Pencarian

Warisan Ratu Mesir 2

Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir Bagian 2


membantu saja untuk mencari tahu jenis pukulan yang...."
"Ah, diam kau!" penggal Andika melotot.
"Tadi kau katakan, kalau tubuhmu seperti ke-
hilangan kelincahan, bukan?" sela Ying Lien, begitu selesai memberorehi luka
memar Andika dengan ramuan Cina
yang dibawa. Sedangkan untuk luka dalam, Andika menolak
mentah-mentah pertolongan siapa pun untuk menyalurkan hawa murni ke tubuhnya.
Dia masih mampu! Begitu
katanya dengan sikap keras kepala. Sebelumnya dia malah bersikeras untuk
ditinggal saja. Biar yang lain terus melanjutkan pencarian ruang rahasia
penyimpanan pusaka ahli sihir.
"Eh! Kau dengar juga perbincangan sialku dengan panglima perangmu yang juga sial
ini, ya?" tukas Andika acuh. "Aku kira, kau terlalu asyik memijat-mijat dadaku"
"Mau cepat-cepat membereskan masalah ini, atau tidak?" tanya Ying Lien ketus.
"Makin lama kita di piramida ini, segalanya makin menjadi runyam saja!"
Andika memberengut.
"Iya-iya! Aku tahu itu!" gerutu Pendekar Slebor.
"Nah! Kalau begitu, jawab pertanyaanku...."
"Aku memang merasa seperti kehilangan kelincahan waktu itu...," mulai Pendekar
Slebor sungguh-sungguh.
"Maksudmu, kau merasa seluruh tubuhmu menjadi demikian kaku?"
"Lho" Kau tahu?"
Ying Lien terdiam. Matanya menerawang kearah lain.
"Aneh...," gumam gadis ini.
"Aneh apa" Bagaimana anehnya?" desak Andika.
Dari berbaringnya, dia bangkit. Duduk berselonjor
menghadap Ying Lien.
"Aku hanya teringat pada satu ramuan dari negeri asalku yang mampu membuat otot-
otot dan sendi menjadi amat kaku. Sebenarnya, ramuan itu dibuat para Biksu Cina
untuk pengobatan. Namun beberapa orang sesat justru menambahkan beberapa bahan,
sehingga malah menjadi racun yang tak mematikan. Namun, bisa membuat
seseorang tokoh hebat rnenjadi tak berdaya...," papar Ying Lien. "Apa mungkin
ramuan seperti itu sudah ditemukan pula oleh para ahli sihir Mesir?"
"Atau...," sela Andika, dengan mata menatap Ying Lien seperti mencurigai
sesuatu. "Ramuan yang kuterima memang berasal dari negerimu!"
"Kau mau menjelaskan apa maksudmu, Andika
san"," sela Hiroto ikut angkat bicara. Dia menjadi tertarik pada pembicaraan
mereka. Lalu Andika pun menceritakan dengan singkat
semua kejadian yang telah menimpa. Dari kepulan asap tebal yang membuat
kesadarannya hilang sampai
bentroknya dengan Nofret yang dikuasai roh Hetepheres.
"Tunggu..., tunggu," tukas Chin Liong. "Kau tadi hei kata telah lerkena asap
tebal yang membuat kesadranmu hilang, bukan?"
"Betul"
Chin Liong menjentikkan jari. Matanya melirik Ying Lien penuh arti.
"Hei-hei! Kenapa kalian jadi main mata seperti itu.
Jelaskan saja padaku, apa maksudmu"!" ujar Andika mulai kambuh lagi dia.
"Bukankah Ying Lien telah mengatakan padamu
perihal ramuan pelumpuh itu?" Chin Liong malah balik bertanya.
Andika mengangguk, membenarkan.
"Tampaknya, dugaanmu memang benar, Andika."
lanjut Chin Liong. "Asal kau tahu, ramuan dari negeri kami itu sebenarnya dapat
terbagi dalam dua bagian terpisah.
Satu ramuan diberikan melalui perantara asap yang masuk ke paru-paru, lalu
menyebar ke seluruh tubuh melalui
darah korbannya. Sedangkan sebagian lain harus diberikan melalui minuman. Jika
keduanya bersatu dalam tubuh si korban, barulah keampuhan ramuan itu bekerja..."
"Tapi, Andika hanya menghisap asap itu saja...,"
sergah Ying Lien, mulai ragu.
"Tidak!" sergah Andika pula. Wajah Pendekar Slebor berubah kaku. Sepertinya baru
saja disadari sebuah kesalahan amat besar yang telah mereka semua lakukan.
"Aku memang meminum sesuatu, saat asap itu
terhisap!"
Andika bergegas mengeluarkan kantung minuman
dari kulit yang telah diberikan si Gila Petualang padanya.
"Ini..., aku meminum air dari dalam tabung kulit ini!"
Andika menepuk bahu Chin Liong. "Biar aku
menebak sesuatu. Chin Liong. Apakah bila ramuan dalam bentuk cairan diminum,
orang itu akan merasakan panas luar biasa?" Chin Liong menautkan alis.
"Bagaimana kau bisa tahu?" susul Chin Liong, malah bertanya lagi.
"Dan jika ramuan cair itu diteguk untuk kedua kalinya, maka pengaruh amat
membakar itu akan
memunah?" papar Andika lagi, pasti.
Sekali lagi Chin Liong agak terperangah.
"Sekarang, rasanya aku sudah tahu, siapa 'biang borok' semua ini!" tuntas Andika
geram... *** Sementara ilu segerombolan makhluk mengerikan
sekaligus menjijikkan mulai menerjang-nerjang pasir gurun lewat seretan kakinya.
Mereka terus melangkah seperti rayapan sepas ukan prajurit dari neraka, menuju
Piramida Tonggak Osiris.
Merekalah tentara perang andalan sebuah trah*
Kerajaan Mesir Kuno yang telah mati selama berabad-abad yang lalu. Ketika Sang
Raja mati, para prajurit setia itu pun merelakan nyawa untuk mengiringi Sang
Raja ke hadapan
Osiris dengan melakukan bunuh diri bersama. Karena diyakini. Sang Raja yang
diagungkan akan memerlukan mereka sebagai para punggawa di kehidupan yang lain.
Lalu usai pembalsaman jenasah Sang Raja, jenasah
para prajurit itu pun dibalsem. Dan karena raja mereka amat memuja Dewa Hapi,
Dewa Sungai Nil maka mayat mereka dibalsem dan ditenggelamkan ke dalam sungai
itu pula. Kini, mereka dibangkitkan kembali oleh kekuatan
hitam Pangeran Anubis.
Sementara itu, Pangeran Anubis sendiri sudah tidak terlihat lagi di antara
mereka. Demikian juga Hetepheres.
Angin gurun yang saat itu bertiup garang, tak bisa menahan satu mayat hidup pun.
Kain pembungkus tubuh mereka yang sudah terkoyak tak karuan, menjadi
permainan empuk angin yang bertiup. Debu berbaur pasir pun mengembang di udara,
sepanjang perjalanan akibat seretan langkah berat seluruh makhluk menggiriskan
itu. Sekian lama mengarungi gurun dingin, Piramida
Tonggak Osiris pun akhirnya terlihat di kejauhan. Pucuknya seperti hendak
menusuk bulan. Penuh kesan angkuh, dingin, dan memendam teka-teki.
"Nggg. .!"
"Srrr...srrr.. !"
Gumaman berlendir yang tumpang-tindih para mayat
hidup ditingkahi desis pasir terseret kaki. Rombongan ganjil itu kian dekat ke
tujuan. Kini mereka pun tiba tepat di depan tangga raksasa yang memanjang. Satu ujungnya
bersambungan dengan pintu masuk besar, yang sebelumnya tidak pernah
dimasuki rombongan undangan. Memang saat itu,
rombongan undangan masuk melalui satu pintu rahasia.
Semua mayat hidup berdiri dalam barisan tak
teratur. Sebagian besar berdiri tanpa bisa tegak. Meski telah menjalani
pembalsaman, masa yang sudah sangat tua rupanya telah membuat tubuh mereka rusak
juga. Cukup lama para mayat balseman terdiam seperti
itu. Mereka baru mulai bergerak kembali. ketika pintu besar di atas sana
perlahan terkuak menimbulkan bunyi bergemuruh dalam.
Kalau tadi gumaman berlendir mereka didampingi
desis pasir, kini berganti diiringi langkah-langkah berat meniti anak tangga
batu raksasa memanjang. J uga, ramai ditingkahi denting senjata sebagian pasukan
aneh, ketika terseret di setiap anak tangga.
Suasana menegangkan lengkap sudah.
Dan ketika pintu besar mulai terkatup perlahan,
sepasukan mayat hidup itu pun tertelan di kegelapan piramida.
"Ha-ha-ha...!"
Seiring dengan itu, terdengar tawa terbahak
seseorang yang membahana merangsak suasana. Tawa
kepuasan yang meluncur entah dari arah mana.
"Hua-ha-ha...! Sempurna sudah semuanya! Se-
karang aku benar-benar menikmati hidupku! Aku puas!
Puasss! Ha-ha-ha...!" Kini gurun bisu. Hanya angin yang masih mendesah-desah
resah. *** "Keluar! Kita harus keluar dari tempat keparat ini!"
seru Andika tiba-tiba.
