?"
"Wah! Kalau dari sini, aku tak begitu paham.
Tapi ya... kau silakan saja menuju ke barat."
"Ya, ya... aku akan ke barat!" sahut si perempuan tetap dengan bibir semringah.
Habis ucapannya, perempuan berpakaian putih
tipis ini segera berkelebat.
Andika berseru, "Hei! Aku belum tahu siapa kau
adanya"!"
"Panggil aku dengan sebutan Dayang Gunung
Putih!" sahut si perempuan dan dalam dua kejapan mata berikutnya, sosoknya telah
lenyap dari pandangan. Andika geleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh! Sikapnya tadi penuh rangsangan, buaian
sekaligus kemarahan. Tapi setelah mendengar tentang Datuk Merah yang sama sekali
tak kuketahui siapa dia adanya sikapnya jauh berubah. Hem,
tentunya dia adalah kekasih orang berjuluk Datuk
Merah yang sudah sekian lama tak berjumpa. Atau
karena dia sudah ngebet buat ehm-ehm?"
Andika nyengir sendiri membayangkan katakata yang diucapkannya terakhir.
"Masa bodoh, ah! Itu kan urusannya! Urusanku
adalah mencari Sumiati yang telah dikuasai Ka-
lung Setan. Dan nampaknya urusan tentang Kalung Setan belum berkembang, karena
terbukti belum ada orang yang mencari benda itu. Tapi paling
tidak, aku yakin teror Kalung Setan akan semakin
banyak memakan korban.",
Setelah tarik napas pendek, anak muda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera berkelebat ke arah timur.
Meninggalkan tempat itu yang seketika lembah
direjam sepi. Meninggalkan dua gundukan makam
orang-orang yang terkena teror Kalung Setan.
*** 8 Senja yang terus memayungi dan siap menjemput sang ratu malam, pun menggayuti
suasana di Jurang Trah Gering. Datuk Merah yang masih berusaha meneruskan pencariannya
terhadap Kalung Setan namun belum juga menemukan tandatanda yang berarti,
hentikan pencariannya.
Paras kakek berwajah tirus ini sudah dibuncah
kegeraman tinggi. Hatinya begitu mangkel.
"Terkutuk! Sejak tadi pagi aku mengitari tempat
celaka ini, tapi belum juga mendapatkan Kalung
Setan! Jahanam sial! Nasibku memang sedang sial!"
Datuk Merah meneruskan umpatannya dengan
kemarahan yang tak terkira. Tatkala teringat pada
Datuk Biru, kemarahan itu rasanya sudah tak bisa
ditahan lagi. "Akan kubunuh dia! Akan kubunuh dia!!" desisnya megap-megap dengan tangan
terkepal. Setelah sebelumnya, semalaman dia berharap
Datuk Biru akan muncul kembali di tempat di
mana sebelumnya dia melihat Datuk Biru berada,
Datuk Merah langsung putuskan untuk segera turun ke Jurang Trah Gering tatkala
matahari sudah pancarkan bias-biasnya di ufuk timur. Karena, dia
merasa Datuk Biru sudah mengambil jalan lain
untuk tiba di Jurang Trah Gering.
Mencari sesuatu yang tidak diketahui tempatnya memang bukanlah perbuatan yang
menyenangkan. Tetapi kakek berwajah tirus ini tak mau
menyerah. Keinginannya untuk mendapatkan Kalung Setan dan tak mau didahului oleh
Datuk Biru memperkeras tekadnya. Dan dia berharap, dapat
kembali melihat Datuk Biru di Jurang Trah Gering.
"Jahanam! Apakah aku harus bermalam di
tempat celaka ini"!" makinya dengan tatapan dingin pada satu tempat. "Huh! Sejak
pagi hingga senja di mana tempat ini cukup diberi penerangan
oleh sinar matahari, aku belum juga dapat menemukan Kalung Setan. Apalagi bila
malam hari"
Keparat! Sungguh perbuatan sia-sia yang kulakukan ini!!"
Kendati mulutnya berbunyi tak karuan, namun
Datuk Merah tak segera tinggalkan tempat itu. Matanya dipicingkan ke berbagai
arah. Pertama, untuk menangkap isyarat dari Kalung Setan yang diyakininya akan
memancarkan sinar hitam hingga
dapat dijadikan sebagai patokan di mana kalung
itu berada. Kedua, mencari bayangan Datuk Biru
yang sangat diharapkannya.
Setelah beberapa lama tak mendapatkan apa
yang diinginkannya, Datuk Merah segera melangkah kembali. Matanya terus dibuka
lebih lebar. Malam pun akhirnya memayungi sekitar Jurang
Trah Gering, bertepatan dengan mata Datuk Merah tertuju pada sebuah gubuk yang
agak terhalang oleh sebuah pohon.
Untuk beberapa saat kakek berpakaian merah
ini terdiam tanpa melanjutkan langkahnya.
"Hemm, ada sebuah gubuk di sini. Gubuk siapakah itu" Dari sini nampaknya cukup
nyaman untuk dijadikan sebagai tempat beristirahat. Paling
tidak, tempat itu akan kupergunakan untuk menunggu pagi kembali."
Memutuskan demikian, Datuk Merah segera
melangkah mendekati gubuk yang bukan lain milik Sumarta. Diperhatikan sesaat
tempat itu. Setelah diyakini tak seorang pun yang berada di sana,
kakek berpakaian merah ini segera masuk.
