Pencarian

Perserikatan Setan 1

Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan Bagian 1


PERSERIKATAN SETAN Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode: Perserikatan Setan
128 hal. 1 Matahari menggarang tanah Jawa. Kemarau ma-
sih saja belum puas mengeringkan tanah. Bumi makin
kepayahan, terengah-engah. Manusia masih banyak
yang belum juga menyadari kenapa semuanya terjadi.
Tak beda dengan bagian tanah Jawa lainnya, wi-
layah Wetan Jawa juga dilibas kemarau. Di salah satu sudut wilayah tersebut,
tepatnya di tepi hamparan ladang kerontang, sedang terjadi bentrokan hebat.
Bentrokan berlangsung antara seorang pemuda
tampan berperawakan gagah. Di antara kelebatan ge-
raknya yang cepat, gesit, dan tangkas, tampak samar
warna pakaiannya. Hijau pupus. Dengan selembar
kain bercorak catur di tangannya. Rambut pemuda itu
ikal panjang sebatas bahu. Berkibaran liar terseret angin dari gerakan setiap
jurus. Lawan yang dihadapi seorang lelaki hitam. Tu-
buhnya kurus kering. Mungkin sekering tanah yang
sedang dilanda kemarau. Bertolak belakang dari kea-
daan tubuhnya, gerakannya justru memperlihatkan
kehebatan luar biasa. Sulit mencari tandingan, bahkan untuk seorang pendekar
sakti tanah Jawa seperti sang lawan yang sudah dikenal oleh dunia persilatan
sebagai Pendekar Slebor!
Tanpa pakaian, kecuali semacam kain putih
kumal berupa cawat penutup bagian auratnya, si lelaki kurus kering pun tak kalah
lincah, tak kalah gesit, tak kalah cepat dari pendekar muda pewaris kesaktian
Pendekar Lembah Kutukan yang tengah dihadapi.
Menjelang satu hari penuh pertarungan mereka.
Dimulai ketika hari menjelang pagi kemarin. Dan terus berlangsung hingga saat
ini, ketika matahari mulai
hendak muncul kembali ke pelipis sebelah timur tanah
Jawa. Keadaan keduanya sudah sama-sama melemah.
Tenaga mereka tentu saja sudah banyak terkuras.
Pendekar Slebor selaku ksatria muda yang sudah ba-
nyak makan asam garam, bukan tak merasakan ba-
gaimana beratnya pertarungan sehari semalam seperti
itu. Dia sendiri begitu letih. Rasanya yang tersisa cuma semangat tarung untuk
mempertahankan nyawa. Segenap sendinya sudah terasa bagai dibalut dengan
lumpur lahar panas. Sekujur permukaan kulitnya te-
rasa sepedih luka tersiram air cuka. Sementara selu-
ruh jaringan otot dan serat dagingnya sudah bagai di-rebus di atas air mendidih!
Andika, alias si Pendekar Slebor tak henti-
hentinya mengherankan daya tahan lawan hingga saat
itu. Sepanjang pengetahuannya, lawan bukanlah tokoh
dunia persilatan berilmu tinggi. Sewaktu pertama kali berjumpa, Amitha lelaki
India yang menjadi seterunya ini hanyalah seorang lelaki desa biasa. Bahkan dia
hanya bisa menangis meraung-raung mendapati is-
trinya menjadi mayat di belakang gubuk mereka. (Ba-
calah episode sebelumnya: "Macan Kepala Ular")!
Kini, hanya dalam beberapa pekan, dia telah
menjelma menjadi seorang mandraguna. Ilmu kanura-
gannya mungkin bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh
sesat Penguasa Laut Cina yang pernah dihadapi Pen-
dekar Slebor dulu (dalam episode: "Perompak-
Perompak Laut Cina")!
Apa yang sesungguhnya telah dialami Amitha ke-
tika terakhir kali dia menyadari dirinya berada dalam liang lahat terbuka"
Saat itu, Amitha tak mempunyai pikiran apa-apa
tentang keberadaan dirinya. Satu-satunya yang terbe-
tik di benak saat itu bahwa dirinya sudah gagal mem-
pelajari Kitab Ular dan Macan. Kegagalan itu menye-
babkan nyawanya terlempar dari raga. Dia mati, sim-
pulnya. Dan dia berada dalam liang kuburnya sendiri.
Tapi mungkinkah dirinya dikubur, sementara liang itu sendiri dalam keadaan
terbuka. Karena ingin tahu keadaan sebenarnya, Amitha
berdiri. Tinggi lubang tak jauh berbeda dengan tinggi tubuhnya. Karenanya dia
dapat dengan leluasa menyaksikan keadaan di luar lubang. Matanya dipaksa
membelalak sebesar mungkin menyaksikan sesuatu di
luar sana. Ada sebentuk bayangan yang dilapisi pendar-
pendar cahaya merah api berkabut, tegak tepat di sisi lubang. Ketika
diperhatikan, bentuk bayangan itu me-nyerupai tubuh seekor macan. Yang ganjil,
di lehernya tidak terlihat bentuk bayangan kepala seekor macan,
melainkan sekumpulan ular-ular yang bergerak nya-
lang ke segenap arah. Sebagian mematuk-matuk entah
ke mana, seolah memangsa apa pun tanpa terkendali.
Bayangan itu tak hanya memancarkan pendaran ca-
haya merah api, tapi juga memancarkan panas teramat
sangat. Amitha merasa seperti amat dekat dengan ger-
bang neraka! Semestinya Amitha mengalami kegugupan dan
ketakutan luar biasa menyaksikan pemandangan yang
baru sekali itu dilihat sepanjang hidupnya. Tak demikian yang dialami si lelaki
India itu. Tak ada ketakutan sama sekali. Tak juga ada kegugupan. Sebaliknya,
dia justru merasakan dorongan liar dari dalam dirinya untuk mendekati bayangan
aneh tadi. Dari liang kubur terbuka, Amitha berusaha ke-
luar. Ada lagi satu keanehan dirasakan lelaki itu. Tubuhnya terasa begitu
ringan. Dia tak merasakan sedi-
kit pun bobot tubuhnya. Seolah gaya tarik bumi tun-
duk kepadanya. Dengan mencoba-coba, Amitha beru-
saha keluar melompati mulut liang. Dihentakkannya
kaki dari dasar lubang. Kejadian menakjubkan pun
terjadi. Tubuhnya melayang lebih ringan dari selembar bulu. Hentakan kaki
barusan melontarkan tubuhnya
di luar perkiraan. Bukan cuma mulut liang terlewati, lebih dari itu tubuhnya
melayang sejauh lima belas
tombak ke udara!
Tatkala hinggap, Amitha sudah berdiri tak jauh
di sisi bayangan terpendar cahaya panas tadi. Meski
terasa amat panas luar biasa, kulit lelaki itu tak mele-puh. Itu juga keanehan
lain lagi. Untuk semua keganjilan tersebut, Amitha ham-
pir-hampir tak bisa percaya kalau dirinya tidak sedang bermimpi.
Tak tahu harus melakukan apa, Amitha hanya
menatapi bayangan berpendar tadi dengan perasaan
tersiksa. Panas luar biasa itu makin menjerang kulit.
Sementara, dorongan asing dalam dirinya terus meng-
hentak-hentak, menitahnya untuk terus mendekat dan
mendekat. Dalam jarak yang sudah sedekat itu, tentu
saja benak Amitha mengartikan lain. Hatinya bukan
saja didorong untuk mendekat, melainkan masuk ke
dalam bayangan berpendar tadi.
Masuk" Apa itu bukan pikiran sinting" Risau ha-
tinya. Sementara dalam jarak cukup jauh saja, panas-
nya sudah terasa menyiksa. Apalagi jika dia harus masuk ke dalam bayangan
berpendar tadi.
Meski pikirannya berkutat menolak, dorongan as-
ing dalam hatinya malah semakin rusuh, merebak dan
meledak-ledak. Sampai tanpa sadar, kaki Amitha mu-
lai beringsut perlahan. Hanya perlu dua tindak untuk benar-benar masuk ke dalam
jangkauan bayangan
berpendar tadi. Hanya dua tindak, tapi rasanya Amitha melangkah selama berabad-
abad di permukaan gurun
pasir tandus. Meletihkan. Menyiksa.
Dan ketika tubuhnya benar-benar tertelan
bayangan tadi, tercipta kembali keganjilan baru! Apakah deraan panas telah
menghilang" Tidak. Panas itu
tidak hilang sama sekali. Bahkan panasnya makin
menjadi-jadi. Amitha dipaksa untuk menjerit sekuat-
kuatnya, sekeras-kerasnya. Tapi tak ada lolongan yang terdengar, meski urat
lehernya sudah terasa hendak
putus. Yang aneh, setelah itu Amitha diperintahkan
oleh sesuatu dalam dirinya untuk tak mempedulikan
lagi. Sampai rasa panas itu benar-benar berdamai
dengannya, sebagaimana banyak penganut yoga ber-
damai dengan rasa sakit saat tidur di atas kayu berpa-ku! Setelah itu semuanya
berubah. Amitha menemu-
kan dirinya sudah berada di tengah-tengah ladang kering, tempat dia selanjutnya
membantai orang-orang
persilatan. Dan kini, tempat itu dijadikan ajang pertarungan antara dirinya
dengan Pendekar Slebor.
Sebelum menjalankan seluruh terornya di tempat
tersebut, Amitha melakukan penyelidikan ke beberapa
tempat. Dia menanyakan pada beberapa orang persila-
tan mengenai seorang pemuda tampan berpakaian hi-
jau pupus, berambut ikal panjang tak terurus, dan
berkain corak catur pada bahunya.
Didatanginya jantung kadipatenan. Sebagai pusat
pemerintahan daerah, di sana banyak orang berkum-
pul. Dari pejabat sampai penjahat. Dari tukang obat
sampai penjilat, orang sehat sampai orang seka-rat.
Sudah pasti pula di sana banyak berkeliaran warga
persilatan. Suatu kali, Amitha bertemu dengan seseorang.
Dari penampilan dan pakaiannya, orang itu memperli-
hatkan kalau dirinya warga persilatan. Kumisnya bap-
lang hampir selebar ujung cobek. Tak mengapa kalau
tubuhnya kekar berotot. Ini orang cuma kumis saja
gemuk, tubuhnya sendiri kurus kering. Jangan-jangan
tubuh dengan kumis lebih berat kumis. Jangan-jangan
juga, dia selalu berjalan terhuyung-huyung ke depan!
Kumis sangarnya diimbangi dengan penampilan
serba hitam. Celana pangsi hitam, kemeja tak berkerah dan tak berkancing hitam,
ikat kepala hitam, sandal
ikat hitam, ikat pinggang hitam, sarung golok hitam, kulit pun hitam. Kalau ada
yang tak hitam, cuma panu sebesar jempol Pak Tani di samping udelnya.
