Pencarian

Patung Kepala Singa 2

Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa Bagian 2


Bila kau ternyata jin serem, silakan pulang ke kam-
pung halamanmu! Tetapi bila kau ternyata manusia jelek, silakan nongol!"
Kata-kata konyolnya itu kembali menggema. Na-
mun tak satu sosok tubuh pun yang keluar.
Kali ini diam-diam Andika membatin, "Menilik cepatnya orang ini bergerak, sudah
tentu dia bukan
orang sembarangan! Tetapi apa maunya dia yang da-
tang dengan cara diam-diam dan menghilang begitu!
hendak kujebak"!"
Memang sulit untuk mendapatkan jawaban atasi
pertanyaannya. Kali ini, pemuda berotak encer ini berkata dalam hati, "Lebih
baik... kutinggalkan saja tem-
pat ini sekarang.... Barangkali saja dengan cara begitu, orang yang mengintipku
akan terus membuntuti. Huh!
Rasanya sudah tidak sabar ingin kujitak kepalanya
yang sudah tentu penjol itu!!"
Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya
dan senyum-senyum sendiri, pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini segera berkelebat me-
ninggalkan tempat itu.
Di satu tempat yang tersembunyi, si pengintip
yang ternyata memiliki ilmu peringan tubuh sebanding yang dimiliki Pendekar
Slebor berkata dalam hati di balik ranggasan semak belukar setinggi dada, "Gila!
Hampir saja aku terjebak permainannya tadi! Tetapi
masih untung aku bisa bertindak sigap! Bila tidak,
urusan akan semakin membentang. Biar bagaimana-
pun juga, aku yakin kalau pemuda konyol itu menge-
tahui tentang Patung Kepala Singa! Huh! Patung itu
harus kukuasai! Karena menurut kabar yang kuden-
gar, di dalam patung itu terdapat daun-daun yang di atasnya tertulis sebuah ilmu
langka tiada banding!"
Setelah menunggu beberapa saat, si pengintip
kemudian memutuskan untuk kembali mengikuti Pen-
dekar Slebor. Gerakan yang diperlihatkannya tadi
sungguh luar biasa. Bila seseorang melompat keluar
dari balik ranggasan semak, paling lidak ranggasan
semak belukar itu akan bergoyang. Terkena bagian tubuhnya atau terkena angin
lompatannya. Akan tetapi, semak belukar itu tetap tak bergerak
sama sekali! Kalaupun bergerak, itu disebabkan oleh belaian angin yang bertiup.
*** 6 Angin berdesau dingin. Berlarian dari satu pohon
ke pohon lain, menggugurkan dedaunan, bergalayutan
sejenak di hamparan semak belukar, lalu berdesir lagi menjauh. Jalan setapak
yang sunyi itu semakin ditim-bun kesunyian mencekam. Hanya suara beberapa ekor
burung yang terdengar lalu beterbangan. Matahari
kembali muncul dari ufuk timur. Entah kali yang keberapa matahari muncul dari
tidurnya semenjak dimu-
lainya kehidupan ini. Dan setiap pergerakan matahari adalah waktu. Entah kali
keberapa pula waktu telah menggilas dan meninggalkan manusia dalam kehidupan
ini. Pendekar Slebor tiba di sebuah sungai yang airnya
mengalir cukup deras. Di tengah-tengah sungai itu
terdapat beberapa buah batu besar.
Pemuda ini segera hentikan gerakannya di tepi
sungai itu. Dia tak segera arahkan pandangan ke belakang, untuk meyakinkan
apakah orang yang mengiku-
tinya masih terus melakukan aksinya. Kendati demi-
kian, Pendekar Slebor tetap menduga kalau orang itu masih mengikutinya.
"Kura-kura peot! Aku jadi makin penasaran ingin mengetahui siapa orang itu!
Tetapi, rasa-rasanya aku mulai tidak mendengar gerakan maupun desah nafasnya.
Meskipun begitu, aku yakin dia masih mengikuti-ku. Busyet! Kenapa ya dia
mengikutiku" Jangan-
jangan... yang mengikutiku itu seorang gadis manis
yang tergila-gila akan kegantenganku" Wah! Kalau ta-hu begitu, tadi ku usahakan
untuk mencarinya. Kan
asyik... wah! Bagaimana kalau ternyata yang mengikutiku cuma seorang nenek yang
kegatelan"! Ih! Sebe-
narnya tubuhku sudah lengket oleh keringat! Tetapi
bagaimana kalau aku sedang mandi kemudian ternya-
ta nenek yang mengikutiku mengintip" Wah! Tidak jadi mandi deh!"
Kali ini dia putar tubuhnya dan diperhatikan se-
kelilingnya. Tahu-tahu pemuda urakan ini berteriak keras, "Hoooiiii!! Kalau mau
meminta tanda tanganku keluar saja! Tidak usah malu-malu!!"
Tak ada sosok tubuh yang keluar. Karena, me-
mang tak ada yang mengikutinya lagi. Rupanya, orang yang mengikuti Pendekar
Slebor sengaja mengurungkan niatnya tatkala dilihatnya satu sosok tubuh tinggi
besar berkepala plontos berkelebat cepat sejarak sepuluh tombak di samping
kanannya. Dalam sekali lihat saja, orang ini yakin kalau yang berkelebat itu adalah si
Kepala Besi. Untuk sejenak orang ini menjadi agak ragu-ragu.
Siapakah yang harus diikutinya" Namun setelah
mempertimbangkan agak lama, dia justru berkelebat
menyusul perginya si Kepala Besi yang sengaja meng-
hindari Bidadari Tangan Bayangan tatkala terjadi benturan keras.
Sementara itu, Pendekar Slebor masih bcrteriak-
teriak keras. "Hoooiiiii!! Di sini banyak ikannya!! Mendingan di sini saja!
Hoooiiii!!!"
Setelah berulang kali berteriak dengan seruan
yang tak tahu juntrungannya, justru yang muncul dua orang lelaki bertampang
mengerikan yang berusia kira-kira lima puluh tahun.
Saat itu pula Pendekar Slebor arahkan pandan-
gannya. Sejenak dia terdiam. Kendati demikian, mu-
lutnya cengar-cengir saja (sok kecakepan).
Dua lelaki yang baru datang itu tak berkedip me-
mandang ke arahnya. Wajah masing-masing orang
yang mengenakan pakaian warna biru gelap itu tidak
ramah. Di dada masing-masing terdapat dua selendang
bersilangan warna putih.
Orang yang berdiri di sebelah kanan, yang berku-
mis baplang itu keluarkan suara setelah pandangi te-mannya, "Pemuda berpakaian
hijau! Ada urusan apa kau berteriak-teriak seperti orang gila, hah"!"
Pendekar Slebor tak segera menjawab. Dia justru
makin perlihatkan cengirannya.
Lalu katanya dengan kedua tangan disatukan di
belakang pinggul, "Heran! Kenapa yang muncul dua orang, ya"! Apa belum cukup
umur untuk menghada-piku seorang diri?"
Sudah tentu kedua orang itu keheranan menden-
gar kata-kata Andika. Kendati mereka keheranan, na-
mun mereka tak suka mendengar kata-kata yang di-
ucapkan dengan sikap keblinger itu. Kedua lelaki berpakaian biru gelap ini
bukanlah orang baik-baik. Mereka dikenal dengan julukan Dua Iblis Lorong Maut,
yang telah lama malang melintang di rimba persilatan ini dengan tindakan
telengas yang selalu mereka perlihatkan. Dan kalaupun mereka keluar dari Lorong
Maut di mana mereka berasal, karena mereka hendak
mencari Patung Kepala Singa.
Si kumis baplang yang bernama Gendala Maung,
kembali keluarkan suara, "Pemuda aneh! Sikapmu sungguh keterlaluan sekaligus
mengherankan! Tetapi
peduli setan dengan apa yang kau katakan tadi! Kare-na, bila kau bisa jawab
pertanyaan kami, maka kau
akan dapat melihat rembulan nanti malam!"
Andika yang masih menyangka kalau salah seo-
rang dari mereka itu orang yang membuntutinya tadi, kali ini mengangkat sepasang
alisnya yang hitam legam dan seperti kepakan sayap elang.
"Busyet! Apakah nanti malam kedua mataku akan
jadi buta bila tak bisa menjawab pertanyaanmu hingga tak bisa melihat rembulan"
Wah! Jangan bicara sem-
barangan!"
Mendapati sahutan seperti itu, Gendala Maung
tertawa lebar, keras dan bertalu-talu. Andika bukannya tidak merasakan kalau
dalam suara itu mengan-
dung gelombang tenaga dalam yang akan memaksanya
surut bila dia tidak segera bertindak dengan mena-
mengkan dirinya dengan tenaga dalam pula.
Di sela-sela tawanya si kumis baplang keluarkan
kata, "Baru kali ini kutemui pemuda tolol! Bila kau memang menghendaki kedua
matamu menjadi buta,
akan kulakukan bila kau bisa menjawab pertanyaan-
ku! Tetapi bila tidak, kau harus mampus!!"
Masih mengangkat-angkat alisnya seperti sakit
mata, Andika cuma nyengir saja. Diam-diam dia berka-ta dalam hati, "Merasakan
tenaga dalam yang dipa-merkan melalui tawanya tadi, memang cukup mengke-
derkan. Tetapi aku yakin, kalau bukan salah seorang dari kedua orang ini yang
membuntutiku. Karena dari gerakannya, orang yang membuntutiku dapat kuyakini
memiliki tenaga dalam melebihi tenaga dalam yang dimiliki kedua orang ini."
Kejap kemudian dia berkata, "O... jadi maksudnya aku akan mampus bila tidak bisa
menjawab pertanyaanmu" Kalau begitu, cepat tanya deh. Mumpung
aku lagi mau menjawab nih!"
Bukan si kumis baplang yang segera keluarkan
suara, melainkan si wajah tirus yang bernama Ganda
Maung yang sejak tadi sudah mengkelap mendengar
setiap kata-kata Andika.
"Pemuda keparat! Katakan pada kami, apakah kau tahu di mana Pendekar Sutera
berada"!"
