Pencarian

Rahasia Di Balik Abu 1

Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu Bagian 1


RAHASIA DIBALIK ABU Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Suara lembut yang berwibawa itu seperti menga-
lun, membelai terbawa angin. Gendala Maung yang
hendak merobek pakaian dalam Nawang Wangi yang
tergeletak di atas tanah dalam keadaan tertotok, urung melakukan niatnya. Lamat-
lamat dia segera berdiri tegak di sisi Nawang Wangi.
Sesaat lelaki berkumis baplang ini edarkan pan-
dangannya. Hatinya terasa tak enak mendengar suara
tadi. Untuk sesaat dia tak membuka suara. Pandan-
gannya belum menangkap bayangan apa pun di sekeli-
lingnya. "Hmmm... siapa gerangan orang yang berkata-kata seperti berpuisi itu?" desisnya
kemudian dengan kedua tangan mengepal. Pakaiannya yang telah terbuka, tidak
segera dirapikan kembali. "Jahanam terkutuk! Kehadirannya justru mengacaukan
semua niatku! Kepa-
rat betul! Rupanya dia memang ditakdirkan mati di
tanganku, karena lancang berani campuri urusanku!"
Sementara itu, Nawang Wangi yang bukan hanya
tak mampu menggerakkan tubuhnya tetapi juga tak
kuasa untuk membuka suara karena dalam keadaan
tertotok, hanya bisa menggerakkan bola matanya saja.
Diam-diam murid Bidadari Tangan Bayangan ini
bersyukur karena keinginan busuk Gendala Maung ja-
di terhalang. Dan dia berharap, orang yang bersuara
tadi akan membantunya lepas dari tangan lelaki sesat ini. Seperti dituturkan
pada episode "Patung Kepala Singa", setelah berjumpa dengan Pendekar Slebor,
Nawang Wangi meneruskan langkahnya untuk mencari
gurunya. Dari Pendekar Sleborlah dia tahu kalau gu-
runya dalam keadaan tak kurang suatu apa, kendati
Kuil Putra Langit yang didatangi gurunya telah porak poranda dan seluruh
penghuninya tewas.
Sambil terus berkelebat mencari gurunya, Nawang
Wangi berusaha keras memikirkan siapa yang telah la-
kukan pembantaian di Kuil Putra Langit. Dan tatkala
teringat bagaimana dia diselamatkan oleh Pendekar
Slebor di saat hendak terhantam pohon tumbang aki-
bat sambaran petir, wajahnya sesaat memerah. Selain
berterima kasih pada Pendekar Slebor karena bukan
hanya sekali, melainkan dua kali diselamatkan, gadis ini sebenarnya ingin
Pendekar Slebor mengajaknya.
Namun dia juga sadar kalau hal itu tak mungkin bisa
dilakukan. Sampai kemudian dihentikan kelebatannya tatka-
la dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian biru gelap dengan selendang warna
putih yang bersilangan di da-da sedang duduk terpekur di depan sebuah makam.
Karena rasa tertarik itulah yang membuat Nawang
Wangi urung meneruskan maksud, yang justru mem-
bawa petaka bagi dirinya. Gendala Maung salah seo-
rang dari Dua Iblis Lorong Maut yang masih hidup se-
telah bentrok dengan Pendekar Slebor mendadak ber-
diri dan lancarkan setiap pukulannya guna melam-
piaskan rasa sedih dan kesalnya akibat kematian sa-
habatnya Ganda Maung di tangan Pendekar Slebor.
Dan salah satu pukulan jarak jauh yang dilepa-
kannya mengarah pada Nawang Wangi yang mau tak
mau melompat dari persembunyiannya.
Sudah tentu kehadiran Nawang Wangi membuat
Gendala Maung merasa mendapatkan tempat pelam-
piasan dendam dan amarahnya pada Pendekar Slebor.
Terlebih lagi setelah mengetahui kalau gadis berpakaian ringkas warna biru
kehijauan itu adalah murid
Bidadari Tangan Bayangan, musuh bebuyutannya.
Kendati Nawang Wangi berusaha bertahan sekuat
tenaga, namun dia bukanlah tandingan Gendala
Maung. Dengan seringaian lebar, Gendala Maung
mendekatinya. Dan di saat petaka yang ditakuti oleh
setiap wanita akan menerpa dirinya, mendadak saja
terdengar satu suara laksana orang berpuisi.
Saat ini Gendala Maung sedang membatin, "Gila!
Siapa orang itu" Nada suaranya begitu lembut... na-
mun di balik kelembutannya itu aku menangkap sesu-
atu yang begitu dahsyat.... Keparat betul!!"
Diam-diam lelaki berkumis baplang ini melirik
Nawang Wangi yang masih tergeletak di bawahnya. Be-
gitu mendapati lirikan mata Gendala Maung, gadis itu langsung melotot gusar.
Matanya pancarkan sinar kemarahan yang dalam. Bila saja pita suaranya tidak
dalam keadaan tertotok, sudah bisa dipastikan akan ke-
luar sumpah serapahnya.
Sesaat Gendala Maung seperti diingatkan pada
niatnya semula. Namun dia tak mau gegabah untuk
melakukannya sekarang tatkala disadarinya ada orang
yang melihat dan tentunya akan menghalangi perbua-
tannya. Mengingat hal itu, Gendala Maung mendengus gu-
sar. Kejap berikutnya dia sudah membentak, "Orang iseng yang suka campuri urusan
orang! Cepat tampakkan batang hidungmu sebelum kuhancurkan selu-
ruh tempat ini!!"
Sesaat sunyi meraja, sebelum terdengar suara
lembut namun penuh wibawa, "Dalam setiap langkah, kehidupan adalah perjuangan.
Baik dalam garis lurus
maupun persimpangan. Namun tak semua langkah
akan membawa kebahagiaan. Menindas yang lemah
untuk menunjukkan betapa perkasanya diri, hanya
akan menambah dosa belaka."
"Diaaaammm!!" mengguntur suara Gendala
Maung dengan wajah mengkelap. Rasa jeri yang tadi
muncul di hatinya, perlahan-lahan mulai terkikis. Sebagai gantinya, dia menjadi
murka mengingat keingi-
nannya terhalang. Setelah kertakkan rahangnya kuat-
kuat, dia menghardik keras, "Segera tampakkan batang hidungmu, Pengecut!!"
Kejap kemudian, kedua tangannya sudah dido-
rong ke depan, ke kanan, ke kiri dan ke belakang. Ser-ta merta terdengar suara
letupan keras yang susul
menyusul dan rengkahnya beberapa semak belukar.
"Pelajaran rasanya memang harus diberikan,
hingga kesadaran timbul. Ini hanya sekadar pelajaran belaka."
Mendengar kata-kata orang yang entah berada di
mana itu, lelaki berpakaian biru gelap ini menjadi bersiaga. Kepalanya sesekali
diedarkan ke sekelilingnya.
Tenaga dalam telah dialirkan pada kedua tangannya.
Tetapi setelah menunggu beberapa saat tak ada tanda-
tanda serangan yang muncul, kembali dia berseru,
"Rupanya kau cuma pandai berucap namun tak berani berbuat! Huh! Apakah kau
memang sebangsa...."
Seruan Gendala Maung terputus. Bukan dikare-
nakan dia memang sengaja memutus kata-katanya
sendiri, melainkan dirasakan kedua kakinya menda-
dak menjadi dingin.
"Hei!!" desisnya terkesiap dan tanpa sadar surut satu langkah ke belakang.
Segera dialirkan tenaga dalamnya guna menghilangkan hawa dingin itu. Namun
semakin dialirkan tenaga dalamnya, hawa dingin itu
semakin kuat menyergap. Bahkan perlahan-lahan di-
rasakan mulai naik ke atas.
Cukup panik Gendala Maung dibuatnya. Segera
dialirkan hawa panasnya. Sejenak hawa dingin itu
memang berhasil ditahan, namun bukan berarti hawa
dingin itu akan punah. Malah semakin lama dirasakan
semakin naik. Mulailah dia benar-benar didera kepanikan. Terle-
bih lagi tatkala tubuhnya mulai menggigil karena rasa dingin itu sulit untuk
ditahan. "Keparat! Kau hanya berani membokong! Cepat
kau keluar! Kita bertarung sampai mampus!"
"Tadi kukatakan... pelajaran akan kuberikan. Bila kau memutuskan untuk berlalu
dari sini, pelajaran
akan kusudahi. Tetapi bila suatu saat kau tetap berla-ku seperti ini... jangan
salahkan aku bila pelajaran akan kutambah...." terdengar lagi suara bernada
lembut itu. Kali ini suara itu seperti melingkar-lingkar di telinga Gendala
Maung. Sementara itu, Nawang Wangi yang melihat betapa
pucatnya wajah lelaki berkumis baplang itu tersenyum dalam hati. Sepasang
matanya pancarkan sinar kepu-asan yang dalam.
Sedangkan Gendala Maung sendiri mulai dirun-
dung ketakutan. Karena disadarinya kalau orang yang
bersuara itu bukanlah orang sembarangan. Sambil
menindih amarahnya dia berseru, "Kupenuhi permin-taanmu!!"
Belum habis kata-katanya terdengar, lelaki berba-
ju biru gelap ini merasakan hawa dingin yang menyer-
gapnya langsung sirna. Dan keadaan ini semakin
membuatnya bertambah ciut.
Dia tak keluarkan suara, hanya matanya yang
memandang mencari-cari dengan geram. Setelah ker-
takkan rahangnya, kejap itu pula dia sudah berlalu
meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Gendala Maung, Nawang Wangi
menghela napas lega. Tubuhnya masih kaku. Mulut-
nya masih membuka dan sukar digerakkan. Dan men-
dadak saja dirasakan angin kecil seperti menyentuh
tubuhnya, yang melengak sesaat.
Kejap itu pula dirasakan tubuhnya dapat digerak-
kan. Menyusul dirasakan angin kecil mengenai leher-
nya, yang membuat mulutnya langsung mengatup.
Dan dapat digerakkan kembali.
Terburu-buru murid Bidadari Tangan Bayangan
ini duduk di atas tanah. Terburu-buru pula dirapikan pakaiannya yang telah
dirobek oleh Gendala Maung
dan kini memperlihatkan bayangan payudaranya pada
pakaian dalam tipis warna hijau. Kejap berikutnya, gadis berambut dikuncir dua
ini segera rangkapkan ke-
dua tangan didepan dada.
"Siapa pun kau adanya... aku ucapkan terima ka-
sih yang sebesar-besarnya karena telah menolongku
dari petaka yang mengerikan ini!!"
"Anakku... aku hanya kebetulan melalui tempat
ini. Dan aku senang, karena aku telah mencoba untuk
putar yang hitam menjadi putih, kendati semuanya itu kembali kepada orang yang
bersangkutan...."
"Orang di balik angin... bolehkah aku tahu siapa kau adanya?"
