Pencarian

Bangkitnya Pandan Wangi 3

Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi Bagian 3


Merah. Sayang, Kakek Tangan Seribu tidak menceritakannya
lebih rinci. Juga tentang kehidupan Eyang Abiyasa yang
merawat Pandan Wangi."
"Itulah yang menjadi keraguan dalam diriku, Rangga.
Selama ini, kudengar kalau Pandan Wangi dibawa Abiyasa
dalam pengembaraannya. Dan dia baru berada di Desa Banyu
Biru setelah kakeknya itu meninggal Dalam pertarungan itu,
aku sendiri tidak tahu permasalahannya. Belum lama Pandan
Wangi tinggal bersama Kakek Tangan Seribu, tapi musibah
sudah melanda lagi."
"Hm.... Eyang, apakah 'ilmu Mati Semu' adalah ilmu
keturunan?" tanya Rangga
"Memang bisa dijadikan ilmu keturunan, tapi...."
"Kenapa?"
"Ilmu itu bisa diturunkan pada saat masih bayi! melalui air
susu ibunya. Dan itu pun kalau ibunya sempat menyusui
paling sedikit tiga puluh kali. Setelah itu barulah ilmu itu akan
menurun. Yaaah..., memang ada kemungkinan bisa semakin
hebat pada keturunannya."
"Eyang! Apa tidak mungkin ketika masih bayi Pandan
Wangi diberi air susu ibunya?" duga Rangga
"Rasanya mungkin juga, Rangga. Walaupun Pandan Wangi
langsung dibawa Abiyasa begitu orang tuanya meninggal, tapi
mungkin masih sempat disusui. Memang sewaktu dibawa
pergi, tidak ada seorang pun yang tahu. Mereka seperti
menghilang begitu saja, hingga Pandan sudah besar baru
muncul di desa ini."
Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu terdiam.
Rangga menekur memandangi lantai di depannya. Sedangkan
Eyang Jamus mengelus-elus janggutnya yang panjang dan
putih keperakan. Hampir bersamaan mereka menarik napas
panjang, seakan-akan ingin me longgarkan rongga dada
masing masing. Persoalan yang dihadapi memang tidak
mudah, karena orang-orang yang mungkin ada sangkut
pautnya dengan Pandan Wangi sudah meninggal.
"Eyang, di mana letak kuburan Naga Sewu ketika itu?"
tanya Rangga tiba tiba teringat kata-kata yang tadi diucapkan
Eyang Jamus. "Di sebelah Timur Karang Setra. Tepatnya di...."
"Bukit Karungan...!" selak Rangga cepat.
"Benar."
'Tidak salah lagi, Eyang. Dia pasti Pandan Wangi!" entah
bagaimana caranya, Rangga berusaha memastikan kalau gadis
itu adalah Pandan Wangi. Perasaannya kini meledak-ledak.
"Bagaimana kau bisa memastikan, Rangga?" tanya Eyang
Jamus "Eyang, kedatanganku ke Desa Banyu Biru memang untuk
mencari mayat, Pandan Wangi yang hilang dari kuburannya.
Karena, kudapatkan kuburan itu sudah terbongkar," jelas
Rangga singkat "Memang aku yang membongkar kuburan itu," Eyang
Jamus mengakui terus terang.
"Kenapa ?"
"Dengar dulu penjelasanku, Rangga. Hal itu kulakukan
dengan berbagai pertimbangan. Aku tidak tahu sama sekali
ada pusara di sana. Dan aku juga tidak tahu letak Bukit
Karungan, kalau saja tidak ada petunjuk dari mimpi-mimpiku
yang aneh. Yaaah.... Seandainya gagal, jenazahnya past!
kukembalikan lagi ke pusaranya semula. Tapi aku berhasil.
Hanya saja gadis itu jadi seperti bayi yang baru lahir. Dia tidak
tahu siapa dirinya, dan tidak bisa lagi mengingat latar
belakang dan masa lalunya. Aku memang sudah menduga
sebelumnya, karena ia sudah lama terkubur," jelas Eyang
Jamus singkat. "Ja... jadi, Pandan Wangi hidup lagi?" Rangga seperti tak
percaya. Sinar matanya berbinar-binar memancarkan kebahagiaan yang amat sangat.
Eyang Jamus hanya menganggukkan kepalanya sedikit.
Dan Rangga sudah tahu maksudnya. Bahkan hampir saja dia
berteriak seperti anak kecil yang menemukan mainannya
kembali. "Lalu, bagaimana untuk mengembalikan dirinya yang
sesungguhnya, Eyang?" desak Rangga, seperti tidak sabar.
"Hanya ada satu cara."
"Apa?"
"Dikubur kembali "
Sejak bertemu Pandan Wangi yang kini memakai nama
Putri Naga Sewu, hati Rangga yang semula berbunga-bunga,
kini jadi sering murung menyendiri Semula memang diyakini
katau Putri Naga Sewu adalah Pandan Wangi. Tapi gadis itu
tetap menyangkal bahwa dirinya bukan Pandan Waingi!
Bahkan tidak ingat sama sekali terhadap Rangga Memang
benar kata Eyang Jamus Gadis itu bagai bayi yang baru di
lahirkan. Beberapa kali Rangga mencoba untuk mengem balikan
ingatan Pandan Wangi, tapi selalu gagal. Gadis itu tetap tidak
ingat dirinya yang sebenamya. Malah sekarang lebih suka
dipanggil Putri Naga Sewu. Rangga tidak tahu lagi apa yang
harus dilakukan kini. Memang, tidak ada cara lain untuk
mengembalikan Pandan Wangi pada keadaan seperti semula,
selain yang dikatakan Eyang Jamus. Dikubur kembali selama
tiga hari. Pagi-pagi sekali Rangga dan Cempaka sudah berada di
rumah Eyang Jamus. Pendekar Rajawali Sakti itu sudah
memutuskan untuk menyetujui usul Eyang Jamus, meskipun
tahu resikonya terlalu tinggi bagi keselamatan Pandan Wangi
yang kini masih juga memakai nama Putri Naga Sewu.
"Berangkat sekarang?" tanya Eyang Jamus.
"Baik," sahut Rangga mantap.
"Kuda dan perbekalan sudah kusiapkan," selak Cempaka.
"Bagaimana, Naga Sewu. Sudah siap?" Eyang Jamus
menatap Putri Naga Sewu
"Sudah," sahut Putri Naga Sewu mantap.
"Baiklah. Ayo kita berangkat "
Empat orang keluar dari dalam rumah kecil itu. Empat ekor
kuda sudah siap menanti di depan pintu. Mereka segera
melompat ke punggung kuda masing-masing. Eyang Jamus
menggebah kudanya lebih dahulu. Cempaka membarengi di
sampingnya. Sengaja ditinggalkan Rangga dan Putri Naga
Sewu di belakang. Rangga masih berusaha meyakini gadis itu
sebagai Pandan Wangi. Kadangkala, di benak Rangga terlintas
kalau dirinya tengah berjalan bersama gadis yang dicintainya
Tapi jika teringat bahwa gadis itu lupa terhadap dirinya, hati
Rangga seperti terpukul.
