Pencarian

Tasbih Emas Bidadari 2

Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari Bagian 2


kan mau longsor, menimbulkan suara bergemuruh
dahsyat. Tubuhnya pun berkelebat cepat menghindari
hujan batu yang bergemuruh itu. Untungnya, di de-
katnya ada sebuah batu besar yang bisa dijadikan
tempat berlindung. Andika terpaksa menekap kedua
telinganya ketika suara gemuruh itu semakin meme-
kakkan telinga.
"Sambal terasi! Monyet kurap!" sumpah sera-pah pun berhamburan dari mulut
Pendekar Slebor.
Apalagi ketika tubuhnya sesekali terhantam lontaran batu yang keras. Gemuruh
bebatuan itu bertambah
hebat. Seperti seekor tikus, Andika tetap merunduk di balik batu besar.
Setelah beberapa saat Andika bersembunyi di
balik batu, suara gemuruh itu pun perlahan-lahan
mulai menurun. Dan lama kelamaan lenyap. Si pemu-
da mendesah lega, lalu keluar dari persembunyiannya.
Di bawah, Andika melihat batu-batu itu saling
tumpuk menjadi satu. Ketika perhatiannya tertuju ke arah batu kepala beruang
tadi berada, ternyata bekas tempat batu tadi terdapat sebuah mulut gua.
Kening Andika berkerut.
"Astaga! Rupanya di balik batu kepala beruang
itu terdapat sebuah gua. Hmm.... Apakah Tiga Jalan
Matahari itu berada di sana dan kepala beruang yang tak sengaja disentuh nenek
peot bau busuk itu merupakan sebuah pintu?"
Andika segera membuka peta yang diberikan
Sapta Jingga padanya. Sesaat keningnya sesekali terlihat berkerut, sambil
menggigit-gigit bibirnya.
"Sayang sekali peta ini tidak lengkap. Tetapi, coba aku menguraikan dulu."
Andika segera mengambil sebatang ranting ke-
cil. Lalu dengan ranting itu digoresnya tanah perlahan-lahan. Berkali-kali dia
melakukannya, dan berkali-kali
menghapusnya. Setelah cukup lama Andika berdiri te-
gak dengan senyum ragu-ragu.
"Dari coret-coretanku ini, jelas sekali kalau Tiga Jalan Matahari kembali pada
buku kepala beruang.
Apakah memang sesungguhnya Tiga Jalan Matahari
berada di sana" Dan apakah aku berarti harus masuk
ke dalam gua itu" Wah.... Keanehan dan petaka apa
yang kujumpai saat masuk ke sana?"
Setelah mempertimbangkan dengan seksama,
Andika pun melangkah ke arah mulut gua yang men-
ganga. Suasana semakin menegang. Degup jantungnya
kian berdetak lebih kencang. Tatapannya begitu was-
pada. Satu langkah di depan mulut gua, Andika ber-
henti. Diambilnya sebuah batu yang berada di sisi gua.
Lalu digulingkannya batu itu. Tak ada apa-apa.
Kepala Pendekar Slebor melongok. Gelap tak
ada penerangan apa pun di dalamnya. Perlahan-lahan
Andika memasuki mulut gua. Dan kelengangan pun
seketika meringkusnya. Tak ada selintas bunyi apa
pun. Sampai-sampai detak jantungnya terdengar.
"Gelap sekali sekelilingnya. Tetapi biar bagaimanapun juga, aku harus mencoba
keberuntungan- ku," desah Pendekar Slebor.
Perlahan-lahan Andika terus memasuki ke da-
lam gua yang berbau lembab dan gelap. Agar tidak me-lahirkan bunyi mencurigakan,
sengaja pendekar muda
ini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya sampai
tingkat tertentu. Tangannya meraba-raba dinding gua yang penuh lumut itu.
Cit! Cit...! Terdengar suara tikus bercericit.
"Rupanya ada juga makhluk hidup di sini," pikir Andika sambil terus melangkah
dengan meraba- raba. Tatapannya sangat sulit menembus kegelapan
gua itu. Namun tiba-tiba Pendekar Slebor terhenyak.
Sekujur tubuhnya bergetar seketika saat sebuah sinar matahari masuk melalui
sebuah celah. Entah, bagaimana celah itu bisa terjadi.
"Apakah aku sudah menemukan salah satu da-
ri Tiga Jalan Matahari?" tanya Andika ragu-ragu.
Perlahan-lahan, Pendekar Slebor mendekati si-
nar matahari yang masuk melalui sebuah celah. Ketika mendongak, tampak kalau
celah itu sangat kecil.
"Aku yakin, jelas-jelas ini salah satu dari Tiga Jalan Matahari. Tetapi, di mana
yang dua lagi?"
Andika meneruskan langkahnya, menelusuri
gua yang semakin lama semakin melebar. Dan tak la-
ma kemudian, matanya menangkap kembali sebuah
sinar matahari yang menerobos masuk.
"Mungkin ini yang kedua. Berarti, tidak susah
lagi mencari yang ketiga. Kalau begitu, aku harus terus masuk ke gua ini. Entah,
sampai di mana akhirnya,"
desis Andika. Apa yang diduga Andika tadi pun menjadi ke-
nyataan. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-
tukan seakan menemukan tambang emas yang besar
ketika melihat sebuah titik sinar matahari di hadapannya. "Gila! Inikah yang
dimaksud Tiga Jalan Matahari" Rupanya berada di dalam gua ini. Dan kepala
beruang yang tak sengaja disentuh Dewi Sungai Bangkai tadi sebagai pintu. Lalu,
apa yang harus kulakukan setelah ini?" tanya Pendekar Slebor dalam hati.
Belum lagi Andika dapat menduga....
Wrrr! Tiba-tiba saja tubuh si pemuda terpental ke de-
pan begitu merasakan serangkum angin dahsyat
menghantam. Sedikit pun dia tak sempat memper-
siapkan kuda-kuda tempurnya
Brak! Tubuh pemuda itu menghantam dinding gua
yang merupakan sisi bagian dalam dari Gunung Ka-
but. Andika merasakan tubuhnya seperti patah. Kepa-
lanya berdenyut keras. Rasa sakit tergambar jelas di wajahnya.
"Sompret! Apa yang tadi menghantamku?" makinya sambil mengusap-usap kepalanya.
Perlahan, Andika berdiri. Kini kuda-kuda siap
tempurnya dipasang bila ada serangan mendadak lagi.
Namun selama berdiri menunggu, tak ada lagi seran-
gan dahsyat tadi.
"Tuyul bunting! Bagaimana serangan itu datang
begitu cepat" Semakin banyak saja keanehan yang ku
alami ini?" desisnya.
Perlahan-lahan dengan waspada Andika me-
langkah. Tetap tak ada serangan lagi. Namun begitu
kakinya menginjak sinar yang menerpa debu-debu di
gua itu.... Wuuuttt! Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor terpe-
lanting. Kali ini lebih dahsyat dari yang pertama.
Brak! Kembali Andika merasa kepalanya berpendar-
pendar ketika menabrak dinding gua. Dari hidungnya
mengalir darah segar.
"Gila! Hei, Kutu Monyet! Kalau memang manu-
sia iseng, lekas keluar! Kalau setan, lebih baik minggat saja!" Bentakan itu
menggema di dalam gua, semakin mengeras. Andika sampai menekap telinganya
sendiri. Kali ini Pendekar Slebor sudah mempersiapkan
tenaga 'inti petir' tingkat ke lima belas. Kalau datang lagi serangan dahsyat
itu, dia akan menghantamnya.
Namun lagi-lagi serangan itu tak terjadi. Dan begitu kakinya kembali menginjak
debu tempat sinar matahari yang ketiga ditemui, kembali serangkum angin laksana
topan prahara menerpa ke arah Andika.
Kali ini Andika lebih dulu waspada. Hingga dia
bisa bergulingan memepet pada dinding gua.
Blarr...! Angin deras itu kembali menghantam dinding
gua, menimbulkan suara menggelegar.
Sejenak gua itu bagaikan bergeming. Beberapa
buah batu jatuh. Andika mengusap-usap kepalanya
yang penuh debu.
