Pencarian

Perompak Perompak Laut Cina 1

Pendekar Slebor 19 Perompak Perompak Laut Cina Bagian 1


PEROMPAK- PEROMPAK LAUT CINA Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor : Puji S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode :
Perompak-Perompak Laut Cina
128 hal. 1 Laut Merah. Bentangan samudera yang
membelah bagian daratan Asia dengan Afrika,
mencerminkan kekuasaan Tuhan Pencipta Alam
Semesta. Alunnya terkadang jinak memainkan
ombak yang bergulung lunak. Namun, tak jarang
menjadi liar, dengan gelombang-gelombang yang
besar. Dari muara Sungai Nil, sebuah kapal layar besar memasuki kawasan Laut
Merah. Dari lambang di bentangan layarnya yang menjulang, me-
nandakan kalau kapal ini bagian dari armada pe-
rang Cina. Dengan tulisan huruf Cina besar berla-tar belakang lukisan seekor
naga. Bentuknya be-
gitu gagah. Berukuran lebih dari lima belas kali lima puluh lima tombak.
Warna kapal itu masih cerah. Namun bu-
kan berarti belum lama dibuat. Justru kapal itu adalah kapal berusia cukup tua,
dan memiliki sejarah sendiri bagi kerajaan yang diperkukuhnya.
Bisa jadi kendaraan perang samudera itu telah
mengalami pemugaran.
Jangan heran kalau kapal armada Cina ini
memulai pelayaran dari kawasan bagian daratan
Afrika. Jawaban yang pasti, karena para penum-
pangnya baru saja menghadiri sebuah misi dari
Ratu Mesir. Putri Ying Lien salah satu dari ketu-runan penguasa Cina beserta
panglima perang-
nya, menjadi pimpinan perjalanan (Untuk menge-
tahui lebih jelasnya, bacalah episode: "Undangan Ratu Mesir").
Di antara para awak kapal, tampak seorang
pemuda gagah berpakaian hijau pupus. Rambut-
nya panjang sebahu tak teratur. Dengan penam-
pilan begitu acuh, dia berdiri di satu sudut bibir geladak. Tamparan angin deras
yang mengguliri
permukaan samudera, ditentangnya dengan raut
wajah tanpa gemik. Ketajaman sinar matanya se-
perti larut dalam nada persahabatan alam. Sese-
kali terdengar tarikan napasnya di kepungan ti-
upan bayu. Anak muda perkasa itu tak lain dari Andi-
ka. Di dunia persilatan, dia amat tersohor sebagai Pendekar Slebor. Sebagai
salah seorang undangan Ratu Mesir, Andika melakukan pelayaran bersama armada
Cina. "Apa yang sedang kau renungkan Andika?"
sapa seseorang di belakang Andika.
Kebekuan pemuda itu kontan terusik. Ke-
palanya menoleh. Ditemukannya seorang pemuda
sebaya berwajah tak kalah tampan, bermata sipit.
Pakaiannya memperlihatkan kalau pemuda itu
adalah seorang pembesar Kerajaan Cina.
"Ah, kau Chin Liong...," desah Andika seraya mengembalikan pandangan ke samudera
be- bas di depan sana.
"Kau belum jawab pertanyaanku...," sindir Chin Liong menanggapi keacuhan
sahabatnya da-ri tanah Jawa.
"Ada perlu" Rasanya, kau hanya berbasa-
basi saja," tukas Andika.
Chin Liong tertawa. Harus diakui, saha-
batnya memang benar. Dan harus diakui pula,
Andika memang memiliki pengamatan setajam
mata pisau. "Ya, aku memang hanya berbasa-basi. Ta-
pi, apa itu dosa?" canda pemuda bermata sipit itu seraya menjajarkan tubuh di
sisi Pendekar Slebor.
"Aku hanya sedang merenungi hidup," kata Andika lagi.
Chin Liong menunggu.
"Kau lihat itu," sambung Andika seraya mengacungkan jari jauh ke samudera.
"Hidup tidak beda dengan napas samudera. Terkadang
bergejolak buas terkadang sarat kedamaian. Kita terlalu sulit menduga, apa yang
bakal terjadi. Lebih-lebih mendiktenya. Kau tahu, kenapa" Karena hanya ada satu-
satunya Pendikte Hidup."
"Tuhan?"
"Yak!"
"Aku tak rugi bersahabat denganmu, Andi-
ka...," puji Chin Liong. "Kau bukan hanya sering membuatku tertawa, tapi juga
kerap mengajakku
berpikir bijak...."
"Dan aku justru merasa rugi bersahabat
denganmu, kalau kau terus saja memujiku seper-
ti itu," seloroh Andika.
Mereka tertawa kecil. Saling menertawai di-
ri yang sering kali terhanyut kehidupan begitu sa-ja. Jarang sekali ada
kesempatan buat mereka
untuk merenung seperti sekarang. Seperti jarang-
nya mereka tertawa lepas bersama.
Tertawa lepas bersama" Andai setiap mak-
hluk bumi bisa berbagi suka seperti itu, tentu
bumi ini bisa disulap menjadi sorga dalam seke-
jap. Bukan lagi tempat bagi si keji untuk mem-
bantai yang lain. Bukan tempat penguasa men-
gunyah yang lemah. Bukan neraka bersimbah da-
rah. Dan Andika pun merenung kembali.
"Bagaimana nasib kawan kita, Hiroto ya?"
cetus Ching Liong, memberangus kebungkaman
mereka di antara debur ombak yang menanduk
lambung kapal. "Itu yang kumaksud dengan ucapanku ta-
di. Bukankah hidup begitu sulit diduga" Mes-
tinya, orang sebaik Hiroto tak mengalami nasib
buruk di piramida laknat itu," geram Andika terdengar merutuk. "Sementara si
Gila Petualang yang mestinya mendapat hukuman, lolos begitu
saja entah ke mana!" (Untuk mengetahui seluk-beluk kedua tokoh itu, bacalah
episode: "Warisan ratu Mesir").
"Kau yakin Hiroto menemui ajal di sana?"
tanya Chin Liong, seperti bertanya pada diri sendiri. Seraya menghempas napas,
Andika meng- hela bahu. "Cuma Tuhan yang tahu, bagaimana na-
sibnya," desah pemuda tampan itu. "Kasihan ke-luarganya di Jepang...."
"Hm.... Aku tak tahu dia punya keluarga,"
gumam Chin Liong.
"Semula aku pun begitu. Sampai Kenjiro,
sepupunya, bercerita padaku," ucap Andika.
Sementara itu, kapal terus membelah sa-
mudera. Mentari senja menguning jauh di sana. Se-
tengah tubuhnya, seakan tercelup dalam garis batang kaki langit. Pantulan sinar
lembut raja siang yang menjinak, memanjang di sepanjang gelombang kecil.
Malam pun rebah. Hari berlari dan bergan-
ti. Selama ini, pelayaran dengan tujuan tanah
Jawa berjalan tanpa kendala. Sebagaimana ren-
cana sebelum meninggalkan negeri Mesir, kapal
layar Kerajaan Cina milik Putri Ying Lien akan
mengantarkan Andika serta si bangkotan Pende-
kar Dungu kembali ke tempat asal. Kalau Andika
semula dijemput, sudah sepantasnya diantar pu-
lang. Begitu menurut Ying Lien kala itu (Tentang kisah awal keberangkatan
mereka, bacalah episode: "Undangan Ratu Mesir").
Setelah berlabuh sejenak di bandar Sunda
Kelapa, kapal itu akan meneruskan pelayaran ke
negeri Cina. Sayangnya, segala sesuatu tak selalu berja-
lan mulus hingga titik akhir. Ketika itu, sinar mentari menebar lembayung ke
cakrawala. Senja
telah menua pada hari kesekian. Kapal layar angker itu kini telah memasuki Laut
Cina Selatan. Dan, terjadi peristiwa yang benar-benar tak diharapkan.
Pendekar Slebor, Chin Liong, Ying Lien,
dan beberapa awak kehormatan lain ketika itu
sedang mengulur perbincangan hangat. Sampai
seluruh perbincangan mendadak terpancung te-
riakan nakhoda kapal dari geladak.
"Tuan Panglima! Akan ada badai hebat dari
barat laut! Kita tak bisa melanjutkan perjalanan, karena lintasan kapal membelah
daerah itu!"
Chin Liong tak terlihat terlalu terkejut.
Hanya raut wajahnya yang membersitkan keke-
cewaan. Bukan badai hebat yang disayangkan ha-
rus terjadi. Melainkan, menyayangkan kepulan-
gannya akan terlambat dihadang badai. Padahal,
hatinya sudah begitu rindu kampung halaman.
"Bagaimana, Panglima"! Apakah kita akan
tetap pada arah sekarang, atau memotong jalur"!"
tanya nakhoda kembali, meminta keputusan Chin
Liong selaku panglima perang kerajaan.
"Kita harus memotong jalur! Aku tak mau
mempertaruhkan nyawa seluruh awak kapal!" putus Chin Liong, tegas.
"Siappp, Panglima!"
Selesai menyahuti perintah Chin Liong,
nakhoda itu memberi aba-aba pada seorang juru
mudi untuk memutar arah, menghindari bentro-
kan dengan badai hebat yang gejalanya terbaca
nakoda tadi. Namun seperti penuturan Andika,
alam memang sulit diduga. Selang sekian lama
setelah arah pelayaran dibelokkan ke jalur lain, arakan awan hitam pekat sudah
terlihat dari arah barat laut. Amat pekat!