Empat orang berkuda itu memacu kudanya tidak terlalu
cepat Memang tidak dikejar waktu. Kapan saja bisa
dilaksanakan. Rangga mengendalikan Kuda Dewa Bayu di
samping Putri Naga Sewu. Sesekali diliriknya gadis itu. Setiap
kali pandangannya tertumpu pada wajah cantik di
sampingnya, terselip suatu perasaan ganjil. Meskipun yakin
kalau gadis itu adalah Pandan Wangi, tapi masih terselip
keraguan di hatinya. Keraguan yang didasarkan pada
keyakinannya kalau Pandan Wangi sudah tewas tiga bulan
yang lalu. Dan sekarang seorang gadis yang begitu serupa
segala galanya dengan Pandan Wangi tengah berkuda di
sampingnya. Tidak ada sedikit pun perbedaannya.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang dan te-rasa begitu
berat. "Ada apa" Kok menarik napas?" tegur Putri Naga Sewu
seraya menoleh menatap pemuda di sampingnya.
'Tidak apa-apa," sahut Rangga disertai desahan panjang.
"Kelihatannya ada yang dipikirkan," ujar Putri Naga Sewu
tetap memperhatikan
"Mungkin. Tapi aku tidak tahu apa yang sedang
kupikirkan," sahut Rangga terus terang.
"Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan diriku," tebak Putri
Naga Sewu. Rangga terkejut mendengar tebakan yang tepat itu. Secara
jujur dirinya memang tengah memikirkan gadis itu. Dia cemas
kalau usaha Eyang Jamus mengalami kegagalan. Itu berarti
untuk selamanya tidak akan bisa bertemu Pandan Wangi lagi
Menurut Eyang Jamus, pekerjaan ini mengandung resiko
nyawa bagi gadis itu. Kegagalan sedikit saja mcngakibatkan
kematian yang sebenamya. Tapi jika berhasil, maka gadis itu
akan memiliki satu ilmu yang langka dan tidak ada duanya di
dunia ini. ilmu yang bisa mematikan diri dan menghidupkannya kembali sesuka hati. Dan yang pasti,
kekuatan ilmu untuk mati semu itu hanya selama tujuh hari.
Lebih dari itu akan mati selama-lamanya.
"Boleh kutanya kau sesuatu, Kakang?" ucap Putri Naga
Sewu yang sudah membiasakan memanggil Rangga dengan
sebutan Kakang. Dan ini memang sudah diminta Rangga
sebelumnya. "Apa yang akan kau tanyakan?" sambut Rangga.
"Kenapa kau begitu yakin kalau aku ini Pandan Wangi?"
tanya Putri Naga Sewu.
"Sukar untuk dikatakan, Naga Sewu. Tapi aku tetap yakin
kalau kau adalah Pandan Wangi," sahut Rangga hati-hati.
"Apa karena wajahku yang mirip kekasihmu itu?" tebak
Putri Naga Sewu.
"Mungkin salah satunya Tapi dari cerita Eyang Jamus, kau
diambil dari dalam kubur. Dan aku tahu betul kalau kuburan
itu adalah kuburan Pandan Wangi. Itu sebabnya jauh-jauh
mencarimu sampai ke sini."
Putri Naga Sewu diam saja.
"Aku yakin, kau adalah Pandan Wangi. Bukan Putri Naga
Sewu," lanjut Rangga. Sepertinya berusaha meyakinkan gadis
di sampingnya. Putri Naga Sewu tetap diam. Entah apa yang ada dalam
benaknya saat ini. Dan Rangga sendiri juga sudah tidak bicara
lagi. Sementara mereka semakin jauh meninggalkan Desa
Banyu Biru. Malam sudah jatuh dalam pelukan alam. Gelap menyelimuti
seluruh permukaan bumi. Saat ini bulan bersinar penuh, dan
langit pun terlihat cerah. Bintang-bintang
gemerlap menambah indahnya malam ini. Rangga duduk bersila di
depan seonggok api unggun. Di sampingnya duduk Cempaka.
Sedangkan Eyang Jamus dan Putri Naga Sewu berada agak
jauh dari tempat itu. Entah apa yang tengah mereka
bicarakan. "Kakang ," bisik Cempaka tiba-tiba.
"Aku sudah tahu, Cempaka. Sebaiknya beritahu Eyang
Jamus dan Naga Sewu,'' kata Rangga bisa menangkap bisikan
itu. "Sejak dari Desa Banyu Biru mereka mengikuti, Kakang,''
kata Cempaka setengah berbisik.
"Benar. Aku juga ingin tahu apa maksudnya membuntuti
kita," sahut Rangga kalem.
Rangga dan Cempaka menoleh. Eyang Jamus dan Putri
Naga Sewu datang menghampiri. Mereka duduk me lingkar
mengelilingi api unggun yang tidak begitu besar. Pandangan
Eyang Jamus lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa yang mereka inginkan, Rangga?" tanya Eyang Jamus
yang rupanya juga sudah mengetahui kedatangan tamu-tamu
tidak diundang.
"Entahlah, mungkin...," Rangga melirik Putri Naga Sewu.
"Hm... Rupanya mereka masih juga menginginkan pedang
ini," gumam Putri Naga Sewu. Gadis itu juga sudah tahu.
Keempat orang itu tetap duduk diam tanpa bicara-bicara
lagi, namun jelas bersikap waspada penuh. Suara-suara
langkah kaki yang begitu ringan semakin jelas terdengar.
Dalam hati, Rangga menghitung tamu-tamu tak diundang itu.
Ada sekitar empat atau lima orang. Dan tampaknya bukan
orang-orang sembarangan. Suara langkah kaki itu demikian
halus, dan hampir tidak terdengar. Itu sudah menandakan
kalau ilmu yang dimiliki cukup tinggi. Siapa mereka..."
Belum sempat pertanyaan di dalam benak Rangga
terjawab, mendadak sebatang tombak panjang meluncur
deras ke arah Putri Naga Sewu. Hanya dengan sedikit
memiringkan tubuh, tombak itu menancap dalam pada
sebatang pohon di samping gadis itu. Sebatang tombak hitam
kemerahan dan sebelum lagi keempat orang itu bisa bergerak,
mendadak melesat puluhan anak panah.
Keempat tokoh rimba persilatan itu serentak berlompatan
menghindari hujan anak panah itu. Meskipun serangan itu
hanya sekali, namun puluhan anak panah itu cukup
mengancam nyawa mereka. Sekilas, Rangga melihat sebuah
bayangan berkelebat dalam semak. Secepat kilat Pendekar
Rajawali Sakti itu melompat mengejar.
"Hiyaaa...!"
Tepat begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti menembus
semak, sebuah bayangan melesat ke atas, lalu hinggap di atas
dahan. Dan belum lagi Rangga keluar dari dalam semak, dari
segala penjuru bermunculan sekitar enam orang bersenjata
golok dan tombak. Tanpa berkata apa apa, mereka
berlompatan menyerang Putri Naga Sewu, Eyang Jamus dan
Cempaka. Malam yang semula hening tenang itu, seketika pecah oleh
pekik dan teriakan pertempuran, ditingkahi benturan senjata
beradu. Rangga cepat-cepat melompat keluar dari dalam
semak, dan langsung terjun ke dalam kancah pertempuran itu
Tapi belum juga sempat melayangkan satu pukulan,
mendadak sebuah bayangan berkelebat memotong arahnya.


Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hait..!"
Pendekar Rajawali Sakti Itu melentingkan tubuhnya ke
belakang. Tubuhnya kini berputar beberapa kali di udara,
kemudian mendarat manis di tanah. Tatapan matanya tajam
menangkap sesosok tubuh perempuan tua kurus. Tongkat di
tangannya, pada ujung-nya berbentuk tengkorak bertanduk
"Dewi Tengkorak Hitam...," desis Kangga mengenali
perempuan tua itu. Pendekar Rajawali Sakti pernah bertemu
orang ini sekali ketika terjadi pertempuran di Bukit Setan.
