Pencarian

Manusia Dari Pusat Bumi 2

Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi Bagian 2


pemuda ini belum begitu lihai memainkan setiap jurus ajaran Hakim Tanpa Wajah,
penyebabnya hanya karena usianya yang terlalu hijau. Sehingga, dia belum begitu
berpengalaman dalam medan tempur. Dengan kemampuan di luar dugaan tadi, Manusia
Dari Pusat Bumi justru memanfaatkan kekurangannya untuk menguras tenaga lawan.
"He... he... he! Pintar, Bocah Bagus! Kau memang murid yang bisa diandalkan! Ada
baiknya kau tidak hanya menjadi muridku, tapi sekaligus jadi seorang
'Penuntut Pengadilan Perut Bumi'. He... he... he!" kata Hakim Tanpa Wajah dari
tempatnya berdiri.
Bukan main berbunganya hati lelaki bangkotan itu menyaksikan para calon orang
hukumannya mundur teratur, menghadapi pemuda hijau yang sesungguhnya baru
berusia teramat muda.
Di kancah pertarungan, lima Gembel Busuk sudah bersiap-siap memainkan jurus
andalan 'Benteng Angin'. Mula-mula, lima lelaki itu mengatur keberadaan masing-
masing dalam bentuk lingkaran lima belas tombak di sekitar pemuda itu. Setapak
demi setapak, mereka maju dengan langkah teratur dan pasti menuju pusat sasaran
serangan. Ketika tinggal sekitar tiga tombak lagi, mereka serempak mengerahkan
kembangan jurus masing-masing, seolah hendak membingungkan lawan. Lalu pada
waktunya, tenaga sembrani mereka dilepaskan dari kedua belah telapak. Tenaga
yang sanggup membuat mereka menggabungkan tenaga pada telapak tangan langsung
membentuk lingkaran, mengurung Manusia
Dari Pusat Bumi seperti gelang tembus pandang.
Dinginnya wajah Manusia Dari Pusat Bumi tak berubah sediki pun menghadapi jurus
andalan yang amat kesohor di wilayah timur itu. Selama 'Benteng Angin'
dipergunakan Lima Gembel Busuk, belum ada seorang lawan pun yang sanggup
mengungguli. Tapi bagi lelaki belia berperawakan manusia berusia dua puluh
limaan itu, mungkin hanya mainan tak berarti.
"Heaaa!"
Adu kedigdayaan dimulai kembali. Manusia Dari Pusat Bumi membuat terjangan lebih
dahulu. Hatinya sudah tak sabar ingin segera menyelesaikan pekerjaan. Yang jadi
sasaran pertama adalah si Pincang. Jurus yang diturunkan gurunya mulai
dikerahkan pada tingkat yang sulit ditandingi.
Delapan puluh tahun yang lalu, jurus itu pernah menjatuhkan berpuluh-puluh tokoh
jajaran atas. Pada waktu itu, jika Hakim Tanpa Wajah sudah merangsek dengan kaki
menjejak-jejak dengan bumi penuh tenaga, maka para lawannya seketika menjadi
gentar. Karena mereka tahu kalau dia telah memainkan jurus
'Tenaga Sakti Pembelah Bumi'.
Setelah sekian lama terkubur masa, jurus tangguh itu tak lagi muncul. Orang pun
tak pernah lagi melihatnya seperti tak pernah lagi melihat Hakim Tanpa Wajah.
Kalaupun masih ada yang mengenali jurus itu, hanya terbatas pada tiga saingan
utama Hakim Tanpa Wajah. Yakni, Pendekar Dungu, Raja Penyamar, dan Lelaki
Berbulu Hitam. Namun begitu, tak luput dari kelima lawannya bertanya-tanya heran. Jurus apa
yang bisa membuat permukaan tanah bergetar seperti ada seekor naga raksasa
sedang bergeliat di dasar bumi"
*** Jauh di tempat lain, tepatnya di sebuah kedai bandar, adu kesaktian para tokoh
jajaran atas yang bertemu di satu tempat tanpa sengaja, berlangsung makin
hangat. Dua orang sudah dikenal sebagai Lelaki Berbulu Hitam dengan Pendekar
Dungu. Keduanya adalah tokoh dari zaman yang jauh berbeda dengan orang ketiga yang
dikenali sebagai Pendekar Slebor. Sedangkan tentang nenek bongkok berpunuk,
belum ada seorang pun yang tahu tentang dirinya.
Ketika itu, Andika maupun Lelaki Berbulu Hitam disentak oleh keusilan seseorang.
Pecahan piring yang meluncur ke wajah Lelaki Berbulu Hitam akibat ditiup balik
Andika, mendadak saja berhenti di udara.
Sudah pasti ada seseorang yang mengirim tenaga dalamnya yang tak kalah hebat.
Pendekar Slebor serta Lelaki Berbulu Hitam yang memang memiliki indera tajam,
segera saja bisa mengendus orang yang berbuat usil. Orang itu duduk menyender
pada sisi meja, terpulas dengan liur bercampur sirih. Siapa lagi kalau bukan si
Nenek Bongkok. Dengan dengkurnya, diam-diam tenaga dalamnya yang sudah sangat
tinggi disalurkan ke arah pecahan piring. Alhasil, kepingan-kepingan kecil tanah
liat itu pun tertahan di udara.
"Siaaal!"
Lelaki Berbulu Hitam mulai sewot lagi.
Kemarahannya kali ini berpindah ke nenek bongkok.
"Kau jangan sok ikut campur, Perempuan Peot!"
hardik Lelaki Berbulu Hitam garang. Matanya mendelik-delik buruk kepada nenek
bongkok yang tetap mendengkur. "Kau mau bibirmu yang sudah
mirip gombal itu kusumpal dengan pecahan piring, ya"!"
Dan seketika itu pula Lelaki Berbulu Hitam menggerakkan tangannya, hendak
menyambar benda-benda kecil tajam itu di udara. Tapi sebelum tangannya sampai,
pecahan-pecahan itu melayang lebih cepat ke atas, kemudian berhenti kembali
setelah naik sekitar satu depa.
Sekali lagi, Andika tersentak. Bukan karena tak tahu siapa yang berbuat hal itu.
Justru dia tersentak setelah menyadari kalau di sekitarnya kini hadir tiga orang
yang tingkat kepandaiannya tak terukur. Kalau tadi si Nenek Bongkok menahan
tiupan tenaga dalamnya pada pecahan piring hanya dengan mendengkur, kini
pecahan-pecahan tanah liat kering itu dipindahkan ke atas, dalam keadaan tetap
melayang oleh Pendekar Dungu di sudut ruangan dengan mengipas-ngipaskan topi
pandannya secara santai!
Kini giliran Pendekar Dungu mendapat jatah pelototan mata Lelaki Berbulu Hitam.
"Kau juga jangan ikut-kutan latah, Dungu!" bentak Lelaki Berbulu Hitam.
"Aku tidak mau 'ikut-ikut'. Makanan macam apa itu" Aku hanya mau makan nasi
biasa," tukas Pendekar Dungu acuh tak acuh.
"Kenapa kau tak panggil pelayan saja"!"
"Jangan, jangan dipanggil. Biar aku tunggu pelayan itu memanggilku saja..."
"Goblok! Kau pikir, mau makan apa cari pelacur!"
"Aku mau cari nasi biasa! Sudah kubilang tadi, bukan?"
"Gggeeehhh...."
Lelaki Berbulu Hitam menggurutukkan gigi-giginya
sendiri. Rahangnya sampai seperti membengkak, karena begitu jengkel dengan
kebodohan Pendekar Dungu.
Sementara Andika celingak-celinguk sendiri. Dia tak habis mengerti, apa yang
sesungguhnya diributkan kedua lelaki ganjil itu" Dan kenapa pula si Nenek
Bongkok usil-usilannya menjahili" Seolah-olah, pemuda itu sedang disuguhkan satu
adegan sandiwara rakyat yang penuh guyonan. Sesekali matanya memperhatikan
Pendekar Dungu di sudut kedai. Saat yang lain, diperhatikannya Lelaki Berbulu
Hitam yang belum juga beranjak di dekat mejanya.
Juga, diawasinya si Nenek Bongkok yang tetap pulas seperti bayi, seakan-akan
suara menggelegar-gelegar Lelaki Berbulu Hitam tak pernah bisa mengusiknya.
"Para orang tua! Sebelum kalian melanjutkan pertengkaran, bolehkah aku yang muda
ini tahu, siapa kalian sebenarnya?" selak Andika, memotong makian panjang-
panjang Lelaki Berbulu Hitam.
"Apa pedulimu!" tandas Lelaki Berbulu Hitam.
"Wah! Kalau namaku, aku tahu. Tapi kalau nama kalian..." sahut Pendekar Dungu
sambil berpikir beberapa saat. Setelah itu, dia menggeleng lamban.
"Nyem... nyem... grrr... suiiittt...," Nenek bongkok pun ikut menjawab dengan
caranya sendiri.
Andika meringis. Dirinya yang slebor pun dibuat berdecak-decak oleh sikap ketiga
orang itu. Apalagi orang yang waras" Bisa-bisa langsung ngacir dari tempat ini!
"Maksudku, mungkin aku bisa membantu kalian,"
ralat Andika. "Aku tak perlu bantuanmu, Bocah!" sentak Lelaki Berbulu Hitam.
"Ya, Anak Muda. Mana mau manusia keras kepala
itu dibantu. Di samping keras kepala, dia juga tinggi hati. Pertolongan orang
lain selalu dianggapnya hinaan," selak nenek bongkok, tanpa sedikit pun membuka
kelompak mata keriputnya. Setelah itu, dia meludah.
"Cuih!"
Cairan berwarna merah dari mulut nenek itu terbang cepat, menuju kepingan-
kepingan bekas piring yang masih melayang di atas, karena dikendalikan tenaga
dalam Pendekar Dungu. Ludah kental itu langsung menyebar ke beberapa arah,
menggasak habis pecahan tanah liat keras, lalu mendorongnya kuat ke dinding
kedai. Seketika lubang-lubang sebesar jari manusia tercipta, karena kekuatan
dalam dari setiap pecahan itu.
"Sudah kubilang, kau tak usah ikut campur, Nenek Peot! Sudah tidak pantas bagimu
ikut bermain-main seperti ini!"
Lelaki Berbulu Hitam berpindah tempat. Dihampirinya nenek bongkok dengan wajah
menyeringai-nyeringai merah.
