Pencarian

Lima Jalan Darah 1

Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah Bagian 1


LIMA JALAN DARAH
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penyunting oleh Puji S.
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam episode Lima Jalan darah
128 hal. 1 Malam merangkak naik. Makin jauh tenggelam dalam kegelapan mengurung jalan
setapak yang dipenuhi ilalang lebat dan pepohonan besar. Suasana bagai mati
belaka. Di atas
sana, awan hitam membulat tebal bagaikan wanita bunting yang siap melahirkan.
Suasana begitu mencekam dan mengerikan, kala tak seekor binatang malam pun terlihat.
Tak semestinya bila ada orang yang melintasi jalan setapak itu. Malah justru
menghentikan larinya di sana. Dan itu yang dilakukan satu sosok berwajah mirip
tengkorak. Rambut acak-acakannya tergerai hingga ke pinggul. Mata celongnya yang berwarna
kelabu melihat ke kanan-kiri. Hanya kesepian belaka.
"Brengsek! Di mana tempat yang tepat bagiku untuk mengobati manusia jelek ini"!"
maki sosok berwajah tengkorak yang ternyata perempuan berpakain hitam. Dari tubuhnya
menebar bau yang sangat busuk.
Rupanya, si perempun sedang memanggul satu sosok yang sedang pingsan. Padahal,
sosok yang dipanggul berbobot dua kali lebih besar Tapi dia enak saja
membawanya. Bisa
jadi kepandaian tokoh ini sudah sangat tinggi.
"Pendekar Slebor keparat" desis sosok itu dengan kegeraman menggelegak. "Setelah
kuobati Hantu Gigi Gading ini, kau akan berhadapan kembali dengan Dewi Sungai
Bangkai! Akan kubalas kematian Sahabatku si Gampo Sinting!"
Sosok berwajah tengkorak ini memang tak lain dari Dewi Sungai Bangkai, Penguasa
Sungai Bangkai. Sungai yang bukan berisi air tenang, tapi berisi air busuk yang
penuh mayat. Benak Dewi Sungai Bangkai teringat pertarungan terakhirnya dengan Pendekar
Slebor di Gunung Kidul. Di tempat itu sahabatnya si Gampo Sinting, tewas. Sedang Hantu
Gigi Gading terluka parah (Untuk lebih jelasnya, silakan bacaPendekar Slebor dalam episode:
"Tasbih Emas Bidadari").
Sosok bau busuk itu berkelebat lagi. Dia berhenti begitu melihat sebuah gubuk
yang sudah miring ke kiri.
"Hmm.... Pasti milik para penebang kayu. Ini menguntungkan bagiku," gumamnya.
Si perempuan merebahkan tubuh Hantu Gigi Gading yang luka parah akibat sambaran
pedang murid Malaikat Putih Bayangan Maut yang bernama Nilakanti. Namun Dewi
Sungai Bangkai mengesampingkan soal Nilakanti Yang diinginkannya hanya Pendekar Slebor.
Si pemuda berwatak semau udelnya itulah yang menggagalkan seluruh keinginan si
Gampo Sinting untuk mendapatkan pusaka Tasbih Emas Bidadari milik Ki Bubu Jagat. Dan
yang membuatnya makin uring-uringan setelah tahu kalau Pendekar Slebor-lah yang
memiliki pusaka langka itu.
Dewi Sungai Bangkai memeriksa tubuh Hantu Gigi Gading. "Edan! Lukanya begitu
parah! Sabetan pedang ini begitu dalam! Kalau tidak segera kutolong, tamat riwayatnya!"
Si perempuan tua berbaju hitam bau busuk itu terdiam. Mulutnya berkomat-kamit.
Kalau sudah begitu, makin seram saja wajahnya. Ketika kedua tangannya berubah hitam
legam, perlahan-lahan ditempelkan di tubuh Hantu Gigi Gading. Si lelaki kontan
melejang-lejang,
namun tetap dalam keadaan pingsan.
Hampir sepeminuman teh Dewi Sungai Bangkai berkutat mengobati Hantu Gigi Gading.
Keringatnya yang baunya seperti kencing kuda membasahi sekujur tubuhnya yang
apek. "Kau berhutang nyawa denganku, Monyet Jelek!" makinya sambil mengambil sikap
semadi. Baru saja mata celong si perempuan tua terpejam, tiba-tiba saja terdengar deru
angin luar biasa kerasnya. Serentak dengan kecepatan tinggi, Dewi Sungai Bangkai
menyambar tubuh Hantu Gigi Gading yang baru saja diobatinya. Dengan pencalan satu kaki,
tubuhnya melesat ke luar.
Duaaar! Terdengar suara ledakan keras. Dan gubuk yang baru saja didiami itu telah hancur
berantakan. "Setan keparat! Iblis mana yang berani menjual lagak di hadapanku!" bentak Dewi
Sungai Bangkai setelah meletakkan tubuh Hantu Gigi Gading di tempat tersembunyi.
"Malam-malam begini tercium bau busuk! Hai... Siapa orang yang belum mandi"!
Makanya, lebih baik mampus saja daripada membuat hewan - hewan disini tak ada
yang keluar seekor pun!"
Terdengar suara penuh wibawa yang bergema di sekitar. Lalu disusul berkelebatnya
satu bayangan biru menyala ke arah Dewi Sungai Bangkai dan berhenti di depannya.
*** Dewi Sungai Bangkai memicingkan mata celongnya, menatap satu sosok pemuda tegap
berwajah tampan berdiri di hadapannya. Pakaiannya warna biru menyala. Terbuka di
bagian atas, hingga memperlihatkan bagian dadanya yang bidang. Rambutnya yang panjang
digelung ke atas. Meskipun wajahnya sangat tampan, namun sinar matanya memperlihatkan
kekejian luar biasa. "Orang muda keparat! Siapa kau"!" bentak Dewi Sungai Bangkai keras.
"Brengsek! Rupanya ada mayat hidup di sini! Pantas baunya sampai ke mana-mana!"
"Orang muda kurang ajar! Kusobek mulutmu!"
"Bicaramu yakin sekali. Tapi aku ingin bukti!"
"Pemuda hina dina! Mampuslah kau!"
Meski sudah kenyang menelan asam garam dunia persilatan, tak urung Dewi Sungai
Bangkai terpancing juga. Tangannya langsung bergerak cepat. Maka lima larik
sinar hitam tiba-tiba melesat dahsyat.
Namun si pemuda berpakaian biru menyala hanya tertawa. Lima jengkal serangan itu
berada di depannya, dia melompat ke samping.
Jdar! Jdar...! Lima sinar hitam luput mendarat di sasaran, dan hanya menghantam pohon-pohon di
sana hingga bertumbangan dan hancur berentakan.
Di luar dugaan si pemuda, bau busuk mendadak tercium. Dan ini sangat menyesakkan
dadanya. Malah, lehernya terasa bagai dililit tali kasat mata. Dan napasnya pun
tiba-tiba tersendat. Pukulan yang dilepaskan Dewi Sungai Bangkai memang sangat hebat.
"Rasakan ajian kebanggaanku, 'Angin Bangkai Melilit Leher'! Makanya, kau jangan
menjual lagak di sini! Dan aku tak pernah mengampuni siapa pun juga!"
Sehabis berkata begitu, Dewi Sungai Bangkai mengirimkan ajian kebanggaannya
kembali. Maka bau busuk yang sangat menyengat makin mengunci gerak tubuh si
pemuda. Semakin keras tawa Dewi Sungai Bangkai melihat pemuda itu tahu-tahu ambruk
sambil memegang lehernya.
"Cih! Kau belum mengenalku rupanya!"
Tanpa peduli lagi. Dewi Sungai Bangkai melangkah untuk mengambil tubuh Hantu
Gigi Gading yang masih pingsan. Dan dia bermaksud untuk meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja kakinya melangkah dua tindak.
"Mau kemana kau, Orang Tua?"
Dikawal suatu keterkejutan Dewi Sungai Bangkai menoleh. Dan perempuan tua itu
benar-benar hampir tak bisa mempercayai pandangannya sendiri. Pemuda yang tadi
sudah ambruk itu berdiri tegak dengan kedua tangan mendekap di dada dalam keadaan baik
saja. "Kau!!"
"Sudah kukatakan tadi, bicaramu terlalu yakin. Kenyataannya, hanya pepesan
kosong!" leceh si pemuda berbaju biru. Tatapannya memancarkan sinar panas, membuat siapa
saja yang melihatnya menjadi mpot-mpotan. Termasuk Dewi Sungai Bangkai yang mendadak
bulu kuduknya meremang.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" Entah apa sebabnya, pertanyaan itu terlontar
begitu saja dari bibir keriput si perempuan tua.
"Itukah pertanyaan terakhir menjelang ajalmu" Ha ha ha...! Aku suka sekali
memberitahukan siapa diriku pada orang yang akan mampus! Panggil aku dengan
sebutan Lima Jalan Darah!" seru si pemuda dengan suara ditekan.
Kening keriput Dewi Sungai Bangkai berkerut. Baru kali ini telinganya mendengar
seorang tokoh muda yang berjuluk Lima Jalan Darah.
"Lima Jalan Darah! Sebuah julukan yang lumayan! Tapi, sayang. Tak membuat
nyaliku kendor. Huh! Aku jadi ingin melihat kehebatanmu!"
Sehabis berkata begitu, Dewi Sungai Bangkai berkelebat laksana anak panah
terlepas dari busur. Gebrakannya sangat dahsyat, menebarkan bau busuk luar biasa.
Kalau tadi si pemuda nampak tenang-tenang saja, kali ini tubuhnya pun berkelebat
cepat ke arah Dewi Sungai Bangkai.
Des! Tuk! Benturan keras itu terjadi. Tubuh Dewi Sungai Bangkai terlontar empat tombak ke
belakang. Malah tiba-tiba saja tubuhnya terasa menggigil hebat. Kaki sebelah
kanannya tak dapat digerakkan lagi. Sementara pemuda yang mengaku berjuluk Lima Jalan Darah
mendarat empuk di tanah sambil menebarkan senyum dingin.
"Yang baru kulakukan adalah totokan jalan darah ke satu. Masih ada empat buah
jalan darah yang harus kumatikan. Sehingga kau tak akan mampu menggerakkan tubuhmu
sedikit pun. Hm.... Sangat menyenangkan melihatmu tersiksa. Karena, aku memang gemar
sekali menyiksa orang!"
Sehabis menyelesainkan kalimatnya, mendadak tubuh Lima Jalan Darah berkelebat
sangat cepat. Kedua tangannya bergerak amat cepat, sebanyak dua kali ke arah
leher dan pinggul Dewi Sungai Bangkai.
Tuk!Tuk! Dikawal satu keterkejutan yang amat sangat Dewi Sungai Bangkai merasakan
lehernya bagai patah. Sementara pinggulnya seakan lepas dari tubuhnya.
"Setan keparat!" maki si perempuan tua dengan tubuh goyah.
"Sesuai julukanku, totokan 'Lima Jalan Darah' terdiri dari lima cara menuju
kematian dengan menotok jalan darah di tubuh lawan. Orang yang terkena totokan yang ke
satu, maka tubuhnya sudah mati seperlima. Meskipun masih dapat bergerak, namun dalam waktu
lima hari akan mati. Bila terkena totokan yang kedua, dia tak akan mampu lagi
bernapas seperti
biasa. Walaupun masih selamat, namun akan mati dalam waktu empat hari. Bila
terkena totokan ketiga maka sendi-sendinya akan mati. Meskipun masih selamat namun akan
mati dalam waktu tiga hari. Bila terkena totokan keempat, maka seluruh kekuatan otot
yang ada di tubuhnya akan hilang. Meskipun masih selamat, namun akan mati dalam waktu dua
hari. Dan bila terkena totokan yang kelima, maka aliran darahnya terhenti. Bahkan
jantungnya akan
mencelat keluar. Dia akan mati saat itu juga! Kau masih beruntung karena masih
kuberi ke- sempatan untuk hidup, Dewi Sungai Bangkai. Sehingga, aku tak melakukan totokan
yang kelima secara langsung. Bukankah tadi kukatakan, aku sangat senang sekali
menyiksa lawan-
lawanku" Ha ha ha...!"