"Aku tahu sekarang.... Rupanya di tempat sinar matahari yang ketiga jatuh, tak
boleh diinjak. Tetapi, mengapa yang pertama dan kedua tadi aku tak menga-lami
apa-apa?" tanya pemuda cerdik ini. "Luar biasa!
Tentu saja hanya Ki Bubu Jagat yang mampu men-
gendalikan tenaga matahari hingga mampu menye-
rang. Entah tenaga apa yang dipergunakannya. Ten-
tunya sangat dahsyat. Kalau begitu, aku harus mem-
bungkuk dari belakang, sehingga sinar matahari itu tidak ku injak lagi."
Dengan memepetkan tubuhnya pada dinding
gua, si pemuda berhasil melewati jalan sinar matahari yang ketiga. Sejenak
diperhatikannya sinar matahari yang jatuh itu. Keningnya berkerut terus menerus.
Di-ingatnya lagi isi peta yang sudah setengah dipecahkan.
"Hmm. Setelah Tiga Jalan Matahari berhasil ku-
temukan, berarti aku harus mengikuti peta yang ada
padaku. O, ya. Aku harus terus melewati Tiga Jalan
Matahari untuk mencari batu nisan. Dalam peta itu
bernama Nisan Tak Bertuan. Gila! Di mana aku bisa
menemukan batu nisan itu. Menurut peta ini, batu nisan itu menjadi patokan
bagiku untuk menemukan
Tasbih Emas Bidadari. Tetapi, apa yang bisa kujadikan
sebagai petunjuk" Sialan!" rutuk Andika.
Lalu perlahan-lahan pemuda itu kembali mene-
ruskan langkahnya. Kalau tadi pertama kali masuk
gua itu kecil kemudian membesar, sekarang mengecil
kembali. Tetapi, kini keadaan kembali gelap.
"Busyet! Di mana sih letaknya?" desis Andika menggerutu.
Tak sengaja, tangan Pendekar Slebor bertelekan
pada dinding gua di sisinya. Dan tiba-tiba saja, terdengar suara gemuruh
kencang. Andika sampai terjingkat karena kaget. Dilihatnya dinding yang dipegang
tadi perlahan-lahan membuka, bagaikan sebuah pintu
yang memudahkan siapa saja untuk masuk.
Sejenak Andika melongokkan kepalanya. Sa-
mar-samar terlihat cahaya terang di kejauhan. Tempat itu benar-benar lebih
nyaman daripada yang semula.
Karena, Andika merasakan angin perlahan berdesir.
"Di sinikah Nisan Tak Bertuan itu berada?"
tanya pemuda ini seraya melangkah.
Begitu melewati pintu itu, tiba-tiba saja terden-
gar kembali suara bergemuruh. Andika tercekat, dan
siap melompat keluar. Tetapi, terlambat.
Brakkk! Pintu itu sudah tertutup kembali.
*** "Wah.... Jangan-jangan aku terjebak kembali
seperti di Alam Sunyi," keluh Pendekar Slebor setelah meraba-raba pintu itu. Dia
mencoba mencari alat
pembukanya, namun pintu itu tetap terkunci rapat.
"Kalau aku berada di Alam Sunyi, seluruhnya sepi sekali dengan tempat luar dan
pemandangan mengeri-
kan. Kalau di sini, hhh! Apa yang bisa kulihat, meskipun dari kejauhan ada
cahaya yang berpendar?"
(Untuk mengetahui bagaimana Andika sampai
terjebak di Alam Sunyi, silakan baca: "Raja Akhirat"
dan "Neraka Di Keraton Barat").
Sejenak Andika menggaruk-garuk rambutnya
dengan kegemasan menjadi-jadi. Di samping ingin me-
nemukan Tasbih Emas Bidadari, Andika juga bermak-
sud untuk mencari jalan keluar. Tentu saja, dia tak sudi terkubur hidup-hidup di
sini. Kembali Andika meneruskan langkahnya. Sete-
lah lima belas tombak melangkah, sinar yang dilihatnya semakin menerang. Bahkan
sejenak Andika harus
mengangkat sebelah tangannya untuk menutupi pan-
dangannya, karena sinar itu sangat menyilaukannya.
"Gila! Kalau memang di sini tempat Nisan Tak
Bertuan itu berada, di mana nisan sialan itu"!" makinya. Belum juga terjawab
kata-kata Pendekar Sle-
bor.... Sing...!
Tiba-tiba saja terdengar suara berdesing yang
cepat sekali. Andika tercekat. Seketika tubuhnya melenting saat sepuluh buah
tombak bagaikan keluar da-ri dinding batu itu meluncur ke arahnya.
"Kutu kupret! Orang gila kurapan. Siapa sih
yang masih suka jahil?" makinya sambil bergulingan cepat. Kesepuluh tombak itu
menancap pada dinding
batu hingga tengahnya.
"Gila! Kalau kena tubuhku, bisa jadi Sate Andi-ka!" desisnya sambil menggeleng-
geleng kepala. "Nampaknya Ki Bubu Jagat memang sangat pandai me-
nyembunyikan senjata pusakanya. Tetapi kalau begini terus, aku yang bisa celaka.
Aku yakin, bukan hanya tombak-tombak itu saja yang tersembunyi. Pasti masih ada
senjata edan lainnya!"
Menyadari akan hal itu, kewaspadaan Andika
semakin ditingkatkan. Dia merasa beruntung karena
tempat ini tidak gelap seperti gua yang dimasukinya.
Dan apa yang diduga pun terjadi. Karena tiba-
tiba saja tubuhnya terperangkap oleh sesuatu yang tak sadar diinjaknya.
Plas! Tubuh Pendekar Slebor masuk ke sebuah jaring
yang ada di tengah. Seketika jaring berisi tubuh Andika bergerak ke atas, dan
kini menjutai-juntai bagaikan sebuah beban timbangan.
"Keparat! Sialan! Monyet, monyet, monyeeettt!"
Pendekar Slebor cepat mengerahkan tenaga da-
lamnya untuk memutuskan jaring yang mengikatnya.
Tetapi, jaring itu sangat alot. Tenaga 'inti petir' pun tak ada gunanya.
Sesaat Andika ingin melontarkan ajian 'Guntur
Selaksa' untuk meloloskan diri dari perangkap itu.
Namun cepat diurungkan. Karena bila melontarkan
ajian itu tak mustahil dinding batu ini akan runtuh.
Dan tubuhnya tak mau terkubur di dalamnya.
Pendekar Slebor berusaha memeras otaknya
sambil memaki-maki tak karuan.
*** 6 Gempo Sinting dan Dewi Sungai Bangkai yang
masih mencari Tiga Jalan Matahari menghentikan
langkahnya ketika hampir tiba di puncak Gunung Ka-
but. "Brengsek! Di mana letaknya Tiga Jalan Matahari itu?" dengus Dewi Sungai
Bangkai. Bukannya menjawab, Gempo Sinting justru
menggerakkan tangannya ke satu tempat.
Wuusss! Serangkum angin dahsyat ke depan, menghan-
tam tiga buah pohon hingga langsung tumbang.


Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keparat busuk! Keluar kau!" bentak Gempo Sinting, menggelegar.
Dewi Sungai Bangkai mengerutkan keningnya,
bersiaga. Begitu angin dahsyat menghantam tiga buah
pohon sekaligus, tampak satu sosok tubuh aneh ke-
luar dari persembunyiannya. Tampangnya acak-
acakan dengan keriput memenuhi wajahnya. Sikapnya
biasa saja, seolah tak tahu kalau serangan yang dilakukan Gempo Sinting tadi
sangat berbahaya.
"Siapa yang berani mengganggu tidurku"! Hayo,
angkat tangan. Biar kubikin mampus!!" maki sosok yang ternyata seorang lelaki
tua. Kedua mata lelaki yang celong ke dalam ini me-
natap nyalang. Di tangannya terdapat sebuah bungku-
san. Seolah tak mempedulikan bentakannya tadi, ma-
tanya kini menatapi bungkusan yang dibawanya den-
gan sinar mata memelas.
"Rupanya ada tamu yang tak diundang datang
ke tempat kita ini, Sayang. Apakah aku harus menge-
pruk kedua manusia ini?" kata si lelaki pada bungkusan yang kelihatan amat
disayangnya. Sejenak Gempo Sinting dan Dewi Sungai Bang-
kai saling berpandangan melihat kelakuan si kakek.