"Hem, tempat yang lumayan untuk beristirahat," desisnya. Hanya sekali lompat
tanpa timbulkan suara, dia sudah duduk di atas dipan yang
ada di dalam gubuk itu.
Ditarik napas dan dihembuskannya perlahan.
Datuk Merah memutuskan untuk bersemadi sejenak.
Perlahan-lahan dikosongkan pikirannya dan
kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Namun baru saja dia lakukan, pendengarannya
yang tajam menangkap suara berkelebat.
Menegak kepala kakek berwajah tirus ini. "Dari
gerakannya, jelas kalau gerakan itu tak mungkin
ditimbulkan oleh hewan tempat ini. Gerakan itu
adalah gerakan seseorang yang memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi,"
desisnya dalam hati. Dan kegeramannya mendadak saja muncul.
"Keparat! Siapa lagi kalau bukan Datuk Biru"!"
makinya dan saat itu pula dia melompat keluar.
Pandangannya menyapu tempat yang telah diliputi kegelapan. Dipicingkannya mata
untuk menangkap bayangan orang.
Tiga kejapan mata kemudian, dia melihat
bayangan putih berkelebat ke arahnya.
Kening Datuk Merah berkerut.
"Bayangan putih" Rasanya... orang itu bukanlah Datuk Biru. Agar jelas semuanya,
sebaiknya kutunggu orang itu sampai mendekat."
Dengan kedua kaki sedikit dibuka dan tangan
disedekapkan di depan dada, Datuk Merah menunggu dengan mata tetap dipicingkan.
Di lain pihak, bayangan putih yang berkelebat tadi juga sudah melihat sosoknya,
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kejap itu pula si bayangan putih hentikan kelebatannya.
"Dari tempat ini, aku agak samar untuk melihat
siapa adanya orang yang berdiri di depan gubuk
itu. Tapi menurut pemuda berpakaian hijau pupus, aku bisa menemukan Datuk Merah
di Jurang Trah Gering. Dan dari orang yang kutanyakan,
tempat inilah yang dinamakan Jurang Trah Gering. Biar kucoba keberuntunganku
sekarang."
Memutuskan demikian, si bayangan putih per-
lahan-lahan mendekat. Dari jarak enam langkah
mendadak saja dia berseru, "Kekasih!"
Telinga Datuk Merah menegak sesaat. Sejurus
kemudian dia berseru, "Dayang Gunung Putih!"
Si bayangan putih yang bukan lain adalah perempuan jelita berpakaian putih tipis
yang memperlihatkan bentuk tubuh indahnya, segera melompat mendekat dengan
pekikan gembira. Dia
langsung merangkul kakek berpakaian merah itu."
"Kekasih... ke mana saja kau selama ini?" desisnya penuh kerinduan sambil
menciumi paras keriput Datuk Merah.
Di lain pihak, Datuk Merah sendiri menyambut
kehadiran perempuan itu dengan gembira. Bahkan
sambil tertawa-tawa senang dia membalas merangkul dan menciumi si perempuan yang
dari tubuhnya menebarkan aroma merangsang.
"Hahaha... tak kusangka akan berjumpa lagi
denganmu, Kekasih!" desisnya dan tangannya
dengan liar menjamah serta meremas payudara
besar milik Dayang Gunung Putih, yang sedikit
menggelinjang namun hanya membiarkan saja.
"Bawa aku ke surga, Kekasih... bawa aku segera...," desisnya sambil menggeliat.
Datuk Merah yang sedang jengkel karena belum
juga menemukan Kalung Setan dan jejak Datuk
Biru kembali, sambil tertawa segera membopong
tubuh lembut yang menggairahkan itu. Saat dia
mengangkat tubuh Dayang Gunung Putih, pakaian
panjang si perempuan yang terbuka hingga pangkal paha terbuka turun dan
memperlihatkan sesuatu yang membuat dada Datuk Merah makin ber-
debar tak menentu.
Tanpa membuang waktu lagi, dia segera masuk
ke gubuk dan merebahkan tubuh Dayang Gunung
Putih ke atas dipan. Lalu mulailah dia mencium
serta meraba apa yang ada di hadapannya. Terdengar suara mengikik penuh
kerinduan dan rangsangan dari mulut Dayang Gunung Putih.
Dan yang terdengar kemudian, hanyalah suara
merintih dan napas mendengus-dengus. Ditemani
malam yang dingin dan suara hewan-hewan malam, keduanya terus berpacu untuk tiba
di pantai terakhir. Waktu bergulir perlahan-lahan seiring dengan
tarikan napas panjang. Sampai akhirnya terdengar
suara Datuk Merah agak terengah,
"Tak kusangka... kita akan bertemu lagi."
"Ya, ya... dan aku sangat rindu padamu. Kau
tak pernah lagi memberi kabar padaku. Kau langsung pergi setelah perjumpaan kita
dulu...." Terdengar suara Dayang Gunung Putih yang memejamkan matanya.
Tubuhnya yang polos dibiarkan terbuka. Napasnya agak turun naik hingga
payudaranya yang
besar bergoyang lembut.
Tangan kurus Datuk Merah menjamah payudara si perempuan sebelah kanan.
Meremasnya lembut hingga terdengar desisan Dayang Gunung Putih.