Di kejauhan, arakan awan penjinjing badai
itu seperti bergerak tenang. Namun di balik kete-nangannya, sesungguhnya sedang
bergerak amat cepat satu ancaman yang paling ditakuti setiap
pelaut ulung sekalipun! Di antara kepungan awan legam pekat itu, berkali-kali
terlontar kerjapan-kerjapan lidah petir, menukik langsung ke per-
mukaan laut. "Nakhoda! Apakah badai itu bergerak ke
arah kita"!" tanya Chin Liong berteriak pada seorang awak di menara tiang kapal.
"Benar, Panglima!"
"Apakah kita bisa menghindarinya"!"
"Kita sudah mencobanya, Panglima. Tapi,
badai itu rupanya bergerak terlalu cepat di luar perhitungan!"
"Jadi kita tak bisa menghindar lagi"!" tanya Chin Liong, meminta kepastian.
Wajah berwiba-wanya mulai terlihat tegang, meskipun sudah be-
rusaha setenang mungkin.
"Kita tidak bisa membelokkan arah kapal
ini ke mana-mana lagi! Badai itu terlihat cepat datang!" "Apa saranmu,
Nakhoda"!"
"Sebaiknya kita bersiap-siap! Kita harus
bertahan sementara!" sahut nakhoda itu kembali.
"Ya, cepat laksanakan!"
Setelah itu, dari tiang kapal yang dijadikan
sebagai menara pengawas, terdengar aba-aba ke-
ras si nakhoda.
"Turunkaaan layaaar!"
Sesaat berikutnya, sudah terdengar keri-
uhan layar besar diturunkan cepat, diimbangi hi-ruk-pikuk para awak kapal yang
bersiap-siap menghadapi serbuan badai hebat.
Riuh-rendah di luar, memancing Putri Ying
Lien keluar dari ruang kehormatannya. Gadis bu-
ta ini berjalan dengan wajah terpaku ke depan,
Putri Ying Lien pun segera mendekati tempat
Chin Liong dan Pendekar Slebor berdiri.
"Akan ada badai," ucap Chin Liong, menyambut kehadiran Ying Lien di dekatnya.
Tak tampak banyak perubahan pada wajah
dara terhormat Cina itu. Dia tetap tenang, seakan tidak akan terjadi apa-apa.
Kalaupun ada perubahan, hanya sebatas kerutan tipis di antara rentangan sepasang
alis hitamnya. "Apakah badai hebat?" tanya Ying Lien pa-da nakhoda.
Lelaki berbadan kekar berpakaian prajurit
laut Cina itu baru saja menuruni tangga tali yang menjulur sepanjang tiang
layar. "Menurut perkiraanku begitu, Tuan Putri,"
sahut si nakhoda hormat.
"Bisa dihindari?" susul Ying Lien, seperti mengulangi pertanyaan Chin Liong
sebelumnya. "Tidak, Tuan Putri."
"Tak ada lagi yang bisa kita perbuat seka-
rang ini, kecuali bertahan," tambah Chin Liong.
"Sayang, kau tidak bisa melihat, Ying Lien.... Badai besar itu semakin deras
menghampiri arah ki-ta!"
"Aku bisa merasakannya," ucap Ying Lien, tanpa sedikit pun menganggap perkataan
panglima perangnya yang sudah seperti saudara kan-
dung sendiri sebagai penghinaan.
"Sebaiknya kau masuk ke ruanganmu
kembali, Ying Lien," saran Andika, turut buka suara. "Itu saranmu sebagai
seorang sahabat, atau sebagai seorang tamu yang merasa harus
menghormatiku?" gurau Ying Lien ringan, seolah hendak sedikit melekang
ketegangan yang terus
saja menanjak, mengiringi bergeraknya badai di
kejauhan. "Aku rasa, hanya karena kau tak pantas
saja berada di sini," sahut Pendekar Slebor.
Baru saja setelah Ying Lien masuk ke
ruang kehormatannya, badai pun unjuk gigi. An-
gin amat kencang menderu-deru seperti hendak
menulikan telinga. Gelombang terus saja tumbuh


Pendekar Slebor 19 Perompak Perompak Laut Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membesar. Ayunannya mula-mula hanya meng-
goyang kapal besar armada Cina itu. Namun wak-
tu berikutnya, kapal mulai diombang-ambing, te-
rayun kian kemari. Tamparan demi tamparan ge-
lombang menghantami lambung kapal. Dan keti-
ka ombak kian menggila, kapal seperti hendak ditelan begitu saja....
2 Apa yang bisa disombongkan manusia da-
lam menghadapi amukan alam seperti ini" Apala-
gi dalam genggaman gelegak badai samudera" Ke-
congkakan manusia tak berlaku di sana. Yang
ada hanya rasa waswas atas jangkauan tangan-
tangan pencabut nyawa dari langit.... Begitulah cara Tuhan memperingati
makhluknya yang terlalu rakus akan dosa.
Berbeda dengan seluruh tantangan yang
pernah diladeni Pendekar Slebor, tantangan kali ini tampaknya terlalu berat.
Bukan manusia bejat dengan kesaktian hebat yang harus dihadapinya.
Lebih dari itu, Andika harus menghadapi anca-
man bahaya yang sesungguhnya tidak mungkin
ditentang seorang pun. Badai laut maha dahsyat!
Begitu dengus sang badai memuncak, om-
bak pun menjelma bagai tangan-tangan raksasa
yang siap menepak lebur kapal layar milik Putri Ying Lien. Kini segala kesan
kegagahan dan keangkeran angkutan perang laut itu menjadi tak berarti apa-apa.
Langit kelam tampak makin matang. Rapat
sudah mega gelap membungkusnya. Di antara ge-
rak berduyun gerombolan awan menyeramkan
itu, terus terbersit gencar lidah-lidah petir.
Suasana terpuruk dalam keriuhan mening-
gi. Deru angin ribut menyerbu dalam arah sim-
pang-siur, bertarung dengan gelegar liar guntur pengiring kerjapan kilat. Belum
lagi debur sehim-pun gelombang raksasa yang bergolak. Belum pu-
la debam menggila, ketika lambung kapal ditan-
duk ombak. Sesakti-saktinya manusia, Andika masih
punya selaksa akal cerdik untuk dapat menak-
lukkannya. Namun dalam menghadapi amukan
alam" Yang paling hebat bisa dilakukannya ber-
doa dalam kepasrahan memuncak! Alam memang
selalu mewakili kehendak Rabbi. Kalau Sang Pen-
guasa telah berkehendak, daya apa lagi yang bisa diperbuat manusia selain berdoa
dan pasrah"
Memang pemuda sakti dari tanah Jawa itu
pernah pula menjajaki kemurkaan alam, dalam
tahap penyempurnaan kesaktiannya di Lembah
Kutukan. Kalaupun bisa selamat dari gempuran
dahsyat sejuta lidah petir di sana, semata-mata bukan karena kesaktiannya.
Melainkan, Tuhan
telah berkehendak dirinya tetap hidup lalu ber-
juang menegakkan panji keadilan.
Namun begitu, Andika tahu pasti kalau ti-
dak boleh menyerah begitu saja pada keadaan.
Ya, dia harus berjuang, seperti juga yang lain. Ini bukan masalah menentang
kehendak Sang Penguasa, melainkan berusaha mempertahankan
nyawa sebagai titipan paling berharga dari-Nya.
Maka ketika segulung ombak raksasa me-
nerjang tinggi menggapai langit yang seolah siap menanduk hancur tiang layar
besar kapal, Pendekar Slebor dipaksa menghadapinya.
"Andika! Ombak besar itu akan menghan-
curkan kapal kita!" teriak Chin Liong, yang saat itu sedang memeras tenaga
mengendalikan kemudi bersama Pendekar Slebor.
Tahu kapal akan menjadi lumpuh tanpa
tiang layar, pendekar muda itu segera melepas
pegangannya pada badan kemudi. Sekali bergerak
dia telah melompat tangkas menyongsong terjan-
gan ombak. "Hiaaahhh!"
Dalam deru angin yang mengacaukan selu-
ruh pakaian dan rambut, tubuh Pendekar Slebor
melayang deras tak kalah cepat dengan gerak
tandukan ombak raksasa. Di udara, tangannya
yang mengepal keras mengejang rapat di sisi da-
da. Otot-otot di sekujur tubuhnya bagai berubah menjadi kawat-kawat liat.
Andika memang sedang memompa tenaga
sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan dalam
tubuhnya, hingga tingkat kesembilan belas.... Sa-tu tingkatan tenaga sakti yang
begitu disegani di seantero persilatan yang sanggup memporak-porandakan bukit
karang! Sekejap selanjutnya....
"Hih!"
Deb! Dari keadaan rapat di sisi rusuk, tangan
pemuda itu mengembang singkat bersama geme-
retak persendiannya. Telapak tangan yang semula terkepal, sekejap membuka. Saat
yang sama, se-himpun kekuatan tenaga dorongan terlepas sea-
rah hempasan tangannya. Tenaga dorongan itu
bergerak gagah melebar, siap membuat benteng
kasapmata untuk menahan tandukan ombak!
Pyuar! Sungguh mengagumkan, ternyata ombak
raksasa itu langsung tertahan sebelum sempat
merejang tiang kapal. Ubun-ubun gelombang rak-
sasa itu malah terburai, menjadi cipratan halus, tak kalah halus dengan bulir-
bulir hujan yang
saat ini sedang berpesta.
Untuk hasil itu, Pendekar Slebor tidak lu-
put dari akibat tak ringan. Sesungguhnya penge-
rahan tenaga sakti warisan dari buyutnya hingga tingkat kesembilan belas, adalah
tindakan amat berbahaya. Jika tubuhnya saat ini tidak siap di-banjiri tenaga sakti taraf
puncak, maka kekuatan itu malah bisa memakannya sendiri.
