Pencarian

Rahasia Permata Sakti 3

Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti Bagian 3


jadi lancang begini?"
Andika langsung melompat ke samping, begitu
Moro Alit menderu dahsyat. Rupanya laki-laki tinggi
besar itu tak bisa menahan amarahnya yang dibaluri
dengan kedunguannya karena meremehkan Rase Maut
tadi. Serangannya lolos seketika. Laki-laki berambut panjang itu menjadi geram
bukan main. Padahal serangan yang dilakukannya itu merupakan gebrak per-
tama dari rangkaian jurus 'Jaran Mabur'. Ia putar lagi
tubuhnya dan tangannya menjotos ke muka.
Dasar urakan, Andika justru teriak-teriak,
"Aduh! Ampun, ampun! Jangan pukul!"
Tangannya terangkat, menangkis jotosan Moro
Alit. Des! Moro Alit mundur dua tindak, dirasakan tan-
gannya kesemutan. Wajah laki-laki berambut panjang
itu kelam. "Setan keparat! Kau akan merasakan akibat
perbuatanmu ini!"
"Heran! Kenapa jadi marah-marah?" sahut An-
dika seperti tak menyadari kemarahan Moro Alit. Lalu
seperti baru menemukan jawabannya, ia berkata, "O
ya... kau marah karena tidak kupukul, ya" Ayo, sini!
Sini! Biar kutendang pantatmu hingga mencelat ke gu-
nung itu!!"
Di tempat persembunyiannya, Suci mendesah
panjang. Ia tak mengerti melihat sikap Andika yang
masih saja bercanda, padahal maut siap menjemput-
nya. Empat orang kawan Moro Alit, sudah menderu
laksana kilat begitu ejekan Andika habis terdengar. Jotosan dan tendangan
dilakukan dengan beruntun, ce-
pat dan berbahaya. Kali ini Andika mendengus keras.
Ia mengibaskan tangannya dan membalas dengan se-
rangan tak kalah cepat.
Moro Alit yang juga sudah ikutan menyerang,
menggempur dengan serangan luar biasa dahsyatnya.
Kemarahan laki-laki berambut panjang itu sudah ting-
gi. Sementara itu si Rase Maut sedang memikirkan
akal liciknya. "Hhh! Aku tak ingin melihat ilmu kebal yang
pernah diperlihatkan Pendekar Slebor meskipun aku
yakin, ilmu itu pasti memiliki kelemahan! Akan, kuli-
hat dulu manusia-manusia dungu itu menghadapi
Pendekar Slebor!"
Namun setelah lima jurus berlangsung, Pende-
kar Slebor bukan hanya menangkis dan menghindar,
ia juga membalas gebrakan lawan-lawannya. Akibat
balasannya, dua dari lima penyerangnya terlontar ke
belakang terhantam tenaga 'inti petir' yang sudah di-
alirkan pada kedua tangannya. Tubuh mereka membi-
ru dengan napas tersendat-sendat.
Rase Maut jadi gusar sendiri.
Tanpa membuang waktu lagi, ia menderu ke
arah Andika. Gebrakan tubuhnya menimbulkan angin
bergemuruh dan kiblatan bagai sinar hitam menderu
dahsyat, membuat pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan itu sekarang jadi gelagapan.
"Busyet! Aku harus bisa mematahkan serangan
dari si Rase Maut. Serangan darinya sangat menyu-
litkan!" Namun untuk menjatuhkan Rase Maut, bukan-
lah pekerjaan yang mudah. Karena selain lincah, laki-
laki berjerawat itu juga menyerang demikian cepat. Belum lagi serangan dari Moro
Alit dan kedua temannya.
Membuat Andika bertambah sulit untuk mematahkan
serangan Rase Maut. Jalan satu-satunya ia memang
harus mencari sela.
"Gila! Lama kelamaan aku yang jadi kerepotan!"
Rase Maut benar-benar tak mau membuang
waktu. Ia terus mencecar dengan gerakan melompat ke
sana kemari. Angin jotosannya menggugurkan de-
daunan. *** Kita lihat sekarang apa yang dialami oleh Kakek
Buruk Rupa. Setelah bertarung dengan Iblis Tambang,
laki-laki bongkok itu melesat meninggalkan tempat itu.
Ia bermaksud untuk mendatangi cucunya. Tiba-tiba
saja ia merindukan cucunya itu. Akan diceritakannya
kembali kalau ia sudah berjumpa dengan Pendekar
Slebor. Dan diam-diam, di dasar hatinya, Kakek Buruk
Rupa menginginkan cucunya berjodoh dengan Pende-
kar Slebor. Namun, ia beranggapan kalau semua itu
adalah kehendak Sang Maha Kuasa.
Ia juga masih memikirkan tentang Permata
Sakti yang diberikannya pada Pendekar Slebor dengan
harapan kalau pemuda dari Lembah Kutukan itu ber-
hasil memecahkan rahasianya. Karena sampai saat ini,
ia sendiri tidak tahu apa kesaktian dari permata itu.
Sejak pertama kali menemukannya, ia sudah
jatuh hati pada permata itu. Dasar orang-orang sera-
kah yang tak boleh melihat benda aneh, maka mereka
pun berduyun-duyun menginginkannya. Padahal, ia
tidak tahu kesaktian permata itu. Hanya saja, ia se-
nang memancing orang lain untuk lebih penasaran la-
gi. Hingga diam-diam ia pun sadar kalau permata ini
memang bukan permata sembarangan.
Bukan sekali dua kali sebenarnya Kakek Buruk
Rupa saat bertarung dengan lawannya, tak menyadari
kalau lawan tiba-tiba sudah meninggalkannya ataupun
sudah terkapar di tanah. Padahal menurutnya, lawan
saat itu sedang gencar menyerang. Tetapi mengapa
mereka justru meninggalkannya"
Pertanyaan itu memang berpendar di dirinya
tanpa mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Hanya
yang diduganya, kalau ia telah berhasil mengalahkan
lawan-lawannya.
"Sebenarnya, aku tak ingin menyerahkan per-
mata itu pada Pendekar Slebor. Aku ingin bertanya
pada Srimpil atau yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu.
Tetapi mencari manusia itu, sama saja mencari jarum
di tumpukan jerami! Ah, Pendekar Slebor pun memiliki
otak yang sangat cerdik. Tak kusangka, kalau pewaris
Ki Saptacakra - pendekar legendaris itu - seseorang yang masih muda dan
mempunyai sifat konyol. Mudah-mudahan, ia berhasil memecahkan rahasia per-
mata itu. Ini hanya sebuah harapan. Memang cukup
merepotkan keadaan Pendekar Slebor sebenarnya, bila
orang-orang serakah mengetahui Permata Sakti itu be-
rada di tangannya. Namun, biarlah. Toh aku yakin, ia
bisa mempertahankan diri."
Kakek Buruk Rupa terus berkelebat ke arah ti-
mur. Kali ini terbayang di benaknya sang cucu akan
menyambut kedatangannya seperti biasa dengan cara
sembunyi-sembunyi. Selang beberapa saat kemudian,
ia pun memasuki sebuah desa.
"Hmm... Haryo pasti tidak menyukai kedatan-
ganku, apalagi bila mengetahui aku mendekati anak-
nya. Tetapi Haryo adalah putraku dan Suci cucuku.
Aku akan tetap ke sana. Hanya saja, aku tidak mau
cari gara-gara, sebaiknya... aku datang bersembunyi-
sembunyi."
Kelebatan tubuhnya di jalan desa yang mema-
suki rembang petang itu, cukup menggidikkan bagi pa-
ra penduduk yang melihat bayangan laksana setan
berkelebat. Tetapi mereka tak ambil peduli karena toh ini masih sore. Menurut
mereka, setan tak akan
mungkin iseng gentayangan di sore ini.
Kakek Buruk Rupa kini sudah berada di atap
genting rumah putranya. Ia tahu di mana letak kamar
cucunya. Tetapi, pendengarannya yang tajam menang-
kap suara tangis di bawahnya.
"Bagaimana kita harus menemukan Suci, Pak?"
suara wanita yang dikenali sebagai anak menantunya.
"Sudah beberapa hari ini Suci menghilang. Oh, Gusti...
ke manakah kau Suci?"
