Pencarian

Manusia Laba Laba 1

Pendekar Slebor 42 Manusia Laba-laba Bagian 1


MANUSIA LABA-LABA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting oleh Pujl S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Dunia seringkali menciptakan hal-hal yang tak
terduga oleh manusia. Manusia boleh berencana, tapi Yang Maha Kuasa pula yang
menentukan. T ak pula kematian.
Kendati itu hams menimpa orang baik sekalipun.
Kira-kira, begitu yang dialami seorang juragan kaya raya di Desa Wanasari.
Juragan Kama Wijaya panggilannya.
Amat dicintai oleh penduduk sekitarnya, karena kemurahan hatinya. Suka membantu orang-orang melarat.
Tapi, siapa pula yang dapat menduga datangnya
malapetaka"
Sementara di atas langit sana, angkasa meredup
dalam kegelapan. Malam merambat pelan. Angin yang berhembus dingin, tak mampu
mengusir gumpalan awan bergumpal hitam yang menghalangi sang Dewi Malam.
Terlalu banyak untuk diusir, karena angin dari selatan terns saja membawa
gumpalan-gumpalan awan ke utara.
Di bawah sana, satu sosok bayangan melompat
keluar dari sebuah semak. Satu sosok lelaki berpakaian rompi merah,
memperlihalkan dada berbulunya. Kepalanya terlalu pelit untuk ditumbuhi rambut.
Mata tajamnya yang memancarkan warna merab menatap ke depan. Ke sebuah bangunan
besar dan megah. Di depan bangunan itu berdiri dua orang lelaki bersenjata
lombak. "Hhh! Manusia busuk seperti Karna Wijaya
memang harus mati!" desis lelaki berompi merah. "Jangan harap aku melupakan
penghinaanmu pada lima tahun yang lalu, Karna Wijaya! Kini saatnya aku menuntut
baias dengan cara lebih mengerikan!
Dengan gerakan sangat aneh, lelaki yang ternyata berhidung melesak ke dalam itu
bergerak ke arah
bangunan yang tak lepas dari matanya. Terlalu aneh bila melihat gerakannya. Pada
saat bergerak demikian, kedua tangannya pun sudah digunakan pula untuk berjalan.
Namun luncuran tubuhnya tampak demikian cepat. Dan tahu-tahu, dia telah berada
dua tombak di hadapan kedua
penjaga bangunan mi.
"Heh"!"
Dua lelaki yang menjaga bangunan besar itu ter-
sentak ketika melihat satu sosok tubuh bermata merah telah berdiri di hadapan
mereka. "Siapa kau"!" bentak lelaki penjaga yang berkumis tebal dengan wajah segarang
anjing penjaga.
Tombaknya yang sudah terhunus mendadak
ditarik kembali dengan wajah kaget melihat sosok mengerikan di hadapannya.
"Setankah yang ada di hadapanku ini?"
Belum juga terjawab pertanyaan penjaga berkumis
tebal itu, lelaki berompi menggerakkan tangannya.
Serrr...! Sangat aneh sekali apa yang terjadi kemudian.
Karena dari tangan lelaki bermata merah itu meluncur puluhan benang balus yang
langsung menjerat leher yang membentak tadi. Lalu dengan tarikan lambat, leher
si penjaga bagai tercekik. Tubuhnya kejang sesaat. Tombak di tangannya pun
terlepas. "Hih!"
Tas! Dan kejap berikutnya, kepala si penjaga mencelat pisah dari tubuhnya oleh satu
sentakan amat cepat.
Penjaga yang satu lagi baru sadar dari terkesimanya ketika melihat kepala si kumis tebal pisah dari jasadnya.
"Setan laknat! Mampuslah kau!" bentaknya.
"Hih...!"
Serrr...! Namun belum lagi penjaga ini sempat bergerak,
jerat-jerat halus itu sudah mengikat kedua kakinya. Dengan sekali sentak,
penjaga itu terjatuh. Maka saat itu pula dengan kejamnya lelaki berompi merah
menyala itu menginjak kepalanya hingga pecah.
Jrottt! "Aaa...!"
"Kalian rupanya pekerja baru di sini! Hhh! Hanya membuang waktuku saja!" desis
lelaki itu. Lalu dengan gerakan gesit, lelaki yang baru saja menurunkan tangan telengas itu
mendekati tembok pagar yang tinggi. Matanya memperhatikan sekelilingnya. Dan
setelah merasa aman, perlahan-lahan kedua tangannya ditempelkan pada dinding.
Lalu.... "Hup!"
Lelaki bermata merah memanjat tembok pagar
dengan enaknya! Gerakannya begitu cepat. Dan ketika tiba di atas tembok, dia
merangkak tak ubahnya seekor laba-laba. Dari atas, terlihat dua orang laki-laki
menjaga pintu masuk bangunan besar itu.
Dari atas pula lelaki berompi merah itu
menggerakkan tangannya. Dua kali. Maka kembali jerat-jerat halus meluncur dari
telapak tangannya, langsung menjerat leher kedua lelaki penjaga.
"Hih!"
Sekali betot tulang leher kedua penjaga patah
tanpa bersuara lagi. Lalu tubuh keduanya ambruk tanpa sempat menyadari apa yang
telah menyerang mereka.
"Kini tiba saatnya bagimu, Karna Wijaya! Perbuatanmu yang telah mengusirku dari sini lima tahun yang lalu harus kau bayar
dengan nyawa busukmu! Hhh!
Pada akhirnya, apa yang kuinginkan selama ini untuk ra i npersunting Den Asti,
akan terpenuhi juga," desis lelaki berompi merah. Suaranya begitu dingin,
menandakan gelegak dendam mendalam.
Masih dalam keadaan merangkak, si lelaki
bertingkah laku mirip laba-laba melompat dan bergerak melintasi halaman cukup
luas. Ketika tangannya bergerak ke atas, serat halus pun meluncur ke arah atap
bangunan. Erat dan kuat jerat itu menempel pada bangunan besar itu.
Lalu dengan enaknya dia meniti di atas serat-serat halus itu hinggap ke atap.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, si lelaki
berambut jarang merangkak ke tengah bangunan. Di
tempat yang jadi tujuannya. dibukanya beberapa buah genting. Gerakannya hati-
hati sekali. Empat buah genting telah terbuka. Kini tatapannya yang memancarkan
warna merah semakin melebar begitu melihat lelaki bertubuh gemuk di bawahnya
yang sedang tidur nyenyak. Di samping sosok bertubuh boros, tampak seorang
wanita cantik yang hanya mengenakan pakaian dalam saja tengah tertidur pulas.
Lelaki aneh itu menelan ludahnya. "Hhh! Aku tak butuh kenikmatan sekarang. Yang
kuinginkan adalah kematian Kama Wijaya."
Lelaki ini menurunkan tangan kanannya. Dan.... . .
srraaatt!Jerat-jerat halus kembali meluncur, langsung melibat leher sosok
bertubuh gemuk!
"Mampus kau, Kama Wijaya!" desis lelaki di atas atap.
"Ohhhkh...?"
Lelaki bertubuh boros yang bernama Kama Wijaya
langsung terbangun dari tidurnya. Dan seketika napasnya terasa tersengal. Tanpa
sadar tangannya memegang ke leher. Dan dirasakannya jerat-jerat halus berwarna
putih bening membelit lehernya.
Hanya itu gerakan yang bisa dilakukan Kama
Wijaya. Karena kejap berikutnya,
nyawanya sudah melayang dengan leher patah.
"Oh..." Kangmas.. "! Kangmas.. !"
Wanita cantik di sisi Kama Wijaya kontan
terbangun dan seketika menjerit cukup keras begitu menyadari suaminya sudah
menjadi mayat. Namun belum juga dia beranjak, jerat-jerat halus sudah melingkari
lehernya. Dan dengan sekali sentak saja, lehernya telah patah dengan nyawa
melayang. Jeritan si wanita membuat beberapa penjaga
rumah Kama Wijaya tersentak. Seketika mereka berlompatan dan berlari ke arah kamar majikan mereka.
Brakkk! Tiga orang lelaki langsung mendobrak pintu kamar itu. Dan seketika, ketiganya
terkejut melihat nyawa majikan mereka sudah melayang.
"Bangsat! Ada pembunuh kejam di sini! Siaga!"
seru penjaga berwajah lebar, "Cepat sebagian ke kamar Nona Asti. Jaga
keselamatannya!"
Dua orang dari mereka bergegas menuju kamar
putri satu-satunya dari Kama Wijaya. Begitu tiba di sebuah kamar yang terletak
di sisi kiri dari bangunan, mereka jadi tegang. "Nona Asti! Nona Asti!" seru
salah seorang sam-bil mengetuk pintu.
Tak ada sahutan apa-apa.
Lelaki penjaga yang mengetuk tadi memandangi
orang di sebelahnya, seolah minta pendapat.
"Dobrak saja!" usul lelaki yang berkumis tipis.
'Bagaimana kalau dia terkejut?"
"Kita bisa menerangkannya. Nyawanya saat ini terancam oleh maut."
Dengan dua kali tendangan kuat, pintu kamar Asti terbuka paksa. Keduanya segera
memburu masuk. Dan mereka tercekat, karena tak melihat Asti berada di kamarnya.
Justru yang terljhat, genting atas kamar ini telah terbuka."Kita lerlambat! Nona
Asti telah lenyap. Pasti diculik pembunuh keparat itu. Sebaiknya kita laporkan
hal ini pada Banowo!"
*** 2 Kletak! "Adauwww.. ! Sial! Hei, Pak Tua! Kau jual batu apa nasi"!" maki seorang pemuda
tampan berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahunya.
"Maaf, Den.... . . Aku tadi terburu-buru. Beras tidak sempat
kubersihkan, karena harus menghadiri pemakaman Juragan Karna Wijaya. Dan maaf sekali lagi, kedai ini pun harus segera
kututup," ucap si pemilik kedai.