"Manusia hina yang kerjanya hanya menguping
pembicaraan orang! Sebutkan nama sebelum mam-
pus!" bentak Gempo Sinting. Dari suaranya terdengar suatu kegeraman.
"Kau dengar, Sayang" Manusia bulat itu mem-
bentakku. Tanganku jadi gatal. Izinkan aku untuk
menghajarnya sampai mampus," kata orang tua kerempeng itu pada bungkusan di
tangan. Seolah, tak
dipedulikannya bentakan Gempo Sinting.
Mendengar kata-kata itu, wajah Gempo Sinting
memerah. "Orang tua edan! Tinggalkan tempat ini, sebe-
lum kau mampus tercacah-cacah...!"
Tiba-tiba saja orang tua itu mengangkat kepa-
lanya. Tatapannya setajam sembilu menatap pada
Gempo Sinting. "Kurang ajar! Mulutmu harus kutampar sampai
berdarah! Kau sebutkan namamu, Juga kau, Nenek
Peot!" Dewi Sungai Bangkai mengeluarkan hembusan napas dingin.
"Kakek keparat! Bila kau ingin mampus, men-
gapa harus bersembunyi, hah"!"
"Keterlaluan! Benar-benar cari penyakit!"
Wajah Dewi Sungai Bangkai sudah berubah ke-
labu dengan kemarahan meluap. Kepalanya lantas di-
dekatkan pada telinga Gempo Sinting.
"Gempo..., telah lama aku mendengar kabar ka-
lau Gunung Kabut ini berpenghuni. Tetapi kusirap kabar, dihuni sepasang kakek
nenek yang saling cinta dan setia. Tak ada waktu tanpa memadu kasih. Mereka
dijuluki Sepasang Hantu Neraka. Tetapi, sekarang mengapa hanya seorang saja?"
bisik Dewi Sungai Bangkai.
"Itu urusanku!" teriak kakek itu keras dan tiba-tiba. "Astaga! Pendengarannya
tajam sekali. Dia bahkan mendengar bisikanku, Gempo," desis Dewi Sungai Bangkai
terperanjat. "Tinggalkan tempat ini kalau tak mau mam-
pus!" bentak lelaki tua kerempeng itu.
Dewi Sungai Bangkai merasa sudah terinjak-
injak harga dirinya.
"Aku dijuluki Dewi Sungai Bangkai. Kini mam-
puslah kau!" teriak perempuan berbau busuk itu seraya melesat menyerang.
"Pantas aku sejak tadi mencium bau busuk!"
balas si kakek sambil melentingkan tubuhnya.
Tiga buah larik sinar yang dilepaskan oleh Dewi
Sungai Bangkai memang berhasil dihindari si kakek.
Namun, bau busuk sempat menyumbat jalan nafas-
nya. Lehernya bagai tercekik.
Begitu mendarat, dengan cepat orang tua ber-
tampang mirip setan itu mengerahkan tenaga dalam-
nya. Sesaat, nafasnya terasakan longgar kembali. Tiba-tiba saja gerengannya
terdengar keras, kedua tangannya bergerak ke kanan dan kiri.
Dewi Sungai Bangkai terkejut ketika merasakan
serangan sepasang api neraka meluruk ke arahnya.
Dia coba bergeser ke samping sambil hendak melan-
jutkan serangan, namun tanpa terlihat bagaimana ge-
rakannya, kaki si kakek telah menderu ke dadanya.
Dan.... Buk! "Aaakh...!"
Tubuh Penguasa Sungai Bangkai itu terjajar ke
belakang. Kalau bukan Dewi Sungai Bangkai, mungkin
akan hangus seketika. Dewi Sungai Bangkai cepat
mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya ketika
rasa panas menyelimuti tubuhnya.
"Keparat! Keluarkan seluruh ilmumu!" bentak si perempuan itu lagi sambil
menerjang kembali.
Tanpa bergerak dari tempatnya, si kakek men-
gangkat sebelah tangannya. Kali ini seluruh tubuhnya bagaikan dialirkan hawa
yang sangat panas.
Melihat kenyataan ini Dewi Sungai Bangkai
kembali terperanjat. Seketika serangan lompatan yang mengarah pada leher si
kakek dirubahnya. Tubuhnya
berjumpalitan, lalu kakinya melayang.
Buk! Tendangan itu sangat telak menghantam dada
si kakek. Tetapi lelaki tua berwajah penuh keriput ini tak bergerak sedikit pun.
Dan, justru Dewi Sungai
Bangkai yang terpelanting ke belakang.
Sejenak Dewi Sungai Bangkai terperanjat
"Luar biasa tenaga dalam yang dimiliki orang
aneh ini. Bila apa yang kupikirkan itu benar, pasti orang tua ini salah seorang
dari Sepasang Hantu Neraka. Tetapi, di manakah si Hantu Betina?"
Dewi Sungai Bangkai yang penasaran, kali ini
tak tanggung lagi. Segera dikerahkannya ajian 'Sungai Bangkai Menceburkan
Mayat'. Kedua tangannya yang
mengeluarkan beberapa larik sinar hitam dan bau bu-
suk menyengat, mencoba menyergap tubuh si kakek
yang memang salah satu dari Sepasang Hantu Neraka.
Perhitungannya bila tertangkap, maka akan segera di-bantingnya tubuh orang tua
itu! Tap! Perempuan itu hanya berhasil menangkap len-
gan kanan si kakek yang masih berbicara dengan
bungkusan di tangannya. Dan seketika, Dewi Sungai
Bangkai lepaskan lengan itu ketika panas menyengat
terasa di tangannya, tak ubahnya memegang bara ne-
raka! Sambil menggeram murka, Dewi Sungai Bang-
kai melompat ke belakang.
"Keparat!"
Kali ini Gempo Sinting menggeram. Dia cukup
terkejut ketika melihat bagaimana orang tua itu menghantam Dewi Sungai Bangkai
seperti sedang memper-
mainkannya. Si kakek berpaling dengan tatapan tajam.
"Si Buntal ini juga ingin mampus, Sayang," desis si kakek dingin, pada bungkusan
di tangannya. "Tahan!"
Dewi Sungai Bangkai menangkap tangan Gem-
po Sinting yang sudah siap menyerang dengan kema-
rahan membludak.
"Jangan gegabah, Gempo. Nampaknya kita ber-
temu bukan orang sembarangan. Gempo! Jelaslah ka-
lau manusia ini salah satu dari Sepasang Hantu Nera-ka, meskipun aku tak melihat
di mana istrinya bera-
da." "Tinggalkan tempat ini! Aku sudah berjanji pa-
da istriku untuk tidak membunuh lagi! Tetapi kalau
kalian keras kepala, aku tak segan-segan lagi!" bentak si kakek, keras
menggelegar. Kali ini Gempo Sinting mengibaskan tangannya
dari genggaman tangan Dewi Sungai Bangkai.
"Hiaaa...!"
Sambil berseru keras, lelaki bulat itu pun men-
deru ke arah si kakek yang masih berdiri tegak. Melihat hal itu, Dewi Sungai
Bangkai pun meluruk pula
membantu. Karena, bila dugaannya benar, berarti
keadaan akan semakin kacau. Yang baru muncul ini si Hantu Jantan. Bagaimana bila
si Hantu Betina pun
muncul" Padahal, Sepasang Hantu Neraka telah men-
jadi momok bagi dunia persilatan puluhan tahun lalu.
Tak seorang pun yang tahu ke manakah mere-
ka menghilang. Tak seorang pun yang tahu, dari go-
longan mana mereka. Hanya saja, tahu-tahu yang seo-
rang sudah muncul begitu saja.
Kini pertarungan berlangsung sengit. Kali ini
Hantu Jantan pun menggerakkan anggota tubuhnya
dengan tetap memegang bungkusan yang sangat di ka-
sihinya di tangan kiri. Tanah gunung yang dipijak sea-
kan bergetar hebat. Pepohonan beberapa kali tercabut dari akarnya membentuk
lubang besar. Serangan-serangan Dewi Sungai Bangkai dan
Gempo Sinting benar-benar luar biasa. Si kakek kali ini sampai mendengus
berkali-kali, karena tak diberi kesempatan untuk membela diri. Namun berkat
kelincahannya, serangan-serangan maut yang dilancarkan
Dewi Sungai Bangkai dan Gempo Sinting tak mengha-
silkan apa-apa. Justru keduanya semakin penasaran
dan membabi buta.
