Pencarian

Tasbih Emas Bidadari 3

Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari Bagian 3


"Andika. Kau sendiri?"
"Ki Bubu Jagat memanggilku Gerontlo, alias Ib-
lis Penunggu Nisan Tak Bertuan. Hmm.... Sekarang
aku yakin, kaulah yang memang berjodoh dengan Tas-
bih Emas Bidadari," sahut sosok bernama Gerontlo.
"Jangan salah sangka.... Aku hanya mengem-
ban tugas untuk menyelamatkannya. Bukan memili-
kinya," sergah Andika.
"Rupanya kau memiliki hati yang mulia."
Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan menatap da-
lam. Dan Andika jadi malu dipuji seperti itu.
"Bagaimana caranya untuk mendapatkan Tas-
bih Emas Bidadari?" tanya si pemuda.
"Apa yang hendak kau lakukan tadi?" Gerontlo balik bertanya.
"Menggali makam ini."
"Beratus-ratus tahun kau melakukannya. Kau
tak akan pernah berhasil mengangkat tanah di Nisan
Tak Bertuan."
"Oh!"
"Sekarang, tekanlah batu nisan itu ke bawah.
Setelah itu, tarik ke belakang sekuat tenaga! Lakukan!"
Dengan terheran-heran mengetahui cara mem-
buka Nisan Tak Bertuan, Andika melangkah ke balik
batu nisan itu. Kedua tangannya diletakkan di atas, la-lu menoleh pada sosok
berjuluk Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan.
Setelah sosok mengerikan itu menganggukkan
kepalanya, Andika menekan kuat-kuat nisan itu. Tak
bergerak sama sekali. Tenaga dalamnya dikerahkan,
tetap tak bergerak.
"Ketenangan adalah kunci dari semua ini!" ujar Gerontlo.
Begitu mendengar kata-kata itu, Andika menu-
runkan seluruh tenaganya. Dan bagaikan sedang me-
nyentuh seorang dara manis, nisan itu ditekan lembut-lembut. Wrrr!
Suara lembut itu terdengar bersamaan mele-
saknya nisan itu ke dalam. Dan sebelum nisan itu habis ditelan tanah, Andika
menariknya ke belakang.
Brak! Aneh. Tanah di atas makam itu terlontar ken-
cang. Dan terlihatlah dua buah lempengan besi besar terbuka, menciptakan lubang
berbentuk persegi panjang, seluas tiga kali empat depa.
Andika mengusap-usap matanya tak mengerti
saat melihat ke dalam. Tampak sebuah sinar berwarna keemasan memancar dari salah
satu bagian dalam
makam itu. "Gila! Banyak sekali yang tak bisa kumengerti.
Rupanya batu nisan itu memang harus ditekan oleh
tenaga lembut. Meskipun orang yang melakukannya
mempunyai tenaga dalam setinggi langit, dia tak akan mampu membukanya," pikir
Andika. "Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan! Apakah aku akan mengambilnya
sekarang?" tanya Andika kemudian.
"Mengambilnya tak mudah. Ki Bubu Jagat me-
mang telah merancang semua ini ketika hendak me-
nyimpan senjata pusakanya. Aku hanyalah abdi yang
dikalahkannya. Bila ada yang mampu membunuhnya,
pastilah dia sedang bersemadi. Dan orang itu membo-
kongnya dengan keji."
Setelah berkata begitu, tiba-tiba saja sosok
mengerikan itu berbalik dan melangkah.
"Hei" Kau belum memberitahukan bagaimana
cara mengambil Tasbih Emas Bidadari ini?" sentak Andika. "Pikirkan saja olehmu.
Karena aku sendiri tidak tahu, bagaimana cara mengambilnya. Sebagai seorang
abdi dari Ki Bubu Jagat, aku tak pernah tahu bagai-
mana caranya mengambil Tasbih Emas Bidadari."
Lalu tubuh mengerikan yang melangkah itu
perlahan-lahan lenyap dari pandangan Andika. Ting-
gallah pemuda tampan pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan memaki-maki tak karuan.
"Apa yang harus kulakukan sekarang ini" Teka-
teki yang kuhadapi semakin bertambah sulit dan men-
gerikan!" rutuk Pendekar Slebor.
Hati-hati Andika melongokkan kepalanya ke
bawah. Sinar keemasan itu semakin berpendar-pendar
terang. "Apakah aku harus melompat masuk" Tetapi bila kulakukan, bahaya apa yang
kudapati" Sialan ju-ga si Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan!"
Setelah menimbang-nimbang baik dan buruk-
nya, Andika perlahan-lahan membungkuk. Lalu sebe-
lah kakinya masuk. Tak ada apa-apa yang dirasakan.
"Aman."
Lalu Andika memasukkan kedua kakinya. Dan
tubuhnya pun turun perlahan dengan ringan.
Bluk! Kedua kaki si pemuda menginjak tanah makam
itu. Tak ada kejadian apa-apa.
"Sialan! Apakah ini jebakan atau memang
hanya menguji keberanian saja" Hm.... Aku harus
mengambil Tasbih Emas Bidadari sekarang juga."
Ketika Andika hendak mengulurkan tangannya,
tiba-tiba saja benda seperti tasbih yang memancarkan sinar keemasan meluncur ke
arahnya. Begitu deras,
hingga cukup menggidikkan.
"Itukah Tasbih Emas Bidadari?"
*** 10 Andika terperanjat. Cepat kepalanya dimiring-
kan. "Busyet! Tenaga apa yang melontarkan senjata pusaka itu"!"
Wrrr! Wrrr! Angin bagaikan topan bergemuruh ke arah An-
dika. Pendekar Slebor terus berusaha menghindar
dengan bergulingan ke sana kemari. Dan ruang ma-
kam yang sempit itu membuat gerakannya sangat me-
nyulitkannya. Dinding makam itu berguguran ketika
benda keemasan yang tak lain Tasbih Emas Bidadari
menghantam dengan keras.
"Alamak...! Bagaimana caranya menangkap
senjata pusaka itu?" rutuk Andika sambil berkelit.
"Jangan-jangan ada dedemit lain yang menggerakannya" Bisa pula Iblis Penunggu
Nisan Tak Bertuan yang mempermainkanku! Sialan, panas sekali!"
Andika tak berani menangkap dengan kedua
tangannya. Hawa panas yang menyiksa, membuatnya
berpikir seribu kali bila ingin menangkapnya.
Dan sejenak serangan yang dahsyat dan ruang
yang sempit itu membuat Andika gelagapan. Pendekar
Slebor berusaha mempergunakan kecepatannya untuk
menghindari hantaman-hantaman Tasbih Emas Bida-
dari yang sangat cepat.
"Hmm.... Di ruang sempit seperti ini aku bisa
mampus karena sulit bergerak! Sebaiknya, aku me-
lompat keluar dari sini!" kata Andika.
Namun ketika Pendekar Slebor hendak berge-
rak melompat, hantaman-hantaman Tasbih Emas Bi-
dadari justru semakin hebat. Desingannya semakin
memekakkan telinga. Sinar keemasan yang terpancar
semakin menyilaukannya.
"Walah.... Apa aku bisa bertahan di sini lebih lama" Hmm.... Kalaupun tadi
gagal..., kini aku harus bergerak nekat!" tandas Andika, seraya merunduk
menghindari terjangan Tasbih Emas Bidadari.
Setelah berpikir demikian, Andika berdiri tegak
dengan mata tak berkesiap. Begitu tajam memperhati-
kan Tasbih Emas Bidadari yang berbalik dan menderu
kembali kepadanya.
Bertepatan dengan itu, Andika meloloskan kain
bercorak catur, warisan Ki Saptacakra. Tepat ketika senjata pusaka Ki Bubu Jagat
itu menderu ke arahnya, Pendekar Slebor mengibaskan kainnya.