Di depan wanita yang tengah bersedih itu,
Haryo Adilekso hanya berdiri mematung. Ia sudah me-
nyuruh beberapa penjaga rumahnya untuk mencari
putrinya, namun sampai saat ini belum ada laporan
yang memuaskan.
"Sudahlah, Bu... ia pasti kembali. Bukankah
begitu biasanya?"
"Tetapi... aku khawatir akan kepergiannya saat
ini. Pak... apakah ia mengikuti pemuda yang bernama
Andika itu?" tanyanya tersendat. Dihapusnya air matanya dengan saputangan yang
bermotifkan sulaman
burung merak. "Mungkin iya, mungkin tidak. Karena, pemuda
itu tidak berada di sini pula."
"Apakah dia...."
Haryo Adilekso tersenyum.
"Jangan berpikir macam-macam, Bu. Meskipun
kulihat sifat pemuda itu agak konyol, namun aku ya-
kin ia adalah pemuda baik-baik."
Tetapi istrinya menggeleng-gelengkan kepala
sambil menghapus air matanya.
"Maksudku... apakah kepergian Suci untuk
mencari ayahmu" Aku yakin... sebenarnya ia sangat
dekat dengan ayahmu itu. Suamiku... bisakah kau
meminta pada ayahmu untuk tinggal bersama kita,
agar Suci tidak menghilang lagi?"
Kali ini suaminya terdiam. Sebenarnya, Haryo
Adilekso pun menduga akan hal itu. Tetapi, untuk me-
nenangkan istrinya ia tidak mau mengatakan dugaan-
nya. Hanya saja, istrinya sudah mengatakan hal itu.
Dugaannya kembali berpendar-pendar, cukup
memusingkan kepalanya sekarang. Bila ia ingat ten-
tang ayahnya yang dijuluki oleh orang-orang rimba
persilatan sebagai Kakek Buruk Rupa, rasa jengkel
mulai merayapinya.
Tetapi lagi-lagi ia memutuskan untuk tidak
mengatakan hal itu pada istrinya.
"Entahlah... aku tidak tahu soal itu, Bu. Me-
mang kuakui, kalau Suci sebenarnya merindukan ka-
keknya. Tetapi, mau bagaimana lagi" Aku sudah beru-
saha meminta pada Ayah agar mau tinggal bersama ki-
ta. Namun kau tahu sendiri bukan sifat Ayah" Sudah-
lah, kita hanya berharap, semoga tak terjadi apa-apa
dengannya. Terus terang, kalau memang ia pergi ber-
sama pemuda yang bernama Andika itu, aku lebih te-
nang karena aku yakin pemuda itu akan menja-
ganya...."
"Pak... aku khawatir akan terjadi apa-apa pada
Suci," suara istrinya terdengar lemah, mengandung kekhawatiran tinggi.
Haryo Adilekso perlahan-lahan mendekati is-
trinya. Lalu dirangkulnya dengan penuh kasih sayang.
Ditatapnya seolah memberikan kekuatan agar istrinya
tenang. "Berdoalah, semoga tak terjadi apa-apa. Bukankah seperti biasanya Suci
memang seperti itu" Aku
yakin, ia pasti kembali tak kurang suatu apa."
Di atap, Kakek Buruk Rupa mengerutkan ke-
ningnya mendengar percakapan itu. Rambutnya yang
menutupi wajahnya tersibak dipermainkan angin.
"Hhh! Cucuku pergi dari sini. Tetapi, mengapa
ia bisa bertemu dengan Andika" Mengapa pemuda itu
bisa menginap di sini" Aku pun merasa aman kalau
cucuku bersama dia sebenarnya" Tetapi... aku pun ta-
hu sangat berbahaya bagi keselamatannya bila ada
yang mengetahui tentang permata itu berada di tangan
Pendekar Slebor. Sebaiknya, kucari ia sekarang!! Mu-
dah-mudahan, tak ada peristiwa yang mencemaskan."
Setelah berpikir begitu, Kakek Buruk Rupa ma-
sih menyempatkan diri mendengar isak dari menan-
tunya. Hatinya pilu. Lalu tanpa buang tempo lagi, laki-laki bongkok itu
berkelebat cepat. Sosok tubuh kurus
dengan rambut disanggul ke atas yang sejak tadi
hanya memperhatikan tak mengerti mengapa orang
yang dibuntutinya mengintip rumah itu, segera kele-
batkan tubuh lagi untuk mengikuti Kakek Buruk Ru-
pa. "Aku tak boleh kehilangan jejaknya. Manusia
sialan itu, harus kubunuh dan kudapatkan Permata
Sakti. Kupaksa ia untuk mengatakan rahasianya. Aku
yakin kakek bongkok itu tahu rahasia apa yang ter-
pendam pada permata itu. Biarlah kutunggu saat yang
tepat, siapa tahu ia akan mengeluarkan permata itu
dan mempergunakannya. Setelah kudapatkan, akan
kucari dan kubunuh Pendekar Slebor. Gila! Aku masih
tak mengerti mengapa ilmunya demikian cepat ber-
tambah." Sosok berbaju perak itu yang tak lain si Camar
Hitam, segera menyusul Kakek Buruk Rupa. Hatinya
penuh kegeraman, kekesalan, dan dendam.
*** 9 Serangan gencar yang kini diterima Andika, be-
nar-benar membuatnya mati kutu. Terutama serangan
balik yang dilakukan oleh Rase Maut. Belum lagi gedo-
ran Moro Alit dan kedua temannya. Mengandalkan ke-
cepatannya, Andika mencoba menghindari setiap se-
rangan dan membalas.
Tenaga 'inti petir' tingkat kelima sudah dikerah-
kan. Setiap kali ia menggerakkan tangannya, terdengar
suara salakan keras. Mampu membuyarkan konsen-
trasi lawan sebenarnya. Namun serangan lawan yang
beruntun itu bagai mengurung geraknya, membuatnya
jadi kelimpungan sendiri.
Serangan Moro Alit dan kedua temannya sebe-
narnya tak begitu menyulitkan. Tetapi, serangan dari
Rase Maut-lah yang mematikan. Membuatnya harus


Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.
"Gila! Aku harus bisa meloloskan diri kalau ti-
dak ingin konyol!" gerutunya, dan bersalto ke belakang, menghindari terobosan
Rase Maut yang menye-
rang sambil mengeluarkan seruan keras. Bersamaan
dengan itu, tiga sosok tubuh berpakaian hitam segera
menerjang. Andika kalang kabut dibuatnya. Pukulan Moro
Alit menghantam dadanya telak. Meskipun merasa se-
sak napas sejenak, Andika tak ambil peduli. Ia putar
tubuhnya dan dengan ajian 'Guntur Selaksa' ia mema-
paki hantaman Rase Maut yang sudah mengeluarkan
jurus 'Rase Kejar Mangsa'.
Sebuah rangkaian jurus yang cepat dan tak
memberikan kesempatan pada lawan untuk menghin-
dar atau bertahan lebih lama. Namun yang dihada-
pinya adalah Pendekar Slebor, yang bertarung dengan
selalu mempergunakan kecerdikan otaknya.
Benturan dua tenaga hebat terjadi.
Des! Blaaarr! Tanah yang mereka pijak bagai bergoyang. Suci
yang sedang mengintip pertarungan maut itu pun tak
urung dari getaran hebat yang diterimanya. Segera ia
alirkan tenaga dalamnya. Hatinya tegang memikirkan
keadaan Andika. Tatapannya sejak tadi tak berkesip.
Mulutnya berkomat-kamit panjatkan doa agar Andika
diberi kekuatan.
Sedikit banyaknya ia menyesal mengapa ia ti-
dak meminta kakeknya untuk mengajarinya ilmu ka-
nuragan. Bukan hanya ilmu meringankan tubuh dan
tenaga dalam. Bila saja ia memiliki sedikit kesaktian, ia pasti akan turut
membantu Andika.
Akibat benturan keras yang terjadi itu tubuh
Andika mencelat beberapa tombak ke belakang. Dari
hidungnya mengalirkan darah segar. Sementara si
Rase Maut merasa napasnya sesak dengan aliran da-
rah yang kacau.