Dengan berjalan bak jawara baru jadi, lelaki itu
menyusuri jalan jantung kadipaten menuju alun-alun.
Amitha mengikuti di belakang.
Lama-kelamaan, lelaki hitam berkumis baplang
tadi merasa ada yang menguntit. Dia berhenti melang-
kah. Kepalanya menoleh penuh lagak. Ketika itu, Ami-
tha sudah cepat bergerak ke balik pohon besar.
"Cuih!"
Lelaki kurus tadi meludah. Entah apa maksud-
nya. Apa mungkin dia telah mengetahui kalau orang
yang menguntit telah bersembunyi"
Tanpa banyak urusan, lelaki itu melanjutkan per-
jalanan. Namun, Amitha merasa dia telah diketahui
oleh lelaki itu. Dia tak ingin berlama-lama lagi. Lagi pula, tempat yang
dilewati sudah cukup sepi. Amitha
tak mau usahanya mencari pembunuh Neelam diketa-
hui oleh buruannya terlebih dahulu. Oleh karena itu, dia berusaha bekerja diam-
diam dahulu. "Hei, berhenti kau"!" seru Amitha di belakang lelaki tadi.
Lelaki tadi menoleh acuh.
Amitha berjalan mendekat.
"Katakan padaku, apakah kau kenal dengan seo-
rang pemuda tampan berpakaian hijau, berambut pan-
jang dan memiliki kain bercorak catur?" tanya Amitha, ketika sudah berdiri di
depan lelaki tadi.
Si lelaki berkumis baplang mendengus. Ditatap-
nya Amitha dengan ujung mata. Sambil melinting-
linting ujung kumisnya, dia mengajukan pertanyaan
balik. "Apa kepentinganmu dengan orang itu?"
Aku punya urusan dengannya, dan itu bukan
urusanmu."
"Kalau begitu, kau tanyakan saja ludahku," kata lelaki hitam berkumis. Dia
meludah. "Cueh!"
Amitha hilang kesabaran. Giginya bergemeletu-
kan. Rahangnya mengeras.
"Kau tak bisa pergi begitu saja sebelum kau menjawab pertanyaanku!" ancam
Amitha, ketika lelaki yang dihadangnya hendak melanjutkan langkah.
"Kau kira, kau ini siapa heh" Bera..."
Belum selesai bacot si lelaki berkumis bercuap-
cuap seperti mujair, tangan Amitha langsung men-
cengkeram leher bajunya.
"Katakan padaku, atau kau tak bisa hidup sam-
pai akhir siang ini!" bentaknya murka. Meledak persis di depan hidung nongkrong
si lelaki berkumis.
Detik ini juga, wajah si lelaki berkumis baplang
memucat. Cuping hidungnya kembang kempis. Ma-
tanya mendelik.
"Ja... jangan. Say... saya jangan di... dibun... dibun... dibunuh...."
"Jangan banyak mulut! Katakan saja padaku
apakah kau kenal dengan orang yang kusebutkan"!"
hardik Amitha tak sabar.
"Glk.... Tid... tid...," gagap si lelaki berkumis sambil menggeleng-gelengkan
kepala sekuat-kuatnya.
Lagi-lagi kalimatnya tersunat oleh kegugupan sendiri.
"Tak mungkin! Kau pasti kenal! Aku yakin kau
orang persilatan!" desak Amitha. Cengkeramannya di-keraskan. Dihentak-
hentakkannya tubuh lelaki itu.
Kepala lelaki berkumis menggeleng-geleng lebih
keras lagi. Lebih seru lagi.
"Buk... buk...."
"Bukan" Kau bukan orang persilatan"!"
"Ho... oh!"
Amitha melepaskan cengkeramannya dengan ka-
sar. "Lalu kenapa kau berpakaian seperti orang persilatan"!" susul Amitha.
Lelaki berkumis baplang cengengesan.
"Say... saya mau main ketoprak.... Di... di alun-alun. He he he!" Sewaktu
tertawa susah payah dan takut-takut, kumis baplangnya mendadak jatuh ke ta-
nah. Pluk!

Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amitha gusar. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.
Dia hanya dendam pada orang-orang persilatan yang
telah merenggut nyawa istrinya. Khususnya pada pe-
muda berpakaian hijau yang dianggap sebagai pembu-
nuh istrinya. Sedangkan lelaki ini cuma rakyat jelata.
Amitha melangkah galau. "Tu.., an!" tahan lelaki tadi. Amitha menoleh.
"Biar saya bukan orang persilatan, tapi sedikit banyak saya tahu siapa orang
yang Tuan tanyakan...,"
sambung si pemain ketoprak. "Kalau tak salah, orang yang sedang Tuan cari
berjuluk Pendekar Slebor. Ma-sa' ya, Tuan tidak kenal dengan nama besar itu.
Tuan pura-pura barangkali, ya" Iya, kan?"
Pendekar Slebor! Amitha memakukan nama itu
kuat-kuat di dalam benaknya. Sekarang pencariannya
menemukan titik terang.
Sejak kejadian tengik itu, Amitha merubah ren-
cananya. Dia tak melanjutkan penyelidikan. Diubah-
nya rencana dengan memancing keluar Pendekar Sle-
bor. Caranya dengan membuat kegemparan di kalan-
gan persilatan. Dibunuhnya orang-orang persilatan
yang melewati ladang kering tempatnya.
Usaha itu akhirnya membawa hasil. Pendekar
Slebor yang dicarinya terpancing juga mendatangi
tempat tersebut.
*** 2 Kembali ke pertarungan. Saat itu, Amitha meng-
hentikan serbuan serangan-serangannya terhadap
Pendekar Slebor. Dia mengambil jarak cukup jauh.
Berdiri dengan sikap sarat permusuhan, dia pun ber-
seru. "Kau tak akan lolos begitu saja, Pendekar Slebor!
Hutang nyawa harus dibayar nyawa!"
"Apa maksudmu, lelaki India?"
"Jangan berpura-pura, Pendekar Slebor! Kau pi-
kir aku semacam bocah kecil yang begitu mudah kau
kibuli"!"
Kening Andika berkerut rapat. Diingat-ingatnya
sesuatu. Sewaktu pertama kali bertemu Amitha, dia
ingat dirinya dituduh sebagai pembunuh istri lelaki itu.
"Ooo," bibir Pendekar Slebor membulat. "Kau tetap menyangka aku sebagai pembunuh
istrimu, begi- tu?" sambungnya. Kepalanya mengangguk-angguk ke-bodoh-bodohan.
"Kini aku hendak menuntut hutang nyawa itu!"
tandas Amitha. "Keliru! Kau keliru. Aku tidak membunuh istri-
mu. Lagi pula apa alasanku membunuhnya?" sangkal Pendekar Slebor. Perempuan
selangsing biang badak
seperti dia, jangan lagi berurusan dengannya, melihatnya saja aku sudah tak
punya selera, rutuk Pendekar
Slebor dalam hati.
"Peduli setan dengan alasanmu!"
Andika jengkel juga dipersalahkan terus. Apalagi
menghadapi kekeraskepalaan Amitha, meski Andika
sendiri berkepala batu. Bisa-bisanya dia tidak peduli pada pembelaan diri
Pendekar Slebor. Rasanya, Andika ingin mencak-mencak ketika itu juga.
Pendekar Slebor mengeluarkan sesuatu dari balik
pakaian. "Ini... lihatlah ini," ujarnya seraya memperlihatkan kalung di telapak tangan
kanan. Benda itu
yang ditemukan di tangan mayat Neelam.
"Aku menemukannya tergenggam di tangan
mayat istrimu."
Sejenak Amitha memperhatikan benda tadi den-
gan teliti. Sampai saat itu, dia belum bisa menduga
apa maksud si pemuda pewaris kesaktian Pendekar
Lembah Kutukan itu. Tapi, setidaknya dia mengerti,
ada sesuatu yang hendak disampaikan padanya. Se-
dangkan kecurigaan tetap tumbuh dalam dirinya.
Menyaksikan Amitha cuma memperhatikan ka-
lung di tangannya, Pendekar Slebor merasa jengkel la-gi. Digadaikan ke mana otak
lelaki ini. Apa tempurung kepalanya cuma berisi martabak" Makinya membatin.
"Kau tidak tahu alasanku memperlihatkan benda
ini padamu?" ujar Pendekar Slebor.
Bukan menjawab, Amitha malah mendengus.
Slompret, dia benar-benar tak berotak! Maki An-
dika lagi. "Maksudku, aku yakin pemilik benda inilah yang
telah membunuh istrimu. Mungkin istrimu sempat me-
raihnya sewaktu dia hendak dibunuh dari leher orang
itu. Kau mengerti maksudku?"
"Kenapa aku harus percaya pada bualanmu,"
dengus Amitha. Dia tak percaya.
"Bualan...," Andika merutuk. Sebenarnya, Pendekar Slebor memang tidak bisa
meyakinkan Amitha ka-
lau dia tak membunuh Neelam hanya dengan memper-
lihatkan kalung tadi. Jadi, apa yang mesti di-
lakukannya kini" Dia mati kutu.
"Bisa saja kau membuat cerita itu. Sedang kalung itu, bisa saja kau menemukannya
dari satu tempat.
Entah di mana. Dan bukan dari telapak tangan jena-
zah istriku!" Amitha makin menyudutkan posisi Pendekar Slebor.
"Mampus aku...," bisik Pendekar Slebor. Ditam-parnya kening sendiri.
"Jadi, bersiaplah kau untuk mampus!" terabas Amitha, tak memberi kesempatan bagi
Pendekar Slebor
untuk membela diri lagi.
"Tapi aku bukan pembunuh istrimu, ngaco!" hardik Pendekar Slebor sewot. Sekarang
dia benar-benar
mencak-mencak tak karuan. Hari sudah panas begini.
Ada lagi manusia yang bikin otak si pendekar muda
bertambah panas. Kepalanya tidak mengebul saja su-
dah untung.... "Nenek moyang ular kadut juga tahu kalau aku
tak mungkin membunuh istrimu, tahu" Aku tak punya
urusan apa-apa dengannya. Seperti aku tak punya
urusan denganmu, Slompret! Kalau otakmu waras,
kenapa kau tak meneliti dulu secara benar persoalan-
nya!" Pendekar muda yang tak cuma keras kepala tapi juga sering 'angot-angotan'
itu sekarang malah berte-riak-teriak. Khotbah tukang obat pasti kalah seru!
"Aku tak peduli pada semua ocehanmu!" balas Amitha, tak mau kalah.
Kalau sudah begitu, Pendekar Slebor mau bilang
apa" Pikir punya pikir, biarpun saat otaknya sedang
simpang-siur, Pendekar Slebor memutuskan untuk
pergi saja. Biar sekali ini dia dikatakan pecundang kek,
pengecut kek. Pokoknya dia tak peduli.