Andika tak segera menjawab, justru dia berkata
dalam hati, "Menilik pertanyaannya... jangan-jangan ini ada hubungannya dengan
Patung Kepala Singa"
Hmm... aku harus berhati-hati." Kemudian sambil
menganggukkan kepalanya, pemuda yang di lehernya
melilit sebuah kain bercorak catur ini berkata, "Aku pernah mendengar julukan
itu!" "Di mana dia berada sekarang?" sambar Ganda Maung tak sabar.
"Kalau kau tanyakan soal itu, jelas mudah jawabnya. Dia sudah berada di surga!"
"Apa maksudmu, hah"!"
"Lelaki perkasa itu telah tewas dalam satu pembantaian yang hingga saat ini
belum diketahui siapa orangnya!!"
Mendapati jawaban Andika, kedua orang itu saling
pandang. Pancaran mata masing-masing orang jelas
tak mempercayai kata-kata Andika.
Ganda Maung kembali arahkan pandangannya
dan berkata, "Kau tak tahu siapa yang membunuhnya, atau... kau telah
menyembunyikan apa yang kami ca-ri"!" "Dia sudah mengarah pada benda itu," kata
Andika dalam hati dan berkata, "Apa maksudmu dengan yang kalian cari"!"
"Jangan berlaku bodoh! Sekarang katakan pada-
ku... di mana Patung Kepala Singa yang telah kau
rampas"!"
Seperti baru menyadari maksud orang Andika
menyahut, "Patung Kepala Singa" Wah! Tentunya itu sebuah benda yang sangat
langka karena kalian nampak begitu tak sabar untuk memilikinya! Betul tidak"!"
"Jangan banyak omong! Serahkan benda itu ke-
pada kami!"
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya seraya
membatin, "Jelas kalau mereka memang termasuk salah seorang yang menginginkan
Patung Kepala Sin-
ga.... Tetapi tidak seperti yang diinginkan oleh Bidadari Tangan Bayangan dan
Nyi Dungga Ratih. Kedua pe-
rempuan itu menghendaki Patung Kepala Singa untuk
diselamatkan."
Kemudian katanya, "Terus terang, benda yang kalian cari itu tidak ada padaku!
Justru aku sedang
mencari siapa orang yang harus bertanggung jawab
atas pembantaian di Kuil Putra Langit!!"
Gendala Maung membuka mulut, "Huh! Rupanya
kau termasuk salah seorang yang pandai bersilat lidah!
Tetapi sayangnya, kau berhadapan dengan Dua Iblis
Lorong Maut!"
Habis kata-katanya, lelaki berkumis baplang ini
sudah melompat ke muka. Tangan kanan kirinya siap
lepaskan jotosan. Sementara angin menderu keras saat tubuhnya melesat.
Andika yang sudah perhitungkan serangan itu
buang tubuhnya dan tangannya dengan sigap lancar-
kan satu pukulan ke bagian iga lawan. Namun dengan
gerakan yang aneh, lawannya mampu menangkis se-
rangan itu. Bukan dengan tangan, melainkan dengan
kaki. Padahal sungguh sulit untuk menangkis seran-
gan itu dengan mempergunakan kaki!
Des! Andika mundur dua langkah. "Gila! Jurus apa
yang diperlihatkannya ini?" desisnya dalam hati.
Sementara itu, Gendala Maung juga terkejut. Ka-
rena, jarang orang yang bisa menghindari sekaligus
memapaki serangan pembuka yang dilakukannya tadi.
Sebelum dia siap lakukan serangan berikut, ter-
dengar suara Ganda Maung, "Tahan seranganmu!!"
Sambil rapatkan mulutnya, lelaki kejam berwajah
kelimis ini arahkan pandangannya pada Andika. Seje-
nak dia seperti mengingat-ingat sesuatu. Kemudian
.serunya, "Pemuda jahanam! Apakah salah... bila kukatakan kau adalah Pendekar
Slebor?" Andika cuma mengangkat kedua bahunya.
"Wah! Kalian boleh kok menyebutku seperti itu!
Tetapi... saat menyebut 'Slebor', ya... jangan keras-keras!! Malu kalau didengar
tetangga!"
Ganda Maung yang memang mengarahkan inga-
tannya tentang siapa pemuda ini, keluarkan dengusan keras mendengar sahutan si
pemuda. "Huh! Jadi Pendekar Slebor yang menjual lagak di hadapanku! Bagus! Gendala
Maung... biar aku yang
hadapi pemuda konyol ini!!"
Sementara Gendala Maung mundur tiga langkah ke
belakang, Ganda Maung maju tiga langkah. Digerak-
kan lehernya yang segera terdengar suara, "Krak!
Krak!" Lalu disentak-sentakkan kedua tangannya ke de-
pan yang kembali keluarkan suara seperti tadi.
"Aku ingin tahu seperti apa kebisaan pemuda
yang banyak dibicarakan orang!!"
"Wah! Kalian kan sudah tahu, nih! Kalau yang dalamnya, sih.... ya jangan!" sahut
Andika nyengir.
"Hhh! Kami tak segan-segan turunkan tangan telengas kepadamu! Tetapi... kau bisa
memikirkannya lebih baik untuk menyerahkan Patung Kepala Singa
pada kami!"
Ancaman itu jelas bukan ancaman kosong.
Sayang yang dihadapi keduanya adalah Pendekar Sle-
bor yang dalam keadaan bagaimanapun masih tetap
bertingkah seenaknya. Kata-kata itu hanya disambuti dengan senyuman mengejek,


Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara otaknya berpikir, "Sulit menghindarinya sekarang sementara Bidadari
Tangan Bayangan jelas sudah tak bisa dikejar lagi.
Mudah-mudahan dia belum membuka urusan dengan
Kepala Besi!"
Tetapi, sebelum Andika buka mulut, Ganda
Maung yang gusar tadi, sudah kelebatkan tubuhnya.
Desingan angin bak topan prahara menderu dahsyat
ke arah Andika yang cepat menghindar. Namun seran-
gan itu datang susul menyusul, bahkan dilakukan
dengan menggerakkan kedua kaki dan tangan sekali-
gus. "Benar-benar hebat!" puji Andika sambil terus menghindar. Dan dengan satu
gerak tipu yang manis,
Andika bisa menyusup masuk dan siap hantamkan
pukulan yang telah dialirkan tenaga 'Inti Petir' tingkat kesepuluh. Gendala
Maung kelihatan terkejut mendapati serangan yang cepat itu. Sambil kertakkan ra-
hangnya, lelaki berkumis baplang ini langsung memu-
tar tubuh dan lepaskan tendangannya.
*** 7 Des! Jotosan yang dilepaskan Andika terpapaki oleh
kaki kanannya. Seperti mendapatkan satu gerak lo-
wong yang bisa dipergunakan, mendadak saja Gendala
Maung gerakan kedua tangannya.
Wusss! Wusss!! Serta merta menderu dua gelombang angin deras
yang keluarkan suara menggemuruh. Andika yang ba-
ru saja mundur nampak tercekat. Tak mau berakibat
konyol, dia segera putar tubuhnya dan melompat ke
samping kanan. Blaaarrr!! Tanah di mana Andika berdiri tadi seketika ter-
bongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara.
Belum lagi tanah itu sirap, mendadak terdengar gemuruh angin kembali yang
menerobos gumpalan tanah.
Rupanya Ganda Maung mempergunakan kesem-
patan itu untuk lepaskan serangan. Hanya dengan je-
jakkan kaki kanannya, sosok Pendekar Slebor sudah
mencelat ke samping kiri.
Blaaarr! Untuk kedua kalinya terdengar letupan keras dan
terbongkarnya tanah ke udara.
"Hmmm... aku bisa mati konyol kalau terus menerus menghindar," pikir Andika
sambil bersiaga.
Tatkala semuanya sirap, dilihatnya Dua Iblis Lo-
rong Maut telah berdiri tegak berdampingan. Pancaran mata masing-masing orang
tajam dan kejam.
Ganda Maung berseru, "Tunjukkan pada kami, di
mana Patung Kepala Singa kau simpan"!"
"Itu sih gampang banget! Seingatku, benda itu kusimpan di kepala salah seorang
dari kalian! Tetapi aku lupa... kepala siapa"! Lebih baik kalian ketok saja
kepala kalian satu sama lain!"
Mendengar kata-kata itu, kedua orang itu saling
pandang dengan wajah mengkelap dan tinju dikepal-
kan. Seperti disepakati, kejap itu pula masing-masing orang segera meluruk
dengan gerakan seperti meluncur diiringi teriakan keras.
"Heaaaa!!"
"Yeaaaa!!"
Andika mendengus lalu bergulingan menghindari
serangan ganas yang dilakukan serempak itu. Gulin-
gan tubuhnya bukan ke belakang, melainkan ke de-
pan. Kaki kanannya menyepak kaki Gendala Maung,
dan langsung melompat dengan pencalan satu kaki ke
arah Ganda Maung.
Ganda Maung tak mau tubuhnya dijadikan sasa-
ran empuk serangan Andika. Selagi Andika melompat
ke arahnya, dibuang tubuhnya ke kiri dan mendadak
saja terdengar angin dahsyat berdesingan.
Dengan gerakan yang menakjubkan lelaki berwa-
jah kelimis namun sorot matanya kejam itu, berbalik dengan posisi kepala di
bawah. Gerakan yang menakjubkan itu disusul dengan bergeraknya kedua kakinya
laksana baling-baling. Angin dahsyat segera menderu hebat.
Serta merta terdengar suara yang sangat mengeri-
kan. Menggugurkan dedaunan. Menerbangkan kerikil
dan debu-debu secara serempak. Bukan hanya sampai
di sana saja akibat dari gemuruh angin itu.
Beberapa ranggasan semak belukar tercabut dan
berpentalan. Ranting dan dahan pohon patah, lalu bertabrakan satu sama lain.
Andika yang sudah membuang tubuhnya merasa
wajahnya bagai ditampar dari jauh. Selagi Andika ke-repotan menghindari serangan
Ganda Maung, Gendala
Maung sudah kirimkan jotosan berkali-kali.
Mendapati serangan dua lawan yang demikian
gencar, tak ada jalan lain kecuali memotong setiap serangan. Di saat Gendala
Maung gulingkan tubuh ke
arahnya, Andika lakukan satu tindakan yang menak-
jubkan. Dengan ringannya dia melompat dan menjadikan
tubuh Gendala Maung sebagai tumpuan. Gerakan se-
macam itu tak mungkin bisa dilakukan bila tidak me-
miliki ilmu peringan tubuh dan kecepatan yang tinggi.