Terdengar tawa lembut yang berwibawa. "Bukan
maksudku untuk tidak ingin menampakkan wajah di
hadapanmu, Anakku. Tetapi... kau cukup mengenalku
sebagai... Dewa Suci...."
Nawang Wangi makin rangkapkan tangannya di
depan dada. Selain memang dia tulus melakukan
penghormatan, juga untuk menutupi payudaranya
yang membayang di balik pakaian dalam tipis yang di-
kenakannya. Saat berkata tubuhnya agak dibungkukkan,
"Maafkan sikapku yang lancang itu...."
"Kesopanan yang kau miliki, akan menjadikan
langkahmu terus berada di jalur kebenaran. Ini mem-
buktikan, betapa kau memiliki hati yang tulus....
Anakku... kebetulan aku membawa pakaian pula.
Warnanyapun sama dengan pakaian yang kau kena-
kan. Mungkin sudah agak kusam karena lama tak ter-
pakai. Tetapi, itu lebih baik ketimbang kau mengena-
kan pakaian yang robek itu."
Habis kata-kata itu terdengar, mendadak saja se-
helai pakaian melayang dari samping kanan Nawang
Wangi. Gadis ini segera menangkapnya. Sejenak dia
merasa terkejut. Karena, suara orang yang berbicara dengannya berasal dari
hadapannya. Namun pakaian
yang melayang itu datang dari samping kanannya.
"Kenakanlah pakaian itu dulu...." Nawang Wangi cepat melompat ke balik ranggasan
semak. Hanya dua
kejapan mata saja, dia sudah muncul kembali, menge-
nakan pakaian yang diberikan Dewa Suci. Memang
agak gombrang. "Nah, kau sudah lebih baik sekarang. Anakku...
pergilah ke arah timur. Di sana... kau akan bertemu
dengan gurumu...."
Mendengar kata-kata orang yang mengaku berju-
luk Dewa Suci, Nawang Wangi seketika mengangkat
kepalanya. Bukan dikarenakan dia akan bertemu den-
gan gurunya seperti yang dikatakan orang yang entah
berada di mana, melainkan karena orang itu tahu ka-
lau dia sedang mencari gurunya.
Gadis cerdik ini semakin sadar akan kesaktian
yang dimiliki orang yang entah berada di mana. Kem-
bali dia bungkukkan tubuhnya sambil berkata, "Terima kasih atas petunjukmu,
Orangtua...."
"Mulailah berjalan sekarang. Karena... senja se-bentar lagi akan datang....
Anakku, dalam setiap langkah kehidupan, adalah perjuangan. Maka, kau harus
berhati-hati...."
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. La-
mat-lamat gadis berkucir dua ini berdiri.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas ban-
tuanmu, Dewa Suci. Bila suatu saat aku bertemu den-
gan guruku, akan kuceritakan semua ini...."
"Berhati-hatilah...."
Setelah pandangi tempat di hadapannya, seolah
dia melihat orang yang mengaku berjuluk Dewa Suci,
Nawang Wangi segera berkelebat meninggalkan tempat
itu. Tiga kejapan mata sepeninggal murid Bidadari
Tangan Bayangan, entah dari mana datangnya, men-
dadak saja di mana Nawang Wangi tadi berdiri sebe-
lumnya, telah berdiri satu sosok tubuh agak mem-
bungkuk berpakaian dan berjubah putih panjang. Wa-
jah lelaki yang berambut putih sebahu ini begitu teduh sekali. Kumis dan


Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jenggotnya pun berwarna putih. Kedua tangannya berada di belakang pinggul dan di
per- gelangan tangannya terdapat gelang terbuat dari giok berwarna hijau muda.
Orang tua yang wajahnya dilapisi kulit yang tipis
ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Patung Kepala Singa... pangkal dari semua masalah ini...," desisnya dengan nada
lembut namun berwibawa. "Tetapi, benda itu harus diselamatkan...."
Kejap kemudian, seperti datangnya yang begitu ti-
ba-tiba, di saat lenyap pun begitu tiba-tiba. Hingga kejap berikutnya, tempat
itu kembali didera sepi. Dua lembar daun gugur dan hinggap di atas makam Ganda
Maung yang tak jauh berada dari tempatnya berdiri
tadi. Sunyi menggigit dalam.
*** 2 Dua hari kemudian.
Satu bayangan hijau nampak berkelebat lincah,
melompati ranggasan semak belukar, akar pohon yang
menyembul keluar seperti tumpang tindih dan batu-
batu yang terkadang menghalangi langkah. Dari ca-
ranya berkelebat, sosok tubuh yang ternyata seorang
pemuda berambut gondrong acak-acakan itu, nam-
paknya tak mau hentikan gerakannya. Pertanda dia
memang sedang memburu waktu.
Namun tatkala tiba di sebuah tempat yang agak
terbuka, si bayangan hijau yang ternyata seorang pe-
muda yang di lehernya melilit kain bercorak catur,
hentikan kelebatannya. Tak ada napas yang terengah,
tak ada keringat yang mengalir, pertanda kalau pemu-
da ini memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi.
Sejenak diperhatikan sekelilingnya. Di lain kejap,
dia sudah garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Menyusul seruan-seruan gemas namun terdengar ko-
nyol. "Ampunn! Ampunnn! Pusing betul kepalaku sekarang ini! Huh! Kenapa sih aku
harus terlibat dalam
urusan Patung Kepala Singa" Apa tidak ada urusan
lain yang lebih enak" Misalnya menggoda janda mon-
tok"!"
Pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Sle-
bor adanya ini, geleng-gelengkan kepalanya seperti
hendak membuang segala pikiran yang ada di benak-
nya. "Betul-betul ampun nih! Masa sejauh ini aku belum mendapatkan sesuatu yang
bisa mengarah pada
terkuaknya segala rahasia yang ada" Huh! Sampai
saat ini saja aku belum melihat Patung Kepala Singa"!
Belum lagi menemukan ke mana perginya Bidadari
Tangan Bayangan yang sedang memburu Kepala Besi"
Siapa sebenarnya orang yang berada di balik pemban-
taian Kuil Putra Langit" Lalu bagaimana dengan Na-
wang Wangi, murid Bidadari Tangan Bayangan" Kutu
loncat! Benar-benar bikin kepalaku jadi mau pecah!"
Dari mengomel-ngomel tak karuan seperti itu,
mendadak saja pemuda urakan dari Lembah Kutukan
ini tertawa sendiri, seperti melihat satu adegan lucu di hadapannya.
"He he he... masa kepalaku akan pecah" Jangan
pecah dulu, ah! Aku kan belum kawin! Belum merasa-
kan nikmatnya sorga dunia! Geboi betuuull"!!"
Memikirkan apa yang dikatakannya tadi, pemuda
berbaju hijau pupus ini tersenyum sendirian. Lalu
cengar-cengir tak karuan.
"Benar-benar asyik! Lebih baik cari janda montok saja, ah!" katanya kemudian.
Sementara senyuman di bibirnya makin berkembang lebar, seperti menikmati
apa yang dikhayalkannya.
Setelah bertemu dengan Nawang Wangi yang ter-
nyata adalah murid Bidadari Tangan Bayangan, Andi-
ka pun meninggalkan gadis itu setelah menceritakan
apa yang terjadi. Sebenarnya dia tahu, kalau Nawang
Wangi berkeinginan untuk ikut dengannya. Namun
bagi Andika, dia merasa lebih baik berjalan seorang di-ri dalam menuntaskan
segala urusan yang masih
membentang di matanya (Untuk lebih jelasnya silakan
baca : "Patung Kepala Singa").
Hingga saat ini, Andika memang belum menda-
patkan titik terang dari persoalan yang dihadapinya.
Kendati demikian, dia nampaknya mulai membaca se-
tiap urusan. Sementara itu, mendadak saja apa yang tengah
dikhayalkan pemuda urakan ini terputus, tatkala alat
pendengarannya yang terlatih menangkap satu gera-
kan di belakangnya.
"Eiiittt! Ada yang datang"!" desisnya kemudian tanpa palingkan kepala. Tatkala
alat pendengarannya
menangkap gerakan orang semakin mendekat ke
arahnya, dengan sekali lompat saja Pendekar Slebor
sudah hinggap di sebuah dahan pohon di hadapannya.
Dalam keadaan rimba persilatan yang bertambah ka-
cau seperti ini, memang sukar menentukan lawan
ataukah kawan. Terutama pada orang yang belum di-
kenalnya. Dari atas pohon itu, pemuda pewaris ilmu Pende-
kar Lembah Kutukan ini memperhatikan ke bawah.
Hanya dua tarikan napas dia menunggu sebelum dili-
hatnya satu sosok tubuh tinggi besar mengenakan pa-
kaian warna abu-abu yang terbuka di bahu kanannya
bergerak agak terhuyung ke arahnya.
Hanya sekali lihat saja, Andika tahu kalau lelaki
berkepala plontos itu sedang terluka dalam. Dan men-
dadak saja lelaki tinggi besar itu, ambruk sambil keluarkan erangan. Keringat
membanjiri sekujur tubuh-
nya. "Busyet! Apa lagi ini?" desis Andika sambil garuk-garuk kepalanya.
Hanya sekali lompat saja dia sudah berdiri di sisi
kanan lelaki berkepala plontos itu yang nampak terkejut melihat kehadirannya.
Jelas dari sepasang matanya yang agak membuka lebar. Tetapi kejap kemudian
nampak kalau dia seperti tenang sejenak, seolah me-
nyadari kalau orang yang baru datang itu bukan orang yang ditakutinya.
Andika sendiri melihat perubahan sejenak tadi.
Lalu dengan enaknya dia berjongkok diiringi tanya,
"Kau kenapa" Siapa yang bikin seperti ini" Atau jangan-jangan... kau iseng ya
memukuli dirimu sendiri
karena berlagak kebal" Betul-betul busyet kalau me-
mang itu penyebabnya!"
Lelaki berkepala plontos yang tak lain si Kepala
Besi adanya, sesaat pandangi si pemuda dengan ken-
ing dikernyitkan. Selorohan yang dilakukan si pemuda tadi membuatnya menarik
napas dulu sebelum menjawab, "Tolong aku...."
Tanpa diminta pun Andika akan menolongnya.
Bahkan akan dilakukannya tanpa peduli yang membu-
tuhkan pertolongannya adalah kawan maupun lawan.
Tetapi dasar urakan, dia justru berkata, "Ah... kenapa harus repot-repot" Kau
mampus pun bukan urusanku...."
Kendati mulutnya berucap demikian, segera dipe-
riksanya tubuh lelaki berpakaian abu-abu terbuka di
bahu kanan ini.
"Kura-kura bau! Di dadanya ada tanda bekas pu-
kulan. Nampaknya... bila dia tidak memiliki tenaga dalam kuat, pukulan itu akan
menjebol dadanya. Huh!
Bisa sekali pukul langsung mampus orang ini! Siapa
yang telah lakukan... heiii!!" sejenak Andika memutus kata-kala batinnya sendiri
tatkala sesuatu melintas dalam pikirannya.