Saat itu, Moro Alit dengan liciknya segera me-
nyerbu ke depan. Satu jotosan tangan kanan yang
mengandung kekuatan tinggi itu dikiblatkan ke wajah
Andika. Namun seruan dari Rase Maut mengurungkan
niatnya untuk menghajar wajah Andika.
"Ambil Permata Sakti itu dan balik bajunya!!"
Tangannya yang mengarah ke atas tadi ditu-
runkan. Gerakan cepatnya tak mengendor. Tangannya
bergerak. Buk! Justru dalam keadaan sempoyongan Andika
masih menunjukkan kelasnya. Tangan kirinya berge-
rak menangkis tangan Moro Alit, yang mengeluarkan
seruan tertahan karena tangannya dirasakan ngilu se-
kali. Tak berkesudahan serangan yang dialami oleh
Andika, karena Rase Maut bersamaan dengan dua te-
man Moro Alit, sudah menggempur dahsyat. Mencoba
merebut Permata Sakti dan sekaligus menghabisi Pen-
dekar Slebor. Andika menjadi tegang sekarang. Nyeri di seku-
jur tubuhnya akibat bentrokan dengan si Rase Maut
bagai membuatnya tak bisa bergerak. Rase Maut per-
dengarkan teriakan mengguntur dan senyuman penuh
kemenangan. Tangannya menghantam dada Andika.
Des! Menyusul dua serangan beruntun dari dua
anggota Serikat Kuda Hitam.
Des! Des! Tubuh Andika terhuyung ke belakang, namun
berdiri kembali dengan tegak. Seperti tak kurang suatu apa. Namun, apa yang ada
di pandangannya berubah
sama sekali. Karena, dilihatnya sebuah suasana yang
seluruhnya berwarna biru.
Rase Maut yang sudah mundur dua langkah
menggeram, "Setan alas! Rupanya dia kembali mem-
pergunakan ilmunya yang aneh itu! Hhh! Dengan ban-
tuan dari Moro Alit dan kedua temannya itu, akan ku-
gempur habis-habisan!"
Memikir begitu, laki-laki penuh jerawat merah
itu menyerang lagi. Bersamaan dengan Moro Alit dan
kedua temannya. Suci menahan napas melihat hal itu.
Ia hampir saja melompat keluar untuk menyelamatkan
Andika. Namun keanehan terjadi, karena seperti tak ta-
hu diserang habis-habisan, Andika membiarkan saja
tubuhnya dihajar. Berkali-kali tubuhnya sempoyon-
gan, namun tak sekali pun ia kelihatan mencoba
membalas atau mengaduh. Bahkan seolah membiar-
kan tubuhnya dihantam terus menerus.
Saat menghajar itu Rase Maut berpikir keras,
Apakah memang ada ilmu 'Mengosongkan Diri"'
Sejak lama sebenarnya ilmu itu sudah kudengar, dan
hanya dimiliki oleh seorang pendekar kenamaan yang
berjuluk Penguasa Bukit Sigura-gura atau yang ber-
nama Ki Langlang Jagat" Tetapi, manusia itu tak per-
nah lagi kudengar beritanya. Apakah diam-diam Pen-
dekar Slebor murid dari Penguasa Bukit Sigura-gura"
Tetapi, kusirap kabar, kalau ilmu 'Mengosongkan Diri'
merupakan ilmu menyerap tenaga lawan dengan
membiarkan tubuhnya diserang habis-habisan. Dan
lawan akan merasakan bagai memukul kapas belaka.
Sedangkan yang dimiliki oleh Pendekar Slebor, tubuh-
nya tetap keras seperti biasa. Hanya saja, ia tak peduli dengan hantaman sekeras
apa pun. Setan alas! Bagaimana caranya aku untuk mengalahkan dan mere-
but Permata Sakti itu! Hhh! Kucoba saja untuk mere-
butnya!" Penasaran Rase Maut kembali menyerang Pen-
dekar Slebor, sementara Moro Alit dan kedua te-
mannya terus menggempur. Tubuh Andika tak ubah-
nya bagai sebuah bola yang dipermainkan. Ditendang
ke sana kemari. Bagai bergulingan cepat.
Sementara pemuda urakan itu sendiri sedang
memaki dirinya keras, "Keparat! Apa yang terjadi" Aku tak melihat apa-apa selain
warna biru" Celaka! Sudah
beberapa kali hal ini terjadi tetapi aku tak mengetahui apa sebabnya?"
Rase Maut menggerakkan tangannya, mencoba
menjambret pakaian Andika. Namun yang cukup
mengherankannya, selagi ia mencoba menyusupkan
tangannya, dirasakan tubuh Andika memancarkan
panas yang luar biasa!
"Haram jadah!" makinya sambil membuang tu-
buh dan mengalirkan tenaga dalam guna mengusir
panas yang menyengat. "Kalau kuhajar, ia seolah
membiarkan. Mengapa ketika serangan ini ku ubah,
tubuhnya bagai memancarkan panas" Setan alas! Ilmu
apa yang sebenarnya dimiliki oleh Pendekar Slebor?"
Moro Alit dan kedua temannya yang sudah ke-
habisan napas dan tenaga karena memforsir tenaganya
terus menerus, perlahan-lahan mulai mengendor se-
rangannya. Ketiganya mundur teratur dan mengatur
napas. "Jangan menjadi banci! Hajar manusia itu terus menerus!" sentak Rase
Maut. Moro Alit melotot.
"Setan jerawat! Apakah kau tidak tahu kalau
tenaga kami sudah terkuras habis, sementara Pende-
kar Slebor tetap berdiri pada posisinya" Jangan hanya bisa memerintah kalau
tidak kubuat mencong mulut-mu" Kau sendiri dibuat tak ubahnya seperti banci be-
laka!" Panas wajah Rase Maut mendengar ejekan
orang. Namun untuk saat ini tak dihiraukannya. Se-
umur hidupnya baru kali ini ia melihat lawan membi-
arkan tubuhnya dihajar habis-habisan tanpa sekali
pun membalas. Bahkan ketika ia dan yang lainnya
menghentikan serangan, sang lawan masih tegak ber-
diri tanpa melakukan gerakan yang mencurigakan.
"Ilmu yang dimilikinya memang aneh sekaligus
dahsyat luar biasa! Sebaiknya kita coba rebut Permata Sakti itu!"
"Kau lakukan sendiri, tenaga kami belum pu-
lih!" Dengan suara menggembor menahan geram. Rase Maut bergerak lagi untuk
merebut Permata Sakti itu.
Namun kembali dirasakan hawa panas menyergapnya
bertubi-tubi, sementara Andika tetap sempoyongan
terhantam dan kembali tegak. Dan lagi-lagi pemuda
dari Lembah Kutukan ini membatin geram, "Gila! Mengapa ini" Mengapa?"
Diusahakan untuk memecahkan keheranan
yang melingkupinya. Namun sampai sejauh ini Andika
belum bisa mengetahuinya. Bahkan yang dicemaskan-
nya, kalau lawan-lawannya menyerang sementara yang
ada dalam pandangannya hanya warna biru belaka.
Rase Maut memutuskan untuk menghentikan
serangannya. "Benar-benar luar biasa! Aku harus bisa meme-
cahkan rahasia ilmu yang dimiliki oleh Pendekar Sle-
bor! Aku yakin, ilmu itu mempunyai kelemahan!"
Ia coba berdiam sekarang sambil mencoba
menguras seluruh pikirannya. Andika masih tetap te-
gak dengan mata nyalang.
Sementara Suci menarik napas lega melihat
kenyataan itu. Kekagumannya semakin bertambah
melihat kelihaian Pendekar Slebor.
"Kulihat... Kang Andika tidak membalas sekali
pun. Ia malah membiarkan dirinya dihajar. Bahkan...
sepertinya Kang Andika tidak tahu apa yang sedang
terjadi," desis Suci dengan hati galau. Diam-diam dia berkata dalam hati, "Lalu,
bagaimana caranya aku bisa memiliki Permata Sakti itu bila Kang Andika memiliki
ilmu yang tinggi?"
"Rase Maut... tak mungkin kita bisa mengalah-
kan Pendekar Slebor sekarang ini," kata Moro Alit yang tenaganya sudah pulih
kembali. "Lebih baik kita lepaskan dulu, untuk kemudian kita hajar kembali dia!"