Setibanya di sisi meja, Lelaki Berbulu Hitam menjatuhkan tangannya tanpa tenaga.
Belum lagi tangan itu sampai ke permukaan meja, papan dari kayu setebal
seperempat jengkal itu terpatah dua bagian! Lagi-lagi, dia hendak pamer
kekuatan. "Huuuaaah!" si Nenek Bongkok menguap lebar-lebar. Gulungan sirih tersembul di
antara kuapan mulutnya. "Itu kekuatan yang sudah ketinggalan zaman buatku,
Monyet." "Kau bilang aku apa"!" bentak Lelaki Berbulu Hitam kuat-kuat di depan hidung si
Nenek Bongkok. "Kau tak suka kukatakan monyet" Baik, memang mestinya kau kusebut biang
monyet...."
Lelaki keturunan serigala itu tak bisa lagi menguasai diri. Itulah sifatnya yang
sulit hilang, meski telah menjalani tapa selama puluhan tahun. Itu pula yang
menjadi masalah utama bagi dirinya. Tapi dibanding dulu, sekarang ini Lelaki
Berbulu Hitam termasuk sabar. Sebelum menyembunyikan diri selama puluhan tahun,
seseorang akan langsung dikepruknya hingga mampus jika sekali saja menyindirnya.
"Biar mampus kau, Nenek Keropos!"
Berbareng makian kasar, tangan besar Lelaki Berbulu Hitam terangkat cepat
tinggi-tinggi. Sebelum benar-benar sampai ke puncak, tangan itu sudah menukik
deras ke kepala nenek bongkok. Telapak tangannya terbuka lebar, seperti sebatang
pacul siap memburai lumpur sawah!
Wuk! Prak! Ubun-ubun nenek bongkok benar-benar telak terkepruk oleh telapak tangan lebar
milik Lelaki Berbulu Hitam. Andika sendiri sampai hendak bangkit, untuk menahan
tangan itu. Pendekar Slebor yang kesohor ini tahu, keprukan itu tak bisa
dianggap remeh. Batu karang sebesar kerbau saja belum tentu sanggup bertahan.
Apalagi kepala rapuh si Nenek Bongkok.
Tapi, kenyataan yang terjadi malah jauh di luar perkiraan. Sesudah tertimpa
tangan besar Lelaki Berbulu Hitam, si Nenek Bongkok menggaruk ubun-ubun. Bahkan
bibirnya yang lusuh mengembangkan senyum melecehkan.
"Sudah kubilang, tenagamu sudah ketinggalan zaman. Itu tadi untuk membunuhku,
atau untuk membunuh kutu-kutu di kepalaku?"
Siapa yang tak panas dikatakan seperti itu"
Apalagi, bagi lelaki berperawakan seram ini.
Telinganya serasa disodok sebatang besi panas.
Darahnya langsung bergejolak. Sifat-sifat seekor serigala yang mendekam dalam
tubuhnya pun terusik. Layaknya serigala murka, mulutnya menyeringai. Untung saja
wajahnya tak serupa binatang buas itu.
"Grrr...!" geram Lelaki Berbulu Hitam sangar. Si Nenek Bongkok tetap tenang,
memperhatikan seluruh tingkah calon lawannya. Tidak tahu, apakah lelaki yang
berada dalam puncak kemarahan itu dipedulikan atau tidak. Yang jelas, dia terus
saja memamerkan wajah melecehkan. Tangannya berbalut kulit keriput memain-
mainkan gulungan sirih di sudut bibir.
Tak perlu ada yang memanas-manasi, pertarungan memang akan segera pecah.
"Wah! Urusan jadi runyam," gumam Andika
perlahan sekali di mejanya. "Kalau orang seperti mereka bertarung di kedai ini,
bisa porak-poranda seluruh isinya...."
Untung saja yang ditakutkan Andika tidak terjadi.
Si Nenek Bongkok rupanya masih punya sedikit perasaan pada nasib sumber rejeki
orang lain. Dengan terseok-seok tubuhnya diangkat dari kursi panjang.
"Tempat ini terlalu kecil buat kita bergurau...," kata nenek itu sambil
melenggang terbungkuk-bungkuk.
*** 7 Sampai saat ini Andika tak tahu, siapa dua manusia aneh yang siap bertukar
jurus-jurus sakti di pelataran depan kedai. Juga tentang urusan mereka masing-
masing. Semuanya benar-benar tak jelas. Yang jelas Pendekar Slebor yakin kalau
tingkat kepandaian mereka berada beberapa tingkat di atasnya.
Sementara Pendekar Dungu tetap duduk masa bodoh di kursinya, Andika ikut keluar
kedai. Tepat di pintu kedai, tubuhnya disandarkan untuk memperhatikan segala hal
dahsyat yang bakal meledak.
Di pelataran kedai, si Nenek Bongkok berdiri terbungkuk-bungkuk. Tangannya terus
saja memper-mainkan gulungan sirih dari sudut bibir yang satu ke sudut lain.
Selama melihat, tak sekalipun Andika menangkap suara tawa wanita tua ini. Andika
menilai nenek peot itu termasuk manusia bersifat dingin.
Sekitar delapan tombak di depan si Nenek Bongkok, Lelaki Berbulu Hitam berdiri
dengan sikap tak sabar ingin melabrak lawan. Kedua tangannya terlihat meremas-
remas jemari, membuat otot-otot tangan gempal itu bermunculan. Sesekali dia
menggeram dengan tatapan mata menusuk.
"Ayo! Tunggu apa lagi, Kunyuk Bohongan?" tantang si Nenek Bongkok berbarengan
dengan semburan ludah berwarna merah ke bawah kakinya.
Tak perlu lagi banyak basa-basi. Lelaki Berbulu Hitam langsung membuka sepertiga
jurus andalan-nya. Sudah bisa disadari kalau lawan yang bakal dihadapi tidak
bisa diladeni dengan jurus tanggung.
"Grrr...!"
Beriring geraman berat serta terseret, lelaki berperawakan buruk itu
menelentangkan kuku-kuku jari tangannya di depan wajah. Sesaat setelah terdiam,
napasnya dihembuskan ke kuku jari jemarinya.
"Fhuuuh...."
Kuku panjang berwarna hitam serta runcing seperti milik hewan buas itu makin
menghitam. Sisi-sisinya tampak berpendar kehijauan. Tak lama kemudian, asap
tipis mengambang dari sana.
Wut! Wut! Wut! Lelaki Berbulu Hitam menggerak-gerakkan tangannya dalam kecepatan menggila.
Sepasang cakaran itu seakan hendak menghalau udara di sekitarnya.
"Yeee.... Anak kecil ingusan juga bisa begitu!"
ledek si Nenek Bongkok.
Lelaki Berbulu Hitam tak mau lagi mendengarkan setiap kalimat mengolok-olok dari
mulut lawan. Dengan satu tarikan napas, diterkamnya bumi sepenuh tenaga. Tak ada yang
mengerti, kenapa tindakan bodoh itu dilakukannya. Bahkan Andika juga tidak
mengerti. Tapi si Nenek Bongkok tampaknya sudah paham betul tindakan lawannya.
Maka sebelah kakinya diangkat tinggi-tinggi, siap menanti serangan lawan
selanjutnya. Di lain pihak, tubuh besar Lelaki Berbulu Hitam yang sudah menimpa tanah
berpasir, meluncur seperti papan di permukaan es menuju bagian bawah tubuh si
Nenek Bongkok dengan sepasang tangan mencabik-cabik ke depan.
Wuk! Wuk! Wuk! Ketika tinggal empat kaki dari tubuh Lelaki Berbulu Hitam dari tempatnya, si
Nenek Bongkok menghentakkan kakinya yang telah diangkat sebelumnya
kuat-kuat ke bumi.
Bammm! Seketika suara berdebam tercipta. Sepertinya, tak ada yang istimewa dari
tindakan nenek itu. Tanah yang dihentaknya tak mengalami apa-apa. Bahkan debu
pun tak terlihat mengepul. Amat bertolak belakang dengan bunyi keras yang
dihasilkannya. Tapi, siapa nyana kalau hentakan kaki berkesan tak berarti itu sanggup melempar
tubuh besar Lelaki Berbulu Hitam dari tanah tempatnya terseret" Dan yang terjadi
memang demikian. Lelaki Berbulu Hitam seperti disentak kekuatan dasar bumi,
hingga tubuhnya meluncur ke atas!
Di udara, lelaki penuh bulu itu terperangah.
Matanya melotot besar-besar. Tangan dan kakinya bergerak kalang-kabut, sebelum
akhirnya mampu menguasai keseimbangan dengan memutar tubuh di udara ke samping.
Dengan cara itu, dia bisa melepaskan diri dari dorongan kuat dari bawah.
Jleg! Hanya dalam satu tarikan napas, lelaki itu sudah berdiri tegak kembali.
Sekarang, wajah murkanya sudah terdepak entah ke mana, berganti dengan mimik
keterkejutan. "Kau...," kata Lelaki Berbulu Hitam terputus. Jari berbulunya menunjuk ke arah


Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nenek bongkok. Matanya menatap tak berkedip, seakan sedang melihat setan memakai gincu.
"Hek... hek... hek!"
Untuk pertama kalinya, si Nenek Bongkok memperdengarkan tawa.
"Kau mulai mengenaliku?" tanya nenek itu dengan suara tak lagi sama seperti
semula. Kali ini terdengar agak besar dan mantap.
"Hanya, seorang yang bisa melumpuhkan jurus maut 'Serigala Tak Berkaki' milikku
dengan cara seperti tadi," ucap Lelaki Berbulu Hitam nada suaranya tak setinggi
sebelumnya. "Kau pasti...."
"Ya, pasti!" terabas si Nenek Bongkok.
Tubuh bongkok nenek itu tiba-tiba menegak. Satu demi satu dilepasnya punuk,
rambut panjangnya, kemudian wajah keriput seperti mencopot topeng.
Memang, sesungguhnya itu hanya sekadar topeng yang dibuat begitu halus, sehingga
amat mirip dengan wajah nenek tua sesungguhnya.
Sekarang bisa dilihat wajah dan tubuh asli si Nenek Bongkok tadi. Dia ternyata
seorang kakek seusia Pendekar Dungu. Dagunya ditutup bulu putih lebat, tak
begitu panjang. Kepalanya dibelit kain batik seperti blangkon Sunda, menutupi
rambutnya yang putih tak terlalu panjang. Seperti juga Pendekar Dungu, laki-laki
tua ini pun berwajah kerut-merut.