Sementara Kepala Besi nampak terdiam dengan
napas agak memburu, Andika terus memikirkan apa
yang barusan singgah di benaknya sambil alirkan te-
naga 'Inti Petir' melalui kedua ibu jari kaki si lelaki.
"Dada lelaki ini akan jebol bila dia tak memiliki tenaga dalam dan daya tahan
tubuh yang kuat. Dada
yang jebol... dada yang jebol... bukankah para peng-
huni Kuil Putra Langit tewas dengan dada bolong"
Jangan-jangan... orang yang telah menghajar lelaki ini adalah orang yang telah
lakukan pembantaian di Kuil
Putra Langit?"
(Untuk mengetahui tentang pembantaian di Kuil
Putra Langit, silakan baca : "Patung Kepala Singa").
Untuk sesaat Andika sengaja memutus jalan piki-
rannya sendiri. Terus dikerahkan tenaga 'Inti Petir' untuk membantu Kepala Besi
dari penderitaan yang di-
alaminya. Lamat-lamat nampak keringat yang tadi memban-
jir, kini kian membanjir. Itu terjadi karena hawa panas yang keluar dari tenaga
'Inti Petir' yang dialirkan Andika, bentrok dengan hawa panas yang diderita oleh
Ke- pala Besi. Setelah meninggalkan Bidadari Tangan Bayangan
yang menuduhnya telah melakukan pembantaian di
Kuil Putra Langit, Kepala Besi bertemu dengan Dewi
Selendang Hitam, seorang tokoh dari golongan sesat
yang sejak lama bermusuhan dengannya, terutama
menyangkut soal Patung Kepala Singa.
Dengan cara berpura-pura tewas dalam pertarun-
gan itu, Kepala Besi berhasil selamat. Akan tetapi, dia tak mampu menahan luka
dalamnya. Kendati sebelumnya Kepala Besi telah bersemadi guna memulihkan
keadaannya (Baca: "Patung Kepala Singa").
Sementara itu setelah cukup lama melakukannya,
Andika melihat Kepala Besi mulai tenang. Nafasnya
pun agak teratur. Perlahan-lahan dilepaskan pegan-
gannya pada kedua ibu jari kaki Kepala Besi.
Sementara Kepala Besi masih terbaring, Andika kini
berlutut sambil memperhatikannya. Otaknya yang
encer terus diperas untuk memikirkan tentang du-
gaannya. "Bila memang benar dugaanku itu, berarti aku
sudah menemukan jejak siapa pembantai di Kuil Putra
Langit. Hmmm... sebaiknya, kubiarkan saja lelaki ini lebih tenang dulu."
Memang hanya itu yang harus dilakukannya guna
membuktikan apa yang dipikirkannya. Setelah bebera-
pa saat menunggu dan terus terang, agak tidak sabar, akhirnya terlihat si Kepala
Besi membuka kedua matanya. Melirik pada Andika yang membalas sambil
cengar-cengir. "Beruntung aku bertemu dengan pemuda yang
nampaknya mau menolongku. Ah... mudah-mudahan
dia bukan salah seorang yang terpancing untuk men-
dapatkan Patung Kepala Singa. Tetapi untuk berjaga-
jaga... lebih baik ku usahakan agar tidak sampai
membicarakan soal Patung Kepala Singa...," kata Kepala Besi dalam hati.
Lalu perlahan-lahan dia mencoba bangkit. Andika
membantunya dan menyandarkannya di sebuah ba-
tang pohon besar.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda...."
"Wah! Pertolongan yang tidak seberapa! Tetapi ba-guslah kau masih mau
mengucapkan terima kasih. Itu
namanya tahu sopan santun. Ngomong-ngomong...
siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya Andika sambil nyengir.
"Wajahnya begitu polos. Matanya tajam namun je-
naka. Dari caranya berucap, nampak dia begitu ura-
kan. Tetapi aku tak peduli semua itu. Dan sekarang...
apakah harus kujawab apa yang ditanyakannya baru-
san" Bagaimana kalau dia sebenarnya salah seorang
yang mencari Patung Kepala Singa juga?"
Kepala Besi terdiam dulu seperti mempertimbang-
kan baik buruknya bila dia menjawab pertanyaan itu.
Andika sendiri nampak tidak mau terlalu mendesak
kendati dia penasaran untuk membuktikan apa yang
dipikirkannya. Kepala Besi berkata lagi dalam hati, "Bila dia bukan dari golongan baik-baik,
tentunya dia akan me-
maksa. Tetapi dia nampak biasa-biasa saja. Bahkan...
ah, lebih baik kukatakan saja apa yang terjadi. Asal
jangan menyinggung soal Patung Kepala Singa...."
Berpikiran demikian, lelaki berpakaian abu-abu
terbuka di bahu kanan ini menatap Andika sejenak.
Lalu diceritakannya apa yang telah terjadi, tanpa mengatakan kalau pertarungan
itu disebabkan karena De-
wi Selendang Hitam menghendaki Patung Kepala Singa
(Silakan baca : "Patung Kepala Singa").
"Dewi Selendang Hitam...," desis Andika setelah Kepala Besi menceritakan
semuanya. Setelah itu dia
berkata, "Aku bukan berlaku lancang dalam hal ini...
tetapi ya... kalau kau menganggap lancang boleh saja, tapi sedikit saja, ya"
Apakah kau bisa menjawab bila kutanyakan, Dewi Selendang Hitam ada hubungannya
dengan pembantaian di Kuil Putra Langit."
Tersentak Kepala Besi mendengar pertanyaan itu.
Tanpa sadar dia berucap, "Bagaimana kau tahu?"
Ganti Andika yang kaget sekarang. "Tahu" Wah!
Cuma nebak saja kok! Tetapi betul, ya?"
Kali ini Kepala Besi mengangguk-angguk dan di-
am-diam membatin dalam hati, "Menilik pertanyaannya... nampaknya pemuda ini tahu
banyak. Ah, bila
kukatakan tentang Kuil Putra Langit, pasti berhubun-
gan dengan Patung Kepala Singa. Tetapi biar ku usa-
hakan agar tidak sampai membicarakan soal Patung
Kepala Singa. Karena... di sanalah rahasia yang telah kupendam selama ini bisa
terbongkar."
Kembali setelah memutuskan demikian, Kepala
Besi berucap, "Kau benar. Dewi Selendang Hitam telah membantai seluruh penghuni
Kuil Putra Langit."
"Berarti... Bidadari Tangan Bayangan telah lakukan kesalahan. Sewaktu bertemu
denganku, dia men-
gatakan yang telah lakukan pembantaian keji itu ada-
lah orang yang berjuluk Kepala Besi. Tetapi dari kata-kata lelaki ini, jelas
kalau yang lakukan pembantaian itu adalah perempuan yang berjuluk Dewi Selendang
Hitam. Dugaan Nyi Dungga Ratih berarti salah pula,"
kata Andika dalam hati. Lalu kembali diajukan tanya,
"Tentunya ini berhubungan dengan Patung Kepala
Singa, bukan?"
Untuk kedua kalinya Kepala Besi tak bisa menin-
dih seluruh rencananya untuk tidak sampai membica-
rakan soal itu. Kepalanya mengangguk-angguk.
Andika mendesah pendek. "Ternyata benar du-
gaanku. Tetapi... mengapa dia sampai bertarung den-
gan perempuan berjuluk Dewi Selendang Hitam" Apa-
kah dia mengetahui sesuatu tentang Patung Kepala
Singa" Dan siapa sesungguhnya perempuan itu"


Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atau... jangan-jangan...."
Memutus kata batinnya sendiri, Andika ajukan
tanya, "Kenalkah kau dengan Bidadari Tangan Bayangan?"
Kembali Kepala Besi tak langsung menjawab. Ju-
stru dia membatin, "Pemuda ini nampaknya mengetahui banyak setiap persoalan yang
ada. Dan rasanya...
aku tak bisa menutupi lagi apa yang terjadi."
Setelah membatin begitu, Kepala Besi menjawab,
"Ya... aku mengenalnya."
"Wah! Apakah salah kalau kubilang kau telah bertemu dengannya dan dia menuduhmu
yang lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit?"
Lagi-lagi Kepala Besi menjawab, "Ya."
Andika mengangguk-anggukkan kepalanya seraya
berkata, "Berarti... kau adalah si Kepala Besi..."
*** 3 Sesaat tak ada yang membuka suara kecuali tata-
pan Kepala Besi yang kian melebar sementara Andika
cuma cengar-cengir saja, seolah habis memenangkan
lotre. Masih memandangi pemuda di hadapannya, Kepala
Besi membatin, "Dia benar-benar tahu banyak. Kuil Putra Langit. Patung Kepala
Singa. Bidadari Tangan
Bayangan. Bahkan tahu pula siapa aku. Hmmm... sia-
pa dia sebenarnya?"
Lalu perlahan-lahan Kepala Besi bertanya,
"Anak muda... setiap yang kau tanyakan mengandung kebenaran. Dalam setiap
ucapanmu, mengandung ke-jujuran, hingga aku sulit untuk mengalihkan perta-
nyaanmu. Siapakah kau sebenarnya?"
Kali ini Pendekar Slebor hanya mengangkat se-
pasang alisnya yang seperti kepakan sayap elang sam-
bil garuk-garuk kepalanya. Andika memang paling ti-
dak enak menyebutkan julukannya sendiri. Karena
Andika yakin, kalau dia tidak 'slebor' (bah!).
Masih garuk-garuk kepalanya, pemuda urakan ini
berkata, "Namaku Andika. Aku datang dari Lembah Kutukan...."
Andika sengaja menghentikan kata-katanya den-
gan harapan lelaki berkepala plontos itu akan menge-
nalinya dan menyebutkan julukannya. Tetapi hara-
pannya gagal (sok ngetop sih).
"Bolehkah kutahu julukanmu?"
"Wah! Kacau juga! Julukanku... Pendekar Slebor.
Tetapi perlu diingat dan dicamkan baik-baik, aku tidak
'slebor', lho. Cuma ya... rada-rada saja...," sahut Andika disusul dia tertawa
gede-gede. Mendengar julukan itu disebutkan, nampak wajah
Kepala Besi kian tenang. Kemudian katanya, "Aku pernah mendengar julukanmu itu."
"Busyet! Kenapa cuma julukanku saja, sih" Kena-
pa tidak tahu nama asliku dan dari mana aku da-
tang?" sahut Andika seperti menyalahi.
Kepala Besi tersenyum. Masih tersenyum dia ber-
kata, "Kau memang tidak 'slebor'...."
Andika langsung mesem-mesem senang.
"Tetapi keblinger!"
Andika langsung melengak hingga kepalanya se-
perti terlempar ke belakang. Tetapi kemudian ketawa
gede-gede, yang benar-benar tidak enak didengar.
Kepala Besi membatin, "Yang kayak begini tidak
slebor" Benar-benar edan kalau begitu...."