Tubuh Dewi Sungai Bangkai bergetar hebat. Getaran itu terjadi di samping rasa
gelegak marahnya, juga seluruh tubuhnya bagai tak mampu melakukan apa-apa. Sementara,
hawa napas terus menyengat.
"Bila kau memang jantan, bunuh aku!" sentak Dewi Sungai Bangkai, mulai putus
asa. "Hm.... Totokan jalan darah pertama, kedua, dan ketiga pada dirimu sudah cukup
mengirimmu ke neraka!"
"Keparat buduk! Iblis kau!"
Lima Jalan Darah terbahak-bahak.
"Kau sekarang menjadi orang suci rupanya! Nama Dewi Sungai Bangkai sudah lama
kudengar karena kekejaman dan kebusukan hati iblisnya. Namun sekarang, begitu
suci sekali laksana dewi!"
Mata Dewi Sungai Bangkai bagai hendak meloncat dari rongganya. Mulutnya yang
keriput tanpa gigi merapat tajam.
"Tetapi, aku akan mengampuni nyawa busukmu, bila kau bersedia memenuhi dua
persyaratanku!" lanjut si pemuda.
"Keparat! Tak sudi aku diperintah seperti itu!" dengus si perempuan tua.
"Hm.... Ingat saja. Kau sudah terkena totokan jalan darah ketiga. Berarti, tiga
hari lagi kau akan mampus! Dan yang perlu diketahui, setiap tengah malam, tubuhmu akan semakin
terasa panas. Sehingga akhirnya kau akan mampus dengan tubuh meledak!"
Pucatlah wajah si perempuan keji itu. Meskipun dalam keadaan tak berdaya, otak
warasnya masih bisa dipergunakan. Dia harus membunuh Pendekar Slebor. Kalau
mampus sekarang, berarti tak pernah bisa membalaskan sakit hati sahabatnya, si Gampo
Sinting.

Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan!" ujarnya dengan suara ditekan.
"Sudah kuduga kau akan menyetujuinya! Dengar baik-baik! Pertama, setelah
kubebaskan dari segala jalan darah yang kulakukan kepadamu, kau harus jadi pengikutku!
Katakan sekarang juga, sebelum kulanjutkan yang kedua!"
Sambil menahan kegeraman luar biasa, Dewi Sungai Bangkai mengangguk.
"Setan tua bau tanah!"
Diiringi satu desisan. tangan Lima Jalan Darah bergerak.
Wusss! Plass! Angin dingin kontan menampar pjpi Dewi Sungai Bangkai. Si perempuan tua
terguling ke belakang disertai muntahan darah.
"Aku bukan ingin melihat anggukan atau gelengan! Aku ingin kau bersuara!" tandas
si pemuda. "Ya!" seru Dewi Sungai Bangkai keras dengan tubuh bergetar menahan marah.
Tawa Lima Jalan Darah semakin mengeras.
"Menyenangkan sekali memiliki seekor anjing setia sepertimu! Tetapi, jangan
berbahagia dulu! Karena bila kau tak bisa memenuhi persyaratan kedua, akan percuma saja
menyetujui persyaratanku yang pertama!"
"Katakan, Keparat!"
"Aku sedang mencari seorang pemuda berbaju hijau pupus dan memiliki sehelai kain
bercorak catur! Julukannya, Pendekar Slebor! Bila kau mengetahui di mana
pendekat sialan
itu, maka kau akan kubebaskan!"
Kening Dewi Sungai Bangkai berkerut. Persyaratan yang sangat mudah sekali.
Tetapi dia ingin tahu dulu, mengapa Lima Jalan Darah hendak mencari Pendekar Slebor.
"Mengapa kau mencarinya?" tanya si perempuan tua, tak dapat menahan rasa
penasarannya. "Ini urusanku!" bentak Lima Jalan Darah.
"Aku mengetahui dia berada di mana!"
"Katakan!" tandas Lima Jalan Darah, mengandung kegeraman tinggi.
"Katakan pula, apa maksudmu untuk mencarinya?"
"Hhh! Pendekar Slebor katanya memiliki kesaktian setinggi langit. Tapi dia harus
mampus di tanganku! Aku muak mendengar orang-orang rimba persilatan kerap kali
menyanjung kesaktiannya. Juga, karena dia telah membuat malu sahabatku yang berjuluk
Malaikat Mata Satu!" papar Lima Jalan Darah dengan wajah memerah.
Si pemuda teringat bagaimana ketika Malaikat Mata Satu datang ke kediamannya di
Gua Seribu Darah dalam keadaan luka parah. Laki-laki bermata satu itu menceritakan
semua yang terjadi. Maka hati Lima Jalan Darah kontan bagai teraduk-aduk ketika mendengar
siapa yang telah mempermalukan sahabatnya. Pendekar Slebor-lah orangnya.
Setelah berhasil mengobati sahabatnya itu, si pemuda pun segera meninggalkan Gua
Seribu Darah. Dia bermaksud mencari Pendekar Slebor. Di samping ingin
membalaskan sakit
hati Malaikat Mata Satu, juga ingin membuktikan omongan orang-orang yang
membicarakan tentang kehebatan Pendekar Slebor. Telah dua bulan dia mencari Pendekar Slebor
(Untuk mengetahui siapa adanya Malaikat Mata Satu, silakan baca : "Jodoh Sang
Pendekar").
Lima Jalan Darah sebenarnya dulu hanyalah seorang pemuda kurus yang tak berdaya.
Tak memiliki sanak saudara. Dan secara tak sengaja, dia tiba di Gua Seribu Darah
yang sebelumnya dihuni dedengkot sesat rimba persilatan, Setan Seribu Darah. Di
tangan laki-laki
tua bangka kejam itulah si pemuda digembleng menjadi salah seorang tokoh sesat
yang kini patut diperhitungkan.
Sejak pertama kali bertemu Setan Seribu Darah, si pemuda yang sebelumnya bernama
Sabur Santang, Telah diubah dengan panggilan Lima Jalan Darah. Sebagai murid
Setan Seribu Darah, Lima Jalan Darah pun telah berubah menjadi tokoh kejam. Di
tangannyalah seluruh keinginan Setan Seribu Darah berhasil dijalankan. Hingga akhirnya, dia
pun mengenal tokoh Malaikat Mata Satu dan menjadi sahabatnya.
Setelah sepuluh tahun berlalu, Setan Seribu Darah pun meninggalkan Gua Seribu
Darah untuk mencari musuh bebuyutannya yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu. Pada satu
pertarungan, Setan Seribu Darah berhasil dikalahkan Penghulu Segala Ilmu. Dan
dia pun mengasingkan diri di Gua Seribu Darah sekaligus memperdalam kesaktiannya. Baru
setelah itu dia keluar dari gua untuk mencari Penghulu Segala Ilmu.
Sejak saat itulah Lima Jalan Darah tak lagi keluar dari Gua Seribu Darah, karena
sangat mentaati perintah gurunya yang sedang mencari musuh bebuyutannya.
Namun kehadiran sahabatnya yang berjuluk Malaikat Mata Satu yang terluka parah
di tangan Pendekar Slebor, menyebabkan Lima Jalan Darah melanggar amanat gurunya.
Karena menurut perhitungannya, dia akan bisa membalaskan sakit hati Malaikat
Mata Satu pada Pendekar Slebor sebelum gurunya tiba kembali di Gua Seribu Darah.
Sementara itu, Dewi Sungai Bangkai terdiam. Matanya yang celong ke dalam semakin
masuk saja ketika memperhatikan sosok berpakaian biru di hadapannya. Dia pernah
mendengar julukan Malaikat Mata Satu. Tetapi bagaimana mungkin pemuda yang
menurut perhitungannya baru berusia sekitar dua puluh tiga tahun, bersahabat dengan
Malaikat Mata Satu yang berusia sekitar lima puluh tahun" Tetapi, keheranannya tidak
diutarakannya. Karena dalam persahabatan tak mustahil hal itu terjadi.
Dan mendengar keinginan Lima Jalan Darah untuk membunuh Pendekar Slebor, Dewi
Sungai Bangkai bagai melihat kesempatan emas di depan matanya. Kini dia pun
tahu, kalau Lima Jalan Darah yang masih muda dan memiliki kesaktian tinggi, ternyata satu
golongan dengannya. "Aku tahu tentang Pendekar Slebor!" cetus si perempuan tua, tanpa ragu.
"Katakan cepat!" ujar si pemuda mendesis tidak sabar.
Dewi Sungai Bangkai menceritakan apa yang baru dialaminya dengan Pendekar
Slebor. "Dia kini telah memiliki pusaka langka yang ternyata Tasbih Emas Bidadari. Aku
pun mempunyai keinginan yang sama denganmu untuk membunuhnya!" ungkap Dewi Sungai
Bangkai. "Bagus, bagus sekali! Malaikat Mata Satu akan senang bila mendengar pendekar
keparat itu telah mampus di tanganku! Dan aku bisa kembali ke Gua Seribu Darah!"
Lima Jalan Darah lantas berkelebat ke arah Dewi Sungai Bangkai. Tangannya
bergerak tiga kali. Tuk! Tuk! Tuk! "Aaah...!"
Seketika, totokan jalan darah pada tubuh Dewi Sungai Bangkai terbuka. Tubuh
perempuan tua sesat itu bukan hanya mengejut, tetapi juga terjungkir disertai
teriakan keras.
Karena, totokan pembuka itu terasa menyakitkan sekali.
Lima Jalan Darah hanya tersenyum dingin.
"Sekarang, kita cari Pendekar Slebor! Akan kuhabisi dia dengan jurus 'Lima Jalan
Darah'!" kata Lima Jalan Darah, terdengar memuakkan.
Dewi Sungai Bangkai mengangguk. Nyeri akibat pembuka totokan yang dilakukan Lima
Jalan Darah masih terasa. Namun diam-diam keningnya berkernyit, ketika tadi
mendengar dari mana asal Lima Jalan Darah.
Gua Seribu Darah, setahu Dewi Sungai Bangkai adalah tempat kediaman Setan Seribu
Darah yang pernah dikalahkan Penghulu Segala Ilmu puluhan tahun lalu. Kalau
memang cerita pemuda ini benar bisa dipastikan dia adalah murid dari Setan Seribu
Darah, salah satu
dedengkot rimba persilatan yang banyak menurunkan tangan telengas. Namun si
perempuan tua tak mau memikirkan soal itu lagi. Yang terpenting sekarang, dia merasa
memiliki bantuan
yang tak ternilai dari Lima Jalan Darah untuk menghancurkan Pendekar Slebor!
"Hantu Gigi Gading pasti akan senang bila tahu semua ini," pikirnya. Lalu
tubuhnya berkelebat untuk mengambil tubuh Hantu Gigi Gading yang masih pingsan.
*** 2 Matahari tak henti merangkak naik. Dua anak muda di bawahnya pun juga tak henti
melangkah. Padahal peluh telah membasahi tubuh. Mereka adalah seorang pemuda dan
seorang gadis. "Ngomong-ngomong, masih jauhkah Lembah Matahari itu, Nila?" tanya si anak muda
yang berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur tersampir di bahu.
Rambutnya yang gondrong acak-acakan dipermainkan oleh angin lembut.
