Pencarian

Pengkhianatan Dewa Maut 3

Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut Bagian 3


Mendadak si Periang Bertangan
Lembut mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Langsung diserahkannya kepada
Suropati. Remaja konyol yang sudah pandai
membaca karena diajari gurunya itu menjadi sangat gembira. Matanya berbinar-
binar memandang benda di tangannya yang tak lain adalah sebuah kitab ilmu olah
kanuragan yang berjudul Delapan Belas Tapak Dewa.
"Kalau terjadi apa-apa pada diriku, kau pelajari sendiri ilmu totokan itu,
Suro...," ujar si Periang Bertangan Lembut.
Setelah mengatakan itu, si Periang Bertangan Lembut berkelebat cepat langsung
menghilang dari tempat ini.
Suropati tak sempat berkata-kata lagi. Dia hanya diam terlongong-longong
memandangi kitab yang berada di
tangannya. 9 Berhari-hari Suropati tak bosan-
bosannya membuka lembar demi lembar halaman Kitab Delapan Belas Tapak Dewa.
Halaman pertama dari kitab itu bergambar delapan belas pusat aliran darah di
tubuh manusia. Halaman selanjutnya, merupakan petunjuk untuk menguasai ilmu
totokan yang terkandung di dalamnya.
Suropati mempelajarinya secara
berurutan. Karena kecerdasan dan kemampuannya menafsir, maka waktu yang
diperlukannya hanya sepekan untuk menghafal semua inti sari dari ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa'.
Ketika remaja konyol ini menutup kitab pemberian gurunya, matanya memancarkan
sinar aneh. Pada kulit belakang kitab terpampang huruf besar-besar yang
bertuliskan: Kekuatan sakti yang maha sakti hanya sanggup menguasai ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa' sampai tingkat tujuh belas. Satu tingkat lagi,
kesempurnaan akan didapat. Tapi bila kekuatan yang maha sakti hanya berasal dari
diri sendiri, jangan coba-coba melangkah ke tingkat delapan belas.
Karena, nyawa taruhannya.
Kening Suropati berkerut ketika
membaca tulisan itu. Tapi, dia tak mau membuang-buang waktu untuk berpikir.
Segera kakinya melangkah menuju halaman belakang kuil bobrok bernama Saloka yang
menjadi tempat tinggalnya.
*** Di pagi yang cerah ini, Suropati berlatih ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa' yang maha sakti itu. Setelah memusatkan seluruh pikirannya, tubuh Suropati
berkelebat mengitari sebuah pohon sebesar tubuh manusia. Gerakannya sangat
cepat. Tambahan lagi, ilmu totokan itu didasari kekuatan sihir. Maka, tubuh
Suropati seakan-akan hilang tak berbekas!
Teppp....! Suropati mendaratkan kakinya ke
tanah. Pandangan matanya tertuju pada pohon yang tadi menjadi sasaran dari ilmu
totokannya. Ternyata, batang pohon itu telah berlubang-lubang tertusuk ujung
jarinya yang dilambari tenaga dalam.
Sekejap kemudian, dari lubang-lubang itu menyembur getah berwarna putih.
Suropati tersenyum puas menyaksikan hasil yang telah didapatkan.
Segera didekatinya pohon yang telah menjadi
sasaran dari ilmu totokannya. Tapi, dia menjadi terkejut. Ternyata, lubang yang
terdapat di pohon itu hanya berjumlah tujuh belas!
Remaja yang oleh kawan-kawannya
dijuluki Pengemis Binal ini diam untuk beberapa lama. Menurut perasaannya, dia
telah melakukan gerakan 'Delapan Belas Tapak Dewa'. Tapi, kenapa lubang di pohon
itu hanya berjumlah tujuh belas"
Hingga beberapa saat si Pengemis Binal berpikir keras. Karena belum menemukan
jawaban atas keanehan itu, segera
latihannya diulangi. Tubuhnya
kembali berkelebat cepat, mengitari pohon lain yang jadi sasarannya.
Teppp...! Kembali kaki Suropati mendarat di tanah. Seperti yang pertama, pohon kedua yang
menjadi sasaran dari ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa' juga
berlubang-lubang, menyemburkan getah berwarna putih.
Tapi untuk kedua kalinya, Suropati menjadi terkejut. Ternyata lubang di pohon
itu tetap berjumlah tujuh belas!
Suropati segera menyadari keanehan ini. Dia pun tahu, kenapa gurunya juga hanya
menguasai ilmu totokan itu pada tingkat tujuh belas.
Namun, Suropati tidak mau putus
asa. Dia beranggapan, dalam dirinya tentu
ada sesuatu yang kurang. Sehingga, menjadikan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa' tidak sempurna dikuasainya.
Segera Suropati memusatkan
pikirannya lebih tinggi lagi. Seluruh hawa murninya dikumpulkan. Dan segenap
kekuatannya disatukan untuk mengawali latihannya kembali. Perlahan-lahan dari
kepalanya menyembul asap tipis. Tubuhnya bergetar, semakin lama semakin keras.
Dan.... Kini tubuh Suropati melayang menuju ke sebuah pohon. Dengan kecepatan melebihi
suara, dua ujung jari
telunjuknya bergerak....
Ketika mencapai totokan ketujuh
belas, tiba-tiba tubuh Suropati terpental tinggi!
Buuummm...! Suropati jatuh telentang. Untuk
sesaat tubuhnya tak mampu digerakkan.
Tulang-tulangnya terasa remuk. Kepalanya pusing, membuat pandangannya mengabur.
Perlahan-lahan dari hidung dan mulutnya meleleh darah segar....
Suropati mencoba bangkit, tapi
segera jatuh lagi. Dadanya sesak bagai dipukul selaksa palu godam!
*** Pagi itu juga, Suropati bertekad
menyusul gurunya yang tengah mencari Brajadenta alias si Dewa Maut
Setelah menunjuk Wirogundi sebagai pemimpin sementara bagi para pengemis,
Suropati segera melangkah meninggalkan Kota Kadipaten Bumiraksa. Sama sekali tak
dipedulikannya luka dalam yang sedang dideritanya.
Matahari sudah tepat di atas
kepala, ketika Suropati sampai di pinggir lembah kecil yang masih termasuk
wilayah Kadipaten Bumiraksa.
Baru saja Suropati mengedarkan
pandangan ke sekeliling, tiba-tiba keningnya berkerut. Telinganya yang tajam
mendengar suara-suara pertarungan. Saat itu juga, dia kembali berkelebat cepat
ke arah sumber suara pertarungan.
Tepat di tengah lembah, Suropati melihat dua orang tengah bertarung. Cepat dia
menyelinap, bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengamati jalannya
pertarungan. Buuummm...! Sebuah pohon sebesar tubuh manusia tumbang terkena sasaran pukulan jarak jauh.
"He, Banjaranpati. Masihkah kau tidak mau menyerah..."!" kata salah seorang
lantang kepada lawannya seorang kakek berpakaian serba putih.
"Aku tidak tahu siapa dirimu.
Kenapa aku mesti menyerah kepadamu..."!"
kata kakek berpakaian serba putih yang tak lain Banjaranpati alias Bayangan
Putih Dari Selatan.
"Sudah kukatakan, aku Pramubagas utusan kerajaan! Aku memegang kuasa Baginda
Prabu untuk menangkapmu!" tegas lelaki tua yang mengaku sebagai utusan kerajaan
dan bernama Pramubagas.
"Menangkapku" Apa salahku" Dan, kenapa aku harus ditangkap?" tukas Banjaranpati.
"Jangan berlagak bodoh,
Banjaranpati! Kau telah bersekongkol dengan Brajadenta untuk mencuri Kitab Batu
Kumala Hitam!" sentak utusan kerajaan itu.
Bayangan Putih Dari Selatan
mendengus. "Itu fitnah, Saudara! Walaupun Brajadenta adalah keponakan muridku, tapi aku
sama sekali tak tahu menahu atas perbuatannya yang telah berani mencuri Kitab
Batu Kumala Hitam."
Pramubagas menggelengkan kepala, tak mempercayai ucapan Bayangan Putih Dari
Selatan. "Kau jangan banyak bacot,
Banjaranpati! Aku sama sekali tak mempercayai ucapanmu!"
Usai mengucapkan kalimatnya, utusan kerajaan itu segera melancarkan serangan
kembali. "Kau termakan fitnah, Saudara!"
kata Bayangan Putih Dari Selatan sambil melompat ke kiri, mengelak dari pukulan
Pramubagas. Utusan kerajaan itu sama sekali tak mempedulikan ucapan Banjaranpati. Segera
serangannya disambung dengan tendangan berputar.
