Pencarian

Asmara Maut 1

Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut Bagian 1


ASMARA MAUT Oleh Teguh S. Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Arie
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Teguh S. Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Asmara Maut 128 hal. ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Diedit Oleh: Aura PandRa
1 Seekor kuda hitam legam dan kekar
berjalan lambat-lambat mendekati sebuah pondok kecil beratapkan rumbia di
tengah-tengah Hutan Ganda Mayit. Saat itu matahari belum lagi menampakkan
sinarnya. namun burung-burung sudah berkicau riuh disambut kokok ayam hutan.
Sebentar lagi sang surya akan muncul, kabut masih kelihatan tebal menyelimuti
seluruh hutan ini.
Kuda hitam itu berhenti tepat di
depan pondok. Kaki depannya
menggaruk-garuk tanah dengan kepala terangguk-angguk. Di atas punggungnya yang
kekar berotot, terkulai seseorang mengenakan baju warna biru yang sudah compang-
camping di beberapa tempat.
Rambutnya yang panjang hitam, tergerai menutupi wajahnya. Darah masih menitik
dari luka-luka di tubuhnya.
Kreeekkk.... Pintu pondok itu terkuak
perlahan-lahan. Dari dalam muncul
seorang wanita tua bungkuk mengenakan pakaian kumal yang sudah pudar warnanya.
Wanita tua itu kelihatan terkejut
melihat ada kuda di depan pondoknya.
Lebih terkejut lagi dia manakala melihat ada seseorang terkulai di punggung kuda
itu. Dengan langkah terseret, perempuan itu bergegas menghampiri. Tangan yang kecil
keriput itu, ternyata dengan mudah bisa menurunkan penunggang kuda itu.
Tubuh terbalut baju biru dengan banyak luka, dikepit di ketiaknya. Kembali dia
menyeret kakinya masuk ke dalam pondok.
Bagaikan mengangkat sekarung kapas saja layaknya, dan ringan sekali dia
meletakkan tubuh itu di balai-balai bambu yang beralaskan tikar pandan.
"Ah, cantik sekali.... Kenapa bisa terluka...?" desahnya bergumam pada diri
sendiri. Tubuh ramping yang tergolek di atas balai-balai bambu itu memang seorang wanita
muda yang cantik berkulit putih bersih. Dari senjata yang terselip di perutnya,
dan pedang yang tersampir di punggung, sudah dapat dipastikan kalau wanita itu
adalah Pandan Wangi.
"Kajar...!" teriak perempuan tua bungkuk itu memanggil seseorang.
"Ya, Nek...!" sebuah suara kecil menyahuti, disusul munculnya seorang anak laki-
laki berusia sekitar sebelas tahun.
"Nek Ringgih memanggilku?"
"Iya! Cepat ke sini!"
"Lho! Siapa itu, Nek?" Kajar kaget melihat ada orang tcrbaring di
balai-balai. "Jangan banyak tanya, cepat siapkan ramuan luka luar!" sentak Nek Ringgih.
Kajar bergegas kembali ke belakang.
Sementara Nek Ringgih mencopot seluruh pakaian Pandan Wangi. Dia mengambil kain
lusuh dan menutupi tubuh polos itu. Nek Ringgih memandangi dua senjata di
tangannya, lalu meletakkannya di atas kepala Pandan Wangi. Dua buah senjata yang
berlainan bentuknya. Satu bentuknya pedang biasa, satunya lagi berupa kipas dari
baja putih. Senjata kipas itulah yang membuat nama Pandan Wangi terkenal sebagai
si Kipas Maut. Nek Ringgih memeriksa tubuh yang
penuh luka itu. Kebanyakan luka-lukanya hanya goresan-goresan. Memang ada
beberapa yang cukup dalam. Kepala perempuan tua itu tergeleng-geleng
beberapa kali. Bibirnya yang keriput kempot, berdecak-decak bagai cicak.
"Sudah, Nek," Kajar muncul lagi membawa sebaskom air dan beberapa ramuan
terbungkus kain putih.
"Taruh di situ," kata Nek Ringgih menunjuk meja kecil dekat balai-balai bambu
ini. Kajar memperhatikan Nek Ringgih
mengobati luka-luka di tubuh Pandan.
Setiap jenis ramuan dan keadaan luka diperhatikan dengan seksama. Otaknya
berputar mengingat-ingat semua yang dilakukan Nek Ringgih.
"Bagaimana, Nek?" tanya Kajar setelah Nek Ringgih membasuh tangannya di baskom.
"Siang nanti juga sudah sadar,"
sahut Nek Ringgih seraya bangkit
berdiri. "Tunggui dia, aku mau cari
daun-daunan dulu."
"Iya, Nek."
"Oh...," Pandan Wangi merintih lirih.
Kajar menatap Pandan Wangi yang
mulai sadarkan diri. Dia segera
menghampiri dan mengambil kain basah, lalu diletakkan di kening gadis itu.
Sedikit demi sedikit Pandan Wangi
membuka kelopak matanya. Dia
memijat-mijat keningnya yang terasa mau pecah berdenyut-denyut Pandangannya
masih kabur berkunang-kunang. Kepalanya bagai terbelenggu ribuan kati besi.
"Nek...! Dia sudah sadar!" teriak Kajar keras.
Nek Ringgih tergopoh-gopoh datang
menghampiri. Langkahnya terseret dengan tubuh bungkuk. Tapi dia tidak
menggunakan tongkat untuk membantu berjalan.
"Ohhh..., di mana aku...?" rintih Pandan Wangi lirih.
"Tenanglah, anak manis," bujuk Nek Ringgih.
"Ah!" Pandan Wangi terkejut mendapati dirinya berada di sebuah pondok ditunggui
seorang perempuan tua dan seorang anak laki-laki kecil. Pandan Wangi berusaha
bangkit, tapi dicegah Nek Ringgih.
"Jangan bergerak dulu. Kau masih lemah."
"Siapa kalian?" tanya Pandan Wangi.
"Di mana aku?"
"Kau di gubukku, anak manis. Aku Nek Ringgih, dan ini cucuku, Kajar."
"Oh, kepalaku...," lagi-lagi Pandan Wangi merintih.
Tanpa diperintah lagi, Kajar
buru-buru memijat-mijat kepala Pandan Wangi. Ada seulas senyum di bibir gadis
itu, tapi tipis sekali sehingga hampir tidak terlihat.
"Terima kasih," ucap Pandan Wangi pelan.
"Sudahlah, kau istirahat dulu.
Jangan berpikir yang macam-macam, kau masih terlalu lemah," kata Nek Ringgih.
"Hhh...," Pandan Wangi mendesah panjang Dia memejamkan matanya kembali.
Lama juga Pandan Wangi tidak
membuka-buka matanya. Gerak napas di dadanya kelihatan teratur lembut. Rona
merah segar kembali menjalari wajahnya yang pucat pasi. Tubuhnya yang dingin,
kini sudah terasa hangat kembali.
"Apakah dia pingsan lagi, Nek?"
tanya Kajar. "Tidak, dia sedang bersamadi,"
sahut Nek Ringgih.
"Apa itu samadi?" tanya Kajar.
"Seperti yang sering aku lakukan."
"Tapi, kenapa tidak di dalam kamar khusus?"
"Bersamadi bisa dilakukan di mana saja, apalagi bagi seorang pendekar...."
"Dia pendekar, Nek?" pelan sekali suara Kajar, seperti takut terdengar Pandan
Wangi. "Mungkin, nanti kita juga tahu.
Sudahlah, jangan banyak tanya!"
Kajar langsung terdiam. Matanya
memandangi wajah Pandan Wangi yang sudah kelihatan segar kembali. Perlahan-lahan
kelopak mata gadis itu terbuka kembali.
Bibirnya langsung menyunggingkan
senyum. Nek Ringgih tidak mencegah lagi ketika Pandan Wangi beringsut duduk.
Gadis itu membetulkan letak kain yang membelit tubuhnya. Dia duduk bersila
sambil mengatur jalan napasnya, dan menormalkan kembali jalan darahnya.
"Minumlah ini," Nek Ringgih menyodorkan cawan berisi ramuan
obat-obatan. "Apa ini?" tanya Pandan Wangi seraya menerima cawan itu.
"Obat."