"Kau selalu pandai memberi kepuasan kepadaku," desisnya sengau. "Itulah
sebabnya, aku tak
bisa bertahan lama bila tidak bersamamu...."
"Bukankah kau bisa mencari pemuda atau lela-
ki lain untuk memuaskan nafsumu?" ucap Datuk
Merah tanpa ada rasa cemburu sedikit pun.
Dayang Gunung Putih membuka matanya.
Mengerling genit dan berkata, "Ah, kau membuatku tidak enak. Biarpun aku
melakukannya, tetapi
aku tak pernah mendapatkan apa yang kudapatkan bila bersamamu...."
Datuk Merah tertawa dan bangkit mengenakan
pakaiannya lagi.
"Kau hendak ke mana?" tanya Dayang Gunung
Putih sambil duduk di atas dipan. Tubuhnya yang
polos laksana mutiara yang bersinar indah. Berpijar bagaikan terkena sinar
redup. Datuk Merah melirik sejenak. Ada keinginan
untuk mengulangi lagi apa yang didapatkannya.
Namun keinginan untuk mendapatkan Kalung Setan kembali muncul. Membuatnya
melupakan untuk bersemadi dan meninggalkan sesaat kenikmatan yang baru
diraihnya. Kepalanya menggeleng.
"Aku tidak ke mana-mana."
"Lantas, mengapa kau mengenakan pakaianmu" Bukankah biasanya kita melakukan
sampai beberapa kali?"
Datuk Merah tersenyum. "Sudah tentu iya."
Tangan lembut Dayang Gunung Putih menggapai lembut bahunya.
"Sekarang, mengapa kau tidak melakukannya
lagi?" "Masih ada waktu lain."
"Mengapa?"
Kali ini pandangan Datuk Merah menajam. Ada
kemuakan yang mendadak muncul melihat sikap
perempuan yang tak pernah puas ini. Biar bagaimanapun juga, Datuk Merah bukanlah
orang yang dapat diperbudak nafsu. Tidak seperti si perempuan.
Tetapi, dia tak lontarkan umpatan. Malah berkata, "Karena... aku masih punya
sedikit urusan."
Kendati wajahnya menyiratkan kekecewaan,
namun Dayang Gunung Putih tersenyum. Perempuan ini sangat mencintai Datuk Merah.
Bahkan dia akan melakukan apa saja demi kepuasan
orang yang dicintainya.
Bila menilik jauhnya perbedaan usia antara dirinya dengan Datuk Merah, tak
seharusnya Dayang Gunung Putih memiliki sikap seperti itu.
Tetapi ya namanya cinta"
Tanpa mengenakan pakaiannya kembali dia
berkata, "Bila kau tak keberatan, maukah kau
menceritakan tentang urusanmu itu?"
Datuk Merah terdiam, hanya matanya yang
memandangi perempuan jelita di hadapannya.
"Kesaktian perempuan ini cukup tinggi. Dan dia
juga memiliki kepatuhan yang luar biasa terhadapku. Tak mungkin dia jauh-jauh ke
tempat ini untuk mencariku, bila dia tidak mencintaiku. Apakah... hei, dari mana dia tahu
aku berada di sini?"
Merasa heran dengan keadaan itu, Datuk Merah
lontarkan pertanyaannya yang disahuti Dayang
Gunung Putih sambil tersenyum, "Seorang pemuda tampan bernama Andika mengatakan
semua ini. Bahkan dia mengatakan, kalau kau merindukanku. Apakah kau benar
merindukanku?"
Datuk Merah tak segera menjawab. Malah keningnya berkerut.
"Pemuda bernama Andika" Siapa dia" Apa yang
dimaksudnya" Rasa-rasanya... aku belum mengenal pemuda itu. Tapi, bagaimana dia
bisa tahu aku berada disini" Dan ucapan Dayang Gunung
Putih tadi, pemuda itu mengatakan kalau aku merindukan perempuan ini" Bah!
Urusan apa lagi ini!
Kalaupun aku mau, karena aku membutuhkan pelampiasan terhadapnya!"
Tetapi sudah tentu Datuk Merah tak ungkapkan
apa yang menjadi keheranannya. Malah sambil
tertawa dan meraba payudara yang terbuka menantang itu dia berkata, "Sudah tentu
aku sangat merindukanmu."
"Oh! Aku harus berterima kasih pada pemuda
itu!" desis Dayang Gunung Putih sambil merangkul Datuk Merah.
Kendati perasaannya mulai diliputi kejengkelan,
tetapi Datuk Merah membiarkan saja tubuhnya dirangkul seperti itu.
Setelah beberapa saat, dia baru berkata, "Bukankah kau hendak mendengar
urusanku?"
Perlahan-lahan Dayang Gunung Putih lepaskan
rangkulannya. Sambil tersenyum dia berkata,
"Apakah aku harus berpakaian saat mendengarkan ceritamu, atau polos seperti
ini?" Datuk Merah mendengus dalam hati.
"Kenakan pakaianmu."
Sementara Dayang Gunung Putih kenakan lagi
pakaiannya yang sebenarnya tak bisa untuk tutup
tubuhnya. Datuk Merah menceritakan apa yang
sedang dilakukannya. Paling tidak, kakek berwajah tirus ini berharap, agar
kiranya Dayang Gunung Putih dapat membantunya. Atau tepatnya,
dijadikan sebagai kaki tangannya untuk tuntaskan
urusan. "Kalung Setan?" desis Dayang Gunung Putih selesai si kakek bercerita. "Kalung
apakah itu" Aku
baru kali ini mendengarnya?"
