Pengadilan Perut Bumi 1
Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi Bagian 1
PENGADILAN PERUT BUMI
Oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S
Cover : Henky Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor
dalam episode 10 :
Pengadilan Perut Bumi
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Teriakan-teriakan pertarungan terdengar memecah keheningan di kaki sebuah
pegunungan berapi.
Sebuah pertarungan tingkat tinggi antara dua tokoh tua melawan satu tokoh tua
dibantu seorang pemuda, sulit diduga sampai di mana tingkat ilmu masing-masing.
Yang jelas, teriakan mereka lebih menggidikkan daripada salakan seribu petir.
Bisa dikatakan, pertarungan ini satu dari bentrokan terdahsyat sepanjang seratus
tahun belakangan. Apalagi, tiga orang di antara mereka, memang sulit dicari
tandingan sejak pertama kali muncul delapan puluh tahun yang lalu. Jika untuk
kedua kalinya mereka hadir kembali dan membuat keguncangan, sebenarnya bukan hal
yang terlalu aneh.
Dibanding delapan puluh tahun yang lampau, pertarungan kali ini ternyata lebih
hebat lagi, dengan turut andilnya seorang pemuda jelmaan siluman. Dan pemuda itu
memang mendapat tugas untuk
membuat kekacauan di bumi setiap sejuta purnama.
Layaknya sosok siluman, penampilan pemuda itu memang mengerikan. Tubuhnya kekar
sarat dengan otot menonjol. Rambutnya panjang berwarna merah bara bagai percikan
api neraka. Matanya seperti mata macan hutan liar. Dan di dua sudut bibirnya,
tersembul dua taring tajam mengancam! Lahirlah sebutan angker bagi dirinya.
Manusia Dari Pusat Bumi!
Sementara itu satu orang yang berdiri di pihaknya adalah lelaki tua berusia
sekitar seratus dua puluh tahun. Wajahnya datar dengan satu lubang hidung kecil.
Berbibir amat tipis dan berkelopak mata begitu sempit. Tubuhnya terbungkus kain
kafan usang dari bahu hingga terikat ketat di mata kaki. Dagunya ditumbuhi
jenggot panjang dan putih sekitar satu depa. Rambutnya pun putih, tersibak ke
mana-mana. Delapan puluh tahun lalu, sepak terjangnya membuat ciut nyali banyak tokoh
persilatan. Dialah tokoh yang berjuluk Hakim Tanpa Wajah!
Lawan kedua tokoh itu adalah dua lelaki yang sifatnya bertolak belakang. Satu
begitu pemarah dan pemberang. Sedang yang lain begitu lugu dan dungu.
Usia lelaki yang berwatak pemberang tak jauh beda dengan Hakim Tanpa Wajah.
Namun karena dalam tubuhnya mengalir darah serigala, maka tak mengalami ketuaan.
Sosoknya tinggi besar, dengan bulu-bulu hitam lebat di sekujur tubuh dan
wajahnya. Penampilannya seperti gorila. Namun, tak begitu dengan paras wajahnya yang
terbilang tampan, meski pipinya begitu tebal. Seperti Manusia dari Pusat Bumi,
lelaki keturunan serigala ini pun hanya bercelana hitam tanggung yang ujungnya
sudah koyak-moyak.
Sesuai keadaannya, julukannya pun Lelaki Berbulu Hitam sejak muncul delapan
puluh tahun yang lampau.
Sedangkan kawan Lelaki Berbulu Hitam yang berwatak dungu, berjuluk Pendekar
Dungu. Karena seangkatan dengan tokoh sesat yang berjuluk Hakim Tanpa Wajah, dia
sudah begitu peot keriput.
Pakaiannya warna-warni, penuh tambalan. Tubuhnya bongkok seperti gagang tongkat.
Tapi masih begitu gagah. Matanya kelabu, tapi tetap berbinar penuh
semangat. Rambutnya memutih rata ditutup selembar topi pandan. Wajahnya tanpa
jenggot dan kumis. Mulutnya hanya memiliki tiga butir gigi yang semuanya
berwarna kuning langsat! (Untuk mengetahui awal kisah bentrokan mereka, ikuti
serial Pendekar Slebor dalam episode : "Manusia Dari Pusat Bumi").
Pertarungan mereka telah memasuki hari kedua, tanpa henti. Meski usia tiga orang
di antara mereka tergolong uzur, namun pertarungan yang panjang itu tak juga
membuat lelah. Tenaga mereka seperti tak terkuras sama sekali. Dari gejolak
pertarungan yang kian memanas, tampaknya mereka malah memiliki cadangan tenaga
yang cukup untuk beberapa hari lagi.
Des! Plak! Dua tinju yang dilepaskan dari jurus 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi' secara
berbarengan oleh Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi mencoba melebur
kekompakan pertahanan lawan.
Sudah jurus yang ketujuh puluh guru dan murid itu mengerahkan jurus langka ini.
Akibat yang ditimbul-kannya membuat permukaan tanah seperti digoyang berkali-
kali. Hal itu terjadi karena pada setiap rangkai jurus, kaki mereka selalu
melakukan jejakan-jejakan bertenaga ke bumi. Terlalu banyaknya jejakan hebat
menyebabkan tanah banyak yang retak di sana-sini.
Pepohonan dalam jarak sekitar dua puluh tombak dari kancah pertarungan, sudah
pula bertumbangan.
Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam sudah amat kenal dengan jurus 'Tenaga
Sakti Pembelah Bumi'. Mereka mampu mengimbangi dengan
gabungan jurus masing-masing.
Sewaktu tinju yang dilepaskan guru dan murid itu
merangsek pertahan secara berbareng, mereka pun berpencar. Masing-masing menahan
satu tinju. Dengan begitu, sepertinya kekompakan mereka ter-pecah. Padahal, tidak sama
sekali. Karena justru mereka sedang menjalankan siasat tempur baru yang
diharapkan akan mengecoh lawan.
"Dungu! Jangan merenggangkan jarak! Gabungan jurus kita bisa kocar-kacir!" ujar
Lelaki Berbulu Hitam, pura-pura terkejut.
"Lho"! Kupikir ini siasat kita untuk mengecoh mereka!" sahut Pendekar Dungu
lugu. "Wuaaa, Dasar Goblok! Kenapa mesti disebut-sebut"! Kau telah menggagalkan
rencana kita!"
umpat Lelaki Berbulu Hitam, di antara terjangan bertubi-tubi Hakim Tanpa Wajah.
"Lho" Salahmu sendiri! Kenapa tadi berteriak..."!
Hey! Kau tadi berteriak apa padaku, ya"!"
"Ah, sudah! Tutup saja bacotmu! Dan, hadapi si Pemuda Jelek itu!" hardik Lelaki
Berbulu Hitam. Manusia Dari Pusat Bumi tak kalah garang merangsek Pendekar Dungu. Sepuluh
cakarnya men-cabik udara, menuju leher lelaki berotak kerbau itu.
Tapi Pendekar Dungu malah tertawa keras-keras sampai terdongak-dongak. Sehingga,
sambaran cakar si Pemuda Jelmaan Siluman luput berkali-kali.
"Kenapa kau tertawa, Dungu"! Apa kau pikir ucapanku barusan lucu"! Haih!" dengus
Lelaki Berbulu Hitam sambil balas menyerang Hakim Tanpa Wajah dengan hentakan
telapak tangan lurus ke dada.
"Ait..., ait!"
Pendekar Dungu berjingkat-jingkat sewaktu Manusia Dari Pusat Bumi mengincar kaki
keriputnya. "Pemuda sialan ini memang jelek, Hitam! Setelah
kupikir susah payah, baru kusadari kalau ada manusia yang lebih jelek daripada
dirimu! He... he...
he!" oceh Pendekar Dungu tanpa rasa bersalah sedikit pun pada Lelaki Berbulu
Hitam. "Wuaaa, Tua Bangka Berotak Bebal! Kalau aku berhasil meremukkan kepala hakim
sialan ini, kau akan dapat giliran!" ancam Lelaki Berbulu Hitam berang. Matanya
mendelik-delik seperti orang keracunan.
Puncak pertarungan mereka diawali oleh
melompatnya Manusia Dari Pusat Bumi jauh keluar arena. Menyadari muridnya akan
mengerahkan kesaktian baru yang mungkin belum pernah disaksikannya, Hakim Tanpa
Wajah ikut menjauhi lawan. Dengan beruntun salto di udara, lelaki tua terbungkus
kain kafan usang itu mengambil tempat jauh dari lawan, dan juga jauh dari si
Manusia Jelmaan Siluman pula. Paling tidak, sekadar untuk menjaga kemungkinan
agar dirinya tidak jadi sasaran serangan nyasar milik murid ajaibnya.
"He... he... he. Kau punya kejutan untukku, Bocah Bagus?" tanya Hakim Tanpa
Wajah di kejauhan.
Bibirnya menyeringai penuh harap. "Sekarang inilah saat yang tepat untuk
membuktikan bahwa kau mampu menjadi 'Sang Penuntut' dari pengadilanku!
He... he... he!"
Tak lama setelah kata-kata Hakim Tanpa Wajah tuntas, si Manusia Jelmaan Siluman
pun menyiapkan satu serangan gaib yang didukung oleh kekuatan dari alam lain.
Sejenak kepalanya mendongak lurus ke langit, disusul oleh terangkatnya kedua
tangannya tinggi-tinggi. Seluruh jarinya membentang, seolah hendak menggapai
atap dunia, lalu meruntuhkannya!
"Nah, lo...! Nah, lo! Pemuda jelek itu hendak
berbuat apa?" tanya Pendekar Dungu dengan mimik linglung, seperti untuk diri
sendiri. "Mana kutahu! Kau pikir dia itu adikku, hingga aku tahu apa yang mau
diperbuatnya!" sahut Lelaki Berbulu Hitam, tetap garang seperti yang sudah-
sudah. "Jadi dia itu bukan adikmu?" sergah Pendekar Dungu. "O-o. Pantas saja kau
kelihatannya lebih jelek daripada dia...."
Pendekar Dungu mengangguk-angguk polos,
dengan pandangan tetap pada pemuda siluman itu.
"Diaaam!" bentak Lelaki Berbulu Hitam. Suaranya mengguntur ke segenap penjuru.
Tapi sama sekali tidak mengusik Manusia Dari Pusat Bumi jauh di depan.
"Lihat..., lihat!" seru Pendekar Dungu pada kawan buruknya yang masih mendelik
dengan rahang mengejang. Ditunjuknya si Manusia Dari Pusat Bumi.
Jauh di sana, orang yang dimaksud sedang mengalami getaran hebat. Seluruh
tubuhnya bagai diberontaki seribu makhluk tak berwujud. Masih tetap mendongak,
mulut bertaringnya perlahan membuka.
Setelah itu, meluncurlah lengkingan asing yang baru kali ini terdengar di
telinga manusia mana pun.
Lengkingan tinggi, yang langsung menerabas hingga ke sudut hati. Tak keras,
namun amat berpengaruh pada sambaran mereka.
Telinga sepasang tokoh aneh musuh bebuyutan Hakim Tanpa Wajah ini tak terlalu
terganggu oleh jeritan tadi. Tenaga dalam mereka terlalu tinggi untuk bisa
dijatuhkan dengan kekuatan suara seperti itu.
Namun begitu, ada pengaruh lain yang tak lagi terbendung. Semacam ketakutan yang
sulit dijelaskan, mendadak saja menggerayangi diri Lelaki
Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu.
"Sial! Apa yang telah diperbuatnya padaku"!" desis Lelaki Berbulu Hitam tak
mengerti. "Seumur hidup, belum pernah kurasakan perasaan mencekam seperti
sekarang...."
Ketika Hakim Tanpa Wajah melirik Pendekar Dungu, lelaki tua bongkok itu pun
menampakkan wajah pias. Mimiknya seperti orang yang sedang menunggu ajal.
"Dungu! Apakah kau merasakan hal yang sama?"
tanya Lelaki Berbulu Hitam.
Pendekar Dungu lalu menggeleng. "Aku tak tahu apa yang kau rasakan. Bahkan aku
pun tak tahu, apa yang kurasakan saat ini. Semuanya begitu asing...,"
jawab Pendekar Dungu, tak lagi berkesan bodoh seperti sebelumnya. "Apa yang
mesti kita lakukan?"
"Pusatkan pikiranmu, Dungu! Tutup semua indera!
Aku yakin, gelombang suara itu yang menjadi penyebabnya!" ujar Lelaki Berbulu
Hitam memper-ingatkan, di antara pertempuran rasa takut yang menelusup dengan
rasa murka yang menjadi sifatnya.
Dan secepat itu pula Lelaki Berbulu Hitam, bersemadi dalam keadaan berdiri.
Lalu, ditutupnya seluruh indera. Pikirannya langsung dipusatkan pada satu titik
dalam diri. Sementara Pendekar Dungu mengikuti perbuatannya.
Memang benar dugaan Lelaki Berbulu Hitam.
Manusia Dari Pusat Bumi saat ini sedang mengirim satu kekuatan gaib melalui
gelombang suaranya, yang bersumber dari medan kekuatan jahat di satu lapisan
langit yang menjadi tempat bergentayangan-nya para makhluk halus laknat! Ketika
memasuki pintu-pintu indera, kekuatan itu akan segera menyerap habis-habisan
seluruh keberanian dalam
diri manusia yang paling digdaya sekali pun.
Lama kelamaan, lengkingan milik manusia utusan alam kejahatan yang menusuk
angkasa itu kian meninggi. Gelombang suaranya kian bertambah, seiring makin
hebatnya penyergapan kekuatan jahat dari langit!
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu benar-benar mati-matian menghadapi
gempuran tak berwujud yang mencoba merangsek seluruh indera.
Mereka bertahan habis-habisan, seperti dua orang yang mencoba menutup sebuah
pintu. Makala terjadi angin topan maha hebat yang mencoba menguak-nya....
Pertanyaan bagi mereka, bukan lagi apakah mereka mampu mengalahkan kekuatan
jahat itu"
Tapi, apakah mampu bertahan" Kemenangan bagi mereka memang tidak mungkin.
Benteng kekuatan garba mereka tak sebanding kekuatan medan jahat dari langit.
Kalaupun mampu bertahan, akan berapa lama mereka sanggup melakukannya"
Tubuh dua lelaki itu bergetar, bersamaan dengan meningginya lengkingan lawan.
Dari seluruh pori-pori tubuh mereka, mengalir cairan kemerahan. Keringat
bercampur darah! Sesekali tubuh mereka tersentak-sentak. Dan pada puncaknya,
mulut kedua lelaki itu melepas teriakan berbareng, meningkahi lengkingan tinggi
milik Manusia Dari Pusat Bumi. Tapi bukan berarti mereka telah menang.
Sebaliknya, justru mereka baru saja terhempas dalam kekalahan dahsyat.
Bergiliran tubuh keduanya berlutut lemah. Mata mereka menatap sayu, ke arah
Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi secara bergantian.
"He... he... he. Kalau delapan puluh tahun lalu
kalian luput dari pengadilanku, maka kali ini tak bisa menghindarinya lagi...,"
kata Hakim Tanpa Wajah, disertai seringai berhawa maut.
Dihampirinya kedua tubuh lemah itu.
"Apakah masih sanggup melawan, kalau aku mencoba melumpuhkan kalian?" cemooh
Hakim Tanpa Wajah meremehkan.
Tangannya pun diangkat perlahan, seakan hendak menjadikan kedua lelaki
seangkatan dengannya ini sebagai bulan-bulanan.
"Bersiaplah menerima 'hukuman pendahuluan'
dariku," ujar Hakim Tanpa Wajah lagi. "Jarang sekali
'para terhukum' mendapat kehormatan mendapatkan
'Totokan Penyiksa' milikku. Hanya orang-orang yang pernah luput dari
pengadilanku yang akan menerima-nya. Seperti kalian!"
Didahului seringai, Hakim Tanpa Wajah menyalurkan hawa sakti ke tiap jarinya.
Dipersiapkannya satu ilmu yang disebutnya 'Totokan Penyiksa'.
Pada saat itulah, Lelaki Berbulu Hitam menggeram laksana serigala luka. Suaranya
terlempar ke segenap penjuru, hingga jauh ke balik gunung.
Hakim Tanpa Wajah tercekat. Tak pernah disangka kalau lawan masih sanggup
melakukan hal ini. Malah keterkejutannya jadi kesalahan, manakala tangan
bercakar Lelaki Berbulu Hitam merangsek dengan seluruh sisa tenaga.
Saaat! Sebisa-bisanya, Hakim Tanpa Wajah berkelit.
Namun tetap juga cakar Lelaki Berbulu Hitam merobek kafannya, sekaligus membeset
kulit dadanya....
Bret! Betapa murkanya Hakim Tanpa Wajah. Totokan
yang berisi kekuatan terpusat di jari, segera saja dilancarkan ke leher lawan.
Suit! "Grrrh!"
Namun mendadak sebuah geraman lain hadir di dekatnya. Bukan lagi dari mulut
Lelaki Berbulu Hitam, tapi dari moncong dua ekor serigala besar! Begitu tiba,
kedua hewan buas itu langsung saja menerkam jemari Hakim Tanpa Wajah.
Hakim Tanpa Wajah seketika menarik kembali gerak tangannya. Karena begitu kaget
oleh kehadiran yang tiba-tiba dua serigala itu, tubuhnya pun mengambil jarak ke
belakang dengan satu lompatan cepat.
Maka kesempatan itu dipergunakan Lelaki Berbulu Hitam untuk melompat dengan sisa
tenaganya ke punggung dua serigala. Sebuah tali kekang yang terikat menjadi satu
di leher binatang-binatang itu, cepat disambarnya. Kini dia berdiri di atas dua
punggung serigala. Tiap kakinya, berpijak pada satu punggung serigala.
Ketika Hakim Tanpa Wajah masih terpana, Lelaki Berbulu Hitam tanpa membuang
waktu menyambar tubuh Pendekar Dungu. Kemudian, menghentakkan tali kekang. Kini
mereka pun melesat cepat ke atas serigala jejadian....
Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** 2 Seorang pemuda berpakaian hijau-hijau tampak tengah melangkah bersungut-sungut
dan tergesa di sebuah jalan berlumpur. Sesekali kakinya berjingkat, untuk
mencari tempat pijakan yang lebih kering.
Pemuda ini tetap tampan, meski wajahnya terlipat.
Matanya tajam dan alisnya hitam melengkung seperti kapak sayap elang. Anak
rambutnya yang tak pernah ditata berayun-ayun kecil di sekitar dahinya. Di
tangannya ada gulungan kain bercorak papan catur.
Entah sudah berapa kali gulungan kain itu ditinju-tinjunya gemas. Melihat ciri-
cirinya, siapa lagi pemuda itu kalau bukan Andika, alias Pendekar Slebor.
"Benar-benar sial! Enak saja dia menunjukku menjadi orang yang bisa mencegah si
Manusia Siluman atau Manusia Kuman atau manusia apa pun dia! Padahal, sebelumnya
aku sudah dipermainkan mentah-mentah! Pura-pura jadi wanita cantik segala macam.
Jadi nenek pikunlah! Jadi inilah! Itulah....
Tidak sekalian dia jadi kentut!" gerutu Pendekar Slebor seperti khotbah orang
tak waras. Sehari lalu, Andika memang baru saja bertemu si Raja Penyamar di Kampung
Kelelawar. Mendapat semua penjelasan lelaki yang telah mati itu, Pendekar Slebor
jadi mangkel begitu rupa. Biarpun mendapat kehormatan dari tokoh tua kawakan
macam Raja Penyamar sebagai orang satu-satunya yang bisa menghadapi Manusia Dari
Pusat Bumi, tetap saja dia merasa telah dipermainkan. (Baca episode :
"Manusia Dari Pusat Bumi").
Sementara itu pada saat yang sama, seekor burung gagak berwarna hitam sedang
melayang-layang angker di angkasa. Binatang itu terus melakukan putaran jauh di
atas Andika, seolah-olah sedang melakukan pengintaian.
Di atas sana, mata tajam binatang itu memang terus mengawasi Pendekar Slebor.
Sesekali dari paruhnya meluncur keluar suara serak menyeramkan.
Jika gagak itu membentangkan sayap lebar-lebar, dia akan terlihat bagai hantu
dari langit. Lama kelamaan, Andika mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada burung
itu. Langkahnya segera dihentikan untuk memastikan, apakah burung itu hanya kebetulan
mengikuti atau tidak. Dengan berpura-pura duduk di sebatang pohon tua tumbang,
ditunggunya tanggapan si Burung Gagak.