Bersamaan tubuhnya melenting dari tubuh Gendala
Maung, dengan kerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat ke-tiga, disongsongnya
serangan Ganda Maung yang ma-
sih menderu dengan kedua kaki di atas dan bergerak
bagai baling-baling.
Sergapan yang dilakukan Andika benar-benar ha-
rus matang. Bila dia lengah sedikit saja, kepalanya akan menjadi sasaran empuk
serangan Ganda Maung.
Dengan cepat, dia merunduk hingga gebrakan kedua
kaki lelaki berwajah kelimis itu lolos dari sasarannya.
Lalu didekatkan tubuhnya pada Ganda Maung yang
sulit untuk menjauh.
Pada saat yang bersamaan, pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini segera lepaskan joto-
san. Des! Des! Terdengar pekikan tertahan dan menyusulnya so-
sok Ganda Maung mencelat ke belakang. Tanpa am-
pun lagi, dengan kedudukan kepala masih berada di
bawah, tubuhnya menghantam sebuah pohon besar.
Andika sendiri bergulingan ke belakang dan berdiri tegak. Wajahnya yang tampan
nampak berkerut, nyeri
menahan sakit. Sementara Gendala Maung menggeram murka
melihat sahabatnya yang telah lama malang melintang di rimba persilatan ini
dengannya menjadi sasaran
hantaman Andika. Dengan gerengan keras dia sudah
menggebrak kembali, menyusul Ganda Maung yang
sudah bangkit sambil menahan sakit. Tak dipeduli-
kannya apa yang dirasakan tadi. Prinsipnya, dia harus membalas setiap serangan
lawan. Mendapati ganasnya serangan lawan, Andika pun
tak mau bertindak setengah-setengah. Segera saja dialirkan ajian 'Guntur
Selaksa'. Bersamaan itu pula dia segera mencelat ke depan, menyongsong dua
serangan ganas lawan-lawannya.
Dua buah tenaga yang dijadikan satu, berbentro-
kan dengan tenaga ajian 'Guntur Selaksa' milik Pendekar Slebor.
Akibatnya sungguh mengerikan. Suara keras berden-
tum dua kali. Dari benturan itu mengepul asap hitam yang pekat. Tubuh Andika
terlempar ke belakang lima tombak. Sementara dua tokoh dari Lorong Maut ini
mengalami nasib serupa. Bahkan Ganda Maung yang
masih menahan sakit tadi, tak bisa bangkit kembali.
Karena kepalanya telak terhantam ajian 'Guntur Se-
laksa' yang dilepaskan Andika tadi.
Mendapati Ganda Maung tewas, Gendala
Maung menjerit keras sambil memelukinya. Dia menje-
rit-jerit seperti seekor serigala yang melihat kematian kekasihnya. Kepedihan
itu lamat-lamat berubah menjadi kegeraman tinggi.
Seketika kepalanya ditolehkan. Sorot matanya lak-
sana kobaran api yang siap membakar siapa saja.
Bahkan untuk sesaat Andika merasa ngeri melihatnya.
"Pemuda keparat! Perhitungan akan dimulai lagi kelak!!" serunya dengan suara
menggelegar. Pendekar Slebor cuma terdiam dengan dada kem-
bang kempis. Sungguh, dia tak mengharapkan kema-
tian Ganda Maung. Akan tetapi, bila dia tidak bertindak, tak mustahil dirinya
yang akan menemui kema-
tian karena kedua orang itu sudah tentu tak akan
membiarkan dirinya selamat.
Sementara itu, lamat-lamat Gendala Maung berdiri
sambil membopong tubuh sahabatnya. Diputar tubuh-
nya hingga menghadap ke arah Pendekar Slebor.
"Kali ini... kau menang, Pendekar Slebor! Tetapi sekarang... bukan hanya Patung
Kepala Singa yang
kuinginkan... tetapi juga nyawamu!!"
Habis kata-katanya, lelaki berkumis baplang ini se-
gera putar tubuh kembali. Kejap itu pula tubuhnya
melesat meninggalkan tempat itu dengan membopong
mayat Ganda Maung.
Sepeninggal orang-orang itu, Andika menarik na-
pas panjang masygul.
"Patung Kepala Singa... sebuah benda yang ternyata akan banyak menimbulkan
korban.... Hmm, berada
di tangan siapakah Patung Kepala Singa itu" Satu hal lagi... siapakah orang yang
bertanggung jawab atas
pembantaian di Kuil Putra Langit?"
Tak ada suara yang terdengar, karena dia memang
hanya seorang diri di sana.
Setelah terdiam beberapa saat, Pendekar Slebor
pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu pada
arah yang berlawanan yang dilalui Gendala Maung ta-
di. Tempat itu kembali diselimuti sepi.
*** Lima belas tarikan napas telah berlalu. Tempat di
mana bertarungnya Pendekar Slebor dengan Dua Iblis
Lorong Maut tadi, semakin dirajai kesunyian dalam. Di angkasa, arakan awan putih
mendadak menjelma
menjadi gumpalan awan hitam. Rambatan matahari
yang kian meninggi, seolah tak mampu tembusi tim-
bunan awan hitam, hingga suasana di sana seperti redup.
Selang beberapa saat, satu sosok tubuh tiba di
tempat itu. Sosok seorang gadis berparas jelita dengan sepasang mata jernih dan
hidung bangir. Bibir gadis berambut dikuncir ekor kuda ini tipis memerah, terka-
tup rapat saat sepasang mata jernihnya memandangi
tempat yang sebagian telah berantakan itu.
Gadis berambut dikuncir dua ini mengenakan pa-
kaian ringkas warna biru kehijauan. Lamat-lamat pancaran matanya yang agak heran
mendapati tempat
yang telah porak-poranda ini, mulai membesar dengan kening dikernyitkan.
"Aneh! Apakah aku tidak salah melihat keadaan di sini" Jangan-jangan... tempat
ini tadi telah didatangi serombongan gajah liar"!" batinnya dengan hati
bertanya-tanya.
Lalu gadis ini maju dua langkah ke muka, berdiri
tepat di depan tanah yang telah membentuk sebuah
lubang. "Sekalipun gajah-gajah liar itu cukup banyak, namun tak mungkin rasanya bisa
membuat lubang yang
cuma satu buah ini. Hmmm.. tentunya telah terjadi
pertarungan di sini" Siapa kira-kira mereka?"
Kembali gadis jelita ini terdiam. Tangan kanannya
diangkat dan memegang alisnya yang hitam. Gadis
yang memang selalu bersikap seperti itu bila sedang berpikir ini tak membuka
mulut untuk beberapa lama.
Kejap kemudian dia menarik napas pendek.
"Hmmm... ke mana lagi aku harus mencari Guru?"
desisnya kembali dengan tangan diturunkan kembali
dari alis matanya, "Sampai saat ini... aku tak mengerti sebenarnya, mengapa Guru
justru menyuruhku untuk
lebih memperdalam lagi ilmu 'Bayangan Bulan Pijar-
kan Matahari'. Padahal Guru sendiri tahu kalau aku
sudah sangat lihai akan ilmu itu. Tetapi...."
Si gadis memutus kata-katanya sendiri. Lalu nampak
kepalanya manggut-manggut.
"Kini aku tahu apa maksud Guru sebenarnya. Dia menyuruhku berlatih, sementara
dia meninggalkanku.
Tentunya... ini ada hubungannya dengan orang yang
datang mengundangnya ke Kuil Putra Langit di mana
Pendekar Sutera berada. Tetapi... mengapa dia harus menyingkirkanku lebih dulu?"
Siapa sebenarnya gadis jelita ini" Dia bernama
Nawang Wangi, murid tunggal Bidadari Tangan Bayan-
gan. Memang, setelah menerima kehadiran utusan dari Pendekar Sutera, Bidadari
Tangan Bayangan langsung
memanggil muridnya itu. Sesungguhnya, Bidadari
Tangan Bayangan sedikit banyaknya sudah merasa ka-
lau undangan yang disampaikan utusan Pendekar Su-
tera itu sehubungan dengan Patung Kepala Singa yang pernah didengarnya.
Bidadari Tangan Bayangan tak mau kalau murid-
nya terlibat dalam urusan ini. Karena menurutnya,
muridnya belum layak untuk turut terlibat dalam se-
tiap masalah yang sangat memusingkan.
Saat itu, Nawang Wangi sebenarnya hendak ber-
tanya lebih lanjut. Tetapi gadis ini tak membantah perintah gurunya kendati dia
sudah sangat lihai mem-
pergunakan ilmu 'Bayangan Bulan Pijarkan Matahari'.
Setelah tujuh hari berlatih, Nawang Wangi pun kemba-li ke tempat semula.
Dia tak terlalu heran tatkala tak mendapati gu-
runya berada di tempat biasa. Karena keadaan seperti ini sebenarnya sering
terjadi kendati terkadang gurunya lebih sering mengatakan ke mana tujuannya.
Namun kali ini, gurunya tak mengatakan tujuan-
nya. Nawang Wangi semula mencoba tak peduli. Tetapi entah mengapa, gadis yang
memiliki perasaan peka ini seolah menangkap gejala yang tak enak. Terutama
mengingat ada seseorang yang meminta gurunya pergi
ke Kuil Putra Langit.
Di samping itu, sebenarnya Nawang Wangi cukup
lama berkeinginan untuk melihat dunia luar. Makanya kali ini, dengan menindih
segala perintah gurunya, dia pun mulai melangkah meninggalkan Lembah Pinus.
Hatinya memang gembira melihat keadaan yang
sungguh jarang dilihatnya. Namun setelah dua hari
meninggalkan tempat, gadis ini merasa tidak enak. Ke-rinduannya mulai timbul


Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadap gurunya. Dan dia
cukup dibuat gelisah sendiri dengan tindakannya ini.
"Ah... tak seharusnya aku meninggalkan Lembah Pinus yang sebenarnya lebih banyak
dikarenakan keinginanku untuk melihat dunia luar selain Lembah
Pinus...," desisnya resah. Gadis ini sejenak terdiam sambil pandangi sekitarnya.