Namun begitu, gigi-giginya masih lengkap. Itu terlihat sewaktu tertawa lepas.
Dia mengenakan baju coklat berkerah pendek yang tertutup rapat. Sedangkan
celananya berupa pangsi warna hitam.
"Raja Penyamar! Tak kuduga kau sudah sepeot Pendekar Dungu...," kata Lelaki
Berbulu Hitam. "Ya! Rupanya kita berjodoh untuk bertemu lagi, meski jarak puluhan tahun telah
memisahkan kita!"
balas lelaki tua yang disebut sebagai Raja Penyamar.
"Nah, sekarang cukup sudah salam perjumpaan kita.
Aku pergi dulu...!"
Lelaki tua itu lantas pergi tanpa memberi kesempatan Lelaki Berbulu Hitam
berkata lagi sepatah kata. Kepergian Raja Penyamar cukup mengejutkan Andika.
Cara perginya membuat pemuda itu teringat pada peristiwa beberapa hari
yang lalu. Sama seperti wanita cantik dan genit yang menggodanya dulu, si Tua
Raja Penyamar pun berlalu cepat dari satu tempat, ke tempat lain tanpa terlihat
menggerakkan badan sedikit pun. Dan Andika lebih terperanjat lagi, manakala
hidungnya mencium wangi kembang sedap malam sepeninggalan Raja
Penyamar. "Astaga! Jadi kakek tua itu yang dulu menyamar menjadi wanita cantik," bisik
Pendekar Slebor. "Hi...
hi... hi."
Andika melepas tawa kecilnya, membayangkan dirinya berkencan dengan kakek
bangkotan kalau dulu sempat tergoda.
*** Empat hari setelah peristiwa di kedai, Pendekar Slebor berjalan melintasi satu
lereng di kaki bukit cadas. Bertepatan dengan peristiwa di kedai, empat hari
lalu pula di sana terjadi pertempuran sengit antara Lima Gembel Busuk melawan
Manusia Dari Pusat Bumi.
Mata tajam Andika langsung menangkap tanda-tanda tak beres. Setelah menemukan
beberapa lubang kasar bekas pukulan di dinding cadas sekitarnya.
"Ada yang bertarung seru di tempat ini belum lama, rupanya," simpul Andika saat
memperhatikan kerusakan di dinding cadas.
Dari kedalaman lubang di sana, Andika bisa memperkirakan kalau orang yang
bertarung termasuk berkepandaian tinggi. Kalau berkepandaian tanggung, tak
mungkin mampu membuat lubang sedalam dua jengkal di tempat yang keras seperti
itu. Satu depa di sekitar lubang, dinding cadas menjadi rapuh seperti bubuk. Pertanda
kalau ada kekuatan pukulan lain, menyebar di sekitar tangan yang menembus
dinding cadas. "Ilmu pukulan macam apa ini" Selama ini, tak pernah kutemukan pukulan seganas
ini. Angin pukulan di sekitar tangan pemiliknya saja, sudah sanggup meremukkan
cadas hingga menjadi leburan halus," gumam Andika, mengagumi kehebatan pemilik
pukulan. Perhatian Andika pada dinding yang porak-poranda di beberapa bagian, terpenggal
oleh suara halus di belakangnya. Seperti desah napas terseret seseorang yang
sedang sekarat. Andika cepat menoleh. Seketika matanya melihat seorang dalam
keadaan amat payah, sedang berusaha menggerakkan tubuh dari balik sebongkah batu
besar. Tak tampak ada darah di sekujur tubuhnya. Namun dari batas bahu hingga
setengah tulang iga kanan tubuh lelaki itu tampak mengering seperti daging layu.
Lelaki itu tak lain adalah Damarsuta, anggota Lima Gembel Busuk yang berkaki
pincang. "Apa yang terjadi, Kang?" tanya Andika, setelah bergegas menghampiri Damarsuta.
Damarsuta tak sanggup menyahuti pertanyaan Andika. Untuk menggerakkan mulut saja
sudah sulit. Beberapa saat, dia seolah berjuang antara hidup dan mati hanya untuk membisikkan
sesuatu. Andika cepat mendekatkan telinga ke mulut Damarsuta.
"Hak... kim Tanpa Waj-jahh...," bisik Damarsuta lirih.
Setelah itu tak terdengar apa-apa lagi. Tidak juga tarikan napas. Lelaki pincang
itu mati dalam keadaan
mengenaskan. Keadaan sebenarnya sudah tak memungkinkan lagi untuk bertahan hidup
sekian lama. Namun karena tekadnya untuk memberitahu-kan seseorang demikian
kuat, nyawanya pun sanggup dipertahankan untuk beberapa lama. Empat hari dia
tersiksa hanya untuk menyampaikan kalimat pendek tadi.
Andika mengatupkan kelompak mata Damarsuta dengan telapak tangan.
"Siapa manusia sinting bernama Hakim Tanpa Wajah itu?" bisik Pendekar Slebor
nyaris berdesis karena geram. "Selama berkubang di dunia persilatan, julukan itu
belum pernah kudengar. Tapi kalau kutilik dari ilmu pukulan di dinding cadas,
aku yakin dia tokoh jajaran atas yang sudah cukup lama hadir di dunia
persilatan. Apa mungkin orang itu muncul lebih dulu, lalu ketika aku muncul dia
menyembunyikan diri" Dan kini, dia muncul lagi?"
Penasaran dengan petunjuk tak jelas dari lelaki itu, Andika lalu memeriksa mayat
Damarsuta. Dari baju bertambalnya, tak ditemukan apa-apa yang bisa dijadikan
petunjuk. "Buntu," gumam Andika lagi.
Pendekar Slebor pun bangkit hendak pergi dari tempat itu. Sebelum benar-benar
melangkah, sebuah seruan menahannya.
"Anak muda! Jangan coba-coba melarikan diri!"
Secepatnya Andika menoleh. Tak jauh di lereng sebelah timur, tampak dua lelaki
yang pernah dilihatnya di kedai empat hari lalu berjalan beriringan.
Tentu saja mereka adalah Lelaki Berbulu Hitam dengan Pendekar Dungu.
"Ah! Orang-orang sinting itu lagi," gerutu Andika.
"Ada apa, Orang Tua?"
"Jangan sok ramah! Katakan saja pada kami, kau murid si Sundal Hakim Tanpa
Wajah, bukan"!" bentak Lelaki Berbulu Hitam tanpa tedeng aling-aling.
Andika kontan tertawa. Betapa geli hatinya mendengar tuduhan tak beralasan si
Lelaki Ganjil itu.
Jangan lagi menjadi murid, mengenal namanya saja baru kali ini!
"Jangan tertawa!" bentak Lelaki Berbulu Hitam sekali lagi.
Andika tentu saja jadi sewot.
"Orang tua! Kau jangan bertingkah seperti penguasa, mengatur-ngatur mulut orang
seenaknya. Orang berbicara ini tidak boleh, itu tidak boleh, tertawa tidak boleh! Apa kau
mau aku menangis"!
Seperti penguasa lalim yang lebih senang, membuat rakyat menangis daripada
tertawa"!" khotbah Pendekar Slebor menggebu-gebu.
"Huaaa... ha... ha!" Entah kenapa Pendekar Dungu tertawa mendengar semprotan
kata-kata dari mulut Andika.
"Jangan tertawa!" hardik Andika, ikut-ikutan tingkah Lelaki Berbulu Hitam
padanya tadi. "Kau terlalu banyak mulut, Anak Muda. Apa susahnya kau katakan pada kami, kalau
kau adalah murid Hakim Tanpa Wajah?" desak Lelaki Berbulu Hitam.
"Kenapa aku harus mengaku?"
"Ya, harus! Kalau tidak, tahu sendiri!"
"Meski aku mengakui sesuatu yang tidak benar?"
"Kau mau bilang, kalau kau bukan murid Hakim Tanpa Wajah?"
"Aku memang bukan muridnya...."
"Jangan mungkir. Sebelum tiba di tempat ini, aku sudah melihat dari jauh bekas
pukulan di dinding
cadas itu!"
Lelaki Berbulu Hitam menunjuk ke salah satu bekas pukulan di dinding cadas.
"Aku tahu pemilik pukulan itu! Kalau ada orang yang memiliki pukulan ganas itu,
tentu dia adalah muridnya!" lanjut Lelaki Berbulu Hitam
"Hakim Tanpa Wajah?"
"Nah, buktinya kau kenal dia!" sergah Lelaki Berbulu Hitam.
"Tentu saja aku tahu nama itu, bukankah kau sudah menyebutnya beberapa kali
tadi!" balas Andika.
"O, iya. Aku lupa...." Lelaki Berbulu Hitam mengangguk-angguk sebentar. "Kenapa
aku jadi ketularan penyakitnya si Dungu" Sialan!"
Selagi Lelaki Berbulu Hitam sibuk dengan dirinya sendiri, Andika mempergunakan
kesempatan itu untuk melesat pergi. Segenap kemampuan larinya segera dikerahkan,
biar bisa cepat enyah dari dua manusia sinting yang bisa membuatnya jadi ikut
sinting. "Hey, jangan lari!" tahan Lelaki Berbulu Hitam gusar.
"Hey, lari saja!" teriak Pendekar Dungu, tanpa tahu apa-apa.
Sambil mencaci maki habis Pendekar Dungu, Lelaki Berbulu Hitam lari secepat
kilat mengejar Andika. Di belakangnya, Pendekar Dungu mengekori sambil terus
bertanya-tanya sendiri.
"Apa salahku, ya..." Apa salahku...?"
*** 8 Hakim Tanpa Wajah dengan murid ajaibnya, Manusia Dari Pusat Bumi kian unjuk
taring. Seperti mengulang kejadian delapan puluh tahun yang lalu, satu demi satu
tokoh persilatan diculik. Mereka menghilang tanpa jejak, seakan ditelan bumi.
Tak jarang di antara mereka mati di tempat kejadian, karena berusaha melawan.
Dunia persilatan golongan putih gempar.
Sementara, kaun hitam geger. Mereka tak habis pikir, bagaimana orang-orang
andalan bisa menghilang tak tahu rimbanya atau mati mengenaskan. Selama ini, tak
pernah terjadi tokoh-tokoh berilmu tinggi bisa rontok satu persatu dalam waktu
begitu cepat. Beberapa orang saksi yang sempat melihat kejadian penculikan atau pembantaian,
tak punya kesempatan untuk menyimpan nyawa lagi. Mereka mati mengenaskan, sama
dengan korban yang bersikeras melawan.