Lamat-lamat tawa Andika mulai mereda. Lalu
sambil garuk-garuk kepala dia berkata, "Daripada keblinger, lebih baik slebor
sajalah!" Kepala Besi cuma tersenyum. Sekarang dirasakan
kondisi tubuhnya semakin membaik. Aliran darahnya
mulai terasa normal sementara nafasnya pun mulai te-
ratur. Sambil pandangi Andika yang masih garuk-garuk
kepalanya, lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan ini membatin, "Tak
kusangka kalau aku berjumpa dengan Pendekar Slebor, tokoh muda yang be-
rada di jalan lurus. Ah, cukup banyak sebenarnya para pendekar yang kutahu
namanya tetapi tak kutahu seperti apa rupanya. Mungkin, karena bertahun-tahun
belakangan ini aku hanya memusatkan pikiran pada
Patung Kepala Singa dan Dewi Selendang Hitam...."
Kepala Besi sesaat menghentikan kata batinnya,
lalu melanjutkan, "Nampaknya... pemuda ini tahu banyak tentang urusan yang ada.
Rasanya pula, seluruh
rahasia yang kupendam selama ini memang akan ter-
kuak. Ketimbang Dewi Selendang Hitam yang sejak du-
lu memburuku untuk mendapatkan Patung Kepala
Singa yang buka mulut, lebih baik kukatakan saja pa-
da pemuda ini mumpung kuyakini dia adalah orang
baik-baik."
Sementara itu, Andika yang dipandangi menjadi
jengah. Segera saja keluar selorohannya yang konyol,
"Busyet! Hei, Botak! Apa kau pikir aku ini seorang gadis hingga matamu jadi
sebesar jengkol, hah"!"
Dikatai seperti itu justru terbahak-bahak. Seka-
rang Andika yang kerutkan keningnya.
"Kutu monyet! Jangan-jangan... orang ini sudah
kemasukan setan lagi"!" desisnya dalam hati.
Kepala Besi yang selama hidupnya memang jarang
sekali bergurau, tak marah dipanggil seperti itu. Dan kalaupun tadi dia telah
memutuskan untuk mengatakan segala rahasia yang dipendamnya pada Andika,
kali ini keputusan itu bertambah kuat. Karena dia yakin, sudah saatnya membuka
rahasia yang telah lama
dipendamnya. Apalagi, urusan ini bisa berkembang
panjang dan menjadi salah paham. Terutama, pada
Bidadari Tangan Bayangan yang diyakininya masih
memburunya karena menyangka dialah yang telah la-
kukan pembantaian di Kuil Putra Langit.
Tetapi sebelum diutarakan maksudnya, Andika
justru telah berkata, "Ada yang hendak kutanyakan kepadamu, Kepala Besi... eh!
Apa benar kepalamu se-keras besi, ya?"
Habis memutus kata-katanya sendiri, pemuda
urakan ini dengan enaknya menjitak kepala lelaki di
hadapannya. Tak! "Waadaaaaauuuuu!!"serunya konyol padahal dia tidak merasa kesakitan. Lebih
konyol lagi, buku-buku jari-jarinya ditiup-tiup dengan wajah dibuat meringis.
"Betul-betul terbuat dari besi, nih!"
Lagi-lagi Kepala Besi bukannya marah malah kian
keras tawanya. Andika kembali geleng-gelengkan kepa-
la. "Benar-benar sudah kesambet nih! Hmmm... kini
persoalan mulai jelas. Kepala Besi bukanlah orang
yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Pu-
tra Langit. Orang itu berjuluk Dewi Selendang Hitam.
Tetapi menurut jawabannya tadi, Dewi Selendang Hi-
tam justru memburunya untuk mendapatkan Patung
Kepala Singa. Berarti, setelah mendengar berita kalau Patung Kepala Singa
didapatkan secara tak sengaja
oleh Pendekar Sutera, Dewi Selendang Hitam langsung
memburunya. Namun gagal mendapatkan benda yang
dicarinya...."
Sementara Kepala Besi masih terbahak-bahak,
Andika melanjutkan kata-kata dalam hatinya, "Lalu dia bertemu dengan Kepala Besi
dan menyangka Kepala Besi telah mengambil Patung Kepala Singa. Tetapi
menilik kata-katanya, jelas kalau dia tidak mengambil benda itu bahkan baru tahu
kalau terjadi pembantaian di Kuil Putra Langit. Lalu... ke manakah Patung Kepala
Singa" Bila memang ada yang membawanya, siapa
orangnya?"
Andika terdiam sambil mencubit-cubit dagunya.
Alisnya yang hitam legam dan menukik laksana kepa-
kan sayap elang, berkerut bersama keningnya.
Dan mendadak saja diarahkan pandangannya pa-
da si Kepala Besi yang masih terbahak-bahak.
"Kalau memang seperti ini, apakah tidak mungkin kalau Kepala Besi lebih tahu
banyak tentang Patung
Kepala Singa" Tak mungkin Dewi Selendang Hitam
memburunya tanpa sebab yang pasti. Atau jangan-
jangan... dia justru ada hubungannya dengan Patung
Kepala Singa" Dalam arti... riwayat patung itu sendi-ri...." Sementara itu,
Kepala Besi yang mulai reda tawanya, berkata sambil melotot, "Kenapa lihat-
lihat" Apakah kau pikir aku ini janda kembang yang punya
tubuh montok, hah"!"
Andika tertawa mendengar selorohan yang secara
tak langsung mengulangi selorohannya tadi.
Setelah beberapa saat, pemuda urakan ini segera
ajukan pertanyaan sehubungan dengan apa yang dipi-
kirkannya, "Kepala Besi... aku tidak tahu banyak tentang asal-usul Patung Kepala
Singa. Hanya yang ku-
dengar dari Bidadari Tangan Bayangan, kalau Pende-
kar Sutera mendapatkannya secara tidak sengaja di
saat sedang bersemadi. Lantas Dewi Selendang Hitam
memburumu karena menyangka kau telah menda-
patkan Patung Kepala Singa. Tetapi... ih! Aneh, ya"
Kok aku berpikiran, kalau kau sebenarnya mempunyai
hubungan erat dengan Patung Kepala Singa" Eh, betul
tidak dugaanku"
Kepala Besi yang tadi memutuskan untuk menga-
takan apa yang selama ini dipendamnya, menghela
napas sejenak sebelum menganggukkan kepala.
"Kau benar, Andika.... Bahkan, akulah pemilik sah Patung Kepala Singa...."
Andika mendesah napas pendek. "Ternyata du-
gaanku betul lagi. Ih! Betul-betul cerdik nih otak!" (Busyet, kok muji sendiri!
Dasar kurang kerjaan!).
Kemudian katanya, "Bersediakah kau untuk mene-
rangkan, mengapa kau menganggap dirimu sebagai
pemilik sah dari Patung Kepala Singa?"
"Aku bukan menganggapnya, karena aku memang
pemiliknya," sahut Kepala Besi.
Sementara Andika menganggukkan kepalanya,
perlahan-lahan Kepala Besi bercerita.
*** 4 Empat puluh tahun yang lalu, disaat Kepala Besi
berusia sekitar tujuh belas tahun, dia adalah murid
dari Eyang Kapi Pitu. Sejak berusia lima tahun si Kepala Besi yang bernama asli
Wajayatika, telah menun-
tut ilmu dari Eyang Kapi Pitu.
Genap dia berusia tujuh belas tahun, Wajayatika
yang sejak lahir memang di kepalanya tak tumbuh
rambut sehelai pun, dipanggil menghadap kepada
Eyang Kapi Pitu.
Banyak wejangan demi wejangan yang disampai-
kan Eyang Kapi Pitu pada Wajayatika. Bahkan perte-
muan yang tak biasanya itu berlangsung hingga dua
hari dua malam. Menjelang senja menuju malam keti-
ga, Eyang Kapi Pitu berkata, "Sebenarnya... ada satu amanat yang akan
kusampaikan kepadamu, Wijaya."
Wajayatika segera rangkapkan kedua tangannya
di depan dada. Sesungguhnya, dia amat tersiksa sekali dengan rasa kantuk yang
terus menyerang. Namun di-tahannya agar dia tidak sampai tertidur. Selama dua
hari dua malam duduk bersila bukanlah satu peker-
jaan enak. Darahnya seperti berhenti dan terhimpun
pada kedua lututnya yang tertekuk. Sementara ping-
gangnya mulai terasa linu dengan kepala sedikit pus-
ing. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun pada
waktu itu, mengusap jenggotnya yang putih meman-
jang. Dia tak memiliki kumis. Wajahnya begitu arif
dengan sorot mata teduh. Eyang Kapi Pitu mengena-
kan pakaian panjang warna abu-abu. Kalau Wajayati-
ka duduk bersila di atas tanah, Eyang Kapi Pitu duduk bersila di sebuah batu
sebesar kambing dewasa.
Dan dia sama sekali tak mengantuk, bahkan ju-
stru makin kelihatan bertambah segar.
Eyang Kapi Pitu terdiam dulu sebelum berkata,
"Wajaya... tatkala aku berusia sekitar tiga puluh lima tahun, aku melihat sebuah
pohon besar yang tumbuh
di sebuah hutan. Aku sama sekali tak mengetahui hu-
tan apakah itu. Sebenarnya, tak ada keanehan pada
pohon besar itu, karena pepohonan yang tumbuh di
sana, sama besarnya. Hanya saja, pohon itu seperti
memancarkan sinar keperakan yang sangat indah. Te-
rus terang, aku sangat tertarik pada pohon itu. Yang menarik lagi, bila malam
tiba, pancaran sinar perak
yang keluar dari pohon itu, seperti menggambarkan
wajah seekor singa. Begitu anggun dan bersahaja. Ka-
rena rasa tertarik itulah, aku segera membangun se-
buah gubuk kecil untuk tempat tinggal. Dan selama
lima tahun aku tinggal di dekat pohon aneh itu...."
Eyang Kapi Pitu menghentikan kata-katanya. Se-
mentara itu, Wajayatika merasa kantuknya seakan
menghilang. Dia sangat tertarik, sekaligus takjub mendengar cerita gurunya.
"Lalu apa yang terjadi, Eyang?"
"Tak ada yang terjadi selama lima tahun itu,
Anakku... kecuali bila malam tiba sinar perak itu tetap menggambarkan wajah
seekor singa jantan. Namun
pada suatu malam, tatkala aku sedang memandangi
pohon itu dari dalam gubuk yang kubangun, aku dike-
jutkan oleh sesuatu yang memang sungguh sangat
mengejutkan...."
"Apakah itu, Eyang?"