Memang sudah bisa ditebak kemunculan perempuan berhati
iblis ini Yang jelas, pasti ingin merebut Pedang Naga Geni
yang ada di tangan Putri Naga Sewu.
"He he he ! Kalian tidak akan pernah sampai ke Karang
Setra," Dewi Tengkorak Hitam terkekeh. "Pandan Wangi!
Serahkan pedang dan kitab pusaka itu!"
Namun Putri Naga Sewu yang merasa dirinya bukan
Pandan Wangi, hanya diam saja. Padahal Dewi Tengkorak
Hitam menatap tajam padanya.
"Phuih! Kalau aku tahu pedang itu terkubur bersamamu,
sudah dari dulu kubongkar!" rungut Dewi T engkorak Hitam.
"Kotor sekali mulutmu, Nisanak!" geram Rangga.
"Wadya Bala, serang! Bunuh mereka semua...!" seru Dewi
Tengkorak Hitam keras.
Seketika itu juga enam orang bersenjata golok dan tombak,
serentak berlompatan menyerang. Eyang Jamus melompat
mundur memberikan kesempatan pada Putri Naga Sewu dan
Cempaka untuk menghadapi enam orang itu. Sedangkan Dewi
Tengkorak Hitam segera merangsek Pendekar Rajawali Sakti.
Eyang Jamus sudah dapat mengukur kalau enam orang itu
tidak akan mampu menghadapi Cempaka dan Putri Naga
Sewu. Seorang saja dari dua gadis itu, belum tentu dapat
ditundukkan Tidak heran kalau sebentar saja sudah terdengar jeritan
melengking tinggi, disusul ambruknya salah seorang dari
mereka disertai simbahan darah. Belum lagi hilang suara
jeritan itu, disusul jeritan lainnya. Melihat dua orang roboh
dengan mudah, Cempaka melompat mundur. Dibiarkan saja
Putri Naga Sewu bertarung sendirian.
Meskipun tidak menghunus Pedang Naga Geni, namun Putri
Naga Sewu mampu membuat empat orang lawannya jatuh
bangun menghadapinya. Dan sebentar kemudian dua orang
lawannya terjengkang, langsung tewas seketika Putri Naga
Sewu berteriak keras, disusul satu lompatan cepat bagai kilat
Dua pukulan dilepaskan secara beruntun. Maka, dua orang
lawannya yang tersisa, tidak dapat lagi menghindar.
Bug! Bug! Dua jeritan me lengking terdengar menyayat, kemudian dua
tubuh besar itu terjungkal ambruk ke tanah. Kepala mereka
pecah dan dada melesak masuk ke dalam. Hanya sebentar
bisa bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi. Putri Naga
Sewu berbalik menatap Cempaka yang mengacungkan
jempolnya. Kedua gadis itu berdiri berdampingan menyaksikan
pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Dewi
Tengkorak Hitam.
Mengetahui tinggal sendirian, Dewi Tengkorak Hitam agak
gentar juga hatinya. Padahal sudah dikerahkan lebih dari dua
puluh jurus, tapi belum sedikit pun dapat mendesak Pendekar
Rajawali Sakti. Kegentaran semakin melanda hari perempuan
tua itu. "Mayang, bantu aku...!" tiba-tiba Dewi Tengkoral Hitam
berseru nyaring.
Seruan yang keras itu membuat semua orang yang ada di
hutan itu terkejut setengah mati. Lebih-lebih Pendekar
Rajawali Sakti, yang sampai melompat mundur menghentikan
serangannya. Cempaka langsung mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Dan pada saat itu, terlihat sebuah bayangan merah
berkelebat di balik pepohonan. Secepat kilat Cempaka melesat
mengejar bayangan tadi. Dan pada saat yang sama, Dewi
Tengkorak Hitam memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur.
Bagaikan kilat tubuhnya melompat melarikan diri.
"Jangan lari kau! Hiyaaa...!" Gesit sekali Putri Naga Sewu
melemparkan pedangnya disertai pengerahan tenaga dalam
cukup tinggi. Pedang Naga Geni yang berwama merah itu
melesat cepat melebihi anak panah yang terlepas dari busur,
dan langsung meluruk ke arah Dewi Tengkorak Hitam. Begitu
cepatnya lemparan Putri Naga Sewu, sehingga
"Aaa...!"
Pedang Naga Geni menghunjam langsung ke punggung
Dewi Tengkorak Hitam, hingga tembus ke dada. Dewi
Tengkorak Hitam terjerembab jatuh mencium tanah. Dia
berusaha bangkit meskipun dada dan punggungnya
terpanggang pedang yang selalu diimpikannya itu. Namun
belum juga mampu berdiri, Putri Naga Sewu sudah melompat
cepat. Langsung saja tangan gadis itu melayang memberi satu
pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi.
"Hiyaaa "
Prak! "Aaa...!"
Dewi Tengkorak Hitam langsung tewas seketika dengan
kepala hancur berantakan. Putri Naga Sewu menarik lepas
pedangnya dari tubuh perempuan itu, kemudian menyarungkan kembali. Sebentar berdiri tegak, kemudian
berbalik dan melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
Eyang Jamus sudah lebih dahulu sampai di samping pemuda
pendekar itu "Mana Cempaka?" tanya Rangga yang memang tidak
sempat melihat kepergian Cempaka, karena terlalu terpusat
perhatiannya pada Dewi T engkorak Hitam.
"Mengejar bayangan itu," sahut Putri Naga Sewu.
"Mayang...?"
Belum terjawab pertanyaan Rangga, tiba-tiba Cempaka
muncul. Gadis itu langsung menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti. Napasnya tersengal, dan wajahnya bersimbah keringat.
Rangga memandangi adik tirinya ini.
"Tidak ada. Cepat sekali menghilangnya," ujar Cempaka
tanpa diminta memberitahu hasil pengejarannya.
"Sudahlah. Malam ini dia pasti tidak akan berani muncul
lagi," kata Rangga menjamin.
'Tapi sewaktu-waktu bakal muncul kembali, Kakang. Aku
yakin," bantah Cempaka.
"Aku tahu. Tapi yang jelas tidak malam ini. Entah besok
atau lusa."
"Huh! Benar-benar sudah gila dia. Tidak mengukur
kemampuan diri sendiri!" gerutu Cempaka.
"Sebaiknya kau istirahat saja, Cempaka. Juga kau, Naga
Sewu," kata Rangga seraya memandang ke wajah gadis itu
Dan setiap kali memandang, darahnya seperti berdesir hangat.
Kedua gadis itu tidak membantah. Mereka mendekati api
unggun yang hampir padam. Setelah menambahkan beberapa
ranting, kedua gadis itu merebahkan diri beralaskan daun tikar
pandan yang dianyam halus. Sedangkan Rangga dan Eyang
Jamus duduk tidak jauh di bawah pohon. Mereka duduk
bersila saling berhadapan.
"Dia juga pernah datang menemui Naga Sewu. Tapi waktu
itu sambil menangis dan meminta maaf. Aku sendiri tidak
tahu, apa persoalannya. Dia menyebut Naga Sewu sebagai
Pandan Wangi," jelas Eyang Jamus.
"Dan yang pasti Naga Sewu tidak mengakui, bukan?" tebak
Rangga pasti. "Benar."