Seorang saksi mata yang sempat menyaksikan kejadian dengan mata kepala sendiri
beruntung bisa pulang selamat. Entah kenapa, Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari
Pusat Bumi tidak mengetahui saat orang itu bersembunyi di atas sebuah pohon
besar. Padahal, kedua manusia itu memiliki telinga yang amat tajam. Atau mungkin, orang
itu sengaja dibiarkan hidup agar berita kemunculan mereka berdua dapat diketahui
oleh seantero warga persilatan.
"Aku tahu. siapa yang menculik tokoh-tokoh
persilatan!" teriak orang itu. Dia memang melihat peristiwa penculikan seorang
tokoh golongan hitam di pinggiran hutan.
Mendengar teriakan itu, orang-orang di sebuah dermaga kecil langsung
mengerubungi. Sudah sejak lama mereka ingin mengetahui kabar seperti ini.
Mereka penasaran, tapi tak pernah ada yang tahu.
Berita yang dibawa orang ini membuat rasa penasaran meledak saat itu juga.
"Apa yang kau bilang tadi?" tanya seseorang di antara kerumunan.
"Aku tahu, siapa yang menculik tokoh-tokoh persilatan belakangan ini!" ulang si
Pembawa Berita berkobar-kobar.
"Siapa"!"
"Ya, siapa?"
"Ah! Kau jangan coba-coba ngibul, ya!"
Si Pembawa Berita mulai bercerita.
"Sewaktu aku sedang tidur-tiduran di batang pohon, kudengar suara orang
bertengkar. Suara mereka keras dan lantang. Tak lama kemudian, disusul suara
perkelahian seru. Wih! Baru kali ini kulihat pertempuran yang begitu hebat.
Bayangkan saja...."
"Jangan bertele-tele, Goblok!" sentak salah seorang pendengar, merasa kesal.
"Iya-iya! Ketika aku melihat siapa yang berkelahi, ternyata seorang pemuda
berperawakan menyeramkan. Apalagi, wajahnya. Iiih.... Dia sedang merangsek orang
tokoh yang bernama Iblis Mata Darah. Kalian tentu tahu Iblis Mata Darah, bukan"
Nah, pada saat itulah si Iblis Mata Darah bertanya siapa pemuda itu
sesungguhnya. Juga, orang tua yang sedang menonton pertarungan. Kalau yang tua
mengaku sebagai Hakim Tanpa Wajah. Sedangkan yang muda berjuluk Manusia Dari Pusat Bumi.
Kemudian kata mereka lagi, semua tokoh persilatan akan diadili di Pengadilan
Perut Bumi. Gila tidak"! Gila tidak"!"
"Kau yang gila!"
"E, tidak percaya dengan ceritaku"!"
"Bukan! Kau cerita terlalu seru, sampai ludahmu muncrat ke mukaku. Slompret,
kau!" Lalu desas-desus pun membentang ke segenap penjuru angin. Berita tentang Hakim
Tanpa Wajah dengan Manusia Dari Pusat Bumi dengan cepat menjadi bahan
perguncingan yang tak pernah basi.
Orang-orang dunia persilatan yang sadar kalau bisa jadi korban berikutnya, mulai
hati-hati melangkah. Beberapa orang bahkan mulai membuat kelompok-kelompok
tertentu, agar bila suatu saat kedua manusia menggemparkan itu muncul, bisa
dihadapi bersama-sama.
Namun begitu, dari hari ke hari, korban tetap saja bertambah. Sudah hampir empat
belas orang jajaran berilmu tinggi telah menerima giliran. Siapa lagi yang akan
menyusul, tak ada seorang pun tahu. Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat
Bumi muncul tanpa pernah diduga. Setiap saat dan di setiap tempat, keduanya
tiba-tiba saja menampakkan diri seperti hantu.
Maka, jadilah keduanya momok yang paling menakutkan bagi dunia persilatan
belakangan ini.
Seperti juga pernah terjadi delapan puluh tahun yang lalu. Peristiwa lama yang
sudah dilupakan orang.
*** "Sudah kubilang pemuda sialan itu lewat sini!"
Di dekat sebuah bangunan tua tak terurus, Lelaki Berbulu Hitam menghardik
Pendekar Dungu.
Setengah harian keduanya terus mengejar Pendekar Slebor. Kejar mengejar seperti
kucing-kucingan terjadi. Bagi orang biasa atau berkepandaian tanggung, bila
terus berlari selama itu tanpa henti akan membuat mereka sekarat kehabisan
napas. Namun, tidak bagi Pendekar Slebor dan dua pengejarnya.
Andika atau Pendekar Slebor sesungguhnya memiliki ilmu lari cepat yang sulit
dicari tandingan pada masa ini. Kecepatannya sering disebut-sebut sebagai
kecepatan setan. Tapi mau bilang apa, kalau kenyataannya si Pengejar ternyata
sanggup meng-imbangi kehebatannya"
Pendekar Slebor pun makin yakin kalau kedua orang ganjil itu bukan tokoh
sembarangan. Meski sampai saat ini belum juga bisa diketahui, siapa sesungguhnya
mereka. Di tempat tersembunyi dalam bangunan tak terurus berupa kuil kecil, Andika hati-
hati sekali mengawasi Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Rasanya dia
menahan napas supaya tidak terdengar telinga dua manusia aneh itu, setelah
menyadari kalau bukan orang sembarangan.
"Ini semua karena salahmu! Kalau saja tadi kau tak menunjuk ke arah lain!"
gerutu Pendekar Dungu dengan wajah bersungut-sungut jengkel.
"Tapi, tunggu dulu," sergah Lelaki Berbulu Hitam cepat-cepat. Tubuhnya diam tak
bergerak. Begitu juga sepasang bola mata besarnya. Perhatiannya sedang
dipusatkan ke arah bangunan tua tempat bersembunyi Pendekar Slebor.
"Kau mendengar sesuatu?" tanya Pendekar
Dungu. "Aku tidak dengar apa-apa. Pemuda sialan itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang boleh juga.
Tapi aku tahu, dia ada di dalam bangunan tua itu!"
"Ah! Bagaimana kau yakin?"
"Sudah jangan banyak mulut! Pokoknya, aku tahu dia ada di sana. Titik!" Lelaki
Berbulu Hitam sewot.


Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di dalam kuil tua, Andika memaki-maki dalam hati.
Sulit dimengerti, bagaimana lelaki berbulu itu tahu kalau dirinya ada di tempat
tersebut" Terlihat olehnya tidak. Terdengar pun tidak.
"Apa dia punya semacam indera keenam?" bisik Andika, bertanya pada diri sendiri.
Entah karena kesal atau apa, Andika akhirnya keluar dari persembunyian.
"Kalian ini sebenarnya mau apa, hah"!" hardik Andika mulai tak bisa menahan
kedongkolan. Pendekar Slebor muncul cepat tepat di belakang kedua lelaki aneh itu dengan
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya.
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu
menoleh. Dari sikap, bisa dilihat kalau mereka sudah tahu kehadiran Pendekar
Slebor yang tiba-tiba itu.
Mana mudah orang-orang seperti mereka
dipecundangi dengan cara begitu.
"Sudah, jangan berpura-pura lagi! Ayo mengaku kalau kau murid si Hakim Tanpa
Wajah!" balas Lelaki Berbulu Hitam, tak kalah menghardik.
"Aduuuh!" gerutu Andika langsung menepak-nepak kepala dengan telapak tangan
berkali-kali. "Aku sudah bilang, kalau bukan murid orang itu!"
"Kalau kau bukan muridnya, kenapa bersembunyi dari kami"!" desak Lelaki Berbulu
Hitam. "Itu karena aku tidak berurusan apa-apa dengan kalian!"
"Ngibul! Apa bukan karena kau takut pada kami"
Ilmu gurumu itu, tak sanggup menandingi kehebatan kami berdua, bukan?"
"Wah, Gusti.... Gusti! Kalian ini manusia macam apa" Kenapa senang sekali
memaksakan kehendak!
Sumpah mati tertabrak nyamuk, aku bukan murid orang yang kau sebutkan!"
"Begini saja. Untuk mengetahui kalau kau murid Hakim Tanpa Wajah atau bukan, kau
harus membuktikannya pada kami...."
"Bagaimana caranya?"
"Bertarung dengan kami!"
"Lebih sinting lagi! Mana aku bisa bertarung sungguh-sungguh kalau tak punya
urusan apa-apa pada kalian"!"
"Takut?"
Andika menaikkan hidung, hingga pangkalnya berlipat. Alis hitamnya menyatu.
Hatinya mengkelap dengan ejekan lelaki itu. Sifat kerasnya timbul ke permukaan.
Dia paling dongkol kalau disebut pengecut.
"Baik..., baik!" putus Pendekar Slebor cepat.
"Nah, begitu lebih baik...."
"Aaah, sudah! Tunggu apa lagi"!" tantang Andika kalap.
"Hiaaa!"
Teriakan mengguntur Lelaki Berbulu Hitam terlempar ke angkasa. Kekesalannya
selama ini pada kedunguan Pendekar Dungu, seperti mendapat kesempatan untuk
dilampiaskan pada anak muda berpakaian hijau-hijau itu.
Andika mulai dirangsek. Jarak yang cukup dekat,
dimanfaatkan Lelaki Berbulu Hitam untuk langsung menyambar leher Pendekar
Slebor. Wuk! Wuk! Dua sambaran cakar kiri dan kanan merobek udara, Pendekar Slebor dengan sigap
mengangkat kedua tangannya. Secepat gerakan geledek, tangan kanannya menahan
tangan kiri Lelaki Berbulu Hitam.
Sementara, tangan kirinya menjegal tangan kanan.
Tak! Tak! Karena sama-sama menyalurkan kekuatan,
sepasang tangan mereka terpaku di tempat dalam usaha menahan tenaga dalam
masing-masing lawan.
Beberapa saat lamanya, otot-otot kedua orang itu mengejang, menyebabkan bulir-
bulir keringat sebesar biji jagung menyembul dari lubang kulit. Gigi mereka pun
bergemelutuk, pertanda sama-sama ingin menjadi pemenang dalam adu tenaga ini.
Dan saat itulah Lelaki Berbulu Hitam menyaksikan jelas-jelas tanda lahir
berbentuk bintang berwarna hijau kebiruan di tangan kanan Andika. Matanya kontan
membesar. Maka dia pun lupa dengan adu kekuatan. Tanpa sengaja, penyaluran
tenaga dalam ke tangannya dihentikan secara mendadak.
