Pencarian

Asmara Maut 2

Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut Bagian 2


mengerti maksudnya. Tapi dia jadi heran juga mendengar jawaban Rangga yang
dirasakan aneh.
"Aku tahu, kau bukan dari Desa Watu Ampar. Aku juga tahu kau seorang pemuda yang
memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Apa maksudmu mengundangku dengan cara begitu?" kata Ki Dandung.
"Mungkin aku ingin menguji
penilaian mataku," sahut Rangga asal jadi saja.
"Bukan karena peristiwa tadi?"
"Mungkin juga."
"Hm, rupanya kau tertarik dengan persoalan di Desa Watu Ampar juga.
Kisanak, sebaiknya kauurungkan saja niatmu...," kata Ki Dandung langsung bisa
menangkap maksud Rangga yang
sebenarnya. "Kenapa?" tanya Rangga keheranan.
"Lupakan saja," sahut Ki Dandung.
"Kalau kau hanya sekedar lewat, sebaiknya lanjutkan saja perjalananmu."
"Tunggu!" cegah Rangga ketika melihat Ki Dandung hendak pergi.
"Tidak ada yang menarik di desa ini," kata Ki Dandung
"Peristiwa di kedaimu tadi sangat menarik hatiku," Rangga mengakui.
"Buang jauh-jauh rasa tertarikmu, Kisanak. Kau akan mengorbankan dirimu sendiri.
Mereka bukan orang-orang
sembarangan yang dapat dijadikan
percobaan menguji ilmu. Maaf, bukannya aku hendak merendahkan atau meremehkan
kemampuanmu," kata Ki Dandung.
"Baiklah," Rangga menyerah. "Tapi, ada apa sebenarnya di Desa Watu Ampar ini?"
"Hanya persoalan
biasa dari orang-orang yang haus kedudukan dan kekuasaan. Desa Watu Ampar hanya sebuah
ajang, dan nanti juga akan hilang
sendiri," sahut Ki Dandung masih merahasiakan.
Rangga mengangkat bahunya.
"Aku harus segera kembali, mungkin Nek Ringgih sudah datang," kata Ki Dandung
minta diri. "Siapa Nek Ringgih?" tanya Rangga.
"Seorang tabib yang sangat ahli,"
sahut Ki Dandung.
Laki-laki pemilik kedai itu segera melangkah menuju ke Desa Watu Ampar.
Rangga tidak mencegah lagi. Dia hanya memandangi saja kepergian laki-laki tua
itu. Rasa ingin tahunya mengenai Desa Watu Ampar yang penuh rahasia itu
membuatnya jadi berpikir. Dia kembali duduk di batu tidak jauh dari perbatasan
desa. "Apa sebenarnya yang terjadi...?"
*** Ki Dandung menyambut kedatangan Nek Ringgih yang ditemani cucunya yang ramah.
Perempuan tua ahli pengobatan itu segera memeriksa tubuh pemuda yang penuh luka,
terbaring di bangku panjang.
Kepalanya menggeleng-geleng beberapa kali, dan bibirnya berdecak-decak
seperti seekor cicak.
"Kajar, siapkan ramuan luka luar,"
kata Nek Ringgih dengan suaranya yang agak kering.
"Baik, Nek," sahut Kajar segera membuka bungkusan kain lusuh yang
disandangnya di pundak.
Anak laki-laki kecil itu segera
menyiapkan ramuan yang diinginkan Nek Ringgih. Cekatan sekali dia bekerja,
ketrampilannya meramu obat-obatan
seperti seorang tabib ahli saja, padahal usianya baru sebelas tahun.
Nenek dan cucu itu bekerja mengobati laki-laki muda dan tampan itu tanpa banyak
bicara. Sementara Ki Dandung memperhatikan dari sudut kedainya yang ditutup. Di
samping Ki Dandung berdiri anak tunggalnya yang menjemput Nek Ringgih tadi.
"Kenapa dia bisa terluka begitu rupa?" tanya Nek Ringgih setelah selesai
mengobati luka-luka di tubuh pemuda itu.
"Dikeroyok," sahut Sarman sebelum ayahnya mendahului.
Nek Ringgih tidak bertanya lagi. Dia sudah tahu dengan jawaban Sarman yang
langsung dan tegas. Perempuan tua ahli pengobatan itu melirik Kajar yang tengah
membalut luka-luka di tubuh pemuda itu.
"Seharusnya kau bisa bertindak, Dandung. Kau kan bekas kepala desa. Apa kau
tidak iba melihat penderitaan
penduduk di sekitarmu?" Nek Ringgih menatap tajam pada Ki Dandung.
"Aku bukan siapa-siapa lagi, Nyi Ringgih. Aku tidak bisa berbuat
apa-apa?" ada nada putus asa di dalam suara Ki Dandung.
"Seluruh penduduk Desa Watu Ampar berada di belakangmu, Dandung. Mereka pasti
tidak akan berpangku tangan saja kalau kau menggerakkannya!"
"Dengan mengorbankan banyak nyawa"
Tidak, Nyi."
"Huh! Dengan berdiam diri begitu saja juga sudah banyak nyawa yang hilang.
Aku yakin, tidak berapa lama lagi, seluruh penduduk Desa Watu Ampar akan habis
ludes!" dengus Nek Ringgih kesal.
"Hhh...," Ki Dandung mendesah panjang dan berat
"Kalau saja Nyi Sirah masih
hidup...," gumam Nek Ringgih pelan.
"Jangan bawa-bawa istriku, Nyi!"
sentak Ki Dandung.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau jadi terbalik jauh, Dandung. Di mana
keperkasaanmu" Ke mana kegagahanmu" Nama besarmu, Dandung" Kau seperti singa
ompong yang tinggal menunggu ajal saja!
Aku tidak percaya kalau semangatmu mati hanya karena kematian istrimu!" Nek
Ringgih membakar api semangat Ki Dandung kembali.
"Sudah, Nyi! Aku tidak mau dengar khotbahmu lagi. Aku memanggilmu ke sini hanya
untuk mengobati Gantar, bukan untuk mendengar celotehmu!" sentak Ki Dandung
kesal. "Baik..., baik, kalau itu maumu, Dandung. Aku tidak akan mau lagi peduli dengan
nasib sekian puluh penduduk Desa Watu Ampar. Tapi ingat, Dandung. Kau akan
menyesal di hari senjamu kalau terus bersikap begitu. Ingat kematian
istrimu!" Nek Ringgih langsung menarik tangan Kajar, dan membawanya pergi. Ki Dandung
menarik napas panjang dan berat. Dadanya seolah mau meledak mendengar kata-kata
Nek Ringgih. Sementara Sarman hanya menatap kepergian perempuan tua ahli
pengobatan itu. Dia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan barusan.
Pandangannya beralih pada ayahnya yang hanya duduk lesu tanpa gairah. Wajah Ki
Dandung sebentar pucat, sebentar
kemudian memerah saga.
Memang, sejak kematian istrinya, Ki Dandung jadi patah semangat. Dia
meletakkan jabatannya sebagai kepala desa. Saat itu Sarman baru berusia sekitar
tiga belas tahun. Sarman tidak tahu, kenapa ibunya meninggal mendadak, dan dia
juga tidak melihat mayat ibunya.
Sarman hanya tahu ibunya sudah
terbungkus kain putih dan dikuburkan.
Ayahnya tidak pernah mengatakan tentang kematiannya. Sarman merasakan ada
sesuatu yang disembunyikan ayahnya tentang kematian ibunya.
"Ayah...," pelan suara Sarman.
"Jangan tanya aku, sebaiknya kau bawa pulang temanmu itu," kata Ki Dandung
seraya bangkit berdiri.
Sarman langsung bungkam. Dia tidak mencegah ayahnya yang melangkah masuk ke
kamarnya di bagian belakang kedai ini.
Setelah menghembuskan napas panjang, Sarman segera menghampiri Gantar yang masih
belum sadarkan diri juga. Hampir seluruh iubuh Gantar terbalut Sarman memondong
tubuh temannya itu, lalu membawanya ke luar. Seorang anak muda segera
menghampiri begitu melihat Sarman membawa Gantar ke luar.
Dengan kereta kuda, Sarman dan
temannya membawa Gantar kembali pulang.