Baru saja para undangan ini selesai membicarakan
kejadian yang menimpa diri pendekar muda itu.
"Keluar" Apa maksudmu?" tanya Ying Lien, tak paham."Ini semua hanya perangkap
maut untuk kita! Kalau kita terus di sini, itu artinya hanya mempertaruhkan
nyawa untuk hal yang sia-sia!"seru Andika lagi, meledak-ledak.
Yang lain untuk sesaat saling pandang. Bagi
beberapa orang yang sudah mengenal baik pendekar satu itu, keputusan yang
meledak mendadak barusan itu tidak bisa dianggap main-main. Terutama Chin Liong
dan Ying Lien. Mereka amat tahu, bagaimana tajamnya pengamatan Andika terhadap
satu perkara pelik sekalipun. Teka-teki
yang mungkin luput ditangkap orang lain, seringkali bisa dipecahkan secara
mengejutkan. Tapi, kedua orang itu merasa kali ini Andika luput akan satu hal.
"Bagaimana dengan Nona Nofret, Andika?" tanya Ying Lien, mengingatkan pemuda
itu. "Astaga...! Kenapa aku jadi seceroboh ini," desis Andika mengutuk diri sendiri
Pendekar Slebor meninju telapak tangannya sendiri dengan geram. Sekarang dia
dihadapkan pada dua
keputusan yang sama-sama sulit. Pertama, mereka harus segera pergi dari sana,
jika tak ingin ada korban tcrgeletak lagi. Jika mereka pergi, maka Nofret harus
ditinggalkan. Di lain sisi, jika memutuskan untuk mencari Nofret, apakah mereka
bisa menyelamatkan diri dari sekian jebakan maut yang mungkin belum ditemukan"
"Jadi bagaimana, Andika San?" tanya Hiroto, meminta keputusan Andika. Ksatria
Jepang itu memang sangat menaruh rasa hormat pada Pendekar Slebor.
Andika menggeleng lamat. "Aku tak bisa memutuskan persoalan ini sendiri. Scmuanya tergantung kalian. Jika lebih banyak
yang memutuskan untuk mencari Nofret atau sebaliknya, maka itulah keputusanku
juga...," jawab Andika, mencoba bijak.
Sesaat, seluruh anggota rombongan saling berpandangan kembali. Masing-masing seperti meminta keputusan pada yang lain.
Kecuali, si tua bangkotan Pendekar Dungu. Menurut perkiraannya, semua orang sedang main pelotot-pelotoran.
Makanya, dia pun menebar pelototannya kian kemari.
Sampai akhirnya mereka semua kembali menatap
Andika. "Hei, jangan menatapku seperti itu!" sergah Andika.
"Aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Dan, bukankah sudah kukatakan?"
Andika menarik-narik kain pusaka bercorak-caturnya tanpa maksud.
"Kalau aku, sih.... Jelas hendak mencari Nofret," kata Pendekar Slebor malu-
malu. Chin Liong tersenyum samar.
"Rasanya, kita semua pun berpikir begitu, Andika," ujar pemuda Cina kawan dekat
Pendekar Slebor ini, mewakili semua suara.
" Apa benar begitu?" tanya Andika. ingin meyakinkan.
Jawabannya adalah anggukan setiap anggota
rombongan. "Kalau begitu, ma.. .
" Grrr...!
"Hei! Awas!" teriak Manyar Wanita, memperingati Andika ketika lantai tempai
dipijak tiba-tiba saja terkuak.
Kalimat Andika sendiri sudah terpancung sejak tadi.
Namun dia jadi terkesiap luar biasa. Untunglah pengaruh ramuan yang mcmbuat
kelincahannya lumpuh telah
dipunahkan keahlian obat-obatan Ying Lien.
Sigap dan begitu tangkas, Aidika melepas kain
pusaka yang kebetulan sedang digenggamnya. Begitu lepas dari bahu, dilecutkannya
kain pusaka itu ke arah Chin Liong.
Chin Liong pun tahu, Andika tak bermaksud
menyerangnya. Satu-satunya maksud adalah meminta
bantuannya. Maka dengan cepat disambut lecutan kain pusaka Pendekar Slebor.
tap! Ujung kain itu berhasil dicengkeram Chin Liong.
Dengan begitu, Andika pun selamat dari telanan lubang.
Sebelum dia sendiri menghentak tubuh untuk kembali ke atas, sesuatu amat cepat
mencengkeram pergelangan kakinya. Cengkeraman, yang kukuh seakan hendak
meremukkan.....
*** 7 "Sinting! Apa-apaan ini! maki Pendekar Slebor kalap.
Rasanya, Andika tak suka menumpuk dosa. Tapi,
kenapa selalu dia yang apes!
"Ada apa lagi, Andika?" tanya Ying Lien Matanya yang buta membuatnya sulit
menduga apa yang sesungguhnya terjadi dalam lubang. Kecuali. suara-suara aneh
yang terdengar.
"Ada mayat-mayat hidup lagi!" teriak Andika melengking.
Di bawah lubang yang ternyata bersambung dengan
lorong lain, dua prajurit Mesir Kuno berusaha membetot kaki Andika untuk masuk
ke dalam lorong. Satu di
antaranya sudah siap menghujam punggung Andika
dengan tombak berkarat.
"Tahan sebentar, Chin Liong! Akan kudepak bangkai sialan ini!" seru Andika lagi.
Chin Liong berkutat sekuat tenaga. Kalau dia saja merasakan bagaimana kuatnya
tarikan dari lubang,
bagaimana lagi Andika" Tapi sepertinya, pemuda itu sudah rnenjadi kebal
penderitaan. Padahal, saat itu tubuhnya sudah seperti hendak terbelah dua.
"Nih, makan!" bentak Andika, seraya menggerakkan sepenuh tenaga pada sebelah
kakinya yang masih bebas.
Dugh! Mayat hidup yang hendak menusuk Pendekar Slebor
rnenjadi sasaran empuk. Kepalanya langsung remuk, menerima depakan bertenaga
dalam tinggi warisan
Pendekar Lembah Kutukan tingkat kesepuluh. Sebagian kepalanya bahkan berhamburan
menjijikkan. Sayang! Tindakan Andika tidak berarti banyak.
Bukankah kejadian sebelumnya pun begitu" Mayat-mayat hidup yang dibantai Hiroto,
tak segera ambruk kalau benar-benar belum dirajam sama sekali.
Begitu pula mayat
hidup korban tendangan
Pendekar Slebor. Tombak di tangannya tetap siap


Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menembus punggung pendekar muda tanah Jawa ini.
Andika kontan terbelalak, menyadari kesalahan yang baru saja dibuatnya.
"Tarik! Tarik!" teriak Pendekar Slebor kelimpungan pada Chin Liong.
Mendapat sahabatnya yang kelimpungan, Chin Liong
pun mengerahkan segenap sisa tenaganya. Kali ini, dia mendapat bantuan Hiroto.
"Heeaa!"
Hiroto dan Chin Liong berteriak berbarengan. Tapi...
Crap! "Adauw!"
Sekejap dari teriakan keduanya, Pendekar Slebor
dipaksa berteriak sekeras-kerasnya pula. Bagaimana tidak, bila dua kekuatan
hebat ketika itu bertarung dalam arah berbeda melalui tubuhnya" Memang sentakan
kuat Hiroto dan Chin Liong berhasil mengungguli tarikan tangan beberapa mayat
hidup pada kaki Andika. Namun
sayangnya, mata tombak berkarat milik mayat hidup yang hancur kepalanya sempat
menembus paha Pendekar
Slebor.Begitu tubuh Andika tertarik keluar lubang, Chin Liong meringis ngeri.
Bukan karena meliat tombak yang masih menancap di paha sobatnya, melainkan ada
sekitar cnam potongan tangan setengah membusuk menempel di kaki Andika.
"Bangkai sial! Sudah tak punya kepala masih juga bisa membuatku susah!" rutuk
Andika geram sekali.
Dicabutnya tombak dari paha kiri. Kemudian, masih dengan mengumpat-umpat
disingkirkannya potongan-potongan tangan tadi.
"Sebaiknya kau memberikan pil pemunah racun
pada Andika, Ying Lien...,' ucap Chin Liong. "Bukan mustahil kalau tombak itu
beracun." Ying Lien segera mengeluarkan sebuah tabung kecil dari kantung pakaiannya. Lalu
dikeluarkannya dua butir pil kecil berwarna ungu dari tabung ke telapak
tangannya, disodorkan pada Andika.
Andika baru hendak mcnjulurkan tangan, ketika tiba-tiba saja ada tangan yang
lain dari belakang menepak tangan Ying Lien. Pak!
Seketika pil-pil tadi terpental tinggi, setelah itu lebur menghantam langit-
langit lorong. Begitu Andika menoleh, tampak tiga mayat hidup
telah berdiri terkatung. Wajah yang sudah tak berbentuk lagi, membuat Andika
jadi terperanjat.
"Mak!" seru Andika nyaris terlonjak. Wuk!
Kalau tak ingin kepalanya lepas, Andika harus
segera memutus keterperanjatannya cepat-cepat. Karena tanpa memberi kesempatan
pada Pendekar Slebor untuk menarik napas lagi, tiga mayat hidup dari dasar
Sungai Nil itu melabraknya dengan senjata masing-masing.