Akibatnya.... Buhgh! Hidung Lelaki Berbulu Hitam langsung saja terjotos punggung tangan Pendekar
Slebor. Untung saja hanya terserempet. Kalau tidak, dia akan kehilangan hidung
untuk selamanya. Meski begitu, tak urung tubuhnya melintir-lintir menahan sakit.
Didekapnya hidung yang mengeluarkan darah.
"Dhungu, watauuu!"
"Astaga! Kenapa kau sekarang jadi begitu lamban"!" seru Pendekar Dungu yang
hanya menjadi penonton sejak tadi. "Hidungmu masih utuh" Kasihan sekali kalau kau kehilangan
hidung. Pasti kau tambah jelek saja...."
"Thiam khauuu!"
"Apa"!"
Lelaki Berbulu Hitam melepas pegangan pada hidungnya.
"Kubilang, diam kau!"
"Ooo...!" Pendekar Dungu mengangguk-angguk tolol.
"Anak muda inilah yang kita cari. Dungu!" sambung Lelaki Berbulu Hitam. "Dialah
'Sang Penolong' agar kita bisa menyelesaikan masalah kita!"
Pendekar Dungu tak menanggapi ucapan Lelaki Berbulu Hitam. Mulutnya bungkam
seribu bahasa. Tak hanya itu. Dia bahkan tak bergeming sedikit pun seperti patung pesakitan!
Rupanya, dia benar-benar diam seperti perintah Lelaki Berbulu Hitam.
"Hey"! Apa kau tuli, Dungu! Anak muda itu yang kita cari-cari selama ini!"
Pendekar Dungu tetap bungkam dam diam.
"Dasar otak kerbau! Aku bukan menyuruhmu diam seperti itu! Aku hanya menyuruhmu
tutup mulut!"
ralat Lelaki Berbulu Hitam, setelah sadar ketololan kawannya.
Melihat kejadian itu, Andika tak bisa menahan kegelian yang berontak dalam
tubuhnya. Pendekar Slebor pun tergelak ramai.
"Anak muda!" tegur Lelaki Berbulu Hitam, memenggal tawa meriah Pendekar Slebor.
Mimik wajahnya berubah ramah. "Kau tentu pemuda berhati mulya, bukan" Kau pasti
sudi menolong kami, bukan"
Kau tentu tahu, kalau kami butuh bantuanmu, bukan" Bukan?"
"Bukan!" sentak Andika.
"Lho"! Jangan begitu, aaah...! Wangsit yang datang pada kami berdua tak mungkin
bohong. Kaulah orang yang bisa menolong kami untuk menyelesaikan masalah diri
kami.... Iya, kan Dungu?"
"Bukan!" jawab Pendekar Dungu, melatahi
jawaban Andika.
"Lho"!" Wajah Lelaki Berbulu Hitam mulai berang lagi.
"Eh, iya maksudku!" ralat Pendekar Dungu, seraya memamerkan tiga butir giginya.
"Nah! Kau dengar sendiri pengakuan kawanku itu, bukan?" lanjut Lelaki Berbulu
Hitam pada Andika.
"Kalian ini betul-betul tak bisa kumengerti. Mula-mula menuduhku murid orang
yang tak kukenal.
Sekarang, kalian malah merayu-rayuku untuk kutolong. Dan terus terang saja,
sampai saat ini pun aku belum mengerti maksud kalian...," tolak Andika
bersungguh-sungguh, setelah melihat kesungguhan di wajah Lelaki Berbulu Hitam.
Baru saja kalimat Andika selesai, si Lelaki Berperawakan Buruk itu menubruk kaki
Pendekar Slebor, lalu mendekapnya kuat-kuat.
"Aduh! Jangan begitu pada kami, 'Tuan Penolong'.
Aku tadi memang berbuat salah. Untuk itu, ampunilah aku. Ya. 'Tuan Penolong',
ya" Ya, bukan?" ratap Lelaki Berbulu Hitam, memelas pada Andika. Sayang,
wajahnya tetap tak meyakinkan layaknya orang memelas. Malah terlihat seperti
orang menakut-nakuti!
Andika meringis serba salah. Bukan apa-apa.
'Perkutut' di sarang rahasia miliknya tergesek-gesek bulu di kening Lelaki
Berbulu Hitam. "Aku rasa, kalian meminta tolong pada orang
keliru," tutur Andika. "Aku bukan orang yang pantas untuk dimintai pertolongan
oleh orang-orang sehebat kalian."
"Wuaaa, waaau... wauuu!"
Pendekar Dungu yang sudah terlihat bangkotan ikut menubruk kaki Andika. Kalau
Lelaki Berbulu Hitam dari depan, orang tua ini dari belakang. Dengan membenamkan
wajah dalam-dalam di selangkangan Andika, orang tua peot itu meraung-raung
seperti anak kecil.
Andika kian serba salah.
"Baik..., baiklah. Aku akan mencoba menolong kalian," putus Andika akhirnya.
"Tapi kuminta kalian mau menceritakan dulu masalah sebenarnya...."
Kontan saja dua orang aneh itu mendongakkan wajah cerah. Seterusnya mereka
bangkit, lalu menandak-nandak riang, menari kian kemari melebihi lincahnya
penari jaipong!
"Nang... ning-ning-nang-ning-kung...."
Berkali-kali Andika meringis-ringis tak karuan. Mau tertawa salah. Mau terharu,
juga salah. "O, Gusti.... Dosa apa yang telah kuperbuat, sehingga Kau mengirim manusia-
manusia sinting ini padaku," keluh Pendekar Slebor.
*** 9 Matahari berwarna Jingga menyaput pagi, merayap perlahan dalam bentangan kaki
langit sebelah timur.
Ayam-ayam jantan berlomba memperdengarkan kokoknya yang lantang. Angin dingin
sisa udara malam merambati bumi lamat-lamat. Suasana baru lengkap tercip-ta.
Seorang pemuda berambut gondrong dalam pagi sejuk ini tampak bermandi keringat.
Dia berjalan agak lunglai, di antara jajaran alang-alang jangkung. Baju hijaunya
sudah basah kuyup. Napasnya pun berhembus cepat tak teratur.
Pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor, semalaman suntuk memang habis
berlari habis-habisan. Seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya dikuras
habis. Seperti juga sebelumnya.
Pendekar Slebor kini berusaha melepaskan diri dari Lelaki Berbulu Hitam dan
Pendekar Dungu yang dianggap sinting.
Kemarin siang, setelah diminta untuk menceritakan masalah masing-masing, kedua
laki-laki aneh itu mengatakan kalau Andika adalah orang yang bisa menolong.
Pendekar Slebor diminta untuk menghilangkan kekurangan dari masing-masing,
terutama sifat-sifat mereka.
Selesai mendengar semuanya, Andika jadi
kebingungan sendiri. Bagaimana mungkin Pendekar Slebor bisa menghilangkan sifat
berangasan Lelaki Berbulu Hitam, dan membantu Pendekar Dungu agar bisa menilai
mana orang baik dan orang jahat"
Semula Andika mengira masalah yang dihadapi biasa saja. Mungkin mereka butuh
tenaga untuk menghadapi sekelompok manusia bejad, atau membantu mencari
seseorang. Maka kalau untuk masalah yang mereka utarakan, Andika benar-benar
angkat tangan tinggi-tinggi.
Meski Andika sudah mengatakan kalau tidak bisa membantu, mereka tetap saja
ngotot. Andika yang dikenal urakan, tetap saja dia dibuat kalang kabut oleh
sikap kelewatan dua manusia aneh itu.
Akhirnya, dengan sedikit akal-akalan, Andika akhirnya bisa meloloskan diri.
Sayangnya, Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu langsung mengejar. Maka
kejar-kejaran pun terjadi lagi. Pendekar Slebor terus berlari karena tak ingin
berurusan dengan orang yang dianggap kurang waras. Mengurusi mereka hanya
membuang-buang waktu, begitu pertimbangannya. Di lain pihak, Lelaki Berbulu
Hitam dan Pendekar Dungu terus mengejar. Karena mereka yakin, Andika-lah orang
yang dimaksud dalam wangsit.
Setelah nyaris kehabisan napas, barulah Pendekar Slebor bisa melepaskan diri
dari kejaran. "Mereka betul-betul sinting," keluh Andika dalam helaan napas memburu. Dia
terduduk lemas di bawah alang-alang.
"Ya.... Mereka memang orang-orang sinting. Tapi mereka patut dikasihi...."
Mendadak terdengar sahutan yang mengelak ucapan Andika dari belakang. Tatkala
Andika menoleh, tampaklah orang tua yang kini dikenal sebagai Raja Penyamar
sedang bersila tenang di pucuk sebatang ilalang. Lelaki berumur lanjut ini
memang tak kalah aneh dengan dua orang yang mengejar-ngejar Andika.
"Kau lagi. Apa maumu sebenarnya" Kenapa kau dulu menipuku dengan menyamar
sebagai perempuan brengsek?" cecar Andika, setelah terlonjak bangkit bersungut-sungut.
"Aaah, sudahlah. Kenapa soal kecil itu jadi dibesar-besarkan!" sergah Raja
Penyamar. Orang tua itu langsung menatap Pendekar Slebor.
Tampak sinar mata Andika menyala-nyala seperti mendesak menginginkan jawaban.
"Ya, ya. Aku memang ada maksud tertentu
padamu. Sewaktu menyamar dulu, aku hanya ingin membuktikan apakah kau benar-
benar Pendekar Slebor, si Pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan.
Sengaja kau kupancing, agar mengakui sendiri kalau kau memiliki tanda bintang di
tangan kananmu...,"
papar Raja Penyamar mantap dan berkesan penuh wibawa.
"Tapi kenapa harus menyamar menjadi wanita cantik?" desak Andika, tak puas
mendengar jawaban si Raja Penyamar barusan.
Lelaki tua berwajah alim itu melepas tawa kecil yang terdengar sejuk di telinga
Andika. "Karena kalau bukan keturunan Pendekar Lembah Kutukan, maka pasti kau sudah
tergoda," jelas Raja Penyamar. "Selama kukenal, keturunan pendekar agung itu tak
gampang kena bujuk rayu. Bahkan dari bidadari sekali pun...."
Andika jadi besar kepala. Dia merasa tersanjung dengan penuturan Raja Penyamar.
"Jadi, apa maksudmu denganku?"
"Sebelum kujawab, aku ingin mengajukan
pertanyaan padamu, Anak Muda."