Wuuuttt...! Tendangan kaki Pramubagas tak
mengenai sasaran karena Banjaranpati sudah merundukkan tubuhnya. Namun, sebelum
kakinya mendarat di tanah, tangan kanannya telah terayun. Pada saat yang sama,
Banjaranpati sengaja menadahi pukulan Pramubagas.
Buuukkk...! Utusan kerajaan itu pun terkejut Tubuh Bayangan Putih Dari Selatan ternyata sama
sekali tak bergeming menerima pukulannya.
"Heaaah...!"
Dengan cepat, Pramubagas melenting ke belakang seraya menyalurkan seluruh tenaga
dalamnya ke kedua telapak tangan.
Begitu mendarat di tanah, dengan serta-merta kedua tangannya dihentakkan ke
depan! Breeesss...! Buuummm...! Pukulan jarak jauh itu tak mengenai
sasaran karena, Bayangan Putih Dari Selatan melenting ke atas. Namun, sebatang
pohon besar di belakang Bayangan Putih Dari Selatan kontan tumbang.
Tiba-tiba Bayangan Putih Dari
Selatan yang berada di atas, melepas jurus 'Udang Menghantam Batu'. Mendadak
tubuhnya meluruk dengan kecepatan tinggi dengan kaki terjulur ke depan.
Duuukkk...! "Ahhh...!"
Pramubagas melenguh tertahan ketika pundaknya terserempet ujung kaki
Banjaranpati. Utusan kerajaan itu mendengus penuh kemarahan dengan tubuh
terjajar beberapa langkah ke samping.
Setelah bisa menguasai keseimbangannya, dilepaskannya sebuah cemeti dari
pinggang. Sambil meluruk, Pramubagas melecutkan senjatanya ke arah Bayangan
Putih Dari Selatan.
Cletaaarrr...! Kakek berpakaian serba putih itu hanya tersenyum melihat serangan itu seraya
menjatuhkan diri ke tanah, sehingga sambaran cemeti luput.
Pertempuran itu berlangsung sangat seru. Dua pendekar golongan tua itu sama-sama
mengerahkan seluruh ilmu kepandaian.
Suropati yang menyaksikan dari
balik pohon besar berdaun rimbun bersorak seperti sedang menyaksikan
sebuah permainan menarik. Matanya enggan untuk berkedip. Dia yang sudah mengenal kakek
berpakaian serba putih itu menjadi sangat kagum. Gerakan ilmu silat Bayangan
Putih Dari Selatan memang tak mencerminkan keganasan. Hal itu sangat disukai
Suropati yang konyol, tapi berhati lembut.
Kini tampak tubuh Bayangan Putih Dari Selatan melenting, bangkit. Begitu
menjejak tanah, langsung dilancarkan ilmu
'Pukulan Tanpa Bayangan'. Seketika kedua tangannya dihentakkan.
Wuuusss...! Pramubagas terperangah merasakan sambaran angin pukulan Banjaranpati yang
berhawa dingin. Karena untuk mengelak sudah tak ada waktu, maka utusan kerajaan
itu cepat memapak dengan menyilangkan tangan.
Duuukkk...! "Aaakh...!"
Pramubagas mengerang kesakitan
ketika pukulan jarak jauh Banjaranpati menghantam tangannya. Tulang sikunya
kontan patah. Tubuhnya terpelanting sejauh beberapa tombak.
"Maafkan aku, Saudara...," ucap Bayangan Putih Dari Selatan, seperti menyimpan
penyesalan. "Bangsat kau, Banjaranpati! Tunggu pembalasanku...!" maki utusan kerajaan
itu, seraya bangkit
Pramubagas menyadari tak akan
mendapat kemenangan. Maka dia segera berbalik, dan berlalu dari tempat ini.
Sementara Bayangan Putih Dari
Selatan hanya memandang kepergian kakek utusan kerajaan itu dengan tatapan mata
penuh arti. Ketika Pramubagas tak
terlihat lagi, dia pun menghemposkan tubuhnya, meninggalkan tempat pertempuran.
Suropati yang merasa penasaran
segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar. Tapi, ternyata dia
sama sekali tak mampu menandingi kecepatan lari Banjaranpati.
Hingga sepeminum teh kemudian,
Suropati kehilangan jejak. Sambil menggerutu panjang-pendek, larinya segera
dihentikan. Kini remaja itu jalan santai.
Namun..... Seorang bocah berlari penasaran menendang kerikil
Kerikil melayang menghunjam pohon Pohon bergetar merontokkan daun Daun luruh di
samping kerikil Kerikil dan daun diam tenang berdampingan
Seorang kakek rindu kehadiran si bocah
Seperti mendapat durian runtuh
Tak dinyana si bocah datang
Dengan kesadarannya
Pucuk dicinta ulam tiba
Sebuah syair mengalun, membuat
Suropati mengerlingkan matanya. Dia berusaha mencari asal suara. Begitu
kepalanya mengarah ke kanan, tampak Bayangan Putih Dari Selatan tengah duduk
bersantai di atas sebongkah batu besar.
"Kenapa kau mengikutiku, Suropati?"
tanya Banjaranpati, langsung.
Suropati tak segera memberi
jawaban. Dipandangnya kakek berbaju putih itu tanpa berkedip.
"Kini, kau datang padaku, Bocah.
Kenapa dulu menolak menjadi muridku?"
tegur Banjaranpati.
"Aku tidak mau sembarangan memilih guru, Kek," tukas Suropati. "Guruku haruslah
orang yang pilih tanding...."
Bayangan Putih Dari Selatan
tersenyum. Wajahnya yang kemerahan menampakkan kelembutannya.
"Betul katamu, Bocah. Melihat bakatmu yang luar biasa, kau memang tak pantas
berguru pada pesilat penjual obat."
"Tapi jangan salah sangka, Kek. Aku bukan hendak berguru kepadamu."
Kening Banjaranpati berkerut.
"Lalu apa maksudmu dengan bersusah-
payah mengikutiku?" tanya Banjaranpati.
"Aku hendak mencari murid
keponakanmu yang bernama Brajadenta...,"
sahut Suropati.
Banjaranpati tertawa mendengar
ucapan Suropati.
"Ada urusan apa kau hendak
mencarinya, Bocah?" tanya Bayangan Putih Dari Selatan,
"Aku hendak menghukumnya!" sahut Suropati, mantap.
Kembali Banjaranpati tertawa,
mendengar ucapan Suropati yang polos.
"Ketahuilah, Bocah. Brajadenta sekarang telah menjadi seorang raja kecil yang


Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menguasai Wilayah Utara. Istananya berada di lereng Bukit Parahyangan.
Sebagian besar tokoh rimba persilatan yang beraliran hitam, telah bertekuk lutut
kepadanya. Mereka telah menjadi kaki-tangan si Dewa Maut itu. Oleh karenanya,
kau jangan coba-coba mencari perkara...!" jelas Bayangan Putih Dari Selatan.
Aku tidak takut!" kata Suropati tegas.
Tiba-tiba bayangan putih dari
selatan menatap tajam kepada Suropati.
"Rupanya kau sedang menderita luka dalam," gumam Banjaranpati.
Suropati hanya tersenyum,
menampakkan kekonyolannya.
"Dari mana kau tahu kalau aku sedang menderita luka dalam, Kek?" tanya Suropati,
heran. "Wajahmu tampak pucat. Dan aku dapat merasakan aliran darahmu yang tak teratur."
Mendadak Suropati merasakan
tubuhnya jadi limbung. Matanya berkunang-kunang, lalu jatuh terduduk.
"Bocak geblek yang sok pintar!
Mengurus diri sendiri saja tak becus, mau berulah macam-macam...," umpat
Banjaranpati seraya mendekati Suropati yang nyaris pingsan.
Kakek itu segera menempelkan kedua telapak tangannya ke dada Suropati.
Tenaga dalam yang bersifat lembut mengalir, membantu remaja itu untuk mengatasi
rasa sakit yang diderita.
Saat itu juga, Suropati merasakan sebuah hawa nikmat yang mengelus tubuhnya.
Semakin lama hawa nikmat itu semakin terasa, membuatnya jadi terlena.
"Bocah Geblek! Rupanya kau
keenakan...," umpat Bayangan Putih Dari Selatan.
Banjaranpati segera melepas telapak tangannya dari dada Suropati.
"Kalau kau memang jagoan, datang saja ke Bukit Parahyangan!"