"Goblok! Ini kesempatan yang telah lama kuca-
ri! Permata itu tak lagi berada di tangan Kakek Buruk Rupa! Sekarang, apakah
kalian akan melepaskannya
begitu saja setelah mengetahui permata itu berada di
tangan Pendekar Slebor" Dasar orang-orang bodoh!"
Wajah Moro Alit mengkelam. Ia muak dibentak
seperti itu. Namun, ia juga membenarkan kata-kata
Rase Maut. Hanya saja, bagaimana cara mengalahkan
Pendekar Slebor yang telah menguras tenaganya ha-
bis-habisan. Masih untung ia bisa memulihkannya,
kalau tidak, ia membutuhkan waktu dua hari dua ma-
lam guna mendapatkan tenaganya kembali.
Meskipun menyetujui kata-kata Rase Maut, ha-
tinya sudah keburu geram dibentak seperti itu.
"Kau lakukan sendiri dan kami ingin melihat
hasilnya!!"
Ganti Rase Maut yang menggeram, sementara
Andika masih berdiri tegak tanpa bergerak, seolah siap membiarkan dirinya
dihajar habis-habisan.
"Bagaimana caranya untuk menghabisi Pende-
kar Slebor?" desisnya. Diperas seluruh otaknya, namun ia tak menemukan
jawabannya. "Hhh! Yang
mengherankanku, ia tak menyerang sama sekali. Tidak
seperti pertama kali kami bertempur. Seolah ia me-
nunggu, namun dari sikapnya itu pun sepertinya ia
tak peduli dirinya dihajar habis-habisan. Gila! Benar-benar ilmu yang luar
biasa! Bagaimana mungkin aku
bisa mendapatkan Permata Sakti itu" Menjengkelkan!"
"Mengapa harus memeras tenaga lebih banyak"
Aku siap membantumu!" terdengar seruan itu bersamaan satu sosok tubuh melayang
dari satu tempat.
Sosok itu tinggi besar dan terdapat sebuah
tambang besar di bahu kirinya.
Rase Maut seketika palingkan kepala. Sesaat
kemudian terdengar dengusannya, "Mau apa kau ke
sini, Iblis Tambang?"
Yang hadir itu tak lain adalah Iblis Tambang. Ia
perdengarkan tawanya yang mengguntur. Rupanya,
manusia itu telah berhasil memulihkan sakit di seku-
jur tubuhnya akibat serangan dari Kakek Buruk Rupa.
Ia memang masih bermaksud untuk mengejar Kakek
Buruk Rupa. Hanya saja, ketika ia tiba di tempat itu, didengarnya sebuah
pertarungan dahsyat. Dan dilihatnya seorang pemuda berbaju hijau pupus dengan
kain bercorak catur yang tersampir di bahunya bagai
membiarkan saja serangan-serangan gencar dari la-
wan-lawannya. Yang cukup mengejutkannya, ketika ia
mendengar tentang Permata Sakti yang kini diketa-
huinya berada di tangan Pendekar Slebor.
"Lama kucari Kakek Buruk Rupa, tak tahunya
Permata Sakti itu berada di tangan Pendekar Slebor.
Rase Maut... apakah kau akan mengkangkangi sendiri
Permata Sakti itu?"
Rase Maut tahu akan kehebatan Iblis Tambang.
Ia tahu pula kalau ilmunya berada satu tingkat di ba-
wah Iblis Tambang. Namun kelicikannya itu kini mun-
cul kembali. "Jangan tegang begitu. Jangan gusar. Kita bisa
bersama-sama merebut Permata Sakti dari tangan
Pendekar Slebor. Hanya saja, aku sudah berjanji un-
tuk menyerahkan permata itu pada Tunggul Manik,
ketua Serikat Kuda Hitam."
Dengan berkata seperti itu, Rase Maut berharap
Iblis Tambang akan marah mendengarnya. Hingga ia
akan merebut dan mempertahankan Permata Sakti itu
dari tangan Tunggul Manik bila berhasil menda-
patkannya. Bila keduanya bentrok, maka Rase Maut
merasa bisa mengambil kesempatan.
Yang diduganya itu memang benar. Iblis Tam-
bang memerah wajahnya. Sekian bulan ia memburu
Permata Sakti, tak akan mungkin bila sudah di ta-
ngannya akan dilepaskan.
"Persetan dengan Tunggul Manik! Aku ingin
mencoba kekuatan manusia keparat itu!"
Rase Maut cuma tersenyum saja, diliriknya Mo-
ro Alit dan kedua temannya yang mendadak menjadi
gusar. Ketiganya segera melompat ke muka dua tin-


Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dak. "Jangan sembarang omong! Kau akan terserimpung oleh ucapanmu sendiri!!"
bentak Moro Alit.
Iblis Tambang terbahak-bahak mendengar an-
camannya. "Rase Maut... karena orang-orang semacam in-
ilah hingga kau membiarkan jiwamu kau jual?" se-
runya dengan suara ditekan, penuh ejekan.
"Yang kutakutkan adalah Tunggul Manik," sa-
hut Rase Maut menebar hawa panas di antara mereka.
Lalu dengan liciknya ia berkata, "Tak mungkin aku sanggup membantah perintah
Tunggul Manik. Entah
bagaimana kau sendiri. Apakah mampu atau tidak?"
Tetapi menurut penglihatanku...."
"Keparat! Kau hendak mengatakan aku tak
akan mampu mengungguli Tunggul Manik?" dengus
Iblis Tambang dengan tatapan laksana kobaran mata
api. "Jangan memutar mulut ngaco! Manusia mana pun juga akan kulibas dan rebah
sejajar dengan tanah
bila menghalangi keinginanku! Tak peduli siapa pun
dia! Tunggul Manik... ingin kutahu kehebatan manusia
semacam dia. Aku yakin, ia tak lebih dari seorang ban-ci yang berlindung di
balik kekuatan anak buahnya."
Moro Alit semakin panas bukan buatan. Ha-
tinya bagai dicabik-cabik tangan kasar dan ribuan ja-
rum. Wajahnya tertarik ke belakang. Rambut panjang-
nya bagai bergetar.
"Iblis Tambang! Tak kuperkenankan kau meng-
ejek Ketua serendah itu! Kau akan merasakan aki-
batnya!" Iblis Tambang terbahak-bahak.
"Mengapa kau hanya berdiam saja" Cepat la-
kukan apa yang kau inginkan" Biar aku...."
Tak mau menunggu kata-kata Iblis Tambang
yang telah menghina ketuanya, Moro Alit sudah maju
dengan satu gempuran dahsyat. Dalam sekali gebrak
itu, Iblis Tambang bisa dibuat berantakan. Namun la-
ki-laki bersenjata tambang besar itu, cuma menggeser
tubuhnya. Dan dengan kecepatan laksana setan, ia
menjotos dada Moro Alit yang mengaduh keras dan ter-
lempar ke belakang.
Tanpa mau membiarkan lawan hidup lebih la-
ma lagi, Iblis Tambang melompat. Masih melompat ka-
kinya bergerak.
Praaak!! Moro Alit yang masih terhuyung tak mampu
hindari tendangan ke kepalanya. Tanpa ampun lagi,
kepalanya terhantam tendangan keras itu. Pecah dan
tubuhnya ambruk.
Melihat kawannya mati dalam sekali gebrak,
dua orang dari anggota Serikat Kuda Hitam segera
berkelebat dengan gerengan yang keras memecah ang-
kasa. "Keparat! Mampuslah kau, Manusia Hina!".
Iblis Tambang hanya terbahak-bahak saja, se-
olah membiarkan maut menjemputnya. Namun dengan
gerakan tak terlihat, tiba-tiba saja tambangnya sudah berkelebat. Keluarkan
suara bergemuruh dan menghantam keduanya.
Des! Des! Bukan buatan maut yang diterima keduanya,
lebih parah dari yang dialami oleh Moro Alit. Tubuh
keduanya rencah terhantam tambang berkekuatan
dahsyat itu. Sesaat kemudian, terdengar lagi tawa dari iblis
Tambang. Rase Maut diam-diam mendesah, "Luar bi-
asa! Kecepatannya sangat luar biasa sekali!"