"Silakan...."
"Apakah kau ingin mengetahui peristiwa besar
yang akan terjadi pada zamanmu, yang menyangkut peristiwa di bukit cadas tempat
kau menemukan lelaki berpakaian kumuh?"
Andika tak berusaha menanggapi. Ditunggunya ucapan Raja Penyamar lebih lanjut.
"Aku tahu, kau pasti ingin mengetahuinya," simpul.
Raja Penyamar, menilik mimik wajah pemuda di dekatnya. "Kalau kau ingin tahu,
pergilah ke Kampung Kelelawar di sebelah selatan. Kau harus menemui seseorang di
sana...." Andika ingin bertanya. Tapi, si Raja Penyamar menahan gerak bibir pemuda itu
hanya dengan mengacungkan jari telunjuknya.
"Ini," sambung orang tua itu sambil melempar sebuah kitab tebal bersampul yang
terlihat sudah amat tua ke pangkuan Andika. "Kitab itu mungkin berguna buatmu
kelak. Pelajari isinya...."
Selesai berpesan, Raja Penyamar menghilang seperti sebelumnya. Tubuhnya
berpindah dari satu pucuk ilalang ke pucuk lain yang jauh, tanpa menggerakkan
bagian tubuhnya sedikit pun.
Sehingga dia tampak seperti orang bersila yang melayang cepat.
*** Desa Bangbung bersebelahan dengan Kampung Kelelawar. Kedua desa itu memang
terletak di lereng gunung berapi. Jalan pintas satu-satunya yang paling dekat
untuk menuju Kampung Kelelawar, memang hanya melewati Desa Bangbung. Setiap
beberapa tahun sekali, gunung berapi itu memuntahkan lahar panas. Dan belakangan
ini, sang Raksasa Alam itu tampak tenang dengan kepulan asap putih tipis di
puncaknya. Siang ini di sebuah warung kopi kecil di Desa Bangbung, beberapan penduduk
tampak tengah menikmati obrolan santai yang begitu lepas. Seolah-olah mereka tak
pernah dibebani masalah. Dua orang di antaranya mengangkat kaki ke bangku
panjang di depan meja. Di belakang meja, seorang gadis manis sedang mengaduk-
aduk kopi di cangkir tanah liat.
Di tengah obrolan mereka, datang seorang lelaki gembrot berkumis baplang.
Pipinya yang tebal seperti bantal, berwarna agak kemerahan tersengat matahari.
Dengan perut buncit seperti orang hamil, baju biru tuanya tampak kesempitan.
Rambutnya yang sepanjang pinggang, dikuncir buntut kuda.
Buntalan kain hitam diikatkan di bahunya.
"Minta kopinya, Cah Ayu," pinta lelaki gembrot itu, begitu duduk di ujung bangku
panjang. Matanya yang cacat bekas luka benda tajam, melirik nakal pada gadis
pemilik warung.
"Kakang ini sepertinya orang baru, ya?" sapa seorang pemuda di sebelah laki-laki
gembrot itu, ramah. Adat sopan-santun dan ramah tamah di desa itu memang masing
mengakar kuat.

Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betul," jawab lelaki bertubuh boros, singkat.
"Tujuannya hendak ke mana?" lanjut pemuda tadi.
Laki-laki gembrot pendatang ini melempar pandangan ke gunung berapi yang
menjulang angkuh di kejauhan.
"Kampung Kelelewar," jawab si Gembrot datar.
"Astaga! Apa Kakang tahu, tempat macam apa itu?"
Lelaki lain ikut nimbrung. Paras mukanya berubah ketakutan, seperti juga tiga
lelaki di sana.
"Kenapa dengan tempat itu?" tanya si Gembrot,
terpancing melihat perubahan wajah mereka.
"Kalau kau ingin tahu soal tempat itu, kau mesti bertanya padaku!" serobot orang
lain yang baru datang.
Lelaki itu tampak angkuh. Perawakannya besar dan kekar dengan brewok lebat.
Kepalanya botak polos, memantul cahaya matahari yang menimpanya.
Melihat lagaknya, tentu dia seorang jawara yang ditakuti di desa ini. Sambil
menyingkap jubah hitamnya, kakinya diangkat ke atas bangku.
"Akulah orang satu-satunya di sekitar wilayah ini yang paling tahu tempat itu.
Karena, hanya aku yang berani datang ke sana," jelas laki-laki brewokan itu,
sesumbar. "Seberapa banyak kau tahu tempat itu?" tanya lelaki gembrot.
"Banyaaak! Kau ingin tahu?"
Si Gembrot mengangguk tanpa menatapnya.
"Tapi, kau harus membayarku...."
"Berapa?"
"Tak banyak. Asal cukup untuk membayar gadis warung ini, ha ha ha!"
Si Gembrot segera mengeluarkan dua keping uang perak. Dijentiknya dua keping
uang itu dengan jari, hingga melayang berputar-putar. Dan seketika itu pula,
lelaki brewok itu menyambarnya.
"Hanya dua keping?" tanya si Brewok dengan bibir mencibir.
Tiba-tiba saja si Brewok melempar uang logam di tangannya ke kayu penyangga
warung. Sing...jep!
Benda logam itu pun kontan menancap hampir setengahnya.
"Kau pikir, aku ini siapa, heh"! Berani benar kau membayar keteranganku dengan
dua keping perak"!"
bentak si Brewok kasar pada si Gembrot.
Namun orang yang dibentak tak menggubris.
Malah tenang-tenang saja. kopi panasnya diseruput sedikit demi sedikit. Sikapnya
ini memancing kemarahan si Botak. Dengan lagak penuh
keangkuhan, si Brewok menggebrak kursi dengan kakinya.
Brak! Bangku kayu itu kontan hancur terbelah dua. Dua lelaki desa yang duduk bersama
si Gembrot kontan jatuh, dengan pantat menghantam tanah. Sementara mereka
meringis-ringis menahan sakit, si Lelaki berbadan gembrot masih tetap santai
dalam keadaan duduk mengangkat sebelah kaki. Padahal, sudah tak ada bangku lagi!
"Heh"! Permainan anak kecil yang mengandalkan otot kaki," ejek lelaki brewok.
Didekatinya si Gembrot dengan wajah sarat ancaman.
"Hih!"
Begitu cepat kaki si Brewok menyapu kaki lelaki berbadan boros yang sedang
menopang tubuhnya.
Namun, si Gembrot lebih cepat lagi mengangkat kakinya. Niat si Brewok untuk
menggulingkan tubuh besar itu gagal. Bahkan dengan gerakan seringan kapas si
Gembrot menaikkan kedua kakinya ke udara. Tubuh besarnya kini melayang seperti
gelembung udara di atas pecahan papan bangku yang menjorok ke atas. Padahal,
pecahan papan itu sangat lancip setipis mata pisau!
Sampai di situ, si Jawara Brewok mulai sadar kalau orang yang sedang berurusan
dengannya tidak bisa dianggap enteng. Hanya tokoh jajaran atas yang bisa
melakukannya. Tiga puluh tahun lagi, dia melatih ilmu meringankan tubuh, belum
tentu bisa melakukannya.
Pikir punya pikir, si Brewok angkuh itu akhirnya menyingkir takut-takut,
kemudian menghambur keluar dari kedai kopi itu.
Sepeninggalannya, terdengar tepukan berirama santai dari jarak dua puluh tombak
dari kedai. Asalnya dari dua lelaki. Masing-masing bertubuh tinggi besar dan berbulu, dan
satu lagi bertubuh ringkih seperti orang tua penyakitan. Mereka adalah Lelaki
Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu.
Sesaat si Gembrot menoleh. Selanjutnya, kopinya diseruput kembali. Sikapnya
seperti seorang yang sedang berpura-pura.
"Kenapa harus bertepuk tangan" Bukankah hal seperti itu amat mudah dilakukan?"
tanya Pendekar Dungu, ketika keduanya menghampiri kedai kopi ini.
"Jangan banyak tanya dulu!" tahan Lelaki Berbulu Hitam.
Laki-laki berbulu itu, tak mau Pendekar Dungu lebih banyak bertanya lagi. Dari
wajahnya yang biasa berang, terlihat pancaran rasa senang. Entah kenapa,
sifatnya jadi demikian. Padahal, itu sangat jarang terjadi pada dirinya.
"Akhirnya kau ditemukan di sini, 'Tuan Penolong'!"
sapa Lelaki Berbulu Hitam begitu tiba di depan lelaki gembrot tadi, cukup ramah.
Lagi-lagi hal yang amat jarang muncul dalam dirinya.
Si Gembrot menoleh sejenak seperti sebelumnya.
Lalu dia mulai acuh lagi.
"Aku tak tahu, siapa yang kau maksud," ucap si Gembrot datar.
"Aaah! Jangan begitu, 'Tuan Penolong'. Meski kau menyamar menjadi seekor katak
sekalipun, penciuman serigalaku tak akan dapat tertipu...."
"Apa maksudmu" Aku tak mengerti?"
"Sudahlah. Apa kau tak tahu, kalau aku adalah manusia berdarah serigala" Aku
memiliki penciuman yang amat tajam seperti serigala. Sehingga, aku dapat
membedakan bau tubuh seseorang...."
Si Gembrot menampakkan kekecewaan pada
wajahnya. Dihelanya napas beberapa kali.
"Baiklah. Aku menyerah," desah si Gembrot.
Segera laki-laki bertubuh subur ini menanggalkan penambal wajahnya yang ternyata
terbuat dari getah suatu pohon. Dari getah itu bisa dibentuk dan diwarnai
sedemikian rupa, sehingga mirip pipi manusia. Tubuhnya yang dibuntal kain yang
cukup banyak, mulai dilolosi. Sehingga dia tak lagi nampak gembrot. Rambut palsu
yang panjang pun ikut ditanggalkan. Kini terlihatlah wajah tampan aslinya.
Wajah seorang pemuda yang lebih dikenal sebagai Pendekar Slebor.
Sesungguhnya, kitab tua yang diberikan Raja Penyamar pada Andika beberapa hari
lalu, adalah kitab pelajaran ilmu menyamar yang begitu sempurna. Jika hanya
dengan mata dan telinga, orang akan tertipu. Sebab dari kitab itu bisa
dipelajari bagaimana seseorang bisa mengubah wajah dan penampilan, sekaligus
suara. Kecerdasan dan kemauan kuat Andika, mem-
bantunya menyelesaikan kitab itu hanya dalam beberapa hari. Sebelumnya, Andika
tak begitu tertarik. Baginya, ilmu itu seperti merupakan perisai orang-orang
pengecut yang ingin bersembunyi di balik topeng. Atau, orang-orang bejad yang
ingin lari dari tanggung jawab. Namun Pendekar Slebor butuh pendukung agar tak
lagi dikuntit oleh Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu, akhirnya kitab itu
dipelajari juga. Andika memang tidak mau urusannya
diganggu kedua orang itu. Lagi pula, tak ada salahnya mempelajari satu ilmu.