Dia cuma tak mau terus berurusan dengan Ami-
tha. Mengenai tuduhan Amitha, besok juga masih ada
waktu, pikir Andika.
Pendekar Slebor pun buron.
"Pengecut! Jangan lari kau! Hadapi aku!" teriak Amitha. Giliran dia yang mencak-
mencak. Lelaki India itu tak cuma berniat mencak-mencak
rupanya. Dengan sigap, dia menggenjot tubuhnya. Di-
kejarnya kelebatan lari Pendekar Slebor dengan ke-
sempurnaan peringan tubuh yang tak kalah menga-
gumkan dibanding buruannya.
*** Ada yang bilang manusia selalu tidak puas den-
gan keinginannya. Keinginan yang terpenuhi hari ini, besok akan lain lagi. Kalau
diberi emas, manusia lalu ingin permata. Walau sudah mendapat bukit, manusia
hendak memiliki gunung.
Bagi Petaruh Sakti Perut Buncit, penyakit keba-
nyakan manusia itu benar-benar merajalela dalam di-
rinya. Serangan hama tikus di sawah bahkan kurang
ganas dibanding penyakit aneh manusia satu ini.
Kesaktian manusia berperut gentong satu ini se-
benarnya sudah terbilang tinggi. Nyai Silili-lilu saja masih berada satu tingkat
di bawahnya. Kalau hendak
dicari bandingan, mungkin Ki Saptacakra alias Pende-
kar Lembah Kutukan yang pantas untuknya. Selisih
kesaktiannya mungkin hanya sedikit lebih rendah. Di
samping itu, Petaruh Sakti Perut Buncit kalah di usia.
Sesepuh dunia persilatan golongan putih Ki Saptaca-
kra lebih tua darinya sekitar sepuluh tahun.
Entah bagaimana caranya dua manusia langka,
Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit dulu bisa
menjalin tali asmara. Jelas-jelas kakak perempuan Ki Saptacakra itu jauh lebih
tua darinya. Kalau mau dibi-lang Nyai Silili-lilu dulunya bagai primadona
persilatan, siapa yang mau percaya" Atau barangkali Petaruh Sakti Perut Buncit
waktu itu sudah putus harapan untuk mendapatkan perempuan yang lebih agak
'beres' ketimbang Nyai Silili-lilu" Sampai dia pun akhirnya
'memasrahkan' diri menjadi kekasih perempuan seten-
gah edan" Ah, siapa yang peduli! Toh, Petaruh Sakti
Perut Buncit pun memang setengah edan!
Alkisah, dua manusia yang semestinya sudah
masuk liang lahat itu sedang asyik bergandengan me-
nuju Pesisir Pantai Laut Selatan. Bak muda-mudi yang dimabuk kasmaran, mereka
bersenandung. Riang tidak riang, merdu tidak merdu, keduanya tidak peduli.
Padahal orang bertelinga waras justru mengira senan-
dung mereka suara iring-iringan lebah ngamuk.
Biar saja, mungkin begitu pikir mereka. Dalam
kasmaran, tak peduli tua bangka seperti mereka, du-
nia benar-benar bagai milik berdua. Kalau ada orang
lain, cukup bayar sewa!
Mereka sudah menginjakkan kaki di pantai. Je-
jak-jejak mereka jauh memanjang di belakang, men-
guntit pemiliknya.
"Apa tujuan kita ke tempat ini sebenarnya, Bun-
cit?" tanya Nyai Silili-lilu. Disebutnya bekas kekasihnya. (Yang kini tampaknya
akan menjadi kekasih kem-
bali. Gombal)! Dengan sebutan seenak perut. Perem-
puan uzur macam dia memang sulit menghargai siapa-
siapa. Tak juga kekasihnya.
"Firasatku mengatakan aku harus segera kembali
ke tempat ini."
"Ah, firasat apa"!"
"Firasat ya firasat."
"Firasat baik atau buruk, maksudku begitu
brengsek!"
"Siapa peduli, mau firasat baik kek, buruk kek.
Mau firasat tai kucing kek.... He he he...!"
"Hikhikhik!"
Seseorang tahu-tahu berkelebat memotong jalan
mereka. Sekaligus memenggal obrolan ngawur tadi.
Angin larinya begitu kuat. Tubuh kedua bangkotan itu sampai terhuyung. Rambut
Nyai Silili-lilu jadi tak karuan. Lebih tak karuan dari bongsang yang dicekeri
ayam. Dedaunan di dahan-dahan pohon yang dipakai
untuk menutupi tubuhnya berhamburan. Manusia tua
jelek itu jadi tambah jelek saja.
"Kunyuk! Siapa yang sudah merasa punya nyali
membuat perkara denganku!" semprot Nyai Silili-lilu.
Air liurnya terbang bersama bentakannya. Wajahnya
terlipat. Entah berapa lipatan.
Di sebelahnya, Petaruh Sakti Perut Buncit masih
saja terhuyung-huyung. Perut buncitnya tak bisa ber-
damai pada saat seperti itu. Dia agak kewalahan kare-na kelebihan bobot pada
bagian tersebut.
Setelah berhasil menguasai keseimbangan den-
gan bantuan tombak bermata golok besarnya yang di-
tancapkan di tanah, dia berkata dengan napas teren-
gah-engah. "Sudah kubilang, perut sial ini dari dulu selalu bikin aku repot. Aku mau makan
sedikit tapi tidak bi-sa. Kalau makanku tetap saja seperti karung bolong,
mana bisa perutku menjadi kecil...."
"Diam kau, Buncit!" bentak Nyai Silili-lilu. Perempuan tua itu sedang bersiaga.
Mata kelabu yang
tak kalah tajam dengan pandangan seekor rubah beti-
na mencari-cari si pembuat ulah barusan.
"Itu tadi perbuatan siapa, heh" Berani-beraninya dia mengerjai kita!" tukas
Petaruh Sakti Perut Buncit gusar. "Apa dia ingin menantang aku bertaruh untuk
mengadu kesaktian"!"
"Diam, makanya kau diam! Aku sendiri sedang
mencari tahu siapa orang sialan itu!"
"Kau sudah melihatnya"!"
Mata Nyai Silili-lilu melotot.
"Kalau aku sudah melihatnya, tentu saja sudah
aku hajar dia! Kau ini kenapa tolol sekali!"
"Aku tidak tolol! Jangan sebut aku begitu,
Sayang.... Aku cuma tersinggung karena kemesraan ki-
ta diganggu...."
"Ah, tai kucing!"
"He he he!"
"Ssst!" Nyai Silili-lilu mendekatkan jari telunjuk keriputnya ke depan bibir.
"Ada apa" Ada apa?"
"Aku mendengar suara kelebatan lagi!"
"O, itu tadi aku buang 'angin'..."
Dugh! "Sial kau!" maki Nyai Silili-lilu setelah mendahu-luinya dengan sikutan keras ke
udel Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Ssst!" Tanpa perlu merasakan sakit di perutnya, Petaruh Sakti Perut Buncit
ganti mendesis.
"Ada apa, Buncit" Kau dengar sesuatu?"
"Kau tidak buang 'angin', kan?"
"Tidak! Perutku tidak sejenis perutmu! Kau den-
gar apa tadi?"
"Ada yang berkelebat ke arah kita dari timur,"
lanjut si tua buncit berbisik.
Keduanya segera berbalik. Dan tiba-tiba saja....
Bruk! "Kutu busuk bedebah bau congek kurang ajar!
Apa-apaan kau ini, Pemuda Sial"!" maki Nyai Silili-lilu tak terputus sepanjang
ular kadut. Seseorang melanggar tubuh mereka berdua. Membuat dua tua bangka
itu jatuh terduduk seperti dua bocah tak berdosa di
atas pasir pantai.
Pelanggarnya sendiri ikut jatuh terduduk. Na-
pasnya masih terengah-engah kalang kabut. Orang itu
ternyata Pendekar Slebor.
"Mohon beribu maaf, Uwak! Aku tadi tak melihat
kalau Uwak dan Pak Tua Buncit sedang berjalan di si-
ni...," hatur Andika sambil memperlihatkan cengiran memelas.
"Makanya kalau lari matamu dipasang di kepala,


Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan di pantat!" Nyai Silili-lilu belum puas memun-tahkan kemangkelannya pada
sang cicit kemenakan.
"Kalau begitu, aku mohon ber'juta' maaf, kalau
'seribu' belum cukup...."
Nyai Silili-lilu bangkit terseok, masih dikawal
dengan semburan mautnya. "Jangan main hitung-
menghitung! Aku bukan pedagang! Kalau kau benar-
benar mau minta maaf pada uwak buyutmu, sekarang
juga kau harus...."
"Cium tengkuknya!" sela Petaruh Sakti Perut Buncit, ngawur.
"Aaahhh, sudahlah!" tepis Nyai Silili-lilu. "Pokoknya kau ingat-ingat saja, kau
hutang 'kualat' padaku."
"Katanya Uwak bukan pedagang, kenapa harus
pakai hutang segala?" rengek Pendekar Slebor.
"Ya, sudah. Kalau begitu lunas!"
Andika bangkit dengan perasaan lega. Asal uwak
buyutnya bisa melupakan kesalahannya, dia sudah le-
ga "Sayang, bantulah aku bangkit...," rayu Petaruh Sakti Perut Buncit, belum
bisa mengangkat tubuhnya
dari pasir. "Minta tolong saja sama dedemit!" ketus si perempuan uzur.
Terpaksa Petaruh Sakti Perut Buncit bangkit
sendiri. Padahal dia bukannya tak bisa bangkit sendiri.
Sebagai seorang yang baru resmi menjadi kekasih
kembali, pantas untuk meminta sedikit kemanjaan.
Tapi, yang didapat malah kemangkelan.
"Memangnya kenapa kau lari-lari seperti setan te-lat buang hajat begitu, heh?"
tanya Petaruh Sakti Perut Buncit kemudian.
"Aku sibuk melihat ke belakang, jadi aku tak melihat ada kalian berdua di
depan," jawab Andika. Kepalanya menoleh kembali ke arah timur. Dia masih kha-
watir Amitha masih mengejarnya.
"Bukan itu yang kutanyakan! Maksudku, kenapa
kau lari" Apa kau mengejar sesuatu atau ada yang
mengejar?"
"Tentu saja. Apa aku sudah sinting lari-lari tanpa maksud?"
"Jadi kau mengejar sesuatu?"
Pendekar Slebor menggeleng. Lagi-lagi dia sibuk
menoleh ke arah timur.
"Kau ada yang mengejar?" susul Petaruh Sakti Perut Buncit.
Andika mengangguk.