Untuk beberapa saat, burung hitam kelam itu tetap melayang berputar. Dan
mendadak saja, tubuhnya menukik cepat. Sayapnya merapat, sedang paruhnya menusuk
udara di depan.
"Kaaak!"
Tak beberapa lama, si Burung Gagak sudah hinggap ringan di dahan pohon beringin
lebat. Mata kemerahannya terkesan dingin, menantang
kehadiran pendekar muda dari Lembah Kutukan.
Sedangkan kepalanya bergerak kian kemari.
Andika melirik hati-hati, seakan khawatir kalau tindakannya diketahui. Dengan
ujung mata yang menyelidik, mulutnya berbisik.
"Apa maunya burung ini" Belum pernah kutemui binatang bertingkah seaneh itu...."
Tiba-tiba sesuatu mengejutkan burung gagak itu, begitu terdengar suara ranting
kayu kering yang tak
sengaja terinjak di balik pohon beringin. Derak ranting patah itu yang
menyebabkan burung gagak tadi mengepakkan sayap kuat-kuat, lalu merambah angkasa
kembali. Andika pun turut terkejut, meski tak separah burung tadi. Kewaspadaannya cepat
bangkit. Mata tajamnya mengarah siaga ke arah bunyi tadi. Tanpa gerak,
dinantinya sesuatu yang bakal terjadi berikutnya. Yang jelas dia menduga, pasti
ada orang di balik pohon beringin itu.
Namun setelah sekian lama menunggu, tak juga terjadi sesuatu pun. Bahkan orang
di balik pohon beringin besar tak muncul-muncul. Itu menyebabkan
keingintahuannya mendadak muncul.
Dengan langkah hati-hati, Andika mendekati pohon beringin itu. Pengerahan
sebagian ilmu meringankan tubuhnya, membuat langkah Pendekar Slebor tidak
menimbulkan suara sedikit pun, meski berjalan di atas serakan daun kering.
Setibanya di sisi batang besar pohon beringin, Andika mengendap untuk melihat
sisi lain di balik pohon, tempat asal bunyi tadi. Kepala dijulurkannya perlahan.
Tindakannya terlihat bodoh sekali. Padahal, dia bisa saja melompat ringan ke
satu dahan pohon beringin di atas, lalu melihat siapa orang yang ber-sembunyi di
balik tumbuhan besar itu.
Dan kebodohannya harus dibayar oleh keterkejutan luar biasa. Bagaimana dia tidak
terperanjat, kalau pada saat yang sama, ada satu kepala pula yang melongok"
Bahkan hampir-hampir saja wajah Pendekar Slebor tertabrak wajah orang yang
dicurigai. "Siapa kau"!" bentak Andika gusar.
Hidung Pendekar Slebor kontan kembang-kempis, karena terkejut. Cerita Raja
Penyamar, benar-benar
telah membuatnya menjadi orang sakit jantung.
Waktu itu, si Raja Penyamar menceritakan bagaimana mengerikannya si Manusia Dari
Pusat Bumi. Juga, tentang kemungkinan kekuatan-kekuatan alam gaib milik para siluman yang
bisa membantunya.
Karena keterangan itu, Andika jadi terlalu berhati-hati semenjak keluar dari
Kampung Kelelawar. Dalam bayangannya, Manusia Dari Pusat Bumi tentu bisa saja
tiba-tiba muncul tanpa diketahui, lalu membedol jantungnya dengan kekuatan
siluman. "Kau sendiri siapa"!" balas orang di balik pohon.
Suaranya lantang, namun berkesan halus. Tepatnya, suara itu milik wanita.
Andika mengernyitkan alis rapat-rapat. Dia berpikir sejenak. Seingatnya, Manusia
Dari Pusat Bumi yang diceritakan Raja Penyamar bukan wanita. Kalau begitu, orang
di balik pohon ini tentu bukan manusia jelmaan siluman yang dimaksudkan.
"Tapi...," bisik Pendekar Slebor kemudian."... bisa saja siluman congek yang
sedang menyamar jadi wanita...."
"Hey! Apa kau bilang tadi"! Kau menyebut aku siluman congek"!"
Terdengar dampratan gusar dari balik sebatang pohon.
"O, jadi kau bukan siluman congek" Lalu kau siluman apa" Apa sejenis siluman
kibul?" tanya Andika, tanpa maksud meledek sedikit pun.
Pertanyaan itu terlontar begitu saja, karena sedang was-was.
"Diam kau!" bentak orang di balik pohon, makin tersinggung.
"Wait! Apa aku menyinggungmu" Kau tentu bukan siluman kibul, ya" Pas... ti, kau
siluman...," Andika
mengurut-urut kening. "Siluman apa, ya" Hey! Lebih baik kau saja yang
memperkenalkan padaku, siluman jenis apa kau! Aku tak begitu tahu soal siluman-
siluman!" "Manusia tak tahu adat!"
Selesai terdengarnya hardikan itu, kembali terdengar suara pakaian yang
menggelepar di udara.
Orang di balik pohon itu rupanya melompat ke atas dahan pohon beringin.
Tampaknya dia sudah tidak sabar lagi.
Mendengar bunyi itu, Andika dengan sigap memasang kuda-kuda siap tempur.
Kepalanya mendongak tegang ke atas pohon, langsung melihat seorang wanita yang
sudah amat dikenalnya dulu!
*** "Brengsek kau!" maki sebuah suara wanita dari atas pohon beringin.
Selincah dan seanggun burung manyar, wanita itu melompat turun. Lalu dia berdiri
tepat di depan pemuda yang baru saja dimakinya. Tangannya cepat terangkat, siap
mendaratkan tamparan ke pipi pemuda di depannya.
Plak! Tamparan itu pun benar-benar jatuh pada pipi kiri pemuda berpakaian hijau-hijau
yang memang Andika.
Sementara Pendekar Slebor itu sendiri masih terpana-pana melihat wanita yang
baru saja muncul.
Tak ada akibat yang parah dari tamparan itu. Di pipinya, Andika malah merasakan
satu kehangatan serta kemanjaan.
"Kenapa jadi bengong begitu" Apa kau sudah tak kenal lagi padaku?" sentak wanita
itu seraya menyusul satu cubitan gemas ke perut Andika.
Pendekar Slebor meringis. Perutnya jadi begitu pedas.
"Purwasih...?" gumam Andika.
Purwasih, seorang gadis cantik putri Raja Alengka.
Tubuhnya yang berkulit agak kecoklatan agak mungil ditutup ketat oleh pakaian
hijau lumut. Begitu menggemaskan. Dia tampak lebih muda daripada usia yang
sebenarnya dengan rambut dikepang ekor kuda. Wajahnya mungil, dengan mata bulat
yang dihiasi bulu lentik. Hidungnya tipis dan mancung, membatasi sepasang
matanya. Semuanya makin sempurna dengan bentuk bibirnya yang menantang.
Sebagai seorang pendekar wanita yang cukup kondang dengan julukan Naga Wanita,
kehadirannya selalu ditemani pedang bergagang kepala naga yang tergantung di
punggung. (Tentang Purwasih, baca episode : "Dendam dan Asmara").
Sebenarnya antara Purwasih dengan Andika masih ada pertalian darah. Buyut Andika
yang bergelar Pendekar Lembah Kutukan, adalah salah seorang keluarga istana
juga. "Ya, aku memang Purwasih. Tapi, kenapa kau memandangku seperti melihat hantu?"
tanya Purwasih.
"A..., aku hanya hampir pangling," Andika ter-gagap. "Tak kusangka setelah
sekian lama berpisah, kau kian cantik mempesona."
"Gombal!"
"Sungguh!" tegas Andika sambil meraba dadanya.
"Kenapa?" tanya Purwasih lagi.
"Hanya memeriksa jantungku. Aku takut, jantung ini tahu-tahu berhenti karena
begitu kaget melihat kecantikanmu...."
"Kau makin gombal!"
Andika tertawa berderai. Saat itulah Purwasih yang begitu rindu, menubruknya.
Bahu kekar Andika dirangkul, seperti sikap seorang kakak yang bertemu adik
lelakinya setelah terpisah bertahun-tahun.
Tawa Andika terpenggal mendadak. Sementara akar pohon beringin di bawahnya
tersangkut di kaki.
Sedangkan tubuhnya sudah telanjur terdorong oleh rangkulan Purwasih.
"E... e-e-e!" teriak Andika. Lalu....
Bruk! Keduanya langsung terjatuh. Beruntung bagi Purwasih karena jatuhnya di atas
tubuh Andika. Sebaliknya, naas bagi Andika. Kepalanya langsung dikecup sebongkah batu sebesar
kepalan tangan yang memaksanya harus meringis-ringis ber-kepanjangan....
Sekarang giliran Purwasih melepas tawa kecilnya.
Sebelum terlalu lama, Andika cepat menekan bibir gadis jelita itu dengan jari
telunjuk. Lama, ditatapnya Purwasih. Sehingga, membuat gadis ini merasakan
debaran-debaran tak beraturan di dada.
"Apakah Andika akan berbuat yang macam-
macam?" tanya Purwasih membatin.
Sebenarnya sudah terlalu lama Purwasih berharap Andika memiliki perasaan yang
sama seperti dirinya.
Kalau hari ini harus menerima pernyataan perasaan itu dari Andika, betapa
berbunga-bunga hatinya.
Mata sarat bulu lentik milik Purwasih perlahan terpejam.
"Kenapa kau seperti orang mengantuk?" tanya Andika, mengejutkan Purwasih.
Dara cantik ini sama sekali tak menduga Andika akan membisiki kalimat itu.
"Aku pikir...."
Kalimat Purwasih terpenggal, tak sanggup dilanjut-kannya. Sebab dia yakin,
Andika pasti menemukan rona merah di kedua belah pipi halusnya.
"Ah! Kau ini kenapa jadi berpikir macam-macam,"
bisik Andika lagi. "Aku tadi mendengar suara men-curigakan."
Perlahan Andika bangkit, diikuti Purwasih. Sesaat kemudian mereka sudah
mengedarkan pandangan ke segenap penjuru. Tak ada seorang pun yang terlihat.
"Aku tak melihat seorang pun," kata Purwasih.
"Bahkan aku tak juga mendengar suara men-curigakan seperti katamu tadi."
Tapi.... "Andika.... Temui aku di Sungai Mati sebelah utara."
Andika mendadak saja mendengar bisikan halus singgah ke dalam liang telinganya.
Begitu halus, hingga hanya dia sendiri yang bisa menangkapnya.
Dari warna suara tadi, Andika segera bisa menduga siapa sesungguhnya orang yang
telah mengirim bisikan jarak jauh tersebut. Suara yang belum lama dikenalnya.
Raja Penyamar. "Purwasih.... Menyesal sekali aku harus pergi,"
pamit Andika. Pendekar Slebor sadar, Raja Penyamar tentu hendak menyampaikan sesuatu yang
penting. "Aku ikut Andika," pinta Purwasih. Wajahnya menampakkan sinar kekecewaan.
Bagaimanapun juga, rindunya belum lagi tuntas.
"Bukan aku tak mau mengajakmu. Tapi tampaknya urusan ini harus kulakukan
sendiri," cegah Andika sungguh-sungguh.
Purwasih memain-mainkan jemarinya. Wajahnya tertunduk dalam.
"Kalau begitu, kapan kita bisa berjumpa lagi?"
ungkap gadis itu agak melemah.
Andika berpikir sejenak.
"Bagaimana kalau di pura tua sebelah timur kaki Gunung Sumbing?" tawar Andika.
"Aku berjanji akan menemuimu di sana, pada hari ke tiga setelah purnama."
Purwasih mengangguk lamban dan berat.
"Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit Andika sekali lagi diiringi sebaris senyum
menawan. Senyum yang mampu meruntuhkan hati gadis mana pun juga.
Baru saja Andika hendak berangkat....
"Andika tunggu!" sentak Purwasih, menahan langkah Pendekar Slebor.
Andika menoleh. Mimik wajahnya seolah hendak bertanya kenapa Purwasih masih juga
menahannya. "Hati-hatilah," pesan gadis itu sendu.
Andika menarik napas sejenak, lalu melangkah pergi. Bukannya dia tak tahu,
bagaimana perasaan Purwasih terhadapnya. Hanya saja, Andika tak pernah memiliki
perasaan yang sama.
Tinggallah Purwasih menatapi kepergian Pendekar Slebor.
"Aku masih rindu padamu, Andika..," bisik gadis itu, sendu sekali.
Purwasih memang tak bisa berbuat apa-apa. Gadis ini amat tahu pribadi Andika.
Kalau pemuda itu berkata hendak menyelesaikan urusan sendiri, maka akan
dilakukannya sendiri. Hitam baginya harus hitam. Putih baginya harus putih.
Berkeras bagi Purwasih pun, sama sekali tak berguna.
*** Jika dengan berkuda, jarak yang harus ditempuh Andika ke Sungai Mati di sebelah
utara akan memakan waktu setengah hari. Maka paling tidak Pendekar Slebor bisa
tiba di sana menjelang malam nanti. Lain lagi kalau ditempuhnya dengan berlari.
Pengerahan ilmu meringankan tubuh warisan Pendekar Lembah Kutukan cukup untuk
mem-persingkat waktu hingga tiba lebih awal.
Kala ini matahari mulai terpuruk di kaki langit sebelah barat. Sinar Jingganya
memulas permukaan Sungai Mati yang tak lagi mengalir sejak beberapa puluh tahun
belakangan ini. Terpaan angin mengusili permukaannya, membuat cahaya pantulan
matahari menjadi terencah-rencah menjadi sinar kecil-kecil.
Tak lama berselang setelah Andika sampai, Raja Penyamar pun muncul dalam
penampilan aslinya.
Seorang kakek tua berjenggot putih yang menguncup di ujungnya. Kepalanya
berambut putih pendek, dibelit kain batik, seperti bentuk blangkon Parahiangan.
Wajahnya dipenuhi kerutan yang berkesan berwibawa. Sinar mata tuanya pun begitu
sejuk. Dia mengenakan baju coklat rapat berkerah pendek, serta bercelana pangsi
hitam. Raja Penyamar muncul begitu saja di atas permukaan air sungai. Jika ditilik dari
caranya berdiri, sehelai bulu pun mungkin kalah ringan dibanding tubuhnya. Bisa
dimaklumi, sehab wujud sebenarnya dari lelaki itu sudah berupa roh.
"Ada apa memanggilku, Raja Penyamar?" tanya Andika. "Terus terang saja,
sebenarnya aku enggan bertemu denganmu. Aku masih jengkel oleh semua ulahmu
padaku beberapa waktu lalu."
"Ah! Anak Muda..., Anak Muda. Apa kau tak memiliki sedikit kesabaran dalam
menghadapi tingkah si Tua Bangka ini?" gurau Raja Penyamar, tokoh tua yang amat
disegani pada masa jayanya delapan puluh tahun silam.
Beberapa tahun lalu. Raja Penyamar telah mati karena penyakit yang tak bisa
disembuhkan. Berkat kuasa Tuhan Penguasa Alam, rohnya masih tetap hidup untuk
menjalani tugas mulia, menyelamatkan manusia dari tangan biadab Manusia Dari
Pusat Bumi. Walaupun upaya penyelamatan itu dibantu orang.
"Ah, sudahlah! Tak perlu lagi berbasa-basi, Orang Tua!" sergah Andika. "Katakan
Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja, apa ke-pentinganmu memanggilku ke tempat ini?"
Raja Penyamar mengangguk-angguk sebentar.
Sementara bibirnya tetap tersenyum.
"Aku tahu, baru kali ini kau menghadapi persoalan yang berkaitan dengan dunia
siluman...," kata Raja Penyamar lagi.
"Ya, kuakui masalah baru ini membuatku mendadak jadi orang jantungan. Kau tahu,
betapa tak enaknya berjalan di atas bumi dengan perasaan waswas karena khawatir
siluman-siluman bisul segala macam seperti yang kau sebutkan, akan mencekik
leherku tiba-tiba?" cerocos Andika bernafsu.
"Ha... ha... ha!" Raja Penyamar tertawa.
"Kenapa tertawa"!"
"Kini aku baru percaya, bahwa setiap manusia sesungguhnya pasti memiliki rasa
takut juga...."
"Hey"! Tapi itu bukan berarti aku pengecut!"
sentak Andika tersinggung.
"Ya..., ya. Apa pun namanya itu...."
"Pokoknya aku bukan pengecut!" tandas Andika
tak peduli. "Sekarang, katakan saja. Apa maksudmu?"
"Aku tadi baru hendak menjelaskan, tapi kau menyelak...," sindir Raja Penyamar.
"Baik..., baik. Aku tak akan menyelak lagi! Ayo katakan!"
Raja Penyamar diam sesaat.
"Sekarang aku sudah boleh bicara?" usik Raja Penyamar.
"Dari tadi juga sudah kutunggu!"
Akhirnya pembicaraan yang sungguh-sungguh bisa berlanjut juga.
"Karena aku tahu, kau harus menghadapi seperti ini. Maka kau membutuhkan sesuatu
yang bisa mem-bantumu," papar Raja Penyamar.
"Apa itu?"
"Sebuah Cermin Alam Gaib. Dengan benda itu, kau akan dapat mengetahui setiap
kehadiran siluman-siluman itu. Meskipun, mereka makhluk-makhluk halus...."
"Di mana bisa kudapat benda itu?" tanya Andika bersemangat.
"Di Rimba Slaksa Mambang...."
*** 3 Kalau ada tempat yang paling menggidikkan dan tak seorang pun mau mendekati,
maka salah satunya adalah Rimba Slaksa Mambang. Sesuai sebutannya, konon hutan
belantara itu adalah tempat ber-semayamnya para makhluk halus.
Tepat di jantung Rimba Slaksa Mambang, tumbuh pohon amat besar berusia ratusan
tahun. Di sanalah terletak pintu penghubung dari alam nyata, menuju alam gaib.
Pohon itu sangat besar seperti pohon beringin.
Batangnya saja sebesar tiga atau empat ekor kerbau tua. Warnanya hitam kusam
kehijauan, karena di-selimuti lumut liar. Di sana-sini merangas oyot pohon yang
menjulur dari atas ke bawah, seolah tangan-tangan bisu dari dunia lain. Akarnya
sudah meninggi seperti sekat-sekat ruangan pemandian mayat.
Daunnya begitu lebat, tak memberi kesempatan secercah pun bagi cahaya untuk
masuk. Bagi manusia waras, merambah tempat ini adalah tindakan gila yang paling gila.
Tapi, tidak bagi seorang pemuda berambut gondrong berpakaian hijau-hijau dengan
selembar kain bercorak catur tersampir di bahu.
Tak ada hal yang terlalu gila untuk dilakukan pemuda itu, selama menyangkut
keadilan dan kebenaran. Terkadang, kegilaan baginya adalah sekadar cara mencapai
tujuan tadi. Lalu, pendekar mana lagi yang kerap bermain-main dengan tindakan
gila kalau bukan si Pendekar Slebor"
Seperti petunjuk Raja Penyamar, Andika telah tiba di Rimba Slaksa Mambang.
Setelah menerobos onak berduri, semak belukar dan simpang siurnya batang
pepohonan. Pendekar Slebor akhirnya tiba pula di dekat pohon angker tadi.
Dari jarak dua puluh tombak, Pendekar Slebor memandangi pohon raksasa itu dengan
pandangan takjub. Bila dibanding-banding, tubuhnya hanya seperti kuku dengan
pohon itu. Beberapa kali kepala Andika mendongak, untuk menatap ubun-ubun
tumbuhan raksasa itu. Dan beberapa kali pula kepalanya harus digeleng-gelengkan.
Orang lain mungkin akan berpikiran yang bukan-bukan saat itu.
Andika sendiri justru sedang menyadari bahwa keberadaan manusia seperti dirinya
di alam semesta ini, sebenarnya terlalu kecil. Mungkin hanya sekadar debu di
antara debu yang lebih besar.
Puas menghela napas, Andika mulai memusatkan perhatian kembali pada tugasnya
untuk menemukan Cermin Alam Gaib yang menurut Raja Penyamar, tergolek dalam
salah satu lubang pohon raksasa.
Pendekar Slebor mendekati pohon raksasa itu.
Makin dekat, makin terlihat jelas bagaimana rupa tumbuhan ini. Ternyata di
batangnya, banyak terdapat lubang dalam berukuran sebesar kepala manusia.
Kesulitan pertama bagi Andika adalah, bagaimana cara menemukan satu lubang yang
di dalamnya terdapat Cermin Alam Gaib" Sementara, Raja Penyamar tak pernah
menyinggung-nyinggung soal itu.