"Mayang pasti merasa terhina, lalu mendendam. Yaaah...,
persoalan lama terulang lagi," gumam Rangga pelan, seolah
bicara untuk dirinya sendiri.
"Dendam lama...?"
Tanpa ragu-ragu lagi Rangga menceritakan semua yang
pernah terjadi antara Mayang dengan Pandan Wangi, yang
tentu saja juga melibatkan dirinya (Baca; Serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam kisah "Darah Pendekar"). Eyang Jamus
mendengarkan penuh perhatian. Kepala laki-laki tua itu
terangguk-angguk tanda mengerti. Sampai Rangga selesai
bercerita, Eyang Jamus masih diam sambil terangguk-angguk
seperti mengantuk.
"Rangga! Kurasa ini ancaman serius bagi pemulihan Pandan
Wangi..., eh, Naga Sewu," ujar Eyang Jamus setengah
bergumam. "Itulah yang menjadi pemikiranku, Eyang," sam but
Rangga. "Yang pasti, Mayang tidak akan membiarkan gadis itu hidup
kembali. Hm... Apa tindakanmu, Rangga?"
"Rencana ini tetap berjalan, Eyang. Aku bisa mengerahkan
prajurit-prajurit Karang Setra untuk menjaga Bukit Karungan.
Yang jelas, aku tidak akan jauh darimu. Percayalah,
pekerjaanmu tidak akan mendapat gangguan yang berarti.
Tapi entah dalam perjalanan ini. Mungkin juga banyak
hambatan," kata Rangga mantap.
"Kau begitu bersemangat sekali, Anak Muda," Eyang Jamus
tersenyum penuh arti.
Rangga jadi tersenyum kecut Sedikit wajahnya bersemu
merah. Kata-kata laki-laki tua itu sangat tepat mengenai
hatinya yang paling dalam. Sejak mengetahui dan yakin kalau
Putri Naga Sewu adalah Pandan Wangi, dia memang begitu
bersemangat untuk mengembalikan gadis itu seperti semula.
Rasanya, tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.
)odwo( Perjalanan yang ditempuh Rangga, Eyang Jamus, dan dua
gadis Itu memang mengalami banyak hambatan. Dan
kebanyakan datangnya dari tokoh rimba persilatan yang masih
menginginkan Pedang Naga Geni. Tapi untunglah semua itu
mampu teratasi dengan mudah. Hanya satu yang menjadi
pemikiran Rangga, yakni tentang Mayang. Gadis itu belum
juga jera mengundang tokoh-tokoh berkepandaian tinggi
hanya untuk melaksanakan dendamnya pada Pandan Wangi
Pagi-pagi sekali rombongan kecil itu sudah tiba di Bukit
Karungan. Mereka kini berdiri tepat di pinggir lubang bekas
kuburan Pandan Wangi. Lubang itu masih menganga lebar,
dan sebuah sekop masih berada di dalamnya. Saat itu Rangga
meminta Cempaka kembali ke istana, untuk segera membawa
prajurit-prajurit pilihan. Cempaka langsung pergi tanpa banyak
tanya lagi. Dia sudah tahu maksud Pendekar Rajawali Sakti
itu. "Kapan dimulai, Eyang?" tanya Rangga.
"Malam nanti," sahut Eyang Jamus.
"Kenapa tidak secepatnya saja?"
"Aku mengeluarkannya malam hari, dan harus dikembalikan
malam hari juga. Hm..., lagi pula aku menyiapkan diri lebih
dulu." Rangga tidak bertanya lagi. Dihampirinya Putri Naga Sewu
yang sudah duduk di bawah pohon kemuning. Sedangkan
Eyang Jamus menggelar tikar pandan, laki duduk bersila di
dekat lubang kuburan itu. Disiapkan beberapa peralatan yang
dibawanya, lalu dinyalakan pendupaan. Laki-laki tua itu duduk
tepekur dengan telapak tangan merapat di depan dada. Kedua
matanya terpejam rapat, dan tarikan napasnya halus teratur.
Siang terus merambat semakin tinggi. Matahari bergulir
sejalan dengan peredaran waktu. Hangatnya cahaya matahari
demikian terasa menyengat. Beberapa kali Rangga mendongakkan kepalanya melihat ke arah jalan, menunggu
Cempaka yang pergi ke Istana Karang Setra untuk mengambil
beberapa prajurit pilihan. Tapi jalan tembus ke Kota Karang
Setra itu tetap sunyi. Rangga tidak dapat menyembunyikan
kegelisahannya. Sedangkan Putri Naga Sewu tampak tenang
saja. "Kau gelisah sekali, Kakang," tegur Putri Naga Sewu.
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu," desah Rangga pelahan.
Rangga menatap dalam-dalam bola mata gadis di
sampingnya, sepertinya sedang mencari sesuatu di dalam
mata yang bulat bening itu. Memang tidak ada yang dapat
ditemukan. Tatapan mata Putri Naga Sewu begitu bening
bagai mata seorang bayi yang baru di-lahirkan.
"Kenapa menatapku begitu?" tegur Putri Naga Sewu sedikit
jengah juga. "Naga Sewu, apakah tidak bisa kau batalkan semua ini?"
tanya Rangga ragu ragu.
"Maksudmu?" tanya Putri Naga Sewu.
"Naga Sewu, aku tidak peduli siapa namamu. Yang jelas
aku yakin kalau kau adalah Pandan Wangi. Itu kuburanmu,
dan kau diangkat dari sana oleh Eyang Jamus. Hhh...! Terus
terang, aku cemas kalau...." Rangga seperti mengharapkan
sesuatu. "Pendirianku sudah mantap, Kakang," potong Putri Naga
Sewu cepat. "Resikonya terlalu besar, Naga Sewu," Rangga tetap
membujuk. "Apa pun yang akan terjadi, tetap kujalani. Tidak enak
menjadi orang lain. Padahal kau dan semua orang
mengenaliku, meskipun aku tidak tahu diriku sebenamya.
Percayalah! Eyang Jamus pasti berhasil. Dia bisa membangkitkan aku dari kubur, tentu bisa

Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga menyempumakan diriku."
"Ya, aku percaya padanya. Tapi...," belum Rangga
melanjutkan ucapannya, tiba-tiba di sekitai bermunculan
sekitar sepuluh orang bersenjata terhunus.
Rangga cepat melompat sigap mendekati Eyang Jamus
yang masih duduk bersila menyatukan raga jiwa pada Sang
Pencipta. Putri Naga Sewu juga segera melompat mengikuti
Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga mengedarkan pandangannya, menatap sepuluh orang yang bergerak
pelahan mendekati.
"Hm...," Rangga menggumam pelan. Saat itu dari atas
pohon yang cukup tinggi, me luruk turun seorang gadis
berbaju merah menyala. Kemudian disusul seorang laki laki
tua dan dua orang perempuan yang hampir sebaya usianya
dengan Putri Naga Sewu. Rangga mengenali mereka semua.
Yang berbaju merah, sudah pasti Mayang. Sedangkan yang
laki-laki bersenjata cambuk ekor kuda adalah si Iblis Cambuk
Neraka. Dan, dua orang wanita muda di samping Mayang
adalah si Kembar Bidadari Maut. Mereka sudah jelas tokoh
rimba persilatan dari golongan hitam. Memang sudah bisa
ditebak maksud kedatangan mereka yang tiba-tiba ini. Sama
sekali Pendekar Rajawali sakti itu tidak menghiraukan sepuluh
orang yang bersenjata golok. Mereka adalah kroco-kroco yang
pasti dibayar Mayang untuk kelancaran niatnya yang buruk
pada Putri Naga Sewu.