"Lho, lho..." Wahhh.... Kalau begini caranya, lebih baik kau jual batu rames
saja, Pak Tua. Jangan nasi rames." Wajah si pemilik kedai memerah.
"Bukan, bukan begitu maksudku, Den. Tetapi, aku harus menghadiri...."
Iya, aku tidak tuli!" potong si pemuda. "Tadi kau bilang kau akan menghadiri
pemakaman Juragan Karna Wijaya. Hm.... Siapa dia, Pak Tua?"
"Juragan Kama Wijaya adalah orang kaya yang paling baik di desa ini. Dia tak
segan-segan membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Kemarin malam, dia
dan istrinya ditemukan mati terbunuh. Juga empat orang penjaganya."
"Walah" Orang iseng mana yang tega-teganya
membunuh orang sebaik itu?" sentak pemuda beralis tebal seperti kepakan sayap
elang sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
Itulah yang sekarang sedang diselidiki. Menurut
kepala penjaga di rumah J uragan Kama Wijaya yang bernama Banowo, pembunuhnya
pasti memiliki ilmu
sangat tinggi. Karena seluruh kejadian itu bagai angin belaka.
Nyata, tetapi tak memiliki bukti siapa pembunuhnya. Saat ini, mereka juga sedang mencari Den Asti yang kemungkinan
besar diculik si pembunuh," papar pemilik kedai.
"Siapa pula gadis itu?"
"Dia adalah putri satu-satunya Juragan Kama Wijaya yang saat kejadian berdarah
tak ditemukan berada di tempatnya. Yang terlihat, hanya atap yang terbuka.
Maafkan aku. Den.... Aku harus tutup sekarang. Karena aku mengganggu keasyikan
Aden makan, maka lebih baik tidak usah dibayar."
Pemuda tampan yang tak lain Andika alias
Pendekar Slebor nyengir, lalu berdiri.
"Ah, Pak Tua! Kau tak perlu sungkan-sungkan padaku. Nih, kubayar semua,
sekaligus batu yang masih nyempil di gigiku!" kata Andika, lalu ngeloyor pergi
Pemilik kedai jadi merasa tidak enak dengan sikap si pemuda. Tetapi, pemakaman
Juragan Kama Wijaya baginya sangat penting. Bergegas kedainya ditutup.
Sementara si pemuda urakan itu telah melangkah
ke arah selatan. Matanya tak henti-hentinya melihat orang-orang yang bergerak ke
arah selatan. Ada yang menjerit-jerit sambil meneriakkan nama J uragan Kama
Wijaya. Ada yang menangis sesenggukan bagai kehilangan kekasih tercinta.
"Hebat sekali pengaruh Juragan Karna Wijaya. Aku jadi penasaran ingin tahu apa
yang sebenarnya terjadi,"
desis Andika sambil mengikuti langkah orang-orang itu.
Di sebuah tanah pemakaman, Pendekar Slebor
berhenti bersama orang-orang yang memenuhi tempat itu.
Mata tajamnya langsung terarah pada mayat yang sedang dibuka penutup kain kafan
di bagian wajahnya. Tampak di leher kedua korban terdapat jerat-jerat halus.
"Hei" Jerat apa itu" Setipis benang dan sukar sekali dilihat mata biasa. Apakah
jerat ini yang membunuh mereka?"Ketika para pelayat memegang dan merangkul tubuh


Pendekar Slebor 42 Manusia Laba-laba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Juragan Kama Wijaya dan istrinya,
Andika menyempatkan untuk meraba leher mayat Juragan Kama Wijaya.
"Benar dugaanku. Ada jerat halus. Hmmm....Sekarang aku yakin..., jerat-jerat
bening inilah yang
mengakhiri nyawa mereka. Lalu, apa maksud atap yang terbuka menurut pemilik
kedai tadi" Apakah si pembunuh sekaligus penculik itu keluar dan masuk lewat
atap?" Sementara itu, Banowo dan tiga kawannya
menyuruh agar orang-orang menyudahi pelukan dan
pegangan. karena kedua mayat itu hendak dikebumikan.
Saat mayat Juragan Kama Wijaya dan istrinya diturunkan, banyak sekali yang
menangis. "Cari Den Asti! Kasihan nasibnya bila sampai disiksa oleh si pembunuh!" ujar
Banowo kemudian.
"Kita harus mencari si pembunuh itu!"
"Ya! Kita harus mencarinya!"
"Cincang pembunuh keparat itu!"
Teriakan-teriakan bernada kemarahan terdengar
sangat keras sekali diiringi gerakan tangan ke atas berkali-kali.
Dahi si pemuda urakan yang dikenal sebagai
Pendekar Slebor berkerut.
"Rupanya J uragan Kama Wijaya sangat dicintai para
penduduk di sini.
Mereka tak segan-segan mengorbankan nyawa. Hmm, putri Juragan Kama Wijaya diculik. Tapi, cantikkah dia"
He he he.... Ah, sebaiknya, aku pergi dulu dari tempat ini."
Namun, sebelum Pendekar Slebor melangkah.....
"Hei! Siapa kau, Orang Muda"!"
*** Andika menghentikan langkahnya ketika terdengar
seruan keras. Begitu kepalanya menoleh, tampak wajah-wajah garang di hadapannya.
"Saudara-saudara memanggilku?" Andika malah balik bertanya.
"Di sini tak ada orang asing lagi, selain kau, Anak Muda!" kata salah seorang
penduduk, langsung menuding.
"O, itu. Aku hanya kebetulan saja lewat sini. Tadi aku sempat mampir di kedai di
desa ini. Kata pemilik
kedai, di desa ini ada yang terbunuh. Pas aku lewat pemakaman ini, sekalian saja
aku mampir," jelas Andika.
"Lalu mengapa kau masih berada di sini, hah"!"
bentak seorang lelaki berwajah kasar. Di tangannya terdapat sebilah parang besar
yang sangat tajam. Sambil maju dua langkah, matanya yang memancar kan sinar
kemarahan meneliti Andika.
"Lho" Bukankali ini pemakaman umum" Sejak
kapan ada larangan orang asing tak boleh memasuki pemakaman" Ah, lucu juga kau,
Saudara!" kilah Andika, mulai konyol sifat urakannya.
"Kurang ajar!" dengus si wajah kasar. "Kawan-kawan...! Jangan-jangan, pemuda
inilah yang menurunkan tangan setan pada Juragan Kama Wijaya dan istrinya. Juga
dia pula yang menculik Den Asti! Bisa saja dia kembali ke sini untuk mengetahui
keadaan di sini. Setelah dipikirnya aman, dia pasti akan melakukan tindakan
busuk lagi! Ayo, tunggu apa lagi"! Kita tangkap manusia berhati busuk mi!"
Bagai diberi aba-aba, orang-orang itu segera
memburu ke arah Pendekar Slebor.
"Hei! Apa-apaan ini"! Saudara-saudara salah tuduh. Aku bukan.... Uts!"
Tetapi kata-kata Andika terpenggal oleh puluhan
senjata tajam yang melesat ke arahnya. Amarah para penduduk atas matinya orang
yang mereka hormati sudah demikian menggelegak.
Si pemuda menghindar dengan gerakan luar biasa
cepatnya. Hingga sampai sejauh ini tak satu senjata pun yang berhasil menyentuh
tubuhnya. "Lihat! Dia memiliki kepandaian! Banowo! Mengapa kau diam saja, hah"! Bukankali kau yang
mengatakan kalau pembunuh Juragan Kama Wijaya dan istrinya memiliki kepandaian
tinggi! Ayo, cincang pemuda laknat itu!"
Andika lama-kelamaan menjadi jengkel melihat
kemarahan para penduduk yang tak mau mendengarkan ucapannya.
"Terpaksa aku harus bertindak, tanpa harus
membuat mereka celaka. Paling tidak sekadar menyadarkan...," gumam Andika.
Maka dikawal satu bentakan keras, tubuh
Pendekar Slebor berkelebat ke sana kemari. Tangannya bergerak cepat, melepas
pukulan tak bertenaga dalam.
Duk! Duk! Para pengeroyok yang belum kebagian bogem
mentah Andika dipaksa membelalak, melihat kawan
mereka berjatuhan satu persatu. Begitu cepat, seolah seperti angin saja pemuda
itu bergerak. Andika meringis sendirl Sengaja untuk menyadarkan tindakan brutal para penduduk.
"Kalau kalian mau mendengar penjelasanku tak akan begini jadinya," gumam
Pendekar Slebor, enteng.
"Apa yang kalian tuduhkan padaku, tak beralasan sama sekali. Aku hanya kebetulan
melewati desa ini."
"Dusta!" seru lelaki berwajah kasar sambil memegangi dadanya yang terasa sakit.
Dia tadi termasuk salah satu orang yang mendapat hadiah satu kibasan pada bagian
pinggangnya. "Jangan terlalu keras bicara, Orang Tua! Jangan-jangan kolormu telah putus,"
ujar Andika. Mata nakalnya mengerjap-ngerjap ke arah kolor lelaki berwajah kasar
itu. Si lelaki kasar seketika merasakan hawa sejuk di antara selangkangannya. Sejenak
matanya melirik takut-takut. Dan....
"Walah...!" sentak si lelaki kasar seraya kedua tangannya menutup burung
kesayangannya, takut-takut kalau terbang. Wajahnya kontan merah seketika. Lalu
dengan kegeraman bercampur malu tak terkira dia
menghambur dart tempat ini, setelah menarik kembali kolornya yang melorot sampai
betis. Kejadian ini membuat para pengeroyok menurunkan senjata masing-masing. Tindakan Andika seolah menyadarkan mereka
kalau si pemuda tak bisa dianggap main-main.
"Maaf, bukannya aku hendak mempermalukan
kalian. Aku hanya ingin kalian jangan main tuduh. Oh, ya.