Kemudian dia berkata la-gi, "Tetapi... untuk kembali ke Lembah Pinus... aku
tidak tahu lagi ke mana jalan yang harus kutempuh.
Sebaiknya, kuteruskan saja langkahku. Mudah-
mudahan aku bisa menemukan di mana Kuil Putra
Langit berada"
Memutuskan demikian, gadis berambut dikuncir
dua ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Setelah lalui perjalanan sepenanakan nasi agak
menjauh dari tempat semula, Nawang Wangi kembali
hentikan langkahnya. Saat itu timbunan awan hitam
yang terus berarak rupanya tak kuasa lagi untuk me-
nahan isi perutnya. Didahului suara salakan petir, hujan deras pun turun!
"Celaka! Aku bisa basah kuyup!" seru si gadis dan seketika berlari untuk mencari
tempat berteduh. Karena tak menemukan bangunan atau gubuk yang bisa
dijadikan tempat berteduh, Nawang Wangi memu-
tuskan untuk berteduh di bawah sebuah pohon.
Dikerahkan sedikit hawa murninya guna menahan
dingin yang cukup menusuk. Kilat sambar menyambar
dengan suara petir yang menggelegar. Angin bertiup
keras, menambah kengerian yang telah ada.
Mendadak saja petir menyambar pohon di mana
Nawang Wangi berteduh. Gadis itu seperti tersentak
tatkala merasakan aliran petir seperti bergerak dari atas pohon ke bawah.
Dengan gerakan cepat Nawang Wangi menghem-
pos tubuhnya. Dia memang berhasil untuk hindari
sambaran petir yang tak mustahil akan mengarah pa-
danya. Namun tumbangnya pohon itu akibat samba-
ran petir, sukar untuk dielakkan.
Tercekat gadis ini tatkala menyadari gerakannya
agak terlambat hingga pohon besar yang tumbang itu
siap untuk menindihnya!
Namun sebelum dia mengalami nasib konyol, se-
perti dihembus angin. Dan....
Pohon yang tumbang itu ambruk dengan suara
nindih ranggasan semak belukar.
*** 8 Gerakan bayangan yang menyambar tubuh Na-
wang Wangi berhenti sejarak lima tombak dari jatuhnya pohon besar itu. Sekujur
tubuh bayangan hijau itu pun basah kuyup. Nawang Wangi yang berada dalam
bopongannya, untuk sesaat masih tertegun, seolah tak menyadari apa yang terjadi.
Namun kejap berikutnya, murid Bidadari Tangan
Bayangan ini tersentak tatkala menyadari tubuhnya
berada dalam bopongan seorang pemuda.
"Oh!!"
Dengan gerakan lincah gadis ini melompat dari
bopongan si pemuda yang untuk sesaat nampak terke-
jut melihat cara si gadis melompat, namun kemudian
sudah cengar-cengir sambil garuk-garuk kepalanya.
Bila saja merasa tidak diselamatkan, sudah tentu
Nawang Wangi akan marah besar karena mendapati
tubuhnya berada dalam bopongan pemuda yang tak
dikenalnya. Dan dia sendiri agak kikuk tatkala melihat betapa tampannya wajah
pemuda itu, yang memiliki
sorot mata tajam namun jenaka.
Untuk sesaat hati Nawang Wangi agak bergetar.
Keadaan seperti itu memang tak mengherankan. Kare-
na selama ini, yang dikenal Nawang Wangi hanyalah
gurunya seorang. Kalaupun dia mengenal pemuda-
pemuda lain, hanya berkisar yang tinggal di sekitar Lembah Pinus.
Tetapi gadis yang memiliki hati tegar ini buru-buru segera tindih perasaannya.
Sambil rangkapkan kedua
tangan di depan dada dia berkata, "Terima kasih atas pertolonganmu...."
Si bayangan hijau yang tak lain Pendekar Sle-
bor adanya cuma nyengir.
"He he he... kebetulan saja aku berada tak jauh darimu. Lagi pula... siapa sih
orangnya yang tidak akan menolongmu dan menyia-nyiakan untuk bisa
membopongmu?"
Selorohan konyol itu sebenarnya dapat memanc-
ing kemarahan Nawang Wangi. Namun begitu dilihat-
nya kalau si pemuda tak memiliki nafsu birahi saat
berkata-kata, gadis yang sesungguhnya memiliki sifat jenaka ini langsung
membalas, "Seharusnya kau
membayar! Tetapi ya... karena kau telah menolongku, kubiarkan gratis untuk kali
ini...." Pendekar Slebor yang lagi-lagi gagal menemukan
jejak Bidadari Tangan Bayangan, ketawa gede-gede.
Hanya karena gemuruh hujan yang keras itu saja sua-
ra tawanya yang jelek tak begitu kentara.
"Baru kali ini aku bertemu dengan pemuda yang
agak keblinger.... Tetapi baguslah... barangkali dia ta-hu di mana Kuil Putra
Langit yang kuyakini Guru be-
rada di sana," kata si gadis dalam hati sambil memperhatikan pemuda di
hadapannya. Tawa Pendekar Slebor pun lenyap. Dipandanginya
pula gadis di hadapannya itu. Lalu tanyanya, "Dan kuharap... kau terus
memberikan gratis untukku"!"
"Boleh saja bila kau...."
Kata-kata Nawang Wangi terputus tatkala terden-
gar suara keras Andika bersamaan dengan salakan pe-
tir yang menggelegar, "Heeeiiii!!"
Nawang Wangi tercekat tatkala menyadari sebuah
petir ganas telah menggebrak laksana cambuk ke
arahnya. Sebelum petir itu menyambar hangus tubuh-
nya, Andika telah lakukan satu tindakan yang sangat
mengejutkan. Dia cepat bergerak dan....
Tap! Srrrrrr!! Petir yang siap menghanguskan tubuh Nawang
Wangi ditangkapnya! Terlihat sejenak bagaimana petir itu seperti pijaran api
melilit dan masuk ke tubuhnya.
"Heeeiii!!" seru Nawang Wangi terkejut dan kelihatan dia berusaha menolong.
Namun alangkah terkejutnya gadis berkuncir dua
ini tatkala mendapati Andika tak kurang suatu apa.
Bahkan dengan enaknya pemuda itu berseloroh, "Kenapa" Mau memelukku, ya?"
Nawang Wangi yang masih tak mengerti sekaligus
takjub melihat apa yang dialami pemuda berbaju hijau pupus itu, hanya terdiam
dengan mulut terbuka. Lebih terkejut lagi tatkala dilihatnya si pemuda seperti
sedang menahan napas. Lalu terlihat tangan kanannya
digerakkan seperti melempar!
Plaasss!! Laksana ada pijaran api yang melesat dari lempa-
ran tangan si pemuda. Lalu....
Blaaaarrr!! Sebuah pohon langsung tumbang menggemuruh
tatkala petir yang ditangkap Andika tadi dan dilempar-kan menghantamnya.
Sementara Nawang Wangi masih memandang tak
percaya, Andika sedang menepuk-nepuk kedua tan-
gannya seolah membersihkan dari kotoran dengan si-
kap enak saja. "Kau?" desis Nawang Wangi tergugu.
Andika nyengir.
"Kenapa?"
"Tidak... aku tidak apa-apa...," sahut Nawang Wangi bingung. Diam-diam dia
menyadari siapa pe-
muda ini sebenarnya. Sudah tentu bukanlah pemuda
yang bisa dipandang sebelah mata.
Andika membiarkan si gadis terdiam dulu. Setelah
beberapa saat dan hujan semakin membasahi tubuh
keduanya, dia berkata, "Apakah kau tidak ingin, mencari tempat berteduh?"
Pada dasarnya, selain memiliki ketegaran, Nawang
Wangi juga memiliki sifat jenaka. Ketakjubannya dengan apa yang dilihatnya tadi
lamat-lamat menghilang.
Lalu dia berkata dengan nada jenaka, "Memangnya kenapa?"
"Busyet! Tubuhmu akan semakin basah kuyup!"
"Aku sudah terlatih dalam soal itu!"
"Bukan itu masalahnya! Tetapi pakaianmu akan
semakin lekat pada tubuh dan... he he he... tidak jadi, ah...," sahut Andika
sambil garuk-garuk kepalanya yang basah.
Nawang Wangi yang tahu maksud omongan Andi-
ka tertawa. Lalu berkata seperti menantang, "Kenapa kalau pakaianku semakin
lekat pada tubuhku" Aku tidak takut tersambar petir" Kan ada kau yang rupanya
majikan petir-petir itu!?"
Andika cuma nyengir kuda. "Soalnya akan men....
Tidak jadi, ah!"
"Hayo kenapa?"
Ditantang seperti itu, pemuda urakan dari Lem-
bah Kutukan ini seperti mati kutu. Setelah nyengir sebentar berkata, "Lebih
baik... kita cari tempat berteduh dulu. Baru kita bicarakan lagi!"
"Itu juga lebih baik!" sahut Nawang Wangi. Dalam sekali lihat tadi, apalagi
pemuda di hadapannya dua kali telah menyelamatkannya, murid Bidadari Tangan
Bayangan ini tahu kalau pemuda yang di lehernya me-
lilit kain bercorak catur itu adalah pemuda baik-baik.
Makanya dia bersedia mengikutinya.
Sementara itu, bagi Andika sendiri, apa yang dila-
kukannya ini bukan dikarenakan dia suka perjalanan-
nya didampingi seorang gadis. Melainkan dia tahu, dalam suasana seperti ini, tak
mustahil banyak orang-
orang jahat yang siap menurunkan karmanya. Apalagi
dalam sekali lihat pula dia tahu kalau gadis ini sedang kebingungan.
Namun mencari tempat berteduh sungguh tidak
mudah. Tubuh keduanya semakin basah diguyur air
hujan. Dan sialnya, tatkala mereka menemukan se-
buah gubuk yang layak dijadikan tempat berteduh,
hujan mendadak saja berhenti!
"Kutu monyet!" maki Andika. "Betul-betul busyet!
Kalau tahu begini... tidak usah sibuk mencari-cari!"
Sementara itu, Nawang Wangi tertawa cukup ke-
ras. "Heran! Kok ada ya yang mau membuang-buang waktu seperti ini"!"
Andika cuma nyengir saja. Lalu katanya, "Eh!