"Ini tidak boleh dibiarkan!" teriak Hantu Jantan tiba-tiba. "Sayangku, maafkan
bila aku menurunkan tangan pada manusia-manusia keparat ini. Sejak tadi, sudah kuminta baik-baik agar
mereka meninggalkan
kediaman kita ini. Tetapi, mereka keras kepala. Tidak!
Aku tidak akan membunuh mereka. Karena, aku tetap
memegang teguh janjiku kepadamu, Sayang."
Setelah berkata begitu, si kakek membuat ge-
rakan sangat mengejutkan. Tangan dan kakinya berge-
rak secara bersamaan. Selintas, sepertinya dia hanya terbang belaka. Lalu ketika
tangannya mengibas, api bergulung-gulung menderu ke arah keduanya dengan
dahsyat. Tersentak Dewi Sungai Bangkai dan Gempo
Sinting. Mereka segera mundur ke belakang dengan
satu lentingan sambil mengeluarkan bentakan keras
secara bersamaan.
Melihat kedua lawan menjaga jarak, si Hantu
Jantan mengibaskan kembali bola-bola api raksasanya yang membakar pepohonan.
"Ayo, tinggalkan tempat ini! Hhh! Kalau saja
aku belum berjanji pada istriku, kalian sudah kupanggang hidup-hidup!" teriak si
kakek keras. Namun keanehan pun terjadi, ketika Dewi Sun-
gai Bangkai menjentikkan tangannya. Lima larik sinar
hitam meluncur deras, menghantam bola-bola api rak-
sasa yang dilepaskan si Hantu Jantan.
Blar! Blarrr...!
Terdengar ledakan-ledakan dahsyat.
"Sayangku.... Rupanya si peot jelek itu hebat
juga. Apakah aku terpaksa membatalkan janjiku kepa-
damu?" Si kakek cepat bergulingan menghindar ketika tiga larik sinar hitam
kembali menderu ke arahnya.
Angin bergulung-gulung meluruk deras dengan sinar
menggidikkan. Namun si Hantu Jantan bukannya
menghindar dalam arti menjauh, justru bergulingan
semakin dekat ke arah Dewi Sungai Bangkai. Dan....
Duk! "Aaakh...!"
Kaki si Hantu Jantan menghantam dada Dewi
Sungai Bangkai sampai terpekik kaget. Seluruh tu-
langnya terasakan bagai patah. Dan tubuhnya lang-
sung bergulingan, ketika si kakek berkelebat ke arahnya. Blarrr!
Tanah tempat perempuan itu berpijak tadi bo-
long seketika, saat tangan kanan si kakek menghan-
tamnya. Sementara itu, Gempo Sinting mencoba men-
gambil kesempatan selagi si Hantu Jantan dalam kea-
daan membungkuk karena menghantam tanah tadi
Namun itu adalah kesalahan buat Gempo Sint-
ing. Karena di saat tubuhnya berada dalam keadaan
tak menguntungkan, si Hantu Jantan justru melenting untuk melepas serangan
balik. Des! Des! Tubuh Gempo Sinting terpental hebat ke bela-
kang. Ketika mencoba bangkit, darah kental mengalir dari hidung dan mulutnya.
Dewi Sungai Bangkai menggereng hebat seting-
gi langit melihat kawannya terjungkal. Kembali diserbunya si Hantu Jantan.
"Minggir kau, Gempo! Manusia ini bukan tan-
dinganmu!" teriak si perempuan jelek ini sambil mengibaskan tangannya.
Lima larik sinar hitam langsung melesat cepat.
Namun dengan gerakan mengagumkan, si Hantu Jan-
tan segera bergulingan.
"Kau dengar, Sayang" Kata-katanya membua-
tku muak. Aku ingin sekali membunuhnya!" kata si kakek sambil bergulingan.
Si Hantu Jantan melakukan gerakan cepat. Tu-
buhnya yang berguling ke belakang tadi, tiba-tiba
menderu ke depan. Bergulung, menimbulkan gemuruh
hebat dan hawa panas menyengat.
Melihat hal itu, Dewi Sungai Bangkai bukannya
ngeri. Justru kekuatan tenaga dalamnya ditambah.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Keparat!"
Bentrokan yang akan terjadi sudah bisa dipas-
tikan akan merenggut nyawa satu sama lain secara
bersamaan. Karena tenaga dahsyat siap bertemu, ma-
ka tak ubahnya dua buah gunung yang memuntahkan
laharnya secara bersamaan.
Blarrr! Ledakan dahsyat terdengar, mengguncangkan
Gunung Kabut dan menggugurkan bebatuan. Dewi
Sungai Bangkai terpental deras ke belakang. Sementa-ra si Hantu Jantan hanya
terhuyung tiga langkah.
Namun, bungkusan yang ada di tangannya terlepas.
"Sayangku!" teriak si Hantu Jantan, langsung melenting.
*** 7 Andika yang masih terjebak jerat jala yang san-
gat kuat, perlahan-lahan tidak berontak lagi. Dia merasa sia-sia saja


Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerahkan segenap tenaga dalam-
nya. "Benar-benar edan!" makinya mangkel. "Apakah aku harus mempergunakan ajian
'Guntur Selaksa'"
Hhh! Bisa mampus aku terkubur di sini! Tetapi, ba-
gaimana caranya keluar dari sini" Padahal aku harus memburu waktu untuk
mendapatkan Tasbih Emas Bidadari" Lagi pula, apakah aku sudah salah jalan ma-
suk ke sini" Tak kulihat Nisan Tak Bertuan di sini?"
Dan tiba-tiba saja Andika menepuk kepalanya.
"Goblok! Goblok! Dungu! Mengapa aku tidak
ingat pada ilmu yang diajarkan Eyang Sasongko Murti"
Baiknya ku coba saja dengan ajian bangsa siluman itu.
Hmm, ajian 'Tapa Geni'."
Dengan bersusah-payah, Andika berusaha ber-
diri dengan bantuan ilmu meringankan tubuhnya. Se-
telah beberapa saat, tangan kirinya mencekal ujung ja-la yang menjerat tubuhnya.
Sedangkan tangan kanan
perlahan-lahan bergerak bagaikan mengibas, namun
lembut. Tras! Seketika bola api kecil yang panas keluar dari
tangan Andika, menempel di bawah jala dan mulai
membakar. Sesaat si pemuda merasa cemas juga keti-
ka melihat jala itu seakan tak mampu terbakar ajian
'Tapa Geni'. Tetapi kemudian hatinya bersorak ketika melihat salah satu bagian
jala putus terbakar.
"Ya, ya! Terus, terus! Bakar sampai habis!" desis Pendekar Slebor, kembali
menggerakkan tangan-
nya. Api yang panas itu terus membakar untaian je-
rat jala. Lama kelamaan pun terbentuk sebuah lubang dari jala yang besar.
Andika melepaskan pegangannya. Dan....
Wusss! Tubuh si anak muda urakan ini melorot turun,
hinggap dengan ringan. Kemudian tangannya mengi-
bas lagi. Kali ini serangkum angin dingin menghem-
bus. Api yang sedang membakar untaian jerat itu pun perlahan-lahan padam.
"Nah.... Kalau begini, kan aman" Tetapi, jeba-
kan apa lagi yang akan kuhadapi sekarang?" tanya Pendekar Slebor dalam hati.
Andika mulai melangkah kembali. Suasana di
sana semakin terang saja. Lalu dilihatnya sebuah tempat seperti lubang yang
mengeluarkan api. Diam-diam Andika berdecak.
"Siapa yang membuat tabunan, tapi lupa me-
matikan apinya" Benar-benar hebat! Entah sudah be-
rapa lama api itu tak pernah padam" Atau memang
ada yang sesekali datang untuk menambah kayu ba-
kar?" Tetapi alangkah terkejutnya Andika ketika tidak melihat kayu bakar, atau
sejenis bahan bakar lain
yang mampu mempertahankan nyala api.