"Jempol kerbau! Bagaimana aku bisa menemukan benda itu kalau lubangnya saja
begitu banyak," rutuk Andika. "Kalau aku rogoh setiap lubang, bisa saja ada
binatang berbisa di dalamnya. Apa si Tua Brengsek ini menganggapku sudah kebal
racun?" Sesaat dipandanginya lagi batang pohon. Sampai akhirnya, diputuskannya untuk
memeriksa setiap lubang dengan ranting kering. Setelah didapatinya ranting
kering, Andika pun mulai melakukan pemeriksaan. Satu persatu, disodoknya.
lubang-lubang itu dengan hati-hati. Pada lubang kelima, tiba-tiba saja seekor
ular pohon berbisa mematuk keluar.
Andika tercekat. Wajahnya pasti akan langsung jadi santapan empuk bisa ular itu
kalau tak cepat berkelit. Dengan ranting kayu di tangan kanannya, kepala ular
berbisa tadi langsung dihantamnya, dengan telak.
Prak! Tanpa sempat berdesis lagi, binatang itu menemui ajal.
Pendekar Slebor menarik napas lega. Lubang-lubang di bagian paling bawah telah
selesai diperiksa.
Tak ada satu tanda pun didapat untuk menunjukkan kalau Cermin Alam Gaib berada
di dalamnya. Dengan begitu, Pendekar Slebor harus memeriksa lebih ke atas.
Masih tetap berhati-hati, Andika mulai merayapi kulit pohon. Tonjolan-tonjolan
keras dimanfaatkannya untuk pijakan dan pegangan. Lalu sebagian demi sebagian
batang pohon dirayapinya. Sementara itu, tangannya terus memasukkan ranting kayu
ke setiap lubang.
Ketika hari mulai terjebak dalam kegelapan, Andika baru bisa memeriksa sampai di
tengah batang pohon. Sungguh sebuah pekerjaan yang tak ringan, nilainya. Sampai
pada lubang keseratus tiga puluhan, barulah Pendekar Slebor mendapat satu
keganjilan. Ranting kayu di tangannya bertumbuk dengan suatu benda hingga menimbulkan bunyi
yang lain dari sebelumnya. Krang! "Nah! Kalau aku beruntung, pasti di lubang ini Cermin Alam Gaib terdapat. Kalau
apes, paling-paling aku hanya menemukan piring kaleng rombeng bekas kenduri para
dedemit," gurau Pendekar Slebor menghibur diri. Paling tidak, dengan begitu dia
lebih yakin untuk memasukkan tangannya ke dalam lubang.
Dengan tetap berpegangan erat pada satu tonjolan kulit pohon, Andika memasukkan
satu tangan ke dalam lubang tadi. Mulanya sebatas pergelangan tangan. Lalu,
lebih dalam sampai sebatas siku.
Sampai akhirnya, sebatas bahu. Tapi sejauh itu, tangannya tidak menemukan apa-
apa. "Aneh...," bisik Andika. Diperhatikannya ranting kayu yang sebelumnya diselipkan
di balik baju. "Padahal ranting kayu ini tidak lebih panjang dari tanganku."
Memang, kalau ranting itu tadi menyentuh sesuatu, tangan Andika justru tak
menyentuh apa-apa. Bahkan dasar lubang itu sekali pun. Sementara, tangannya
sudah tidak bisa dijulurkan lebih dalam lagi.
Untuk meyakinkan diri. Andika mengeluarkan tangannya. Kembali lubang itu
disodoknya dengan ranting kayu.
Tring! Sekarang terdengar lagi suatu bunyi. Namun suaranya lebih tinggi dari yang
pertama. Andika meringis. Benar-benar dia tak habis pikir.
"Ada yang aneh dengan lubang ini," simpul Pendekar Slebor kemudian. Hanya itu
yang bisa diperbuat. Selebihnya, dia masih tetap bingung.
Sementara itu, matahari sudah tenggelam
seluruhnya di kaki langit barat. Sisa sinar Jingga pun terkubur gelap. Hari
telah berganti, dan waktu para makhluk halus untuk bergentayangan di mayapada
telah tiba. Dalam kepekatan suasana Rimba Slaksa
Mambang, berpasang-pasang mata bermunculan satu persatu. Dari semak, dari kulit
pohon, dari ranting besar, bahkan dari dedaunan.
Wujud-wujud asing menyusul muncul tanpa pernah disadari Pendekar Slebor. Satu,
dua, tiga, dan seterusnya. Mereka menampakkan diri dengan bentuk masing-masing.
Benar-benar suasana yang menyeramkan.
Saat yang sama, kesusahpayahan Andika menggapai dasar lubang tiba-tiba hilang
sama sekali. Mendadak saja, tangannya menyentuh sesuatu.
Seolah, benda itu datang dengan sendirinya.
Sementara itu bulu-bulu halus di sekujur tengkuk Andika meremang. Dia sama
sekali tak bisa mengerti, apa yang terjadi. Dan ketika tangannya ditarik untuk
melihat benda yang dipegangnya, sehimpun suara menggidikkan memadati tempat itu.
Tak seperti tawa.
Tak juga seperti tangis. Tak seperti jeritan. Tak juga seperti gumaman. Semuanya
begitu asing....
*** "Pengadilan menanti!"
Satu teriakan membawa Andika kembali ke alam kesadaran. Kelopak matanya segera
dibuka. Sinar siang, tajam menusuk, membuat Pendekar Slebor berkali-kali
mengerjap silau. Wajahnya menengadah langit, karena tubuhnya sudah tergeletak
entah di mana. Yang terakhir diingatnya hanya suasana Rimba Slaksa Mambang yang mendadak asing
sewaktu mencoba menemukan Cermin Alam Gaib. Sewaktu tangannya ditarik dari
lubang, suara-suara aneh sempat didengarnya. Setelah itu, dia tak sadarkan diri
sama sekali. Seakan-akan, seluruh kesadarannya dibetot oleh suatu kekuatan.
Padahal, benda yang terpegang tangannya belum lagi dilihatnya.
Seiring keluhan kecil, Andika mencoba bangkit.
Sakit pada beberapa bagian tubuh, membuatnya harus bersusah payah menegakkan
punggung. Kini dilihatnya sebuah dataran kosong tandus. Tanah kering berdebu
kecoklatan di mana-mana. Sedang di kejauhan sana, hanya terlihat jajaran
pegunungan mengurung tempat ini.
"Di mana aku?" bisik Pendekar Slebor. "Mengapa tiba-tiba aku ada di tempat ini?"
Sebelum pertanyaan itu terjawab, kembali terdengar teriakan kedua.
"Pengadilan menanti!"
Pendekar Slebor tersentak. Dengan sigap, dicobanya berdiri. Lalu dicarinya asal
suara tadi. Tanpa sulit-sulit, dilihatnya dua sosok di kejauhan. Cara berdiri
mereka begitu mengancam di mata Andika.
"Siapa pula mereka?" tanya Pendekar Slebor kemudian.
Penasaran dengan wajah kedua orang itu, Andika mengangkat tangan di atas alis
matanya untuk menahan sinar matahari yang menusuk, sehingga tak begitu jelas
melihat siapa yang hadir. Tiba-tiba, Pendekar Slebor baru sadar kalau di
tangannya tergenggam sesuatu. Sewaktu dilihat, ternyata sebuah cermin selebar
jengkalan tangan. Bentuknya bulat,
dengan bingkai kayu hitam serta setangkai gagang tempat tangannya menggenggam.
"Inikah cermin yang dimaksud Raja Penyamar"
tanya Andika membatin.
Seperti sebelumnya, pertanyaan itu pun dipenggal oleh teriakan yang sama.
"Pengadilan menanti!"
Andika menjadi jengkel. Teriakan yang sama dengan suara serak memekakkan, tentu
saja amat memuakkan. Andika melirik kesal dengan ujung mata. Kemudian....
"Peduli setan! Peduli tuyul!" maki Pendekar Slebor sembarangan, dengan teriakan
pula. Salah seorang yang dimaki terkekeh mendengarnya. Terdengar sama menyebalkannya
dengan teriakan tadi. Andika berpikir, kalau bukan orang tak berotak, tentunya
mereka orang sinting. Bila orang waras, mana mungkin tak tersinggung dengan
makiannya. Silat slebor Andika tampaknya tak akan berguna menghadapi orang sesinting
mereka. Seperti halnya menghadapi Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu dulu
(Baca episode : "Manusia Dari Pusat Bumi"). Justru, malah Andika sendiri yang
dibuat kelimpungan menghadapi tingkah simpang siur kedua lelaki tersebut.
"Sebenarnya apa yang kalian mau dariku?" tanya Andika akhirnya.
"Tak banyak," sahut seorang yang dikenal sebagai Hakim Tanpa Wajah. "Kami hanya
ingin mengadilimu di Pengadilan Perut Bumi...."
"Mengadili" He... he... he!" giliran Andika terkekeh.
"Dugaanku ternyata benar. Kalian memang orang sinting! Tapi, tunggu dulu...."
Andika langsung teringat pada cerita Raja Penyamar di Kampung Kelelawar beberapa
waktu lalu. "Kalian tentu Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi...," duga Pendekar
Slebor yakin. "Tepat sekali!" jawab Hakim Tanpa Wajah.
"Nah!" Andika menjentikkan jari tangan. "Kalau begitu, pucuk dicinta..., ulam
tiba!" "He... he... he. Baru kali ini aku bertemu 'seorang tertuduh' begitu bersemangat
berhadapan denganku," tukas Hakim Tanpa Wajah.
Andika berjalan mendekati mereka. Sampai sekitar delapan tombak, barulah dia
berhenti. Ditatapnya wajah dan perawakan mereka satu-satu.
"Kau pasti Hakim Berwajah Tembok!" sebut Pendekar Slebor seraya mengacungkan
jari ke wajah Hakim Tanpa Wajah. Lalu, matanya memutar ke Manusia Dari Pusat
Bumi. "Sedangkan kau pasti Manusia Dari Lobang Koreng!"
Mendapat cemoohan pemuda dari Lembah
Kutukan itu, lagi-lagi Hakim Tanpa Wajah terkekeh tanpa beban. Lain halnya
Manusia Dari Pusat Bumi dengan wajah yang tetap dingin, kakinya melangkah dua
tindak ke depan.
"Dengan ini, kau kutuntut atas beberapa
kesalahan. Bahwa kau telah bersalah, banyak mencampuri urusan orang lain. Bahkan
bertindak gegabah membunuh para pengacau dunia!" papar Manusia Dari Pusat Bumi,
bagai seorang jaksa penuntut dalam sebuah pengadilan.
Mulut Andika kontan mencibir. "Heh! Kalau semua orang menganggap menegakkan
keadilan sama dengan mencampuri urusan orang, bisa cepat kiamat dunia ini...."
"Kau juga bersalah karena telah mencuri sebuah cermin dari Rimba Slaksa
Mambang!" lanjut Manusia Dari Pusat Bumi tanpa peduli dengan tanggapan sinis
Pendekar Slebor.
Acuh tak acuh, pemuda berpakaian hijau itu mengangkat cermin di tangannya ke
depan. "O, ya. Aku hampir lupa memberitahukanmu.
Dengan cermin ini, aku akan bisa menghadapimu meski kau menguras seluruh ilmu
gaibmu dan mengundang seluruh siluman sial untuk
membantu...."
"Salah!" terabas Manusia Dari Pusat Bumi, begitu dingin. "Justru cermin itu akan
membuatmu makin sulit untuk mengalahkanku..."
Sekali ini Andika benar-benar dibuat terperanjat habis-habisan. Pasti ada
sesuatu yang tak beres telah terjadi, begitu pikir Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu?" tanya Andika seperti tak yakin dengan pendengarannya.
"Cermin itu adalah benda milik para siluman yang dipersiapkan selama ratusan
tahun, untuk mengokoh-kan kehadiranku sebagai 'pemelihara angkara murka'!"
Jantung Andika seperti hendak berhenti berdenyut saat itu juga. Darahnya seperti
berhenti mengalir, dan benaknya seperti dikosongkan tiba-tiba. Baru disadari
kalau dia telah melakukan kesalahan besar. Juga baru diingat kalau Raja Penyamar
yang ditemuinya di Sungai Mati, tak pernah meninggalkan aroma bunga sedap malam
layaknya kebiasaan Raja Penyamar (Baca episode : "Manusia Dari Pusat Bumi").
"Tentu ada siluman yang telah menyamar menjadi Raja Penyamar untuk menipuku.
Lalu, aku dimanfaatkan untuk mengantarkan benda laknat ini pada
Manusia Dari Pusat Bumi. Sebagai makhluk kasar aku dimanfaatkan, karena mereka
tak bisa membawa sendiri benda ini, akibat sekat antara alam halus dan
kasar...," simpul Pendekar Slebor geram.
Untuk pertama kalinya, wajah dingin Manusia Dari Pusat Bumi menampakkan
seringai. "Keparat!" rutuk Andika.
Kemarahan Pendekar Slebor meledak sudah.
Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diangkatnya Cermin Alam Gaib tinggi-tinggi. Dengan seluruh kekuatan warisan
Pendekar Lembah Kutukan yang terkerahkan akibat kemurkaannya, tentu benda tipis
itu akan hancur berkeping-keping seperti kerikil kala Andika menghantamkannya ke
lutut. Siat! Tak! Cermin di tangan Andika seketika bertumbukan amat keras dengan lututnya. Namun
hasilnya bukan-lah seperti yang diduga sebelumnya, benda itu tetap utuh seperti
tak pernah terjadi apa-apa. Sebaliknya, sehimpun rasa nyeri tak terhingga
melabrak Andika saat itu juga.
"Aaakh!"
Teriakan menyayat terlepas dari kerongkongan pendekar muda itu. Bersamaan dengan
teriakannya, Cermin Alam Gaib terlepas jauh ke angkasa. Benda itu seketika
melayang dalam putaran cepat. Pantulan sinar matahari berkerjap-kerjap dari
permukaannya, bagai cemoohan bagi Pendekar Slebor.
Meski menderita sakit luar biasa, Andika masih mampu menjaga akal sehatnya.
Jelas benda itu akan berbahaya jika jatuh ke tangan Manusia Dari Pusat Bumi.
Maka tanpa mempedulikan rasa sakit yang menjalari serat-serat tubuhnya, Pendekar
Slebor sebisa-bisanya menghentakkan kakinya penuh tenaga. Maka tubuhnya langsung
melayang menyusul
Cermin Alam Gaib.
"Hiaaa!"
Sekejap di belakangnya, Manusia Dari Pusat Bumi mengikuti tindakan Pendekar
Slebor. Tak kalah tangkas, tubuhnya melayang ke udara dari arah berlawanan. Tak!
Di udara, tangan Pendekar Slebor yang hendak menggapai cermin dihadang dengan
tendangan ungkit yang lurus di depan dada. Maka seketika telapak tangan Andika
tersodok telak ujung jari kaki pemuda bertaring itu. Kemudian disusul dengan
sambaran tangan kanan, seperti gerakan menyampok untuk merebut Cermin Alam Gaib.
Tak! Andika cepat mengirimkan serangan susulan. Satu gerak menyabet ke dalam
dilepaskan tangan kiri untuk menahan pergelangan tangan Manusia Dari Pusat Bumi
yang hendak menggapai Cermin Alam Gaib. Akibatnya, pergelangan tangan mereka
ber-hantaman keras.
Ketika titik balik luncuran cermin tiba, kedua pemuda gagah berbeda silat dan
usia itu sama-sama saling melancarkan tebasan-tebasan amat cepat.
Satu menghantam, yang lain menangkis. Begitu pula sebaliknya. Bahkan tindakan
itu sampai tubuh mereka mulai meluncur turun, menyusul menukiknya Cermin Alam
Gaib. Khawatir Hakim Tanpa Wajah memanfaatkan
kesempatan itu untuk menyambut cermin dari bawah, Pendekar Slebor cepat-cepat
melepas kain pusaka dari bahunya pada kesempatan yang begitu tipis.
Srat! Kecepatan yang sulit tertandingi warisan Pendekar Lembah Kutukan, cukup memberi
Pendekar Slebor
kesempatan untuk menyabetkan kain pusaka ke arah Cermin Alam Gaib.
Tar! Pendekar Slebor memang sempat mengenyahkan cermin, jauh dari jarak jangkauan
Hakim Tanpa Wajah. Tapi untuk itu, dia harus menebusnya dengan akibat yang tak
ringan. Mendadak saja hantaman punggung tangan Manusia Dari Pusat Bumi telah
menyodok dadanya.
Des! Saat itu juga, arah luncuran tubuh Pendekar Slebor berubah cepat. Tubuhnya tidak
lagi meluncur lurus ke bawah, melainkan meluncur dalam arah menyimpang ke
belakang akibat hantaman tenaga Manusia Dari Pusat Bumi. Sepotong erangan
tertahan langsung tercipta. Setelah itu, Pendekar Slebor tak ingat apa-apa.
Dunia bagai dirampas tiba-tiba.
Semuanya menjadi gelap..., gelap.
*** Malam ini adalah hari ketiga setelah purnama.
Kaki Gunung Sumbing disapu rata oleh cahaya temaram rembulan yang mulai
meramping. Di sebelah timur kaki gunung, sebuah pura tua berdiri dingin di
atasnya. Di dalam bangunan itu, Purwasih duduk gundah di antara siraman cahaya lembut api
unggun. Wajah gelisahnya berpendar-pendar akibat pantulan cahaya, membuatnya
terlihat demikian anggun menawan.
"Ke mana Andika?" tanya Purwasih pada diri sendiri. "Tak mungkin dia ingkar
janji. Aku tahu pribadinya. Lalu, kenapa sampai selarut ini dia belum juga
datang?" Sudah begitu lama dara jelita berjuluk Naga Wanita itu menanti kehadiran jejaka
pujaan hatinya.
Selama itu, perasaannya terus saja terombang-ambing oleh kegelisahan. Dia
sendiri tak memahami, kenapa bisa begitu.
Untuk sedikit mengusir rasa yang tak enak itu, Purwasih melamunkan kejadian yang
lalu, yang pernah dialami bersama Andika. Ya! Saat-saat indah memang pernah
dialaminya bersama si Pemuda itu.
Kala di mana dia begitu dekat serta berbagi suka dan duka dalam suatu tugas
negara, menumpas
Gerombolan Begal Ireng. Tapi mungkin saja saat itu, Purwasih tahu kalau Andika
hanya menganggapnya sebagai mitra seperjuangan. Atau mungkin menganggapnya
sebagai saudara perempuan, karena sesungguhnya mereka berdua masih memiliki
pertalian darah. (Baca episode : "Dendam dan Asmara").
Sesaat kemudian, bibir ranum Purwasih mengem-bangkan senyum tipis, manakala
benaknya terngiang kembali ucapan-ucapan urakan Andika padanya yang sering kali
keterlaluan dan menggemaskan.
"Andika..., Andika...," bisik gadis itu tak sadar.
"Hey, Gadis Cacingan!"
Tiba-tiba saja sebuah suara merobek lamunan Purwasih. Dengan sigap, tangan
pendekar wanita itu meraih gagang pedang di punggungnya.
Sret! "Siapa kau"!" bentak si Naga Wanita seraya mengacungkan mata pedang ke depan.
Dari pintu masuk, muncullah seorang nenek tua berpunuk seperti onta. Rambutnya
demikian panjang, hingga terseret-seret di tanah. Tak seperti nenek tua biasa,
dia mengenakan baju panjang warna Jingga mencolok. Pipinya yang kendor, tampak
bergerak- gerak sewaktu mengunyah gulungan sirih.
Seperti tak peduli dengan pertanyaan gusar Purwasih, nenek peot itu terus
mendekati Purwasih.
"Apa kau tak dengar kalau kusebut gadis
cacingan?" kata nenek itu.
"Apa maksudmu, Nenek Tua?" tanya Purwasih lebih sopan, sewaktu mengetahui siapa
yang masuk. Pedang berkepala naga di tangannya diturunkan. Dia tak ingin terlihat tidak
sopan pada orang tua uzur itu.
"Apa maksudmu" Huh! Buat apa kau masih terus menunggu di sini" Terbengong-
bengong seperti orang cacingan?"
"Aku menunggu seseorang, Nek."
"Pemuda berpakaian hijau-hijau berwajah ningrat, tapi berpenampilan gembel itu?"
terabas si Nenek Peot semena-mena.
"Dari mana Nenek tahu?" tanya Purwasih heran.
Si Nenek Peot mengibaskan tangan di udara.