Toh, baik buruknya satu ilmu, tergantung manusia yang mempelajarinya.
Harapannya untuk bisa mengelabui dua penguntit tadi, kini hancur seketika ketika
dengan mudah lelaki seram yang mengaku sebagai keturunan serigala ini mengetahui
penyamarannya. "Bagaimana, Tuan Penolong'" Apakah kau sudah bersedia membantu masalah kami?"
desak Lelaki Berbulu Hitam.
Andika membayar kopi serta kerusakan bangku pada si Gadis pemilik warung. Kalau
tadi matanya melirik nakal pada gadis itu, sekarang giliran mata gadis itu yang
melirik nakal padanya. Meskipun pada saat ini, gadis itu masih belum percaya
kalau penampilan buruk Andika tadi sekadar penyamaran.
Dengan kedongkolan menggelantung di tenggorokan, Andika memasukkan alat-alat
menyamarnya ke dalam buntalan kain. Termasuk baju besar berisi kain-kain yang
dilapisi kapuk. Dia harus mencari akal lain agar bisa meloloskan diri dari dua
manusia merepotkan ini. Belum sempat Andika menemui akal, mendadak saja....
"Pengadilan menanti!"
Tiba-tiba terdengar satu teriakan menggelegar merambah angkasa. Mendengar
teriakan tadi, Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu menoleh paling cepat di
antara pengunjung lainnya. Keduanya begitu terkejut, begitu mengenali jenis
suara dan kata-kata tadi, sebuah teriakan yang ditakuti oleh orang-orang
persilatan delapan puluhan tahun lampau.
"Hakim Tanpa Wajah?" desis lelaki Berbulu Hitam nyaris tak percaya.
Mata laki-laki berbulu itu menatap lurus ke asal
suara, di mana dua orang berbeda usia berdiri mengancam. Yang satu adalah si
Hakim Tanpa Wajah. Sedang yang lain tentu saja Manusia Dari Pusat Bumi.
"Hakim Tanpa Wajah," bisik Pendekar Dungu, tolol sekali.
"Jadi si Manusia Sialan itu benar-benar masih hidup seperti kita juga?" tanya
Lelaki Berbulu Hitam
"Jadi manusia sialan itu benar-benar masih hidup, ya?" ulang Pendekar Dungu.
Padahal, justru dia yang tadi ditanya oleh Lelaki Berbulu Hitam.
"Dungu! Apakah kau percaya kalau manusia itu akan bertingkah lagi mengadili
orang-orang persilatan?" susul Lelaki Berbulu Hitam, bertanya lagi pada Pendekar
Dungu. "Ya! Apakah aku percaya?" Sementara dua lelaki aneh itu berdiri tegang, menatap
dua titik yang mulai bergerak ke arah mereka dikejauhan, Andika sudah tidak ada
lagi di tempatnya. Sewaktu Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu lengah karena
mendengar teriakan Hakim Tanpa Wajah, Pendekar Slebor langsung memanfaatkan
kesempatan untuk mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya.
Dalam sekejap, dia sudah jauh dari warung kopi.
Tujuannya jelas, ke Kampung Kelelawar seperti pesan Raja Penyamar. Sayang, kalau
saja pemuda sakti itu bisa sedikit lama tinggal, tentu akan mendengar Lelaki
Berbulu Hitam menyebutkan nama Hakim Tanpa Wajah, orang yang sedang dicarinya
karena berhubungan dengan peristiwa di Bukit Cadas. Di mana si Lelaki Pincang
dari Lima Gembel Busuk pernah menyebut-nyebut namanya, sebelum tewas.
*** 10 Pertarungan besar sepanjang abad ini siap terjadi.
Bagaimana tidak" Dua tokoh tua tak tertandingi delapan puluh tahun yang lalu
akan berbaku jurus dengan seorang tokoh tua tak tertandingi pula pada zamannya,
didukung oleh pemuda keturunan siluman!
Kesaktian mereka tak diragukan lagi, dan pasti akan segera memporak-porandakan
tempat sekitarnya. Lelaki Berbulu Hitam, Pendekar Dungu, dan Hakim Tanpa Wajah
pasti menggunakan ilmu-ilmu puncaknya. Belum lagi kesaktian milik si Pemuda
Keturunan Siluman yang selama ini belum diper-lihatkan seluruhnya pada sang
Guru. Di kedai kopi saat ini juga telah ditinggali pengunjung maupun pemiliknya.
Mereka semua tahu gelagat bahwa akan ada sebuah bentrokan dahsyat, yang bisa
saja menjadikan nyawa melayang.
Manakala angin dingin dari kaki gunung merayapi tanah lapang dekat warung kopi,
empat orang lelaki yang siap bertarung berdiri tegang tanpa gerak. Dua orang
pada satu sisi, sedang dua orang lain delapan tombak pada sisi lain. Rambut dan
pakaian mereka tampak bergeletar diusuk angin, seolah menjadi panji yang
menandai dimulainya pertarungan maut!
Lama mereka saling menusuk dengan tatapan.
Sampai akhirnya, terdengar ledakan suara melompat dari mulut salah seorang.
Suara itu begitu melengking menjotos langit, bagai tetabuhan dalam upacara para
siluman sesat. Dari rongga mulut siapa lagi jenis
teriakan itu tercipta, kalau bukan milik Manusia Dari Pusat Bumi....
"Eaaa...!"
Manusia Dari Pusat Bumi membuka jurus awal.
Serangan pembuka yang langsung masuk ke satu dari sekian jurus pamungkas,
'Tenaga Sakti Pembelah Bumi'. Tak ada perintah dari Hakim Tanpa Wajah padanya
untuk langsung mengerahkan jurus ini.
Tindakannya semata didorong oleh naluri makhluk halus dalam dirinya yang
memberitakan bahwa lawan tidak bisa dihadapi dengan jurus-jurus tanggung.
Menyambut gerakan pemuda Manusia Dari Pusat Bumi, Lelaki Berbulu Hitam dan
Pendekar Dungu tidak mau diam. Mereka cepat pula membuka jurus, memainkan
kembangan jurus-jurus tangguh masing-masing.
Deb, deb, wuk, zes!
Laksana tiga pusat gelombang samudera, gerak ketiga orang itu menciptakan
terpaan kekuatan ke segenap penjuru mata angin. Debu langsung menghambur tinggi-
tinggi, kerikil terhempas deras-deras, bebatuan berguliran kencang, dan bumi pun
bagai diamuk badai!
"Heaaa!"
Manusia Dari Pusat Bumi memulai serangan.
Diterjangnya dua lawan dengan hentakan-hentakan kaki berdebam ke bumi.
Blam, blam, blam!
Pada jarak tiga depa dari kedua lawan, pemuda keturunan siluman itu cepat
mengangsurkan sepasang kepalannya ke kepala masing-masing sasaran. Seketika
terdengar bunyi menderu, mem-barengi hantaman dahsyat yang siap meremukkan.
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu tentu
saja tak sudi membiarkan kepala mereka dijadikan sasaran empuk. Mereka langsung
berkelit berbarengan ke samping kanan, sehingga luput dari hantaman. Sambil
tetap memiringkan tubuh, Lelaki Berbulu Hitam mendepak perut Manusia Dari Pusat
Bumi. Sedangkan Pendekar Dungu melepas tusukan jari tangan ke dada.
Namun, serangan balasan mereka dengan mudah dimentahkan. Manusia Dari Pusat Bumi
dengan mengangkat satu kaki tinggi-tinggi dan menekuknya di depan dada dan
perut. Alhasil, depakan dan tusukan kedua lawan hanya sempat memakan kakinya
yang memang sudah dipersiapkan untuk membentengi.
Sebagai tokoh tua yang sudah terlalu kenyang makan asam garam, serangan yang
mudah dimentahkan itu sebenarnya hanya siasat. Tak mungkin serangan bersama itu
dibuat, sehingga begitu mudah diduga lawan.
Maka pada saat yang demikian tipis dari serangan pertama, dua tokoh bangkotan
itu membuat satu gerakan tak terduga. Lelaki Berbulu Hitam menanduk Manusia Dari
Pusat Bumi dengan kepalanya. Di lain pihak, Pendekar Dungu menjatuhkan diri
lantas menyapu kaki pemuda siluman itu demikian cepat.
Dak! Sret! Berbarengan dengan mendaratnya kepala Lelaki Berbulu Hitam ke kening pemuda itu,
kaki Pendekar Dungu pun berhasil mengait kuda-kuda Manusia Dari Pusat Bumi yang
hanya mengandalkan satu kaki.
Maka tak dapat ditahan lagi, Manusia Dari Pusat Bumi terlempar deras ke
belakang. Begitu dahsyat penggabungan serangan dua tokoh tua itu, sehingga Manusia Dari
Pusat Bumi terpental
bagai kerikil sembilan belas tombak jauhnya! Tubuh kekar berotot menonjol pemuda
siluman itu pun meninju tanah berbatu. Siapa pun manusia yang menerima hantaman
keras dari kepalan Lelaki Berbulu Hitam sudah bisa dipastikan akan terlempar ke
neraka. Jangan lagi kening, lempeng baja setebal dua jengkal saja, bisa
mencekung dalam. Tapi, Manusia Dari Pusat Bumi bukan sekadar manusia.
Dia adalah gabungan keturunan antara manusia dengan siluman!
Tanpa luka berarti, pemuda menyeramkan itu bangkit. Bibirnya menyeringai penuh
ejekan. Matanya berbinar, membersitkan cahaya haus darah....
Sementara itu, jauh di balik gunung berapi, Pendekar Slebor telah memasuki
wilayah Kampung Kelelawar. Seperti namanya, kampung itu memang menjadi tempat
bersemayamnya jutaan kelelawar sebesar kera. Mereka menggelantung di pohon dan
atap-atap rumah terbengkalai.
Seratus dua puluh tahun yang lalu, desa itu pernah dihuni para penduduk asli.