"Gila! Bagaimana api itu bisa terus menyala?"
tanyanya, mendesis. Segera diambilnya kembali potongan peta di balik bajunya.
Keningnya berkerut. "Di sini ada gambar kobaran api, sebelum mengarah pada Nisan
Tak Bertuan. Bila melihat urutan jalur peta ini, Nisan Tak Bertuan terdapat di
dalam lubang api ini. Keparat! Benar-benar bisa mampus aku sekarang! Masa'
iya sih, aku harus masuk ke lubang api ini" Apakah
tidak ada jalan lain untuk menemukan Nisan Tak Ber-
tuan?" Tiba-tiba Andika mengibaskan tangan kanan-
nya. Maka serangkum angin dingin meluruk ke dalam
lubang. Namun jangankan padam api itu. Bergoyang
saja tidak, karena hembusan angin keras itu. Penasaran, Andika melakukannya
berkali-kali. Dan hasilnya tetap sama.
"Apakah aku harus benar-benar masuk ke da-
lam api itu" Benar-benar cari mampus!" rutuk si pemuda sambil menepuk kepalanya
sendiri. Kepalanya
lantas melongok lagi ke dalam. Dan rasa panas yang
menyengat semakin dirasakan. "Hm.... Apakah bentrokan panas dengan panas akan
mampu menciptakan
rasa dingin" Biar tidak penasaran, aku akan menco-
banya saja."
Kini Pendekar Slebor merangkum tenaga 'inti
petir' tingkat ke sepuluh. Dan kedua tangannya dihentakkan ke dalam lubang api
itu. Wusss! Brrr! Andika terpelanting ke belakang. ketika tiba-
tiba saja lubang api yang berjilat-jilat itu justru menyambar ke arahnya.
"Brengsek! Api itu justru semakin membesar
dan mengerikan!" dengus si pemuda.
Dan Andika bangkit kembali tanpa dihiraukan
tubuhnya yang sudah kotor penuh debu.
"Aku jadi teringat ketika terdampar di Alam
Gerbang Neraka. Seluruh tempat itu pun dipenuhi api yang menjilat-jilat. Apakah
aku harus memanggil Ra-wangi, Ratu Penguasa Gerbang Neraka?"
(Untuk mengetahui tentang Alam Gerbang Ne-
raka dan Ratu Penguasa Gerbang Neraka, silakan ba-
ca: "Bunga Neraka").
Andika berusaha memeras otaknya memikirkan
semua itu. Tetapi tiba-tiba...
"Masa bodoh, aku harus mencobanya! Ya..., ya
aku harus mencobanya!" tegasnya.
Tiba-tiba saja bagaikan seorang penerjun, An-
dika langsung meluruk masuk ke dalam kobaran api.
Wusss! *** Tak ada rasa panas yang menyengat! Tak ada
rasa terbakar di tubuhnya. Bahkan tubuhnya terasa
begitu dingin ketika masuk ke lubang api. Rupanya,
Andika sudah melindungi dirinya dengan ajian 'Tapa
Geni' yang diajarkan Eyang Sasongko Murti. Sehingga, tubuhnya pun terbungkus
rasa panas yang lebih dahsyat, sekaligus melindungi dan mengalahkan api tanpa
bara itu. "Aaa...!"
Andika menjerit keras ketika tubuhnya melun-
cur turun, membuatnya bagaikan melayang-layang di
sebuah alam aneh. Bau wangi menguap dari bawah,
membuatnya terasa nyaman sekali.
Akan tetapi, tiba-tiba tubuh si pemuda urakan
ini bagaikan disedot oleh gaya tarik yang kuat sekali.
Tubuhnya meluncur laksana bintang jatuh. Sebisanya
Andika berusaha mengandalkan ilmu meringankan tu-
buhnya. Tetapi, gaya tarik itu telah membelenggunya dengan hebat.
Dan tubuh Pendekar Slebor langsung terpelant-
ing di dasar lubang api itu. Cukup keras. Untungnya bukan kepalanya lebih dulu.
Dan pinggulnya yang jatuh lebih dulu terasa bagaikan mau patah.
Sejenak Andika mengusap-usap pinggulnya
yang terasa nyeri.
"Gila! Di manakah aku sekarang ini?" dengus Pendekar Slebor.
Andika bangkit sambil menahan nyeri di ping-
gulnya. Seluas mata memandang, yang terlihat benar-
benar aneh. Penuh perbukitan dan pepohonan tinggi
"Benar-benar edan! Apakah aku sedang ber-
mimpi" Mula-mula masuk ke dalam gua. Lalu ke satu
tempat di dalam dinding gua. Kemudian masuk ke lu-
bang api. Dan sekarang, berada di tempat yang sangat luas ini. Apakah ini tanda-
tanda aku mau mampus?"
Udara di tempat ini begitu sejuk. Meskipun tak
terlihat ada matahari, namun cuaca sangat terang.
Bahkan yang mengejutkan di sana ada sebuah sungai
berair sangat jernih. Namun herannya, air itu berwar-na kuning!
Andika yang sudah berada di tepi sungai lagi-
lagi mengerutkan keningnya. Tangannya meraba air
yang sejuk itu.
"Ih! Badanku sudah lengket semua! Mau mandi
rasanya. Tetapi melihat air yang kuning ini, aku jadi jijik!" celoteh Andika.
Namun karena badannya sudah sangat lengket,
Andika pun perlahan-lahan membuka pakaiannya. Se-
jenak kepalanya celingukan memperhatikan sekelilingnya. Tetapi kemudian nyengir
sendiri. "Kalau ada gadis di sini lumayan."
Lalu... Byuurrr! Tubuh si anak muda ini pun masuk ke sungai
berair kuning. Sambil bernyanyi-nyanyi tak karuan,
dia berenang ke sana kemari dengan riang. Setelah
puas, dia pun bermaksud untuk mentas ke atas. Na-
mun tiba-tiba saja, tubuhnya masuk kembali ke dalam air kuning itu.
Sejenak Andika terperanjat. Dia merasakan ta-
rikan yang lebih kuat lagi yang berusaha menengge-
lamkannya. Wajahnya kali ini pias seketika, setelah
menyadari tak kuasa untuk menahan tenaga tarikan
yang keras itu.
Andika menjadi gelagapan. Dia berusaha untuk
mengerahkan tenaga dalamnya, namun tarikan itu
semakin kuat. "Keparat! Apa lagi ini"!" maki Pendekar Slebor sambil mencoba mengerahkan tenaga
'inti petir'. Tetapi! sebelum berhasil melakukannya, tubuh
Andika sudah tenggelam ke sungai kuning itu. Sesaat, dia masih berusaha
menyelamatkan diri. Tetapi di kejap lain, mulutnya telah menelan air sungai
kuning itu. *** 8 Begitu bungkusan di tangan si Hantu Jantan
terlepas, Gempo Sinting langsung bergulingan untuk menangkapnya. Sementara, Dewi
Sungai Bangkai meluruk dengan satu sentakan ke arah Hantu Jantan
yang sedang berteriak keras sambil memburu bungku-
san itu. Tiba-tiba tangan kanan si Hantu Jantan mengibas ke arah Dewi Sungai
Bangkai. Des! Tubuh nenek peot itu terlempar ke belakang,
namun masih mampu mempertahankan keseimban-
gannya. Begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya su-
dah meluruk lagi dengan teriakan mengguntur. Namun
si Hantu Jantan tak mempedulikan dalam upaya me-
rebut kembali bungkusan yang lebih penting daripada serangan Dewi Sungai
Bangkai. Si Hantu Jantan memang berhasil menepiskan
tangan Gempo Sinting yang siap menyambar bungku-
san miliknya. Dan akibatnya tubuh manusia buntal itu terjajar ke belakang. Namun
begitu tangan si Hantu
Jantan menangkap kembali bungkusan itu, satu gedo-
ran keras menerpa dadanya.
Desss...! "Aaakh...!"
Si kakek terlempar ke belakang disertai munta-
han darah. Nafasnya terasa sesak bukan main. Pada
saat yang sama, Dewi Sungai Bangkai sudah mener-
jang kembali dengan hantaman dahsyat.