"Kau pikirkanlah tentang sebuah benda sakti
yang sangat hebat. Tetapi yang harus kau pikirkan
sekarang, adalah mencari Datuk Biru untuk dibunuh. Kakek keparat itu telah
melukai perasaanku!"
kata Datuk Merah sengit.
"Bukankah kalian bersahabat?"
"Lain dulu lain sekarang! Aku ingin melihatnya
mampus dengan tubuh tak terbentuk!"
Dayang Gunung Putih merangkul si kakek dengan penuh kebahagiaan dan kerinduan.
"Tak perlu kau cemaskan soal itu. Tak lama lagi, kakek keparat itu akan mampus,
Kekasih!" desisnya.
Memang itulah yang diharapkan oleh Datuk Merah.
"Hem, bagus. Memang tak kusangka kalau aku
akan bertemu dengannya. Dan tak kusangka pula
kalau dia masih mencariku. Hem, cinta perempuan ini padaku memang besar."
Kendati hatinya berkata demikian, tetapi mulutnya berbunyi, "Aku tak ingin
melibatkanmu dalam urusan ini sebenarnya."
"Jangan merasa berat hati, Kekasih. Untukmu,
aku akan melakukan apa saja. Tak terkecuali
membunuh Datuk Biru."
Datuk Merah tersenyum dalam hati. Tetapi dia
memasang wajah menolak "Tidak usah. Biar aku
yang...." Tangan lembut Dayang Gunung Putih telah menekap mulutnya. Sambil tersenyum dia
berkata, "Jangan berkata begitu. Kau akan melihat bukti
dari ucapanku."
Datuk Merah mengangguk-angguk. Di otaknya
telah terpikir satu rencana yang menurutnya sangat matang.
"Kalau begitu... apakah kau bersedia menjalankan rencanaku?" tanyanya kemudian.
Lalu buruburu menyambung, "Tetapi aku tak akan marah
bila kau menolaknya."
"Kekasih... sejak semula kau tentunya tahu bukan, kalau aku bersedia melakukan
apa saja untukmu. Tak perlu kau memikirkan hal-hal lain.
Katakan padaku, apa rencanamu."
Datuk Merah memandang perempuan di hadapannya, yang segera menganggukkan
kepalanya. Dengan hati dibuncah tawa membahana, Datuk
Merah menceritakan semua rencananya. Bahkan
dia menyinggung tentang Andika.
"Apa hubungannya dengan pemuda bernama
Andika?" tanya Dayang Gunung Putih di sela-sela
Datuk Merah menceritakan segala rencananya.
"Aku ingin tahu, sebenarnya dia berpihak pada
siapa," kata Datuk Merah yang merasa yakin kalau
dia tidak mengenal atau pernah bertemu dengan
pemuda bernama Andika. Dan yang dikhawatirkannya, kalau pemuda itu adalah orang
Datuk Bi- ru. Mendengar cerita Dayang Gunung Putih sebelumnya, Datuk Merah yakin kalau
pemuda itu bukan orang sembarangan.
Di lain pihak, Dayang Gunung Putih tak segera
buka mulut. Diperhatikannya Datuk Merah dengan seksama.
Lalu dia ajukan tanya, "Siapakah sebenarnya
pemuda itu?"
Datuk Merah buru-buru berkata, "Seperti pengakuannya. Dia adalah sahabatku."
"Mengapa kau mencurigainya?"
"Dalam suasana seperti ini, sepatutnya kita
mencurigai orang yang belum kita kenal secara
akrab. Kau paham maksudku, bukan?"
Dayang Gunung Putih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia bertekad untuk memperlihatkan
bukti atas cintanya pada kakek berpakaian merah
ini. Lalu sambil tertawa, dia membuka lagi pakaiannya, "Apakah kau akan melewati
malam dengan segala rencana dan udara dingin seperti itu?"
Datuk Merah menyambutnya sambil tertawa
dan merebahkan kembali tubuh montok Dayang
Gunung Putih. *** 9 Malam terus merambat dengan segala dingin
dan gelisah alam. Dan kegelisahan itu pun dirasa-
kan oleh seorang lelaki berjubah putih panjang.
Wajahnya nampak agak menegang. Pikirannya melayang dan yang merasuk hanyalah
hal-hal yang tak menyenangkan.
"Aneh," desisnya tanpa mengubah duduknya
dari sebuah batu berbentuk altar. Anehnya, dia
berada di .sebuah tempat yang terbuka. Membiarkan tubuhnya didera dingin dan
kesunyian. Hanya
hewan-hewan malam yang menemaninya. "Mengapa malam ini kurasakan lain dari
malam-malam sebelumnya" Apakah akan ada sesuatu yang terjadi, atau hanya perasaanku saja
yang mengatakan demikian?"
Lelaki berwajah bijak kelimis ini tarik napas
pendek. Rambutnya yang hitam panjang tertiup
angin, hingga makin tak beraturan.
Pandangannya dibawa ke depan, menatap kegelapan semata. Jauh dari tempatnya,
terdapat hutan yang sangat lebat. Lelaki ini picingkan matanya. "Tak ada sesuatu
yang nampak di pelupuk
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mataku selain kegelapan. Tapi rasa gelisah makin
membesar di hatiku. Pertanda apakah ini?"