Tanpa ragu-ragu lagi, Pandan Wangi meneguk habis cairan hitam kecoklatan di
dalam cawan itu. Memang tidak enak rasanya, tapi dihabiskan juga. Kajar
mengambil cawan kosong itu dari tangan Pandan Wangi dan meletakkannya di atas
meja. Dia kembali duduk di tepi
pembaringan. "Bagaimana rasanya?" tanya Nek Ringgih.
"Mendingan, Nek," sahut Pandan Wangi. "Terima kasih, kau telah menolongku."
"Ah, sudahlah. Sesama manusia sudah seharusnya saling tolong menolong. Oh ya,
siapa namamu?"
"Pandan Wangi."
"Boleh aku memanggilmu Kak Pandan?"
celetuk Kajar. "Tentu saja."
Kajar berseri-seri wajahnya.
"Senang sekali, aku punya teman sekarang."
"Hush! Kajar!" sentak Nek Ringgih.
"Habis aku selalu bermain sendiri, tidak punya teman satupun juga.
Paling-paling temanku hanya si Gembel!"
rungut Kajar. "Siapa itu Gembel?" tanya Pandan Wangi.
"Itu..., kambing yang bulunya acak-acakan."
"Ooo...," Pandan Wangi tersenyum dikulum.
"Sudahlah, jangan banyak bicara dulu. Kau masih perlu istirahat," Nek Ringgih
menengahi. "Tidak apa, Nek. Aku senang kok,"
sahut Pandan Wangi tersenyum manis.
"Bagaimana juga, kau masih perlu istirahat. Lagi pula Kajar masih punya tugas
yang belum diselesaikan."
"Oh, iya! Huh, kenapa jadi pelupa begini"!" Kajar menggedik kepalanya sendiri.
"Aku tinggal dulu, Kak Pandan.
Nanti kita ngobrol lagi, ya?"
Pandan Wangi hanya tersenyum saja
melihat tingkah bocah itu. Kajar
berjingkat-jingkat menuju ke bagian belakang pondok ini.
"Anak itu nakalnya bukan main, tapi dia sangat cerdas dan penurut. Aku sangat
sayang padanya. Dialah satu-satunya penghiburku di masa senja ini," kata Nek
Ringgih. "Namanya juga anak-anak, Nek. Aku juga suka pada anak-anak," Pandan Wangi
menimpali. "Oh, ya. Bajumu rusak berat, aku terpaksa menggantinya dengan yang baru.
Mudah-mudahan saja cocok untuk tubuhmu,"
Nek Ringgih mengalihkan pembicaraan.
"Ah, merepotkan sekali. Terima kasih, Nek."
Nek Ringgih menyerahkan bungkusan
ke pangkuan Pandan Wangi. Gadis itu membukanya. Betapa terharunya dia
melihat pakaian berwarna biru yang bagus dan indah. Bahannya memang bukan dari
kain yang mahal, tapi ukurannya tentu sangat pas untuknya. Pandan Wangi
langsung memeluk perempuan tua itu, dan mengucapkan terima kasih beberapa kali.
"Aku mau membuat ramuan dulu. Ganti bajumu, lalu istirahat lagi," kata Nek
Ringgih seraya melepaskan pelukan Pandan Wangi. Dia kemudian bangkit berdiri.
"Terima kasih, Nek," ucap Pandan Wangi terharu.
Nek Ringgih hanya tersenyum saja,
kemudian melangkah pergi ke ruangan belakang pondok ini. Pandan Wangi
memandangi pakaian baru pemberian Nek Ringgih. Kemudian dia mengenakannya.
Benar-benar cocok dengan ukuran
tubuhnya. Gadis itu memandangi dua senjata pusakanya yang teronggok di kepala
dipan bambu ini. Dia hanya
memandangi saja tanpa menyentuhnya. Lalu kembali membaringkan tubuhnya. Pandan
Wangi melakukan samadi lagi untuk
mengembalikan tenaga dan kesehatannya.
Tanpa terasa Pandan Wangi sudah satu pekan berada di rumah Nek Ringgih.
Kondisi tubuhnya juga sudah kembali seperti semula. Bahkan dia sudah mulai
melakukan latihan-latihan ringan untuk melemaskan otot-ototnya. Tapi Pandan
Wangi sering menyendiri melamun.
Seringkali Nek Ringgih memergokinya pada saat dia menyendiri melamun, dan setiap
kali ditanyakan, selalu dijawab dengan senyum.
Pandan Wangi tidak ingin membebani perempuan baik hati itu dengan persoalan yang
sedang dihadapinya. Dia selalu menyimpannya di dalam hati. Memang tidak mudah
untuk mengatakan semua yang tengah mengaluti hatinya saat ini. Persoalan yang
sangat pribadi sekali sifatnya.
"Melamun lagi...?" tegur Nek Ringgih sore itu.
"Oh, Nek...!" Pandan Wangi tersentak kaget.
"Setiap hari kau selalu menyendiri dan melamun. Katakan apa yang kau
pikirkan, mungkin aku bisa membantu,"
pinta Nek Ringgih mendesak. Sudah se-ringkali dia menanyakan hal itu.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja.
Nek Ringgih bisa merasakan kepahitan dalam senyum itu. Pandangan Pandan Wangi
lurus dan kosong ke depan.
"Aku bisa merasakan, kau
menyembunyikan sesuatu,"
desak Nek Ringgih. "Ah, tidak...," desah Pandan Wangi berusaha menyembunyikan perasaan
hatinya yang semakin galau tidak
menentu. "Baiklah kalau kau tidak mau
mengatakannya. Tapi aku ingin tahu, kenapa kau sampai terluka?" Nek Ringgih
sedikit mengalah.
"Aku bertarung dan kalah," sahut Pandan Wangi berdusta.
"Puluhan tahun aku menjadi ahli pengobatan. Mestinya aku tahu
jenis-jenis luka...," gumam Nek Ringgih.
Pandan Wangi terdiam. Gumaman Nek
Ringgih merupakan sindiran baginya.
Sudah pasti perempuan tua itu tahu kalau luka yang diderita Pandan Wangi bukan
dari pertarungan. Pandan Wangi tidak ingin mendustai perempuan tua baik hati
ini, tapi dia tidak tahu harus berkata apa lagi" Dia tidak ingin orang lain
mengetahui persoalannya. Dia malu, karena ini menyangkut...
"Kajar sangat suka padamu. Dia telah menganggapmu sebagai kakaknya sendiri, dan
aku juga menganggapmu sebagai cucuku sendiri. Mungkin aku terlalu banyak
berharap..., ah, sudahlah! Aku memang tidak perlu mengetahui semua
persoalanmu," kata Nek Ringgih pelan.
"Nek...!" Pandan Wangi mencegah Nek Ringgih yang mau meninggalkannya.
"Kau tidak ingin mengatakan padaku, kan?"
Pandan Wangi terdiam. Hatinya
bertambah kacau. Dia tidak bisa
melakukan yang terbaik. Persoalannya memang sepele, tapi menyangkut harga
dirinya sebagai seorang pendekar wanita.
Menyangkut perasaannya yang paling dalam dan sukar dimengerti. Dia sendiri tidak
tahu, apakah....
"Aku..., aku bingung, Nek...,"


Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lirih suara Pandan Wangi.
"Apa yang membuatmu bingung?" tanya Nek Ringgih seraya duduk di akar yang
menyembul ke luar dari dalam tanah.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu.
Sepertinya aku tidak lagi mengenal siapa diriku sebenarnya. Rasanya aku sudah
mati.... Yah... seharusnya aku memang sudah mati...," suara Pandan Wangi semakin
pelan. "Ceritakan, apa yang terjadi
sebenarnya?" pinta Nek Ringgih.
"Aku malu, Nek. Aku...."
"Kenapa harus malu" Tidak semua orang bisa memecahkan persoalannya tanpa bantuan
orang lain. Dan tidak semua persoalan bisa terpendam lama di dalam hati."
Lagi-lagi Pandan Wangi terdiam.
Rasanya masih berat untuk mengatakan perasaan hatinya pada perempuan tua ini.
Beberapa kali dia mendesah panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya yang
terasa sesak. "Nek Ringgih mau berjanji untukku?"
"Janji apa?"
"Tidak mengatakannya pada orang lain "
Nek Ringgih mengangguk.
"Terima kasih, Nek."
"Nah, ceritakanlah."