"Haaah! Itu soal sepele!" tukas si Nenek. "Kau tak perlu tahu dari mana aku
tahu. Yang sekarang justru harus kau tahu adalah.... Ah slompret! Kenapa aku
jadi pelupa begini?"
Si Nenek Pikun memainkan gulungan sirih di mulutnya. Untuk beberapa saat bia
tampak berpikir keras.
"O, iya! Aku ingat sekarang. Yang perlu kau ketahui, pemuda yang kau tunggu
sekarang ini sedang sekarat...."
"Apa"!" sentak Purwasih begitu khawatir.
"Sabar-sabar.... Jangan terburu nafsu! Anak muda sial itu masih cukup kuat untuk
tetap bertahan hidup...."
"Di mana dia, Nek"!" desak Purwasih, tak sabar.
"Di danau dekat pinggiran Rimba Slaksa
Mambang," jawab si Nenek acuh sambil melenggang keluar. Seiring dengan itu,
wangi bunga sedap malam segera menebar memenuhi ruangan.
*** 4 "Kira-kira, ke mana lagi kita harus mencari pemuda bertanda bintang itu, Dungu?"
tanya Lelaki Berbulu Hitam pada kawannya yang berotak bebal.
Setelah lolos dari tangan Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi, kini
mereka sudah tampak jalan beriringan pada sebuah jalan setapak.
"Gara-gara hakim sableng itu, kita gagal meminta bantuan pemuda yang ditunjuk
dalam wangsit sebagai 'sang penolong'!" gerutu lelaki keturunan serigala itu
keras dan meledak-ledak.
"Aku kira juga begitu," sahut Pendekar Dungu, dengan mata terus terjatuh pada
jalan. "Kalau binatang peliharaanmu tidak segera datang waktu itu, tentu kita
sudah jadi tawanan si Bangkotan Muka Rata!"
Lelaki Berbulu Hitam menghentikan langkahnya.
Wajahnya tiba-tiba terbakar matang.
"Aku sedang membicarakan pemuda penolong kita, Dungu! Bukan soal serigala-
serigalaku! Lagi pula, mereka bukan peliharaanku. Mereka itu kawanku!"
bentak Lelaki Berbulu Hitam ngotot sampai-sampai urat lehernya menonjol keluar.
"Astaga! Sial kau, ya! Jadi si Hakim Tanpa Wajah dan pemuda jelek itu kawanmu?"
Pendekar Dungu ikut berhenti. Ditantangnya tatapan berang si Manusia Berbulu
dengan wajah penasaran.
"Bukan, Guobeluoook! Maksudku, Serigala-
serigala itu!"
"Lho. Jadi, serigala-serigala itu yang bisa menolong
masalah kita" Tadi kau bilang pemuda berpakaian hijau-hijau.... Kau jadi
linglung sekarangnya?" kata laki-laki bangkotan berotak bebal itu lagi.
Setelah itu Pendekar Dungu melangkah santai, meninggalkan Lelaki Berbulu Hitam
yang masih berdiri sambil memukul-mukul kepala sendiri. Andai Lelaki Berbulu
Hitam adalah mercon bungkus, tentu sudah melesak saat itu juga menghadapi
kebodohan kawannya.
Sebelum Lelaki Berbulu Hitam sempat menumpahkan kemarahan dengan serangkai caci-
maki kasar, tiba-tiba seseorang berkelebat dari belakang, melewati dirinya lalu
melewati Pendekar Dungu di depan.
Dari kecepatannya bergerak, tentu orang itu sedang mengerahkan kemampuan lari
cepat pada puncaknya.
"Hey, siapa itu"!" seru Lelaki Berbulu Hitam.
"Bukan aku!" jawab Pendekar Dungu. Padahal, Pendekar Dungu tak ditanya sama
sekali. Namun dia cepat sadar kalau ada orang yang mendahuluinya.
"Ya... ya! Siapa itu"!"
"Kejar, Dungu!" ujar Lelaki Berbulu Hitam seraya mengempos tenaga untuk mengejar
orang tadi. "Ya... ya... ya, kejar!" latah Pendekar Dungu lebih bersemangat.
Seketika kejar-kejaran terjadi. Tanpa mengalami kesulitan, Lelaki Berbulu Hitam
yang lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh daripada Pendekar Dungu, bisa
menyusul orang yang diburu. Dari jarak empat depa di belakang buruan, seluruh
ilmu meringankan tubuhnya dikempos. Di udara, tubuhnya segera melesat cepat
mendahului orang tadi, lalu berhenti menghadang dengan wajah garang.
"Berhenti!" bentak Lelaki Berbulu Hitam lantang.
Buruan itu berhenti mendadak, begitu mendengar bentakan. Sementara Pendekar
Dungu terlalu keasyikan menggenjot langkah larinya yang tak sehebat Lelaki
Berbulu Hitam. Akibatnya, sewaktu kawannya menghadang mendadak, dia malah lupa
berhenti. "E-e-e, awas! Awaaas!" teriak Pendekar Dungu kelimpungan sendiri, tanpa bisa
menahan. Dan yang jadi sasaran tabrakannya adalah Lelaki Berbulu Hitam.
Dada besar manusia keturunan serigala itu ditanduknya. Untuk ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan tenaga, Pendekar Dungu memang berada satu tingkat di atas
Lelaki Berbulu Hitam. Jadi jangan tanya, apa akibatnya kalau kepalanya
menyeruduk Lelaki Berbulu Hitam. Seperti kerbau gila!
Lelaki Berbulu Hitam terjengkang ke belakang beberapa depa. Mulutnya menganga
lebar dan matanya mendelik hendak keluar. Saat berikutnya, tubuh gempal itu
menimbulkan bunyi cukup merdu sewaktu menghantam jalan berkerikil.
Di lain pihak, mata sayu Pendekar Dungu jadi tambah sayu. Biji matanya yang
kelabu berputar-putar tak karuan. Tak lama berikutnya, kepalanya sendiri,
ditampar-tampar. Seakan, dengan perbuatan itu gerak mata bisa dibetulkan.
Tak jauh di depan, Lelaki Berbulu Hitam bangkit menggeliat-geliat menahan sakit
di seluruh belakang tubuhnya. Sesekali diam meliuk ke kiri, lalu ke kanan, lalu
ke kiri lagi. "Kali ini, kepalamu benar-benar akan kuremukkan, Dungu!" ancam Lelaki Berbulu
Hitam dengan mata mengerjap-ngerjap.
Tingkah kedua tokoh itu benar-benar mem-
bingungkan orang yang dihadang. Dia seorang wanita berpakaian hijau lumut.
Dengan rambut berkepang ekor kuda dan pedang kepala naga di punggung, sudah bisa
diduga dia adalah Purwasih. Kebetulan sekali gadis itu mengambil jalan singkat
dari tempat itu untuk menuju tepian Rimba Slaksa Mambang.
"Kalian ini siapa?" tanya Purwasih heran pada Lelaki Berbulu Hitam yang
menggeram-geram menghampiri Pendekar Dungu.
"Biar... biar! Jangan dipisahkan! Dikiranya aku takut pada manusia jelek ini!"
Bukannya menyahuti, Pendekar Dungu malah berseru lantang pada Purwasih.
Begitu lantangnya ucapan itu ditujukan pada Lelaki Berbulu Hitam yang siap
mengamuk. Lalu, dia malah berbalik lalu lari sebisa-bisanya.
Lelaki Berbulu Hitam mengejar di belakang.
Makian simpang-siurnya terdengar sampai mereka menghilang di kejauhan.
Tinggal Purwasih yang hanya bisa menggeleng-geleng.
"Makin banyak saja manusia edan di dunia ini,"
gumam gadis itu, lalu melanjutkan larinya yang tersendat.
Jarak yang sudah tidak begitu jauh, membuat Purwasih dengan singkat tiba di
danau pinggiran Rimba Slaksa Mambang. Segera pandangannya beredar ke seluruh
tepian danau. Sampai akhirnya, gadis itu menemukan Andika sedang tergolek lemah
di salah satu sudut.
Purwasih segera menjemputnya. Setelah diangkat, tubuh pemuda itu dibopong di
bahu. Baru saja Purwasih hendak pergi, mendadak dua lelaki aneh yang
menghadangnya tadi, muncul lagi.
"Naaa, itu dia!" seru Pendekar Dungu. "Daya penciummu jempolan, Hitam!"
"Jangan menepuk-nepukku seperti itu!" bentak Lelaki Berbulu Hitam ketika
Pendekar Dungu menepuk-nepuk punggungnya keras.
*** Dalam ruang sebuah pura tua di sebelah timur kaki Gunung Sumbing, lima orang
tampak mematung bisu. Yang seorang tergeletak pucat di dekat api unggun. Dialah
Andika. Telah tiga hari tiga malam, pemuda itu tak sadarkan diri. Di sisinya,
Purwasih duduk menekuk lutut di lantai. Di salah satu sudut ruang. Pendekar
Dungu duduk melengkung. Kepalanya terjatuh sesekali, akibat serangan kantuk. Tak
jarang mengalir lendir dari mulutnya yang menganga seenaknya. Sedangkan Lelaki
Berbulu Hitam berdiri melipat tangan di depan dada, tepat di dekat pintu masuk.
Satu orang lagi, adalah Raja Penyamar.
Di antara mereka, tak seorang pun yang tahu tentang kehadiran Raja Penyamar.
Memang, kehadirannya hanya berupa jasad halus. Sedikit pun tak ada niat untuk
menampakkan diri pada mereka.
"Apakah kau tak ingin istirahat dulu, Anak Gadis?"
kata Lelaki Berbulu Hitam, memecah kesunyian. "Kau sudah begitu letih
mengurusnya tiga hari tiga malam...."
Dengan wajah letih karena kurang tidur, Purwasih menggeleng lamat.
"Bagaimana aku bisa memejamkan mata kalau orang yang kucintai terbaring dalam
keadaan menyedihkan" Denyut jantungnya begitu lemah. Dan wajahnya sudah begitu
pucat," tolak Purwasih, lirih.
Ditariknya napas untuk mengenyahkan beban yang menggelantungi dada. "Aku tak
mengerti, kenapa dia tetap saja tak mau sadar. Padahal aku telah cukup
menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya."
Lelaki Berbulu Hitam yang hari itu memperlihatkan sifat halus terpendamnya,
tampak mengangguk-angguk dengan wajah datar.
"Jangan kau pikir aku tak turut membantu, Anak Gadis. Diam-diam, aku juga
mengirim hawa murni dari jarak jauh ke tubuh anak muda itu. Tapi, tampaknya sia-
sia...," kata Lelaki Berbulu Hitam seperti mengeluh.
"Bagaimana dengan kawanmu itu?" tanya
Purwasih, seraya melempar pandangan ke arah Pendekar Dungu.
Melihat si Tua Bangkotan di sudut ruangan, wajah Lelaki Berbulu Hitam jadi
berubah. Ada garis kemangkelan terlihat di sudut bibirnya.
"Bagaimana kalau kita menggabungkan hawa murni kita untuk menolongnya?" usul
Purwasih.
Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin dengan begitu, dia akan tersadar."
"Sementara memang begitu," jawab Lelaki Berbulu Hitam menyetujui. Segera
dihampirinya Pendekar Dungu. "Hey! Bangun, Dungu!"
Merasa tak berguna hanya dengan mulut, Lelaki Berbulu Hitam menendang kaki
Pendekar Dungu.
Plak! "Hiaaat!"
Kontan saja si Tua Bangka bergigi ompong ini mencak-mencak. Untung saja
tangannya tak tersasar ke wajah Lelaki Berbulu Hitam. Kalau tidak, bisa terjadi
kiamat dalam ruangan itu.
"Ada apa?" tanya Pendekar Dungu, akhirnya.
Purwasih dengan singkat menjelaskan
maksudnya. Setelah Pendekar Dungu setuju, meski harus menunggu lama agar
mengerti, barulah ketiganya bersiap-siap. Mereka kemudian duduk berkeliling di
sekitar tubuh Andika. Tangan mereka menyatu sama lain. Sedangkan sebelah tangan
Purwasih, menempel di dada pemuda yang tak sadarkan diri ini.
Dalam pemusatan rasa dan pikiran, mereka mulai menyalurkan hawa murni masing-
masing. Dan tanpa diketahuinya, Raja Penyamar ikut andil menyalurkan kekuatan
halusnya, melalui diri Purwasih.
Waktu berlalu. Cukup lama mereka melakukan usaha itu. Tapi sedikit pun tak ada
perubahan pada diri Andika. Sampai akhirnya, mereka berhenti karena kehabisan
tenaga. "Aneh! Kenapa seluruh hawa murniku seperti disedot begitu saja. Tenagaku seperti
terkuras...,"
desah Lelaki Berbulu Hitam, terheran-heran.
"Ya! Aku pun baru menyadari, setelah kita menggabungkan hawa murni," timpal
Purwasih. "Aneh...," tambah Lelaki Berbulu Hitam.
"Aneh memang.... Memang aneh," Pendekar
Dungu ikut-ikutan.
Sementara, seseorang tanpa wujud langsung menyadari apa sesungguhnya yang
terjadi dalam diri anak muda ksatria itu. Raja Penyamar yakin, ada semacam medan
pusaran jahat dari alam lain yang menumpangi garba Andika. Meski sampai saat itu
tak juga diketahui penyebabnya.
Medan pusaran jahat itu sengaja dirasuki seseorang ke dalam diri Andika.
Tujuannya untuk menyedot habis tenaga orang-orang yang hendak menolongnya,
dengan menyalurkan hawa murni.
Mulanya si Korban tak akan merasakan tenaganya
tersedot. Mereka baru akan tahu, setelah tak bisa lagi mengerahkan tenaga dalam
selama beberapa waktu.
Karena kekuatan mereka sudah terkuras. Yang tersisa hanya rasa lemas jika
mencoba mengerahkan tenaga dalam.
"Hanya ada satu orang yang sengaja melakukan ini dengan maksud tertentu," bisik
Raja Penyamar. "Hakim Tanpa Wajah! Dia tentu dibantu Manusia Dari Pusat Bumi. Tujuannya tentu
hendak melumpuhkan si Dungu dan si Hitam, yang masih tetap sulit ditaklukkan.
Tentu selama ini, gagak yang menjadi
'saksi mata'nya telah mengabarkan bahwa si Dungu dan si Hitam membutuhkan
pertolongan Andika...."
Saat itulah indera halus Raja Penyamar merasakan sesuatu yang tak diharapkan
bakal terjadi. Tapi, peringatan inderanya itu sudah terlambat. Karena....
"Pengadilan menanti!"
Sebuah teriakan yang begitu dikenal, melantak kesunyian ruangan dari arah luar.
"Dungu dan Hitam keparat! Kalian tak akan bisa menghindar lagi dari
pengadilanku! He... hek... hek...
heee!" "Siapa mereka?" tanya Purwasih. Selama tiga hari mengenal Pendekar Dungu dan
Lelaki Berbulu Hitam, Purwasih memang hanya mendengar penjelasan tentang alasan
mereka mencari-cari Andika, lalu sudi pula menolongnya. Sedangkan tentang asal-
usul dua tokoh aneh ini, serta urusan lama dengan Hakim Tanpa Wajah tak pernah
diceritakan. "Manusia tak waras yang sok benar sendiri!" jawab Lelaki Berbulu Hitam.
"Aku tak mengerti?" lanjut Purwasih.
"Nanti pun kau akan tahu," putus Lelaki Berbulu Hitam. Selanjutnya, laki-laki
berbulu lebat itu keluar
dengan langkah terbanting-banting keras.
Pendekar Dungu mengikuti di belakangnya. Juga Purwasih.
Di luar, Lelaki Berbulu Hitam berdiri menantang kedatangan dua seterunya di
kejauhan. Sepasang tangannya bertolak pinggang. Wajahnya cepat memerah dipompa
kemarahan. Dengan latah, Pendekar Dungu berdiri di samping-nya dan ikut bertolak pinggang.
Punggungnya yang sudah melengkung dipaksa-paksakan untuk tegak.
Mungkin pikirnya, dengan begitu dia tampak mem-busungkan dada. Padahal, malah
terlihat seperti sedang menderita encok.
"Penasaran kau, ya"!" cemooh Lelaki Berbulu Hitam sarat tekanan.
"Kujamin! Sekali ini, kau tak akan lolos lagi. Ingat itu, tak akan!" tandas
Hakim Tanpa Wajah, berkawal seringai.
"Orang tua! Siapa sesungguhnya kau ini" Kenapa berkata begitu tak sopan dan
lancang?" selak Purwasih. Muak juga gadis itu melihat lagak Hakim Tanpa Wajah.
"Heee... he... he... heee! Ada gadis cantik yang minta diadili!" leceh Hakim
Tanpa Wajah. "Tunggu dulu! Dari tadi kau bicara soal pengadilan.
Apa kau orang yang belakangan ini membuat kegemparan, dengan julukan Hakim Tanpa
Wajah?" tanya Purwasih tanpa terbetik rasa takut.
"Ya! Kau gadis pintar!"
"Ooo.... Jadi, ini orangnya yang membuat takut banyak tokoh persilatan
belakangan ini"!" sinis Purwasih kian berani.
"Sudahlah, Anak Gadis! Hanya buang-buang waktu berbicara dengan manusia sial
ini!" sergah Lelaki
Berbulu Hitam, naik pitam.
"Ya... ya. Hanya manusia sial yang buang-buang waktu," timpal Pendekar Dungu
ngawur. Lelaki Berbulu Hitam maju beberapa tindak. Dari cara berjalannya, tampak kalau
dia sudah begitu bernafsu membalas kekalahannya waktu itu.
"Ayo! Maju kau!" tantang Lelaki Berbulu Hitam.
Manusia Dari Pusat Bumi baru hendak melayani tantangannya. Tapi, sang Guru
mengeluarkan tangan dari balik kafan untuk menahan pemuda setengah siluman itu.
"Aku ingin sedikit mengenang peristiwa delapan puluh tahun lalu," kata Hakim
Tanpa Wajah. Selesai berkata, laki-laki berkain kafan itu meloncat-loncat ke depan. Empat
depa di depan Lelaki Berbulu Hitam, baru dia berhenti.
"Kita hendak mulai dari jurus kacangan atau jurus habis-habisan?" tawar Hakim
Tanpa Wajah pongah.
"Aaargh!"
Lelaki Berbulu Hitam tak mau banyak cing-cong.
Diterkamnya Hakim Tanpa Wajah dengan jari menegang seperti batangan baja.
Hakim Tanpa Wajah amat kenal, bagaimana
tingkat kecepatan lawannya. Pada masa jayanya delapan puluh tahun yang silam,
Lelaki Berbulu Hitam berada di papan atas dalam ilmu-ilmu kecepatan.
Tahu akan hal itu, mestinya Hakim Tanpa Wajah cepat menghindar dari cakar Lelaki
Berbulu Hitam yang sanggup merobek lehernya dalam sekali tebas.
Tapi hal itu tak juga dilakukan. Sampai....
Srat! Leher kurus Hakim Tanpa Wajah benar-benar di-mangsa cakar lelaki tinggi besar
itu. Benarkah laki-laki tua berkain kafan itu akan kehilangan kepala"
Sama sekali tidak! Sebab, Hakim Tanpa Wajah amat tahu kalau lawannya kini sudah
tak memiliki tenaga dalam yang bisa diandalkan untuk melakukan itu.
"He... he... he! Kenapa berhenti?" ledek Hakim Tanpa Wajah.
Tampak Lelaki Berbulu Hitam terpana-pana memandangi jari-jari berkuku tajam
miliknya yang tak seampuh sebelumnya.
"Astaga, Hitam! Kenapa kau tak sungguh-sungguh
'menggaruk' leher manusia sial itu"!" seru Pendekar Dungu, masih belum menangkap
apa yang terjadi.
"Aku bukan main-main, Goblok! Sudah kukerahkan seluruh tenaga dalamku untuk
merobek lehernya.
Tapi, tenagaku tidak ada lagi!" teriak kalap Lelaki Berbulu Hitam.
"Tak ada" Memang kau pinjamkan pada siapa"!"
tanya si Dungu kembali. Amat lugu..., dan tentu menyebalkan!
*** 5 Jasad halus Raja Penyamar menelusuri sebuah lorong asing yang panjang bagai tak
bertepi. Dalam lorong berpusaran kabut itu, tubuhnya melayang terus menuju
ujungnya. Sesekali ada semacam terpaan angin kuat menahan. Dengan susah payah,
ditembusnya dinding angin itu. Tak jarang pula ada kilatan-kilatan cahaya
Panji Wulung 3 Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala Juragan Tamak Negeri Malaya 1
PENGADILAN PERUT BUMI
Oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S
Cover : Henky Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El Serial Pendekar Slebor
dalam episode 10 :
Pengadilan Perut Bumi
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Teriakan-teriakan pertarungan terdengar memecah keheningan di kaki sebuah
pegunungan berapi.