Lelaki berjuluk Pendekar Kebajikan ini kembali
tarik napas pendek. Dua puluh tahun yang lalu,
julukannya sangat dikenal orang sebagai pendekar
yang banyak membela kebenaran. Tindak tanduknya begitu santun dan tak sekali pun
dia pernah mengucapkan kata-kata kasar.
"Apakah kegelisahanku ini pertanda dia akan
datang?" desisnya lagi. Menyusul kepalanya digeleng-gelengkan. "Tidak. Tak
mungkin dia akan datang sekarang. Aku sangat tahu kalau dia selalu
meninggikan perjanjian yang telah diucapkan. Masih ada waktu satu purnama lagi
untuk tuntaskan
urusan lama. Kalau bukan dia yang datang, lantas
mengapa perasaanku kian gelisah?"
Pendekar Kebajikan terdiam kembali. Mulutnya
dirapatkan. Di angkasa, timbunan awan hitam tak
bergeser dari tempatnya. Menghalangi sinar rembulan yang menjadi redup.
Sejarak seratus tombak dari kirinya, terdapat
sebuah dusun permai yang asri dan damai. Namun malam ini, petaka telah
mendatangi dusun
itu. Seorang gadis jelita berpakaian putih agak kusam, telah datang dan menteror
seisi dusun itu
dengan sinar-sinar hitam yang meluncur dari kalung yang dikenakannya.
Dusun yang tenang itu pun tertimbun gelombang teriakan dan jeritan. Banyak
korban berjatuhan. Beberapa orang masih berusaha menyelamatkan diri, keluarga
dan sebagian hartanya. Namun mereka menerima nasib naas karena gadis jelita itu
tak memberi ampun lagi.
Hanya dalam waktu singkat saja, dusun itu telah porak poranda dengan mayat
bergeletakan. Beberapa mayat tewas dengan tubuh memucat
tanda darahnya telah mengering.
Sementara si gadis yang tak lain adalah Sumiati
yang telah dikuasai oleh Kalung Setan, segera meninggalkan dusun yang telah
dihancurkannya sambil terkikik panjang.
Kembali ke tempat luas di mana sosok Pendekar
Kebajikan masih duduk dengan dibuncah pikiran,
lelaki berjubah putih itu tetap berpikir keras untuk
mencari kejelasan dari pikirannya yang benarbenar gelisah.
"Tak seperti biasanya keadaanku seperti ini.
Apakah memang akan terjadi sesuatu yang buruk?" desisnya lagi. Lalu dia menghela
napas panjang. "Dua puluh tahun aku hidup di padang ini
tanpa gangguan apa pun. Bahkan tak pernah terlintas sebuah kegelisahan seperti
saat ini. Dan kalaupun sekarang perasaanku makin tak enak, jelas
ini pertanda buruk. Apakah memang dia yang
akan datang?"
Lagi-lagi Pendekar Kebajikan mencoba memikirkan kemungkinan demi kemungkinan.
"Walau dia selalu menepati janji, bisa jadi dia
sudah tak sabar untuk bangkitkan kembali persoalan lama. Tapi, apakah memang ini
penyebabku gelisah?"
Angin malam terus berhembus dingin, membelai
seluruh tubuhnya dan membuat jubahnya sedikit
berkibar-kibar.
Mendadak saja dengan gerakan yang tak terlihat, tahu-tahu sosok lelaki berjubah
putih ini sudah berdiri di atas tanah. Kali ini pandangannya
dibawa berkeliling.
"Ketimbang aku diperbudak oleh rasa gelisahku,
lebih baik aku segera menyelidik. Sudah cukup
lama aku berada di sini dan sudah saatnya untuk
menengok dunia luar."
Tetapi dia tak segera lakukan maksud. Justru
dia menimbang-nimbang lagi apa yang akan dilakukannya.
Dua kejapan mata kemudian terlihat kepalanya
mengangguk-angguk.
"Sudah saatnya bagiku untuk tinggalkan tempat
ini. Kalaupun dia datang sekarang, bukan salahku
karena tak menyambut atau menyalahi janji. Karena, masih ada waktu satu purnama
mendatang untuk tuntaskan segala urusan," katanya pasti.
Namun kejap itu pula dia mendesis, "Tapi, apakah
ini perlu kulakukan?"
Dipikirkannya lagi keputusannya itu. Ditimbangkan baik-baik sampai terlihat dia
anggukkan kepala. "Satu purnama mendatang, aku akan kembali
ke tempat ini."
Memutuskan demikian, dengan membawa rasa
gelisahnya, Pendekar Kebajikan segera melangkah
meninggalkan padang itu. Tanpa sekali pun berpaling.
Tepat matahari sudah sepenggalan, Pendekar
Slebor hentikan langkahnya disebuah jalan setapak. Untuk sesaat anak muda
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini perhatikan sekelilingnya.
Kejap kemudian dia berkata sambil garuk-garuk
kepalanya, "Aku masih penasaran untuk mengetahui siapa sesungguhnya Dayang
Gunung Putih"
Sebelumnya, nampak sekali kalau dia coba pengaruhku dengan pesona gaibnya yang
memang sangat sulit ditepiskan. Tapi ya... setelah kujawab pertanyaannya, kok
dia seperti anak kecil ya" Kenapa
ya" Kenapa?"
Tak tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri,
Andika nyengir.