Dengan sebutan apa kau kupanggil" Tulkiyem" War-
siyem" Atau... Bondol"!"
Kali ini Nawang Wangi cemberut.
"Enak saja ngomong! Kau yang akan kupanggil
dengan sebutan Slebor!!"
"Eh!" Andika mengerutkan keningnya. Lalu dengan mimik serius dia berkata,
"Bagaimana kau tahu julukanku itu?"
Sudah tentu Nawang Wangi tidak tahu sama seka-
li siapa pemuda di hadapannya. Kalaupun tadi dia
berkata seperti itu, karena menilai dari sikap si pemuda sendiri.
Lalu katanya, "Mana aku tahu julukanmu" Tapi...
betul ya julukanmu si Slebor"!"
"Waduh! Pakai 'Pendekar' dong!" kata Andika seperti anak kecil. "Atau kalau
keberatan... ya pakai kata
'Tuan Besar' lah. Tuan Besar Slebor!"
Kembali pecah tawa Nawang Wangi. Disela-sela
tawanya dia berkata, "Namaku Nawang Wangi... aku datang dari Lembah Pinus...."
Sejenak Andika terdiam mendengar kata-kata si
gadis. Kemudian dia sendiri berucap, "Namaku Andika... aku datang dari Lembah
Kutukan!" "Ih! Jangan-jangan sifatmu yang slebor itu karena kutukan, ya?" '.
"Enaknya ngomong!" gerutu Andika. Lalu sambil pandangi si gadis dia bertanya,
"Nawang Wangi... kau datang dari Lembah Pinus. Aku juga mengenal orang
yang datang dari Lembah Pinus yang berjuluk...."
"Bidadari Tangan Bayangan?" putus Nawang Wangi dengan suara gembira. Begitu
melihat Andika men-
ganggukkan kepalanya gadis itu berkata, "Dia guruku!"
"Oh! Gurumu?" ulang Andika dan seperti orang penting dia manggut-manggut.
"Nawang Wangi... bila kau anggap aku lancang terserah. Mengapa kau keluar dari
Lembah Pinus?"
Karena sejak semula Nawang Wangi sudah yakin
kalau pemuda di hadapannya ini adalah orang baik-
baik, segera diceritakan semuanya.
Andika menghela napas sebentar dan berkata,
"Kuil Putra Langit... telah hancur di tangan pembantai kejam, yang telah
membunuh seluruh penghuninya."
"Andika!" seru Nawang Wangi tercekat. "Apakah maksudmu guruku...."
"Tidak! Aku berjumpa dengan gurumu dalam kea-
daan segar bugar. Dia datang terlambat memenuhi
undangan Pendekar Sutera. Kini aku tahu mengapa
dia terlambat. Tentunya dia hendak menyingkirkanmu
dulu agar kau tidak terlibat dalam urusan yang akan dilakukannya."
"Lalu... di mana guruku sekarang?" tanya Nawang
Wangi yang kini bisa menghela napas lega mendengar
kabar baik tentang gurunya.
"Sejak bertemu dengannya, aku mencoba mem-
buntutinya. Tetapi hingga hari ini, aku belum bertemu dengan gurumu itu. Yang ku
tahu... dia sedang mengejar seseorang yang berjuluk Kepala Besi yang diyakininya
sebagai orang yang bertanggung jawab atas
pembantaian di Kuil Putra Langit."
Nawang Wangi terdiam. Ternyata apa yang telah
terjadi di luar dugaannya sama sekali. Bahkan sekalipun tak terlintas kejadian
itu di benaknya.
Andika sendiri membiarkan si gadis terdiam se-
perti itu. Sementara itu, pakaian basah yang mereka kenakan lamat-lamat mulai
mengering ditiup angin.
Sambil pandangi si gadis, Andika membatin, "Patung Kepala Singa tetap menjadi
masalah utama. Sulit bagiku untuk menjejakinya lebih lanjut sebelum menemukan
titik terang yang berarti. Seharusnya, aku
menahan kepergian Bidadari Tangan Bayangan. Kare-
na nampaknya, perempuan berbaju kuning itu tahu
banyak tentang semua ini. Dan paling tidak, aku harus mencari orang yang
berjuluk Kepala Besi. Karena secara tidak langsung dialah orang yang dinilai
bertanggung jawab, bukan hanya oleh Bidadari Tangan
Bayangan tetapi juga oleh Nyi Dungga Ratih. Satu hal lagi yang memusingkan
kepalaku, siapakah orang yang mengikutiku dan lenyap begitu saja?"
Kejap kemudian terdengar suara Nawang Wangi,
"Aku sama sekali tak menyangka semua itu. Dan tentunya... Guru tak akan
membiarkan orang yang telah melakukan pembantaian kejam itu. Sekarang... kau
hendak ke mana, Andika?"
Pertanyaan itu sebenarnya tak diharapkan oleh
Andika. Karena dia ingin melanjutkan perjalanannya
seorang diri. Tetapi dijawabnya juga, "Aku ingin men-


Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cari orang yang telah melakukan pembantaian keji di Kuil Putra Langit...."
Nawang Wangi sendiri sebenarnya ingin ikut ke
mana Andika pergi. Paling tidak, pemuda ini diha-
rapkan akan membawanya pada gurunya. Hanya saja
dia berkata lain, "Andika... aku pun ingin mencari siapa pembantaian kejam itu,
sekaligus mencari guru-
ku...." "Bila kau menghendaki seperti itu, kau harus
menjaga dirimu baik-baik, Nawang Wangi."
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. "Kalau
begitu... kita berpisah di sini."
"Hati-hati. Karena... rimba persilatan ini sedang kacau balau. Apalagi mengingat
kau baru pertama kali terjun ke rimba persilatan ini."
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih atas nasihatmu, Andika."
Sesaat si gadis pandangi wajah tampan Andika
yang sebenarnya saat ini jelek betul karena dia sedang nyengir. Kejap
berikutnya, setelah anggukkan kepalanya, Nawang Wangi segera melesat ke arah
timur. Sepeninggal gadis itu, Andika mendesah panjang.
"Hmmm... aku harus cepat mencari titik terang
dari urusan ini. Bila tidak, keadaan akan semakin buruk. Hanya saja, belum
kudengar orang lain membica-
rakan si Kepala Besi kecuali Bidadari Tangan Bayangan dan Nyi Dungga Ratih.
Sementara itu, Gendala
Maung pasti makin mendendam padaku...."
Setelah membatin begitu, Andika pun memutar
tubuh. Lalu berkelebat melalui arah yang berlawanan dari yang ditempuh oleh
Nawang Wangi. *** 9 Jauh dari tempat pertemuan Andika dengan Na-
wang Wangi, si Kepala Besi terus berkelebat. Sosoknya yang tinggi besar ternyata
tak mempengaruhinya saat berlari. Bahkan gerakannya begitu ringan sekali.
Lelaki berkepala plontos ini sebenarnya masih ti-
dak mengerti akan sepak terjang Bidadari Tangan
Bayangan yang ingin membunuhnya. Selama ini dia
mendengar kabar, kalau Bidadari Tangan Bayangan
adalah tokoh dari golongan lurus.
"Benar-benar bikin pusing kepala. Mengapa Bidadari Tangan Bayangan menuduhku
yang telah mela-
kukan pembantaian di Kuil Putra Langit" Lebih gila la-gi dia menuduhku telah
mengambil Patung Kepala
Singa! Gila!!"
Gerakannya kian lincah saat melompati ranggasan
semak belukar dan liukan akar pohon yang menyem-
bul keluar. "Seharusnya... kukatakan saja siapa aku sebenarnya.... Tetapi tidak, sebelum
kulihat secara jelas Patung Kepala Singa... aku tidak akan membuka rahasia lama
yang telah kupendam. Yang membuatku tak habis pikir... mengapa Patung Kepala
Singa tiba-tiba
muncul di tangan Pendekar Sutera" Pertanda apakah
ini" Apakah Eyang Guru marah kepadaku dan meng-
hukumku dengan cara seperti itu?"
Hati Kepala Besi semakin dibalut dengan kecema-
san demi kecemasan. Sesungguhnya, dia memang me-
nyimpan sesuatu yang hingga saat ini masih diraha-
siakannya. Sambil terus berkelebat tak tahu tujuan, Kepala
Besi membatin lagi, "Yang terbaik sebenarnya adalah menjernihkan masalahku
dengan Bidadari Tangan
Bayangan. Tak mustahil perempuan berbaju kuning
itu akan terus memburuku. Ah, bila saja dia tahu kalau akulah pemilik sah Patung
Kepala Singa, apakah
dia akan mengurungkan niat membunuhku" Hmmm...
tentunya tidak. Karena, dia telah beranggapan akulah orang yang bertanggung
jawab atas pembantaian di
Kuil Putra Langit. Berarti... orang kejam itulah yang harus kucari! Tetapi ke
mana aku harus mencarinya
sementara aku harus mendapatkan kembali Patung
Kepala Singa?"
Sambil terus membatin, lelaki tinggi besar berke-
pala plontos itu terus berkelebat. Sampai kemudian
dihentikan kelebatannya. Sepasang matanya menatap
tak berkedip ke depan. Sejarak lima langkah di hadapannya, telah berdiri satu
sosok tubuh kurus berpakaian hitam gombrang. Dari sikapnya berdiri, sosok
perempuan kurus yang menilik dari urat-urat di punggung tangannya berusia
sekitar enam puluh tahun itu, nampak seperti sedang menunggunya.
Sesaat nampak wajah Kepala Besi berubah.
"Dewi Selendang Hitam...," desisnya.
Di seberang, perempuan yang kepalanya tertutup
selendang warna hitam yang melingkar menutupi se-
bagian wajahnya, keluarkan dengusan. Sepasang ma-
tanya tajam tak berkedip.
"Kau hadir di sini rupanya, Kepala Besi!" suaranya dingin dan tajam. "Huh!
Kutukan mungkin yang telah kau dapati hingga Patung Kepala Singa berpindah
tangan! Tetapi... aku yakin, kau telah merampasnya kembali! Karena... telah
kuobrak-abrik Kuil Putra Langit dan kubunuh semua penghuninya... Patung Kepala
Singa tetap tak kutemukan! Sekarang... serahkan patung itu kepadaku!!"