Sebentar Pandan Wangi terdiam,
mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk dikeluarkan. Nek Ringgih menunggu dengan
sabar. Hatinya yang tua dan kenyang makan asam garamnya kehidupan dunia bisa
merasakan kegundahan hati gadis itu.
"Aku memang tidak kalah dalam bertarung, Nek. Tapi aku kalah daripada bertarung
yang sesungguhnya. Rasanya lebih baik aku kalah bertarung daripada kalah seperti
ini. Terlalu menyakitkan sekali. Aku malu..., malu sekali, Nek,"
Pandan Wangi memulai.
"Teruskan," pinta Nek Ringgih,
"Aku gagal melaksanakannya, Nek.
Jurang itu terlalu lebar dan..., oh,"
Pandan Wangi menutup mukanya.
Nek Ringgih membiarkan saja Pandan Wangi menguras air matanya. Dia masih belum
begitu mengerti dengan cerita itu.
Namun masih juga bersabar menunggu sampai tuntas.
"Aku meluncur masuk ke dalam jurang.
Padahal dia sudah berusaha menolongku, tapi tubuhku terlalu berat, dan cepat
sekali turun ke bawah. Rasanya waktu itu aku sudah mati, Nek. Tubuhku terbanting
keras di dalam jurang. Untunglah...."
"Kenapa?"
"Aku jatuh tepat di tengah sungai yang berair deras. Aku hanyut dan tidak
sadarkan diri. Saat aku sadar, sudah berada
di dalam kurungan seperti
binatang. Yah..., aku ditawan oleh gerombolan Dewi Sri Tungga Buana. Saat itu
aku masih bisa bersyukur karena belum mati, tapi...," lagi-lagi Pandan Wangi
terputus ceritanya.
"Apa lagi yang terjadi?" tanya Nek Ringgih.
"Mereka menyeretku kembali ke atas jurang itu. Aku sempat melihat dia masih ada
di seberang. Aku berusaha meminta tolong, tapi mereka kembali
menjerumuskan aku ke jurang itu. Aku berusaha untuk mengerahkan ilmu
meringankan tubuh dan menggenjot tubuhku ke tepi. Tapi sebatang pohon
menghalangi usahaku. Tubuhku terbentur keras sekali, kembali aku tidak sadarkan
diri dan tersangkut pada akar pohon yang keluar dari tanah."
"Bagaimana kau bisa ke luar dari jurang itu?" tanya Nek Ringgih.
"Entah berapa lama aku tidak
sadarkan diri. Setelah aku sadar,
berusaha merayap naik ke atas. Tapi di sana tidak ada lagi siapa-siapa. Aku
tidak lagi peduli dengan ranting tajam dan duri yang mengoyak tubuhku."
"Dan kuda itu, punya siapa?" tanya Nek Ringgih menunjuk seekor kuda hitam di
dalam kandang samping pondok.
"Aku tidak tahu, aku menemukannya di tepi jurang sedang merumput"
"Sejak tadi kau menyebut-nyebut dia. Siapa dia?" tanya Nek Ringgih lagi.
Pandan Wangi tidak langsung
menjawab. "Dia yang menyuruhmu melompati jurang?" kejar Nek Ringgih lagi.
"Nek...," tatapan mata Pandan Wangi seperti meminta pengertian perempuan tua
itu. "Dia kekasihmu?" tebak Nek Ringgih tidak peduli.
Pandan Wangi tidak menjawab sama
sekali. Masih sulit baginya untuk
mengatakan hal itu. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa rasanya sulit untuk
menyebutkan namanya. Dan hatinya juga sangat malu sekali bila mengingatnya.
Pandan Wangi tidak mengerti, perasaan apa yang tengah dia rasakan sekarang.
Tapi setiap kali dia mengingat peristiwa memalukan itu, setiap kali pula wajah
tampan itu selalu menggoda. Ada setitik kerinduan di dalam hatinya, tapi Pandan
Wangi tak kuasa untuk bertemu muka kembali.
"Puluhan tahun aku hidup, Pandan.
Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan sekarang. Setiap manusia pasti akan
mengalaminya. Bukan manusia normal namanya kalau tidak mengenal cinta,"
kata Nek Ringgih penuh kasih.
"Cinta..."!" Pandan Wangi tersentak.
"Tidak perlu malu mengakui kalau kau sedang jatuh cinta. Aku juga pernah
mengalaminya, tapi itu sudah lama
berlalu dan kini hanya tinggal kenangan saja."
"Tapi, Nek...."
"Tidak perlu menyangkal, Pandan.
Sorot matamu tidak bisa menipu. Kau malu bertemu lagi dengannya, karena kau
tidak bisa menunjukkan kedigdayaanmu. Kau tidak perlu merasa malu atau rendah
diri kalau tidak ada perasaan apa-apa
padanya. Lagipula, cinta bukanlah
sesuatu yang harus ditutupi, sejak lahir manusia sudah merasakan itu, dan akan
terus merasakannya sampai ke liang kubur. Kalau kau merasa dirimu makhluk mulia,
kau tidak bisa menolak kehadiran perasaan itu di hatimu. Bahkan malah
sebaliknya, kau harus bangga karena masih punya rasa cinta di balik
kehidupanmu yang keras penuh tantangan."
"Oh, Nek...."
"Cinta itu suatu kodrat yang harus dinikmati dan disyukuri. Cinta bukanlah
sesuatu yang buruk, yang harus ditutupi dan dipendam dalam-dalam. Cinta itu suci
dan indah bila dihayati arti sucinya karena cinta adalah suatu anugrah yang
tertinggi nilainya. Tapi tidak sedikit manusia yang menyalahgunakan arti cinta
yang sesungguhnya," panjang lebar Nek Ringgih menjabarkan arti cinta pada gadis
itu. "Nek...," Pandan Wangi tidak bisa berkata-kata lagi.
Nek Ringgih membiarkan saja Pandan Wangi menangis di pangkuannya.
Bagaimanapun juga, Pandan Wangi adalah wanita, meskipun dia seorang pendekar
yang tangguh dan selalu bergelimang darah serta tantangan hidup dalam
mengarungi rimba yang luas ini.
Bagaimanapun kerasnya hati seseorang, suatu saat pasti akan luruh juga. Dan itu
dialami Pandan Wangi saat ini.
*** 2 "Suiiit..!"
Satu siulan panjang melengking
tinggi menggema memecah kesunyian tepian jurang Bukit Arang Lawu. Suara itu
jelas mengandung tenaga dalam yang sempurna dan bernada aneh. Siulan itu datang
dari seorang laki-laki muda berwajah tampan dengan pedang bergagang kepala
burung di punggung. Baju rompi putih
berkibar-kibar dipermainkan angin.
"Khraghk!"
Terdengar suara nyaring serak dari angkasa. Pemuda yang tidak lain adalah
Pendekar Rajawali Sakti itu
menengadahkan kepalanya memandang titik di angkasa. Semakin lama titik itu
semakin kelihatan jelas bentuk dan rupanya. Itulah burung rajawali raksasa
tunggangan sekaligus guru dari Rangga si Pendekar Rajawali Sakti. Burung
rajawali raksasa itu mendarat tepat di depan Rangga.
"Aku perlu bantuanmu untuk menuruni jurang ini, Rajawali Sakti," kata Rangga.
"Khraghk!"
Rangga melompat naik ke punggung
burung raksasa itu. Tanpa diperintah lagi, burung rajawali sakti itu
mengepakkan sayap-sayapnya yang lebar.
Tubuhnya melayang dan berputar beberapa kali di atas jurang yang besar dan
dalam. Begitu dalamnya jurang ini, sehingga dasarnya tidak kelihatan. Hanya kabut tebal
yang menutupi jurang itu.
"Turun sampai ke dasar, Sahabat!"
kata Rangga. Rangga merasakan udara di dalam
jurang ini begitu lembab dan dingin.
Semakin masuk ke dalam, semakin gelap dan berkabut tebal. Rangga mengerahkan aji
'Tatar Netra' yang diperolehnya dari buku peninggalan Pendekar Rajawali yang
hidup ratusan tahun yang lalu. Dengan ajian tersebut dia bisa melihat jelas
bagaikan melihat di bawah cahaya
matahari. "Hup!"
Rangga segera melompat turun dari
punggung rajawali raksasa begitu sampai di dasar jurang. Sebentar dia mengamati
keadaan. Rongga dasar jurang ini sangat luas, dan di tengah-tengahnya mengalir
sungai yang sangat deras. Airnya
berwarna merah bagai darah.