"Bagaimana bisa bangkai-bangkai itu melompati lubang penghuhung antara lorong?"
tanya Chin Liong, terheran.
"Bagaimana bisa kau diam saja"!" hardik Andika.
Lagi-lagi Pendekar Slebor dibuat kalap menyadari nasibnya yang naas kembali.
"Baru saja terluka, sudah dikeroyok bangkai-bangkai sialan!" rutuk Andika
membatin. "Yang lain dulu, kenapa...."
Seketika Pendekar Slebor mencelat ringan ke
samping, menghindari sabetan lembing satu mayat hidup.
"Mundur, Andika! Kau haras menelan dahulu pil-pil dari Ying Lien! Biar aku yang
menghadapi mereka!" seru Chin Liong.
"Wal , bagus itu! Kenapa tidak dari dulu saja"!" tukas Andika, tetap jengkel.
Begitu kata-katanya habis, Andika bersalto enteng beberapa putaran ke belakang.
Tepat ketika Andika bergerak, Chin Liong meluruk ke depan dengan tendangan
terbangnya. "Hiaaa!" Des!
Dada satu mayat hidup terhantam, membuat
makhluk itu terjengkang ke belakang menuju lubang.
Beberapa mayat hidup yang baru saja hendak merayap
naik ke atas lubang langsung tertimpa tubuhnya. Sehingga, mereka terjatuh
kembali ke lorong di bawah.
"Hai it!"
Hiroto tak tinggal diam. Ksatria Jepang itu sudah menggenggam samurai erat.
Sambil berteriak, samurainya diayunkan beberapa kali di udara.
Zing... zing.. zing!
Ketika satu mayat hidup hendak menghadang la-
rinya, samurai panjang berkilat pemuda Nipon itu pun menyambut. Bles!
Leher si mayat hidup tertembus hingga setengah
samurai. Hiroto tak ingin menarik senjatanya dari leher lawan. Dia tahu,
tindakannya akan sia-sia. Lawan tentu tak akan ambruk begitu saja. Maka...
Srrrt! Hiroto menekan kuat-kuat samurainya ke ba-wah.
Begitu sayatan samurai melewati selangkangan, Hiroto menariknya cepat. Dan
setelah itu, dibabatkannya ke atas.
Tas! Kepala mayat hidup itu menggelinding. Sementara,
tubuhnya terbelah dua. Tumbang ke dua sisi berbeda!
Amukai Samurai Negeri Sakura itu tidak terputus
hingg.i di situ. Seperti sebelumnya, Hiroto pun menyerang tak lazim dengan
keberingasan seekor macan liar.
Sisa satu mayat hidup yang sebenarnya lebih dekat dengan Chin Liong malah
langsung dirangsak Hiroto.
Seakan, dia tidak ingin memberi kesempatan pada rekan barunya.
Zing! Trang! Sabetan samurai Hiroto ke dada dihadang keras
oleh pedang besar li. tangan si mayat hidup. Tangan yang lain mcncoba menyambar
kepala Hiroto. Sambarannya seperti cakar seekor elang. Cepat serta tak terduga.
Hiroto merunduk. Namun tak luput. Srat!
Gulungan rambut Hiroto tersambar juga. Dan adalah hal bodoh jika kepalanya
dihentak untuk melepaskan cengkeraman lawan. Bisa-bisa kulit kepalanya
terkelupas. Pemuda Jepang ini tidak bisa memenggal tangan
mayat hidup dengan samurainya. Kala itu, samurainya sendiri berada daiam keadaan
mati untuk melakukan tebasan kual, agar bisa memutuskan lengan itu.
Biar bagaimanapun, tindakan tepat harus segera
dilakukan. Kalau tidak, kepala Hiroto bisa dipeluntir tangan berkekuatan hebat
tersebut. "Hiaaat...!"
Disertai teriakan meninggi. cepat Hiroto melepas
satu tangannya pada gagang samurai. Dengan tangan itu, diloloskannya pedang
pendek dari pinggangnya. Dan seketika langsung ditebasnya tangan mayat hidup
manakala sedang berusaha memutir kepalanya.
Bet! Tras! Tangan mayat hidup sekejap saja terpotong sebatas siku. Dan itu cukup untuk
menyelamatkan kepala Hiroto sendiri. Selanjutnya dengan dua senjata di sepasang
tangannya dibuatnya kepakan ke arah dalam.
Set! Bret! Dua sayatan Hiroto melintang di dada mayat hidup.
Kalau lawannya adalah manusia biasa, sudah bisa
dipastikan akan segera tergeletak tanpa nyawa. Namun seperti sebelumnya, sayatan
dalam melintang itu pun belum berarti banyak. Mayat hidup itu tetap bisa
melakukan serangan balasan. Bahkan tidak sedikit pun tenaganya berkurang.
Zing! Pedang besar di satu tangan mayat hidup yang
masih utuh menebas lurus ke wajah Hiroto. Gerakannya sungguh kaku, namun begitu
cepat. Jika terlambat sedikil saja berkelit, kulit wajah Hiroto sudah pasti
tcrsayat. Bahkan mungkin saja kepalanya akan terbelah.
"Hai i!"
Sambil memutar tubuh ke belakang,
Hiroto mcngayunkan samurainya ke atas. Tas!
Dengan satu gerakan, Hiroto telah memetik dua
hasil sekaligus. Wajahnya selamat dari tebasan pedang, dan juga berhasil membuat
tangan lawannya kembali
terputus! "Sekarang, kau hanya bisa menunggu kubabat
habis!" geram Hiroto kesal.
Lalu dengan teriakan yang khas, Hiroto melempar
pedang pendeknya dengan tangan kiri. Zing! Jlep!
Pedang pendek Hiroto menembus dada mayat hidup
itu. Tenaga dorongnya memaksa si mayat hidup tersurut ke belakang. Tepat pada
saat itu, ada mayat hidup Iain yang baru berhasil naik dari lubang.
Tak ayal lagi, mata pedang yang menembus di pung-
gung mayat hidup pertama menghujam dadanya juga. Bles!
Kesempatan itu digunakan Hiroto sebaik mungkin.
Setelah melempar teriakan pertarungan sekali lagi, tubuhnya mencelat tinggi-
tinggi menuju dua mayat hidup yang tertembus pedang pendeknya rnenjadi satu.
Begitu meluncur turun, tangan Hiroto langsung
menebaskan samurai
yang mungkin jarang sekali
dikerahkan hingga sebatas itu.
"Heaaa!"
Tras! Sekejap bunyi sayatan tajam terdengar. Kejap
berikutnya, tubuh prajurit masa lampau itu terpenggal dua!
'Sekali tepuk dua lalat'!
Sebelum potongan tubuh dua mayat itu jatuh,
dengan penuh ketangkasan Hiroto menyambar pedang
pendeknya kembali.
Begitu mendarat di tanah, Hiroto kembali bersiaga penuh, menanti serangan
berikut. Belum ada lagi mayat hidup yang ingin dibabatnya. Hanya telinganya
menangkap kekisruhan di belakang sana, di mana anggota rombongan lain berada.
Hiroto langsung menoleh, dan betapa terkesiapnya
dia, melihat kejadian baru. Ternyata anggota rombongan lain sedang digempur
habis olehi sepasukan mayat hidup dalam jumlah tak terbilang. Entah, berapa
ratus. Dan, entah pula datangdarimana.
Seakan-akan makhluk-
makhluk menjijikkan itu tembus dari celah dinding!
"Pantos saja tak ada yang memberi bantuan ketika rambutku tercengkeram," desis
Hiroto, seraya meyibakkan rambutnya yang sudah kehilangan pengikat. Masih terasa
pedih di bagian kulit kepala.
Mata berkelopak sempit Hiroto sejenak mencari cari liar. Ada salah satu anggota
rombongan yang tak tcrlihat.
"Ke mana Andika San?" gumam pemuda Jepang ini was-was.
Setahu Hiroto, pendekar muda tanah Jawa yang
dikaguminya itu dalam keadaan terluka yang tidak bisa dianggap remeh. Karena
bukan tidak mungkin, dia sudah dirasuki racun ganas seperti kata Chin Liong
sebelumnya. "Hiroto San, di belakangmu!"
Teriakan Ying Lien menyadarkan Hiroto. Dengan
badannya dijatuhkan ke depan. Selang sekedipan.
melunc ur terkaman satu mayat hidup di atasnya.
Sempat Hiroto memuji Ying Lien. Bagaimana gadis
itu tahu kalau ada mayat hidup yang hendak membokong dari belakang" Padahal Ying
Lien buta...."
*** 8 Kemana Andika sebenarnya"
Ketika serbuan besar-besaran pasukan mayat hidup
menyesaki lorong, sesuatu memancing perhatian anak muda sakti dari tanah Jawa
itu. Dia melihat sekelebat bayangan di tikungan lorong udara. Meski hanya
sekilas, masih bisa dikenali kalau orang yang terlihat adalah Nofret.