"Mungkin orang berjuluk Datuk Merah itu memang kekasihnya, dan dia sudah lama
tak berjumpa dengan kekasihnya. Dooo... begitu bersemangatnya" Tapi ya... kalau
soal cinta sih, semua
orang juga akan begitu. Cuma aku sajakah yang
tidak begitu. Apa ini... huh! Siapa orangnya yang
mau denganku, sih"!"
Makin lebar cengiran di bibir anak muda berpakaian hijau pupus ini.
"Bodoh betul kalau gadis-gadis tidak mau denganku yang tampan bin keren kayak
begini!" Dari cengirannya tadi, Andika mendadak tertawa keras. Merasa lucu dengan
ucapannya sendiri.
Dan mendadak saja tawanya terhenti, tatkala
angin timur bergerak ke arahnya. Kejap itu pula
nampak cuping hidungnya bergerak-gerak karena
mencium bau yang tidak sedap, bau yang terbawa
angin. "Busyet! Bau apa ini?" desisnya dengan kening
berkerut. "Kayak bau bangkai! Tapi bangkai apa
yang baunya sangat menyengat" Di sekelilingku
hanya terdapat ranggasan semak belukar dan pepohonan. Tak ada tanda-tanda ada
bangkai di sini" Jangan-jangan...."
Anak muda urakan ini garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Kejap kemudian dia mendengus,
"Landak mati! Bau busuk yang terbawa angin ini
datangnya dari arah timur! Berarti... ada bangkai
di sana! Dan rasanya... bukan bangkai hewan! Melainkan... mayat manusia!"
Pendekar Slebor sampai surut satu tindak sete-
lah tiba pada kesimpulan pikirannya. Untuk beberapa saat dia masih termangu
memikirkan kemungkinan itu.
Lalu desisnya terbata, "Jangan-jangan... mayatmayat itu dibunuh oleh Sumiati
yang telah dikuasai Kalung Setan" Tapi ya... aku tak boleh ambil
kesimpulan langsung seperti itu. Bisa jadi kalau
bau busuk yang kemungkinan berasal dari mayatmayat disebabkan karena wabah
penyakit. Wah! Bisa-bisa aku yang akan kena penyakit!"
Tapi wabah penyakit atau bukan, Andika sudah
berkelebat ke arah timur untuk membuktikan dugaannya. Dan pemuda tampan ini
harus menggeram keras dengan rahang merapat tatkala melihat
apa yang ada dihadapannya.
"Terkutuk! Terkutuk! Siapa orang yang telah lakukan pembantaian keji seperti
ini"!" desisnya
dengan mata membeliak lebar. Hawa amarah
mendadak saja naik ke ubun-ubunnya membuatnya tak melakukan tindakan apa-apa.
Bahkan dia sampai lupa untuk menahan napas dari bau busuk yang menyengat!
Lalu hati-hati Andika melangkah, melewati satu
mayat ke mayat lain. Dan dia kembali menggeram
setelah melihat beberapa mayat yang tewas dengan
tubuh memucat. "Menilik keadaan ini, tak bedanya dengan dua
sosok mayat yang kulihat sebelumnya. Dan ini jelas perbuatan Sumiati yang telah
dikuasai Kalung
Setan! Celaka tujuh belas setengah! Seperti apa
yang kukhawatirkan, kalau Kalung Setan itu akan
lepaskan teror! Terkutuk! Terkutuk!!"
Untuk beberapa saat Andika masih dibawa kemarahan di hatinya. Tangan anak muda
ini mengepal kuat. Matanya menatap liar mayat-mayat itu
satu persatu. "Monyet pitak! Bila terus menerus seperti ini,
apa jadinya kehidupan ini kelak" Aku harus hentikan tindakan kejam Kalung
Setan!" Masih dibawa rasa amarahnya, Andika mengumpulkan mayat-mayat itu dengan hati
nelangsa. Nuraninya seperti disayat-sayat menyaksikan keadaan di hadapannya.
''Aku harus hentikan tindakan Sumiati! Harus,
kendati apa pun yang terjadi!!" desisnya geram.
Dan dengan gerakan yang sangat cepat, Andika
merubuhkan rumah-rumah yang berada di sana,
untuk dijadikan sebagai kuburan mayat-mayat
yang berserakan.
Suara gegap gempita saat itu pula terdengar, diiringi teriakan-teriakan geram
Pendekar Slebor.
Cukup lama dia melakukan tindakan seperti itu,
sampai semua mayat-mayat yang ada di sana tertindih reruntuhan rumah, dan
menjadi kuburan
teraneh yang pernah terjadi.
Ditarik napasnya dalam-dalam, dihapus keringatnya dengan punggung tangannya.
"Jalan satu-satunya untuk hentikan tindakan
kejam Sumiati, adalah dengan cara merebut Kalung Setan! Entah kalung siapa itu
sebenarnya dan masih kupikirkan, mengapa kalung itu bisa mempengaruhi orang" Jelas ini ada
rahasianya! Dan
aku bertekad untuk memecahkan rahasia itu!"
Dengan napas masih megap-megap, Andika
mencoba memikirkan apa yang masih menjadi
tanda tanya. Namun dia tak bisa menemukan jalan keluar dari pikirannya. Dan ini
membuatnya sangat gemas bukan main!