Hal yang ditakutkan Pendekar Slebor me-
mang tak terjadi. Namun, benturan dahsyat anta-
ra gelombang raksasa sebesar gunung dengan se-
bentuk kekuatan yang tak tanggung-tanggung,
tentu saja sanggup menghempasnya amat jauh ke
belakang. Bagai seorang yang baru saja tersentak le-
dakan amat hebat, tubuh pemuda ksatria itu me-
luncur tajam ke belakang. Kalau semula ombak
yang mengancam tiang kapal, kini justru tubuh
Pendekar Slebor sendiri menjadi ancaman. Lun-
curan tubuhnya secara tak sengaja mengarah pa-
da tiang layar....
"Andika!" seru Chin Liong was-was. Digebah kekhawatiran teramat sangat, pemuda
Cina yang menjadi sahabat Pendekar Slebor itu mele-
pas pula pegangan pada kendali kapal. Tubuhnya
menerjang ke muka, menyambut luncuran tubuh
Andika. Memang, bukan tiang kapal yang dikhawa-
tirkan Chin Liong saat itu. Andika bisa terluka parah akibat benturan hebat
dengan tiang. Itu
yang paling ditakutkannya.
"Heaaa!"
Berangkai teriakan tertahan Chin Liong,
tubuh dua pemuda gagah itu bertumbukan di
angkasa. Dugh! "Akh!"
Terlalu besarnya tenaga dorong badan An-
dika, menyebabkan Chin Liong terhantam meski
sudah mengerahkan sebisanya segenap kecepatan
dan tenaga. Usaha Chin Liong tak berarti banyak. Ka-
rena begitu tubuhnya terbentur, dia pun ikut meluncur menuju tiang kapal.
Dakh! Seketika bokong Chin Liong terhantam ba-
dan tiang layar utama kapal. Dia rupanya rela
menjadi tumbal pengganti yang seharusnya dite-
rima Andika, sahabatnya. Sungguh suatu pen-
gorbanan seorang ksatria muda sejati bagi sang
sahabat! Tiang utama kapal selamat dari keruntu-
han. Tenaga dorongan telah melunak, setelah
Chin Liong berusaha menahan luncuran tubuh
Andika! Namun biar begitu, tetap tak cukup lu-
nak bagi bokong pemuda Cina ini. Bagian tubuh-
nya terasakan seperti baru saja dihajar tiga puluh tangan besar algojo-algojo.
Selang setelah dua pemuda itu tersuruk di
lantai geladak, Chin Liong memuntahkan darah
segar. "Kau..., kau tid-dak apa-ap-pa, Andika?"
tanya Chin Liong tersendat.
Masih saja pemuda bermata sipit ini
mengkhawatirkan keadaan sahabatnya, sementa-
ra dia sendiri terluka tak kalah parah.
Andika beringsut bangkit. Sedang Chin
Liong terhimpit di belakangnya. Sambil berpegangan pada tambang besar jangkar
serta memegangi
lengan Chin Liong agar tak berombang-ambing
ayunan menggila kapal, Andika berbalik mengha-
dap pada sahabatnya.
"Mestinya aku yang bertanya begitu pada-
mu, Tolol! Kenapa kau jadi begitu bodoh me-
nyambut luncuran tubuhku" Apa kau sudah be-
gitu kasmaran padaku?" seloroh pemuda urakan ini masih dengan ringisan sakit di
bibirnya. Agak susah payah, Chin Liong menanggapi
celotehan ngawur sahabatnya dengan senyum ra-
puh. Dadanya saja masih terasa remuk. Lantas,
bagaimana dia bisa tersenyum lepas" Tapi sung-
guh mati, kalau pun begitu rasanya pemuda ber-
mata sipit ini memang harus sedikit geli dengan perkataan brengsek Andika.
Bagaimana bisa pemuda tanah Jawa ini sempat bergurau dalam
keadaan yang demikian genting seperti sekarang"
"Kau masih bisa bangkit atau tetap ngejo-
grok seperti kakek pikun salah makan?" sembur Andika lagi.
Chin Liong berusaha bangkit. Tapi luka
yang diderita terlalu parah untuk membuatnya
bisa bangkit. "Ah, sudahlah.... Jangan kau paksakan!
Kalau kau paksa-paksa, nanti malah berhembus
keluar sesuatu yang tak diharapkan dari bela-
kangmu!" kata Andika lagi, dengan suara tinggi.
Bicara kurang kuat sedikit saja, suaranya akan
tertelan gemuruh badai.
"Kau tidak apa-apa, Panglima?" tanya seorang prajurit yang bersusah-payah
merayap men- dekati tempat Andika dan Chin Liong.
"Sebaiknya, kau bawa panglimamu masuk!
Dia harus dirawat segera!" tukas Andika, tepat di telinga si prajurit.
"Apa, Tuan"!" tanya prajurit berkumis tikus itu seraya menaikkan sebelah
tangannya ke sisi
telinga. Matanya menyipit. Sudut bibirnya terangkat. Tampaknya, telinganya
memang tak menden-
gar ucapan Andika barusan.
"Bawa panglimamu masuk"! Dia butuh pe-
rawatan"!" ulang Andika lebih keras dan lebih dekat ke telinga prajurit tadi.
"Hah"! Apa"!"
Minta tobat! Andika menyumpah-nyumpah
sendiri. Ini bukan lagi persoalan gemuruh badai yang menelan suaranya. Ini pasti
perkara kuping si prajurit yang mampet! Dasar budek!
"Bawa panglimaaamuuu ke dalaaam!"
ulang Andika sekali lagi. Kali ini dengan mata melotot! Mulut si prajurit yang
sudah maju semakin menyorong ke depan.
"Baik-baik, Tuan!" lanjut prajurit ini sambil membantu Chin Liong berdiri.
Sementara badai terus saja mengamuk.
Kapal layar mereka masih saja dijadikan bulan-
bulanan ombak. Sebentar terombang ke sini, se-
bentar terambing ke sana. Berkali-kali kendaraan samudera itu oleng begitu
curam. Tandukan-tandukan gencar gelombang setinggi sepuluh ka-
ki, terus saja menghujam lambung kapal.
Untung saja tak ada gelombang meraksasa
seperti yang Andika papaki. Dan untung pula,
kapal berusia tua itu ternyata masih mampu
membuktikan keperkasaannya. Tidak karam,
meski sudah demikian dipermainkan.
Para awak kapal yang bertanggung jawab
pada pelayaran, terus berkutat menimba air laut yang berhasil masuk ke dalam
lambung. Sebagian
lain menguras tenaga untuk menarik tali kayu
gulungan layar, agar tidak liar bergerak ke mana-mana. Sementara yang lain pun
berjuang dengan
tugas lain pula.
Pendekar muda tanah Jawa bernama An-
dika, tetap bertahan bersama mereka. Sampai
suatu ketika, Pendekar Slebor disentak suatu
pemandangan aneh. Di antara gelegak tarian
angker ombak raksasa, lamat-lamat terlihat se-
seorang bergerak cepat. Gerakannya demikian
ringan, seakan sosok itu sedang berlari-lari di hamparan padang datar saja.
Sesaat bayangan
orang itu tertelan gapaian ombak. Dan kala gu-
lungan ombak melandai, sosok itu pun tersingkap kembali.
Andika mengerjap-ngerjapkan kelopak ma-
ta. Bukan karena tidak jelas melihat sosok itu
melainkan kurang yakin apakah matanya sudah
melihat khayalan" Atau, memang benar-benar
menyaksikan peristiwa itu..."
3 "Benarkah aku telah melihat seseorang
bergerak bagai hantu di antara sibakan-sibakan
gelombang" Di antara amukan badai menggila" Di
antara menggunungnya ombak yang mungkin se-
tinggi sekitar sembilan kaki itu?"
Pendekar Slebor jadi tak habis pikir. Sulit
baginya untuk percaya. Dan itu sama sulitnya
untuk meyakinkan kalau yang dilihatnya adalah
manusia. Siapa tahu, itu hanya hantu laut gen-


Pendekar Slebor 19 Perompak Perompak Laut Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tayangan. Kalau manusia, mau apa sendirian di
tengah-tengah memuncaknya kemurkaan alam
tanpa perahu atau sampan kecil sekalipun" Dan,
bagaimana pula dia bisa menaklukkan badai dah-
syat seperti mempermainkannya..."
Guna meyakinkan penglihatannya, Pende-
kar Slebor lantas saja menarik kerah baju seorang awak kapal Kerajaan Cina.
Kerasnya menarik,
sampai-sampai mata si prajurit mendelik akibat
tercekik. "Adha apha, Tuan Pendehekhar..., ekh!"
rintih si prajurit mengenaskan.
Mata laki-laki yang meski bermata sipit itu
makin mendelik saja, ketika agak terhuyung ka-
rena olengan kapal. Padahal tangannya masih
mencengkeram leher bajunya, lidah si prajurit
naas itu pun mulai menjulur-julur.
"Coba kau perhatikan ke sana!" perintah Andika. Ditunjukkannya alunan gelombang
liar jauh di sana. "Iya-iya, Tuan Pendekar...! Tapi, lepaskan dulu kerah bajuku," pinta prajurit
tadi dengan suara memelas.
Andika sadar. Cepat dilepas cengkeraman-
nya. "Sekarang kau perhatikan baik-baik. Tadi, aku melihat seseorang di
sana...!" lanjut Andika.
Sambil berpegangan pada bibir geladak ka-
rena ngeri ditelan ombak raksasa, prajurit itu
menatap mata Andika tajam-tajam. Sinar ma-
tanya diliputi kebingungan yang tak kalah dah-
syat dengan badai saat ini.
"Ah! Tuan Pendekar pasti sedang bergu-
rau!" seru prajurit ini keras untuk mengalahkan gemuruh ombak dan gelegar
guntur. Andika melotot.