"Kau ada yang mengejar?" ulang Nyai Silili-lilu, nimbrung. "Apa aku tak salah
dengar" Sejak kapan keturunan keluargaku jadi pecundang" Sejak kapan ke-
turunan keluargaku jadi pengecut hingga meski dike-
jar-kejar" Sejak kapan...."
"Cukup, Uwak!" sergah Andika. Otaknya bisa lebih keruh dari empang kalau uwak
buyutnya mencero-
coskan kata sejak kapan....
Nyai Silili-lilu baru mau hendak memaki. Meski
mata kelabunya sudah mendeliki Andika, caci makinya
dipenggal pertanyaan Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Kalau kau sedang dikejar, jadi siapa yang lari sebelum kau?"
"E, iya... ya...," gumam Nyai Silili-lilu, lupa pada kedongkolannya.
"Apa maksud kalian?" Andika ingin kejelasan.
"Sebelum kau melanggar kami, ada seseorang
berlari melewati kami. Ilmu lari cepatnya lumayanlah.
Kalau kuhitung-hitung, pasti akan seru kalau aku bertaruh untuk adu kesaktian
dengannya. Mungkin...."
Andika pening mendengarkan ucapan ngalor-
ngidul tak perlu si tua bangka berperut buncit.
"Sebentar! Sebentar, Pak Tua Buncit!" tahan Andika. "Kau dulu pernah bilang
kalau di tempatmu kau menyimpan beberapa kitab sakti yang belum kau pelajari?"
"Benul, eh benar... eh, betul, maksudku benar dan betul!"
"Lalu kau bilang juga ketiga murid murtadmu
berhasil masuk ke ruang rahasia penyimpanan kitab-
kitab itu, bukan?"
"Bukan, eh betul lagi!"
"Ke mana arah tempatmu?" cecar Andika.
Petaruh Sakti Perut Buncit menunjuk ke utara.
"Lalu ke mana arah kelebatan orang tadi?" lanjut Andika cepat.
Sekali lagi Petaruh Sakti Perut Buncit menunjuk
arah utara. "Apa kau tak curiga...."
Ucapan terakhir Andika segera diserobot Petaruh
Sakti Perut Buncit dengan teriakan serak memelas.
"Wadow, orang itu mungkin salah seorang yang
ditarik ketiga murid murtadku untuk membentuk Per-
serikatan Setan! Dan... tiga murid sial itu pasti sudah membocorkan tempat
rahasia milikku!"
"Itu maksudku, Pak Tua Buncit!" sambar Andika.
"Nyok... nyok... mending kita kejar saja itu orang, ketimbang kau merengek jelek
seperti itu, Buncit!"
usul Nyai Silili-lilu.
Mereka bergegas menggenjot kemampuan lari ce-
pat mereka. Seperti tiga ekor dedemit... kecepirit!
*** 3 Di tepi Kadipaten Karang Gantung, di tengah hu-
tan karet, sedang terjadi perang mulut antara dua
orang berbeda. Satu pihak adalah Katak Merah. Se-
dang yang lain Mata Dewa Kematian. Mereka sama-
sama ngotot, sama-sama bersikeras dengan pendapat
masing-masing. Wajah keduanya sudah menampakkan
tanda-tanda akan meledaknya pertarungan.
Beberapa hari setelah pertemuan rahasia sembi-
lan tokoh sesat dunia persilatan di batas Kadipaten
Karang Gantung, masing-masing pihak yang tersang-
kut mulai menyusun rencana besar yang bisa mem-
buat satu kegemparan hebat dunia persilatan.
Dalam hal ini, Pangeran Neraka mengajukan diri
secara bersemangat untuk menyusun rencana awal.
Yang lain cukup menanti hasil di tempat masing-
masing. Hal seperti itu tentu saja tak begitu saja diterima oleh para tokoh
sesat sekelas Tiga Datuk Karang dan si Gila Petualang.
Meski dalam pertemuan telah disepakati Pange-
ran Neraka yang memiliki keenceran otak cukup dian-
dalkan untuk menghasilkan satu rencana besar, Tiga
Datuk Karang diam-diam melaksanakan rencana me-
reka sendiri. Awalnya ketika mereka melihat kalung
yang dimiliki Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kema-
tian. "Kau lihat kalung yang dikenakan Dewi Kecu-
bung dan Mata Dewa Kematian?" bisik Datuk Kening Merah, orang tertua di antara
ketiga dedengkot kembar itu. Saat itu mereka mengadakan pertemuan diam-diam di
tengah malam, sehari setelah pertemuan raha-
sia di atas Kadipaten Karang Gantung.
Dua saudara kembarnya, Datuk Kening Ungu
dan Datuk Kening Perak hanya mengangguk samar.
Dari wajah ketiganya, tampak kesan bahwa mereka
sedang membicarakan satu masalah yang benar-benar
mengusik mereka. Ada sesuatu yang diketahui mereka
tentang kalung yang dimaksud.
"Petaruh Sakti Perut Buncit. Tampaknya para
pemilik kalung mengenal keparat buncit itu," desis Datuk Kening Perak, orang
termuda di antara mereka.
"Ya, kemungkinan besar buncit keparat itu telah menampakkan batang hidung pula
seperti kita..."
"Apa alasannya muncul kembali" Apa kalian ti-
dak bertanya-tanya dalam hati" Dia tak mungkin mau
muncul begitu saja tanpa alasan jelas...," timpal Datuk Kening Ungu.
"Itulah yang mengusik pikiranku. Mungkinkah
dia telah mengetahui kemunculan kembali kita, lalu
dia pun ikut turun ke dunia persilatan?" susul Datuk Kening Merah.
"Keparat itu selalu saja jadi penghalang besar ba-gi kita! Seperti juga
Saptacakra dan Nyai Silili-lilu lak-nat!" dengus Datuk Kening Perak, sarat
kegeraman. "Aku tak yakin dia sudah mengetahui kemuncu-
lan kita kembali. Dan Pendekar Lembah Kutukan bu-
suk itu pun aku yakin belum mengetahui. Kalaupun si
buncit itu muncul juga, aku yakin dia punya alasan
tertentu," simpul Datuk Kening Merah.
"Bagaimana dengan kedua pemilik kalung itu"
Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kematian" Apakah
mereka murid-murid si Buncit" Mungkinkah mereka
berpura-pura menyusun rencana besar untuk kita,
padahal mereka sengaja memancing kita keluar agar
nanti kita berhadapan dengan si Buncit."
"Tak mungkin. Kau tahu sendiri, orang seperti si Buncit dan Saptacakra tak akan
bertindak jika merasa tak perlu bertindak," sangkal Datuk Kening Merah pa-da
pendapat adik bungsunya.
"Bagaimana kalau si Buncit hanya ingin menan-
tang kita bertanding untuk satu pertaruhan?"
"Itu pun tidak mungkin!" sentak Datuk Kening Merah. Entah bagaimana ketika
pertanyaan terakhir
adiknya terangkat ke permukaan, bersama dengan itu,
terungkit pula kegusarannya. Tapi, kedua saudara
kembarnya tampak tahu jelas kenapa hal itu terjadi.
"Karena kita tak punya kitab sakti yang bisa di-pertaruhkan kembali! Kau ingat"
Bahkan kitab sakti
ilmu 'Karang Pamungkas' milik kita, satu-satunya
benda paling berharga yang belum lagi kita pelajari, sampai sekarang masih
berada di tangannya. Si Buncit keparat telah memenangkan pertaruhan waktu itu!
Padahal kitab itu berisi pamungkas kesaktian karang
kita.... Ibarat elang, kita belum punya cukup bulu
sayap untuk terbang, tanpa kitab itu!"
"Tanpa menyelesaikan isi kitab itu, kemungkinan kita makin kecil untuk
memenangkan pertarungan
menghadapi si Buncit atau Saptacakra!" Datuk Kening Ungu ikut merutuk.
"Itulah sebabnya, aku memutuskan untuk me-
menuhi undangan pembentukan Perserikatan Setan.
Aku berharap kita mendapat satu jalan untuk me-
nyingkirkan si Buncit, Ki Saptacakra, dan Nyai Silili-lilu!" Mata berurat merah
Datuk Kening Perak mendadak berbinar.
"Kini, tampaknya kita bisa mendapatkan kemba-
li!" cetusnya. Ada sesuatu yang terbersit dalam benak dedengkot satu itu.
Kedua saudara seperguruannya menoleh. "Je-
laskan maksudmu!" pinta Datuk Kening Merah.
"Kalau benar dua orang pemilik kalung itu memi-
liki hubungan dengan si Buncit, tentunya kita bisa
mengorek keterangan pada mereka di mana buncit ke-
parat itu menyimpan kitab pamungkas kita!"
Lalu, malam itu pula mereka mendatangi Mata
Dewa Kematian dan Dewi Kecubung. Jika perlu, keti-
ganya akan menculik mereka. Tapi, Tiga Datuk Karang
tak menemukan kedua orang itu di bangunan tua,
markas sementara mereka.
Pada saat yang sama, Dewi Kecubung dan Mata
Dewa Kematian rupanya sedang membicarakan siasat
untuk menyingkirkan Pendekar Slebor, salah seorang
penghalang besar pergerakan mereka.
Kebetulan yang mereka temui cuma Katak Me-
rah. Mereka ingat bahwa lelaki cebol itu pernah diper-kenalkan Dewi Kecubung
sebagai saudara perguruan.
Kemudian mereka pun mulai mengorek keterangan.
"Kau tak bisa seenaknya menunjukkan tempat
rahasia penyimpanan pusaka milik guru kita!" bentak Mata Dewa Kematian pada si
manusia bertubuh kerdil,
Katak Merah. "Dia bukan lagi guru kita! Kau harus ingat itu,"
bantah Katak Merah mengkelap, semengkelap lawan
perang mulutnya. "Lagi pula, apa perlunya lagi kita melindungi kepentingan tua
bangka berperut besar
itu"! Bukankah kita memang sudah murtad"! Kita
akan dipenggal kalau sampai tertangkap olehnya. Kau
pikir dia akan menghukum kita dengan menjewer te-
linga kita"!" gempur Katak Merah, sampai tubuhnya berjingkat-jingkat.
"Aku bukan mempermasalahkan tua bangka itu,
bodoh! Yang ku permasalahkan, bagaimana kalau be-
berapa kitab sakti itu jatuh ke tangan Tiga Datuk Karang!" Belum lama, Katak
Merah kedapatan sedang memberitahukan rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab
pusaka milik Petaruh Sakti Perut Buncit pada Ti-ga Datuk Karang. Padahal kakak
seperguruannya, Ma-
ta Dewa Kematian sudah mengingatkan untuk menu-
tup mulut tentang hal itu.
Katak Merah berpikir, kalau ketiga musuh lama
Pendekar Lembah Kutukan yang lama tak muncul di
dunia persilatan itu diberitahu, tentunya mereka akan lebih cepat mencapai
tujuan membangun satu kekuatan golongan sesat. Sebab, dengan begitu mereka ma-
kin per.... "Apa maksudmu" Biarkan saja mereka menda-
patkan kitab-kitab itu!"