Tulang-tulang tengkorak manusia dan binatang berserakan.
"Terima kasih, Rajawali Sakti. Kau bisa kembali sekarang," kata Rangga seraya
menepuk-nepuk leher burung
raksasa itu. "Khraghk!"
Burung rajawali raksasa itu
mengepakkan sayapnya, dan kembali
membumbung tinggi meninggalkan dasar jurang ini. Rangga kemudian mengedarkan
pandangannya berkeliling. Hidungnya kembang kempis mencium bau busuk yang sangat
menyengat. Bau busuk itu datang dari mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar
dasar jurang ini. Rangga
memperhatikan mayat-mayat itu.
"Hm..., semuanya perempuan," gumam Rangga mendesah.
Rangga meneliti satu per satu
mayat-mayat itu. Dia berusaha keras untuk menahan bau busuk yang semakin
menyengat memualkan. Sudah semua mayat dia periksa, dan desahnya terdengar
panjang. "Ada beberapa yang berbaju biru, tapi tidak ada satu pun dari mereka Pandan
Wangi. Ah..., di manakah kau sekarang,
Pandan...," desah Rangga
bergumam. Jelas sekali dia melihat Pandan
Wangi masuk ke dalam jurang ini dua kali.
Yang pertama karena kesalahannya
menyuruh gadis itu menyeberang lebih du-lu, dan yang ke dua Pandan Wangi sengaja
diceburkan oleh orang-orang Puri Merah atas perintah Dewi Sri Tungga Buana.
Tapi, diantara mayat-mayat ini..., tidak satu pun ada Pandan Wangi.
"Hsss...!"
Rangga tersentak kaget ketika
mendengar suara mendesis yang keras dari arah belakang. Begitu dia berbalik,
kedua matanya terbelalak dan mulutnya ternganga lebar. Hampir dia tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Oh...."
*** "Ya, Tuhan..., apakah aku sedang berhadapan dengan penguasa dasar jurang ini?"
desah Rangga pelan.
Di hadapan Rangga menjulur seekor
ular yang besar sekali. Lingkar tubuhnya lebih besar dari pohon beringin tua.
Kepalanya bertanduk dengan mahkota di tengah-tengahnya. Lidahnya yang
bercabang menjulur-julur ke luar.
Matanya bagai bola api menatap tajam pada Rangga. Sebagian tubuhnya terendam air
sungai berwarna merah. Tampak sepasang kaki menyembul ke luar ketika kepala ular
besar itu terangkat naik.
"Hosss...!"
"Heh! Hooop.,.!"
Rangga kaget bukan main ketika
tiba-tiba ular raksasa itu menyerangnya.
Secepat kilat Rangga menghindar dengan melompat ke belakang. Moncong sebesar
gentong itu menyeruduk tanah yang
dipijak Rangga tadi. Ular raksasa itu mendesis marah melihat calon mangsanya
luput dari terkaman.
Byar! "Hih!"
Rangga. membanting dirinya ke tanah dan bergulingan menghindari semburan api
yang ke luar dari mulut ular raksasa itu.
Bukan alang kepalang kagetnya dia
melihat batu sebesar kerbau hancur jadi debu kena semburan api itu. Rangga
bergegas bangun, dan langsung siap untuk menerima serangan yang berikutnya.
Dan ketika kepala ular raksasa itu menyerang dengan cepat, seketika itu pula
tubuh Rangga melenting ke udara, lalu bagaikan kilat dia menukik seraya me-
ngerahkan jurus 'Rajawali Menyambar Mangsa'. Pukulan dan tendangan Pendekar
Rajawali Sakti itu telak dan beruntun menghantam kepala ular raksasa itu.
"Edan!" rungut Rangga.
Ular raksasa itu hanya menggeram
sedikit, dan langsung berbalik menyerang lagi. Rangga mengubah jurusnya jadi
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Kedua tangannya terentang bagai sepasang sayap, dan kakinya bergerak lincah
menghindari setiap serangan ular raksasa itu. Beberapa kali tangannya menyambar
menghantam tubuh dan kepala ular itu, namun sama sekali tidak berpengaruh.
Bahkan binatang raksasa itu semakin buas saja.
'"Pukulan Maut Paruh Rajawali',"
desis Rangga. Seketika itu juga kedua tangan Rangga jadi merah membara. Dan
dengan kecepatan bagai kilat, dia
menghantamkan pukulannya ke tubuh ular raksasa itu.
"Yeaaah...!"
Glarrr! Suara ledakan keras terdengar
begitu kedua tangan Rangga mendarat telak di bawah kepala ular raksasa itu.
"Akh!" Rangga memekik tertahan.
Seluruh tubuhnya bergetar habat,
dan dia terpental beberapa depa jauhnya.
Ular raksasa itu tetap tidak kurang suatu apapun. Pendekar Rajawali Sakti itu
terperangah hampir tidak percaya. Batu cadas sebesar bukit bisa hancur oleh
pukulan mautnya itu, tapi ular raksasa ini... terluka saja dia tidak.
"Huh! Terpaksa...," desah Rangga mendengus.
Sret! Cahaya biru menyebar terang ketika Pendekar Rajawali Sakti itu mencabut pedang
dari warangkanya. Rangga berdiri tegak dengan pedang Rajawali Sakti menyilang di
depan dada. Matanya sedikit menyipit melihat ular raksasa itu
bergerak mundur. Kepalanya miring ke kiri dan ke kanan beberapa kali.
Sepertinya dia silau melihat cahaya yang terpancar dari pedang itu.
"Anak muda, siapa kau" Dari mana kau peroleh Pedang Rajawali Sakti itu?"
"Heh! Kau...."
*** Bukan main terkejutnya Rangga
mendengar ular raksasa itu bisa
berbicara seperti manusia. Pendekar Rajawali Sakti itu sampai terlonjak ke
belakang sejauh dua batang tombak. Paras wajahnya diliputi keheranan bercampur


Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketidakpercayaan.
"Kau.... Kau bisa bicara?" tanya Rangga tidak percaya dengan
pendengarannya sendiri.
"Apa telingamu sudah tuli, heh"!"
bentak ular raksasa itu.
"Tidak..., aku tidak bermimpi. Dia benar-benar bicara," Rangga seperti orang
tolol. "Jangan berlagak bodoh, anak muda!
Dari mana kau peroleh pedang pusaka keramat itu?"
Rangga memandang pedang di
tangannya. Kemudian dia memasukkan kembali ke warangkanya di punggung.
Cahaya biru langsung lenyap tak
berbekas. Tapi sikapnya masih tetap waspada, meskipun diliputi rasa tidak
percaya dan keheranan yang amat sangat.
Baru kali ini dia bertemu dengan seekor ular raksasa aneh yang bisa bicara.
Rangga baru menyadari kalau binatang itu adalah seekor naga bermahkota.
Sungguh sulit dipercaya. Rangga
sering mendengar cerita tentang naga, dan dia tidak pernah mau percaya dengan
cerita dongeng rakyat itu. Tapi sekarang..., naga dalam dongeng itu kini ada di
depannya. Dan semua itu bukanlah mimpi, tapi kenyataan yang di luar kemampuan
akalnya. "Kenapa bengong" Apa kau mendadak jadi dungu"!" bentak naga raksasa itu.
"Heh...!" Rangga masih juga tersentak kaget. "Kau..., kau mengetahui
pedangku...?"
"Dari mana kau peroleh" Kau
mencuri?" "Dari guruku," sahut Rangga setelah menenangkan dirinya.
"Jangan main-main, anak muda!
Pemilik pedang itu sudah muksa sebelum nenek moyangmu lahir!"
"Mau percaya atau tidak, terserah!
Aku bicara benar."
"Kau memang menguasai jurus-jurus Rajawali Sakti, tapi aku belum mau percaya
sebelum kau perlihatkan
penguasaan pedang pusaka itu."
"Untuk apa" Kau tidak akan percaya."
"Cabut pedang itu! Tunjukkan
padaku," perintah naga raksasa itu.
Kaget juga Rangga dibuatnya. Suara bentakan itu keras dan menggelegar, namun
terdengar sangat berwibawa.
Perlahan-lahan Rangga mencabut pedang Rajawali Sakti dari warangkanya. Dia pun
segera membuka jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hm, rupanya kau juga telah
mempelajari jurus 'Pedang Pemecah
Sukma'. Bagus! Serang aku!" kata naga raksasa itu.