Sementara Suci yang bersembunyi sambil ke-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya terbelalak me-
nyaksikan semuanya. Hatinya kacau tak karuan. Lebih
kacau lagi melihat sikap Andika yang tetap berdiri tegak tanpa berbuat apa-apa.
Dan tak seorang pun yang
tahu kalau saat ini Pendekar Slebor sedang berteriak
sangat keras sekali. Berharap ada yang mendengarnya
dan membawanya keluar dari suasana yang se-
luruhnya berwarna biru.
Sedangkan saat itu, Iblis Tambang sudah ber-
balik dan menatap Andika tak berkesip.
"Rase Maut... apakah kau akan menyaksikan
kehebatan ilmu tambangku ini, hah" Sekalipun Pende-
kar Slebor memiliki ilmu kebal yang luar biasa, tak
akan bisa menahan dahsyatnya tenaga dan gempuran
tambang kesayanganku ini!!"
Rase Maut cuma mengangguk-anggukkan ke-
palanya. Akal liciknya tetap berputar. Ia tetap meng-
inginkan Permata Sakti itu.
"Iblis Tambang... kau akan bisa mengalahkan
Pendekar Slebor dan mendapatkan Permata Sakti itu.
Tetapi, bagaimana tanggung jawabku dengan Tunggul
Manik?" "Manusia bodoh! Bila kau mau bergabung de-
nganku, akan kuhancurkan Tunggul Manik bersama
serikatnya itu!"
Inilah yang dikehendaki oleh akal licik Rase
Maut. Sudah tentu ia senang bukan main. Diperli-
hatkan senyum dan pujian yang membuat Iblis Tam-
bang semakin bertambah jumawa.
"Kau minggir sekarang! Ingin kulihat kekebalan
yang dimiliki Pendekar Slebor! Kau lihat sendiri, bu-
kan" Kalau Pendekar Slebor tak lebih dari mayat hidup belaka! Ia merasa akan
mampu menahan serangan
tambang kesayanganku ini! Padahal, ia salah besar bi-
la memang berniat melakukannya! Tak akan kubi-
arkan manusia itu bercokol di rimba persilatan ini lebih lama!!"
Sehabis berkata begitu, Iblis Tambang melang-
kah dan berhenti dalam jarak tiga tombak di hadapan
Pendekar Slebor. Segera dialirkan tenaga dalamnya
pada tambangnya.
Rase Maut diam-diam tersenyum penuh kelici-
kan. Ia bergeser dari tempatnya. Untuk saat ini, biarlah ia mengalah dan
membiarkan Iblis Tambang memi-
liki Permata Sakti itu. Setelah Iblis Tambang bentrok dengan Tunggul Manik, ia
akan mencoba mengambil
kesempatan. Putaran tambang itu semakin lama semakin
keras terdengar. Memekakkan telinga dan menggu-
gurkan dedaunan. Suci menggigil menahan kekacauan
hatinya. Darahnya bagai beredar dengan cepat. Ia ber-
doa agar Andika menghindar.
"Tak ada lagi nama Pendekar Slebor sekarang
ini!!" terdengar sentakan maut dari Iblis Tambang.
Suci memutuskan untuk mengambil tindakan
nekat. Ia benar-benar tak mengerti mengapa Andika ti-
dak menghindar maupun membalas setiap serangan
yang datang. Justru berdiri tegak membiarkan tubuh-
nya dihujani serangan.
Mendadak saja ia melompat dari persembunyi-
annya, "Heaaaa!!"
Teriakannya mengejutkan Iblis Tambang. Selagi
Iblis Tambang menghentikan gerakannya, Suci mena-
rik tangan Andika.
Wut! Wut! Dan membawanya menghilang ke satu tempat.
Gusar bukan buatan Iblis Tambang dibuatnya.
Ia menggeram setinggi langit.
"Setan alas! Kubunuh kau, Manusia Lancang!"
Rase Maut sendiri terpaku di tempatnya. Sama
sekali tak menyangka kalau seseorang akan muncul
dan menyelamatkan Pendekar Slebor. Melihat Iblis
Tambang sudah melesat. Rase Maut pun menyusul. Ia
tak ingin Permata Sakti itu jatuh ke tangan Iblis Tambang.
*** 10 Suci yang membawa Andika dengan mempergu-
nakan ilmu meringankan tubuhnya terkejut ketika
mendengar teriakan Andika, "Hey hei! Aku mau dibawa ke mana?"
Merasa sekarang sudah agak aman, Suci meng-
hentikan larinya. Menatap Andika yang sedang ber-
sungut-sungut dengan pandangan tak mengerti. Saat
itu hari sudah memasuki malam. Udara di sekitar ta-
nah terbuka berhembus dingin. Sayup-sayup terde-
ngar suara gemuruh sungai yang keras.
"Mengapa aku berada di sini" Sepi... ke mana
manusia-manusia dajal itu?" seru Andika sambil celingukan.
Lagi-lagi Suci cuma melongo mendengarnya.
Dari kata-kata Andika barusan, pemuda sakti itu se-
olah tak merasa kalau ia dibawa lari Suci.
"Maksud Kang Andika bagaimana?" tanyanya
tak mengerti. Justru Andika yang balik bertanya, "Apanya
yang bagaimana" Aku malah bingung mengapa bisa
berada di sini?"
Terheran-heran Suci menceritakan apa yang
terjadi. Ganti Andika sekarang yang terheran-heran.
"Kau bilang, aku membiarkan tubuhku dihan-
tami serangan manusia-manusia itu?"
Suci menganggukkan kepala.
"Aneh!" desis Andika sambil mengerutkan ke-
ningnya. "Tidak aneh, Kang. Sudah dua kali sebenarnya
aku melihat Kang Andika membiarkan dihajar lawan
tanpa sekali pun membalas," kata Suci.
"Dua kali?" ulang Andika.
"Ya. Dua kali. Pertama, ketika Andika bertarung
di atas sampan menghadapi si Rase Maut. Kedua, ya
pertarungan tadi itu. Mengapa Kang Andika seperti
keheranan?"
Bukannya menjawab, Andika justru mondar-
mandir kayak mandor pabrik.
"Tak mungkin, Suci... tak mungkin."
"Apanya yang tak mungkin?"
Andika menghentikan langkahnya. "Dan menu-
rutmu aku sama sekali tidak merasa kesakitan?"
Suci menganggukkan kepalanya. Aneh, kenapa
Kang Andika jadi begini, desisnya dalam hati.
"Tidak membalas?"
"Ya. Tetapi, Kang Andika, mengapa Kang An-
dika keheranan" Bukankah Kang Andika yang me-
lakukannya?"
"Tidak."
"Bagaimana ini?" kata Suci makin tak mengerti.
"Padahal, aku melihatnya dengan jelas."
Andika diam kembali. Lalu katanya, "Ketahui-
lah Suci, aku tak memiliki ilmu aneh semacam itu.
Bahkan aku seolah baru disadarkan kalau sudah dua
kali hal itu terjadi. Malah aku... oh!" Andika berdiri tegak, mematung dengan
tatapan melotot.
Suci menjadi tegang sendiri. Mengingat tempat
itu sepi dan sikap Andika yang rada aneh.
"Kenapa, Kang Andika?"
"Apakah... oh, ya, ya... bisa jadi itu. Bisa jadi."
"Kang Andika kenapa?"
Andika masih belum menjawab pertanyaan Su-
ci, "Tidak, aku belum bisa menentukan itu benar atau tidak sebelum
membuktikannya. Hmmm... ya, ya...
memang harus dibuktikan."
Merasa ada keanehan dalam diri Andika, Suci
berkata, "Kang Andika... sebaiknya, kita tinggalkan tempat ini. Karena, kedua
manusia itu pasti akan
mencari kita."
Kali ini Andika menganggukkan kepalanya.
"Kau benar, Suci. Kita memang harus mening-
galkan tempat ini. Tetapi... awaaaasss!!"
Andika mencelat menyambar tubuh Suci, keti-
ka didengarnya suara menggemuruh mengerikan men-
garah pada keduanya.
Blaaarr! Dua buah pohon tumbang seketika.
Andika menurunkan tubuh Suci dari bopon-
gannya. Bersamaan dengan itu, dua sosok tubuh su-
dah mencelat ke arahnya. Jotosan dan tendangan siap
diterima Andika.