Tadi aku melihat ada yang aneh pada kedua mayat itu. Aku mehhat ada jerat halus
di leher mereka. Kemungkinan besar, jerat-jerat yang mirip benang ituiah yang
membunuh mereka," ucap Pendekar Slebor.
Mendengar kata-kata si pemuda, orang-orang
terdiam. "Si pembunuh memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Jerat-jerat halus yang dijadikan sebagai senjata merupakan benda sangat
berbahaya. Dan terus terang, aku belum tahu dari mana asalnya jerat-jerat halus
itu. Akan tetapi, jerat itu mirip seperti jerat laba-laba. Hanya bedanya, jerat
itu memiliki kealotan atau kekuatan beribu kali lipat. Kalau kalian bisa sampai
tidak tahu saat pembunuhan terjadi, itu artinya si pembunuh bukan orang
sembarangan," lanjut Andika memaparkan.
"Siapa kau sebenarnya, Orang Muda?" tanya Banowo, membuka suara. Sementara
sepasang matanya tak lepas dari wajah si pemuda.
Banowo memang cukup terkejut mendengar
penjelasan si pemuda tentang jerat halus di leher Juragan Kama Wijaya dan
istrinya. Sedangkan, dia sendiri tak melihat apa-apa. Jelas kalau begitu, pemuda
yang berdiri di hadapannya bukanlah orang sembarangan.
"Namaku Andika!" sahut si pemuda sambil tersenyum.
"Melihat pakaianmu, kau pasti orang rimba
persilatan. Lancangkah kami bila mengetahui julukanmu?"
tanya Banowo lagi.
Ini yang membuat Andika tersenyum kecut. Dia
paling tak suka julukannya diutak-atik. Tapi demi kepentingan adanya
kesalahpahaman tadi, Andika jadi berpikiran lain.
"Orang persilatan memanggilku Pendekar Slebor."
Seketika wajah Banowo berubah menjadi cerah.
"Maafkan sikap kawan-kawanku tadi yang buta,
Pendekar Slebor. Kami tidak tahu siapa yang berada di hadapan kami," katanya
sambil menjura!.
"Ya, sudah kalau begitu. Hmm.... Aku permisi dulu.
Mudah-mudahan aku bisa mencari si pembunuh keji dan mencoba menyelamatkan putri
Juragan Kama Wijaya," kata Andika seraya berbalik. Lalu....
Wuuttt...! Tubuh Pendekar Slebor berkelebat seketika. Se-
bentar saja, tubuhnya telah lenyap bagai ditelan bumi.
Sementara Banowo menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Rupanya Pendekar Slebor masih sangat muda.
Sungguh tak kusangka.
Mudah-mudahan dia bisa membantu untuk menemukan Den Asti."
*** 3 Enam orang lelaki pekerja di rumah Juragan Kama
Wijaya yang tengah mencari Den Asti, menghentikan langkah di sebuah hutan lebat.
Sengatan matahari siang ini tak terasa panas, karena sinarnya terhalang
kerimbunan pepohonan hutan.
"Sudah tiga hari kita mencari Den Asti. Lantas ke mana lagi kita harus
mencarinya?" tanya lelaki bertubuh kurus. Di matanya memancarkan keletihan yang
berbalur rasa geram mengingat kematian majikannya.
"Kita memang tidak tahu harus mencari ke mana.
Namun sebelum Den Asti ditemukan, kita tak usah kembali ke desa. Kita harus
tetap mencarinya," sahut lelaki bertubuh tinggi besar. "Sebaiknya, kita
beristirahat saja dulu di sini. Kandolo! Kau cari kelinci hutan untuk mengisi
perut!" Lelaki bertubuh kurus yang dipanggil Kandolo
hendak bergerak. Namun dari balik sebuah pohon besar melompat satu sosok tubuh
kurus dengan rambut bisa dihitung. Hidungnya melesak ke dalam, terlalu
mengerikan untuk dilihat. Sosok itu tahu-tahu telah berdiri di depan keenam
orang ini. "Walengkeng!" seru Kandolo, ketika mengenali orang yang baru muncul.
"Sedang apa kalian di sini?" tanya lelaki menyeramkan bernama Walengkeng dengan
senyum ganjil. Memang Walengkeng dikenal sebagai pengurus kuda di rumah Juragan Karna
Wijaya. Cuma saja lelaki ini punya cita-cita besar, bagai pungguk merindukan
bulan. Tanpa melihat keadaan dirinya, Walengkeng diam-diam mencintai Den Asti. Suatu
ketika Walengkeng tertangkap basah tengah mengintip Den Asti mandi. Kejadian ini
terdengar oleh orang tua Den Asti. Akibatnya, Juragan Kama Wijaya marah besar.
Sejak itu, laki-laki hidung melesak ke dalam ini diusir dari rumah Juragan Karna
Wijaya. Namun kini setelah lima tahun menghilang, Walengkeng muncul kembali.
Maka Kandolo pun menceritakan apa yang terjadi terhadap keluarga Juragan Kama
Wijaya. Walengkeng menggeleng-gelengkan kepala.
"Kasihan nasib Den Asti...," desah lelaki yang terlalu pelit dengan rambut itu.
"Betul! Dan lebih kasihan lagi bila ia menjadi istrimu!" ejek lelaki bertubuh
tinggi besar sambil terbahak-bahak, langsung disambut lawa yang lainnya.
Walengkeng tersenyum tipis.
"Ya, ya.... Kau benar, Marwoto. Nasibnya akan lebih menyedihkan bila dia menikah
denganku."
"Dan karena sikapmu yang konyol dan kurang ajar itulah kau dipecat Juragan Kama
Wijaya. Hei, Walengkeng!
Sebaiknya kau sadar siapa dirimu dan siapa Den Asti itu,"
lanjut lelaki yang dipanggil Marwoto.
Walengkeng hanya mengangguk-angguk.
Dan tanpa disadari keenam orang itu, tiba-tiba saja matanya memancarkan sinar warna
merah. "Hmm.... Di mana orang yang telah membunuh
Juragan Kama Wijaya dan istrinya?" tanya Walengkeng dengan kepala tertunduk.
Tawa orang-orang itu terhenti.
"Biar bagaimanapun sulitnya, kami akan tetap mencari Den Asti," kata Kandolo.
Walengkeng mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kebencian di dalam hatinya semakin membuncah. Sejak lama harga dirinyadiejek
oleh orang-orang ini, karena wajah buruknya dengan kepala nyaris tanpa rambut.
"Kalau begitu, selamat kalian mencari, katanya sambil menundukkan kepalanya,
lelaki ini berbalik lalu kakinya melangkah pergi dari tempat ini.
"Hei, Walengkeng!" seru Marwoto, "Di mana sekarangkau tinggal"!"
Walengkeng berbalik, membuat orang-orang yang
melihatnya kontan bergetar mundur dengan wajah kaget.
Bola mata laki-laki berbidung melesak ke dalam itu semakin memerah sepanas bara.
Tubuhnya bagai bergetar.
Bibirnya yang agak tebal mengatup rapat.
"Di neraka!" bentak Walengkeng sambil mengibaskan tangannya. Sraaat!
Jerat-jerat halus kontan melunc ur kencang ke arah keenam orang itu. Mereka
melengak, ketika jerat-jerat halus itu bagai mata anak panah melesak masuk ke
dada. "Hih!"
"Aaa...!"
Dan ketika ditarik. tubuh mereka ambruk dengan
darah muncrat disertai teriakan merobek langit. Hanya sekali gebrak mereka
kontan tewas! "Hhh! Tak ada lagi yang bernama Walengkeng!
Kalian beruntung. Karena, telah berjumpa si Manusia Laba-laba!"
Seketika tubuh Walengkeng yang menamakan diri
sebagai Manusia Laba-laba pun mendadak berkelebat amat cepat. Sehingga sebentar
saja telah lenyap dari pandangan.
Senja datang lamat. Pendekar Slebor yang tiba di hutan tempat terjadinya
pembantaian terhadap Kandolo dan kawan-kawannya langsung mendengus geram. Karena
sosok mayat yang bergeletak di depannya ternyata juga terdapat jerat-jerat halus
yang me-nembus dada. Saat itu juga dia segera menguburkan mayat-mayat itu.
"Hhh! Kutu kupret! Lagi-lagi jerat-jerat halus ini!


Pendekar Slebor 42 Manusia Laba-laba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa sebenarnya manusia busuk yang sok jadi laba-laba.
Atau laba-laba betulan. Tapi kalau laba-laba betulan, sebesar apa binatangnya?"
Andika mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Entah kenapa dia tersenyum sendiri.
"Siapa yang suka ngintip, matanya bintitan.
Orangnya pasti jelek, tapi pemalu. Ha ha ha. Sudah jelek, pemalu lagi. Entah
sudah berapa lama kau berada di tempat ini. Sebaiknya keluar saja kalau tak mau
kutuduh sebagai pembunuh keenam orang tadi," gumam Andika,
entah ditujukan pada siapa.
"Enak saja kau bicara, Pemuda Gombal! Aku sudah berada di sini sejak tadi,
tahu"! Dan lagi, aku bukan pembunuh keenam orang tadi. Bahkan kau tak akan
pernah bisa mengalahkan Manusia Laba-laba itu!"
Tak lama memang terdengar sahutan dari salah
satu batang pohon. Lalu meluncur satu sosok tubuh ramping berpakaian rompi merah
yang melapisi pakaian hitam tipis. Sebentar saja di depan Andika berdiri seorang
gadis, berambut panjang di kat seperti ekor kuda. Di keningnya terdapat poni
yang rata. Pendekar Slebor tersenyum cerah. Ketajaman
pendengarannya memang tak diragukan lagi. Telinga tajamnya tadi memang mendengar
desah napas halus di sekitar tempat ini. Namun dia yakin orang yang ada bukan si
pembunuh yang dimaksud. Karena mana ada seorang pembunuh yang mau susah payah
menunggui mayat yang habis dibunuhnya.