Sebuah pertarungan tingkat tinggi antara dua tokoh tua melawan satu tokoh tua
dibantu seorang pemuda, sulit diduga sampai di mana tingkat ilmu masing-masing.
Yang jelas, teriakan mereka lebih menggidikkan daripada salakan seribu petir.
Bisa dikatakan, pertarungan ini satu dari bentrokan terdahsyat sepanjang seratus
tahun belakangan. Apalagi, tiga orang di antara mereka, memang sulit dicari
tandingan sejak pertama kali muncul delapan puluh tahun yang lalu. Jika untuk
kedua kalinya mereka hadir kembali dan membuat keguncangan, sebenarnya bukan hal
yang terlalu aneh.
Dibanding delapan puluh tahun yang lampau, pertarungan kali ini ternyata lebih
hebat lagi, dengan turut andilnya seorang pemuda jelmaan siluman. Dan pemuda itu
memang mendapat tugas untuk
membuat kekacauan di bumi setiap sejuta purnama.
Layaknya sosok siluman, penampilan pemuda itu memang mengerikan. Tubuhnya kekar
sarat dengan otot menonjol. Rambutnya panjang berwarna merah bara bagai percikan
api neraka. Matanya seperti mata macan hutan liar. Dan di dua sudut bibirnya,
tersembul dua taring tajam mengancam! Lahirlah sebutan angker bagi dirinya.
Manusia Dari Pusat Bumi!
Sementara itu satu orang yang berdiri di pihaknya adalah lelaki tua berusia
sekitar seratus dua puluh tahun. Wajahnya datar dengan satu lubang hidung kecil.
Berbibir amat tipis dan berkelopak mata begitu sempit. Tubuhnya terbungkus kain
kafan usang dari bahu hingga terikat ketat di mata kaki. Dagunya ditumbuhi
jenggot panjang dan putih sekitar satu depa. Rambutnya pun putih, tersibak ke
mana-mana. Delapan puluh tahun lalu, sepak terjangnya membuat ciut nyali banyak tokoh
persilatan. Dialah tokoh yang berjuluk Hakim Tanpa Wajah!
Lawan kedua tokoh itu adalah dua lelaki yang sifatnya bertolak belakang. Satu
begitu pemarah dan pemberang. Sedang yang lain begitu lugu dan dungu.
Usia lelaki yang berwatak pemberang tak jauh beda dengan Hakim Tanpa Wajah.
Namun karena dalam tubuhnya mengalir darah serigala, maka tak mengalami ketuaan.
Sosoknya tinggi besar, dengan bulu-bulu hitam lebat di sekujur tubuh dan
wajahnya. Penampilannya seperti gorila. Namun, tak begitu dengan paras wajahnya yang
terbilang tampan, meski pipinya begitu tebal. Seperti Manusia dari Pusat Bumi,
lelaki keturunan serigala ini pun hanya bercelana hitam tanggung yang ujungnya
sudah koyak-moyak.
Sesuai keadaannya, julukannya pun Lelaki Berbulu Hitam sejak muncul delapan
puluh tahun yang lampau.
Sedangkan kawan Lelaki Berbulu Hitam yang berwatak dungu, berjuluk Pendekar
Dungu. Karena seangkatan dengan tokoh sesat yang berjuluk Hakim Tanpa Wajah, dia
sudah begitu peot keriput.
Pakaiannya warna-warni, penuh tambalan. Tubuhnya bongkok seperti gagang tongkat.
Tapi masih begitu gagah. Matanya kelabu, tapi tetap berbinar penuh
semangat. Rambutnya memutih rata ditutup selembar topi pandan. Wajahnya tanpa
jenggot dan kumis. Mulutnya hanya memiliki tiga butir gigi yang semuanya
berwarna kuning langsat! (Untuk mengetahui awal kisah bentrokan mereka, ikuti
serial Pendekar Slebor dalam episode : "Manusia Dari Pusat Bumi").
Pertarungan mereka telah memasuki hari kedua, tanpa henti. Meski usia tiga orang
di antara mereka tergolong uzur, namun pertarungan yang panjang itu tak juga
membuat lelah. Tenaga mereka seperti tak terkuras sama sekali. Dari gejolak
pertarungan yang kian memanas, tampaknya mereka malah memiliki cadangan tenaga
yang cukup untuk beberapa hari lagi.
Des! Plak! Dua tinju yang dilepaskan dari jurus 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi' secara
berbarengan oleh Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi mencoba melebur
kekompakan pertahanan lawan.
Sudah jurus yang ketujuh puluh guru dan murid itu mengerahkan jurus langka ini.
Akibat yang ditimbul-kannya membuat permukaan tanah seperti digoyang berkali-
kali. Hal itu terjadi karena pada setiap rangkai jurus, kaki mereka selalu
melakukan jejakan-jejakan bertenaga ke bumi. Terlalu banyaknya jejakan hebat
menyebabkan tanah banyak yang retak di sana-sini.
Pepohonan dalam jarak sekitar dua puluh tombak dari kancah pertarungan, sudah
pula bertumbangan.
Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam sudah amat kenal dengan jurus 'Tenaga
Sakti Pembelah Bumi'. Mereka mampu mengimbangi dengan
gabungan jurus masing-masing.
Sewaktu tinju yang dilepaskan guru dan murid itu
merangsek pertahan secara berbareng, mereka pun berpencar. Masing-masing menahan
satu tinju. Dengan begitu, sepertinya kekompakan mereka ter-pecah. Padahal, tidak sama
sekali. Karena justru mereka sedang menjalankan siasat tempur baru yang
diharapkan akan mengecoh lawan.
"Dungu! Jangan merenggangkan jarak! Gabungan jurus kita bisa kocar-kacir!" ujar
Lelaki Berbulu Hitam, pura-pura terkejut.
"Lho"! Kupikir ini siasat kita untuk mengecoh mereka!" sahut Pendekar Dungu
lugu. "Wuaaa, Dasar Goblok! Kenapa mesti disebut-sebut"! Kau telah menggagalkan
rencana kita!"
umpat Lelaki Berbulu Hitam, di antara terjangan bertubi-tubi Hakim Tanpa Wajah.
"Lho" Salahmu sendiri! Kenapa tadi berteriak..."!
Hey! Kau tadi berteriak apa padaku, ya"!"
"Ah, sudah! Tutup saja bacotmu! Dan, hadapi si Pemuda Jelek itu!" hardik Lelaki
Berbulu Hitam. Manusia Dari Pusat Bumi tak kalah garang merangsek Pendekar Dungu. Sepuluh
cakarnya men-cabik udara, menuju leher lelaki berotak kerbau itu.
Tapi Pendekar Dungu malah tertawa keras-keras sampai terdongak-dongak. Sehingga,
sambaran cakar si Pemuda Jelmaan Siluman luput berkali-kali.
"Kenapa kau tertawa, Dungu"! Apa kau pikir ucapanku barusan lucu"! Haih!" dengus
Lelaki Berbulu Hitam sambil balas menyerang Hakim Tanpa Wajah dengan hentakan
telapak tangan lurus ke dada.
"Ait..., ait!"
Pendekar Dungu berjingkat-jingkat sewaktu Manusia Dari Pusat Bumi mengincar kaki
keriputnya. "Pemuda sialan ini memang jelek, Hitam! Setelah
kupikir susah payah, baru kusadari kalau ada manusia yang lebih jelek daripada
dirimu! He... he...
he!" oceh Pendekar Dungu tanpa rasa bersalah sedikit pun pada Lelaki Berbulu
Hitam. "Wuaaa, Tua Bangka Berotak Bebal! Kalau aku berhasil meremukkan kepala hakim
sialan ini, kau akan dapat giliran!" ancam Lelaki Berbulu Hitam berang. Matanya
mendelik-delik seperti orang keracunan.
Puncak pertarungan mereka diawali oleh
melompatnya Manusia Dari Pusat Bumi jauh keluar arena. Menyadari muridnya akan
mengerahkan kesaktian baru yang mungkin belum pernah disaksikannya, Hakim Tanpa
Wajah ikut menjauhi lawan. Dengan beruntun salto di udara, lelaki tua terbungkus
kain kafan usang itu mengambil tempat jauh dari lawan, dan juga jauh dari si
Manusia Jelmaan Siluman pula. Paling tidak, sekadar untuk menjaga kemungkinan
agar dirinya tidak jadi sasaran serangan nyasar milik murid ajaibnya.
"He... he... he. Kau punya kejutan untukku, Bocah Bagus?" tanya Hakim Tanpa
Wajah di kejauhan.
Bibirnya menyeringai penuh harap. "Sekarang inilah saat yang tepat untuk
membuktikan bahwa kau mampu menjadi 'Sang Penuntut' dari pengadilanku!
He... he... he!"
Tak lama setelah kata-kata Hakim Tanpa Wajah tuntas, si Manusia Jelmaan Siluman
pun menyiapkan satu serangan gaib yang didukung oleh kekuatan dari alam lain.
Sejenak kepalanya mendongak lurus ke langit, disusul oleh terangkatnya kedua
tangannya tinggi-tinggi. Seluruh jarinya membentang, seolah hendak menggapai
atap dunia, lalu meruntuhkannya!
"Nah, lo...! Nah, lo! Pemuda jelek itu hendak
berbuat apa?" tanya Pendekar Dungu dengan mimik linglung, seperti untuk diri
sendiri. "Mana kutahu! Kau pikir dia itu adikku, hingga aku tahu apa yang mau
diperbuatnya!" sahut Lelaki Berbulu Hitam, tetap garang seperti yang sudah-
sudah. "Jadi dia itu bukan adikmu?" sergah Pendekar Dungu. "O-o. Pantas saja kau
kelihatannya lebih jelek daripada dia...."
Pendekar Dungu mengangguk-angguk polos,
dengan pandangan tetap pada pemuda siluman itu.
"Diaaam!" bentak Lelaki Berbulu Hitam. Suaranya mengguntur ke segenap penjuru.
Tapi sama sekali tidak mengusik Manusia Dari Pusat Bumi jauh di depan.
"Lihat..., lihat!" seru Pendekar Dungu pada kawan buruknya yang masih mendelik
dengan rahang mengejang. Ditunjuknya si Manusia Dari Pusat Bumi.
Jauh di sana, orang yang dimaksud sedang mengalami getaran hebat. Seluruh
tubuhnya bagai diberontaki seribu makhluk tak berwujud. Masih tetap mendongak,
mulut bertaringnya perlahan membuka.
Setelah itu, meluncurlah lengkingan asing yang baru kali ini terdengar di
telinga manusia mana pun.
Lengkingan tinggi, yang langsung menerabas hingga ke sudut hati. Tak keras,
namun amat berpengaruh pada sambaran mereka.
Telinga sepasang tokoh aneh musuh bebuyutan Hakim Tanpa Wajah ini tak terlalu
terganggu oleh jeritan tadi. Tenaga dalam mereka terlalu tinggi untuk bisa
dijatuhkan dengan kekuatan suara seperti itu.
Namun begitu, ada pengaruh lain yang tak lagi terbendung. Semacam ketakutan yang
sulit dijelaskan, mendadak saja menggerayangi diri Lelaki
Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu.
"Sial! Apa yang telah diperbuatnya padaku"!" desis Lelaki Berbulu Hitam tak
mengerti. "Seumur hidup, belum pernah kurasakan perasaan mencekam seperti
sekarang...."
Ketika Hakim Tanpa Wajah melirik Pendekar Dungu, lelaki tua bongkok itu pun
menampakkan wajah pias. Mimiknya seperti orang yang sedang menunggu ajal.
"Dungu! Apakah kau merasakan hal yang sama?"
tanya Lelaki Berbulu Hitam.
Pendekar Dungu lalu menggeleng. "Aku tak tahu apa yang kau rasakan. Bahkan aku
pun tak tahu, apa yang kurasakan saat ini. Semuanya begitu asing...,"
jawab Pendekar Dungu, tak lagi berkesan bodoh seperti sebelumnya. "Apa yang
mesti kita lakukan?"
"Pusatkan pikiranmu, Dungu! Tutup semua indera!
Aku yakin, gelombang suara itu yang menjadi penyebabnya!" ujar Lelaki Berbulu
Hitam memper-ingatkan, di antara pertempuran rasa takut yang menelusup dengan
rasa murka yang menjadi sifatnya.
Dan secepat itu pula Lelaki Berbulu Hitam, bersemadi dalam keadaan berdiri.
Lalu, ditutupnya seluruh indera. Pikirannya langsung dipusatkan pada satu titik
dalam diri. Sementara Pendekar Dungu mengikuti perbuatannya.
Memang benar dugaan Lelaki Berbulu Hitam.
Manusia Dari Pusat Bumi saat ini sedang mengirim satu kekuatan gaib melalui
gelombang suaranya, yang bersumber dari medan kekuatan jahat di satu lapisan
langit yang menjadi tempat bergentayangan-nya para makhluk halus laknat! Ketika
memasuki pintu-pintu indera, kekuatan itu akan segera menyerap habis-habisan
seluruh keberanian dalam
diri manusia yang paling digdaya sekali pun.
Lama kelamaan, lengkingan milik manusia utusan alam kejahatan yang menusuk
angkasa itu kian meninggi. Gelombang suaranya kian bertambah, seiring makin
hebatnya penyergapan kekuatan jahat dari langit!
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu benar-benar mati-matian menghadapi
gempuran tak berwujud yang mencoba merangsek seluruh indera.
Mereka bertahan habis-habisan, seperti dua orang yang mencoba menutup sebuah
pintu. Makala terjadi angin topan maha hebat yang mencoba menguak-nya....
Pertanyaan bagi mereka, bukan lagi apakah mereka mampu mengalahkan kekuatan
jahat itu"
Tapi, apakah mampu bertahan" Kemenangan bagi mereka memang tidak mungkin.
Benteng kekuatan garba mereka tak sebanding kekuatan medan jahat dari langit.
Kalaupun mampu bertahan, akan berapa lama mereka sanggup melakukannya"
Tubuh dua lelaki itu bergetar, bersamaan dengan meningginya lengkingan lawan.
Dari seluruh pori-pori tubuh mereka, mengalir cairan kemerahan. Keringat
bercampur darah! Sesekali tubuh mereka tersentak-sentak. Dan pada puncaknya,
mulut kedua lelaki itu melepas teriakan berbareng, meningkahi lengkingan tinggi
milik Manusia Dari Pusat Bumi. Tapi bukan berarti mereka telah menang.
Sebaliknya, justru mereka baru saja terhempas dalam kekalahan dahsyat.
Bergiliran tubuh keduanya berlutut lemah. Mata mereka menatap sayu, ke arah
Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi secara bergantian.
"He... he... he. Kalau delapan puluh tahun lalu
kalian luput dari pengadilanku, maka kali ini tak bisa menghindarinya lagi...,"
kata Hakim Tanpa Wajah, disertai seringai berhawa maut.
Dihampirinya kedua tubuh lemah itu.
"Apakah masih sanggup melawan, kalau aku mencoba melumpuhkan kalian?" cemooh
Hakim Tanpa Wajah meremehkan.
Tangannya pun diangkat perlahan, seakan hendak menjadikan kedua lelaki
seangkatan dengannya ini sebagai bulan-bulanan.
"Bersiaplah menerima 'hukuman pendahuluan'
dariku," ujar Hakim Tanpa Wajah lagi. "Jarang sekali
'para terhukum' mendapat kehormatan mendapatkan
'Totokan Penyiksa' milikku. Hanya orang-orang yang pernah luput dari
pengadilanku yang akan menerima-nya. Seperti kalian!"
Didahului seringai, Hakim Tanpa Wajah menyalurkan hawa sakti ke tiap jarinya.
Dipersiapkannya satu ilmu yang disebutnya 'Totokan Penyiksa'.
Pada saat itulah, Lelaki Berbulu Hitam menggeram laksana serigala luka. Suaranya
terlempar ke segenap penjuru, hingga jauh ke balik gunung.
Hakim Tanpa Wajah tercekat. Tak pernah disangka kalau lawan masih sanggup
melakukan hal ini. Malah keterkejutannya jadi kesalahan, manakala tangan
bercakar Lelaki Berbulu Hitam merangsek dengan seluruh sisa tenaga.
Saaat! Sebisa-bisanya, Hakim Tanpa Wajah berkelit.
Namun tetap juga cakar Lelaki Berbulu Hitam merobek kafannya, sekaligus membeset
kulit dadanya....
Bret! Betapa murkanya Hakim Tanpa Wajah. Totokan
yang berisi kekuatan terpusat di jari, segera saja dilancarkan ke leher lawan.
Suit! "Grrrh!"
Namun mendadak sebuah geraman lain hadir di dekatnya. Bukan lagi dari mulut
Lelaki Berbulu Hitam, tapi dari moncong dua ekor serigala besar! Begitu tiba,
kedua hewan buas itu langsung saja menerkam jemari Hakim Tanpa Wajah.
Hakim Tanpa Wajah seketika menarik kembali gerak tangannya. Karena begitu kaget
oleh kehadiran yang tiba-tiba dua serigala itu, tubuhnya pun mengambil jarak ke
belakang dengan satu lompatan cepat.
Maka kesempatan itu dipergunakan Lelaki Berbulu Hitam untuk melompat dengan sisa
tenaganya ke punggung dua serigala. Sebuah tali kekang yang terikat menjadi satu
di leher binatang-binatang itu, cepat disambarnya. Kini dia berdiri di atas dua
punggung serigala. Tiap kakinya, berpijak pada satu punggung serigala.
Ketika Hakim Tanpa Wajah masih terpana, Lelaki Berbulu Hitam tanpa membuang
waktu menyambar tubuh Pendekar Dungu. Kemudian, menghentakkan tali kekang. Kini
mereka pun melesat cepat ke atas serigala jejadian....
Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** 2 Seorang pemuda berpakaian hijau-hijau tampak tengah melangkah bersungut-sungut
dan tergesa di sebuah jalan berlumpur. Sesekali kakinya berjingkat, untuk
mencari tempat pijakan yang lebih kering.
Pemuda ini tetap tampan, meski wajahnya terlipat.
Matanya tajam dan alisnya hitam melengkung seperti kapak sayap elang. Anak
rambutnya yang tak pernah ditata berayun-ayun kecil di sekitar dahinya. Di
tangannya ada gulungan kain bercorak papan catur.
Entah sudah berapa kali gulungan kain itu ditinju-tinjunya gemas. Melihat ciri-
cirinya, siapa lagi pemuda itu kalau bukan Andika, alias Pendekar Slebor.
"Benar-benar sial! Enak saja dia menunjukku menjadi orang yang bisa mencegah si
Manusia Siluman atau Manusia Kuman atau manusia apa pun dia! Padahal, sebelumnya
aku sudah dipermainkan mentah-mentah! Pura-pura jadi wanita cantik segala macam.
Jadi nenek pikunlah! Jadi inilah! Itulah....
Tidak sekalian dia jadi kentut!" gerutu Pendekar Slebor seperti khotbah orang
tak waras. Sehari lalu, Andika memang baru saja bertemu si Raja Penyamar di Kampung
Kelelawar. Mendapat semua penjelasan lelaki yang telah mati itu, Pendekar Slebor
jadi mangkel begitu rupa. Biarpun mendapat kehormatan dari tokoh tua kawakan
macam Raja Penyamar sebagai orang satu-satunya yang bisa menghadapi Manusia Dari
Pusat Bumi, tetap saja dia merasa telah dipermainkan. (Baca episode :
"Manusia Dari Pusat Bumi").
Sementara itu pada saat yang sama, seekor burung gagak berwarna hitam sedang
melayang-layang angker di angkasa. Binatang itu terus melakukan putaran jauh di
atas Andika, seolah-olah sedang melakukan pengintaian.
Di atas sana, mata tajam binatang itu memang terus mengawasi Pendekar Slebor.
Sesekali dari paruhnya meluncur keluar suara serak menyeramkan.
Jika gagak itu membentangkan sayap lebar-lebar, dia akan terlihat bagai hantu
dari langit. Lama kelamaan, Andika mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada burung
itu. Langkahnya segera dihentikan untuk memastikan, apakah burung itu hanya kebetulan
mengikuti atau tidak. Dengan berpura-pura duduk di sebatang pohon tua tumbang,
ditunggunya tanggapan si Burung Gagak.