"Apa kau melihat tampangku seperti se-
dang bercanda"!" bentak pendekar muda itu dengan nada dongkol.
Si prajurit meringis, jadi serba salah. Mau
tidak menuruti, Andika adalah sahabat dekat
panglimanya. Bahkan Tuan Putri junjungannya.
Salah-salah, bisa tidak dapat pesangon jika pensiun nanti. Dan kalau dituruti,
dia bisa kelihatan sinting. Masa' di tengah-tengah amukan ombak
segila itu, ada orang" Dan prajurit ini hanya bisa menggeleng pelan. Pelan
sekali, agar Andika tak melihat.
"Jangan melongo! Mending bacotmu bagus
kalau sedang bengong begitu!" hardik Andika, mendapati si prajurit masih saja
menatapnya serba salah.
"Tapi, Tuan Pendekar.... He-he-he.... Gima-na," "Malah cengengesan lagi!" Dengan
terpaksa, akhirnya prajurit itu menuruti juga perintah Andika. Dan biar pun
menggerutu sampai mulutnya berbusa, dia tak akan menang.
"Tapi.... Ya, ampun...! Sementara orang lain kelimpungan, masa' memelototi
ombak"!" gerutu prajurit ini lagi dalam hati. Maklum, pendekar
sakti di sebelahnya masih mendelik habis-
habisan. Masih untung kalau hanya teriak-teriak.
Kalau sampai mengamuk kan bisa berabe....
Sampai lama prajurit berbibir mancung itu
mengamati arah yang ditunjuk Andika. Namun,
tak juga dia menyaksikan orang yang dimaksud.
Dalam hati, dia semakin yakin kalau pendekar di sebelahnya sedang sakit mata.
"Tuh, kan! Aku bilang juga apa...! Tidak
ada, Tuan Pendekar...!" tukas prajurit ini membe-ranikan diri, menyudahi
perintah Andika. Ma-
tanya memang sudah berkunang-kunang me-
nyaksikan ayunan ombak tak beraturan yang
buasnya minta ampun.
"Aku belum tanya!" bentak Andika.
Wajah lelaki yang dibentak langsung saja
memucat. Sudah perutnya terasa bagai hendak
dikuras karena mual, mendapat bentakan telen-
gas pula. Bagaimana tidak pucat"
Sampai akhirnya, Andika menggeleng.
"Ah, sudahlah! Mungkin aku memang sa-
lah lihat!" kata Pendekar Slebor keras supaya bisa didengar prajurit tadi.
Si prajurit lega. Ditariknya napas dalam-
dalam. Setelah itu....
"Khoeeekh...!"
Prajurit ini muntah di tempat!
*** Menjelang pagi hari, badai baru mereda.
Samudera ini bersahabat kembali. Bila sebelum-
nya penuh gejolak, kini tenang bagai hamparan
kaca berwarna kebiruan yang disaput warna me-
rah saga dari pantulan ramah mentari muda. An-
gin segan-segan berhembus, menciptakan riak-
riak halus di permukaan laut.
Benarkah ancaman telah lalu" Sungguh-
kah bahaya telah terlintas" Tidak! Bagi kapal
layar Kerajaan Cina, Laut Cina Selatan rupanya
masih menyiapkan ancaman baru. Ancaman kali
ini, bisa saja menuntut tumbal nyawa dan cucu-
ran darah! Belum lagi layar utama ditarik sampai ke
puncak oleh awak yang telah demikian lelah ber-
juang semalam suntuk....
"Laporkan pada Panglima Chin Liong!
Tampaknya, kita akan dihadang kapal perompak"
Terdengar teriakan nakhoda yang berada di
menara tiang utama, tentang adanya bahaya ba-
ru. Syaraf para awak yang baru saja mengen-
dur menjadi tegang kembali. Layar yang belum
sempat ditarik ke puncak tiang, dipaksa lebih cepat mengembang. Entah, bagaimana
ancaman seperti itu seperti memompa kekuatan mereka
kembali. Beberapa awak yang menarik tali layar, mendadak memperlihatkan tenaga
mereka kembali. Bersama teriakan-teriakan berirama, layar berlambang naga itu
pun mengembang.
Seorang prajurit segera memasuki ruang
dalam kapal dengan langkah tergesa-gesa. Dan
segera dimasukinya ruang kehormatan. Niatnya
hendak menemui Chin Liong. Tapi orang yang
dimaksud tidak ada di sana. Pemuda itu masih
berada dalam ruang perawatan dalam pengawa-
san tabib istana.
"Ada apa, Prajurit?" tanya Putri Ying Lien yang saat itu berada di sana. Biarpun
buta, pendengarannya bisa membedakan seseorang dari
helaan napas, langkah, atau gesekan pakaian se-
kalipun. Merasa telah membuat terkejut junjungan-
nya, prajurit tadi segera menghaturkan maaf.
"Hamba hendak melaporkan keadaan daru-
rat pada Panglima, Tuan Putri," lapor prajurit itu.
"Keadaan darurat apa?" tanya Ying Lien.
"Kita berpapasan dengan kapal perompak,
Tuan Putri."
Seketika Putri Ying Lien bangkit dari kursi
kebesarannya. Begitu juga, empat perwira tinggi yang bersamanya.
"Perwira Naga! Cepat laporkan pada Pan-
glima Chin Liong," perintah Ying Lien, lugas dan tegas. Perwira Naga yang
diperintah ragu sejenak.
"Tapi, Tuan Putri.... Apakah tidak sebaik-
nya jika Panglima tidak diberitahu?" tutur Perwira Naga, ragu.
"Kenapa?" Ying Lien melengak. Kembali lelaki yang berjuluk Perwira Naga itu
ragu. "Mohon maaf, Tuan Putri.... Sebenarnya
hamba diperintah panglima agar merahasiakan
hal ini," ucap Perwira Naga berusaha mengelak dari pertanyaan Ying Lien.
Setelah menimbang sejenak, Perwira Naga
cepat memberitahukan tentang keadaan Chin
Liong kepada junjungannya. Pada saat-saat gent-
ing seperti itu, keputusan yang lambat akan sangat berbahaya.
"Semalam ketika terjadi badai, Panglima
Chin Liong mendapat cedera, Tuan Putri," lanjut Perwira Naga, memberitahukan.
Ying Lien menggeleng-geleng. Dia tahu
maksud Chin Liong. Pemuda yang sudah seperti
saudara kandungnya itu tentu tak ingin mem-
buatnya khawatir.
"Sekarang beliau ada di ruang perawatan,
Tuan Putri," tambah Perwira Naga cepat.
"Kalau begitu, jangan beritahu dia," putus Ying Lien. "Dan sebaiknya, kita cepat
keluar kalau tak ingin didahului kawanan perompak itu!" Lalu mereka semua keluar
tergesa. "Seberapa jauh jarak mereka dengan kapal kita, Andika?" tanya Ying Lien
pada Pendekar Slebor di atas geladak.
Pendekar muda tanah Jawa itu sedang
berdiri waspada, memperhatikan kapal layar be-
sar dikejauhan.
"Cukup jauh. Aku sendiri belum jelas meli-
hat lambang di layar kapal itu," sahut Pendekar Slebor, tanpa menoleh.
"Nakhoda!" panggil Ying Lien. Tangannya memberi isyarat kecil, meminta nakhoda
membe-rikan teropong.
Teropong berpindah tangan. Dari nakhoda
ke Ying Lien yang segera diteruskan pada Andika.
"Coba kau perhatikan, lambang apa yang
ada di layar kapal itu," pinta Ying Lien pada Andika.
Sementara Andika sibuk mengintai dari lu-
bang teropong dengan satu mata menyipit, awak
kapal yang lain menanti tegang. Tak satu pun
yang berhasrat buka suara.
"Ular kepala dua...," kata Andika dengan teropong masih menempel.
"Apa?" usik Ying Lien.
Pendekar Slebor menurunkan teropong.
"Lambang pada layar kapal itu bergambar
ular berkepala dua," ulang Andika, menegaskan.
Wajah beberapa prajurit langsung berubah,
demi mendengar Andika menyebutkan lambang
kapal yang dimaksud. Mereka sebenarnya para
prajurit pilihan yang keberaniannya tak diragu-
kan lagi. Namun tak urung hati mereka bergetar mengetahui akan berhadapan
dengan.... "Ular Laut Kepala Kembar...," gumam Perwira Naga yang berdiri tepat di belakang
Andika. "Benar, Perwira," sela nakhoda. "Semula aku pun tak percaya akan berhadapan
dengan kawanan perompak yang paling ditakuti di Laut
Cina Selatan ini, ketika melihat dari teropong di menara."
Perwira Naga menatap Ying Lien, menung-
gu keputusan junjungannya.
"Apa masih mungkin bagi kita untuk
menghindar?" tanya Ying Lien.
Seperti juga Chin Liong, Ying Lien lebih
mengkhawatirkan keselamatan penumpang ka-
palnya. "Sudah tak mungkin, Tuan Putri," jawab nakhoda. "Arah angin tak
mengizinkan kita untuk menghindar. Lagi pula, jarak antara kapal kita
dengan kapal perompak sudah terbilang dekat..."
"Hei" Apa tak ada di antara kalian yang
mau cerita padaku, ada apa ini sebenarnya" Ke-
napa kalian jadi demikian kaku" Apa di kapal ini ada upacara mengheningkan cipta
untuk meng- hadapi perompak?" cerocos Andika, seenaknya.
Maklum saja bila Pendekar Slebor berbica-
ra seperti itu. Sebab dia belum pernah mendengar kabar angin tentang nama
menggetarkan kawanan perampok Ular Laut Kepala Kembar.