"Ilmu laba-laba sulit sekali untuk dikalahkan.
Karena terlalu licik dan memiliki segudang tipu daya."
"Hm.... Aku suka denganmu, Gadis!" sambar Andika, hampir tanpa makna. "Belum
apa-apa, seolah-olah kau sudah tahu seluruh kejadian ini."
"Cerewet!" bentak gadis itu. "Aku tahu, kau sedang mencari Manusia Laba-laba
yang telah membunuh keenam orang itu, bukan?"
"Manusia Laba-laba?" ulang Andika dalam keterpanaan.
"Ya! Sejak menemukan mayat-mayat itu, aku yakin pelakunya si Manusia Laba-laba.
Ketika kuperiksa, aku menemukan jerat-jerat halus di tubuh mereka. Sama seperti
yang kutemukan pada mayat paman guruku, si Jari Sakti!" "Dan kesimpulanmu, yang
melakukan perbuatan hina itu adalah orang yang berjuluk Manusia Laba-laba?"
"Kau benar. Manusia itu sangat sulit sekali dikalahkan. Ilmunya begitu aneh dan
tinggi. Hanya seorang
yang mungkin bisa mengalahkannya."
"Siapa dia?"
"Pendekar Slebor."
Andika melengak mendengarnya. Kalau begitu,
gadis ini belum tahu siapa dirinya"
"Mengapa kau yakin kalau yang mampu mem-
bunuhnya adalah Pendekar Slebor?" tanya Andika dengan kening berkerut.
"Dalam perjalananku mencari Manusia Laba-laba, dua kali aku bentrok denganny a.
Yang pertama, aku masih mampu bertahan. Tetapi yang kedua, aku tak mampu lagi
menghadapmya. Di saat Manusia Laba-laba siap menurunkan tangan telengas," lanjut si gadis, meskipun jengkel terhadap Andika.
"Tetapi, seorang kakek yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu tiba-tiba muncul dan
menyelamatkanku.
Manusia Laba-laba murka.
Dan, pertarungan pun terjadi dengan hebatnya. Namun,
kebijakan orang tua itu dimanfaatkan dengan licik oleh Manusia Laba-laba. Saat
sudah beberapa kali terkena pukulan maut dari lawannya, Manusia Laba-laba
memohon ampun. Dan selagi orang tua itu mengulurkan tangannya penuhwelas asih,
manusia culas itu mengirimkan satu serangan maut. Meskipun dapat dihindari,
namun tak urung tangan kiri orang tua itu luka parah akibat jerat dari Manusia
Laba-laba yang langsung melarikan diri. Kemudian Penghulu Segala Ilmu mengobati dirinya dan diriku. Dari dialah aku
tahu, kalau jerat laba-laba dan Manusia Laba-laba hanya bisa dikalahkan oleh
orangyang telah memakan buah 'inti petir'. Kalau tak salah julukan Pendekar
Slebor. Sayang aku tak me-nanyakan ciri-cirinya."
"Mengapa harus Pendekar Slebor?" ungkit Andika.
Si pemuda merasa heran karena Penghulu Segala
Ilmu begitu yakin dengan ucapannya. Namun keheranannya pun tak terlalu lama, karena orang tua itu memang memiliki
pengetahuan luas soal ilmu langka maupun biasa.
"Tadi sudah kukatakan, pemuda itu memiliki
tenaga 'inti petir'. Bila tubuhnya tersambar petir, maka saat itulah saat yang
tepat untuk memusnahkan Manusia Laba-laba. Hei" Apakah kau mengenal Pendekar
Slebor?" sahut si gadis.Andika menggeleng. Entah mengapa dia ingin mempermainkan
gadis ini. "Kalau jumpa dengannya, aku ingin mencium
tangannya," katanya sambil nyengir.
"Begitu pula denganku. Bahkan aku akan me-
minta bantuannya untuk memusnahkan Manusia Laba-
laba," sambar gadis itu sambil mengerutkan keningnya melihat cengir kuda Andika.
"Kalau soal itu, kau tak perlu ragu. Apalagi dia memang tampan dan berwibawa.
Siapa yang berjumpa dengannya, pasti akan merasa suka," bual Andika. Dalam hati
dia cengengesan.
Gadis itu menatap tajam Andika.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang Pendekar
Slebor" Katanya, kau belum pemah tahu siapa dia?"
"Aku sering mendengar orang-orang membicarakannya,"
sahut Pendekar Slebor. seraya mengangkat bahunya.
"Hhh! Tetapi mengapa Penghulu Segala Ilmu
mengatakan kalau Pendekar Slebor orangnya urakan dan suka berbicara seenaknya?"
kata gadis itu bagai bergumam.
Andika mendengus diam-diam. Brengsek juga tuh
orang tua! Desisnya dalam hati. Dia teringat bagaimana pengalamannya ketika
memasuki Alam Gerbang Neraka bersama Penghulu Segala Ilmu (Baca : "Bunga
Neraka"). Dan sekarang orang tua itu mengatakannya urakan dan seenaknya saja" Hhh! Tetapi
tiba-tiba pemuda ini tertawa sendiri. Sementara itu si gadis berompi merah
mengerutkan keningnya melihat Andika tahu-tabu tertawa sendiri. "Hei" Apakah kau
kemasukan setan hutan ini"
Atau..., penyakit ayanmu kumat?"
Andika menghentikan tawanya.
"Maaf..., aku sedang membayangkan bagaimana sifat Pendekar Slebor sesungguhnya."
"Hhh! Ternyata aku bertemu orang tolol malam ini!
Lebih baik aku meneruskan saja untuk mencari Manusia Laba-laba!" desis si gadis
siap untuk me-langkah.
"Nona.... Mengapa kau mencarinya?"
"Manusia keparat itu telah membunuh paman
guruku. si Jari Sakti."
"Paman gurumu saja bisa dikalahkannya. Bahkan dibunuhnya. Bagaimana kau bisa
menghadapinya?"
"Hhh! Peduli setan! Guruku sudah tiada. Kedua orangtuaku pun sudah tiada. Hanya
tinggal paman guruku saja yang seharusnya masih hidup! Tetapi, manusia busuk itu
telah membunuhnya secara keji! Dia mempergunakan ilmu 'Laba-laba' yang
diturunkan paman guruku selagi beliau bersemadi. Padahal, ilmu 'Laba-laba' itu
adalah ilmu simpanannya yang tak pernah dipakai karena begitu kejam!" urai gadis
itu sambil mengepalkan kedua tangannya
kuat-kuat. "Meskipun aku tahu akan kehebatannya, aku tak peduli. Lebih baik mati di tangannya daripada membiarkan
manusia laknat itu terus menerus menurunkan tangan jahat!"
"Jadi..., Manusia Laba-laba itu murid paman gurumu?"
"Betul. Paman guruku menemukannya di lereng Bukit Tunggul dalam keadaan
kelaparan dan tak berdaya lima tahun yang lalu. Laki-laki dengan hidung melesak
ke dalam dan rambut jarang itu pun dirawat penuh perhatian oleh paman guruku.
Ketika ditanya mengapa berada di sana, orang yang bernama Walengkeng itu
mengatakan kalau baru saja dipecat dari pekerjaannya di rumah Juragan Karna
Wijaya...."
"Hei!" seru Andika tercekat. "Kenapa?"
"Ah, tidak. Tidak apa-apa. Sebaiknya teruskan saja."
"Paman guruku pun menasihatinya agar Walengkeng tidak mendendam pada Juragan Karna Wijaya.
Lalu diajaknya Walengkeng ke tempat tinggalnya. Entah karena melihat ketulusan
dan kebaikannya, paman guruku mau mengangkatnya sebagai murid ketika Walengkeng
memintanya. Ilmu yang dimiliki-nya termasuk ilmu 'Jari Sakti'
pun diturunkannya. Dan karena melihat kejujurannya, paman guruku pun telah menurunkan ilmu andalannya yang jarang
sekali dipakai. Ilmu 'Laba-laba'.
Bahkan, paman guruku memberikan seekor laba-laba Gurun Gobi yang telah
diawetkannya. Dengan mantera dan ramuan yang dibuatnya, lendir laba-laba Gurun
Gobi yang diawetkan itu dicampurkan. Lalu diberikannya pada Walengkeng untuk
diminum. Setelah meminumnya, dia memiliki serat laba-laba yang sangat kuat dan
tak akan pernah habis sebelum mati seperti yang dimiliki paman guruku. Karena
semuanya sudah bersatu dengan darah."
Sejenak si gadis menghentikan ceritanya. Sepertinya ada raut penyesalan di wajahnya.
"Sebelumnya, aku sudah memperingati paman
guruku agar tidak menurunkan seluruh ilmu pada
Walengkeng. Namun paman guruku hanya tersenyum dan mengatakan kalau sudah
memperhitungkan semuanya
masak-masak. Apalagi, Walengkeng sudah bersumpah akan mempergunakan ilmu yang
diturunkannya pada jalan kebenaran. Hingga akhirnya, aku pun tak bisa berbuat
apa-apa meskipun dalam hatiku begitu ngeri membayangkan sesuatu yang sebenarnya
takut kubayangkan. Dan
kengerian itu pun terjadi. Rupanya manusia busuk itu hanya menipu paman guruku.
Dia berlagak baik, padahal hatinya culas. Selesai menamatkan seluruh pelajaran
yang diberikan, dia membunuh paman guruku! Apakah aku akan berpangku tangan saja
melihat ke-nyataan ini?"
Wajah gadis itu merah padam menahan geram
mengingat semua itu.
Andika tak berkata apa-apa.
"Hei, tahukah kau, di mana Desa Wanasari
berada?" tanya si gadis.
"Hendak apa kau ke sana?"