"Kalau biasanya sinar perak itu selalu menggambarkan wajah singa, kali ini
lambat laun wajah singa itu menghilang. Justru yang tergambar, luruhan abu
berwarna perak, yang turun naik. Semula kupikir aku
salah melihat, namun kejadian itu tetap berlangsung
hingga satu bulan lamanya. Sungguh, aku tidak bisa
mencernakan apa yang telah terjadi atau makna apa
yang tersirat. Bahkan secara jujur kukatakan, bahkan sampai saat ini aku masih
belum tahu apa arti semua
itu...." Kali ini tak ada yang bersuara. Beberapa dedau-
nan trembesi berguguran dihembus angin senja. Di
hamparan mata langit sebelah barat, terlihat burung-
burung beterbangan bermandikan semburat cahaya
matahari, "Eyang... apakah pohon itu masih ada hingga saat ini?" tanya Wajayatika
kemudian.

Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Kapi Pitu mengusap jenggotnya sambil
menggelengkan kepala.
"Tidak. Pohon itu sudah tidak ada lagi."
"Apakah pohon itu...."
"Tidak, Anakku. Pohon itu tidak tumbang ataupun lenyap. Tetapi... pohon itu
telah kutebang."
"Oh! Mengapa, Eyang?"
"Aku sendiri tidak tahu mengapa aku sampai me-
nebangnya. Mungkin semua itu kulakukan, dikarena-
kan aku merasa harus memecahkan rahasia apa yang
terdapat pada pohon itu. Ada rasa penyesalanku saat
pohon itu telah tumbang. Lalu dikarenakan pohon
tumbang itu dapat menghalangi jalan, maka segera
kucacah seperti kayu bakar. Namun yang menge-
jutkan, tatkala bagian tengah pohon itu kubelah, se-
suatu terjatuh dari sana."
"Apakah sesuatu itu, Eyang?"
"Sebuah patung berkepala singa."
"Patung Kepala Singa?" terbelalak Wajayatika mendengar jawaban gurunya.
Sesungguhnya, dia mulai merasa pusing sendiri mendengar setiap kelanjutan cerita
gurunya yang bila dipikir jernih seperti tak masuk akal.
"Kau benar. Patung Kepala Singa."
"Apakah patung itu masih ada?"
"Sampai sekarang masih ada. Selalu kusimpan
karena hanya itulah kenang-kenangan yang kuda-
patkan dari pohon besar aneh yang mengeluarkan ca-
haya perak dan menggambarkan wajah singa serta lu-
ruhan abu."
Habis kata-katanya, Eyang Kapi Pitu menepuk
tangannya tiga kali. Dan entah dari mana datangnya, mendadak saja di telapak
tangan kanannya telah terdapat sebuah benda yang memancarkan cahaya kepe-
rakan. Sebuah patung berkepala singa.
Wajayatika memandang takjub tanpa kedip.
"Luar biasa... sungguh kejadian yang luar bi-
asa...," desisnya dalam hati. Lalu berkata, "Eyang... bolehkah aku melihat lebih
dekat patung itu?"
"Kau bukan hanya boleh melihatnya lebih dekat,
bahkan mulai saat ini, Patung Kepala Singa menjadi
milikmu." "Maksud Eyang... Eyang menghadiahkan patung
itu kepadaku?" ulang Kepala Besi dengan dada berdebar. "Aku bukan sekadar
menghadiahkan kepadamu.
Tetapi aku ingin kau menjaga, merawat, dan meme-
cahkan rahasia apa yang tersimpan pada patung ini.
Wijaya, usiaku semakin lama akan bertambah. Semen-
tara hingga usia yang memasuki senja ini, aku belum
juga dapat memecahkan rahasia apa yang tersimpan
pada pohon itu, yang kini kuyakini telah berada pada patung ini. Kuharap... kau
dapat melanjutkan keinginanku untuk memecahkan rahasia Patung Kepala Sin-
ga...." Lalu perlahan-lahan Eyang Kapi Pitu menjulurkan
tangan kanannya. Dan dengan berhati-hati Wajayatika
mengambil patung itu. Diamat-amatinya dengan sek-
sama dan lambat laun matanya kian memancarkan si-
nar kekaguman. Kemudian sambil angkat kepalanya dia berkata,
"Eyang.. aku berjanji, akan kupecahkan rahasia apa yang tersimpan di balik
patung ini...."
Eyang Kapi Pitu tersenyum.
"Aku senang mendengar janjimu itu. Wijaya... malam ini juga, kau harus segera
meninggalkan tempat
ini." Kalau tadi dia terkagum-kagum, kali ini melengak mendengar kata-kata
gurunya. "Apa maksud, Eyang?"
Eyang Kapi Pitu tersenyum. "Tadi kukatakan,
usiaku semakin lama kian bertambah tua. Sementara
kau, masih sedemikian muda. Inilah saatnya bagimu
untuk melihat dunia luar. Aku bukanlah seorang pen-
dekar tangguh, hingga rasanya, kau belum cukup ba-
nyak mendapatkan ilmu kendati kau telah menda-
patkan seluruh ilmu yang kumiliki. Pesanku hanya
dua. Pertama, kau harus selalu bertindak pada jalan kebenaran. Kedua, jaga
Patung Kepala Singa agar jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Bahkan, kau
tidak boleh meninggalkannya dalam waktu yang cukup
lama. Aku tak mengerti mengapa kukatakan ini pada-
mu. Hanya karena aku sangat menyayangi benda itu
dan tak ingin jatuh ke tangan orang lain sebelum kau memecahkan rahasianya."
Wajayatika cuma menganggukkan kepalanya
sambil menarik napas.
"Baiklah, Eyang... akan kuingat setiap pesanmu itu."
"Berangkatlah sekarang juga. Ingat, sampai langkah kesepuluh kau jangan menoleh
lagi ke arahku.
Pada langkah kesebelas, kau boleh menoleh."
Sekali lagi Wajayatika menganggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan dia segera bangkit. Setelah membung-
kukkan tubuh, sambil membawa Patung Kepala Singa,
pemuda berkepala plontos itu pun segera melangkah.
Diusahakan untuk tidak tolehkan kepala sebelum
tiba pada langkah kesebelas. Setelah memasuki lang-
kah kesebelas, dia baru tolehkan kepala.
Dilihatnya gurunya sudah tidak ada di tempat
semula. Pemuda ini menarik napas pendek seraya ber-
kata, "Akan kujalankan apa yang kau pesankan,
Eyang." Mulailah Wajayatika bertualang. Dalam setip
langkahnya dia selalu teringat akan pesan-pesan gu-
runya untuk selalu bertindak di jalan lurus. Pada usia kedua puluh lima, karena
sepak terjangnya yang selalu memberantas golongan sesat, orang-orang dari bagian
timur menjulukinya si Kepala Besi. Karena Wajayatika selalu mempergunakan jurus
anehnya dengan kepala
bila dia sudah dalam keadaan terdesak.
Pada usia kedua puluh delapan, Kepala Besi ber-
temu dengan Dewi Selendang Hitam. Semula perte-
muan itu tidak disengaja. Karena pada suatu senja di sebuah dusun, Dewi
Selendang Hitam sedang menga-muk. Perempuan yang dari kepala hingga sebagian wa-
jahnya tertutup oleh selendang warna hitam itu, ingin menguasai dusun tersebut.
Kepala Besi pun merasa terpanggil untuk menga-
tasinya. Dalam pertarungan pertamanya, dia memang
berhasil mempecundangi Dewi Selendang Hitam. Na-
mun setelah lima tahun kemudian mereka bertemu
kembali, justru keadaan berbalik.
Dewi Selendang Hitam yang rupanya terus melatih
diri dan mendendam pada Kepala Besi, berhasil men-
galahkannya. Kepala Besi memang berhasil melarikan
diri. Tetapi dua tahun kemudian, mereka tak sengaja
bertemu kembali.
Pertarungan terjadi lagi. Saat itulah Dewi Selen-
dang Hitam menyadari, kalau setiap perjumpaannya
dengan si Kepala Besi, lelaki berkepala plontos itu selalu membawa Patung Kepala
Singa. Karena berpikir
kalau benda itu bukan benda sembarangan, Dewi Se-
lendang Hitam berusaha untuk merebutnya.
Tetapi gagal karena Kepala Besi berhasil melarikan di-ri. Namun itu bukanlah
pertemuan mereka yang te-
rakhir. Karena dua bulan kemudian, Dewi Selendang
Hitam yang makin menginginkan Patung Kepala Singa
dan terus memburunya, berhasil menahan langkah
Kepala Besi. Pada pertarungan yang kesekian ini, kembali Ke-
pala Besi berhasil dikalahkan. Bahkan bila dia tidak segera meraup pasir dan
melemparkannya ke wajah
Dewi Selendang Hitam, bukan hanya Patung Kepala
Singa yang akan pindah tangan. Tetapi nyawanya akan
putus saat itu pula!
Di sebuah tempat yang sepi, Kepala Besi berusaha
untuk menyembuhkan luka dalamnya. Diam-diam dia
pun yakin, kalau Dewi Selendang Hitam tak akan per-
nah melepaskannya. Karena tak ingin Patung Kepala
Singa dapat direbut oleh Dewi Selendang Hitam se-
mentara keadaannya masih belum sembuh betul, Ke-
pala Besi memutuskan untuk menguburkannya.
Namun setelah beberapa tahun lewat, Kepala Besi ti-
dak pernah bertemu lagi dengan Dewi Selendang Hi-
tam. Sampai kemudian dia teringat untuk mengambil
kembali Patung Kepala Singa. Namun alangkah terke-
jutnya lelaki berkepala plontos itu tatkala tidak menemukan Patung Kepala Singa
pada tanah di mana dia
menguburkannya.
Diusahakan untuk mencoba berpikir lebih jernih
sambil menahan kesabarannya. Namun setelah tempat
itu terbongkar semua, dia tetap tak menemukan Pa-
tung Kepala Singa!
"Gila!" serunya gusar dengan hati cukup kalang
kabut. "Siapa yang telah membongkar tanah itu" Siapa yang telah mengambil Patung
Kepala Singa"!"
Diingat-ingatnya siapa saja orang yang tertarik
pada Patung Kepala Singa. Dan satu-satunya orang
yang singgah pada pikirannya adalah, Dewi Selendang
Hitam. Seketika rasa penasarannya menjadi kemarahan.
"Jahanam! Pantas saja aku tidak pernah bertemu lagi dengannya! Rupanya dia telah
mendapatkan Patung
Kepala Singa!!"
Namun tatkala teringat akan pesan dari Eyang
Kapi Pitu sebelum dia menerima Patung Kepala Singa,
Kepala Besi untuk sesaat terdiam. Kemarahannya la-
mat-lamat mulai mereda.
"Bila bukan Dewi Selendang Hitam yang mengam-
bilnya, siapa lagi orangnya" Atau jangan-jangan... ini salah satu keanehan dari
Patung Kepala Singa?"
Sesaat lelaki berkepala plontos ini terdiam. Ha-
tinya mulai diliputi keresahan kembali. Lalu perlahan-lahan dia berkata, "Hingga
saat ini... aku belum dapat memecahkan rahasia Patung Kepala Singa seperti yang
diutarakan Eyang Guru. Apakah hilangnya Patung Ke-
pala Singa dikarenakan aku tidak menjaganya seperti
yang dimaksud Eyang?"