Blam...! Suara yang ditimbulkan saat Pendekar Slebor
mengibaskan kain bercorak catur benar-benar meme-
cahkan gendang telinga.
Brrr! Tasbih Emas Bidadari tergulung oleh kain ber-
corak catur. Namun, satu sentakan keras membuat
Andika yang memegangi kain bercorak catur tertarik
ke depan. Dan tubuhnya terbanting menabrak dinding
makam. Brak! "Monyet pitak! Kuat sekali tenaga sentakan
Tasbih Emas Bidadari!" maki Andika.
Pendekar Slebor berusaha mengerahkan selu-
ruh tenaga dalamnya untuk menahan gerakan Tasbih
Emas Bidadari yang berada di dalam gulungan kain
pusaka bercorak catur. Tubuhnya sampai bergetar he-
bat ketika pusaka peninggalan Ki Bubu Jagat berge-
rak-gerak. Keringat sampai mengalir di sekujur tubuhnya. "Busyet! Bisa-bisa aku
terlempar lagi! Bagaimana caranya menjinakkan Tasbih Emas Bidadari!
Hei" Ada asap!"
Dari gulungan kain bercorak catur mendadak
keluar asap putih.
"Apakah kain pusakaku ini tak mampu mena-
han Tasbih Emas Bidadari" Dan, saat ini sedang ter-
bakar?" desisnya ragu-ragu. Andika segera menyentakkan kainnya dengan susah
payah. Namun, justru
dia yang tersentak ke depan.
Brak! Tubuh Pendekar Slebor kembali menabrak
dinding makam dengan keras. Rambutnya sudah pe-
nuh tanah dan debu yang berguguran menimpanya.
"Bagaimana ini?" desisnya.
Kali ini si pemuda mengerahkan ajian 'Guntur
Selaksa' untuk menarik kekuatan Tasbih Emas Bida-
dari. Tenaganya jadi berlipat ganda. Terjadilah tarik
menarik yang sangat kuat, sementara asap putih itu
semakin banyak keluar. Keringat semakin membanjiri
tubuhnya. "Hiaaa...!"
Tiba-tiba, Pendekar Slebor berteriak sangat ke-
ras, sehingga tanah kembali berguguran. Dan seketika Andika melepas kain
bercorak caturnya.
Plasss! Kain bercorak catur yang dipegang Andika me-
luncur ke depan, bersama Tasbih Emas Bidadari. Dan
tiba-tiba kedua benda itu meluncur balik ke arahnya.
Dengan kecepatan sangat luar biasa, Andika
menangkap Tasbih Emas Bidadari, di dalam gulungan
kainnya. Tap! "Aaakh...!"
Rasa panas begitu menyengat. Namun Andika
tak melepaskannya meskipun harus berteriak-teriak
keras. Pendekar Slebor harus bisa memegang Tasbih
Emas Bidadari kuat-kuat dan tak akan melepaskan-
nya. Untuk beberapa lama Andika tersiksa oleh pa-
nas yang menyengat. Meskipun tubuhnya mengelua-
rkan hawa panas pula, namun masih bisa dikalahkan
Tasbih Emas Bidadari.
Setelah beberapa saat, barulah Andika merasa-
kan panas itu agak berkurang. Dan gerakan yang dilakukan Tasbih Emas Bidadari
mulai melemah. Lama
kelamaan terdiam, namun tetap tegak di dalam gulun-
gan kain pusakanya.
Perlahan-lahan Andika menjulurkan tangan-
nya. Dan.... Tap! Kini Tasbih Emas Bidadari berada di tangan
Pendekar Slebor. Andika mendesah lega ketika melihat
kain bercorak catur miliknya tak kurang suatu apa.
Rupanya, asap yang keluar tadi karena gesekan panas yang memancar dari kain
bercorak catur dan Tasbih
Emas Bidadari. Pendekar Slebor memperhatikan senjata pusa-
ka itu dengan decakan kagum. Butiran tasbih itu lima kali besarnya dari ukuran
tasbih biasa. Di setiap bukit yang berjumlah tiga, terdapat sebuah intan bulat
berwarna keemasan. Dari intan itulah memancarkan sinar keemasan, mengalahkan
butiran tasbih lainnya yang
berwarna putih. Hingga secara keseluruhan seolah
tasbih itu berwarna emas.
"Inikah senjata pusaka yang akhirnya menjadi
sumber penyebab kematian Sapta Jingga dan Ki Bubu
Jagat" Benar-benar luar biasa! Untuk mendapatkan-
nya begitu sulit sekali. Selain itu, setelah menemukannya, harus menghadapi maut
yang amat mengerikan,"
desah Andika sambil menepis debu dan tanah yang
ada di rambutnya.
Tiba-tiba Andika tersentak. Karena dinding ma-
kam di hadapannya seolah bergerak, siap hendak
menghimpitnya. "Busyet! Ada apalagi ini?" rutuk Andika terte-gun. Sementara gerakan dinding-
dinding makam itu
semakin cepat. Tanpa membuang waktu lagi, Andika melenting
ke atas, keluar dari lubang makam. Bersamaan dengan itu, terdengar suara
berderak yang sangat kencang,
disusul suara berdebam yang sangat kencang!
Tanah yang dipijak mendadak saja terbelah,
membuat Pendekar Slebor menjadi blingsatan tak ka-
ruan. Andika berusaha meninggalkan tempat itu, na-
mun pecahan tanah semakin memanjang seolah men-
gejar. "Busyet! Aku harus keluar dari sini! Aku ingin
keluar!" Suatu keanehan terjadi. Tiba-tiba saja tubuh Andika bergetar hebat,
bagai diguncang tangan raksasa. Aliran darahnya terasa kacau.
"Edan! Kenapa aku ini" Kenapa jadi begini?"
dengusnya tak mengerti.
Dan Pendekar Slebor berusaha mengendalikan
keseimbangannya agar getaran tubuhnya yang ber-
guncang tak terlalu menyiksanya. Keringat telah men-gucur di seluruh tubuhnya.
Dan keanehan semakin
terjadi, karena mendadak saja tubuh Pendekar Slebor lenyap dari pandangan.
Sementara tanah yang retak
itu semakin memanjang.
*** "Astaga! Ada apa ini?" sentak Gempo Sinting ketika merasakan kedua kakinya


Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergetar. Saat ini
Gunung Kabut bagaikan berguncang kencang.
Lelaki bertubuh bulat itu bersama Dewi Sungai
Bangkai masih berusaha mencari Tiga Jalan Matahari.
"Gempo! Gunung Kabut seolah hendak memun-
tahkan seluruh isi perutnya! Kita harus meninggalkan tempat ini!" ajak Dewi
Sungai Bangkai berteriak serta mengalirkan tenaga dalamnya pada kedua kakinya.
"Tidak! Sebelum mendapatkan Tasbih Emas Bi-
dadari, aku tak akan meninggalkan tempat ini! Lagi
pula, aku menunggu kedatangan Hantu Gigi Gading
yang saat ini sedang mencari Pendekar Slebor! Dite-
mukan atau tidak, dia tetap akan kemari!"
"Kau lihat sendiri, batu-batu sudah bergugu-
ran!" paksa Dewi Sungai Bangkai
"Peduli setan! Justru aku ingin telan semua ba-tu-batu itu!" sentak Gempo
Sinting. Dewi Sungai Bangkai mendengus, tetapi tak
berbuat apa-apa kecuali mengalirkan lagi tenaga da-
lamnya. Guncangan yang terjadi itu bukan hanya
membuat gunung itu bergerak, namun pohon-pohon
yang ada di sana pun bertumbangan bagai dicabut
tangan-tangan raksasa mengamuk.