Anak bekas kepala desa itu tidak sedikit pun berkata-kata. Pikirannya masih
kalut, mencoba untuk mereka-reka
kata-kata yang tadi didengarnya. Juga dengan sikap ayahnya yang seperti tidak
punya gairah hidup lagi. Sejak kematian istrinya, dan meletakkan jabatan sebagai
kepala desa, Ki Dandung seperti hendak melupakan semua masa lalunya. Dia
menyibukkan diri mengurus kedainya yang kecil. Sejak itulah keadaan Desa Watu
Ampar jadi berubah. Tidak ada lagi ketentraman, penduduk pun selalu diliputi
kegelisahan. Kepala desa
pengganti Ki Dandung tidak bisa bersikap tegas, sepertinya dia juga tidak peduli
dengan keadaan desanya.
"Hhh...," Sarman menarik napas panjang dan berat.
*** 4 Nek Ringgih melangkah cepat dengan mulut terkunci rapat. Kajar mengikutinya
setengah berlari. Meskipun perempuan tua itu sudah tua, dan berjalan harus
dibantu tongkat, tapi langkahnya ringan dan cepat seperti tidak menapak pada
tanah. Kajar yang mengikuti terengah-engah mengimbangi langkah perempuan tua itu.
Tapi tidak satu patah kata pun ke luar dari mulutnya.
Tiba-tiba langkah perempuan tua itu terhenti. Dia menarik tangan Kajar ke
belakang. Telinganya yang tajam dapat mendengar suara ranting patah terinjak.
Kepalanya sedikit dimiringkan.
Tangannya menggenggam tongkat
erat-erat. "Cepat pulang, beritahu Pandan Wangi," kata Nek Ringgih berbisik pelan.
"Ada apa, Nek?" tanya Kajar tidak mengerti.
"Jangan banyak tanya! Cepat,
sebelum mereka datang!"
Kajar yang tidak mengerti apa-apa, langsung saja berlari kencang menembus Hutan
Ganda Mayit yang lebat. Bersamaan dengan lenyapnya tubuh kecil itu ditelan
kerimbunan hutan, muncul empat orang laki-laki. Dua di antaranya sudah tua, dan
dua lagi masih muda-muda dan tampan.
Namun sinar mata mereka menunjukkan kekejaman.
"Ki Japalu, mau apa kau mencegatku?"
tanya Nek Ringgih ketus.
"Kau memang tidak bisa dikasih enak, nenek peyot!" dengus laki-laki tua berbaju
kuning gading. Laki-laki tua yang menyandang pedang itulah bernama Ki Japalu.
Nek Ringgih sudah bisa meraba
gelagat kurang baik. Dia memandangi Ki Sampar Bayu yang berdiri di samping Ki
Japalu. Sedangkan dua orang pemuda, berada di belakang dua laki-laki tua itu.
Mereka adalah Segara dan Pantula. Kedua pemuda itu anak dari Ki Japalu. Nek
Ringgih menyadari kalau empat orang itu adalah orang-orang yang memiliki tingkat
kepandaian tidak rendah.
"Aku dipanggil untuk menolong salah seorang penduduk Desa Watu Ampar. Apakah aku
harus me-nolak" Sedangkan
pekerjaanku memang harus menolong orang sakit!" kata Nek Ringgih tetap ketus.
"Kau boleh saja menolong orang sakit, Nek Ringgih. Tapi jangan
orang-orang dari Desa Watu Ampar! Aku sudah memperingatkanmu beberapa kali, tapi
kau masih juga bandel!" dengus Ki Japalu.
"Selama hidupku menjadi tabib, baru kali ini dilarang mengobati orang...,"
gumam Nek Ringgih mencibir.
"Sebaiknya perempuan tua itu jangan dikasih hati, Kakang Japalu. Dia bisa
membahayakan kita semua nantinya!" bisik Ki Sampar Bayu pelan dekat telinga
kakaknya. Nek Ringgih yang mendengar
kata-kata bisikan itu, langsung waspada.
Lebih-lebih melihat Segara dan Pantula bergerak ke arah kiri dan kanannya.
Tangan mereka sudah memegang kepala gagang pedang yang masih tergantung di
pinggang. "Aku beri kesempatan padamu sekali lagi untuk hidup, Nek Ringgih," kata Ki
Japalu. "Hidup dan matiku bukan di
tanganmu!" sahut Nek Ringgih tetap ketus.
"Kau memang tidak bisa dikasih untung, perempuan peyot!" bentak Segara geram.
"Heh! Manis sekali mulutmu bocah, apa ayahmu tidak pernah mengajarkan santun
pada orang tua?" sinis suara Nek Ringgih.
"Setan! Kubunuh kau!" geram Segara kalap.
"Segara!" bentak Ki Japalu.
Tapi terlambat, Segara yang cepat
marah sudah menerjang Nek Ringgih seraya mencabut pedangnya. Perempuan tua ahli
pengobatan itu hanya memiringkan sedikit tubuhnya ke kanan. Kibasan pedang
Segara hanya lewat beberapa helai rambut di bahu Nek Ringgih. Bahkan tanpa
diduga sama sekali, kaki Nek Ringgih melayang cepat menghantam perut pemuda itu.
"Hugh!" Segara mengeluh pendek seraya membungkukkan badannya. Belum lagi Segara
dapat menghilangkan rasa mual di perutnya, satu sampokan tangan kiri Nek Ringgih
membuat pemuda itu terjungkal ke belakang. Merah padam muka Segara dipermalukan
di depan ayahnya.
Dia menggeram keras, dan langsung menyerang kembali dengan ganas.
"Segara, hentikan! Dia bukan
lawanmu!" seru Ki Sampar Bayu keras menggelegar.
Tapi Segara sudah menulikan
telinganya. Dia tidak dapat lagi
mengukur tingginya langit dan dalamnya lautan. Darah mudanya menggelegak panas
mendengar kata-kata Nek Ringgih yang halus namun bernada menghina ayahnya.
Segara menghujani perempuan tua itu dengan sabetan-sabetan pedangnya yang cepat
dan dahsyat Namun seperti yang dikatakan Ki Sampar Bayu, Nek Ringgih memang
bukan tandingan pemuda itu.
Beberapa kali serangan Segara dapat dipatahkan dengan mudah. Bahkan tidak jarang
pemuda itu harus jatuh bangun terkena hantaman tongkat Nek Ringgih.
Dalam sebentar saja, darah sudah
mengucur dari sudut bibir pemuda itu.
Wajah dan tubuhnya sudah biru lebam, dan bajunya kotor oleh tanah merah.
"Hhh, dia bisa mati di tangan perempuan tua itu," desah Ki Japalu memperhatikan
anaknya semakin kewalahan menghadapi Nek Ringgih.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Ki Sampar Bayu
melenting deras menerjang Nek Ringgih.
Pada saat itu, ujung tongkat Nek Ringgih sudah mengarah ke dada Segara.
Plak! Telapak tangan Ki Sampar Bayu
memapag tongkat Nek Ringgih. Perempuan tua itu melompat ke belakang beberapa
tindak. Dia mendengus jengkel melihat kecurangan Ki Sampar Bayu. Sedangkan
Segara segera mundur dan ditolong adiknya. Ki Japalu memeriksa keadaan tubuh
anaknya. Segara membaringkan tubuhnya di bawah pohon. Napasnya
tersengal-sengal memburu, seluruh
tubuhnya terasa sakit seakan seluruh tulang-tulangnya remuk.
Sementara itu Ki Sampar Bayu berdiri tegak dengan sikap menantang. Nek
Ringgih hanya memandangi saja dengan sikap tenang. Namun sinar matanya
memancarkan kebencian yang amat sangat.
Ketenangan Nek Ringgih juga diimbangi dengan sikap waspada. Dia tahu siapa Ki
Sampar Bayu. Seorang tokoh tua yang sangat tinggi tingkat kepandaiannya.
Tidak mudah untuk menandingi
kesaktiannya. "Kau tidak apa-apa, Segara?" tanya Ki Japalu khawatir melihat keadaan anaknya.
"Dadaku, Ayah...," rintih Segara.
Dua kali Segara terbatuk, darah
segar muncrat ke luar dari mulutnya. Ki Japalu terbeliak melihat ada gumpalan
hitam di dalam darah itu. Dia segera merobek baju di bagian dada anaknya.
Tampak gambar lima jari tangan hitam tertera di dada Segara.
"Aji 'Cakar Beracun'...," desis Ki Japalu.
Laki-laki tua itu menggeram hebat.
Matanya langsung merah membara nyalang.
Rupanya Nek Ringgih mengeluarkan aji
'Cakar Beracun' ketika menghadapi
Segara. Ajian yang sangat dahsyat. Orang yang terkena ajian itu akan mati
perlahan-lahan dengan tubuh hangus bagai arang. Dan bagian dada Segara juga
mulai menghitam. Warna hitam itu terus merayap perlahan-lahan ke seluruh
tubuhnya. "Keparat...!" geram Ki Japalu.


Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laki-laki tua itu langsung melompat dengan amarah memuncak. Tanpa banyak bicara
lagi, dia segera menyerang Nek Ringgih dengan jurus-jurus andalannya.
Bahkan Ki Japalu langsung mengerahkan aji 'Pukulan Karang Hitam'. Suatu ilmu
pamungkas yang jarang digunakan Ki Japalu. Seluruh jari-jari tangan dan
pergelangannya jadi berwarna hitam
pekat. Batu-batu dan pepohonan yang terkena pukulannya langsung hancur jadi
debu. Nek Ringgih yang sudah kerepotan
menghadapi Ki Japalu, semakin dibuat kewalahan dengan ikut campurnya Ki Sampar
Bayu dan Pantula. Perempuan tua itu semakin terdesak dikeroyok tiga.
Beberapa kali pukulan dan tendangan Ki Sampar Bayu dan Pantula mendarat di
tubuhnya. Sedangkan Nek Ringgih tetap menghindari bentrokan langsung dengan Ki
Japalu. Dia tahu kedahsyatan aji
'Pukulan Karang Hitam' itu. Tidak
mungkin dia menandinginya dengan aji
'Cakar Beracun'.
"Mampus kau, perempuan peyot!
Hiyaaa...!" teriak Ki Japalu
menggelegar. Seketika itu juga dia mendorong
kedua tangannya ke depan. Dan pada saaat itu pula kaki Pantula berhasil
menggebuk punggung Nek Ringgih. Tak dapat
dihindarkan lagi, kedua tangan hitam Ki Japalu mendarat telak di dada Nek
Ringgih. "Aaakh...!" Nek Ringgih menjerit melengking.
Darah hitam kental menyembur dari
mulutnya. Seluruh dadanya melesak masuk ke dalam. Nek Ringgih masih mencoba
untuk kabur. Tapi Ki Sampar Bayu lebih cepat lagi melepaskan jarum-jarum
beracunnya. Kembali Nek Ringgih memekik nyaring ketika jarum-jarum beracun menembus
tubuhnya. Bruk! Tubuh perempuan tua ahli pengobatan itu ambruk ke tanah. Dia
menggeliat-geliat sambil meraung-raung kesakitan. Seluruh punggungnya bolong
oleh jarum-jarum beracun, dan dadanya melesak dalam dengan tulang-tulang remuk.
"Kau harus mampus, perempuan tua.
Hih...!" Ki Japalu merampas pedang Pantula, dan mencincang tubuh Nek Ringgih. Ki Japalu
bagai kesetanan, amarahnya tak dapat lagi terkendalikan. Hancur sudah tubuh Nek
Ringgih dicincang bagai
dendeng sapi. "Kakang...!" Ki Sampar Bayu menahan ayunan pedang di tangan Ki Japalu.
"Dia telah membunuh anakku! Biar kucincang dia!" geram Ki Japalu memberontak.
"Dia sudah mati, Kakang!" seru Ki Sampar Bayu seraya merampas pedang Ki Japalu.
Pantula menerima pedangnya dari
tangan Ki Sampar Bayu, dan memasukkan kembali ke sarungnya. Pantula segera
menghampiri mayat kakaknya yang sudah hangus seluruh tubuhnya. Segara tewas
dengan tubuh hitam terkena ajian 'Cakar Beracun'. Pantula memandangi tubuh
kakaknya yang perlahan-lahan terkikis jadi tepung hitam.
"Kakang...," suara Pantula tersekat di tenggorokan.
Pantula menoleh ketika pundaknya
ditepuk. Ki Sampar Bayu dan Ki Japula sudah berdiri di belakangnya.
"Ayo kita pergi," ajak Ki Sampar Bayu.
"Tapi, Kakang..., Paman."
"Debu-debu jasad Segara akan hilang tersapu angin," kata Ki Sampar Bayu.
Pantula berat sekali meninggalkan
Hutan Ganda Mayit ini. Sebentar dia menoleh ke arah Segara yang sudah menjadi
debu. Sedikit demi sedikit tubuh tepung itu mulai tersapu angin. Dengan perasaan
berat, pemuda itu melangkah mengikuti kedua laki-laki tua yang sudah berjalan
lebih dulu. *** "Nek...!" jerit Kajar langsung berlutut di samping mayat Nek Ringgih yang hancur
tercincang. Pandan Wangi memandangi seperti
tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Sungguh tragis kematian
perempuan tua itu. Mati dengan tubuh habis tercincang. Hanya bagian kepalanya
saja yang masih utuh, sedangkan seluruh tubuhnya sudah tidak berbentuk lagi.
Kajar menangis sesenggukan meratapi kemarian neneknya. Sementara Pandan Wangi
hanya bisa diam dengan mata
memandang tidak berkedip. Kajar
mengangkat kepalanya dan menoleh menatap Pandan Wangi yang berdiri di
sampingnya. Anak laki-laki berusia sebelas tahun itu berdiri dengan mata tetap memandang
Pandan Wangi. "Siapa yang melakukan ini?" tanya Pandan Wangi.
"Ki Japalu...," sahut Kajar tersedak.
"Siapa dia?" tanya Pandan Wangi.
"Kepala Desa Watu Ampar."
"Hm...," Pandan Wangi menggumam pelan.
Tadi Nek Ringgih ke Desa Watu Ampar bersama Kajar. Mereka dijemput seseorang
yang mengaku pemuda dari desa itu. Dan kelihatannya Nek Ringgih kenal dengan
pemuda itu. Tapi sekarang, perempuan tua itu mati tercincang oleh Kepala Desa
Watu Ampar. Ada apa di balik semua peristiwa ini" Apakah panggilan pemuda itu
hanya jebakan saja"
Pandan Wangi ingin menanyakan hal
itu pada Kajar, tapi melihat anak itu murung dalam kesedihan, niatnya
diurungkan. Pandan Wangi melepaskan selendangnya. Dia kemudian mengumpulkan tubuh Nek Ringgih
yang tercincang bagai dendeng. Tubuh hancur itu dibungkus dengan selendang biru.
Sedangkan Kajar hanya memandangi saja dengan mata sayu.
"Ayo, kita kembali ke pondok," ajak Pandan Wangi.
Kajar melangkah tanpa mengeluarkan sedikit suara pun. Pandan Wangi jadi kasihan
juga melihat anak itu lesu tak bergairah lagi. Hilang semua
keceriaannya. Kajar melangkah
pelan-pelan dengan kepala tertunduk.
"Kalau saja aku langsung pulang, mungkin Nenek tidak sampai terbunuh,"
gumam Kajar mendesah pelan.
Pandan Wangi memandangi anak itu
yang melangkah pelan di sampingnya.
Banyak yang ingin dia tanyakan, tapi semuanya hanya dipendam saja di dalam hati.
"Aku sempat mengintip. Mereka memang kejam. Nenek dikeroyok tiga orang, tapi
Nenek berhasil menewaskan satu orang," kata Kajar memberitahu tanpa diminta.
"Jadi, mereka tinggal dua orang lagi?" tanya Pandan Wangi.
"Tiga."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya.
"Semuanya ada empat. Ki Japalu dengan dua anaknya, Segara dan Pantula serta Ki
Sampar Bayu."
"Siapa Ki Sampar Bayu?"
"Adik Ki Japula. Dia sangat kejam, dia juga yang menguasai Desa Watu Ampar
meskipun bukan kepala desa. Banyak sudah nyawa yang hilang. Nenek sering
menceritakan hal itu padaku," cerita Kajar.
"Lalu, kenapa mereka membunuh Nek Ringgih?"
"Mereka menginginkan agar Nek Ringgih tidak mengobati penduduk Desa Watu Ampar.
Antara mereka dan Nenek memang sudah lama saling bermusuhan.
Tapi Nenek tidak peduli, tetap saja menolong para penduduk yang membutuhkan
pengobatan darinya. Mungkin mereka marah dan membunuh Nenek," kata Kajar semakin
lirih suaranya.
"Aneh...," gumam Pandan Wangi.
"Kalau Kak Pandan mau tahu semuanya, temui saja Ki Dandung. Dia sahabat lama Nek
Ringgih, pasti Ki Dandung mengetahui sebab-sebab kenapa mereka saling
bermusuhan," kata Kajar.
"Ki Dandung penduduk Desa Watu Ampar juga?"