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Banjaranpati berkelebat cepat. Begitu
tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sebentar saja dia telah lenyap dari pandangan.
10 Bukit Parahyangan terselimut kabut Puncak bukit yang berwarna hijau kehitam-
hitaman menjulang ke atas, membentuk kerucut terpotong. Sebuah jurang menganga
lebar, berkelok memagari kaki bukit.
Jurang itu tak terukur lagi dalamnya.
Hanya binatang-binatang bersayap yang berani bermain-main di dekatnya.
Di lereng bukit itu sebuah istana kecil berdiri megah. Beberapa orang berpakaian
serba hitam tampak berjaga-jaga. Raut wajah mereka rata-rata menampakkan
kebengisan. Tangan mereka yang kekar berotot memegang sebuah perisai dengan
golok terselip di pinggang.
Di bagian dalam, Brajadenta tengah bercengkerama bersama para gundiknya yang
berwajah cantik dan bertubuh sintal.
Tiada henti-hentinya, Brajadenta mengeluarkan tawa sambil memegang-megang tubuh
para gundiknya.
"Kau sangat cantik, Mayang," puji Brajadenta kepada salah seorang
gundiknya. Gundik bernama Mayang itu tersenyum
menggoda. Melihat senyuman yang memikat, mata Brajadenta berbinar.
"Kau memang sangat cantik....
Ehm..." Brajadenta mencium pipi Mayang.
"Ah! Kakang Brajadenta jangan berlebihan," ujar Mayang, pura-pura jual mahal.
"Aku tidak berlebihan, Mayang. Kau memang sangat cantik."
Pipi Mayang merona merah mendengar pujian Brajadenta. Dengan serta-merta
dipeluknya tubuh Brajadenta.
Si Dewa Maut segera balas memeluk Bibir Mayang dipagutnya dengan ganas.
Melihat hal ini, para gundik
Brajadenta yang lain menjadi iri. Bibir mereka cemberut. Mereka cepat melengos
ke arah lain. "Eh, kalian jangan marah...," ujar Brajadenta, "Kalian pun akan mendapat
giliran. Ayolah segera mendekat kemari, Sayang."
Seketika para gundik
Brajadenta berhamburan memeluk tubuh tuannya. Dan si Dewa Maut pun menjadi kewalahan.
"Ehmmm..."
Brajadenta tak sempat berkata-kata lagi. Bibirnya lumat terkena ciuman para
gundiknya. Baru saja Brajadenta menikmati
pelayanan para gundiknya, di luar telah terjadi kegaduhan. Tak lama, seorang
pengawal sudah mengganggu keasyikannya.
"Ada apa di luar, Pragota?" tanya Brajadenta kepada pengawalnya yang baru datang
tergopoh-gopoh "Prajurit kerajaan menyerbu...,"
lapor pengawal yang dipanggil Pragota.
"Bangsat! Dedemit Busuk!" umpat Brajadenta sejadi-jadinya. "Segera enyahkan
mereka, Pragota! Jangan biarkan seorang pun dari mereka hidup!"
Melihat amarah Brajadenta yang
meluap, Pragota segera mengundurkan diri.
Tubuhnya berkelebat, membantu bawahannya yang tengah bertempur.
"Kau tak perlu risau, Kakang...,"
hibur Mayang. "Semua pengawal Kakang adalah orang yang sakti. Apalagi, si
Pragota itu. Tentu mereka akan sanggup mengatasi para prajurit kerajaan...."
Brajadenta hanya tersenyum. Dingin.
"Eighff...!"
Brajadenta langsung memagut bibir Mayang.
Para gundik si Dewa Maut yang lain segera menyerbu. Tak lama kemudian, mereka
sudah bergulat dengan nafsu birahi.
Brajadenta tertawa-tawa menghadapi keroyokan itu. Usianya yang sudah mendekati
setengah abad, masih bisa
menunjukkan keperkasaannya. Seperti tak punya lelah, si Dewa Maut meladeni
hasrat hatinya yang menggelora bak lautan api yang tak terpadamkan.
Di luar, para pengawal Brajadenta berjuang mati-matian menghadapi amukan
prajurit kerajaan yang bertempur bahu-membahu.
Bangkai-bangkai manusia tergeletak di tanah tak berharga. Diiringi sambaran
pedang dan ayunan golok, darah menyembur bagai pancaran mata air yang tak pernah
kering. Teriakan kematian membahana menyayat telinga.
Prajurit kerajaan yang jauh lebih banyak terus merangsek Para pengawal
Brajadenta pun memberi perlawanan gigih.
Mereka yang rata-rata berasal dari golongan hitam, sedikit pun tak punya rasa
gentar. Di medan pertempuran bagian
selatan, tampak seorang kakek tengah mengamuk bagai malaikat pencabut nyawa.
Sekali tangannya terayun, tiga-empat pengawal Brajadenta terjungkal
menyemburkan darah segar.
Kakek yang tengah mengamuk itu tak lain Pramubagas yang menjadi pemimpin
penyerbuan itu. Usianya yang sudah lanjut sedikit pun tak menampakkan kewalahan
menghadapi keroyokan yang membabibuta.
Memang, setelah berhasil
menyembuhkan tangannya yang patah karena bertarung melawan Bayangan Putih Dari
Selatan, Pramubagas segera memimpin penyerbuan ke istana Brajadenta yang telah
dianggap sebagai pengkhianat kerajaan. Di tengah-tengah keasyikannya bertarung
tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat memapaki serangan Pramubagas.
Plakk...! "Tua bangka tak tahu diuntung!
Sudah mendekati liang kubur, masih suka membuat perkara!" rutuk bayangan yang
baru saja memapak serangan Pramubagas.
Ternyata dia adalah Pragota.
Kakek itu hanya mendengus, lalu
mengayunkan tangannya.
Wuuuttt..! Namun Pragota cepat berkelit dengan mengegos ke samping, sehingga pukulan itu
tak mengenai sasaran....
Pramubagas segera menyambung
serangan dengan melepas tendangan.
Pragota pun tak mau tinggal diam.
Tubuhnya melejit ke atas. Begitu di udara, tubuhnya meluruk melepas hantaman ke
dada Pramubagas.
Pramubagas berkelit dengan melompat ke samping, seraya menyalurkan seluruh
tenaga dalam ke tangan kanan. Begitu lawannya mendarat, kedua tangannya
dihentakkan. Wuuusss...! Sebuah pukulan jarak jauh
Pramubagas menyambar. Namun Pragota cepat menghemposkan tubuhnya ke atas,
sehingga serangan itu luput.
"Aaa...!"
Ternyata para pengawal Brajadenta yang lain menjadi sasaran. Tubuh mereka
terpental beberapa tombak, untuk kemudian meregang melepas nyawa.
"Tua bangka kudisan! Jangan memamerkan kekuatanmu di hadapanku...!"
teriak Pragota penuh marah.
Pragota segera mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengimbangi gempuran
Pramubagas. Dua tokoh sakti itu segera terlibat dalam pertempuran sengit. Mereka saling
serang penuh nafsu membunuh. Tubuh mereka pun berkelebat cepat, memamerkan
jurus-jurus ampuh masing-masing. Hingga pada suatu saat...
Wuuuss...! "Arghhh...!"
Pramubagas berteriak ngeri melihat sebagian bajunya yang hangus terbakar
terserempet pukulan jarak jauh Pragota.
"Punya kepandaian juga rupanya kau, Cecunguk!" maki Pramubagas, geram.
Pragota tertawa keras.
"Tahu begitu, kenapa tak segera ajak anak buahmu untuk menyingkir..."!"
kata Pragota, sinis.
"Bangsat! Jangan berlagak di hadapanku!"
Pramubagas pun menghemposkan
tubuhnya, menerjang Pragota kembali sambil menghentakkan kedua tangannya.
Wuuuss...! Wuuusss...!
Dua sambaran pukulan jarak jauh tak mengenai sasaran, karena Pragota telah cepat
melenting ke belakang sambil memutar tubuhnya.
Pramubagas menggerendeng marah.
Segera ajian pamungkasnya dikeluarkan.
Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat.
Semakin lama tubuh Pramubagas menjadi bergoyang ke kiri dan ke kanan. Bersamaan
dengan itu, bermunculan sosok-sosok yang berwajah dan berpenampilan mirip
Pramubagas. Hingga jumlahnya tak kurang dart sepuluh orang. Itulah ilmu 'Sukma
Kembar' yang dimiliki Pramubagas.