Kepala Besi tak buka suara. Diam-diam lelaki
berkepala plontos ini jeri hatinya. Dia sama sekali tak
menyangka akan berjumpa dengan Dewi Selendang
Hitam. "Sejak dulu perempuan yang tak kuketahui seperti apa rupanya ini selalu
mengejarku untuk mendapatkan Patung Kepala Singa yang kusembunyikan di
tempat yang kunamakan Ladang Siluman. Dan entah
bagaimana tahu-tahu benda itu lenyap tatkala hendak kuambil. Lalu kudengar
berita kalau benda itu berada di tangan Pendekar Sutera. Menilik kata-katanya
tadi, jelas kalau dialah orang yang telah menurunkan tangan terhadap orang-orang
di Kuil Putra Langit. Seharusnya... dia kutangkap dan kuserahkan pada Bidada-
ri Tangan Bayangan hingga urusan ini tidak berkem-
bang! Tetapi... ah, aku jelas-jelas tak bisa menghindarinya...."
Karena belum mendapatkan jawaban dari Kepala
Besi, Dewi Selendang Hitam keluarkan seruan lagi,
"Cepat katakan padaku, sebelum jantungmu kuca-
but!!" "Tak ada jalan lain selain menghadapinya.... Apalagi, telah terjadi
kesalahpahaman dengan Bidadari
Tangan Bayangan. Dan nampaknya... semua rahasia
yang kusimpan ini akan terbuka...," kata Kepala Besi dalam hati.
Di seberang Dewi Selendang Hitam kian mengke-
lap. Tak kuasa lagi menahan amarahnya, tangan ka-
nannya segera digerakkan.
Serta merta melesat lima larik sinar hitam yang
keluarkan suara gemuruh dan hawa panas. Untuk se-
saat nampak Kepala Besi melengak kaget. Tak mau di-
rinya celaka, dengan cepat lelaki berkepala plontos ini membuang tubuh ke kanan.
Bersamaan dengan itu,
dikibaskan kedua tangannya ke depan.
Wussss!! Wuusss!!
Dua gelombang angin yang kemudian menyatu,
menghampar deras dan menghantam lima larik sinar
hitam yang dilepaskan si perempuan.
Blaaaarr! Tempat yang agak temaram meskipun saat ini
siang makin meranggas, menjadi terang. Letupan ter-
dengar beberapa kali dan tempat yang tadi temaram la-lu jadi terang berubah
temaram kembali. Dedaunan
beterbangan entah ke mana.
Tatkala semuanya lurus, terlihat Dewi Selendang
Hitam berdiri kaku dengan kedua tangan dikepalkan.
Sementara itu, Kepala Besi telah surut dua tindak dari tempat semula dengan
napas agak memburu.
"Benar-benar sial nasibku kali ini! Belum lagi kutemukan di mana Patung Kepala
Singa berada, sudah
diburu oleh Bidadari Tangan Bayangan! Lebih sial lagi aku harus berjumpa dengan
perempuan celaka ini!"
desis Kepala Besi dengan hati keder. Namun dia berusaha untuk tindih
perasaannya. "Biar bagaimanapun juga, aku akan menghadapinya sekuat tenaga.
Karena, dialah pangkal dari semua kesalahpahaman yang terjadi." "Manusia
keparat! Kau belum juga mengatakan di mana kau sembunyikan Patung Kepala Singa,
hah"! Benar-benar mencari mampus!" geram Dewi Selendang Hitam dengan sorot mata dingin
tak berkesip pada
orang di depannya.
Di seberang, Kepala Besi benar-benar harus beru-
saha untuk menenangkan dirinya.
"Dewi Selendang Hitam telah lama memburuku
untuk mendapatkan Patung Kepala Singa! Dan perem-
puan kejam ini tak akan hentikan maksudnya bila be-
lum tercapai! Rasanya aku...."
Kata-kata dalam hati si Kepala Besi pupus begitu
merasakan deru panas dari sinar warna hitam melesat ke arahnya. Tak ada jalan
lain menghindari serangan
itu kecuali melakukan satu gempuran balik. Segera sa-ja dia lepaskan jurus
'Lingkar Tinju Besi'. Kedua tangannya seperti menggebah dan keluarkan hamparan
angin mengerikan.
Karena disadarinya kesaktian perempuan yang
dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutupi selendang hitam itu bukan orang
sembarangan, begitu han-
taman baliknya memapaki serangan Dewi Selendang
Hitam, dia kembali kirimkan serangan. Kali ini gerakkannya mirip banteng sedang
mengamuk. Kepalanya
meluruk cepat dan keluarkan cahaya warna putih ber-
kilat-kilat! Dewi Selendang Hitam agak terkesiap mendapati
serangan aneh itu. Dia tahu kalau lawan telah pergunakan jurus pamungkasnya yang
bernama 'Kepala Be-
si Cabut Nyawa'.
Tetapi bagi Dewi Selendang Hitam, serangan itu
tak terlalu berbahaya. Saat itu pula kedua tangannya bergerak bagai mendorong.
Gelombang angin menghampar dahsyat, membuat tempat itu bagai dilanda
gempa, menerjang ke muka. Yang bukan hanya akan
memapaki serangan lawan, tetapi juga akan memukul
pecah kepala si lelaki plontos.
Kalau tadi Dewi Selendang Hitam yang terkesiap,
kali ini Kepala Besi yang terkejut. Selagi tubuhnya meluruk dengan kepala agak
membungkuk, kaki kanan-
nya cepat dijejakkan ke depan.
Wuuuttt! Tubuhnya langsung berputar balik ke udara dan
bersamaan dengan itu didorong kedua tangannya.
Letupan keras terdengar bersamaan tubuh si Ke-
pala Besi mencelat ke belakang. Lelaki ini agak terhuyung karena tenaga yang
dilepaskan oleh Dewi Se-
lendang Hitam lebih besar. Masih untung dia mampu
menguasai keseimbangannya.
Sementara Dewi Selendang Hitam hanya surut
dua langkah ke belakang sambil pegangi dadanya,
yang tak urung terasa nyeri. Namun dia lebih dulu
menguasai keadaan dirinya.
Setelah kertakkan rahangnya, perempuan kejam
ini sudah menyerbu kembali, hingga membuat Kepala
Besi yang menjadi kalang kabut.
Sebisanya lelaki berpakaian abu-abu terbuka di
bahu kanan itu berusaha menghindar sekaligus men-
coba memapaki setiap serangan yang datang.
Tiga jurus kemudian, nampak dia tak mampu un-
tuk membendung serangan demi serangan yang dilan-
carkan Dewi Selendang Hitam. Wajahnya kian memu-
cat sementara tubuhnya semakin surut ke belakang.
Dan.... Dess! Desss! Dua kali dadanya terhantam pukulan dahsyat
Dewi Selendang Hitam yang membuat dadanya seperti
remuk. Seketika itu pula pakaian di bagian dadanya menghangus. Sementara di
dadanya sendiri bagai ter-peta lima buku jari nenek baju hitam.
Mendapati lawan sudah terhantam pukulannya,
Dewi Selendang Hitam kian pergencar serangannya.
Angin bergemuruh datang susul menyusul disertai
pancaran sinar-sinar hitam yang mengerikan. Keringat telah menderas disekujur
tubuh Kepala Besi yang kian memucat.
Bukkkk! Kembali satu jotosan mampir di dada lelaki tinggi
besar itu yang kian terhuyung ke belakang. Menyusul mulutnya mengembung dan...
"Huaaakk!"
Darah hitam menyembur keluar. Rupanya si Ke-
pala Besi tak mampu kuasai dirinya lagi. Karena sebelum Dewi Selendang Hitam
lancarkan gempuran dah-
syatnya lagi, lelaki tinggi besar ini sudah jatuh ambruk!
Muntah darah dua kali sambil pegangi dadanya.
Kejap berikutnya, kepalanya terkulai.
Dewi Selendang Hitam hentikan gerakannya. Dari se-
lendang hitam yang menutupi sebagian wajahnya itu,
nampak kalau dia tengah tersenyum yang tentunya
senyuman sinis. Sedangkan sepasang matanya pan-
carkan nafsu membunuh!
"Hhh! Tak seorang pun yang bisa menandingi-
ku! Apalagi bila kudapatkan Patung Kepala Singa! Aku yakin, benda itu tidak
berada di tangan manusia ini!"
Lalu dengan langkah pelan yang angker, Dewi
Selendang Hitam menghampiri Kepala Besi. Dengan
kaki kanannya dibalikkannya tubuh itu. Dilihatnya
wajah Kepala Besi memucat. Dari sela-sela bibirnya, masih mengalir darah hitam
yang kental. Tak ada gerak dada turun naik tanda dia masih bernapas.
Dengan senyum puas perempuan ini tengadah-
kan kepala. "Puas hatiku melihat manusia yang bertahun-
tahun kuburu ini mampus! Huhh! Siapa kira-kira yang telah memiliki Patung Kepala
Singa?" Sejenak perempuan berpakaian hitam longgar ini terdiam. Lalu sambungnya
agak keras, "Biar bagaimanapun juga, aku harus mendapatkan benda itu!"
Dengan kepuasan yang masih dibaluri rasa pe-
nasaran, Dewi Selendang Hitam memutuskan untuk
segera meninggalkan tempat itu. Dalam tiga tarikan
napas saja, sosoknya sudah lenyap sama sekali dari
pandangan. Tetapi, benarkah apa yang diduganya barusan,
kalau Kepala Besi telah mampus" Ternyata tidak sama sekali. Orang tinggi besar
itu tahu kalau dia tak akan
mampu menghadapi Dewi Selendang Hitam. Jalan sa-


Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tu-satunya yang terbaik adalah berlagak mampus.
Kendati dia tak menyukai perbuatannya sendiri, na-
mun itu memang jalan satu-satunya untuk menyela-
matkan diri. Ditahan nafasnya karena dia yakin Dewi Selen-
dang Hitam tak akan meninggalkan dirinya sebelum
yakin kalau dia telah mampus. Sesungguhnya, dengan
tubuh terluka dalam seperti itu, menahan napas san-
gat menyiksa sekali. Tetapi mau tak mau itu harus dilakukannya.
Dan sepeninggal Dewi Selendang Hitam, Kepala
Besi belum berani bergerak kendati dia berani untuk bernapas lagi. Setelah
beberapa saat membiarkan dirinya seperti itu dan setelah diyakininya tak ada
tanda-tanda si nenek akan muncul kembali, perlahan-lahan
barulah dia berdiri.