"Kita masih membutuhkan waktu sekitar tiga hari, Kang Andika...," sahut gadis di
sebelah si pemuda. Wajahnya sangat cantik. Pakaian berwarna putih dengan ikat kepala
berwarna sama. Rambutnya panjang sebahu. Di punggungnya bertengger sebilah pedang berhulu
ukiran kepala naga dengan warangka indah.
Sesekali si pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor melirik Nilakanti.
Entah apa arti lirikannya. Saat ini mereka sedang menuju Lembah Matahari. Sesuai
amanat Sapta Jingga sebelum ajalnya, Pendekar Slebor diminta menyerahkan Tasbih Emas
Bidadari, kepada Malaikat Putih Bayangan Maut bila telah berhasil mendapatkannya. Dan
secara tidak terduga buat Andika, ternyata Nilakanti adalah murid dari Malaikat Putih
Bayangan Maut. (Baca : "Tasbih Emas Bidadari").
Andika sebenarnya khawatir terhadap Tasbih Emas Bidadari yang berada di balik
baju hijau pupusnya. Karena dia yakin, Dewi Sungai Bangkai yang membawa lari tubuh
Hantu Gigi Gading tak akan tinggal diam. Apalagi menurut Nilakanti, mereka masih
membutuhkan waktu
sekitar tiga hari lagi untuk tiba di Lembah Matahari. Padahal, mereka sudah
berjalan selama
tujuh hari. Lain halnya Nilakanti. Bila Andika agak cemas memikirkan kemungkinan itu, gadis
jelita ini nampak gembira sekali. Kegembiraannya ada dua hal. Pertama, karena telah
menunaikan amanat gurunya untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari yang sekarang berada pada
Pendekar Slebor. Dan yang kedua, karena berjalan bersama pendekar gagah perkasa
yang banyak dibicarakan orang. Meskipun pada awalnya, Nilakanti agak jengkel melihat
sikap Andika yang urakan dan suka berbicara seenak jidatnya saja. Namun, lama-kelamaan
dia tahu kalau di balik sikap yang urakan Pendekar Slebor tersimpan kelembutan dan
kebijaksanaan berpikir. Ketika mereka tiba di sebuah desa, tanpa disadari ada empat pasang mata
mengawasi dengan penuh hasrat.
"Ini tak boleh dilewatkan, Gandowoto. Ketua pasti sangat senang bila gadis itu
kita bawa kehadapannya!" kata salah seorang yang terus mengawasi. Dia adalah seorang
lelaki bercodet di pipi kanan.
"Kau benar, Sutaboga!" sahut lelaki yang wajahnya banyak ditumbuhi jerawat.
"Ketua akan memberikan uang yang banyak untuk kita." lelaki yang berkulit sangat hitam.
"Tunggu, Jatilangor!" cegah lelaki yang bercambang bauk. Kau dan yang lain urus
pemuda itu. Dan aku urus bunga jelita itu.
*** Diselingi pembicaraan ringan, Pendekar Slebor dan Nilakanti terus melangkah.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika tahu-tahu Andika sudah berkelebat
sambil menarik tangan Nilakanti. Terpaksa gadis itu mengikutinya
"Brengsek! Ada apa sih" Main pegang sembarangan!" maki Nilakanti di balik semak.
Andika cuma mengangkat kedua alisnya yang hitam legam bak kepakan sayap elang.
"Tidak apa-apa, kok. Aku hanya ingin memegang lenganmu saja."
"Hhh! Menyesal aku berjalan bersamamu!"
"Ssstt!"
Nilakanti jadi terdiam mendengar desisan Andika. Dia melihat dari celah semak-
semak tempat empat orang laki-laki bersenjata parang besar di pinggang sedang
celingukan. "Siapa mereka, Kang Andika?"
"Lho" Kok malah tanya aku" Kalau aku tahu, mengapa aku harus mengajakmu ke balik
semak-semak ini."
Keempat laki-laki yang sedang celingukan itu memperhatikan sekelilingnya.
"Edan! Aku yakin tadi mereka berada di sini," runtuk lelaki bercambang bauk yang
dipanggil Gandowoto.
"Ya! Tetapi ke mana mereka?" lelaki berkulit sangat hitam yang bernama
Jatilangor. "Bunga itu jangan sampai lolos! Ini kesempatan emas untuk kita!"seru lelaki
berwajah penuh jerawat. Di balik kerimbunan semak, keisengan Andika timbul lagi.
"Mereka mencarimu, Nila."
"Brengsek!" maki Nilakanti.
"Lho" Kok marah" Baiknya kau temui mereka saja. Siapa tahu kau berjodoh dengan
salah seorang dari mereka?"
"Kang Andika ini! Menggoda saja! Tanganku jadi gatal untuk membunuh mereka!"
"Kenapa memangnya" Mereka tampan-tampan, lho! Mungkin monyet buduk kalah
tampan dengan mereka!"
Nilakanti melotot pada Andika.
"Diam tidak"! Nanti kucubit pinggangmu keras-keras!"
Andika nyengir kuda. Dan kuda pun pasti kalah tampan dengan Andika bila sedang
nyengir seperti ini.
"Kalau kau tidak mau menjadi jodoh salah seorang dari mereka, kita tinggalkan


Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja tempat ini," susul Andika.
"Tidak, aku ingin memberi pelajaran pada orang-orang kurang ajar itu!" tegas si
gadis. Andika merasa keputusan Nilakanti hanya buang-buang waktu saja. Karena, mereka
harus segera tiba di Lembah Matahari.
"Tidak usah. Biar saja. Toh kita..., hei!"
Kata-kata Pendekar Slebor terpenggal dan berganti keterkejutan saat tubuh
Nilakanti sudah melesat ke depan.
*** Gandowoto dan tiga orang temannya terbahak-bahak begitu Nilakanti berdiri di
hadapan mereka. "Rupanya gadis ini mengerti maksud kita! Nona manis..., apakah kau bersedia kami
persembahkan pada Ketua?" kata Jatilangor, menyeringai memuakkan.
"Manusia-manusia berotak kotor! Tinggalkan tempat ini. Atau, nyawa kalian akan
putus!" bentak Nilakanti.
"Luar biasa sekali! Dia galak! Dan aku yakin, dia pun liar di ranjang! Ketua
pasti akan senang mendapat hidangan istimewa seperti ini!" sahut Jatilangor. "Ke mana
pemuda urakan yang tadi berjalan bersamamu" Apakah kau sudah sadar kalau pemuda itu tidak
cocok untukmu?" Tiba-tiba saja tubuh Nilakanti berkelebat cepat. Lalu....
Plak! Tubuh Jatilangor terhuyung ke belakang dengan mulut berdarah. Entah bagaimana
melakukannya, Nilakanti tahu-tahu sudah menampar mulut kurang ajar itu.
Meradanglah Jatilangor. Parangnya langsung diloloskan. Dan dikawal gerengan
keras, tubuhnya melesat ke arah Nilakanti. Namun yang dihadapinya adalah murid tunggal
Malaikat Putih Bayangan Maut. Dalam satu liukan tubuh ditambah kibasan tangan.
Desss...! Tubuh Jatilangor kontan terjatuh ke belakang. Begitu mencium tanah, dia tak
bangkit- bangkit lagi. Melihat hal itu, kawan-kawan lelaki itu segera bergerak mengurung Nilakanti
dengan parang besar siap dikibaskan.
Di balik semak, Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Wah.... Jadi panjang urusannya. Bisa lebih lama tiba di Lembah Matahari!"
Andika pun keluar dari balik semak. Diperhatikannya Nilakanti yang sedang
diserang tiga bilah parang besar.
Namun hanya sekali berkelebat gadis jelita berbaju putih itu dengan mudah
menjatuhkan lawan-lawan. Yang tersisa kini hanya Gandowoto. Itu pun nyalinya sudah tampak
ciut. Kegarangannya telah hilang tepat ketika ketiga sahabatnya berjatuhan.
Lelaki ini segera berbalik, langsung mengambil langkah seribu. Nilakanti bermaksud mengejar. Namun...
"Tidak usah dikejar! Kita harus melanjutkan perjalanan!" seru Andika, mencegah
gadis itu. Nilakanti memang tidak mengejarnya, dan segera mengikuti langkah Pendekar
Slebor. *** 3 Dengan membawa luka berdarah di pahanya, Gandowoto tiba di sebuah bangunan yang
sudah runtuh bagian sisinya. "Ketua! Ketua!" teriaknya.
Satu sosok tubuh berpakaian hitam yang duduk di undakan bangunan rusak itu
berkelebat cepat.
"Gandowoto! Ada apa?"
"Dewi..., aku..., aku...."
Tubuh Gandowoto sempoyongan. Sementara sosok berpakaian hitam yang
mengeluarkan bau busuk itu segera menangkapnya. Lalu ditotok luka di paha lelaki
itu, agar darah tak keluar lagi. Dan secepatnya dijejalinya mulut Gandowoto dengan obat
pulung. Dengan gerakan ringan, sosok berpakaian hitam ini membawa Gandowoto ke dalam.
Tak sepeminum teh kemudian, Gandowoto merasakan kesehatannya membaik
"Ceritakan, apa yang terjadi?" ujar sosok berpakaian hitam yang tak lain Dewi
Sungai Bangkai. Dengan terpatah-patah, Gandowoto bercerita. Dewi Sungai Bangkai mendengarkan
dengan seksama. "Gadis itu bersama pemuda berbaju hijau pupus dan mempunyai kain
bercorak catur pada bahunya! Jelas dia Pendekar SIebor!"sentak si perempuan tua.
"Begitulah, Dewi...."
"Rupanya pendekar keparat itu berada di sini!"
Pintu kamar bangunan rusak itu terbuka. Satu sosok tubuh tegap keluar sambil
memakai bajunya yang berwarna biru menyala.
"Di mana Pendekar Slebor itu berada"!"
"Dia..., bersama gadis yang bernama Nilakanti.., bergerak ke arah selatan...,"
sahut Gandowoto, takut-takut.
"Kita kejar mereka, Dewi Sungai Bangkai!" seru pemuda berbaju biru menyala yang
tak lain Lima Jalan Darah.
"Apakah tidak kita tunggu Hantu Gigi Gading yang sudah dua hari ini berkeliaran
mencari Pendekar Slebor!"
"Orang tua setan! Kau berani membantahku, hah"!" bentak Lima Jalan Darah, keras
sekali. Saat yang sama terdengar pula suara gemuruh di belakang bangunan itu. Rupanya
bangunan itu runtuh karena getaran yang sangat kuat dari suara Lima Jalan Darah.
"Persetan dengan Hantu Gigi Gading yang bodoh itu! Kita susul mereka! Gandowoto!
Kau buang mayat gadis yang mampus di kamarku!"
Lalu tanpa berkata lagi, Lima Jalan Darah sudah berkelebat. Sementara, Dewi
Sungai Bangkai yang tak bisa berkata apa-apa segera menyusul.
Gandowoto yang sejak tadi membungkuk, kini berdiri. Perlahan-lahan kakinya
melangkah ke kamar di mana Lima Jalan Darah tadi keluar. Tampak sosok tubuh bertelanjang
bulat di sana. Dia tahu, gadis yang memiliki tubuh menggiurkan itu sudah mati.
Perlahan-lahan lelaki ini mengangkat mayat gadis itu. Dan begitu tubuh indah
meskipun sudah menjadi mayat itu tersentuh tangannya, tiba-tiba saja gairahnya timbul.
Direbahkannya kembali sosok itu dan dipandanginya dengan mata berkilat-kilat.
Tepat ketika Gandowoto menindih tubuh kaku itu....
"Aaah..!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan si lelaki yang keras setinggi langit. Tubuhnya
bergetar dan mendadak saja tersentak jatuh ke lantai. Sebentar dia melejang-lejang, lalu
diam tak bergerak lagi dengan mulut mengeluarkan darah.