Pragota yang baru saja mendaratkan kakinya terperangah menyaksikan kehebatan
ilmu Pramubagas. Namun, belum sempat berbuat sesuatu, dia telah diserbu sepuluh
Pramubagas! Pengawal Brajadenta itu menjadi
sangat kerepotan menghadapi gempuran yang saling susul-menyusul tiada henti.
Untuk mengambil napas pun tak sempat
Sehingga pada satu kesempatan,
salah satu Pramubagas melepas serangan.
Cepat Pragota melenting ke atas. Namun
justru kesempatan itu yang ditunggu Pramubagas. Begitu tubuh Pragota melayang,
dengan cepat Pramubagas yang lain meluruk sambil melepaskan hantaman ke dada.
Dan.... Dheeesss...! Pragota kontan terpental dengan
melesak terkena pukulan dahsyat Dia menjerit menyayat, dan langsung terjatuh di
tanah tak bangun-bangun lagi. Mati dengan mata mendelik. Mulutnya ternganga
lebar. Pramubagas tertawa terbahak-bahak, menyaksikan tubuh Pragota yang sudah tiada
bergerak lagi. Kemudian tubuhnya meluruk, menerjang pengawal Brajadenta yang
lain. Tubuh kakek itu bergerak cepat,
menyebar kematian. Siapa pun yang berada di dekatnya, seperti memasrahkan nyawa
saja. Tubuh mereka terjungkal dalam keadaan mengenaskan.
*** Siang hari ini, Bukit Parahyangan benar-benar banjir darah. Para pengawal
Brajadenta sama sekali tak berdaya menghadapi keganasan Pramubagas. Kakek yang
sedang kalap itu seperti sedang haus darah.
Mayat-mayat yang bergelimangan di
atas tanah, seperti menambah semangatnya untuk terus menyebar kematian.
"Hentikan perbuatanmu, Pramubagas!"
Mendadak terdengar sebuah suara
yang disusul dengan berkelebatnya satu sosok bayangan ke medan pertempuran.
Pramubagas mengerlingkan matanya, dan langsung meloncat mendekati sosok bayangan
yang tak lain Brajadenta.
"Akhirnya batang hidungmu tampak juga, Brajadenta...," kata utusan kerajaan itu.
"Aku tak punya banyak waktu, Tua Bangka! Bila kau menginginkan sesuatu, segera
katakan!" "Aku menginginkan nyawamu!" sahut Pramubagas.
Brajadenta tertawa keras mendengar ucapan Pramubagas.
"Kalau kau mampu, segera wujudkan keinginanmu itu!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pramubagas segera melancarkan serangan dengan
menghentakkan kedua tangannya.
Wuuussss...! Sebuah pukulan jarak jauh yang
disertai dengan angin kencang meluruk deras.
"Itu hanya mainan anak kecil, Tua Bangka!" kata Brajadenta sambil mengegos ke
kanan, menghindari serangan.
Wuuusss...! Sebagai jawaban, Pramubagas kembali menghentakkan kedua tangannya.
Pukulan jarak jauhnya langsung
meluncur deras.
Wuuuttt.... Brajadenta mengibaskan ujung lengan bajunya. Sehingga, pukulan jarak jauh itu
pun melenceng. Melihat kehebatan Brajadenta,
Pramubagas segera mengeluarkan ajian pamungkasnya ilmu 'Sukma Kembar'.
Sebentar kemudian, tubuh kakek itu menjadi berlipat sepuluh.
"Ilmu 'Sukma Kembar'," ucap Brajadenta, "Kau kira dengan ilmumu itu kau akan
sanggup menghadapiku, Tua Bangka..."!"
Tanpa pikir panjang lagi,
Brajadenta segera mengeluarkan ilmu 'Batu Kumala Hitam' yang telah dikuasainya
dengan baik. Tiba-tiba kulit tubuhnya menjadi sangat hitam bagai arang.
Diiringi suara menggelegar, tubuhnya berkelebat menggempur Pramubagas yang telah
menjadi sepuluh orang.
Blaaammm...! Satu tubuh Pramubagas hancur
berkeping-keping terkena pukulan Brajadenta. Tapi, suatu keanehan segera
terjadi. Dari kepingan-kepingan itu, mendadak bermunculan Pramubagas-Pramubagas
yang lain. Bahkan segera
menerjang si Dewa Maut!
Blaaammm...! Satu tubuh Pramubagas hancur lagi terkena pukulan Brajadenta. Dan keanehan itu
segera terulang kembali. Pramubagas-Pramubagas bermunculan semakin banyak.
Si Dewa Maut terperangah
menyaksikan kehebatan lawan. Maka segera tubuhnya dihempos, menjauhi ajang pertempuran.
Begitu mendarat, tiba-tiba tubuh Brajadenta menjadi diam tak bergeming.
Perlahan-lahan dari sekujur tubuhnya mengepul asap hitam. Dan, suasana di
sekitarnya diliputi hawa di alam sihir.
Kini kedua tangan si Dewa Maut
terpentang ke atas. Dan....
Wooosss...! Mendadak tubuh Pramubagas yang
telah menjadi banyak tersedot!
Blaaammm...!

Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara ledakan menggema. Pramubagas-Pramubagas palsu kontan hancur berkeping-
keping tanpa ampun.
Brajadenta tertawa lebar. Matanya bersinar tajam, menatap Pramubagas asli yang
kini berdiri limbung.
Tanpa mau membuang waktu lagi, si Dewa Maut segera mengerahkan seluruh
kekuatannya, membuat tubuh Pramubagas tersedot!
Utusan kerajaan itu berusaha sekuat
tenaga melawan kekuatan yang sedang menyeret. Tapi Pramubagas yang memang sudah
menderita luka dalam, tak mampu memberi perlawanan berarti. Hingga kemudian....
Blaaammm...! Ledakan dahsyat segera terdengar lagi. Tubuh Pramubagas pun hancur berkeping-
keping, menjadi serpihan daging yang mengeluarkan bau amis!
Tubuh Brajadenta yang berwarna
hitam pekat kemudian melayang, menggempur prajurit-prajurit kerajaan.
Sebentar kemudian, orang-orang yang mengemban titah Baginda Prabu menjadi kocar-
kacir. Tapi, Brajadenta yang sudah dirasuki setan, sama sekali tak memberi
ampun. Tubuh para prajurit itu tak satu pun yang masih menyimpan nyawa!
Tawa si Dewa Maut langsung menggema di seluruh Bukit Parahyangan, mendirikan
bulu roma.... 11 Dengan langkah pasti Anjarweni dan Ingkanputri menaiki Bukit Parahyangan.
Tekad mereka sudah bulat untuk menghabisi riwayat Brajadenta. Dendam di dada
kedua gadis itu seperti sanggup menghancurkan gunung.
Anjarweni berlari cepat sambil
menggigit bibirnya sendiri. Bayang-bayang kelabu masa lalu tiba-tiba terpampang
kembali di matanya. Kekejaman dan kebiadaban si Dewa Maut benar-benar membuat
darahnya menggelegak.
Demikian pula Ingkanputri. Mata
gadis belia berumur tujuh belas tahun itu berkaca-kaca. Kematian kedua
orangtuanya yang paling dicintai membuatnya tak kuasa meneteskan air mata.
Ketika sampai di tepi jurang yang memagari bukit, langkah kedua gadis itu
berhenti. Mereka ragu sejenak. Jika mengikuti jalan setapak, terpaksa harus
berjalan melingkar yang memakan banyak waktu. Jalan pintas yang tercepat
hanyalah dengan melewati jurang yang menganga lebar di depan
Tapi, karena kebulatan tekad dan dorongan amarah yang meluap, tanpa berpikir
panjang lagi kedua gadis itu segera menghentakkan kaki.
"Hiaaattt..!"
Kedua gadis itu melayang ke atas sambil berputaran di udara ke arah seberang
jurang. Lalu....
Teppp...! Begitu berhasil mendarat di
seberang jurang kedua gadis itu
mengerutkan kening, mencium bau anyir darah yang menusuk hidung.
*** Di depan istana Brajadenta,
Anjarweni dan Ingkanputri berdiri. Tampak darah masih membasahi tanah. Burung-
burung membisu menyaksikan jagal manusia yang berpesta kematian. Sunyi-senyap
menangkupi palagan berdarah itu. Alam seperti menyesali apa yang telah terjadi.
"Panggil Brajadenta keluar...!"
bentak Anjarweni kepada seorang lelaki berewokan yang sedang membersihkan sisa-
sisa pertempuran.
Lelaki itu memandang curiga.
Hatinya diliputi rasa gusar dan
keterkejutan, karena tak mendengar langkah kaki dua orang gadis yang tiba-tiba
sudah berdiri di hadapannya.