"Aku yakin, manusia hina itu memiliki dendam pada Juragan Karna Wijaya yang
telah mengusimya. Tetapi, tindakan yang dilakukan Karna Wijaya memang benar.
Karena siapa pun tak akan sudi mengawinkan putrinya dengan manusia bertampang
setan itu."
"Kau terlambat," sahut Andika.
Gadis itu mengerutkan keningnya. "Mengapa?"
"Juragan Karna Wijaya dan istrinya mati dibunuh oleh orang yang kau juluki
Manusia Laba-laba. Bahkan saat ini, putrinya berada di tangan manusia busuk
itu!" Gadis itu mendesah pelan.
"Boleh kutahu, siapa namamu?" usik Andika, mengalihkan perhatian.
Gadis itu menarik napas panjang untuk mere-
dakan gejolak amarahnya. Ditatapnya Andika dengan sengit. "Namaku Larasati!"
kata si gadis, akhirnya.
"Nama yang bagus...."
"Aku tidak suka dengan laki-laki ceriwis!" bentak si gadis tiba-tiba.
"Apakah kau akan mencari Pendekar Slebor?"
"Ya! Sambil lalu pun akan kucari Pendekar Slebor!
Mudah-mudahan dia mau membantuku."
"Percayalah dengan ucapanku. Dia pasti bersedia membantu."
Gadis itu tersenyum getir, lalu melompat. Dan
dalam sekali pandang, tubuhnya lenyap dalam kegelapan.
Sementara Andika masih terpaku di tempatnya.
"Hmm.... Bila mendengarkan penuturan Larasati, ilmu yang dimiliki Manusia Laba-
laba begitu tinggi. Aku yakin, Larasati pun pernah diajarkan ilmu 'Jari Sakti'.
Dan manusia yang bernama Walengkeng itu pun memiliki ilmu yang sama. Ilmu 'Jari
Sakti' itu saja sudah sedemikian hebat. Bagaimana dengan ilmu 'Laba-laba'-nya
yang menurut Larasati adalah ajian andalan paman gurunya"
Hhh! Memusingkan! Dan lagi, aku belum mengerti tentang penjelasan Penghulu
Segala Ilmu yang menurut Larasati hanya aku yang mampu mengalahkannya. Penghulu
Segala Ilmu saja belum bisa menaklukkannya. Sementara ilmuku jauh berada di
bawah Penghulu Segala Ilmu" Hmm....
Apakah orang tua bangkotan itu sudah sering ngelindur?"
Lalu tubuh Andika pun berkelebat.
*** 4 Bagaimana nasib Asti di bawah kekuasaan
Manusia Laba-laba"
Beruntung sekali gadis itu. Walau keadaannya
pucat, tapi Manusia Laba-laba alias Walengkeng belum menjamahnya. Sampai saat
ini, Asti memang tidak tahu siapa Walengkeng sebenarnya. Yang diketahuinya
lelaki berwajah mengerikan itu bekas pekerja di rumahnya pada lima tahun yang
lalu. Memang tak jelas asal-usulnya. Walengkeng kecil
waktu ditemukan di pasar Desa Wanasari langsung
menimbulkan rasa iba. Tapi menurut cerita Walengkeng sendiri, sejak kecil dia
telah dibuang keluarganya karena tak menginginkan kehadirannya yang cacat. Tak
heran kalau lelaki itu tak pernah mengenal ayah dan ibunya.
Sejak usia tiga tahun dia dipelihara oleh seorang gelandangan pasar. Ketika
empat tahun kemudia nsi gelandangan
meninggal dunia, Walengkeng mulai

Pendekar Slebor 42 Manusia Laba-laba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjalani ganasnya hidup seorang diri di Desa Wanasari.
Kejamnya dunia tak dipedulikan Walengkeng.
Dirinya tak pernah sepi dari caci dan ejekan. Namun di usianya yang kesepuluh,
nasibnya mulai berubah ketika Juragan Karna Wijaya menawarkan untuk bekerja di
rumahnya. Bagai setetes air di padang pasir, tawaran Juragan Karna Wijaya
langsung disambut suka cita.
Sepuluh tahun hidup di rumah Juragan Karna
Wijaya, Walengkeng selalu memperhatikan Asti yang juga telah tumbuh menjadi
gadis cantik. Sejak itu, pemuda ini mulai dihasut iblis. Diam-diam dia mulai
mengkhayal bisa memiliki Asti, sekaligus menikmati tubuhnya. Karena untuk
mengutarakan cintanya jelas tidak mungkin, maka begitu ada kesempatan Walengkeng
mencuri-curi untuk dapat mengintip Asti.
Para pekerja lain yang sejak semula sudah mulai
curiga, akhirnya memergoki tindakan Walengkeng. Akibatnya, lelaki itu diusir oleh Juragan Karna Wijaya.
Kini lima tahun kemudian, Walengkeng muncul
kembali. Dan Asti hanya tahu kalau kemunculan
Walengkeng, menurut cerita lelaki itu sendiri, untuk menolong keluarga Juragan
Karna Wijaya yang tengah dirampok.
Untungnya, Asti dapat diselamatkan Walengkeng, kendati kedua orangtuanya terbunuh.
Si gadis mendesah pendek. Hatinya luka dan sedih bila teringat nasib kedua
orangtuanya. Terutama ketika mendapati dirinya masih mengenakan pakaian tidur
yang tipis, membuatnya semakin risih bila berhadapan dengan Walengkeng.
"Tetapi, mengapa sampai saat ini Walengkeng menolak untuk membawaku kembali ke
rumah?" gumam si gadis, bertanya pada diri sendiri. Padahal, dia sudah berkali-
kali meminta pada Walengkeng untuk mengantarnya pulang. Tetapi selalu ditolaknya dengan alasan, keadaan belum aman.
Selama ini, Walengkeng memang belum memperlihatkan tindakan kurang ajar. Asti tidur di dipan, sementara Walengkeng
tidur di lantai beralaskan daun pisang. Namun biar bagaimanapun juga, si gadis
tidak merasa aman berada bersama-sama lelaki itu. Terutama, mengingat pakaian
yang dikenakannya. Dia ingin kembali ke rumahnya, ingin mengetahui keadaan ayah
dan ibunya. Apakah benar mereka telah mati" Kalau memang benar, sudah tentu Asti tak
menghadiri pemakaman mereka.
Hati gadis jelita itu menjadi sedih sekali me-
nyadari keadaannya.
"Apakah selamanya aku harus tinggal bersama Walengkeng?" desisnya galau. Otaknya
sudah buntu memikirkan, bagaimana caranya bisa keluar dari tempat ini.
Membujuk Walengkeng untuk mengantarnya, nampaknya akan sia-sia belaka. Karena laki-laki bertampang seram itu selalu berjanji dan berjanji. Sedang untuk pulang sendiri,
gadis ini tak ada keberanian.
Tiba-tiba telinga si gadis mendengar suara langkah perlahan di depan gubuk itu.
Tampak Walengkeng masuk
sambil membawa buah-buahan di tangan kanan. Di tangan kiriny a terdapat sebuah
bungkusan. "Oh! Kau sudah bangun, Den Asti?" tanya lelaki itu tanpa mengangkat wajahnya.
Diletakkannya buah-buahan yang dibawanya di meja kusam. Lalu disodorkannya
bungkusan yang dipegangnya. "Gantilah pakaianmu, Den Asti. Mudah-mudahan pakaian
yang kubeli di kotapraja ini cocok untukmu. Maaf, mungkin tidak terlalu bagus
dan mahal seperti yang biasa kau kenakan."
Asti mendesah diam-diam. Terus terang, perasaannya ngeri melihat tampang setan Walengkeng.
Terutama, bila teringat perbuatan busuk yang dilakukan lelaki itu. Namun
diambilnya juga bungkusan itu. Memang lebih
baik menutupi tubuhnya dulu yang masih mengenakan pakaian tidur.
Sementara, Walengkeng tidak berpindah dari
tempatnya, dan hanya membelakanginya saja.
"Walengkeng.... Kapan kau mengajakku pulang?"
tanya si gadis hati-hati setelah mengenakan pakaian warna biru muda yang
diberikan Walengkeng. Sementara, lelaki berwajah mengerikan itu s udah menghadap
ke arahnya kembali. Dicobanya untuk memperhatikan wajah seram yang menunduk itu.
Tetapi hanya sejenak. Karena
kengeriannya muncul kembali
"Belum saatnya, Den Asti," sahut lelaki itu pelan.
Asti menghela napas panjang melihat kesopanan
yang diperlihatkan Walengkeng. Tetapi bila mengingat perlakuan busuk yang pernah
dilakukan lelaki itu, semuanya jadi sirna.
"Aku baru saja dari Desa Wanasari Keadaan masih belum aman. Aku yakin, pembunuh
itu masih berkeliaran."
"Tetapi, apakah aku harus di sini terus-menerus"
Yang benar saja, Walengkeng! Aku ingin kembali ke rumah.
Aku ingin mengetahui keadaan kedua orang-tuaku?" tukas Asti setengah memaksa dan
penasaran. "Apakah Den Asti tidak suka dengan tempat
tinggalku ini?" kata Walengkeng. "Memang buruk dan
berada di hutan yang mengerikan."
"Bukan itu maksudku.... Tetapi, aku ingin kembali ke rumah. Aku ingin melihat
keadaan ayah dan ibuku."
"Mereka sudah dimakamkan, Den Asti."
Hati Asti kembali menjadi sedih.
"Dan aku tak pernah melihat mereka untuk
terakhir kalinya."
"Bila keadaan aman, aku akan mengantar Den Asti kembali pulang."
"Aku ingin sekarang."
Tiba-tiba Walengkeng yang sejak ladi berbicara
selalu menunduk, mengangkat kepalanya. Hati Asti kontan ciut ketika melihat
tatapan mata Walengkeng yang mendadak berubah merah. Dia merasa dirinya hendak
ditelan bulat-bulat.