"Kerbau bunting! Orang utan! Berpikir terus
menerus akan membuang waktu! Bisa jadi Sumiati
akan terus lancarkan teror mengerikannya!!"
Andika coba tenangkan jalan pikirannya. Diatur
napasnya setenang mungkin. Setelah pikiran jernihnya hinggap kembali di
benaknya, diperhatikan
gundukan bangun rumah yang telah hancur dan
menimbun mayat-mayat yang tadi dikumpulkannya.
"Aku harus bergerak cepat sebelum terlambat.
Dua kali aku telah kecolongan. Mungkin, bukan
hanya dua kali. Tetapi entah sudah beberapa kali,
karena aku tak mengetahuinya! Monyet pitak!
Akan kujitak kepala Sumiati!"
Habis mendesis demikian, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur
ini, segera balikkan tubuh. Kejap itu pula dihentikan langkahnya dengan kepala
menegak. Pandangannya lurus pada satu sosok tubuh
berjubah putih yang telah berdiri sejarak sepuluh
langkah dari tempatnya!
*** 10 Sebelum Andika terbebas dari keterkejutannya,
orang yang telah berdiri di hadapannya sudah
membuka mulut, "Kesabaran adalah jenjang terbaik baik seseorang untuk lakukan
satu tindakan. Karena dengan kesabaran, maka akan tersimpan
nurani kebaikan yang dapat mempertimbangkan
segala perbuatan. Anak muda, dari paras wajahmu, aku melihat kalau kau berada
dalam kegeraman. Apakah kau sudah memikirkan tindakanmu
selanjutnya?"
Di tempatnya Andika masih terdiam. Pandangannya masih tertuju pada lelaki
berjubah putih yang barusan buka suara.
"Dari ucapannya, jelas kalau dia orang baikbaik. Dan dari cara munculnya yang
tak kuketahui, jelas kalau dia bukanlah orang sembarangan.
Hem, siapa dia sebenarnya?"
Lalu sambil nyengir, si Urakan ini berkata,
"Wah! Memang betul tuh apa yang kau katakan!
Aku memang sedang geram! Tapi sekarang sudah
tidak lagi, kok. Ngomong-ngomong... ini kalau kau
tidak keberatan ya, boleh aku tahu siapa kau
adanya" Sebangsa jin atau orang" Kok aku tidak
tahu kau datang ke sini sih?"
Lelaki berjubah putih yang bukan lain Pendekar
Kebajikan adanya tersenyum. Angin pagi mengibarkan jubah bagian bawahnya.
"Cara bicara pemuda ini sungguh jenaka, terkandung sedikit kekonyolan yang
sebenarnya dapat memancing tawa. Dan nampaknya dia cepat
sekali berubah. Tadi kulihat dia masih dilingkupi
kegeraman, tetapi sekarang sudah bersikap seperti
itu. Jelas kalau sifat jenaka adalah sifat aslinya."
Habis berkata demikian, Pendekar Kebajikan
berkata, "Bila kau ingin tahu siapa aku adanya,
panggil aku dengan sebutan Pendekar Kebajikan."
"Sebuah julukan yang mulia. Dan sudah barang
tentu orang-orang rimba persilatan tak akan menjulukinya seperti itu bila dia
bukan orang bijak,"
kata Andika dalam hati. Lalu katanya, "Pendekar
Kebajikan, sangat senang berkenalan denganmu.
Tapi ya... aku tak bisa berlama-lama di sini, karena masih ada urusan lain."
Kembali Pendekar Kebajikan tersenyum.
"Aku pun tak bisa berlama-lama di tempat ini,
karena aku juga mempunyai satu urusan. Dan
kau sudah mengetahui siapa aku adanya. Apakah
tidak sebaiknya kau sebutkan siapa dirimu?"
Kali ini Andika garuk-garuk kepalanya sambil
nyengir. "Namaku Andika," sahutnya singkat.
"Dari cara berpakaianmu dan gerakan kedua
kaki yang nampak sangat ringan, aku yakin kau
Pendekar Slebor 69 Kalung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan orang kebanyakan. Siapakah julukanmu?"
Cengiran Andika makin lebar.
"Wah! Kalau itu sih tidak usah saja, deh, Tapi
ya... aku ini memang tergolong orang baik-baik,
lho. Jadi kukatakan saja. Cuma kau jangan anggap terlalu serius ya" Karena aku
tidak se slebor
yang orang duga."
Justru terdengar ucapan Pendekar Kebajikan,
"Dan tentunya kau berasal dari Lembah Kutukan,
bukan?" "Lho! Kok tahu" Wah! Tidak nyangka nih kalau
aku begitu ngetop!"
"Dan kau dikenal dengan julukan Pendekar Slebor."
"Tapi jangan anggap aku slebor ya" Tidak lho!
Kalaupun slebor ya... cuma sedikitlah."
Pendekar Kebajikan tersenyum. "Kendati dua
puluh tahun aku berdiam di Padang Sunyi, tetapi
julukan Pendekar Slebor telah sampai ke telingaku
akhir-akhir ini. Sungguh tak kusangka kalau dia
masih sedemikian muda. Sebenarnya, aku tidak
tahu siapa pemuda di hadapanku ini bila dia tidak
mengatakan tentang masalah kesleborannya. Dan
rupanya, yang menjadi kegelisahanku adalah peristiwa mengerikan yang terpampang
di hadapanku."