Di satu lain, Lima Jalan Darah tersenyum dingin.
"Kau tak berguna lagi, Gando. Maka hadiah yang kau terima adalah kematian."
desisnya. *** "Maafkan aku, Sayang.... Gara-gara aku, hidupmu tidak-tenang. Oh.... Aku
menyesal semua ini. Hidup kita sudah enak tinggal di Gunung Kabut. Namun, manusia-manusia
laknat itu memporak-porandakannya. Percayalah, Sayang.... Sakit hatimu akan kubalas."
Malam yang begitu pekat dan kering, dipecahkan oleh suara bernada geram yang
terdengar dari atas sebuah pohon. Angin yang berhembus dingin membawa suara itu
hingga jauh. "Percayalah, Sayang. Semuanya akan kuakhiri hingga kau bisa tenang dan tidak
sakit hati lagi."
Di atas pohon tak terlalu tinggi, satu sosok bertubuh kerempeng bertengger.
Wajah jeleknya makin buruk saja ketika mengeluh begitu. Di tangannya yang nyaris
tinggal tulang saja, tergenggam sebuah bungkusan yang nampak sangat disayanginya sekali. Rambut
panjangnya yang acak-acakan dipermainkan angin.
"Aku tak sadar untuk membalaskan sakit hatimu itu, Sayang. Nenek peot yang
berjuluk Dewi Sungai Bangkai harus mampus," lanjut si tubuh kurus seperti berbicara pada
bungkusan di tangannya. Siapakah dia" Kalau melihat tampangnya, dia tak lain dari si Hantu Jantan, salah
seorang dari Sepasang Hantu Neraka yang mendiami Gunung Kabut. Kenapa dia bicara
pada bungkusan di tangannya" Karena isi bungkusan itu adalah kepala kekasihnya yang
berjuluk si Hantu Betina yang meninggal karena sakit. Entah bagaimana mulanya, yang pasti
kepala kekasihnya itu selalu berada di dalam bungkusan yang dibawa. Dan anehnya,
meskipun sudah berbulan-bulan, potongan kepala itu tak mengeluarkan bau busuk sedikit
pun. Saat ini si Hantu Jantan telah meninggalkan Gunung Kabut. Dia begitu marah besar
pada Dewi Sungai Bangkai yang telah menendang lepas kepala si Hantu Betina dari
tangannya. Kemarahannya tak dapat ditahan lagi. Dia bertekad untuk membalas semua ini
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Tasbih Emas Bidadari").
"Sayangku..., Meskipun aku telah bersumpah tidak akan membunuh, tetapi akan
kulanggar sumpahku itu. Maafkan aku. Dendamku pada Dewi Sungai Bangkai
mengalahkan semua ini. Tetapi aku yakin, kau pasti setuju dengan keinginanku ini, bukan ?"
kala si Hantu Jantan lagi dengan tatapan penuh kasih sayang pada bungkusan yang berisi kepala
si Hantu Betina. Tiba-tiba lelaki kurus ini mengerutkan keningnya. Telinganya dipertajam.
"Apa yang kau katakan" Oh" Aku tak perlu membunuh Dewi Sungai Bangkai" Baik, baik.... Akan kulakukan untukmu. Ah, ya, ya.... Kau benar, Sayangku. Aku telah bersumpah.
Tetapi, bila kupatah-patahkan tulang-belulangnya dan kubuat cacat perempuan tua setan
itu, apakah kau mengizinkan?" desis si tua ini, lalu tertawa. "Terima kasih, Sayangku
Terima kasih atas persetujuanmu."
Pembicaraan seperti itu bukanlah hal yang aneh bagi si Hantu Jantan. Dia seolah
bisa mendengar kata-kata kekasihnya lewat potongan kepala itu.
"Apa kau bilang" Pendekar Slebor" Ah! Biarkan saja pemuda urakan itu pergi.
Sayangku. Oh, maaf.... Aku tak bermaksud membuatmu luka. Ya. ya.... Apa yang kau inginkan"
Oh"! Lembah Matahari" Di mana lembah itu berada" Nah! Kau sendiri tidak lahu. Aku
juga. Apa kau bilang" Dewi Sungai Bangkai akan berada di sana juga" Hhh! Bagus! Kalau
begitu aku akan segera ke sana! Tetapi, apakah kau tidak ingin beristirahat dulu" Ya,
ya.... Aku tahu, kau
kuat menahan kantuk. Baiklah.... Kalau begitu, aku akan segera mencari tempat
yang bernama Lembah Matahari. Tetapi, bukanlah sahabat kita Malaikat Putih Bayangan
Maut mendiami tempat seperti itu" Kalau begitu, sekalian berkunjung ke tempatnya,
meskipun aku tak tahu di mana Lembah Matahari berada."
Sehabis berkata demikian, si Hantu Jantan mencelat. Bukan turun, melainkan
berkelebat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Gerakannya begitu cepat sekali.
Bahkan tak terdengar suara gemeresek sedikit pun ketika sepasang kaki kurusnya menginjak
dahan pohon yang dijadikan sebagai tumpuan loncatan.
*** 4 Matahari makin menampakkan kegarangannya. Sinarnya sudah cukup membuat kulit
jadi hitam bersimbah peluh. Apalagi di daerah tandus yang tengah dilewati satu
rombongan berkuda sejauh mata memandang hanya bukit-bukit tandus berbatu. Belum lagi angin
nakal yang mengangkat debu-debu ke udara kadang main sembunyi saja di mata. Tanah
memang sangat kering. Malah, hujan sudah begitu lama tidak membasahinya.
Berkuda paling depan seorang lelaki gagah terbungkus baju putih. Di dadanya
berselimpang kain berwarna merah. Wajahnya kokoh dihiasi cambang dan kumis
tipis. Di punggungnya terdapat dua bilah pedang yang bersilang.
Di belakangnya dua orang lelaki gagah mendampingi seorang gadis cantik yang
menunggang kuda putih. Di belakang si gadis, berjalan sekitar lima orang lelaki
bersenjata tombak. Dua orang dari mereka menggotong tiga ekor babi hutan dan sepuluh ekor
kelinci. Mereka adalah pasukan Kadipaten Karanganyar yang saat ini baru saja pulang
mengantarkan putri sang Adipati setelah tiga hari berburu di Hutan Panaran.


Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mawar Wangi adalah satu-satunya putri dari Adipati Ramada, penguasa di Kadipaten
Karanganyar. Adipati Ramada sangat menyayangi putrinya yang memiliki kegemaran
berburu. Dan putrinya selalu diizinkan bila hasrat untuk berburu muncul.
Namun sudah barang tentu. Mawar Wangi tak dibiarkan pergi seorang diri.
Mawar Wangi sebenarnya jengkel dikawal terus-menerus. Dia ingin sekali bisa
pergi berburu seorang diri tanpa harus dijaga dan diperhatikan. Akan tetapi, apa yang
dikatakan ayahnya tak bisa ditolak. Karena bila menolak, maka hasratnya untuk berburu akan
terpendam dan berubah menjadi kekesalan memanjang.
Selagi si gadis bersungut-sungut dalam hati karena rombongan bergerak sangat
pelan, tiba-tiba saja kuda-kuda di depannya berhenti.
"Ada apa, Paman Subali?" tanyanya. Panas yang menyengat membuat kulitnya yang
putih agak memerah. Pakaian ringkasnya yang berwarna kuning tampak sudah agak
kucal. Busur yang dipergunakan untuk berburu tadi tersampir di bahunya.
"Tidak ada apa-apa. Den Mawar," sahut lelaki paling depan yang bernama Subali.
"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa berhenti" Ayo, cepat! Sudah panas sekali! Jalan
kok seperti pengantin!" dengus Mawar Wangi.
Benaknya langsung membayangkan alangkah enaknya bila pergi seorang diri. Dan
sejak tadi kudanya sudah digebah menuju kadipaten. Dan sekarang ini, langkah kudanya
seperti satu-satu. Menjengkelkan!
Pertanyaan Mawar Wangi langsung terjawab ketika matanya menemukan jawabannya. Di
sebuah batu besar sejauh sepuluh tombak tampak seorang lelaki tinggi besar
sedang duduk enak-enakan. Kulitnya yang hitam semakin terbakar matahari. Namun kelihaiannya
dia tak peduli. Wajahnya begitu mengerikan. Terutama, tatapan matanya yang memperhatikan
rombongan Mawar Wangi.
"Apanya yang aneh dengan orang jelek seperti itu" Biarkan saja!" makinya dalam
hati. Sementara Subali yang telah banyak makan asam garam kehidupan melangkahkan
kudanya penuh waspada. Ketika laki-laki berpakaian hitam itu terlewati, tampak
kalungnya yang berbentuk taring dari gading di lehernya.
Subali menarik napas pendek. Hatinya merasa tenang sekarang. Karena, sebenarnya
sudah lama kepala rombongan ini mendengar adanya gerombolan perampok yang suka
menghadang dan menjarah pada rombongan atau penjual yang melewati tempat tandus
ini. Dan kehadiran laki-laki berbaju hitam yang tahan duduk di bawah sinar matahari
cukup membuatnya berhati-hati.
Akan tetapi, hanya sesaat saja ketenangannya. Karena tiba-tiba....
"Hentikan perjalanan kalian! Aku menginginkan gadis itu!"
Terdengar bentakan keras bersamaan dengan satu sosok tubuh melesat, dan hinggap
di depan rombongan itu dengan kedua kaki terbuka.
*** Subali menggeram pendek. Matanya tajam menatap lelaki berbaju hitam berwajah
mengerikan di depannya. Sementara Mawar Wangi memandang tajam si lelaki
berkalung taring itu. "Kau menginginkan gadis itu" Apakah kau tidak tahu siapa dia" Hati-hati bicara,
Pak Tua. Dia adalah putri Adipati Ramada!' desis Subali penuh perbawa. Dan dia yakin
manusia ini adalah perampok yang sering dibicarakan orang. Kalau begitu, sudah tentu tidak
sendiri. Akan tetapi, Subali tidak melihat tanda-tanda kalau lelaki besar itu datang bersama
gerombolannya. Untuk bersembunyi di balik bukit-bukit, sudah tentu tidak mungkin. Karena selain
jaraknya cukup jauh, juga panas yang akan membakar kulit mereka.
"Persetan dengan segala macam adipati! Jangan membuatku terlalu lama menunggu!
Serahkan gadis itu!" bentak lelaki tinggi besar itu garang. Tatapannya
mengandung ancaman
mengerikan. "Atau..., kuambil dia secara paksa!"
Subali tak mau banyak bicara. Dari atas kudanya, dia mencelat. Di udara dua
bilah pedangnya diloloskan, lalu dikebutkan ke arah lelaki berkalung taring.
"Setan keparat! Kau senang cari penyakit rupanya!"
Si lelaki tinggi besar terbahak-bahak melibatnya. Lima jengkal serangan akan
sampai, tubuhnya dibuang ke kiri. Bersamaan dengan itu kaki kirinya melepas tendangan
cepat yang sukar dilihat. Buk! Tubuh Subali kontan terlempar sejauh dua tombak ke samping dengan pinggang bagai
terasa patah. Melihat hal itu, dua orang pengawal berkuda segera menggebrak
kudanya. Begitu dekat, keduanya melompat dan melesat ke arah si lelaki berkalung taring
sambil membabatkan pedangnya.
Wuut! Wuutt! "Kalian lancang bersikap pada Hantu Gigi Gading!" leceh lelaki yang tcrnyata
Hantu Gigi Gading sambil tertawa mengejek. Sudah beberapa hari ini dia tengah menjalankan
perintah Lima Jalan Darah untuk mencari Pendekar Slebor.