Sungguh pusing kepala lelaki ini memikirkan ke-
mungkinan itu. Setelah beberapa saat tak lakukan tindakan apa-apa, dia menghela
napas panjang. "Jalan satu-satunya... aku harus mencarinya...."
Mulailah Kepala Besi menyusuri jejak tentang lenyap-
nya Patung Kepala Singa. Sampai kemudian dia men-
dengar kabar kalau Pendekar Sutera, pimpinan dari
Kuil Putra Langit memiliki sebuah benda yang berna-
ma Patung Kepala Singa. Namun sebelum dia menge-
tahui siapakah sesungguhnya Pendekar Sutera, Bida-
dari Tangan Bayangan telah menghadangnya dan lan-
carkan tuduhan kalau dialah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra
Langit. Menyusul perjumpaannya dengan Dewi Selendang Hitam.
*** "Begitulah yang terjadi, Andika...," katanya kemudian pada Pendekar Slebor yang
mendengarkan den-
gan seksama. Andika manggut-manggut.
"Sungguh rumit masalah ini. Kepala Besi, menu-
rut Bidadari Tangan Bayangan, Pendekar Sutera men-
dapatkan Patung Kepala Singa di saat dia sedang ber-
semadi. Kemungkinan yang kau ceritakan kalau le-
nyapnya Patung Kepala Singa, ini disebabkan oleh ke-
kuatan benda itu sendiri, bisa jadi betul."
"Ya... setelah perjumpaanku dengan Dewi Selen-
dang Hitam, aku semakin kuat menduga seperti itu."
"Luar biasa... aku jadi penasaran ingin melihat seperti apa Patung Kepala
Singa," kata Andika dengan mimik serius. Namun keseriusannya segera lenyap di
saat dia arahkan pandangan pada si Kepala Besi sam-
bil berkata, "Ngomong-ngomong... Patung Kepala Singa itu tidak tandus kayak
kepalamu, kan?"
Kepala Besi cuma tersenyum kecut. Lalu katanya,
"Andika... pada kesempatan ini, aku meminta ban-tuanmu untuk menemukan Patung
Kepala Singa. Bahkan bila kau bersedia, aku juga menginginkan agar kau memecahkan rahasia apa
yang ada pada benda
itu." "Wah! Mana bisa begitu" Nanti rambutku cepat ubanan lagi kalau banyak
berpikir!" sahut Andika nyo-nyor, akan tetapi di dasar hatinya dia sungguh pena-
saran sekali. Atau dengan kata lain, tanpa diminta
pemuda urakan ini juga akan berusaha untuk meme-
cahkan rahasia Patung Kepala Singa.
"Ubanan atau tidak ubanan toh tidak ada gadis
yang mau denganmu?" sambar Kepala Besi.
"Yeeee... mendingan kepalaku ada rambutnya! Da-
ripada kepalamu yang tandus begitu" Huh! Sudah
tandus, penjol lagi!!" seloroh Andika sambil memo-nyongkan mulutnya. Lalu
sambungnya, "Ngomong-
ngomong lagi... apakah Eyang Kapi Pitu menceritakan
perubahan lainnya dari cahaya putih yang menggam-
barkan kepala singa dan luruhan abu?"
Kepala Besi menggelengkan kepala. "Tidak."
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. "Cahaya putih. Gambar kepala singa. Luruhan abu. Apakah... ah, tidak,
tidak...."
"Apa yang kau pikirkan, Andika?" tanya Kepala Besi yang melihat Andika sengaja
memutuskan kata-katanya.
"Tidak, tidak... mungkin aku salah. Kepala Besi, nampaknya kau sudah lebih sehat
sekarang ini. Sebaiknya... kita berpisah saja sampai di sini. Masing-masing
orang...."
Kata-kata Pendekar Slebor terputus tatkala ter-
dengar satu suara keras penuh kegeraman, "Pemuda keparat! Kau telah mencabut
nyawa sahabatku! Kali
ini, aku akan bertarung mati-matian denganmu!!"
*** 5 Kita tinggalkan dulu apa yang akan dialami oleh
Pendekar Slebor dan Kepala Besi. Sekarang kita ikuti perjalanan Bidadari Tangan
Bayangan dan Tri Sari
yang sedang mencari Dewa Suci. Setelah Kepala Besi
berhasil melarikan diri dari serangan perempuan ber-
pakaian kuning bersih itu, Bidadari Tangan Bayangan
menahan langkah Tri Sari yang sebenarnya hendak
mencari Kepala Besi, yang saat itu dipikirnya adalah orang yang telah lakukan
pembunuhan terhadap ayah


Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan para saudaranya.
Dari percakapan yang terjadi, tahulah perempuan
setengah baya yang di pinggangnya melilit selendang
warna merah kalau gadis berpakaian putih-putih itu
adalah putra sahabatnya, si Pendekar Sutera.
Tri Sari yang sebelumnya berhasil meloloskan diri
dari pembantaian di Kuil Putra Langit, memang men-
dapat amanat dari ayahnya sebelum tewas. Kalau dia
harus mencari Bidadari Tangan Bayangan. Dan tak
disangkanya, kalau orang yang dicari justru berada di hadapannya.
Bidadari Tangan Bayangan pun mengusulkan un-
tuk mencari Dewa Suci guna memecahkan rahasia apa
yang ada di balik Patung Kepala Singa, yang saat ini didekap erat oleh Tri Sari
dan dibungkus kain warna
hitam (Untuk lebih jelasnya, silakan baca : "Patung Kepala Singa").
Namun mencari Dewa Suci kendati sudah diketa-
hui di mana dia tinggal tak semudah yang dibayang-
kan. Tatkala siang telah tiba, kedua orang itu mulai jejakkan kakinya pada jalan
setapak menuju ke Bukit
Kubur. Bidadari Tangan Bayangan sejenak hentikan lang-
kahnya. Sementara itu, Tri Sari mulai merasa dadanya seperti mau pecah. Karena
hanya dua kali Bidadari
Tangan Bayangan hentikan larinya. Itu pun dalam
waktu yang sangat singkat.
Di sekeliling masing-masing orang dipenuhi den-
gan rerumputan setinggi dada yang berbaur dengan
ranggasan semak belukar. Pepohonan tinggi dan besar
berjajar laksana prajurit perang yang siap menyerbu.
Tri Sari pun yakin kalau perempuan di sebelahnya
ini akan segera meneruskan langkah, karena terlihat
bagaimana Bidadari Tangan Bayangan mengangguk-
anggukkan kepalanya seolah memberi aba-aba untuk
meneruskan langkah.
Tri Sari yang memang sudah kelelahan segera
berkata, "Bibik...tidakkah sebaiknya kita beristirahat dulu?"
Bidadari Tangan Bayangan palingkan kepala. Tak
keluarkan suara kecuali memandangi si gadis.
"Hmmm... dia nampak sudah kepayahan. Bila saja
aku tidak tahu kalau dia putri dari Pendekar Sutera, sudah kutinggalkan dia di
sini sementara Patung Kepala Singa akan kubawa kepada Dewa Suci. Tetapi...
aku tak boleh buang waktu."
Habis membatin demikian, guru Nawang Wangi ini
berkata, "Bila kau sudah tak sanggup lagi untuk melangkah, lebih baik kau
beristirahat di sini saja. Biar aku yang mencari Dewa Suci di Bukit Kubur."
Tri Sari cuma menganggukkan kepalanya. Kemu-
dian sambil menjulurkan bungkusan yang dipegang-
nya, gadis ini berkata, "Bibik... bawalah Patung Kepala Singa ini padamu, hingga
kau tidak perlu balik lagi bi-la bertemu dengan Dewa Suci."
"Tidak. Biarlah patung itu tetap berada padamu, Tri Sari. Aku berangkat sekarang
dan akan kembali secepatnya. Jangan ke mana-mana."
Setelah mendapati anggukkan kepala si gadis, Bi-
dadari Tangan Bayangan segera hempos tubuh. Gera-
kannya begitu ringan sekali, tanda dia memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup
tinggi. Sepeninggal Bidadari Tangan Bayangan, Tri Sari
berjalan ke balik ranggasan semak. Di sebuah pohon
besar yang rindang, gadis ini duduk bersandar.
Rasa lelah karena sebelumnya di saat dia hendak
tidur muncul Kepala Besi, dan kini dia belum beristirahat sudah diajak pergi
oleh Bidadari Tangan Bayan-
gan, membuat dirinya kian didera kantuk yang tinggi.
"Tidak... aku tidak boleh tertidur. Aku harus tetap terjaga...," desisnya dengan
suara lemah. Namun kantuk itu tetap menyerangnya. Apalagi,
kendati panas meranggas, namun di tempat yang di-
penuhi pepohonan ini terasa hembusan angin begitu
semilir, membuat Tri Sari perlahan-lahan mulai meme-
jamkan matanya. Patung Kepala Singa yang terbung-
kus kain hitam itu tetap didekapnya erat.
Cukup lama Tri Sari tertidur sebelum akhirnya
terjaga tatkala mendengar suara ranting berderak tan-da diinjak orang. Seketika
dia bangkit untuk melihat siapa yang datang. Namun saat itu pula putri Pendekar
Sutera ini merunduk kembali.
"Aneh! Bukan Bibik Bidadari Tangan Bayangan
yang muncul!" desisnya dalam hati dan berusaha untuk tidak keluarkan suara.
Orang yang datang itu, berpakaian hitam. Dari
kepala hingga sebagian wajahnya, tertutup selendang
warna hitam. Menilik cirinya, jelas dia adalah Dewi Selendang Hitam. Orang yang
telah lakukan pemban-
taian di Kuil Putra Langit dan orang yang menginginkan Patung Kepala Singa.
Perempuan tua kejam ini hentikan gerakannya.
Pandangannya yang agak menyipit memperhatikan se-
kelilingnya. Mendadak terdengar makiannya, "Jahanam terkutuk! Ke mana lagi aku
harus mencari Patung
Kepala Singa" Sia-sia apa yang telah kulakukan di Kuil Putra Langit! Sia-sia
kubuang tenaga untuk membantai seluruh penghuni tempat itu, kalau ternyata
Patung Kepala Singa tak kutemukan!"
Di balik ranggasan semak, Tri Sari yang tak berani
bergerak melengak sejenak.
"Aneh! Menilik kata-katanya, jelas perempuan
berpakaian hitam itu yang telah menurunkan tangan
di Kuil Putra Langit. Orang yang lelah membunuh ayah dan saudara-saudaraku,"
desisnya heran dalam hati.
Lalu melanjutkan, "Tetapi... bukankah menurut Bibik Bidadari Tangan Bayangan,
kalau Kepala Besilah
orang yang telah menurunkan tangan" Ah, siapa yang
benar kalau begini?"