Untuk beberapa saat, burung hitam kelam itu tetap melayang berputar. Dan
mendadak saja, tubuhnya menukik cepat. Sayapnya merapat, sedang paruhnya menusuk
udara di depan.
"Kaaak!"
Tak beberapa lama, si Burung Gagak sudah hinggap ringan di dahan pohon beringin
lebat. Mata kemerahannya terkesan dingin, menantang
kehadiran pendekar muda dari Lembah Kutukan.
Sedangkan kepalanya bergerak kian kemari.
Andika melirik hati-hati, seakan khawatir kalau tindakannya diketahui. Dengan
ujung mata yang menyelidik, mulutnya berbisik.
"Apa maunya burung ini" Belum pernah kutemui binatang bertingkah seaneh itu...."
Tiba-tiba sesuatu mengejutkan burung gagak itu, begitu terdengar suara ranting
kayu kering yang tak
sengaja terinjak di balik pohon beringin. Derak ranting patah itu yang
menyebabkan burung gagak tadi mengepakkan sayap kuat-kuat, lalu merambah angkasa
kembali. Andika pun turut terkejut, meski tak separah burung tadi. Kewaspadaannya cepat
bangkit. Mata tajamnya mengarah siaga ke arah bunyi tadi. Tanpa gerak,
dinantinya sesuatu yang bakal terjadi berikutnya. Yang jelas dia menduga, pasti
ada orang di balik pohon beringin itu.
Namun setelah sekian lama menunggu, tak juga terjadi sesuatu pun. Bahkan orang
di balik pohon beringin besar tak muncul-muncul. Itu menyebabkan
keingintahuannya mendadak muncul.
Dengan langkah hati-hati, Andika mendekati pohon beringin itu. Pengerahan
sebagian ilmu meringankan tubuhnya, membuat langkah Pendekar Slebor tidak
menimbulkan suara sedikit pun, meski berjalan di atas serakan daun kering.
Setibanya di sisi batang besar pohon beringin, Andika mengendap untuk melihat
sisi lain di balik pohon, tempat asal bunyi tadi. Kepala dijulurkannya perlahan.
Tindakannya terlihat bodoh sekali. Padahal, dia bisa saja melompat ringan ke
satu dahan pohon beringin di atas, lalu melihat siapa orang yang ber-sembunyi di
balik tumbuhan besar itu.
Dan kebodohannya harus dibayar oleh keterkejutan luar biasa. Bagaimana dia tidak
terperanjat, kalau pada saat yang sama, ada satu kepala pula yang melongok"
Bahkan hampir-hampir saja wajah Pendekar Slebor tertabrak wajah orang yang
dicurigai. "Siapa kau"!" bentak Andika gusar.
Hidung Pendekar Slebor kontan kembang-kempis, karena terkejut. Cerita Raja
Penyamar, benar-benar
telah membuatnya menjadi orang sakit jantung.
Waktu itu, si Raja Penyamar menceritakan bagaimana mengerikannya si Manusia Dari
Pusat Bumi. Juga, tentang kemungkinan kekuatan-kekuatan alam gaib milik para siluman yang
bisa membantunya.
Karena keterangan itu, Andika jadi terlalu berhati-hati semenjak keluar dari
Kampung Kelelawar. Dalam bayangannya, Manusia Dari Pusat Bumi tentu bisa saja
tiba-tiba muncul tanpa diketahui, lalu membedol jantungnya dengan kekuatan
siluman. "Kau sendiri siapa"!" balas orang di balik pohon.
Suaranya lantang, namun berkesan halus. Tepatnya, suara itu milik wanita.
Andika mengernyitkan alis rapat-rapat. Dia berpikir sejenak. Seingatnya, Manusia
Dari Pusat Bumi yang diceritakan Raja Penyamar bukan wanita. Kalau begitu, orang
di balik pohon ini tentu bukan manusia jelmaan siluman yang dimaksudkan.
"Tapi...," bisik Pendekar Slebor kemudian."... bisa saja siluman congek yang
sedang menyamar jadi wanita...."
"Hey! Apa kau bilang tadi"! Kau menyebut aku siluman congek"!"
Terdengar dampratan gusar dari balik sebatang pohon.
"O, jadi kau bukan siluman congek" Lalu kau siluman apa" Apa sejenis siluman
kibul?" tanya Andika, tanpa maksud meledek sedikit pun.
Pertanyaan itu terlontar begitu saja, karena sedang was-was.
"Diam kau!" bentak orang di balik pohon, makin tersinggung.
"Wait! Apa aku menyinggungmu" Kau tentu bukan siluman kibul, ya" Pas... ti, kau
siluman...," Andika
mengurut-urut kening. "Siluman apa, ya" Hey! Lebih baik kau saja yang
memperkenalkan padaku, siluman jenis apa kau! Aku tak begitu tahu soal siluman-
siluman!" "Manusia tak tahu adat!"
Selesai terdengarnya hardikan itu, kembali terdengar suara pakaian yang
menggelepar di udara.
Orang di balik pohon itu rupanya melompat ke atas dahan pohon beringin.
Tampaknya dia sudah tidak sabar lagi.
Mendengar bunyi itu, Andika dengan sigap memasang kuda-kuda siap tempur.
Kepalanya mendongak tegang ke atas pohon, langsung melihat seorang wanita yang
sudah amat dikenalnya dulu!
*** "Brengsek kau!" maki sebuah suara wanita dari atas pohon beringin.
Selincah dan seanggun burung manyar, wanita itu melompat turun. Lalu dia berdiri
tepat di depan pemuda yang baru saja dimakinya. Tangannya cepat terangkat, siap
mendaratkan tamparan ke pipi pemuda di depannya.
Plak! Tamparan itu pun benar-benar jatuh pada pipi kiri pemuda berpakaian hijau-hijau
yang memang Andika.
Sementara Pendekar Slebor itu sendiri masih terpana-pana melihat wanita yang
baru saja muncul.
Tak ada akibat yang parah dari tamparan itu. Di pipinya, Andika malah merasakan
satu kehangatan serta kemanjaan.
"Kenapa jadi bengong begitu" Apa kau sudah tak kenal lagi padaku?" sentak wanita
itu seraya menyusul satu cubitan gemas ke perut Andika.
Pendekar Slebor meringis. Perutnya jadi begitu pedas.
"Purwasih...?" gumam Andika.
Purwasih, seorang gadis cantik putri Raja Alengka.
Tubuhnya yang berkulit agak kecoklatan agak mungil ditutup ketat oleh pakaian
hijau lumut. Begitu menggemaskan. Dia tampak lebih muda daripada usia yang
sebenarnya dengan rambut dikepang ekor kuda. Wajahnya mungil, dengan mata bulat
yang dihiasi bulu lentik. Hidungnya tipis dan mancung, membatasi sepasang
matanya. Semuanya makin sempurna dengan bentuk bibirnya yang menantang.
Sebagai seorang pendekar wanita yang cukup kondang dengan julukan Naga Wanita,
kehadirannya selalu ditemani pedang bergagang kepala naga yang tergantung di
punggung. (Tentang Purwasih, baca episode : "Dendam dan Asmara").
Sebenarnya antara Purwasih dengan Andika masih ada pertalian darah. Buyut Andika
yang bergelar Pendekar Lembah Kutukan, adalah salah seorang keluarga istana
juga. "Ya, aku memang Purwasih. Tapi, kenapa kau memandangku seperti melihat hantu?"
tanya Purwasih.
"A..., aku hanya hampir pangling," Andika ter-gagap. "Tak kusangka setelah
sekian lama berpisah, kau kian cantik mempesona."
"Gombal!"
"Sungguh!" tegas Andika sambil meraba dadanya.
"Kenapa?" tanya Purwasih lagi.
"Hanya memeriksa jantungku. Aku takut, jantung ini tahu-tahu berhenti karena
begitu kaget melihat kecantikanmu...."
"Kau makin gombal!"
Andika tertawa berderai. Saat itulah Purwasih yang begitu rindu, menubruknya.
Bahu kekar Andika dirangkul, seperti sikap seorang kakak yang bertemu adik
lelakinya setelah terpisah bertahun-tahun.
Tawa Andika terpenggal mendadak. Sementara akar pohon beringin di bawahnya
tersangkut di kaki.
Sedangkan tubuhnya sudah telanjur terdorong oleh rangkulan Purwasih.
"E... e-e-e!" teriak Andika. Lalu....
Bruk! Keduanya langsung terjatuh. Beruntung bagi Purwasih karena jatuhnya di atas
tubuh Andika. Sebaliknya, naas bagi Andika. Kepalanya langsung dikecup sebongkah batu sebesar
kepalan tangan yang memaksanya harus meringis-ringis ber-kepanjangan....
Sekarang giliran Purwasih melepas tawa kecilnya.
Sebelum terlalu lama, Andika cepat menekan bibir gadis jelita itu dengan jari
telunjuk. Lama, ditatapnya Purwasih. Sehingga, membuat gadis ini merasakan
debaran-debaran tak beraturan di dada.
"Apakah Andika akan berbuat yang macam-
macam?" tanya Purwasih membatin.
Sebenarnya sudah terlalu lama Purwasih berharap Andika memiliki perasaan yang
sama seperti dirinya.
Kalau hari ini harus menerima pernyataan perasaan itu dari Andika, betapa
berbunga-bunga hatinya.
Mata sarat bulu lentik milik Purwasih perlahan terpejam.
"Kenapa kau seperti orang mengantuk?" tanya Andika, mengejutkan Purwasih.
Dara cantik ini sama sekali tak menduga Andika akan membisiki kalimat itu.
"Aku pikir...."
Kalimat Purwasih terpenggal, tak sanggup dilanjut-kannya. Sebab dia yakin,
Andika pasti menemukan rona merah di kedua belah pipi halusnya.
"Ah! Kau ini kenapa jadi berpikir macam-macam,"
bisik Andika lagi. "Aku tadi mendengar suara men-curigakan."
Perlahan Andika bangkit, diikuti Purwasih. Sesaat kemudian mereka sudah
mengedarkan pandangan ke segenap penjuru. Tak ada seorang pun yang terlihat.
"Aku tak melihat seorang pun," kata Purwasih.
"Bahkan aku tak juga mendengar suara men-curigakan seperti katamu tadi."
Tapi.... "Andika.... Temui aku di Sungai Mati sebelah utara."
Andika mendadak saja mendengar bisikan halus singgah ke dalam liang telinganya.
Begitu halus, hingga hanya dia sendiri yang bisa menangkapnya.
Dari warna suara tadi, Andika segera bisa menduga siapa sesungguhnya orang yang
telah mengirim bisikan jarak jauh tersebut. Suara yang belum lama dikenalnya.
Raja Penyamar. "Purwasih.... Menyesal sekali aku harus pergi,"
pamit Andika. Pendekar Slebor sadar, Raja Penyamar tentu hendak menyampaikan sesuatu yang
penting. "Aku ikut Andika," pinta Purwasih. Wajahnya menampakkan sinar kekecewaan.
Bagaimanapun juga, rindunya belum lagi tuntas.
"Bukan aku tak mau mengajakmu. Tapi tampaknya urusan ini harus kulakukan
sendiri," cegah Andika sungguh-sungguh.
Purwasih memain-mainkan jemarinya. Wajahnya tertunduk dalam.
"Kalau begitu, kapan kita bisa berjumpa lagi?"
ungkap gadis itu agak melemah.
Andika berpikir sejenak.
"Bagaimana kalau di pura tua sebelah timur kaki Gunung Sumbing?" tawar Andika.
"Aku berjanji akan menemuimu di sana, pada hari ke tiga setelah purnama."
Purwasih mengangguk lamban dan berat.
"Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit Andika sekali lagi diiringi sebaris senyum
menawan. Senyum yang mampu meruntuhkan hati gadis mana pun juga.
Baru saja Andika hendak berangkat....
"Andika tunggu!" sentak Purwasih, menahan langkah Pendekar Slebor.
Andika menoleh. Mimik wajahnya seolah hendak bertanya kenapa Purwasih masih juga
menahannya. "Hati-hatilah," pesan gadis itu sendu.
Andika menarik napas sejenak, lalu melangkah pergi. Bukannya dia tak tahu,
bagaimana perasaan Purwasih terhadapnya. Hanya saja, Andika tak pernah memiliki
perasaan yang sama.
Tinggallah Purwasih menatapi kepergian Pendekar Slebor.
"Aku masih rindu padamu, Andika..," bisik gadis itu, sendu sekali.
Purwasih memang tak bisa berbuat apa-apa. Gadis ini amat tahu pribadi Andika.
Kalau pemuda itu berkata hendak menyelesaikan urusan sendiri, maka akan
dilakukannya sendiri. Hitam baginya harus hitam. Putih baginya harus putih.
Berkeras bagi Purwasih pun, sama sekali tak berguna.
*** Jika dengan berkuda, jarak yang harus ditempuh Andika ke Sungai Mati di sebelah
utara akan memakan waktu setengah hari. Maka paling tidak Pendekar Slebor bisa
tiba di sana menjelang malam nanti. Lain lagi kalau ditempuhnya dengan berlari.
Pengerahan ilmu meringankan tubuh warisan Pendekar Lembah Kutukan cukup untuk
mem-persingkat waktu hingga tiba lebih awal.
Kala ini matahari mulai terpuruk di kaki langit sebelah barat. Sinar Jingganya
memulas permukaan Sungai Mati yang tak lagi mengalir sejak beberapa puluh tahun
belakangan ini. Terpaan angin mengusili permukaannya, membuat cahaya pantulan
matahari menjadi terencah-rencah menjadi sinar kecil-kecil.
Tak lama berselang setelah Andika sampai, Raja Penyamar pun muncul dalam
penampilan aslinya.
Seorang kakek tua berjenggot putih yang menguncup di ujungnya. Kepalanya
berambut putih pendek, dibelit kain batik, seperti bentuk blangkon Parahiangan.
Wajahnya dipenuhi kerutan yang berkesan berwibawa. Sinar mata tuanya pun begitu
sejuk. Dia mengenakan baju coklat rapat berkerah pendek, serta bercelana pangsi
hitam. Raja Penyamar muncul begitu saja di atas permukaan air sungai. Jika ditilik dari
caranya berdiri, sehelai bulu pun mungkin kalah ringan dibanding tubuhnya. Bisa
dimaklumi, sehab wujud sebenarnya dari lelaki itu sudah berupa roh.
"Ada apa memanggilku, Raja Penyamar?" tanya Andika. "Terus terang saja,
sebenarnya aku enggan bertemu denganmu. Aku masih jengkel oleh semua ulahmu
padaku beberapa waktu lalu."
"Ah! Anak Muda..., Anak Muda. Apa kau tak memiliki sedikit kesabaran dalam
menghadapi tingkah si Tua Bangka ini?" gurau Raja Penyamar, tokoh tua yang amat
disegani pada masa jayanya delapan puluh tahun silam.
Beberapa tahun lalu. Raja Penyamar telah mati karena penyakit yang tak bisa
disembuhkan. Berkat kuasa Tuhan Penguasa Alam, rohnya masih tetap hidup untuk
menjalani tugas mulia, menyelamatkan manusia dari tangan biadab Manusia Dari
Pusat Bumi. Walaupun upaya penyelamatan itu dibantu orang.
"Ah, sudahlah! Tak perlu lagi berbasa-basi, Orang Tua!" sergah Andika. "Katakan
Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja, apa ke-pentinganmu memanggilku ke tempat ini?"
Raja Penyamar mengangguk-angguk sebentar.
Sementara bibirnya tetap tersenyum.
"Aku tahu, baru kali ini kau menghadapi persoalan yang berkaitan dengan dunia
siluman...," kata Raja Penyamar lagi.
"Ya, kuakui masalah baru ini membuatku mendadak jadi orang jantungan. Kau tahu,
betapa tak enaknya berjalan di atas bumi dengan perasaan waswas karena khawatir
siluman-siluman bisul segala macam seperti yang kau sebutkan, akan mencekik
leherku tiba-tiba?" cerocos Andika bernafsu.
"Ha... ha... ha!" Raja Penyamar tertawa.
"Kenapa tertawa"!"
"Kini aku baru percaya, bahwa setiap manusia sesungguhnya pasti memiliki rasa
takut juga...."
"Hey"! Tapi itu bukan berarti aku pengecut!"
sentak Andika tersinggung.
"Ya..., ya. Apa pun namanya itu...."
"Pokoknya aku bukan pengecut!" tandas Andika
tak peduli. "Sekarang, katakan saja. Apa maksudmu?"
"Aku tadi baru hendak menjelaskan, tapi kau menyelak...," sindir Raja Penyamar.
"Baik..., baik. Aku tak akan menyelak lagi! Ayo katakan!"
Raja Penyamar diam sesaat.
"Sekarang aku sudah boleh bicara?" usik Raja Penyamar.
"Dari tadi juga sudah kutunggu!"
Akhirnya pembicaraan yang sungguh-sungguh bisa berlanjut juga.
"Karena aku tahu, kau harus menghadapi seperti ini. Maka kau membutuhkan sesuatu
yang bisa mem-bantumu," papar Raja Penyamar.
"Apa itu?"
"Sebuah Cermin Alam Gaib. Dengan benda itu, kau akan dapat mengetahui setiap
kehadiran siluman-siluman itu. Meskipun, mereka makhluk-makhluk halus...."
"Di mana bisa kudapat benda itu?" tanya Andika bersemangat.
"Di Rimba Slaksa Mambang...."
*** 3 Kalau ada tempat yang paling menggidikkan dan tak seorang pun mau mendekati,
maka salah satunya adalah Rimba Slaksa Mambang. Sesuai sebutannya, konon hutan
belantara itu adalah tempat ber-semayamnya para makhluk halus.
Tepat di jantung Rimba Slaksa Mambang, tumbuh pohon amat besar berusia ratusan
tahun. Di sanalah terletak pintu penghubung dari alam nyata, menuju alam gaib.
Pohon itu sangat besar seperti pohon beringin.
Batangnya saja sebesar tiga atau empat ekor kerbau tua. Warnanya hitam kusam
kehijauan, karena di-selimuti lumut liar. Di sana-sini merangas oyot pohon yang
menjulur dari atas ke bawah, seolah tangan-tangan bisu dari dunia lain. Akarnya
sudah meninggi seperti sekat-sekat ruangan pemandian mayat.
Daunnya begitu lebat, tak memberi kesempatan secercah pun bagi cahaya untuk
masuk. Bagi manusia waras, merambah tempat ini adalah tindakan gila yang paling gila.
Tapi, tidak bagi seorang pemuda berambut gondrong berpakaian hijau-hijau dengan
selembar kain bercorak catur tersampir di bahu.
Tak ada hal yang terlalu gila untuk dilakukan pemuda itu, selama menyangkut
keadilan dan kebenaran. Terkadang, kegilaan baginya adalah sekadar cara mencapai
tujuan tadi. Lalu, pendekar mana lagi yang kerap bermain-main dengan tindakan
gila kalau bukan si Pendekar Slebor"
Seperti petunjuk Raja Penyamar, Andika telah tiba di Rimba Slaksa Mambang.
Setelah menerobos onak berduri, semak belukar dan simpang siurnya batang
pepohonan. Pendekar Slebor akhirnya tiba pula di dekat pohon angker tadi.
Dari jarak dua puluh tombak, Pendekar Slebor memandangi pohon raksasa itu dengan
pandangan takjub. Bila dibanding-banding, tubuhnya hanya seperti kuku dengan
pohon itu. Beberapa kali kepala Andika mendongak, untuk menatap ubun-ubun
tumbuhan raksasa itu. Dan beberapa kali pula kepalanya harus digeleng-gelengkan.
Orang lain mungkin akan berpikiran yang bukan-bukan saat itu.
Andika sendiri justru sedang menyadari bahwa keberadaan manusia seperti dirinya
di alam semesta ini, sebenarnya terlalu kecil. Mungkin hanya sekadar debu di
antara debu yang lebih besar.
Puas menghela napas, Andika mulai memusatkan perhatian kembali pada tugasnya
untuk menemukan Cermin Alam Gaib yang menurut Raja Penyamar, tergolek dalam
salah satu lubang pohon raksasa.
Pendekar Slebor mendekati pohon raksasa itu.
Makin dekat, makin terlihat jelas bagaimana rupa tumbuhan ini. Ternyata di
batangnya, banyak terdapat lubang dalam berukuran sebesar kepala manusia.
Kesulitan pertama bagi Andika adalah, bagaimana cara menemukan satu lubang yang
di dalamnya terdapat Cermin Alam Gaib" Sementara, Raja Penyamar tak pernah
menyinggung-nyinggung soal itu.