Habis membatin demikian, Pendekar Kebajikan
berkata, "Anak muda... siapakah orang yang telah
melakukan pembantaian ini?"
Mendengar pertanyaan orang, sesaat kemarahan Andika naik kembali. Tapi segera
ditindihnya dan sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dia menceritakan apa yang
telah terjadi. "Kalung Setan... baru kali ini kudengar ada
benda mengerikan seperti itu. Apakah kau tidak
salah?" Andika menggeleng.
"Aku pernah menyaksikan kekejaman Kalung
Setan yang telah mempengaruhi seorang gadis tak
berdosa, yang membuatnya menjadi sekejam setan
dan memiliki kesaktian yang luar biasa."
"Berbahaya."
"Ya, sangat berbahaya."
"Lantas... di manakah gadis malang bernama
Sumiati itu berada sekarang?"
Andika menggeleng.
"Aku tak punya gagasan lain di mana gadis itu
berada kecuali dia akan terus turunkan teror demi
teror yang mengerikan. Kalung Setan merupakan
sebuah benda yang sangat jahat. Dan tak akan
pernah mengenal kata puas."
Pendekar Kebajikan terdiam dan mengeluh dalam hati.
"Rupanya, aku memang terlalu lama berdiam di
Padang Sunyi. Dan pikiranku hanya terpusat pada
dia yang akan datang menuntut balas. Pada kenyataannya, rimba persilatan saat
ini sedang dikacaukan oleh sebuah benda bernama Kalung Setan,
yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi sekejam iblis," kata Pendekar
Kebajikan dalam
hati. Lalu sambil pandangi pemuda berpakaian hijau
pupus di hadapannya dia berkata, "Pendekar Slebor... aku mungkin termasuk salah
seorang yang tak pernah membiarkan kejahatan merajalela. Beri
tahu padaku ciri gadis itu dan Kalung Setan."
Andika segera menerangkannya. Kemudian
sambungnya, "Terima kasih bila kau hendak lakukan tindakan seperti itu. Dan
kuharap, kau masih
bisa memberi belas kasihan pada gadis itu...."
"Sudah tentu yang akan kurebut adalah kalung
celaka yang telah menyesatkan gadis itu."
Andika mengangguk-anggukkan kepala. Pandangannya lekat pada Pendekar Kebajikan.
"Hem, lelaki gagah ini termasuk salah seorang
yang pandai menyembunyikan sesuatu. Namun
kendati dia lakukan hal itu, dari sorot matanya
aku menangkap kilasan kalau dia sendiri sedang
ada masalah. Seperti yang dikatakannya sebelumnya. Apakah aku perlu menanyakan
soal itu?"
Andika terdiam beberapa saat sebelum memutuskan untuk bertanya."
Pendekar Kebajikan hanya tersenyum mendengar pertanyaan Andika. Masih tersenyum
dia berkata, "Apa yang kau katakan tadi memang benar.
Saat ini ada persoalan yang berkutat di benakku.
Tapi, apakah pantas bila ku kemukakan persoalanku ini yang akan menjadi
pikiranmu?"
"Cara dia berucap sungguh santun sekali. Ah,
tidak enak rasanya karena telah lancang campuri
urusannya," kata Andika dalam hati. Lalu buruburu berkata, "Maafkan sikapku
tadi." "Tak jadi masalah. Apakah tidak sebaiknya kita
berpisah di sini?"
Andika menganggukkan kepalanya. "Ya. Dan
sebelumnya, aku ucapkan terima kasih karena
kau mau memikul sebagian bebanku."
Pendekar Kebajikan tersenyum.
"Aku bukanlah ahli meramal. Tapi aku bisa
mengatakan, kalau kelak, urusanmu bukan hanya
terpusat pada masalah Kalung Setan. Melainkan,
ada masalah besar yang akan kau hadapi."
"Kutu loncat! Ucapannya membuatku jadi penasaran. Tapi masa bodoh ah, besar atau
kecil urusan yang akan menghadangku, toh akan kuhadapi
juga." Habis membatin demikian Andika berkata,
"Mudah-mudahan, kelak kita akan berjumpa lagi."
Tetap tersenyum Pendekar Kebajikan angguk-
kan kepala. Kejap kemudian dia sudah berkelebat
meninggalkan tempat itu, diantar oleh pandangan
Andika. Setelah sosok lelaki gagah berjubah putih lenyap dari pandangannya, Andika tarik
napas pendek. "Kerbau bunting! Kok aku jadi makin penasaran
sih" makinya dalam hati. "Apa maksud ucapan
Pendekar Kebajikan tadi" Masalah besar" Masalah
apa ya?" Sesaat anak muda urakan ini terdiam sebelum cengengesan sendiri,
"Jangan-jangan... masalah karena aku belum makan kali ya" Perutku
sudah keroncongan! Huh! mendingan cabut ah,
sembari mencari makanan!"
Memutuskan demikian, Andika segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Sejarak
dua puluh tombak dia berlalu dari dusun yang telah dikacaukan Kalung Setan mendadak saja
anak muda ini hentikan langkahnya.
Lima langkah di hadapannya, telah berdiri seorang kakek berwajah tirus dan
berpakaian merah!
SELESAI ikuti kelanjutan serial ini:
MALAIKAT KEADILAN
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Wanita Gagah Perkasa 13 Dewa Arak 24 Pertarungan Raja-raja Arak Pedang Sinar Emas 17