Sekali tubuh Hantu Gigi Gading berkelebat, dua pengawal kontan terjungkal dengan
leher patah. Terkejutnya lima pengawal bersenjata tombak melihat dua pengawal berkuda roboh
hanya sekali gebrak. Namun tanpa mengendorkan semangat, mereka berlari mengurung
Hantu Gigi Gading.
Sedangkan Mawar Wangi sendiri menggeram marah. Dia bukanlah gadis pengecut.
Disambarnya busur dan sarung anak panahnya, lalu melompat turun.
"Mawar! Kau tetap di sini!" cegah Subali, yang menjadi tegang.
"Tidak! Manusia keparat itu telah membunuh Paman Lingga dan Paman Sanur!" sergah
si gadis. Sementara itu Hantu Gigi Gading terbahak-bahak begitu melihat Mawar Wangi.
"Manis....Rupanya kau sudah tidak sabar menunggu kakangmu..."
"Lelaki berotak kotor! Rasakan panahku ini!"
Dalam keahlian memanah, Mawar Wangi bukan anak kemarin sore. Adipati Ramada
telah membayar dua orang guru untuk mengajarkan putrinya memanah. Dua buah anak
panah langsung dipasang Mawar Wangi. Dan....
Siing! Siingngng!
Hantu Gigi Gading terbahak-bahak saja melihatnya. Sejengkal lagi anak-anak panah
mencium sasaran, tangannya diangkat.
Trak! Trak! Dua buah anak panah itu terbelah menjadi empat. Dan anehnya, potongan empat anak
panah itu justru melesat pada empat orang pengawal yang bertombak. Mereka
terkejut dan tak sempat mengelak. Akibatnya....
Cras! Crab! Keempat pengawal kontan roboh dengan jantung tertusuk patahan anak panah. Kejap
itu juga mereka tewas.
Mawar Wangi bertambah geram. Subali yang menyadari kemungkinan bahaya yang tak
bisa dielakkan melompat mendekati Mawar Wangi.
"Tinggalkan tempat ini! Cepat, Mawar!" ujar Subali.
Sementara sisa satu pengawal bertombak mencoba bertindak nekat. Dengan
keberanian yang dipaksakan dia maju sambil menusukkan tombak ke arah Hantu Gigi Gading.
Namun hanya sedikit memiringkan tubuhnya, Hantu Gigi Gading berhasil
menghindarinya. Lantas tangannya bergerak cepat merampas tombak. Dan hanya
sekali putar saja, tombak itu telah menancap di perut si pengawal.
"Menyenangkan sekali! Sebelum aku menemukan Pendekar Slebor, aku akan menikmati
hidangan manis ini!"
Tiba-tiba Hantu Gigi Gading menderu ke arah Mawar Wangi. Namun Subali telah
menghalanginya dengan sepasang pedang.
Wuut! Wuuut! Hantu Gigi Gading terpaksa mengurungkan niatnya menangkap Mawar Wangi. Akibatnya
kemarahan si lelaki bertubuh besar ini menjadi berlipat ganda. Tiba-tiba saja
tangannya mengibas. Wuuss! Subali terkejut. Segera tubuhnya dibuang ke tanah ketika dirasakannya angin
panas menderu hebat ke arahnya.
Duar! Pasir berdebu yang panas mencelat ke atas begitu pukulan jarak jauh Hantu Gigi
Gading menghantam. Sementara Subali telah bergulingan dan cepat berdiri tegak. Tak
menghiraukannya betapa panasnya debu-debu yang menempel di tubuhnya.
"Mawar! Cepat tinggalkan tempat ini! Cepat!" teriak Subali.
"Kau sendiri bagaimana. Paman?" tukas Mawar Wangi.
"Jangan hiraukan aku! Cepat!" teriak Subali sambil mendorong tubuh Mawar Wangi
naik ke kudanya. "Cepat, Mawar! Cepat!"
Mawar Wangi hanya mengangguk. Begitu berada di atas kudanya dia berbalik.
Matanya masih sempat melihat Hantu Gigi Gading memburunya. Namun, tiba-tiba dihalangi Subali.
"Setan!" maki Hantu Gigi Gading muak.
Hanya sekali bergerak, tubuh Subali terpental dengan seluruh tulang terasa
patah. Setelah muntah darah, dia pun ambruk dengan nyawa melayang.
Sementara Hantu Gigi Gading sudah berkelebat menyusul Mawar Wangi yang melarikan kudanya bagai dikejar setan.
*** 5 Mawar Wangi terus melesat cepat bersama kuda putihnya. Apa yang dialami barusan
benar-benar membuat nyalinya ciut. Terbayang di benaknya bagaimana orang-orang
yang mengawalnya harus mati di tangan lelaki berkalung taring berjuluk Hantu Gigi
Gading secara mengenaskan. Belum lagi Subali. Masih sempat dilihat pengawal pribadinya roboh
dengan tubuh penuh darah.
Mawar Wangi memacu kudanya ke arah perbukitan. Karena, dari sana dia bisa
memotong jalan menuju kadipaten. Namun sebelum tiba di perbukitan yang cukup
tandus itu, tiba-tiba saja dia tersentak. Tali kekang ditariknya kuat-kuat, membuat kaki
depan kudanya terangkat disertai ringkikan keras.
Di depannya, Hantu Gigi Gading telah berdiri dengan kedua kaki terbuka. Sepasang
mata tajamnya bersorot mengerikan, membuat jantung si gadis seakan mau copot.
Seringainya membuat batin jadi bergetar.
"Kau tak akan bisa melarikan diri dari tanganku. Manis!" desis Hantu Gigi
Gading. Wajah cantik Mawar Wangi menjadi pucat. Kepalanya celingukan bagai anak ayam
kehilangan induk, seolah tak tahu harus berbuat apa. Hanya mulutnya yang
mengeluarkan suara tergagap. Apalagi melihat lelaki itu perlahan-lahan mendekatinya.
Tergesa-gesa dan kecemasan yang berbalur menjadi satu, Mawar Wangi memutar
kudanya. Tetapi anehnya, kudanya tak mampu bergerak dari tempatnya meskipun
pinggulnya sudah ditepuk-tepuk.
"Ayo, jalan! Jalan!"
"Sudah kukatakan, kau akan menjadi milikku!"
Dikawal suara tawa terbahak-bahak tubuh Hantu Gigi Gading tiba-tiba saja melesat
ke arah Mawar Wangi.
Wuss! Tap! "Auuu...!"
Mawar Wangi tergagap. Dia berteriak keras ketika tangan penuh bulu itu menyambar
tubuhnya. Sebisanya dia meronta-ronta sambil memukuli punggung si lelaki. Namun
Hantu Gigi Gading hanya terbahak-bahak saja. Pukulan itu dianggapnya hanya bagai
elusan saja. "Lakukan sepuasmu, Manis.... Karena sebentar lagi, kau tak akan mampu
melakukannya," susul Hantu Gigi Gading, melecehkan.
"Lepaskan aku, Keparat! Lepaskan!" teriak Mawar Wangi kalap
Hantu Gigi Gading semakin mengumbar tawa keras. Mendadak kakinya menyepak
sebuah kerikil hingga langsung meluncur ke arah kuda yang kaku.
Tuk! Kuda yang tadi ditotok dengan gerakan sangat cepat pun terbebas. Begitu terbebas
dari totokan, kuda itu meringkik dan berlari kencang tak tentu arah.
"Menyenangkan sekali. Sebelum kulanjutkan untuk mencari Pendekar Slebor..., ada
baiknya bersenang-senang dulu."
Dibawanya tubuh Mawar Wangi ke arah jalan setapak menuju sebuah hutan. Sedangkan
si gadis hanya mampu berteriak dan memukuli punggung si lelaki Akan tetapi, baru
saja Hantu Gigi Gading melangkah lima tindak, tiba-tiba saja melesat satu sosok bayangan ke
arahnya disertai deru angin keras.
Hantu Gigi Gading terperangah. Lebih terperangah lagi ketika mendadak tubuhnya
terasa bergetar. Tangannya yang memanggul Mawar Wangi terlepas. Dan tubuh gadis itu pun
lenyap dari punggungnya.
"Setan Alas! Siapa kau"!" bentaknya setelah mengalirkan tenaga dalam untuk
menghentikan getaran tubuhnya.
*** Seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur
tertawa- tawa mendengar bentakan Hantu Gigi Gading. Di bahunya tergolek tubuh Mawar
Wangi. Wajah si gadis bertambah pucat saja.
"Apakah kau sudah lupa padaku, Hantu Gigi Gading?" sapa si pemuda yang tak lain
Pendekar Slebor. "Kalau aku sih, tak pernah lupa dengan gigimu yang penuh jigong
itu."

Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hantu Gigi Gading menggeram dengan kedua tangan terkepal.
"Keparat! Kau akan mampus kali ini, Pendekar Slebor!"
"Apakah kau mampu menghadapinya, hah"!"
Mendadak terdengar satu suara dari belakang. Cepat tanggap, si lelaki kasar itu
membalikkan tubuhnya. Dia terbahak-bahak begitu melihat Nilakanti telah berdiri
dengan tatapan sengit.
"Tak mendapat gadis itu, biarlah. Asal kau sebagai gantinya!" oceh Hantu Gigi
Gading. "Setan laknat! Kusobek mulutmu!"
Gadis berpakaian pulih itu melesat laksana kilat. Di tangannya telah terangkum
tenaga dalam tinggi. Angm lesatannya membawa hawa panas yang bisa jadi akan
mengeritingkan bulu-bulu di tubuh Hantu Gigi Gading.
Si lelaki sadar, tingkat kepandaian gadis ini hampir setara dengannya. Maka dia
pun tak mau bertindak ayal-ayalan. Tubuhnya pun melesat, menerjang dengan dahsyat.
Buuum...! Dua tenaga dalam kuat berbenturan. Terdengar suara ledakan, ketika dua sosok
tubuh terpental ke belakang.
Nilakanti memegang dadanya yang terasa nyeri. Matanya memandang Hantu Gigi
Gading yang menggeram murka ketika dari pelipisnya mengalir darah.
"Perempuan sialan! Aku tak akan mengampunimu lagi!" dengus si lelaki, seraya
mengempos semangatnya. Seketika itu juga tubuhnya meluruk.
Pada saat yang sama, Nilakanti pun tak tinggal diam. Secepatnya dia berkelebat
melayani. Tak dapat dihindari lagi, pertempuran sengit pun berlangsung satu sama
lain saling ingin mengalahkan. Terutama, Hantu Gigi Gading. Dia masih merasa beruntung
bertarung dengan Nilakanti daripada menghadapi Pendekar Slebor. Karena dia tahu.
kepandaiannya tak
jauh berbeda dari si gadis.
Lima belas jurus sudah berlalu. Dan masing-masing telah terluka. Di tempatnya.
Pendekar Slebor cuma mendesah pendek. Sebenarnya dia berkeinginan menolong
Nilakanti. Akan tetapi jiwa kependekarannya tidak mengizinkan. Baginya, hanya orang-orang
curanglah yang mengeroyok, padahal pertarungan berjalan seimbang. Makanya, Nilakanti
dibiarkan saja menghadap Hantu Gigi Gading. Dan hati kecilnya pun yakin, murid Malaikat Putih
Bayangan Maut itu akan mampu menguasai pertarungan.
Sementara Mawar Wangi yang sudah agak tenang dan kini berdiri di samping Andika,
diam-diam menghela napas lega. Dia ngeri sekali melihat pertarungan maut di
hadapannya. Meskipun tak mengenal siapa muda-mudi yang menolongnya, namun dalam hati
berterima kasih sekali. Perhitungan si pemuda urakan yang otaknya tergolong encer itu agaknya tak
berlebihan. Dalam jurus berikutnya dia melihat Nilakanti sudah meloloskan pedangnya.
Gebrakan selanjutnya si gadis sudah menguasai pertarungan.