"Bekas kepala desa itu. Sekarang Ki Dandung membuka kedai kecil di depan
rumahnya."
"Hm, baiklah. Nanti aku akan menemui Ki Dandung. Sekarang sebaiknya kita segera
menguburkan jenazah Nek Ringgih,"
kata Pandan Wangi.
Kajar tidak menjawab. Dia membisu
saja sambil terus melangkah menguak kelebatan Hutan Ganda Mayit. Sementara
Pandan Wangi terus berpikir mencerna setiap kata yang diucapkan Kajar. Dia belum
sempat membalas budi baik Nek Ringgih. Sekarang perempuan tua itu tewas dibunuh.
Haruskah dia diam saja, membiarkan pembunuhnya bebas" Tidak!
Pandan Wangi sudah bertekad untuk
membalas kematian perempuan tua ahli pengobatan itu.
"Ki Japalu...," gumam Pandan Wangi mendesah.
*** Malam semakin bertambah larut.
Seekor kuda hitam berpacu cepat bagai angin membelah rimba belantara Hutan Ganda
Mayit. Penunggang kuda itu seorang wanita cantik mengenakan baju biru dengan
pedang tersampir di punggung.
Pada pinggangnya terselip sebuah kipas baja putih. Jelas kalau penunggang kuda
hitam itu adalah Pandan Wangi si Kipas Maut.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi menggebah kuda hitam
itu semakin kencang. Dalam waktu tidak berapa lama, kuda hitam itu sudah
melewati batas Hutan Ganda Mayit dengan Desa Watu Ampar. Pandan Wangi terus
memacu kudanya dengan cepat memasuki jalan utama desa itu. Beberapa kepala
bersembulan ke luar dari jendela.
"Hooop...!"
Pandan Wangi langsung melompat
turun begitu sampai di depan kedai Ki Dandung. Sebentar dia memandangi kedai
yang sudah tutup itu. Pandangannya juga beredar berkeliling. Beberapa jendela
rumah langsung ditutup oleh pemiliknya.
Tapi Pandan Wangi tahu kalau para
penduduk desa itu mengintip dari balik jendela.
Dengan langkah tegap, Pandan Wangi mendekati kedai itu. Matanya tajam menatap
pintu kedai yang tertutup rapat Dia berhenti di depan pintu kedai itu.
Tiga kali dia mengetuk pintu. Setelah menunggu beberapa saat, pintu kedai itu
terbuka. Ki Dandung melangkah ke luar.
"Maaf, kedaiku sudah tutup," kata Ki Dandung ramah.
"Aku bukan mau makan, Ki. Aku datang khusus untuk bertemu denganmu," kata Pandan
Wangi juga ramah.
Ki Dadung menatap Pandan Wangi
dengan segudang tanda tanya di
kepalanya. Baru kali ini dia melihat gadis itu. Ada urusan apa dia datang malam-
malam begini" Siapa gadis ini"
"Rasanya kita belum pernah bertemu sebelumnya," kata Ki Dandung.
"Benar, Ki. Namaku Pandan Wangi.
Boleh aku masuk?" Pandan Wangi memperkenalkan diri.
"Oh, silakan."
Pandan Wangi melangkah masuk ke
dalam kedai itu. Ki Dandung baru
melangkah masuk setelah Pandan Wangi berada di dalam. Sengaja dia tidak menutup
pintu kedainya agar tidak
menyolok dipandang umum. Ki Dandung mempersilakan Pandan Wangi duduk,
kemudian dia mengambil seguci arak dan menyediakannya untuk gadis itu.
"Silakan diminum," Ki Dandung mempersilakan.
"Terima kasih."
Pandan Wangi menuangkan arak ke
dalam gelasnya, kemudian meminumnya sedikit. Minuman itu menghangatkan tubuhnya.
Dia tahu kalau Ki Dandung menyediakan arak wangi yang mahal
harganya. Arak pilihan dari Desa Watu Ampar memang sangat terkenal.
"Ada perlu apa kau mencariku?" tanya Ki Dandung membuka suara kembali.
"Masalah, Nek Ringgih," sahut Pandan Wangi langsung.
"Nek Ringgih..."!" Ki Dandung mengerutkan keningnya.
"Nek Ringgih tewas siang tadi...."
"Apa..."!" bagai disambar petir, Ki Dandung terlonjak kaget mendengarnya.
Mata tua laki-laki pemilik kedai itu berputar-putar setengah tidak percaya
mendengar berita kemarian Nek Ringgih.
Dia kembali duduk di depan Pandan Wangi.
Matanya tajam menatap lurus ke bola mata gadis itu.
"Siang tadi dia baru mengobati salah seorang penduduk di sini. Apa aku bisa
percaya dengan beritamu?" kata Ki Dandung ragu-ragu.
"Makamnya ada di depan pondoknya.
Dia tewas dibunuh oleh Ki Japalu," kata Pandan Wangi lagi.
"Bedebah! Benar-benar binatang si Japalu!" geram Ki Dandung mendengarnya.
"Lalu, kenapa kau menemuiku?"
"Kajar yang menyuruhku ke sini.
Katanya kau bias memberiku banyak keterangan mengenai Ki Japalu. Terus terang,
aku sendiri tidak mengerti, kenapa Ki Japalu membunuh wanita tua baik hati itu,"
Pandan Wangi berkata terus terang.
"Kau tahu siapa Ki Japalu?" tanya Ki Dandung.
"Hanya sedikit," Pandan Wangi mengakui. "Dia Kepala Desa Watu Ampar ini.
Kepemimpinannya dikendalikan oleh adiknya yang bernama Ki Sampar Bayu.
Hanya itu yang aku ketahui."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah tahu kenapa Ki Japalu membunuh Nek
Ringgih?" "Membalaskan kematiannya. Ini permintaan Kajar sendiri," sahut Pandan Wangi
tegas. Ki Dandung menggeleng-gelengkan
kepalanya beberapa kali. Dia tahu, kenapa Ki Japalu membunuh Nek Ringgih.
Dia juga menyesal karena kematian perempuan tua itu karena dia juga. Kalau saja
dia tidak menyuruh anaknya
memanggil Nek Ringgih untuk mengobati luka-luka Gantar, mungkin hal itu tidak
akan pernah terjadi.
"Sebaiknya kau tidak perlu ikut campur dalam persoalan ini. Mereka bukanlah
orang-orang sembarangan.
Jangan sia-siakan nyawa yang hanya satu terbuang percuma," kata Ki Dandung
berusaha mencegah niat Pandan Wangi.
"Kenapa?" Pandan Wangi semakin penasaran. Ki Dandung tidak menjawab.
Dia bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Pandan Wangi juga ikut berdiri dan
melangkah ke luar kedai ini. Beberapa kepala tampak menyembul dari rumahnya
masing-masing. Sepertinya mereka ingin tahu kedatangan Pandan Wangi tengah malam
begini ke rumah bekas kepala desa itu.
"Bawa Kajar ke sini, biar aku yang mengurusnya," kata Ki Dandung tanpa menoleh
pada Pandan Wangi.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ki," desak Pandan Wangi.
"Aku akan jelaskan semuanya kalau kau mau membawa Kajar ke sini," tegas jawaban
Ki Dandung. "Baiklah, aku penuhi permintaanmu.
Tapi kau harus menjelaskan semuanya setelah Kajar kubawa ke sini."
Ki Dandung tidak menjawab. Dia
berbalik dan kembali masuk ke dalam kedainya. Pintu kedai dibiarkan terbuka
lebar. Sebentar Pandan Wangi memandangi ke dalam kedai itu. Tampak Ki Dandung
duduk menghadap ke pintu yang terbuka lebar.
"Hup!"
Pandan Wangi melompat naik ke
punggung kuda hitam itu. Bagaikan anak panah lepas dari busurnya, kuda hitam itu
langsung melesat pergi begitu digebah penunggangnya. Dalam waktu singkat saja
Pandan Wangi sudah menghilang bersama kudanya ditelan ke-gelapan malam.
*** 5 Malam ini langit kelihatan mendung.
Angin bertiup kencang menaburkan udara dingin menggigit kulit. Titik-titik air
mulai berjatuhan menimpa bumi. Sudah dapat dipastikan kalau hujan akan segera
turun membasahi bumi yang kering
kerontang setelah beberapa lama dilanda kekeringan.
Di malam yang pekat ini, tampak tiga sosok tubuh mengenakan baju serba hitam
berkelebatan mendekati pondok kecil di tengah Hutan Ganda Mayit. Hanya sebuah
pelita kecil yang menerangi pondok itu.


Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampak di ambang pintu yang terbuka, duduk seorang bocah laki-laki berusia
sebelas tahunan. Matanya yang bulat berair, menatap kosong ke arah gundukan
tanah di bawah pohon kamboja.
"Nek...," rintihnya lirih terbawa angin malam.
Bocah laki-laki yang tidak lain
adalah Kajar itu tidak tahu kalau ada tiga sosok tubuh menghampirinya dari arah
samping kanan dan kirinya. Bibirnya yang mungil kecil terus menerus
mendesahkan suara-suara rintihan lirih mengenang Nek Ringgih yang tewas
menyedihkan siang tadi.
"Akh!" Kajar memekik kaget ketika dia merasakan sesuatu yang dingin
menempel di lehernya.
Perlahan-lahan bocah laki-laki itu menoleh. Matanya langsung membeliak melihat
Ki Japalu dan Pantula berada di samping kanannya. Sebilah pedang tajam menempel
di lehernya dari tangan
Pantula. Belum juga hilang rasa
kagetnya, mendadak kedua tangannya diringkus dari belakang.
Kajar kaget setengah mati, dia
berusaha memberontak, tapi ujung pedang Pantula malah membenam di lehernya.
Terpaksa Kajar diam tak berkutik. Ki Sampar Bayu yang meringkus anak
laki-laki kecil itu mengikat tangannya dengan kuat dengan tambang. Kajar
diangkat berdiri, dan didorong jatuh ke pelataran pondok itu.
"Bakar rumah ini, biar Ienyap semuanya!" perintah Ki Japalu.
Pantula mengambil pelita yang
tergantung di tengah-tengah ruangan depan pondok. Pelita itu dia banting ke
lantai yang beralaskan papan. Api
langsung berkobar besar melahap pondok kayu itu.
"Kejam! Kalian kejam...!" teriak Kajar berusaha bangkit.
"Hih!" Ki Sampar Bayu menekan tubuh anak itu dengan kakinya.
Kajar meringis kesakitan. Dadanya
terasa sesak ditekan kuat oleh Ki Sampar Bayu. Rasa benci, dendam dan amarah
meluap-luap di dalam dadanya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang
yang ada bukanlah orang-orang
sembarangan. Mereka memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Sedangkan
Kajar..., baru mempelajari
dasar-dasarnya saja.
Sementara api terus melahap pondok kayu itu tanpa mengenal ampun. Tanpa
disadari, air mata menitik di pipi yang merah montok itu. Kajar tidak kuasa lagi
melihat pondoknya hancur terbakar dalam beberapa saat lagi. Sejak bayi dia
tinggal di sini bersama neneknya, dan sekarang pondok itu hancur terbakar.
Hancur sudah seluruh jiwa anak itu. Kini dia benar-benar seorang yang papa,
tidak memiliki apapun di dunia ini.
"Bawa anak ini!" perintah Ki Japalu.
Pantula segera mengangkat tubuh
Kajar dan mengempitnya di ketiak. Kajar berusaha meronta sambil menjerit-jerit,
namun kempitan Pantula sangat kuat, tidak sebanding dengan Kajar yang
bertubuh kecil dan lemah itu.
Pada saat ketiga laki-laki
berpakaian serba hitam itu hendak
melangkah, terdengar ringkik kuda
disusul derap lari kuda yang cepat. Suara derap kaki kuda itu semakin terdengar
dekat. Kajar langsung tahu kalau Pandan Wangi yang datang bersama kuda hitamnya.
"Kak Pandan, tolong...!" jerit Kajar keras.
"Diam! Hih...!"
Pantula menotok beberapa jalan
darah di tubuh Kajar. Seketika itu juga Kajar langsung diam tak berkutik.
Sementara suara derap kaki kuda semakin jelas terdengar dekat. Dan sebagian
pondok sudah rubuh jadi arang. Api terus membesar melahap kayu-kayu pondok kecil
itu. "Cepat, tinggalkan tempat ini!"
perintah Ki Japalu.
"Biar aku hadapi dia, Kakang," kata Ki Sampar Bayu.
"Tidak perlu! Yang penting anak ini," sahut Ki Japalu.
Ketiga laki-laki berbaju serba
hitam itu segera melompat cepat
meninggalkan tempat itu. Pada saat itulah, Pandan Wangi muncul dengan kuda
hitamnya. Gadis pendekar berjuluk si Kipas
Maut itu langsung melompat dari punggung kudanya.
"Kajar...!" teriak Pandan Wangi memanggil. Tak ada sahutan sama sekali, hanya
suara percikan api membakar kayu saja yang terdengar. Sementara
titik-titik air hujan sudah semakin sering datang. Seluruh langit diselimuti
awan tebal menghitam.
Pandan Wangi berlarian mengelilingi pondok sambil berteriak-teriak
memanggil Kajar. Tapi anak laki-laki itu tidak menyahut Pandan Wangi semakin
cemas. Ragu-ragu dia masuk menerobos pondok yang dilahap api.
"Kajar, kau di dalam?" tanya Pandan Wangi keras. Tetap tidak ada sahutan.
"Apa boleh buat. Hiyaaa...!" Pandan Wangi melompat menerobos pondok yang hampir
habis dilahap api. Hanya sebentar gadis pendekar berjuluk si Kipas Maut itu
berada di dalam, sebentar kemudian dia sudah muncul lagi ke luar dari kepungan
api. Pada saat yang bersamaan, pondok itu roboh menimbulkan suara gemuruh dan
percikan bunga api.
"Kajar...," rintih Pandan Wangi lirih. "Di mana kau...!"
Pandan Wangi jatuh terduduk lemas di tanah. Matanya nanar memandangi pondok yang
sudah roboh terbakar. Api mulai mengecil karena tidak ada lagi yang bisa
dilahap. Sementara titik-titik air hujan semakin sering datang. Asap hitam
mengepul tinggi ke udara. Sebentar kemudian, hujan pun turun dengan
derasnya, bersamaan dengan jatuhnya setitik air bening dari sudut mata Pandan
Wangi. *** Saat itu Ki Japalu, Ki Sampar Bayu dan Pantula sudah berada di tepi Hutan Ganda
Mayit. Sedangkan Kajar masih belum sadarkan diri terkepit di ketiak
Pantula. Ketiga orang itu berjalan cepat ke luar hutan itu. Mereka berbelok arah
setelah sampai di perbatasan Desa Watu Ampar.
"Berhenti!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
Ketiga orang yang membawa Kajar
langsung berhenti. Mereka terkejut melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu sudah
mencegat di depan. Pemuda yang memakai baju rompi putih dengan pedang kepala
burung di punggung itu berdiri tegak dengan tangan terlipat di dada.
Dialah Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.
"Lepaskan anak itu, Ki Japalu!"
bentak Rangga kasar.
"Heh! Siapa kau" Berani-beraninya kau mencampuri urusanku!" dengus Ki Japalu
terkejut. "Aku sudah lama menyelidiki tingkah lakumu, Ki Japalu. Kau tidak perlu heran,
dari mana aku tahu namamu. Lepaskan anak itu!" ucap Rangga dengan tenang.
Ki Japalu dan Ki Sampar Bayu
tersentak kaget. Lebih terkejut lagi mereka begitu kilat menyambar menerangi
dalam sesaat. Dalam cahaya kilat itu, jelas sekali rupa Rangga. Sementara hujan
tetap deras bagai tertumpah dari langit.
"Pendekar Rajawali Sakti..,," desis Ki Sampat Bayu mengenal pedang di punggung
Rangga. Ki Sampar Bayu memandang kakaknya
dan keponakannya yang masih mengempit Kajar di ketiaknya. Sedangkan Rangga tetap
berdiri tegak dalam siraman curah hujan. Beberapa saat mereka semua
terdiam membisu.
"Sebaiknya kita lepaskan saja anak itu, Kakang," kata Ki Sampar Bayu pelan.
"Baiklah, kita harus hindari
bentrok dengan Pendekar Rajawali Sakti,"
sahut Ki Japalu.
Ki Japalu mengambil Kajar dari
tangan anaknya. Dia melangkah beberapa tindak ke depan, lalu melemparkan tubuh
Kajar begitu saja ke tanah yang becek tergenang air. Rangga tetap berdiri tegak
memandang tajam. Ki Japalu segera berbalik dan melangkah pergi, diikuti oleh Ki
Sampar Bayu dan Pantula.