Des! Des! Tubuh si Hantu Jantan bukan hanya terlempar
ke belakang tapi juga bergulingan keras. Kesempatan itu dipergunakan Gempo
Sinting untuk membalas serangan si kakek padanya tadi. Ketika tangannya telah
terangkum pukulan kebanggaannya yang bernama
pukulan 'Hawa Kematian', tubuhnya langsung melu-
ruk deras. "Sayangku, aku memang telah berjanji padamu
untuk tidak membunuh. Tetapi kedua manusia ini ke-
ras kepala. Ah! Apakah aku harus mengingkari janji"
Tidak, Sayangku! Janjiku begitu agung," kata si Hantu Jantan, seolah tak
menyadari bahaya maut yang men-gancamnya.
Pukulan yang dilancarkan oleh Gempo Sinting
sudah tinggal beberapa jengkal lagi. Namun, si Hantu Jantan masih tetap tak
bergerak dari tempatnya. Kalaupun bergerak sekarang, mustahil bisa meloloskan
diri. Namun pada saat yang gawat
Zing! Mendadak saja tiga buah desingan keras men-
deru ke arah Gempo Sinting.
"Bangsat! Tunjukkan wajah bila ingin mam-
pus!" teriak lelaki bulat itu seraya membuang tubuh-
nya. Dewi Sungai Bangkai yang sejak tadi sudah tak sabar ingin melihat kematian
si Hantu Jantan pun ter-perangah. Sekilas tadi dia melihat satu sosok bayangan
melesat, menyambar si Hantu Jantan.
Dan begitu keduanya tersadar, tubuh lelaki tua
itu telah lenyap dari pandangan.
*** "Manusia hina! Siapa yang telah menolong Han-
tu Jantan"!" geram Gempo Sinting. Dan pukulan
'Hawa Kematian' yang seharusnya menghujam di tu-
buh si Hantu Jantan dilepaskan dengan kemarahan
luar biasa ke bawah gunung.
Sinar hitam menggidikkan menderu kencang.
Tak lama, di bawah terdengar ledakan sangat dahsyat hingga gunung itu bergoyang
bagai gempa. Dewi Sungai Bangkai tak kalah geramnya. Dia
memaki-maki panjang pendek dengan mata melotot.
"Gempo! Kita tinggalkan manusia keparat itu!
Sudah bisa dipastikan dia tak akan mengganggu kita
lagi," ajak perempuan itu, akhirnya. "Selain penasaran ingin membunuhnya, aku
juga ingin tahu apa isi
bungkusannya itu. Sepertinya, dia sangat khawatir sekali bila bungkusan itu
jatuh ke tangan kita. Hhh! Pe-nolong sialan! Bila bertemu, akan kukorek
jantungnya dan ku telan mentah-mentah!"
Sementara itu Gempo Sinting yang berteriak
marah. Suara teriakannya seperti lolong anjing, menggema sampai ke lereng Gunung
Kabut. Lalu seperti ke-setanan tubuhnya berkelebat ke sana ke mari. Kakinya
menghantam apa saja yang ada di hadapannya.
*** Siapakah yang telah menolong si Hantu Jantan.
dari serangan maut yang dilancarkan Gempo Sinting"
Padahal sudah bisa dipastikan dia tak akan mampu
menghindari serangan, selain kelihatan juga memang
sengaja tak menghindar.
"Gadis keparat sok tahu! Apa urusanmu den-
gan membawaku ke sini, hah"!" bentak si Hantu Jantan ketika telah diturunkan
dari pondongan sosok
ramping di tempat yang aman.
Dengan penuh kasih sayang si kakek meme-
gang erat bungkusan yang ada di tangannya. Tatapan
tajamnya menghujam pada gadis berbaju putih dengan
ikat kepala berwarna putih. Di pakaian gadis itu terdapat untaian benang emas
bergambar bunga mawar.


Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajahnya begitu cantik dengan hidung bangir. Bibir
mungil memerah. Sebilah pedang berukiran kepala na-
ga tersampir di punggung dengan warangka yang in-
dah. Begitu mendengar lelaki bertampang setan itu
membentaknya, si gadis mendengus sambil bertolak
pinggang. "Orang tua tak tahu diri! Apakah kau hendak
membiarkan tubuhmu dicacah habis oleh kedua ma-
nusia itu, hah"!" balas si gadis.
"Apa pedulimu"!" tukas si Hantu Jantan. "Aku ingin menyusul Sayangku yang telah
lama pergi! Kau
harus membayar perlakuan busukmu itu, Gadis!"
Wusss! Tangan si Hantu Jantan mengibas ke arah si
gadis dengan gerengan keras.
Si gadis terperanjat melihat serangan yang me-
matikan itu. Dengan cepat tubuhnya dibuang ke kiri.
"Orang tua keparat! Tak tahu membalas budi!" bentak si gadis.
"Tak ada budi yang pernah kutanggung. Tak
ada yang pernah kubalas! Kau telah lancang meng-
gangguku!" dengus si Hantu Jantan.
"Kalau kau tak suka, tak perlu menurunkan
tangan telengas!" bentak si gadis yang sudah berdiri tegak kembali. Wajahnya
memancarkan sinar jengkel
luar biasa. "Aku menyesal telah menolongmu!"
Tiba-tiba kening si gadis berkerut ketika meli-
hat si kakek yang tadi garang luar biasa kini tampak memelas.
"Sayangku, gadis sialan ini telah menggagalkan keinginanku untuk bersamamu.
Apakah aku harus
berterima kasih, atau memberi pelajaran padanya" Ah!
Aku memang telah berjanji untuk tidak membunuh.
Tetapi, kedua tangan gadis itu pantas sebagai pengobat rasa jengkelku ini," kata
si kakek pada bungkusan di tangannya. Suaranya terdengar lembut.
"Edan! Apakah aku berjumpa orang gila" Apa
isi bungkusan itu, sehingga si kakek galak ini berkata-kata padanya," pikir si
gadis. "Oh! Kau tak ingin aku menurunkan tangan te-
lengas kepadanya" Tetapi, aku tak ingin mengucapkan terima kasih kepadanya,"
desah si kakek, pada bungkusan di tangannya.
"Aku juga tidak perlu ucapan terima kasihmu!"
bentak si gadis sewot. Hatinya benar-benar menyesal menolong si kakek dari maut.
Kalau tahu begini, tak akan sudi dia menolong.
"Dia sendiri tak menginginkan ucapan terima
kasihku, Sayangku. Berarti, aku memang tak perlu
melakukannya. Oh! Apa, Sayangku" Kau mengatakan
kalau kedua manusia edan itu perlu dibunuh" Kena-
pa" Oh, siapakah yang kau maksudkan dengan orang
yang tengah tenggelam di Sungai Kuning saat ini"
Seingatku, selama kita mendiami Gunung Kabut ini,
tak pernah kudengar ada Sungai Kuning segala. Teta-
pi, aku tahu sekarang. Kau telah mampu menembus
ruang dan waktu. Mungkin kau telah melihatnya. Aku
harus menolongnya" Untuk apa, Sayangku" Aku ingin
berdua-dua denganmu," celoteh si Hantu Jantan, tak karuan. Si gadis benar-benar
tak mengerti dengan kata-kata si Kakek. Dan karena sudah jengkel diperlakukan
tidak enak tadi, tubuhnya pun memutar.
"Gadis keparat tak tahu sopan santun!" bentak si kakek menggelegar keras.
"Apakah kau tak merasa perlu berpamitan kepadaku bila hendak pergi, hah"!"
Si gadis menghentikan langkahnya. Kepalanya
menoleh dengan wajah sewot.
"Untuk apa kulakukan itu pada orang gila"!"
balas gadis ini.
"Kubunuh kau!"
"Melihat ilmu yang kau miliki, jelas aku tak
akan mampu untuk menghadapimu! Tetapi, mengha-
dapi orang yang tak tahu berterima kasih, aku rela
mengadu nyawa!"
"Nyalimu sungguh besar, Anak Manis! Siapa-
kah kau sebenarnya" Dan, mau apa berada di sini?"
"Untuk apa kau ingin tahu namaku"!"
"Barangkali aku memang harus mengenang-
mu!" Si gadis benar-benar tak mengerti dengan sikap lelaki yang memegang
bungkusan itu. Hah! Kalau tahu begini, lebih baik ditinggal saja tadi. Kok
urusannya jadi berkepanjangan" Padahal, dia harus menunaikan
tugas yang diberikan gurunya.