"Hey! Kau tahu jurus itu?" Rangga tersentak kaget.
"Jangan banyak bacot! Serang aku!"
bentak naga raksasa itu.
"Baik, demi kebenaran, aku tidak akan sungkan-sungkan," Rangga menjawab
tantangan itu. Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melancarkan
serangan-serangan ke tubuh naga raksasa itu. Beberapa kali pedangnya menyabet
tubuh naga itu, tapi setiap kali mata pedangnya membentur tubuh naga itu, Rangga
merasakan tangannya jadi bergetar kesemutan.
"Huh! Cuma sampai di situ kau mencuri ilmu warisan keramat!" dengus naga itu.
"Aku bukan pencuri! Terimalah ilmu pamungkasku!" rungut Rangga panas dikatakan
pencuri. Rangga melintangkan pedangnya di
depan dada. Dia menempelkan telapak tangan kirinya ke mata pedang.
Perlahan-lahan dia menggosok mata pedang itu. Cahaya biru bergumpal-gumpal di
ujung pedang. "Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
teriak Rangga menggelegar.
"Hiyaaa...!" Glarrr...!
Suara ledakan dahsyat terdengar
bagai guntur di angkasa. Rangga hampir saja menarik kembali ajiannya melihat
naga raksasa itu diam saja, tapi
terlambat. Aji 'Cakra Buana Sukma' sudah lebih dulu menghantam naga itu.
"Hah..!"
Rangga melongo melihat naga itu
tetap utuh. Hampir dia tidak percaya kalau aji pamungkasnya tidak berarti sama
sekali pada binatang melata raksasa itu.
"Gila! Apakah dia dewa yang turun ke mayapada ini...?" gumam Rangga setengah
tidak percaya. "Kau tidak sepenuh hati melepaskan aji 'Cakra Buana Sukma', Anak Muda," kata
naga itu. Rangga tidak menyahuti. Dia memang tidak mengerahkan tenaga penuh, tapi walaupun
begitu, belum ada yang bisa menandingi aji 'Cakra Buana Sukma'.
Rangga seperti pasrah jika dia harus mati di dasar jurang ini. Dia yakin kalau
naga ini bukanlah sembarangan ular. Tidak ada lagi yang dia miliki, semuanya
sudah terkuras, dan naga itu masih tetap segar tanpa cidera sedikit pun.
"Mau coba lagi, Anak Muda?" naga itu menawarkan.
'Tidak!" sahut Rangga tegas.
"Ha ha ha...!"
Begitu banyak yang ditanyakan naga raksasa itu, dan Rangga menjawabnya dengan
gamblang tanpa ada yang ditutupi atau ditambahkan. Semakin banyak Rangga membuka
diri, semakin yakin naga itu kalau Rangga adalah pewaris tunggal yang syah ilmu-
ilmu Pendekar Rajawali yang hidup ratusan tahun lalu.
"Hm..., jadi yang mengajarkanmu jurus-jurus Rajawali Sakti itu adalah burung
rajawali raksasa?" gumam naga raksasa itu seperti bertanya untuk dirinya
sendiri. "Benar, dan aku memperdalamnya dari membaca buku peninggalan Guru Pendekar
Rajawali" sahut Rangga.
"Ratusan tahun aku hidup di dasar jurang ini. Belum ada satu pun manusia yang
bisa keluar hidup-hidup dari sini.
Aku percaya kau murid tunggal sahabatku.
Hanya burung rajawali raksasa sajalah yang mampu ke luar masuk jurang ini,"
kata naga raksasa itu.
"Kau sahabat guruku...?" Rangga seperti tidak percaya.
"Benar! Ratusan tahun yang lalu aku dikenal dengan nama Satria Naga Emas. Aku
dan Pendekar Rajawali adalah dua sahabat yang tidak terkalahkan. Kami jadi jemu
dan mengasingkan diri hingga muksa."
Rangga mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia memang pernah membaca dalam satu buku tentang Satria Naga Emas
yang menjadi sahabat kental Pendekar Rajawali. Tidak diduga sama sekali,
sekarang dia berhadapan muka dengan sahabat gurunya yang hidup ratusan tahun
lalu. Sesaat Rangga mengernyitkan
keningnya ketika tubuh naga raksasa itu mengepulkan asap tipis.
Asap itu semakin lama semakin
menebal dan menyelimuti tubuh naga raksasa itu hingga lenyap dari
pandangan. Rangga melompat mundur ketika air sungai berwarna merah darah itu
bergolak mendidih memperdengarkan suara gemuruh yang amat dahsyat. Dan bersamaan
dengan lenyapnya asap yang menyelimuti tubuh naga raksasa itu, di tengah-tengah
sungai muncul sebuah bangunan megah bagai istana. Bangunan itu seluruhnya
berwarna merah darah, dan atapnya
berkilau bagai bermandikan mutiara.
"Heh...!"
Rangga tersentak ketika tubuh naga itu berubah wujud jadi seorang manusia tampan
mengenakan pakaian indah
bersulamkan benang-benang emas
berkilauan. Wajahnya yang putih bersih bercahaya. Sinar matanya tajam, namun
mengandung kewibawaan dan kearifan.
Rambutnya yang panjang lebat tergelung ke atas kepala.
Pendekar Rajawali Sakti itu makin
ternganga saat melihat pintu istana merah itu terbuka. Dari dalam muncul
beberapa orang laki-laki dan perempuan.
Semuanya mengenakan pakaian indah
bersulam benang emas. Tampan-tampan dan cantik-cantik paras wajahnya. Kulitnya
juga putih bersih bagai orang-orang dari keluarga bangsawan. Orang-orang itu
langsung membentuk lingkaran dan
berlutut di depan laki-laki tampan jelmaan ular naga raksasa.
"Si..., siapa kau...?" tanya Rangga tergagap.
"Akulah Satria Naga Emas, raja dari segala ular-ular di dunia ini," sahut Satria
Naga Emas. Suaranya dalam dan berwibawa.
"Oh...!" Rangga langsung berlutut memberi hormat.
"Bangunlah, kau tamu kehormatanku.
tidak sepantasnya kau berlaku sungkan begitu," kata Satria Naga Emas.
Rangga bangkit dari berlutut.
Kepalanya tetap tertunduk. Sepertinya dia tidak sanggup membalas tatapan mata
raja ular itu. Tatapan matanya begitu dalam, dan memiliki daya kekuatan yang
amat dahsyat. "Kau murid tunggal sahabatku, Rangga, Aku senang bertemu denganmu, dan itu
berarti aku bisa memenuhi janjiku pada Pendekar Rajawali sebelum kami berpisah
untuk mempersiapkan diri dalam pemuksaan dari mayapada ini," kata Satria Naga
Emas itu lagi. "Janji..." Janji apa?" tanya Rangga.
"Aku dan Pendekar Rajawali punya satu janji. Jika salah satu diantara kami
memperoleh pewaris lebih dulu, maka ia akan menjadi pewaris tunggal dua aliran
ilmu. Yaitu ilmu-ilmu Rajawali Sakti dan ilmu-ilmu Naga Emas. Itu berarti kau
juga adalah muridku," Satria Naga Emas menjelaskan.
Betapa gembiranya hati Rangga
mendengar kata-kata itu. Tapi dia tidak mau menunjukkan dirinya senang akan
mendapatkan ilmu kepandaian lagi. Dia teringat dengan salah satu kalimat yang
pernah dibacanya dalam buku gurunya. Di situ tertera bahwa dirinya tidak
diperkenankan mempelajari ilmu
kesaktian lain selain ilmu-ilmu Rajawali Sakti. Kalau hal ini sampai dilanggar,
maka dia harus berhadapan dengan burung rajawali raksasa bukan sebagai sahabat,
tapi sebagai musuh yang harus
dibinasakan. Teringat dengan kata-kata yang
tertulis di dalam buku gurunya itu, Rangga buru-buru menjura memberi hormat.
Kemudian tangan kanannya menyilang di dada dengan sikap tegak dan mata tajam
memandang Satria Naga Emas.
"Maaf, bukannya aku menolak. Aku bukan seorang murid yang haus akan ilmu
kesaktian. Aku tidak mau jadi
pengkhianat dengan mencampur dua aliran ilmu," kata Rangga tegas.