Sementara Gempo Sinting justru terbahak-
bahak "Inilah saat-saat yang paling menggembirakan untukku! Kudapatkan atau
tidak pusaka Ki Bubu Jagat, hatiku tetap gembira! Karena, sudah pasti senjata
pusaka itu akan terkubur dalam-dalam! Hei, Gunung
Keparat! Kau tidak boleh meletus lebih dulu sebelum kudapatkan Tasbih Emas
Bidadari!"
Untuk beberapa lama guncangan itu bertambah
mengeras. Namun perlahan-lahan melemah, dan tiba-
tiba saja berhenti.
"Hm.... Apakah ada sesuatu yang terjadi di da-
lam perut Gunung Kabut?" tanya Dewi Sungai Bangkai menggumam sambil mengusap-
usap dagunya yang
lancip penuh keriput. "Gempo! Mungkin Tiga Jalan Matahari berada di dalam perut
Gunung Kabut."
"Hhh! Kalaupun iya, bagaimana cara kita untuk
masuk?" tanya Gempo Sinting, mendengus.
"Sinting bodoh! Pasti ada gua di sekitar ini! Ayo, kita cari gua itu!"
*** Nilakanti pun kini mendesah lagi ketika Gu-
nung Kabut tak bergetar lagi. Dia mendengar kata-kata si Hantu Jantan yang
seperti biasa ditujukan pada
bungkusan di tangannya.
"Sayangku, aku menangkap sesuatu yang tidak
enak di dalam perut Gunung Kabut" Oh! Kau menga-
takan si pemuda itu sudah terlepas dari Sungai Kun-
ing" Sialan! Aku jadi penasaran ingin tahu, siapa pemuda itu. Hei, Gadis Manis"
Apakah kau hanya ber-
diam saja di sini" Ataukah kau sudah lupa keinginan-mu untuk naik ke atas?"
Nilakanti mendengus jengkel. Dia benar-benar
sulit memahami sifat yang diperlihatkan si kakek bertampang seram ini. Lalu
tubuhnya pun berkelebat naik ke atas Gunung Kabut. Sementara si Hantu Jantan
menyusul sambil terkekeh-kekeh.
"Dia marah, Sayangku. Ah! Wajahnya mirip
denganmu sewaktu kau masih muda."
*** Apa yang terjadi dengan Andika" Mengapa tu-
buhnya tahu-tahu lenyap dari pandangan, dan secara
tidak langsung selamat dari pecahan tanah yang re-
tak" Ketika Pendekar Slebor menjerit ingin mening-
galkan tempat itu, tubuhnya memang lenyap begitu sa-ja. Namun, Andika merasakan
sesuatu yang asing. Ka-
rena, tubuhnya melayang-layang dengan indahnya.
Dan kini dia berada di sisi Gunung Kabut sebelah timur. "Walah.... Apa lagi yang
terjadi" Tadi kurasakan tubuhku bergetar hebat dan seperti ada yang membawaku
dari tempat mengerikan itu?" tanya Andika sambil memandang berkeliling.
Dicobanya memikirkan
keanehan apa yang terjadi tadi. Dan, disebabkan oleh apa" Siapa yang telah
melakukannya" Tiba-tiba dia
kembali merasakan lapar yang luar biasa. "Oh! Kalau perutku kenyang, aku bisa
bergerak leluasa."
Mendadak Andika merasa tubuhnya bergetar
hebat. "Sinting! Gerakan aneh ini lagi?" makinya den-
gan perasaan tak menentu. "Apakah sebentar lagi aku akan merasakan seperti
melayang-layang tadi?"
Tubuh Andika yang bergetar hebat itu perla-
han-lahan mereda. Dihapusnya keringat yang mengalir dengan perasaan semakin tak
mengerti. "Ada apa ini" Hei..., mengapa rasa laparku
mendadak hilang?" pikirnya dengan kening berkerut.
"Heran! Mengapa bisa terjadi seperti ini" Baru saja aku mengatakan ingin perutku
kenyang, kok sekarang sudah kenyang" Tadi juga begitu. Aku berteriak ingin
keluar dari alam yang mengerikan itu, dan tahu-tahu sudah keluar. Monyet belang!
Setan mana yang sedang
berbaik hati kepadaku" Dan, apa sebabnya tubuhku
mendadak jadi sering bergetar" Jangan-jangan me-
mang ada setan yang mengikuti dari tempat mengeri-
kan tadi. Benar-benar tak bisa dimengerti."
Pendekar Slebor menatap Tasbih Emas Bidada-
ri yang kini berada di tangannya dengan kening berkerut.
"Mungkinkah..., ah! Aku harus mencobanya."
Sejenak Andika terdiam. "Aku ingin kembali ke daerah Nisan Tak Bertuan."
Kembali Pendekar Slebor merasakan tubuhnya
bergetar. Kali ini lebih hebat sampai keringatnya terus menerus mengalir. Dan
mendadak, dia merasa bagai
melayang-layang tak ubahnya terbang, lalu lenyap dari pandangan.
Kini Pendekar Slebor tiba kembali di daerah Ni-
san Tak Bertuan yang telah menjadi tanah retak. Seluruh tanah di tempat itu
porak poranda. Rerumputan
rebah. Sementara, Nisan Tak Bertuan sendiri sudah
tertutup gumpalan tanah. Sulit untuk mencarinya se-
karang. "Aku tahu sekarang!" sentak Andika. "Mungkin inilah yang dimaksud
kekuatan Tasbih Emas Bidadari.
Tanda tubuh bergetar yang ku alami tadi merupakan
isyarat kalau kekuatan Tasbih Emas Bidadari sedang bekerja. Gila! Benar-benar
luar biasa! Aku yakin, bila sudah mampu mengendalikan kekuatan yang keluar
dari Tasbih Emas Bidadari, niscaya orang itu pun akan mampu mengendalikan
getaran tubuh yang diaki-batkan senjata pusaka ini. Memang sangat sulit untuk
mengalahkan senjata pusaka ini. Apa yang diinginkan si pemegangnya akan
terkabulkan. Hmm.... Aku ingin
kembali ke sisi Gunung Kabut."
Kembali hal yang sama dirasakan Andika. Dan
kini dia berada di tempat semula.
"Luar biasa! Memang sangat berbahaya bila
senjata pusaka ini jatuh ke tangan orang jahat.
Hmm.... Yang memegangnya pun harus berhati-hati
menjaga-nya. Lebih baik kumasukkan saja ke balik ba-juku ini."
Setelah memasukkan Andika jadi tercenung.
"Apakah berbahaya bila aku ngomong sesuatu
dan nanti tahu-tahu terjadi" Huh! Mending aku jadi
monyet saja deh! Hei!"
Andika menekap mulutnya tersentak. Sesaat
dia menjadi tegang, tetapi tak ada perubahan apa-apa di tubuhnya. Lagi-lagi, si
pemuda menjadi kebingun-gan. "Hmm... berarti khasiat senjata pusaka ini bila
berada di tangan. Baguslah kalau begitu."
Tiba-tiba Andika mendengus ketika serangkum
angin bak air bah tumpah menderu ke arahnya.
"Monyet pitak! Kadal buduk!" makinya sambil menghindar ke samping.
Blarrr! Angin deras itu menghantam tanah yang dipi-
jak Andika. *** 11 "Rupanya Pendekar Slebor sudah berada di si-
ni!" teriak Gempo Sinting dengan kalap. Sementara Dewi Sungai Bangkai membuka
kedua matanya lebih
lebar. "Jadi manusia keparat ini yang berjuluk Pendekar Slebor, Gempo?" tanya
perempuan itu. "Nan! Kalau kau sudah tahu..., aku yakin kau
pasti jatuh cinta padaku, 'kan" Cuma sayang, aku bisa gatal-gatal bila
berdekatan denganmu," sambar Andika sambil mendengus.