Tanpa peduli pada amukan mayat-mayat hidup,
Andika langsung mengejar Nofret. Tak dipedulikan lagi luka menganga di paha
kiri. Darah terus saja merembes celana panjang hijaunya. Bahkan tak lagi
terpikir kemungkinan racun ganas dari masa lampau yang bisa saja mulai merambahi
aliran darahnya....
Empat mayat hidup yang dikenal sebagai mummi,
mencoba menghadang Pendekar Slebor. Tak mudah untuk menyingkirkan,
karena makhluk-makhluk
yang dibangkitkan dari kematian hampir seluruhnya memendam kekuatan hitam. Dan ini
membuat mereka lebih tangguh daripada seekor gajah jantan gila. Bahkan lebih
gila daripada amukan banteng edan!
Sewaktu mereka menggebraknya, Andika merasa
harus mengerahkan kesaktian tanpa tanggung-tanggung.
Sekejapan waktu baginya amatlah penting, kalau tak mau kehilangan Nofret
kembali. "Manusia-manusia borok slompret!" damprat Andika seraya melecutkan kain
pusakanya ke dua penjuru.
Satu sabetan Pendekar Slebor telah disalurkan
tenaga sakti tingkat kesembilan belas. Tak tanggung-tanggung pula, dalam satu
sabetan tangannya membuat sekian getaran.
Cletar! Tas! Tas! Tas!
Dua serdadu mayat hidup rnenjadi makanan empuk
senjata pusaka Pendekar Slebor. Satu sabetan lain manakala mengenai sasaran,
membuat dua bangkai itu sekejap mata terpotong-potong rnenjadi sepuluh bagian!
Tak bedanya irisan-irisan roti.
"Biar mampus benaran kalian!" maki Andika se-saat sebelum dua mummi lain
menerjangnya. "Hgrrr!" Cletar-cletar! Menyambut serangan dua lawan yang lain,
Pendekar Slebor pun tak sudi berlama-lama. Dengan kain pusaka pula, dua bangkai
dari masa lalu itu mengalami nasib serupa.Belum sempat potongan menjijikkan itu
berserakan di lantai lorong, tubuh pendekar muda ini sudah mencelat amat cepat.
Diterobosnya arus serbuan para mumi secepat lepas dari bus ur dan selincah
seekor walet di antara bukit karang. Andika berlari dengan memanfaatkan kepala
mereka sebagai titian!
"Hei! Anak muda kualat!" semprot Pendekar Dungu, ketika kepalanya sempat menjadi
satu pijakan. Dia memang hampir tersaru di antara mayat-mayat hidup itu.
"Maaf. Pak Tua! Aku kira kau salah satu bangkai sial itu!" seru Andika, seraya
terus memompa kecepatan.
Kelokan lorong utara telah dilewati Andika. Ke-
handalan ilmu lari cepatnya yang tersohor, telah membawa Pendekar Slebor amat
jauh dari tempal semula. Tapi, buruannya tak terlihat sama sekali.
"Ke mana Nofret?" bisik Andika dengan napas turun naik. Pendekar Slebor kini
berhenti di satu lorong lembab berkabut. Lorong yang diyakininya baru sekali ini
dilewati. Tak mungkin aku salah lihat Tadi itu memang
Nofret," gumam Andika, mencoba meyakinkan diri.
"Tapi, bagaimana mungkin tak juga kutemukan" Aku sudah mengerahkan segenap
kemampuan lari cepatku
Mestinya, dia sudah terkejar karena sama sekali tak memiliki kedigdayaan apa-apa
kec uali sihir. Apa mungkin karena jasadnya masih dikuasai roh jahat
Hetepheres?"
"Kau mencari aku?"
Mendadak terdengar sebuah suara di ujung lorong
lembab. Cepat Andika menegaskan pandangannya. Kabut yang bergentayangan lamban,
membuat cahaya obor-obor
di sepanjang lorong tak berdaya. Dalam pandangan samar-samar Andika melihat
sesosok tubuh berdiri di kejauhan sana. Seorang wanita. Dan lagi-lagi, Andika
mengenali bentuk tubuh itu.
"Nofret, kaukah itu"!" seru Andika keras. Tak ada jawaban.
"Nofret"! Apakah kau sudah sadar"!" panggil Andika, mencoba kembali.
Tak ingin pemuda ini bertindak ceroboh dengan
menghampiri langsung sosok di kejauhan sana. Dia yakin, yang dilihatnya memang
Nofret. Namun di lain sisi, dia pun yakin setiap saat jebakan maut bisa
mengganyangnya.
'Andika...."
Suara sosok itu kembali terdengar, menyusuri


Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lorong. Kemudian memantul di antara dinding, dan tiba di telinga Andika sebagai
suara Nofret. Andika makin yakin kalau telah menemukan Nofret
Namun hatinya belum c ukup yakin, apakah Nofret yang terlihat kini memang benar-
benar Nofret atau masih di bawah kekuasaan Hetepheres.
"Jawab pertanyaanku, Nofret! Apakah kau sudah sadar"!" seru Andika.
"An-di-ka.... Tolong aku...."
Pendekar Slebor tergugu kaku. Suara Nofret yang
terdengar kali ini begitu memelas.
"Andika. tolonglah!" Suara Nofret menanjak. " tolong, Andika!"
Makin meninggi suara itu, lalu melengking....
"Andika.. tolong aku!"
Andika terkesiap. Dia hendak segera menghambur
ke arah Nolret, tapi nalurinya mengingatkan akan satu bahaya keraguannya benar-
benar menguasainya saat itu.
Kabut mendadak menebal, menyergap pandangan
Pendekar Slebor. Sosok Nofret di kejauhan sana tertelan.
Saat itu pula, Andika menyadari kalau dirinya bisa kehilangan jejak lagi.
Tanpa peduli resiko yang siap memamahnya, Andika
mengempos ilmu lari cepatnya kembali. Tapi begitu kabut tebal yang lembab
terlewati, Nofret sudah tak ada lagi di tempatnya...
"Bangsat congek! Kunyuk bodong, babi botaaak!"
sumpah serapah kasar pun berhamburan dari mulut
Pendekar Slebor. Kakinya menjejak-jejak geram ke lantai lorong, sampai tak sadar
kalau akibat tindakannya telah membuat lantai batu amat keras rnenjadi hancur
berhamburan. "Jangan kau coba mempermainkan aku, Pangeran Anubis! Aku tahu siapa sesungguhnya
dirimu! Aku tahu!
Kau memang sejenis ular kadut pengecut! Keluarlah kau!
Hadapi aku seperti seorang lelaki jantan! Jangan bisanya hanya bersembunyi dan
main belakang!"
"Ha-ha-ha...!"
Jawaban yang didapat pendekar ceriwis itu hanya
tawa seorang lelaki.
"Apa benar kau telah memecahkan teka-teki yang paling besar dari seluruh
rencanaku, Anak Muda?" tanya suara itu, menggema.
Suara itu terdengar berat dari arah belakang, begitu dekat di belakang Andika.
Pendekar muda itu sendiri terkesiap. Merasa akan
dibokong, tubuhnya berbalik sigap.
Tak seorang pun ditemukan Pendekar Slebor.
Sepanjang pandangannya,
hanya bentangan
lorong berkabut yang terlihat. Rupanya suara tadi dikirim lewat ilmu 'Pengirim Suara'
jarak jauh yang demikian sempurna.
"Lihatlah! Betapa pengec utnya kau!" rutuk Andika kalap tertahan.
"Ha-ha- ha...!"
Tawa membahana mengisi lorong lagi. "Lalu apa maumu, Anak Muda" Kau ingin
langsung berhadapan
denganku" T ak usah tergesa.... Permainan ini belum lagi tuntas...."
Ucapan itu berpindah kcmbali ke belakang Andika.
Seperti sebelumnya, terdengar begitu dekat. Seolah-olah,
orang yang berkata persis berdiri di be-lakangnya.
Keledai dungu pun tak mau terperosokdalam lubang
yang sama. Begitu pikir Andika. Dia yakin, ucapan itu pun sekadar suara yang
dikirim dari jarak jauh dengan sempurna. Oleh sebab itu, tubuhnya tak berbalik.
Namun, justru dengan keputusan itu, Pendekar
Slebor telah terperosok dalam lubang yang baru. Orang yang dikira berbicara dari
jauh, ternyata memang benar-benar telah berdiri hanya selangkah di belakangnya!
"Apa kau ingin menarik tantanganmu tadi, Anak Muda" Bukankah kau ingin
berhadapan langsung
denganku?" kata Pangeran Anubis dengan tangan terlipat di depan dada.
Mendengar kalimat terakhir lelaki itu, barulah Andika sadar sepenuhnya kalau
telah melakukan kesalahan baru.
Demikian cepat darahnya berdesir te-gang. Segenap ototnya mengejang. Tubuhnya
mesti secepat mungkin dilempar ke depan. Namun terlambat.... Des!
"Aaakh,..!"
Pendekar Slebor seketika merasakan bagaimana
punggungnya terhantam telapak tangan. Bila kesadarannya langsung hilang saat itu, tentu tak akan tersiksa apa-apa. Dan
Andika sama sekali tidak ingin kehilangan kesadaran, biar kepalanya bagai
diganduli dunia sekalipun. Justru karena itu, dia pun harus menikmati bagaimana
hebatnya siksaan rasa sesak amat sangat yang mendera sekujur dadanya akibat
hantaman tadi. "Khoek!"