"Bagaimana kalau mereka berkhianat pada selu-
ruh rencana kita" Apa kau telah yakin mereka tetap
akan mendukung terus rencana kita" Bagaimana ka-
lau mereka cuma menginginkan kematian Pendekar
Slebor dan seluruh keluarga Pendekar Lembah Ku-
tukan. Setelah itu, mereka akan menusuk kita dari belakang"!"
"Jangan berpikiran picik seperti itu, Kang!"
"Picik bagaimana"!"
"Justru dengan cara itu, kita dapat mengikat mereka. Mereka akan merasa yakin
kalau kita sungguh-
sungguh ingin memadukan kekuatan terhadap mere-
ka. Mereka jadi lebih percaya pada kita!"
"Ah, omong kosong! Kau pikir, kenapa mereka di-
anggap sebagai orang-orang golongan sesat" Karena
sikap mereka memang sikap sesat. Orang-orang sesat
seperti kita semestinya tak perlu diberikan keper-
cayaan sepenuhnya."
"Kalau begitu, kau pun pasti tak sepenuhnya
mempercayaiku. Begitu, Kang" Kau pun pasti akan se-
lalu siap menghantamku, karena kau setiap saat selalu mencurigaiku."
"Bangsat! Kau benar-benar tak bisa kuajak ber-
pikir matang! Otakmu memang kerdil seperti tubuh-
mu!" Mendengar makian keterlaluan kakak seperguruannya, Katak Merah mulai
mengkelap. "Jangan sembarangan bicara, Kang! Biar kau
pernah menjadi kakak seperguruanku, aku mampu
merobek bacotmu itu!"
"Keparat kerdil! Kau menantangku, rupanya!"
"Kalau itu anggapanmu, maka aku jawab ya!"
tantang Katak Merah, makin dianggap menginjak ke-
pala Mata Dewa Kematian yang merasa lebih tua sela-


Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku kakak seperguruan.
"Bangsat.... Hiah!"
Dua saudara seperguruan itu akhirnya memulai
baku hantam. Mata Dewa Kematian mengirim satu
tendangan samping teramat keras ke kepala saudara
seperguruannya.
Dengan tubuh sependek itu, tentu saja Katak
Merah tak mengalami kesulitan berarti menghindari
hantaman punggung kaki Mata Dewa Kematian. Cu-
kup hanya dengan merundukkan badan sedikit, sa-
puan kaki itu pun luput.
Secepat juluran lidah katak menyambar serang-
ga, cengkeraman Katak Merah terlepas ke selangkan-
gan Mata Dewa Kematian.
Crep! Terdengar bunyi santer menggebuk nyali. Mata
Dewa Kematian berhasil menghindar ke belakang den-
gan sekali jumpalitan. Suara tadi tercipta bukan kare-na cengkeraman Katak Merah
mengenai sasa-ran, me-
lainkan suara kekuatan jari-jari tangan milik Katak
Merah yang melakukan remasan teramat kuat. Jika
'kantong menyan' Mata Dewa Kematian terkena, tidak
disangsikan lagi dia akan kehilangan kejantanan un-
tuk selamanya. "Khrh... krok!"
Karena serangan baliknya tak mengenai sasaran,
kegusaran Katak Merah membludak ke ubun-ubun.
Dia memburu tubuh Mata Dewa Kematian ganas. Tu-
buhnya membungkuk lalu cepat melayang ke depan
seperti gerakan melompat seekor katak.
Dengan kepala merunduk, Katak Merah mencoba
menanduk punggung Mata Dewa Kematian yang se-
dang berjumpalitan.
Merasa ada angin kuat mengarah ke dirinya dari
belakang, dengan lincah dan gerakan yang cukup sulit dilakukan pada posisi
terbaliknya, Mata Dewa Kematian membuat putaran tangan di udara.
Wukh! Bagai sayap kincir angin terlepas dari rangkanya,
tubuh Mata Dewa Kematian berputar dalam keadaan
terbalik di udara.
Dash! Terjadi benturan hebat antara kening Katak Me-
rah dengan telapak tangan Mata Dewa Kematian. Aki-
batnya, dua saudara seperguruan itu terpental deras
ke belakang. Sesungguhnya, tampak jelas bagaimana hebat-
nya kealotan kulit kepala dan kekokohan tengkorak
Katak Merah. Hantaman telapak tangan Mata Dewa
Kematian mengandung tenaga dalam tingkat tinggi
yang dapat menggempur hancur batang pohon jati be-
sar. Yang dialami Katak Merah ternyata tak separah
batang pohon jati. Dia hanya melayang jauh dan ter-
puruk sekitar delapan tombak ke belakang. Dahan-
dahan pohon meranggas terkena terjangan tubuhnya.
Sebagian pakaian lelaki cebol itu terkoyak-moyak. Di lain pihak, Mata Dewa
Kematian terdorong tak kalah
jauh. Tanpa mengalami luka berarti, keduanya me-
nyentak tubuh dari tanah. Mereka bangkit dengan ke-
siapan masing-masing.
"Tunggu!" cegah Mata Dewa Kematian tiba-tiba.
Katak Merah menggeram. Terdengar bagai suara katak
yang hendak melakukan perkawinan.
"Kenapa" Apa kau takut mati membawa malu ka-
lau aku bisa mengalahkanmu!"
Mata Dewa Kematian tak mempedulikan cemoo-
han barusan. Matanya tegas-tegas mengarah pada ba-
gian bawah leher adik seperguruannya.
"Ke mana kalungmu"!" tanyanya dengan wajah diselubungi waswas memuncak.
Tak ada kecurigaan sedikit pun di dalam diri Ka-
tak Merah. Bisa saja timbul prasangka kakak sepergu-
ruannya akan mengelabui. Jika dia lengah sedikit,
maka Mata Dewa Kematian akan segera melancarkan
serangan mendadak. Tapi, Katak Merah tahu benar
watak kakak seperguruannya. Mata Dewa Kematian
bukanlah sejenis orang yang pandai berpura-pura.
Maka, Katak Merah cepat melirik ke arah yang
dimaksud. Dia tak kalah terperangah menyaksikan ka-
lungnya telah tiada lagi di tempat.
Cepat pula, matanya menjadi nyalang. Pandan-
gannya menebar kian kemari mencari-cari sesuatu
seakan yang dicarinya adalah potongan jiwa sendiri.
Seperti halnya Katak Merah. Mata Dewa Kema-
tian melakukan hal serupa. Dia turut mencari-cari.
Semak disibak kasar, rumput ditendangi. Yang dicari
tak diketemukan.
Sampai akhirnya keduanya berhenti. Mereka sal-
ing menatap. "Kau melihat kalungku terlepas"!" tanya Katak Merah nanar.
"Aku tak tahu!" Mata Dewa Kematian, terlihat se-panik adik seperguruannya. "Yang
jelas kalung itu tidak jatuh di sekitar sini...," tambahnya.
"Bagaimana mungkin kalung itu bisa raib begitu
saja?" geram Katak Merah. Paras wajahnya sudah mirip orang dijemput sakaratul
maut. Sebab yang kini hilang bukan benda biasa. Bukan! Melainkan....
*** 4 "Kejar! Kejar! Yang cepat larinya, Buncit Slompret!" Nyai Silili-lilu memaki-
maki serampangan selagi berlari mengejar orang yang melewati mereka. Meski
sampai saat itu belum tampak sosok kelebatan yang
dikejar, sikap si perempuan uzur itu sepertinya sudah melihat di depan jidat.
Tinggal Petaruh Sakti Perut Buncit kelimpungan
di belakang. Cara berlarinya benar-benar kalang-
kabut. Maklum dia harus berurusan dengan perut
'hamil tua'-nya. Jadilah dia berlari dengan perut te-rayun-ayun. Terlihat
seperti anggukan kepala gajah
tak berotak. Dia memang tokoh jajaran atas yang setaraf den-
gan Pendekar Lembah Kutukan. Tapi dalam soal lari
cepat, entah kenapa justru jadi masalah mana besar
bagi dirinya. Padahal, peringan tubuhnya tergolong sulit dicari tandingan.
Aneh juga kalau begitu. Apa mungkin, perutnya
semacam 'benda kualat', yang tak mau berdamai meski
dengan kemampuan peringan tubuh yang demikian
hebat. Atau jangan-jangan, dia benar-benar membawa
bayi dalam perutnya" Siapa tahu dia tak ingin bayinya celaka" Yah, siapa yang
tahu.... "Tunggu aku! Hoooiii, tunggu aku!" teriak Petaruh Sakti Perut Buncit. Tombak
bermata golok besarnya
teracung-acung ke atas. Sebelah tangan yang lain te-
rayun-ayun di udara, meminta untuk ditunggu.
Nyai Silili-lilu dan Pendekar Slebor di depan sana
seperti tak punya perasaan. Mereka tak mempedulikan
Petaruh Sakti Perut Buncit.
Pendekar Slebor sendiri sebenarnya telah menge-
rahkan segenap kemampuan peringan tubuh warisan
buyutnya. Dia pikir, akan bisa menandingi kecepatan
lari si perempuan bungkuk peot. Nyatanya, dia tetap
saja tertinggal di belakang. Itu yang namanya takdir barangkali. Takdir yang
menentukan Pendekar Slebor
harus selalu 'nunut' pada Nyai Silili-lilu. Sebab dengan tingkat kesaktian di
atas Andika, si pemuda itu tak bi-sa berbuat banyak menghadapi tingkah tengik
uwak buyutnya. Bertingkah sedikit saja, kalau tidak benjut ya kualat!
Di belakang sana, Petaruh Sakti Perut Buncit
masih bisa-bisanya terkentut-kentut. Masih bagus ka-
lau 'gas buangan'-nya dapat membantu mendorong ge-
rak larinya! Sekitar sepenanakan nasi ketiga 'makhluk' aneh
itu berlari, akhirnya orang yang dikejar tampak juga di kejauhan.
Syukur pikir Pendekar Slebor. Sebab makin lama
mereka berlari seperti itu, makin congkak saja uwak
buyutnya pamer kehebatan peringan tubuh.
"Lho, kau Saptacakra iler"! Dikira siapa"! Slompret benar kau, ah!" sembur Nyai
Silili-lilu begitu tiba di
dekat orang yang dikejar.
Ki Saptacakra sendiri sudah menghentikan lang-
kahnya. Semestinya, akan butuh waktu berhari-hari
atau mungkin berminggu-minggu untuk mengejar
orang sekelas dedengkot dunia persilatan seperti dia, meski Nyai Silili-lilu
adalah kakak perempuannya sendiri. Kalau kejar-kejaran selama itu, apa tidak
seru jadinya"
Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan,
buyut Pendekar Slebor memang tak berniat menggen-
jot larinya lebih jauh. Dia sengaja memperlambat agar jarak ketiga pengejar
dengan dirinya jadi cepat me-nyempit.