"Bila kukatakan belum saatnya, itu berarti
memang belum saatnya, Den Asti," tegas Walengkeng.
Meskipun matanya berubah mengerikan, namun nada
suaranya tetap sama. "Sekarang..., makanlah buah-buahan itu. Dari kemarin kau
belum makan, Den Asti."
Entah karena memang
lapar atau karena
ketakutan melihat tatapan membara dari Walengkeng, dengan gemetar Asti mengambil
manggis hutan yang disodorkan
Walengkeng. Dia memakannya dengan memalingkan wajah dari Walengkeng.
"Hhh! Bisa saja aku menggarapmu sekarang juga, Asti. Tetapi, aku ingin kau
menyerahkan seluruh yang kuinginkan dalam keadaan sadar dan pasrah. Bukan harus
kutotok, harus kujebak dengan jamu perangsang.
Melainkan, dengan sikap seorang istri pada suaminya.
Tetapi, aku akan bersabar menunggu saat yang tepat untuk mendapatkanmu. Karena,
kau tak akan bisa
melarikan diri dari tanganku. Tak akan pernah kulepaskan apa yang kudapatkan
sekarang ini. Terlalu bodoh bila aku meninggalkan semua yang sudah berada di
depan mataku," desis Walengkeng dalam hati.
Asti yang sudah menghabiskan sebuah manggis
hutan justru tidak enak bila dalam keadaan berdiam.
Apalagi, berdua-duaan dengan Walengkeng. Tapi bisa saja dia menganggap
Walengkeng tak memiliki wajah setan seperti itu, daripada berdiam diri. Dan dia
ingin mengetahui sesuatu yang telah lama dipendamnya.
"Selama lima tahun..., apakah kau membenci
ayahku, Walengkeng?" tanyanya.
Walengkeng menggeleng sambil tersenyum. "Tidak, Den Asti. Apa yang dilakukannya memang benar.
Karena aku telah melakukan sesuatu yang buruk. Aku sendiri ingin minta maaf pada
Den Asti atas perbuatanku yang berakibat harus diberhentikan dari pekerjaan.
Tetapi terus terang, aku melakukannya karena..., aku mencintai Den Asti."
Asti bergidik membayangkannya.
"Dan selama lima tahun kau berada di hutan ini?"
tanya si gadis mengalihkan perhatian dari masalah cinta Walengkeng.
"Ya!" sahut Walengkeng, singkat.
"Hutan apa ini namanya, Walengkeng?"
"Hutan Babat Roban."
"Jauhkah hutan ini dari tempat tinggalku?" tanya Asti, sekaligus ingin
mengetahui arah mana yang di tempuhnya bila memutuskan untuk melarikan diri.
"Membutuhkan waktu dua hari dua malam untuk tiba di Desa Wanasari. Juga, harus
melalui jalan yang sangat sulit. Karena begitu keluar dari hutan ini, terdapat
sebuah lembah landai yang mengerikan. Lalu, akan memasuki Hutan Tinggi. Dan
setelah melewatinya, barulah tiba di rumah, Den Asti. Bila belum mengenal
jalannya, kita pasti akan tersesat. Aku pun membutuhkan waktu
berbulan-bulan untuk mengakrabi hutan ini, hingga akhirnya terbiasa."
"Kau tidak merasa kesepian?"
"Sejak lima tahun ini aku selalu merasa kesepian.
Tetapi selama empat hari ini, hatiku selalu riang Karena ada Den Asti di sini."
Tanpa sadar tubuh Asti menggigil. Secara tidak
langsung hati wanitanya menangkap isyarat kalau
Walengkeng masih mencintainya. Dan perasaannya kini menjadi tegang dan
ketakutan. Kalau begitu, tempat ini memang harus ditinggalkannya. Bila dia
terus-menerus di sini,
bisa jadi Walengkeng akan memaksakan kehendaknya. "Kau pandai berbicara rupanya," kata Asti, untuk menenangkan hatinya.
Walengkeng menggelengkan kepalanya. "Itulah kenyataannya, Den Asti. Selama lima
tahun aku me-mendam rindu yang semakin hari terasa semakin da? lam pada Den
Asti. Bahkan aku merasa tak akan pernah bertemu Den Asti kembali. Namun, Gusti
Yang Maha Kuasa mcngabulkan permohonanku siang dan malam."
Asti bertambah gelisah. Dia merasa harus
mengubah pokok pembicaraan. Kupingnya terasa panas mendengar
pernyataan Walengkeng yang seperti mendapat kesempatan. Apa yang dilakukan lelaki itu memang sebuah bujukan di
balik sikapnya yang sopan.
Karena secara tak langsung, apa yang ditunggu selama ini dibuka oleh Asti
sendiri. Dan s udah tentu lelaki berwajah menyeramkan ini tak membuang
kesempatan yang ada.
Dia tetap menginginkan Asti menyerahkan dirinya dengan suka rela. Bukan dalam
paksaan. "Den Asti.... Apakah kau...," Walengkeng sengaja menghentikan kata-katanya untuk
melihat sikap gadis manis itu."Apa... apa yang hendak kau katakan, Walengkeng?"
sahut Asti dengan suara bergetar. Sedikit banyaknya
dia sudah menangkap isyarat yang menggelisahkan hatinya.
"Sudahlah....
Rasanya belum tepat aku mengatakan yang sebenarnya. Namun aku yakin. Den Asti tahu apa yang kupendam
selama ini. Aku mencintai Den Asti. Dan, menginginkan...."
"Walengkeng!" potong Asti dengan kegelisahan
merajai tubuhnya. Wajahnya nampak pucat dengan bola mata jernih bergerak cepat.
"Sampai saat ini, aku belum mengetahui keadaan kedua orangtuaku, meskipun kau
mengatakan mereka sudah mati di tangan pembunuh
kejam itu. Aku ingin sekali melihat makam mereka. Aku ingin menyembangi dan
bersujud di makam keduanya, Walengkeng. Tentunya kau mengerti perasaanku saat
ini, bukan" Aku begitu sedih memikirkan nasib mereka.... "
Walengkeng hanya menganggukkan kepala meskipun hatinya berubah geram. Dia sadar. secara tidak langsung Asti
menolaknya. "Bila kau tetap menolak, aku bisa memaksakan kehendakku dan mendapatkan apa yang
kuingin-kan...,"
kata Walengkeng, mendesis dalam hati.
"Walengkeng....
Berjanjilah untuk segera mengantarku pulang," pinta Asti pelan.
Walengkeng

Pendekar Slebor 42 Manusia Laba-laba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak menyahut. Sudah tentu permintaan itu tak akan dikabulkan. Dia ingin mendapatkan apa yang telah lama di mpikannya.
Dan sebelum ada yang berkata apa-apa....
"Tempat itu layak untuk kita tinggali sebelum meneruskan mencari Pendekar
Slebor, Kawan-kawan!"
Terdengar suara keras yang disertai tawa ter-
bahak-bahak. *** 5 Seorang lelaki bertubuh setengah bulat dengan
kepala agak botak tengah melangkah bersama tiga orang lainnya. Kepalanya di kat
kain berwarna merah yang di lengahnya ada gambar bulan sabit. Di tengahnya
terdapat beberapa buah gelang bahar besar.
Lelaki itu terbahak-bahak lagi, memperlihatkan
bungkahan dua pipinya yang semakin bertambah bulat.
Suaranya menggema di seluruh hutan itu.
"Kita bisa menyusun kembali semua rencana
untuk menuntaskan dendam pada Pendekar Slebor! Hhh!
Dua minggu sudah kita mencari Pendekar Slebor. Tetapi sampai saat ini, keparat
itu belum juga kelihatan batang hidungnya!" lanjulnya.
"Kau periksa tempat itu, Dwipolko!" ujar lelaki yang bertubuh tinggi besar.
Wajahnya dipenuhi cambang. "Hhh!
Barangkali kita memang bisa memakainya sebagai tempat beristirahat
sebelum menuntaskan dendam pada Pendekar Slebor! Aku tak ingin lima sahabat kita mati penasaran karena ulahnya!'
Mendengar kata-kata lelaki yang bercambang
bawuk itu, lelaki setengah bulat yang dipanggil Dwipolko menggeram sambil
mengepalkan tangannya. Lalu kakinya melangkah
untuk memeriksa gubuk
di depannya. Sementara, tiga orang temannya menunggu di depan gubuk dengan hati penuh dendam
pada Pendekar Slebor.
Jelas sekali, kalau mereka memiliki dendam kesumat pada pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan itu.
Sedangkan di dalam gubuk, Walengkeng yang
sebenarnya berjuluk Manusia Laba-laba berdiri tegak ketika melihat gelagat
kurang menguntungkan. Dia menggeram penuh amarah, karena manusia-manusia yang
datang itu membuyarkan seluruh rencananya untuk
merayu Asti. Asti sendiri yang tadi terkejut mendengar suara itu, lebih terkejut lagi ketika
melihat mata Walengkeng tiba-tiba
memerah kembali. Ketika lelaki setengah bulat tahu-tahu sudah berada di depan
pintu. Tanpa sadar si gadis beringsut ke pojok dengan tubuh agak bergetar.
Dwipolko terbahak-bahak keras ketika melihat
gubuk itu ternyata berpenghuni.
"Luar biasa! Rupanya ada monyet kesasar di sini!
Dan..., oh! Seorang bidadari dari kayangan berada di sini!
Menyenangkan! Sangat menyenangkan!"
Begitu mendengar suara Dwipolko, ketiga temannya segera melesat ke arah pondok. Mereka tak tertarik dengan kata-kala
pertama dari laki-laki setengah bulat itu. Tetapi kata-kata yang kedua yang
membuat mereka seperti singa kelaparan. Dan mereka terbahak-bahak ketika melihat
apa yang dikatakan Dwipolko.