"Ha ha ha...," Satria Naga Emas tertawa terbahak-bahak. "Apa lagi yang dikatakan
Pendekar Rajawali padamu?"
"Tidak ada," sahut Rangga.
"Suiiit...!" tiba-tiba Satria Naga Emas bersiul nyaring melengking.
Rangga terkejut mendengar suara
siulan itu. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, dari atas muncul seekor burung
rajawali raksasa. Tentu saja Rangga mengenali burung itu. Cepat sekali burung
rajawali raksasa itu mendarat dan langsung hinggap di samping Satria Naga Emas.
"Tanyakan sendiri pada wakil gurumu ini, apakah aku pantas menjadi Paman Gurumu
atau tidak," kata Satria Naga Emas.
Rangga memandang burung rajawali
raksasa itu. Kepala burung itu
terangguk-angguk beberapa kali,
sepertinya dia mengerti kata-kata yang diucapkan Satria Naga Emas dan pandangan
mata Rangga. Burung Rajawali Raksasa itu menjulurkan kepalanya ke arah Rangga,
dan mendesak-desakkan kepalanya ke dada pemuda itu.
"Baiklah," desah Rangga. "Aku harus memanggilmu apa?"
"Paman Guru."
Rangga kembali menjura hormat.
"Ha ha ha..., hebat! Ternyata Pendekar Rajawali juga mengajarkan tata sopan
santun padamu. Bagus aku suka, kau memang pantas menjadi pewaris tunggal dari
dua pendekar digdaya tanpa
tanding," Satria Naga Emas tertawa terbahak-bahak kesenangan. "Mari, selama kau
mempelajari ilmu-ilmu Naga Emas, kau tinggal di istanaku. Juga sahabatmu ini
tinggal bersamaku di sini."
"Terima kasih," ucap Rangga.
"Mari...."
*** Rangga tidak ingat, berapa lama dia berada di istana Satria Naga Emas. Selama
itu pula dia selalu digembleng dalam beberapa jurus dan ilmu kesaktian.
Burung rajawali raksasa selalu menunggui dan memberi petunjuk pada Pendekar
Rajawali Sakti itu. Satria Naga Emas juga gembira, karena Rangga cepat sekali
menangkap maksud-maksudnya.
Selama berada di istana Satria Naga Emas di dasar jurang ini, Rangga selalu saja
teringat dengan Pandan Wangi.
Perasaan bersalah masih menyelimuti dirinya yang telah menyuruh gadis itu
melompati jurang besar ini. Seharusnya dia tahu kalau gadis itu belum mencapai
tahap kesempurnaan dalam ilmu
meringankan tubuh. Setiap kali ada kesempatan sendiri, Rangga selalu
merenung memikirkan Pandan Wangi, dan rupanya ini diperhatikan oleh Satria Naga
Emas maupun burung rajawali
raksasa. "Kau melamun lagi, Rangga," tegur Satria Naga Emas ketika memergoki Rangga
tengah melamun seorang diri.
"Oh!" Rangga buru-buru menjura memberi hormat.
"Apa yang membuatmu melamun?" tanya Satria Naga Emas berwibawa suaranya.
"Tidak apa-apa, Paman Guru," sahut Rangga.
"Hm, sejak pertama kali kau turun ke dasar jurang istanaku, aku sudah menduga
kalau kau sengaja turun dengan satu tujuan. Kau mencari seseorang?" tebak Satria
Naga Emas. Rangga terkejut bukan main
mendengar tebakan yang tepat itu. Tanpa disadari kepalanya terangguk
membenarkan. "Tentunya sangat istimewa sekali, sehingga kau tidak bisa melupakannya,"
sindir Satria Naga Emas.
"Maaf, Paman Guru. Bukannya
isrimewa, tapi aku merasa bersalah karena menyuruhnya melompati jurang ini.
Padahal aku tahu kalau ilmu meringankan tubuhnya belum mencapai taraf sempurna.
Aku tetap merasa bersalah kalau belum menemukannya dalam keadaan hidup atau
mati." "Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Satria Naga Emas.
"Wanita, berkulit kuning langsat, mengenakan baju biru dengan senjata pedang dan
kipas," Rangga menyebutkan ciri-ciri Pandan Wangi atau si Kipas Maut.
"Memang banyak wanita-wanita yang terjun ke jurang ini. Kalau tidak
tersangkut akar pohon, bisa juga
langsung ke dasar. Itu juga ada yang jatuh di tepian sungai, dan ada juga yang
tercebur ke sungai," Satria Naga Emas menjelaskan. Rangga diam termenung.
"Aku tidak pernah peduli dengan mereka yang jatuh ke jurang ini, dan semuanya
pasti sudah tewas. Rakyatku saja yang senang, karena mereka tidak perlu susah-
susah lagi mencari makanan.
Di sekitar jurang sudah banyak makanan yang tersedia," sambung Satria Naga Emas
lagi. Rangga tetap diam. Dia bisa
memaklumi, karena rakyat Satria Naga Emas semuanya terdiri dari bangsa ular.
Dan kebanyakan dari mereka adalah
ular-ular siluman yang bisa merubah ujud jadi manusia. Itu pun hanya bisa
terlihat oleh orang-orang tertentu saja yang memang diperlihatkan, atau punya
kemampuan untuk berhubungan dengan bangsa siluman.
"Mungkin temanmu itu jatuh dan tercebur ke Sungai Merah. Kalau memang jatuh ke
sungai, pasti dia hanyut," kata Satria Naga Emas lagi.
"Ke mana Sungai Merah bermuara?"
tanya Rangga "Sebelah Timur Hutan Ganda Mayit, tepatnya di sebuah lembah yang diberi nama
Lembah Ular. Di sana rakyatku tinggal," Satria Naga Emas menceritakan.
"Aku harus ke sana...," gumam Rangga mendesah tanpa sadar.


Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Percuma saja, Rangga. Di sana sungai itu bercabang dan terus mengalir jauh ke
seluruh penjuru daerah Timur ini.
Sudah banyak mayat-mayat yang jatuh ke jurang ini ditemukan di sebuah desa yang
jauh letaknya dari tempat ini. Mungkin temanmu terbawa arus sungai ini,
Rangga." Pendekar Rajawali Sakti itu kembali terdiam. Dia juga pernah mendengar tentang
orang-orang yang dijatuhkan ke dalam jurang ini, dan kembali ditemukan terapung
di sungai yang cukup jauh letaknya dari jurang Hutan Ganda Mayit ini.
"Rangga, bagaimana dengan ilmu pamungkas yang kau pelajari terakhir ini?" tanya
Satria Naga Emas mengalihkan pembicaraan.
"Aku sudah menyempurnakannya, Paman Guru. Juga ilmu 'Sembilan Langkah ajaib'
dan ilmu-ilmu lainnya," sahut Rangga.
"Bagus! Aji 'Batara Naga' adalah ilmu pamungkas pertama yang harus kau kuasai
penuh, dan itu berarti kau telah menguasai sepertiga dari ilmu Naga Emas.
Tapi ingat, ilmu pamungkas aji 'Batara Naga' itu hanya boleh kau pergunakan
dalam keadaan terdesak saja, sama
seperti halnya kau menggunakan aji
'Cakra Buana Sukma'," pesan Satria Naga Emas.
'Terima kasih, Paman Guru."
"Besok, saat matahari terbit, kau bisa meninggalkan istanaku ini. Rajawali
raksasa akan membawamu kembali ke luar dari jurang ini," kata Satria Naga Emas.
Rangga menjura memberi hormat.
"Dengan sepertiga ilmu Naga Emas, kau sudah sulit mencari lawan yang seimbang.
Aku tidak tahu, apakah dengan sedikit ilmu dari Rajawali Sakti kau sudah menjadi
seorang yang digdaya atau belum. Mudah-mudahan sedikit ilmuku bisa membuatmu
jadi seorang pendekar yang tangguh dan digdaya," Satria Naga Emas memberi
wejangan lagi. "Aku akan mempergunakan
sebaik-baiknya, Paman Guru," janji Rangga.
"Bagus! Jika kau memerlukan
sesuatu, dimanapun kau berada rakyatku akan senang membantumu."
"Terima kasih."
"Nah! Sekarang beristirahatlah, besok pagi kau boleh meninggalkan tempat ini.
Mudah-mudahan kau bisa menemukan kembali temanmu itu."