"Jempol kerbau! Bagaimana aku bisa menemukan benda itu kalau lubangnya saja
begitu banyak," rutuk Andika. "Kalau aku rogoh setiap lubang, bisa saja ada
binatang berbisa di dalamnya. Apa si Tua Brengsek ini menganggapku sudah kebal
racun?" Sesaat dipandanginya lagi batang pohon. Sampai akhirnya, diputuskannya untuk
memeriksa setiap lubang dengan ranting kering. Setelah didapatinya ranting
kering, Andika pun mulai melakukan pemeriksaan. Satu persatu, disodoknya.
lubang-lubang itu dengan hati-hati. Pada lubang kelima, tiba-tiba saja seekor
ular pohon berbisa mematuk keluar.
Andika tercekat. Wajahnya pasti akan langsung jadi santapan empuk bisa ular itu
kalau tak cepat berkelit. Dengan ranting kayu di tangan kanannya, kepala ular
berbisa tadi langsung dihantamnya, dengan telak.
Prak! Tanpa sempat berdesis lagi, binatang itu menemui ajal.
Pendekar Slebor menarik napas lega. Lubang-lubang di bagian paling bawah telah
selesai diperiksa.
Tak ada satu tanda pun didapat untuk menunjukkan kalau Cermin Alam Gaib berada
di dalamnya. Dengan begitu, Pendekar Slebor harus memeriksa lebih ke atas.
Masih tetap berhati-hati, Andika mulai merayapi kulit pohon. Tonjolan-tonjolan
keras dimanfaatkannya untuk pijakan dan pegangan. Lalu sebagian demi sebagian
batang pohon dirayapinya. Sementara itu, tangannya terus memasukkan ranting kayu
ke setiap lubang.
Ketika hari mulai terjebak dalam kegelapan, Andika baru bisa memeriksa sampai di
tengah batang pohon. Sungguh sebuah pekerjaan yang tak ringan, nilainya. Sampai
pada lubang keseratus tiga puluhan, barulah Pendekar Slebor mendapat satu
keganjilan. Ranting kayu di tangannya bertumbuk dengan suatu benda hingga menimbulkan bunyi
yang lain dari sebelumnya. Krang! "Nah! Kalau aku beruntung, pasti di lubang ini Cermin Alam Gaib terdapat. Kalau
apes, paling-paling aku hanya menemukan piring kaleng rombeng bekas kenduri para
dedemit," gurau Pendekar Slebor menghibur diri. Paling tidak, dengan begitu dia
lebih yakin untuk memasukkan tangannya ke dalam lubang.
Dengan tetap berpegangan erat pada satu tonjolan kulit pohon, Andika memasukkan
satu tangan ke dalam lubang tadi. Mulanya sebatas pergelangan tangan. Lalu,
lebih dalam sampai sebatas siku.
Sampai akhirnya, sebatas bahu. Tapi sejauh itu, tangannya tidak menemukan apa-
apa. "Aneh...," bisik Andika. Diperhatikannya ranting kayu yang sebelumnya diselipkan
di balik baju. "Padahal ranting kayu ini tidak lebih panjang dari tanganku."
Memang, kalau ranting itu tadi menyentuh sesuatu, tangan Andika justru tak
menyentuh apa-apa. Bahkan dasar lubang itu sekali pun. Sementara, tangannya
sudah tidak bisa dijulurkan lebih dalam lagi.
Untuk meyakinkan diri. Andika mengeluarkan tangannya. Kembali lubang itu
disodoknya dengan ranting kayu.
Tring! Sekarang terdengar lagi suatu bunyi. Namun suaranya lebih tinggi dari yang
pertama. Andika meringis. Benar-benar dia tak habis pikir.
"Ada yang aneh dengan lubang ini," simpul Pendekar Slebor kemudian. Hanya itu
yang bisa diperbuat. Selebihnya, dia masih tetap bingung.
Sementara itu, matahari sudah tenggelam
seluruhnya di kaki langit barat. Sisa sinar Jingga pun terkubur gelap. Hari
telah berganti, dan waktu para makhluk halus untuk bergentayangan di mayapada
telah tiba. Dalam kepekatan suasana Rimba Slaksa
Mambang, berpasang-pasang mata bermunculan satu persatu. Dari semak, dari kulit
pohon, dari ranting besar, bahkan dari dedaunan.
Wujud-wujud asing menyusul muncul tanpa pernah disadari Pendekar Slebor. Satu,
dua, tiga, dan seterusnya. Mereka menampakkan diri dengan bentuk masing-masing.
Benar-benar suasana yang menyeramkan.
Saat yang sama, kesusahpayahan Andika menggapai dasar lubang tiba-tiba hilang
sama sekali. Mendadak saja, tangannya menyentuh sesuatu.
Seolah, benda itu datang dengan sendirinya.
Sementara itu bulu-bulu halus di sekujur tengkuk Andika meremang. Dia sama
sekali tak bisa mengerti, apa yang terjadi. Dan ketika tangannya ditarik untuk
melihat benda yang dipegangnya, sehimpun suara menggidikkan memadati tempat itu.
Tak seperti tawa.
Tak juga seperti tangis. Tak seperti jeritan. Tak juga seperti gumaman. Semuanya
begitu asing....
*** "Pengadilan menanti!"
Satu teriakan membawa Andika kembali ke alam kesadaran. Kelopak matanya segera
dibuka. Sinar siang, tajam menusuk, membuat Pendekar Slebor berkali-kali
mengerjap silau. Wajahnya menengadah langit, karena tubuhnya sudah tergeletak
entah di mana. Yang terakhir diingatnya hanya suasana Rimba Slaksa Mambang yang mendadak asing
sewaktu mencoba menemukan Cermin Alam Gaib. Sewaktu tangannya ditarik dari
lubang, suara-suara aneh sempat didengarnya. Setelah itu, dia tak sadarkan diri
sama sekali. Seakan-akan, seluruh kesadarannya dibetot oleh suatu kekuatan.
Padahal, benda yang terpegang tangannya belum lagi dilihatnya.
Seiring keluhan kecil, Andika mencoba bangkit.
Sakit pada beberapa bagian tubuh, membuatnya harus bersusah payah menegakkan
punggung. Kini dilihatnya sebuah dataran kosong tandus. Tanah kering berdebu
kecoklatan di mana-mana. Sedang di kejauhan sana, hanya terlihat jajaran
pegunungan mengurung tempat ini.
"Di mana aku?" bisik Pendekar Slebor. "Mengapa tiba-tiba aku ada di tempat ini?"
Sebelum pertanyaan itu terjawab, kembali terdengar teriakan kedua.
"Pengadilan menanti!"
Pendekar Slebor tersentak. Dengan sigap, dicobanya berdiri. Lalu dicarinya asal
suara tadi. Tanpa sulit-sulit, dilihatnya dua sosok di kejauhan. Cara berdiri
mereka begitu mengancam di mata Andika.
"Siapa pula mereka?" tanya Pendekar Slebor kemudian.
Penasaran dengan wajah kedua orang itu, Andika mengangkat tangan di atas alis
matanya untuk menahan sinar matahari yang menusuk, sehingga tak begitu jelas
melihat siapa yang hadir. Tiba-tiba, Pendekar Slebor baru sadar kalau di
tangannya tergenggam sesuatu. Sewaktu dilihat, ternyata sebuah cermin selebar
jengkalan tangan. Bentuknya bulat,
dengan bingkai kayu hitam serta setangkai gagang tempat tangannya menggenggam.
"Inikah cermin yang dimaksud Raja Penyamar"
tanya Andika membatin.
Seperti sebelumnya, pertanyaan itu pun dipenggal oleh teriakan yang sama.
"Pengadilan menanti!"
Andika menjadi jengkel. Teriakan yang sama dengan suara serak memekakkan, tentu
saja amat memuakkan. Andika melirik kesal dengan ujung mata. Kemudian....
"Peduli setan! Peduli tuyul!" maki Pendekar Slebor sembarangan, dengan teriakan
pula. Salah seorang yang dimaki terkekeh mendengarnya. Terdengar sama menyebalkannya
dengan teriakan tadi. Andika berpikir, kalau bukan orang tak berotak, tentunya
mereka orang sinting. Bila orang waras, mana mungkin tak tersinggung dengan
makiannya. Silat slebor Andika tampaknya tak akan berguna menghadapi orang sesinting
mereka. Seperti halnya menghadapi Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu dulu
(Baca episode : "Manusia Dari Pusat Bumi"). Justru, malah Andika sendiri yang
dibuat kelimpungan menghadapi tingkah simpang siur kedua lelaki tersebut.
"Sebenarnya apa yang kalian mau dariku?" tanya Andika akhirnya.
"Tak banyak," sahut seorang yang dikenal sebagai Hakim Tanpa Wajah. "Kami hanya
ingin mengadilimu di Pengadilan Perut Bumi...."
"Mengadili" He... he... he!" giliran Andika terkekeh.
"Dugaanku ternyata benar. Kalian memang orang sinting! Tapi, tunggu dulu...."
Andika langsung teringat pada cerita Raja Penyamar di Kampung Kelelawar beberapa
waktu lalu. "Kalian tentu Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi...," duga Pendekar
Slebor yakin. "Tepat sekali!" jawab Hakim Tanpa Wajah.
"Nah!" Andika menjentikkan jari tangan. "Kalau begitu, pucuk dicinta..., ulam
tiba!" "He... he... he. Baru kali ini aku bertemu 'seorang tertuduh' begitu bersemangat
berhadapan denganku," tukas Hakim Tanpa Wajah.
Andika berjalan mendekati mereka. Sampai sekitar delapan tombak, barulah dia
berhenti. Ditatapnya wajah dan perawakan mereka satu-satu.
"Kau pasti Hakim Berwajah Tembok!" sebut Pendekar Slebor seraya mengacungkan
jari ke wajah Hakim Tanpa Wajah. Lalu, matanya memutar ke Manusia Dari Pusat
Bumi. "Sedangkan kau pasti Manusia Dari Lobang Koreng!"
Mendapat cemoohan pemuda dari Lembah
Kutukan itu, lagi-lagi Hakim Tanpa Wajah terkekeh tanpa beban. Lain halnya
Manusia Dari Pusat Bumi dengan wajah yang tetap dingin, kakinya melangkah dua
tindak ke depan.
"Dengan ini, kau kutuntut atas beberapa
kesalahan. Bahwa kau telah bersalah, banyak mencampuri urusan orang lain. Bahkan
bertindak gegabah membunuh para pengacau dunia!" papar Manusia Dari Pusat Bumi,
bagai seorang jaksa penuntut dalam sebuah pengadilan.
Mulut Andika kontan mencibir. "Heh! Kalau semua orang menganggap menegakkan
keadilan sama dengan mencampuri urusan orang, bisa cepat kiamat dunia ini...."
"Kau juga bersalah karena telah mencuri sebuah cermin dari Rimba Slaksa
Mambang!" lanjut Manusia Dari Pusat Bumi tanpa peduli dengan tanggapan sinis
Pendekar Slebor.
Acuh tak acuh, pemuda berpakaian hijau itu mengangkat cermin di tangannya ke
depan. "O, ya. Aku hampir lupa memberitahukanmu.
Dengan cermin ini, aku akan bisa menghadapimu meski kau menguras seluruh ilmu
gaibmu dan mengundang seluruh siluman sial untuk
membantu...."
"Salah!" terabas Manusia Dari Pusat Bumi, begitu dingin. "Justru cermin itu akan
membuatmu makin sulit untuk mengalahkanku..."
Sekali ini Andika benar-benar dibuat terperanjat habis-habisan. Pasti ada
sesuatu yang tak beres telah terjadi, begitu pikir Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu?" tanya Andika seperti tak yakin dengan pendengarannya.
"Cermin itu adalah benda milik para siluman yang dipersiapkan selama ratusan
tahun, untuk mengokoh-kan kehadiranku sebagai 'pemelihara angkara murka'!"
Jantung Andika seperti hendak berhenti berdenyut saat itu juga. Darahnya seperti
berhenti mengalir, dan benaknya seperti dikosongkan tiba-tiba. Baru disadari
kalau dia telah melakukan kesalahan besar. Juga baru diingat kalau Raja Penyamar
yang ditemuinya di Sungai Mati, tak pernah meninggalkan aroma bunga sedap malam
layaknya kebiasaan Raja Penyamar (Baca episode : "Manusia Dari Pusat Bumi").
"Tentu ada siluman yang telah menyamar menjadi Raja Penyamar untuk menipuku.
Lalu, aku dimanfaatkan untuk mengantarkan benda laknat ini pada
Manusia Dari Pusat Bumi. Sebagai makhluk kasar aku dimanfaatkan, karena mereka
tak bisa membawa sendiri benda ini, akibat sekat antara alam halus dan
kasar...," simpul Pendekar Slebor geram.
Untuk pertama kalinya, wajah dingin Manusia Dari Pusat Bumi menampakkan
seringai. "Keparat!" rutuk Andika.
Kemarahan Pendekar Slebor meledak sudah.
Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diangkatnya Cermin Alam Gaib tinggi-tinggi. Dengan seluruh kekuatan warisan
Pendekar Lembah Kutukan yang terkerahkan akibat kemurkaannya, tentu benda tipis
itu akan hancur berkeping-keping seperti kerikil kala Andika menghantamkannya ke
lutut. Siat! Tak! Cermin di tangan Andika seketika bertumbukan amat keras dengan lututnya. Namun
hasilnya bukan-lah seperti yang diduga sebelumnya, benda itu tetap utuh seperti
tak pernah terjadi apa-apa. Sebaliknya, sehimpun rasa nyeri tak terhingga
melabrak Andika saat itu juga.
"Aaakh!"
Teriakan menyayat terlepas dari kerongkongan pendekar muda itu. Bersamaan dengan
teriakannya, Cermin Alam Gaib terlepas jauh ke angkasa. Benda itu seketika
melayang dalam putaran cepat. Pantulan sinar matahari berkerjap-kerjap dari
permukaannya, bagai cemoohan bagi Pendekar Slebor.
Meski menderita sakit luar biasa, Andika masih mampu menjaga akal sehatnya.
Jelas benda itu akan berbahaya jika jatuh ke tangan Manusia Dari Pusat Bumi.
Maka tanpa mempedulikan rasa sakit yang menjalari serat-serat tubuhnya, Pendekar
Slebor sebisa-bisanya menghentakkan kakinya penuh tenaga. Maka tubuhnya langsung
melayang menyusul
Cermin Alam Gaib.
"Hiaaa!"
Sekejap di belakangnya, Manusia Dari Pusat Bumi mengikuti tindakan Pendekar
Slebor. Tak kalah tangkas, tubuhnya melayang ke udara dari arah berlawanan. Tak!
Di udara, tangan Pendekar Slebor yang hendak menggapai cermin dihadang dengan
tendangan ungkit yang lurus di depan dada. Maka seketika telapak tangan Andika
tersodok telak ujung jari kaki pemuda bertaring itu. Kemudian disusul dengan
sambaran tangan kanan, seperti gerakan menyampok untuk merebut Cermin Alam Gaib.
Tak! Andika cepat mengirimkan serangan susulan. Satu gerak menyabet ke dalam
dilepaskan tangan kiri untuk menahan pergelangan tangan Manusia Dari Pusat Bumi
yang hendak menggapai Cermin Alam Gaib. Akibatnya, pergelangan tangan mereka
ber-hantaman keras.
Ketika titik balik luncuran cermin tiba, kedua pemuda gagah berbeda silat dan
usia itu sama-sama saling melancarkan tebasan-tebasan amat cepat.
Satu menghantam, yang lain menangkis. Begitu pula sebaliknya. Bahkan tindakan
itu sampai tubuh mereka mulai meluncur turun, menyusul menukiknya Cermin Alam
Gaib. Khawatir Hakim Tanpa Wajah memanfaatkan
kesempatan itu untuk menyambut cermin dari bawah, Pendekar Slebor cepat-cepat
melepas kain pusaka dari bahunya pada kesempatan yang begitu tipis.
Srat! Kecepatan yang sulit tertandingi warisan Pendekar Lembah Kutukan, cukup memberi
Pendekar Slebor
kesempatan untuk menyabetkan kain pusaka ke arah Cermin Alam Gaib.
Tar! Pendekar Slebor memang sempat mengenyahkan cermin, jauh dari jarak jangkauan
Hakim Tanpa Wajah. Tapi untuk itu, dia harus menebusnya dengan akibat yang tak
ringan. Mendadak saja hantaman punggung tangan Manusia Dari Pusat Bumi telah
menyodok dadanya.
Des! Saat itu juga, arah luncuran tubuh Pendekar Slebor berubah cepat. Tubuhnya tidak
lagi meluncur lurus ke bawah, melainkan meluncur dalam arah menyimpang ke
belakang akibat hantaman tenaga Manusia Dari Pusat Bumi. Sepotong erangan
tertahan langsung tercipta. Setelah itu, Pendekar Slebor tak ingat apa-apa.
Dunia bagai dirampas tiba-tiba.
Semuanya menjadi gelap..., gelap.
*** Malam ini adalah hari ketiga setelah purnama.
Kaki Gunung Sumbing disapu rata oleh cahaya temaram rembulan yang mulai
meramping. Di sebelah timur kaki gunung, sebuah pura tua berdiri dingin di
atasnya. Di dalam bangunan itu, Purwasih duduk gundah di antara siraman cahaya lembut api
unggun. Wajah gelisahnya berpendar-pendar akibat pantulan cahaya, membuatnya
terlihat demikian anggun menawan.
"Ke mana Andika?" tanya Purwasih pada diri sendiri. "Tak mungkin dia ingkar
janji. Aku tahu pribadinya. Lalu, kenapa sampai selarut ini dia belum juga
datang?" Sudah begitu lama dara jelita berjuluk Naga Wanita itu menanti kehadiran jejaka
pujaan hatinya.
Selama itu, perasaannya terus saja terombang-ambing oleh kegelisahan. Dia
sendiri tak memahami, kenapa bisa begitu.
Untuk sedikit mengusir rasa yang tak enak itu, Purwasih melamunkan kejadian yang
lalu, yang pernah dialami bersama Andika. Ya! Saat-saat indah memang pernah
dialaminya bersama si Pemuda itu.
Kala di mana dia begitu dekat serta berbagi suka dan duka dalam suatu tugas
negara, menumpas
Gerombolan Begal Ireng. Tapi mungkin saja saat itu, Purwasih tahu kalau Andika
hanya menganggapnya sebagai mitra seperjuangan. Atau mungkin menganggapnya
sebagai saudara perempuan, karena sesungguhnya mereka berdua masih memiliki
pertalian darah. (Baca episode : "Dendam dan Asmara").
Sesaat kemudian, bibir ranum Purwasih mengem-bangkan senyum tipis, manakala
benaknya terngiang kembali ucapan-ucapan urakan Andika padanya yang sering kali
keterlaluan dan menggemaskan.
"Andika..., Andika...," bisik gadis itu tak sadar.
"Hey, Gadis Cacingan!"
Tiba-tiba saja sebuah suara merobek lamunan Purwasih. Dengan sigap, tangan
pendekar wanita itu meraih gagang pedang di punggungnya.
Sret! "Siapa kau"!" bentak si Naga Wanita seraya mengacungkan mata pedang ke depan.
Dari pintu masuk, muncullah seorang nenek tua berpunuk seperti onta. Rambutnya
demikian panjang, hingga terseret-seret di tanah. Tak seperti nenek tua biasa,
dia mengenakan baju panjang warna Jingga mencolok. Pipinya yang kendor, tampak
bergerak- gerak sewaktu mengunyah gulungan sirih.
Seperti tak peduli dengan pertanyaan gusar Purwasih, nenek peot itu terus
mendekati Purwasih.
"Apa kau tak dengar kalau kusebut gadis
cacingan?" kata nenek itu.
"Apa maksudmu, Nenek Tua?" tanya Purwasih lebih sopan, sewaktu mengetahui siapa
yang masuk. Pedang berkepala naga di tangannya diturunkan. Dia tak ingin terlihat tidak
sopan pada orang tua uzur itu.
"Apa maksudmu" Huh! Buat apa kau masih terus menunggu di sini" Terbengong-
bengong seperti orang cacingan?"
"Aku menunggu seseorang, Nek."
"Pemuda berpakaian hijau-hijau berwajah ningrat, tapi berpenampilan gembel itu?"
terabas si Nenek Peot semena-mena.
"Dari mana Nenek tahu?" tanya Purwasih heran.
Si Nenek Peot mengibaskan tangan di udara.