Kendati rasa penasarannya ingin melihat lebih je-
las wajah perempuan itu, namun Tri Sari tak berani
melakukannya. Bahkan kalau tadi dia mendekam di
balik ranggasan semak itu, kali ini dia menelungkup
sambil mendekap Patung Kepala Singa erat-erat.
Sejarak delapan langkah dari tempat Tri Sari, De-
wi Selendang Hitam nampak terdiam, tanda kalau dia
tengah berpikir.
Kemudian terdengar suaranya, "Kepala Besi telah tewas. Dendam lamaku telah
tuntas, kendati aku tak
mendapatkan benda yang kuinginkan sejak lama. Ja-
hanam terkutuk! Siapa orang yang telah mengambil
Patung Kepala Singa"!"
Sejenak perempuan kejam ini terdiam. Lamat-
lamat terdengar suaranya penuh kegeraman, "Jangan-jangan... ada yang luput dari
pembantaianku di Kuil
Putra Langit, orang yang kemudian lari menyela-
matkan Patung Kepala Singa" Benar-benar sial bila
memang itu jadi kenyataan!!"
Mendadak saja Dewi Selendang Hitam gerakkan
tangan kanannya ke depan.
Wrrrrr!! Serta merta menghampar satu gelombang angin
yang keluarkan suara bergemuruh. Langsung meng-
hantam sebatang pohon yang berderak dan tumbang.
"Jahanam sial! Harus kucari orang itu! Harus ku-
bunuh dial!" geramnya gusar.
Di tempatnya, Tri Sari kian terlungkup. Bila me-
nuruti kata hatinya, dia akan muncul untuk lakukan
pembalasan. Namun disadarinya kalau perempuan itu
jelas bukan lawannya. Mengingat dia bukan hanya
mampu membunuh seluruh penghuni Kuil Putra Lan-
git, namun ayahnya juga tewas dibunuh.
Makanya, yang bisa dilakukannya hanyalah tetap
berada di tempatnya. Diam-diam gadis ini membatin,
"Beruntung karena aku cepat terjaga dari tidurku. Bila tidak... ah, tak bisa
kubayangkan apa yang akan terjadi...." Sementara itu, di tempatnya Dewi
Selendang Hitam masih menggeram panjang pendek. Setelah ker-
takkan rahangnya, perempuan ini berkelebat mening-
galkan tempat itu.
Sepeninggal Dewi Selendang Hitam, Tri Sari belum
berani untuk bangkit berdiri. Ditunggunya saat yang
paling tepat. Setelah diyakini kalau perempuan itu tidak kembali lagi, hati-hati
dia mulai berdiri. Hati-hati pula disibakkan ranggasan semak di hadapannya. Tak
dilihatnya perempuan itu di sana.
Dia pun menarik napas lega.
"Celaka kalau begini... Bibik Bidadari Tangan
Bayangan telah lakukan kesalahan, kalau ternyata
bukan Kepala Besi lah yang telah membunuh ayah dan
yang lainnya. Tetapi perempuan kejam itu. Bahkan...
perempuan itu telah membunuh si Kepala Besi. Ah,
semakin rumit keadaan ini."
Lalu hati-hati gadis berambut dikuncir kuda ini
keluar dari balik ranggasan semak. Sejenak diedarkan pandangannya sebelum
kemudian diarahkan ke Bukit
Kubur. "Tak ada tanda-tanda Bibik Bidadari Tangan
Bayangan akan datang.... Ah, apa yang terjadi dengan-
nya" Apakah dia berhasil bertemu dengan Dewa Suci"
Atau justru malah sebaliknya?" Gadis berkucir ekor kuda ini terdiam sejenak
sebelum melanjutkan, "Ada keinginanku untuk menyusulnya. Berita tentang siapa
orang yang telah membunuh ayahku dan yang lainnya,
harus segera kusampaikan. Tetapi bagaimana kalau
aku selisih jalan dengannya, sementara aku sendiri belum tahu jalan menuju ke
Bukit Kubur" Hmmm... se-
baiknya, biarlah kutunggu saja di sini."
Sementara itu, lambat laun matahari pun mulai
bergeser dari atas kepala. Perasaan putri Pendekar Sutera ini mulai diliputi
kegelisahan. Dia pun agak bimbang untuk memutuskan apa yang akan dilakukan-
nya. Dan selagi si gadis masih terdiam tak tahu apa
yang akan diperbuatnya, mendadak saja terdengar su-
ara, "Hmmm... ternyata ada seorang gadis yang menungguku di sini. Rasanya,
ketika aku telah tiba di si-ni tadi pun aku yakin kau telah menungguku, Manis.
Tetapi kau hebat bisa luput dari penglihatan serta
pendengaranku...."
Belum lagi suara itu habis terdengar, mendadak
saja di hadapan Tri Sari telah berdiri tegak satu sosok tubuh berpakaian hitam.
Dari kepala hingga sebagian
wajahnya, tertutup selendang warna hitam! Di bagian
atas kepalanya, nampak selendang itu mencuat, seper-
ti ada sebuah sanggul.
*** Terkesiap Tri Sari melihat siapa yang muncul.
Tanpa sadar wajahnya langsung memucat dengan
langkah yang surut dua tindak ke belakang. Tanpa sa-
dar pula tangan kanannya mendekap erat-erat bung-
kusan kain hitam pada dadanya.
Perempuan yang tak lain Dewi Selendang Hitam
adanya ini, melirik sekilas pada bungkusan kain hitam itu. "Bila gadis ini tadi
berhasil menutupi kehadirannya dariku, jelas dia memang berisi. Siapa dia
adanya" Apakah dia termasuk salah seorang yang mengetahui
tentang Patung Kepala Singa" Dan bungkusan hitam
itu... nampaknya dia begitu berhati-hati menja-
ganya...."
Sementara Dewi Selendang Hitam membatin begi-
tu, Tri Sari pun membatin, "Tak bisa kuhindari kehadirannya. Ah, mengapa aku
tadi tidak segera menyusul
Bibik Bidadari Tangan Bayangan" Tetapi... apa pun
yang terjadi, aku harus melawannya. Bahkan kalau
mampu, aku harus membalas segala perbuatannya.
Hanya saja... bagaimana bila aku dikalahkan" Berar-
ti... Patung Kepala Singa yang diburunya akan berpindah tangan padanya.... Ah,
aku harus mengulur wak-
tu... barangkali saja Bibik Bidadari Tangan Bayangan akan muncul...."
Di seberang, Dewi Selendang Hitam berkata din-
gin, "Gadis Ayu... katakan padaku, sedang apa kau di tempat ini?"
Tri Sari berusaha untuk menindih segala pera-
saannya. Lalu dengan suara agak ketus dia menjawab,
"Apakah kau belum pernah melihat seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya,
hah"!"
Dewi Selendang Hitam tersenyum, jelas terbayang
dari selendang hitamnya yang agak bergerak. "Di mana kekasihmu sekarang?"
"Aku tidak tahu! Sejak tadi aku berada di sini, dia belum muncul juga!"
"Apa yang hendak kau lakukan dengannya di
tempat ini, hah"!" suara Dewi Selendang Hitam kian mengandung kesinisan.
"Huh! Betul-betul suka campuri urusan orang!
Apa yang akan kulakukan bersama kekasihku, bukan
urusanmu! Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum
kekasihku datang!!"
"Huh! Benda apa yang ada di bungkusan itu"!"
"Lancang! Bungkusan ini berisi pakaian!" sahut Tri Sari garang. Lalu dengan
mengubah mimiknya
menjadi sedih dia melanjutkan "Hubunganku dengan Kang Gunarto tidak direstui
oleh orangtuaku.... Huh!
Aku mencintai Kang Gunarto sepenuh jiwa dan raga-
ku. Apa yang kuhendaki Kang Gunarto akan kulaku-
kan dengan setulus hati. Aku akan kabur dengannya."
Tiba-tiba saja Tri Sari menatap tajam pada Dewi
Selendang Hitam. "Nenek! Kau harus berjanji padaku, jangan memberitahukan semua
ini pada ayahku! Bila
tidak, aku bisa dibunuhnya!!"
Dewi Selendang Hitam hanya terdiam. Sorot ma-
tanya tajam tak berkedip, menyelidik kebenaran kata-
kata si gadis. Tri Sari yang merasa kalau perempuan di hada-
pannya ini mulai terkena ucapannya berkata lagi den-
gan suara dibuat pilu, "Nek... kau harus berjanji, jangan mengatakan semua ini
kepada ayahku.... Kau ha-
rus, Nek...."
"Jangan panggil aku 'nenek'!!" bentak Dewi Selendang Hitam keras dengan
pandangan gusar. Kemudian
sambungnya dingin, "Dan jangan coba-coba kelabui aku dengan kata-katamu...."
Sejenak hati Tri Sari berdebar keras. Wajahnya
agak berubah. Namun segera diubahnya kembali. Lalu
dengan suara dibuat penuh kekesalan dia berseru,
"Jangan ngomong ngaco! Kau rupanya termasuk orang yang tidak percaya dengan
omongan orang lain! Tetapi terserah kaulah, Nek! Toh bukan urusanku! Sudah,
sana kau pergi!!"
Kendati Dewi Selendang Hitam kelihatan percaya
dengan kata-kata si gadis, namun dia sempat melihat
perubahan wajah Tri Sari tadi.


Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian katanya, "Aku mempercayaimu! Seka-
rang, kau tinggalkan tempat ini!"
"Aku menunggu kekasihku!!"
"Tunggu di tempat lain!!"
Tri Sari memasang wajah cemberut sementara di-
am-diam dia membatin, "Mengapa Bibik Bidadari Tangan Bayangan belum muncul juga"
Aku kuatir lama
kelamaan perempuan ini tahu apa yang ku rahasia-
kan. Ini kesempatanku untuk menjauh darinya, selagi
dia masih terbawa cerita dustaku."
Lalu dengan bibir dibuat masih cemberut, gadis
ini berkata, "Huh! Kau mengganggu kesenangan orang saja!!"
Setelah hentakkan kaki kanannya di tanah, seper-
ti orang kesal, gadis ini mulai melangkah. Namun baru empat tindak melangkah,
mendadak saja terdengar suara Dewi Selendang Hitam keras, "Kau boleh tinggalkan
tempat ini. Tetapi, berikan bungkusan kain hitam itu padaku!!"
*** 6 Seketika Tri Sari berhenti melangkah dan berba-
lik. Wajahnya nampak pucat sekarang, apalagi begitu
melihat sorot mata Dewi Selendang Hitam yang penuh
ancaman kematian.
Tetapi gadis ini berusaha untuk menindih rasa je-
rinya. Tetap memasang wajah masam dia berseru,
"Nek! Kau ini kenapa sih" Apakah kau suka dengan
pakaian buruk milikku ini"!"
"Serahkan bungkusan itu kepadaku!"
"Enak saja minta-minta begitu!"
"Jangan main-main!"