Rangga kembali menjura hormat.
*** 3 Siang ini matahari bersinar sangat terik. Rerumputan kering kerontang, dan
pepohonan menggugurkan daunnya. Mata air pun mengering. Kemarau mulai datang
menyiksa seluruh penghuni jagat raya ini. Namun kesengsaraan alam tidak membuat
empat orang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan wajah yang kasar menghentikan
ulahnya. Empat orang laki-laki itu
tertawa-tawa kesenangan mempermainkan seorang wanita muda berkulit kuning
langsat. Pakaian wanita itu cabik-cabik memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya
yang mengundang liur bagi para lelaki yang melihatnya. Paras wajahnya yang
cantik, memucat ketakutan. Seluruh tubuhnya menggigil. Air bening tidak pernah
berhenti mengalir membasahi pipinya yang ranum.
"He he he..., mau lari ke mana kau manis?" kata salah seorang menyeringai liar.
"Oh, jangan..., tolong. Kasihani aku...," rintih wanita itu memelas.
"Hanya sebentar..., tidak lama."
"Tidak! Oh, tolooong...!" jerit wanita itu ketakutan.
"He he he...!"
Empat orang itu berlompatan
menyergap wanita yang ketakutan setengah mati itu. Salah seorang langsung
meringkus tangannya ke belakang. Tiga orang lainnya dengan liar menggerayangi
tubuh wanita itu Jerit dan rintihan yang memelas tidak dihiraukan lagi. Mereka
bagaikan binatang-binatang buas yang kelaparan mendapatkan segumpal daging
segar. "Akh!" wanita itu memekik keras ketika salah seorang merenggut bajunya dengan
paksa. "He he he...."
Bola mata mereka semakin liar dengan bibir menyeringai buas melihat sebentuk
tubuh indah tanpa penutup lagi. Air mata semakin deras membasahi pipi wanita
itu. Dia merintih memohon belas kasihan. Ke dua tangannya berusaha menutupi bagian
tubuhnya yang terbuka lebar.
"Auh! Tidak...! Jangan...!" teriak wanita itu ketika orang yang membelenggu
tangannya mendorong ke depan.
Salah seorang menyongsong, langsung memeluknya dengan erat. Wanita itu meronta-
ronta sambil menjerit-jerit.
Tubuh mereka jatuh bergulingan ke tanah.
Tiga orang lainnya tertawa-tawa seperti melihat pertunjukan yang menyenangkan.
Wanita itu semakin tidak berdaya
ketika yang lainnya ikut menggumuli.
Sia-sia saja dia meronta dan
menjerit-jerit minta tolong sampai
suaranya serak. Empat orang itu malah semakin liar. Perih dan sakit seluruh
tubuhnya direjam tangan-tangan kasar.
"Biadab! Binatang...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Empat orang itu terkejut, dan
ketika mereka menoleh, tahu-tahu sebuah bayangan putih berkelebat cepat
menghajar mereka. Tak ampun lagi, tubuh mereka
berpelantingan tanpa bias
melakukan gerakan apa-apa. Mereka
cepat-cepat bangkit.
Sret! Hampir bersamaan
mereka mencabut golok
yang terselip di
pinggang. Kini di depan
mereka sudah berdiri
seorang pemuda tampan
berkulit putih bersih
mengenakan baju rompi
putih dengan gagang pedang berkepala burung di punggung. Tidak salah lagi,
pemuda tampan itu adalah Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.
Rupanya Rangga telah ke luar dari
dasar jurang setelah beberapa lama dia tinggal di istana Satria Naga Emas di
dasar jurang Hutan Ganda Mayit. Hanya sekilas Rangga melirik wanita yang tengah
merapikan dirinya mengenakan pakaian kembali. Namun beberapa bagian tubuhnya
masih kelihatan,
karena pakaiannya sudah koyak dicabik-cabik empat orang itu.
"Siapa kau" Berani benar mencampuri urusan kami!" bentak salah seorang.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti!"
sahut Rangga dingin.
Seketika itu juga wajah mereka pucat pasi mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti
disebut. Empat orang itu melangkah mundur beberapa tindak. Mereka saling
berpandangan satu sama lainnya. Nama Pendekar Rajawali Sakti sungguh
menggetarkan hati mereka. Betapa tidak"
Nama Pendekar Rajawali Sakti sudah melambung tinggi sebagai pendekar pilih
tanding yang sulit dicari bandingannya.
"Enyahlah kalian, sebelum pikiranku berubah!" dengus Rangga.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
keempat orang itu langsung berlari kencang meninggalkan tempat itu. Rangga
berbalik menghadap wanita yang kini sudah berdiri dengan wajah masih pucat
ketakutan. Kepalanya tertunduk, dan bibimya bergetar seperti ingin
mengucapkan sesuatu.
"Sebaiknya kau cepat pulang," kata Rangga.
"Terima kasih, Gusti...," lirih sekali suara wanita itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Rangga.
Wanita itu menggeleng lemah.
"Di mana rumahmu?" tanya Rangga lagi
"Tidak jauh dari Hutan Ganda Mayit ini, di Desa Watu Ampar," sahut wanita itu.
"Hm...," Rangga bergumam pelan.
Kemudian dia berbalik dan melangkah pergi.
"Gusti...."
Rangga menghentikan langkahnya
tanpa menoleh sedikitpun. Wanita itu bergegas menghampiri dan berdiri di samping
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Bisakah Tuan mengantarkan saya pulang" Aku takut, mereka akan kembali lagi,"
wanita itu memohon.
Rangga tidak menjawab. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Desa Watu Ampar
memang tidak jauh dari Hutan Ganda Mayit ini, dan letaknya juga masih di Kaki
Bukit Lawu. Melihat arah yang ditempuh Rangga menuju ke Desa Watu Ampar, wanita
itu bergegas mengikutinya. Dia
mensejajarkan langkahnya di samping Rangga.
*** Tidak lama Rangga singgah di rumah wanita yang ditolongnya. Orang tua wanita
yang bernama Seruni itu sangat berterima kasih dengan pertolongan Rangga, tapi
di balik sinar matanya, Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
mendapatkan sesuatu kejanggalan. Sinar mata itu tampak menyimpan kegelisahan dan
perasaan takut yang amat sangat ketika Seruni mengatakan empat orang yang hampir
memperkosanya di bebaskan pergi.
Dalam perjalanan meninggalkan rumah Seruni, Rangga masih memikirkan sikap kedua
orang tua gadis itu, juga sikap Seruni yang kelihatan aneh. Bahkan sepanjang
jalan desa ini, Rangga tidak melihat adanya kecerahan pada wajah para
penduduknya. "Hhh..., setiap kali masuk ke sebuah desa, ada saja yang tidak enak dilihat,"
desah Rangga. Rangga masuk ke dalam sebuah kedai kecil yang pertama ditemuinya di Desa Watu
Ampar ini. Dia hanya memesan seguci arak. Tadi di Hutan Ganda Mayit dia telah
makan banyak dari daging kelinci
panggang, sekarang tinggal hausnya saja.
Lagi pula, sudah lama dia tidak lagi mencicipi manisnya arak.
Baru saja Rangga menghabiskan
secangkir arak, ketika beberapa orang datang dengan suara ribut menggotong
seorang laki-laki muda dengan tubuh penuh luka. Laki-laki yang digotong itu
kelihatannya sudah mati, tapi dadanya yang bergerak menandakan dia masih hidup.
Orang-orang yang membawanya
meletakkan pemuda itu di bangku panjang.
Tampak pemilik kedai ini sibuk memeriksa luka di tubuh pemuda itu.
"Panggil Nek Ringgih, dia bisa mati kalau tidak segera diobati!" kata pemilik
kedai ini. "Tapi, Ki.... Tempat Nek Ringgih sangat jauh, harus masuk ke tengah Hutan Ganda
Mayit," celetuk salah seorang.
"Kalau begitu, biar aku saja yang ke sana! Huh, dasar pengecut!" dengus laki-
laki tua pemilik kedai itu.
"Ayah...! Biar aku saja yang ke sana," salah seorang lagi mencegah pemilik kedai
itu. "Cepatlah, Sarman. Pakai saja kudaku!" kata pemilik kedai yang bernama Ki
Dandung itu. Tanpa banyak bicara lagi, pemuda
yang bemama Sarrnan itu langsung berlari ke luar. Tampak sekali kalau dia
memiliki kepandaian ketika dengan manis melompat ke punggung kuda coklat yang
tertambat di bawah pohon. Kuda coklat itu langsung melesat kencang begitu
digebah. Kedai yang semula hanya didatangi
empat orang itu, kini jadi ramai.