Empat perwira di dekat Andika saling me-
natap. Satu sama lain saling menimbang, siapa di antara mereka yang akan
menceritakan tentang
kawanan perompak paling ditakuti diseantero
Laut Cina Selatan
"Biar aku yang menceritakan pada Tuan
Pendekar," cetus seorang perwira berbadan tinggi besar. Maka, mulailah lelaki
itu menuturkan ceri-tanya. Singkat dan padat.
*** Dalam bentangan maha luas Laut Cina Se-
latan, di antara pergantian kemurkaannya serta
kejinakannya, puluhan kapal perompak berkelia-
ran. Masing-masing menjadi penguasa di wilayah
perairan tertentu.
Bagi kapal-kapal dagang, Laut Cina Selatan
dianggap amat rawan. Bahkan menjadi momok
para pelaut yang sudah mengarungi tujuh samu-
dera sekalipun. Karena setiap saat, bisa saja di-jegal kapal-kapal perompak.
Amat santer kekejian dan ketelengasan pa-
ra perompak Laut Cina Selatan. Berkali-kali telah terjadi pembantaian besar-
besaran terhadap awak
kapal dagang yang mencoba mempertahankan
harta dari jarahan. Dan bila sudah terlibat perang laut, biasanya perompak-
perompak Laut Cina Selatan tak akan sudi membiarkan hidup korban-
nya barang seorangpun. Setiap korban akan men-
galami nasib demikian. Mati dengan dada terbe-
lah, leher terpenggal, atau tubuh direjang puluhan tombak.
Di antara semua kapal perompak, Ular
Laut Kepala Kembar yang paling ditakuti. Mereka kawanan perompak terkeji di
antara yang keji.
Terkejam di antara yang kejam. Dan, terbiadab di antara yang biadab....
Kapal layar penyamun itu selalu terlihat
seperti hantu laut. Tepatnya, seperti istana hantu laut. Kalau ada nakhoda yang
melihatnya untuk
pertama kali, maka pasti akan mengira kalau
kapal itu adalah kapal mati yang terkatung-
katung di lautan lepas. Layarnya masih tetap
membentang, namun sudah kusam, penuh koya-
kan di sana-sini. Lambung kapal pun sudah di-
tumbuhi tumbuhan laut, serta gumpalan karang
tak terawat. Tepi geladak pada beberapa bagian
sudah terpatah-patah. Pondok di atas geladak
diselimuti kabang-kabang dan sarang laba-laba.
Warna kapal itu muram, menyiratkan kebisuan
menggidikkan. Dan yang paling khas dari semua
itu, kapal Ular Laut Kepala Kembar menebarkan
bau bangkai menusuk yang merebak sampai
amat jauh! Sehingga, membuat setiap orang yang
baru pertama kali melihat menjadi semakin yakin kalau kapal itu adalah kapal


Pendekar Slebor 19 Perompak Perompak Laut Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati. Namun yang lebih ganjil adalah awak ka-
palnya. Kapal sebesar dan seangker itu, nyatanya hanya ditempati tiga penghuni.
Semuanya ganjil.
Semuanya sulit dimengerti.
Orang pertama, dipanggil Ular Merah. Dis-
ebut begitu, karena seluruh kulitnya berwarna
merah. Wajahnya buruk, sekaligus menjijikkan.
Hidungnya besar dan membengkok ke kiri. Dari
lubangnya selalu keluar lamban lendir yang tak
pernah dibuangnya. Tidak juga dibersihkan. War-
na hijau kekuningan lendir dari hidungnya makin jelas terlihat, karena warna
merah kulitnya. Mulutnya lebar ke samping. Sedang matanya begitu
cekung. Apalagi dengan kening yang terlalu mem-
bengkak. Yang kedua, berjuluk Ular Belang. Kalau
melihat kulitnya yang juga berwarna tak karuan, julukan Ular Belang memang
pantas untuknya.
Dibanding Ular Merah, orang satu ini bertubuh
lebih kecil. Matanya picak dengan muka lebar. Di dahinya ada gambar ular yang
memanjang hingga
ke ubun-ubun kepalanya yang botak.
Yang terakhir adalah si Manusia Ular. Sulit
sekali orang melihatnya. Dia terlalu tersembunyi, karena selalu tak bersama dua
lelaki lainnya.
Bahkan tak seorang pun tahu, bagaimana rupa si
Manusia Ular. Baik penampilan, atau suaranya.
* * * Andika selesai mendengarkan penuturan
perwira di dekatnya. Belum. Cerita belum lagi selesai. Bagi si perwira, masih
teramat banyak cerita tentang sekawanan perompak Ular Laut Kepala
Kembar. Kalaupun penuturannya mesti terpeng-
gal, karena kapal penyamun yang dimaksud su-
dah kian dekat.
Diiringi gumpalan kabut tebal seputih ka-
pas pembalut mayat, kapal Ular Laut Kepala
Kembar terus mendekati. Bentuknya bertambah
jelas. Sementara saat ini angin seperti mati. Tak ada hembusan yang membuat
kapal layar itu bergerak lebih cepat. Suasana makin penuh kenge-
rian, dalam laju lamban kabut.
Di kapal Kerajaan Cina, seluruh awak me-
matung tegang. Kalau bisa, napas pun mungkin
akan ditahan. Bagi hampir seluruh awak dari Ke-
rajaan Cina, kapal perompak Ular Laut Kepala
Kembar tak beda istana hantu laut. Banyak de-
sas-desus santer tentangnya. Tentang kekuatan
aneh yang menyelubunginya. Tentang si Manusia
Ular yang tak terlihat, yang sebenarnya sosok ka-satmata yang belum jelas
bentuknya. Tentang su-
ara-suara seram dan jeritan dari dalam kapal.
Tentang.... "Kunyuk! Ini kapal orang, apa kapal se-
tan...".'" rutuk Andika, memecah ketegangan. Ba-rangkali hanya Pendekar Slebor
satu-satunya orang di atas geladak yang masih saja acuh.
Sebenarnya, Andika pun merasa merind-
ing. Tapi yang namanya Pendekar Slebor, paling benci kalau dirinya dikuasai
perasaan-perasaan
tak menentu seperti itu. Gerutuan tadi tentu saja sekadar untuk mengusir
ketegangan yang mengepung dirinya sedemikian rupa.
Yang lain seperti tidak menanggapi geru-
tuan ngawurnya. Mereka masih terpaku pada
kapal Ular Laut Kepala Kembar.
"Yang Mulia Tuan Putri, tampaknya kita
kedatangan tamu lain," lapor seorang prajurit, ti-ba-tiba.
Ying Lien cepat menoleh.
"Apa maksudmu?"
Prajurit tadi berbalik lalu menunjuk ke be-
lakang kapal. Jauh di sana, sudah terlihat sekitar lima belas kapal layar lain.
Semuanya bergerak
pada arah yang lama..., kapal Kerajaan Cina
"Siapa mereka?" tanya Perwira Naga, terpancing.
"Menurut pengamatan hamba, mereka se-
mua para perompak Laut Cina Selatan..,"!"
"Gila! Bagaimana mereka bisa berada di si-
ni pada saat yang sama"!" maki perwira lain.
"Dan, tampaknya mereka menginginkan ki-
ta...," tambah Perwira Naga, mendesis. "Entah kenapa...?"
4 Ketegangan memuncak, manakala dari belakang kapal Kerajaan Cina sekitar lima
belas kapal perompak lain mulai membentuk pagar me-
lingkar. Dalam jarak seratus depa, armada pe-
nyamun samudera itu mengepung.
Tak ada lagi jalan lolos. Hanya ada satu pi-
lihan bagi seluruh awak kapal Kerajaan Cina,
yakni menghadapi mereka! Paling tidak, bertahan untuk tidak dibantai. Berjuang
untuk harapan hidup yang begitu tipis. Seperti seekor banteng menghadapi belasan singa lapar.
Sementara, Pendekar Dungu, sudah mun-
cul dari pintu lambung kapal. Geraknya lamban.
Matanya yang sayu, masih dibebani tahi mata se-
besar ujung kelingking. Seraya menggeliat seperti seekor ular kadut tua yang
baru saja terjaga dari tidur panjangnya, si keropos itu menguap lebar-lebar
seperti hendak menghirup seluruh udara di atas samudera.
"Huaaahhhkkkhhh..?"
Ksatria lapuk ini melangkah terseret. Den-
gan malas-malas matanya dikucek. Usai menguap
sekali lagi, dia mulai cengar-cengir.
"Hm... nyam-nyam-nyam.... Ada apa ini"
Banyak kapal ngumpul, ya" Siapa yang suna-
tan...?" Gumaman Pendekar Dungu berubah menjadi makian tak kentara, ketika....
"Apakah kalian orang-orang Kerajaan Ci-
na"!" Mendadak, dari salah satu kapal penyamun terlontar teriakan membahana.
"Kualat kau! Sialan! Aku orang tua! Jan-
tungku sudah soak! Jadi jangan berteriak-teriak seenaknya!" bentak Pendekar
Dungu. Kaget bukan main lelaki keropos ini. Sampai-sampai me-
rasa perlu mengurut dada kerempengnya.
"Hoiii! Kalian tuli semua"! Aku bertanya,
apakah kalian orang-orang Kerajaan Cina"!"
Dari seberang sana, seorang pemimpin pe-
nyamun yang tak mendapatkan jawaban mengu-
lang teriakannya. Kali ini dibumbui kata-kata kasar. Andika jadi mengkelap juga,
mendengar kekasaran barusan.
"Bukan! Kami orang-orang dari kerajaan
antah berantah!" sahut Pendekar Slebor, diawali dengusan kesal.
"Jangan main-main dengan kami!"