Rangga bergegas menghampiri Kajar
yang tergolek pingsan dengan beberapa jalan darah tertotok. Sebentar saja
Pendekar Rajawali Sakti itu memeriksa, kemudian membebaskan totokan di tubuh
Kajar. Sebelum anak laki-laki itu bisa sadar penuh, dengan cepat Rangga
mengangkatnya dan langsung melompat cepat bagai kilat.
Ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh sangat sempurna sekali. Dalam
curahan hujan lebat, dia masih mampu berlari cepat bagai angin. Kedua kakinya
bagaikan tidak menapak tanah. Rangga terus berlari memasuki Desa Watu Ampar.
Dia baru berhenti berlari setelah sampai di depan kedai Ki Dandung.
Pendekar Rajawali Sakti itu
meletakkan Kajar di depan pintu kedai Ki Dandung yang terbuka lebar. Pada saat
itu Ki Dandung masih duduk menunggu
kedatangan Pandan Wangi yang berjanji akan membawa Kajar malam ini juga.
Laki-laki tua itu terkejut melihat kemunculan Rangga membawa Kajar dalam keadaan
setengah sadar.
"Kenapa dia?" tanya Ki Dandung sambil mengambil tubuh Kajar dan
membawanya masuk ke dalam. Dia
meletakkan tubuh anak laki-laki berusia sebelas tahun itu di bangku panjang.
"Dia tidak apa-apa, hanya bekas totokan saja belum hilang penuh," kata Rangga
tetap berdiri di ambang pintu.
Ki Dandung memandang pemuda tampan yang sempat ditemuinya, dan sempat pula
diperingatinya agar tidak ikut campur dalam masalah di Desa Watu Ampar ini.
"Maaf, aku
tidak menuruti nasehatmu, Ki," kata Rangga mendahului.
"Masuklah," kata Ki Dandung.
"Terima kasih, " ucap Rangga seraya melangkah masuk ke dalam kedai itu.
Ki Dandung memeriksa keadaan tubuh Kajar sebentar, lalu dia melangkah masuk ke
bagian belakang kedai. Tidak lama kemudian, laki-laki tua pemilik kedai bekas
kepala desa itu muncul lagi bersama Sarman, anaknya. Sebentar Sarman
memandang Rangga, lata perhatiannya beralih pada Kajar yang masih tergolek
setengah sadar di bangku panjang.
"Bawa dia masuk, usahakan agar cepat sadar," kata Ki Dandung memerintah.
"Baik, Ayah," sahut Sarman.
Sarman segera mengangkat tubuh
Kajar dan membawanya masuk ke dalam ruangan belakang kedai ini. Sementara Ki
Dandung mengambil seguci arak dan
membawanya ke meja Rangga. Dua buah gelas tersedia juga di meja itu. Ki Dandung
mengisi dua gelas itu dengan arak manis sampai penuh. Tak lama kemudian mereka
minum berdua tanpa berkata apa-apa.
"Kenapa kau tidak meninggalkan desa ini?" tanya Ki Dandung setelah menghabiskan
dua gelas arak manis.
"Hatiku yang menyuruhku untuk menyelidiki keadaan Desa Watu Ampar ini," sahut
Rangga. "Apa yang telah kau ketahui tentang keadaan Desa Watu Ampar ini?" tanya Ki
Dandung. "Cukup banyak juga, dan aku semakin ingin mengungkapnya lebih jelas. Terus
terang, semakin aku tahu banyak, semakin heran.... Seorang kepala desa yang
sangat disegani tiba-tiba saja
mengundurkan diri hanya karena kematian istrinya. Dan muncul seseorang yang
mengangkat dirinya sebagai kepala desa baru tanpa pemilihan lebih dahulu.
Sungguh aneh...," Rangga seperti bergumam saja layaknya.
Ki Dandung langsung terdiam.
Kata-kata Rangga yang pelan dan lemah lembut bernada sindiran tajam untuk
dirinya. Jelas sekali kalau ucapan Rangga tadi ditujukan langsung padanya.
Ki Dandung menatap tajam pada pemuda yang duduk di depannya. Dia mengangkat
gelas dan meneguk arak hingga tandas. Tarikan napasnya panjang dan berat.
"Mungkin kehadiranku di sini tidak menyenangkan hatimu. Maaf, aku hanya tidak
bisa melihat penderitaan di depan mataku." Setelah berkata begitu, Rangga
langsung melompat tanpa bangun dulu dari duduknya. Ki Dandung sampai tersentak
kaget. Dalam sekejap saja Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lenyap tanpa
terlihat lagi bayangannya.
Baru saja Ki Dandung bangkit
berdiri, terdengar suara derap kaki kuda yang dipacu cepat menembus rinai hujan
lebat di tengah malam buta ini. Ki Dandung segera melangkah ke pintu. Pada saat
itu, kuda hitam yang ditunggangi Pandan Wangi sudah berhenti di depan pintu.
Pandan Wangi langsung melompat dari punggung kudanya. Hanya sekali lompatan
saja, gadis itu sudah mencapai ambang pintu kedai itu. Seluruh bajunya basah
kuyup sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang indah dan ramping. Ki Dandung
langsung memberi minuman hangat pada pendekar wanita itu.
"Celaka, Ki..., benar-benar
celaka!" agak tergagap suara Pandan Wangi.
"Tenang, minum dulu," Ki Dandung menenangkan.
Pandan Wangi menerima gelas berisi minuman hangat. Dia meneguknya sampai habis,
lalu menaruh gelas kosong itu ke meja di depannya. Sebentar Pandan Wangi
mengatur jalan napasnya. Dia mulai sedikit tenang setelah jalan napasnya kembali
teratur. "Aku tahu apa yang akan kau
katakan," kata Ki Dandung.
"Ki Dandung tahu..."!" Pandan Wangi terkejut.
"Ya, Kajar ada di dalam sedang istirahat ditemani Sarman."
"Apa..."!"
*** "Bagaimana Kajar bisa sampai ke sini, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Dia dibawa seorang pemuda yang sangat tinggi ilmunya," sahut Ki Dandung.
"Pendekar maksudmu, Ki?" Pandan Wangi ingin menegaskan.
"Mungkin, tapi tampaknya dia
berbudi luhur. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa membawa Kajar ke sini."
"Ki Dandung tidak menanyakannya?"
Ki Dandung hanya menggeleng. Dia
memang lupa menanyakan bagaimana pemuda itu membawa Kajar ke rumahnya ini.
Pembicaraannya dengan pemuda pendekar itu sampai membuat dirinya lupa. Ki
Dandung juga jadi lupa tidak menanyakan namanya atau pun julukannya.
"Siapa dia, Ki?" tanya Pandan Wangi.
Entah kenapa, dada gadis itu jadi
bergemuruh tanpa sebab. Mendadak saja bayangan Rangga memenuhi benaknya. Ada
satu harapan yang sulit untuk
diungkapkan di dalam hatinya. Tapi harapan itu juga tertindas oleh perasaan lain
yang sangat sukar untuk dicampakkan jauh-jauh. Ada kerinduan untuk bertemu, tapi
juga ada rasa malu dan rendah diri di hatinya. Yang paling kuat membelenggu
hatinya adalah perasaan cinta. Ya..., perasaan itulah yang paling sulit untuk
dienyahkan dalam hatinya. Pandan Wangi tidak mengerti, kenapa perasaan itu tiba-
tiba saja muncul pada dirinya"
Dan semua isi hatinya sudah
diungkapkannya pada Nek ringgih. Ada sedikit ketenangan bila Pandan Wangi
teringat dengan kata-kata sejuk
menyegarkan dari Nek Ringgih yang
menjabarkan arti cinta suci. Pandan Wangi memang tidak menyangkal kalau di dalam
hatinya telah tumbuh benih-benih cinta pada Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dan benih itu semakin hari semakin berkembang subur.
"Aku lupa menanyakannya," sahut Ki Dandung. "Tapi dia masih muda, tampan dan
gagah." "Ah...," Pandan Wangi mendesah lirih.
Semula dia berharap Ki Dandung tahu namanya. Harapannya kini pupus setelah
mendengar jawaban tanpa kepastian itu.
Tidak sedikit pendekar-pendekar muda bermunculan di jaman ini. Mungkin juga
pendekar itu adalah Rangga, tapi ada kemungkinan juga bukan dia. Harapan yang
tadinya tumbuh, langsung padam seketika.
"Aku mendapatkan pondok Nek Ringgih sudah terbakar, dan Kajar hilang...,"
kata Pandan Wangi bercerita tanpa
diminta. "Jangan dipikirkan, Kajar sudah aman berada di sini. Siapapun dia yang
membawanya, maksudnya tentu baik," kata Ki Dandung membesarkan hati Pandan
Wangi. "Ki, apakah mungkin Ki Japalu yang membakar rumah Nek Ringgih?" tanya Pandan


Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wangi hati-hati.