Belum-belum, Ki Saptacakra sudah mulai lari la-
gi. Sekarang dia tak ingin memperlambat gerak larinya.
Seperti semula, dia mengempos lagi kemampuan pe-
ringan tubuhnya sampai titik darah penghabisan, eh...
sampai titik puncak!
Napas Senin-Kamis Petaruh Sakti Perut Buncit
tersedak seketika. Dia harus mulai berlari lagi kalau tak ingin kehilangan
'kekasih tercinta' yang sudah pula mengekori Ki Saptacakra. Kasihan.... Mudah-
mudahan dia mati di jalan, ketimbang tersiksa terus seperti itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Iler!" seru Nyai Silili-lilu pada si tua sakti
Pendekar Lembah Kutukan. Enak saja dia menyebut tokoh yang sudah
menjadi semacam cerita rakyat seperti Pendekar Lem-
bah Kutukan dengan panggilan seenaknya.
"Nanti juga kau tahu!" sahut Ki Saptacakra.
"Nanti kapan"!"
"Sehabis kiamat! Ah, kenapa kau tak menyumpal
saja mulut cerewetmu itu!"
"Aku tak bisa! Itu memang sudah kodratku!"
Ki Saptacakra tak mempedulikan lagi. Dia terus
berlari. Di belakang Nyai Silili-lilu, Pendekar Slebor berla-
ri dengan kepala dipenati pertanyaan-pertanyaan. Apa maunya Ki Buyut sebenarnya"
Lalu kenapa tiba-tiba
seperti ada pertemuan keluarga dengan acara lari-lari layaknya sekumpulan orang
sinting" Benar-benar
brengsek mereka, gerutu anak muda itu dalam hati.
Bagaimana tidak, kalau dia terpaksa harus turut iring-iringan lari cepat tanpa
juntrungan di sepanjang garis pesisir Pantai Laut Selatan"
Sekian lama melanjutkan lari, Pendekar Lembah
Kutukan baru berhenti. Tak terlihat kalau tokoh bangkotan itu terengah-engah.
Tua-tua, dia tetap 'kuda'
Lho, kuda saja masih terengah-engah!
Menyusul berhentinya Ki Saptacakra, Nyai Silili-
lilu, Pendekar Slebor dan Petaruh Sakti Perut Buncit pun berhenti. Pasir
bertebaran terkena sentakan kaki-kaki mereka karena terlalu mendadak mengerem
tu- buh. Mereka tiba di sisi selatan batu karang. Di tengah-tengah batu karang
sebesar bukit kecil itu terdapat gua kecil hanya selebar tubuh manusia.
"Cepat katakan padaku, Iler! Sebenarnya apa
yang tengah kau kejar" Kalau tidak cepat kau katakan, aku akan menggebukimu dari
ubun-ubun sampai ma-ta kaki! Mengerti"!" omel Nyai Silili-lilu pada sesepuh
dunia persilatan itu.
"Aku sengaja datang ke tempat ini karena...."
"Eh, bukankah ini tempat pertapaanku?" sela Petaruh Sakti Perut Buncit, baru
menyadari di mana di-
rinya berhenti. Semenjak tadi, rupanya dia hanya si-
buk mengipasi perutnya yang dikuyupi keringat den-
gan telapak tangan.
"Itu maksudku, Buncit! Aku harus segera meme-
riksa tempat pertapaanmu!" tukas Ki Saptacakra.
"Lho, bukankah kau Saptacakra?" ujar Petaruh Sakti Perut Buncit, lagi-lagi dia
ketinggalan kereta.
"Mau apa kau berlari-lari seperti itu" Celaka kau! Apa kau sudah kehilangan akal
sehat"!"
"Aku mesti memeriksa tempatmu!" ulang Pendekar Lembah Kutukan, kesal.
"Mau apa memeriksa tempatku?"
"Nanti saja kujelaskan! Sekarang sebaiknya kita cepat masuk ke dalam gua!"
penggal Ki Saptacakra.
Petaruh Sakti Perut Buncit meringis. Biarpun dia
baru saja mengatakan kalau tempat tersebut adalah
tempatnya, tapi soal masuk ke gua, tunggu dulu! Pe-
rutnya tak memungkinkan untuk melakukan hal itu.
Aneh juga. Tempat sendiri, tapi kenapa menyusahkan"
Sambil menggelengkan kepala, Petaruh Sakti Pe-
rut Buncit menggerutu, "Sudah puluhan tahun aku tak pernah masuk ke dalam gua
itu lagi. Dulu, perutku masih tak sebesar ini. Sekarang, kalau mau masuk ju-ga
aku pasti harus meninggalkan sebagian perutku di
luar!" *** Tiga hari yang lalu.
Sang sesepuh dunia persilatan, Ki Saptacakra
berjalan menyusuri sungai yang bersambung dengan
telaga di sekitar wilayah Kadipaten Karang Gantung.
Selaku orang yang mencapai taraf makrifat dalam ke-
batinan, lelaki tua itu merasakan dorongan yang kuat dalam hatinya untuk pergi
ke sekitar wilayah tersebut.
Dorongan kata hati seperti itu, biasanya merupa-
kan pertanda sesuatu yang belum terjelaskan. Orang
setua dia, tentunya sudah bisa mengenai setiap tanda-tanda dalam dirinya. Karena
itu, Ki Saptacakra segera berangkat ke sekitar wilayah tersebut.
Seharian dia mengitari wilayah sekitar telaga Ka-
dipaten Karang Gantung, tak juga ditemukan sesuatu
yang mungkin mengusik hatinya. Sewaktu dia menco-
ba menyusuri sungai kecil yang bersambung dengan
telaga, dia menemukan secarik kain tersangkut di batu sungai. Perhatiannya
tersedot pada benda tersebut.
Dihampiri, lalu diambilnya sobekan kain itu.
Di atas kain yang masih basah itu, Pendekar
Lembah Kutukan menemukan satu tulisan dengan
menggunakan getah sejenis pohon. Tampaknya surat
tersebut dibuat begitu tergesa-gesa dan dalam keadaan amat lemah. Terlihat
sekali dari guratannya yang begitu berantakan dan bergelombang.
Siapa pun yang menemukan surat ini, kuharap dia
adalah warga persilatan golongan lurus.
Aku cuma seorang pendatang dari negeri jauh


Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang hendak mengadu nasib di tanah Jawa. Beberapa hari lalu, tanpa sengaja aku
mendengar tiga orang melaksanakan pertemuan rahasia. Seorang wanita cantik dan
lainnya lelaki. Salah satu lelaki memiliki tubuh kerdil. Mereka rata-rata
berusia sekitar empat puluhan. Ketiganya mengenakan kalung. Mata kalung terbuat
dari ujung tanduk rusa. Benda itu sebesar jari telunjuk ber-bentuk pipih
setengah lingkaran dan memiliki lubang di satu sisinya.
Kudengar mereka akan merencanakan pembentu-
kan Perserikatan Setan yang anggota-anggotanya adalah tokoh-tokoh atas golongan
sesat. Samar-samar, aku mendengar beberapa nama
disebutkan. Ada Tiga Datuk Kar...
Hanya sampai di situ bunyi surat tersebut. Tam-
paknya, si pembuat surat tak punya cukup tenaga lagi untuk mengguratkan kata-
kata di atas kain.
*** Kurang lebih seabad lalu, hidup seorang pende-
kar muda dari Puncak Gunung Tangkuban Perahu,
Tanah Parahiyangan. Untuk pertama kalinya dia turun
gunung. Selama tiga tahun terakhir, dia berdiam diri di puncak gunung tersebut.
Berguru dengan seorang pe-tapa sakti mandraguna yang tak pernah dikenal nama
dan julukannya dalam hingar-bingar dunia persilatan.
Bahkan, si murid sendiri hingga turun gunung tak ju-
ga mengetahui nama sesungguhnya. Dia hanya ingin
dipanggil Eyang. Itu saja.
Gurunya memerintahkan si pendekar muda un-
tuk memperdalam kesaktian kanuragan dan kedig-
dayaan dengan bertapa selama dua belas purnama di
tepi Sungai Citarum.
Pada kala itu, Sungai Citarum tak pernah bebas
dari satronan kawanan binatang buas. Buaya, ular
sungai, atau macan Jawa setiap saat bisa muncul di
tepinya. Tak peduli siang, atau malam. Tak pandang
panas hujan. Menurut rakyat sekitar, sebagian hewan-
hewan tersebut malah merupakan makhluk jejadian,
lelembut hutan yang berubah wujud menjadi binatang
buas penunggu sungai.
Tanpa pernah merasa gentar akan segala cerita
dan segala ancaman kebuasan hewan-hewan liar di
sekitar sungai, pemuda itu menjalankan tapanya. Te-
pat di tepian berbatu rendah, dia duduk bersila, bersedekap dan memejamkan mata
selama berhari-hari.
Belum lagi memulai pertapaan, si pendekar muda
sudah didatangi sekawanan buaya. Seolah Joko Ting-
kir, pemuda itu harus menghadapi serbuan buaya-
buaya lapar. Sementara modalnya cuma sepotong
bambu panjang yang diberikan Eyang Petapa. Ilmu
kanuragan yang pernah diturunkan olehnya dilarang
dipergunakan. Tentu saja perbuatan itu dilakoni, men-
gingat pesan Eyang Petapa adalah salah satu syarat
yang harus dipenuhi.
Mati-matian pemuda itu mengusir gerombolan
buaya lapar. Perjuangan yang menghabiskan waktu
dua harian penuh. Sekaligus menguras tenaganya. Be-
lum lagi luka-luka di sekujur tubuhnya.
Dalam keadaan penuh luka, dalam keadaan de-
mikian letih serta lemah, pemuda itu tak pernah terpikir untuk membatalkan niat.
Dia memulai masa ta-
panya hari itu juga. Dengan luka-luka menganga di
beberapa bagian tubuhnya, dengan sisa tenaga. Na-
mun dengan semangat yang tetap membukit di ha-
tinya. Sepekan berlalu. Tak pernah terjadi apa-apa selama itu. Pada awal hari di
pekan kedua, si pendekar muda berhati baja mendapat uji kembali.
Dalam kekhusuan tapanya, dia merasakan ada
sesuatu bergerak-gerak tepat di bawah tempatnya ber-
sila. Semacam gerakan bergeliat halus tubuh-tubuh
panjang menjijikkan. Mula-mula gerakan tersebut
hanya samar-samar. Selanjutnya semakin terasa jelas.