Walengkeng alias Manusia Laba-laba mengepalkan kedua tangannya.
"Siapa kalian?" tanya Walengkeng. Suaranya bergetar dan dingin.
Asti semakin terkejut menyadari perubahan yang
terjadi pada diri Walengkeng. Dulu dia tahu, lelaki itu hanyalah lemah. Tetapi,
dari suaranya kini menandakan kalau Walengkeng bukanlah orang lemah seperti
dulu. Dan Asti menangkap nada kejam pada bentakannya.
Keempat orang yang berlampang menyeramkan
itu terbahak-bahak.
"Hei, Manusia Setan!" seru Dwipolko. "Apa yang kau lakukan di sini bersama
bidadari itu" Serahkan bidadari jelita itu. Maka nyawa setanmu tak akan pernah
kami cabut!"
"Lancang bicara, hanya mencari kematian!"
"Setan alas!" maki Dwipolko dengan wajah seketika memerah seperti udang rebus.
"Apa kau belum tahu berhadapan dengan siapa, hah"!"
"Katakan nama-nama busuk kalian! Karena, aku perlu mengingat siapa saja manusia
yang mampus di tanganku!" ujar Walengkeng, dingin.
"Monyet hidung sumplung! Kau mencari mampus!
Kami adalah empal orang dari Sembilan Iblis! Namaku Dwipolko, berjuluk Iblis
Rembulan. Yang berpakaian kuning adalah Bresatar. Julukannya Iblis Kaki Seribu.
Yang tinggi besar bernama Jenggolo. Dia berjuluk Iblis Tangan Dewa.
Dan yang berbaju sehalus sutera bernama Upasonto.
Julukannya Iblis Baju Sutera! Nah! Sekarang, minggat dari sini! Biarkan bidadari
jeh'ta itu.menemani kami, daripada nyawa busukmu melayang!"
Walengkeng terdiam. Namun, tatapan matanya
bertambah membara, menebarkan hawa kematian.
"Aku tak punya silang sengketa dengan kalian!
Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum kemarahanku menjadi-jadi!" tegas
Manusia Laba-laba, menggetarkan.
"Ha ha ha...!"
Ancaman Walengkeng itu dibalas tawa empat
orang yang mengaku sebagai Sembilan Iblis. Mereka tak lain adalah para anggota
Sembilan Iblis yang pemah dibuat porak-poranda oleh Pendekar Slebor. Lima orang
dari Sembilan Iblis telah menemui ajal. Dan kini, sisanya yang telah berpisah
setelah bertarung dengan Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam, muncul
kembali. Mereka telah bersatu untuk menghancurkan Pendekar Slebor! Karena, gara-
gara Pendekar Slebor kekuatan mereka menjadi kacau (Untuklebih jelasnya, silakan
baca: "Istana Sembilan Iblis"). "Aku ingin lihat omong besar orang berhidung
sumplung itu!"
Begitu habis kata-katanya, tubuh Dwipolko alias
Iblis Rembulan berkelebat. Angin dingin menderu tajam mengiringi luncuran tubuh.
Sementara Walengkeng alias Manusia Laba-laba
tak bergerak dari tempatnya. Matanya semakin nyalang dengan kemarahan membludak.
Namun begitu tangan
kanan dan kiri Iblis Rembulan bergerak, tubuhnya dimiringkan sambil mengibaskan
tangan. Siting! Dua buah larik sinar hitam yang menggidikkan
melesat. Iblis Rembulan yang tak menyangka akan
mendapat serangan mendadak cepat membuang tubuhnya. "Manusia setan! Pantas kau berani omong
banyak!" bentak Iblis Rembulan dengan wajah pias. Begitu bangkit, dia melihat
sebuah pohon hangus seketika terkena hantaman sinar hitam yang mengerikan tadi.
"Tempat ini terlalu kecil untuk kita!" dengus Manusia Laba-laba, langsung
melompat ke atas. Brosss.. !
Tubuh Manusia Laba-laba menerobos atap rumbia.
Di udara dia berputaran. Dan begitu lelaki ini hinggap di tempat yang agak
terbuka, empat anggota dari sisa Sembilan Iblis segera mengurungnya.
Sementara Asti yang beringsut di s udut gubuk, tak terasa tubuhnya menggigiL
Kengerian macam apa yang akan dialaminya lagi" Apalagi, melihat perubahan wajah
dan sinar mata Walengkeng yang mengerikan. Dan tadi..., oh, Gusti! Sejak kapan
Walengkeng memiliki kepandaian mengerikan"
Iblis Rembulan yang marah karena serangannya
digagalkan dengan mudah segera menyerang kembali. Kali ini lebih mengerikan dari
serangan yang pertama. Sambil maju, tangan kanannya bergerak ke arah Manusia
Laba-laba berkali-kali.
Sinar merah berbentuk bulan sabit melesat
menggiriskan ke arah Manusia Laba-laba. Namun dengan gerakan aneh, Walengkeng
merangkakkan tubuhnya. Dia bergerak cepat ke sana ke mari membuat sinar merah
itu hanya menghantam beberapa pohon hingga langsung
terpolong pada bagian tengahnya.
Dan sambil merangkak menghindari serangan Iblis
Rembulan, Manusia Laba-laba mengibaskan tangannya ke atas berkali-kali. Maka
seketika jerat-jerat halus menempel di dalam pohon dengan ganjilnya, dia meniti
jerat-jerat halus itu. Tindakan ini membuat keempat lawannya sejenak
terperangah. Karena, gerakan seperti itu tak mungkin bisa dilakukan siapa pun.
Iblis Baju Sutera yang lebih dulu tersadar dari
keterkesimaannya,
"Setan alas! Manusia keparat itu menguasai ilmu laba-laba! Iblis Rembulan, hati-
hati!" Namun seruan itu terlambat. Karena begitu
menginjak batang pohon, tangan Manusia Laba-laba langsung bergerak kembali
Sraaat! Jerat-jerat halus kontan melilit tubuh Iblis
Rembulan yang baru saja hendak melesat mengejar
manusia rambut jarang itu. Tubuhnya terpuruk jatuh begitu disentak kuat-kuat
oleh Manusia Laba-laba. Dan belum lagi menyadari apa yang terjadi, tubuh
Walengkeng sudah bergerak menuruni jerat-jerat
halusnya. Kedua tangannya merentang. Dan.... "Heigghkh!"
Bagai capitan tang raksasa, kedua tangan
Manusia Laba-laba mencengkeram leher Iblis Rembulan.
Dwipolko meronta-ronta hebat, namun tak mampu berbuat apa-apa. Karena, jerat-
jerat halus itu begitu alot dan menyulitkan gerakannya. Kejap berikutnya....
"Aaa...!"
Nyawa Iblis Rembulan pun melayang dengan leher
patah dikawal oleh leriakan menggiriskan. "Heaaah...!
Chhuhhh...!"
Dengan bengisnya, Manusia Laba-laba melempar
tubuh Iblis Rembulan sambil meludah. Tatapannya yang membara mengalih pada tiga
lawan lainnya yang hanya terbengong. Karena, baru kali ini mereka melihat ada
yang memiliki ilmu dahsyat seperti itu.
"Kurung manusia anjing itu! Hati-hati! Jerat-jerat laba-labanya sangat
berbahaya!" teriak Iblis Baju Sutera, memecah keterpanaannya.
Sehabis berkata begitu, lelaki berbaju sutera ini sudah meluruk dahsyat.
Menyusul kemudian, Bresatar alias Iblis Kaki Seribu dengan serangan kaki yang
cepat, hingga menimbulkan gemuruh angin bak topan prahara.
Tak ketinggalan Jenggolo alias Iblis Tangan Dewa. Begitu
mengibaskan tangannya, cahaya panas dengan kekuatan raksasa langsung meluruk
dahsyat. Namun Manusia Laba-laba dengan lincahnya
bergerak ke sana kemari di atas jerat-jerat halusnya. Dan selagi menghindar,
telunjuknya bergerak membabi buta.
Maka puluhan sinar hitam melesat dari ilmu 'Jari Sakti' nya.
Ketiga lawan mendengus dengan kemarahan
menyentak-nyentak. Namun bagi mereka sangat sulit sekali untuk mendekati Manusia
Laba-laba. Karena merasa sadar, sekali terjerat jerat-jerat halus namun alot
itu, maka sudah dipastikan tak akan bisa melepaskan diri.
Berarti, nyawa sudah di ujung tanduk.
Namun Iblis Kaki Seribu yang geram akibat
kematian Iblis Rembulan tak mempedulikan soal itu lagi.
Dengan ilmu 'Kaki Seribu' nya, tubuhnya bergerak bagai baling-baling dengan
kepala di bawah. Gemuruh angin bagai topan mengamuk langsung terjadi.
Kini tubuh Manusia Laba-laba terombang-am-bing
dalam jerat-jerat halusnya. Dia berkali-kali harus menambahkan kekuatan jerat-jeratnya melalui tenaga dalam. Sementara, Iblis Baju
Sutera dan Iblis Tangan Dewa mengalirkan tenaga dalam pada kedua kaki untuk
bertahan. Namun wajah dan tubuh mereka terasa bagai ditampar tangan raksasa yang
keras sekali. Pepohonan yang berada di sana seketika tumbang
terhantam kekuatan dahsyat. Dan kekuatan itu lerus melunc ur ke arah gubuk reyot
yang di dalamnya terdapat Asti.
*** Di dalam gubuk reyot itu, Asti semakin terpaku
dalam kengerian, begitu melihat perubahan yang terjadi pada diri Walengkeng
alias Manusia Laba-laba. Saat melihat pertarungan, si gadis menjeril ketika
Walengkeng menggerakkan tangannya yang meluncur sinar hitam
mengerikan. Kesadarannya kontan tersentak. Dilihatnya lelaki hidung sumplung itu
telah berubah menjadi orang berilmu tinggi.