Andika mendorong tubuh Suci. Lalu menekuk
kedua lutut dan kedua tangan bergerak.
Buk! Buk! Tendangan dan jotosan itu tertahan, namun
meskipun demikian, dua dorongan tenaga dalam ting-
gi, membuatnya agak terhuyung. Mengubah posisi
agar keseimbangannya tidak menghilang, pindah satu
tindak ke kiri dan melepaskan tendangan balasan.
Rase Maut yang tengah mencecar, urung den-
gan satu teriakan keras. Saat itu sebenarnya Andika
bisa menghabisi lawan, akan tetapi, tambang besar
yang mengeluarkan suara mengerikan menderu meng-
halangi maksudnya.
"Kerbau bau!" maki Andika sambil membuang
tubuh. Tetapi, tambang besar senjata andalan Iblis
Tambang terus mencecarnya. Mau tak mau untuk be-
berapa saat, Andika merasa dirinya seperti monyet ke-
bakaran ekor. Menyusul rangkaian serangan dari Rase Maut.
Benar-benar Andika berada di lingkaran jalan ke-
matian sekarang ini. Suci yang sudah berdiri akibat
dorongan Andika tadi, menjadi pias bukan main. Ia
berteriak keras, "Gunakan ilmu kebal yang Kang Andika miliki"!"
Tetapi yang dilihatnya, Andika terus berusaha
menghindar. Tidak lagi menunjukkan 'kebolehan'nya
yang menurut Suci sangat menakjubkan.
Tambang besar itu lolos dari sasaran, tetapi jo-
tosan tangan kiri iblis Tambang, telak menghantam
dada Andika. Menyusul tendangan Rase Maut. Bukan
alang kepalang sakitnya. Napas Andika terasa sesak.
Tetapi dasar urakan, Andika tak mempedulikan


Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal itu. Ia berkelit, bergulingan, melompat, dan men-
coba membalas. Keberanian yang dipadukan dengan
kepandaiannya yang tinggi, membawa basil. Rase Maut
merasa ngilu ketika tempurung kaki kirinya terhantam
tendangan Andika.
Patah dengan jeritan yang cukup keras.
Menyadari kalau lawan belum sepenuhnya ter-
desak, Iblis Tambang yang melihat Rase Maut menjerit
seperti itu, mencoba menambah kecepatan dan tena-
ganya. Akibatnya, Andika terhantam telak kembali.
Ia terjajar ke belakang. Darah segar mengalir
dari mulutnya. Iblis Tambang berdiri pongah, sementara Rase
Maut coba berdiri dengan sebelah kaki. Matanya me-
nyiratkan dendam tinggi, penuh ambisi untuk mem-
bunuh Andika. "Nyawamu akan kuampuni, bila kau menyerah-
kan Permata Sakti itu kepadaku, Pendekar Slebor!"
suara serak Iblis Tambang menggetarkan tempat itu.
Andika tersenyum mengejek.
"Kalau kau mampu, mengapa tidak mengambil-
nya?" Iblis Tambang memutar senjatanya yang me-
nimbulkan gemuruh angin.
"Nyawamu sudah di tanganku, Pendekar Sle-
bor! Kau masih saja mencoba mengulur waktu!!"
Andika tersenyum, dengan membentuk mo-
nyongan pada bibirnya. "Heran, kalau mau membunuh ya lakukan saja!"
Iblis Tambang yang penasaran tentang ilmu ke-
bal yang dilihatnya ketika Rase Maut dan Serikat Kuda Hitam menghajar Andika,
diam-diam mengerahkan tenaga dari pusarnya. Panas menggejolak di tubuhnya.
Desingan tambangnya bertambah kuat, angin makin
kencang menggemuruh.
"Kau akan menyesal, Andika!!"
Wussss!! Tambangnya sudah digusurkan ke arah Andi-
ka. Cepat Andika mengempos tubuhnya dengan panca-
lan satu kaki. Hup! Lincah ia melompati tubuh Iblis Tambang sen-
diri. Tanah di mana ia terduduk tadi, membentuk
lubang yang sangat besar dan mengeluarkan asap.
"Edan! Kalau aku tidak cepat, bisa jadi perkedel busuk!" maki Andika.
Tetapi, Rase Maut dengan liciknya, menyergap
dengan satu totokan.
Tuk! Tubuh Andika bergetar. Lalu menggelosoh le-
mah dan terbujur kaku di tanah. Ia memaki panjang
pendek. Mendapati lawan telah lumpuh, Rase Maut
yang kini sebelah kakinya tak berfungsi lagi, melang-
kah dengan terpincang. Geram bukan buatan. Ma-
tanya melotot nyalang.
"Kau akan membayar perbuatanmu ini, Pende-
kar Slebor!"
Tangannya siap dihantamkan pada kaki Andi-
ka, tetapi Iblis Tambang berseru, "Siksaan untuknya telah kupersiapkan Rase
Maut! Untuk sementara, biarkan ia terbujur tak berdaya!"
Rase Maut membuang kesalnya dengan mele-
paskan pukulan ke depan. Akibatnya, sebuah pohon
menjadi berantakan. Sementara Suci menjerit tertahan
menyadari keadaan Andika yang tak menguntungkan.
Jeritannya itu memancing Iblis Tambang yang
terbahak-bahak melihatnya. Sebuah rencana busuk te-
lah terpampang di benaknya.
"Pendekar Slebor... untuk beberapa saat lalu,
kau masih bisa mempertahankan Permata Sakti itu.
Tetapi sekarang, kau tak berdaya. Permata itu akan
kumiliki. Setelah itu, kau akan melihat pemandangan
yang mengasyikkan di depanmu."
Sambil terbahak, Iblis Tambang menggeladah
tubuh Pendekar Slebor. Diperlakukan semacam itu,
bukan buatan gusarnya Andika. Tetapi ia hanya terta-
wa-tawa saja. "Kau tak akan menemukan Permata Sakti itu,
Manusia Jelek!" ejeknya menyeringai.
Apa yang dikatakan Andika memang benar. Ka-
rena Iblis Tambang tak menemukan Permata Sakti
yang memancarkan sinar biru itu di seluruh tubuh
Andika. "Setan alas! Katakan di mana permata itu bila tidak ingin kupenggal?"
Kemarahan Iblis Tambang
menggunung. Matanya bagai pijaran api, menggelora,
mengerikan. "Aku sih masih sayang dengan nyawaku, maka-
nya kuberi tahu di mana Permata Sakti itu."
"Katakan!"
"Kau lihat gadis itu, bukan" Permata itu ada
padanya!" Bukan hanya Iblis Tambang dan Rase Maut
yang terkejut, tetapi juga Suci. Ia sampai terjingkat.
Heran, mengapa Andika berkata begitu"
Ini memang merupakan sebuah rencana untuk
menjelaskan dugaannya. Selagi serangan pertama da-
tang, Andika bisa menebak kalau Iblis Tambang dan
Rase Maut yang muncul kembali. Gerakan kilat dila-
kukan, ia menyelipkan Permata Sakti itu ke balik tu-
buh Suci. Saking cepatnya hingga gadis itu tidak me-
rasa apa-apa. Andika sendiri sebenarnya bisa memunahkan
totokan si Rase Maut yang tak terlalu bertenaga lagi.
Tetapi, teka-teki tentang Permata Sakti kini ia coba pecahkan, bahkan dengan
sebuah cara yang mungkin
mengerikan! Iblis Tambang memutar tubuhnya, begitu pula
Rase Maut. Dua pasang mata kelam menatap Suci
yang coba untuk tetap tegar. Namun riak ketakutan
mulai menyelinap di hatinya.
"Gadis manis... serahkan permata itu kepada-
ku!" bentak Iblis Tambang.
"Jangan, Suci! Jangan kau serahkan permata
itu!" seru Andika. Tamparan Rase Maut membuat bibirnya berdarah. Andika
menggeram. Kalau saja ia tak
ingin membuktikan dugaannya, sudah dikerahkan te-
naga untuk melepaskan diri dari totokan Rase Maut.