"Haaah! Itu soal sepele!" tukas si Nenek. "Kau tak perlu tahu dari mana aku
tahu. Yang sekarang justru harus kau tahu adalah.... Ah slompret! Kenapa aku
jadi pelupa begini?"
Si Nenek Pikun memainkan gulungan sirih di mulutnya. Untuk beberapa saat bia
tampak berpikir keras.
"O, iya! Aku ingat sekarang. Yang perlu kau ketahui, pemuda yang kau tunggu
sekarang ini sedang sekarat...."
"Apa"!" sentak Purwasih begitu khawatir.
"Sabar-sabar.... Jangan terburu nafsu! Anak muda sial itu masih cukup kuat untuk
tetap bertahan hidup...."
"Di mana dia, Nek"!" desak Purwasih, tak sabar.
"Di danau dekat pinggiran Rimba Slaksa
Mambang," jawab si Nenek acuh sambil melenggang keluar. Seiring dengan itu,
wangi bunga sedap malam segera menebar memenuhi ruangan.
*** 4 "Kira-kira, ke mana lagi kita harus mencari pemuda bertanda bintang itu, Dungu?"
tanya Lelaki Berbulu Hitam pada kawannya yang berotak bebal.
Setelah lolos dari tangan Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi, kini
mereka sudah tampak jalan beriringan pada sebuah jalan setapak.
"Gara-gara hakim sableng itu, kita gagal meminta bantuan pemuda yang ditunjuk
dalam wangsit sebagai 'sang penolong'!" gerutu lelaki keturunan serigala itu
keras dan meledak-ledak.
"Aku kira juga begitu," sahut Pendekar Dungu, dengan mata terus terjatuh pada
jalan. "Kalau binatang peliharaanmu tidak segera datang waktu itu, tentu kita
sudah jadi tawanan si Bangkotan Muka Rata!"
Lelaki Berbulu Hitam menghentikan langkahnya.
Wajahnya tiba-tiba terbakar matang.
"Aku sedang membicarakan pemuda penolong kita, Dungu! Bukan soal serigala-
serigalaku! Lagi pula, mereka bukan peliharaanku. Mereka itu kawanku!"
bentak Lelaki Berbulu Hitam ngotot sampai-sampai urat lehernya menonjol keluar.
"Astaga! Sial kau, ya! Jadi si Hakim Tanpa Wajah dan pemuda jelek itu kawanmu?"
Pendekar Dungu ikut berhenti. Ditantangnya tatapan berang si Manusia Berbulu
dengan wajah penasaran.
"Bukan, Guobeluoook! Maksudku, Serigala-
serigala itu!"
"Lho. Jadi, serigala-serigala itu yang bisa menolong
masalah kita" Tadi kau bilang pemuda berpakaian hijau-hijau.... Kau jadi
linglung sekarangnya?" kata laki-laki bangkotan berotak bebal itu lagi.
Setelah itu Pendekar Dungu melangkah santai, meninggalkan Lelaki Berbulu Hitam
yang masih berdiri sambil memukul-mukul kepala sendiri. Andai Lelaki Berbulu
Hitam adalah mercon bungkus, tentu sudah melesak saat itu juga menghadapi
kebodohan kawannya.
Sebelum Lelaki Berbulu Hitam sempat menumpahkan kemarahan dengan serangkai caci-
maki kasar, tiba-tiba seseorang berkelebat dari belakang, melewati dirinya lalu
melewati Pendekar Dungu di depan.
Dari kecepatannya bergerak, tentu orang itu sedang mengerahkan kemampuan lari
cepat pada puncaknya.
"Hey, siapa itu"!" seru Lelaki Berbulu Hitam.
"Bukan aku!" jawab Pendekar Dungu. Padahal, Pendekar Dungu tak ditanya sama
sekali. Namun dia cepat sadar kalau ada orang yang mendahuluinya.
"Ya... ya! Siapa itu"!"
"Kejar, Dungu!" ujar Lelaki Berbulu Hitam seraya mengempos tenaga untuk mengejar
orang tadi. "Ya... ya... ya, kejar!" latah Pendekar Dungu lebih bersemangat.
Seketika kejar-kejaran terjadi. Tanpa mengalami kesulitan, Lelaki Berbulu Hitam
yang lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh daripada Pendekar Dungu, bisa
menyusul orang yang diburu. Dari jarak empat depa di belakang buruan, seluruh
ilmu meringankan tubuhnya dikempos. Di udara, tubuhnya segera melesat cepat
mendahului orang tadi, lalu berhenti menghadang dengan wajah garang.
"Berhenti!" bentak Lelaki Berbulu Hitam lantang.
Buruan itu berhenti mendadak, begitu mendengar bentakan. Sementara Pendekar
Dungu terlalu keasyikan menggenjot langkah larinya yang tak sehebat Lelaki
Berbulu Hitam. Akibatnya, sewaktu kawannya menghadang mendadak, dia malah lupa
berhenti. "E-e-e, awas! Awaaas!" teriak Pendekar Dungu kelimpungan sendiri, tanpa bisa
menahan. Dan yang jadi sasaran tabrakannya adalah Lelaki Berbulu Hitam.
Dada besar manusia keturunan serigala itu ditanduknya. Untuk ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan tenaga, Pendekar Dungu memang berada satu tingkat di atas
Lelaki Berbulu Hitam. Jadi jangan tanya, apa akibatnya kalau kepalanya
menyeruduk Lelaki Berbulu Hitam. Seperti kerbau gila!
Lelaki Berbulu Hitam terjengkang ke belakang beberapa depa. Mulutnya menganga
lebar dan matanya mendelik hendak keluar. Saat berikutnya, tubuh gempal itu
menimbulkan bunyi cukup merdu sewaktu menghantam jalan berkerikil.
Di lain pihak, mata sayu Pendekar Dungu jadi tambah sayu. Biji matanya yang
kelabu berputar-putar tak karuan. Tak lama berikutnya, kepalanya sendiri,
ditampar-tampar. Seakan, dengan perbuatan itu gerak mata bisa dibetulkan.
Tak jauh di depan, Lelaki Berbulu Hitam bangkit menggeliat-geliat menahan sakit
di seluruh belakang tubuhnya. Sesekali diam meliuk ke kiri, lalu ke kanan, lalu
ke kiri lagi. "Kali ini, kepalamu benar-benar akan kuremukkan, Dungu!" ancam Lelaki Berbulu
Hitam dengan mata mengerjap-ngerjap.
Tingkah kedua tokoh itu benar-benar mem-
bingungkan orang yang dihadang. Dia seorang wanita berpakaian hijau lumut.
Dengan rambut berkepang ekor kuda dan pedang kepala naga di punggung, sudah bisa
diduga dia adalah Purwasih. Kebetulan sekali gadis itu mengambil jalan singkat
dari tempat itu untuk menuju tepian Rimba Slaksa Mambang.
"Kalian ini siapa?" tanya Purwasih heran pada Lelaki Berbulu Hitam yang
menggeram-geram menghampiri Pendekar Dungu.
"Biar... biar! Jangan dipisahkan! Dikiranya aku takut pada manusia jelek ini!"
Bukannya menyahuti, Pendekar Dungu malah berseru lantang pada Purwasih.
Begitu lantangnya ucapan itu ditujukan pada Lelaki Berbulu Hitam yang siap
mengamuk. Lalu, dia malah berbalik lalu lari sebisa-bisanya.
Lelaki Berbulu Hitam mengejar di belakang.
Makian simpang-siurnya terdengar sampai mereka menghilang di kejauhan.
Tinggal Purwasih yang hanya bisa menggeleng-geleng.
"Makin banyak saja manusia edan di dunia ini,"
gumam gadis itu, lalu melanjutkan larinya yang tersendat.
Jarak yang sudah tidak begitu jauh, membuat Purwasih dengan singkat tiba di
danau pinggiran Rimba Slaksa Mambang. Segera pandangannya beredar ke seluruh
tepian danau. Sampai akhirnya, gadis itu menemukan Andika sedang tergolek lemah
di salah satu sudut.
Purwasih segera menjemputnya. Setelah diangkat, tubuh pemuda itu dibopong di
bahu. Baru saja Purwasih hendak pergi, mendadak dua lelaki aneh yang
menghadangnya tadi, muncul lagi.
"Naaa, itu dia!" seru Pendekar Dungu. "Daya penciummu jempolan, Hitam!"
"Jangan menepuk-nepukku seperti itu!" bentak Lelaki Berbulu Hitam ketika
Pendekar Dungu menepuk-nepuk punggungnya keras.
*** Dalam ruang sebuah pura tua di sebelah timur kaki Gunung Sumbing, lima orang
tampak mematung bisu. Yang seorang tergeletak pucat di dekat api unggun. Dialah
Andika. Telah tiga hari tiga malam, pemuda itu tak sadarkan diri. Di sisinya,
Purwasih duduk menekuk lutut di lantai. Di salah satu sudut ruang. Pendekar
Dungu duduk melengkung. Kepalanya terjatuh sesekali, akibat serangan kantuk. Tak
jarang mengalir lendir dari mulutnya yang menganga seenaknya. Sedangkan Lelaki
Berbulu Hitam berdiri melipat tangan di depan dada, tepat di dekat pintu masuk.
Satu orang lagi, adalah Raja Penyamar.
Di antara mereka, tak seorang pun yang tahu tentang kehadiran Raja Penyamar.
Memang, kehadirannya hanya berupa jasad halus. Sedikit pun tak ada niat untuk
menampakkan diri pada mereka.
"Apakah kau tak ingin istirahat dulu, Anak Gadis?"
kata Lelaki Berbulu Hitam, memecah kesunyian. "Kau sudah begitu letih
mengurusnya tiga hari tiga malam...."
Dengan wajah letih karena kurang tidur, Purwasih menggeleng lamat.
"Bagaimana aku bisa memejamkan mata kalau orang yang kucintai terbaring dalam
keadaan menyedihkan" Denyut jantungnya begitu lemah. Dan wajahnya sudah begitu
pucat," tolak Purwasih, lirih.
Ditariknya napas untuk mengenyahkan beban yang menggelantungi dada. "Aku tak
mengerti, kenapa dia tetap saja tak mau sadar. Padahal aku telah cukup
menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya."
Lelaki Berbulu Hitam yang hari itu memperlihatkan sifat halus terpendamnya,
tampak mengangguk-angguk dengan wajah datar.
"Jangan kau pikir aku tak turut membantu, Anak Gadis. Diam-diam, aku juga
mengirim hawa murni dari jarak jauh ke tubuh anak muda itu. Tapi, tampaknya sia-
sia...," kata Lelaki Berbulu Hitam seperti mengeluh.
"Bagaimana dengan kawanmu itu?" tanya
Purwasih, seraya melempar pandangan ke arah Pendekar Dungu.
Melihat si Tua Bangkotan di sudut ruangan, wajah Lelaki Berbulu Hitam jadi
berubah. Ada garis kemangkelan terlihat di sudut bibirnya.
"Bagaimana kalau kita menggabungkan hawa murni kita untuk menolongnya?" usul
Purwasih.
Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin dengan begitu, dia akan tersadar."
"Sementara memang begitu," jawab Lelaki Berbulu Hitam menyetujui. Segera
dihampirinya Pendekar Dungu. "Hey! Bangun, Dungu!"
Merasa tak berguna hanya dengan mulut, Lelaki Berbulu Hitam menendang kaki
Pendekar Dungu.
Plak! "Hiaaat!"
Kontan saja si Tua Bangka bergigi ompong ini mencak-mencak. Untung saja
tangannya tak tersasar ke wajah Lelaki Berbulu Hitam. Kalau tidak, bisa terjadi
kiamat dalam ruangan itu.
"Ada apa?" tanya Pendekar Dungu, akhirnya.
Purwasih dengan singkat menjelaskan
maksudnya. Setelah Pendekar Dungu setuju, meski harus menunggu lama agar
mengerti, barulah ketiganya bersiap-siap. Mereka kemudian duduk berkeliling di
sekitar tubuh Andika. Tangan mereka menyatu sama lain. Sedangkan sebelah tangan
Purwasih, menempel di dada pemuda yang tak sadarkan diri ini.
Dalam pemusatan rasa dan pikiran, mereka mulai menyalurkan hawa murni masing-
masing. Dan tanpa diketahuinya, Raja Penyamar ikut andil menyalurkan kekuatan
halusnya, melalui diri Purwasih.
Waktu berlalu. Cukup lama mereka melakukan usaha itu. Tapi sedikit pun tak ada
perubahan pada diri Andika. Sampai akhirnya, mereka berhenti karena kehabisan
tenaga. "Aneh! Kenapa seluruh hawa murniku seperti disedot begitu saja. Tenagaku seperti
terkuras...,"
desah Lelaki Berbulu Hitam, terheran-heran.
"Ya! Aku pun baru menyadari, setelah kita menggabungkan hawa murni," timpal
Purwasih. "Aneh...," tambah Lelaki Berbulu Hitam.
"Aneh memang.... Memang aneh," Pendekar
Dungu ikut-ikutan.
Sementara, seseorang tanpa wujud langsung menyadari apa sesungguhnya yang
terjadi dalam diri anak muda ksatria itu. Raja Penyamar yakin, ada semacam medan
pusaran jahat dari alam lain yang menumpangi garba Andika. Meski sampai saat itu
tak juga diketahui penyebabnya.
Medan pusaran jahat itu sengaja dirasuki seseorang ke dalam diri Andika.
Tujuannya untuk menyedot habis tenaga orang-orang yang hendak menolongnya,
dengan menyalurkan hawa murni.
Mulanya si Korban tak akan merasakan tenaganya
tersedot. Mereka baru akan tahu, setelah tak bisa lagi mengerahkan tenaga dalam
selama beberapa waktu.
Karena kekuatan mereka sudah terkuras. Yang tersisa hanya rasa lemas jika
mencoba mengerahkan tenaga dalam.
"Hanya ada satu orang yang sengaja melakukan ini dengan maksud tertentu," bisik
Raja Penyamar. "Hakim Tanpa Wajah! Dia tentu dibantu Manusia Dari Pusat Bumi. Tujuannya tentu
hendak melumpuhkan si Dungu dan si Hitam, yang masih tetap sulit ditaklukkan.
Tentu selama ini, gagak yang menjadi
'saksi mata'nya telah mengabarkan bahwa si Dungu dan si Hitam membutuhkan
pertolongan Andika...."
Saat itulah indera halus Raja Penyamar merasakan sesuatu yang tak diharapkan
bakal terjadi. Tapi, peringatan inderanya itu sudah terlambat. Karena....
"Pengadilan menanti!"
Sebuah teriakan yang begitu dikenal, melantak kesunyian ruangan dari arah luar.
"Dungu dan Hitam keparat! Kalian tak akan bisa menghindar lagi dari
pengadilanku! He... hek... hek...
heee!" "Siapa mereka?" tanya Purwasih. Selama tiga hari mengenal Pendekar Dungu dan
Lelaki Berbulu Hitam, Purwasih memang hanya mendengar penjelasan tentang alasan
mereka mencari-cari Andika, lalu sudi pula menolongnya. Sedangkan tentang asal-
usul dua tokoh aneh ini, serta urusan lama dengan Hakim Tanpa Wajah tak pernah
diceritakan. "Manusia tak waras yang sok benar sendiri!" jawab Lelaki Berbulu Hitam.
"Aku tak mengerti?" lanjut Purwasih.
"Nanti pun kau akan tahu," putus Lelaki Berbulu Hitam. Selanjutnya, laki-laki
berbulu lebat itu keluar
dengan langkah terbanting-banting keras.
Pendekar Dungu mengikuti di belakangnya. Juga Purwasih.
Di luar, Lelaki Berbulu Hitam berdiri menantang kedatangan dua seterunya di
kejauhan. Sepasang tangannya bertolak pinggang. Wajahnya cepat memerah dipompa
kemarahan. Dengan latah, Pendekar Dungu berdiri di samping-nya dan ikut bertolak pinggang.
Punggungnya yang sudah melengkung dipaksa-paksakan untuk tegak.
Mungkin pikirnya, dengan begitu dia tampak mem-busungkan dada. Padahal, malah
terlihat seperti sedang menderita encok.
"Penasaran kau, ya"!" cemooh Lelaki Berbulu Hitam sarat tekanan.
"Kujamin! Sekali ini, kau tak akan lolos lagi. Ingat itu, tak akan!" tandas
Hakim Tanpa Wajah, berkawal seringai.
"Orang tua! Siapa sesungguhnya kau ini" Kenapa berkata begitu tak sopan dan
lancang?" selak Purwasih. Muak juga gadis itu melihat lagak Hakim Tanpa Wajah.
"Heee... he... he... heee! Ada gadis cantik yang minta diadili!" leceh Hakim
Tanpa Wajah. "Tunggu dulu! Dari tadi kau bicara soal pengadilan.
Apa kau orang yang belakangan ini membuat kegemparan, dengan julukan Hakim Tanpa
Wajah?" tanya Purwasih tanpa terbetik rasa takut.
"Ya! Kau gadis pintar!"
"Ooo.... Jadi, ini orangnya yang membuat takut banyak tokoh persilatan
belakangan ini"!" sinis Purwasih kian berani.
"Sudahlah, Anak Gadis! Hanya buang-buang waktu berbicara dengan manusia sial
ini!" sergah Lelaki
Berbulu Hitam, naik pitam.
"Ya... ya. Hanya manusia sial yang buang-buang waktu," timpal Pendekar Dungu
ngawur. Lelaki Berbulu Hitam maju beberapa tindak. Dari cara berjalannya, tampak kalau
dia sudah begitu bernafsu membalas kekalahannya waktu itu.
"Ayo! Maju kau!" tantang Lelaki Berbulu Hitam.
Manusia Dari Pusat Bumi baru hendak melayani tantangannya. Tapi, sang Guru
mengeluarkan tangan dari balik kafan untuk menahan pemuda setengah siluman itu.
"Aku ingin sedikit mengenang peristiwa delapan puluh tahun lalu," kata Hakim
Tanpa Wajah. Selesai berkata, laki-laki berkain kafan itu meloncat-loncat ke depan. Empat
depa di depan Lelaki Berbulu Hitam, baru dia berhenti.
"Kita hendak mulai dari jurus kacangan atau jurus habis-habisan?" tawar Hakim
Tanpa Wajah pongah.
"Aaargh!"
Lelaki Berbulu Hitam tak mau banyak cing-cong.
Diterkamnya Hakim Tanpa Wajah dengan jari menegang seperti batangan baja.
Hakim Tanpa Wajah amat kenal, bagaimana
tingkat kecepatan lawannya. Pada masa jayanya delapan puluh tahun yang silam,
Lelaki Berbulu Hitam berada di papan atas dalam ilmu-ilmu kecepatan.
Tahu akan hal itu, mestinya Hakim Tanpa Wajah cepat menghindar dari cakar Lelaki
Berbulu Hitam yang sanggup merobek lehernya dalam sekali tebas.
Tapi hal itu tak juga dilakukan. Sampai....
Srat! Leher kurus Hakim Tanpa Wajah benar-benar di-mangsa cakar lelaki tinggi besar
itu. Benarkah laki-laki tua berkain kafan itu akan kehilangan kepala"
Sama sekali tidak! Sebab, Hakim Tanpa Wajah amat tahu kalau lawannya kini sudah
tak memiliki tenaga dalam yang bisa diandalkan untuk melakukan itu.
"He... he... he! Kenapa berhenti?" ledek Hakim Tanpa Wajah.
Tampak Lelaki Berbulu Hitam terpana-pana memandangi jari-jari berkuku tajam
miliknya yang tak seampuh sebelumnya.
"Astaga, Hitam! Kenapa kau tak sungguh-sungguh
'menggaruk' leher manusia sial itu"!" seru Pendekar Dungu, masih belum menangkap
apa yang terjadi.
"Aku bukan main-main, Goblok! Sudah kukerahkan seluruh tenaga dalamku untuk
merobek lehernya.
Tapi, tenagaku tidak ada lagi!" teriak kalap Lelaki Berbulu Hitam.
"Tak ada" Memang kau pinjamkan pada siapa"!"
tanya si Dungu kembali. Amat lugu..., dan tentu menyebalkan!
*** 5 Jasad halus Raja Penyamar menelusuri sebuah lorong asing yang panjang bagai tak
bertepi. Dalam lorong berpusaran kabut itu, tubuhnya melayang terus menuju
ujungnya. Sesekali ada semacam terpaan angin kuat menahan. Dengan susah payah,
ditembusnya dinding angin itu. Tak jarang pula ada kilatan-kilatan cahaya
Panji Wulung 3 Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala Juragan Tamak Negeri Malaya 1