Darah kehitam-hitaman termuntah dari mulut
Pendekar Slehor begitu tubuhnya terjerembab dalam keadaan tertelungkup. Nyaris
saja kepalanya tak bisa diangkat.
"Bagaimana" Apa kau sudah bisa menikmati seluruh rencana besarku?" cemooh si
pembokong, tanpa rasa malu sedikit jua.
Andika bangkit terseok. Dadanya didekapnya dengan
wajah menahan sakit.
"Lihatah dirimu" Betapa kau sudah tidak punya harga diri lagi," cemooh Andika
membalas. "Harga diri" Apa yang kau tahu tentang harga diri"
Aku tahu betul tentang harga diriku. Karena itu pula, aku melakukan semua
ini...," kata Pangeran Anubis, agak bergetar.
Di balik topeng serigala lelaki itu, Andika bisa
menangkap geliat kekecewaannya. Kekecewaan karena apa " Itu yang belum dapat
diraba. "Kau tak memerlukan topeng jelekmu lagi. Kenapa benda itu tak ditanggalkan saja.
Apa kau merasa, aku belum tahu siapa dirimu sebenarnya?" kata Andika, mencoba
menyudutkan. "Aku percaya, kau telah tahu aku yang sebenarnya.
Di antara sekian banyak pendekar kenamaan dunia, kau termasuk memii ki ketajaman
otak yang patut mendapat pujian...."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Kau malu karena selama ini wajahmu digunakan
hanya untuk kedok tabiat terpujimu. Lalu, kau pakai topeng pula untuk menutupi
kepalsuanmu, Itu artinya, selama ini kau hanya mengenakan topeng. Kau selamanya tak pernah memi iki muka. Kau manusia tak
bermuka, yang bersikap baik di depan. Namun, di belakang menerkam.... Kau tak
lebih berharga dari kotoranku!" leceh Pendekar Slebor, tak hanya menyakitkan
telinga, tapi juga perasaan orang.
Tapi, benar kata Andika barusan. Orang di depannya agaknya sudah tak memi iki
muka. Tanpa rasa malu, dan tak lebih berharga dari kotoran manusia. Mestinya,
dia akan terbakar mendengar kata-kata Andika. Nyatanya, justru tidak. Seolah-
olah hati lelaki itu sudah sekeras batu.
"Buat apa membuka topeng ini" Karena aku tahu, kau adalah anak muda berotak
cemerlang. Jadi, aku tak akan membuka topeng ini secepatnya. Kau tahu, kenapa"
Karena bukan tidak mungkin kau belum tahu siapa aku.
Lalu, kau pun bersiasat seolah-olah tahu agar aku
membuka topeng ini. Hm..., siasat cerdik!"
"Kau memaksaku untuk menyebut siapa dirimu
sesungguhnya?" desis Andika terpatah-patah. Kemuakan pada sikap lelaki itu
membuat rasa sakit didadanya makin menjadi-jadi.
"Baik," pulus Andika tegas. "Kau adalah si Gila Petualang! Lelaki tua berhati
bus uk yang berkulit orang suci! Kau sesungguhnya tak beda dengan Dua Rahib Dari
Tibet! Bangkai yang terbungkus kain putih
"Hmh...!"
Terdengar dengusan samar di balik topeng kepala
serigala Pangeran Anubis.
"Kau memang berotak encer, Anak Muda...," puji Pangeran Anubis terdengar gusar.
Kegusaran lelaki itu terlihat jelas manakala melepas topeng kepala serigalanya
dengan kasar. Lalu, terlihatlah wajah di balik topeng itu. Samar di antara
sapuan cahaya obor lamat. Wajah si Gila Petualang! Andika menyeringai.
Dugaannya tak meleset. "Bagaimana
kau bisa membongkar rahasiaku, Anak Muda?" tanya si Gila Petualang. Nadanya terdengar
gusar. Lagi-lagi Pendekar Slebor menyeringai. mengejek si Gila Petualang yang
sebelumnya begitu dihormati. Andika tidak merasa menang. Apalah arti kemenangan
yang didapat dengan mengalahkan orang lain. Bagi Andika, kemenangan sejati diperoleh
dengan mengalahkan diri sendiri. Kalaupun mulutnya menyeringai, itu karena
kemunafikan si Gila Petualang pantas menerima ejekan.
"Kau masih berminat untuk mengetahui, bagaimana aku bisa memecahkan teka-teki
konyolmu?" tantang Andika enteng.
Rasa sakit di dada Pendekar Slebor mulai me-
ngabur. Selama itu, dicobanya mengerahkan hawa murni diam-diam ke bagian
dadanya, agar luka dalamnya dapat diatasi.
Si Gila Petualang hanya menatap anak muda yang
berdiri sembilan tombak di depannya dengan sinar mata
menusuk. "Kau ingat dengan ini" Kata Andika memulai lagi sambil mengeluarkan kantong
minuman dari kulit dari balik pakaian. "Kau yang memberikan ini padaku, bukan"
Dari dua sahabat Cinaku, aku tahu kalau minuman ini adalah bagian ramuan yang
bisa me-lumpuhkan jaringan otot. Kau tentunya telah mempelajarinya ketika
bertualang ke Negeri Cina...." (Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah episode
sebelumnya: "Undangan Ratu Mesir").
Andika menimang-nimang kantong minuman di
tangannya. "Di samping itu, apa kau pikir aku tak akan heran ketika Hetepheres mengerahkan
ilmu 'Inti Es'nya.
Bukankah kcsaktian itu dikembangkan amat jauh
dari tempat ini. Hanya ada satu kemungkinan, kalau ilmu itu sampai disini.
Seseorang telah membawanya ke tempat ini. Di antara kita semua, hanya kau satu-
satunya yang telah banyak menjelajahi negeri orang. Termasuk, asal ilmu
kesaktian itu, bukan?" lanjut Andika panjang lebar.
Andika mendehem-dehem menyaksikan perubahan
wajah si Gila Petualang. Lelaki itu tampak terbakar kemarahan.
"Kecurigaanku sebenarnya sudah terbetik, ketika kapal armada Cina milik Ying
Lien sedang menyusuri Sungai Nil. Gerombolan Kuda Nil yang tak lazim
bckerjasama untuk menenggelamkan kapal, mengingatkanku pada gerombolan elang-elangmu! Bukankah di antara awak kapal, hanya kau yang bisa melatih
dengan baik binatang-binatang
liar yang dimanfaatkan untuk tujuan tertentu" He-he-he.... aku betul lagi, ya?" (Baca
episode sebelumnya: "Piramida Kematian") Plok! Plok! Plok!
Andika lalu bertepuk tangan. Bukan sekadar hendak memuji kecerdikannya sendiri,
tapi sudah pasti untuk melecehkan
lawannya separah mungkin. Biar kemarahannya meledak. Kalau sudah begitu, dia bisa mengambil sedikit
keuntungan.... "Benar katamu dulu.'Seharusnya, kita selalu ber-hati-hati pada siapa pun. Wajah
yang bagus, tidak selamanya mencerminkan diri yang baik'...," lanjut Pendekar
Slebor. setengah mengolok-olok.
"Kau memang berhasil membongkar rahasiaku.
Anak Muda. Tapi, bukan dengan begitu semuanya usai.
Permainan belum tuntas seluruhnya. Bukankab itu sudah kukatakan tadi?" sergah si
Gila Petualang, meledak-ledak.
Sifat-sifat bejatnya kini terlihat jelas.
"O-o! Kau rupanya begitu dongkol denganku, karena telah mengacaukan rencana
puncakmu, bukan?"
Si Gila Petualang menghempas napas. "Kau akan tahu, apakah rencana puncak
milikku benar-benar telah kau kacaukan. Atau, sebenarnya rencana puncakku baru
saja dimulai! Ha-ha-ha...!"
"Bah! Apa bukan sebaliknya" Rencanamu justru sudah hancur lebur seperti bubur.
Tipu dayamu sudah tak berguna, seperti tak bergunanya peta rahasia tentang
tempat penyimpanan pusaka para ahli sihir yang
sebenarnya tak pernah ada! Dengan peta buatanmu itu tentu kau ingin menggiring
kami memasuki jebakan demi jebakan, bukan?"
"Pemuda keparat!"
"Hua-ha Andika membayar gelak tawa si Gila Petualang
dengan gelaknya pula.
"Kau boleh menganggap rencanaku telah berantakan! Tapi, tidak bagiku. Aku puas karena telah menebus sakit hatiku pada
dunia persilatan!" tandas si Gila Petualang.
"Kasihan anak Emak,... Kau sakit hati?"
"Tutup bacotmu, Anak Muda! Kau dan seluruh
undangan telah mewakili dunia persilatan untuk membayar sakit hatiku! Aku puas!
Puas! Kau tahu, kenapa aku bertualang" Sebelum aku bertualang, kehadiranku tak
diterima orang-orang dunia persilatan. Mereka hanya menganggapku sampah tak
berarti. Tak berdaya apa-apa
dan tak berguna apa-apa. Aku banyak dipermainkan orang-orang persilatan
seenaknya. Aku pun memendam
kebencian yang membakar hatiku. Lalu, aku bertualang.