Tetapi ia masih menunggu, dan ia percaya kalau Suci
selamat dari gempuran maut kedua lawan. Karena, ia
telah mengarah pada dugaannya tentang teka-teki
Permata Sakti. Iblis Tambang tak mau bertindak ayal. Ia me-
nerjang cepat. Meskipun tak memiliki ilmu kanuragan,
tetapi Suci memiliki ilmu meringankan tubuh dan te-
naga dalam yang lumayan. Cepat ia berkelit. Iblis
Tambang menggeram dan terus menerjang.
Suci benar-benar dibuat tunggang langgang.
Terutama ketika Rase Maut berupaya agar semuanya
cepat selesai. "Hmm... seharusnya Suci membiarkan tubuh-
nya dihajar, agar aku bisa menduganya," desis Andika,
"Tetapi, kalau ia tak mampu menerima hajaran itu, bi-ar kubantai keduanya!"
sambungnya sambil kerahkan tenaga dalam, hingga totokan Rase Maut terlepas.
Tetapi Andika masih terbaring dengan sifat urakannya.
Saat ini Suci benar-benar kewalahan menghin-
dari gempuran kedua lawan. Satu tendangan telak di-
terimanya. Namun yang mengejutkan, Suci langsung
tegak berdiri. Hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa.
Iblis Tambang menderu, "Putus nyawamu!!"
Des! Tendangan yang siap menjebol dadanya diteri-
ma Suci, tetap dengan ketenangan, bahkan tubuhnya
yang terhuyung berdiri kembali. Seolah gadis itu tidak merasakan sakit.
Diam-diam Andika mendesis, "Benar dugaanku.
Teka-teki Permata Sakti terpecahkan sudah. Kesaktian
yang dimiliki permata itu ternyata mampu menahan
seorang yang memegangnya dari serangan sehebat apa
pun. Bahkan senjata sakti macam mana pun juga.
Pantas, aku agak keheranan ketika melihat Camar Hi-
tam menghilang. Rupanya tanpa disadari si pemegang
Permata Sakti itu, tenaga yang dikandung Permata
Sakti telah melindunginya. Hmm... kini aku paham,
mengapa Kakek Buruk Rupa tidak dapat me-
mecahkannya. Karena, ia sendiri pasti tidak merasa
kalau tenaga Permata Sakti yang membantunya. Be-
nar-benar sebuah permata yang luar biasa! Tetapi...
Apakah pandangan Suci juga melihat suasana se-
kelilingnya yang berwarna biru?"
Dugaan Andika memang terbukti. Karena saat
ini, Suci sedang keheranan sendiri. Karena, mendadak
saja dia tak melihat siapa pun juga di hadapannya.
Yang ada hanya sebuah ruang yang luas dan kosong.
Semuanya berwarna biru.
"Oh! Mengapa terjadi seperti ini" Mengapa seke-
lilingku jadi berwarna biru?" desis cucu Kakek Buruk Rupa keheranan sekaligus
waswas. Lalu dengan gu-gupnya gadis ini berteriak, "Kang Andika! Di mana kau,
Kang"!"
Tak ada sahutan apa-apa. Bahkan gema suara-
nya pun tak terdengar. Gadis itu semakin kebingun-
gan. Sementara itu Iblis Tambang dan Rase Maut
menjadi terheran-heran mendapati si gadis nampak
tenang-tenang saja dan membiarkan serangan mereka
mengenai sasaran.
Rase Maut menggeram, "Sinting! Rupanya gadis
itu memiliki ilmu aneh seperti yang dimiliki Pendekar Slebor!" "Persetan dengan
semua itu!" seru Iblis Tambang dengan wajah membesi. "Hajar sampai lumat!"
Tetapi meskipun serangkaian gempuran maut
diterima Suci, gadis itu tetap tegak tanpa kurang suatu apa. Andika yang sudah
merasa cukup untuk membuktikan dugaannya, menarik napas panjang tatkala
mendapati Rase Maut siap menghajar Suci lagi.
"Tak ada jalan lain sekarang. Aku tak bisa
membiarkan hal itu terus menerus terjadi," desisnya dalam hati. Dan segera
dikerahkan tenaga 'Inti Petir'
guna melepaskan totokan yang dialaminya. Lalu den-
gan teriakan keras pemuda urakan dari Lembah Kutu-
kan itu menerjang ke depan. Tangannya mengibas,
menangkis serangan Rase Maut pada Suci. Masih me-
layang kakinya berputar.
Des! Menyusul kaki kanannya menghantam kepala
Rase Maut. Rase Maut yang tak menyangka kalau Pendekar
Slebor bisa terbebas dari totokannya terperangah. Ia
mencoba untuk merunduk. Tetapi kaki kanan Andika
merupakan sebuah pancingan belaka. Justru kaki ki-
rinya yang menghantam dari bawah.
Prak! Seketika kepala Rase Maut pecah. Tak ada jerit-
an apa-apa kecuali ambruk bersimbah darah.
Iblis Tambang segera menghentikan serangan-
nya pada Suci yang kali ini sudah tersadar dari pengaruh gaib Permata Sakti.
Gadis itu keheranan sendiri
mendapati dirinya masih tegak berdiri dan pandang-
annya kembali pada hamparan pemandangan semula,
tidak lagi berwarna biru.
Bahkan gadis itu hanya teringat, kalau Iblis
Tambang dan Rase Maut tengah melancarkan seran-
gan. Ia juga melihat Rase Maut telah menjadi mayat.
Dan Andika yang sedang berdiri tegak sementara Iblis
Tambang menatapnya dengan beringas.
Bagaimana semua ini tidak kuketahui" desis
Suci bingung. Ia meraba perutnya. Permata Sakti itu
teraba, agak panas. Tetapi, terhalang oleh tenaga da-
lamnya yang memang sudah terlatih. Dari keheranan
yang menyelimutinya, mendadak saja si gadis terse-
nyum. "Permata yang direbutkan banyak orang kini berada di tanganku. Permata ini
semula milik kakekku. Tak jadi soal bila aku memilikinya dari tangan
Pendekar Slebor."
Sementara itu, Pendekar Slebor sedang menarik
napas panjang. "Tak seharusnya aku menurunkan tangan telengas. Tetapi, dosa
orang yang berjuluk Rase
Maut itu terlalu banyak...," desisnya seperti menyesal sambil menatap mayat Rase
Maut. Dan tatkala mendengar teriakan Iblis Tambang
yang sudah menyerang, mau tak mau Andika bergerak
memapaki. "Monyet pitak! Apakah aku harus mencabut
nyawa lagi?" makinya tak karuan. Namun, bila Andika
tak bertindak, sudah barang tentu dia yang akan men-
jadi sasaran lawan.
Dengan ajian 'Guntur Selaksa' Andika mem-
balas gempuran Iblis Tambang yang sebenarnya te-
naganya sudah terkuras. Orang berwajah mengerikan
ini tak mampu berbuat banyak. Berkali-kali tendangan
Andika mengenai sasarannya. Bahkan tangan kirinya
terhantam keras pukulan ajian 'Guntur Selaksa' yang
seketika remuk dan membiru.
Lolongan bak serigala luka terdengar hebat. An-
dika yang merasa sudah cukup memberi pelajaran pa-
da Iblis Tambang menghentikan gerakannya. Karena
dipikirnya, Iblis Tambang tak akan mampu berbuat
banyak. Namun dugaannya keliru, karena mendadak
saja Iblis Tambang melepaskan serangannya dengan
mempergunakan senjata tambang besarnya. Kendati
hanya mempergunakan tangan kanannya saja, namun
kecepatan tambang yang dilepaskan orang yang tan-
gan kirinya telah remuk itu sama sekali tak terganggu.
Hanya saja, tenaga yang keluar lebih lemah bila mem-
pergunakan dua tangan.
Wuusss! Cepat Andika melompat ke samping. Dan ke-
sempatan itu dipergunakan Iblis Tambang, sambil me-
nahan sakit dan dendamnya, meninggalkan tempat
itu.

Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bila saja Andika tak memiliki jiwa kemanu-
siaan, sudah tentu akan dikejarnya Iblis Tambang
yang sudah kalah itu. "Sayang sekali. Padahal dia memiliki ilmu yang tinggi.
Bila saja dibawa pada jalan kebenaran...."
Dari sudut matanya yang setajam mata elang,
Andika melihat Suci mendekatinya. Dia tersenyum.
Dan semakin tersenyum mendengar gadis itu bertanya
tentang keheranannya mengenai apa yang terjadi.