Rupanya kedua manusia itu masih berada di
sini. Dan, teka-teki Gunung Kabut telah terkuak. Pasti tak akan ada yang percaya
bila Andika bercerita tentang isi perut Gunung Kabut yang penuh keanehan
itu. Sumpah mampus!
"Serahkan potongan peta itu kepadaku!" bentak Gempo Sinting.
"O..., peta itu," sahut Andika. Lalu diambilnya potongan peta dari balik baju
sebelah kiri. Dan, dilem-parkannya ke arah Gempo Sinting yang segera me-
nangkapnya. "Nah, bukankah kau sudah menda-
patkannya sekarang?"
"Rupanya kau masih sayang nyawa, Pendekar
Slebor!" desis Gempo Sinting. "Sekarang, mampuslah kau!" Tubuh buntal itu
meluruk deras. Andika kali ini mendengus. Memang, potongan peta itu sudah tak
ada gunanya lagi, karena senjata pusaka Ki Bubu Ja-
gat sudah berada di tangannya. Bila keduanya berhasil memecahkan isi peta itu,
bisa dipastikan akan sulit keluar dari alam gaib yang mengerikan itu. Namun, si
manusia buntal itu masih ingin membunuhnya.
Begitu tubuh Gempo Sinting menderu. Andika
cepat mengangkat kakinya.
Plak! Tendangan Andika beradu dengan kibasan tan-
gan Gempo Sinting. Cukup keras, membuat Andika
menggeram. Apalagi Dewi Sungai Bangkai sudah me-
nerjang pula. "Ih! Baumu busuk sekali!" seloroh Andika sambil menghindar.
Dua buah serangan yang datang sekaligus di-
hadapi si pemuda dengan cepat. Gempo Sinting sudah
mengeluarkan pukulan 'Hawa Kematian'. Begitu pula
Dewi Sungai Bangkai yang berkelebat dengan jurus-
jurus mautnya. Kali ini Andika kesulitan menghindar. Teruta-
ma, bila Dewi Sungai Bangkai mengibaskan tangan-
nya. Hawa busuk yang menguap sangat menyulitkan
Andika untuk bernapas. Begitu pula pukulan maut
yang dilancarkan Gempo Sinting, membuatnya harus
mempergunakan segala kelincahannya.
"Mana nama besarmu, Pendekar Slebor?" ejek Dewi Sungai Bangkai dengan serangan
menggebu. "Heit! Sabar saja, dong! Jagoan memang begini.
Harus mengalah dulu!"
"Kau memang pandai bicara! Padahal, nyawa-
mu sudah berada di ujung tanduk!" leceh Dewi Sungai Bangkai.
"Busyet! Jangan-jangan kau sudah ketularan
sinting seperti si kodok buncit itu! Nyawaku berada di jasadku. Kok kau bilang
ada di ujung tanduk! Benar-benar sudah edan dunia ini!" balas Andika, sambil
terus berusaha menghindari setiap serangan.
Pendekar Slebor memang belum mendapat ke-
sempatan untuk membalas. Karena setiap kali berge-
rak, dua serangan sekaligus langsung menutupi ruang
geraknya. Begitu Andika bergulingan ke belakang untuk
menghindari dua serangan yang datang bersamaan,
saat yang sama meluruk angin serangan lain yang
sangat kuat ke arahnya.
Blarrr! Untunglah Pendekar Slebor cepat menghindar
dengan membuang tubuhnya ke kiri. Kalau tidak, bu-
kan hanya tubuhnya tersuruk ke depan. Bahkan nya-
wanya pun akan melayang.
Andika cepat menoleh ke arah datangnya se-
rangan. Tampak seorang lelaki kurus telah berdiri di situ. "Hantu Gigi Gading!"
sambut Gempo Sinting terbahak-bahak.
"Lama aku mencari Pendekar Slebor, Gempo!
Hhh! Aku ingin sekali mencabut nyawanya yang telah
membuang-buang waktuku!"
Orang yang baru datang dan langsung membo-
kong Andika tak lain Hantu Gigi Gading. Dan sehabis berkata begitu, dia meluruk
ke arah Andika. Bersamaan itu pula, Dewi Sungai Bangkai dan Gempo Sint-
ing menyerbu pula.
Kali ini Andika benar-benar kesulitan untuk
menghadapi serangan-serangan maut yang mengelua-
rkan angin menggebu dan sinar menggidikkan. Meng-
hadapi dua serangan yang datang saja sudah sangat
menyulitkan. Apalagi dibantu Hantu Gigi Gading yang mencecarnya dengan ganas.
Bahkan tubuh Pendekar Slebor dua kali ter-
hantam pukulan Hantu Gigi Gading. Sehingga mem-
buatnya harus bergulingan ke belakang. Tetapi sifat konyolnya masih ada.
"Tidak sakit, tidak sakit! Kau kurang tenaga
rupanya, Hantu Monyet-Monyetan!"
Dengan geram Hantu Gigi Gading kembali me-
nyerang. Tiga serangan yang dilancarkan sekaligus
membuat Andika pontang-panting. Dia berusaha
menghalau setiap serangan dengan kain bercorak ca-
tur yang dikibaskannya hingga mengeluarkan suara
menderu sangat keras.
Duk! Tangan kiri si pemuda beradu dengan tangan
Dewi Sungai Bangkai. Andika merasakan nyeri hingga
ke pangkal lengannya. Sementara Dewi Sungai Bang-
kai merasa hawa panas menderanya.
"Ajian 'Guntur Selaksa' ternyata memang he-
bat!" maki si wanita sambil mengalirkan hawa murni ke sekujur tubuhnya.
"Sayangnya, kau baru setengah saja merasa-
kannya!" seru Andika.
Saat yang sama, cengkeraman tangan Gempo
Sinting mengancam leher Andika. Sedikit Andika ber-
geser, sementara tangannya yang memegang kain ber-
corak catur mengibas pada Hantu Gigi Gading yang
sedang menyerbunya.
Brrrt! Des! Tubuh Hantu Gigi Gading terlontar deras ke be-
lakang. Melihat hal itu, Gempo Sinting menggeram
murka. Serangannya yang tadi gagal, kini meluncur
dan bertambah ganas. Sedang Dewi Sungai Bangkai
yang sudah tegak kembali menyerbu pula.
"Curang! Mengeroyok hanya dilakukan oleh
orang-orang yang curang!"
Mendadak terdengar seruan keras, membuat


Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertarungan berhenti sejenak. Orang-orang yang men-
jadi lawan Andika menatap marah pada Hantu Jantan
yang sudah tiba di sana. Di sisi si Hantu Jantan berdiri Nilakanti yang
memandang dingin.
Hantu Gigi Gading sudah bergerak di sisi Dewi
Sungai Bangkai.
"Manusia keparat! Kalau waktu itu kau luput
dari maut, sekarang kau tak bisa melarikan diri!" bentak Dewi Sungai Bangkai
sambil menerjang.
"Sayang, aku sudah berjanji tidak akan mem-
bunuh. Tetapi sekarang kedua tanganmu menjadi
tumbal dari kelancanganmu bicara!" seru si Hantu Jantan sambil berkelebat
menghindar. "Tangkap gadis itu! Aku yakin dialah yang me-
nyelamatkan si manusia kerempeng itu dari maut!" teriak Gempo Sinting pada Hantu
Gigi Gading. Hantu Gigi Gading sudah menyerbu sambil ter-
tawa-tawa menyadari lawannya hanyalah seorang ga-
dis cantik. "Dan kau, rupanya lebih suka memilih aku
yang perkasa ini, bukan?" sela Pendekar Slebor, mengejek. Si manusia buntal itu
menoleh, langsung me-
nyerang. Pertarungan maut yang mengerikan itu pun
terjadi. Terdiri dari tiga kelompok yang sebenarnya tidak saling mengenal.