"Kau benar, Mayang. Dia adalah Pandan Wangi. Dan
pedang itu.... He he he..., pedang itulah yang selama ini
kucari cari. Tidak percuma mengajakku ke sini, Mayang," kata
si Iblis Cambuk Neraka gembira melihat pedang di punggung
Putri Naga Sewu.
"Aku hanya menginginkan kepalanya saja, Iblis Cambuk
Neraka Kau boleh memiliki pedang itu, atau apa saja yang kau
inginkan," kata Mayang tersenyum sinis pada Putri Naga
Sewu. "Bagaimana dengan janjimu, Mayang?" celetuk salah
seorang gadis dari si.Kembar Bidadari Maut.
"Terserah kalian. Aku tidak membutuhkannya lagi. Aku
muak dengan kesombongannya. Huh!" Mayang mendengus
sambil menyemburkan ludahnya ke arah Pendekar Rajawali
Sakti. "Bisa kau balas kematian gurumu, si Durjana Pemetik
Bunga." "Bukan guru, tapi kakak seperguruanku," ralat salah
seorang lainnya dari si Kembar Bidadari Maut Sementara itu
Rangga yang mendengar semua percakapan mereka, menjadi
geram setengah mati. Rupanya selama ini Mayang tahu semua
tentang petualangan dirinya. Maka dimanfaatkanlah orang-
orang yang ada hubungan dengan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Terutama yang menyangkut persoalan dendam dalam dunia
persilatan. Benar-benar licik gadis ini. Tidak mampu
menghadapi sendiri, maka diperalatlah orang-orang yang
memiliki dendam pribadi pada Pendekar Rajawali Sakti. Atau
mereka yang haus senjata pusaka.
Rasa cinta, marah, dan benci, serta dendam dalam hati
Mayang, rupanya tidak bisa terkendalikan lagi. Hati gadis itu
bagai tertutup rayuan dan bujukan iblis sehingga lupa daratan
dan menjadi wanita licik penuh dendam. Sungguh amat
disayangkan, seorang gadis yang semula baik, polos, dan
berada di jalan yang benar, kini terlibat persoalan dendam
yang membuatnya jadi mata gelap. Tidak bisa lagi
membedakan yang benar dan yang salah..
"Sebaiknya kalian tidak perlu membuang-buang waktu lagi.
Cepat bereskan sebelum para prajurit Karang Setra
berdatangan," kata Mayang.
"Keparat..!" geram Rangga dalam hati. Dia benar-benar
gusar melihat tingkah Mayang kali ini.
Rangga baru sadar kalau selama ini ternyata Mayang
membuntutinya mencari Pandan Wangi. Bahkan selalu bisa
mengambil kesempatan untuk melampiaskan dendamnya.
Rangga benar-benar tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Kebenciannya memuncak melihat tingkah Mayang yang sudah
dianggapnya kelewat batas
"Seraaang...!" seru Mayang tiba tiba.
)odwo( Seruan Mayang yang keras Itu membuat sepuluh orang
bersenjata golok, berlompatan menyerang seketika. Golok-
golok berkilat tertimpa cahaya matahari saling berkelebat
mengarah ke bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti
dan Putri Naga Sewu. Sedangkan empat orang lainnya masih
berdiri memper-hatikan. Terlebih Mayang, yang begitu
tertumpah perhatiannya pada Putri Naga Sewu. Gadis yang
diyakininya sebagai Pandan Wangi.
Trang! Trang...!
"Hiya! Y eaaah...!"
Pertarungan berlangsung sengit. Putri Naga Sewu sudah
mencabut pedangnya yang berwama merah bagai besi
terbakar. Dengan Pedang Naga Geni, dirinya bagai sosok
malaikat pencabut nyawa. Setiap kibasan pedangnya, satu
nyawa melayang. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya
mempergunakan jurus-jurus ringan. Itu pun sudah menyebabkan beberapa nyawa melayang.
Meskipun hanya berdua, tapi sepuluh orang itu tidak
mampu mendesak lawannya. Bahkan satu per-satu mereka
terjerembab jatuh, dan nyawa melayang. Tidak berapa lama
pertarungan itu berlangsung. Jeritan melengking terakhir
masih terdengar dari lawan Putri Naga Sewu. Gadis itu segera
melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri
tegak melindungi Eyang Jamus.
"Hebat! Tapi jangan berbangga dulu. Terimalah seranganku
ini. Hiyaaa...!"
Ctar! Si Iblis Cambuk Neraka melompat cepat bagai kilat
menerjang Putri Naga Sewu. Tapi sebelum cambuknya
menyentuh tubuh gadis itu, dengan cepat Rangga melepaskan
satu pukulan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam
yang sempurna sekali.
"Eh! Uts. .!"
Si Iblis Cambuk Neraka terkejut setengah mati. Belum juga
pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu sampai, angin pukulannya
sudah terasa demikian dahsyat. Akibatnya, laki-laki berkumis
tebal itu terpaksa menarik pulang serangannya, kemudian
segera melenting ke atas Dan pada saat tubuhnya berada di
udara, dengan cepat dikebutkan cambuknya ke arah Putri
Naga Sewu kembali.
Ctar! "Hap!"
Putri Naga Sewu tidak menggeser kakinya sedikit pun.
Begitu ujung cambuk yang menyerupai buntut kuda itu berada
di atas kepalanya, secepat kilat diangkat tangannya, dan
ditangkap cambuk itu. Dengan pengerahan tenaga dalam yang
cukup tinggi, Putri Naga Sewu membetot cambuk itu ke
bawah. "Eh...!" si Iblis Cambuk Neraka tersentak kaget.
Belum juga dapat menguasai keseimbangan tubuhnya,
Putri Naga Sewu sudah melesat ke atas. Maka satu tendangan
kilat segera dilepaskan ke dada laki-laki berkumis tebal itu.
Tendangan yang cepat dan tak terduga sama sekali itu, sukar
dihindarkan lagi. Apalagi, saat itu si Iblis Cambuk Neraka
sedang menahan betotan Putri Naga Sewu
Bug! "Akh...!" si Iblis Cambuk Neraka terpekik tertahan.
Seketika itu juga tubuh besar itu meluncur deras ke bawah,
dan jatuh bergulingan di tanah. Tampak darah kental
mengucur dari mulutnya. Iblis Cambuk Neraka bergegas
bangkit, tapi tubuhnya agak limbung. Sebentar digerakkan
tangannya di depan dada, lalu dikebut kebutkan cambuknya
yang sama persis dengan buntut kuda.
Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, si Iblis Cambuk
Neraka berlari kencang menyerang Putri Naga Sewu.
Dikebutkan cambuknya kuat-kuat. Cambuk itu pun menegang
kaku bagai sebatang tongkat. Bahkan ujung-ujungnya yang
bagai rambut itu menegang kaku.
"Hait..!"
Putri Naga Sewu melompat ke atas menghindari serudukan
si Iblis Cambuk Neraka. Dan begitu laki-laki berkumis tebal itu
lewat di bawah kakinya, dengan cepat Putri Naga Sewu
menghunus pedangnya kembali. Dengan kecepatan kilat,
dikibaskan pedang itu ke arah leher, dan.
Cras! "Aaa...!" si Iblis Cambuk Neraka menjerit melengking tinggi.