Terlempar kembali seruan berang dari satu
kapal. Tepatnya dari mulut seorang kepala pe-
nyamun berkepala klimis. Brewok kasar meme-
nuhi dahunya yang berbentuk persegi. Wajahnya
tak kalah jelek dengan orang-orang paling jelek.
Apalagi, juga dipenuhi sayatan-sayatan melebar.; Pakaian hitam-hitam besar
menutupi tubuhnya
yang besar. Lelaki berpenampilan garang itu berdiri di antara jajaran anak
buahnya di tepi kapal.
Di kapal lain, para perompak yang berjum-
lah puluhan pun berdiri di pinggiran kapal mas-
ing-masing. Tak ada satu pun dari mereka yang
memperlihatkan kelengahan. Seluruhnya siap
dengan senjata di genggaman.
Suasana memang semakin membara.
"Siapa yang berkoar-koar tak sopan itu"!
Tunjuk tangan!" sela Pendekar Dungu sewot.
Kemudian kepala lelaki berotak bebal itu
menoleh pada Andika.
"Hey..., hey! Siapa namamu"!" tanya Pendekar Dungu dengan jari ditempelkan ke
kening. Andika menoleh kecil.
"Bilang sama orang yang berkoar tadi! Ka-
lau tak berhenti berteriak, dia akan ku.... Akan ku..., akan kuapakan, ya" Buju
buneng! Padahal, tadi aku ingat akan kuapakan dia!" oceh Pendekar Dungu.
"Bagaimana kalau kita jewer telinganya,
Pak Tua"!" ledek Andika, menanggapi kesewotan Pendekar Dungu.
"Jangan! Lebih seru, kalau disunat saja!"
"Ha-ha-ha!" Andika kontan tergelak.
"He-he-he!" Pendekar Dungu menimpali
dengan kekehan jeleknya.
"Atau kita cabuti bulu anunya, eh! Mak-
sudku, bulu keteknya!"
"Hie-he-he...."
"Hush!"
Hanya dua lelaki beda usia itu yang tam-
pak meriah sendiri. Ya, hanya mereka. Sementa-
ra, yang lain hanya memperhatikan dengan pan-
dangan bingung. Apanya yang lucu dalam suasa-
na setegang ini" Pikir awak kapal dari Kerajaan Cina itu.
Selagi Andika dan Pendekar Dungu ramai
dengan tawa mereka, mendadak saja merebak
lengking ganjil dari kapal Ular Laut Kepala Kembar. Tak cukup disebut mirip
jeritan, tak juga suara dengking binatang.
Terdengar pendek saja lengkingan itu men-
desak udara. Tapi, cukup melabrak setiap telinga.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Ibarat malaikat maut yang menjelma dalam
bentuk suara, beberapa orang di atas kapal ber-
beda langsung memekik kesakitan. Mereka men-
dekap telinga rapat-rapat. Sedang sebagian yang lain langsung menemui ajal.
Tubuh mereka tersentak sekejap, seakan dialiri tegangan amat
tinggi. Dari lubang telinga tak henti-hentinya
mengalir darah meski tubuh mereka sudah berge-
limpangan Korban di kapal Kerajaan Cina milik Ying
Lien jatuh empat orang. Semuanya prajurit. Andi-ka yang tak siap akan serangan
ini tak sempat melindungi para prajurit malang itu. Kalau saja bisa lebih cepat sedikit saja
memapaki kekuatan suara barusan lewat tenaga saktinya di udara,
tentu mereka tak perlu menjadi korban.
Pendekar Slebor sendiri harus menutup
pendengarannya rapat-rapat dengan tangannya,
itu pun ditambah pula dengan pengerahan hawa
murni dari dalam. Sedikit terlambat saja, gendang telinganya bisa pecah!
Begitu juga Ying Lien, empat perwira Cina,
dan beberapa orang lain yang cukup memiliki te-
naga dalam tinggi. Bahkan Pendekar Dungu yang
tergolong tokoh kawakan.
"Jin botak mana yang nekat main-main
denganku"!" sentak Pendekar Slebor kalap dan agak pongah. Kulit mukanya memerah
pertanda kegusaran hebat.
"Jadi itu tadi suara jin botak, ya?" tanya Pendekar Dungu, lugu. Mata lelaki
keropos ini membesar seperti uang gobangan. Mungkin su-
dah banyak jin yang dilihatnya sepanjang umur
yang demikian uzur. Tapi kalau jin botak"
"Ih! Kupikir tadi itu suara kentutmu, Anak Muda...," tambah si tua bangka lagi,
pada Andika. Pendekar Slebor seperti tak peduli pada ke-
tololan Pendekar Dungu. Mata anak muda ini je-
lalatan mengawasi kapal Ular Laut Kepala Kem-
bar yang melintang di depan kapal Kerajaan Cina.
Belum ada sedikit pun tanda-tanda kehidupan di
sana. Tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan seekor nyamuk pun!
Jadi, itu tadi suara apa" Atau suara siapa"
"Hoi...! Siapa pun kau, yang telah berteriak sembarangan! Tampakkan dirimu! Apa
kau punya wajah yang terlalu jelek, hingga malu memperli-
hatkan"!" pancing Andika.
Belum juga ada perubahan.
Andika mulai merasa dipermainkan.
"Ini tak bisa didiamkan!" rutuk Pendekar Slebor seperti bicara sendiri.
"Sudah ada korban yang jatuh. Aku tak bi-
sa mendiamkan begitu saja...."
Kemudian Pendekar Slebor beranjak dari
tempatnya. "Apa yang kau ingin lakukan, Andika?"
tanya Ying Lien ketika mendengar langkah kaki
Andika. "Kau lihat saja nanti. Kita akan tahu, apakah penghuni kapal itu benar-benar
punya nyali untuk berhadapan denganku secara ksatria!"
"Jadi kau ingin memasuki kapal itu, Andi-
ka?" tebak Ying Lien.
Andika tak menjawab. Terus saja kakinya
melangkah ke hidung kapal layar.
"Andika! Ada apa ini"! Kenapa aku tak di-
beritahu sama sekali?"
Mendadak saja Chin Liong muncul dari
pintu lambung kapal. Di belakangnya, dua praju-
rit dan seorang tabib Cina tua tergesa-gesa men-gekorinya.
Andika menoleh. Tak disangka Chin Liong
sudah tampak membaik.
"Maaf, Putri.... Aku sudah berusaha mena-
han Panglima Chin Liong agar tidak keluar dari
kamarnya. Tapi...," lapor seorang prajurit yang mengikuti Chin Liong keluar
dengan suara terputus. Namun, kata-kata itu segera disambut acun-
gan tangan oleh Ying Lien.
"Tidak apa-apa," kata Ying Lien.
"Aku mendengar suara aneh memekakkan
tadi. Itu sebabnya aku merasa harus keluar.
Lengkingan tadi bukan suara main-main. Itu se-
rangan hebat yang hanya bisa diberitahu?" cecar Chin Liong lagi
Pemuda bermata sipit ini merasa telah di-
acuhkan demikian rupa. Padahal, selaku pangli-
ma kerajaan, dia yang paling berwenang dalam
mengatasi angkatan perang dan putrinya.
"Aku sengaja tak memberitahukanmu, se-
telah mengetahui kau mengalami luka cukup pa-
rah saat terjadi badai," sahut Ying Lien, memberi alasan. "Kau menganggapku
begitu lemah?" sengit Chin Liong, setengah berbisik.


Pendekar Slebor 19 Perompak Perompak Laut Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali lagi, Chin Liong harus tetap menjaga
kehormatan putrinya yang sesungguhnya sudah
seperti saudara kandung sendiri.
"Aku tidak bermaksud begitu," kilah Ying Lien tetap tenang.
"Tapi...."
Chin Liong masih ingin bersikeras. Sung-
guh mati hatinya tersinggung dengan perlakuan
terhadap dirinya. Mana tanggung jawabnya seba-
gai seorang panglima kalau tak berada paling depan, saat keadaan darurat seperti
sekarang" Apalagi ketika melihat dengan mata kepala sendiri
kapal-kapal perompak telah mengurung kapal
mereka. Dan satu lagi, kapal Ular Laut Kepala
Kembar benar-benar memaksanya terkesiap.
"Putri, Tuan Andika melompat ke laut.
Tampaknya dia ingin menyatroni kapal Ular Laut
Kepala Kembar!"
Pertengkaran kecil dua anak muda berpen-
garuh dari Kerajaan Cina itu terpenggal laporan Perwira Naga.
"Apa"!" Ying Lien dan Chin Liong berseru berbarengan.
Mereka berdua sudah kenal baik Andika
sejak lama. Pemuda itu pula yang telah memban-
tu penumpasan pemberontak yang merongrong
Kerajaan Cina, yang hendak direbut dari tangan
ayah Ying Lien. Dan Pendekar Slebor sudah bagai pahlawan bagi keduanya.
Khususnya, pahlawan
di hati (Untuk lebih jelasnya, baca episode: "Pengejaran Ke Cina").
Mereka juga cukup tahu, bagaimana sifat
Pendekar Slebor. Ya, keras kepalanya. Ya, keacuhannya. Bahkan urakannya.
Termasuk, keneka-
tannya yang kelewat batas.
Tapi yang akan disatroninya sekarang ada-
lah kapal Ular Laut Kepala Kembar! Satu-satunya cerita menggidikkan yang
bertahan selama puluhan tahun menggerayangi kawasan Laut Cina Se-
latan! "Aku tak percaya ini," desis Chin Liong.
"Dulu, dia menantang terang-terangan Empat Penguasa Penjuru Angin yang menguasai
napas dunia persilatan Daratan Cina. Kini, dia hendak mendatangi sarang manusia
setengah siluman di
kapal itu?"