Namun Hantu Gigi Gading pun tak mau begitu saja dijadikan sasaran pedang. Dia
harus bertindak hati-hati oleh tajamnya pedang dan sinar putih menyilaukan mata yang
keluar dan mata pedang. Bum! Bum! Setiap kali sinar putih melesat dan menghantam ruang kosong, selalu menimbulkan
ledakan keras. Debu-debu langsung terangkat naik menghalangi pandangan. Tanah
yang jadi sasaran seketika membentuk lubang.
"Gadis ini benar-benar tangguh!" dengus Hantu Gigi Gading.
Cepat Hantu Gigi Gading melenting ke samping untuk menghindari sinar putih ke
arahnya. Begitu menjejak tanah, digosoknya kalung taring gading dengan mulut
komat-kamit. Set! Tiba-tiba saja melesat sinar hitam menggidikkan ke arah Nilakanti. Si gadis
melompat mundur sambil mengibaskan pedangnya. Seketika sinar putih kembali melesat,
memapak. Duaaar! Tegangnya pertarungan, kembali dibuncah ledakan dahsyat ketika dua sinar itu
beradu di udara. Hantu Gigi Gading terpental dan jatuh keras di tanah. Sedangkan Nilakanti
hanya terjajar beberapa langkah.
Si gadis agaknya tak menyia-nyiakan kesempatan. Berikutnya, dia sudah menerjang
dengan jurus andalan, 'Kibas Pedang Mengambil Tenaga Lawan'.
Si lelaki bertubuh besar ini cepat bangkit, untuk melayani serangan.
Dua jurus kemudian Hantu Gigi Gading merasa tenaganya semakin lama semakin
terkuras. Akibatnya, keadaannya pun melemah.
Malah seketika si gadis membabatkan pedangnya secara menyilang....
Cras! Cras! "Aaakh...!"
Pedang di tangan Nilakanti tahu-tahu telah membabat kutung kedua lengan Hantu
Gigi Gading. Darah pun bersimbah. Tubuh Hantu Gigi Gading terhuyung ke belakang, lalu
jatuh ke tanah. Sementara Andika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Murid Malaikat Putih Bayangan Maut memang tak bisa dianggap enteng. Luar
biasa," pujinya. Saat itu Nilakanti sedang memasukkan pedangnya ke dalam warangka. Didekatinya
Hantu Gigi Gading yang bergulingan ke sana kemari. Darah yang keluar semakin
banyak. Lukanya bertambah perih saja ketika terkena debu-debu panas. Jeritannya
membahana bagai
memecah langit.
"Kau masih beruntung karena aku tidak membunuhmu, Manusia Setan! Lekas pergi
dari sini!" desis si gadis.
"Bunuh aku! Bunuh aku, Keparat!" rutuk Hantu Gigi Gading.
Nilakanti tersenyum.
"Rasakanlah bagaimana sakitnya luka diderita. Hal itu pun dialami orang-orang
yang pernah kau siksa!" kata si gadis, lalu menoleh pada Pendekar Slebor. "Kang
Andika! Akan ke
manakah kita sekarang ini?"
"Kalau kau mau bermalam di sini, ya silakan. Aku tak melarangmu, kok," sahut si
pemuda, seenaknya. Nilakanti mendengus.
"Tetapi bagaimana dengan gadis itu?" susul si gadis, seraya memandang Mawar
Wangi yang sedang berdiri dengan wajah pucat.
"Soal gadis, akan selalu jadi urusanku. Akulah jagonya.... He he he.... Tapi,
masa iya sih kau tega mendahuluiku ke Lembah Matahari?"
Nilakanti terdiam. Tetapi sejurus kemudian matanya melotot ketika Andika
mengedipkan mata kirinya. "Genit!"
Sementara itu Mawar Wangi tampaknya semakin tegang dengan apa yang dialaminya.
Ditariknya napas panjang.
"Maukah kalian kuajak ke rumah?" tanya gadis ini tergagap.
"Siapa namamu?" tanya Andika. Lagaknya sok menjadi Dewa Pelindung. Dan ini
membuat Nilakanti mencibir.
"Mawar.... Mawar Wangi."
"Nama yang bagus sekali," puji Andika, lalu menoleh pada Nilakanti. "Nila,
sebaiknya kita antar dulu gadis ini ke rumahnya," susulnya sok berwibawa.
Nilakanti cuma mengangkat bahunya. "Terserah kau saja."
Lalu tanpa menunggu jawaban Andika, murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu sudah
melangkah mendahului
"Hei! Apakah kau tahu jalan menuju rumah gadis ini?" tanya Andika. Si pemuda tak
mengerti mengapa Nilakanti seperti tegang begitu.
"Masa bodoh! Toh ada gadis itu bila aku salah jalan!" jawab Nilakanti seenaknya,
tanpa menoleh sedikit pun.
Andika yang menggaruk-garuk kepalanya sekarang dan bersama Mawar Wangi dia
melangkah mengikuti.
"Kutu kupret! Kok jadi begini urusannya?" maki Andika dalam hati.
Tetapi kemudian otak encer si pemuda segera menemukan jawabannya. Nilakanti
pasti tidak setuju kalau mereka mengantarkan gadis ini dulu. Karena perjalanan menuju
ke Lembah Matahari akan semakin lambat saja. Namun pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu tidak tahu sama sekali apa yang ada di hati Nilakanti yang paling dalam.
*** Tanpa sepengetahuan Pendekar Slebor, Nilakanti, dan Mawar W angi sepasang mata
yang sejak tadi memperhatikan dari balik sebuah batu besar di bukit tandus,
menggeleng- gelengkan kepalanya. Di bahu sosok itu terdapat sebuah buntalan kain yang cukup
besar. "Diakah yang bergelar Pendekar Slebor?" tanyanya pada diri sendiri dengan
tatapan mata lebih membuka. Diperhatikannya tiga sosok tubuh yang semakin menjauh. "Hmm,
ini kesempatanku untuk membuntutinya. Pusaka ampuh milik Tasbih Emas Bidadari untuk
melaksanakan keinginanku dalam menguasai rimba persilatan ini. Bertahun-tahun
aku mencoba mendapatkannya dari Ki Bubu Jagat. Namun, lelaki keparat itu berhasil
mengalahkan aku terus-menerus. Kini, kutahu dia telah mati. Tak sia-sia
kutinggalkan Tepi
Kali Musang untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari."
Sosok lelaki berpakaian merah darah dengan celana hitam itu menatap ke alas.
Langit tidak begitu terang seperti tadi. Matahari sudah berada di ujung peraduannya. Di
benaknya, terbayang kembali peristiwa tiga puluh tahun yang lalu, di saat dia bertarung
hebat dan kalah
oleh Ki Buyut Jagat yang berbekal kesaktian dari Tasbih Emas Bidadari. Dan
selama tiga puluh tahun berlatih di tepi Kali Musang, dia hendak menantang kembali Ki Bubu
Jagat. Namun semua keinginan itu kandas. Karena, Ki Bubu Jagat telah tewas di tangan
muridnya sendiri, si Gampo Sinting yang membunuhnya secara licik. Dengan hati
murka, lelaki yang berjuluk Setan Selaksa Wajah itu pun meninggalkan kediaman Ki Bubu Jagat.
Di sana, secara tak sengaja, Setan Selaksa Wajah mendengar kabar kalau pusaka
ampuh Tasbih Emas Bidadari disembunyikan Ki Bubu Jagat. Dalam pencariannya,
secara tak sengaja terdengar kabar kalau Tasbih Emas Bidadari telah dimiliki Pendekar
Slebor. Kini, dendam dan keinginan Setan Selaksa Wajah untuk mendapatkan Tasbih Emas
Bidadari beralih pada Pendekar Slebor yang namanya akhir-akhir ini telah
menggemparkan dunia persilatan. Tekadnya, dia tak akan pernah kembali ke Tepi Kali Musang
sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. Sekaligus, membunuh Pendekar Slebor. Karena
me- nurut perkiraannya, bila berhasil membunuh pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan
itu, maka namanya akan lebih banyak ditakuti orang-orang rimba persilatan.
Sekarang, secara tak sengaja Setan Selaksa Wajah mengetahui bagaimana rupa orang
yang dicari nya. Dan seluruh keinginannya akan dituntaskannya sekarang juga!
"Selain ingin mendapatkan Tasbih Emas Bidadari, aku juga ingin mengetahui
kehebatan Pendekar Slebor yang banyak dibicarakan orang! Hhh! Dia akan terkejut bila
berhadapan denganku! Akulah Setan Selaksa Wajah yang akan menghentikan sepak terjangnya
yang selalu menghalangi keinginan orang-orang sepertiku!"
Lelaki berwajah tampan itu tergelak-gelak keras. Suaranya membahana ke Seantero
tempat tandus itu. Dan tiba-tiba saja buntalan kainnya dibuka. Diambilnya
beberapa benda dari sana. Lalu dibukanya rambut palsu. Segera dikenakannya rambut yang lebih
panjang. Hanya dalam sepuluh hitungan, paras si lelaki sudah berubah. Dari paras tampan
tadi, kini terlihat seraut wajah jelita mempesona. Getar pesonanya begitu menjerat
sukma. Si gadis jelita jelmaan dari Setan Selaksa Wajah mulai melangkah meninggalkan
tempat itu. Tak seorang pun yang tahu bagaimana rupa asli Setan Selaksa Wajah.
*** 6 Adipati Ramada yang sudah cemas memikirkan putri kesayangannya yang belum
kembali sejak siang tadi, kini bisa menarik napas lega. Dia baru saja mendengar laporan
dari seorang pengawalnya kalau Mawar Wangi sudah tiba. Tetapi bukan dengan rombongan yang
dipimpin Subali, melainkan oleh sepasang anak muda yang mengaku bernama Andika dan
Nilakanti. Mawar Wangi langsung merangkul ayahnya begitu berjumpa. Dia berusaha
menenangkan putrinya, dan mempersilakan Andika dan Nilakanti untuk duduk. Sambil
terisak Mawar Wangi menceritakan tentang kejadian yang dialaminya.
Ketika cerita selesai, Adipati Ramada memandang penuh terima kasih pada Pendekar
Slebor dan Nilakanti.
"Bila tak ada kalian, entah bagaimana nasib putriku ini...,"desah lelaki berusia
kira-kira empat puluh tiga tahun itu.
Wajah si adipati mencerminkan kebijaksanaannya. Matanya penuh sorot kelembutan.
Wajahnya kukuh menandakan kegigihannya. Pakaiannya terusan batik dengan kain
Jingga yang melilit pinggangnya.
"Yang menolong bukan aku,. Adipati," kata Andika hormat. "Tapi gadis di
sampingku ini."
Andika menunjuk Nilakanti dengan jempolnya.
"Terima kasih kuucapkan kepadamu, Nisanak," ucap Adipati Ramada. "Hm....
Kulihat, kalian nampaknya sedang melakukan perjalanan jauh. Ada baiknya bila kalian
beristirahat

Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barang satu dua malam di sini."
Sementara itu Mawar Wangi sudah duduk di sebelah ayahnya. Gadis itu sudah tidak
terisak lagi. "Terima kasih, Adipati. Kebaikan Adipati bukannya kami tolak. Tetapi mengingat
perjalanan kami yang masih jauh, sebaiknya kami mohon diri," sahut Nilakanti,
mendahului Andika. Padahal sejak dalam perjalanan tadi, dia tidak bicara sepatah kata pun.
Andika melirik enteng pada Nilakanti. Lalu tatapannya beralih pada wajah Adipati
Ramada yang kelihatan agak kecewa. Ketika melirik Mawar Wangi, tatapan mata
gadis itu tampak sangat menyayangkan bila kedua penolongnya menolak kebaikan ayahnya.