Terutama Pendekar Slebor, Han-
tu Jantan, dan Nilakanti.
Pertarungan benar-benar mengguncangkan
Gunung Kabut. Batu-batuan dan pepohonan yang
tumbuh di sana bertumbangan jatuh menimbulkan
suara bergemuruh yang kencang sekali. Tempat itu tak ubahnya kiamat.
Si kakek yang merupakan salah seorang Sepa-
sang Hantu Neraka jengkel, karena kediamannya di-
usik orang-orang tak beradab. Meskipun tidak berniat membunuh, namun serangan-
serangan yang dilakukan membuat Dewi Sungai Bangkai Benar-benar kewa-
lahan. Tiba-tiba saja nenek peot itu seperti tersenyum.
Dia telah mendapatkan satu cara untuk melumpuhkan
si Hantu Jantan. Dan mendadak saja, tubuhnya berge-
rak setengah lingkaran dengan kaki kanan mengibas.
Si Hantu Jantan memiringkan tubuhnya. Na-
mun di luar dugaan, Dewi Sungai Bangkai telah bergerak laksana kilat dengan
serangan kaki kiri.
Duk! Tendangan itu tepat mengenai bungkusan yang
dipegang si Hantu Jantan, hingga terlepas dan terpental.
"Aauuu...!"
Terdengar suara lolongan seperti seekor serigala
yang keluar dari mulut si Hantu Jantan. Bersamaan
dengan itu, tubuhnya meluruk untuk menyambar
bungkusan yang terlempar tadi.
Dewi Sungai Bangkai yang sudah mempergu-
nakan siasat licik, melesat kencang.
"Sayang, nyawamu akan putus hari ini juga!"
teriak Dewi Sungai Bangkai.
Namun di luar dugaan, masih dengan usa-
hanya menyambar bungkusan yang terpental, kaki si
Hantu Jantan mengibas.
Dewi Sungai Bangkai mengeluarkan suara ma-
kian panjang pendek. Seketika meluncur melewati tu-
buh si Hantu Jantan di atasnya dengan tangannya
mengibas. Des! "Sayangku!"
Hantaman si wanita tepat mendarat di perut si
Hantu Jantan hingga terjengkang. Bukan keluhan
yang terdengar dari mulut si lelaki, namun gerengan kemarahan yang berbalur
kekhawatiran. Bungkusan itu terus terpental. Dan kali ini ja-
tuh bergulingan hingga ke lereng Gunung Kabut. Tu-
buh si Hantu Jantan bergerak kembali. Dia benar-
benar begitu mencemaskan bungkusan yang terpental,
hingga tak dipedulikannya lagi dirinya sendiri yang di-hantam Dewi Sungai
Bangkai. Padahal, sebenarnya
wanita itu mengerti mengapa si Hantu Jantan begitu
mengkhawatirkan bungkusan itu.
Dengan dua kali mengibaskan tangan, si Hantu
Jantan berhasil meloloskan diri dari serangan-
serangan maut Dewi Sungai Bangkai. Tubuhnya terus
berkelebat, memburu bungkusan miliknya yang kini
tergeletak di lereng Gunung Kabut.
Dewi Sungai Bangkai tak mengejarnya. Karena,
sasaran berikutnya adalah Pendekar Slebor yang se-
dang bertarung hebat melawan Gempo Sinting.
"Hiaaat...!"
Dengan teriakan keras, si wanita meluruk ke
arah Pendekar Slebor yang saat ini sedang mendesak
Gempo Sinting. "Lebih baik kau bunuh diri daripada Gunung
Kabut menjadi tempat peristirahatanmu yang terakhir, Pendekar Slebor!"
Andika mengurungkan serangannya pada
Gempo Sinting. Tubuhnya bergerak melingkar, meng-
hindari serangan Dewi Sungai Bangkai.
"Atau..., kau yang akan terkubur di sini" Teta-pi, Gunung Kabut yang indah ini
akan hancur karena
dari tubuhmu mengeluarkan bau busuk! Sayang seka-
li!" *** 12 Dewi Sungai Bangkai semakin bertambah ge-
ram. Gempurannya benar-benar membuat Gunung
Kabut semakin bergetar. Bau busuk dari tubuhnya
semakin menyengat penciuman.
Sesaat Andika berusaha menepiskan seluruh
bau busuk itu. Namun, dia juga harus menghindari
gempuran Gempo Sinting yang kini sudah merasa di
atas angin. "Akan kucongkel kedua matamu dan kumakan
mentah-mentah jantungmu, Pendekar Slebor!" ma-
kinya. "Wah.... Mending kau rebus dulu! Mungkin akan lebih nikmat lagi bila
diberi sambal!" seloroh Andika. Padahal, nafasnya sudah Senin-Kamis karena
pengaruh bau busuk yang ditebarkan Dewi Sungai
Bangkai. Andika kembali menggunakan kain pusakanya
untuk menghalau bau busuk yang menerpa ke arah-
nya. Setelah jalan pernafasannya terasa tidak terlalu terganggu, dia mulai
menyerang hebat kembali.
Ajian 'Guntur Selaksa' meledak-ledak keras di-
iringi setiap gerakan dari kain bercorak catur. Dan ini membuat Dewi Sungai
Bangkai merah padam, karena
hawa busuk yang dilepaskannya tidak membawa arti
bagi Pendekar Slebor.
Begitu pula halnya Gempo Sinting. Meskipun
berhasil menjatuhkan tangannya ke tubuh Andika,
namun tak urung tubuhnya terpental ketika kedua
kakinya terlilit kain bercorak catur milik si pemuda da-ri Lembah Kutukan itu.
"Heaaa...!"
Bersamaan dengan itu Andika menerjang, di-
kawal teriakan keras. Namun, tendangan kaki Dewi
Sungai Bangkai menghalangi serangannya, sekaligus
menghantam dadanya.
Desss...! Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutu-
kan terjungkal ke belakang.
"Gila! Bagaimana cara untuk mengalahkan ke-
duanya" Sebenarnya, yang membahayakan adalah
hawa busuk dari Dewi Sungai Bangkai. Hawa busuk
itu mampu membuat napas bagaikan terhenti."
Tiba-tiba Andika memasukkan tangannya ke
balik bajunya. Tasbih Emas Bidadari berada di tan-
gannya. Dan, terlihatlah wajah Gempo Sinting dan Dewi Sungai Bangkai terbelalak.
"Keparat! Serahkan senjata pusaka itu kepada-
ku!" teriak Gempo Minting menggelegar.
*** Pertarungan antara Hantu Gigi Gading mela-
wan murid dari Malaikat Putih Bayangan Maut ber-
langsung hebat. Hantu Gigi Gading benar-benar salah sangka. Dipikirnya, dia akan
dengan mudah mengalahkan Nilakanti. Namun pada kenyataannya, setelah
dua puluh jurus berlangsung, dia masih belum mam-
pu menjatuhkannya.
Apalagi setelah Nilakanti mencabut pedangnya.
Serangan-serangan pedang yang dilakukan gadis jelita itu benar-benar menimbulkan
suara angin keras setiap kali mengibaskannya. Belum lagi jotosan mau-pun
tendangan yang dilancarkannya, membuat Hantu Gigi
Gading membentak-bentak penuh amarah.
Tiba-tiba, lelaki ini melompat ke belakang. Dan
ketika berdiri dengan wajah garang, tangan kanannya sudah memegang kalung taring
yang terbuat dari gading.