Rasa sakit luar biasa menderanya. Cepat dialirkan
hawa murni dalam tubuh guna hilangkan rasa sakit.
Setelah itu diambilnya tiga butir obat dari balik pakaiannya yang segera
ditelannya sekaligus.
Untuk beberapa saat lelaki yang pakaiannya di
bagian dada telah hangus ini, duduk bersemadi. Setelah itu lamat-lamat dia
membuka kedua matanya.
Kendati sudah merasa agak segar kembali, namun
dadanya masih terasa nyeri.
"Urusan semakin panjang... Aku harus bertin-
dak.... Ya, aku harus bertindak.... Tak kupedulikan la-gi, apakah nyawaku akan
putus hari ini juga... Dan tak kupedulikan... soal rahasia yang telah lama
kupendam...."
Memutuskan demikian, dengan kerahkan sisa-
sisa tenaganya, Kepala Besi bangkit. Berjalan ter-
huyung sambil menekap dadanya yang terasa nyeri
meninggalkan tempat itu.
*** 10 Tatkala matahari sungguh sepenggalan, Nawang
Wangi menjejakkan kakinya di sebuah pedataran luas.
Sejenak murid Bidadari Tangan Bayangan hentikan
langkahnya. Diaturnya napas yang agak memburu. Se-
luas mata memandang, yang nampak hanyalah re-
rumputan belaka. Dan tempat itu seperti menjadi
ajang deraan matahari yang sebenarnya tak terlalu
menyengat. "Ah... bila saja aku tidak malu untuk mengutarakan maksud, aku ingin bersama-
sama dengan Andika.
Paling tidak, aku akan merasa aman karena tentunya
dia akan melindungiku. Tetapi, dia nampaknya me-
mang mempunyai urusan. Begitu pula denganku. Aku
harus menemukan Guru...."
Kembali gadis berpakaian ringkas warna biru ke-
hijauan ini terdiam.
"Aku tak boleh membuang waktu.... Menurut An-
dika, Guru sedang mengejar Kepala Besi. Berarti... ada dua orang yang harus
kucari. Kalau begitu... lebih baik aku segera berlalu dari sini."
Memutuskan demikian, gadis berkuncir dua ini
segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Setelah
melalui tanah pedataran yang cukup luas, gadis ini ti-ba di sebuah jalan setapak
yang dipenuhi ranggasan
semak belukar. Nawang Wangi tak bermaksud untuk berhenti se-
benarnya. Namun sesuatu menarik perhatiannya hing-
ga gadis ini mau tak mau berhenti melangkah.
Dari balik ranggasan semak belukar, dilihatnya
satu sosok tubuh berpakaian biru gelap dan di pung-
gungnya nampak sebuah selendang warna putih bersi-
langan, sedang duduk di hadapan sebuah gundukan
tanah. Orang itu nampak begitu khusuk sekali.
"Siapa orang itu" Dan nampaknya dia sedang
mengalami musibah kematian. Entah siapa yang mati
itu...," desis Nawang Wangi dalam hati.
Orang yang dilihat Nawang Wangi tak lain adalah
Gendala Maung, salah seorang dari Dua Iblis Lorong
Maut yang telah dikalahkan Andika. Dan sudah tentu
gundukan tanah di hadapannya adalah makam dari
Ganda Maung yang telah tewas.
Setelah dikalahkan Pendekar Slebor, Gendala
Maung terus membopong tubuh Ganda Maung. Dan di
tempat itulah dia menguburkan mayat kambratnya.
Sudah dua hari dua malam Gendala Maung tidak
berpindah dari tempatnya sekarang. Di samping dia
masih sedih akan kematian Ganda Maung, Gendala
Maung juga mempergunakan kesempatan itu untuk
bersemadi. Lelaki berkumis baplang ini tak akan melepaskan
kesempatan untuk membalas kematian kambratnya
pada Pendekar Slebor.
"Ganda Maung... telah lama kita malang melintang bersama-sama.... Banyak suka
duka yang kita alami
bersama. Urusan Patung Kepala Singa pun atas kese-
pakatan kita bersama. Tetapi... umurmu harus sampai di sini! Tak akan kubiarkan
Pendekar Slebor, orang
yang telah membunuhmu, hidup lebih lama."
Sementara Gendala Maung larut dalam dendam-
nya, Nawang Wangi yang mendengar kata-kata itu ter-
cekat. "Pendekar Slebor" Oh! Jadi orang itu ada urusan dengan Andika. Melihat sifat
Andika yang kendati agak keblinger, nampaknya mustahil dia membunuh tanpa
sebab." Gadis itu terdiam sejenak sebelum melan-
jutkan, "Kemungkinannya... kedua orang itu menyerang Andika dan Andika harus
membela diri hingga
terpaksa membunuh. Ya, barangkali kemungkinannya
seperti itu."
Sejarak dua belas langkah dari tempatnya, lamat-
lamat Gendala Maung berdiri. Lelaki berkumis baplang ini pandangi makam
kambratnya tak berkedip.
Ditahan segala sedihnya. Yang makin timbul, rasa
marah dan dendam tinggi.
Mendadak saja dia berseru keras dengan kepala
tengadah dan kedua tangan diangkat ke atas.
"Pendekar Slebooorr!! Sampai kapan pun kau
akan kuburu!!" serunya keras.
Lalu mendadak saja sambil berteriak-teriak tak
karuan, lelaki berpakaian biru gelap ini memutar tubuh berulangkali sembari
gerakkan kedua tangannya.
Seketika melesat hamparan-hamparan angin yang
langsung menghantami apa saja yang berada di seki-
tarnya. Beberapa kali letupan terdengar.
Nawang Wangi yang tak menyangka akan hal itu,
langsung melompat disertai pekikan tatkala satu ge-
lombang angin menderu ke arahnya.
Blaaaarr! Bersamaan ranggasan semak belukar yang tadi
menghalangi tubuhnya hancur berantakan, Gendala
Maung hentikan gerakan liarnya dengan pandangan
tak berkedip. Lamat-lamat sepasang matanya terbuka lebih le-
bar. Bibirnya yang menghitam menyeringai tatkala melihat sosok seorang gadis
berpakaian ringkas biru kehijauan berdiri tak jauh dari hadapannya.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba!" desis Gendala Maung dengan seringaian kian
melebar. Di tempatnya, Nawang Wangi menyesali dirinya
yang tak segera meninggalkan tempat itu setelah men-
getahui apa yang terjadi. Untuk sesaat dia agak ngeri melihat pandangan tajam
yang dibaluri nafsu birahi
itu. "Celaka! Rasanya... aku tak bisa menghindar dari tempat ini! Huh! Mengapa
aku tidak segera berlalu?"
Di seberang, Gendala Maung lamat-lamat terba-
hak-bahak yang semakin lama bertambah keras. Dia
seperti menemukan tempat pelampiasan segala keke-
salan yang ada di hatinya. Setelah beberapa saat,
mendadak saja diputuskan tawanya.
Kali ini pandangannya agak menyipit. Namun kila-
tan birahinya tak bisa ditutupi.
"Anak manis... kau rupanya diturunkan para setan untuk menghiburku! Mari, mari
sini!!" Nawang Wangi jijik mendengar kata-kata itu. Rasa
jerinya perlahan-lahan lenyap. Sebagai gantinya, dia segera keluarkan bentakan,
"Tutup mulutmu!!"
Gendala Maung terbahak-bahak lagi. "Luar biasa!
Ternyata bernyali harimau! Bagus! Silakan kau tutup mulutku ini dengan bibirmu
yang merekah itu!"
"Terkutuk!" maki Nawang Wangi dengan tubuh menggigil. Tanpa sadar, kedua
tangannya mengepal.
Pandangannya bersiaga penuh. "Jangan membuat kemarahanku naik!"
"Justru aku ingin merasakan kemarahan kucing
liar seperti kau!!"
Kendati marahnya sudah sampai di ubun-ubun,
namun Nawang Wangi masih mencoba untuk mengen-
dalikannya. "Saat ini... apa yang dikatakannya tidak terlalu penting. Mencari Guru dan orang
yang berjuluk Kepala Besi yang terpenting. Lebih baik aku menyingkir saja dari
sini!" Berpikir demikian, murid Bidadari Tangan Bayan-
gan ini berkata, "Lelaki bermulut kotor! Untuk saat ini
kumaafkan segala ucapanmu itu! Tetapi ingat, bila kelak bertemu lagi... akan
kurobek mulutmu!!"
"Ha ha ha... tak ada lain kali, Kucing liar! Yang ada saat ini! Kau harus
melayani kemauanku!!"
Makin menggigil tubuh Nawang Wangi. Gadis ini
benar-benar tak mampu untuk menahan diri lagi. Te-
tapi dia berusaha keras menindihnya.
Tak ada suara yang keluar. Namun pancaran ma-
tanya menandakan betapa tak sabarnya dia untuk me-
robek mulut kurang ajar itu.
Di seberang, mendapati si gadis tak membuka
mulut, Gendala Maung berkata lagi, "Nampaknya kau mulai luruh, hah" Siapa pun
akan luruh melihat ke-tampananku ini! Ayo, Anak manis... kita bersenang-
senang sekarang!"
Sebelum Nawang Wangi buka mulut, lelaki ber-
kumis baplang itu arahkan pandangannya pada ma-
kam yang di sisi kanannya dan berkata, "Ganda
Maung... bila saja kau masih hidup... tentunya kita akan bersenang-senang
menikmati hidangan yang datang tanpa diundang ini seperti dulu...."
"Terkutuk!!" menggelegar suara Nawang Wangi tak kuasa menahan lebih lama lagi
kesabarannya. Gendala Maung kembali arahkan pandangannya.
"Kau nampaknya memang liar. Dan aku sangat
menyukai keliaranmu itu!"
"Setan alas!!" maki Nawang Wangi yang terpancing oleh kata-kata Gendala Maung.
Dengan teriakan yang
keras, gadis ini mencelat ke depan dan lepaskan joto-sannya.
Angin keras mendahului saat tubuhnya mencelat.