"Orang-orang rimba persilatan seperti kalian memang selalu menyenangi
perjalanan. Baiklah... Aku tidak bermaksud menahan kalian lebih lama lagi, meskipun sangat
mengharapkan kalian bisa bermalam di sini. Paling tidak untuk malam ini."
"Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih," sahut Nilakanti, mendahului Andika
yang mulutnya sudah terbuka ingin bicara.
"Kalau begitu, terimalah hadiah uang yang jumlahnya kupikir bisa membiayai
kalian dalam perjalanan menuju Lembah Matahari."
"Terima kasih, Adipati. Dua ekor kuda, nampaknya lebih berguna untuk kami."
"Kalau begitu, kalian akan mendapatkannya."
Adipati Ramada memerintahkan seorang pengawal untuk mengambil dua ekor kuilu
terbaik milik kadipaten.
"Mengapa kalian menolak kebaikan ayahanda" Bukankah kalian nampak lelah" Kalian
masih butuh makan untuk mengisi perut. Juga, kalian harus beristirahat," tuntut
Mawar Wangi, seolah setengah memaksa agar kedua penolongnya bersedia menerima tawaran
ayahnya. "Kami pikir, memang sudah seharusnya untuk melanjutkan perjalanan. Karena
semakin cepat kami tiba di Lembah Matahari, rasanya semakin baik," serobot Nilakanti.
"Tetapi...."
"Terima kasih atas kebaikanmu dan ayahmu, Mawar Wangi," potong Nilakanti
Si gadis memang melihat kesempatan untuk berdua kembali dengan Andika. Kini
disadari, hatinya sudah terpaut erat pada pemuda urakan itu. Dia menginginkan
balasannya. Nilakanti tak rela bila Andika justru terpaut pada kecantikan Mawar Wangi.
Dua ekor kuda itu telah disiapkan. Nilakanti dan Andika pun segera berpamitan.
Kepergian mereka dilepas oleh Mawar Wangi dengun mata agak berkacak-kaca.
Setelah keduanya menghilang dari pandangan, Mawar Wangi berlari masuk ke
kamarnya. Entah mengapa dalam perjumpaan pertama dengan Andika, hatinya yang
belum pernah tersentuh benih cinta, kini terasa bergetar.
*** "Sudah enak-enak ditawari bermalam di istana, malah pilih di alam terbuka,"
gumam Andika seperti ditunjukan pada diri sendiri.
Saat ini kuda-kuda mereka memasuki sebuah hutan. Matahari telah tenggelam sejak
tadi. Mereka terpaksa memperlambat laju kuda. Suasana tampak sepi dan gelap.
Sementara itu Nilakanti kini menghentikan langlah kudanya. Ringan sekali dia
melompat turun. "Di hutan seperti ini"!" belalak Andika sambil melompat turun.
Sementara Nilakanti dengan tak acuhnya sudah merebahkan tubuh di bawah sebuah
pohon. "Kenapa sih sikapmu jadi lain sekali" Nampaknya kau marah padamu, Nila" Katakan,
kenapa jadi begini?" susul Andika, memasang wajah penuh tuntutan.
Sudah tentu Nilakanti tidak mau menceritakan yang sebenarnya. Sebagai seorang
gadis, dia tentu saja malu untuk mengutarakan isi hatinya.
"Rewel! Baru aku tahu kalau Kang Andika ini cerewet" bentak si gadis.
"O..., baru tahu ya kalau aku cerewet" Sial! Aku
pun juga baru tahu kalau aku cerewet. Sudahlah, katakan saja, ada apa denganmu.
Kalau tidak, kutinggal kau di sini!" ancam Andika dengan kedua tangan berada di
pinggang. Nilakanti tak menggubris kata-katanya Hatinya masih dilanda cemburu.
"Tinggal saja!" susul si gadis, menyentak.
Andika tersenyum dalam hati. Dia tahu, meskipun. Nilakanti berkata begitu, namun
hatinya tidak menghendakinya. Lalu tanpa banyak cakap lagi. Andika menggebah
kudanya. "Biar kau dimakan macan di situ!" Andika menakut-nakuti.
"Masa bodoh!"
Kuda Andika melesat meninggalkan tempat itu. Nilakanti terhenyak. Tiba-tiba baru
disadari kalau sekelilingnya menyeramkan. Entah mengapa dia yang terbiasa dalam
tempat yang seram seperti ini, menjadi agak ngeri. Mungkin karena mulai terbiasa berdua
bersama Andika. "Kang Andika!" serunya keras.
Tak ada sahutan apa pun. Nilakanti jadi menggigil sekarang. Dia menyesali
sikapnya yang membuat Andika menjadi marah dan kesal. Tetapi, dia merasa hal itu lebih
baik bila Andika bersikap seperti itu daripada harus berada di dekat Mawar Wangi. Hanya
saja, kini dia menjadi kehilangan Andika.
"Apakah aku harus mengatakan yang sesungguhnya?" desah si gadis masygul.
"Tetapi, apakah aku tidak akan ditertawainya?"
Hati Nilakanti menjadi kacau sekarang.
"Kang Andika.... Apakah kau tidak tahu mengapa sikapku jadi begini" Karena aku
cemburu, Kang. Aku khawatir kau tertarik pada Mawar Wangi.... Padahal, hatiku
mulai dekat denganmu, Kang.... Ah! Bila kukatakan semua ini, apakah kau marah" Aku harus
mencobanya. Aku tak mau dia bertambah marah padaku," lanjut gadis ini tetap
mendesah. Berpikiran demikian, Nilakanti melompat ke kudanya. Namun belum lagi kudanya
digebah gebrak, tiba-tiba....
"Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar suara terbahak-bahak yang sangat keras.
"Kang Andika!" seru Nilakanti terperanjat. Wajahnya langsung memerah karena malu
tak terkira. *** Di dahan pohon tepat di dekat Nilakanti berdiri, Andika terbahak-bahak sambil
memegang perutnya. Tubuhnya agak berguncang.
"Jadi itu sebabnya, Nila" Mengapa tak mengatakannya padaku" Aku tidak akan
marah, malah senang sekali." kata Pendekar Slebor.
Nilakanti yang kaget karena tahu-tahu Andika berada di dahan pohon di atasnya,
tak dapat menahan sifat kewanitaannya lagi. Ingin menangis rasanya.
Andika melompat turun, setelah menghentikan tawanya. Dia mengerti, mengapa
Nilakanti menundukkan kepalanya. Lalu dengan hati-hati didekatinya gadis itu, dan
dirangkulnya. "Kau tidak usah malu, Nila. Tenanglah. Semuanya akan selesai...."
"Tetapi...," Nilakanti tersendat dalam pelukan Andika.
"Sudahlah.... Lebih baik kita beristirahat sekarang. Bukankah kau lelah. Nah,
kau lihat itu?" Andika menunjuk ke dahan pohon yang tadi didudukinya.
"Apa, Kang?" tanya Nilakanti. Samar dia melihat sebuah benda bergelantungan.
Andika berkelebat melompat, lalu hingga kembali di tanah. Di tangannya
tertenteng tiga
ekor kelinci gemuk.
"Bukankah kita bisa mengisi perut sekarang?"
Nilakanti tersenyum. Hatinya kini lega dan senang. Lega karena Andika tidak
marah, senang karena telah mengatakan isi hatinya secara tidak langsung. Dia baru sadar
kalau Andika tidak sungguh-sungguh meninggalkannya. Malah, menjebaknya. Diam-diam
Nilakanti pun mengagumi betapa tingginya ilmu meringankan tubuh Pendekar Slebor.
*** 7 Dikamarnya. Mawar Wangi masih tak bisa memejamkan matanya. Kedua mata indahnya
menampakkan kesedihan mendalam. Bukan dikarenakan peristiwa mengerikan yang
dialami, melainkan karena harus secepat itu berpisah dengan Pendekar Slebor.
Gadis yang selama hidupnya baru kali ini tersentuh api cinta, benar-benar sedih
atas perpisahan itu. Namun dia tak pernah berpikir kalau semuanya terjadi karena
kecemburuan Nilakanti. Malam terus merangkak perlahan namun pasti. Halaman kadipaten yang biasa dijaga
ketat, kali ini kecolongan dengan masuknya satu sosok hijau pupus dengan sehelai
kain catur yang melompat dari balik dinding sebelah timur gerakannya begitu cekatan sekali.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, sosok tubuh ini melesat kembali. Sekarang,
dia sudah berada di sisi sebuah dinding. Lalu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun
tubuhnya menyelinap mendekati sisi sebuah kamar yang masih terang.
Sampai di situ, sosok yang ternyata pemuda tampan bebaju hijau pupus menajamkan
pendengarannya. Dan telinganya menangkap desahan panjang Mawar Wangi.
"Kang Andika.... Mengapa kau tega meninggalkan ku" Padahal aku masih ingin
mendapatkan ketenangan bersamamu."
Sosok berpakaian hijau pupus itu tersenyum. Ditekuknya jendela kamar Mawar
Wangi. "Mawar.... Mawar...," panggil pemuda yang ternyata Pendekar Slebor.
Mawar Wangi tercekat. Dia ingat betul akan suara itu. Bergegas gadis ini berlari
ke jendela kamarnya dan segera membukanya.
"Kang Andika!" serunya penuh gembira begitu melihat sosok pemuda yang dirindunya
berada di hadapannya.
Pendekar Slebor tersenyum.
"Tidak usah menangis. Semuanya akan berjalan seperti yang diharapkan," ujar si
pemuda. Mawar Wangi tersenyum gembira. Namun ada sesuatu yang membuatnya harus
bertanya. "Adakah yang tertinggal. Kang Andika?"
"Ya."
"Oh! Apakah itu?"
"Kau, Mawar."
Dada Mawar Wangi berdebar gembira mendengarnya Semua kesedihan yang baru
dirasakannya lenyap begitu saja. Namun sekali lagi, sebagaimana layaknya gadis-
gadis lain, dia tak mau memperlihatkan kelemahannya.
"Di manakah Kak Nilakanti?" tanya si gadis.
"Dia menunggu kita di tepi sungai sebelah utara."
"Kita, Kang Andika" Apa maksud Kang Andika?"
"Mawar.... Apakah kau tak ingin mengikuti perjalananku bersama dengan
Nilakanti'' "Oh! Aku ingin sekali. Tetapi...."
"Kau takut ayahmu akan marah?" tebak si pemuda.
Kepala Mawar Wangi mengangguk cepat.
"Tidak perlu khawatir. Malam ini juga ikut dengan kami. Besok pagi, aku akan
mengantarmu datang ke sini lagi untuk meminta izin ayahmu."
"Kita mau ke mana, Kang Andika?"
Sosok berbaju hijau pupus itu tersenyum.
"Aku tak ingin membuatmu sedih. Aku ingin menghiburmu."
Hati Mawar Wangi berbunga-bunga mendengarnya. Dia berpikir, apa yang dikatakan
pemuda tampan gagah ini memang benar.
"Tolong bantu aku keluar," bisiknya kemudian.
Sosok berbaju hijau pupus itu segera mengangsurkan tangannya. Lalu....
"Hup!"
Tubuh Mawar Wangi sudah berada dalam rangkulan si pemuda. Begitu padat dan
menebarkan harum semerbak.
"Kau sudah siap sekarang, Mawar?" tanya Andika.
"Ya, Kang. Bersamamu, aku merasa senang," sahut si gadis, polos.
"Begitu pula denganku; Mawar. itu sebabnya aku kembali ke sini."
Lalu dengan kelebatan yang luar biasa cepatnya, sosok berbaju hijau pupus itu
melesat membawa tubuh padat Mawar W angi. Sampai-sampai mata si gadis terpejam karena
merasa bagai dibawa terbang.