"Hhh! Kali ini aku menghendaki nyawamu!"
dengus Hantu Gigi Gading.
Nilakanti yakin Hantu Gigi Gading akan mela-
kukan satu serangan sangat berbahaya. Maka gadis ini pun bersiap. Seluruh tenaga
dalamnya dikerahkan pa-da pedangnya, hingga tiba-tiba memancarkan sinar
putih. Pada saat yang sama, dari kalung taring gading di leher Hantu Gigi
Gading, melesat sinar warna hitam menggidikkan. Hal ini membuat Nilakanti
menjadi pias. Maka sambil membentak pedangnya digerak-kan.
Sing! Sinar putih yang sangat terang melesat, meng-
hantam sinar hitam. Suara ledakan terdengar. Tubuh
Nilakanti bergetar hebat. Dan dari mulutnya keluar darah segar. Rupanya, tenaga
dalamnya masih di bawah
Hantu Gigi Gading.
Belum sempat si gadis berbuat sesuatu, dua
buah sinar hitam melesat ke arahnya. Kalau tadi Nilakanti berani memapak dengan
sinar putih yang keluar dari pedangnya, kali ini justru bergulingan menghindar.
Bum! Bum! Dua sinar itu menghantam pohon, hingga lang-
sung hangus. Dan belum lagi Nilakanti berdiri tegak, sinar-sinar hitam itu terus
memburu ke arahnya dengan gencar. Bulu kuduk gadis itu meremang dengan
wajah semakin pias.
"Apakah aku harus terus bergulingan seperti
itu" Bisa-bisa justru tenagaku yang akan terkuras!"
kata gadis ini sambil bergulingan kembali. Nilakanti memeras otaknya memikirkan
cara untuk mengatasi
serangan maut Hantu Gigi Gading ini. Namun sampai
sejauh itu, belum juga berhasil menemukan cara yang paling tepat. Bahkan pakaian
di bagian lengan kirinya telah hangus karena terlambat bergerak tadi.
Sementara Hantu Gigi Gading semakin liar me-
nyerang. Namun kejap berikutnya dia menjadi terkejut.
Karena kini gadis itu bergerak bagaikan kilat, berjumpalitan tiga kali ke
belakang. Lalu menyusul satu gerakan dahsyat. Tangannya yang memegang pedang
tadi mendadak mengibas.
Sing! Sing! Sing!
Tiga buah larik sinar putih seketika melesat
menahan sekaligus menghantam sinar hitam yang di-
lepaskan Hantu Gigi Gading. Maka tiga buah ledakan
terdengar berturut-turut, bagaikan guntur marah
sambar menyambar.
Kalau tadi tubuh Nilakanti bergetar dan dari
mulutnya mengeluarkan darah, kali ini justru tubuh Hantu Gigi Gading yang
terpental ke belakang.
Sudah tentu perubahan yang terjadi membuat
Hantu Gigi Gading menjadi keheranan. Untuk sesaat,
dia masih tak percaya melihat lawannya yang sudah
kewalahan tadi justru bertambah kuat tenaga-nya.
Apalagi, sejak tadi dia sudah merasa di atas angin.
"Kau tak perlu kaget, Orang Jelek! Barusan
adalah salah satu ajian pamungkas yang diajarkan guruku 'Kibas Pedang Mengambil
Tenaga Lawan'!" cibir Nilakanti.
Dan sesaat kemudian, Hantu Gigi Gading me-
rasa tenaganya berkurang.
"Gila! Ilmu apa ini" Bagaimana tahu-tahu tena-
gaku bisa tersedot?"
*** "Bangsat keparat! Serahkan pusaka Tasbih
Emas Bidadari kepadaku!"
Terdengar bentakan Gempo Sinting penuh
amarah. Mendengar seruan itu, semua yang berada di
sana menoleh pada Andika. Mereka melihat sebuah
tasbih di tangan Pendekar Slebor yang mengeluarkan
sinar berwarna keemasan berpendar-pendar.
"Mana bisa seperti itu?" desis Andika sambil nyengir.
Tubuh Gempo Sinting sudah menderu keras.
"Serahkan Tasbih Emas Bidadari kepadaku!"
"Wah, .wah.... Enak saja kau minta seperti itu.
Mengapa tidak kau pecahkan saja rahasia peta yang
kuberikan kepadamu" Bukankah kau sudah lengkap
memilikinya?" sahut Andika sambil berjumpalitan.
Dewi Sungai Bangkai pun sudah menerjang
dengan keheranan semakin menjadi-jadi. Bagaimana
Tasbih Emas Bidadari itu bisa berada di tangan Pen-
dekar Slebor" Sadarlah dia, kalau selama ini orang
yang membuntutinya adalah Pendekar Slebor. Bukan
si Hantu Jantan yang memang berada di Gunung Ka-
but. Kemarahannya semakin menjadi-jadi. Dan diam-
diam, dikaguminya kecerdikan Pendekar Slebor yang
berhasil memecahkan potongan peta Ki Bubu Jagat.
"Busyet! Apakah kalian tidak ingin bersujud
kepadaku agar kuampuni nyawa kalian?" dengus Andika. "Serahkan senjata pusaka
itu!" rutuk Gempo Sinting. Dan tubuhnya benar-benar berkelebat sangat cepat.
"Atau..., kau sebenarnya ingin mengetahui kehebatan senjata pusaka ini" Baik!
Akan kutunjukkan
kepadamu!"
Andika cepat melompat menghindari serangan
Gempo Sinting. Lalu....
"Aku ingin manusia buntal seperti kodok buntet itu terpental!"
Sehabis Pendekar Slebor berkata begitu, tiba-
tiba saja tubuhnya bergetar hebat. Sementara tangannya bagaikan ada yang


Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggerakkan, mengibas ke
arah Gempo Sinting hingga terpental deras ke bela-
kang. Terjangan lelaki bulat itu bagaikan dihalangi sebuah tembok tebal
berkekuatan raksasa. Tubuhnya
bergulingan bagaikan bola dengan dada terasa sesak
sekali! Melihat hal itu timbul kengerian di hati Dewi Sungai Bangkai. Padahal
dia siap menyerang. Namun
keserakahan dan nafsu membunuhnya untuk meng-
hancurkan Pendekar Slebor mengalahkan rasa nge-
rinya. "Meskipun kau memiliki Tasbih Emas Bidadari, jangan harap aku mundur dari
hadapanmu!" desis perempuan berbau busuk itu.
"Lho, lho..." Justru aku ingin kau mampus di
hadapanku" Bagaimana sih, ini" Ayo sini, biar kau ju-ga bergulingan menyusul
manusia buntal itu!"
Dewi Sungai Bangkai jadi mengurungkan niat-
nya untuk menyerang, karena khawatir apa yang me-
nimpa Gempo Sinting terjadi pula padanya. Justru Andika yang terbahak-bahak.
"Kok jadi begini" Aku belum mempergunakan
kesaktian Tasbih Emas Bidadari, kok!" ledek Andika.
Merahlah wajah Dewi Sungai Bangkai. Segera
gerakannya dihentikan. Dan dia berbalik menyerang
Andika. Brak! Des!
Tapi mendadak tubuh Dewi Sungai Bangkai
sudah terpental kencang ke belakang bagai dikibas
tangan raksasa yang besar. Karena, bersamaan dengan itu Andika sudah meminta
pada Tasbih Emas Bidadari
agar manusia peot itu juga terpental ke belakang.
Dewi Sungai Bangkai terus meluncur deras.
Untungnya, Gempo Sinting yang sudah berdiri dan
kembali pada keseimbangannya berhasil menahannya.