Darah langsung muncrat keluar dari leher yang terpenggal
buntung. Bersamaan dengan menggelindingnya kepala, tubuh
si Iblis Cambuk Neraka juga ambruk sambil memuncratkan
darah segar dari leher yang buntung. Putri Naga Sewu
menendang tubuh tanpa kepala itu setelah mendarat di tanah.
Pada saat itu, dari kejauhan terdengar suara derap langkah
kaki kuda. Tampak Cempaka, Danupaksi, dan dua orang
panglima serta sekitar lima puluh prajurit Kerajaan Karang
Setra memacu kudanya cepat mendaki Lereng Bukit Karungan
ini. Seketika wajah Mayang jadi pucat pasi. Bagitu pula
dengan si Kembar Bidadari Maut. Mereka nampak gelisah
karena kini datang para prajurit Karang Setra itu.
"Rangga, persoalan ini belum lagi selesai!" kata salah
seorang dari si Kembar Bidadari Maut lantang.
Setelah berkata demikian, gadis kembar itu langsung
melesat pergi sebelum para prajurit yang dibawa Cempaka
tiba. Pada saat yang sama, Mayang juga hendak melompat
kabur. Tapi Putri Naga Sewu cepat-cepat menghadangnya.
Belum lagi Mayang bisa berbuat sesuatu, rombongan prajurit
Karang Setra itu sudah tiba. Mereka langsung berlompatan
turun dari kudanya masing-masing, membentuk lingkaran
mengurung Mayang.
"Kau menang, Pandan...," kata Mayang ketus.
"Tidak ada kesempatan lagi untuk membalas, Mayang!"
dengus Cempaka yang sudah muak akan tingkah Mayang
selama ini. Mayang menatap Cempaka yang berjalan mendekati Putri
Naga Sewu. Saat itu, Rangga dan Danupaksi berada tidak jauh
di sebelah kanan kedua gadis itu. Entah apa yang dibisikkan
Rangga di telinga adik tirinya itu, tapi kepala Danupaksi
terangguk-angguk. Kemudian, Danupaksi mendekati dua
orang berpakaian panglima, dan juga berbisik. Kedua
panglima itu langsung bergerak mengatur penjagaan di sekitar
Bukit Karungan ini. Hanya tinggal enam prajurit dan seorang
panglima saja yang masih berada di dekat tempat itu.
"Kanda Prabu, hukuman apa yang pantas untuk perempuan
setan ini?" tanya Cempaka seraya melirik penuh kebencian
pada Mayang. "Biarkan dia pergi," kata Rangga dingin dan datar.
"Apa..."!" Cempaka terkejut tidak percaya dengan
pendengarannya.
Rangga memang muak dan benci terhadap tingkah
Mayang. Tapi tidak mungkin untuk bertindak lebih selain
membiarkan Mayang pergi. Bagaimanapun juga, gadis itu
adalah murid bibinya yang pernah berjasa mengembalikan
Karang Setra pada ahli warisnya. Berdirinya Kerajaan Karang
Setra juga tidak terlepas dari jasa Mayang. Hal itu jelas tidak
akan pernah dilupakan Rangga. Sukar bagi Pendekar Rajawali
Sakti untuk menjatuhkan hukuman berat pada Mayang.
"Kakang...," Danupaksi mendekati Pendekar Rajawali Sakti
itu. "Aku tahu perasaan kalian semua. Tapi, kalian harus ingat
jasa-jasanya yang tidak kecil. Meskipun sekarang ini
pikirannya sedang kacau, tapi rasanya tidak patut memberikan
hukuman padanya. Biarkan dia pergi," kata Rangga penuh
kewibawaan. "Kakang, dia tidak akan kapok. Pasti akan membuat
perkara lagi di kemudian hari," kata Cempaka tetap tidak
setuju keputusan Rangga.
"Pada dasarya dia baik, Cempaka. Aku yakin suatu saat
Mayang akan menyadari kekeliruannya," kata Rangga
"Pergilah kau Mayang, sebelum aku berubah pikiran."
Mayang menatap dalam-dalam pemuda yang dicintainya,
sekaligus juga dibencinya. Kemudian pandangannya beralih
pada Cempaka, Danupaksi, dan berakhir pada Putri Naga
Sewu yang wajahnya begitu mirip Pandan Wangi. Pantas
memang semua orang yang ada di Bukit Karungan ini begitu
yakin kalau gadis itu adalah Pandan Wangi.
"Terima kasih kau biarkan aku pergi. Tapi, pikiranku tidak
akan berubah! Aku tidak akan mencelakakanmu atau
keturunanmu. Aku mencintaimu. Aku hanya membenci siapa
saja yang berusaha mendapatkanmu. Itu janjiku, Kakang.
Siapa saja yang mencoba mendekatimu harus mati di
tanganku!" tegas nada suara Mayang.
Setelah berkata demikian, Mayang berbalik dan langsung
melompat ke punggung salah seekor kuda prajurit. Dengan
cepat digebahnya kuda itu. Debu berkepul tersepak kaki kuda
yang beriari kericang bagai dikejar setan. Rangga dan kedua
adik tirinya serta Putri Naga Sewu memandang kepergian
Mayang, sampai bayangannya lenyap bersama kuda
tunggangannya. Saat itu matahari sudah tergulir ke arah Barat. Sinarnya
yang terik tidak lagi terasa. Angin berhembus agak kencang.
Danupaksi memerintahkan pada empat orang prajurit untuk
menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Sementara
itu Rangga berdiri tegak tidak jauh dari Eyang Jamus yang
masih tenang duduk bersila di pinggir liang lahat bekas milik
Pandan Wangi. Sementara Putri Naga Sewu dan Cempaka
mengambil tempat yang teduh di bawah naungan pohon


Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

flambo-yan. Suasana di sekitar Bukit Karungan menjadi sunyi
senyap. Semua orang menunggu Eyang Jamus yang tengah
mempersiapkan diri untuk memulihkan kembali Putri Naga
Sewu atau Pandan Wangi.
Waktu berjaian terasa begitu lambat Sepertinya lama sekali
menanti datangnya malam. Namun, pada akhirnya datang
juga. Seluruh permukaan Bukit Karungan kini sudah terselimut
kegelapan. Tidak ada yang menyalakan api, karena memang
dilarang Eyang Jamus. Laki-laki tua Itu sudah bangun dari
semadinya yang cukup panjang. Ditatapnya Putri Naga Sewu,
maka gadis itu melangkah menghampirinya didampingi
Cempaka. "Sekarang waktunya, Cucuku," kata Eyang Jamus pelan.
"Kau sudah siap, Pandan?" tanya Rangga sudah menyebut
gadis itu dengan nama Pandan Wangi.
Putri Naga Sewu hanya tersenyum manis, kemudian
melangkah mendekati lubang itu. Eyang Jamus berkomat
kamit sebentar, lalu menyipratkan sepercik air dari dalam guci
ke wajah Putri Naga Sewu. Seketika itu juga mata gadis itu
terpejam, dan tubuhnya menegang kaku. Tak ada lagi gerakan
di dalam dirinya. Eyang Jamus kembali duduk bersila, lalu
mengangkat tangannya ke arah Putri Naga Sewu.
Tak ada yang bersuara sedikit pun. Semua orang yang
menyaksikan saling menahan napas. Tubuh ramping berbaju
biru itu terangkat pelahan, dan rebah mengambang di udara.