"Kau tidak mendengar perkataanku"!
Panggil Brajadenta keluar...!" bentak Anjarweni lagi.
Melihat kedua tamu yang tak
diundang itu menunjukkan sikap tak bersahabat, lelaki brewokan ini segera
mencabut golok dan langsung
mengayunkannya.
Wuuuttt...! Anjarweni menghindar seraya
mengayunkan kepalan tangannya.
Duk...! "Ughhh...!"
Lelaki berewokan itu
kontan terjungkal ke tanah. Mulutnya meringis kesakitan sambil mendekap dadanya yang
terhantam. Belum sempat lelaki itu berbuat
sesuatu, Anjarweni telah menendang punggungnya.
Duk! "Ahhh...!"
Lelaki itu kontan Jatuh tengkurap, tak sadarkan diri.
Dan mendadak kedua gadis itu
berpaling, ketika puluhan orang berlari serabutan. Dan mereka langsung
mengeroyok Anjarweni dan Ingkanputri.
Tapi, dua gadis cantik murid Dewi Tangan Api itu bukanlah lawan yang seimbang
bagi mereka. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, Anjarweni dan
Ingkanputri bergerak cepat sambil melancarkan totokan. Akibatnya, sebentar saja
puluhan pengawal Brajadenta pun terperangah dengan mata mendelik, karena tak
bisa menggerakkan tubuhnya yang tiba-tiba jadi kaku.
Belasan orang yang masih tersisa segera meloncat, menjauh dengan nyali ciut.
Mereka tidak menyangka bila dua orang gadis yang tampak lemah itu dapat
bertindak sedemikian hebat
Tiba-tiba dari pintu gerbang istana muncul lima orang wanita cantik
berpakaian sangat tipis. Sehingga, tak
mampu menyembunyikan lekuk-lekuk tubuh mereka yang sangat menggiurkan.
"Siapa kalian..."!" tanya salah seorang wanita itu dengan suara lantang.
"Kau tak perlu tahu siapa kami!
Segera panggil Brajadenta!" ujar Ingkanputri, tak kalah lantang.
Mendengar ucapan kasar itu, kelima wanita cantik yang baru muncul segera
menerjang dengan pedang terhunus. Pada saat yang sama, belasan pengawal
Brajadenta yang telah bernyali kecut ikut menerjang dengan sabetan golok!
Anjarweni dan Ingkanputri
menggeram. Mereka berdua segera
berloncatan, menghindari sambaran senjata tajam yang datang saling susul.
Tanpa mau membuang tenaga, dua
gadis murid Dewi Tangan Api itu
mengeluarkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'.
Kini kedua pergelangan tangan mereka pun jadi merah membara, mengeluarkan hawa
panas! Salah satu gundik Brajadenta yang bernama Mayang segera melompat, menjauhi
pertempuran. Tapi, teman-temannya terlambat menyadari keadaan. Akibatnya...
Wooosss...! Para pengawal dan gundik Brajadenta menjerit kesakitan seraya berlari pontang-
panting. Ternyata hawa panas yang dikeluarkan Anjarweni dan Ingkanputri
membakar pakaian mereka!
Melihat itu, Mayang bergidik ngeri.
Tubuhnya menggigil ketakutan. Tanpa terasa, pedang yang dipegangnya melorot dan
jatuh ke tanah.
Anjarweni menatap tajam, kemudian berjalan mendekati.
"Ampuuunnn...."
Mayang menjatuhkan tubuhnya ke
tanah, berlutut di hadapan Anjarweni.
"Tunjukkan di mana Brajadenta berada!" ujar Anjarweni, kasar.
Mayang segera bangkit, dan berjalan memasuki istana. Sementara Anjarweni dan
Ingkanputri mengikuti.
Istana Brajadenta benar-benar
dipenuhi kemewahan. Lantainya licin mengkilat terbuat dari batu manner bermutu
tinggi. Tiang-tiang saka guru yang kokoh kuat penuh ukiran, menjadi hiasan yang
sedap dipandang mata. Dinding dihiasi puluhan lukisan karya seniman kawakan.
Memasuki ruang utama, Anjarweni dan Ingkanputri disambut permadani berbulu
lembut terhampar. Tampak Brajadenta duduk santai di singgasananya yang
bertahtakan emas. Bajunya yang berwarna ungu semakin menyorotkan sinar gemerlap.
"Segera mendekat, Gadis-gadis Manis," sambut si Dewa Maut melihat kedatangan
Anjarweni dan Ingkanputri.
"Dari tadi aku gelisah menunggu kedatangan kalian...."
"Jahanam! Tak perlu kau bermanis mulut!" umpat Anjarweni.
Brajadenta tertawa.
"Kalau kau marah, kecantikanmu semakin mempesona...."
"Jahanam! Tak tahu malu!" umpat Anjarweni lagi.
"Jangan terus marah begitu, Manis.
Aku tahu maksud kedatanganmu kemari.
Bukankah kau hendak mengulang kenangan manis di Lembah Sungai Balirang...?"
Anjarweni menggigit
bibirnya sendiri, menahan geram mendengar ucapan Brajadenta. Tiba-tiba semua peristiwa
pahit yang telah menimpanya muncul dalam ingatan.
"Dan kau siapa, Gadis Kecil?" tanya Brajadenta kepada Ingkanputri.
"Aku anak Reksapati yang telah kau bunuh dengan biadab!" sahut Ingkanputri,
ketus. "Jadi, kau anak Ketua Perguruan Harimau Terbang itu"!" kata si Dewa Maut seraya
tertawa kembali. "Sekarang aku tahu maksud kedatanganmu, Gadis Kecil.
Bukankah kau hendak mengantarkan nyawa untuk menyusul arwah orang tuamu yang
mati sia-sia itu...?"
"Iblis keji! justru aku yang akan meminta nyawamu sebagai penebus hutangmu
padaku!" "Pandai berlagak juga rupanya kau, Gadis Kecil" ejek Brajadenta.
Tiba-tiba si Dewa Maut itu
memandang tajam kepada Mayang yang dari tadi hanya diam membisu.
"Mayang! Coba beri pelajaran kepada gadis kecil itu...!"
Gundik Brajadenta yang memendam
rasa takut tiba-tiba menjatuhkan diri, dan mencium kaki tuannya.
"Ampunkan aku, Kakang.... Aku tak sanggup...," ratap Mayang.
Mendengar ucapan gundiknya, mata Brajadenta mendelik.
"Kau takut..?" tanya si Dewa Maut Mayang mendongakkan kepala seraya mengangguk
perlahan. "Bangsat..!" bentak Brajadenta marah seraya menggerakkan kakinya cepat
Buuukkk...! Tubuh Mayang kontan terbang
membentur dinding setebal dua jengkal.
Dan tak ayal lagi, tanpa sempat
mengeluarkan suara erangan, nyawanya segera loncat dari tubuhnya.
"Kau memang manusia biadab, Brajadenta!" teriak Anjarweni, keras.
Tanpa sungkan-sungkan lagi,
Anjarweni pun menerjang si Dewa Maut yang masih duduk santai di singgasananya
sambil menghentakkan kedua tangannya.
Wuuussss...! Namun tubuh Brajadenta telah lebih cepat melesat ke atas.
"Rupanya kau ingin bermain-main denganku, Gadis Manis...," kata si Dewa Maut
sambil meluruk. Kakinya berputar, menyodok perut Anjarweni.
Namun gadis itu cepat menangkis.
Plak! Sehabis terjadi benturan, tangan kiri Anjarweni terayun, menghantam dada
Brajadenta. Kini ganti si Dewa Maut yang
menangkis serangan murid Dewi Tangan Api itu.
Plak! Melihat kakak seperguruannya tengah menggempur Brajadenta yang kesohor kejam dan
bengis, Ingkanputri segera
menghemposkan tubuhnya.
Si Dewa Maut terperangah sejenak melihat kehebatan murid Dewi Tangan Api yang
masih berumur belasan tahun. Maka, dia pun segera meloncat ke udara.
Tubuhnya berputar-putar laksana sebuah gangsingan. Dan seketika tangan kanannya
menyambar kain merah di pundaknya.
Lalu.... Weeerrr...! Selembar kain merah itu berputaran di udara dan mengembang. Lalu tercium aroma
harum, ketika serangkum angin
menyebar ke sekitarnya.
"Awas racun, Putri...!" teriak Anjarweni memberi peringatan.
Kedua gadis itu segera menahan
napas, dan menelan pil penawar racun yang selalu berada di dalam kantong mereka.