"Namaku Nilakanti! Aku berada di sini, karena
ingin melihat teka-teki apa yang ada di Gunung Kabut.
Guruku meminta aku untuk mendatangi tempat ini.
Nah! Kau sudah puas, Orang Tua?" papar si gadis sete-
lah menelan kejengkelannya.
"Siapa gurumu?"
"Malaikat Putih Bayangan Maut."
Si kakek tahu-tahu mendengus.
"Bagaimana kabar si orang tua jelek itu?" tanya si Hantu Jantan, dengan mulut
berbentuk kerucut.
"Kau sendiri jelek. Berani benar kau mengatai
guruku jelek, hah"!" bentak gadis yang ternyata bernama Nilakanti sewot.
Si gadis benar-benar tak mengerti melihat sikap
orang tua di hadapannya ini. Apa yang dikatakan gu-
runya sebelum turun gunung memang benar, kalau
dia nanti akan banyak menjumpai tokoh yang memiliki tabiat aneh dengan ilmu
sangat tinggi. Salah satunya, ya si orang tua ini!
Kali ini si kakek tertawa.
"Pantas kau tadi bisa menghindari seranganku.
Rupanya si jelek itu sudah mempunyai murid?" kata si Hantu Jantan dengan sikap
membuat Nilakanti sakit
perut. "Hmm.... Apakah gurumu tak memberi-tahukan kalau dia mempunyai sahabat
Sepasang Hantu Neraka?" "Untuk apa dia memberitahu kepadaku. Dan, apa gunanya
untukku" Sudah! Aku harus mencari
Tasbih Emas Bidadari!" sahut Nilakanti dengan suara bertambah jengkel. Kalau
bukan orang tua aneh ini,
sudah pasti tangannya akan melayang untuk menam-
par mulut kurang ajar itu.
"Tasbih Emas Bidadari" Ah! Benda apakah itu"
Dan berada di mana?" desah si kakek
Sebenarnya, Nilakanti jengkel ditekan terus-
terusan dengan pertanyaan bertubi-tubi. Kepalanya
jadi pusing tujuh keliling. Namun cepat rasa jengkel-nya ditekan dalam-dalam.
"Guruku hanya mengatakan benda itu berada
di Gunung Kabut. Dan pusaka darah milik Ki Bubu
Jagat itu akan mendatangkan petaka yang besar, bila didapatkan oleh manusia-
manusia sesat. Aku harus
menyelamatkannya," jelas Nilakanti.
Suara tawa si Hantu Jantan semakin keras,
membuat Nilakanti bertambah jengkel.
"Lama aku berada di Gunung Kabut, tetapi be-
lum pernah mendengar soal Tasbih Emas Bidadari.
Atau..., apakah aku terlalu tenggelam penuh kasih dan rindu pada istriku" Masa
bodoh dengan semua itu!
Hei, anak gadis! Meskipun kau murid Malaikat Putih
Bayangan Maut, apakah kau merasa ilmumu sudah
begitu tinggi untuk menaklukkan teka-teki Gunung
Kabut?" "Persetan dengan semua itu! Perintah Guru adalah suatu tugas agung. Mati
pun aku rela untuk-nya!" tandas Nilakanti.
"Bagus, bagus sekali! Bila saja aku mempunyai
murid sepertimu, sudah tentu hidupku akan selalu
aman. Karena, ada yang akan mengurusi hidupku ini"
Sudahlah..., semua itu toh aku tidak menginginkan-
nya. Kalau begitu..., aku akan membantumu untuk
mencari Tasbih Emas Bidadari," sahut si kakek.
"Aku masih mampu untuk berjalan sendiri!"
sahut si gadis, tandas.
"Hei" Apakah kau tak mendengar kata-kata
Sayangku tadi" Dia bilang, ada seorang pemuda berba-ju hijau pupus yang sedang
tenggelam di Sungai Kun-
ing. Sumpah mampus, aku belum tahu tentang sungai
itu. Aku memang tak pernah mencoba untuk menguak
tabir yang menyelimuti Gunung Kabut."
"Siapa pun pemuda itu, aku juga tidak peduli!
Mau mampus atau tidak, bukan urusanku!"
"Malaikat Putih Bayangan Maut adalah saha-
batku. Berarti, kau secara tidak langsung juga murid-
ku, karena kau muridnya. Berarti pula, aku harus
menjaga keselamatanmu," jelas si Hantu Jantan.
Nilakanti benar-benar merasa pusing sekarang.
Dia tidak mengerti sikap aneh dan plin-plan yang diperlihatkan si Hantu Jantan.
"Tak perlu menatapku curiga. Lagi pula, aku
masih punya perhitungan dengan si manusia bulat
dan si nenek peot bau busuk tadi!"
Lalu tanpa mempedulikan Nilakanti, si Hantu
Jantan sudah melangkah lagi untuk menaiki Gunung
Kabut. Kali ini langkahnya begitu ringan.
Tinggallah Nilakanti yang masih terdiam sambil
mengerutkan keningnya. Dia benar-benar heran meli-
hat sikap si kakek suka bicara pada bungkusan yang
dibawanya. Apa sih isi bungkusan itu" Sepertinya dia teramat menyayanginya"
Konyol! Nilakanti bertanya sendiri, mengapa gurunya
tak pernah menceritakan tentang Sepasang Hantu Ne-
raka yang mendiami Gunung Kabut" Kalau memang
ada sepasang, mengapa yang dilihatnya hanya seo-
rang" Ke mana yang seorang lagi" Ini benar-benar
memusingkan kepalanya.
Tiba-tiba si Hantu Jantan menoleh.
"Tak perlu heran, mengapa gurumu tak pernah
menceritakan tentangku dan istriku. Karena, aku dan istriku tak pernah
memberitahukannya telah mendiami Gunung Kabut. Soal di mana istriku, suatu saat
aku akan mengatakannya."
Nilakanti terkejut sampai kepalanya tertarik ke
belakang. Kakek ini bisa tahu apa yang dikatakannya dalam hati!
*** 9 Bagaimana keadaan Andika yang terus tengge-
lam di Sungai Kuning" Saat ini perut Pendekar Slebor sudah penuh terisi oleh
air. Kedua tangannya terang-kat ke atas dengan napas megap-megap. Tubuhnya te-
rus terbenam turun.
Mengapa Andika memiliki tenaga dalam tinggi
itu tak mampu keluar dengan sekali sentak" Memang
dia merasakan kedua kakinya bagai dipegang tangan
yang mencengkeram sangat kuat. Ketika Pendekar Sle-
bor hendak membebaskan diri, air sungai kuning itu
sudah tertelan. Dan ini mengganggu pernafasannya.
Rasa cemas mulai hinggap di hati Andika. Se-
kujur tubuhnya terasa sangat dingin. Dan hentakan
itu bertambah kuat menyeretnya lebih ke dalam.
"Sontoloyo! Apakah kali ini aku benar-benar
mampus!" desisnya.
Pendekar Slebor masih berusaha untuk mena-
han nafasnya. Namun tarikan yang keras itu semakin
kuat, dan terasa sangat menyiksa. Di kejap lain, Andika sudah tak dapat berpikir
apa-apa. Pandangannya
gelap. Pingsan!
*** "Oh, di manakah aku ini?" desis Andika setelah tersadar dari pingsannya.
Pendekar Slebor membuka matanya perlahan-
lahan. Dan matanya yang semula masih lemah itu kini terbelalak. Tahu-tahu dia
berada di sebuah tempat
yang sangat indah, menebarkan bau wangi yang san-
gat melenakan penciumannya.
"Hei" Apakah aku berada di surga?"
Perlahan-lahan Andika berdiri seraya meman-
dang ke sekeliling. Keningnya berkerut dengan tatapan agak menyipit. Tak
percaya. Dia terheran-heran melihat semua ini. Diingat-ingatnya apa yang telah
terjadi. "Hmm, ya, ya.... Aku tenggelam di Sungai Kun-
ing. Dan tahu-tahu sudah berada di sini" Di manakah ini?" Untuk mendapatkan
jawaban atas pertanyaan-nya, Andika melangkah keluar dari ruangan. Dan pan-
dangannya kembali terbelalak ketika melihat sebuah
padang rumput yang sangat indah. Tak ada pohon se-
lain rumput. Tak ada gunung dan bukit. Ketika berbalik, tempat tadi dia
berbaring juga laksana hamparan permadani hijau.