"Gempo...! Berat untuk mengalahkan Pendekar
Slebor," desis Dewi Sungai Bangkai dengan dada terasa sakit sekali. Bahkan
merasa tak mampu berdiri kembali. "Peduli setan! Aku harus membunuh pemuda
sialan itu!"
Gempo Sinting sudah kembali berkelebat naik,
dan berdiri tegak di hadapan Andika yang masih cen-
gar-cengir. "Masih penasaran" Aku hanya memperlihatkan
kepadamu, kalau senjata ini sudah berada di tangan-
ku. 'Kan kasihan, kau yang sangat menginginkannya,
namun harus mampus terlebih dulu tanpa melihat ke-
saktian Tasbih Emas Bidadari?" ejek Andika sambil memasukkan kembali senjata itu
ke balik bajunya.
"Seharusnya kau berterima kasih karena kuberi kesempatan untuk mencoba kesaktian
pusaka ini."
Gempo Sinting tak mempedulikan lagi kata-
kata Andika. Tubuhnya sudah meluruk dengan kece-
patan sangat hebat. Andika sendiri langsung menyam-
but dengan merangkum ajian 'Guntur Selaksa'.
Bum! Dua pukulan maut bertemu di udara. Suara le-
dakan terdengar. Dua tubuh tampak terjajar ke bela-
kang. Andika merasa ada hawa panas yang menjalari
tubuhnya. Dia berusaha mengalahkan sekaligus me-
ngendalikannya. Untungnya, akibat pernah memakan
buah 'inti petir', dengan segera rasa panas itu bisa dikalahkan.
Sementara Gempo Sinting sudah menderu
kembali. Melihat Andika siap memapaki, Gempo Sinting menambah kecepatannya.
Namun di luar dugaan, begitu tenaga maut
Gempo Sinting siap menghantam, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor melenting ke
atas. Dilewatinya kepala lelaki bulat itu. Dan....
Duk! Pukulan Pendekar Slebor yang terangkum te-
naga 'inti petir' menghantam telak punggung Gempo
Sinting. Manusia bulat itu kontan tersuruk ke depan dengan punggung mengeluarkan
asap. Sesaat terdengar lenguhannya bagai sapi dis-
embelih. Dia berusaha berbalik. Matanya melotot ge-
ram. Dan makiannya keluar.
"Kau...."
Hanya itu yang bisa diucapkan Gempo Sinting.
Karena, nyawanya pun melayang untuk selama-
lamanya. "Satu lagi kejahatan ini berhasil kuatasi,
meskipun terkadang maut selalu mengancamku. Ah!
Sampai kapankah keadaan ini akan terus berlang-
sung?" Andika tak sempat lagi memikirkan soal itu, karena terdengar teriakan
keras di belakangnya.
Saat itu, Nilakanti tengah meluruk sambil me-
nusukkan pedang ke dada Hantu Gigi Gading. Lelaki
itu tercekat. Dan bagai tikus yang terjebak, dia tak mampu bergerak lagi.
Namun belum lagi tusukan pedang Nilakanti
mengenai sasaran, berkelebat satu sosok tubuh lang-
sung menyambar Hantu Gigi Gading. Bahkan sosok itu
langsung pula melepaskan serangan. Cepat Nilakanti
melenting ke kiri kalau tidak mau terhantam.
Tepat ketika tubuh gadis itu hinggap di tanah
kembali pada jarak dua tombak....
"Jangan berbangga dulu, Pendekar Slebor!
Nyawa Gempo Sinting harus kau bayar lunas!"
Terdengar teriakan yang semakin menghilang,
ketika tubuh Dewi Sungai Bangkai melesat kabur.
"Dewi Sungai Bangkai!" desis Pendekar Slebor.
Ketika Pendekar Slebor hendak mengejar, sosok
Dewi Sungai Bangkai yang membopong Hantu Gigi
Gading tinggal bayangan belaka.
Justru Nilakanti yang memaki-maki geram.
"Sialan! Manusia keparat itu harus mampus!"
maki si gadis. Sungguh disesali, mengapa dia tidak
memperhitungkan kalau Dewi Sungai Bangkai akan
menghalangi serangannya. Hhh! Biar bagaimanapun
juga, dia menghendaki manusia-manusia keparat itu
mampus berkalang tanah!
Andika merasa ketegangan sudah memulih
kembali. Dan dia menoleh pada Nilakanti yang sedang menyentak-nyentakkan kakinya
di tanah. "Mengapa harus sewot begitu" Tanpa dibunuh
pun, manusia-manusia itu akan mati sendiri," usik Andika, mulai kumat lagi.
"Brengsek!" maki Nilakanti ketika tahu pemuda tampan itu meledek. Tatapannya yang bening melotot
sebesar gundu. "Apakah kau yang berjuluk Pendekar Slebor?"
"Ya, kalau kau maunya menyebut demikian,
tak apalah...," sahut Pendekar Slebor enteng.
"Pantas kelakuanmu urakan seperti itu! Main
ngomong sembarangan! Apa kau belum pernah ditam-
par?" desis si gadis.
"Sudah! Tapi kalau dengan hidungmu, be-
lum...," seloroh Andika sambil tersenyum.
Nilakanti mendengus.
"Minggir! Aku harus mencari Tasbih Emas Bi-
dadari. Berbicara denganmu, sama saja melayani pe-
muda bodoh!"
Andika tersenyum saja.
"Untuk apa mencari Tasbih Emas Bidadari?"
tanya Pendekar Slebor, iseng-iseng.
"Apa pedulimu, hah"!" bentak Nilakanti ketus.
"Ah, hanya bertanya saja."
Nilakanti yang hendak melangkah berbalik me-
natap tajam Andika.
"Pendekar Slebor! Apakah senjata yang kau pe-
gang tadi itu Tasbih Emas Bidadari?" tanya si gadis.
"Kalau iya, kenapa?" sahut Andika, makin
mempermainkan gadis ini.
"Aku bertanya!" bentak gadis itu.
"Kalau kau yang bertanya, aku jawab iya."
"Kalau begitu, serahkan kepadaku!"
Kali ini Nilakanti berhadapan dengan Pendekar
Slebor. Tatapannya nyalang.
"Untuk apa?" tanya Pendekar Slebor.
"Untuk kuserahkan kepada guruku!" sentak Nilakanti. "Siapa gurumu?"
"Peduli apa kau bertanya, hah"!"
"Karena, aku harus tahu! Aku juga hendak me-
nyerahkan Tasbih Emas Bidadari ini pada seseorang!
Hanya sayang, aku belum mengenalnya. Kecuali, tahu
namanya saja."
"Guruku bernama Malaikat Putih Bayangan
Maut." Andika tersentak mendengarnya. Namun, tak ditampakkan pada raut wajahnya.
Malah bibirnya cen-gengesan. Sifat konyolnya masih nyata.
"Bagaimana aku bisa percaya begitu saja kalau
kau murid Malaikat Putih Bayangan Maut" Bagaimana
bila kau mengaku ngaku saja, dan akhirnya melarikan pusaka Tasbih Emas
Bidadari?" kata Andika seenaknya. "Sialan! Kau boleh ikut aku untuk membukti-
kannya!" Hati Andika yakin kalau gadis ini memang mu-
rid Malaikat Putih Bayangan Maut. Dan itu bisa dirasakan dari sorot mata
Nilakanti yang memancarkan
kesungguhan. Hanya saja, kekonyolan Andika sedang
kumat. Jadi ya begitu sikapnya.
"Berjalan dengan seorang gadis sebenarnya ti-
dak menyenangkan. Karena, pasti banyak maunya! Te-
tapi berjalan bersama gadis cantik sepertimu tentu sangat menyenangkan," celoteh
Andika sambil terbahak-bahak.