Chin Liong jadi bergidik menyadari betapa
nekatnya Pendekar Slebor. Sewaktu menghadapi
Empat Penguasa Penjuru Angin, Pendekar Slebor
bertarung di daratan. Dan kalau sekarang, pemu-
da ini berada di atas wilayah kekuasaan Ular Laut Kepala Kembar. Padahal,
segenap kekuatan gelap
dasar laut sahabatnya membentengi kapal hantu
itu. "Apa yang harus kita lakukan, Chin Liong?"
tanya Ying Lien tertekan.
Wanita ini berusaha menguasai perasaan
kacaunya. Jangan tanya, bagaimana khawatirnya
Ying Lien terhadap pemuda yang telah menanam
benih cinta teramat dalam pada relung batinnya.
Pandangan seluruh awak kapal Kerajaan
Cina kini terpusat pada tubuh Andika. Tak hanya mereka. Namun, ratusan pasang
mata lain dari kapal-kapal perompak pun mengawasi dengan
takjub. Sedang anak muda yang menjadi pusat
perhatian meluncur mantap namun pasti, di atas
kain pusaka bercorak caturnya. Dengan tangan
bersilang di dada, tubuhnya mendekati tujuan
perlahan. Entah, bagaimana caranya Pendekar
Slebor membuat kain pusakanya meluncur di
permukaan laut seperti itu,
Bagi para perompak, kapal Ular Laut Kepa-
la Kembar tak sekadar kapal penyamun. Penghu-
ninya adalah penguasa Laut Cina Selatan yang diliputi teka-teki tak pernah
tersingkapkan. Mereka adalah orang-orang yang sulit diterka maksudnya. Manusia-
manusia yang sudah dianggap se-
tengah siluman!
Sewaktu hendak mengepung armada Cina,
para penyamun dari kapal-kapal lain itu sebenarnya dibuat terkesiap menyaksikan
ada kapal Ular Laut Kepala Kembar telah menghadang di depan.
Itu sebabnya, sejak semula mereka hanya berani
mengepung kapal armada Cina tanpa berniat me-
lakukan tindakan lebih lanjut.
"Aku...," Chin Liong kehabisan kata. "Jelasnya, Andika dalam ancaman maut! Dan
aku tak ingin membiarkannya berjuang sendiri meng-
hadapi mereka!"
"Kau tidak akan menyusul Andika, bu-
kan?" tanya Ying Lien ragu.
Chin Liong menggeleng. Wajahnya kaku,
berusaha membunuh rasa ngeri yang menyeruak
di dalam dirinya.
"Aku memang akan menyusulnya," tandas pemuda Cina itu.
5 Selama hidup, Chin Liong tak pernah me-
nyangka akan mengalami pengalaman sehebat
sekaligus mendebarkan seperti pernah dialaminya bersama Andika. Dengan kali ini,
berarti dia dua kali sudah berurusan dengan tokoh-tokoh berke-saktian tak
terukur. Semuanya selalu pada saat
bersama pendekar muda besar adat itu.
Apa ini semacam keberuntungan yang di-
bawa Andika, atau malah kesialan" Chin Liong tidak tahu. Bahkan tidak mau tahu.
Yang jelas, sekarang dia harus bersiap-siap menghadapi maut.
Kemungkinan dirinya akan tewas pasti sangat be-
sar meskipun bersama seorang pendekar muda
besar yang bukan hanya kesaktiannya yang dapat
diandalkan, tapi juga kecerdikannya.
"Andika, tunggu!" teriak Chin Liong, seraya melompat ke permukaan laut yang
beriak kecil memainkan ketegangan yang terus saja berkeca-
muk. Andika dipaksa menoleh ke belakang. Su-
dah pasti kenal betul suara yang memanggilnya.
Dan dia pun tahu pasti keadaan Chin Liong saat
ini. Pasti sahabatnya itu masih belum siap bertarung. Apalagi, ini menyangkut
pertarungan luar
biasa. Padahal kemarin malam Chin Liong baru
saja terluka cukup parah.
"Hey" Aku tak pernah menyuruhmu men-
jadi sinting seperti aku!" bentak Andika ketika melihat sahabatnya mendarat pada
perahu kecil yang sebelumnya telah diturunkan dua orang
prajurit dari sisi kapal. "Apa yang kau ingin lakukan"!" Urat-urat leher
Pendekar Slebor sampai menyembul keluar, karena terlalu keras berteriak.
Sedangkan Chin Liong sendiri tak ingin menang-
gapi teriakan-teriakan Andika. Dikayuhnya pera-
hu, sambil berdiri. Dia bukanlah tokoh macam
Andika yang mampu memanfaatkan benda-benda
ringan untuk mengapung di atas permukaan air.
Namun, jangan pernah meremehkan keberanian-
nya. Perahu Chin Liong telah tersampir pedang
pusaka terhebat dari Daratan Cina. Pedang Pusa-
ka Langit! Mungkin hanya itu satu-satunya anda-
lannya, selain harapan takdir dari Yang Maha
Kuasa. Dengan Pedang Pusaka Langit, pemuda Ci-
na ini mampu meningkatkan kekuatan tenaga da-
lamnya hingga sepuluh kali lebih kuat. Sementara pedang itu sendiri memiliki
ketajaman melebihi
logam-logam terunggul dari perut bumi. Tebasan-
nya akan berbentuk sinar berwarna merah bata,
mengandung tenaga panas dari batuan bintang
luar angkasa. Dan jika ditebaskan pada baja, ma-ka niscaya sasarannya akan mudah
terpotong layaknya lilin terbabat potongan besi membara!
(Baca kisah pedang pusaka ini dalam episode:
"Pusaka Langit" dan "Pengejaran Ke Cina").
"Aku tanya, apa yang hendak kau laku-
kan"!" ulang Andika sengit.
Karena dikayuh lewat pengerahan tenaga
dalam, perahu Chin Liong pun melaju cepat me-
nyusul. "Kau lihat, aku seperti hendak melakukan
apa?" kata Chin Liong balik bertanya, menanggapi pertanyaan dongkol Andika.
"Sial! Kau kan masih terluka dalam"!"
"Bukan alasan buatku untuk mundur!"
"Tapi, aku tidak mau kau mampus secara
konyol di kapal itu, tahu"!"
"Aku akan mati sebagai pahlawan di sana!"
timpal Chin Liong, terhadap kekasaran Andika.
Dia tampaknya terpancing.
"Kau mau kembali, apa tidak"!"
"Tidak! Sekali maju ke medan laga, aku tak berniat mundur!"
"Mau, apa tidak"!"
"Jangan memaksaku, Andika!"
"Jadi, kau tak mau kembali"!"
"Tidak!"
"Yaaa, sudah...."'
Andika meluncur lagi acuh tak acuh, se-
perti tak pernah terjadi apa-apa. Di lain sisi, Chin Liong masih terengah-engah
mengatur napas. Hatinya gusar bukan main. Kalau tengkorak kepa-
lanya dari kerupuk, sudah pasti ubun-ubunnya
akan dibobol aliran darahnya!
Tak ada lagi tarikan napas, Andika sudah
tiba dekat sisi lambung kapal Ular Laut Kepala
Kembar. Tanpa suara berarti, tubuhnya melompat
manis ke atas kapal seraya menyambar kain pu-
sakanya. Tep! Ringan sekali pagar kapal dijadikan Andika
sebagai tempat berpijak. Sambil menunggu Chin
Liong tiba, dipasangnya kuda-kuda waspada. Ma-
tanya berkeliaran mengawasi setiap sudut kapal.
Masih tetap bisu seperti sebelumnya. Debu di lantai geladak, pecahan-pecahan
papan kapal, ka-
bang-kabang, sarang laba-laba, tulang-tulang
berserakan, noda-noda darah mengering.... Kapal itu benar-benar tak bedanya
kapal hantu! Tak begitu lama, Chin Liong tiba pula di si-
si yang sama. Lelaki sipit berwajah tampan ini
melompat ringan ke sisi Andika berdiri.
"Kau menemukan sesuatu?" tanya Chin
Liong, tanpa menoleh.
Seperti dituntun naluri kependekaran da-
lam dirinya, mata pemuda itu turut berkeliaran
ke segenap sudut kapal.
Andika menggeleng. "Belum ada satu ke-
coak pun kulihat," sahut Pendekar Slebor seenak dengkul.
"Apakah kita akan masuk ke dalam kapal?"
tanya Chin Liong, meminta pendapat.
Andika seperti belum kenyang membuat
Chin Liong gusar. Maka tanpa menjawab, dia su-
dah melompat menuju pintu ruang dalam kapal.
Sementara dalam hati, Chin Liong me-
nyumpah-nyumpah. Lalu segera disusulnya An-
dika. * * * Ada satu keganjilan dirasakan para awak
kapal armada Kerajaan Cina. Ketika itu, mereka
sedang menanti tegang Andika dan Chin Liong
yang memasuki kapal Ular Laut Kepala Kembar.
Dan kini dari kejauhan, salah seorang awak me-
laporkan adanya kapal baru yang terlihat.
Salah seorang perwira kemudian menga-
wasi melalui teropong. Dikira ada satu kapal perompak lagi yang muncul. Kalau
benar, maka ha-
rapan untuk lolos akan semakin tipis. Ternyata, dugaannya meleset. Menurut
pengamatannya, kapal itu ternyata adalah armada dagang dari Gujarat. Anehnya, tak ada satu
kapal perompak pun berminat menghadangnya. Padahal, mereka
bisa mengejarnya. Mengingat, kapal dari Gujarat itu berukuran lebih kecil dari
kapal-kapal mereka.