Kesadaran itu menimbulkan sebuah tekad. Maka
Asti pun perlahan-lahan beringsut. Lalu dengan hati-hati dan agak susah payah
dia keluar melalui jendela. Dan saat itu pula langkahnya bergerak meskipun
berkali-kali harus tersaruk akar pohon besar yang keluar dari tanah. Pada saat
yang sama... Brasss. .! "Aauww.. !"
Dan si gadis berleriak keras ketika tubuhnya
hampir saja terhantam gubuk yang diterbangkan angin yang ditimbulkan serangan
Iblis Kaki Seribu.
Menyadari hal itu, Asti menghela napas panjang
dan merasa beruntung karena memutuskan untuk
melarikan diri. Bagaimana kalau tidak"
Dengan menambah semangatnya,
Asti pun melangkah lebih bergegas. Tak dipedulikan lagi jalan mana yang harus ditempuh.
Yang di nginkan sekarang ini, pergi sejauh-jauhnya dari Walengkeng!
*** Manusia Laba-laba seketika menoleh ketika gubuk
reyot tadi diterbangkan angin. Matanya terbelalak ketika tak melihat Asti berada
di sana. Dugaannya, gadis itu pasti sudah melayang diterbangkan oleh angin dari
Mis Kaki Seribu. Berpikir seperti itu, Manusia Laba-laba menjadi bertambah
geram. Tiba-tiba saja tubuhnya meluncur ke bawah, setelah mengirimkan jerat-
jerat halusnya. Lalu dengan melompat layaknya seekor laba-laba berpindah tempat,
sambil berbalik tangannya me-ngibas.
Srat! Srat!

Pendekar Slebor 42 Manusia Laba-laba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jerat-jerat halus Manusia Laba-laba langsung
mengikat kedua kaki Iblis Kaki Seribu. Dan seketika diputarnya tubuh lelaki itu
dengan kekuatan cepat.
Brukk! Gerakan Iblis Kaki Seribu terhenti. Bersamaan
dengan itu, tubuhnya ambruk dengan kaki terikat.
"Anjing keparat!" maki Iblis Kaki Seribu sambil mengerahkan tenaga dalam untuk
melepaskan kakinya dari jerat-jerat halus yang begitu kuat.
Pada saat yang sama, Iblis Tangan Dewa dan Iblis Baju Sutera langsung memburu ke
arah Manusia Laba-laba. Mereka bermaksud menyelamatkan nyawa Iblis Kaki Seribu
yang terancam. Namun lagi-lagi gerakan mereka terhenti ketika
tangan Manusia Laba-laba mengibas, melepaskan jaring-jaring kuat hingga keduanya
sulit untuk masuk. Masih untung mereka mampu menahan laju kecepatan, hingga tak
menempel pada jaring halus itu.
Mendapat kesempatan baik, Manusia Laba-laba
sendiri sudah melesat meninggalkan tempat itu. Yang terpenting
baginya adalah nasib Asti. Dia harus menyelamatkan gadis yang diinginkan menjadi istrinya. Bila tak menemukan gadis
itu, akan dihancurkannya tiga manusia dari Sembilan Iblis!
"Setan alas!" maki Iblis Tangan Dewa, menyadari lawannya telah lenyap tanpa
bekas, kecuali jerat-jerat yang masih menempel di sana sini. "Bila bertemu lagi,
akan kuhajar kau, Keparat Sumplung!"
Perhatian Iblis Tangan Dewa beralih pada Iblis
Baju Sutera yang sedang mencoba memutuskan jerat laba-laba yang mengikat kedua
kaki Iblis Kaki Seribu. Namun meskipun seluruh tenaga dalamnya sudah dikerahkan,
jerat-jerat halus itu tak putus juga.
"Gila! Terbuat dari apa jerat-jerat ini?" maki Iblis"
Kaki Seribu dengan mulut berbentuk kerucut.
"Hhh! Hanya jerat seperti itu saja kau tak mampu melakukannya!" bentak Iblis
Tangan Dewa. Lalu lelaki ini membungkuk. Tenaga dalamnya
segera dikerahkan untuk memutuskan jerat-jerat alot itu.
Namun seperti yang dialami Iblis Baju Sutera, dia pun tak mampu memutuskannya.
"Sialan! Jerat keparat!"
Iblis Tangan Dewa kini mengerahkan hawa panas
melalui kedua telapak tangan. Akan tetapi, jerat-jerat halus itu tak putus juga.
Dan, justru Iblis Kaki Seribu yang berteriak keras karena kedua kakinya melepuh.
"Setan! Bagaimana cara kita untuk memutuskannya!" maki Iblis Tangan Dewa, seolah tak mempedulikan teriakan
kesakitan dari temannya.
Iblis Baju Sutera yang tadi merasa diejek
mendengus. "Jerat-jerat ini memiliki kekuatan sangat hebat.
Hanya hawa panas yang luar biasa yang bisa memutuskannya. Namun bila kita mengalirkannya,
akibatnya kedua kaki Iblis Kaki Seribu bukan hanya melepuh. Tetapi, bisa
hangus!" 'Peduli setan! Lakukan!" seru Iblis Kaki Seribu.
"Kau bisa lumpuh!"
"Persetan dengan segala kelumpuhan! Aku akan mencoba
mengalirkan tenaga dalamku untuk menahannya! Ayo, mengapa kalian jadi ragu"! Apakah kalian menginginkan aku
selamanya terjerat oleh benang-benang keparat ini"!"
"Aku sangsi, apakah kau bisa bertahan?"
"Sialan! Kenapa kalian jadi banyak omong begitu, hah"!" maki Iblis Kaki Seribu
geram. "Lakukan apa yang menurut kalian baik. Dan aku yakin bisa tertahan."
Iblis Baju Sutera memandang Ibis Tangan Dewa.
Lalu seperti disepakati, Iblis Tangan Dewa memegang kedua kaki Iblis Kaki Seribu
yang terlibt jerat-jerat halus itu.
Sementara, Iblis Baju Sutera sendiri duduk di belakangnya dengan kedua tangan
menempel di punggung Iblis Tangan Dewa. Perlahan-lahan Iblis Baju Sutera
mengalirkan hawa panas dari tubuhnya dengan tenaga dalam melalui
punggung Iblis T angan Dewa sebagai perantara. Sementara Iblis Tangan Dewa begitu merasakan panas
menyengat tubuhnya, segera mengalirkannya pada kaki Iblis Kaki Seribu.
Iblis Kaki Seribu sendiri mencoba menutup aliran hawa panas itu agar tidak
terlalu menyengat dengan tenaga dalam. Namun tak urung, dia pun menjerit keras
karena tekanan hawa panas sangat luar biasa!
Ketiganya bagai berjuang keras saling bahu-
membahu. Dalam waktu tiga kali penanakan nasi, jerat-jerat alot itu mulai putus
satu persatu! Hingga akhirnya terlepas semua.
Tak lama, Iblis Kaki Seribu sudah jatuh pingsan
dengan kedua kaki hangus.
*** 6 Senja semakin menurun ketika Asti tiba di sebuah lembah yang terjal.
Kengeriannya menjadi-jadi. Bukan hanya karena tak tahu harus menempuh jalan yang
mana, tapi juga karena lembah curam penuh batu itu sangat berbahaya. Kabut tebal
menghalangi pandangannya ke depan. Apalagi senja kian merayap gelap.
"Oh, Gusti Allah.... Apakah aku harus mati di sini?"
desisnya kecut.
Entah kenapa bayangan puluhan ular melata
melintas di benaknya. Seolah hewan-hewan menjijikkan itu siap menantinya bila si
gadis nekat menuruni lembah itu.
Belum lagi dengan batu-batu tajam yang akan semakin menggores telapak kakinya.
Alas kaki yang dikenakanya saja sudah sobek bagian depan. Pada jari-jarinya
terasa perih. "Tidak...! Aku harus bertahaa Harus! Lebih baik dipatuk ular daripada berada
terus-menerus bersama Walengkeng. Manusia itu bukan hanya mengerikan
sekarang. Tetapi aku yakin dia mempunyai niat busuk padaku."Asti mulai melangkah
ke depan. Dia berusaha menerobos kabut yang tebal. Namun baru sekali kakinya
melangkah. tubuhnya sudah terperosok.
"Oh!"
Masih sempat tangannya menyambar sebuah batu
hingga tubuhnya tidak jatuh. Lalu dengan mengerahkan sisa tenaga nya, tubuhnya
dibawa ke atas. Kedua
tangannya menjadi lecet.
"Apakah ada lubang di depanku?" desahnya cemas.
"Atau..., ada sebuah jurang yang menganga" Oh, Gusti...! Apa yang harus
kulakukan sekarang?"
Tanpa sadar Asti jatuh terduduk. Dan pikiran si
gadis jadi kacau hingga akhirnya menangis. Keletihan dan rasa sakit pada kaki
yang mendera nya, membuatnya tak
sanggup berdiri lagi. Dia semakin menangis, membayangkan dirinya yang tak tahu harus berbuat apa.
Padahal, Asti termasuk gadis
tegas. Namun biar bagaimanapun dia hanyalah seorang wanita. Dan tanpa terasa, Asti pun jatuh
tertidur di tempat itu.
Pada saat yang sama, satu sosok tubuh tiba di
sana. Sosok yang ternyata pemuda tampan berbaju hijau pupus terkejut melihatnya.
Diperiksanya tubuh gadis itu dengan seksama. Sesaat terdengar helaan napasnya.
Lalu diangkatnya untukdibawa ke tempat aman, yang mampu menahan angin dingin.
Perlahan-lahan matahari di timur sana muncul.
Sinarnya bagai gumpalan emas menerangi seisi alam.
Rahasia Ciok Kwan Im 8 Joko Sableng Kitab Serat Biru Pendekar Bloon 22
^