Pelahan-lahan tubuh Putri Naga Sewu bergerak masuk ke
dalam lubang kuburan mengikuti gerakan tangan Eyang
Jamus. "Kubur," perintah Eyang Jamus setelah tubuh Putri Naga
Sewu terbaring di dalam lubang.
"Eyang...," ada nada cemas pada suara Rangga.
Eyang Jamus menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga jadi serba salah, kemudiap memberi isyarat pada
empat orang prajurit yang sudah memegang sekop. Empat
prajurit itu segera bekerja menguruk lubang itu. Sedikit demi
sedikit lubang itu tertimbun tanah merah. Rangga benar-benar
tidak sanggup melihatnya lagi. Padahal dia sering melihat
orang mati, bahkan mati terbunuh oleh tangannya. Tapi
melihat tubuh gadis berbaju biru itu terkubur, benar-benar
tidak tahan. Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik dan bergegas
melangkah menjauh Cempaka yang sejak tadi memperhatikan,
bergegas menyusul
"Kakang, kau tidak apa-apa?" tegur Cempaka cemas.
"Tidak..., aku tidak apa-apa," sahut Rangga seraya menarik
napas panjang. Padahal hatinya begitu cemas. Betapa tidak"
Gadis yang dicintainya kini harus dikubur kembali, dengan
resiko kematian yang sesungguhnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri tegak memandang ke
arah lain. Rasanya memang tidak sanggup melihat Putri Naga
Sewu yang diyakininya sebagai Pandan Wangi kembali
terkubur dalam liang pusaranya. Sementara itu para prajurit
sudah menyelesaikan pekerjannya. Eyang Jamus masih tetap
duduk bersila dengan kedua telapak tangan merapat di depan
dada. Empat prajurit itu menyingkir menjauh setelah diberi
isyarat Danupaksi.
'Paman Panglima, atur penjagaan lebih ketat lagi. Aku tidak
tahu, berapa lama hal ini berlangsung," perintah Danupaksi.
"Hamba laksanakan, Gusti," sahut panglima itu seraya
memberi hormat.
Danupaksi mengangguk, kemudian menarik napas seraya
menoleh ke arah Rangga dan Cempaka yang berdiri
membelakangi tempat ini. Pemuda itu ikut merasakan apa
yang tengah dirisaukan kakak tirinya saat ini. Tapi yang jelas,
dia harus bisa mengambil tindakan cepat untuk mengamankan
sekitar Bukit Karungan ini.
Sementara itu Rangga duduk bersila di atas se-bongkah
baru besar. Cempaka berdiri tidak jauh di sampingnya. Gadis
itu tidak ingin meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti itu
sendirian, karena tahu kalau semua ini akan berlangsung
paling tidak tiga hari lamanya. Dan selama itu mereka harus
berada di sini menjaga segala kemungkinan.
"Kakang, apa tidak sebaiknya Kakang Danupaksi kembali ke
istana?" usul Cempaka.
"Bicara saja pada Danupaksi, Cempaka," kata Rangga. "Aku
serahkan semuanya pada kalian berdua."
Cempaka berpaling pada Danupaksi. Pada saat yang sama,
Danupaksi memandang ke arah gadis itu. Danupaksi bergegas
menghampiri melihat isyarat yang diberikan adik tirinya itu
"Ada apa?" tanya Danupaksi.
"Kakang minta agar kau kembali ke istana. Jangan sampai
kosong di sana," kata Cempaka.
"Lalu di s ini?"
"Biar aku yang tangani. Atur saja pergantian penjagaan
setiap pagi dan sore sampai semuanya selesai."
"Baiklah. Tapi setiap hari aku akan menyempatkan diri
datang ke sini," kata Danupaksi.
Pemuda itu memberi hormat pada Rangga yang hanya
diam saja dengan mata terpejam. Danupaksi bergegas
mengambil kudanya. Dituntunnya kuda itu sampai jauh, lalu
ditunggangi dan digebahnya cepat-cepat Cempaka menarik
napas panjang. Sebentar di-tatapnya Rangga yang tetap
bersemadi, kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan
Rangga. Gadis itu masuk ke dalam tenda yang disiapkan
prajurit untuk beristirahat
Sebenarnya ada tiga tenda yang berdiri. Satu untuk
Rangga, satu untuk Cempaka, dan satu lagi untuk Danupaksi.
Tapi Danupaksi kini kembali ke istana, sedangkan Rangga
sudah bersemadi di atas baru di luar tenda. Sepuluh orang
prajurit dan satu panglima terlihat berjaga jaga. Sedangkan
empat puluh prajurit dan seorang panglima lain, berada cukup
jauh di bagian lereng. Belum lagi sekitar seratus prajurit yang
menjaga di sekitar kaki bukit. Penjagaan ini memang sudah
diatur oleh Danupaksi untuk menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi.
Tiga hari sudah terlewati tanpa ada kejadian yang berarti.
Saat itu malam sudah demikian larut. Dan Rangga sudah
berdiri di samping Eyang Jamus yang tetap duduk bersila. Di
samping Pendekar Rajawali Sakti itu juga terlihat Cempaka.
Hampir lima puluh prajurit terlihat berjaga-jaga di sekeliling
tempat itu. "Bangkitlah, Cucuku. Sudah waktunya kau hidup kembali,"
kata Eyang Jamus dengan mata terpejam.
Kembali hening, tak ada suara sedikit pun. Mulut Eyang
Jamus berkomat-kamit, kemudian menaburkan sepercik air
dari dalam cawan ke atas kuburan di depannya. T iba-tiba dia
melompat cepat. Pada saat itu terdengar satu ledakan dahsyat
menggelegar. Rangga dan Cempaka terkejut, dan langsung
melompat mundur. Tampak kuburan itu terbongkar bagai
gunung api me letus. Tanah dan bebatuan beterbangan ke
udara disertai ledakan yang menggelegar memekakkan
telinga. Di antara tanah dan bebatuan yang terlontar ke atas, juga
terlihat sosok tubuh ramping mengenakan baju biru.
Tubuhnya juga terlontar tinggi ke udara. Eyang Jamus sigap
sekali melompat, lalu menangkap tubuh ramping itu,
kemudian dengan manis mendarat di tanah. Laki-laki tua itu
membaringkan tubuh ramping yang bagaikan tidur pulas itu di
atas tikar daun pandan. Rangga dan Cempaka bergegas
mengham-piri. "Bangun, Cucuku," desis Eyang Jamus seraya memercikkan
air dari dalam cawan ke wajah gadis itu. Tidak berapa lama
kemudian, dada gadis itu bergerak. Sebentar kemudian
kepalanya menggeleng lemah ke kiri dan ke kanan. Pelahan-
lahan kelopak matanya terbuka, dan terdengarlah rintihan
lirih. "Pandan...," Rangga berlutut di samping gadis berbaju biru
itu. Seperti tak percaya pada penglihatan-nya.
"Oh..., di mana aku...?" lemah sekali suara gadis itu.
"Pandan..., kau kenal aku?" ujar Rangga, seperti
mengharapkan jawaban yang selama ini diimpi-impikannya.
Gadis itu menoleh. Sebentar dikerjapkan matanya be
berapa kali. "Kakang...."
"Oh, Pandan.... Kau kembali, Pandan...."
Rangga tidak bisa lagi menahan perasaannya. Langsung
saja direngkuhnya tubuh gadis itu, lalu diangkat dan
dipeluknya erat-erat Rangga tak lagi mempedulikan orang-
orang di sekitarnya. Perasaannya yang sukar dilukiskan telah
menutup matanya. Kembalinya Pandan Wangi ke dunia ini,
berarti juga kembalinya perasaan cinta yang selama ini hilang.