Semula, untuk melarikan diri dari segenap cemooh orang persilatan.
Setelah itu, tcrpikir olehku untuk mengumpulkan kesaktian dan ilmu, yang nantinya akan berguna untuk membalas sakit
hatiku!" *** 9 "Sayang sekali,
rupanya kau hanya

Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disesati perasaanmu sendiri, Pak Tua!"
Kalimat Andika melunak mendengar penuturan
terakhir si Gila Petualang. Kini anak muda itu bisa melihat jelas
perkara sebenarnya.
Seketika timbul ah rasa
prihatinnya. Sebenarnya lelaki tua itu hanyalah korban permainan dunia yang memuakkan. Begitu, pikir Andika.
Ya, sekadar korban. Sayang, dia mengambil jalan salah untuk menyelamatkan diri
sendiri.... "Tidak semua warga dunia persilatan bersikap seperti itu padamu. Apakah kau tak
merasa, bagaimana aku, Ying Lien, dan Chin Liong begitu menghormatimu sebelum
semua ini terjadi?"
"Bagiku, sikap kalian sudah terlambat!" tegas si Gila Petualang.
Andika mengbela napas. "Jangan kau membiarkan hatimu membatu, Pak Tua.. ," bujuk
Pendekar Slebor.
"Aku tak peduli! Dendamku sudah berkarat! Seperti besi yang sudah tak mungkin
lagi dibersihkan! Aku hanya puas, bila telah melaksanakan pemba-lasan dendam
ini!" teriak si Gila Petualang parau.
"Pak tua! Belum terlambat untuk mcnghentikan semua kegilaan ini.... Rasanya kami
bisa mengerti beban apa yang kau tanggung sclama ini." bujuk Andika lagi.
" Tidak! Sudah kuputuskan untuk menuntaskan
semua ini. Kalian yang mewakili dunia persilatan, harus mcmbayar lunas seluruh
sakit hatiku! Kalian akan hancur lebur bersama piramida ini!"
Begitu kala-katanya selesai, si Gila Petualang
berkelebat. "Pak Tua, tunggu!"
Seruan Pendekar Slebor sia-sia. Lelaki tua yang
sempat dihormatinya telah menerjang dengan satu
pukulan maut ke arah Pendekar Slebor.
Wukh! Untuk serangan pembuka, Andika tak mau ambil
akibat terlalu banyak. Dia memang sudah mengenal si Gila Petualang. Tapi, belum
cukup mengetahui sampai di mana tingkat kesaktiannya.
Secepat mungkin Andika berkelit. Tubuhnya dimiringkan ke samping.
Salah satu kckhasan jurus milik Pendekar Slebor
adalah gerakannya yang terlihat awut-awutan. Termasuk cakarnya menghindari
scrangan. Si penyerang tak akan menyangka, kalau Pendekar Slebor sedang
menghindar. Yang terlihat justru seperti sedang terhuyung limbung.
"Haih!"
Selagi tubuh si Gila Petualang yang selama ini
mengaku sebagai Pangeran Anubis menyorong ke depan, kaki Andika membuat sapuan
kilat. Dalam keadaan begitu, si tua itu akan dirugikan oleh tenaganya sendiri.
Tubuhnya bisa terpelanting karena jegalan kaki Pendekar Slebor.
Namun yang dihadapi pemuda dari tanah Jawa ini
bukan tokoh kacangan.
Si Gila Petualang sudah
menjelajahi lima benua dan lima samudera. Bisa di-bayangkan, sudah berapa banyak
ilmu ditimba"
"Eaaa!"
Sekali menjejak saja, tubuh lelaki tua itu sudah
berputaran di udara, menghindari sapuan kaki Pendekar Slebor.Selagi di udara,
biasanya pertahanan seseorang akan lemah. Itu sering diperhatikan Andika. Tahu
si tua itu sedang melayang, Pendekar Slebor memanfaatkannya.
Secepat kilat tangannya disibak ke atas. Punggung tangannya yang menekuk seperti
tangan seekor kera, mencoba menanduk si Gila Petualang di udara.
Bet! Pada saat yang sama, si Gila Petualang pun
melancarkan tinju keduanya. Akibatnya....
Daghhhl Benturan tangan bertenaga dahsyat tadi pun sudah
pasti mengakibatkan kedahsyatan tak kalah menggiriskan.
Tubuh si Gila Petualang kontan terlonjak lebih tinggi ke udara, kemudian
meluncur cepat dan menghantam
langit-langit lorong. Bagian yang terkena menjadi hancur berlubang sedalam
bagian tubuhnya yang melesak hingga sebatas dada. Kini tinggal bagian bawah
badannya yang tergantung-gantung.
Andika sendiri mengalami akibat yang tidak kalah
parah. Kalau si Gila Petualang melesak di langit-langit, Pendekar Slebor melesak
di lantai lorong. Sama-sama sebatas bahu, seperti juga dialami lawannya. Jelas,
pada saat terjadi benturan, tingkat tenaga dalam yang
dikeluarkan seimbang.
Tak lama berselang keduanya sama-sama mencelat
dari lubang masing-masing. Si Gila Petualang menggunakan sepasang tangannya untuk mencelat,
sedangkan Pendekar Slebor menggunakan kaki.
"Pak tua, tunggu!" ulang Andika, berusaha menahan serangan lebih lanjut si Gila
Petualang. "Kenapa, Anak Muda" Kau takut menghadapiku"
Bukankah kau memiliki nama besar di dunia persilatan?"
leceh si Gila Petualang tanpa sedikit pun luka di tubuhnya bagian lain. Padahal
kekerasan langit-langit lorong bisa meremukkan tulang seekor badak.
"Sadarlah, Pak Tua. Belum lerlambat bagimu untuk menyadari kalau sebuah dendam
tak berguna untuk
dimuntahkan... Kau bertindak pada alamat yang salah.
Menuntut dendam pada orang-orang yang keliru...," ujar Andika."Siapa peduli pada
kckeliruan. Dunia ini pun telah bertindak keliru padaku. Kenapa aku dilahirkan,
kalau akhirnya disingkirkan" Bukankah itu kekeliruan" Lalu, apa salahnya aku
membuat satu kekeliruan pula agar puas!"
balas si tua ini.
"Janganlah kau menghujat Tuhan, Pak Tua... "Aku hanya
menghujat manusia-manusia
yang telah mcngasingkan diriku seperti sampah! Tak menggubris kehadiranku seperti anjing
buduk!" teriak si Gila Petualang.
"Tidak semua orang, Pak Tua.. . Tidak semuaya...."
"Phuih...!"
Dengan napas turun-naik digebah kemurkaan, si Gila Petualang mcmbuang ludah.
"Kau membuatku muak dengan kebijakanmu, Anak Muda... Aku sebenarnya iri padamu,"
kata lelaki tua mi mengakhiri perdebatan yang diselingi pertarungan singkat.
Sk-u-l.ih ilu kembali si Gila Petualang menggen-jnl lubuhnya. Namun sekali ini,
dia tak hendak mela-ktikan gcmpuran. Dia hanya menyingkir, entah ke mana. Lalu,
tubuhnya menghilang di antara kabut yang tcrhuyung.
"Pak Tua!" panggil Andika, tapi sia-sia. Andika mengeluh. Napasnya dilepas dalam
desah. Andai saja Pendekai Slebor tahu sebab musabab
lelaki itu melakukan ini semua, tentu akan lebih suka memaklumi.
*** 10 Sementara itu, pertarungan sengit antara para
undangan dengan
mayat-mayat hidup masih saja bergejolak. Ketidak seimbangan dalam jumlah, tidaklah berarti ada satu yang
terkalahkan. Rombongan para undangan ternyata sanggup mcladeni gempuran serdadu
Mesir Kuno yang bangkit kembali dari kematian!
Sudah demikian banyak potongan bangkai menumpuki lantai lorong. Namun jumlah mereka seperti tidak pernah menyusut.
Kalau keadaan seperti itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin pihak para
undangan akan kehabisan tenaga. Artinya, cepat atau lambat, mereka akan menjadi
bulan-bulanan serbuan bangkai-bangkai hidup! "Kita harus segera menyingkir! Tak
mungkin kita terus membantai mereka. Tenaga kita terbatas. Sedangkan jumlah
mereka seperti tak terbatas!" pekik Ying Lien di antara kepungan gencar lawannya
yang menjijikkan
"Ya! Aku pun berpikir begitu, Nona!" teriak Kenjiro yang sudah bermandi peluh.
Lelaki Jepang bertubuh tambun itu berkali-kali nyaris terbabat senjata. Dengan
tubuh besar seperti itu, dia lebih cepat menjadi lelah ketimbang yang lain.
Untunglah Hiroto, saudara sepupunya selatu siap melindungi.
"Bagaimana menurutmu, Hiroto"!" teriak Kenjiro pada ksatria pcrkasa yang
mengamuk dengan samurainya.
Hiroto tidak sedikit pun menggubris. Baginya tidak ada kata mundur dalam satu
pertarungan. Baginya, mati lebih terhormat daripada jadi pengec ut.
"Aku tahu, bukanlah kebiasaanmu untuk mundur dari pertarungan, Hiroto San. Tapi
kau tentunya tak ingin ada anggota kita yang akan menjadi korban, bukan"!"
timpal Chin Liong, mengingatkan Hiroto.