"Mengapa aku tidak tahu semuanya, Kang Andika?"
Andika tersenyum. "Maafkan aku, karena terla-
lu nekat menjadikanmu sebagai umpan, Suci. Tetapi,
semuanya sudah kuperhitungkan dengan matang."
"Maksud Kang Andika?"
Andika mengatakan dugaannya tentang Per-
mata Sakti yang kini telah terbukti.
"Jadi... Permata Sakti ini bisa membantu si
pemegangnya bila dalam keadaan terdesak?"
"Begitulah adanya, Suci. Ketahuilah, apa yang
kau lihat selama ini kalau aku mampu menghadapi se-
rangan lawan, sebenarnya bantuan Permata Sakti itu.
Aku tidak memiliki ilmu kebal semacam itu, lagi pula, aku tidak begitu bodoh
membiarkan tubuhku dijadikan bulan-bulanan lawan."
"Pantas, begitu banyak yang menginginkan Per-
mata Sakti ini dari Kakek, Kang Andika."
"Ya, sudah sepantasnyalah demikian. Kini aku
telah berhasil memecahkan teka-teki Permata Sakti
seperti yang diminta kakekmu meskipun secara tidak
langsung ia menjebakku. Sekarang, saatnyalah kita
mencari kakekmu, Suci."
Karena terlalu gembira mendengar kata-kata
Andika, tak sadar Suci merangkulnya. "Oh! Kau berjanji, Kang Andika" Kau
berjanji?"
Andika cuma mengangkat alisnya dengan wa-
jah memerah. "Terima kasih, Kang Andika. Terima kasih." Gadis itu mengecup pipi Andika yang
bertambah meme-
rah. Andika berbisik, "Ingat Suci, aku ini laki-laki lho!" Seperti baru
menyadari hal itu, Suci melepaskan rangkulannya. Wajahnya seketika memerah.
"Maafkan aku, aku terlalu gembira mendengar
janji kang Andika."
"Tidak apa-apa. Malah aku ingin dirangkul se-
kali lagi," kata Andika genit.
Suci melotot, Andika cuma tertawa. Namun,
Andika tidak tahu apa yang kemudian dipikirkan oleh
gadis itu mengenai Permata Sakti.
*** 11 Ombak berdebur keras. Menghantam batu ka-
rang yang tinggi. Senja menurun. Suasana di tepi pan-
tai itu begitu mencekam. Langit kelam, pertanda akan
turun hujan. Dalam jarak seratus tombak dari pantai, terda-
pat sebuah bangunan besar. Tersaput kegelapan. Di
sanalah Serikat Kuda Hitam berdiam dengan pimpi-
nannya yang bernama Tunggul Manik.
Telah sepuluh tahun Tunggul Manik mendiami
pulau yang mengerikan itu, yang bernama Pulau Seri-
bu Setan. Sepak terjang Serikat Kuda Hitam memang
tak bisa dirubah oleh siapa pun juga, terutama kaum
golongan lurus.
Tetapi, untuk memusnahkan Serikat Kuda Hi-
tam bukanlah sebuah cara yang mudah. Karena, un-
tuk mendarat di Pulau Seribu Setan yang penuh den-
gan batu karang, bukanlah hal yang mudah. Kalaupun
Tunggul Manik dan anak buahnya yang berjumlah se-
kitar lima puluh orang itu bisa keluar masuk ke pulau, dikarenakan ia mengetahui
sebuah jalan rahasia. Sebuah jalan yang diciptakan dengan kekuatan sihirnya.
Saat ini, laki-laki berwajah kasar dengan pipi
yang selalu menggembor itu tengah menggeram. Lima
anak buahnya hanya terduduk tanpa berani mengang-
kat wajah di hadapannya.
Semenjak lima orang anak buahnya diutus un-
tuk mencari Permata Sakti tiga bulan lalu, Tunggul
Manik mulai tak sabaran. Apalagi mengingat batas
waktu yang diberinya. Karena saat ini kelima anak
buahnya tidak memberi kabar apa-apa. Padahal, seha-
rusnya mereka sudah kembali ke Pulau Seribu Setan.
Laki-laki itu tidak tinggi, tetapi terbilang kekar.
Bajunya hitam pekat. Bagian dadanya tak tertutup,
memperlihatkan sebuah tato bergambar tengkorak. Ce-
lananya hitam panjang hingga mata kaki. Di ping-
gangnya melilit sabuk warna merah. Matanya agak
menukik dengan kelopak mata berlipat ke dalam. Alis
mata laki-laki itu setebal brewok yang tumbuh dida-
gunya. Di pergelangan tangannya terdapat dua buah
gelang perak yang besar.
"Ke mana manusia-manusia dungu itu?" maki
Tunggul Manik, suaranya besar mengerikan. "Hhh!
Seminggu lagi mereka tak kembali, kalian pergi me-
nyusul! Temukan mereka, dan katakan, kalau mereka
akan menerima hukuman!!"
Lima anak buahnya yang sejak tadi menunduk-
kan kepala, cepat-cepat mengangguk. Dan lega bukan
buatan ketika Tunggul Manik membentak agar mereka
keluar. Laki-laki berhidung besar dan berbibir tebal itu hilir mudik dengan
wajah tertekuk. Sorot matanya
yang celong ke dalam begitu mengerikan,
Lalu ia melangkah ke sebuah ruangan yang ada
di dalam bangunan besar itu. Ruangan itu mengua-
rkan bau yang sangat busuk sekali. Tetapi bagi Tung-
gul Manik bukanlah hal yang mengherankan. Ia duduk
di lantai. Di hadapannya ada sebuah meja kecil. Di
atasnya terdapat sebuah dupa yang mengepul.
Dari sanalah bau busuk itu menguar. Di samp-
ing dupa itu, terdapat sebuah baskom yang berisi air
berwarna kuning.
Mendadak terlihat tubuhnya bergetar dengan
mulut komat-kamit. Tangannya yang terangkum di
dada bergerak-gerak di atas dupa itu.
Dan mendadak matanya terbuka. Tajam mem-
perhatikan air di baskom yang tadi tenang kini berge-
rak-gerak. Tiba-tiba, sungguh aneh sebenarnya, karena di
dalam itu terlihat sosok Pendekar Slebor dan Suci yang sedang celingukan di
sebuah hutan lebat.
"Setan alas!! Aku yakin, permata itu berada di
tangan Pendekar Slebor!"
Lalu orang ini mengulap-ngulapkan tangannya
lagi di atas dupa. Pemandangan yang nampak di air itu kini berganti. Sosok
wanita tua dengan rambut digelung ke atas nampak sedang bersembunyi di salah se-
buah batu di sebuah Bukit Karang.
"Camar Hitam!"
Menyusul sosok Kakek Buruk Rupa yang mun-
cul, sedang celingukan di sekitar Bukit Karang. Lalu
wujud Iblis Tambang yang tengah mengobati tangan-
nya yang remuk. Menyusul pemandangan sepasang
anak manusia setengah baya berbaju biru.
"Sepasang Dewa Gurun Pasir!"
Dan beberapa gambar lainnya. Ketika gambar
itu tiba pada sosok anak buahnya yang telah tewas,
menjerit setinggi gunung Tunggul Manik. Mengge-
tarkan bangunan di mana ia tinggal.
"Keparat! Kalian akan kuundang ke Pulau Seri-
bu Setan!!" serunya keras. Tangannya dihantamkan pada lantai.
Braakk! Tangan sebatas siku melesak ke dalam lantai.
Sepasang mata orang ini melebar ganas dan wajahnya
menekuk liar. Apa yang akan terjadi kemudian" Rahasia Per-
mata Sakti telah berhasil dipecahkan oleh Pendekar
Slebor. Maut pun membentang di setiap langkahnya
dari orang-orang serakah yang menginginkan Permata
Sakti itu. Bahkan, sebuah undangan akan ditebarkan
oleh Tunggul Manik. Bukan undangan biasa, melain-
kan undangan yang dilakukan dengan kekuatan sihir-
nya. SELESAI Segera hadir kembali Serial Pendekar Slebor
dalam episode: PULAU SERIBU SETAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
Peri Bunga Iblis 2 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Tabir Peta Shaolin 2
^