Namun sewaktu jutaan kelelawar menyerbu, banyak di antara mereka yang mati
terisap darahnya. Dan hanya segelintir orang saja yang sanggup menyelamatkan
diri. Betapa bergidik Andika, menyaksikan ratusan tubuh hitam memenuhi sebatang pohon
tua besar. Mereka bagai buah-buahan dari neraka, menjijikkan dan membuat bulu kuduk
merinding. Kedatangan Pendekar Slebor tampak tak
mengusik kenyenyakan tidur mereka. Namun sewaktu kaki pemuda itu melintasi satu
garis dari bercak-bercak darah, mata mengancam makhluk-makhluk itu mulai
terbuka. Ratusan pasang mata bersinar merah muncul di sana-sini. Makin lama
makin banyak. Di dahan-dahan kering merangas, di puncak-puncak atap rumah tua,
di atas daun pintu, di daun jendela, di tiang-tiang kayu, juga di nisan-nisan
batu besar. Kini tampaklah pemandangan berjuta pasang bola merah menyala mengawasi si
Pendatang, bagai para pemakan bangkai menatapi hidangan mayat.


Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saatnya, satu kelelawar memperdengarkan jeritan menyayat.
"Kiiikkk!"
Seekor di antaranya mulai mengepakkan sayap kuat-kuat, lalu terbang menuju
Andika. Seperti mendapat aba-aba, ratusan kelelawar lain mengikuti!
Maka terciptalah tumpang-tindih bunyi kepakan sayap mengerikan.
Sekujur otot di tubuh Pendekar Slebor kini menegang. Tak pernah diduga akan
menghadapi lawan macam ini. Ratusan kelelawar pengisap darah besar yang.
kemudian menjadi ribuan, siap mem-perebutkan darah Pendekar Slebor!
Langit mendadak seperti diselubungi warna-warni gelap dari tubuh para kelelawar.
Dari utara hingga selatan, dari barat hingga timur. Mereka menjerit-jerit
memekakkan, dalam serbuan besar-besaran.
"Gila!" desis Andika. Sebelum sempat memaki lagi, beberapa sambaran menukik dari
belakang. "Kiiikkk!"
Secepat kilat Pendekar Slebor menjatuhkan badan ke tanah. Maka sambaran-sambaran
berbau maut itupun hanya sempat menderu di atasnya. Selagi di tanah, tanpa
sengaja Andika dihadapkan pada tumpukan kerangka manusia, korban para makhluk
haus darah! "Mereka benar-benar hewan dari dasar neraka!"
rutuk Andika. "Aku harus berbuat sesuatu kalau tak ingin bernasib sama dengan
kerangka-kerangka ini."
Andika pun segera melepas kain bercorak catur dengan hati-hati. Dia tahu,
gerakan kecil tubuhnya akan segera memancing ratusan kelelawar lain untuk
menyambar dari udara.
Ketika kain pusakanya sudah tergenggam kuat di tangan, Pendekar Slebor
menghentakkan kakinya dengan tenaga penuh. Sekejap berikut, tubuhnya sudah
bangkit kembali dengan kuda-kuda siap menanti serbuan. Benar saja dugaan Andika,
gerakannya tadi ternyata langsung membuat para kelelawar merangseknya. Dari
udara, kuku-kuku tajam mereka mengancam setiap bagian tubuh Pendekar Slebor.
"Kiiikkk!"
Puluhan kelelawar datang. Tubuh-tubuh mereka menukik tajam.
Wuk! Wuk! Ctar! Ctar!
Pendekar Slebor langsung menyambut mereka dengan hadiah perkenalan. Sabetan
tajam kain pusakanya, membabat belasan ekor kelelawar, membuat kepala binatang
itu hancur. Bahkan ada pula yang sayapnya tersayat lebar. Tubuh mereka yang
terluka parah, langsung berjatuhan meninju tanah bergantian. Sebagian di
antaranya kehilangan nyawa saat itu juga. Sementara, yang lain meng-gelepar-
gelepar hebat. Kejadian yang tak kalah menggidikkan pun terjadi.
Kelelawar-kelelawar yang tak terluka di atasnya, menyerbu tubuh kawan mereka
sendiri yang terjatuh di tanah. Satu kelelawar luka dirubungi puluhan kelelawar
lain. Daging dan kulit mereka dikoyak-koyak tanpa ampun. Kelelawar-kelelawar
yang mendapat keratan daging atau isi perut kawannya, langsung melayang kembali ke angkasa.
Seolah mereka gembira dan bangga dengan apa yang didapatnya. Di luar itu, yang
paling diincar adalah darah kawan naas mereka. Dalam waktu tak begitu lama,
mereka sanggup mengeringkan darah satu ekor kelelawar!
Meski memperhatikan dengan bergidik, Andika tak kehilangan akal sehatnya sedikit
pun. Kini, Pendekar Slebor punya cara menghadapi kelelawar-kelelawar buas itu,
tanpa harus menguras tenaga. Sejenak dikerahkannya tenaga sakti warisan Pendekar
Lembah Kutukan pada sepasang telapak tangan.
Lalu.... "Hiaaa!"
Teriakan mengguntur Pendekar Slebor mengejutkan puluhan kelelawar yang sedang
berpestapora menikam tubuh kawannya. Mereka hendak
mengepak sayap untuk melesat ke angkasa, tapi sudah terlambat. Pukulan jarak
jauh Andika sudah berpentalan gencar dari sepasang telapak tangannya.
Deb! Deb! Prak-prak!
Kerumunan kelelawar itu buyar. Tubuh mereka berpentalan terhantam pukulan jarak
jauh Pendekar Slebor. Tanah pun makin diramaikan oleh geleparan tubuh-tubuh
hitam. Kala itulah, kelelawar-kelelawar lain di angkasa menyambut gembira dengan
teriakan kema-tian. Semuanya menyerbu ke bawah, bagai hujan bongkahan benda
hitam! Kesempatan bagus itu dipergunakan Andika untuk segera melesat ke rumah-rumah
yang terbengkalai.
Menurut perkiraannya, tentu orang yang dimaksud si Raja Penyamar bisa ditemukan.
Satu demi satu, rumah kotor dan keropos itu diperiksa dengan perasaan was-was.
Andika khawatir, makhluk-
makhluk buas di luar selesai dengan pestanya, sementara dia sendiri belum
selesai meneliti seluruh rumah.
Pada salah satu rumah paling besar seperti istana kecil dengan tembok kusam
penuh lumut, Andika menemukan juga manusia di sana. Tampak seorang lelaki tua
tengah duduk bersila di satu sudut ruangan dengan wajah tenang serta sejuk.
Bajunya putih, seperti pakaian para biksu. Di sekitar badan lelaki tua itu
merangas sarang laba-laba tebal.
Yang membuat Andika agak terkejut, ternyata wajah lelaki tua itu milik si Raja
Penyamar! "Raja Penyamar...," tegur Andika sambil mendekatinya.
Tak ada jawaban. Si Tua itu tetap diam, seperti arca.
"Sebenarnya apa yang kau rencanakan padaku, Raja Penyamar?" lanjut Andika,
penasaran. Tapi tetap tak ada sahutan meski Andika sudah tetap bersimpuh di
depannya. "Percuma kau menegurnya, Anak Muda...."
Tiba-tiba terdengar sahutan dari orang lain, di belakang Andika. Entah bagaimana
caranya, tiba-tiba saja orang itu muncul. Telinga Andika yang terlatih pun,
bahkan tak menangkap suara kedatangannya.
Andika cepat menoleh, dan hampir saja terlonjak manakala menangkap siapa orang
yang baru saja datang. Ternyata, orang itu Raja Penyamar juga!
"Apa-apaan ini?" tanya Andika tak mengerti.
Wajah Pendekar Slebor kontan tertekuk. Dia merasa telah dipermainkan Raja
Penyamar. "O, aku tahu! Lelaki yang duduk ini tentu bukan kau. Dia hanya kau dandani
hingga mirip denganmu, begitu bukan?" sodor Andika, mengajukan
kesimpulan. "Kau salah," sahut Raja Penyamar yang baru datang, sambil menggeleng.
"Salah" Salah bagaimana" Aku jadi bingung,"
gerutu Andika sambil menepak kening.
"Yang duduk itu memang aku...."
"Apa maksudmu"! Apa kau sudah ikut-ikutan sinting seperti lelaki yang terus
menguntitku"!"
Raja Penyamar yang baru datang hanya menggeleng lambat. Senyumnya yang sejuk
tersembul, menawarkan keramahan.
"Yang di dekatmu itu adalah jasadku, Anak Muda,"
jalas Raja Penyamar.
"Jadi?" Andika terbengong. "Kau telah mati?"
"Ya.... Empat puluh tahun yang lalu."
"Apa"!"
Kali ini Andika benar-benar terlonjak. Tubuhnya bangkit dengan wajah sulit
dijabarkan. Dihampirinya lelaki yang baru tiba.
"Kau tidak sedang bergurau, bukan"!" desak Andika sungguh-sungguh.
Sekali lagi, Raja Penyamar menggeleng. Tetap perlahan dan tetap dengan senyum
sejuk. "Jadi yang selama ini kutemui adalah rohmu?"
susul Andika, tak percaya.
"Benar. Tak seperti tiga orang seangkatanku yang beruntung memiliki umur panjang
hingga hari ini, aku justru lebih dulu mati. Aku dulu mengidap penyakit yang tak
ada obatnya. Aku tak menyesal, karena itu adalah kehendak Yang Maha Esa. Namun
tugasku dari-Nya, rupanya belum selesai. Maka meski aku sudah mati, tapi masih
diberi kesempatan untuk menitipkan amanat...."
"Amanat?"
"Ya! Amanat pada seorang berjiwa ksatria, berhati sekeras baja dan sebening
pualam, berakal seterang kilau berlian. Seorang yang hanya bisa menyelamatkan
dunia persilatan dari tangan lalim manusia jelmaan siluman...."
"Siapa orang itu?"
"Manusia Dari Pusat Bumi."
"Bukan.... Maksudmu, siapa orang yang akan diberi amanat itu?"
"Kau...."
*** Bagaimana Andika bisa menerima amanat itu"
Apakah demikian berbahayanya Manusia Dari Pusat Bumi, sehingga roh Raja Penyamar
pun belum juga kembali ke alam terakhirnya" Lalu, bagaimana pula nasib Lelaki
Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu menghadapi Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari
Pusat Bumi"
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : PENGADILAN PERUT BUMI
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Pedang Tetesan Air Mata 5 Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Ilmu Silat Pengejar Angin 2
^