Tiba-tiba tubuh Brajadenta yang
masih berputar-putar di udara menghunjam ke arah Anjarweni tanpa bisa dihindari.
Wuuusss...! "Ahhh...!"
Anjarweni terkejut setengah mati melihat sebagian bajunya yang robek dua jengkal
tersambar angin pukulan si Dewa Maut.
Brajadenta tertawa lebar.
"Kulit tubuhmu semakin
menggairahkan saja, Gadis Manis. Sebentar lagi aku akan menelanjangimu...!" kata
Brajadenta, menggiriskan.
Bahu Anjarweni turun-naik menahan luapan hawa amarah. Lalu segera
diterjangnya Brajadenta dengan kalap sambil menghentakkan tangannya disertai
tenaga dalam penuh.
Wuuusss...! Pukulan jarak jauh Anjarweni
meluncur deras.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam, Brajadenta menyampok. Sehingga, pukulan
Anjarweni berbelok arah.
Blaaammm...! Dinding istana Brajadenta kontan berlubang besar, terkena pukulan nyasar.
Melihat kemampuan lawan yang
sedemikian hebat, kedua murid Dewi Tangan Api segera menyatukan seluruh tenaga
dalam. Kedua belah tangan mereka pun merah membara. Hawa panas menerpa. Saat itu
juga, Anjarweni dan Ingkanputri mengayunkan tangannya ke depan secara bersamaan!
Mata si Dewa Maut mendelik. Seluruh kekuatan tenaga dalamnya pun dipusatkan
kembali. Dan tiba-tiba, kedua tangannya menghentak ke depan.
Blaaarrr...! Dua kekuatan bertemu di udara,
menimbulkan suara menggelegar laksana petir menyambar.
Tubuh Anjarweni dan Ingkanputri
terpental, membentur dinding hingga jebol! Lalu dari mulut mereka menyembur
darah segar....
Sedangkan tubuh Brajadenta hanya melayang satu tombak dari permukaan lantai. Dan
dengan bersalto di udara, si Dewa Maut berhasil mendarat mulus.
Tawa panjang segera membahana. Gema suaranya memantul tak henti-hentinya.
Brajadenta benar-benar menikmati kemenangan itu.
Kini lelaki melengas
itu menghampiri kedua murid Dewi Tangan Api
yang masih meringkuk di lantai menderita luka dalam.
"Kau bunuh saja aku...!" teriak Anjarweni dengan mata mendelik.
Si Dewa Maut tersenyum. "Kalau untuk membunuhmu, semudah membalikkan tangan,
Manis.... Namun, aku ingin bermesraan dulu denganmu...," kata Brajadenta
tersenyum dingin.
"Jahanam...!" umpat Ingkanputri seraya memungut sebongkah batu pecahan dinding,
dan melemparkannya ke tubuh Brajadenta.
Brajadenta malah menadahi luncuran batu itu dengan dadanya.
Dukkk...! Kemudian lelaki itu tertawa
bergelak. Ingkanputri menyeret tubuhnya, beringsut mendekati kakak
seperguruannya.
"Segera kau bunuh kami, Iblis...!"
bentak Ingkanputri sambil mendekap tubuh Anjarweni dari samping.
"Baiklah, kalau memang itu
permintaanmu...." Si Dewa Maut menyalurkan tenaga dalam ke kedua belah


Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya. Dan, segera dia mengambil ancang-ancang....
Anjarweni dan Ingkanputri saling berpelukan. Dengan mata terpejam, mereka
memanjatkan doa untuk sambut kedatangan malaikat pencabut nyawa. Tiba-tiba....
"Brajadenta! Segera keluar dari
persembunyianmu...!"
Si Dewa Maut mendengus gusar begitu mendengar suara teriakan di luar istananya.
Setelah menatap dua murid Dewi
Tangan Api yang sudah tak berdaya, dia segera meloncat
*** Di luar, seorang kakek kurus
berpakaian penuh tambalan berdiri tegak menanti kedatangan si Dewa Maut. Dia tak
lain dari si Periang Bertangan Lembut yang sedang menjalankan titah Baginda
Prabu. "Rupanya kau pun senang ikut-ikutan, Pragolawulung!" sambut Brajadenta, menyebut
nama kecil si Periang Bertangan Lembut.
Kakek kurus berpakaian penuh
tambalan itu menatap sejenak kepada Brajadenta.
"Ck... ck... ck.... Kau semakin hebat, Brajadenta. Istanamu bagus. Dan, kau pun
tampak hidup bergelimang kemewahan...," decak si Periang Bertangan Lembut.
Si Dewa Maut tertawa tergelak.
"Berbeda dengan kau, Pragolawulung.
Menilik pakaianmu yang penuh tambalan, apakah Baginda Prabu sudah tak mampu lagi
untuk menggajimu, sehingga kau terpaksa menjadi seorang pengemis..."!" leceh
Brajadenta. Si Periang Bertangan Lembut
tersenyum mendengar ejekan itu.
"Tak perlu banyak cakap,
Brajadenta. Baginda Prabu menitahkanmu untuk menghadap, guna mempertanggung-
jawabkan semua perbuatanmu yang
biadab...," kata Pragolawulung.
"Di sini aku telah menjadi raja, Pragolawulung! Baginda Prabu pun tak berhak
untuk memerintahkanku...," sahut si Dewa Maut, enteng.
"Terpaksa aku akan menyeretmu...."
Si Periang Bertangan Lembut segera mengambil ancang-ancang untuk menyerang.
Lalu tubuhnya meluncur dengan kecepatan tinggi, menerjang Brajadenta.
Si Dewa Maut pun tak mau tinggal diam. Tubuhnya melayang, memapak serangan
Periang Bertangan Lembut.
Blaaarrr....! Terdengar ledakan dahsyat ketika dua kekuatan bertemu di udara.
Dua orang tokoh sakti sama-sama
terhempas. Dengan bersalto beberapa kali di udara, mereka berhasil mendaratkan
kaki di tanah dalam waktu bersamaan.
Sebentar kemudian si Periang
Bertangan Lembut dan si Dewa Maut saling terjang. Maka, pertempuran hebat segera
terjadi. Bukit Parahyangan hari itu benar-benar menjadi sebuah tempat yang harus darah.
Burung-burung tak lagi berkicau riang. Mereka pergi menjauh, tak sudi melihat
kebrutalan manusia....
12 Sementara itu, setelah mendapat
petunjuk Banjaranpati, Suropati yang oleh para pengemis dijuluki Pengemis Binal
segera menuju ke Bukit Parahyangan mengikuti suara hatinya.
Ada dua alasan, mengapa Suropati sangat berhasrat untuk dapat bersitatap dengan
Brajadenta atau si Dewa Maut Pertama, karena penasaran mendengar kesaktian
pengawal kerajaan yang telah berkhianat itu. Terutama, keingin-tahuannya
terhadap ilmu 'Batu Kumala Hitam' yang telah dikuasai Brajadenta.
Kedua, mengikuti jiwa ksatrianya.
Suropati merasa ikut terpanggil untuk membantu melenyapkan keangkara-murkaan di
bumi! Ketika sampai di halaman istana
Brajadenta, yang pertama dilihat Suropati adalah dua bayangan yang bergerak
cepat saling serang.
Melihat jurus-jurus yang digunakan, Suropati segera tahu kalau salah satu dari
bayangan itu adalah gurunya yang bergelar si Periang Bertangan Lembut.
Sedangkan yang seorang lagi, tentu Brajadenta atau si Dewa Maut
Melihat dua orang yang sedang
bertempur mati-matian itu, Pengemis Binal mendapat keasyikan tersendiri. Maka,
segera dicarinya tempat persembunyian yang teduh untuk dapat menikmati tontonan
tanpa tersengat sinar matahari.
Blaaarrr...! Kembali terdengar ledakan, ketika dua kekuatan tenaga dalam bertemu di udara.
Tubuh Brajadenta dan si Periang
Bertangan Lembut melayang. Tapi mudah sekali mereka berdua dapat mendarat di
tanah dengan sempurna.
Kekuatan tenaga dalam mereka berdua tampak seimbang. Oleh sebab itu, masing-
masing tak mengalami cidera yang berarti akibat bentrokan barusan.
Mendadak, si Dewa Maut mengayunkan tangannya. Seketika ribuan jarum beracun
meluncur deras ke arah si Periang Bertangan Lembut.
Namun dengan gerakan dahsyat, si Periang Bertangan Lembut memutar tongkatnya
yang sejak tadi belum digunakan.