Samar-samar Andika mendengar suara air ber-
gemericik. "Busyet! Ini benar-benar memusingkan kepala-
ku" Di mana sih, aku berada?" desisnya. Tiba-tiba tangannya memegang
pinggangnya. "Ah! Peta ini masih ada. Coba kulihat lagi. Barangkali saja aku
bisa menguak tabir ini."
Andika membentangkan peta di udara yang
semilir. Saat ini dia tak tahu, apakah siang atau malam. Yang diyakini, dia kini
berada dalam perut Gu-
nung Kabut yang benar-benar membuatnya tak habis
mengerti. Perlahan-lahan kening Andika berkerut.
"Hmm, benar dugaanku. Ini memang jalan me-
nuju Nisan Tak Bertuan. Dan lagi-lagi, secara tak sengaja aku memasukinya
melalui Sungai Kuning itu. Di
potongan peta ini, aku harus melangkah ke timur. Be-rapakah jauhnya, sulit
direka-reka. Di sanalah Nisan Tak Bertuan berada. Kalau begitu, aku akan
melakukannya sekarang juga."
Andika memasukkan kembali potongan peta itu
ke balik bajunya, lalu perlahan-lahan membedah tingginya rumput yang bergoyang
ditiup angin. Cukup la-
ma juga kakinya melangkah hingga akhirnya melihat
sebuah makam yang sangat banyak.
"Busyet! Yang mana Nisan Tak Bertuan itu?"
desisnya sambil menggaruk-garuk kepala. "Hmm, terpaksa aku harus melihatnya satu
persatu." Lama sekali Andika meneliti setiap nisan. Dan
nisan-nisan itu selalu ada tulisan yang tak dimengerti.
Sampai satu ketika, dia bersorak ketika melihat se-
buah nisan yang tak ada tulisan atau goresan apa-apa.
"Apakah ini Nisan Tak Bertuan?" desisnya kemudian. "Peduli setan! Bila aku ingin
mengetahuinya, aku harus mencobanya."
Cepat Pendekar Slebor menyingsingkan kedua
lengannya. Lalu kedua tangannya disiapkan untuk
menggali tanah makam. Namun belum juga kedua
tangannya sampai di tanah makam....
"Grrr! Manusia yang hendak mendapatkan Ni-
san Tak Bertuan dan Tasbih Emas Bidadari, harus
mampus terlebih dahulu."


Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andika berbalik ketika mendengar suara yang
amat keras menggetarkan. Kedua matanya terbelalak
besar. *** Satu sosok tubuh mengerikan berada di depan
Pendekar Slebor. Tingginya dua kali dari tubuhnya.
Wajahnya sangat menyeramkan dengan kedua telinga
mirip babi. Hidungnya panjang, mirip belalai gajah.
Mulutnya tertutup hidungnya yang panjang. Kedua
matanya celong ke dalam. Tak ada sehelai rambut pun di kepalanya. Tangan dan
kakinya begitu kurus, penuh sisik mengerikan berwarna perak. Sosok mengerikan
itu mengenakan cawat yang kusam sekali.
"Nah, kalau ini aku yakin, kalau sedang ber-
mimpi!" kata Andika mencoba menepis kenyataan yang ada. Tapi ketika Andika
mencubit lengannya sendiri.
"Aduh! Aku tidak bermimpi!"
"Anak muda dari negeri luar! Tak akan kubiar-
kan kau menjamah Tasbih Emas Bidadari!" dengus sosok itu dengan suara berdebam-
debam, bagai dihimpit gunung.
Bukan Andika kalau akhirnya semakin ngeri.
"Kau siapa, Orang tua" Kau laki atau perem-
puan" Namamu siapa" Orang tua siapa" Dimana kau
tinggal" Tanggal berapa kau lahir" Dan, kapan kau
akan kawin?" cerocos Andika, bagai nenek-nenek kehi-langan sirih.
Mendadak, tangan sosok aneh itu bergerak.
Andika terkejut ketika tangan itu mendadak seperti
mulur dan berusaha menangkapnya.
"Kutu kupret! Ini benar-benar setan!" maki Andika langsung bergulingan dengan
kaki menendang.
Duk! Andika merasa nyeri tulang keringnya, ketika
melepas tendangan.
"Grrrhh! Kelancangan tak akan membawa arti
banyak. Kesombongan akan menjadi neraka pribadi!
Kematian telah menanti!"
"Jangan-jangan kau ini penyair dari India, ya?"
oceh Andika sambil berdiri tegak dengan waspada. Di tangannya telah terangkum
ajian 'Guntur Selaksa'
yang siap digunakan bila bahaya semakin mengancam.
"Tasbih Emas Bidadari telah bertahun-tahun
ku jaga. Bila bukan Ki Bubu Jagat yang menyerahkan
amanat itu kepadaku, tak akan pernah kuberikan pa-
da siapa pun yang mengambilnya."
"Dia mengenal Ki Bubu Jagat" Setan dari liang
lahat mana yang bisa berteman Ki Bubu Jagat?" desis Andika dalam hati. Andika
lantas memasang senyum.
"Kalau begitu, aku adalah utusan dari Ki Bubu
Jagat!" "Tak pernah dia mengabarkan soal ini kepadaku!" Andika merasa harus
menceritakan apa yang terjadi selama ini. Dan setelah diceritakannya....
"Akan kubunuh manusia yang telah membu-
nuh junjunganku! Kaulah yang pertama kali harus
mampus!" Sosok mengerikan itu mendadak berteriak san-
gat keras, bagai ledakan guntur yang sambar me-
nyambar. Andika sendiri sampai menekap kedua telin-
ganya. "Tahan! Aku hanya mengemban amanat dari Sapta Jingga. Tasbih Emas
Bidadari tak boleh sampai jatuh ke tangan Gempo Sinting dan kawan-kawannya."
"Hhh! Kalau kau memang orang yang diembani
tugas. Perlihatkan potongan peta itu kepadaku!"
Andika mengambil potongan peta dari balik ba-
junya. "Kau lihat sendiri, bukan?" tukas Andika.
"Kau mencurinya dari Sapta Jingga!" tuding makhluk ini.
"Busyet! Kok bodoh sekali aku ini, ya" Dengar!
Aku memang tak sengaja bertemu dengannya yang su-
dah sekarat hendak mampus dibunuh Gempo Sinting
dan kawannya. Sebelum ajalnya, Sapta Jingga membe-
rikan semua ini kepadaku!" sergah Pendekar Slebor.
Sosok mengerikan itu terdiam. Meskipun ter-
diam, namun kegarangannya tak berkurang sedikit
pun. "Ki Bubu Jagat memang mengabarkan soal itu
kepadaku. Ah! Aku menyesal karena tak memantau
keadaannya. Tetapi, ini permintaan dari Ki Bubu Jagat sendiri. Dia sendiri yang
mengirimkan berita melalui tenaga batinnya. Dan aku hanya diperkenankan mene-
rimanya tanpa boleh bertanya ataupun ingin tahu, apa yang telah terjadi
dengannya. Bila saja aku melakukan hal itu, mungkin dapat ku cegah kematian Ki
Bubu Jagat." "Apakah kau yang menarik kedua kakiku di Sungai Kuning?" tanya Andika
tiba-tiba ketika teringat kejadian di Sungai Kuning.
"Ya," sahut makhluk itu, singkat.
"Mengapa kau lakukan itu?"
"Aku tak ingin kau mendapatkan Tasbih Emas
Bidadari. Bila kau sudah berada di sini, maka kau
akan sulit untuk menemukan Nisan Tak Bertuan."
"Tetapi nyatanya, aku menemukannya."
"Karena kesabaranmulah yang membuatmu
menemukannya, Anak Muda! Siapa namamu?"
Tamu Dari Gurun Pasir 5 Rajawali Sakti Dari Langit Selatan Lanjutan Sin Tiauw Hiap Lu Karya Sin Long Pangeran Perkasa 16
^