Dari sikapnya yang membentak-bentak kini,
wajah Nilakanti memerah. Biar bagaimanapun juga,
seorang gadis akan senang dipuji begitu. Tetapi, sudah tentu Nilakanti tidak mau
memperlihatkannya. Makanya dia segera berbalik.
"Kita berangkat sekarang!" ajak Nilakanti.
"Wah, wah.... Kenapa terburu-buru" Aku jadi
curiga nih! Jangan-jangan kau nanti akan mengatakan kepada gurumu kalau aku ini
calon suamimu!" goda Andika lagi.
Nilakanti menghentakkan kakinya. "Kurang
ajar! Omonganmu busuk! Siapa yang sudi menjadi ke-
kasihmu yang urakan itu, hah"! Berjalan bersamamu
saja aku masih mikir-mikir sebenarnya!" bentak Nilakanti. "Tetapi pada
kenyataannya kau mengajakku, bukan" Kalau kau tidak mau, aku toh bisa mencari
Malaikat Putih Bayangan Maut seorang diri. Berjalan bersamamu, apa iya bisa
menyenangkan?"
Nilakanti mendengus jengkel. Lalu tanpa
menghiraukan Andika, dituruninya Gunung Kabut.
Andika hanya tertawa-tawa sambil melangkah menyu-
sul. Di lereng Gunung Kabut, mereka melihat si
Hantu Jantan sedang terisak. Andika heran, bagaima-
na mungkin lelaki bertampang seram yang malang me-
lintang di dunia persilatan menangis seperti itu"
Tentunya ada sesuatu yang membuatnya bersi-
kap seperti anak kecil begitu.
Hati-hati Pendekar Slebor mendekatinya.
"Tak ada guna menangis, Kek. Karena air mata
yang mengalir hanya diperuntukkan perempuan. Se-
bagai laki-laki, tak pantas untuk...."
"Kunyuk!"
Bukannya sahutan pelan yang diterima justru
bentakan yang mampu memecahkan gendang telinga
Andika. "Sekali lagi kau berkata seperti itu, kucabik-
cabik tubuhmu!"
Andika melengak.
"Kalau tidak mau dinasihati, ya sudah. Jangan
main bentak seperti itu, dong! Telingaku tidak tuli untuk mendengar kentutmu
sekalipun..." cibir Andika.
Bersama Nilakanti, Pendekar Slebor masih me-
lihat si Hantu Jantan menangisi bungkusan di tan-
gannya. Tak dipedulikannya kata-kata Andika baru-
san. "Maafkan aku, Sayangku.... Kau tidak merasa sakit, bukan" Tidak sakit,
bukan" Akan kubalas perlakuan nenek peot yang telah menendangmu itu. Aku
bersumpah atas nama langit dan bumi, akan kubalas
semua perlakuan manusia jelek itu padamu, Sayang-
ku. Kau tidak usah menangis. Kau kuat, bukan?" ra-tap si Hantu Jantan.
Perlahan-lahan si Hantu Jantan berdiri, lalu
menatap Andika dan Nilakanti bergantian. Sementara
yang ditatap mengerutkan kening tak mengerti melihat sikap si Hantu Jantan.
"Di manakah Dewi Sungai Bangkai berada?"
tanya si kakek keras. Tekanan suaranya yang penuh
kegeraman nyata sekali. "Dia harus membayar semua ini" Dia harus mampus di
tanganku!"
"Dia sudah melarikan diri, kek," sahut Andika,
hati-hati. "Keparat! Ke mana pun dia pergi akan kukejar!"
dengus si Hantu Jantan, seraya menatap tajam Andi-
ka. "Anak muda.... Apakah kau yang dimaksud istriku, yang tenggelam di sungai
berair kuning?"
Andika menganggukkan kepalanya dengan rasa
heran. Bagaimana hal itu bisa diketahui" Padahal, tak seorang pun yang
melihatnya, kecuali Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan"
"Untunglah kau selamat. Jadi, aku tidak perlu
repot membantumu. Karena, toh kau dalam keadaan
segar bugar sekarang. Kau harus berterima kasih pada istriku yang telah
mengatakan hal itu kepadaku," kata si Hantu Jantan."
Andika celingukan. "Di mana istrimu?"
"Pemuda tolol! Dia berada di hadapanmu!" bentak si Hantu Jantan.
Kembali Andika celingukan. Sesaat, bulu ku-
duknya meremang karena menyadari bahwa mereka
bertiga di sana. Apakah ada arwah yang datang" Ataukah, si kakek ini sudah gila"
Tangan si Hantu Jantan menepak kepala Andi-
ka, "Adah...!"
Pendekar Slebor meringis sambil mengusap-
usap kepalanya yang ditepak.
"Pemuda bodoh!"
Lalu perlahan-lahan tangan si Hantu Jantan
membuka bungkusan yang dipegangnya.
Bukan hanya Andika yang terbelalak. Malah Ni-
lakanti sampai menekap mulutnya agar tidak menjerit.
Bungkusan yang selalu dipegang si Hantu Jantan ter-
nyata sebuah kepala dengan mata terpejam!
"Hei! Kalian ketakutan melihat istriku, ya" Kalian tidak senang" Kubunuh nanti!"
Andika buru-buru menggeleng.
"Tidak, tidak.... Aku justru bahagia bisa berte-mu istrimu," cegah Andika.
"Bagus!" si Hantu Jantan menutup lagi bungkusan itu. "Sekarang, minggir! Aku
akan mencari Dewi Sungai Bangkai!"


Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh itu pun berkelebat laksana setan. Sekali
kelebat saja, sudah hilang dari pandangan. Andika
mendesah panjang. Kasih sayang dan cinta pada is-
trinya, masih terpatri lekat di dalam hati si Hantu Jantan. Bahkan kepala
istrinya masih dibawa-bawa.
Andika menoleh pada Nilakanti yang masih ter-
diam dengan wajah tegang. Gadis itu sungguh tidak
pernah menyangka kalau bungkusan yang dipegang si
Hantu Jantan sebuah kepala istrinya sendiri.
"Hei! Daripada kau ingat-ingat kepala itu, lebih baik menatapku yang ganteng
ini, 'kan?" goda Pendekar Slebor.
Namun Nilakanti tak tertarik dengan ucapan
itu. Dengan kepala terpekur, kakinya melangkah me-
naiki bukit yang ada di depan Gunung Kabut. Kepa-
lanya masih berpendar-pendar pusing. Baru kali ini
dia keluar dari Lembah Matahari, dan sudah bertemu
tokoh-tokoh aneh yang memiliki ilmu sangat tinggi.
Sementara Andika tak bermaksud mengusik-
nya. Kakinya melangkah saja, di sisi Nilakanti sambil bersiul-siul.
Sekarang, Pendekar Slebor akan menjalankan
amanat terakhir yang diberikan Sapta Jingga untuk
menyerahkan Tasbih Emas Bidadari kepada Malaikat
Putih Bayangan Maut.
Bukan karena Andika tak percaya pada Nila-
kanti yang mengaku murid dari Malaikat Putih Bayan-
gan Maut. Selain Pendekar Slebor memang ingin men-
genal tokoh yang baru diketahui julukannya itu, ha-
tinya merasa tak tenteram bila Tasbih Emas Bidadari dibawa Nilakanti.
Hari pun sudah berubah senja.
Dap perjalanan itu rupanya tak seperti yang di-
bayangkan Andika. Karena, maut sebenarnya tengah
mengintai.... SELESAI Ikutilah kelanjutan serial ini
dalam episode: LIMA JALAN DARAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kisah Para Penggetar Langit 4 Jodoh Rajawali 04 Utusan Pulau Keramat Tujuh Pedang Tiga Ruyung 3
^