"Ya," desah Ki Dandung menjawab.
"Kenapa dia tega berbuat seperti itu?"
Ki Dandung tidak langsung menjawab.
"Kau sudah berjanji untuk
mengatakan semuanya padaku, Ki," Pandan Wangi mengingatkan.
"Apa lagi yang harus aku katakan"
Kau sudah tahu siapa itu Ki Japalu, Ki Sampar Bayu dan Pantula. Merekalah yang
sekarang menguasai Desa Watu Ampar,"
kata Ki Dandung.
"Kenapa mereka membunuh Nek
Ringgih?" tanya Pandan Wangi.
"Persoalan lama yang dicari-cari,"
sahut Ki Dandung.
"Maksudmu, Ki?"
"Mereka memang sudah lama ingin melenyapkan Nek Ringgih. Baru kali ini mereka
punya kesempatan. Kasihan
perempuan malang itu..., hidupnya tidak pernah merasa bahagia. Selalu saja ada
gangguan. Sampai mati pun masih juga diganggu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat raut wajah Ki Dandung jadi berubah
murung. Tatapan matanya sayu bagai tak memiliki gairah hidup lagi.
Pandan Wangi mengangkat kepalanya ketika Sarman masuk. Pemuda itu langsung duduk
di samping ayahnya.
"Bagaimana Kajar?" tanya Ki Dandung tanpa menoleh.
"Sudah tidur, kelihatan dia lelah sekali," sahut Sarman sambil melirik Pandan
Wangi. Sarman melemparkan senyum yang
termanis. Lirikannya terpaku lama pada seraut wajah cantik dengan bibir
mengulas senyum manis itu. Sarman baru mengalihkan perhatiannya ketika Pandan
Wangi terbatuk tiga kali.
"Kasihan sekali Nek Ringgih...,"
gumam Pandan Wangi pelan.
"Aku juga semula tidak percaya kalau ancaman Ki Japalu tidak main-main.
Rupanya dia melaksanakan juga ancamannya membunuh Nek Ringgih. Menyesal sekali
aku memanggilnya ke sini. Kalau saja aku tidak memintanya datang, tentu dia
masih hidup," suara Ki Dandung semakin pelan dan lirih.
Mereka terus saja membicarakan
tentang kematian Nek Ringgih. Sampai menjelang pagi mereka baru beranjak
meninggalkan kedai itu. Ki Dandung menyediakan kamar sendiri untuk Pandan Wangi.
Rumah di belakang kedai ternyata sangat luas dan banyak terdapat
kamar-kamar yang kosong. Pandan Wangi menyempatkan pula menengok Kajar yang
lelap tertidur.
*** 6 Ki Japalu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan tengah yang luas di
rumahnya. Tampak Ki Sampar Bayu dan Pantula duduk dengan wajah murung. Sejak
kejadian malam itu, pikiran mereka jadi tidak bisa tenang. Terutama Ki Japalu.
Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti di Desa Watu Ampar ini membuat hatinya gundah
tidak menentu. "Diamlah, Kakang. Aku jadi pusing melihatmu mondar-mandir begitu...!"
rungut Ki Sampar Bayu kesal.
"Ini semua gara-garamu, Sampar Bayu!" dengus Ki Japalu menatap tajam pada
adiknya. "Kenapa aku" Kau sendiri yang datang padaku agar bisa menguasai desa ini. Nah!
Sekarang semua keinginanmu sudah
tercapai, bahkan sakit hatimu pada perempuan tua bangka Ringgih itu sudah
terbalaskan. Lalu, apa salahku" Aku hanya membantumu saja!" Ki Sampar Bayu tidak
terima disalahkan sepihak.
"Ah! Sudahlah...!" Ki Japalu tidak mau berdebat dengan adiknya itu.
Kata-kata yang terlontar dari mulut Ki Sampar Bayu memang tidak bisa
dibantah. Ki Japalu mengakui semuanya.
Dia memang datang ke Gunung Kanjaran untuk meminta bantuan adiknya dalam
mencapai cita-citanya menjadi kepala desa, di samping untuk membalas dendam pada
Nek Ringgih, perempuan tua ahli pengobatan itu. Kini dendam yang.
dipendamnya puluhan tahun itu sudah terbalaskan, dan sekarang dia juga sudah
menduduki jabatan sebagai kepala desa di Watu Ampar ini.
Ki Japalu membanting tubuhnya di
kursi rotan. Dia jadi teringat dengan istrinya yang meninggal saat melahirkan
anak keduanya. Istrinya yang lembut dan tidak pernah menuntut banyak darinya.
Dia meninggal karena melahirkan, dan yang membantu melahirkan adalah Nek
Ringgih. Sejak itu Ki Japalu menyimpan dendam pada Nek Ringgih. Dia selalu
menyangka kalau Nek Ringgih tidak pantas menjadi tabib. Sampai sekarang ini Ki
Japalu selalu membenci tabib di manapun juga. Lebih-lebih pada Nek Ringgih yang
dianggapnya menjadi penyebab kematian istrinya.
"Kau menyesal, Kakang Japalu?"
tanya Ki Sampar Bayu memandangi
kakaknya. "Tidak!" sahut Ki Japalu tegas.
"Kenapa kau gelisah?"
'Pendekar Rajawali Sakti itu...."
"Ha ha ha...!" Ki Sampar Bayu tertawa terbahak-bahak.
"Huh! Dalam keadaan kacau begini, kau masih juga tertawa," rungut Ki Japalu
memberengut. "Apakah dia tangguh, Ayah?" tanya Pantula yang sejak tadi diam saja.
"Sepuluh orang sepertimu tidak akan sanggup melawan dia!" sahut Ki Japalu tanpa
senyum. "Dia penduduk Desa Watu Ampar?"
tanya Pantula lagi.
"Dia pendekar kelana, Pantula.
Namanya sudah tersohor sampai ke penjuru mayapada ini," Ki Sampar Bayu yang
menjawab. "Hm..., apa perlunya dia datang ke sini...?" gumam Pantula.
"Jelas kalau dia penghalang paling berat buat kita!" dengus Ki Sampar Bayu.
"Sampar Bayu, sebaiknya kau cari saja cucu Nek Ringgih. Bunuh dia, aku tidak mau
melihat lagi keturunan
perempuan tua itu! Dua nyawa dia
bunuh...," kata Ki Japalu memerintah.
"Dicari ke mana?" tanya Ki Sampar Bayu.
"Pasti ada di Desa Watu Ampar ini, aku melihat dia membawa anak itu ke desa."
"Anak itu ada di rumah Ki Dandung,"
celetuk Pantula.
Ki Japalu dan Ki Sampar Bayu menatap anak muda itu.
"Kau yakin?" tanya Ki Sampar Bayu.
"Aku lihat anak itu tadi pagi ke luar dari rumah Ki Dandung. Di sana juga ada
seorang gadis lain. Kelihatannya dia juga dari kalangan rimba persilatan,"
sahut Pantula pasti.
"Hm..., rupanya Ki Dandung
diam-diam bikin ulah juga," gumam Ki Sampar Bayu.
"Itu urusanmu, Sampar Bayu," sergah Ki Japalu.
"Baik, itu memang urusanku. Tapi kau juga tidak bisa cuci tangan begitu saja.
Kau juga terlibat, Kakang."
"Huh! Kau selatu memojokkan aku!"
dengus Ki Japalu.
"Ayah, aku mau ke luar sebentar,"
kata Pantula menyelak. Dia segera bangkit berdiri dan melangkah ke luar.
Ki Japalu hanya memandangi saja
anaknya yang sudah lenyap di balik pintu.
Terdengar desahan napasnya yang berat.
Laki-laki itu menuang arak ke dalam gelas, dan meneguknya sampai tandas.
'Tidak seharusnya kau berkata
begitu di depan anakku," kata Ki Japalu dingin.
"Sudah saatnya dia tahu siapa dirinya, Kakang."
"Tidak! Sampai kapan pun dia tidak boleh tahu. Aku sangat mencintainya, dia
pengganti anakku yang mati karena ulah perempuan tua keparat itu!"
"Aku tidak menyangka, temyata hatimu lebih kejam daripada aku. Tidak seharusnya
kau memperalat dia yang tidak tahu apa-apa. Kau terlalu menuruti ambisimu,
Kakang. Kau sudah memperoleh semuanya, kau juga telah membalaskan kematian
istrimu. Seharusnya kau tinggal menikmati hasilnya saja. Tapi malah membuat
persoalan baru lagi. Kenapa kau tidak katakan saja pada Pantula kalau dia...."