Sadarlah Tri Sari kalau perempuan di hadapannya
sudah tidak bisa lagi dikelabui. Lalu dengan hati-hati dia surut dua tindak ke
belakang. Diam-diam dialirkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
"Apa pun yang terjadi... aku harus menyela-
matkan Patung Kepala Singa. Patung ini harus kuse-
rahkan pada pemiliknya yang sah, seperti yang diama-
natkan ayah padaku...."
Di seberang, Dewi Selendang Hitam berseru din-
gin, "Jangan buang waktu lagi! Serahkan bungkusan itu kepadaku!"
"Tidak!"
"Gadis celaka!!"
Habis bentakannya, mendadak saja Dewi Selen-
dang Hitam melayang ke arah Tri Sari. Putri Pendekar Sutera yang sejak tadi
memang telah bersiaga, segera surutkan kaki kanan ke belakang. Bersamaan dengan
itu mendadak tubuhnya berputar agak menjauh, me-
nyusul tangan kanannya didorong ke depan.
Wuuusss!! Satu gelombang angin segera menggebrak ke arah
Dewi Selendang Hitam, yang hanya gerakkan tangan
kirinya sementara tubuhnya terus melesat ke arah Tri Sari. Hamparan angin yang
dilepaskan si gadis langsung putus di tengah jalan. Sementara itu, dengan tubuh
agak mengendap, Tri Sari melompat ke samping
kiri guna hindari sergapan Dewi Selendang Hitam.
Namun di luar dugaannya, justru sergapan itu
hanya pancingan belaka. Karena begitu tubuhnya be-
rada di samping, kaki kanan Dewi Selendang Hitam
bergerak cepat, seperti memotong.
Si gadis keluarkan pekikan tertahan, "Heeiii!"
Dia memang berhasil hindari sergapan kaki kanan
lawan, namun tangan kanan lawan telah menepak
tangan kirinya.
Untuk kedua kalinya Tri Sari keluarkan pekikan
tertahan. Bungkusan yang didekapnya terlepas. Hanya
dengan gerakkan tubuhnya seperti menjulur, bungku-
san itu telah pindah tangan.
"Hhhh! Ingin kulihat seperti apa pakaian busuk
milikmu ini"!" geram Dewi Selendang Hitam sambil berdiri tegak kembali di atas
tanah. Sementara itu, mendapati kalau perempuan di
hadapannya akan membuka bungkusan yang telah
disambarnya, dengan kalap Tri Sari menerjang ke de-
pan seraya membentak, "Kembalikan benda itu kepadaku!!"
Dewi Selendang Hitam hanya angkat kepalanya
sejenak. Sambil keluarkan dengusan, tangan kirinya
menepak. Plak! Setelah menahan jotosan Tri Sari, tangan itu den-
gan cepatnya menepak punggung si gadis, hingga mau
tak mau tersuruk ke depan. Masih untung Tri Sari
sempat membuang tubuh ke samping kanan. Bila ti-
dak, maka dadanya akan langsung disambut oleh
dengkul kaki kanan Dewi Selendang Hitam.
"Kau akan mampus, Gadis ayu... Tetapi, aku ingin tahu apa isi bungkusan ini...."
"Perempuan tua celaka! Kembalikan kepadaku!!"
seru Tri Sari kalap sambil berdiri tegak.
Dewi Selendang Hitam hanya pandangi sejenak. Lalu
tangan kirinya mulai membuka bungkusan di tangan
kanannya. Tri Sari yang tak mau kalau perempuan tua
itu mengetahui apa isi bungkusannya, segera mener-
jang kembali diiringi teriakan membahana. Kali ini
sambil lipat gandakan tenaga dalamnya. Angin keras
mendahului lesatan tubuhnya.
"Betul-betul cari mampus!" geram Dewi Selendang Hitam.
Serta merta dia mendorong tangan kirinya. Saat
itu pula menggebrak lima larik sinar hitam yang keluarkan suara gemuruh dan hawa
panas. Untuk sesaat
nampak Tri Sari yang sedang lancarkan serangan, me-
lengak kaget. Tak mau dirinya celaka, dengan cepat
putri Pendekar Sutera ini membuang tubuh ke kanan.
Bersamaan dengan itu, dikibaskan kedua tangannya
ke depan. Wussss! Wuusss!!
Dua gelombang angin menderu hebat.
Blaam! Letupan yang keras terjadi. Tanah di mana berte-
munya dua pukulan itu langsung terbongkar dan me-
nerbangkan bongkarannya ke udara.
Tatkala semuanya luruh, terlihat Dewi Selendang
Hitam berdiri tegak tak kurang suatu apa. Bahkan ka-
kinya tak bergeser dari tempat semula.
Di seberang, Tri Sari terpental delapan tindak ke
belakang. Tak mampu kuasai keseimbangannya, gadis
itu pun ambruk telentang. Nafasnya memburu. Da-
danya terasa sesak bukan main. Sementara aliran da-
rahnya bertambah kacau, kedua tangannya dirasakan
ngilu bukan alang kepalang. Tatkala dilihatnya, tangan kanan dan kirinya itu
membiru dan agak membeng-kak. "Celaka... aku benar-benar tak mampu untuk merebut
kembali Patung Kepala Singa...," desis Tri Sari pilu. Karena rasa nyeri pada
dadanya, dia tak kuasa
untuk bangkit kembali. Dipejamkan kedua matanya
menahan rasa pedih di hatinya. "Ayah... maafkan aku,
karena aku gagal memberikan patung itu kepada yang
berhak...."
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam hanya kelu-
arkan dengusan dingin. Lalu dengan kasar dibukanya
selubung kain hitam pada benda yang terbungkus itu.
"Heiii!!" seketika terdengar seruannya tatkala melihat sebuah benda yang
pancarkan warna keperakan!
Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, perem-
puan tua ini mengucak-ngucak matanya dengan tan-
gan kiri. Sejurus kemudian, terdengar tawanya yang
keras. "Tak kusangka! Tak kusangka! Patung Kepala Sin-
ga! Gila! Patung Kepala Singa!!"
Di tempatnya, Tri Sari makin mengeluh dalam.
"Maafkan aku, Ayah...," desisnya.
Dan wajahnya kian bertambah pucat tatkala si
nenek kejam itu tolehkan kepalanya disertai dengusan.
"Anak gadis! Kau berani mengelabuiku, hah"! Ba-
gus! Tetapi sebelum kau mampus kubunuh, jawab du-
lu pertanyaanku! Ada hubungan apa kau dengan Pen-
dekar Sutera, hah"!"
Kendati Tri Sari sadar bahaya sangat tidak men-
guntungkan, namun dia menjawab lantang, "Pendekar Sutera adalah ayahku,
Perempuan Jahanam!!"
"Jahanam sial! Susah payah kucari Patung Kepala Singa yang ternyata berada di
tangan gadis sialan itu!
Huh! Tentunya, dialah satu-satunya orang yang luput
dari kematian yang kuturunkan!" maki Dewi Selendang Hitam dalam hati. Seraya
maju satu langkah, dia berseru, "Bagus! Tak seorang pun penghuni Kuil Putra
Langit yang akan selamat dari tanganku!!"
Habis bentakannya, mendadak saja dikibaskan
tangan kanannya.
Wusss! Serta merta meluncur tiga larik sinar hitam yang
keluarkan suara menggidikkan. Di tempatnya Tri Sari
hanya memejamkan mata. Dia sudah tak mampu un-
tuk menghindar ataupun memapaki serangan itu.
Namun sebelum tiga larik sinar hitam mencabik-
cabik tubuhnya, mendadak saja satu gelombang angin
deras telah menderu dari belakangnya. Dan....
Blaaammm! Seketika menghantam tiga larik sinar hitam ganas
tadi yang pecah berantakan. Untuk sesaat tempat itu
diselubungi rengkahan tanah yang membubung ke
udara. Tatkala semuanya sirap, terlihat satu sosok tubuh
berpakaian kuning bersih telah tegak di sisi kiri Tri Sa-ri yang masih
tergeletak. "Bibik Bidadari Tangan Bayangan...," desis si gadis dengan hati lega.
Orang yang menahan serangan maut Dewi Selen-
dang Hitam memang Bidadari Tangan Bayangan. Pe-
rempuan jelita ini memandang tak berkedip ke arah
Dewi Selendang Hitam yang sedang mendelik gusar.
Dalam sekali lihat saja, Bidadari Tangan Bayangan ta-hu apa yang telah terjadi.
Diam-diam diliriknya Tri Sari yang kelihatan begi-
tu menderita sekali. Sadar kalau gadis itu baru saja dihajar oleh perempuan di
hadapannya, seketika dia
keluarkan kata-kata dingin dan tajam, "Menilik wujud yang ada padamu... jelas
kalau kau adalah Dewi Selendang Hitam. Hmmm... kurasa, kita tak pernah
punya urusan. Tetapi, nampaknya kau telah bertindak
keji pada gadis ini dan merebut bungkusan yang dimi-
likinya. Serahkan bungkusan itu kembali, maka segala urusan selesai sampai di
sini!" Dewi Selendang Hitam cuma keluarkan dengusan
dingin. "Bidadari Tangan Bayangan... kelancanganmu
yang memutuskan keinginanku tak bisa ku maafkan!
Lebih baik kau berlutut di hadapanku ketimbang nya-
wamu akan putus!!"
"Setan keparat! Sepak terjang perempuan ini telah lama kudengar! Dan nampaknya
dia telah buka urusan! Menilik begitu nyatanya dia menginginkan Patung Kepala
Singa, agaknya jelas kalau dia tak akan melepaskan kesempatan untuk mendapatkan
benda itu. Bisa jadi kalau dia pun tahu tentang rahasia yang tersimpan pada Patung Kepala
Singa." Sementara Bidadari Tangan Bayangan membatin
seperti itu, Tri Sari berusaha kerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menyingkir
dari tempat semula. Disada-
rinya kalau pertarungan hebat akan segera terjadi.
Sementara itu Bidadari Tangan Bayangan sedang
buka mulut, "Sekali lagi kukatakan, jangan membuang waktu! Kembalikan Patung
Kepala Singa kepada kami!"
"Huh! Aku ingin melihat, tindakan apa yang kau
lakukan bila aku menolak menyerahkan benda ini! Te-
tapi perlu kau ketahui, tak akan pernah kulepaskan
Patung Kepala Singa dari tanganku!!"
"Baik! Kata telah bersambut, berarti segala sesua-tunya tak bisa dihindari
lagi!" Habis seruannya, mendadak saja Bidadari Tangan
Bayangan gerakkan kedua tangannya ke muka. Serta
merta menggebrak dua hamparan angin yang kelua-
rkan suara menggemuruh ke arah Dewi Selendang Hi-
tam. Sambil kertakkan rahangnya, perempuan yang
dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutup selen-
dang hitam itu, segera buang tubuh ke kanan. Menyu-
Tiga Iblis Gunung Tandur 2 Tongkat Setan Lam Hay Djie Tee Karya Seng Kie-su Dewi Penyebar Maut V I I I 1
^