Mungkin kalau tak malu, rasanya Rangga ingin menangis haru.
Rangga benar-benar tak percaya melihat kenyataan bahwa
gadis yang dicintai, kini hidup kembali!
Sementara itu Eyang Jamus berdiri seraya menghembuskan
napas panjang. Dimakluminya sikap Rangga yang seperti telah
menemukan sesuatu yang hilang itu. Laki-laki tua itu
kemudian berbalik dan melangkah menjauh. Cempaka
mengikutinya dan menghadang laki-laki tua itu.
"Eyang...," agak tercekat suara Cempaka.
"Aku ingin istirahat. Di mana tendaku?" ujar Eyang Jamus.
"Oh..., itu," Cempaka menunjuk salah satu tenda.
Gadis itu lega, karena tadi dikira Eyang Jamus hendak
pergi. Sementara itu Rangga membantu gadis berbaju biru itu
berdiri. Kelihatan masih lemah, tapi sudah mulai nampak
berangsur segar. Cempaka memandang sejenak, lalu
menghampirinya.
"Cempaka...," desah gadis Itu
"Oh, Kak Pandan..."
Cempaka menghambur dan kedua gadis itu langsung
berpelukan disertai seribu macam perasaan bergelut di hati
mereka berdua. Rangga hanya berdiri saja. Matanya agak
berkaca-kaca. Rasanya malam inilah untuk pertama kali
mengenyam kebahagiaan. Tidak ada lagi kebahagiaan yang
dapat dirasakannya selain malam ini. Rangga tidak tahu lagi,
apa yang diucapkannya. Mulutnya seperti terkunci oleh
perasaan yang sukar diucapkan. Dia hanya berterima kasih
pada Hyang Widi yang telah menghidupkan kembali Pandan
Wangi dari kematian semu.
Cempaka dan Pandan Wangi me lepaskan pelukannya.
Mereka masih saling berpandangan. Kemudian sama-sama
menoleh menatap Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu
melingkarkan tangannya ke pundak kedua gadis itu, lalu
memeluknya dengan sejuta rasa bahagia yang berbunga di
hatinya. "Di mana Eyang Jamus?" tanya Rangga tiba-tiba teringat
laki-laki tua yang telah begitu berjasa mengembalikan Pandan
Wangi dalam kehidupan yang nyata.
"Istirahat di tenda," sampung Cempaka.
Rangga bergegas menuju ke tenda yang ditunjuk Cempaka.
Disibakkan kain penutup pintu tenda itu. Tapi Pendekar
Rajawali Sakti itu jadi tertegun, karena di dalam tenda itu
tidak ada siapa-siapa. Rangga mencari di tenda lainnya. Tetap
saja yang dicari tidak ada. Tiga tenda semuanya kosong.
Cempaka dan Pandan Wangi saling berpandangan, kemudian
sama-sama menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Ada apa, Kakang?" tanya Cempaka.
"Eyang Jamus. Dia tidak ada," sahut Rangga.
"Oh...! Ke mana perginya?" Cempaka menutup mulutnya.
"Aku tidak tahu. Hhh...! Aku harus mencarinya. Dia pasti
kembali ke Desa Banyu Biru," duga Rangga.
"Aku ikut, Kakang," kata Cempaka.
"Tidak! Kau harus kembali ke istana...," Rangga menatap
Pandan Wangi. "Pandan, kau masih perlu banyak beristirahat. Aku berjanji,
tak akan lama pergi. Setelah bertemu Eyang Jamus, aku pasti
akan kembali bersamamu," jelas Rangga. Jiwa besar Pendekar
Rajawali Sakti memang selalu begitu. Hatinya tak akan
tentram bila belum mengucapkan terima kasih pada Eyang
jamus. Rangga menepuk bahu kedua gadis itu, kemudian
memanggil seorang panglima yang ada di situ. Panglima itu
bergegas menghampiri dan membungkuk memberi hormat.
"Panglima, malam ini juga kalian harus kembali ke istana.
Jaga mereka. Pertaruhkan keselamatannya dengan nyawamu," perintah Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut panglima itu seraya
membungkuk hormat.
"Aku pergi dulu, Pandan, Cempaka," pamit Rangga
"Baik, Kakang," sahut kedua gadis itu hampir ber-samaan.
Walaupun dengan hati berat, tapi Rangga tetap melompat
ke punggung kudanya. Dan seketika itu juga Kuda Dewa Bayu
melesat cepat bagai kilat menerobos kegelapan malam yang
pekat. Cempaka mengajak Pandan Wangi pergi. Mereka
menunggang kuda dikawal para prajurit dan panglima perang.
Mereka kembali ke istana Karang Setra, dan menunggu
Rangga pulang membawa Eyang Jamus yang tidak ketahuan
pergi-nya. "Siapa itu Eyang Jamus?" tanya Pandan Wangi yang
berkuda pelahan di samping Cempaka.
"Sahabat kakekmu. Katanya, juga sahabat orang tuamu,
Kak Pandan. Dialah yang menghidupkan dirimu kembali dari
kematian semu," jelas Cempaka singkat. Dia juga melanjutkan
ceritanya tentang semua yang telah terjadi dalam upaya
menghidupkan kembali Pandan Wangi.
Sedangkan Pandan Wangi yang kini benar-benar sudah
pulih kembali, mendengarkan penuh perhatian. Sampai
Cempaka selesai bercerita, Pandan Wangi masih diam.
Sungguh tidak disangka kalau dirinya pernah mati selama tiga
bulan, dan terkubur di dalam liang lahat!
"Kau tidak kenal Eyang Jamus, Pandan?" tanya Cempaka
ketika dilihatnya Pandan Wangi hanya diam saja.
"Aku memang belum pernah melihat orangnya. Tapi aku
tahu bahwa sebenamya dia bernama si Tabib Aneh Jari
Delapan. Kudengar dia memang sahabat keluargaku. Hm...,
aku tidak tahu kalau aku telah ditolong olehnya," kata Pandan
Wangi. "Mungkin karena antara kau dan dia terdapat ikatan batin.


Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukankah antara keluargamu dan Eyang Jamus bersahabat
karib?" "Ya, mungkin juga," desah Pandan Wangi pelan. "Hhh....
Seandainya sudah pulih benar, pasti aku akan menyusulnya,
lalu mengucapkan terima kasih."
"Kakang Rangga pasti berhasil membawanya ke istana. Aku
yakin," Cempaka membesarkan hati Pandan Wangi.
"Mudah-mudahan saja."
Kedua gadis itu tidak berbicara lagi. Mereka berkuda
pelahan-lahan di belakang panglima. Sedangkan sekitar lima
puluh prajurit mengikuti di belakang. Sementara malam terus
merayap semakin larut Dan perjalanan itu tampaknya tidak
akan mengalami hambatan apa pun. Sementara, hati Pandan
Wangi pun berharap agar Rangga dapat membujuk Eyang
Jamus atau si Tabib Aneh Jari Delapan ke Istana Karang Setra.
Tapi yang paling diharapkan, dapat bersama-sama kembali
dengan pemuda yang dicintainya. Bahkan mungkin bersama-
sama mengembara lagi memerangi ke angkara murkaan.
Harapan yang tidak berlebihan.
SELESAI Pembuat Ebook :
Editor & Pdf : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Keris Naga Sakti 3 Gento Guyon 7 Topeng Pedang Angin Berbisik 10
^