Ketika geliatan-geliatan di bawahnya makin ber-
gerumbul, dirasa tubuhnya terangkat sedikit demi se-
dikit. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi, dia be-
lum lagi mengetahui. Namun, ada semacam pikiran
mengusik, kalau geliatan-geliatan yang sedang ber-
langsung di bawah silanya adalah gerak gerombolan
ular-ular liar.
Pikiran yang semestinya tak dibiarkan menjadi
liar pada saat dia harus memusatkan segenap rasa
dan karsanya ke satu titik dalam diri menjadi semakin liar ketika telinganya
sayup-sayup menangkap desisan ramai.
Pemuda itu makin yakin di bawah tubuhnya kini
ada gerombolan ular-ular besar. Mereka datang entah
dari mana. Tiba-tiba saja menyelusup ke bawah si-
lanya, dan berkumpul hingga mengangkat tubuhnya.
Kesadarannya cepat memperingatkan akan satu
hal. Bahwa dirinya sedang dalam masa pertapaan. Apa
pun yang terjadi, dia sebaiknya tidak mempedulikan.
Sebab jika dia membuka mata sedikit saja, atau lebih lama terusik kekhusuannya,
maka usahanya selama
ini akan gagal. Hancur tanpa hasil seperti asap tersapu angin.
Kemungkinan besar, seluruh ular-ular liar itu
hanyalah salah satu cobaan. Tampaknya cobaan un-
tuk bisa lulus dalam tapa telah dimulai. Dan ular-ular itu tentu cuma bayangan
yang bermain di benaknya
dan mencoba mengusik perasaan serta pikirannya. Ta-
pi, bagaimana dia bisa mengetahui kalau ular-ular itu cuma bayangannya"
Bagaimana kalau ternyata ular-ular itu ternyata sungguhan" Lebih gawat lagi,
bagaimana kalau mereka tergolong berbisa"
Tanpa mempedulikan ketakutan yang meruyak
langsung dari dalam dirinya, pemuda itu melawan se-
luruh ketakutan dalam dirinya. Dia tak ingin tapanya gagal. Apa pun yang
terjadi, dia tak ingin gagal. Lagi pula, kalaupun ternyata binatang-binatang
yang sibuk melata di bawahnya memang gerombolan ular sungguhan, toh dia tak akan
diserang selama tubuhnya tetap tak bergeming.
Perjuangannya untuk memusatkan kembali rasa
dan karsanya mendapat tantangan lebih besar mana-
kala dirasa tubuhnya mulai beringsut ke arah sungai.
Apa-apaan ini" Terbetik rasa, ketidak mengertian
dalam dirinya. Bagaimana mungkin gerombolan ular
dapat bergerak begitu rupa ke satu arah, membuat tu-
buhnya terikut gerakan mereka" Apakah dugaannya
meleset" Mungkinkah makhluk-makhluk menjijikkan
yang bergerak-gerak di bawahnya bukan kawanan
ular" Jangan terusik! Tetap bertahan pada kekhusu-
kanmu! Hati kecilnya memperingati. Sentakan kata ha-
tinya menyadarkan si pemuda untuk berkutat kembali
mengerahkan segenap kekuatan batin untuk me-
ngembalikan kekhusuannya.
Semuanya tetap tidak menjadi mudah.
Gerakan makhluk-makhluk panjang di bawahnya
terus beringsut dengan gerak pasti ke arah sungai.
Kekhusuan si pemuda terusik lagi. Barangkali
aku memang telah memasuki masa cobaan" Pikirnya.
Padahal pikiran yang terbetik selintas seperti itu dapat membuat tapanya gagal
jika terus saja dibiarkan menjadi liar tak terkendali. Lalu dia berjuang lagi
untuk kembali ke kekhusuannya.
Tantangan makin memberat manakala si pemuda
merasakan bagian bawah tubuhnya mulai diserbu rasa
dingin. Air sungai pada malam hari memang terasa
amat dingin. Dan tubuhnya kini telah mencapai bibir
sungai. Makhluk-makhluk yang bergeliat-geliat di ba-
wahnya telah membawa dia sampai di sana!
Astaga, apa yang akan terjadi pada diriku" Mes-
tikah aku meneruskan tapa, atau membatalkannya"
Jika tapa kuteruskah, apa yang nanti bakal terjadi"
Segala usikan pertanyaan dalam hati segera dibe-
rangusnya kembali. Dipatrinya tekad sekali lagi, apa pun yang terjadi, dia harus
tetap meneruskan tapa!
Rasa dingin yang menyerang seluruh bagian ka-
kinya kini merambat naik ke batas pinggang. Gerakan-
gerakan makhluk-makhluk di bawahnya masih samar
dirasakan. Lalu rasa dingin yang berasal dari air Sungai Citarum naik terus ke
batas dada, leher dan akhirnya wajahnya.
Benak si pemuda kini bukan lagi diusik oleh se-
runtun pertanyaan, melainkan sudah muncul pula ke-
panikan dalam dirinya. Kalau dia terus diam, maka dia akan mati tenggelam. Jalan
yang terbaik baginya adalah segera membatalkan tapa. Dengan begitu, nya-
wanya akan selamat.
Kepanikan yang mencoba merapuhkan tekadnya
ditebas oleh peringatan hati kecil. Jangan bodoh! Teruskan tapamu! Bagaimana
kalau semua itu cuma co-
baan" Kalau benar ujian, maka kau akan gagal saat
kau membuka mata!
Si pemuda memutuskan untuk tetap diam Tetap
memejamkan mata, tetap dalam posisi bersemadi. Apa
pun yang terjadi, tapanya harus diselesaikan. Jika perlu, mati pun akan
dihadapinya! Penguatan tekad kembali itu membawa hasil. Si
pemuda tetap tak bergeming dari posisi semula. Se-
mentara rasa dingin kini tuntas menyerang seluruh
bagian kulitnya. Tak terkecuali kulit kepalanya. Dia telah tenggelam!
Tak begitu lama, dialaminya tekanan air sungai.
Dia merasakan tubuhnya melayang turun perlahan ke
dasar Sungai yang dalam. Turun dan terus turun. Tak
ada lagi geliat tubuh-tubuh panjang di bawah posisi silanya yang tak berubah.
Digantikan dengan tekanan
air yang menyesakkan dada. Lubang telinga dan hi-
dung pun mengalami hal serupa.
Sempat terbersit dalam pikirannya, kalau semua
itu semata ujian yang datang ke dalam perasaan dan
pikirannya semata tentu dia masih bisa bernapas.
Mungkin saja sebenarnya dia masih duduk di tepi
sungai. Namun karena cobaan itu, dia merasa telah
tenggelam dalam sungai. Karena itu dia menjajal me-
narik napas. Namun dugaannya meleset. Begitu per-
napasannya mencoba menghirup udara, yang masuk
justru air. Tak mau mengambil resiko paru-parunya kera-
sukan air dan mati karenanya, si pemuda secepatnya
membatalkan niat menarik napas. Ditahannya paru-
paru. Keraguan mengusiknya untuk ke sekian kali. Be-
narkan dia dalam ujian" Semuanya begitu terasa nya-
ta. Jangan-jangan dia memang benar-benar tenggelam.
Kalau dia mati, maka bukan cuma tapanya yang gagal,
tapi dia pun akan kehilangan nyawa. 'Sudah jatuh ter-timpa tangga pula' kalau
begitu! Dan untuk yang ke sekian kalinya keraguan itu
dilawannya sekeras hati. Dilawannya, sampai seluruh
bisikan-bisikan melemahkan tadi menjadi melemah di
hatinya lalu pudar sama sekali.
Dia berhasil mengentaskan semua itu.
Sementara rasa sesak terus berjangkit. Dadanya
sudah kehilangan banyak udara karena menahan na-
pas cukup lama. Otot-otot dadanya sudah terasa ter-
koyak-koyak. Sebentar lagi, mungkin dia akan menarik napas secara refleks.
Pada saat-saat genting, mendadak saja terjadi ke-
jadian baru yang tak kalah mengejutkan. Terasa tu-
buhnya dijepit kuat-kuat oleh sesuatu. Semacam gua,
tapi bukan. Kalau gua, tentu permukaannya keras. Ini justru lembek, berlendir
dan hangat. Dia menyadari tubuhnya telah ditelan makhluk
raksasa entah berwujud apa ketika sebagian tubuhnya
membentur deretan benda-benda keras meruncing.
Dugaan muncul cepat. Deretan benda-benda ranting
tadi tentu barisan gigi!
Sekejapan berikutnya, dia merasa didorong ma-
suk ke dalam saluran berlendir menghimpit. Sekujur
tubuhnya terasa nyaris remuk. Kemudian tubuhnya
meluncur deras dalam saluran yang tak hanya berlen-
dir menghimpit, tapi juga berbau amat memuakkan
itu. Seperti ada tumpukan bangkai busuk!
Kejadian itu berlangsung cukup lama. Amat me-
nyiksa si pemuda. Hingga rasanya dia menjalaninya
selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad.
Tiba-tiba semuanya usai. Semuanya. Diganti oleh
hadirnya kesunyian yang pekat. Kegelapan meraja. Se-
juk berkuasa. Apa yang telah terjadi" Bisik hati si pemuda.
Samar-samar dilihatnya kemudian satu titik ca-
haya putih kemilau. Titik cahaya itu kian lama kian
mengembang sampai seluruh kegelapan tertelan. Yang
ada kini cuma terang benderang. Anehnya, tidak me-
nyilaukan. Tidak pula terasa panas. Melainkan sejuk.
Disusul oleh bergemanya suara.
"Tapamu telah berhasil. Bukalah matamu. Bang-
kitlah. Lalu berdiri untuk memperingatkan manusia
akan kuasa Tuhan. Tegakkan keadilan di muka bumi.
Perangi kemungkaran. Sang Penguasa Semesta telah
melimpahkan padamu anugrahnya. Sebelum kau be-
nar-benar melaksanakan tugas suci, kau harus me-
nyempurnakan kesaktian di Lembah Kutukan. Kesak-
tianmu itu, akan turun kepada setiap babak keturu-
nanmu. Salah seorang di antara mereka akan terpilih
untuk memiliki kesaktian seperti kesaktianmu pula,
meski kau belum lagi mati. Jika waktu pewarisan ke-
saktian telah tiba, perintahkanlah mereka untuk me-
nyempurnakannya di Lembah Kutukan...."
Ketika si pemuda membuka mata, dia ternyata
masih berada di tepi Sungai Citarum. Seluruh tubuh-
nya telah ditumbuhi pepohonan rambat yang biasa
tumbuh di tepi sungai. Rupanya telah dua belas pur-
nama dia bertapa. Padahal menurut perasaannya, dia
bertapa baru beberapa hari saja.
Pemuda itu bernama Saptacakra.
Beberapa tahun kemudian, diguncangkannya
dunia persilatan. Julukan angker pun tersemat, Pen-
dekar Lembah Kutukan.