Wuuuttt...! Traak...! Si Periang Bertangan Lembut
berhasil membuat jarum-jarum itu rontok di tanah.
"Kau licik, Brajadenta...!" umpat si Periang Bertangan Lembut.
Brajadenta hanya menatap dengan
sinar mata kebencian. Sebentar saja, dia segera menerjang kembali.
Si Periang Bertangan Lembut yang masih memegang sebatang tongkat tak mau menyia-
nyiakan senjata di tangannya.
Segera dikeluarkannya jurus 'Tongkat Memukul Anjing'.
Tongkat di tangan kakek kurus itu berputar-putar sangat cepat, mengeluarkan
suara angin menderu-deru. Kemudian tubuhnya mencelat ke udara, lalu menghunjam
ke arah Brajadenta sambil menyambarkan tongkatnya.
Pada saat yang sama si Dewa Maut mengeluarkan tenaga simpanannya. Seketika
dipapaknya sambaran tongkat itu.
Traaakkk...! Si Periang Bertangan Lembut
terkejut setengah mati melihat tongkatnya patah menjadi dua. Namun, sebelum
menyadari keadaan, tangan Brajadenta telah meluncur ke dada si Periang Bertangan
Lembut Dan.... Duuukkk...! "Aaah...!"
Si Periang Bertangan Lembut
terjajar beberapa tindak sambil mendekap dadanya yang tersodok tangan
Brajadenta. Pengemis Binal yang menyaksikan
adegan itu segera melompat dari tempat persembunyiannya.
"Kau tak apa-apa, Kek...?" tanya remaja belasan tahun itu.
Melihat muridnya yang tiba-tiba
muncul di hadapannya, si Periang Bertangan Lembut menggeram gusar.
"Pergi kau, Bocah Gendheng!" bentak Periang Bertangan Lembut.
Namun, Pengemis Binal tak mau
menuruti perintah gurunya. Malah, matanya memandang si Dewa Maut yang sedang
tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba si Periang Bertangan
Lembut mengibaskan tangannya, membuat tubuh Suropati terpelanting menjauhi ajang
pertempuran. Dan tiba-tiba tubuh si Periang Bertangan Lembut meluncur melebihi
kecepatan suara sambil
menyambarkan tangannya.
Brettt...! "Heh..."!"
Brajadenta yang tidak menduga
datangnya serangan, merasakan tubuhnya limbung. Bahunya telah terserempet angin
pukulan si Periang Bertangan Lembut.
Darah si Dewa Maut naik sampai ke ubun-ubun. Dia pun segera mengeluarkan ilmu
andalannya, ilmu 'Batu Kumala Hitam'!
Si Periang Bertangan Lembut
terperangah, menyaksikan tubuh lawannya yang berubah jadi hitam legam seperti
arang. Belum sempat berpikir panjang, mendadak kakek kurus itu merasakan
tubuhnya tersedot ke arah Brajadenta.
Namun, tiba-tiba kakek kurus itu menguap. Dan tubuhnya lalu jatuh ke tanah.
Jelas, si Periang Bertangan Lembut mengeluarkan ilmu 'Arhat Tidur'.
Tubuh si Periang Bertangan Lembut tetap tersedot kekuatan ilmu 'Batu Kumala
Hitam'. Tapi, ketika tubuhnya sudah dekat, mendadak melenceng ke samping, dan
menjauh lagi. Hal demikian terulang hingga
beberapa kali, membuat Brajadenta semakin dikuasai amarah.
Tanpa pikir panjang lagi,
Brajadenta segera mengerahkan seluruh kekuatannya. Dan tubuhnya yang sudah hitam
legam semakin bertambah hitam. Tak terkecuali, kedua matanya juga bersorot
hitam. Kini wajah si Dewa Maut sudah tidak lagi menyerupai manusia. Wujud
kemanusiaannya telah hilang, berganti menjadi sesosok tubuh yang mengerikan!
Kedua tangan Brajadenta terayun ke atas, dan bertepuk.
Blaaarrr...! Timbul suara menggelegar laksana petir menyambar ketika telapak tangan si Dewa
Maut beradu. Bersamaan dengan itu, satu bentuk tenaga telah menyedot tubuh si Periang
Bertangan Lembut yang tak terbendung lagi.
Kini, tubuh si Periang Bertangan Lembut benar-benar terseret, tanpa mampu
berbuat apa-apa lagi.
Pengemis Binal yang menyaksikan
keadaan gurunya yang tengah berjuang melawan maut, segera menghemposkan tubuhnya
ke arah Brajadenta. Namun ketika dua depa lagi tubuhnya tiba....
Blaaarrr...! Remaja belasan tahun yang mencoba memusnahkan tenaga sedotan ilmu 'Batu Kumala
Hitam' merasakan tubuhnya mental balik, ketika membentur satu kekuatan kasat
mata. Dan tubuhnya kontan terhempas jatuh ke tanah disertai semburan darah
segar! Pengemis Binal bingung, bagaimana harus bertindak untuk menolong gurunya yang
tengah berkutat melawan arus kematian dari ilmu 'Batu Kumala Hitam'
yang dahsyat. Mata remaja belasan tahun itu
jelalatan. Bola matanya membesar. Namun, kelopak matanya tiba-tiba terpejam
ketika menyaksikan tubuh gurunya yang tinggal beberapa jengkal lagi akan
membentur pusat kekuatan ilmu 'Batu Kumala Hitam'.
Tapi, sesuatu yang tak terduga
terjadi. Mendadak tubuh si Periang Bertangan Lembut yang tampak sudah tak
berdaya berkelebat cepat, melancarkan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'
sambil memutari tubuh Brajadenta.
Wuuusss...! Blaaarrr...! Setelah melancarkan ilmu
totokannya, tubuh si Periang Bertangan Lembut terpental sejauh empat tombak!
Tubuh kakek kurus itu bergulingan di tanah. Setelah bisa mengendalikan gerak
tubuhnya, dia mencoba bangkit.
Namun, si Periang Bertangan Lembut segera terjungkal kembali dengan mulut
menyemburkan darah berwarna kehitam-hitaman dari hidung dan telinganya.
Agaknya, si Periang Bertangan
Lembut menderita luka dalam yang sangat parah!
Sedangkan tubuh si Dewa Maut tetap berdiri tegak. Tapi tak lama kemudian, dari
tujuh belas pusat aliran darahnya memancar darah segar laksana sebuah pancuran
yang baru saja diisi air.
Tubuh si Dewa Maut bergoyang-goyang
sejenak. Namun Brajadenta tetap bertahan untuk tidak jatuh. Dan tiba-tiba
dikeluarkannya sesuatu dari balik baju!
Sementara si Periang Bertangan
Lembut yang telah terluka parah memandang penuh keterkejutan.
Tampak tangan kanan si Dewa Maut menggenggam sebuah batu berwarna hitam kelam
sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Tangan kiri si Dewa Maut mendadak bergerak, menyobek kulit perutnya sendiri
menggunakan kuku!
Darah segar segera menyembur dari luka yang menganga. Tapi, Brajadenta sama
sekali tak merasakan sakit. Bibirnya malah mengulum senyum. Dan perlahan-lahan
dimasukkannya Batu Kumala Hitam ke dalam luka di perutnya. Sebentar kemudian,
luka itu sudah terbalut selembar kain berwarna merah.
Si Dewa Maut meringis,
memperlihatkan gigi dan gusinya yang juga telah berwarna hitam legam! Bersamaan
dengan itu, dari kepalanya mengepul asap hitam. Semakin lama semakin tebal,
mengaburkan pandangan. Itulah puncak dari ilmu 'Batu Kumala Hitam'!
"Suropati...!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, si
Periang Bertangan Lembut memanggil muridnya yang berada tak jauh, darinya.
Pengemis Binal yang juga sudah
terluka dalam segera mendekati gurunya.
Dia kemudian duduk bersila, di hadapan si Periang Bertangan Lembut
"Kau sudah mempelajari ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa', Suro?" tanya si Periang Bertangan Lembut terbata-
bata. Pengemis Binal mengangguk lemah.
"Tapi, hanya sampai tingkat tujuh belas...."
"Ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' tingkat tujuh belas belum bisa
memusnahkan ilmu 'Batu Kumala Hitam'.
Untuk itu, aku akan menyempur-
nakannya...."
Setelah berkata demikian,
si Periang Bertangan Lembut menempelkan kedua telapak tangan ke dada muridnya.
Maka saat itu juga, sebuah kekuatan tenaga dalam segera mengalir. Pengemis Binal
langsung merasakan sebuah arus deras sedang berputar di sekujur tubuhnya yang
segera memusat ke pusar. Semakin lama putaran arus itu semakin lemah.