Sepertinya hampir seluruh penduduk. Desa Watu Ampar tumpah ke kedai ini. Di
sudut kedai, tampak Rangga tidak lepas
memperhatikan wajah-wajah yang memadati kedai ini, terutama wajah Ki Dandung
yang sibuk membersihkan luka-luka di tubuh pemuda itu dengan air dingin yang
bersih. "Kasihan...," terdengar suara desahan pelan di belakang Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu
memiringkan kepalanya sedikit. Dari sudut ekor matanya, dia melihat beberapa
wanita menyembulkan kepalanya di
jendela. "Benar-benar kejam dia," terdengar lagi sebuah gumaman.
"Mau jadi apa desa kita ini, ya...?"
"Neraka, barangkali."
Celoteh-celotehan bergumam terus
terdengar. Diam-diam Rangga
memperhatikan setiap celotehan yang ke luar dari mulut para penduduk yng
memadati kedai Ki Dandung. Semakin banyak yang didengar, semakin pusing rasanya
kepala Rangga. Dia tidak tahu, apa yang sedang terjadi di Desa Watu Ampar ini"
Dan siapa pula laki-laki muda yang terluka itu" Tapi melihat dari luka-lukanya,
Rangga sudah dapat
memastikan kalau pemuda itu habis
dianiaya. Luka-luka di tubuhnya, jelas dari goresan senjata tajam dan cambukan.
Memar pada wajah dan tubuhnya menandakan bekas pukulan
"Kalian sebaiknya bubar! Jangan membuat perhatian mereka!" seru Ki Dandung
seraya memandangi orang-orang yang memadati kedainya.
"Ayo..., ayo bubar! Bubar semua!"
seru beberapa orang.
Para penduduk yang memadati kedai segera angkat kaki, kembali ke rumahnya
masing-masing. Sebentar saja tinggal empat orang yang membantu Ki Dandung
merawat luka-luka pemuda itu. Rangga sempat memperhatikan kalau tiga tamu kedai
juga angkat kaki bersama perginya para penduduk Desa Watu Ampar ini. Mereka
rupanya mengambil kesempatan tidak bayar disaat pemilik kedai sedang lengah.
"Kenapa bisa sampai begini?" tanya Ki Dandung.
"Dia berusaha melawan ketika mereka mau membawa adiknya," sahut salah seorang.
"Lalu, orang tuanya?"
"Tewas terbunuh."
"Terlalu!" desah Ki Dandung menggeram.
"Mereka merrang sudah keterlaluan, Ki. Kita tidak bisa diam terus melihat
kekejaman yang semakin merajalela di sini," celetuk seorang lagi.
"Kalian mau memberontak?"
Empat orang laki-laki yang masih
muda itu hanya diam dengan kepala
tertunduk. Dari gagang golok yang
tersembul di pinggang, menandakan kalau empat orang pemuda itu memiliki
kepandaian. Dan melihat dari cara bicara serta sikap Ki Dandung, tampaknya laki-
laki itu bukan hanya sekedar
pemilik kedai minuman, tapi juga punya pengaruh pada penduduk Desa Watu Ampar.
Sorot mata yang tajam dan suara
tegas berwibawa membuat Rangga menilai kalau Ki Dandung bukan orang
sembarangan. Tentulah dia memiliki simpanan jurus-jurus silat yang tidak bisa
dianggap enteng. Sekilas saja Rangga sudah melihat jari-jari buku tangan Ki
Dandung. Sungguh sangat
berbeda antara orang biasa dengan orang yang memiliki kepandaian silat.
"Sebaiknya kalian tetap menahan diri dulu. Belum waktunya untuk
melakukan sesuatu," kata Ki Dandung setelah lama terdiam.
"Baik, Ki," sahut keempat pemuda itu serentak. Hampir bersamaan mereka
berbalik dan melangkah ke luar kedai setelah Ki Dandung memerintahnya pergi.
Laki-laki tua itu kembali sibuk
membereskan kedainya yang sedikit
berantakan. Dia sempat melirik Rangga yang masih tetap duduk tenang di sudut.
Rangga pura-pura tidak memperharikan sama sekali. Padahal dari sudut ekor
matanya dia memperhatikan Ki Dandung yang juga sedang memperhatikan dirinya
pula. Ada kilatan kecurigaan pada sorot mata Ki Dandung.
Rangga bangkit berdiri setelah
meneguk habis araknya. Dia meletakkan beberapa keping uang di atas meja, lalu
melangkah ke luar tanpa berkata sedikit pun. Tapi langkah Pendekar Rajawali
Sakti itu terhenti ketika Ki Dandung memanggilnya.
"Tuan..."
Rangga tidak menoleh sedikit pun.
"Harga satu guci arak tidak


Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seberapa, terlalu banyak pembayarannya, Tuan," kata Ki Dandung.
"Tidak mengapa, Ki. Anggap saja itu sebagai pengganti gucimu yang retak,"
kata Rangga kembali melangkah pergi.
Ki Dandung tidak mencegah lagi. Dia bergegas menghampiri meja dimana Rangga tadi
menempatinya. Beberapa kali matanya memandang ke arah guci dan Rangga
bergantian. Guci arak itu memang retak, bahkan bisa dikatakan sudah pecah. Tapi
masih tetap utuh seperti semula. Ki Dandung menyentuh guci arak itu, dan guci
itu langsung berantakan di meja.
"Hhh..., siapa dia...?" desah Ki Dandung bergumam sendiri.
Ki Dandung kembali mengarahkan
pandangannya ke jalan. Tampak Rangga masih terlihat punggungnya yang semakin
jauh melangkah pergi ke arah Utara. Ki Dandung mengambil lima keping uang
perunggu yang ditinggalkan Rangga. Lima keping uang perunggu bisa membeli
sepuluh guci arak manis, tapi ini hanya untuk mcmbayar satu guci arak saja.
"Tingkat kepandaiannya tentu sangat tinggi sekali, bisa mcmecahkan guci tanpa
harus terlihat pecah. Ah, siapa dia, ya...?" lagi-lagi Ki Dandung bergumam.
*** Rangga memang sengaja memecahkan
guci arak dengan menggunakan ilmu 'Jari Malaikat' yang dipelajarinya dari Satria
Naga Emas. Remasan jari-jari tangannya seperti tidak memiliki tenaga, dan tidak
akan tampak kehebatannya. Jika saja itu dilakukan pada tubuh seseorang,
tulang-tulangnya bisa remuk, atau orang itu bisa lumpuh seketika.
Ilmu 'Jari Malaikaf memang sangat
kejam. Dan Rangga memutuskan untuk tidak menggunakannya kalau tidak perlu
sekali. Rangga duduk mencangkung di atas batu memandang ke arah Desa Watu Ampar. Dia
berharap Ki Dandung akan mencarinya setelah dia memperlihatkan kehebatan
ilmunya. Lama juga Rangga menunggu, tapi laki-laki tua pemilik kedai itu tidak
juga muncul. "Kau menungguku, Kisanak?"
"Heh!" Rangga tersentak kaget ketika mendengar suara dari belakang.
Bibirnya langsung tersenyum ketika dia melihat Ki Dandung sudah berdiri di
belakangnya. Rangga sudah menduga kalau laki-laki tua pemilik kedai itu memiliki
kepandaian yang tidak rendah. Ki Dandung bisa berada di belakangnya tanpa bisa
diketahui sama sekali kedatangannya. Ini membuktikan betapa tingginya ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya.
"Maaf, aku mengundangmu dengan cara yang tidak lazim," kata Rangga seraya
menjura memberi hormat.
"Apa yang kau inginkan dariku?"
tanya Ki Dandung langsung.
"Entahlah," desah Rangga.
Ki Dandung mengernyitkan keningnya.
Rangga sendiri tidak tahu, kenapa dia melakukan itu. Mengundang laki-laki tua
ini dengan cara memecahkan gucinya. Cara seperti itu memang sudah sering
digunakan oleh orang-orang kalangan rimba persilatan. Dan Ki Dandung
Alap Alap Laut Kidul 7 Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang Pendekar Cacad 6
^