"Kalau begitu, cepatlah kalian menyingkir! Aku akan buka jalan bagi kalian!"
putus Hiroto, mengejutkan yang lain.
Lalu, lelaki itu bertcriak amat keras. Teriakan-nya terlalu kacau, hingga
terdengar meraung-raung. Tubuhnya digenjot tinggi-tinggi ke barisan depan
serbuan para mayat hidup. Dan di tengah-tengah kepungan itu, dia hinggap.
Sekejap kemudian. Hiroto mengamuk sejadi-jadinya.
Samurainya berdesing kian kemari, seakan memiliki mata sendiri. Satu gerakan
seperti melahirkan sekian sabetan maut. Dua-tiga mummi pun terpenggal!
Wukh-zing-zing!
"Cepat kalian menyingkir! Aku akan menghambat mereka!" seru Hiroto di antara
desingan tajam samurainya.
"Bagaimana kami bisa meninggalkan kau sendiri"!"
sergah Chin Liong kacau.
"Jangan pikirkan aku! Satu korban lebih baik, daripada keseluruhan!"
"Tidak bisa! Aku tidak akan membiarkan hal itu!"
tolak Chin Liong.
"Tapi hanya ini satu-satunya kesempatan agar kalian bisa lotos! Hargai usahaku,
Chin Liong San!"
Chin Liong ragu. Di belakang mereka, jalan sudah
terbuka. Ying Lien dan Manyar Wanita barusaja
menuntaskan enam mummi yang menghambat. Sementara, arus serangan di depan diputus amukan
membabi buta Hiroto.
"Cepat pergii !" hardik Hiroto menangkap sekelebat keragu raguan C hin Liong.
"Selamatkan sepupuku! Karena kalau aku mati, dia harus bisa pulang ke Jepang
agar bisa mengabari keluargaku!"
Chin Liong tercekat, sadar, Hiroto memang benar.
Hanya itu satu satunya harapan agar yang lain bisa lolos.
Kalau Chin Liong bersikeras mendampingi Hiroto, siapa yang akan melindungi yang
lain" Bukannya Chin Liong tak percaya pada Ying Lien. Tapi biar bagaimanapun,
gadis tangguh itu buta! Semen-lam, Manyar Wanita belumlah cukup tangguh
dibanding Ying Lien. Pendekar Dungu" Ah!
Bagaimana mengharap lelaki tua berotak kerbau itu untuk memimpin yang lain"
"Baik!" putus
Chin Liong akhirnya.
"Selamat bertarung, Hiroto San. Aku tak akan memaafkanmu, kalau kau tak bisa bertemu kami
lagi dalam keadaan selamat!"
Sempat-sempatnya
bibir Hiroto menampilkan senyum samar mendengar ucapan Chin Liong.
*** Masih di lorong lembab berkabut, sekali lagi Andika
menyaksikan Nofret. Kalau sebelumnya tampak sekelebatan, kali ini Nofret muncul di ujung lorong. Diam sebentar, kemudian
mulai melangkah satu-satu ke arah Andika.Pakaian amat tipis yang dikenakan gadis
itu membuat bola mata Andika membulat semakin besar.
Apalagi di balik pakaian itu. lekuk liku tubuhnya jelas terlihat tanpa selembar
benang lagi menutupinya. Pakaian tipis itu berkibar perlahan, seiring langkah
Nofret. Seketika jantung Pendekar muda itu semakin berdebar tak karuan.
Pemuda berbaju hijau itu sungguh tak mengerti.
Mengapa Nofret masih memakai baju tipis yang pernah dilihatnya ketika berada
dalam pengaruh Hetepheres"
"Nofret...," sebut pemuda itu ragu-ragu. Tidak bisa dijamin kalau saat itu
Nofret benar-benar 'Nofret'. Besar kemungkinan dirinya saat itu adalah
Hetepheres! "Ya, Andika.... Ini aku," sahut gadis ini lamat. Bibirnya mendesah perlahan.
Kini, tubuh gadis itu berdiri dalam keadaan sangat menggiurkan, sekitar sepuluh
depa dari tempat Andika.
"Bagaimana bisa...?" gumam Andika seraya menatap tajam. Selagi pemuda dari
Lembah Kutukan ini
diberondong rasa keheranannya, Nofret memutarkan
lehernya ke belakang perlahan dengan mata terpejam rapat. Gerakan gadis itu
seakan menggelinjang nikmat.
"Wuih! Nofret...!" pekik Andika dalam hati.
Sungguh, pemuda itu hampir tidak kuat menahan
beban tubuhnya. Kedua lututnya gemetar menyaksikan semua itu.
Kemudian, penuh kegemulaian Nofret melangkah
perlahan menuju Andika. Setiap kali kakinya melangkah, terbentuk gerakan lembut
menakjubkan di seputar pinggul padatnya. Dan yang lebih mendebarkan jantung,
buah dada ranum yang nampak samar-samar di balik pakaian tipis itu pun ikut
bergetar, seolah menjanjikan sesuatu pada Andika.
Andika memejamkan mata, sebisa-bisanya. Tanpa
sadar hal itu dilakukannya, seperti takut kalau dirinya tak kuat menahan
'panggilan Nofret' yang luar biasa!
"Kau sudah sadar?" tanya Andika parau, masih memejamkan mala.


Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang terjadi sesungguhnya terhadap diriku, Andika?" Nofret balik bertanya.
Langkahnya membawa tubuhnya semakin dekat pada Pendekar Slebor.
"Apa kau tak ingat?" susul Andika. Kali ini pendekar muda itu memberanikan diri
membuka matanya.
Nofret berhenti lima depa dari tempat Andika. Bibir merah menantang milik
perawan Mesir itu bergerak
perlahan, di antara desah gelombang napasnya. Matanya yang indah menatap tembus
ke bola mata Andika, seakan begitu mendambakan belaian pemuda dari Lembah
Kutukan ini. Tanpa sadar, Andika melangkah. Matanya tak lepas-
lepas memandang tubuh putih Nofret yang memi iki buah dada padat dan pinggul
menggiurkan. Semakin dekat, napas pemuda itu kian memburu.
"Apa saja yang kau alami, Nofret?" tanya pemuda urakan itu yang rupanya masih
mempunyai nalar di saat-saat genting begini.
"Yang aku ingat, aku dikepung asap tebal di satu ruangan yang kumasuki. Setelah
itu. aku tak ingat apa-apa lagi...," tutur Nofret
Andika mencoba mendekat lagi. "Kau yakin tak apa-apa?" tanya Andika lebih
lanjut. "Aku..., aku merasa tubuhku begitu letih. Aku merasa ada sesuatu yang
membebaniku sebelumnya."
Andika makin mendekat.
"Ceritakan
padaku, apa yang kau rasakan sebelumnya?"
Nolret terdiam sesaat. Ada sesuatu yang dicoba
diangkat dari benaknya.
"Ingat ingatlah...," sambung Andika hati-hati.
Pemuda dari Iembah Kuti.kan itu rupanya tengah
berusaha keras menghilangkan letupan gairah yang
sedang menyergapnya. Karena itu dia lebih menekankan ke mana Nofret selama ini,
daripada terus memandangngi sekujur tubuh menantang milik gadis Mesi itu.
"Aku..., aku merasa diriku terkunci waktu itu. Aku melihatmu.
Lalu, aku menyerangmu. Itu bukan kemauanku, Andika.... Itu bukan kemauanku.... Aku sendiri berusaha menahannya,
tapi tak kuasa...." Setelah itu terdengar isak kecil Nofret. Andika tersentuh.
Seketika itu juga gairahnya terkikis habis begitu melihat butir air bening di
pelupuk mata gadis jelita di hadapannya. Yakinlah Pendekar Slebor kini, kalau
Hclephercs telah meninggalkan diri Noliel. Enlah, apa sebabnya. Mungkin karena
rencana datangnya telah hancur.
Saat itu, Nofret butuh dukungan semangat dari
seseorang. Jiwanya tentu terguncang atas seluruh kejadian teramat dahsyat yang
baru kali ini dialami. Begitu pikir Andika. Maka, cepal-cepat Andika
menghampirinya.
Tubuh jelita Nofret lalu didekap eral-erat dan hangat.
Dicobanya memberikan kctenangan ke dalam diri gadis itu.
Nofret pun membalas dekapan si perjaka. Wajahnya
dipendam dalam-dalam di dada bidang Andika. Di sana, isaknya termuntahkan.
"Sudahlah.... Kau tidak apa-apa...," ucap Andika lembut."Tapi, semua ini begitu
mengerikan, Andika," isak Nofret."Kau akan baik-baik saja. Percayalah. Aku
berrjanji akan menjagamu." hibur Andika.
Di dada bidang si pemuda perkasa, cukup lama
seguk kecil Nofret terulur lamat. Agar lebih memberi rasa tenang, Andika
membelai-belai rambut hitam Nofret lembut. Pemuda itu tidak memikirkan lagi
tubuh halus di balik baju tipis yang berada dalam dekapannya. Yang ada dalam
benaknya, kini hanya ingin menenteramkannya.
Sekarang" Ya, sekarang. Masa' dalam keadaan demikian, niat usilnya harus muncul"
Apalagi melihat tubuh Nofret yang begitu menantang.