"Cukup!" sentak Ki Japalu cepat.
"Kakang.... Aku memang ditakdirkan untuk bergelimang darah dan dosa. Tapi aku
selalu melakukannya dengan cara terang-terangan, jantan dan tidak
bersembunyi di balik kelemahan orang lain. Terus terang, kalau tidak karena kau
saudaraku satu-satunya, tidak akan mungkin aku mau mengikuti semua rencana
gilamu ini."
"Kau menyesal?"
"Heh! Untuk apa aku menyesal?"
"Lupakan saja aku, Sampar Bayu.
Lupakan bocah cucu Nyi Ringgih itu. Biar aku yang menghadapi mereka semua
sendiri. Kau sudah cukup banyak
membantuku. Terima kasih, Sampar Bayu."
Ki Japalu langsung bangkit dan melangkah pergi.
"Kakang...!"
"Kembali saja ke tempatmu, adikku."
Ki Sampar Bayu hanya mendesah
mengangkat pundaknya melihat kakaknya masuk ke dalam kamarnya. Sebentar Ki
Sampar Bayu masih berada di ruangan besar itu, kemudian kakinya terayun menuju
ke luar. Laki-laki tua tokoh persilatan itu langsung melompat naik ke kudanya
begitu sampai di luar. Dengan cepat dia
menggebah kudanya meninggalkan rumah besar Ki Japalu.
*** Ki Japalu berdiri mematung di depan jendela besar kamarnya. Pandangannya kosong
tertuju ke depan menatap tanaman bunga yang mekar menyebarkan harum wangi di
bagian belakang rumahnya. Tidak ada seorang pun yang terlihat di halaman
belakang yang tertata indah itu.
Dulu rumah ini begitu ramai. Banyak pekerja yang hilir mudik ke luar masuk
sekitar rumah ini. Tapi sekarang....
Semua pekerja meninggalkannya tanpa pamit. Tidak ada seorang pun yang mau
berhubungan lagi dengannya. Semua
meninggalkannya begitu saja. Pandangan Ki Japalu tertumbuk pada sangkar burung
yang berada di tengah-tengah halaman belakang. Tidak ada seekor pun burung di
sana. Semuanya mati tak terurus lagi.
"Hhh...," untuk kesekian kalinya Ki Japalu menarik napas panjang dan berat.
"Indah sekali taman itu...."
"Heh!" Ki Japalu terkejut.
Seketika itu juga dia berbalik.
Kedua bola matanya membeliak lebar ketika tahu-tahu di dekat pintu kamar ini
sudah berdiri seorang laki-laki muda berwajah tampan. Laki-laki muda itu
mengenakan baju rompi putih dengan gagang pedang berkepala burung tersembul di
punggung. "Pendekar Rajawali Sakti...," desis Ki Japalu.
"Ya, aku Pendekar Rajawali Sakti,"
kata Rangga menyebut dirinya dengan nama julukan.
"Bagaimana kau bisa masuk ke
kamarku?" tanya Ki Japalu membentak.
"Mudah saja, tidak ada seorang pun yang kutemui di sini. Hm..., sungguh
mengherankan. Rumah seorang kepala desa yang besar dan indah, tapi tidak ada
seorang pun yang ada."
"Mau apa kau ke sini?" tanya Ki Japalu tidak peduli dengan gumaman Rangga.
"Menyadarkanmu," sahut Rangga.-
"Aku bukan orang gila!" bentak Ki Japalu tersinggung.
"Menyadarkan kekeliruanmu, Ki Japalu."
"Aku tidak kenal kau! Aku juga tidak punya urusan denganmu. Kenapa kau mau ikut
campur dalam urusanku, heh?"
"Mungkin kita bisa bicara baik-baik kalau kau bisa mendinginkan kepalamu,"
kata Rangga kalem.
Tanpa menghiraukan sikap Ki Japalu, Pendekar Rajawali Sakti menghenyakkan
tubuhnya di kursi dekat pintu. Bibirnya yang
tipis menyunggingkan senyum.
Matanya teduh dan lembut memancarkan sinar kejantanan dan kearifan.
"Namamu memang bisa membuat jantung orang copot mendengarnya, Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi jangan coba-coba kau menghalangi langkahku!" ancam Ki Japalu.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia
mengambil guci arak yang ada di atas meja di sampingnya. Cairan hangat itu
dituangkan ke dalam gelas dari perunggu.
Hanya dengan sekali teguk saja, arak di dalam gelas sudah berpindah ke perutnya.
"Enak sekali, pasti arak mahal,"
puji Rangga. "Sebaiknya kau cepat enyah dari sini!" usir Ki Japalu sengit.
"Baik, aku memang akan pergi. Tapi sebaiknya kau pikirkan kata-kata adikmu.
Aku rasa dia ada benarnya juga, meskipun tindakannya tidak pernah menyenangkan
hati siapapun," kata. Rangga seraya bangkit berdiri.
'Tunggu!" cegah Ki Japalu.
"Jangan tanyakan dari mana aku tahu," potong Rangga cepat.
"Kau pasti menguping semua
pembicaraanku!" tebak Ki Japalu.
Rangga hanya mengangkat bahunya
saja. "Apa saja yang telah kau ketahui?"
tanya Ki Japalu mau tahu.
"Tidak banyak, tapi aku rasa Ki Dandung bisa mengerti dan mau
memaafkanmu," sahut Rangga. "Maaf, aku tidak bisa lama di sini."
"Hey!"
Bagaikan kilat saja, Rangga
langsung lenyap begitu tangannya membuka pintu kamar ini. Ki Japalu segera
mengejar, tapi bayangan Pendekar
Rajawali Sakti itu sudah tidak kelihatan lagi. Dia kembali masuk ke kamarnya
dengan kepala dipenuhi berbagai macam pikiran.
Kini rahasia yang sudah
dipendamnya puluhan tahun sudah
diketahui orang lain selain dirinya dan adiknya.
"Tidak! Tidak boleh ada orang lain yang tahu. Aku sangat mencintainya, dia tidak
boleh lepas dari tanganku! Dia satu-satunya penggantiku yang masih hidup," desah
Ki Japalu pelan. "Hm....
Pendekar Rajawali Sakti itu harus mampus! Dia sudah tahu semuanya, dia harus
mampus...!"
*** Rangga memandangi kuda yang dipacu cepat ke luar dari Desa Watu Ampar. Bisa saja
dia mengejar kuda itu dengan ilmu lari cepat, tapi hal itu akan
membuang-buang tenaga dengan percuma.
Saat kepalanya sedang mencari jalan ke luar yang terbaik, mendadak matanya
melihat Kajar sedang membersihkan kuda di halaman kedai Ki Dandung. Rangga
bergegas menghampiri anak itu.
"Oh! Paman...," Kajar segera menghentikan ke-giatannya.
"Ki Dandung ada, Jar?" tanya Rangga.
"Sedang ke luar, Paman" sahut Kajar.
"Hm, ke mana?"
"Mungkin ke pasar, Paman," jawab Kajar santai.
Rangga jadi tersenyum. Matanya
melirik ke arah perbatasan Utara Desa Watu Ampar ini. Penunggang kuda yang
sedang diawasinya tadi sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Hanya debu saja
yang masih tampak mengepul tipis di udara.
"Kudamu bagus," puji Rangga.
"Bukan kudaku, ini kuda kakakku,"
sahut Kajar. "Hm, boleh aku pinjam sebentar?"
Kajar tampak ragu-ragu, tapi
akhirnya dia berikan juga kuda itu.
Rangga segera melompat ke atas punggung kuda hitam itu.
"Jangan lama-lama, Paman...!" pesan Kajar.


Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bilang sama kakakmu, kudanya kupinjam," sahut Rangga.
Kajar belum sempat menyahut, Rangga sudah menggebah kuda hitam itu dengan cepat
menuju ke arah Utara. Debu mengepul terhempas kaki-kaki kuda yang berpacu cepat
bagaikan angin. Sementara Kajar hanya memandanginya saja dari tempatnya berdiri.
Rangga terus memacu kudanya dengan cepat. Dia kagum juga dengan kuda ini.
Larinya bagaikan angin saja, dan
sepertinya kaki-kaki kuda ini tidak menapak tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu
terus memacu kuda hitam itu semakin cepat. Dalam waktu tidak berapa lama saja
Geger Dunia Persilatan 17 Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading 10
^