Sejenak Gendala Maung terkejut juga mendapati
serangan itu. Tetapi dengan mudahnya, dihindarinya
serangan itu dengan cara pindahkan kaki kanan ke
samping. Bersamaan dengan itu, tangan kanannya
bergerak. Desss!! " Cukup terkejut Gendala Maung tatkala merasakan
tenaga si gadis saat berbenturan tadi. Sementara Nawang Wangi sendiri sudah
memutar tubuh ke belakang
dan berdiri tegak di atas tanah.
"Kita berjumpa lain kali!" serunya dan segera balikkan tubuh.
Namun belum lagi dia meninggalkan tempat itu,
mendadak saja dilihatnya sosok lelaki berpakaian biru gelap yang di dadanya
bersilangan sebuah selendang
warna putih telah berdiri di hadapannya sambil me-
nyeringai. "Sebelum kau memuaskan diriku... kau tak akan lepas dari tanganku, Anak
Manis...."
"Keparat!!" maki Nawang Wangi dan segera mendorong kedua tangannya ke depan.
Serta merta menggebrak dua gelombang angin
dengan kecepatan tinggi ke arah Gendala Maung. Na-
mun dengan mudahnya lelaki berkumis baplang itu
mematahkan serangannya. Bahkan mendadak saja dia
melompat ke depan. Tubuhnya agak membungkuk.
Kaki kanannya menyapu cepat yang menerbangkan
tanah dan kerikil.
Tak menyangka kalau lelaki itu bergerak sedemikian
cepat, Nawang Wangi segera melompat. Namun tatkala
tubuhnya masih di udara, tangan kanan Gendala
Maung meluncur lepaskan satu jotosan yang menga-
rah pada dada si gadis.
Nawang Wangi terkejut, Cepat dia tekuk sikutnya.
Buk!! Sosoknya terhuyung ke belakang tiga tindak se-
mentara Gendala Maung tetap tegak di atas tanah.
"Hebat! Hebat!!"
Di seberang, Nawang Wangi merasa sikut kanan-
nya agak ngilu. Tatkala dilihatnya, agak membiru.
"Rasanya... tak ada jalan lain kecuali menghadapinya. ..," katanya dalam hati.
Habis membatin demikian, murid Bidadari Tangan
Bayangan ini segera angkat tangan kanan dan kirinya ke atas. Kejap berikutnya,
kedua tangannya itu digerakkan. Semakin lama semakin cepat. Menyusul ter-
dengarnya suara angin menderu-deru.
Di seberang, dari rasa terkejutnya, Gendala
Maung justru mengerutkan keningnya.
"Rasa-rasanya... aku pernah melihat jurus seperti ini...." desisnya dalam hati.
"Bukankah... hei!! Jurus itu adalah jurus Bidadari Tangan Bayangan!!"
Kejap berikutnya, lelaki berkumis baplang ini se-
gera membuka mulut, "Gadis manis! Ada hubungan apa kau dengan Bidadari Tangan
Bayangan"!"
Mendengar orang mengenali gurunya dari jurus
yang dimainkannya, Nawang Wangi perlihatkan se-
nyuman mengejek.
"Dia guruku! Cepat kau berlutut sebelum nyawa-
mu kucabut!"
Sahutan Nawang Wangi justru membuat Gendala
Maung mengkelap. "Bagus! Ternyata kau murid Bidadari Tangan Bayangan! Kau makin
membuatku bergai-
rah, Manis!! Ketahuilah... telah lama aku bermusuhan dengan gurumu itu! Dan
sekarang... kau bukan hanya


Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai gantinya, tetapi juga akan kupermalukan kau hingga seluruh kejadian ini
berkumandang di rimba
persilatan dan mau tak mau akan mencoreng wajah
Bidadari Tangan Bayangan!"
Mendengar ancaman itu, Nawang Wangi semakin
bersiaga penuh. Sementara deru angin yang keluar da-ri gerakan kedua tangannya,
dia membatin, "Apa pun yang terjadi... aku tidak peduli! Lebih baik kudahului
menyerang!!"
Memutuskan demikian, tanpa keluarkan benta-
kan, Nawang Wangi segera mendorong kedua tangan-
nya ke depan. Gendala Maung kertakkan rahangnya. Menyusul
dia segera membuang tubuh ke kiri. Bersamaan den-
gan itu, kedua tinjunya didorong pula.
Wusss! Wuuusss!
Dess! Dess!! Sejenak murid Bidadari Tangan Bayangan ini ter-
henyak dan surut tiga langkah ke belakang akibat benturan yang terjadi tadi.
Namun gadis yang tengah dira-suki amarah ini tak mempedulikan keadaannya.
Dia segera angkat tangannya yang kembali berge-
rak tak ubahnya bayangan belaka. Menyusul dido-
rongnya kembali.
Wusss! Satu hamparan angin melesat ke arah leher Gen-
dala Maung. Sambil keluarkan makian, lelaki berkumis baplang ini justru melesat
ke depan seperti menyongsong serangan itu.
Tatkala gelombang angin tadi siap menghantam
patah lehernya, sosoknya mendadak melenting ke atas dengan gerakan memutar
tubuh. Masih berada di udara, tangan kanannya menjulur siap menotok punggung
Nawang Wangi. Namun gadis itu adalah murid Bidadari Tangan
Bayangan. Kendati baru kali ini menghadapi pertarungan yang sesungguhnya, namun
dia sudah cukup la-
ma digembleng oleh Bidadari Tangan Bayangan.
Dengan cara liukkan tubuh, dia lolos dari totokan
Gendala Maung. Bahkan kaki kanannya telah melun-
cur siap menendang dada Gendala Maung.
Kembali Gendala Maung kertakkan rahangnya.
Dengan telapak tangannya dipapaki tendangan keras
itu. Dan dia terkesiap tatkala mendapati sinar putih
bening menghampar dengan gemuruh angin mengeri-
kan. Sekejap menerangi tempat itu yang kendati siang sudah meraja namun karena
pepohonan yang tinggi
sinar matahari seperti tertahan. Rupanya Nawang
Wangi sudah melepaskan jurus 'Bayangan Matahari'
yang diajarkan Bidadari Tangan Bayangan.
"Keparat!!" maki Gendala Maung sambil melompat ke belakang. Dia memang melihat
kalau gerakan si gadis semakin lambat. Namun dia tahu kalau gerakan
lambat itu mengandung tenaga yang mengerikan.
Dan selagi si gadis keluarkan jurus 'Bayangan Ma-
tahari' lagi, Gendala Maung langsung meluruk. Dida-
hului dengan dorongan kedua tangannya yang men-
gandung tenaga dalam berlipat ganda.
Blaaaammm!! Benturan keras tak terelakkan. Tempat itu sesaat
seperti bergetar. Tanah di mana terjadinya benturan keras itu rengkah dan
muncrat ke atas!
Tatkala semuanya luruh, terlihat sosok Nawang
Wangi terhuyung ke belakang. Rupanya, tenaga dalam
yang dimilikinya kalah tinggi dari Gendala Maung. Gadis ini benar-benar tak
mampu lagi untuk kuasai ke-
seimbangannya. Karena kejap itu pula, sosoknya ambruk.
Sementara itu, Gendala Maung yang tak kurang
suatu apa segera berkelebat cepat. Tangan kanannya
terjulur. Tuk! Tuk! Dua totokannya bersarang di dada bagian atas
dan pangkal lengan kanan Nawang Wangi, hingga si
gadis langsung merasa tubuhnya nyeri dan kaku.
"Sudah kukatakan tadi... kau telah diutus oleh para setan untuk menjadi pemuas
nafsu. Dan kau me-rupakan obat sementara penghilang dendamku pada
Pendekar Slebor dan menutupi sejenak keinginanku
untuk mendapatkan Patung Kepala Singa!"
"Jahanam! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai
mampus!!" seru Nawang Wangi keras dengan mata
mendelik gusar.
"Kau tak perlu menunggu terlalu lama untuk
mampus! Karena... setelah aku puas menggeluti tu-
buhmu... maka kau akan merasa jiwamu sudah mati!!"
Lalu dengan seringaian lebar dan langkah angker,
Gendala Maung berlutut mendekati Nawang Wangi.
Tangan kasarnya membelai-belai wajah si gadis yang
berusaha mengelakkannya. Namun karena sekujur tu-
buhnya kaku, yang bisa dilakukan hanyalah berteriak-teriak.
"Cuuuh!!" Dengan gusar disemburkan ludahnya yang tepat mengenai wajah Gendala
Maung. Bukannya gusar, Gendala Maung cuma terbahak-
bahak. "Menyenangkan... sangat menyenangkan.." desisnya puas dan mendadak saja tangan
kanannya berge-
rak. Breettt!! Seketika pakaian di bagian dada Nawang Wangi
sobek. Memperlihatkan pakaian dalamnya yang tipis
berwarna hijau. Dan memperlihatkan bayangan bung-
kahan payudara yang mengkal menggiurkan.
"Luar biasa...," desis Gendala Maung. "Ganda Maung... bila saja kau masih
hidup... tentunya kita akan berbagi kenikmatan ini bersama-sama...."
Sementara itu, Nawang Wangi berusaha untuk te-
tap tegar. Dia sadar apa yang akan dialaminya. Sesua-tu yang sangat menakutkan
dan tak pernah dibayang-
kan sama sekali. Untuk saat ini, kembali disesalinya mengapa dia harus
meninggalkan Lembah Pinus.
Namun semuanya sudah dilakukan dan malape-
taka ini nampak tak akan bisa dielakkan lagi.
Dirasakan bagaimana payudaranya dipegang dan
diremas-remas dengan kasar dan penuh bernafsu. Ke-
tika dia hendak membuka mulut, mendadak dirasakan
satu sentuhan pada urat suaranya hingga kini dia tak bisa keluarkan suara.
Dipejamkan matanya rapat-rapat tatkala melihat
lelaki berkumis baplang itu mulai membuka pakaian-
nya sendiri. "Guru... maafkan aku...."
Namun sebelum malapetaka itu terjadi, mendadak
terdengar suara lembut berwibawa, "Menista sesama adalah perbuatan terkutuk.
Kendati tak bisa dimaaf-kan, tetap masih bisa diperbaiki...."
SELESAI Segera menyusul:
RAHASIA DI BALIK ABU
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Tongkat Delapan Naga 2 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Kesatria Baju Putih 9
^