*** 5 Dalam masa perjuangan menegakkan panji-panji
keadilan, Saptacakra muda berhadapan dengan mu-
suh besar, Tiga Datuk Karang. Meski muda, ilmu
'Karang' mereka benar-benar tangguh. Itu sebabnya


Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dunia persilatan tak segan-segan memberi julukan Da-
tuk pada mereka. Sampai Ki Saptacakra pun hampir-
hampir kewalahan dibuatnya. Padahal kesaktian me-
reka belum lagi benar-benar disempurnakan dengan
mempelajari satu kitab ilmu 'Karang Pamungkas'. Pada saat mereka berhasil
mempelajari kitab itu, maka kesempatan bagi Saptacakra muda untuk mengalahkan
mereka pun akan lenyap.
Suatu hari Saptacakra muda bertemu dengan
kakak perempuannya, Nyai Silili-lilu. Dahulu, perem-
puan tua itu demikian cantik. Namanya pun demikian
indah, Ratna Juwita Permata Kumalasari Dewi Bunga
Kamboja. Entah berapa nama perawan di-borongnya
menjadi satu. Setiap orang boleh memanggilnya sesuka hati. Boleh Ratna, boleh
Juwita, boleh Permata. Kumala juga boleh. Asal jangan Kumal, katanya.
Waktu itu, dia sudah berpacaran dengan Petaruh
Sakti Perut Buncit. Buncit memang. Namun tak se-
buncit sekarang. Dibanding sekarang, perutnya masih
lebih langsing. Meski untuk ukuran perut dua orang!
Mengetahui Petaruh Sakti Perut Buncit muda be-
gitu gandrung bertaruh dengan kesaktiannya, Sapta-
cakra muda mempunyai akal. Dia akan berkerja sama
dengan Petaruh Sakti Perut Buncit muda untuk meng-
hadapi tiga musuh beratnya. Ditantangnya tiga tokoh
sesat muda itu untuk bertanding. Dua lawan tiga. Saptacakra muda dengan Petaruh
Sakti Perut Buncit mu-
da menghadapi Tiga Datuk Karang. Siapa pun yang ka-
lah, harus menyerahkan kitab ilmu pamungkas milik
masing-masing. Dengan kecerdikan itu, Saptacakra
muda berharap dapat mencegah tiga musuh besarnya
mempelajari kitab ilmu 'Karang Pamungkas'.
Tantangannya mendapat sambutan. Bukan cuma
dari Petaruh Sakti Perut Buncit muda. Tapi juga dari ketiga lawan yang sudah
lama ingin menyingkirkan-nya. Pertarungan maha hebat sepanjang setengah ab-
ad terakhir pun pecah. Tempatnya di puncak Gunung
Ciremai. Tiga Datuk Karang berhasil dikalahkan. Sejak saat itu, ketiganya
menghilang. *** Ki Saptacakra mengakhiri cerita tentang riwayat
awal perjalanan hidupnya pada Pendekar Slebor, Nyai
Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit. Ketiganya berada di depan gua
sempit, yang sebenarnya lebih pan-
tas disebut lubang di karang tepi Pesisir Pantai Laut Selatan.
Sebelumnya, Pendekar Slebor dan buyutnya,
Pendekar Lembah Kutukan masuk ke dalam. Melalui
mulut gua sempit, mereka masuk merangkak. Kira-
kira dua kali peminuman teh mereka merayap di se-
panjang lorong. Sampai akhirnya keduanya tiba di
ujung lorong. Tepat di ujungnya, terdapat ruangan
alam besar mirip kubah. Di dalam sana gelap gulita,
keadaan yang serupa dengan di sepanjang lorong ren-
dah dan sempit. Untuk membawa obor melalui lorong
sesempit itu, jelas tak memungkinkan. Lagi pula, me-
reka datang ke tempat itu tanpa persiapan sama sekali Dengan agak merayap-rayap,
dua lelaki bertaut
usia amat jauh itu turun dari ujung mulut lorong dan masuk ke ruangan yang
bersambungan dengan lorong.
"Sebenarnya ada perlu apa kita ke tempat ini, Ki Buyut?" tanya Andika waktu itu.
Jelas dia ingin tahu tujuan buyutnya. Baginya, orang tua itu telah melakukan hal
yang tidak-tidak. Tak ada angin tak ada hujan, tahu-tahu dia berlari kalang-
kabut ke tempat itu. Sudah itu, dia mengajak yang lain masuk ke lorong ka-
rang seperti tempat tinggal tikus tanah itu. Nyai Silili-lilu jelas menolak
mentah-mentah. Perempuan bung-
kuk seperti dia bakal mendapat musibah mengenaskan
kalau ngotot masuk juga ke lorong. Masih bagus kalau tidak terjebak di dalam.
Bagaimana kalau tubuh me-lengkungnya itu terjepit dalam lorong" Memangnya pe-
rempuan bangkotan itu mau bernasib seperti upil di
lubang hidung"
Kalau Nyai Silili-lilu saja tak mau, apalagi Peta-
ruh Sakti Perut Buncit" Andika sebenarnya ingin san-
tai saja di luar. Menikmati pemandangan lepas Laut
Selatan pasti lebih mengasyikkan ketimbang masuk ke
dalam lubang berlorong. Tapi, kalau urusannya sudah
main bentak, Andika tidak bisa menolak perintah
buyutnya. Kalau Pendekar Slebor tak bertanya, itu namanya
bersedia dengan sukarela ikut-ikutan tingkah buyut-
nya yang dianggap agak sableng.
"Diam kau!" bentak Ki Saptacakra, menanggapi pertanyaan penasaran cicitnya di
belakang. "Aku paling dongkol pada orang cerewet! Seperti perempuan
kaleng rombeng itu!" dengusnya, memaki kakak perempuannya sendiri, Nyai Silili-
lilu. Padahal, dia sendiri sering begitu.
"Jangan marah begitu, Ki Buyut. Aku cuma ingin
tahu alasanmu ke tempat ini...," susul Andika.
"Kalau kau mau tahu, ikuti saja. Nanti juga kau tahu!" "Suka-suka Ki Buyut
sajalah...," gumam Andika pasrah.
Di dalam ruangan alam berdinding karang gelap
gulita itu, Andika merayap-rayap. Hanya desah napas
Ki Saptacakra yang dijadikan pedoman untuk mengi-
kutinya. Ruangan yang tertutup itu memungkinkan
suara sekecil apa pun terdengar lebih jelas.
Di lain pihak, Ki Saptacakra seperti tidak menga-
lami kesulitan di dalam kegelapan pekat seperti itu.
Dia berjalan seenaknya, seolah-olah tak takut jidat-nya jadi benjut karena
menabrak dinding karang.
Barangkali makanan sehari-hari si tua ini tikus
lubang yang biasa hidup di tempat gelap, rutuk Pendekar Slebor.
Selagi sibuk memikirkan bagaimana buyutnya
bisa berjalan seenaknya di tempat tanpa cahaya seper-ti itu, Andika menabrak
sesuatu. "Aduh!" Andika mengaduh. Darahnya berdesir ngeri, karena yang baru saja
ditabraknya ternyata pantat Ki Saptacakra.
"Monyet kurap, kudis bau, obat bisul manjur!"
maki kakek sakti itu tak alang kepalang murka. Lucu
kalau dia tidak murka. Sebab tubuhnya langsung ter-
jungkal ke depan. Andika tak tahu apa yang terjadi
padanya. Cuma kalau mendengar ada suara tempu-
rung kepala beradu dengan dinding karang, dia yakin
buyutnya pasti mendapat 'kecelakaan'!
"Ma... maaf, Ki Buyut! Tidak sengaja, he he he!" "
"Diam kau!"
"Habisnya, Ki Buyut berhenti tidak bilang-bilang.
Lagi pula, buat apa Ki Buyut membungkuk seperti ta-
di?" dalih Andika.
"Aku sedang memeriksa sesuatu, tolol! Makanya
kalau jalan hati-hati."
"Tempatnya gelap...."
"Ah, aku saja yang tua tidak mengeluh!"
Itu karena kau senang menyantap tikus tanah
barangkali! Maki Andika membatin.
"Apa yang sedang kau periksa, Ki Buyut?"
"Lubang!"
"Lubang apa" Di dunia ini banyak macam lu-
bang. Dari lubang ular sampai 'lubang yang berja-
lan'...," Andika mencoba bergurau, sedikit merayu orangtua besar adat itu.
"Jangan ngawur! Aku sedang memeriksa tutup
lobang rahasia penyimpanan benda-benda berharga
milik si Buncit di luar sana!"
"Dunia ini memang sinting. Masa' orang sebuncit dia punya tempat penyimpanan
dalam lubang seperti
itu" Bagaimana dia hendak masuk untuk menyimpan
sesuatu?" "Itu urusan dia, bukan urusanmu!" bentak Ki Saptacakra kembali. "Sekarang
keluar!" sambungnya kemudian.
"Keluar" Memangnya kau sudah memeriksa lu-
bang tadi, Ki Buyut?"
"Waduh-waduh!"
"Kenapa" Kenapa, Ki Buyut" Ada sesuatu dalam
lubang itu!" tanya Pendekar Slebor kalang kabut.
"Jempol kakiku kau injak, tolol!"
Begitu kejadian sebelumnya. Keduanya berkum-
pul lagi di luar bersama Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit. Ki
Saptacakra melaporkan pada
dua bangkotan itu bahwa lubang penyimpanan ternya-
ta masih aman. Setelah diminta Andika sampai mulutnya pegal,
barulah Ki Saptacakra menjelaskan alasannya kenapa
dia begitu tergesa-gesa untuk memeriksa lubang tersebut. Diceritakannya tentang
surat kain yang ditemui di sungai dua hari lalu. Dari kain itu, dia mengambil
kesimpulan kalau musuh besarnya sejak muda. Tiga
Datuk Karang, telah kembali lagi ke dunia persilatan.
"Bagaimana kau merasa yakin kalau tiga manu-
sia busuk itu mengincar kitab pamungkas mereka da-
lam tempat penyimpanan rahasiaku?" tanya Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Kau ingat ketiga murid murtadmu?" Bukan menjawab, Ki Saptacakra malah balik
bertanya. Petaruh
Sakti Perut Buncit mengangguk. "Bukankah kau
memberikan tiga kalung pada mereka masing-masing?"
susul Ki Saptacakra.
"Nah, dalam surat kain yang kutemukan, penu-
lisnya menyebut-nyebut tentang tiga orang yang memi-
liki kalung seperti telah kau berikan pada ketiga muridmu. Gambaran penulis
surat tentang ciri-ciri ketiga muridmu.... Sementara, ketiga orang pemilik
kalung yang kuyakin ketiga murid murtadmu itu sedang me-
Naga Pembunuh 13 Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang Naga Beracun 13
^