" Nofret..," sebut Andika setelah sekian lama ncrlalu.
"Boleh aku bcrtanya sedikit padamu?" Nofret mengangkat wajahnya yang sembab.
"Kau pernah dengar nama Hctepheres?" sambung Andika.
Wajah Nofret berubah. Ada ketakutan menghujamnya. 'Tak lis il lakuL Katakan saja padaku."
"Beliala Ratuku, Andika. Penguasa Piramida Tonggak Osiris ini...," jelas Nofret
nyaris berbisik. "Aku merasa, dia masih hidup. Karena, di piramida yang rnenjadi
tempat pemakamannya ini, tak pernah ditemukan jenazah."
Sementara berbicara, tangan Nolret bergerak lambat di belakang punggung Andika.
Lambat. Jarinya terbuka, menegang kaku. Telapak tangannya menghadap punggung
Andika, siap menghujamkan satu pukulan 'Inti Es'!
Sementara, si calon korban yang berjuluk Pendekar Slebor ini belum juga sadar.
Padahal maut siap
melalapnya! Dan.... Des! "Khghhh!"
Mendadaksaja terasa bagai ada sebongkah besar
salju kutub utara merasuki dada Pendekar Slebor Rasa sakitnya luar biasa. Lebih
hebat daripada rajaman seribu tombak bermata kembar! Di samping itu, karena
terlalu dingin yang terasa, di dada Andika justru malah terjadi siksaan panas
luar biasa. Masih dalam dekapan Nofret, tubuh Andika melorot
lunglai."Hetepheres... roh wanita keparathhh! Rupanya kau masih berada dalam
diri Nofret!" rutuk Andika terbata.
Wajah Pendekar Slebor mendongak lemah. Membiru. Bibirnya segera rnenjadi pecah-pecah. Dalam gigilan yang teramat
sangat, diberangusnya mata wanita itu dengan tatapan sembilu.
"Kau salahbesar, Andika.... Ratu Hetepheres sesungguhnya tak pernah ada!" sentak
Nofret, amat sangat mengejutkan Pendekar Slebor. Lebih mengejutkan dari pukulan
mendadak yang luar biasa dinginnya tadi.
"Ap-pa..., mak-sudmu?"
"Aku adalah aku, Andika. Nofret! Hetepheres
hanyalah sebagian dari rencana yang dijalankan guruku. Si Gila Petualang!
Sebagai seorang murid, sudah sepantasnya membantu untuk melunasi sakit hatinya
pada dunia persilatan!"
"Asta-ga... Ja-di, semua ini benar-benar sudah dialur demikian matang?" keluh
Andika, mulai me-nyadari maksud
perkataan si Gila Petualang. Bukankah sebelumnya lelaki tua itu mengatakan, kalau rencana besarnya belum seluruhnya
hancur" "Apa kau tak merasa ganjil jika roh seorang wanita yang telah mati ratusan tahun
lalu, bisa mempelajari ilmu
'inti Es' yang diturunkan si Gila Petualang, guruku?"
Terjagalah Andika.dari kebodohannya. Hajaran demi hajaran leka-teki rangsangan
demi rangsangannya, dan ancaman maut yang begitu rumit, membuatnya lupa
menyadari hal sekecil itu! Padahal, kesalahan kecil bisa berarti amat besar!
Berarti, ancaman buat nyawanya sendiri serta nyawa undangan lain.
Siapa pun bisa lengah oleh musuh dalam selimut.
Tcrmasuk diri Pendekar Slebor sendiri. Termasuk para undangan lain....
"Apa maumu sejkarang, Nofret?" tanya Andika dirasuki kekecewaan dan penderitaan.
Gigilan tubuhnya makin mcnghebat. Bahkan sempat membuat kaki Nofret
yang menyangganya ikut bergetar.
"Aku harus membunuh. Itu perintah guruku. Semua yang diundang ke tempat ini
harus disingkirkan, agar guruku puas. Sekaligus agar namanya tetap baik di dunia
persilatan...," papar Nofret dingin.
Masih bersimpuh lemah di lutut Nofret, Andika
mencoba mengucapkan kalimat dari dasar hatinya untuk menggugah hati Nofret.
"Sungguh tak kusangka akan begini akhirnya, Nofret Kukira, kau adalah gadis yang
patut kucintai. Apa kau tak tahu. aku telah memendam benih-benih perasaan tak
terlukiskan dalam dirimu?" pancing Pendekar Slebor, lirih.
"Maafkan aku, Andika. Aku tidak bisa membohongi diri. Aku pun sebenarnya menanam
benih cinta padamu.
Tapi, aku sama sekali tidak ingin mengecewakan guru.
Sekali lagi, maaf bila semua rasa cinta padamu kubunuh.
Dan nyatanya, aku berhasil membunuhnya meski dengan amat sulit...," tutur Nofret
tetap dingin. Nampaknya, benar kata gadis itu. Dia telah berhasil membunuh seluruh benih cinta
yang berkecambah di
hatinya terhadap si perjaka perkasa. Pendekar Slebor.
Andika meneruskan tatapannya. Dia tahu, seorang
yang telah memiliki benih cinta tentu akan tersentuh hatinya bila menatap
langsung mata orang yang dicintai.
Namun, Nofret menyadarinya. Dihindarinya tatapan
menghujam Andika, dengan membuangnya jauh-jauh ke tempat lain.
Begilu tangan Nofret terangkat, sekonyong-konyong udara di sekitarnya berubah
dingin membekukan. Uap di sekitar tangan gadis itu bahkan telah berubah mcnjadi
butiran-butiran es kecil. Siap meremukkan batok kepala Andika!
Dalam keadaan lemah seperti itu, bagaimana cara
Pendekai Slebor menyelamatkan diri"
"Hihl"
Tanpa menoleh lagi, sepasang tangan berhawa
memkukan Nofret turun deras ke sisi-sisi kepala Pendekar
Slebor.Bagi Andika sendiri. jangankan menghindar.
Mengangkat tangan untuk menangkis hantaman maut
Nofret saja, sudah begitu sulit. Tubuhnya sudah setengah membeku. Tapi. siapa
lagi yang hendak menyelamatkan dirinya?"Wahai, Penguasa Semesta! Beri aku
kekuatan!"
mohon Andika dalam hati dalam kejap-kejap menentukan.
Setelah itu. Pendekar Slebor memusatkan seluruh
perhatian kesatu titik terdalam direlung hatinya. Dia harus berontak dari
kebekuan itu! "Heaaa!"
Beriring teriakan mengguntur yang menggetar
dinding lorong. Andika memecah kekakuan dalam dirinya.
Penghimpunan tenaga sakti yang dipusatkan, menentang belenggu kebekuan dalam
tubuhnya. Plak! Dan Andika berhasil menjegal hantaman tangan
Nofret. Bahkan dalam sekejap, langannya bergerak.
Sisa tenaga sakti di tangan digunakan dalam selang waktu yang begitu singkat,
untuk menghajar ulu hati gadis jelita ini.
Dugh! "Aaakh!"
Nolret kontan memekik. Tubuhnya kontan terlempar
deras ke belakang dan baru bertienti meluncur ketika dinding batu alam kokoh
menghadang. Dan bagian
belakang kepalanya pun terbentur keras.
Krak! Terdengar suara tengkorak yang retak. Sesudah itu sunyi. Nofret melorot
perlahan, di sisi tembok tanpa nyawa.
Malaikat maut terlalu cepat menjemput dara mempesona yang telah menjadi tumbal
kebejatan gurunya.
"Nofret.... Nofret. .," panggil Andika masih dalam gigil.
Ingin sekali pemuda itu memburu ke tubuh Nofret.
Mendekap dan memeluk erat-erat. Biar bagaimanapun, Andika sadar kalau gadis yang
sempat menitipkan pesona
dan tanda-tanda cinta itu sebenarnya hanyalah korban. Tak lebih dari itu.
Apa mau dikata" Yang bisa diperbuat Pendekar
Slebor hanya menyilangkan tangan di dada. Rasa dingin masih terus merajamnya.
Tubuhnya menyusut sampai
tertelungkup rapat.
"Nofret..., maafkan aku...." Masih sempat terdengar desis lirih pemuda itu.
*** Hari masih muda, mulai menggeliat di luar Piramida
Tonggak Osiris. Matahari menampakkan tepinya yang matang kemerahan. Gurun cukup
ramah. Sejuk adalah sapanya.
Pagi itu, sisa para undangan berhasil keluar dari piramida yang telah menuntut
sekian tumbal nyawa.
Andika ditemukan rombongan Chin Liong yang berusaha keluar dari tempat terkutuk
itu. Si Gila Petualang sendiri pergi meninggalkan
piramida dengan bara tetap mcmbakar di dada. Rencana besarnya telah luluh
lantak. Namun dia masih memelihara sehimpun dendam. Itu sebabnya para undangan
dapat keluar dengan mudah setelah kepergiannya.
Di laut lepas sana. ada peisjalangan maut baru
menanti mereka.....,
Tunggu serial Pendekar Slebor Selanjutnya
PEROMPAK-PEROMPAK LAUT CINA
Lembah Patah Hati 3 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Makam Bunga Mawar 34
^