Hanya dalam lima belas tarikan napas saja, mereka sudah berada di sebuah hutan
kecil yang berjarak ratusan tombak dari Kadipaten Karanganyar.
"Di manakah Kak Nila, Kang Andika?" tanya Mawar Wangi yang telah turun dari
rangkulan Pendekar Slebor.
Mata indah si gadis agak kecut juga memperhatikan kegelapan di sekelilingnya.
Kalaupun pernah memasuki hutan yang lebih lebat dari hutan ini, itu pun siang
hari dan ditemani para pengawalnya. Diam-diam, Mawar Wangi menyadari akan kebenaran
larangan ayahnya yang tidak pernah menghendakinya pergi berburu seorang diri.
"Aku juga tidak tahu. Barangkali dia mengerti, kalau kini kita berdua, Mawar,"
sahut Pendekar Slebor sambil meremas tangan Mawar Wangi.
Dada Mawar Wangi berdebar kembali, senang bercampur tegang.
"Maksud..., maksud Kang Andika bagaimana?" tanyanya tersendat.
Si gadis merasa seluruh sendi di tubuhnya bagai lolos begitu saja ketika melihat
pandangan mesra Pendekar Slebor yang menghujam tepat di sudut hati
kewanitaannya. Senyum di bibir Pendekar Slebor semakin mengembang.
"Bukankah kau sudah mengetahuinya, Mawar?" tukas Andika penuh getaran.
"Aku..., aku...."
"Kau cantik, Mawar...."
Sukma Mawar Wangi kontan bagai melambung ke langit tingkat tujuh mendengar
pujian sang pemuda pujaan. Perlahan-lahan kepalanya menunduk guna menghilangkan rasa
jengahnya. Dan tubuhnya ganti menggigil ketika perlahan-lahan dengan penuh
kelembutan tangan Andika memegang dagunya, lalu mengangkatnya.
"Jangan menunduk, Mawar. Biarkan aku menikmati keindahan wajahmu..."
Perasaan Mawar Wangi semakin tak menentu. Tubuhnya mendadak tegang ketika
perlahan-lahan bibirnya disentuh benda lunak. Dan didorong oleh nalurinya,
perlahan-lahan gadis cantik itu memejamkan mata. Dinikmatinya ciuman hangat yang baru pertama
kali dirasakannya. Dan ketika tubuhnya ditidurkan di rumput yang tebal, si gadis pasrah saja.
Seluruh

Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sukmanya seolah telah melayang dalam angan kenikmatan. Dirasakannya bagaimana
belaian mesra disertai bisikan yang membuatnya semakin pasrah. Tubuhnya menjadi panas.
Aliran darahnya dirasakan mendadak berjalan cepat.
"Sebentar, Mawar.... Aku ingin melihat-lihat keadaan dulu," bisik Andika,
membuat gejolak
si gadis tersurut.
Mawar Wangi membuka kedua matanya.
"Semuanya aman, Kakang...," desah gadis itu.
"Aku menyukaimu. Mawar. Tetapi, tunggu dulu sebentar. Aku yakin kau mau
bersabar, bukan?" ujar si pemuda sambil tersenyum.
"Tetapi...."
"Aku tidak lama," sela Andika "Aku hanya akan memeriksa keadaan sekeliling
tempat ini. Sekaligus mencari tahu di mana Nilakanti berada. Biar bagaimanapun juga, aku
bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu...."
Mawar Wangi meskipun sedikit kesal, hanya menganggukkan kepalanya. Ditutupinya
lagi pakaian bagian atasnya yang sudah terbuka.
"Jangan lama-lama, Kakang...," ingat si gadis.
"Percayalah, aku tidak akan lama. Lagi pula, mana mungkin aku tega
meninggalkanmu seorang diri di sini?"
Setelah mengecup bibir ranum Mawar Wangi, tubuh si pemuda pun melesat
meninggalkan Mawar Wangi.
"Rupanya, Kang Andika menyukaiku pula. Ini suatu hal yang sangat
menyenangkan...,"
desahnya sambil tersenyum penuh harap.
Di satu tempat yang agak jauh dari sana, pemuda berbaju hijau pupus itu
berhenti. Telinganya langsung ditajamkan. Lalu dengan cepat tubuhnya melompat ke atas
sebuah pohon. Sejenak matanya menatap ke sekitar tempat, di mana dua sosok anak muda
berlainan jenis sedang tertawa gembira sambil memanggang daging kelinci.
"Sangat menyenangkan! Yang kuciri-cari ber-ada di sini. Bau harum dari daging
panggang itulah yang menunjukkan keberadaanmu, Pendekar Sle-bor. Hmm
Mawar Wangi sudah berada di tanganku. Aku harus memainkan seluruh peranan. Akan ku kacaukan
keadaan Pendekar Slebor sebelum mendapatkan Tasbih Emas Bidadari!"
Tiba-tiba saja pemuda berbaju hijau pupus itu menuju ke satu tempat. Di balik
sebuah semak, didapatinya sebuah buntalan kain.
"Hmmmm.... Aku sekarang harus merubah diriku menjadi Mawar Wangi setelah tadi
menjadi Pendekar Slebor,"
"Beruntung aku membawa berbagai jenis pakaian wanita," gumamnya.
Pemuda berbaju hijau pupus menghilang di balik semak. Dia melakukakan itu untuk
dapat berganti menjadi Mawar wangi.
Tak lama Mawar wangi pun melangkah perlahan ke arah Pendekar Slebor dan
Nilakanti yang sedang memanggang daging kelinci.
Siapa tokoh itu sebenarnya" Dia tak lain adalah Setan Selaksa Wajah.
Tengah Andika dan Nilakanti menyantap daging kelinci mendadak mendengar suara
tangis. Pendekar Slebor cepat berkelebat untuk mencari sumber suara. Sementara Nilakanti
menyusul dibelakangnya. Mereka bergerak penuh waspada.
Dan mereka sama-sama terkejut ketika melihat Mawar Wangi sedang menangis sambil
memijat sebelah kakinya.
"Mawar!" seru Pendekar Slebor. Sementara Nilakunti menjadi merengut melihat
siapa yang menangis. "Hhh' Brengsek! Mau apa sih gadis kadipaten itu?" dengus si gadis dalam hati
Mawar Wangi yang sebenarnya Setan Selaksa Wajah mengaduh sambil menunjuk
kakinya. Andika melihat betis yang halus itu agak membengkak.
"Mengapa kau ke tempat seperti ini, Mawar" Seharusnya kau berada di rumahmu?"
tanya Pendekar Slebor, sambil mengurut.
"Aku..., aku ingin ikut denganmu, Kang Andika...."
"Mau apa, Mawar" Mengapa begitu?"
"Karena..., aku..., aku..., ah! Kak Nila...."
Nilakanti cuma berdiri tegak sambil melipat kedua tangannya di dada. Wajahnya
melengos jengkel. Andika tertawa dalam hati melihatnya.
Tak lama kemudian, bengkak di kaki Mawar Wangi pun agak membaik
"Sebaiknya..., kau kuantar kembali ke kadipaten."
"Tidak! Aku ingin bersama-sama, Kang Andika...,* tandas Setan Selaksa Wajah yang
menyamar sebagai Mawar Wangi memegang tangan Andika.
Lalu seperti tidak menyetujui usul Andika, si gadis jelmaan merangkul sosok
pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Tangan kanannya menyentuh sebuah benda
yang berada di balik baju Andika.
Andika yang sudah tahu siapa gadis di hadapannya ini mendesah panjang.
"Kalau begitu..., untuk malam ini saja. Besok, aku akan mengantarmu kembali ke
kadipaten. Kau paham maksudku, bukan?" putus Andika.
"Aku ingin selamanya bersama Kang Andika," tegas si gadis jelmaan.
"Mawar..., dengarlah! Perjalananku bersama Nilakanti ke Lembah Matahari bukanlah
perjalanan menyenangkan. Aku tak menginginkan kamu mengalami hal-hal yang tidak
mengenakan dalam hidupmu," ujar Pendekar Slebor.
"Aku tidak peduli. Aku ingin bersama Kang Andika."
Andika menghela napas panjang.
"Baiklah kalau begitu. Tetapi, ingat! Setelah semuanya selesai, kau harus
kembali ke kadipaten," desah Andika.
"Itu bisa kita bicarakan lain kali, bukan?" tukas si gadis jelmaan.
Andika mengangguk-angguk. Matanya melirik Nilakanti yang semakin cemberut saja.
"Gawat! Urusan ini bukan hanya akan menahan perjalananku menuju Lembah Matahari,
tetapi juga bisa memancing kemunculan orang-orang yang menginginkan Tasbih Emas
Bidadari," rutuk Pendekar Slebor dalam hati.
Lalu si pemuda bangkit mendekati Nilakanti. Kepalanya yang mendadak gatal,
digaruk- garuk "Kok cemberut sih?" tanyanya.
"Mata bongsan!" maki Nilakanti sambil membuang muka. "Bilang saja Kang Andika
memang menunggu kesempatan seperti ini" Pakai berlagak lagi!"
"Aduh, Nila ____ Mengerti sedikit dong. Bukan aku yang menghendaki semua ini.
Tetapi, gadis itu...."
"Iya.... Tetapi kan, Kang Andika mengharapkan kedatangannya!"
Andika jadi serba salah.
"Baiklah.... Kalau kau memang tidak menyukai kedatangannya, lebih baik kita
tinggalkan saja dia di sini."
Meskipun dalam keadaan cemburu, namun Nilakanti masih memiliki naluri
kewanitaannya. "Enak saja ngomong begitu! Kalau nanti dia...."
"Dimakan macan?" potong Andika sambil tersenyum. "Sudahlah, Nila. Percayalah
kepadaku. Aku...."
"Memang menghendaki kedatangannya, kan?" potong Nilakanti.
"Membalas ya" Mengertilah, Nila.... Keadaan semacam ini tak pernah kuhendaki.
Hmm, begini saja.... Biarkan Mawar Wangi ikut dengan kita ke Lembah Matahari. Setelah
itu kita kembalikan ke kadipaten. Kau setuju?"
"Tetapi...."
Ingin sekali Nilakanti menolak, namun ketika Andika memegang tangannya hatinya
menjadi luluh juga. Dia menghela napas.
"Baiklah, Kang...," desahnya
"Kalau begitu, kau mau bukan bila menemaninya tidur" Kalau aku, bisa gawat,
kan?" Nilakanti kini tersenyum. Selorohan-selorohan
Andika terkadang memang menjengkelkan. Namun terkadang mampu membuatnya tersenyum.
"Hei" Kenapa tersenyum?" tukas Andika. Saat melihat Nilakanti belum beranjak
dari tempatnya. "Apa kau akan membiarkan aku tidur dengannya" He he he.... Nanti kau
cemburu?" Kali ini Nilakanti mendengus. Lalu melangkah mendekati Mawar Wangi yang masih
duduk di rumput. Tangannya terulur.
"Berdiri! Kita cari tempat untuk tidur!" ujar Nilakanti.
Andika tertawa melihat sikap Nilakanti yang ketus begitu.
"Mestinya kan baik-baik, ya" Kalau kau terus-menerus begitu, jangan-jangan bukan
hanya perempuan saja yang takut. Tetapi lelaki juga takut!"
Nilakanti mendelik, lalu beralih menatap Mawar Wangi.
"Kita cari tempat untuk tidur, Mawar. Jangan dekat-dekat dengan mata bongsang
itu!" "Bukannya asyik kalau berdekatan?" sambar Andika. Sementara Nilakanti sudah
membimbing Setan Selaksa Wajah yang menjelma menjadi Mawar Wangi.
*** Karena lelahnya, Nilakanti pun tertidur setelah melirik Mawar Wangi yang sejak
tadi Patung Emas Kaki Tunggal 5 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 2
^