Dan.... "Uookkk...!"
Mulut si Periang Bertangan Lembut kembali menyemburkan darah berwarna kehitam-
hitaman. "Guru...!"
Suropati menjerit keras ketika
menyaksikan tubuh gurunya jatuh
terjengkang. Sesaat Pengemis Binal memeluk tubuh gurunya yang sudah tak bernyawa, lalu segera
bangkit! Si Dewa Maut tertawa tergelak.
"Aku belum memperlihatkan seluruh kepandaianku. Kenapa si Tua Bangka itu sudah
melepas nyawa..."!" ejek Brajadenta, pongah.
"Jangan banyak ucap, Keparat! Aku akan menuntut balas kematian guruku...!"
sentak Suropati.
Tawa si Dewa Maut semakin keras.
"Bocah Gendheng! Kalau kau tak ingin menyusul arwah gurumu, segera buktikan
ucapanmu...!" tantang Brajadenta.
"Baik! Aku akan menjajal ilmu 'Batu Kumala Hitam'-mu!"
Melihat kesungguhan Suropati, si Dewa Maut segera mengerahkan seluruh
kekuatannya, hingga sampai ke puncak.
Tangan si Dewa Maut terpentang ke atas. Dan setelah mengeluarkan suara
menggelegar, tubuh Pengemis Binal pun terseret!
Suropati sama sekali tak melawan arus kekuatan yang sedang menyeretnya.
Karena disadari, perlawanannya akan sia-sia.
Perlahan-lahan tubuh Pengemis Binal mendekati pusat kekuatan ilmu 'Batu Kumala
Hitam'! Dan mendadak tubuh
Suropati berkelebat dengan kecepatan melebihi
kecepatan suara. Lalu


Pengemis Binal 01 Pengkhianatan Dewa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diputarinya tubuh Brajadenta seraya mengerahkan ilmu totokan 'Delapan Belas
Tapak Dewa' sambil mengerahkan ilmu sihirnya yang terdahsyat. Begitu cepat
gerakan Suropati, sehingga....
Blaaarrr...! Tubuh murid si Periang Bertangan Lembut itu terhempas, lalu bergulingan di atas
tanah, Namun, dia segera berdiri tegak!
Sementara itu, tubuh si Dewa Maut terhuyung-huyung. Dari berbagai tempat di
tubuhnya memancar darah segar.
Kemudian.... Blaaarrr...! Dengan diiringi bunyi menggelegar, tubuh si Dewa Maut meledak, hancur menjadi
abu! Ternyata, ilmu totokan 'Delapan
Belas Tapak Dewa' yang dilancarkan Pengemis Binal tak dapat dielakkan si Dewa
Maut. Karena, ilmu totokan itu telah dilambari kekuatan sihir, sehingga
membuatnya terpukau tanpa mampu berbuat apa-apa. Hal itu membuat ujung jari
Pengemis Binal dapat bergerak bebas, mencari jalan kematian di tubuh si Dewa
Maut. Empat totokan Pengemis Binal
bersarang di kepala, empat di leher,
empat di dada, empat di punggung, dan dua di pangkal paha si Dewa Maut. Pada
tempat-tempat itulah, tubuh pengkhianat kerajaan itu memancarkan darah segar,
untuk kemudian meledak dan hancur menjadi abu.
Tak lama kemudian, Pengemis Binal berjalan menuruni Bukit Parahyangan sambil
membopong jenazah gurunya...
Anjarweni dan Ingkanputri berlari susah-payah mengikuti langkah kaki Suropati.
"Tunggu dulu, Bocah...!" teriak Anjarweni.
"Memangnya aku anakmu" Kok, kau panggil 'bocah'...?" kata Suropati konyol.
"Lalu, aku harus panggil siapa?"
tanya Anjarweni.
"Suropati alias Pengemis Binal,"
sebut remaja belasan tahun itu tanpa menghentikan langkah kakinya.
Anjarweni dan Ingkanputri yang
masih belum sembuh dari luka dalamnya terus mengikuti dengan kening berkerut.
Mereka kini baru sadar, kalau remaja yang berpakaian putih penuh tambalan itu
berjuluk Pengemis Binal.
"Hei, mengapa kau dijuluki Pengemis Binal" Pantas kelakuanmu memang binal!"
timpal Ingkanputri.
"Yah, karena kelakuanku memang
binal! Tapi kalian suka, kan. Kalian tahu, teman-temankulah yang menjuluki aku
demikian...," sahut Suropati sambil terus melangkah.
"Tunggu dulu, Pengemis Binal...!"
ujar Ingkanputri lagi.
"Tidak mau!" jawab Pengemis Binal, asal buka mulut,
"Aku ingin mengucapkan terima kasih, Pengemis Binal...."
"Untuk mengucapkan kata itu, apa susahnya" Sambil berjalan pun bisa...."
Ingkanputri terdiam mendengar
ucapan Suropati. Memang pas bila dia dijuluki Pengemis Binal!
"Eh! Aku tidak hanya ingin
mengucapkan terima kasih. Aku juga ingin memberi hadiah...," cetus gadis itu.
Mendengar itu mata Pengemis Binal berbinar. Dan, tubuhnya pun segera berbalik.
Untuk sementara diturunkannya jenazah si Periang Bertangan Lembut
"Benarkah apa yang kau katakan?"
tanya Pengemis Binal.
"Benar, Suro...," jawab Ingkanputri.
Dan.... Cuppp...! Suropati meraba pipinya yang
terkena ciuman, dan langsung tertawa lebar.
"Uh! Ciumanmu tak enak. Kau jarang
gosok gigi, ya?" ledek Suropati.
Mendengar. ucapan Suropati itu,
papi Ingkanputri merona merah.
"Bocah Gendheng! Kalau mau minta tambah, katakan saja! Tak perlu berkata yang
macam-macam!" bentak Ingkanputri nakal.
Bola mata Suropati bergerak ke kiri dan ke kanan.
Tiba-tiba.... Cuppp...! Ganti Ingkanputri yang meraba
pipinya. "Kau pun jarang gosok gigi, Suro...," ledek Ingkanputri.
Suropati tertawa terbahak-bahak
Tapi, tiba-tiba tubuh Suropati
menggelosor ke tanah.
Anjarweni tersenyum.
"Bocah Gendheng! Rupanya kau suka berulah macam-macam...! Pantas bila dia
dijuluki Pengemis Binal!"
Mendengar itu, Suropati hanya diam saja. "He he he...," Anjarweni tertawa.
"Mungkin dia minta yang lebih 'panas'
lagi, Putri...."
Ingkanputri cemberut mendengar
ucapan kakak seperguruannya.
"Kita biarkan saja, Kak Weni. Kalau kepanasan dipanggang matahari baru tahu
rasa...!" Anjarweni dan Ingkanputri segera
berteduh di bawah pohon rindang. Tapi hingga beberapa saat, tubuh Suropati sama
sekali tak bergerak.
"Mungkin terjadi apa-apa dengan dirinya, Kak Weni. Coba kita lihat...,"
ujar Ingkanputri kepada kakak
seperguruannya.
Mereka berdua segera mendekati
tubuh Suropati yang terbujur di samping jenazah gurunya. "Jangan sentuh dia...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan, yang disusul berkelebatnya, seorang kakek
berpakaian serba putih ke arah mereka.
Anjarweni dan Ingkanputri
mengerutkan kening.
"Dalam tubuh Suropati tersimpan racun ganas. Dan, kini racun itu sedang bekerja.
Bila kalian sentuh tubuhnya, racun itu akan menjalar ke tubuh kalian...," kata
kakek itu. Anjarweni dan Ingkanputri memandang tubuh Suropati yang masih belum bergerak.
Mereka pun jadi bergidik ngeri, merasakan kebenaran ucapan kakek yang baru
datang itu. Mendadak Pengemis Binal menggeliat.
"Oughhh.... Siapa nama gadis yang menghadiahkan ciuman tadi...?"
Mendengar itu, Anjarweni dan
Ingkanputri tertawa lebar.
Tapi, kakek berpakaian serba putih yang baru datang itu mengerutkan
kening.... Apa sesungguhnya yang sedang
terjadi dalam diri Pengemis Binal"
Benarkah tubuhnya telah menyimpan racun ganas"
SELESAI Ikutilah kelanjutan kisah ini dalam episode : KEMELUT KADIPATEN BUMIRAKSA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Anak Rajawali 8 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Pedang Ular Mas 17
^