Apa mungkin karena ukuran kapal itu tak
mengundang selera" Tidak mungkin! Para perom-
pak itu tentu lebih tahu, ada lebih banyak benda-benda berharga yang bisa
didapatkan di sebuah
kapal dagang, biarpun ukurannya tak seberapa
besar. "Lalu, kenapa mereka tak menggubris?" bisik perwira yang masih memegang
teropong. Sampai kapal dagang Gujarat itu menjauh,
seluruh kapal-kapal perompak di sekeliling kapal Kerajaan Cina itu tetap tak
beranjak. "Benar-benar aneh," tanggap Ying Lien, mendengar laporan perwira tadi.
"Sepertinya me-
reka semua mengincar sesuatu di kapal kita...."
"Sesuatu yang sama-sama diinginkan,"
timpal Perwira Naga.
"Tapi, apa" Kita tak membawa emas per-
mata dalam perjalanan ini," tukas perwira lain.
"Apa kita tidak tahu sesuatu yang mereka
ketahui?" gumam Ying Lien, bertanya.
"Bagaimana, Putri?" tanya Perwira Naga.
"Entahlah. Aku sulit membaca maksud me-
reka...." "Ya, terlalu sulit. Pada dasarnya, kita tak memiliki apa-apa untuk dibegal. Lalu
apa lagi yang mereka inginkan?" desis Perwira Naga.
*** Sementara itu, Andika sudah mulai mena-
paki anak tangga menuju ruang dalam kapal Ular
Laut Kepala Kembar. Suasana makin menegang.
Degup jantungnya kian berdetak lebih kencang.
Memasuki lambung kapal, kelengangan mering-
kus. Tak ada selintas bunyi apa pun. Sampai-
sampai, detak jantung Andika dapat terdengar.
Agar tak melahirkan bunyi mencurigakan,
sengaja pendekar muda ini mengerahkan ilmu
meringankan tubuh sampai tingkat tertentu.
Langkahnya menjadi demikian tinggi, tak akan


Pendekar Slebor 19 Perompak Perompak Laut Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melahirkan derit pada kayu keropos apa pun.
Beberapa anak tangga terlewati. Tubuhnya
sudah masuk sepenuhnya ke perut kapal penuh
teka-teki ini. Di belakangnya, Chin Liong menyu-
sul. Ksatria Kerajaan Cina ini memang tak sehe-
bat Pendekar Slebor dalam menguasai berat tu-
buhnya. Namun, dia masih cukup mampu berja-
lan tanpa suara.
Keadaan di dalam sana remang-remang.
Nyaris gelap. Bau menusuk hidung langsung
menguak hidung mereka berdua. Bau bangkai
yang menebar, membuat perut Andika dan Chin
Liong sampai terasa diaduk-aduk. Mereka pasti
muntah, kalau tak segera mengatur napas.
Ketika Andika menjejakkan kaki pada da-
sar ruangan, tiba-tiba saja bau bangkai busuk
memupus. Selanjutnya, digantikan bau yang tak
kalah menusuk. Sulit dipastikan, bau apa itu.
Yang jelas, Chin Liong sampai tak bisa bertahan dari serangan memuakkan ini.
Segera pemuda sipit itu memburu keluar.
Di luar, isi perutnya langsung dimuntahkan.
Andika sendiri berusaha bertahan. Bukan-
nya Pendekar Slebor tak merasakan hal yang sa-
ma seperti dialami Chin Liong. Hanya untuk hal
bebauan, nampaknya Andika punya kelebihan.
Dulu, dia memang gelandangan kotapraja yang
sudah bersahabat akrab dengan segala jenis bau
busuk. Entah bau kotoran parit kotapraja, atau
bau ketiak setan belang!
Dengan sedikit pengaturan napas dan pe-
nyaluran hawa murni dalam paru-parunya, Pen-
dekar Slebor akhirnya bisa mengenyahkan rasa
mual. Namun belum lagi lega, satu bayangan ber-
kelebat melintas amat cepat di hadapannya.
Andika terkesiap. Kuda-kuda siap tempur
yang sejak semula dipersiapkan, segera dibentuk menjadi jurus pertahanan.
Dan.... Wrrrsss! Apa gerangan yang terjadi" Andika belum
bisa memastikannya. Dia sendiri sama sekali be-
lum merasakan ada serangan. Telinganya hanya
mendengar desisan sember dari arah kelebatan
bayangan tadi. Sampai akhirnya....
6 Mendadak pandangan Pendekar Slebor
menjadi pekat sama sekali, tanpa dapat melihat
apa-apa. Tak juga berkas sinar sekedip pun. Tak pula disadari, apa yang terjadi
sesungguhnya. Sampai penglihatannya kembali jelas dengan tiba-tiba, bersama rasa pedih di
wajahnya. Saat itulah Andika dengan jelas melihat
kembali kelebatan bayangan tadi. Sosok itu bu-
kanlah seseorang, tapi seekor kelelawar besar hitam seukuran elang yang
berkelebat amat cepat.
Rupanya, kelelawar itu yang telah menyer-
gap wajahnya demikian cepat, manakala Pende-
kar Slebor sendiri belum benar-benar siap meng-
hindar. Wajahnya tertutup kelelawar besar itu,
sehingga dia tak melihat apa-apa.
Kini Pendekar Slebor merasakan pedih
yang merasuki wajah diakibatkan cakaran bina-
tang laknat itu!
"Binatang slompret!" maki Andika giris.
Tangan Andika segera mendekap luka di
kedua pipinya yang memanjang. Amat pedih tera-
sa. "Bagaimana binatang itu bisa bergerak de-
mikian cepat"!" desis Andika lebih lanjut.
Hanya ada satu-satunya kemungkinan. Bi-
natang itu pasti peliharaan seseorang yang sudah terlatih. Kalau tidak, mana
mungkin seorang
pendekar yang memiliki naluri begitu tajam seper-ti Andika bisa terkecoh"
Ruang dalam pengap serta lembab itu diri-
cuhi kembali oleh kepak liar si kekelawar. Mak-
hluk buruk itu bergerak lincah dari satu sudut, ke sudut lain. Sebentar tubuhnya
menggelantung di sudut dinding kayu buram kapal, sebentar ke-
mudian bergerak kembali. Suaranya memekik-
mekik ramai, seolah hendak mencoba menggertak
tamu tak diundang yang baru saja berhasil dilu-
kainya.... "Aku bukan mencarimu, Slompret! Me-
mangnya aku bego! Suara lengkingan yang telah
membunuh beberapa awak kapal sahabatku, pas-
ti bukan teriakanmu yang jelek itu!" sumpah se-rapah Andika meluncur selincah
gerak si kelela-
war. "Keiiikh!"
Si kelelawar menyahuti dengan pekikan-
nya. Memang bukan suara bertenaga luar biasa
yang telah menyebabkan kematian beberapa awak
kapal Kerajaan Cina.
Andika hendak melangkah. Berurusan
dengan hewan tak berotak seperti itu malah akan membuang waktunya percuma. Tapi
baru saja kakinya beranjak, binatang tadi menyambarnya
kembali. Dan terlalu tolol kalau Pendekar Slebor ha-
rus terkecoh dua kali oleh seekor kelelawar. Maka hanya dengan mencondongkan
badan ke belakang, tubuhnya sudah selamat dari cakaran he-
wan menjengkelkan itu.
"Pergi! Pergi kataku! Jangan coba mengha-
langi langkahku!" bentak Andika.
Pendekar Slebor ngotot hendak melangkah
lagi. Dan lagi-lagi kelelawar itu melakukan sambaran cepat.
"Keuikh!"
Wrrr! "Eeh! Kepala batu juga kau, ya"!" dengus Pendekar Slebor.
Habis sudah kesabaran Andika. Wajahnya
yang sudah tercakar, masih pula dihalang-
halangi. Maka sewaktu si kelelawar besar mencoba
mengoyak dada bidangnya, Andika bergerak ce-
pat. Jangankan binatang itu, kelebetan seekor
walet pun tak akan luput dari gerak tangannya.
Sehingga.... Prek! Dengan sepasang tangan yang telapaknya
terbuka lebar, Pendekar Slebor berhasil menge-
pruk binatang penggangu itu.
"Rasakan! Biar jadi perkedel kau!" rutuk Pendekar Slebor ketika kelelawar masih
dalam himpitan tangannya.
Puas! Andika puas. Pikirnya, binatang itu
telah remuk menjadi setumpuk daging empuk.
Namun, dugaannya justru meleset. Sewaktu tan-
gannya dibuka, binatang pengganggu yang ta-
dinya tak bergerak itu mendadak menggeliat. La-
lu.... "Wadau! Slompreeet!"
Andika berjingkat-jingkat seraya mengibas-
nyibakkan tangan, begitu kelelawar itu menggigit jari kelingkingnya! Kalau saja
Andika terlambat, mengebutkan tangan, sudah pasti jari kelingkingnya putus!
Sesudah berhasil mempecundangi, bina-
tang itu buron begitu saja. Masuk lebih dalam ke ruangan lambung kapal pengap
bercahaya lamat.
"Kau baik-baik saja"!"
Tiba-tiba meluncur suara Chin Liong dari
belakangnya. Pemuda sipit ini tadi masuk terge-
sa-gesa, setelah bersemadi sekian lama untuk
mempersiapkan diri agar tidak dikalahkan bau
memuakkan di dalam sana.
Andika meringis-ringis.
"Tidak apa-apa," kata Pendekar Slebor.
"Ada binatang kurang kerjaan mengerjai aku!"
"Ha-ha-ha!" Chin Liong tertawa.
"Kenapa tertawa" Kau pikir lucu?"
"Tentu saja! Seumur-umur, tak pernah ter-
pikir olehku kalau pendekar besar sepertimu ma-
sih bisa kecolongan oleh seekor binatang...," seloroh Chin Liong.
"Ah! Itu sih bisa-bisaku saja...," hindar Andika, pura-pura.
Pendekar Penyebar Maut 18 Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 3
^